Anda di halaman 1dari 3

Pelopor Pendidikan Pada Masa Pergerakan Nasional

Lahirnya golongan terpelajar merupakan solusi terbaik bagi


bangsa Indonesia saat itu untuk keluar dari cengkeraman penjajah.
Golongan terpelajar berupaya membebaskan bangsa Indonesia dari
berbagai diskriminasi yang dilakukan kolonial Belanda. Golongan
terpelajar berupaya membangkitkan kesadaran masyarakat akan rasa
nasionalisme melalui jalur pendidikan (Imsawati, 2017). Beberapa
tokoh golongan terpelajar yang lahir saat pergerakan nasional
diantaranya sebagai berikut:
1.Dr. Soetomo
Soetomo lahir di Ngepeh, Nganjuk pada tanggal 30 Juli 1888.
Pendidikan awal Soetomo sekolah di ELS (Europeesche Lagere
School) atau Sekolah Dasar Eropa dan melanjutkan ke STOVIA
(School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) yang merupakan sekolah
untuk pendidikan dokter pribumi di Batavia pada zaman kolonial
Hindia Belanda. Pada tanggal 20 Mei, Soetomo dan teman-temannya
pelajar STOVIA atas dorongan Wahidin Sudirohusodo mendirikan
organisasi yang diberi nama Budi Utomo (Pringgodigdo, 1994). Dr.
Soetomo merupakan golongan terpelajar yang lahir dari pelaksanaan
pendidikan yang diselenggarakan kolonial Belanda. Pendidikan
Belanda telah membawa pengaruh positif terhadap sikap dan
pemikiran Soetomo. Berdirinya Boedi Oetomo yang dipelopori oleh
Dr. Soetomo secara tidak langsung telah menginspirasi berdirinya
organisasi-organisasi lain yang mendasarkan organisasinya pada aliran
politik nasionalisme dan keagamaan (Marihandono, Tangkilisan dan
Kasenda, 2013).
2. Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara)
Suwardi Suryaningrat atau yang biasa dikenal dengan nama Ki
Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.
Suwardi Suryaningrat berasal dari lingkungan keluarga keraton
(Soeratman, 1986). Ki Hajar Dewantara mengawali pendidikannya
dengan menempuh sekolah dasar di ELS. Tamat dari sekolah ELS Ki
Hajar Dewantara melanjutkan ke Kweekschool (Sekolah Guru) bagi
kaum bumi putera atau pribumi.
Ki Hajar Dewantara kemudian melanjutkan sekolahnya ke
STOVIA, namun pada Tahun 1910 dikeluarkan, karena beasiswanya
ditarik. Pada Tahun 1908 Ki Hajar Dewantara bergabung dengan
organisasi Budi Utomo, ketika masih menjadi pelajar STOVIA.
Suwardi Suryaningrat merupakan golongan terpelajar yang lahir
akibat pelaksanaan pendidikan kolonial Belanda. Suwardi
Suryaningrat sangat menaruh perhatiannya terhadap kemajuan
pendidikan, hal ini dibuktikan dengan usahanya untuk mendalami
masalah pendidikan dan pengajaran. Sekolah Taman Siswa yang
didirikannya pada 3 Juli Tahun 1922 merupakan bukti keseriusannya
dalam dunia pendidikan di masa pergerakan nasional. Model
perjuangan Taman Siswa tidak berbentuk organisasi politik atau
melalui jalur politik. Namun, Taman Siswa didirikan oleh Ki Hadjar
Dewantara untuk menentang penjajahan melalui jalur pendidikan dan
kebudayaan Keteguhan hatinya untuk memperjuangkan nasionalisme
Indonesia lewat pendidikan dilakukan dengan resistensi terhadap
Undang-undang Sekolah Liar (Wilde Scholen Ordonnantie, 1932).
Undang-undang yang membatasi gerak nasionalisme pendidikan
Indonesia akhirnya dihapus oleh pemerintah kolonial. Perjuangannya
di bidang politik dan pendidikan inilah kemudian pemerintah
Republik Indonesia menghormatinya dengan berbagai jabatan dalam
pemerintahan RI, mengangkat Ki Hajar Dewantara sebagai Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (1950). Meski perjuangannya belum
selesai untuk mendidik putra bangsa, jelas Ki Hajar Dewantara
mempelopori lahirnya pendidikan di Indonesia (Wiryopranoto, dkk,
2017)
3.Mohammad Hatta
Mohammad Hatta lahir di Bukit Tinggi, Sumatera Barat pada
tanggal 12 Agustus 1902. Pendidikan awal Mohammad Hatta
menempuh pendidikan dasar di Fort De Kock (Sekolah Melayu)
(Hatta, 1980). Mohammad Hatta merupakan golongan terpelajar yang
lahir dari pelaksanaan pendidikan kolonial Belanda. Mohammad Hatta
merupakan keturunan dari ulama dan pedagang terpandang di
daerahnya. Mohammad Hatta mulai berkiprah dalam bidang politik
pada saat sekolah di Belanda, Hatta aktif dan bergabung dalam
organisasi Indische Vereeniging (Perkumpulan Hindia).
4.Raden Ajeng Kartini
Titik balik yang menarik dari kehidupan Kartini adalah
pendidikan yang didapatkannya, sebuah titik dimana ia akan
memainkan kecerdasannya untuk kemajuan bangsanya. Ayah Kartini,
R.M.A.A. Sosroningrat mewarisi sifat progresif dari ayahnya,
Pangeran Ario Tjondronegoro IV dari Demak, dan selalu ingat pada
pesannya kepada anak-anaknya sebelum ia meninggal bahwa ”tanpa
pengetahuan kalian kelak tidak akan merasa bahagia dan dinasti kita
akan makin mundur”. Pendidikan sudah menjadi hal yang mengakar
kuat dalam keluarga Kartini. Sang Kakek, Tjondronegoro IV adalah
sosok yang amat dikagumi Kartini, namanya beberapa kali disebutnya
dalam surat-surat yang ia kirimkan pada sahabat-sahabat penaya.
Tjondronegoro IV adalah seorang yang menaruh perhatian degan
dunia pendidikan, ia juga telah mendobrak adat kebiasaan lama yang
kolot dengan memberikan pendidikan barat kepada putera-puterinya
(Pramudawardhani & Estiana, 2019)
Sekolah yang diperuntukkan bagi gadis-gadis pertama
diprakarsai dan dibuka oleh Kartini di Jepara pada bulan Juni Tahun 1903. Uniknya, sekolah yang
didirikan Kartini tersebut tidak berdasar
pada kurikulum yang ditentukan Pemerintah Hindia Belanda
melainkan menurut sistem Kartini sendiri. Kurikulum sekolah yang
diinginkan Kartini sangat berbeda dengan kurikulum yang diajarkan
pada sekolah-sekolah negeri. Pendidikan bagi Kartini yang lebih
penting adalah mengajarkan tentang moral dan budi pekerti
(Pramudawardhani & Estiana, 2019).

Anda mungkin juga menyukai