Anda di halaman 1dari 72

63

BAB III

PEMIKIRAN ASMARA HADI


DI ALAM INDONESIA MERDEKA

A. Pemberi Nama Panca Sila?

Panca Sila merupakan dasar negara Indonesia yang dicetuskan oleh Soekarno

dalam pidatonya pada Sidang BPUPKI 1 Juni 1945. Soekarno berpidato mengenai

rumusan dasar negara, untuk menjawab permintaan Ketua Sidang BPUPKI

(Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai), Radjiman Widyodiningrat. Soekarno berpidato

setelah beberapa tokoh lainnya menyampaikan gagasannnya. Soekarno

menyampaikan gagasannya tentang rumusan dasar negara, dengan lima sila, yang

ia namakan sebagai Panca Sila1:

1. Kebangsaan Indonesia.
2. Internasionalisme, - atau Peri-Kemanusiaan.
3. Mufakat, - atau Demokrasi.
4. Kesejaahteraan Sosial.
5. Ketuhananan Yang Berkebudayaan

Lima dasar ini yang kelak menjadi Dasar Negara Republik Indonesia2.

Walaupun pada perkembangannya terjadi beberapa perombakan redaksi, bukan

isi. Rumusan Panca Sila Soekarno 1 Juni 1945 tersebut kemudian digubah dalam

Piagam Jakarta 22 Juni 19453 sebagai berikut:


1
Soekarno, “Lahirnya Pidato Pertama Pancasila: Diucapkan Bung Karno di
Depan Dokuritu Zyunbi Tyoosakai Tanggal 1 Juni 1945”,
file:///D:/gmni/LAHIRNYA_PANCASILA_Pidato_Pertama_Pancasila_Diucapka
n_Bung_Karno_di_Depan_Dokuritu_%20Zyunbi_Tyoosakai_1_Juni_1945.pdf.
2
R.E. Elson, The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan,(Jakarta:
Serambi, 2009), hlm. 160.
3
Ibid., hlm. 162.
64

1. Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi para


Pemeluk-pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan.
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Hasil Piagam Jakarta tersebut ditolak beberapa pihak terutama dari kalangan

“Non-Muslim”4. Demi mempertahankan rasa persatuan bangsa dan menjaga

semangat kemerdekaan Indonesia, maka Piagam Jakarta digubah kembali dalam

sidang PPKI, 18 Agustus 1945. Panca Sila secara resmi disahkan sebagai Dasar

Negara Republik Indonesia dengan Soekarno sebagai penggalinya dan redaksi

yang final sebagai berikut:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa.


2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan.
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Asmara Hadi memiliki peranan dan jasa yang sangat kuat dalam perumusan

dasar negara tersebut. Terutama ketika belum digubah demi persatuan dan

kesatuan bangsa. Penggubahan tersebut bukan berarti menghilangkan esensi. Itu

sebabnya Soekarno tetap mendapat julukan sebagai “Penggali Panca Sila”,

walaupun Orde Baru sempat menghilangkan julukan tersebut karena politik “De-

Sukarnoisasi”-nya. Asmara Hadi menjadi teman diskusi yang amat penting bagi

4
Ibid., hlm. 170.
65

Soekarno ketika merenung merumuskan dasar negara Indonesia kelak, di bawah

pohon sukun dan beberapa tempat lainnya selama masa pengasingan Soekarno di

Ende, Flores (kini Nusa Tenggara Timur)5.

Penelitian ini menemukan sebuah narasi baru mengenai Panca Sila yang belum

banyak diketahui publik, namun juga pantas mendapat kritik terhadapnya. Narasi

baru tersebut ialah Asmara Hadi dianggap sebagai orang yang disebut Soekarno

dalam pidato Panca Sila 1 Juni 1945, yakni “atas petunjuk teman kita ahli bahasa,

namanya ialah Panca Sila”6.

Narasi baru tersebut secara disadari akan menimbulkan perdebatan, bahkan

berujung kontroversi karena pernyataan tersebut dianggap klaim semata. Namun

dalam penulisan sejarah, sumber lisan adalah salah satu sumber yang dapat

diterima, untuk menuliskan sebuah narasi baru yang selama ini belum tertulis, atau

tidak terdapat dokumentasinya. Suhartono menyebut pentingnya mengenai sumber

lisan ini dalam kritik sumber sebagai penguatan saksi mata7.

Pengolahan data, termasuk sumber lisan dalam penulisan sejarah disebut kritik

sumber. Setelah itu, dilanjutkan dengan tahapan interpretasi, atau penafsiran.

Menurut Kuntowijoyo, tanpa penafsiran sejarawan, data tidak bisa berbicara 8.

Sumber lisan ini termasuk data, berdasarkan wawancara terhadap beberapa

narasumber. Mengenai penamaan Panca Sila oleh Asmara Hadi ini, penulis
5
Wawancara dan berdasarkan catatan pribadi Tito Zeni Asmara Hadi.
6
Soekarno, “Lahirnya Pidato Pertama Panca Sila…”
7
Suhartono, W. Pranoto, Teori & Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2010), hlm. 35-37.
8
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), hlm.
78.
66

memperoleh informasi dari keluarga dan rekan-rekan seperjuangan Asmara Hadi

yang masih hidup saat ini9.

Klaim pemberi nama “Panca Sila” ini, terutama berdasarkan pengakuan putra

Asmara Hadi, Tito Zeni A.H10. Sebagai mantan aktivis Gerakan Pelajar Indonesia

atau GERPINDO (organisasi sayap Partindo) periode 1960-an, Tito Zeni tahu

betul luar dalam soal Asmara Hadi. Selain karena ayahnya, Tito juga tahu sepak

terjang Asmara Hadi dalam hal politik, karena Asmara Hadi adalah Ketua Umum

PARTINDO, partai yang menaungi organisasi gerakannya (GERPINDO).

Tidak banyak yang tahu mengenai informasi yang sangat penting ini. Menurut

Tito, pengakuan ini bukan sembarangan. Ketika ia dulu masih terlibat aktif di

GERPINDO, ia mendapat informasi ini justru bukan dari ayahnya sendiri.

Melainkan dari para sahabat seperjuangan ayahnya yakni Sudiro (Eks-Walikota

Jakarta), Mr. Sumanang (Eks-Wartawan pendiri Kantor Berita Nasional

ANTARA), dan S.K. Trimurti (Aktivis Perempuan dan Eks-Menteri di zaman

Presiden Soekarno). Mereka semua bersahabat, dengan Soekarno dan tentunya

dengan Asmara Hadi sendiri11.

Tito berkata dalam wawancara kepadanya:

“Awalnya, ayah saya tidak mau mengakuinya


(sebagai pemberi nama Panca Sila). Saya curiga.
9
Wawancara dengan Tito Zeni Asmara Hadi, Barus, dan Ruskana Putra Marhaen.
Selengkapnya lihat lampiran.
10
Wawancara dengan Tito Zeni Asmara Hadi, putra kandung Asmara Hadi,
Bandung, 25 April 2017.
11
Wawancara dan berdasarkan catatan pribadi Tito Zeni Asmara Hadi.
67

Akhirnya saya cari tahu secara diam-diam kepada


para sahabatnya. Saya datang langsung ke Pak
Sudiro, Pak Sumanang, dan Bu Trimurti. Akhirnya
semua mengakui dan memberitahu kepada saya,
bahwa ayah saya (Asmara Hadi) adalah pemberi
nama Panca Sila itu.
Namun ayah saya meminta kepada Bung Karno
untuk tidak memberitahunya kepada khalayak ramai.
Diam-diam, Bung Karno memberitahukannya ke
beberapa sahabatnya (nama-nama yang disebutkan
itu), jadi mereka tahu. Hanya segelintir orang yang
tahu dan itu dirahasiakan.”12

Pengakuan tersebut memang kurang dapat dipertanggungjawabkan secara

akademik yang sifatnya positivistik, namun jika mencari berbagai kajian mengenai

Panca Sila, tidak ada arsip yang menuliskan mengenai pemberi nama Panca Sila

tersebut. Secara resmi, Soekarno masih dianggap sebagai penggali dan pemberi

nama Panca Sila, dan hal tersebut berdasarkan pidato 1 Juni 1945.

Namun, Soekarno tidak pernah menyebut secara langsung di muka publik

mengenai identitas temannya ahli bahasa yang memberi nama Panca Sila. Hal

tersebut menjadi misterius hingga kini. Menurut Tito, Soekarno dan Asmara Hadi

menutup rapat mulut mereka mengenai hal itu, hingga Tito dalam pengakuannya,

memberanikan diri bertanya kepada rekan-rekan seperjuangan ayahnya tersebut13.

Mengenai pemberian nama Panca Sila tersebut, Sejarawan Orde Baru pun,

menganggap bahwa Soekarno yang memberikan nama “Panca Sila”, dan tidak

12
Wawancara dengan Tito Zeni Asmara Hadi, putra kandung Asmara Hadi,
Bandung, 25 April 2017.
13
Wawancara dan berdasarkan catatan pribadi Tito Zeni Asmara Hadi.
68

berani berpendapat lebih jauh mengenai ahli bahasa yang disebutkan Soekarno14.

Salah seorang ahli hukum Indonesia di masa Orde Baru, Prof. Dardji

Darmodihardjo, S.H., juga mengafirmasi hal tersebut.

Menurut Dardji, lima dasar negara yang dirumuskan Soekarno diusulkan

diberinama “Panca Sila”. Hal itu merujuk perkataan Soekarno bahwa nama

“Panca Sila” berasal dari seorang ahli bahasa kawan Soekarno, namun tidak

dikatakannya secara langsung siapa orang tersebut15. Lantas, tulisan ini

menjelaskan narasi baru berdasarkan keterangan narasumber dalam penelitian ini,

bahwa Asmara Hadi dianggap sebagai ahli bahasa yang dimaksud oleh Soekarno

sebagai pemberi nama “Panca Sila”.

B. “Tiang Negara Jang Lima”


Pada 1946, Asmara Hadi menulis buku mengenai Panca Sila dengan judul

Tiang Negara Jang Lima16. Ia menjabarkan dengan rinci perspektifnya mengenai

seluruh sila dalam dasar negara Indonesia, Panca Sila. Buku tersebut ditulis di

14
Nugroho Notosusanto, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1982), hlm. 27.

Dardji Darmodihardjo, dan kawan-kawan, Santiaji Pancasila, (Surabaya: Usaha


15

Nasional, 1981), hlm. 28.


16
Asmara Hadi, Tiang Negara Jang Lima, (Surakarta: Pertjetakan Gading, 1946).
69

masa revolusi kemerdekaan Indonesia, dengan tujuan menjaga semangat persatuan

revolusioner bangsa Indonesia. Menurut Asmara Hadi, selain dasar negara, Panca

Sila juga merupakan induk/ dasar/ pondasi negara. Kelima sila dalam Panca Sila

adalah lima tiangnya negara.

Ibarat sebuah rumah atau gedung, Panca Sila secara keseluruhan adalah

dasar/pondasi, sedangkan kelima sila tersebut ialah tiangnya 17. Berbeda dengan

perspektif Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia (RI) saat

ini yang menganggap Pancasila sebagai salah satu dari empat pilar kebangsaan,

berjajar dengan pilar-pilar lainnya.

Mengenai Panca Sila, Asmara Hadi memiliki perspektifnya tersendiri. Ia

mejabarkan dengan rinci seluruh sila dalam Panca Sila. Ia bahkan telah menjadi

penafsir Panca Sila pertama, sebelum penafsir Panca Sila era berikutnya yakni

Notonegoro. Asmara Hadi menafsirkan Panca Sila memalui dua karyanya yang

kini jarang diketahui banyak orang, buku Tiang Negara jang Lima dan Pantja Sila

(Doctrine Revolusi Nasional Rakjat Indonesia).

Mengenai sila pertama (Ketuhanan yang Maha Esa), Asmara Hadi

menafsirkannya dengan dua sisi: cinta kepada-Nya dan cinta kepada rakyat

sebagai pancaran dari kasih sayang Tuhan. Ia merupakan orang yang religius, juga

romantis, mengedepankan cinta dan kasih sayang. Banyak sajak-sajak yang ia buat

sebagai pemujaan atau pujian terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ia selalu dapat

merangkai kata-kata yang indah dalam sajak-sajaknya untuk Sang pencipta.

17
Ibid., hlm. 2.
70

Sebagai seorang nasionalis dan marxis tulen, Asmara Hadi juga merupakan

seorang Muslim yang taat.

Namun memang, ia jarang sekali menampakkan kesalehan individualnya ke

muka publik. Ia tak mau dipandang sebagai tokoh ataupun aktivis muslim. Asmara

Hadi membuktikan keimanannya dengan cara lain, memperjuangkan rakyat

dengan haluan Nasionalisme dan marxisme dengan tetap berjiwa dan bernafaskan

Islam sebagai Agamanya18.

Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Panca Sila, merupakan hal

yang paling utama bagi Indonesia. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang

bertuhan dan mengenal kepercayaan tentang penguasa alam semesta, apapun

agama dan aliran kepercayaannya. Hal tersebut patut disyukuri dan harus dirawat

kelestariannya. Asmara Hadi menolak ekslusifitas agama, keragaman umat

beragama dan aliran kepercayaan harus mendapat tempat dan kebebesan agar

seluruh umat dapat menjalankan keyakinannya masing-masing.

Ketuhanan (Ketuhanan Yang Maha Esa) yang dirumuskan oleh Soekarno pada

1 Juni 1945 sering menjadi perdebatan dan “serangan politik” hingga saat ini.

Karena Soekarno menempatkan Ketuhanan dalam sila terakhir. Hal tersebut

banyak dimaknai secara politis. Padahal jika kita berpikir dengan jernih, baik

menjadi sila pertama maupun sila terakhir, Ketuhanan tetaplah menjadi hal utama

dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Penempatan Ketuhanan menjadi sila terakhir bukan berarti menaruhnya di

“pantat”, seperti dalam salah satu pidato salah satu pimpinan Organisasi

18
Wawancara dengan Tito Zeni Asmara Hadi, putra kandung Asmara Hadi,
Bandung, 25 April 2017.
71

Masyakarat beraliran Islam fundamentalis. Ia menyebut, Soekarno menghina

Tuhan dengan menempatkan Ketuhanan sebagai sila terakhir. “Panca Sila

Soekarno, Ketuhanan ada di pantat”19.

