TESIS
UNIVERSITAS INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
Eropa, perjalanan pendidikan telah berlangsung sejak zaman Yunani dan Romawi hingga
modern setelah era Renaisans. Di Asia, pendidikan telah diterapkan sejak masa Mesir, India, dan
Tiongkok kuno1, hingga era modern setelah terpengaruh kolonialisme Eropa. Begitu juga
Indonesia, sebagai bangsa Asia yang mendapat pengaruh kolonialisme, pendidikan modern mulai
berkembang, terpengaruh dan diterapkan oleh kolonial. Hal ini menandakan bahwa unsur politik
Secara umum, korelasi antara kekuasaan sebagai pemegang politik dan pemerintahan,
dengan kebijakan pendidikan tidak dapat dipisahkan. Dapat juga dikatakan bahwa penerapan
pendidikan di suatu masyarakat, daerah, hingga negara tidak dapat dipisahkan dari kebijakan
pemerintah dan situasi serta suasana politik yang berlaku di era tersebut. Menurut Asep Suryana,
kebijakan pendidikan merupakan upaya mengatur pendidikan, yang tidak dapat terlepas dari
Setelah kemerdekaan Indonesia, kekuasaan politik, tata negara, dan penerapan kebijakan
berpusat mengusir dan menghapus segala sesuatu yang berbau kolonial Belanda dan fasisme
1
Dyah Kumalasari, Diktat Pengantar Sejarah Pendidikan, (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial & Ekonomi
Universitas Negeri Yogyakarta, 2008), hlm. 8-28.
2
Agus Suryana, Kekuasaan Politik dan Kebijakan, (Bandung: Jurusan Administrasi Pendidikan, Fakultas Ilmu
Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia, 2007), hlm. 5.
3
Jepang, situasi politik berubah mengikuti zaman. Perpolitikan dunia sejak akhir 1940-an hingga
1960-an, mulai masuk dan menguatnya era Perang Dingin. Hal tersebut juga memengaruhi
Berbicara tentang pendidikan nasional suatu negara, pasti berdasar pada nasionalisme
yang dianut oleh negara dan bangsa tersebut. Perkembangan nasionalisme dan pembentukan
negara-bangsa (nation-state) di tiap negara-bangsa dunia memiliki ciri khas/ karakter masing-
masing, Indonesia pun demikian. Masyarakat Indonesia telah memiliki sejarah panjang sebagai
masyarakat yang dikuasai, dan berkuasa atas nama agama. Agama dan kebudayaan telah melebur
menjadi satu, termasuk ketika nantinya nasionalisme berkembang, tidak dapat melepaskan diri
dari agama. Berbeda dengan perkembangan nasionalisme Eropa yang beriringan dengan
sekularisme.
Perkembangan nasionalis Indonesia pun digerakkan oleh tiga kekuatan ideologi besar:
nasionalisme, agama (khususnya Islam), dan marxisme. Ketika Indonesia merdeka, penerapan
kebijakan pendidikan nyatanya tidak bisa menggabungkan semuanya. Hal itu dapat dibuktikan
dengan pemisahan naungan pendidikan melalui dua kementerian: Kementerian Pendidikan serta
Kementerian Agama. Pendidikan yang berbasis nasional dan sifatnya non-agama dinaungi oleh
Terkait perkembangan nasionalisme Indonesia tersebut tidak bisa dipisahkan dari sosok
Sukarno. Proklamator kemerdekaan Indonesia ini menjadi tokoh sentral walaupun sangat banyak
juga tokoh berperan besar. Membahas Sukarno juga tidak ada habisnya walau penelitian tentang
dirinya sudah sangat banyak. Salah satu yang membuat penulis ingin meneliti lebih dalam dari
Sukarno yakni tentang pendidikan dalam pemikirannya. Penulis juga tertarik untuk
4
Beberapa informasi singkat yang dapat diketahui dari sejarah hidup Sukarno yakni ia
mendapat pendidikan masa mudanya di rumah HOS Cokroaminoto. Di sana Sukarno mondok
bersama rekan sejawat politiknya yang kelak juga berperan penting dalam sejarah kemerdekaan
Indonesia seperti Musso, Semaun, dan Kartosuwiryo. Sukarno menimba ilmu dari guru
utamanya yakni HOS Cokroaminoto dan menyerap berbagai ilmu serta pandangan politik hingga
akhirnya ia memantapkan diri sebagai seorang nasionalis yang memiliki ciri khas dari para
nasionalis lainnya.
Selain HOS Cokroaminoto, Sukarno juga berguru ataupun terinspirasi bahkan belajar dan
bergerak langsung bersama tokoh yang lebih senior darinya. Diantaranya KH. Ahmad Dahlan
pendidikan nasional yakni Ki Hadjar Dewantara. Sukarno juga pernah terlibat korespondensi
dengan Ahmad Hassan (pendiri PERSIS/ Persatuan Islam) ketika diasingkan ke Ende, dan saling
Hal ini membuat khazanah pendidikan Sukarno semakin luas walaupun secara formal ia
berkuliah di jurusan Teknik di Bandung, dan tidak pernah kuliah di Belanda seperti tokoh
Sukarno bergabung dengan Muhammadiyah dan menjadi guru di sana bahkan memimpin bidang
pendidikan di Muhammadiyah Bengkulu. Dari situ nampak bahwa Sukarno walaupun tidak
pernah secara langsung mendirikan lembaga pendidikan / sekolah, namun ia juga berjuang untuk
pendidikan. Namun ia lebih cenderung berjuang dengan menyebarkan gagasan melalui tulisan
ataupun pidato-pidatonya.
5
Pemikiran Sukarno tentang pendidikan salah satunya bisa dibaca dalam buku Di Bawah
Bendera Revolusi (Jilid II), yakni “Menjadi Guru Di Masa Kebangunan”. Inti tulisan tersebut
adalah penekanan pada masing-masing individu bahwa semua orang adalah guru dan pemimpin.
Tulisan tersebut dibuat saat situasi Perang Dunia II dan untuk menanggapi maraknya gagasan
fasisme Nazi dan mengingatkan bahanya. Sukarno menyebut, tiap-tiap guru sebagai ‘Rasul
Kebangunan’. Maksudnya adalah masing-masing dari kita adalah guru dan tiap guru adalah
utusan (Rasul) dan harus berjiwa penuh kebangunan. Harapannya, gagasan tersebut dapat
diturunkan ke dalam jiwa anak. Guru yang dimaksud Sukarno ini harus memiliki roh kerakyatan,
Sukarno berjuang paling banyak melalui penyebaran gagasan baik tulisan di media
massa/ surat kabar/ majalah ataupun lisan melalui orasi. Perjuangan tersebut jelas lebih banyak
bernuansa politik, karena memang Sukarno adalah tokoh politik yang berjuang benar-benar
melalui jalur politik. Sukarno tidak membuat sekolah atau lembaga pendidikan sendiri
sebagaimana Muhammadiyah, NU, Taman Siswa, dan lain-lain. Hal ini yang membedakan
Studie Club), komunitas pendidikan non-formal yang menjadi sarana diskusi para
pemuda/mahasiswa. Namun ASC kemudian berubah menjadi PNI (Perserikatan, lalu Partai
Nasional Indonesia) pada 1927. Setelah itu, Sukarno benar-benar fokus di jalur politik. Adapun
di dunia pendidikan, Sukarno lebih banyak membantu lembaga pendidikan yang sudah ada.
Selain pernah membantu Muhammadiyah, Sukarno juga pernah membantu Taman Siswa dan
mengajar di sana.
6
Ketika Indonesia merdeka, sistem politik Indonesia lebih lama menganut parlementer.
Hal ini membuat Sukarno tidak bisa menerapkan kebijakan pendidikan nasional secara langsung
karena pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri dan kabinetnya. Namun walau demikian,
Sukarno pernah ‘turun langsung’ dalam program pendidikan negara. Salah satunya pada program
Foto ini sudah banyak beredar di berbagai media massa dan internet di zaman sekarang.
Kita bisa melihat gesture Sukarno yang memang sudah menjadi ciri khasnya, yakni senang
berpidato dan memobilisasi massa. Walaupun tidak bisa mengeluarkan kebijakan pendidikan
nasional secara langsung, ia berjuang secara politik untuk pendidikan dengan mobilisasi massa
tersebut. Sukarno tetap mengajar, tetap menjadi guru walau statusnya saat itu sudah menjadi
Satu studi kasus tersebut sudah membuktikan kesesuaian omongan (dalam pidatonya) /
gagasan dan pemikiran (dalam tulisannya: Menjadi Rasul Kebangunan), dan praktiknya (dengan
mengajar/ ikut serta pada program pendidikan, walau ia tidak menerapkan kebijakan secara
langsung). Kalau melihat dari periode (1948) dan lokasinya (Yogyakarta), maka hal tersebut
3
Museum Kepresidenan RI, PRESIDEN DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN SUKARNO,
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/muspres/presiden-dan-kebijakan-pendidikan-sukarno/, 21 Januari 2020,
diakses pada 11 Juli 2022 pukul 01.25 WIB.
7
dilakukan saat revolusi kemerdekaan di tengah situasi politik sangat genting dengan perang fisik
Tidak hanya pada program tersebut, Sukarno juga pernah mengadakan program
kursus perempuan setiap dua minggu sekali di halaman “Gedung Agung” atau Istana Negara
ibukota dipindah ke Yogyakarta sejak 1946. Sejak sekitar 1947 hingga Sukarno kembali ke
Jakarta pada 1949, kursus perempuan tersebut sering dilakukan. Pesertanya ialah seluruh
perempuan lintas usia dan elemen masyarakat, dan berakhir dengan pembuatan buku Sarinah
Intinya, walau ada dua contoh mobilisasi massa dengan cara pendidikan yang Sukarno
lakukan, ia tetap bukanlah/belum menjadi pembuat kebijakan pendidikan nasional. Ia baru benar-
benar berkuasa penuh ketika membubarkan Demokrasi Parlementer dan menggantinya dengan
Demokrasi Terpimpin melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Di era inilah kita dapat melihat dan
meneliti berbagai kebijakan nasional yang sangat bergantung dari dan oleh Sukarno, termasuk
Selanjutnya, penulis meyakini bahwa dalam meneliti kebijakan pendidikan harus melihat
akar historis situasi politiknya. Di era Demokrasi Terpimpin yang menjadi fokus periode
penelitian ini, semua aspek kehidupan masyarakat wajib mengikuti konsep dan haluan negara
berdasar pada indoktrinasi serta ajaran langsung Sukarno, termasuk di bidang pendidikan.
Penelitian ini secara lebih detail membahas hal tersebut, agar kita bisa mengetahui kesesuaian
4
Soekarno, Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia, (Jakarta: Idayu Press, 1984.
Terbitan pertama pada 1947), hlm. 5.
8
pemikiran Sukarno tentang pendidikan dengan berbagai kebijakan yang ia terapkan saat berkuasa
penuh.
Sebenarnya sudah banyak tulisan, karya ilmiah, jurnal, skripsi, tesis, disertasi, bahkan
reportase dalam surat kabar/media massa tentang kebijakan pendidikan. Terkait sejarah
pendidikan Indonesia, juga telah banyak ditulis. Namun kajian pendidikan nasional di era
Demokrasi Terpimpin apalagi mengacu dengan sumber primer dan berbagai UU (Undang-
undang) dan landasan hukum resmi lainnya di zaman Demokrasi Terpimpin dan menyesuaikan
dengan pemikiran Sukarno tentang pendidikan, masih belum banyak diteliti. Titik penting
tersebutlah yang menjadi pembeda penelitian ini dengan berbagai penelitian sebelumnya.
Menurut penulis, berbagai kajian dan tulisan tentang era Demokrasi Terpimpin terlalu
banyak yang membahas mengenai sisi kebijakan politiknya saja. Seperti Politik Mercusuar,
dan GANEFO (Games of New Emerging Forces), perebutan Irian Barat, keluarnya Indonesia
dari PBB, politik ‘Ganyang Malaysia’, simbolisasi politik dengan pembangunan (Monumen
Nasional, Hotel Indonesia, dan lain-lain), ketegangan segitiga kekuatan politik: Tentara/ TNI AD
(Angkatan Darat), Sukarno, dan PKI (Partai Komunis Indonesia), hingga pecahnya G30S
Sementara penelitian yang fokus pada kebijakan pendidikan nasional era Demokrasi
Terpimpin berdasarkan pemikiran pendidikan Sukarno, belum banyak dibahas. Hal tersebut
menjadi permasalahan yang ada pada penelitian ini. Oleh karena itu, penulis ingin membuktikan
kesesuaian pemikiran Sukarno tentang pendidikan dengan kebijakan pendidikan nasional yang ia
Terpimpin?
Penelitian ini menggunakan cakupan spasial dan temporal. Secara spasial, karena
membahas tentang kebijakan pendidikan nasional, maka berlaku atau mencakup se-Indonesia.
10
Fokus penelitian ini yakni kebijakan pendidikan nasional yang diterapkan Sukarno, dan mengacu
Secara cakupan temporal, penelitian ini berpusat di era Demokrasi Terpimpin (1959-
1966). Dimulai sejak 1959, karena pada periode ini, dimulainya Demokrasi Terpimpin Sukarno
melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Akhir periode penelitian ini berujung pada 1966 karena di
era tersebut Demokrasi Terpimpin dan pengaruh Sukarno kian terkikis sebagai dampak dari
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab serangkaian permasalahan yang ada dalam
sistem pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin tersebut di kalangan masyarakat, serta
Hasil penelitian ini nantinya, diharapkan mampu menjadi salah satu rujukan bagi
DPR RI dalam membuat kebijakan pendidikan nasional yang sesuai amanat UUD 1945. Manfaat
lainnya di luar pemerintahan, adalah menambah kajian pendidikan dan sejarah pendidikan
nasional, serta sangat bermanfaat untuk para lembaga riset dan/atau bahkan
Tinjauan pustaka adalah peninjauan terhadap penulisan terdahulu yang sejenis dengan
penelitian ini dan melihat kebaruan penelitian penulis. Selain itu, dari berbagai penulisan
sebelumnya tersebut, penulis melihat irisan antar karya itu, sehingga dapat membuat titik
kebaruannya. Fokus penelitian ini adalah pada kesesuaian pemikiran dengan penerapan
kebijakan pendidikan Sukarno, maka terlebih dahulu penulis harus melihat karya yang memuat
tentang pemikiran Sukarno. Dari karya-karya tersebut kita dapat melihat sudut pandang Sukarno
tentang pendidikan.
Bahan (Lahirnja Pantjasila, Undang2 Dasar 1945, Manifesto Politik, Djarek dan Perintjiannya
Pembangunan Semesta). Buku ini memuat berbagai pidato Sukarno dan secara lebih khusus
berdasar pada instruksi Presiden Sukarno melalui Panitia Pembina Jiwa Revolusi (Panitia
Indoktrinasi). Sayangnya, karena buku ini adalah salah satu wujud dukungan terhadap
indoktrinasi pemerintah, maka buku ini hanya sebatas merangkum pidato Sukarno saja dan
bukan untuk membedah secara ilmiah. Dari buku ini penulis meneliti pandangan Sukarno
tentang pendidikan dan menyesuaikannya dengan kebijakan pendidikan nasional era Demokrasi
Terpimpin.
Terkait kebijakan pendidikan nasional, beberapa pustaka yang memiliki irisan dengan
penelitian ini diantaranya yaitu buku Kamadjaja, Pendidikan Nasional Pantjasila: Perdjuangan
Pendidikan Nasional Indonesia dan Hasil-Hasilnja, UP. Indonesia: Jogja, 1966. Buku tersebut
12
membedah sejarah pendidikan Indonesia sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha hingga Demokrasi
Terpimpin, ditulis secara ideologis dan politis berdasar sesuai situasi politik serta kebijakan
Hal yang kurang dari buku ini adalah awal mula periode tulisan terlalu jauh (sejak zaman
kerajaan Hindu-Buddha) dan kurangnya penjelasan lebih rinci tentang dampak kebijakan
Selain itu, ada juga jurnal Dwi Siswoyo, Pandangan Soekarno Tentang Pancasila dan
Pendidikan, Jurnal Cakrawala Pendidikan, Februari 2013, Th. XXXII, No. 1. Membahas tentang:
Urgensi nasionalisme dalam membangun bangsa, urgensi Pancasila sebagai dasar filosofi negara
Tulisan ini menggunakan kerangka pikir historis-filosofis berbasis ideologi atau secara
karya-karya Sukarno untuk memperoleh makna tentang nasionalisme, pancasila, dan pendidikan.
Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan ada pada fokus kajiannya. Jurnal tersebut
lebih condong pada penjabaran tentang konsepsi pemikiran Sukarno tentang nasionalisme dan
Humaniora Vol. 24 no. 1 Februari 2012: 3-17, FIB UGM: Yogyakarta. Jurnal ini tidak secara
langsung membedah periode Demokrasi Terpimpin karena jurnal ini membahas periode revolusi
(1945-1950). Namun jurnal ini mampu menjadi referensi melihat akar awal pembentukan sistem
13
pendidikan nasional yang nantinya dapat dikaitkan di masa/ fokus periodisasi penelitian yakni
Penelitian ini sendiri lebih fokus untuk melihat aspek kebaruan dalam hal pendidikan
Indonesia khususnya di era Demokrasi Terpimpin. Karena penulis meyakini bahwa terdapat
beberapa aspek dalam sejarah dunia pendidikan Indonesia yang belum diteliti. Penulis mencoba
masuk ke ranah yang kosong itu, dengan memberikan sebuah aspek tema yang baru, yakni
dengan melakukan penelitian dengan banyak sumber primer, berisi analisis mengenai kebijakan
pendidikan Indonesia di era Demokrasi Terpimpin beserta dampak dan pengaruhnya terhadap
masyarakat.
Kebaruan dalam penelitian ini ada beberapa hal dan membedakan dari
memiliki periodisasi terlalu panjang (misal, buku karya Kamadjaja), maka penelitian ini lebih
fokus pada era Demokrasi Terpimpin dengan menyesuaikannya dengan pemikiran pendidikan
Sukarno. Berikutnya, jika pada penelitian dengan tema dan periode yang hampir sama/ mirip
dengan penelitian ini banyak menggunakan sumber sekunder, maka kebaruan dalam penelitian
ini adalah lebih banyak menggunakan sumber primer berupa arsip, naskah, dan dokumen
nasional di era Demokrasi Terpimpin. Pada intinya, penulis ingin membuktikan kesesuaian
penerapan kebijakannya. Untuk bisa menyesuaikan dengan fokus penelitian yakni era kekuasaan
Sukarno (Demokrasi Terpimpin), dapat melihat dari pemikiran besar Sukarno terlebih dahulu.
hingga kebijakan yang ia terapkan di masa Demokrasi Terpimpin. Penelitian ini juga
membuktikan bahwa politisasi pendidikan atau menjalankan sistem pendidikan nasional, tidak
Agar dapat meneliti sesuai tema dan periode serta fokus penelitian ini secara lebih jelas,
harus membedah terlebih dahulu konsep pendidikan yang relevan. Fokus penelitian ini adalah
pemikiran dan kebijakan yang diterapkan oleh Sukarno, maka pola pikir tentang pendidikan
harus berdasar pemikiran Sukarno. Tentunya pemikiran seseorang tidak akan bisa berdiri sendiri,
Sukarno.
Cukup rumit jika memahami pemikiran Sukarno secara mendalam dan menyeluruh.
Namun dalam bidang atau konteks pendidikan, setidaknya ada beberapa pemikiran tokoh yang
pendidikan. Diantaranya Ki Hadjar Dewantara, Karl Marx, HOS Cokroaminoto, KH. Ahmad
Dahlan, hingga Abraham Lincoln. Pemikiran para tokoh tersebut dapat dibuktikan nantinya
dengan karya tulisan Sukarno sejak masa kolonial melalui berbagai surat kabar yang dihimpun
dalam buku DBR (Dibawah Bendera Revolusi) mulai sekitar 1964. Salah satu judul karya tulis
Kebangoenan”.
15
pendidikan nasional yang ia terapkan, penulis menggunakan konsepsi Paulo Freire tentang
pendidikan untuk pembebasan5. Alasannya karena Freire memiliki arah pikir yang sejalan
dengan Sukarno yakni sosialisme dengan pisau analisis marxisme. Dari situ penulis bisa
membuktikan “apakah pemikiran Sukarno tentang pendidikan sudah sesuai dengan kebijakan
pendidikan nasional yang ia terapkan saat berkuasa penuh (era Demokrasi Terpimpin)?”.
pendidikan melalui pendekatan klasik Plato, para pemikir marxis dan anti kolonialis. Salah satu
memberikan rakyat bumiputra (lokal) pendidikan yang baru dan modern dan bersifat anti
Berikutnya, Freire juga menolak liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan, yang sejalan
dengan pemikiran dan kebijakan politik Sukarno. Freire mengambil studi kasus di Brazil dan
Singkatnya, ia menyebut tentang ‘Pendidikan Gaya Bank’, yakni guru adalah orang yang
menabung dan murid menjadi celengannya. Bagi Freire, hal tersebut menimbulkan kontradiksi
pada hubungan guru dengan murid. Ia juga menyentil tentang kebudayaan bisu (the culture of
yang disampaikan oleh guru, tanpa menyadari dan memahami arti dan makna yang
sesungguhnya. Hal ini menyebabkan kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis
pada murid.
5
I Nyoman Temon Astawa, Teori-Teori Dalam Dunia Pendidikan Modern:
file:///C:/Users/Aslama%20Nanda/Downloads/40-123-1-SM%20(1).pdf, diakses pada 25 Maret 2022, pukul 6.22
WIB.
16
Pendekatan dan kerangka konseptual tersebut (melalui analisis Freire), penulis gunakan
untuk melihat pemikiran Sukarno tentang pendidikan, serta disesuaikan dengan kebijakan
pendidikan nasional yang ia terapkan era Demokrasi Terpimpin. Secara umum, keduanya
memiliki pandangan yang sejalan (Sukarno lahir dua puluh tahun sebelum kelahiran Freire
(1901), namun puncak hidup mereka berada pada zaman dan situasi politik internasional yang
hampir berbarengan). Namun, nampak ada beberapa perbedaan dalam praktik yang dilakukan
cenderung bersifat otoritarian. Hal inilah yang harus diteliti lebih lanjut untuk menemukan titik
kritik sumber, interpretasi, historiografi). Penelitian ini juga melalui studi pustaka, dengan
mencari dan mengkaji/meneliti karya dan sumber yang berkaitan dengan tema penelitian. Lebih
tepatnya yakni karya dan sumber tentang pemikiran Sukarno tentang pendidikan dan kebijakan
Proses heuristik penelitian ini dijalankan dengan mengumpulkan dan melihat sumber
primer (dokumen) ke beberapa tempat seperti Perpusnas (Perpustakaan Nasional) & ANRI
(Arsip Nasional RI), mencari buku/naskah/dokumen asli pada zamannya (periode penelitian ini)
ke berbagai tempat seperti toko buku bekas, atau meminjam dari rekan/kolega yang
menyimpannya, dan lain-lain. Kemudian, penulis juga memadukan dan mencari celah dari
sumber sekunder yang relevan dengan penelitian ini khususnya karya-karya yang dijabarkan
pada tinjauan pustaka, kemudian semuanya dianalisis dan dijabarkan dalam penelitian ini.
17
Proses kritik sumber juga dilakukan terutama pada sumber sekunder, karena sumber
sekunder merupakan penulisan ‘di tangan kedua’, maka penulis melihat jiwa zaman serta
sejarah yang ada dan sumber primer yang dimiliki. Sedangkan pada sumber primer, penulis tidak
asli’ dan isinya sejalan dengan realita sejarah, dan untuk sumber primer tidak ada kesulitan
berarti.
makna isi dari sumber, merangkainya dan menyusunnya dalam pikiran penulis, menafsirkannya,
dan menggabungkan semuanya dalam tulisan (historiografi). Hal tersebut terjadi karena berbagai
gagasan/pemikiran Sukarno tersebar luas dan sangat banyak, sehingga penulis harus fokus pada
tema penelitian yakni tentang pendidikan. Penulis semaksimal mungkin menginterpretasi seluruh
sumber yang didapat, menyusun kronologi yang tepat (tidak ahistoris dan anakronis),
merangkainya menjadi satu tulisan yang utuh dan tepat sesuai fokus penelitian.
dokumen atau catatan atau laporan berbagai hasil kebijakan pemerintah di era Demokrasi
Terpimpin tentang pendidikan, serta sumber sekunder yakni buku-buku, artikel, dan jurnal yang
membahas seputar pemikiran Sukarno dan kebijakan nasional pendidikan sesuai fokus dan
ideologi/ajaran dan menjadi dasar Sukarno dalam menerapkan kebijakan pendidikan diantaranya
18
adalah arsip MPRS & Departemen Penerangan RI, “Ringkasan Ketetapan Madjelis
penjabaran kebijakan pemerintah tentang bidang pendidikan atau yang tertulis dalam berbagai
Nasional”, Penerbitan Bersama: ENDANG-PEMUDA (cetakan kedua, tanpa tahun). Buku ini
menjabarkan pidato asli/primer Sukarno yakni “Pidato Presiden Republik Indonesia pada
Tanggal 17 Agustus 1961” sepanjang 50-an halaman. Lalu membedah konsep Revolusi
Indonesia, Sosialisme Indonesia dan Kepemimpinan Nasional berdasar ajaran Sukarno untuk
melengkapi dan menjabarkan inti ajaran utamanya di masa Demokrasi Terpimpin yakni
MANIPOL-USDEK.
Buku ini juga untuk melihat konsep/ideologi ajaran Sukarno sebagai pisau analisa dalam
melihat sistem pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin yang politis. Serta buku
Departemen Penerangan RI, “Manifesto Politik Republik Indonesia (17 Agustus 1959)”. Buku ini
berisi tentang berbagai keputusan & penetapan MANIPOL RI 17 Agustus 1959 sebagai GBHN
(Garis-garis Besar Haluan Negara). Lalu membedah konsep MANIPOL secara menyeluruh dan
bab I berisi latar belakang, permasalahan penelitian, ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, pendekatan dan kerangka konseptual, metode penelitian,
19
sumber penelitian, serta sistematika penulisan. Lalu bab II membedah pemikiran Sukarno
Kemudian bab III menjabarkan berbagai penerapan kebijakan sistem pendidikan nasional
dan kebijakannya serta dampaknya di kalangan masyarakat era Demokrasi Terpimpin. Terakhir,
bab V menjadi penutup yang berisi simpulan dari penelitian ini. Berisi tentang temuan-temuan
baru yang didapat, serta menjawab seluruh pertanyaan penelitian atau dalam perumusan masalah
pada tesis ini. Penutup dan simpulan ini juga menjawab atau dapat menuju pada tujuan penelitian
yakni agar dapat dijadikan referensi bagi pengampu kebijakan nasional hari ini dengan semangat
BAB II
Sepanjang 1945-1949, situasi politik Indonesia berada di fase atau zaman revolusi. Di
era ini, perpolitikan nasional terpecah menjadi dua kubu yaitu kelompok yang terjun perang fisik
(militer) dan para elit politik yang menggunakan jalur diplomasi. Situasi pelik kedua cara
kedaulatan pada akhir 1949. Pada 1950-pertengahan 1959, sistem pemerintahan Indonesia
Di zaman ini, situasi politik kental dengan nuansa Perang Dingin dan membuat elit
politik nasional terpecah dan konflik internal dengan berkali-kali pergantian kabinet. Situasi
politik kembali berubah sejak akhir 1957 dan memuncak pada 5 Juli 1959, melalui Dekrit
Pengambilalihan kekuasaan dan pemerintahan tersebut mengacu dari sembilan tahun era
Demokrasi Parlementer yang Sukarno anggap gagal. Ia meresmikan Demokrasi Terpimpin 1959
dengan jargon ‘Penemuan Kembali Revolusi Kita’. Sukarno menyatakan bahwa sejak KMB
(Konferensi Meja Bundar) hingga era Demokrasi Parlementer, Indonesia masuk dalam alam
liberalisme. Sehingga dengan berlakunya Dekrit Presiden, Revolusi Indonesia dianggap kembali
6
Pidato Presiden Republik Indonesia, RESOPIM (Revolusi, Sosialisme, Pimpinan Nasional), 17 Agustus 1961.
21
(Manifesto Politik), yang isinya adalah USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Sukarno membawa kehidupan rakyat secara keseluruhan harus sesuai dengan indoktrinasi
dan ajarannya: MANIPOL-USDEK, lalu dengan platform politik Front Nasional, serta konsepsi
NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis). Seluruh elemen masyarakat wajib mengikuti dan
menjalankan hal itu dengan tujuan menuju masyarakat sosialis Indonesia, versi Sukarno.
Kewajiban tersebut kemudian mendapat banyak penentangan secara politik. Hiruk-pikuk politik
dalam negeri ditambah dengan gangguan dan efek/dampak dari Perang Dingin saat itu, mencapai
puncaknya dengan terjadi Peristiwa 1 Oktober 1965 oleh Gerakan 30 September 1965. Setelah
tragedi itu, dengan berbagai hal yang terjadi, membuat Sukarno lengser pada awal 1967 secara
resmi.
Penulis menganalisis situasi politik tersebut (era Demokrasi Terpimpin) dalam kaitannya
dengan penerapan kebijakan dan sistem pendidikan nasional. Salah satu analisa tersebut adalah
kepentingan berkomunikasi dan menyalurkan aspirasi serta ekpsresinya secara bebas tanpa
monopoli. Wujud atau bentuk dari hal tersebut salah satunya adalah pendidikan 7. Ruang publik
seperti pendidikan seharusnya tidak dikuasai satu pihak, baik dalam sistem kapitalisme
(monopoli kapitalis) ataupun autoritarian (monopoli individu, seperti era Demokrasi Terpimpin).
demokrasi yang di periode sebelumnya (parlementer/liberal) dibuka lebar. Penelitian ini juga
menjabarkan tentang sisi monopoli yang dilakukan Sukarno dalam penerapan kebijakan dan
sistem pendidikan nasional. Menurut penulis, penerapan Manipol-Usdek sebagai sumber dari
7
Tom Bottomore (penerjemah: Joko Susilo), Mazhab Frankfurt: Gagasan dan Kritik, (Yogyakarta: Penerbit
Independen, 2019), hlm. xix.
22
segala sumber kebijakan membuat Manipol justru menjadi ‘Monopol’, sebagai alat memonopoli
kehidupan masyarakat. Tentunya hal tersebut bertentangan dengan teori Habermas tentang
Tidak banyak kajian atau hasil penelitian sejarah bahkan sumber sejarah yang mampu
menjabarkan secara mendetail sistem pendidikan nasional di era revolusi (awal kemerdekaan).
Di era ini, bangsa Indonesia khususnya di bidang pemerintahan, sedang sangat sibuk mengurusi
politik dalam dan luar negeri demi mempertahankan kemerdekaan. Namun, ada beberapa kajian
yang akhirnya mampu membuka cakrawala tentang pendidikan Indonesia di era ini.
dimulai sejak era kolonial. Hal ini bermula dari kebijakan pemerintah Hindia-Belanda tentang
Ordonansi Sekolah Liar (1932). Elemen-elemen atau lembaga yang bergerak di bidang
pendidikan saat itu menolak kebijakan tersebut hingga membentuk Kongres Pendidikan.
Beberapa lembaga/organisasi hingga partai politik yang ikut mendukung pelaksanaannya yakni
Taman Siswa, INS. Kayutanam, Perguruan Rakyat, Adhidharma, (PSII) Partai Syarikat Islam
Indonesia, Perguruan Islam, Permi (Sumatra), Muhammadiyah, hingga Budi Utomo 8. Kongres
Pendidikan tersebut berlangsung pada 1935, 1937, dan di era Jepang berhenti. Di awal
kemerdekaan, Kongres Pendidikan dijalankan kembali pada 1947, 1949, 1954, hingga
Selain Kamadjaja, sejarawan UGM, Agus Suwignyo, pernah menulis jurnal tentang
Formation of the Indonesian National Education System, C. December 1949-August 1950, Jurnal
8
Kamadjaja. Pendidikan Nasional Pantjasila: Perdjuangan Pendidikan Nasional Indonesia dan Hasil-Hasilnja,
(Yogyakarta: UP. Indonesia, 1966), hlm. 72-76.
23
Humaniora Vol. 24 no. 1 Februari 2012: 3-17, FIB UGM: Yogyakarta. Jurnal ini mampu
menjadi referensi melihat akar awal pembentukan sistem pendidikan nasional yang nantinya
dapat dikaitkan di masa/ fokus periodisasi penelitian yakni periode Demokrasi Terpimpin.
Menurut Agus, pendidikan nasional di era revolusi kemerdekaan berkaitan erat dengan
kondisi politik dan konteks Indonesianisasi saat itu. Segala bidang kehidupan rakyat
diindonesiakan, termasuk pendidikan. Hal-hal yang berkaitan dengan Belanda dan Jepang, coba
digantikan dengan konteks dan nuansa Indonesia. Secara singkat sebagai gambaran umum, era
Kebijakan pendidikan nasional, baik RIS maupun RI juga berpusat pada sentralisasi dan
homogenisasi. Proses ini sebagai wujud dari Indonesianisiasi. Ketika RIS bubar dan kembali ke
gambaran, konteks sentralisasi dan homogenisasi di bidang pendidikan nasional ini menghimpun
personel/kepengurusan sekolah dengan menguatkan dan harus sesuai dengan karakter Indonesia.
Indonesianisiasi pendidikan ini menurut Agus, menunjukkan kekuatan para tokoh nasionalis
Indonesia untuk mempersatukan masyarakat Indonesia serta menstimulasi sense atau perasaan
Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan, yakni pada tahun 1947, 1952, 1962, 1968,
1975, 1984, 1994, 2004, 2006, dan 201310. Seluruh kurikulum Indonesia telah dirancang sesuai
9
Agus Suwignyo, Unifying Diversities: Early Institutional Formation of the Indonesian National Education System,
C. December 1949-August 1950, (Jurnal Humaniora Vol. 24 no. 1 Februari 2012: 3-17, FIB UGM: Yogyakarta),
hlm. 15.
10
Kementerian Pendidikan Nasional RI, Pengembangan Kurikulum 2013, Jakarta: Kementerian Pendidikan
Nasional RI,, 2012.
24
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kurikulum era ini dikenal dengan Rencana Peladjaran, lebih tepatnya dengan membagi
menjadi tiga kategori utama: kursus, jam belajar, dan materi pembelajaran 11. Selaras dengan
Agus Suwignyo, bahwa kurikulum dan kebijakan pendidikan nasional diterapkan untuk
mereformasi pendidikan dari pengaruh sistem pendidikan berbasis Belanda, dan mengedepankan
kesadaran masyarakat. Ada 16 mata pelajaran yang diajarkan, antara lain Bahasa Indonesia,
Bahasa Daerah, Aljabar, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Hayati (kini Biologi), Ilmu Bumi (kini
Geografi), Sejarah, Menggambar, Menulis, Seni Rupa, Karya Tangan, Seni Wanita, Pendidikan
Jasmani, Kebersihan dan Kesehatan, serta Pendidikan Karakter Bangsa12. Pelajaran agama
Pengadjaran. Kementerian ini dipimpin oleh Menteri Pengadjaran, sebagai menteri pertama,
yakni Ki Hadjar Dewantara. Sejarah awal pendidikan nasional Indonesia setelah kemerdekaan
dimulai sejak Menteri Pengadjaran (Ki Hadjar Dewantara) mengeluarkan instruksi, khususnya
untuk seluruh daerah di pulau Jawa. Poin-poin pentingnya diantaranya sebagai berikut:
11
Hien, T. K., English Language Instruction in Indonesia (Thesis). Malang: FKIP, Universitas Airlangga, 1962.
12
Departemen Pendidikan Nasional RI, Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Depdiknas, 1996.
13
Kementerian PP & K (Pendidikan, Pengadjaran, dan Kebudjayaan) RI, Dasar Pendidikan dan Pengadjaran
Jakarta: Kementerian PP & K RI, 1954.
25
a. Usaha pendidikan dan pengajaran harus berdasar pada kebangsaan Indonesia, dengan
b. Memperbaiki sistem pendidikan dan pengajaran agar dapat memenuhi syarat dan
pengajaran serta tambahan bahasa asing yang diperlukan seperti Inggris (bahasa
internasional) dan Jerman untuk perluasan ilmu pengetahuan (diajarkan pada Sekolah
Menengah Tinggi)
d. Daftar pengajaran di sekolah menengah putri tidak boleh beda dengan putra, tidak
keputrian. Praktiknya harus penuh pengawasan berdasar ‘Tut Wuri Handayani’ dan
e. Memperbaiki pendidikan nasional yang sebelumnya terpuruk selama 3,5 tahun (masa
f. Mengingat persediaan guru dan buku yang ada sekarang ini, sementara waktu
pengajaran khususnya bahasa asing dilakukan dengan cara yang praktis dan dengan
Ada beberapa hal yang dapat dipertanyakan, disayangkan, bahkan dikritik dari instruksi
Ki Hadjar Dewantara tersebut. Diantaranya, pertama, situasi politik saat itu (awal kemerdekaan)
adalah situasi revolusioner. Segala kehidupan masyarakat erat kaitannya dengan pekik ‘merdeka’
ataupun kata-kata revolusi sebagai jargon. Namun mengacu pada instruksi tersebut, tidak ada
unsur revolusioner yang secara formal dituliskan. Pada poin nomor satu tentang Tentang Dasar
Pendidikan, misalnya. Instruksi yang diberikan hanya bersifat normatif sebatas cinta negara,
Menurut penulis, Ki Hadjar Dewantara selaku Menteri Pengajaran, tidak dapat membaca
situasi dan kondisi politik saat itu dan memprediksi masa berikutnya. Instruksi tersebut
dikeluarkan pada 29 September 1945, sekitar satu bulan setelah proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Situasi bangsa Indonesia saat itu tengah bahagia dan penuh semangat, sehingga
analisa penulis adalah bahwa hal yang paling penting bagi Menteri Pengajaran saat itu adalah
bahwa selang setahun setelah proklamasi, situasi politik berubah drastis. Terjadi perpecahan
dalam negeri (internal) terutama terkait makna dan cara mempertahankan kemerdekaan, serta
banyak gangguan stabilitas nasional dari dalam dan luar negeri. Terjadi banyak revolusi sosial
yang justru saling membunuh sesama bangsa Indonesia. Lalu juga terjadi perbedaan cara
perjuangan melawan Belanda di kalangan elit: militer (perang fisik) dan politisi/ pimpinan politik
14
Menteri Pengadjaran RI (Ki Hadjar Dewantara), ‘INSTRUKSI MENTERI PENGADJARAN: Kepada Sekalian
Pemimpin Pengadjaran, Kepala Sekolah dan Guru-Guru disegenap Daerah diseluruh Djawa’, 29 September 1945.