Jika kita membaca pidato 1 Juni 1945, Soekarno menempatkan Ketuhanan

dengan redaksi “Ketuhanan Yang Berkebudayaan”, dan menjadikannya sila

terakhir, sebagai pondasi atau sila pamungkas dari seluruh sila sebelumnya. Ibarat

pohon, sila pertama hingga ke empat ialah buah/bunga, daun, ranting/cabang, dan

batang. Sementara Ketuhanan adalah akarnya. Maka itu, dapat kita tangkap

maksud Soekarno itu.

Pengubahan redaksi “Ketuhanan Yang Berkebudayaan” menjadi “Ketuhanan

Yang Maha Esa”, lalu pengubahan tempat dari sila terakhir menjadi sila pertama,

tidak ada salahnya dan tidak mengubah makna. Tinggal diganti saja analoginya.

Sila pertama merupakan sila pamungkas yang paling utama, dari sila pertama

itulah muncul sila-sila lainnya.

Menurut Asmara Hadi, sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus membuat kita

sadar, agar tidak terjebak pada kesalehan individual semata. Penyembahan atau

ritual bertuhan yang menggebu-gebu, namun melupakan esensi dari bertuhan dan

ketuhanan tersebut. Bagi Asmara Hadi:

“Barangsiapa jang dalam hatinja dipenoehi rasa


ketoehanan jang demikian20, akan djadi
revoloesioner. Dalam dirinja berkoebarlah hasrat

19
Berita Satu (Stasiun Televisi), dalam program “Berita Nusantara”, “Heboh
Pidato Habib Rizieq Lecehkan Pancasila dan Menghina Bung Karno”,
https://www.youtube.com/watch?v=h75POY5xVUo, ditonton pada 20 Agustus
2017 pukul 21.34 WIB.
20
Menggebu-gebu.
72

soetji oenteok memboeat masjarakat dan doenia


dapat mendekati sifat-sifat Toehannja”21.

Sebagai seorang yang revolusioner dan menjadikan marxisme sebagai salah

satu pegangannya dalam berjuang, menjadikan rasa ketuhanan dalam sanubari

Asmara Hadi tidak sempit. Tidak menjadikan Tuhan sebagai tameng pembenaran

untuk menindas kelompok agama atau aliran kepercayaan lain, bukan juga untuk

memperkaya diri dan kelompok sendiri, dengan membawa-bawa nama Tuhan.

Sebagai seorang Muslim yang taat pula, ia benar-benar memegang prinsip

Hablumminallah dan Hablumminannas: hubungan kepada Tuhan dan hubungan

kepada sesama manusia.

Perpaduan sebagai seorang muslim taat dengan nasionalis dan marxis tulen,

membuat pemikiran dan keteguhan prinsip Asmara Hadi semakin kukuh dalam

menjadikan Tuhan sebagai sumber utama dalam perjuangannya. Menurutnya,

Ketuhanan Yang Maha Esa harus seperti yang Soekarno katakan dalam pidato 1

Juni 1945: Ketuhanan yang Berkebudayaan. Ketuhanan yang berbudaya, menjaga

keberagaman umat, dan tidak meninggalkan budaya bangsa Indonesia yang utama

yakni “Gotong Royong”. Singkatnya, Ketuhanan yang revolusioner.

Bagi Asmara Hadi, Tuhan juga bersifat adil. Maka dalam kehidupan

masyarakat, harus ada keadilan. Tuhan maha pengasih dan penyayang, maka

manusia dalam hidup bermasyarakat harus saling mengasihi dan menyayangi.

Pengasih dan penyayang harus jadi prajurit pejuang keadilan.

21
Asmara Hadi, op.cit., hlm. 3.
73

Orang yang menyebut nama Tuhan, namun tidak berjuang supaya dunia ini

tempat yang damai dan bebas dari haus dan lapar, dari kemiskinan, kekurangan,

dari tindasan peperangan, dari kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme, orang

tersebut hanyalah pemain sandiwara di panggung dunia dengan menempatkan

Tuhan di bibirnya semata22.

Asmara Hadi dalam tulisannya mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut

juga mengingatkan kepada bangsa Indonesia untuk belajar dari pengalaman

masyarakat Rusia. Hilangnya kepercayaan rakyat Rusia terhadap agama dan

menjadikan mereka atheis, bahkan menguatkan atheisme pada kebanyakan rakyat

Rusia dan Eropa yang kelak menganut marxisme-leninisme (komunisme) sebagai

ideologi mereka23. Asmara Hadi menilai, hal tersebut terjadi karena agama

(konteksnya saat itu ialah Kristiani) dijadikan alat untuk memperkaya diri dan

menguatkan feodalisme, menindas rakyat kecil, dan dijadikan tameng kekuasaan

oleh penguasa dan elit agama di sana24.

Hal tersebut membuat rakyat Rusia (dan akhirnya diikuti oleh negara-negara

yang berhaluan komunis lainnya di Eropa) berontak dan antipati terhadap agama.

Maka itu, bangsa Indonesia harus belajar dari pengalaman tersebut agar tidak

menjadikan Tuhan dan agama sebagai alat meraup keuntungan dan kekuasaan diri
22
Ibid., hlm. 4.
23
Hal tersebut membuat stigma dalam kebanyakan masyarakat Indonesia hingga
kini, bahwa komunis itu Atheis, bahwa Komunisme sama dengan Atheisme.
Padahal jelas berbeda konteks. Komunisme bukan paham suatu aliran
kepercayaan atau agama dan tidak sangkut-pautnya dengan Atheisme. Bahkan
kaum komunis Indonesia adalah umat beragama dan banyak pimpinan komunis
Indonesia yang religius seperti Haji Misbach, Tan Malaka, dan lain-lain.
24
Asmara Hadi, op.cit., hlm. 5.
74

dan kelompok sendiri25. Asmara Hadi mengajak dan berseru kepada bangsa

Indonesia untuk menjadi umat beragama dan hamba Tuhan yang revolusioner, dan

membuktikan pada dunia bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila utama

negara, adalah “Ketuhanan yang Revolusioner”.

Sebagai seorang yang romantis, Asmara Hadi sangat humanis. Ia sangat

mencintai kemanusiaan, ia memegang teguh prinsip peri-kemanusiaan. Baginya,

humanisme atau peri-kemanusiaan adalah cinta terhadap umat manusia.

Pandangan Asmara Hadi mengenai peri-kemanusiaan, menjelaskan bahwa semua

agama sejatinya mengajarkan peri-kemanusiaan dan kasih sayang, sebab Tuhan

maha pengasih dan penyayang.

Namun, ia menyebut, bukan berarti orang tidak beragama tidak memiliki peri-

kemanusiaan. Asmara Hadi memisalkan, jika ada seorang manusia atheis pun,

namun sehat pikiran dan nuraninya, orang tersebut juga pasti mencintai

kemanusiaan dan memperjuangkan peri-kemanusiaan26.

Berkali-kali dalam tulisannya tersebut, Asmara Hadi menceritakan berbagai

kisah kebaikan dan kemanusiaan yang diajarkan oleh para tokoh agama dan juga

dari isi agama-agama tersebut. Ia mengisahkan mengenai kebaikan Isa Al-Masih,

Muhammad, dan Budhha Gautama, juga menjelaskan beberapa isi dari berbagai

agama mengenai peri-kemanusiaan.

Hal tersebut sebagai analogi agar mudah diterima seluruh elemen bangsa

Indonesia yang plural dan multikultural. Juga untuk membuktikan bahwa

25
Ibid., hlm. 6.
26
Ibid., hlm. 7.
75

ketuhanan adalah elemen terpenting bagi kehidupan bangsa Indonesia, yang

menjadi sambungan dari sila pertama Panca Sila.

Namun, Asmara Hadi bukan sekadar seorang yang mendayu-dayu, atau

“romantis tak berisi”. Lagi-lagi, ideologi, pemikiran, nurani dan prinsip Asmara

Hadi sebagai seorang nasionalis, demokrat, marxis, dan muslim tulen, membuat

pemikirannya selalu tidak jauh dari satu hal: rakyat. Ia tidak sekadar retorika

tentang kemanusiaan, dan berkali-kali menjelaskan bahwa peri-kemanusiaan,

termasuk keagamaan dan ketuhanan, tidak semata sekadar kasih sayang, tapi juga

memperjuangkan keadilan bagi rakyat.

Sebagai nasionalis, Asmara Hadi menjadikan rakyat sebagai intisari atau hal

yang paling utama dari seluruh pemikirannya. Ia memperjuangkan kemerdekaan

Indonesia, agar rakyat Indonesia sejahtera dan makmur serta bebas dari

penindasan. Ia tidak sekadar ingin mendirikan suatu negara, tidak mengajarkan

untuk mencium bendera merah-putih ataupun melakukan ritual dan upacara dan

semacamnya sebagai cara menunjukkan kebanggaan (semu) terhadap negara.

Asmara Hadi menjadikan rakyat sebagai inti utama dari kecintaan dan kebanggaan

itu. Sebab inti dari negara adalah rakyatnya.

Sebagai seorang marxis, menjadikan pemikiran Asmara Hadi mengenai peri-

kemanusiaan tidak jauh dari perjuangan kelas dan perlawanan terhadap

Feodalisme, Kolonialisme, Kapitalisme, dan Imperialisme, baik dari bangsa asing

maupun bangsa sendiri. Sebab penindasan (isme-isme) tersebut, tidak hanya

dilakukan oleh bangsa asing, namun juga dapat dilakukan oleh sesama bangsa

Indonesia sendiri.
76

Bahkan, Soekarno pernah berkata dan terbukti di masa kini: “Perjuanganku

lebih mudah, karena hanya mengusir penjajah. Perjuanganmu (generasi penerus

bangsa) akan lebih sulit, karena melawan bangsa sendiri”. Soekarno pun pernah

menjelaskan hal tersebut dalam bukunya, Dibawah Bendera Revolusi (Jilid 1),

mengenai kapitalisme bangsa sendiri. Soekarno mewanti-wanti hal tersebut

(penindasan yang dilakukan sesama bangsa sendiri, di masa kolonial hingga masa

yang akan datang di alam kemerdekaan Indonesia).

Hal tersebut kuat dalam pemikiran Asmara Hadi. Ia selalu mengarahkan

perjuangan untuk mewujudkan Sosialisme Indonesia dan melawan Kapitalisme

dan Imperialisme, dalam setiap pemikiran, tulisan, dan pergerakannya. Termasuk

pemikiran dan tulisan mengenai peri-kemanusiaan. Baginya, peri-kemanusiaan

Indonesia yang tertuang dalam sila kedua Panca Sila “Kemanusiaan yang Adil dan

Beradab”, harus dimaknai sebagai perlawanan terhadap Kapitalisme dan

Imperialisme27.

Bagi Asmara Hadi, peri-kemanusiaan di dunia hingga saat itu belum terwujud

karena terhambat oleh nafsu buruk dalam segelintir manusia. Nafsu buruk tersebut

ialah Kapitalisme dan Imperialisme. Keduanya itulah musuh dari peri-

kemanusiaan, yang menghambat segala cita-cita mulia dan moralitas. Dalam

stelsel Kapitalisme, warga setiap negara pecah menjadi dua golongan yang

bertentangan, yakni borjuis dan proletar.

Golongan borjuis memiliki semua alat produksi (tanah/mesin/ pabrik/ tambang,

dan lain-lain). Sementara proletar, tidak. Mereka (proletar) harus menjual

27
Ibid., hlm. 8.
77

tenaganya untuk memperoleh penghidupan dan menjual tenaganya kepada

golongan borjuis28. Jelas, marxis sekali pola pikir Asmara Hadi tersebut.

Asmara Hadi menganggap, Peri-kemanusiaan tidak akan dapat dijalankan

selama dunia masih dikuasai oleh Kapitalisme dan Imperialisme. Agama dan

perintah Tuhan tidak dapat dijalankan dengan sempurna, selama ada Kapitalisme

dan Imperialisme. Baginya, rasa ketuhanan dan peri-kemanusiaan dalam dada

bangsa Indonesia harus memerangi Kapitalisme dan Imperialisme29.

Peri-kemanusiaan menjadi salah satu elemen penting dalam sanubari bangsa

Indonesia, itu sebab peri-kemanusiaan menjadi salah satu sila dalam Panca Sila.

Soekarno berhasil menggalinya secara mendalam dan tepat, sebagai salah satu

tiang yang memperkuat dasar negara Indonesia.

Bagi Asmara Hadi, perjuangan bangsa Indonesia adalah sebagian dari

perjuangan dunia, perjuangan rakyat marhaen sedunia melawan Kapitalisme-

Imperialisme internasional30. Sebab kemanusiaan itu seluruh dunia, bersifat

internasional. Soekarno sebagai guru ideologi dan politik Asmara Hadi pernah

mengatakan bahwa Nasionalisme Indonesia itu adalah pintu gerbang menuju

Internasionalisme: peri-kemanusiaan sedunia.

Sila berikutnya ialah Kebangsaan. Soekarno sebagai guru ideologi dan politik

Asmara Hadi, tidak berfaham Kosmopolitisme. Baginya, kebangsaan itu ada dan

harus diperjuangkan. Kebangsaan juga dapat menjadi alat pemersatu berbagai

28
Ibid., hlm. 9.
29
Ibid., hlm. 11.
30
Ibid., hlm. 12.
78

elemen yang berbeda dalam masyarakat, untuk bersama-sama melawan

penjajahan dan penindasan.

Soekarno mengambil pesan dari Otto Bauer dan Ernest Renan dalam

memperjuangkan kebangsaan Indonesia. Kedua tokoh tersebut menyatakan bahwa

kebangsaan bukan semata persamaan warna kulit/ras/suku/agama, namun juga

kehendak untuk bersatu menjadi sebuah bangsa, serta kesamaan riwayat 31.

Soekarno menambahkan definisi tersebut selain juga mengkritik keduanya karena

tidak membahas soal geo-politik. Soekarno mengatakan bahwa bangsa Indonesia

walaupun berbeda-beda agama, suku, dan rasnya, namun mengalami nasib dan

riwayat/sejarah yang sama dan saling berhubungan, dan dapat disatukan dalam

satu kesatuan geo-politik32.

Menurut Asmara Hadi, kebangsaan ialah rasa solidaritas, rasa kesatuan yang

sadar dalam hati serombongan manusia, yang mendorong mereka buat hidup

bersama dalam satu negara. Baginya, ada tiga faktor yang menimbulkan rasa

solidaritas itu: sejarah yang sama, nasib yang sama, dan cita-cita yang sama.

Persamaan darah dan kesatuan asal keturunan tidak menjadi syarat utama33. Sebab

kebangsaan yang mengedepankan persamaan agama/suku/ras adalah kebangsaan

yang sempit, primordial, dan chauvinistis. Misalnya Fasisme Italia, nazisme

Jerman, dan zionisme Israel.

31
DPC GMNI Yogyakarta, “Nasionalisme Tanpa Tanah Air?”,
http://www.gmniyogyakarta.com/nasionalisme-tanpa-tanah-air/, Senthir Pers DPC
GMNI Yogyakarta, 24 Januari 2016.
32
Ibid.
33
Asmara Hadi, op.cit., hlm. 13.
79

Dalam buku Tiang Negara Jang Lima tersebut, Asmara Hadi menjabarkan

mengenai kebangsaan Indonesia dengan menjelaskan perjalanan historis bangsa

Indonesia sejak zaman kerajaan hingga penjajahan Belanda lalu pendudukan

Jepang. Ia menyebut, antar elemen yang ada di Hindia-Belanda saat itu telah

terkoneksi dan memiliki riwayat sejarah serta nasib yang sama. Sehingga tidak ada

alasan untuk menentang kebangsaan Indonesia tersebut.

Asmara Hadi membagi perjalanan sejarah kebangsaan Indonesia menjadi tiga

fase. Pertama, dapat dikatakan saat periode 1908 hingga 1927. Menurutnya,

paham kebangsaan Indonesia saat itu hampir perasaan semata. Pada fase

kebangsaan pertama tersebut ialah cinta tanah air belaka, kepada keindahan

alamnya, dan kepada negeri (kini negara)-nya34.

Pada fase tersebut, kecintaan terhadap bumi pertiwi begitu tinggi, karena alam

dan negerinya, sebagai awal dari perjalanan kebangsaan Indonesia berikutnya.

Pada fase tersebut telah muncul banyak organisasi dan partai politik, telah timbul

kesadaran awal bahwa orang-orang yang ada di Hindia-Belanda memiliki alam

dan negeri yang sama sehingga dapat membentuk satu entitas baru yakni sebagai

bangsa Indonesia.

Kedua, setelah datang para penganjur sosial, dari gerakan kiri, berkenalan

dengan Sosialisme dan Marxisme, maka paham kebangsaan tersebut menjadi lebih

berbobot dan memiliki isi (sosial dan ekonomi). Menurut Asmara Hadi, rasa cinta

terhadap tanah air dan bangsa Indonesia semakin bertambah dengan bertambahnya

bobot dan isi dari kebangsaan tersebut.

34
Ibid., hlm. 15.
80

Kebangsaan Indonesia tidak lagi semu dan sekadar mencintai alam dan

negerinya atau persamaan sebagai satu bangsa semata. Terjadi perubahan pola

pikir, menuju kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia demi mewujudkan

keadilan politik, ekonomi, dan sosial35.

Menurut Asmara Hadi, hal tersebut terjadi karena berkembangannya gerakan

kiri dan pemahaman terhadap Sosialisme dan Marxisme. Keduanya yang memberi

isi terhadap nasionalisme Indonesia. Kebangsaan yang hanya berisi perasaan cinta

yang semu tidak akan membawa bangsa Indonesia pada tujuannya yakni adil dan

makmur. Kebangsaan Indonesia lalu berkembang ke fase ketiga menjadi

kebangsaan marhaen, Nasionalisme Indonesia menjadi Sosio-Nasionalisme:

kebangsaan yang berdasarkan Sosialisme, betujuan menyelamatkan dan

membebaskan kaum marhaen dari belenggu Feodalisme, Kapitalisme, dan

Imperialisme36.

Sila berikutnya ialah mengengai demokrasi (Kerakyatan yang Dipimpin oleh

Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan). Demokrasi37

menurut Asmara Hadi adalah kedaulatan rakyat atas bidang politik, ekonomi, dan

sosial. Sebagaimana Marhaenisme (Sosio-Nasionalisme & Sosio-Demokrasi),

demokrasi yang digagas oleh para pendiri bangsa Indonesia terutama Soekarno,

35
Ibid., hlm. 17.
36
Ibid., hlm. 18.
37
Dalam buku Tiang Negara Jang Lima, Asmara Hadi menulis demokrasi sebagai
tiang terakhir, yang keempat dalam buku tersebut ialah keadilan sosial. Namun
agar sesuai dengan alur sila-sila dalam Panca Sila, maka dalam tulisan ini posisi
keduanya ditukar.
81

ialah demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan demokrasi sosial. Asmara Hadi

memegang betul prinsip itu.

Menurutnya, kedaulatan rakyat (demokrasi) berarti kekuasaan tertinggi berada

dalam tangan rakyat. Kekuasaan rakyat tersebut meliputi politik, ekonomi, dan

sosial38. Kedaulatan rakyat tersebut dilakukan sepenuhnya oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat dan dipimpin oleh Presiden atau Pemerintah39.

Demokrasi Indonesia bukan seperti demokrasi negeri-negeri barat kebanyakan

atau yang menganut Liberalisme. Demokrasi Indonesia bukanlah demokrasi

liberal. Demokrasi Indonesia seharusnya dan sejatinya tidak hanya berlaku di

bidang politik, namun juga di bidang ekonomi dan sosial. Demokrasi yang

demikian disebut sebagai Sosio-Demokrasi, atau demokrasi yang betujuan untuk

menyelamatkan kaum marhaen dari penindasan ekonomi dan sosial.

Menurut Asmara Hadi, pasal 33 Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia yang berbunyi: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar

atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan

yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi, air, dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”40, menjadi dasar utama

perjuangan mewujudkan demokrasi ekonomi Indonesia.

38
Asmara Hadi, op.cit., hlm. 26.
39
Ibid., hlm. 27.
40
Ibid., hlm. 28.
82

Demokrasi Indonesia yang sejati tersebut (demokrasi politik dan demokrasi

ekonomi, menuju ke demokrasi sosial), merupakan cara untuk mewujudkan

keadilan sosial, atau jembatan menuju sosialisme. Keadilan sosial menurut

Asmara Hadi ialah hak yang sama dan kesempatan yang sama bagi seluruh rakyat

Indonesia untuk mengembangkan hidupnya.

Keadilan sosial juga dapat dimaknai sebagai kesetaraan dan terbukanya

kesempatan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam hal pembagian jabatan negara.

Bukan dikuasai oleh bangsawan dan para kapitalis 41. Selain di bidang politik

tersebut, juga di bidang ekonomi dan sosial, sebagaimanan dijelaskan pada

bahasan mengenai demokrasi. Keadilan sosial berarti tujuan dari demokrasi

politik, ekonomi, dan sosial.

Keadilan sosial juga bermakna tidak ada golongan tinggi dan rendah

derajatnya, tidak ada golongan tertindas dan penindas, serta pembagian rezeki

yang sedemikian adilnya. Tidak boleh ada warga negara yang kelaparan karena

tidak sanggup membeli makan, kedinginan karena tidak sanggup membeli

pakaian, tidak ada manusia yang tidur di pinggir jalan karena tidak memiliki

tempat tinggal42.

Keadilan sosial juga dipandang sebagai kewajiban dan mendapatkan hak yang

sama sebagai warga negara. Kewajiban untuk bekerja sesuai kesanggupannya dan

mendapatkan hak dari jerih payahnya tersebut. Keadilan sosial berarti Sosialisme

yang sempurna43.
41
Ibid., hlm. 18.
42
Ibid., hlm. 19.
43
Ibid.
83

Mengenai Panca Sila, tidak hanya buku Tiang Negara Jang Lima itu saja yang

ditulis oleh Asmara Hadi. Pada 1950, ia menulis tentang Panca Sila lagi dan

dibukukan dengan judul Pantja Sila (Doctrine Revolusi Nasional Rakjat

Indonesia)44. Bukunya yang kedua mengenai Panca Sila tersebut ia tulis ketika

telah menjadi kader PNI, kemudian ketika memutuskan keluar dari PNI dan

mendirikan kembali Partindo pada 1958, buku tersebut menjadi salah satu bacaan

wajib bagi para kader partai dan organisasi sayap Partindo.

Dalam buku tersebut, tipikal penulisan mengenai Panca Sila dari buku

sebelumnya, mirip, yakni dengan membagi tulisan pada masing-masing sila.

Perbedaannya, jika dalam buku Tiang Negara Jang Lima, Asmara Hadi

memulainya dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam buku Pantja Sila

(Doctrine Revolusi Nasional Rakjat Indonesia), ia menukarnya dan memulai

tulisannya dari sila Keadilan Sosial. Penukaran tersebut didasarkan pada posisi

sila-sila yang dibacakan Soekarno pada pidato 1 Juni 1945.

Buku Pantja Sila (Doctrine Revolusi Nasional Rakjat Indonesia) tersebut

diterbitkan pada Maret 1950, saat Indonesia telah mendapatkan penyerahan

kedaulatanannya dari Belanda, dan saat Indonesia berada dalam zaman sebagai

Republik Indonesia Serikat. Berbeda dengan buku sebelumnya yang ditulis pada

1946, saat masa revolusi kemerdekaan Indonesia.

Nuansa kedua buku tersebut berbeda. Buku sebelumnya bertujuan untuk

menambah rasa persatuan dan semangat mempertahankan kemerdekaan Indonesia,

44
Asmara Hadi, Pantja Sila (Doctrine Revolusi Nasional Rakjat Indonesia),
(Jakarta: Badan Penerbit Nasional, 1951).
84

buku yang kedua sebagai cara untuk menyebarkan Panca Sila berdasarkan

perspektif penggalinya, Soekarno.

Asmara Hadi dalam kata pembuka buku Pantja Sila (Doctrine Revolusi

Nasional Rakjat Indonesia) mengatakan bahwa pada masa tersebut, karena belum

ada keterangan yang resmi dan diakui secara umum mengenai Panca Sila,

menimbulkan banyak tafsir yang saling bertentangan. Menurutnya, yang bisa

memberikan keterangan yang resmi dan dapat diakui secara umum tersebut

hanyalah Soekarno sebagai penggali Panca Sila45. Namun kesibukan Soekarno

sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat saat itu, belum sempat membuatnya.

Menurut Asmara Hadi, San Min Chu I tidak akan menjadi San Min Chu I jika

yang memberikan penafsiran bukan Sun Yat Sen secara langsung, atau orang yang

benar-benar paham mengenai Sun Yat Sen. Das Kapital tidak akan menjadi Das

Kapital jika bukan Karl Marx dan Engels sendiri yang menjabarkannya atau dari

kaki tangan keduanya. Negara & Revolusi tidak akan menjadi Negara & Revolusi

jika bukan Lenin sendiri atau kaki tangannya yang menjadi penafsirnya 46. Begitu

pula mengenai Panca Sila, haruslah berdasarkan perspektif Soekarno.

Buku Pantja Sila (Doctrine Revolusi Nasional Rakjat Indonesia) ditulis oleh

Asmara Hadi berdasarkan keterangan langsung dari Soekarno. Tidak

mengherankan jika diklaim demikian. Sebab Asmara Hadi ialah orang terdekat,

sahabat diskusi sejak masa kolonial, murid yang digembleng dan dididik secara

langsung, serta menantu Soekarno. Kemana-mana, Soekarno (dalam urusan


45
Asmara Hadi, Pantja Sila (Doctrine Revolusi Nasional Rakjat Indonesia),
(Jakarta: Badan Penerbit Nasional, 1951), hlm. 1.
46
Ibid., hlm. 1-2.
85

politik) selalu mengajak Asmara Hadi. Ia diibaratkan “Engels”-nya Karl Marx.

Ibaratnya “Harun”-nya Musa47.

Perbedaan berikutnya dalam kedua buku yang dtiulis Asmara Hadi tersebut,

buku Tiang Negara Jang Lima ia lebih menitikberatkan tulisannya pada ketuhanan

dan peri-kemanusiaan, sementara di buku Pantja Sila (Doctrine Revolusi Nasional

Rakjat Indonesia) ia lebih menitikberatkan tulisannya pada keadilan sosial dan

pentingnya Sosialisme dan marxisme sebagai intisari, analisis, serta tujuan dari

Panca Sila sesuai perspektif Soekarno.

C. Sarinah

Sarinah selama ini dikenal sebagai karya Soekarno mengenai sejarah

perempuan dan konsep perjuangan perempuan Indonesia yang sejati. Sarinah juga

dikenal sebagai pengasuh Soekarno di masa kecil. Sebagai dedikasi Soekarno atas

pengabdian dan pengorbanan Sarinah, Soekarno mendedikasikan nama Sarinah

sebagai simbol perjuangan perempuan Indonesia dalam karyanya tersebut.