27
(diplomasi/perundingan). Belanda pun tidak lama setelah proklamasi, segera tiba di Indonesia
dengan membonceng NICA/Inggris dan berusaha merebut kembali Indonesia setelah menang
Perang Dunia II. Hal itu luput dari instruksi Menteri Pengajaran tersebut.
Berikutnya, Tentang Maksud dan Tujuan Pengajaran dalam instruksi tersebut juga
menurut penulis tidak ada unsur revolusionernya. Hal ini harus dikritik dari Menteri Pengajaran
sekelas Ki Hadjar Dewantara. Apa karena Ki Hadjar Dewantara bukan seorang sosialis garis
keras/ radikal? Juga apa karena Ki Hadjar Dewantara adalah penganut atau lebih condong
pada filosofi Jawa yang kental dengan budaya menjaga keseimbangan dan tidak penuh
keributan? Tidak ada tujuan bernuansa revolusioner (politis) misal: mewujudkan Sosialisme
Indonesia, atau menjaga kemerdekaan Indonesia dari ancaman bangsa asing, atau seperti
melanjutkan revolusi Indonesia yang belum selesai, dan lain-lain yang sejenis.
Di poin c pada Tentang Maksud dan Tujuan Pengajaran tersebut juga patut
lembaga pendidikan dan pengajaran serta tambahan bahasa asing yang diperlukan seperti Inggris
(bahasa internasional) dan Jerman untuk perluasan ilmu pengetahuan (diajarkan pada Sekolah
Menengah Tinggi)”. Mengapa harus bahasa Jerman? Notabenenya saat itu (September 1945),
Indonesia baru saja proklamasi kemerdekaan dan melepaskan diri dari Jepang, sekutu utama
Jerman (NAZI) pada Perang Dunia II. Saat itu juga Jerman identik dengan NAZI dan fasisme,
walaupun gerakan sosialisme eropa yang utama juga banyak di Jerman. Begitu juga
kecondongan bangsa Indonesia saat itu yang cenderung antipati terhadap hal-hal berbau asing
seperti Belanda & Jepang, Menteri Pengajaran saat itu justru memberi instruksi untuk
Jenjang dan jenis pendidikan nasional di era revolusi kemerdekaan sangat beragam.
Jenjang pendidikan yang terendah yaitu SR (Sekolah Rakyat), dengan lama pendidikan sekitar 6
tahun. Tujuan pendirian SR adalah meningkatkan taraf pendidikan dan memberi kesempatan
bagi rakyat untuk mengenyam bangku sekolah, sesuatu yang kurang mereka dapatkan dan
Kurikulum SR diatur sesuai dengan putusan Menteri PP & K tanggal 19 November 1946
bahasa dan berhitung. Rinciannya, yakni 38 jam pelajaran seminggu, 8 jam untuk bahasa
Indonesia, 4 jam untuk bahasa daerah dan 17 jam untuk berhitung (kelas IV, V dan VI).
Depdikbud RI 1993 mengklaim bahwa tercatat sejumlah 24.775 SR pada akhir 1949 di seluruh
Indonesia15. Setelah SR, dapat melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah
Namun, untuk pelajar/siswa SR yang ingin fokus ke jenis pendidikan tematis (bukan
umum seperti SMP & SMT), ada sekolah yang dikembangkan sebagai sekolah pendidikan guru.
Hal itu karena guru adalah martir dan frontliner pendidikan, berperan besar dalam proses
pendidikan nasional. Pemerintah sejak awal kemerdekaan, membangun pendidikan guru dan
membaginya menjadi tiga jenis, diantaranya SGB (Sekolah Guru B), SGC (Sekolah Guru C), dan
SGA (Sekolah Guru A). SGB bertujuan untuk mendistribusi guru bagi SR (Sekolah Rakyat) 16.
15
Sjamsudin, Helius, dkk, Sejarah Pendidikan di Indonesia: Zaman Kemerdekaan, 1945-1966. (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), hlm. 18.
16
Rifa’i, Muhammad, Sejarah Pendidikan Nasional: Dari Masa Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2016), hlm. 136-137.
29
pendidikan dengan jenis sekolah kejuruan (vokasi). Di era revolusi, pendidikan kejuruan fokus
Kemudian, terdapat juga ST (Sekolah Teknik) yang bertujuan untuk menjadi tenaga
terampil. Beberapa bidang ST yang ada di masa awal kemerdekaan diantaranya untuk terlibat
dalam pertahanan negara dan sekolahnya digunakan sebagai pabrik senjata. Sekolah Teknik di
Solo misalnya, dikerahkan untuk membuat senjata yang sangat diperlukan negara. Selain itu ada
juga ST yang bergerak di bidang Kursus Kerajinan Negeri (KKN), terdiri atas jurusan-jurusan:
kayu, besi, anyaman, perabot rumah, las dan batu. ST kemudian dilanjutkan ke STP (Sekolah
Teknik Pertama), dengan jurusan: kayu, batu, keramik, perabot rumah, anyaman, besi, listrik,
Jenjang berikutnya dari sekolah teknik yaitu STM (Sekolah Teknik Menengah).
Bertujuan mendidik tenaga ahli teknik dan pejabat teknik menengah. Terdiri atas jurusan
bangunan gedung, bangunan sipil, bangunan kapal, bangunan mesin, bangunan listrik, bangunan
mesin kapal, kimia, dan pesawat terbang. Terakhir, yakni Pendidikan Guru (untuk sekolah
Menurut penulis, penerapan Kurikulum SR yang diatur sesuai dengan putusan Menteri
PP & K tanggal 19 November 1946 tersebut juga harus mendapat tinjauan kritis. Diantaranya
bahasa dan berhitung. Kita dapat memungkiri, bahwa buta huruf/aksara dan angka adalah hal
yang benar-benar menjadi kebutuhan rakyat saat itu. Maka wajar jika pelajaran bahasa dan
berhitung menjadi agenda utama untuk ditingkatkan. Namun lagi-lagi, nampak tidak membaca
17
Ibid. hlm. 138-139.
30
Di era tersebut, seperti kritik pada Instruksi Menteri Pengajaran Ki Hadjar Dewantara,
aspek politik juga harusnya menjadi hal utama sebelum pemerintah membuat kebijakan
pendidikan nasional. Di era tersebut (November 1946), situasi dan kondisi politik mulai
peperangan terhadap Belanda dan sekutu (Inggris), seharusnya pemerintah membuat kebijakan
pendidikan nasional tentang pertahanan negara yang diajarkan sejak dini yang sinergi dengan
Kementerian Pertahanan/Keamanan saat itu. Namun hal tersebut tidak ada dalam kurikulum SR
tersebut.
Kemerdekaan Indonesia pada 1945 dan berlanjut dengan revolusi fisik nyatanya tidak
menurunkan semangat bangsa Indonesia untuk memperbaiki kualitas pendidikannya. Pada situasi
politik yang tengah berkecamuk di dalam dan luar negeri soal politik dan mempertahankan
kemerdekaan, justru berbagai universitas didirikan oleh pemerintah RI melalui BPTRI (Balai
Perguruan Tinggi Republik Indonesia) yang menyelenggarakan kuliah di beberapa kota selama
masa revolusi. Sebelumnya, di era kolonial telah terdapat beberapa sekolah tinggi, baik lokal
ataupun peninggalan Belanda. Namun banyak sekolah tinggi tersebut yang merger menjadi satu
universitas negeri/ milik pemerintah. Sekolah tinggi warisan Belanda, disatukan dan
dinasionalisasi pemerintah.
Sekolah tinggi yang didirikan oleh para revolusiner / kaum republiken RI di awal masa
revolusi diantaranya Sekolah Tinggi Republik didirikan pada 17 Februari 1946 oleh Kementerian
Pengajaran di Yogyakarta, Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada didirikan pada 3 Maret 1946
oleh Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, terdiri dari Fakultas Hukum dan
Gigi didirikan pada Februari 1946 di Malang. Lalu Perguruan Tinggi Kedokteran lainnya pada 4
31
Maret 1946 di Solo dan 5 Maret 1946 di Klaten. Berikutnya Fakultas Pertanian dan Fakultas
Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan didirikan pada November 1946 oleh Kementerian
Kemakmuran Republik Indonesia di Bogor. Sayangnya, karena Agresi Militer I Belanda pada
Juli 1947, perguruan tinggi tersebut dipindah ke Klaten. Demikian juga perguruan tinggi di
Malang. Pada 19 Desember 1949, Universitas Gadjah Mada didirikan di Yogyakarta sebagai
diantaranya STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen). Dikenal juga sebagai Sekolah
Dokter Jawa di Kwitang yang kemudian berubah jadi Geeneskundig Hoge School di Salemba,
Jakarta19. Lalu, ada sekolah hukum yaitu Recht Hoge School. Lokasinya kini ditempati Kantor
Kementerian Pertahanan RI. Kampus hukum dan kedokteran kolonial tersebut nantinya menjadi
fakultas-fakultas dari UI (Universitas Indonesia). Ada juga sekolah pertanian atau Landbouw
School di Bogor, kini menjadi IPB (Institut Pertanian Bogor). Perguruan Tinggi bidang teknik
ada Technische Hoge School di Bandung yang kini menjadi ITB (Institut Teknologi Bandung)20.
van Nederlandsch Indie. Universitas tersebut menaungi STOVIA, RHS, dan Faculteit der
Letteren en Wijsbegeerte (Fakultas Sastra dan Filsafat)21. Nood Universiteit pada tahun 1947
berganti nama menjadi Universiteit van Indonesie, dan berkedudukan di Jakarta. Menurut laman
resmi Universitas Indonesia, beberapa Guru Besar nasionalis seperti Mr. Djokosoetono,
18
Rifa’i, op.cit., 141-142.
19
Petrik Matanasi, Sekolah-sekolah di Zaman Belanda, https://tirto.id/sekolah-sekolah-di-zaman-belanda-bXbV,
diakses pada 14 Februari 2021 WIB pukul 1.56 WIB.
20
Ibid.
21
Tyson Tirta, Dari Bekas Kampus Kolonial, Lahirlah Universitas Indonesia: https://tirto.id/dari-bekas-kampus-
kolonial-lahirlah-universitas-indonesia-cD4p, diakses pada 28 Maret pukul 04.35 WIB.
32
mengoperasikan Universiteit van Indonesie di Ibukota Republik Indonesia saat itu, Yogyakarta 22.
Pada 1950 setelah melalui serangkaian peristiwa, ditambah dengan kebutuhan pendidikan tinggi
bangsa Indonesia yang mendesak akhirnya Universitas Indonesia resmi berdiri sebagai milik
republik.
Sementara itu, terkait pendidikan di bidang agama khususnya, pemerintah di era tersebut
memberi kebijakan tersendiri kepada Departemen Agama dan mulai resmi berdiri 3 Januari
1946. Adanya Departemen Agama salah satunya untuk memperjuangkan sistem dan kebijakan
pendidikan Islam di Indonesia. Menurut Maksum, secara lebih spesifik implementasi oleh
Departemen Agama tentang hal ini ditangani oleh suatu bagian khusus yang mengurusi masalah
pendidikan agama23.
ini terjadi beriringan dengan pergantian sistem pemerintahan dan situasi politik dalam negeri saat
itu, dengan diterapkannya Demokrasi Parlementer. Pergantian kepala negara yang tadinya
parlementer, kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Era parlementer/ kabinet
pertama, dimulai/dipimpin oleh Sutan Syahrir. Pada 2 Oktober 1946, Suwandi dilantik sebagai
Kebudayaan).
22
Universitas Indonesia, Sekilas Sejarah: http://repository.ui.ac.id/dokumen/lihat/6513.pdf (Depok: Buku Panduan
UI Tahun Akademik 2011/2012, 2011), hlm. 5.
23
Maksum. (1999). Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm.
123.
33
Pada 12 April 1947, Menteri PP & K membentuk sebuah ‘Panitia Penyelidik Pendidikan
dan Pengadjaran RI’ (PPPRI). Ki Hadjar Dewantara, oleh Menteri PP & K (Suwandi), ditunjuk
sebagai Ketua PPPRI tersebut. Singkatnya, PPPRI bertugas meninjau seluruh usaha pendidikan
dan pengajaran di Indonesia. Menteri PP & K di era Kabinet Amir Syarifuddin kemudian
Kebijakan pun berganti, Ali / Menteri PP & K pada 1948 membentuk ‘Panitia Pembantu
Pembentuk Undang2 Pokok Pendidikan dan Pengadjaran’. Sayangnya, agenda panitia tersebut
terhambat oleh situasi revolusi fisik nasional, tepatnya yakni Agresi Militer Belanda II. Hal
tersebut menyebabkan banyak arsip Kementerian PP & K termasuk rencana dari panitia tersebut
diambil oleh Belanda. Menurut Kamadjaja, dengan demikian tidak dapat diketahui lagi sampai
Menurut penulis, banyak arsip Kementerian PP & K termasuk rencana dari panitia
tersebut diambil oleh Belanda, sangat disayangkan. Hal tersebut membuat terdapatnya missing
link yang harus dipecahkan melalui penelitian lebih lanjut dengan menemukan terlebih dahulu
arsip-arsip tersebut, serta membuktikan pendapat Kamadjaja itu. Jika memang benar diambil
oleh Belanda, maka tugas pemerintah dengan menggandeng para sejarawan terutama yang
mendapat kesempatan menempuh pendidikan bidang Sejarah di Belanda/ luar negeri, harus bisa
Berikutnya menurut penulis juga, situasi politik agresi militer yang dilakukan Belanda
tersebut pun mempengaruhi Instruksi Menteri Pengajaran dan Kurikulum Pendidikan (SR dan
sejenisnya) yang telah ada pada 1945 dan 1946. Penulis berasumsi bahwa kedua kebijakan
tersebut tidak dapat diimplementasikan dengan baik, bahkan benar-benar tidak terlaksana.
24
Kamadjaja, Log.Cit., hlm. 82-83.
34
Tentunya asumsi ini harus dibuktikan dengan penelitian lebih lanjut. Namun, penulis sendiri pun
tidak/belum dapat membuktikan sejauh mana penerapan instruksi dan kurikulum tersebut.
Lanjut ke akhir era revolusi kemerdekaan, tepatnya akhir 1949 menjelang KMB
(Konferensi Meja Bundar), Menteri PP & K dijabat oleh Sri Mangunsarkoro. Hal ini beriringan
dengan perubahan kabinet yang dipegang oleh Mohammad Hatta. Pada 17 Oktober 1949,
Mangunsarkoro / Menteri PP & K berpidato dalam sidang BP-KNIP (Badan Pekerja – Komite
Nasional Indonesia Pusat) sebagai Badan Legislatif RI (cikal-bakal DPR RI) saat itu. Ia
berdasar Pancasila.
Rancangan UU tersebut terlaksana di era RIS (Republik Indonesia Serikat), yakni UU no.
Pendidikan dan Pengadjaran disekolah untuk Seluruh Indonesia. UU ini terdiri dari 17 Bab dan
30 Pasal, ditetapkan di Yogyakarta, 2 April 1950 oleh Presiden RI yakni Mr. Asaat dan S.
Adanya UU tersebut menjadi penting sebab terdapat keterbatasan sumber primer dalam
membedah situasi dan berbagai kebijakan pendidikan nasional di masa RIS tersebut. Banyak
penelitian terkait sejarah dan kebijakan pendidikan nasional era ini, selalu mengacu pada UU
tersebut. Namun dari serangkaian pasal tersebut ada beberapa poin penting yang
menggambarkan jiwa UU ini, diantaranya menurut Rifa’i, pada pasal 30 menyatakan bahwa:
25
Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan RI, Undang-Undang No. 4 tahun 1950 RI tentang Dasar-
Dasar Pendidikan dan Pengadjaran disekolah untuk Seluruh Indonesia, Yogyakarta: 2 April 1950.
35
3). Mengajar adalah bebas, dengan tidak mengurangi pengawasan penguasa yang dilakukan
Selain itu, tentang pendidikan agama (Islam), juga ada dalam UU tersebut. Salah satunya
terkait madrasah, sebagai bentuk pendidikan Islam yang paling mendasar. Pengakuan pemerintah
atas madrasah secara resmi diatur dalam UU ini (Undang-Undang No. 4 1950), tentang dasar-
Lebih jelas lagi pada pasal 10 menyebutkan bahwa belajar di sekolah agama yang telah
mendapat pengakuan Departemen Agama, dianggap telah memenuhi kewajiban belajar. Menurut
Mudzakkir, untuk mendapat pengakuan tersebut madrasah harus memberikan pelajaran agama
sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit enam jam seminggu secara teratur, selain mata
pelajaran umum27.
sebagai UU nasional, konteks atau penerapan UU tersebut tidak berlaku ke seluruh Indonesia.
Hal ini karena situasi politik nasional dan internasional dengan adanya KMB lalu perubahan
negara menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat), hingga kembali ke bentuk kesatuan (NKRI)
Di era RIS, RI hanya salah satu negara bagian dalam RIS. UU Pokok Pendidikan dan
Pengajaran RI yang sifatnya nasional terjadi setelah RIS bubar dan kembali/menjadi ke NKRI.
Nantinya baru ditetapkan pada 1954, tepatnya sebagai UU Pokok Pendidikan dan Pengadjaran
Pada 12 Maret 1954, Presiden Sukarno bersama Menteri PP & K yakni Mohammad
Yamin, menetapkan UU Pokok Pendidikan dan Pengadjaran RI no. 12 tahun 1954 yang berisi
26
Rifa’i, Muhammad. (2016).Sejarah Pendidikan Nasional: Dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, hlm. 159.
27
Mudzakkir. (2015). Pendidikan Islam Masa Orde Lama Dan Orde Baru.Al Fatih, 4,55-66.