Buku Sarinah yang diterbitkan tersebut awalnya merupakan materi-materi

Kursus Perempuan yang diselenggarakan oleh Presiden Soekarno setiap dua

minggu sekali di halaman “Gedung Agung” atau Istana Negara Republik

Indonesia di Yogyakarta48. Masa revolusi mempertahankan kemerdekaan

Indonesia, ibukota dipindah ke Yogyakarta sejak 1946. Sejak sekitar 1947 hingga

47
Wawancara dengan Tito Zeni Asmara Hadi, putra kandung Asmara Hadi,
Bandung, 25 April 2017.
48
Soekarno, Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia,
(Jakarta: Idayu Press, 1984. Terbitan pertama pada 1947), hlm. 5.
86

Soekarno kembali ke Jakarta pada 1949, kursus perempuan tersebut sering

dilakukan. Pesertanya ialah seluruh perempuan lintas usia dan elemen masyarakat.

Cerita tersebut adalah cerita yang beredar dan dipercaya selama ini. Namun jika

ditelusuri lebih lanjut, terdapat cerita yang menarik dan lagi-lagi melibatkan

Asmara Hadi. Jarang orang yang mengetahui keterlibatan Asmara Hadi pada masa

itu dan betapa penting jasanya dalam pembuatan buku Sarinah tersebut. Jarang

orang yang mengetahui, bahwa sesungguhnya Asmara Hadi adalah orang yang

menulis buku Sarinah, bukan Soekarno.

Hal tersebut terdapat dalam catatan pribadi A.M. Hanafi yang dibukukan yakni

A.M. Hanafi Menggugat Kudeta49, juga dalam catatan pribadi sekaligus

wawancara langsung dengan Tito Zeni Asmara Hadi, putra kandung Asmara Hadi.

Menurut Tito, buku Sarinah adalah hasil permintaan Soekarno. Karena saat itu

Soekarno perlu merasa membuat buku untuk disebar demi perjuangan perempuan

Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia50.

Atas permintaan Soekarno, buku tersebut selesai dan akhirnya diterbitkan. Ia

tidak menuntut loyalti, juga tidak memaksa Soekarno untuk menuliskan namanya

(Asmara Hadi) sebagai penulis buku Sarinah. Ia malah dengan rela

menyerahkannya kepada Soekarno, hal tersebut membuat nama Soekarno yang

49
A.M. Hanafi, A.M. Hanafi Menggugat: Kudeta Jenderal Suharto dari Gestapu
ke Supersemar, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1998.
50
Tito Zeni Asmara Hadi, “Riwayat Singkat Perjuangan Perintis Kemerdekaan
Alm. Bapak Asmara Hadi (HR) di Zaman Penjajahan Belanda, Jepang, dan
Setelah Kemerdekaan”, Catatan Pribadi, ditulis di Bandung, 14 Agustus 2016,
hlm. 6.
87

terkenal sebagai penulis buku Sarinah. Padahal penulis sebenarnya adalah Asmara

Hadi.

Hal tersebut membuktikan Asmara Hadi adalah murid yang sangat cerdas dan

sangat menghormati Soekarno sebagai gurunya. Ia secara cepat dapat menangkap

pesan dan amanat Soekarno serta mampu mengembangkannya secara jauh tanpa

meninggalkan dasarnya: ajaran Soekarno. Termasuk konsepsi mengenai

perempuan Indonesia, sejarahnya dan perjuangan ideal seharusnya di alam

kemerdekaan. Sebagai ungkapan rasa terimakasih atas penyelesaian buku Sarinah

tersebut, Soekarno memberi hadiah kepada Asmara Hadi berupa satu set meja

makan51.

Terdapat cerita menarik berikutnya mengenai Sarinah. Menurut Tito, Asmara

Hadi sering bercerita bahwa Sarinah bukanlah nama pengasuh masa kecil

Soekarno. Sementara yang mengasuh tersebut sebenarnya bernama Sakinah.

Sarinah sendiri adalah kakak dari Sakinah, namun tidak mengasuh Soekarno kecil.

Menurut Asmara Hadi, Soekarno membuat cerita demikian karena ia

merupakan seseorang yang terbiasa berdongeng juga menganalogikan sesuatu

secara akronim, dengan maksud menumbuhkan rasa dan semangat

patriotisme/heroik kepada bangsa Indonesia. Sarinah merupakan akronim dari:

“Siapa Anti Revolusi Indonesia Nanti Akan Hancur”52.

51
Ibid.
52
Ibid.
88

D. Serikat Buruh

Riwayat Asmara Hadi memang tidak pernah menjadi buruh. Kalau pun

dikatakan sebagai buruh, maka ia adalah buruh ketik. Hampir seluruh hidupnya

dihabiskan untuk menulis. Walaupun ia juga menjadi politisi bahkan pejabat

negara, namun Asmara Hadi lebih senang jika disebut sebagai penulis, sastrawan,

atau wartawan53. Namun, ia tidak pernah menggantungkan hidupnya dari menulis.

Ia tidak bekerja di perusahaan suratkabar, semata untuk mendapatkan upah. Maka

agak sulit untuk menyebut Asmara Hadi adalah seorang buruh.

Walaupun demikian, perhatian Asmara Hadi terhadap kaum buruh dan dunia

perburuhan amatlah besar. Sebagai seorang marhaenis, ia sangat peduli dengan

kaum buruh dan dunia perburuhan. Karena keduanya (bersama kaum tani,

nelayan, dan kaum melarat lainnya) adalah elemen terpenting dalam marhaenisme,

ideologi dan asas yang dianut oleh Asmara Hadi. Sejak masih berusia belia

53
Wawancara dengan Tito Zeni Asmara Hadi, putra kandung Asmara Hadi,
Bandung, 25 April 2017.
89

sebagai redaktur di suratkabar Fikiran Ra’jat, ia telah banyak menulis tentang

buruh dan dunia perburuhan.

Pada 1952, Asmara Hadi menulis buku tentang buruh dan dunia perburuhan,

yakni buku Sarikat Buruh (Membangunnja dan Tugasnja)54. Buku tersebut setebal

hampir 170 halaman, dengan rincian yang amat lengkap mengenai dunia

perburuhan. Sebagian besar penulisan buku tersebut berdasarkan manuskrip J.G.

Suurhoff55. Buku tersebut menjelaskan mengenai arti dan susunan serikat buruh

secara rinci, kerjasama serikat buruh di lapangan lokal hingga interansional,

pekerjaan gerakan buruh dan cara melakukannya, hingga gerakan buruh dalam

masyarakat.

Mengenai arti dan susunan serikat buruh terdiri dari sejarah perkembangannya,

dari majikan individuil ke gabungan raksasa, dari horizontal ke vertikal, lapangan

tugas yang semakin luas, statut dan reglemen, badan hukum, pembagian

organisastoris, golongan sekerja, dewan pimpinan, intelektuil dalam pimpinan,

pegawai dan kantor, pembagian kerja pimpinan, anggaran belanja, rapat

propaganda, keanggotaan, kontribusi, dan kekuatan.

Mengenai kerjasama antar serikat buruh di lapangan lokal hingga internasional

terdiri atas kerjasama lokal, regional, nasional, hingga internasional. Juga

membahas terdiri dari otonomi serikat buruh, tugas sentral organisasi, tunjangan

dan asuransi, soal buruh otak, perjuangan terhadap pengangguran, pendirian

Asmara Hadi, Sarikat Buruh (Membangunnja dan Tugasnja), (Jakarta: Penerbit


54

Djambatan, 1952).

Politisi Partai Buruh Belanda beraliran Sosial-Demokrat dan Eks-Menteri Sosial


55

& Kesehatan Belanda.


90

Lenin, oposisi serikat buruh revolusioner, dan gabungan serikat buruh

internasional.

Mengenai pekerjaan gerakan buruh terdiri dari alat kekuasaan pada buruh, upah

dan produktivitas kerja, upah menurut prestasi, pemogokan, perundingan dengan

majikan, kontrak usul dari majikan, taktik pemogokan, menerima kompromi,

menyudahi pemogokan, aturan dan ketertiban dalam upah dan syarat perburuhan,

perjanjian perburuhan kolektif, perundang-undangan perburuhan, pelaksanaan

pertanggungan sosial, perumahan rakyat, usaha-usaha sosial dan ekonomi, dewan

badan usaha, dan usaha di lapangan kebudayaan.

Serta mengenai gerakan buruh dalam masyarakat, terdiri dari situasi dalam

negeri yang baru merdeka, gerakan buruh Indonesia di persimpangan jalan,

gerakan buruh dan politik, gerakan buruh dan partai politik, gerakan buruh harus

seumum-umumnya, serta gerakan buruh dan agama.

Buku tersebut akan panjang sekali jika dibahas dalam tulisan ini. Asmara Hadi

mengatakan alasannya menulis buku tersebut. Menurutnya, dalam zaman Hindia-

Belanda sudah ada perkumpulan buruh, malah belanda pernah gemetar oleh

beberapa aksi pemogokan kaum buruh Hindia-Belanda56. Namun umumnya,

fungsi perkumpulan buruh tersebut di masa itu bukanlah yang utama. Gerakan

buruh saat itu lebih membantu partai-partai politik.

Perjuangan buruh juga belum menjadi yang utama, sebab perjuangan utama

saat itu ialah perjuangan nasional, merebut kemerdekaan nasional terlebih dahulu.

Bagi Asmara Hadi, jika di masa kolonial perkumpulan buruh hanya menjadi

56
Asmara Hadi, op.cit., hlm. ix.
91

tentara pembantu partai politik, maka di alam kemerdekaan Indonesia ini kaum

buruh harus mulai berperan sendiri yang dilakukan di bawah bendera mereka

sendiri pula. Bukan lagi mengekor lagi pada partai politik57.

E. Marhaenisme Ajaran Bung Karno

1. Marhaenisme Lahir dari Rahim Partindo

Sebagai seorang pemikir politik, lebih tepatnya ideolog, pemikiran Asmara

Hadi benar-benar kuat dan teguh memegang prinsip. Hal tersebut sebab ia

digembleng dan dididik langsung oleh Soekarno sejak masa kolonial. Ia menjadi

salah satu murid Soekarno yang terdekat dan terpercaya. Asmara Hadi juga

menjadi saksi proses dari perumusan berbagai pemikiran-pemikiran Soekarno,

bahkan turut terlibat di dalamnya.

Menurut Tito, perumusan marhaenisme bukanlah hasil dari pemikiran

Soekarno sendiri58. Soekarno banyak dipengaruhi oleh para pemikir dan ideolog

dunia seperti Marx, Lenin, Mao, Toelstra, Renan, Kaustky, Sun Yat Sen, Kemal

Attaturk, dan lain-lain. Begitu juga Asmara Hadi. Ia banyak menyerap bacaan-

bacaan dari Soekarno dan menambah banyak referensi, terutama di bidang sastra.

Namun di bidang politik dan ideologi, ia sangat memegang teguh prinsip yang

diajarkan oleh Soekarno sebagai gurunya. Walaupun Soekarno banyak menyerap


57
Ibid., hlm. x.
58
Wawancara dengan Tito Zeni Asmara Hadi, putra kandung Asmara Hadi,
Bandung, 25 April 2017.
92

pemikiran para tokoh dunia, namun ia menjadikan Marxisme sebagai dasar dari

perjuangannya. Marxisme pula yang dipegang teguh oleh Asmara Hadi sebagai

ideologi dan dasar pemikiran serta pisau analisis dalam memperjuangkan

kemerdekaan dan keadilan sosial rakyat Indonesia59.

Asmara Hadi merupakan saksi atas proses perumusan seluruh pemikiran

Soekarno sejak masa muda hingga wafat pada 1970. Ia adalah orang yang tahu

betul luar dalam alur dan pola pikir, serta sikap politik, bahkan pribadi Soekarno.

Bukan semata karena menantunya, tapi sebagai murid yang benar-benar patuh dan

taat dalam belajar ilmu dengan gurunya tersebut. Sehingga, Asmara Hadi menjadi

orang yang sangat terpercaya untuk membedah pemikiran Soekarno.

Sebagai saksi, Asmara Hadi juga turut terlibat dalam proses perumusan seluruh

pemikiran Soekarno. Mengenai Marhaenisme, Soekarno tidak merumuskannya

sendiri. Menurut Tito, ayahnya (Asmara Hadi) bersama salah satu guru Taman

Siswa saat itu (Ki Suwandi) sering berdiskusi bersama Soekarno mengenai

ideologi yang tepat untuk rakyat Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan

dan mewujudkan sosialisme Indonesia60. Asmara Hadi banyak memberi masukan

kepada Soekarno mengenai Marxisme. Soekarno akhirnya mencetuskan konsep

dan istilah “Marhaenisme”. Sementara Ki Suwandi (eks- guru Taman Siswa

59
Wawancara dengan Ruskana Putra Marhaen, eks- Ketua Pemuda Partindo
Cabang Karawang periode 1960-an, murid Asmara Hadi, sekaligus sahabat/senior
Tito Zeni Asmara Hadi, 17 April 2017.
60
Wawancara dengan Tito Zeni Asmara Hadi, putra kandung Asmara Hadi,
Bandung, 25 April 2017.
93

cabang Bandung) yang memberikan nama “Sosio-Nasionalisme dan Sosio-

Demokrasi”61.

Semuanya terjadi ketika ketiganya (Soekarno, Asmara Hadi, dan Ki Suwandi)

sama-sama berada di Partindo. Bukan di PNI (sebelum Partindo didirikan,

Soekarno menjadi pimpinan PNI dan PNI dibubarkan pada 1931). Ketika masih

memimpin PNI, belum ada istilah marhaenisme dan belum ada rumusan mengenai

sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Karena perumusan itu semua dilakukan

ketika telah bergerak di Partindo.