36
UU no. 4 tahun 1950. Bedanya, jika UU no. 4 tahun 1950 hanya berlaku di Yogyakarta (RI saat
itu), maka melalui UU no. 12 tahun 1954, diberlakukan ke seluruh wilayah RI (yang tidak lagi
‘Pernjataan berlakunja UU No. 4 tahun 1950 dari Republik Indonesia dahulu (era RIS), tentang
terdapat beberapa kekurangan. Pada sidang parlemen pada 27 Januari 1954, internal pemerintah
menjabarkan kekurangan atau kelemahan dari UU tersebut. Salah satu yang berkomentar
kekurangan UU ini dengan melihat perkembangan suasana, pengalaman saat itu serta melihat
Panitia perumus saat itu hanya terbatas pada sekeliling Jogja, belum merepresentasikan
yang baru29. Namun, pada 12 Maret 1954 (tidak sampai sebulan dari sidang parlemen tersebut),
pemerintah melalui Menteri PP & K RI, Mohammad Yamin, bersama Presiden RI Sukarno,
mengesahkan UU tersebut.
tersebut atau rencana revisi UU tersebut. Menurut Kamadjaja, ‘Panitya Negara’ yang
Fakultas Paedagogik Universitas Gadjah Mada 1957-1964 kemudian menjadi Guru Besar IKIP
28
Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan RI, Undang-Undang No. 12 tahun 1954 tentang
Pernjataan berlakunja UU No. 4 tahun 1950 dari Republik Indonesia dahulu (era RIS), tentang Dasar-Dasar
Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia’. Jakarta: 12 Maret 1954.
29
Kamadjaja, Log.Cit., hlm. 85.
37
Yogyakarta), yang menyatakan bahwa UU organik No. 12 tahun 1954 yaitu ‘UU Pokok
Pendidikan dan Pengadjaran’ tidak pernah mengalami perubahan walau telah mengalami
perubahan-perubahan UUD sampai 3 kali (UUD 1945, UUD RIS, UUDS 1950)30 .
Diterapkannya UU Pokok Pendidikan dan Pengadjaran RI no. 12 tahun 1954 ini berlaku
mengelurakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan memberlakukan kembali UUD 1945 serta
Jika ada pertanyaan: kebijakan-kebijakan pendidikan nasional apa saja yang dikeluarkan
oleh pemerintah era Demokrasi Parlementer yang menjadi latar belakang bagi kebijakan
Sukarno mengeluarkan kebijakan baru pada era Demokrasi Terpimpin? Rasanya cukup sulit
Terpimpin hanya ada dua: UU no. 4 tahun 1950 (di era RIS dan awal Demokrasi
2. Situasi politik era transisi RIS kembali ke NKRI hingga sepanjang Demokrasi
Parlementer sangat keras dan tidak stabil, terlalu fokus pada gesekan politik,
pemerintah dengan situasi Perang Dingin (Blok Barat & Timur), perjuangan
30
Ibid., hlm. 201.
38
Barat.
Namun untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada poin penting dalam UU no. 4 tahun
1950 yakni tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan
warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan
tanah air31. Tujuan pendidikan tersebut jika dibandingkan dengan era Demokrasi Terpimpin
terlihat sangat berbeda (baca di bab III: Kebijakan Pendidikan Nasional Era Demokrasi
Terpimpin).
tujuan pendidikan. Hal ini sesuai dengan semangat zaman saat itu, demokrasi liberal. Berbeda
dengan era Demokrasi Terpimpin, menetapkan tujuan dan politik pendidikan nasional secara
BAB III
pendidikan) tidak terlepas dari ideologi-ideologi dunia yang memengaruhi pola pikirnya.
Sukarno menyerap banyak pemikiran, gagasan, konsepsi, ideologi, hingga filsafat dan agama.
31
Mardanas Safwan, PROF.DR. BAHDER DJOHAN: Karya dan Pengabdiannya, Jakarta: Departemen Pendidikan
& Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional,
1985, hlm. 68.
39
Ideologi Sukarno sepanjang sejarah hidupnya sejak pra kemerdekaan hingga berkuasa
penuh di era Demokrasi Terpimpin secara garis besar dapat dibagi menjadi beberapa konsepsi
Kemudian, dari ragam pembagian konsepsi Sukarno tersebut, dapat terlihat berbagai kebijakan di
pemerintahan saat Sukarno berkuasa, selalu berdasar ajaran-ajarannya itu, termasuk di bidang
pendidikan hingga ia menerapkannya dalam kebijakan pendidikan. Seperti yang telah ditulis atau
disampaikan pada bab I tentang pendekatan dan kerangka konseptual, tokoh-tokoh yang
Cokroaminoto, KH. Ahmad Dahlan, hingga Abraham Lincoln. Pemikiran mereka dapat
dibuktikan nantinya dengan karya tulisan Sukarno tentang pendidikan sejak masa kolonial
melalui berbagai surat kabar yang dihimpun dalam buku DBR (Dibawah Bendera Revolusi)
mulai sekitar 1964. Salah satu judul karya tulis Sukarno tentang pendidikan secara terang-
Pemikiran Sukarno tidak dapat dilepaskan dari Marxisme. Ia memang tokoh dan
konsisten sebagai nasionalis. Presiden Republik Indonesia pertama itu berkali-kali membantah
bahwa ia bukan komunis, sebagaimana banyak tuduhan di alamatkan padanya. Namun ia juga
seringkali mengingatkan untuk tidak anti-komunis, apalagi terhadap Marxisme. Sukarno sendiri
pun sejak mudanya sudah gandrung akan Marxisme. Pembelajaran tentang Nasionalisme oleh
rakyat Indonesia. Ia terpengaruh oleh pemikiran Karl Marx dan Engels yakni Sosialisme ilmiah.
Ajaran Marx tersebut kemudian berkembangan dan disebut sebagai Marxisme. Ide tersebut
menjadi esensial sebab Marxisme menjadi metode analisa relasi sosial 32, pisau analisis dan
ideologi perjuangan yang bertujuan melawan Kapitalisme dan Imperialisme. Nasionalisme yang
Karl Marx sendiri adalah seorang filsuf, ideolog, ekonom, sejarawan, sosiolog, dan
penulis yang mewakafkan hidupnya untuk mempelajari dan membedah Kapitalisme serta
merumuskan Sosialisme yang akademis, dikenal juga sebagai Sosialisme ilmiah 33. Marx lahir
pada 1818 di Trier, Jerman34. Ia awalnya terpengaruh oleh filsuf G.W.F. Hegel (1770-1831),
dengan filsafat Idealismenya35. Namun kemudian Marx berbalik ke filsafat Materialisme dan
menolak Idealisme karena terpengaruh oleh Ludwig Feurbach, salah satu pelopor filsafat
Materalisme. Marx pun melampaui Feurbach mengenai pandangan bahwa kondisi material
seseorang hidup, pada kenyataannya menciptakan mereka melihat dan memahami dunia36.
Satu hal yang sering menjadi bumerang bagi para marxis ialah implementasi Marxisme
yang dilengkapi dengan Leninisme menjadi Komunisme, di berbagai negara seperti Uni Soviet
dan Tiongkok, atau tepatnya ialah Blok Timur. Marxisme menjadi dogma. Pada
setelah berkembangnya Stalinisme. Che Guevara adalah salah satu tokoh Marxis yang menolak
32
Leon Trotsky, Revolusi Permanen: Teori Revolusi Sosialis untuk Dunia Ketiga, (Yogyakarta: Resist Book, 2013),
hlm. 52.
33
Maj. Moch. Said, Pedoman untuk Melaksanakan Amanat Penderitaan Rakjat, (Surabaya: Permata, 1961), hlm.
916.
34
Arif Rahman & Adi “Pay” Prabowo, Das Kapital for Beginners: The Mannifest of Indonesian Economics,
(Yogyakarta: Narasi, 2013), hlm. 56.
35
Rupert Woodfin, & Oscar Zarate, Mengenal Marxisme (Marxisme untuk Pemula), (Yogyakarta: Resist Book,
2008), hlm. 12-15.
36
Ibid., hlm. 6-7
41
hal ini dengan menentang cara Marxisme ditafsirkan dan diterapkan di blok sosialis. Che
Sukarno secara garis besar pemikiran mengenai Marxisme, sama seperti Che Guevara,
bahkan jauh sebelum Che berpandangan demikian. Corak dan cara berpikir Sukarno lebih
condong pada sinkretis. Ia memadukannya dengan Nasionalisme yang bersumber dari pemikiran
Ernest Renan, serta agama (Islam) yang ia anut. Sukarno menjadikan Marxisme sebagai pisau
analisis saja, bukan sebagai dogma mutlak dan kaku. Sukarno sebagai marxis, tidak sampai
menjadi seorang komunis. Namun dari marxis, Sukarno belajar menjadi nasionalis yang selalu
menempatkan Sosialisme dalam tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di dunia
atau bidang pendidikan. Hal ini nampak sekali dalam berbagai kebijakan pemerintahan Sukarno
di bidang pendidikan (sistem pendidikan nasional), yang dijelaskan pada bab selanjutnya.
Wujud dari paduan tiga ideologi tersebut membuat satu wadah/platform politik yakni
Pemikiran persatuan ketiga ideologi tersebut telah digagas atau disusun oleh Sukarno sejak era
pergerakan nasional. Pada 1926 Sukarno menulis artikel di surat kabar Suluh Indonesia Muda,
yakni “Nasionalisme, Islamisme, Marxisme”. Tulisan tersebut fenomenal dan menjadi penanda
pemikiran Sukarno tentang ketiganya yang harus bersatu demi kemerdekaan Indonesia. Setelah
kemerdekaan, Sukarno tetap konsisten pada konsepsi tersebut hingga benar-benar dapat
diwujudkan dalam pemerintahan di era Demokrasi Terpimpin. Kebijakan dari konsepsi tersebut
bertujuan untuk mempersatuan tiga kekuatan politik terbesar di Indonesia saat itu (terutama
setelah Pemilihan Umum 1955) yaitu kelompok nasionalis (direpresentasikan oleh PNI),
kelompok islam (direpresentasikan oleh NU, karena Masyumi membubarkan diri setelah
Sukarno dalam pidatonya yakni “Djalannya Revolusi Kita (17 Agustus 1960)”,
menyampaikan:
“Bukalah tulisan-tulisan saja dari zaman pendjadjahan. Batjalah tulisan saja pandjang lebar
dalam madjalah Suluh Indonesia Muda tahun 1926, tahun gawat-gawatnja perdjoangan menetang
Belanda. Di dalam tulisan itu pun saja telah mengandjurkan dan membuktikan dapatnja persatuan
Sukarno mewujudkan persatuan ketiga aliran, ideologi, dan kelompok tersebut dalam konsepsi
Nasakom era Demokrasi Terpimpin dengan membentuk Front Nasional. Posisi-posisi strategis
dalam pemerintahan nasional/pusat juga diisi oleh ketiganya. Di Dewan Nasional, Sukarno
mengklaim bahwa kalangan nasionalis, islam, dan komunis berjalan dengan baik. Di DPA
(Dewan Pertimbangan Agung), gembong ketiganya ada di sana. Di Depernas (Dewan Perancang
Nasional) juga terisi oleh ketiga kelompok tersebut. Terutama sekali di MPR-S (Majelis
Kaitan antara konsepsi Nasakom ini dengan Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) era
Demokrasi Terpimpin, salah satunya ada dalam Penpres (Penetapan Presiden) RI no. 19 tahun
1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila, tepatnya pada Bab III
kepercayaan dan rasa taqwa pada Tuhan Yang Maha Esa secara berkeadaban adalah karakteristik
bangsa Indonesia. Hal ini juga mengacu pada TAP MPRS No. II/ MPRS/ 1960 Bab II pasal 2
ayat 3 dan lampiran A 338, dan semangat toleransi terhadap keyakinan masing-masing sebagai
38
Soeripto (penyusun). 7 Bahan Indoktrinasi Republik Indonesia. (Grip: Surabaya, 1961), hlm. 172.
39
Ibid., hlm. 173.
43
karakteristik yang lain bangsa Indonesia dalam membentuk manusia Indonesia baru yang berjiwa
Nasakom.40
dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit ini mengacu pada keputusan Sukarno sebagai
Presiden RI untuk membubarkan parlemen yang selama sembilan tahun (sejak 1950) dianggap
gagal dalam menjalankan pemerintahan. Sistem pemerintahan Indonesia sepanjang 1950 hingga
negara karena tidak kunjung sepakat. Pemerintahan juga silih-berganti kabinet berkali-kali
(Kabinet Natsir hingga Djuanda). Lalu juga terdapat banyak pergolakan/konflik dalam negeri
(Tragedi Westerling, DI/TII, hingga PRRI-Permesta). Hal-hal itu yang membuat Sukarno
mengambil alih pemerintahan, mengubah sistem parlementer menjadi presidensial dan menjadi
Satu bulan setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, tepatnya pada Peringatan Hari Proklamasi
17 Agustus 1959, Sukarno menyampaikan pidato yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi
Kita (Manifesto Politik)”. Pidato tersebut menjabarkan tentang konsepsi politik nasional yang
disampaikan Sukarno dan kemudian menjadi landasan utama pemerintahan Indonesia. Konsepsi
Presiden Sukarno tersebut kemudian dikenal sebagai Manipol-Usdek. Secara singkat, alur
40
Kamadjaja, log.cit., hlm. 122.
44
Isi dari Manipol pada Agustus dan September 1959 diperinci oleh DPA (Dewan
pokok dari Revolusi Indonesia. Ketiga, program umum Revolusi Indonesia41. Sementara, Usdek
sendiri bermakna:
1. UUD 1945
2. Sosialisme Indonesia
3. Demokrasi Terpimpin
4. Ekonomi Terpimpin
5. Kepribadian Indonesia42
Makna relasi/hubungan antara Manipol dan Usdek, yakni Sukarno menegaskan bahwa jika
rakyat Indonesia pro terhadap UUD 1945, maka meningkat kepada hal kedua yakni Sosialisme
Indonesia. lalu, jika rakyat Indonesia sepakat dengan Sosialisme Indonesia, maka rakyat
maka ekonomi yang dijalankan rakyat Indonesia adalah Ekonomi Terpimpin. Serta, jika
semuanya telah dijalankan, maka hal tersebut mencerminkan kepribadian dan kebudayaan bangsa
Hubungan antara konsepsi Manipol-Usdek ini dengan konteks dan kebijakan pendidikan
bangsa jang buta-huruf?”, saja komandokan sekarang, supaja buta-huruf itu habis
41
Roeslan Abdulgani, PENDJELASAN MANIPOL DAN USDEK, (Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1960), hlm. 21-
22.
42
Ibid., hlm. 9.
43
Ibid.
45
sama sekali pada achir tahun 1964! Dan saja komandokan kepada semua sekolah-
Dari hal tersebut secara singkat dapat ditarik benang merah, bahwa pendidikan yang
dijalan Sukarno di era Demokrasi Terpimpin, beriringan dengan tujuan serta langkah politiknya.
Dapat juga dikatakan, bahwa pendidikan nasional Indonesia dijalankan secara indoktriner,
ideologis, politis, dan dogmatis sesuai satu penafsiran dan satu ajaran tunggal, ajaran Sukarno.
Perubahan situasi politik pasti berdampak pada perubahan kebijakan dalam pemerintahan
parlementer, atau dikenal juga sebagai era Demokrasi Parlementer. Namun pada 5 Juli 1959,
Sejak itu situasi politik yang telah berubah, berdampak pula pada kebijakan
dan melalui mekanisme parlemen. Maka di era Demokrasi Terpimpin, semua terpusat di tangan
Perubahan kebijakan dalam pemerintahan tersebut juga terjadi di bidang pendidikan. Era
kekuasaan Sukarno ini (Demokrasi Terpimpin), para menteri diangkat oleh Presiden, dan nama
44
Keputusan Dewan Pertimbangan Agung Tentang Perintjian ‘Djalannya Revolusi Kita (Djarek)’ Jang Diutcapkan
Oleh Presiden Soekarno Pada Tanggal 17 Agustus 1960, 19 Januari 1961, poin no. 7.
46
tepatnya pemisahan yakni antara bidang Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) dengan
Saat itu, Sukarno menujuk Prijono sebagai Mendikdasbud (Menteri PDK). Prijono
kemudian menetapkan kebijakan yakni ‘Sapta Usaha Tama’, berisi berbagai peraturan tentang
pimpinan sekolah. Ia juga menerapkan ‘Panca Wardhana’, yakni lima macam perkembangan
anak yang menjadi dasar-dasar pelaksanaan tugas di sekolah. Prijono juga membentuk Majelis
Pada era ini juga (Demokrasi Terpimpin), negara menafsirkan ideologi nasional melalui
Civics dalam dunia pendidikan Indonesia. Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan
(PP & K) menerbitkan salah satu bukunya yakni Civics, Masyarakat dan Manusia Indonesia
Secara singkat, buku tersebut berisi tentang Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia,
Pancasila, UUD 1945, Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin, Konferensi Asia-Afrika, Hak dan
Kewajiban Warga Negara, Manifesto Politik, Laksana Malaikat, serta berbagai lampiran Dekrit
Ditambah dengan Pidato Lahirnya Pancasila, materi tentang Panca Wardana, dan
Declaration of Human Rights. Berikutnya, pidato-pidato lainnya dari Presiden Sukarno dalam
“Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi” (Tubapi) dan UDHR dan kebijakan Panca Wardhana dari
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yakni Prijono. Menurut Samsuri, buku-buku
nomenklatur mata pelajaran: Kewarganegaraan (1957), dan Civics (1961). Samsuri menilai, mata
pelajaran Kewarganegaraan (1957) lebih condong membahas cara memperoleh dan kehilangan
kebangkitan nasional, UUD 1945, pidato-pidato politik kenegaraan, terutama untuk Nation and
Character Building bangsa Indonesia seperti pelajaran Civics di Amerika Serikat pada tahun-
Mata pelajaran Civics kemudian diganti menjadi “Kewargaan Negara” pada 1962. Lalu
pada Kurikulum 1968 ditetapkan secara resmi menjadi “Pendidikan Kewargaan Negara.” Di
dalam kurikulum ini, penjabaran Pancasila sebagai pokok bahasan dianggap mengedepankan
kajian tata negara dan sejarah perjuangan bangsa, sedangkan aspek moralnya dianggap belum
nampak48. Kajian Pendidikan Kewargaan Negara untuk masing-masing jenjang juga pada
meliputi beberapa program, yakni Sejarah Indonesia, Civics, dan Ilmu Bumi. Untuk jenjang SMP
(Sekolah Menengah Pertama), Mata Pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara meliputi beberapa
Merdeka (30%), dan UUD 1945 (40%). Lalu untuk jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas),
Mata Pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara meliputi beberapa program pembelajaran yang
47
Ibid., hlm. 92.
48
Aman, Sofyan, dkk., Pedoman Didaktik Metodik Pendidikan Moral Pancasila untuk para Guru SD, SLTP dan SLTA,
(Jakarta: PN Balai Pustaka, 1982), hlm. 11.
49
Somantri, M. N., Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, (Bandung: Rosda Karya, 2001), hlm. 284-285.