Menurut Tito, tidak benar jika ada orang PNI atau keturunan PNI, atau

simpatisan PNI kini yang sering bilang “Hari Kelahiran PNI (4 Juli 1927) berarti

juga Hari Kelahiran Marhaenisme”62. Sebab Marhaenisme dilahirkan dan

disahkan di masa dan oleh Partindo, bukan PNI. Sehingga Partindo yang lebih

tepat disebut sebagai partainya marhaenis, atau perintis marhaenisme. Hal tersebut

juga diamini oleh Ruskana dan Barus63. Herbert Feith juga mengatakan demikian,

bahwa Marhaenisme tidak lahir pada 192764.


61
Asmara Hadi, Rantjangan Garis Ideologi Partai ‘PARTINDO’: Marhaenisme
Adjaran Bung Karno, (Jakarta: Pidato Ketua Umum pada Kongres III
PARTINDO, 26-31 Desember 1961), hlm. 3.
62
Wawancara dengan Tito Zeni Asmara Hadi, putra kandung Asmara Hadi,
Bandung, 25 April 2017.
63
Barus merupakan Eks-Sekretaris 1 Pengurus Besar (PB) Partindo periode 1959-
1965, satu kepengurusan pusat pimpinan Asmara Hadi. Ia menjadi saksi kunci
yang masih hidup mengenai kehidupan dan pemikiran politik Asmara Hadi saat
menjabat sebagai Ketua Umum Partindo. Barus juga eks- anggota DPR RI periode
1960-an. Setelah peristiwa G30S 1965, Barus ditangkap dan dipenjara di Jakarta
tanpa proses pengadilan lalu dibuang ke pulau Buru selama 10 tahun (1968-1978)
dan satu rumah tahanan bersama penulis Pramoedya Ananta Toer.
64
Herbert Feith, The Indonesian Elections of 1955, (Ithaca, New York: Modern
Indonesia Project, Cornell University, Interim Report Series, 1970, diterbitkan
94

Asmara Hadi memegang teguh prinsip “Sembilan Tesis Marhaenisme” yang

pernah disepakati di kongres perdana Partindo pada 1933. Ketika Partindo

didirikan kembali pada 1958, setelah itu Partindo menyelenggarakan kongres

ketiganya pada 1961, Partindo (dan Asmara Hadi sebagai otaknya), meresmikan

kembali “Sembilan Tesis Marhaenisme” tersebut. Asmara Hadi juga memegang

teguh prinsip “Marhaenisme adalah Marxisme yang diselenggarakan di Indonesia”

sesuai “Sembilan Tesis Marhaenisme” dan sesuai pemikiran Soekarno langsung.

Menurut Asmara Hadi, Marxisme adalah dasar pemikiran, ideologi, dan pisau

analisis dalam melawan Kapitalisme, Kolonialisme, dan Imperialisme,

memperjuangkan kemerdekaan dan mewujudkan Sosialisme Indonesia65. Corak

pemikiran tersebut telah Asmara Hadi dapatkan sejak menjadi aktivis Partindo. Di

partai tersebutlah, dasar ideologi Asmara Hadi terbentuk.

2. Berebut Kandang Banteng


PNI sebagai partai berhaluan Nasionalisme Indonesia terbesar pada 1950-an

memenangi Pemilihan Umum (Pemilu) pertama di Indonesia pada 1955. Sebagai

partai politik terbesar di zamannya, ternyata di internal PNI mengalami

perpecahan atau faksionalisme. Bahkan dua kali PNI mengalami perpecahan, pada

1958 dengan berdirinya kembali Partindo, lalu menjelang 1965 dengan terbagi ke

dua kubu.

ulang di Jakarta oleh Equinox Pub., 2007), hlm. 176.

Wawancara dengan Ruskana Putra Marhaen, Wawancara dengan Ruskana Putra


65

Marhaen, eks- Ketua Pemuda Partindo Cabang Karawang periode 1960-an, murid
Asmara Hadi, sekaligus sahabat/senior Tito Zeni Asmara Hadi, 17 April 2017.
95

PNI Ali-Surachman66, berhaluan revolusioner dan mengamini Marxisme. Serta

PNI Osa-Usep67, konservatif, pragmatis, menolak Marxisme, dan anti-komunis.

Rocamora pernah mengkaji mengenai faksionalisme PNI tersebut pada beberapa

karya-karyanya yakni Nasionalisme Mencari Ideologi (Bangkit dan Runtuhnya

PNI 1946-1965)68, jurnal The Partai Nasional Indonesia 1963-196569.

Perpecahan pertama internal PNI (1956-1958) terjadi karena semakin

menguatnya kepentingan individu dan kelompok di dalam partai, meningkatnya

oportunisme dan pragmatisme politik karena kemenangan PNI pada Pemilu 1955

membuatnya “lupa diri”, kecondongan PNI pada borjuasi serta kapitalis nasional,

serta pemisahan Marxisme dari Marhaenisme.

Perpecahan kedua (1964-1965) juga dilatarbelakangi hal yang sama. Jika

perpecahan pertama berdampak pada keluarnya Asmara Hadi dan kawan-kawan

lalu mendirikan kembali Partindo, maka perpecahan kedua menyebabkan PNI

terbagi menjadi dua kubu atau dualisme kepemimpinan, yakni Ali-Surachman dan

Osa-Usep. PNI yang dipimpin oleh Ali-Surachman dibubarkan dan dihabisi

setelah peristiwa G30 S 1965, karena pemerintah Orde Baru saat itu hanya

mengakui PNI Osa-Usep.

66
Ali Sastroamidjojo dan Ir. Surachman.
67
Osa Maliki dan Usep Ranuwidjaja.
68
J.E. Rocamora (diterjemahkan oleh Daniel Dakhidae), Nasionalisme Mencari
Ideologi (Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946-1965), (Jakarta: Grafiti, 1991).
69
J.E. Rocamora, “The Partai Nasional Indonesia 1963-1965”, dalam jurnal
Indonesia, No. 10 (Oct., 1970), hlm. 143-181.
96

Dalam buku Situasi Negara dan Kepartaian & MPR-DPR: Wahana

Mewujudkan Demokrasi Pantjasila, Osa Maliki sebagai Ketua Umum dan M.

Isnaeni sebagai Ketua III/Ketua Departemen Penerangan & Propaganda DPP PNI

saat itu, menjelaskan panjang lebar mengenai historis perpecahan PNI masa

sebelumnya. Mereka menganggap bahwa terjadi infiltrasi di dalam tubuh PNI

untuk membuat PNI menjadi tandem bagi PKI. Mereka kukuh pada pendirian

bahwa Marhaenisme bukanlah Marxisme, hal tersebut adalah inflitrasi PKI yang

komunis untuk melegitimasi pergerakan mereka70. Dalam buku tersebut, PNI Osa-

Usep kukuh pada pendiriannya untuk melawan PKI dan menganggap PKI sebagai

dalang utama dari “Pemberontakan G30S PKI 1965”. PNI Osa-Usep

berterimakasih kepada Orde Baru dan demi menyelamatkan partai, mereka

merapatkan barisan sebagai partai pendukung Orde Baru71.

Asmara Hadi menjadi salah satu tokoh PNI yang menentang itu semua sejak

perpecahan PNI pertama. Berkali-kali dalam berbagai suratkabar, Asmara Hadi

menulis kritik yang tajam dan menekan para pimpinan partai agar terus sesuai

dengan garis ideologi dan terus sejalan dengan politik Soekarno.

Di suratkabar Suluh Indonesia sejak Maret 1956, Asmara Hadi berkali-kali

melancarkan otokiritik terhadap PNI dan mendesak para pimpinan partai untuk

menilai kembali kedudukan partai dan melakukan instrospeksi72. Ia mengingatkan


70
Osa Maliki & M. Isnaenis, Situasi Negara dan Kepartaian & MPR-DPR:
Wahana Mewujudkan Demokrasi Pantjasila, (Semarang: DPD PNI Jawa Tengah,
1969).
71
Ibid., lihat Sub. Bab “Partnership dengan ABRI”, hlm. 14.
72
Asmara Hadi, “Penjakit Rasa Puas”, Suluh Indonesia, 9 Maret 1956, hlm. 7;
“Radikal-Revolusioner-Opportunis”, op.cit., 16 Maret 1956, hlm. 9; “Partai
Pelopor”, op.cit., 31 Maret 1965, hlm. 4; Avonturir-avonturir Politik”, op.cit., 14
97

bahwa kemenangan partai dalam Pemilu bukanlah tujuan utama melainkan awal

dari perjuangan mewujudkan sosialisme Indonesia yang marhaenistis73.

Asmara Hadi berkali-kali mengingatkan agar PNI tidak seperti partai

Kuomintang di Cina yang awalnya revolusioner, setelah mendapat kekuasaan,

melepaskan tujuan revolusioner dan menjadi lembek serta reaksioner. Ia juga

mengingatkan bahwa PNI harus mawas diri dan belajar dari PKI, serta PNI harus

kembali bekerjasama dengan PKI dalam satu front bersama Anti-Kapitalisme,

Kolonialisme, dan Imperialisme74. Bagi Asmara Hadi, pecahnya internal PNI dan

melemahnya hubungan dengan PKI akan menguatkan barisan kontra-revolusioner

dan nekolim (Neo-Kolonialisme & Imperialisme).

Mengenai pemisahan Marxisme dari Marhaenisme menjadi salah satu elemen

yang terkuat dari perpecahan internal PNI pada 1956-1958. Menguatnya unsur

konservatif, borjuasi nasional, dan anti-komunis dalam PNI menyebabkan hal

tersebut. Bahkan saat itu, Asmara Hadi berseteru dengan Sayuti Melik, sebagai

sama-sama orang yang diklaim sebagai “Ideolog Partai”.

Namun saat itu, posisi strategis atau kedudukan Sayuti Melik lebih kuat

dibanding Asmara Hadi. Perdebatan tersebut menimbulkan perpecahan yang

April 1956, hlm. 11; “Pelihara Api Murni Marhaenisme”, op.cit., 1 Mei 1965,
hlm. 6.
73
J.E. Rocamora, op.cit., hlm. 259.
74
Asmara Hadi, “Itu Kerdja Sama Antara PKI dan PNI”, Warta Bandung,
Bandung, 13 Agustus 1957, hlm. 10.
98

akhirnya membuat Asmara Hadi dan beberapa kawannya mendirikan kembali

Partindo75.

Setelah melewati masa cukup panjang selama dua-tiga tahun perdebatan dan

perpecahan di internal PNI, akhirnya pada 5 Agustus 1958, Partindo secara resmi

didirikan kembali oleh Asmara Hadi dan beberapa kawan seperjuangannya yakni

Winarno Danuatmodjo, Winoto Danuasmoro, Gatot Mangkupradja, Muwalladi,

Buntaran & Buddhyarto Martoatmodjo, dan lain-lain76.

Partindo menulis manifesto politiknya dengan menelusuri perkembangan

perjuangan marhaenis sejak masa kolonial (1930-an) hingga masa “liberal” (1950-

an). Dalam garis besar haluan Partindo disebutkan bahwa meningkatnya unsur

borjuasi dan liberal dalam perjuangan menyebabkan pengkhianatan terhadap cita-

cita revolusioner para marhaenis77. Tugas Partindo adalah mengembalikan para

marhaenis pada tujuan-tujuan utamanya semula.

“Ada orang yang mengatakan bahwa Partindo


terdiri dari orang-orang yang ambisius. Hal ini benar
karena tidak ada orang hidup yang tidak punya
ambisi. Juga benar bahwa kami haus kekuasaan, dan
memang kami harus demikian selama kami
75
Berdirinya kembali Partindo juga atas desakan Soekarno secara diam-diam. Tito
menyebut, ayahnya yang muak dengan PNI, ketika ingin mendirikan Partindo,
meminta izin pada Soekarno. Ternyata, Soekarno juga sama muaknya. Soekarno
malah menyuruh Asmara Hadi dan kawan-kawan mendirikan kembali Partindo
dan sangat merestuinya. Sebab menurut Soekarno, PNI telah keluar jalur dan
bukan lagi PNI seperti yang didirikan Soekarno pada 1927. Sehingga Partindo
harus didirikan untuk menyelamatkan marhaenisme dari kemunafikan banyak
pimpinan dan kader PNI (wawancara dengan Tito Zeni Asmara Hadi).
76
J.E. Rocamora, op.cit., hlm. 273.
77
Ibid., hlm. 274.
99

menggunakan kekuasaan bukan untuk keuntungan


pribadi tetapi untuk cita-cita kami. Masih banyak
orang di dalam PNI yang percaya bahwa dalam
kondisi yang sekarang PNI tidak memiliki apa yang
menurut anggapannya akan menjamin kemenangan
marhaenis sebagaimanan dirumuskan Bung Karno.
Mereka masih timggal di sana (PNI) karena
mereka sabar, kami telah kehilangan kesadaran
kami. Meskipun dengan penuh penyesalan, kami
secara sadar telah memecah-belah barisan
Marhaenis. Kami hanya berharap bahwa dengan
berbuat demikian, kami dapat mendorong PNI
kembali pada jalan yang benar78”.

Menurut Asmara Hadi, ide pendirian kembali Partindo bukan satu-dua malam.

Bukan juga sekadar perasaan sakit hati sebagaimana yang dituduhkan. Bahkan

jauh sebelum PNI memenangkan Pemilu 1955, ide pendirian kembali Partindo

telah bergema. Hanya memang saat itu sulit sekali menyatukan berbagai elemen,

dan PNI terlanjur berdiri dan besar duluan dengan berbagai kepentingan di

dalamnya dan tidak benar-benar mendalami “Marhaenisme Ajaran Bung Karno”.