48
pemerintah di bidang pendidikan yang secara langsung diputuskan oleh Presiden Sukarno baru
diterapkan pada 1964 melalui Keputusan Presiden RI No. 224 Tahun 1964. Pada berkas
keputusan tersebut tertulis bahwa Presiden Sukarno menimbang sesuai dengan ketentuan kalimat
ke-2 dari Keputusan Presiden No. 180 Tahun 1964, dipandang telah tiba waktunya untuk segera
Presiden Sukarno juga berdasar pada Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 serta Keputusan Presiden
No. 180 Tahun 1964 tersebut, maka memutuskan untuk menetapkan pembentukan Panitia
berikut:
● Anggota:
- Dr. M. Isa
- Asmara Hadi
- Emma Puradiredja
- Wasit Suwarto
- I.J. Kasimo
Negara tersebut dikerjakan oleh Sekretariat DPA (Dewan Petimbangan Agung) RI. Kemudian
biaya pengeluran dari panitia tersebut dibebankan kepada Anggaran Belanja Pemerintahan
Agung. Keputusan Presiden tersebut berlaku sejak ditetapkan, yakni pada 7 September 1964 50.
Beberapa peta perjalanan hingga Keputusan Presiden tersebut diterapkan, bermula dari
- Pendidikan sebagai produsen tenaga kerja dalam semua bidang dan tingkatan
50
Arsip/naskah Keputusan Presiden RI No. 224 Tahun 1964.
50
menggunakan undang-undang yang lama, yakni UU Pokok Pendidikan dan Pengadjaran RI no.
12 tahun 1954. Diterapkannya Ketetapan MPRS RI No. II Tahun 1960 tentang pendidikan
membuat pemerintah melalui Presiden segera membuat kebijakan yakni Keputusan Presiden RI
No. 224 Tahun 1964 (Pembentukan Panitia Negara – Panca Wardhana). Setahun berikutnya,
landasan hukum tentang pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin semakin diperkuat
dengan Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan
Nasional Pancasila.
Anggaran Belanja, dan Komposisi Majelis Pendidikan Nasional. Lalu Keputusan Presiden RI
No. 232 Tahun 1965 tentang Pengangkatan para Wakil Ketua, para Anggota dan Sekretaris
Umum Majelis Pendidikan Nasional, Keputusan Presiden RI No. 145 tentang Nama dan
Rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional, serta No. 146 tentang Pembentukan Majelis
Pendidikan Nasional.
Pentingnya Ketetapan MPRS RI No. II Tahun 1960 sebagai landasan hukum awal
tentang pendidikan hingga kemudian diteruskan dengan berbagai kebijakan Presiden Sukarno
secara eksekutif dapat dilihat dengan pembagian beberapa bidang, yakni Pendidikan, Perguruan
TAP MPRS RI No. II Tahun 1960 menjadi landasan yang paling utama sebelum Presiden
Sukarno menerapkan berbagai kebijakan seperti Perpres, Penpres, dan Keppres terutama di
51
Ketetapan MPRS RI No. II Tahun 1960.
52
Kamadjaja, log.cit., hlm. 149-152.
51
bidang pendidikan. Hal ini menarik karena saat itu MPRS dan DPR-GR sebagai lembaga
legislatif justru sangat mendukung Presiden Sukarno. Jadi bisa dianalogikan pola perjalanan
2. Didukung lembaga legislatif (MPRS & DPR-GR) melalui TAP MPRS 1960
Pentingnya TAP MPRS 1960 sebagai legitimasi kebijakan Presiden Sukarno di era
Demokrasi Terpimpin terjadi karena TAP tersebut adalah pijakan Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) serta Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB). Khusus PNSB
tersebut, Presiden Sukarno yang didukung MPRS sebenarnya telah merancang beberapa tahap
seperti Tahapan Pertama 1961-1969. Namun sayang, belum sampai 1969, rezim Presiden
Terkait kebijakan pendidikan nasional yang berlandas pada TAP MPRS 1960 dapat
dilihat pada Bab II tentang Ketentuan Umum. Pasal 2 yakni Bidang Mental/Agama/
Kerohanian/Penelitian. Beberapa poin dari pasal tersebut yang dapat dianalisa diantaranya,
dan menolak pengaruh budaya asing. Kedua, menetapkan Pancasila dan Manipol sebagai mata
pelajaran di berbagai jenjang pendidikan dari pendidikan rendah hingga perguruan tinggi.
Berikutnya, menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah mulai dari
sekolah rakyat (dasar) hingga Universitas negeri dengan pengertian bahwa murid berhak tidak
52
ikut serta, jika wali murid menyatakan keberatannya. Kemudian, membina sebaik-baiknya
pembangunan rumah ibadah dan lembaga keagamaan. Selanjutnya yang cukup penting dan tepat
pendidikan nasional yang tertuju pada pembentukan tenaga ahli dalam pembangunan, sesuai
dengan syarat manusia Sosialis Indonesia (versi rezim politik saat itu).
Pemerintah juga mengusahakan agar segala bentuk dan perwujudan kesenian menjadi
milik seluruh rakyat, bahkan berupaya untuk menyiarkan sifat-sifat atau nuansa kebudayaan
kebijakan pendidikan dan penelitian disesuaikan dengan politik luar negeri bebas-aktif,
alur historisnya yakni masih sama berdasar TAP MPRS RI No. II Tahun 1960, lalu diwujudkan
dengan membuat Majelis Pendidikan Nasional melalui Keppres (Keputusan Presiden) RI No.
146 Tahun 1965 tentang Pembentukan Majelis Pendidikan Nasional, beriringan dengan Keppres
RI No. 145 Tahun 1965 tentang Nama dan Rumusan-induk Sistem Pendidikan Nasional
Pancasila.
Pada Keppres RI No. 146 Tahun 1965 tentang Pembentukan Majelis Pendidikan
Pancasila yang bertugas untuk merencanakan, membina, dan mengawasi pelaksanaannya. Secara
53
TAP MPRS RI Tahun 1960, BAB II, Pasal 2.
53
struktur, Presiden Sukarno menjadi Pengajom Agung, lalu Menteri/Wakil Ketua II DPA, Ketua
sebagai Ketua merangkap Anggauta. Ketua tersebut juga diinstruksikan untuk menyusun tugas,
wewenang, kedudukan, anggaran belanja, komposisi dan personalia dari majelis tersebut54.
Lalu untuk Keppres RI No. 145 Tahun 1965 tentang Nama dan Rumusan-induk Sistim
Pendidikan Nasional Pantjasila, Sukarno menjelaskan kebijakan ini untuk mendukung dan
melaksanakan Keppres RI No. 224 Tahun 1964 pasal pertama dari bagian kedua, maka
dipandang perlu untuk segera memberi nama dan menetapkan rumusan-induk dari Sisdiknas,
sebelumnya). Keppres ini juga berlandas pada Pidato Presiden Sukarno tanggal 17 Agustus 1964,
serta TAP MPRS RI No. VI/MPRS/1965. Pada Keppres ini, Sukarno menetapkan penamaan
tersebut yakni:
- Mukadimah
54
KEPPRES (Keputusan Presiden) RI No. 146 Tahun 1965 tentang Pembentukan Madjelis
Pendidikan Nasional.
55
KEPPRES (Keputusan Presiden) RI No. 145 Tahun 1965 tentang Nama dan Rumusan-induk
Sistim Pendidikan Nasional Pantjasila.
54
Sistem Pendidikan Nasional Pancasila, Presiden Sukarno merasa perlu mempertegas dan
- Sistem pendidikan merupakan unsur mutlak dari Nation and Character Building
(Pembentukan Panitia Negara – Panca Wardhana) pasal pertama dari bagian kedua
Penetapan Presiden56.
adalah dengan diyakinkan oleh konsepsi Manipol. Hal tersebut mengacu pada Bab I dalam
Ketentuan Umum, Mukadimah Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
kebijakan pendidikan nasional adalah amanat revolusi yang belum selesai, sehingga harus
dipertegas oleh Presiden Sukarno pada Pasal 1 Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965
Lalu, juga merupakan manifestasi atau perwujudan persatuan bangsa dan wilayah
Indonesia. Berikutnya, juga menjadi perasan kesatuan jiwa sebagai Weltanschauung bangsa
Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional
56
Pancasila.
55
Indonesia dalam penghidupan nasional dan internasional. Hal tersebut menjadi dasar bagi
Dari Penpres tersebut juga menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah
melahirkan warga negara Sosialis Indonesia yang baik (susila), bertanggungjawab atas
terlaksananya Sosialisme Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun materialnya serta
berjiwa Pancasilais. Di Pasal 3 Penpres tersebut juga membahas tentang isi moral pendidikan
nasional, yakni kolaborasi antara dasar negara (Pancasila) serta konsepsi Presiden Sukarno
(Manipol-Usdek). Satu hal yang menarik, yakni hal tersebut (seluruh arahan dan instruksi serta
konsepsi) berlaku tidak hanya bagi penyelenggara pendidikan dari pemerintah (negeri), namun
Nuansa politis, ideologisasi serta indoktrinasi dalam kebijakan Sisdiknas Indonesia era
Demokrasi Terpimpin yang secara langsung dilakukan oleh Presiden Sukarno semakin nampak
nyata pada Pasal 4 yakni Politik Pendidikan Nasional. Ia menegaskan bahwa landasan politik
Selanjutnya, bahwa garis dan strategi dasar pelaksanaan pendidikan ‘Nasional-Demokratis’ harus
melahirkan patriot yang komplit: berdasar Pancasila dan Manipol-Usdek, menentang segala
bentuk penghisapan manusia atas manusia, bangsa atas bangsa. Lebih konkrit lagi, Presiden
- Imperialisme
- Feodalisme
- Kapitalisme.
56
Sukarno melalui Penpres yang ditandatanganinya ini menjadi anomali di lain sisi. Satu
sisi, ia memonopoli keputusan, makna, pandangan dan sikap politik dalam kebijakan pendidikan
nasional dengan mewajibkan pemerintahan secara nasional seluruh konsepsinya tersebut. Namun
Anomali yang dimaksud adalah jika kita berkaca pada politik pendidikan nasional, menentang
paham-paham yang ‘dilarang’ negara seperti Kapitalisme, Feodalisme, Kolonialisme dan Neo-
menjalankan pendidikan secara bebas sesuai aliran politik, jika negara justru melarang
beberapa aliran politik secara tertulis dalam peraturannya? Selayaknya konsep demokrasi yang
sebenarnya, yakni kebebasan tanpa campur tangan atau intervensi negara (Liberalisme),
demokrasi yang dijalankan Sukarno ini adalah demokrasi terbatas dan terpusat dengan intervensi
Presiden. Namun, satu hal yang harus diapresiasi dalam Penpres ini adalah kebebasan
menjalankan dan menerapkan pendidikan (selain aliran politik), juga sesuai aliran agama dan
kepercayaan masing-masing.
secara khusus dijalankan oleh Departemen Agama, khususnya Islam sebagai agama mayoritas
dan salah satu bentuknya adalah madrasah. Sayangnya, sulit menemukan sumber tentang
penerapan pendidikan agama dan kepercayaan lain di luar Islam di era Demokrasi Terpimpin.
Menarik jika ada penelitian selanjutnya yang secara lebih fokus membahas hal tersebut
(penerapan kebijakan pendidikan agama secara nasional di era Demokrasi Terpimpin, ataupun
Pasal 5 Penpres tersebut, menarik sebagai bahan renungan untuk saat ini. Bahwa Presiden
Sukarno menegaskan pentingnya toleransi umat beragama termasuk di ranah pendidikan. Pada
Pasal 5 secara tegas menyebut bahwa Sisdiknas Indonesia diperkenankan, disesuaikan, serta
dijalankan dengan/sesuai aliran politik dan keyakinan agama masing-masing dalam rangka dasar
negara Pancasila dan konsepsi Manipol-Usdek sebagai satu kesatuan. Hal ini cukup untuk
mengklarifikasi bahwa konsepsi Manipol-Usdek Presiden Sukarno bukan buatan kaum Komunis,
atau bukan karena desakan atau pengaruh dari PKI, yang sering dinegasikan sebagai kelompok
atheis dan anti-agama (hal ini menarik untuk diperdebatkan dalam diskursus ideologi dan
politik).
Lalu pada Pasal 6 Penpres ini, menyebutkan tentang pihak-pihak mana saja yang
harmonis antar elemen tersebut demi tercapainya tujuan pendidikan nasional. Kemudian, terkait
- Pendidikan Biasa
- Pendidikan Khusus
- Pendidikan Kemasyarakatan
Di era ini, belum ada jenis sekolah ‘kejar paket’ seperti saat ini. Pemerintah
mengantisipasi warga negara yang tidak dapat menyelesaikan SD atau SM (Menengah) dengan
58
Pemerintah di tangan Presiden Sukarno juga memberikan perhatian terhadap kaum difabel
Berikutnya, pada bagian II Pasal 13 dapat dilihat bahwa jika pada sekarang terdapat
PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), maka di era Demokrasi Terpimpin ada yang
namanya jenis Pendidikan Kemasyarakatan yang sejalan/sejenis dengan tipe PKBM. Fungsinya
sama, yakni bagi warga negara yang tidak sempat dididik pada salah satu jenis lembaga
Lalu, landasan hukum mengenai tipe/jenis lembaga pendidikan yang saat ini lebih dikenal
dengan LKP (Lembaga Kursus dan Pelatihan) dan sejenisnya, di era Demokrasi Terpimpin
terwadahi dengan nomenklatur Pendidikan Diluar Hubungan Sekolah. Pada Bagian II Pasal 14
dijelaskan, bahwa kegiatan pendidikan di luar hubungan sekolah sebagai bagian dari pendidikan
untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, diselenggarakan oleh para penyelenggara menurut
bidang, hak, kewajiban, serta masing-masing wewenang. Tipe/jenis pendidikan ini lebih condong
atau melepaskan ke pihak swasta atau non-pemerintah. Seperti yang tercantum pada Pasal 15,
yakni pendidikan di luar hubungan sekolah tersebut dilakukan di lingkungan rumah tangga
Pada Bab III di Pasal 16 dan 17, Presiden Sukarno melalui Penetapan tersebut berikutnya
menegaskan tentang kurikulum pendidikan atau persekolahan. Di era ini, semua kegiatan
pendidikan nasional (di dalam dan di luar hubungan sekolah) diatur dalam Kurikulum
secara lebih jelasnya, meliputi seluruh pengaruh yang didapat peserta didik atas pimpinan
lembaga pendidikan/sekolah.
sangat terasa berikutnya pada jiwa kurikulum pendidikan/persekolahan yang diwajibkan untuk
dijalankan. Seperti yang tertera pada Pasal 18, diantaranya yakni semangat mengemban Ampera
dan diridhoi Tuhan Yang Maha Esa. Lalu, semangat Demokrasi Terpimpin (diklaim)
mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Semangat cinta bangsa dan tanah air dan semangat
kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, berkepribadian dan berkebudayaan nasional
juga dimasukkan.
bangsa di dunia atas semangat Nefo (New Emerging Forces) untuk membangun dunia baru yang
bebas dari Imperialisme, Kolonialisme dan Neo-Kolonialisme. Serta, kepercayaan dan rasa
taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa secara berkeadaban sebagai karakteristik bangsa Indonesia,
sesuai dengan Ketetapan MPRS No. II/ MPRS/1960 Bab II Pasal 2 Ayat 3 dan lampiran A338,
dan semangat toleransi terhadap keyakinan masing-masing sebagai karakteristik yang lain
bangsa Indonesia dalam membentuk manusia Indonesia baru jang berjiwa Nasakom57.
Penetapan Presiden ini juga dilengkapi penjelasan dan pedoman pelaksanaannya serta
pembentukan Majelis Pendidikan Nasional sebagai badan tertinggi penentu kebijakan tentang
pendidikan. Lebih jelas lagi, Penpres tersebut mulai berlaku sejak ditetapkan yakni 25 Agustus
57
Bab III Pasal 18, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem
1965. Ditandatangani oleh Presiden Sukarno dan diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara
Setelah Penetapan Presiden tentang Sisdiknas ditetapkan, di hari yang sama (25 Agustus
1965), Sukarno membuat dan menetapkan juga Perpres (Peraturan Presiden) RI No. 14 Tahun
1965. Perpres tersebut mempertegas kembali serta menjabarkan dari pembentukan Majelis
Pendidikan Nasional yang telah dibuat melalui Keppres (Keputusan Presiden) RI No. 146 Tahun
anggaran belanja, dan komposisi Majelis Pendidikan Nasional, diantaranya sebagai berikut:
● Wewenang: memiliki hak dan kuasa untuk menentukan kebijakan pendidikan di segala
bidang
● Kedudukan: menjadi lembaga tertinggi dalam bidang pendidikan nasional, serta di bawah
Perpres tersebut kemudian diperkuat dengan Keppres (Keputusan Presiden) RI No. 232
Tahun 1965 tentang Pengangkatan para Wakil Ketua, Anggota-anggota dan Sekretaris Umum
Majelis Pendidikan Nasional. Singkatnya, Keppres ini ditetapkan dalam rangka melaksanakan
Pasal 21 Perpres RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional
58
Perpres (Peraturan Presiden) RI No. 14 Tahun 1965
61
Pancasila dan Pasal Keenam Ayat 3 Perpres RI No. 14 Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan
Nasional.
Tujuannya yakni demi penentuan atau agar segera menentukan Personalia (orang-orangnya)
yang terdiri dari berbagai jabatan: Wakil Ketua, para anggota, serta Sekretaris Umum dari
Majelis Pendidikan Nasional tersebut. Presiden Sukarno menetapkan Perpres ini dengan
mengingat TAP MPRS RI No. II/MPRS/1960, Pidato Presiden RI tanggal 17 Agustus 1964,
Keppres RI No. 224 Tahun 1964, Keppres RI No. 146 Tahun 1965, Penpres RI No. 19 Tahun
❖ Anggota:
- Menko/Menteri yang berhubungan dengan bidang Pendidikan dan Wakil Komisi Pendidikan
DPR-GR: Prof. Prijono, K.H. Saifuddin Zuchri, Prof. Ruslan Abdulgani, Artati Marzuki
Soedirjo, Brigjend. Dr. Sjarif Thayeb, Maladi, Dr. Soemarno S., Drs. M. Achadi, Ipik
Gandamana, Prof. Soedjono Djoened P., Drs. Soerjadi, Jusuf Muda D., Mardanus, Brigjend.
M. Wonojudo.
- Wakil Partai Politik: Arudji Kartawinata, JCT. Simorangkir, IJ. Kasimo, Ratu Aminah H.,
- Wakil Golongan Fungsionil: Nyi Hadjar Dewantara, Asmu, Martiman, PA Harahap, Djamin,
Hasjim Ning, Kusno Utomo, Saroso Hurip, Soebroto, Tudjimah, Notohamidjojo, L. Soekoto,
IGB. Soegriwa, Armunanto, Busuno Wiwoho, Prof. Baroroh Baried, Hoo Kian Lam,
Keppres (Keputusan Presiden) RI No. 232 Tahun 1965 tentang Pengangkatan para Wakil
59
Soekarno Iskandar, Prof. Slamet Iman S., Sodiarto, Chaerun Caropeboka, RAJ. Soedjasmin,
Said Budaeri, Satyagraha, Zaini Mansur, Mahbub Djunaidi, Emma Puradiredja, Santoso.