Ide tersebut telah ada sejak 1950, setelah penyerahan kedaulatan Indonesia

dari Belanda. Oleh beberapa kawan, terjadi banyak pembicaraan mengenai

pembangkitan atau pendirian kembali Partindo79. Asmara Hadi berkata:

“Oleh beberapa mata yang tadjam


pandangannja pada waktu itu, dalam tahun 1950
pun telah kelihatan, bahwa apa jang dewasa itu
disebut marhaenisme itu, adalah sangat jauh dari

78
Rocamora, op.cit., hlm. 277.
79
Asmara Hadi, “Rantjangan Garis Ideologi Partai ‘PARTINDO’: Marhaenisme
Adjaran Bung Karno”, Pidato Ketua Umum pada Kongres III PARTINDO:
Jakarta, 26-31 Desember 1961, hlm. 7.
100

apa jang ditjita-tjitakan oleh Bung Karno


pentjipta marhaenisme. Marhaenis2 jang
mengerti betul dan setia kepada adjaran Bung
Karno bekerdja sedapat-dapatnja untuk
membela adjaran itu terhadap pemalsuan dan
kepalsuan. Dan Bung Karno pun ikut
membantu.
Dalam beberapa kongres PNI, beliau
menerangkan apa itu marhaenisme
sesungguhnya dan bagaimana marhaenisme itu
harus ditegakkan di medan politik, dengan
maksud supaja anggota2 daripada PNI
mendjalankan apa jang beliau amanatkan itu.
Dalam sementara itu para marhaenis2 sedjati
tetap bekerdja dan menunggu waktu tampil
untuk naik ke panggung80”.

Bahkan sebelum Agustus 1950, sudah ada pembicaraan panjang dengan banyak

kawan-kawan mengenai situasi tanah air. Tentang pentingnya mendirikan karena

perlunya satu partai pelopor yang bertubuh Nasionalisme, berjiwa Sosialisme,

berotak Marxisme, dan berjantung religi, dus, suatu partai yang berasaskan

Marhaenisme ajaran Soekarno, untuk menjadi suatu tenaga yang sanggup menjaga

agar bangsa Indonesia bisa tetap berada di garis revolusi, dan tidak menyeleweng

atau menyimpang melewati garis dan rel-nya revolusi81.

Sekitar delapan tahun bersabar di dalam PNI dan berjuang untuk bisa

mempertahankan sekaligus terus memperjuangkan “Marhaenisme ajaran Bung

Karno: Marxisme yang diterapkan/diselenggarakan di Indonesia”, setelah

rangkaian tulisan bertahun-tahun dalam berbagai artikel di banyak suratkabar,

80
Ibid.
81
Asmara Hadi (H.R), op.cit., hlm. 8.
101

setelah berkali-kali melakukan konsolidasi, pematangan konsep dan struktur, akhir

pada 1958 Partindo resmi kembali berdiri.

Para pendirinya menyatakan bahwa Partindo resmi kembali didirikan setelah

sekian tahun dibekukan pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Keputusan

pengaktifan/pembangkitan/pendirian kembali Partindo diambil pada 1 Agustus

1958. Namun pengumuman atau deklarasinya dilakukan kepada khalayak umum

pada 5 Agustus 1958, menjelang 6 Agustus 1958 82. Berdirinya kembali Partindo

bagi diibaratkan seperti hijrahnya umat Islam ke Madinah, demi tujuan suci yakni

menegakkan agama Allah.

Asmara Hadi menceritakannya dalam pidatonya di Kongres III Partindo:

“Empat belas abad jang liwat, umat Islam hidjrah


ke Madinah meninggalkan Mekkah dengan tudjuan
sutji: menegakkan agama Allah. Demikianlah
Marhaenis2 penganut Bung Karno meninggalkan
PNI dan mengaktifkan kembali Partindo dengan
tudjuan sutji: menegakkan marhaenisme sedjati.
Sebagaimana umat Islam itu mendapat kemuliaan,
demikianlah kita harapkan, semoga djuga kita
mendapat kemenangan”83.

F. Marxisme yang Diselenggarakan di Indonesia


Rocamora pernah mewawancarai Asmara Hadi secara langsung. Menurut

Rocamora, bagi Asmara Hadi dan mereka yang tergabung dalam gerakan

pembaruan, identifikasi Marhaenisme dengan Marxisme lebih memiliki implikasi

82
Ibid.
83
Ibid.
102

ideologis84. Ketika awal Partindo terbentuk, masih terdapat pertikaian dan

perdebatan dengan PNI. Soekarno pun angkat bicara dan menegaskan bahwa

pemahaman Partindo mengenai Marhaenisme, adalah sama dengan pengertian

yang dicetuskannya (Soekarno). Marhaenisme memang didasarkan pada

Marxisme seperti yang dirumuskannya pada 1920-an85.

Asmara Hadi dalam banyak karyanya menjelaskan perkembangan perumusan

Marhaenisme dari segi historis. Marhaenisme sebagai ideologi politik lahir dalam

zaman reaksi Fasisme dan Imperialisme ketika sedang mengamuk86. Ia

menjelaskan sebelum masuknya Kolonialisme, Indonesia berada dalam fase

Feodalisme. Setelah kedatangan bangsa barat, Indonesia masuk dalam fase

Kolonialisme, Imperialisme, dan Kapitalisme87. Ia menganggap, Marhaenisme

lahir di masa tersebut dan sangat tepat dengan kondisi Indonesia saat itu dan di

masa yang akan datang, selama kapitalisme masih ada Indonesia.

Pada 1959-1964, Asmara Hadi menulis beberapa buku yang menjadi buku

pedoman wajib para marhaenis terutama para anggota, kader, dan simpatisan

partai dan organisasi masyarakat sayap Partindo, yakni Aneka Marhaenisme-

84
Wawancara dengan Asmara Hadi, Bandung, 24 Maret 1969, dalam Rocamora,
op.cit., hlm. 281.
85
Ibid.
86
Asmara Hadi (H.R.), Aneka Marhaenisme-Marxisme, (Jakarta: PB Partindo,
1959), hlm. 5.

Asmara Hadi (H.R.), Rintisan ke Marhaenisme Adjaran Bung Karno, (Jakarta:


87

PB Partindo, 1961), hlm. 47.


103

Marxisme88 (1959), Sembilan Tesis Marhaenisme dan Pendjelasan Singkatnja 89

(1961), Rintisan ke Marhaenisme Adjaran Bung Karno90 (1961), Di Bawah

Bendera Marhaenisme91 (1963), Kibarkan Tinggi Panji Marhaenisme92 (1964),

dan lain-lain. Semua buku tersebut diterbitkan oleh Pengurus Besar (PB) Partindo.

Asmara Hadi berpatokan pada sembilan tesis marhaenisme hasil Konferensi

Partindo 1933 di Yogyakarta. Saat itu, sebagai partai baru yang merupakan

pelanjut dari PNI yang dibubarkan, para pimpinan Partindo termasuk Asmara

Hadi menginginkan aturan dan dasar yang jelas bagi Partindo dalam

perjuangannya. Soekarno yang saat itu baru saja keluar dari penjara di Bandung,

bergabung dengan Partindo. Hasil dari Konferensi Partindo 1933 tersebut selain

meresmikan marhaenisme sebagai dasar, ideologi, dan prinsip secara formil, juga

mengangkat Soekarno secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partindo.

Pada 1961, PB Partindo menerbitkan kembali “Sembilan Tesis Marhaenisme”

hasil Konferensi 1933 tersebut dengan menambahkan penjelasan di masing-

masing tesis/poin. Asmara Hadi sebagai Ketua Umum ditunjuk penafsir

Marhaenisme sekaligus diminta PB Partindo untuk memberi penjelasan mengenai

88
Asmara Hadi (H.R.), Aneka Marhaenisme-Marxisme, (Jakarta: PB Partindo,
1959).
89
Asmara Hadi (H.R.), Sembilan Tesis Marhaenisme dan Pendjelasan Singkatnja,
(Jakarta: PB Partindo, 1959).

Asmara Hadi (H.R.), Rintisan ke Marhaenisme Adjaran Bung Karno” (Jakarta:


90

PB Partindo, 1961).
91
Asmara Hadi (H.R.), Di Bawah Bendera Marhaenisme, (Jakarta: PB Partindo,
1963).

Asmara Hadi (H.R.), Kibarkan Tinggi Panji Marhaenisme, (Jakarta: PB


92

Partindo, 1964).
104

masing-masing tesis tersebut karena terpercaya sebagai orang yang paling

mengerti marhaenisme setelah Soekarno.

Bagi Asmara Hadi, “Marhaenisme ajaran Bung Karno adalah Marxisme yang

diselenggarakan di Indonesia dengan memperhatikan kondisi-kondisi yang khusus

pada tanah air dan bangsa Indonesia. untuk memahamkan Marhaenisme dengan

seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya, saya ulangi apa yang pernah Bung Karno

katakan: ‘Pelajari Marxisme sedalam-dalamnya dan sejarah Indonesia seluas-

luasnya!’”93.

Soekarno dengan jelas dan gamblang seringkali mengatakan bahwa

Marhaenisme adalah Marxisme yang diselenggarakan di Indonesia. Pernyataan

tersebut bagiakan sambaran geledek. Bahkan kata Soekarno: “Kalau tidak cocok

dengan ajaran saya/ BK (Soekarno, dengan ajarannya Marhaenisme adalah

Marxisme yang diselenggarakan di Indonesia), kasih nama lain, jangan namakan

Marhaenisme!”94.

Benar-benar menghantam para “marhaenis gadungan” atau orang-orang yang

berlindung di balik nama besar Soekarno, berorientasi kapitalis/borjuis, bermental

feodal, konservatif, Anti-Marxisme, dan alergi terhadap Komunisme: Komunisto-

phobi. Kebanyakan dari mereka ada di PNI, sayap partai, pendukung dan

simpatisannya.

93
Asmara Hadi (H.R.), Sembilan Tesis Marhaenisme dan Pendjelasan Singkatnja,
(Jakarta: PB Partindo, 1959), hlm. 1.
94
Asmara Hadi (H.R.), Di Bawah Bendera Marhaenisme, (Jakarta: PB Partindo,
1963), hlm. 26.
105

Seperti yang dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, terdapat banyak faksi di

internal PNI dan banyak pihak yang dianggap sebagai “marhaenis gadungan”

hinggap di dalam PNI. Hal tersebut membuat Soekarno sering marah dengan PNI,

dan membuat Asmara Hadi dan kawan-kawan keluar dan mendirikan kembali

Partindo. Rocamora dalam banyak karyanya mengenai PNI, membahas hal

tersebut95.

Menurut Asmara Hadi, bagi Soekarno, Marxisme memiliki dasar historis-

materialisme yang membuka jalan bagi Marhaenisme dalam membedah kondisi

objektif realita dan sejarah masyarakat Indonesia. Marxisme berlaku di bidang

politik dan sejarah, juga sebagai ilmu masyarakat / sosiologi. Bagi Soekarno juga,

Marxisme yang menjadi dasar bagi Marhaenisme merupakan suatu ilmu

sebagaimana ilmu-ilmu lainnya. Tidak sama sekali berlawanan dengan Tuhan dan

Iman96.

Asmara Hadi sebagai Ketua Umum Partindo, sekaligus sebagai murid serta

menantu Soekarno, bersama kawan-kawan Partindo, berusaha untuk menegakkan

kembali Marhaenisme ajaran Soekarno yang mereka anggap sejati/sebenarnya.

Tujuannya ialah untuk “menginsyafkan golongan yang menyebut dirinya

marhaenis, bahwa marhaenisme ajaran Bung Karno itu adalah Marxisme yang

diterapkan di Indonesia; Marxisme yang di-Indonesiakan”97.

95
Baca di sub-bab “Faksionalisme PNI & Berdirinya Kembali Partindo”.
96
Asmara Hadi (H.R.), Kibarkan Tinggi Panji Marhaenisme, (Jakarta: PB
Partindo, 1964), hlm. 17.
97
Ibid., hlm. 1.
106

Sebenarnya, Soekarno, dan hampir kebanyakan para marhaenis yang masih

bersih nuraninya dan waras ideologinya, tetap menginginkan satu barisan kaum

marhaenis saja, untuk menghimpun kaum marhaen bersama-sama. Namun,

kesatuan dan persatuan tersebut hanya dapat dilakukan dan ditegakkan di atas

kesatuan pendapat tentang asas, asas perjuangan, taktik-strategi, struktur

organisasi, dan program. Syarat mutlak untuk sampai pada kesatuan tersebut ialah

dengan memahami betul-betul Marhaenisme ajaran Soekarno98.

Menurut Asmara Hadi, pengakuan kebenaran bahwa Marhaenisme itu adalah

Marxisme yang diterapkan/diselenggarakan di Indonesia, dimulai beberapa tahun

sebelum Partindo meresmikan Marhaenisme sebagai “Marxisme yang

diselenggarakan di Indonesia” dan menaikkan status ideologinya menjadi

“Marxisme-Soekarnoisme”, dipelopori juga oleh Ali Sastroamidjojo99.

Hal ini menarik, sebab kelak ketika menjadi Ketua Umum PNI pada awal

hingga pertengahan 1960-an, Ali Sastroamidjojo mencoba meresmikan hal yang

sama dengan Partindo: “Marhaenisme Ajaran Bung Karno adalah Marxisme yang

Diselenggarakan di Indonesia”, satu tahap di bawah Partindo. Partindo merasa dua

level atau dua tahap lebih tinggi dari PNI. Karena pada 1963, Partindo telah

menaikkan status Marhaenisme menjadi “Marxisme-Soekarnoisme”100.

Perjuangan Ali bersama Ir. Surachman saat itu yang terkenal sebagai duo

“ASU”/ Ali-Surachman, hancur karena pecahnya kembali PNI dengan timbulnya


98
Ibid., hlm. 2-3.
99
Asmara Hadi (H.R), op.cit., hlm. 2.

Wawancara dengan Tito Zeni Asmara Hadi, putra kandung Asmara Hadi,
100

Bandung, 25 April 2017.


107

dualisme kepemimpinan. PNI “ASU” dilawan oleh kaum konservatif dan feodal

berhaluan borjuasi di PNI dan dipimpin oleh Osa Maliki dan Usep Ranuwidjaja,

terkenal dengan nama PNI “Osa-Usep”. Setelah pecahnya G30S 1965, PNI Ali-

Surachman dibubarkan Orde Baru, sedangkan dan PNI Osa-Usep selamat karena

ikut dalam barisan Orde Baru. Bahkan PNI Osa-Usep mencabut gelar “Bapak

Marhaenisme” dari Soekarno.

Untuk menyelami “Marhaenisme Ajaran Bung Karno” hingga mencapai dasar

samudera terdalamnya yakni “Marxisme-Soekarnoisme”, kita harus berenang

dalam lautan “Sembilan Tesis Marhaenisme” terlebih dahulu, karena itulah dasar-

dasar dan penjelasan singkat dan mudah dimengerti mengenai Marhaenisme.

G. Sembilan Tesis Marhaenisme

1. Marhaenisme: Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi.

Menurut Asmara Hadi, sebagai teori masyarakat dan teori perjuangan,

Marhaenisme menurut penegasan Soekarno secara langsung adalah Marxisme

yang diselenggarakan di Indonesia. Dapat pula dikatakan bahwa Marhaenisme

adalah Marxisme yang yang diselenggarakan di negeri-negeri jajahan atau bekas

negeri jajahan dalam masa revolusi kemerdekaan terutama bangsa-bangsa Asia

dan Afrika101.

Hal tersebut sebab periode tersebut (1950-1960-an), ide-ide kemerdekaan dan

Sosialisme serta perlawanan terhadap Kapitalisme, Kolonialisme, dan

Imperialisme di negeri-negeri jajahan dan bekas jajahan di Asia-Afrika sedang

101
Asmara Hadi (H.R.), Sembilan Tesis Marhaenisme dan Pendjelasan
Singkatnja, (Jakarta: PB Partindo, 1959), hlm. 4.
108

memuncak. Indonesia sebagai negara yang sangat dihormati di Asia-Afrika saat

itu mengobarkan semangat kemerdekaan dan memotivasi banyak negeri jajahan

untuk lepas dari penjajahan.

Ditambah dengan telah berlangsungnya Konferensi Asia-Afrika 1955 dan

Gerakan Non-Blok sebelumnya, membuat Indonesia menjadi salah satu kekuatan

poros dunia saat itu. Bagi Asmara Hadi, maka tidak heran jika bangsa Indonesia

“menghadiahkan” Marhaenisme kepada dunia, terutama negeri-negeri yang saat

ini masih terjajah atau baru merdeka dan masih butuh semangat perjuangan untuk

segera melakukan dekolonisasi dan dekolonialisasi. Maka itu, menurut Asmara

Hadi, Marhaenisme juga bisa diterapkan tidak hanya di Indonesia. Karena esensi

terpenting dari marhaenisme ialah, memperhatikan kondisi (geopolitik, sosial,

budaya, dan sejarah) wilayahnya. Sehingga relevan dimana pun dan kapan pun102.

Sosio-Nasionalisme berarti Nasionalisme kaum marhaen. Istilah ini ditempa

untuk menyatakan bahwa Nasionalisme kaum marhaen itu politis dan ekonomi,

berbeda dengan Nasionalisme kaum feodal dan borjuis103. Penelitian kaum marxis

menujukkan dua kelas, penindas (borjuis) dan tertindas (proletar). Berlaku hukum

pertentangan yang mengakibatkan terjadinya perjuangan kelas.

Di negeri-negeri kapitalis, hal tersebut murni perjuangan kelas. Karena tidak

terjadi kolonialisme secara formal. Namun di negeri jajahan seperti Indonesia

sebelum 1945, terjadi Kolonialisme (Belanda dan pendudukan Jepang kemudian).

Maka itu, perjuangan kelas di Indonesia beriringan dengan perjuangan nasional:

102
Ibid.
103
Ibid., hlm. 6.
109

merebut kemerdekaan nasional untuk mendirikan negara sendiri dan lepas dari

kolonial104. Kata berbarengan menunjukkan bahwa antitesa yang bersifat

perjuangan kelas, ada di negeri jajahan, namun tersembunyi di bawah perjuangan

nasional. Jadi, semacam skala prioritas. Mendahulukan kemerdekaan nasional,

baru melakukan perjuangan kelas.

Di Indonesia tidak terdapat dua kelas seperti di kebanyakan di negeri Eropa

atau negeri-negeri kapitalis. Di Indonesia terdapat tiga kelas: feodal,

borjuis/kapitalis, marhaen (proletar termasuk di dalam marhaen). Hal tersebut

membuat Indonesia ketika masa kolonial, mendapat cengkeraman luar biasa dari

Feodalisme sisa-sisa kerajaan yang masih kuat kulturnya, Kapitalisme,

Kolonialisme, dan Imperialisme.

Masing-masing kelas tersebut sama-sama menginginkan kemerdekaan

nasional. Sama-sama menginginkan Indonesia merdeka, dan sama-sama ingin

Indonesia menjadi negara sendiri dan lepas dari Belanda/Jepang. Semuanya sama-

sama menganut Nasionalisme. Maka itu, perlu hati-hati dalam memaknai

Nasionalisme. Asmara Hadi menekankan bagi para rakyat Indonesia untuk

memikirkan ulang makna Nasionalisme. Menurut Asmara Hadi terdapat beberapa

Nasionalisme, yakni Nasionalisme feodal, borjuis, dan Sosio-Nasionalisme atau

Nasionalisme kaum marhaen / Nasionalisme rakyat.

Dalam Nasionalisme feodal, klas feodal ingin Indonesia bebas dari penjajahan

namun dengan tujuan supaya klas feodal/bangsawan/ningratlah yang nanti

berkuasa. “Merekalah yang menjadi pohon beringin yang memberi keteduhan dan

104
Ibid.
110

perlindungan pada kaum marhaen”105. Klas borjuis/kapitalis ingin Indonesia

merdeka namun dengan tujuan supaya mereka dapat mengembangkan

perdagangan dan industri mereka, ingin kaya raya dan menguasai perekonomian

negeri106.

Kaum marhaen / rakyat jelata juga menginginkan kemerdekaan Indonesia.

namun dengan tujuan supaya di alam Indonesia merdeka itu mereka (kaum

marhaen) lepas dari kesengsaraan dan segala macam penderitaan serta pemerasan

dari kaum feodal dan borjuis. Karena, bagi Asmara Hadi, sisa Feodalisme dan

cengkeraman kuat Kapitalismelah yang menyebabkan kesengsaraan di zaman

modern itu. Maka kaum marhaen di alam Indonesia merdeka ini, harus menolak

sistem Kapitalisme bangsa sendiri107.

Maka itu rakyat Indonesia harus memilih Sosio-Nasionalisme sebagai

nasionalisme bersama. Pola pikir bangsa Indonesia harus disatukan, agar tidak ada

lagi yang memiliki pengertian Nasionalisme sempit untuk keuntungan diri dan

kelompoknya sendiri. Nasionalisme Indonesia adalah Sosio-Nasionalisme,

Nasionalisme yang inklusif menjaga keberagaman kultur namun bertujuan

mewujudkan Sosialisme Indonesia. Karena, kemerdekaan Indonesia tidak hanya

bertujuan untuk menjadi suatu negara sendiri, melainkan bertujuan di dalam

Indonesia merdeka itu, disusunlah masyarakat sosialis108.

105
Ibid., hlm. 8.
106
Ibid.
107
Ibid.
108
Ibid., hlm. 9.
111

Sosio-Demokrasi adalah demokrasinya kaum marhaen. Sebagaimana Sosio-

Nasionalisme, begitu juga demokrasi. Kedaulatan rakyat menjadi hal yang paling

utama dalam kemerdekaan Indonesia. Percuma jika Indonesia menjadi negara

sendiri, namun rakyatnya sengsara, ditindas oleh sisa Feodalisme dan

dicengkeram oleh Neo-Kolonialisme dan Imperialisme karena Kapitalisme. Sosio-

Demokrasi juga bermakna demokrasi rakyat. Istilah tersebut dibuat untuk

membedakan diri dari demokrasi liberal atau demokrasi borjuis. Karena

demokrasi liberal hanya dijunjung tinggi oleh kelas borjuis109.

Sosio-Demokrasi atau demokrasi kaum marhaen menghendaki demokrasi

politik dan demokrasi ekonomi. Kaum marhaen di alam Indonesia merdeka bukan

saja harus berkuasa di lapangan ekonomi dengan sistem ekonomi terpimpin atau

kolektif kolonial berhaluan Sosialisme, namun juga harus berkuasa menentukan

aturan-aturan ekonomi, aturan-aturan produksi, dan aturan-aturan distribusi, serta

aturan-aturan kehidupan sosial rakyat lainnya, itulah yang disebut demokrasi

politik110. Tidak seperti zaman kini, demokrasi bernilai sangat mahal. Hanya kaum

kaya yang punya modal yang bisa menjadi “Caleg” atau “Capres”, dan politik

Indonesia kini hanya dikuasai berbagai oligarki.

2. Siapakah Marhaen?

Marhaen adalah nama kolektif yang diberikan oleh Soekarno kepada massa

rakyat yang paling besar jumlahnya di Indonesia. Sebagai klas, kaum marhaen

109
Ibid.
110
Ibid., hlm. 10.
112

terdiri dari tiga elemen atau unsur111, yakni proletar: orang yang tidak memiliki

alat produksi dan alat lain lagi untuk mencari penghidupannya. Ia hanya menjual

tenaganya demi mendapat upah. Merekalah yang disebut sebagai kaum buruh112.

Lalu kaum tani melarat. Mereka adalah para petani Indonesia yang memiliki

tanah sedikit, mengusahakannya sendiri, namun hasil dari pertaniannya tidak

mencukupi keperluan penghidupannya. Mereka disebut semi-proletar113. Serta

kaum melarat Indonesia yang lain-lain. Mereka ialah orang-orang yang tidak

menjadi buruh, juga tidak memiliki tanah. Misalnya: nelayan, kusir, pedagang

warung kecil, tukang-tukang kecil, pendayung becak, dan lain-lain114.

3. Perkataan “Marhaen”.

Partindo memakai kata marhaen, bukan proletar, karena proletar telah termasuk

ke dalam unsur kaum marhaen115. Kondisi di Indonesia yang berbeda dengan

wilayah lainnya terutama Eropa dan negeri-negeri kapitalis kebanyakan kaum

buruh yang melarat sedangkan petaninya makmur atau bahkan tidak ada petani

sama sekali. Berbeda dengan Indonesia yang multikompleks permasalahannya.

Jika di negeri-negeri kapitalis, kaum proletar adalah mayoritas, di Indonesia

tidak hanya proletar, tapi elemen lainnya. Itu yang menyebabkan perjuangan

111
Ibid., hlm. 10-11.
112
Ibid., hlm. 11.
113
Ibid.
114
Ibid.
115
Ibid., hlm. 14.
113

Indonesia lebih berat dan membutuhkan persatuan antar elemen tersebut. Maka itu

perlu ada satu konsep bersama untuk menyatukannya, yakni marhaen dan

marhaenisme tersebut.

4. Perjuangan Marhaen.

Karena Partindo berkeyakinan bahwa dalam perjuangan, kaum proletar, kaum

tani melarat, dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain harus jadi elemennya,

maka perkataan marhaen adalah tepat dan berlaku relevan di Indonesia selama

rakyat masih dijajah Kapitalisme dan Neo-Kolonialisme-Imperialisme116.

5. Proletar Mengambil Bagian Terbesar.

Mengenai hal ini menurut Asmara Hadi, Soekarno pernah mengatakan bahwa

perjuangan yang dimaksud adalah yang secara rasionil, menurut kenyataan, dan

cara perjuangan yang modern. Karena zaman dunia yang semakin modern, kaum

proletarlah yang hidup di zaman modern tersebut, seiring dengan berkembangnya

Kapitalisme modern yang semakin canggih. Kaum proletarlah yang terkenan

cambukan langsung kapitalisme dan Neo-Kolonialisme-Imperialisme117.

Juga karena kaum proletar walaupun tidak memiliki alat produksi dan tanah,

namun mereka memiliki keahlian dan ilmu. Mereka yang paling terdidik di antara

116
Ibid.
117
Ibid., hlm. 15.
114

unsur kaum marhaen lainnya. Untuk menjadi buruh selain tenaga, juga dibutuhkan

keterampilan yang biasanya difasilitasi oleh para kapitalis.

Menurut Asmara Hadi, memang secara kuantitas, jumlah kaum tani melarat

lebih besar jumlahnya. Namun pada umumnya, kaum tani melarat masih berdiri

dengan satu kakinya dalam Feodalisme, masih hidup dalam alam angan-angan

mistik, tidak selarasa dengan zaman, dan belum terdidik dalam pengertian

modern118.

Pada umumnya juga masih mengagungkan “Ningratisme”, masih percaya pada

“ratu adil” atau “heru cokro” yang akan turun dari kayangan dengan membawa

kenikmatan surga dunia, juga masih mengandalkan kekuatan ghaib, belum masuk

ke dalam Modernisme. Karena untuk meruntuhkan Kapitalisme dan Neo-

Kolonialisme-Imperialisme serta membangun Sosialisme, modernitas itu sangat

dibutuhkan.

Maka itu, Asmara Hadi menilai, kaum proletar yang paling utama memiliki

peran terbesar dalam perjuangan kaum marhaen. Kaum proletar hidup dan

merupakan ciptaan langsung dari Kapitalisme dan Neo-Kolonialisme-

Imperialisme. Mereka paham pabrik, paham mesin, paham listrik, dan atas batang

tubuh mereka sendiri dengan langsung mereka mengalami. Karena itu, mereka

lebih paham mengenai produksi kapitalisme119.