- Wakil Daerah: M. Isa, Doel Arnowo, Tjilik Riwut, Andi Pangerang Daeng Rani, AB. Mboi,
Hal yang menarik dan penting untuk dianalisa dalam pembentukan Majelis Pendidikan
Nasional tersebut adalah terdapat perwakilan dari masing-masing elemen. Diantaranya dari para
menteri dan DPR-GR, wakil partai politik, wakil golongan fungsionil/akademisi, hingga wakil
daerah, yang telah dijabarkan. Presiden Sukarno nampak ingin membuktikan keseriusannya
Terlihat ia ingin menunjukkan bahwa urusan pendidikan adalah urusan bersama, tidak
hanya Kementerian dan Dinas Pendidikan saja. Namun di sisi lain, keterlibatan banyak pihak
hingga dari kalangan militer serta partai politik membuat pertanyaan baru: “untuk apa pihak-
pihak yang berada di luar koridor pendidikan atau yang tidak/bukan memiliki latarbelakang
Sisi positifnya, Presiden Sukarno dapat dianggap benar-benar serius dalam mengelola
pendidikan nasional. Ia menjadikan pendidikan sebagai unsur yang sangat penting dalam
banyak pihak hingga wakil dari berbagai daerah. Namun di sisi lain, kritik terhadap Presiden
Sukarno terkait hal tersebut juga dapat disampaikan bahwa ia terlalu politis dalam mengelola
pendidikan nasional. Presiden Sukarno nampak mementingkan sisi prestisiusnya dibanding fokus
pada kebijakan intinya. Keterlibatan banyak pihak dalam satu bidang seperti pendidikan
63
nasional, justru membuat pelaksanaan kebijakan tersebut tidak akan fokus karena banyak pihak
yang berkepentingan.
Melihat dari suasana politik saat itu dapat juga diasumsikan bahwa Presiden Sukarno
ingin membuktikan bahwa kebijakannya (dalam hal ini, pendidikan) diikuti dan dituruti serta
didukung seluruh elemen masyarakat yang tentu sejalan dengan garis politiknya. Kritik
berikutnya terhadap kebijakan pembentukan Majelis Pendidikan Nasional tersebut adalah bahwa
Presiden Sukarno justru mempersempit ruang gerak akademisi dengan ikut melibatkan politisi
partai dan militer, sehingga nampak pihak fungsionil/akademisi bukan menjadi peran yang
Pada perjalanannya, Majelis Pendidikan Nasional yang dibentuk Presiden Sukarno tidak
bertahan lama. Karena beberapa waktu/bulan setelahnya, terjadi huru-hara G30S 1965. Setelah
peristiwa itu, kebijakan negara tidak banyak dapat diimplementasikan karena pemerintah fokus
Pada sub-bab sebelumnya telah dijelaskan tentang pentingnya TAP MPRS No. I dan II
Tahun 1960 sebagai salah satu landasan hukum kebijakan pendidikan nasional di era Demokrasi
(Pembangunan Nasional Semesta Berencana) Tahap Pertama 1961-1969. Dampak dari TAP
MPRS 1960 yang menjadi landasan kebijakan pendidikan nasional era Demokrasi Terpimpin
tersebut yakni pemerintah membangun banyak sekali pembangunan terkait bidang pemerintah.
Maluku.
Proyek ini menelan biaya sekitar Rp. 50.000.000,- dan memiliki target hasil diantaranya
penambahan kader, piringan hitam, berbagai film dancatatan artistik, maquette-maquette, teknik
pembuatan alat kesenian, peninggalan Islam dan Hindu, bahan untuk museum nasional, film
kebudayaan untuk sekolah rakyat dan menengah, bahan untuk perguruan tinggi, dan cara kerja
modern. Pembangunan ini dimulai berangsur mulai tahun pertama PNSB Rencana/Tahap I dan
Proyek ini menelan anggaran sekitar Rp. 313.000.000,- dan memiliki target hasil
pariwisata. Pembangunan ini membutuhkan dukungan pendidikan ahli musem, dan sekaligus
membangun taman rekreasi dan Taman Bhinneka Tunggal Ika hingga Museum Perjuangan.
Direncanakan dan diselenggarakan mulai tahun pertama PNSB Tahap I (1961) dan selesai di
Proyek ini menelan biaya sekitar Rp 469.000.000,- dan bertujuan untuk memamerkan
hasil kesenian nasional, memelihara kepribadian kebudayaan, perkembangan daya kreatif serta
memajukan pariwisata. Galeri ini memuat 4000 lukisan dalam satu baris, 8000 lukisan dalam dua
baris dan dapat diperbesar dengan 2000 lukisan. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB
Proyek ini menyerap anggaran sebesar Rp. 453.000.000,- dan bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan bacaan rakyat, menghimpun karya intelektual bangsa Indonesia, serta pendidikan ahli
perpustakaan. Pembangunan ini memiliki kapasitas empat juta buku, dimulai tahun pertama
Proyek ini menghabiskan anggaran sebesar Rp. 44.000.000,- dan bertujuan yakni
menerjemahkan berbagai buku untuk universitas, membuat Kamus Besar Bahasa Indonesia dan
Ensiklopedia Indonesia, penemuan berbagai istilah, pendidikan ahli penerjemah, dan ahli-ahli
bahasa. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode
(1961-1969).
Proyek ini menghabiskan anggaran sebesar Rp. 110.000.000,- dan bertujuan yakni
sebagai pusat penghidupan kebudayaan daerah dan nasional. Proyek ini membangun dua puluh
dua taman yang dibangun mulai tahun kedua Tahap I (1962) hingga akhir tahun ketiga.
7. Terjemahan Kitab Suci Al-Quran, Bible, Weda, dan Dhamma Padda (Tri Pitaka)
Proyek ini sangat menarik untuk membuktikan bahwa rezim Sukarno era Demokrasi
Terpimpin adalah rezim yang sangat memperhatikan agama. Anggaran yang diserap untuk
pembangunan ini masing-masing Rp. 62.000.000,- (Islam), Rp. 33.000.000,- (Nasrani), Rp.
20.000.000,- (Hindu dan Buddha). Pembuatan terjemahan ini dimulai sejak tahun pertama Tahap
Total pembangunan beberapa lembaga dan proyek kebudayaan dan keagamaan tersebut
60
Lampiran pada naskah TAP MPRS No. I dan II Tahun 1960 hlm. 173-174.
66
Berikutnya, pemerintah era Demokrasi Terpimpin melalui TAP MPRS tersebut juga membangun
Proyek ini menelan biaya sebesar Rp. 1.650.000.000,- dan memiliki target hasil yakni
melipatgandakan sarjana di bidang teknik, ilmu pasti/alam, biologi, pertanian dan kehutanan,
serta dokter. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode
(1961-1969).
Proyek ini membutuhkan anggaran sekitar Rp. 1.400.000.000,- dan memiliki target hasil
yaitu melipatgandakan sarjana di bidang pertanian dan kehutanan. Selain itu menambah fakultas
baru yakni teknik, ilmu pasti/alam, biologi, dan ahli penggunaan tanah. Pembangunan ini dimulai
Proyek ini membutuhkan biaya sebesar Rp. 950.000.000,- dan bertujuan untuk
melipatgandakan sarjana dokter, guru, serta menambah fakultas baru yakni teknik, ilmu
pasti/alam, dan pertanian/kehutanan. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan
Proyek ini menelan anggaran sekitar Rp. 700.000.000,- dan memiliki target hasil untuk
melengkapi fakultas kedokteran, keguruan, serta menambah fakultas baru seperti teknik, ilmu
pasti/alam, dan pertanian/kehutanan. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan
Proyek ini menghabiskan dana sebesar Rp. 700.000.000,- dan memiliki target hasil untuk
melengkapi fakultas kedokteran, kedokteran hewan, pertanian dan kehutanan, serta keguruan.
Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode (1961-
1969).·
Proyek ini menelan biaya sekitar Rp. 700.000.000,- dan bertujuan untuk
menyempurnakan fakultas kedokteran dan keguruan, serta menambah fakultas baru yaitu teknik
dan ilmu pasti/alam. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir
periode (1961-1969).
Proyek ini menelan biaya sekitar Rp. 1.050.000.000,- dan bertujuan melipatgandakan
sarjana bidang ilmu pasti/alam, pertanian, kedokteran, keguruan, serta menambah fakultas
keguruan / FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Pembangunan ini dimulai tahun
Serta beberapa kampus lainnya seperti Institut Teknologi di Bandung (kini ITB),
Rp. 1.082.000.000,-, Rp. 250.000.000,-, Rp. 250.000.000,-, Rp. 250.000.000,-, Rp. 250.000.000,.
68
berbagai bidang seperti teknik geologi, kimia, biologi, ilmu pasti/alam (ITB), kemudian memulai
pembangunan fakultas teknik, ilmu pasti/alam serta kedokteran (Universitas Sriwijaya dan
Universitas Kalimantan), lalu pembangunan fakultas teknik, perkapalan, hingga marine sciences
(Universitas Maluku), serta bantuan untuk perlengkapan alat-alat dan guru-guru (Universitas
Diponegoro). Pembangunan semuanya pun sama, dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan
nasional melalui PNSB ini juga termasuk berbagai jenjang sekolah, diantaranya sebagai berikut:
● STM (Sekolah Teknik Menengah) di Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatra
Selatan, Jawa Barat, Jakarta Raya, Jawa Timur, hingga Sulawesi, yang secara total
sekolah-sekolah tersebut sudah ada namun masih banyak yang belum memiliki gedung.
Proyek tersebut dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode (1961-
1969).
● Pembangunan yang sama, STM, namun tujuan berbeda yakni untuk menambah tenaga
teknik seperti STM di Riau, Sumatra Utara, Jakarta Raya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Bali hingga Sulawesi.
semuanya pun sama, dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode
(1961-1969).
69
lulusan/tamatan di Jakarta Raya, Sumatra Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta,
serta Jawa Timur yang membutuhkan biaya sebesar Rp. 84.000.000,-. Sekolah Guru
Pengajaran Teknik yang bertujuan menambah jumlah gurunya seperti di Jakarta Raya dan
dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode (1961-1969).
● Kursus Ahli Teknik di Sumatra Utara, Jakarta Raya, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang
Selain itu masih banyak sekali proyek pembangunan pendidikan nasional yang
dirumuskan dalam PNSB Tahap I (1961-1969) dalam TAP MPRS No. 1 dan No. 2 Tahun 1960
tersebut seperti Akademi Pekerjaan Umum, Pendidikan Teknik Swasta, Akademi Pertanian,
Akademi Pembangunan Veteran, Sekolah Tekstil Tinggi, Akademi Pelajaran, Sekolah Pelajaran
dan Perkapalan Menengah, Pendidikan Tenaga PTT, Akademi Sinematografi, Akademi Gula
Negara.
Berikutnya ada juga Sekolah Analis, Sekolah Kejuruan Perhotelan, Sekolah Menengah
Pertanian Atas, Kursus Karantina, Sekolah Kehutanan Menengah Atas, Sekolah Perikanan
Menengah Atas, Sekolah Kehewanan Menengah Atas, Sekolah Guru Atas, Sekolah Guru
Kepandaian Putri, Sekolah Menengah Atas bagian B, Sekolah Rakyat. Lembaga Pemberantasan
Buta Huruf, Kursus Kemasyarakatan dan Perpustakaan, Pendidikan Keahlian Jurusan Ekonomi
seperti Kursus Dagang Pertama, Kursus Dagang Atas, Kursus Pegawai Administrasi, Kursus
Pegawai Administrasi Atas, Sekolah Kerajinan, Sekolah Guru Pendidikan, Sekolah Menengah
Sekolah Menengah Ekonomi Pertama dan Atas, Sekolah Kepandaian Putri 2 tahun dan 4 tahun,
hingga Sekolah Luar Biasa. Jumlah total seluruh pembangunan berbagai lembaga pendidikan
dari jenjang terendah hingga pendidikan tinggi/akademi/universitas negeri tersebut bernilai total
Rp. 16.261.000.000,-61.
pendidikan nasional) pemerintah juga membangun banyak sekali proyek pembangunan seperti
Geologi, Aerial Survey, Penelitian bidang Industri, Penelitian bidang produksi Pangan,
Penelitian bidang Perkebunan dan Kehutanan, Laboratorium Riset PTT, Penelitian bidang
Lingkungan, Penelitian bidang Penerbangan dan produksi Pesawat Udara, serta pembangunan
penelitian lembaga lainnya yang dianggap penting. Jumlah total anggaran keseluruhan
BAB IV
61
Lampiran pada naskah TAP MPRS No. I dan II Tahun 1960 hlm. 175-186.
62
Selengkapnya, lihat pada lampiran.
71
Hal yang paling terasa dalam hampir semua kebijakan Sukarno di era Demokrasi
Terpimpin adalah hegemoni konsepsi dalam kebijakan, menguatnya dominasi, bahkan cenderung
monopoli. Secara politik, kekuatan dan kekuasaan Sukarno saat itu sangat besar. Tidak ada
oposisi karena kekuatan Masyumi & PSI telah diberangus sebagai dampak dari PRRI-Permesta.
DI/TII saat itu juga semakin diambang kehancuran. Partai-partai politik disederhanakan dan
kekuatan MPRS saat itu bukan sebagai penyeimbang/oposisi, justru menjadi pendukung utama
Demokrasi Terpimpin.
Kuatnya kekuasaan Sukarno saat itu berdampak pada masifnya hegemoni Sukarno di
semua sisi kebijakan nasional. Nasakom menjadi platform dengan Front Nasional sebagai wadah
politiknya. Manipol-Usdek menjadi bahan bakar yang wajib digunakan dalam setiap gerak rakyat
bersebrangan dengan konsepsi Sukarno. Hal ini ternyata melingkupi juga dunia atau bidang
pendidikan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, kebijakan dan sistem
Hal tersebut secara sosiologis termasuk dalam konsep hegemoni dan dominasi.
Intelektual marxian, Antonio Gramsci, masih menjadi salah satu referensi utama dalam konsep
ini. Bagi Gramsci, hegemoni berawal dari supremasi kelas. Supremasi sebuah kelompok
mewujud dalam dua cara: dominasi dan kepemimpinan intelektual. Hegemoni menunjuk pada
Hal tersebut membentuk sikap kelas yang dipimpin. Ini terjadi dalam citra konsensual,
dan konsensus yang terjadi antara dua kelas ini diciptakan melalui pemaksaan maupun pengaruh
72
hakikatnya, hegemoni merupakan upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang
Hal yang paling mendasar dari hegemoni dalam kebijakan pendidikan dimulai dari tujuan
dan politik kebijakan pendidikan nasional. Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa terdapat
perbedaan pola pikir yang tajam/beda antara era Demokrasi Terpimpin dengan zaman
Alam demokrasi bernuansa liberal yang kental di era parlementer membuat tujuan dan
Pancasila versi Sukarno, dan mendapat dukungan politik dari kelompok kiri.
pendidikan nasional juga melalui penerapan mata pelajaran di sekolah. Sebagaimana yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya, pemerintah memperkenalkan mata pelajaran Civics dalam
Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP & K) menerbitkan salah satu
bukunya yakni Civics, Masyarakat dan Manusia Indonesia Baru, karangan Mr. Soepardo, dan
kawan-kawan. Secara singkat, buku tersebut berisi tentang Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia,
Pancasila, UUD 1945, Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin, Konferensi Asia-Afrika, Hak dan
Kewajiban Warga Negara, Manifesto Politik, Laksana Malaikat, serta berbagai lampiran Dekrit
63
Nezar Patria dan Andi Arief, 1999, Negara dan Hegemoni, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 121.
73
Kewargaan Negara. Pada bab ini dijelaskan kembali (merujuk bab sebelumnya), yakni untuk
jenjang SD (Sekolah Dasar) Mata Pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara meliputi beberapa
(30%), Kejadian Setelah Indonesia Merdeka (30%), dan UUD 1945 (40%). Lalu untuk jenjang
SMA (Sekolah Menengah Atas), Mata Pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara meliputi
beberapa program pembelajaran yang sebagian besar terdiri atas UUD 1945.
berikutnya, berdampak pada ‘tidak netral’-nya pendidikan. Esensi pendidikan secara positivistik
yang mengedepankan empirisitas dan keilmiahan, nampak beririsan dengan kepentingan politik
pemerintah dan politisasi yang dilakukan Sukarno sebagai pengendali utama negara. Hal itu
merujuk pada Penpres RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional
Pancasila, bahwa perlu ada Sisdiknas yang sesuai dengan tuntutan Revolusi Indonesia.
Sepanjang penelitian ini, belum menemukan hasil riset/penelitian lain tentang kualitas
didik. Maksudnya, misal, Budi adalah produk dari pendidikan nasional era Demokrasi
pemikiran ataupun keterampilan Budi setelah mendapat pendidikan dari era Demokrasi
64
Merujuk pada halaman 47: “Secara struktur, Presiden Sukarno menjadi Pengajom Agung, lalu Menteri/Wakil
Ketua II DPA, Ketua Panitya Negara Penjempurnaan Sistim Pendidikan Pantjawardhana, yakni Sujono Hadinoto
sebagai Ketua merangkap Anggauta.”
74
Parlementer.
sekolah, dinas hingga kementerian pendidikan) berpikir dengan alur pikir yang sama dengan
Sukarno sebagai pemegang utama kebijakan pendidikan nasional. Sayangnya, hal tersebut adalah
asumsi yang selayaknya masih dapat diperdebatkan ataupun dikomparasi kembali dengan
penelitian ataupun hasil riset lain/kemudian/di masa mendatang, untuk dapat dibuktikan.
Kita bisa membedah sisi positif dan negatif dari hegemoni dan dominasi tersebut. Sisi
positif yang bisa diambil yakni bahwa suatu rezim pemerintahan haruslah kuat dan tidak mudah
terpengaruh pihak-pihak yang ingin mengancam stabilitas nasional. Berikutnya, hegemoni dan
dominasi dibutuhkan untuk melindungi rakyat Indonesia dari ketidakjelasan arah pembangunan
Presiden Sukarno sebagai simbol rakyat pada saat itu memiliki banyak pembelaan di
berbagai pidatonya dan mampu menggalang dukungan elemen politik lainnya atas hegemoni dan
dominasi yang ia lakukan. Terkait pendidikan nasional sendiri, hal tersebut bertujuan untuk
membuat rakyat Indonesia terdidik secara terarah lurus agar tidak ‘belok’ dari cita-cita revolusi
dan kemerdekaan Indonesia. Memang, di suatu waktu, hegemoni dan dominasi terasa dibutuhkan
jika bertujuan untuk kebaikan bersama. Namun, hegemoni dan dominasi yang berlebihan apalagi
mendasarkan kepemimpinan nasional hanya pada satu sosok tokoh, membuat negara melemah
dengan sendirinya.
75
Hal tersebut kemudian terjadi pada bangsa Indonesia, ketika Sukarno berhasil
digulingkan hingga akhirnya wafat pada 1970, kepemimpinan Indonesia berubah arah dan
berganti sandaran pada sosok tokoh yakni Suharto yang memiliki pemikiran, kebijakan, politisasi
dan kepentingan yang jauh berbeda dari Sukarno. Namun keduanya memiliki satu kesamaan:
hegemoni dan dominasi. Bahkan Suharto jauh lebih kuat dan lama dalam melakukan hegemoni
dan dominasi selama tiga puluh dua tahun hingga mengundurkan diri pada 1998.
Presiden Sukarno tidak hanya menghegemoni kebijakan dan sistem pendidikan nasional,
namun juga menjadikan pendidikan nasional sebagai sarana indoktrinasi. Hal ini justru menjadi
sisi negatif mengebiri demokrasi itu sendiri. Tepatnya, saat Presiden Sukarno membuat
kebijakan berupa retooling segala hal di berbagai kebijakan termasuk pendidikan nasional.
Retooling ini membuat media, suratkabar, hingga pendidikan dan kebudayaan menjadi
sasaran. Segala hal terkait pemberitaan, media dan informasi, hingga pendidikan dan kebudayaan
harus bernuansa revolusioner dan segaris dengan kebijakan politik Presiden Sukarno. Ia juga
membuat kebijakan sensor bagi pihak siapapun, apapun, dan manapun yang tidak sejalan dengan
kebijakannya.
merupakan sasaran terpenting. Hal ini bertujuan menghilangkan pemikiran liberalisme dan
nasional dari dasar/terendah (sekolah rakyat) hingga pendidikan tertinggi. Maka institusi-institusi
76
pendidikan menjadi sarana sebagai tempat penanaman paham, indoktrinasi atau sebagai tempat
dan menggantikannya dengan buku-buku marxisme ataupun buku-buku lain yang berkaitan
Tindakan tersebut adalah bagian dari retooling, termasuk dalam bidang kebudayaan
dengan memberantas musik ‘ngak-ngik-ngok’ seperti Band asal Inggris: The Beatles, novel
bergaya romance Barat dan melarang memainkan film-film Barat. Menurut Presiden Sukarno,
melalui media-media tersebut terjadilah penetrasi kebudayaan Barat yang melemahkan revolusi
Salah satu contoh nyata dari kebijakan ini adalah kisah grup band pop Koes Plus yang
sebelumnya bernama Koes Bersaudara. JJ Rizal dalam tulisannya, Koes Bersaudara, Sukarno
dan Spionase, menyebut bahwa Koes Bersaudara (kemudian Koes Plus) sebagai korban
pelarangan musik “ngak ngik ngok” yang berujung pemenjaraan mereka pada 1965. Namun
menurut JJ Rizal ada hal menarik untuk kasus Koes Bersaudara ini. Pada 29 November 2008,
dalam acara Kick Andy Show, Koes Plus membuat pengakuan mengejutkan. Menurut Koes Plus,
pemenjaraan itu hanya drama politik. Sebelumnya pada 2004 dalam wawancara bersama
sejarawan Steven Farram yang meneliti musik zaman Sukarno, Yok (vokalis Koes Plus) telah
65
Chandra Purnama, Pemikiran Sukarno di Sebalik Konfrontasi Indonesia-Malaysia 1959-1965: Sebuah Tinjauan
Psikologi Politik, Disertasi Doktoral Falsafah Universiti Utara Malaysia, Kedah Darul Aman: Malaysia, 2016, hlm.
152.
66
Majalah Minggu Pagi. 2 Mei 1965. No.5 Tahun ke XVIII. Hlm. 24.
67
JJ Rizal, Koes Bersaudara, Sukarno dan Spionase, https://sejarahjakarta.com/2022/02/14/koes-bersaudra-sukarno-
dan-spionase/ 14 Februari 2022, diakses pada 17 Juni 2022 WIB.
77
Singkatnya menurut Koes Plus, pada pertengahan 1965, Presiden Sukarno meminta Koes
Bersaudara menjalankan tugas dalam misi rahasia ‘mengganyang Malaysia’. Saat itu Koes Plus
dianggap sedang berada di puncak popularitas hingga ke Malaysia. Namun, agar mereka bisa
lebih diterima dan dipercaya sebagai kawan senasib di Malaysia serta mudah menjalankan misi
agen rahasia, maka dibuat drama yang memperlihatkan sebagai korban politik Sukarno dengan
Lanjut JJ Rizal dalam tulisan tersebut menyatakan bahwa pada 14 Maret 1965, Harian
Rakjat milik PKI menyebut Koes Bersaudara “telah menjadi putera-putera Indonesia yang
meninggalkan kepribadiannya, lalu bertelanjang bulat memamerkan kebandelan dan
ketidakacuhan terhadap tanah air dengan revolusi dan kepribadiannya yang tinggi”. Presiden
Sukarno kemudian memanfaatkan hal tersebut dengan menjadikan Koes Bersaudara sebagai
simbol penyebar musik kontra-revolusioner. Penangkapan Koes Bersaudara menurut JJ Rizal
kemudian dalam historiografi dianggap sebagai salah satu contoh pengebirian demokrasi dalam
kebudayaan nasional (termasuk ranah pendidikan) oleh Presiden Sukarno.
Namun apapun kontroversi terkait kasus Koes Plus tersebut, sejatinya Presiden Sukarno
memainkan peran penting tentang hal yang boleh dan tidak boleh dalam pembangunan
pendidikan dan kebudayaan nasional. Satu sisi bermakna positif, bangsa Indonesia jangan
sampai terpengaruh budaya negatif dari bangsa Barat. Sisi lain cenderung lebih banyak
negatifnya karena menekan, mempersempit, dan mengekang kebebasan berekspresi dan
berksenian/berkebudayaan yang menjadi esensi utama dalam dunia pendidikan. Hal tersebut juga
dapat dikategorikan sebagai pengebirian demokrasi melalui pendidikan dan kebudayaan
nasional.
Padahal di era ‘Sukarno Muda’ sebelum kemerdekaan dalam banyak tulisannya, ia selalu
menekankan bahwa nasionalisme Indonesia tidaklah sempit dan bersifat chauvinis. Kolonialisme
dan imperialisme serta kapitalisme yang dilawan bukanlah persoalan ras, bangsa, warna kulit,
bukan tentang ‘siapa dan darimana asalnya’, melainkan tentang/persoalan sistem yang menindas
rakyat. Membenci Barat karena bangsa ataupun warna kulitnya termasuk musiknya, dan
78
menganggap diri/bangsa Indonesia lebih baik, bukan membenci sistemnya, sejatinya sudah
masuk kategori chauvinis.
Maka tidak heran, Sukarno di era Presiden zaman Demokrasi Terpimpin, atau sering
disebut ‘Sukarno Tua’ sangat bersifat Ultranasionalis dan cenderung otoriter bahkan beberapa
menanggap diktator. Hal tersebut menjadi renungan kita bersama khususnya di dunia pendidikan
ke depan. Tidak membenci modernitas dan budaya global, namun harus tetap melestarikan
budaya bangsa sendiri tanpa terjebak pada nasionalisme sempit atau chauvinistik.
Ada fenomena menarik dalam dunia pendidikan tinggi terkait hal tersebut (melanjutkan
tentang hegemoni). Kita melihat dunia pendidikan tinggi yang berisi mahasiswa dengan berbagai
organisasi serta aliran dan kelompok politiknya, walaupun menjalani pendidikan di era penuh
indoktrinasi Sukarno, nyatanya tidak semua para peserta didik dari kalangan pendidikan tinggi
Salah satu contoh yang paling umum, adanya tipe-tipe mahasiswa kritikus Sukarno paling
tajam di era Demokrasi Terpimpin, seperti Soe Hok Gie. Sejak mahasiswa hingga lulus, tokoh
pemuda dari Fakultas Sastra UI (Universitas Indonesia) ini sangat sering mengkritik Sukarno dan
berbagai kebijakan pemerintah di zaman itu. Gie memiliki beberapa karya/tulisan politik-sejarah
yang hampir seluruhnya mengkritisi era Demokrasi Terpimpin diantaranya Catatan Harian
melebar dari tema utama penelitian ini, namun tentang hal tersebut perlu untuk sedikit dibahas.
Kebijakan pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin dengan begitu dogmatis dan
indoktriner serta berbagai kebijakan politik Sukarno yang cenderung otoriter dan diperkuat oleh
79
struktur politik nasional saat itu, nyatanya tidak membuat kehidupan dunia pendidikan tinggi
oleh peserta didiknya (mahasiswa), dapat disetir seratus persen sesuai perintah pemerintah.
Kehidupan dan gerakan mahasiswa sebagai elemen yang menikmati pendidikan hingga
perguruan tinggi (bagian dari pendidikan nasional) era Demokrasi Terpimpin, berjalan dengan
sangat dinamis namun keras dan penuh konflik ideologis. Saat itu sangat banyak gerakan
mahasiswa, intra dan ekstra kampus. Gerakan mahasiswa intra kampus seperti Dewan
Gerakan mahasiswa ekstra kampus seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan
Singkatnya, pertarungan gerakan dan organisasi mahasiswa saat itu mencapai puncaknya
setelah peristiwa G30S (Gerakan 30 September) 1965. Pecahnya konflik politik di tataran elit
nasional berdampak besar dalam dunia pendidikan tinggi. Setelah peristiwa Gestok, beberapa
gerakan mahasiswa seperti HMI, PMKRI, SOMAL, dan PMII, mendesak agar PPMI
ekstra kampus di masa Presiden Sukarno –yang didominasi GMNI Ali – Surachman, CGMI,
Perhimi, dan Germindo- untuk mengadakan kongres terkait sikap mereka perihal Gestok.
PPMI merasa terdesak hingga membuat Menteri PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu
Pengetahuan) saat itu, Sjarif Thajeb turun tangan. Ia mengusulkan pertemuan pada 25 Oktober
1965 di rumahnya. Namun pertemuan itu tidak dihadiri oleh gerakan mahasiswa beraliran kiri.
80
Hanya GMNI Ali – Surachman yang hadir. Pertemuan tersebut berlangsung alot. Para pemimpin
gerakan mahasiswa yang hadir pada saat itu sepakat untuk membentuk wadah baru sebagai
pengganti PPMI, yakni KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), dengan program utama
mengganyang PKI68.
Menteri PTIP Sjarif Thajeb bersikukuh menolak penyudutan terhadap Presiden Sukarno.
Namun mereka menolak. Akhirnya di kemudian hari, terjadi seperti penyesalannya dari Menteri
Sjarif Thajeb sebab ia menjadi salah satu pelopor berdirinya KAMI yang kemudian justru
menyerang Presiden Sukarno. GMNI Ali – Surachman menyatakan sikap keluar dari KAMI.
November 1965. Selang beberapa hari setelah KAMI Jakarta terbentuk. Pembentukkan KAMI
terjadi di Margasiswa PMKRI Jalan Merdeka 9, Bandung. Presidium KAMI terdiri dari HMI,
Organisasi mahasiswa intra kampus akhirnya mengikuti dengan membentuk KOMII (Kesatuan
Mahasiswa dari 20 perguruan tinggi se-Bandung. Ketua Umum KOMII pertama adalah Rachmat
Awalnya, pergerakan KAMI dan KOMII terpisah. Hal tersebut sebab keduanya tidak
mau menyatu. Namun saat suasana perpolitikan dan ekonomi nasional yang semakin tegang serta
68
Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966. Mitos dan Dilema: Mahasiswa Dalam Proses Perubahan Politik
1959-1970, Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2006.
81
bersatunya KAMI dan KOMII. Akhirnya disepakati dalam Presidium KAMI terdiri dari 4 unsur
Menyatunya unsur intra dan ekstra kampus membuat aksi-aksi mahasiswa semakin tak
terkendali. Pada 10 Januari 1966 terjadilah aksi besar-besaran mahasiswa seluruh Indonesia ke
Jakarta. Aksi tersebut melahirkan tiga tuntutan yang dikenal sebagai TRITURA (Tri Tuntutan
Rakyat), yakni: Bubarkan PKI, Retool Kabinet Dwikora, dan Turunkan harga-harga.
Terutama di kalangan mahasiswa. KAMI dan KOMII yang melakukan aksi besar-besaran
tersebut membuat kelompok yang membela Sukarno –bahkan Sukarno sendiri pun- geram.
dengan para pimpinan GMNI Ali – Suarchman, Germindo, MMI, dan Dewan Mahasiswa
penyerangan kedua kubu dimana-mana. Keduanya saling bentrok. Barisan Soekarno berupaya
beserta jajarannya dari kursi kepemerintahan. Terjadilah bentrokan dimana-mana, bahkan jatuh
korban jiwa. Salah satunya yang terkenal adalah Arief Rahman Hakim.
melakukan reshuffle kabinet dengan memasukkan unsur PKI. KAMI pun geram, aksi mahasiswa
besar-besaran kembali terjadi. Aksi tersebut membuat kemacetan parah di Jakarta. Para
demosntran berhasil masuk ke Istana Negara. Pasukan Cakrabirawa menghadang dan terjadilah
Berbagai sekolah keguruan dengan sekian dan beragam jenjang memang telah
dilaksanakan di era Demokrasi Terpimpin sebagai bagian dari kebijakan pendidikan nasional.
Sayangnya, menurut Umasih, kenyataan di lapangan khususnya kualitas para guru masih minim
bahkan rendah69. Tentang hal ini mengacu pada hasil penelitian dari organisasi PGRI (Persatuan
Guru Republik Indonesia). Kongres PGRI pada 1973 menyatakan bahwa terdapat sekitar 11
persen guru sekolah dasar dianggap tidak berkualitas/ tidak masuk kategori kualifikasi di tahun
196070.
Sementara Ricklefs menyebut, bahwa ada peningkatan angka partisipasi sekolah dasar
antara tahun 1953 sampai 1960. Secara jelasnya, dari sekitar 1,7 juta siswa menjadi 2,5 juta
(walaupun sekitar 60 persen dari jumlah tersebut keluar sebelum tamat) 71. Lembaga-lembaga
pendidikan dasar, menengah dan tinggi bermunculan terutama di Pulau Jawa. Angka melek
huruf, juga meningkat dari 7,4 persen pada tahun 1930 menjadi 46,7 persen pada tahun 1960 dari
jumlah anak yang berusia sepuluh tahun ke atas dan mayoritas (76 persen) laki-laki.
Berbicara tentang kondisi guru di era Demokrasi Terpimpin, ada sebuah jurnal menarik
yang ditulis Umasih: Ketika Kebijakan Orde Lama Memasuki Domain Pendidikan: Penyiapan
dan Kinerja Guru Sekolah Dasar di Indonesia, Jurnal Paramita Vol. 24, No. 1 - Januari 2014. Ia
menyebut bahwa di era Demokrasi Terpimpin terdapat politisasi dan polarisasi antar para guru
69
Umasih (Jurusan Sejarah Universitas Negeri Jakarta), Ketika Kebijakan Orde Lama Memasuki Domain
Pendidikan: Penyiapan dan Kinerja Guru Sekolah Dasar di Indonesia, Jurnal Paramita Vol. 24, No. 1 - Januari
2014, hlm. 105.
70
Suara Guru, Hasil Kongres PGRI 1973, Jakarta: 1973.
71
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (1200-2004), Jakarta: Serambi, 2007, hlm. 473.
83
Sejatinya hal itu mirip dengan situasi di sub-bab sebelum ini, yakni gerakan mahasiswa.
Situasi politik saat itu benar-benar keras dan ideologis, semua elemen profesi hampir selalu
bermuatan politis. Buruh, tani, nelayan, segala jenis profesi bahkan guru semua mengalami
politisasi dan polarisasi yang tajam sejak awal kemerdekaan, membludak di zaman parlementer
(setelah Pemilu 1955 dengan beragam elemen dan kelompok politik), meruncing pecah di era
Khusus tentang politisasi dan polarisasi guru di era ini, menjadi dampak dari hegemoni
dan dominasi yang dilakukan pemerintahan Sukarno. Menurut Umasih, melalui sistem
pendidikan Panca Wardhana, selain syarat-syarat kualifikasi dan kepangkatan, seorang guru
harus revolusioner, ahli dalam bidangnya, manipolis dan patriot paripurna. Syarat
kerevolusioneran guru menjadi paling utama, sedangkan yang lainnya menjadi syarat berikutnya.
Pada intinya, guru selain bertugas secara kependidikan, juga mendapat tugas politik.
harapan pemerintah saat itu, bahwa guru tidak boleh buta politik apalagi takut politik, karena itu
akan mudah menjadi umpan politik yang reaksioner, yang tidak membela kepentingan rakyat.
Guru harus berwatak revolusioner: memiliki rasa kebencian yang tajam dan semangat
Kolonialisme dan Feodalisme). Guru juga harus memiliki kesadaran kehidupan demokratis
dalam rangka untuk menyatukan kekuatan nasional yang anti-imperialis dan anti-feodal72.
hegemoni dan dominasi juga dilakukan kelompok Kiri seperti dari kalangan PKI (Partai
72
Waluyo, Shopiaan. 1964. ”Sistem Pendidi- kan Guru dalam Alam Manipol”. Prasaran disampaikan dalam Seminar
Pendidikan Guru tanggal 26-28 Juli 1964. Tanpa halaman.
84
Komunis Indonesia), Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), Partai Acoma (Angkatan
Situasi politik saat itu, kelompok kiri dianggap sebagai pendukung pemerintah paling
utama dan paling mendapat akomodasi politik yang sangat kuat dari Sukarno. Kelompok ini
mendapat perlawanan dari ‘sayap kanan’ yakni kelompok Islam dan Tentara (ABRI/TNI)
khususnya Angkatan Darat. Posisi Sukarno dalam polarisasi politik tersebut adalah menengahi
Situasi politik demikian masuk juga ke kalangan guru, salah satu contohnya ialah
konflik / polarisasi politik di tubuh organisasi guru seperti PGRI. Tepatnya setelah pengurus
PGRI mengikuti Musyawarah Penegasan Pancasila sebagai Dasar Pendidikan Nasional yang
yang diadakan pada Februari 1963 oleh LPN (Lembaga Pendidikan Nasional) yang berhaluan
atau dianggap berafiliasi dengan kalangan kiri, pendukung sistem pendidikan Panca Wardhana.
LPN berpendapat bahwa politik pendidikan harus memiliki tiga prinsip yakni Nasional,
Kerakyatan dan Ilmiah73. Kiprah LPN mengingatkan pada berbagai lembaga lain yang berafiliasi
dengan kelompok kiri terutama PKI. Diantaranya SOBSI (buruh), Gerwani (gerakan
Pada 26-28 Juli 1964 di Jakarta, LPN membuat seminar lagi untuk mendukung aksi
boikot film imperialis Amerika Serikat. Bagi LPN, film itu dianggap membahayakan pendidikan
dan pertumbuhan anak didik. Aksi boikot yang dipelopori oleh para peserta seminar dan pekerja
film juga menjadi kewajiban kolektif guru dalam mewujudkan kebudayaan nasional yang
73
Pendidikan Nasional. 1963. ”Pantjacinta sebagai Sumbangan Bagi Pelaksanaan Pancawardhana secara
Konsekwen”. No. 7 – 8 Maret 1963. Tanpa halaman.
85
meliputi seluruh bidang kehidupan rohaniah dan jasmaniah bangsa Indonesia. Para guru dari
kalangan kiri juga melakukan serangkaian aksi seperti menuntut perbaikan nasib. Aksi tersebut
akhirnya membuahkan hasil mendapatkan tunjangan sebesar Rp. 500,- per bulan dan baju
Menurut Poerbakawatja, polarisasi guru terbelah menjadi dua kubu terkait hal tersebut,
ada yang pro dan ada yang kontrak dengan Panca Wardhana. Kubu kontra menanggap karena
sistem pendidikan tersebut menghilangkan esensi sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang
Maha Esa75. Kelompok kiri yang lebih dihegemoni dan didominasi oleh PKI, banyak melakukan
Konsep Panca Cinta dan Panca Tinggi dimasukkan dalam Panca Wardhana dan mendapat
banyak penentangan dari kalangan non/anti-kiri. Infiltrasi tersebut juga masuk ke dalam kubu
PGRI, sebagai PGRI Non-Vaksentral. Kelompok PGRI jenis ini, menyerukan berbagai
pemogokan berarti anti-buruh, anti-buruh berarti anti-komunis, dan anti-komunis berarti anti
Nasakom.
Hal tersebut menjadi propaganda yang lazim dikumandangkan para guru pro komunis
dalam mengintimidasi guru-guru lainnya yang tergabung dalam PGRI Vaksentral. Menurut
Suradi, para guru dan masyarakat umumnya dipaksa untuk menarik garis tegas tentang kawan
dan lawan76. Persaingan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat pun terjadi dengan
cara yang berlebihan. Orang-orang yang berbeda pendapat dengan pandangan pemerintah,
74
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Lima Repelita Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Pusat
Perbukuan Depdikbud, 1990.
75
Poerbakawatja, Soegarda. 1963. Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka. Jakarta : Gunung Agung, tanpa
halaman.
76
Suradi H.P. 1986. Sejarah Pendidikan Di Indonesia Tahun 1945 -1965. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Purbakala.
86
dengan mudah dituduh kontra-revolusi, anti-Manipol, agen subversi asing dan lain-lain julukan
Pada intinya, semua hal tersebut terjadi karena situasi politik Indonesia saat itu
‘memaksa’ seluruh elemen masyarakat dan profesi termasuk guru untuk mendukung Manipol-
Usdek. PKI pun dianggap memiliki peran besar, mengintervensi pembinaan guru-guru, terutama
guru sekolah dasar. Menurut Umasih, kinerja guru lebih diarahkan pada melakukan indoktrinasi
kepada peserta didik bagaimana praksis pendidikan manipolis dan Pancawardhanais daripada
Pada bab sebelumnya penulis telah menjabarkan berbagai rancangan dan implementasi
Menarik jika kita membahas atau mendalami tentang PNSB sebagai rujukan bagi pembangunan
Indonesia saat ini. Ada poin penting tentang PNSB ini yang disampaikan oleh Rudi Hartono dan
Menurut Rudi, sayang sekali PNSB yang telah diimplementasi melalui TAP MPRS 1960
tidak berjalan sebagaimana mestinya karena keburu dihentikan oleh kontra-revolusi pada 1965.
PNSB digagas sejak tahun 1959, melalui pidato perayaan HUT Kemerdekaan 17 Agustus 1959:
Penemuan Kembali Revolusi Kita. Penulis pun memiliki pandangan yang sama dengan Rudi,
77
Beeby, C.E. 1981. Pendidikan di Indonesia Terjemahan. Jakarta : LP3ES.
78
Umasih, op.cit., hlm. 112.
79
Rudi Hartono, Prinsip Pembangunan Semesta Berencana Ala Bung Karno,
https://www.berdikarionline.com/prinsip-pembangunan-semesta-berencana-ala-bung-karno/, Berdikari Online, 15
Januari 2016, diakses pada 16 Juni 2022 pukul 21.52 WIB.
87
Pidato tersebut membahas dan mengoreksi revolusi Indonesia yang dianggap kehilangan
arah oleh Presiden Sukarno karena liberalisme yang merasuk ke berbagai kehidupan masyarakat
Indonesia, mulai dari politik, ekonomi, hingga sosial-budaya. Wujud nyata secara politik dari
Parlementer / Liberal.
liberalisme dan menghimpun kekuatan dari lembaga lainnya terutama legislatif dengan
memperkuat MPRS dan DPR-GR menjadi pendukung utamanya. Wujud dukungan tersebut
dibuktikan dengan menerapkan TAP MPRS Tahun 1960 dan pendidikan nasional menjadi salah
satu bidang utama yang diterapkan sesuai arahan, ajaran, dan instruksi Presiden Sukarno. Wujud
Menurut Rudi, PNSB punya arah dan tujuan yang jelas. PNSB bercita-cita mewujudkan
masyarakat adil dan makmur alias Sosialisme Indonesia yang anti-imperialis dan anti-
neokolonialisme. PNSB juga dinilai bersifat “overall planning”, atau segala hal/bidang harus
terencana (sesuai namanya: pembangunan semesta/ semua hal). PNSB membangun fisik dengan
mengedepankan perombakan cara berpikir, cara kerja/berjuang, dan cara hidup agar selaras
dengan semangat kemajuan dan tuntutan revolusi nasional 80. Hal ini juga berlaku pada penerapan
80
Ibid.
88
Namun sayang, hingga saat ini penulis belum menemukan dokumen penting yang
menyatakan keberhasilan atau sebatas kelanjutan dari proyek ini bagaimana dan sudah sejauh
mana. Besar kemungkinan hasil dari PNSB menghilang (atau dihilangkan) terkena dampak dari
politik desukarnoisasi era Orde Baru terutama setelah Peristiwa G30S 1965 dan runtuhnya
Padahal jika melihat total anggarannya, sangat banyak sekali dan menarik untuk kita
era PNSB Tahap I pada 1969. Besar kemungkinan akan dilanjutkan pada tahapan-tahapan
bukti bahwa Presiden Sukarno tidak mampu mempertahankan nilai-nilai dan pengelolaan yang
telah ia bangun. Hal ini juga membuktikan teori bahwa politik tetap lebih diutamakan dibanding
kebijakan publik.
PNSB yang telah dibangun Sukarno kemudian diruntuhkan Suharto melalui rezim Orde
Barunya dan membuat GBHN serta pola pembangunan baru yakni REPELITA (Rancangan
Pembangunan Lima Tahun). Terkait kebijakan pendidikan nasional di era Suharto melalui
REPELITA, tidak dibahas dalam tulisan/kajian ini dan bisa kita lihat pada penelitian lebih lanjut
BAB V
89
KESIMPULAN
Pendidikan menjadi salah satu bidang yang terdampak secara tidak langsung dalam
kekacauan kondisi politik yang terjadi di awal masa kemerdekaan. Tuntutan yang cepat serta
belum adanya arah kebijakan yang tepat dalam pendidikan selama masa revolusi hingga
akhirnya dilakukan secara “paksa” oleh Presiden Sukarno. Hal tersebut mengacu pada
Demokrasi Terpimpin yang mulai diberlakukan secara menyeluruh, termasuk sistem pendidikan
nasional.
Seiring dengan dinamika politik yang terjadi pada masa itu, maka arah kebijakan
pendidikan nasional pun berubah menjadi bentuk doktrin baru dalam rupa mata pelajaran.
Bahkan hal ini juga telah disematkan dalam pokok ajaran pendidikan dasar lewat peraturan yang
dibuat oleh Prijono sebagai Mendikdasbud (Menteri PDK) dengan program ‘Panca Wardhana’
yang digagasnya, menjadi peletak standarisasi pelaksanaan tugas sekolah yang bernama Majelis
Nasional Pendidikan.
Bentuk indoktrinasi yang tercipta akibat pandangan ini sendiri akhirnya melahirkan suatu
konsep pembelajaran baru bernama “Kewargaan Negara” yang terinspirasi dari Amerika.
Konsep pembelajarannya sendiri beragam berdasarkan pada tingkatan pendidikan. Mulai dari
yang paling dasar sampai tingkat pendidikan tinggi. Mulai dari pelajaran sejarah, budaya sampai
Meskipun secara konsep sudah dianggap mampu menjadi standar pendidikan secara
menyeluruh, namun pada kenyataannya baru dapat diterapkan di tahun 1964. Keluarnya
90
Keputusan Presiden RI No. 224 Tahun 1964 menandai dimulainya suatu era pendidikan baru
yang berbasis pada dasar konsep besar Presiden Sukarno di awal masa Demokrasi Terpimpin.
Tanpa mengesampingkan pokok ajaran agama, namun juga tidak diberlakukan secara “paksa”
dan diberikan toleransi dengan dasar pertimbangan wali murid atau orang tua. Hal tersebut juga
menjadi terobosan baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Dimana ketika itu fokus utamanya
adalah membentuk banyak anak bangsa yang berprestasi sebagai tenaga ahli baik di kalangan
akademisi, teknisi atau pun tenaga penunjang lainnya. Tak ketinggalan juga nuansa budaya
Indonesia pun turut serta diupayakan untuk disebarluaskan secara masif. Hal ini guna memupuk
rasa nasionalisme yang kuat dan mengakar sebagai jati diri dan identitas bangsa.
Secara bertahap namun pasti, sistem pendidikan nasional yang baru terbentuk itu pun
mengalami beberapa perubahan dengan harapan agar semakin baik dan terciptanya masyarakat
sosialis. Presiden Sukarno sendiri mengubahnya menjadi konsep “Sistim Pendidikan Nasional
Pantjasila” demi mencapai apa yang diinginkannya. Landasan utama yang kemudian digunakan
adalah mengacu pada TAP MPRS RI No. VI/MPRS/1965. Lahirnya keputusan ini pun dengan
diiringi langkah politik Presiden Sukarno sendiri yang pada saat itu sedang gencar-gencarnya
Penekanan yang lebih kuat ada pada pasal 4 Politik Pendidikan Nasional. Menentang
segala bentuk penindasan, dan juga penghisapan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa.
Cerminan dari penggabungan arah pandang politik Presiden Sukarno pada masa itu dengan
rencana sistem pendidikan. Dapat dikatakan dalam hal ini pun secara tak langsung bukanlah
pandangan dalam berbangsa dan bernegara melainkan bentuk lain dari monopoli seorang
Presiden Sukarno sebagai seorang pemikir revolusioner dan seorang pemimpin negara. Namun di
sisi lain, Presiden Sukarno memberikan kebebasan pada arah pendidikan politik yang meskipun
91
Dapat dikatakan juga bahwa meskipun dalam arah pendidikan politik diberikan ruang
untuk membebaskan segala bentuk pandangan terkait politik, namun tetap saja akan ada campur
tangan langsung maupun tidak langsung dari pemerintah (Presiden sebagai pemegang tertinggi
kekuasaan). Dengan demikian pula Presiden Sukarno dapat dengan mudah untuk menyingkirkan
Ada beberapa hal yang patut untuk dipertimbangkan karena sejatinya dalam setiap
keputusan yang bersifat umum akan selalu melahirkan dua pihak, pro dan kontra. Secara tidak
langsung pun Sukarno membuat sistem pendidikan berdasarkan pada cara pikirnya, dan cara
pandangnya sendiri dibalut dengan hegemoni kekuasaan yang sedang berada di tangannya.
Terlihat dengan berbagai macam keputusan di bidang pendidikan selalu beriringan dengan
keputusan politik. Menandakan bahwa antara kebijakan politik dan pendidikan adalah sejalan.
Masih kentalnya nuansa revolusi menjadi salah satu bagian tak terpisahkan dari arah
kebijakan pendidikan yang terarah dan lurus sesuai dengan tuntutan revolusi itu sendiri. Sebuah
hegemoni yang dibalut dengan kekuasaan akan melahirkan dominasi yang sangat kuat.
Penokohan Sukarno di masa itu merupakan salah satu bentuk suksesnya hegemoni dan dominasi
yang dibangun olehnya lewat pendidikan. Tak hanya sampai di situ saja, bahkan Sukarno
marxisme.
Secara tidak langsung hal itu pun menjadi bentuk indoktrinasi yang dilakukan agar orang-
orang di masa itu sejalan dengan pola pikir revolusioner yang masih sangat kental. Bahkan
92
Sukarno sendiri juga menghindari penetrasi budaya barat lewat musik, cerita novel bergenre
romance. Meskipun berdasarkan pada data yang dihimpun penulis sendiri terdapat dua sudut
pandang yang sama kuatnya. Antara bentuk perlindungan terhadap budaya sendiri atau malah
Dunia pendidikan yang sudah terpolitisasi pada akhirnya juga akan memberikan dampak
yang kuat. Meskipun dengan adanya sistem pendidikan yang berlandaskan pada peraturan
perundangan yang ada, tetap saja akan melahirkan pandangan yang tidak selalu sama. Sukarno
sendiri mungkin menyadari hal itu, namun dengan dominasinya secara politik, pendidikan
menjadi sarana untuk semakin memupuk jiwa jiwa muda yang sejalan dengan jiwa revolusioner.
Pada akhirnya, hasil dari sistem pendidikan yang diterapkan itu sendiri pun melahirkan
banyak tokoh muda yang tentu saja tidak semua berpihak pada Sukarno, melainkan juga menjadi
musuh bagi pemerintahan Presiden Sukarno pada saat itu. Tidak sedikit kritik pedas yang
menusuk ke telinganya. Bahkan demonstrasi pun menjadi jalan untuk menunjukkan sifat kontra
pemerintah di masa itu. Gejolak anak muda yang telah menempuh pendidikan hingga jenjang
yang tinggi memunculkan banyak pandangan baru terkait arah kebijakan politik pendidikan
nasional pemerintah.
Banyaknya catatan kelam tentang perseteruan antara pemerintah di masa Sukarno dengan
elemen mahasiswa yang menjadi intelektual muda masa itu cukup sengit. Terlepas apapun itu
yang menjadi pemicunya, arah haluan politik pendidikan yang sempat digagas Presiden Sukarno
pun menjadi semakin dipertanyakan. Berperan sebagai penengah antara haluan kiri dan haluan
kanan, namun jelas saja Presiden Sukarno lebih condong pada haluan kiri. Kedekatannya dengan
93
PKI pun menjadi salah satu penyebab munculnya gelombang protes besar-besaran yang terjadi di
masa itu.
Sementara itu, dunia pendidikan sendiri merupakan laboratorium alami bagi pengajar
untuk menanamkan pendidikan sedari dini. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa bentuk
dari indoktrinasi yang dilakukan pada sistem pendidikan nasional Presiden Sukarno dimulai dari
skala pendidikan terkecil. Setiap pengajar tak lepas dari hal-hal yang mendasari haluan politik
dari Presiden Sukarno itu sendiri. Tuntutan untuk bisa berpolitik bagi seorang pengajar
merupakan suatu tuntutan yang berat. Pada umumnya seorang pengajar akan dihargai karena
Namun dengan arah politik pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin, para
pengajar dituntut untuk mampu memberikan suri tauladan terkait sikap berbangsa dan bernegara
dalam pandangan revolusi yang telah ditetapkan dalam sistem pendidikan Indonesia. Sehingga
salah satu hal wajib yang harus dimiliki adalah membenci musuh alami dari revolusi seperti
feodalisme, kapitalisme, kolonialisme, neo kolonialisme dan imperialisme. Sama seperti dengan
apa yang terjadi dengan hasil pendidikan para mahasiswa di masa itu, para pengajar pun terbelah
konseptual memanglah menarik untuk disikapi. Namun pada akhirnya, antara politik dan
pendidikan haruslah ada jembatan penghubung yang kuat dengan mengedepankan kepentingan
bersama, bukan hanya salah satu saja. Karena pemicu terbesar dari kegagalan sistem pendidikan
yang telah digagas Presiden Sukarno sendiri adalah sisi politik yang begitu kuat dan berakhir
94
dengan hegemoni dan dominasi yang pada akhirnya menjadi bumerang bagi cita-cita luhur yang
LAMPIRAN
95
(Gambar 1: Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan
Nasional Pancasila)
96
(Gambar 2: Bab I, Ketentuan Umum, Mukadimah Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965
(Gambar 3: Pasal 1 sampai 3, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
(Gambar 4: Pasal 4 sampai 6, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
(Gambar 5: Bab II, Pasal 5-9, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
(Gambar 6: Pasal 10-12 dan Bagian II Pasal 13, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965
(Gambar 7: Bagian III Pasal 14-15, dan Bab III Pasal 16-17, Penetapan Presiden RI No. 19
(Gambar 8: Bab V Pasal 20 dan Bab VI Pasal 21, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965
(Gambar 9: Bab VII, Peraturan Penutup, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Penerangan RI. (1959). Manifesto Politik Republik Indonesia (17 Agustus 1959).
Perintjian ‘Djalannya Revolusi Kita (Djarek)’ Jang Diutcapkan Oleh Presiden Soekarno Pada
Tanggal 17 Agustus 1960, 19 Januari 1961. Jakarta: Dewan Pertimbangan Agung RI.
Fadrik Aziz Firdausi. (2017). Njoto: Biografi Pemikiran 1951-1965. Tangerang Selatan: Marjin
Kiri.
MPRS & Departemen Penerangan RI. (1960). Ringkasan Ketetapan Madjelis Permusjawaratan
Rakjat Sementara – Republik Indonesia No. I dan II/MPRS/1960. Jakarta: MPRS & Departemen
Penerangan RI.
ST. Sularto. (2016). Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas. Kompas: Jakarta.
Universitas Negeri Yogyakarta. (2019). Pancasila Dalam Praksis Pendidikan, UNY Press:
Yogyakarta.
106
Agus Suwignyo, Unifying Diversities: Early Institutional Formation of the Indonesian National
Education System, C. December 1949-August 1950, Jurnal Humaniora Vol. 24 no. 1 Februari
Dwi Siswoyo, Pandangan Soekarno Tentang Pancasila dan Pendidikan, Jurnal Cakrawala
Muhammad Rijal Fadli, Dyah Kumalasari, Sistem Pendidikan Indonesia Pada Masa Orde Lama
Said Hamid Hasan, Arah & Perubahan Kurikulum di Indonesia: Suatu Tinjauan Historis,
http://sejarah.upi.edu/artikel/dosen/arah-dan-perubahan-kurikulum-di-indonesia-suatu-tinjauan-
Juni 2019.
Sunarso, Pendidikan Nasional Indonesia (Tinjauan dari Perspektif Sejarah), Volume 4 no. 1,