Dan sebagai buruh, mereka disatukan dalam satu tempat kerja ataupun

persamaan pekerjaan walau pabriknya berbeda. Ada berbagai serikat buruh juga

118
Ibid., hlm. 16.
119
Ibid., hlm. 17.
115

yang dapat menghimpun mereka. Hal itulah yang menyebabkan mudahnya

tumbuh semangat kolektivitas dan solidaritas di antara kaum buruh, dan mereka

juga dapat secara langsung merasakan penderitaan unsur kaum marhaen lainnya.

Tesis kelima tersebut cocok dengan ajaran marxisme, bahwa perjuangan

bersama kaum buruh dengan kaum tani, kaum buruhlah yang menjadi barisan

pelopor yang revolusioner. Kaum buruh dan tani harus bersekutu, namun kaum

buruhlah yang terpanggil jiwanya oleh riwayat sebagai pemanggul panji-panji

revolusi120. Hal tersebut tidak mendiskreditkan unsur kaum marhaen lainnya.

Kaum buruh adalah barisan pelopor seluruh kaum marhaen di Indonesia. Sebagai

pelopor, mereka akan membangunkan kesadaran revolusioner tersebut kepada

unsur kaum marhaen lainnya.

6. Marhaenisme adalah Asas.

Asas atau prinsip adalah pegangan yang terus menentukan sikap dan perbuatan.

Asas tidak boleh dilepaskan dan digadaikan, apalagi direvisi, walaupun telah

mencapai Indonesia merdeka. Bahkan justru di alam Indonesia merdeka tersebut,

asas harus dilaksanakan. Asas-lah yang menjawab berbagai pertanyaan mengenai

seharusnya pemerintahan dan kehidupan rakyat di alam Indonesia merdeka 121.

Soekarno sejak dua puluh delapan tahun silam 122, telah mengatakan dan

120
Ibid., hlm. 18.
121
Ibid., hlm. 19.

Dua puluh delapan tahun dari 1961, yakni 1933 (saat Soekarno menjadi Ketua
122

Umum Partindo).
116

menegaskan bahwa asas bangsa Indonesia adalah Marhaenisme atau Sosio-

Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi.

Maka itu, susunan pemerintahan, perekonomian, perkembangan ilmu, seni,

kebudayaan, dan seluruh kehidupan sosial rakyat Indonesia haruslah berjalan di

atas rel Marhaenisme. Republik Indonesia yang berdasarkan Panca Sila haruslah

berjalan di atas rel Marhaenisme, ditarik oleh lokomotif marhaen yang

revolusioner, menuju Sosialisme penuh. Karena hanya Sosialisme penuh yang

akan tumbuh keselamatan di dalam segala lapangan hidup bagi para kaum

marhaen123.

7. Perjuangan yang Revolusioner.

Marhaenisme bukan saja suatu asas atau prinsip untuk menyusun masyarakat

dan negara yang menyelamatkan kaum marhaen, namun juga suatu asas

perjuangan yang menjawab bagaimana seharusnya cara kita berjuang. Menurut

tesis ketujuh ini, menyatakan bahwa cara perjuangan para marhaenis haruslah

perjuangan yang revolusioner, dengan asas perjuangan: Non-Koperasi/Kooperatif,

Penyusunan Kekuasaan, dan Massa Aksi124.

Berbeda dengan asas yang tidak boleh dilepas, asas perjuangan ini hendaklah

memperhatikan kondisi di zamannya. Seperti Non-Koperasi/Kooperatif. Di zaman

kolonial, para marhaenis bersikap Non-Koperasi/Kooperatif terhadap pemerintah

123
Ibid., hlm. 20.
124
Ibid., hlm. 20-21.
117

kolonial Hindia-Belanda. Menolaknya sama sekali, dengan keras, dan tidak mau

duduk dalam parlemen/dewan buatannya125.

Namun di alam Indonesia merdeka ini, Belanda telah pergi. Kini, pemerintah

Indonesia ialah pemerintah nasional. Dewan perwakilan yang sekarang adalah

dewan-dewan nasional. Maka itu, sebagian dari asas perjuangan yakni Non-

Koperasi/Kooperatif, tidak dibutuhkan lagi126. Namun tetap harus dijunjung oleh

karena yang dimaksud ialah Non-Koperasi/Kooperatif terhadap Kapitalisme dan

Neo-Kolonialisme.

Dalam Marhaenisme, terdapat dua cara perjuangan, melalui pemerintahan dan

dewan, maupun jalanan. Asas perjuangan massa aksi dan penyusunan kekuasaan

menjadi dua cara yang ditempuh para marhaenis. Parlemen digunakan sebagai

forum memperjuangkan kaum marhaen dengan membuat undang-undang dan

peraturan pemerintah yang menguntungkan kaum marhaen.

Sedangkan jalanan, atau massa aksi digunakan Marhaenisme sebagai cara dan

asas perjuangan untuk mencegah tumbuhnya sistem Kapitalisme dalam Indonesia

merdeka serta untuk membangun Sosialisme Indonesia. kesadaran kaum marhaen

harus terus digugah melalui berbagai organisasi seperti Serikat Buruh, Serikat

Tani, Gerakan Pemuda, Serikat Nelayan, dan lain-lain127. Di dalam parlemen dan

luar parlemen, kaum marhaen harus terus bergerak, itulah yang disebut sebagai

dinamis dalam perjuangan.

125
Ibid., hlm. 21.
126
Ibid., hlm. 22.
127
Ibid., hlm. 22-23.
118

8. Cara Perjuangan.

Marhaenisme adalah asas perjuangan yang radikal dan revolusioner. Radikal

karena Marhaenisme tidak puas dengan usaha-usaha reform saja, dengan usaha-

usaha perbaikan tambal-sulam, dengan usaha-usaha perbaikan hari ini saja.

Marhaenisme tidak anti dengan reform-aksi128, yakni perbaikan nasib dalam

masyarakat sekarang. Namun Marhaenisme tidak puas dengan itu semata. Bagi

Asmara Hadi, kemelaratan kaum marhaen akan lenyap di alam sosialisme

Indonesia secara penuh129.

Sosialisme penuh, menurut Asmara Hadi yakni masyarakat yang di dalamnya

terdapat kehidupan dengan segala alat-alat produksi jadi milik seluruh masyarakat

secara kolektif-kolegial, tiap orang punya pekerjaan dan wajib bekerja, dan

pembagian rezeki sedemikian adilnya sehingga tiap orang mendapat hasil sesuai

keperluan atau hajatnya. Marhaenisme bertujuan mengubah masyarakat ke dalam

itu semua, ke sosialisme penuh.

Itulah sebabnya, Marhaenisme adalah asas yang radikal (radix = akar), yang

berjuang mencabut kemelaratan kaum marhaen hingga ke akar-akarnya. Akar-akar

kemelaratan tersebut secara lahir dan batin adalah sistem Kapitalisme, dan

Marhaenisme adalah pula asas perjuangan yang revolusioner karena ingin cepat-

cepat mewujudukan Sosialisme tersebut130.

128
Disebut juga reformasi.
129
Asmara Hadi (H.R.), Sembilan Tesis Marhaenisme dan Pendjelasan
Singkatnja, (Jakarta: PB Partindo, 1959), hlm. 24.
130
Ibid.
119

Marhaenisme tidak anti reform-aksi, atau sosial-reform131, yang sifatnya

tambal-sulam atau sementara atau dalam skala kecil, serta tidak secara mengakar.

Hal tersebut adalah bagus, dan membantu. Namun tidak mengubah kehidupan

kaum marhaen secara mengakar. Aksi-aksi filantropis tersebut malah menjadi

suatu kewajiban dan memiliki hubungan dengan Sosialisme. Asmara Hadi hanya

mengingatkan, agar kaum marhaen dan para aktivis atau pejuang kaum marhaen /

marhaenis, tidak terpukau dengan hal tersebut agar tidak terkurung dalam alam

Reformisme132.

Marhaenisme juga harus dibaca menurut kondisi zamannya, dengan Marxisme

sebagai pisau analisisnya, sehingga marhaenisme akan terus relevan selama

Kapitalisme dan Imperialisme masih ada di dunia khususnya Indonesia. Para

marhaenis juga harus mewaspadai gerak-gerik kaum borjuis, bahkan Soekarno

sendiri pernah mengingatkan dengan keras agar jangan sampai kita terkena

mentalitas kaum borjuis tersebut. Di alam pergerakan nasional, Soekarno

menekankan perjuangan nasional untuk menghimpun satu kekuatan bangsa

melawan Kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang.

Namun di alam Indonesia merdeka, Soekarno mengingatkan kita agar melawan

Kapitalisme dan Borjuisme bangsa sendiri, agar mentalitas bangsa Indonesia tidak

terkena mentalitas kapitalis dan borjuis, agar tidak ada kapitalis dan borjuis bangsa

sendiri, dan kaum marhaen di alam Indonesia merdeka, harus melawan kapitalis

dan borjuis bangsa sendiri. Hal tersebut diingatkan secara keras lagi oleh Asmara

Hadi dalam berbagai tulisannya di berbagai buku dan suratkabar, karena pada saat
131
Gerakan sosial, gerakan membantu, dan yang sifatnya filantropis.
132
Asmara Hadi (H.R), op.cit., hlm. 25.
120

itu (terutama 1950-an) semakin menguat mentalitas dan praktik dari borjuasi dan

kapitalis nasional.

Bagi Asmara Hadi, apa yang pernah dikatakan Soekarno dan diingatkannya

adalah fakta-fakta yang tidak bisa disangkal. Sebagian dari kelas borjuis Indonesia

saat itu telah berjalan ke arah Kapitalisme nasional. Divergensi atau pemisahan

kelas, atau perpisahan jalan antara kelas marhaen dan kelas borjuis makin nyata

bagi orang pandai menggunakan panca-indera dan otak serta nuraninya. Situasi

demikian semakin memancing Indonesia ke arah perjuangan kelas, karena jika

terus seperti itu, lama-kelamaan, kelas marhaen akan berhadapan secara langsung

dengan kelas borjuis133.

Menurut Asmara Hadi, pengkhianatan cita-cita Indonesia merdeka, karena

faktor-faktor objektif, faktor-faktor materi, membuktikan bahwa klas borjuis

Indonesia tidak akan pernah besar dan raksasa membangun Kapitalismenya, jika

tidak ada bantuan dan kucuran dana serta ketergantungan terhadap kapitalis dan

borjuis asing. Hal tersebut akan mengembalikan Indonesia merdeka ke dalam

penjara Imperialisme internasional134. Itulah yang disebut Soekarno sebagai “Neo-

Kolonialisme & Neo-Imperialisme (Nekolim)”.

9. Siapakah Marhaenis?

Menurut Asmara Hadi, bukan situasi kemarhaenan yang membuat sesoerang

menjadi marhaenis. Banyak marhaen yang bukan marhaenis, mereka enggan

menjalankan Marhaenisme. Malah lebih lagi, mereka melawan cita-cita

133
Ibid., hlm. 25-27.
134
Ibid., hlm. 27-28.
121

Marhaenisme135. Banyak marhaen yang bercita-cita menjadi borjuis karena

kemelaratan hidupnya, membuatnya gelap mata dan dendam, ingin

melampiaskannya dengan cara berjuang agar kaya raya dan menjadi borjuis

berikutnya.

Namun juga sebaliknya, ada pula kaum borjuis yang meninggalkan kelasnya

dan masuk ke dalam kelas marhaen untuk membaktikan hidupnya pada kaum

marhaen dan perjuangan mewujudkan Sosialisme. Contohnya Marx, Engels,

Lenin, dan Trotski, bukan berasal dari kelas marhaen tetapi berjuang demi

Sosialisme136.

Bagi Asmara Hadi, unsur terpenting yang dapat membuat orang menjadi

marhaenis ialah kekuatan moral dan karakter. Sejarah membuktikan, orang-orang

tanpa moral dan karakter, dapat terombang-ambing hidupnya bahkan dapat

berkhianat pada cita-cita yang dahulu dianutnya. Moral merupakan kekuatan batin

yang membuat seseorang merasa bersatu dengan anggota-anggota masyarakat

sehingga menyebabkan hatinya tergerak untuk melakukan hal-hal yang baik bagi

kepentingan masyarakat. Bagi Asmara Hadi, menurut metafisika, sumber moral

yang sesungguhnya ialah kasih umum kepada peri-kemanusiaan 137. Moral tidak

menyangkut urusan agama, karena banyak orang beragama namun tidak bermoral.

Sementara, karakter adalah kekuatan dalam batin seseorang yang membuatnya

sanggup berkorban untuk suatu cita-cita yang lebih tinggi nilainya dan lebih

135
Ibid., hlm. 29.
136
Ibid., hlm. 30.
137
Ibid., hlm. 31.
122

langgeng usianya daripada hidup pribadi. Karakterlah yang membuat seseorang

setia kepada idealnya walaupun berdiri di depan gelombang maut yang akan

menerkam138. Seorang marhaenis sejati, harus dan pastilah memiliki keduanya.

Asmara Hadi juga menekankan penting pencarian ilmu bagi seorang

marhaenis. Baginya, mencari ilmu pengetahuan lebih mudah dari menumbuhkan

moral dan karakter. Namun bukan berarti diremehkan. Bahkan, mencari ilmu

pengetahuan adalah hal yang beriringan dengan membangun kekuatan moral dan

karakter. Karena moral dan karakter saja tidak cukup, juga harus cerdas secara

ilmu pengetahuan.

H. Marhaenisme: Marxisme – Soekarnoisme

Asmara Hadi bukan hanya Ketua Umum, bukan sekadar pimpinan partai,

namun ia juga ideolog utama di Partindo139. Rumusan-rumusan ideologis, hampir

semuanya berasal dari otak dan dituliskan oleh Asmara Hadi. Sementara mengenai

kebijakan-kebijakan yang bersifat politis, baru diserahkan kepada anggota, kader,

dan pengurus partai melalu musyawarah. Sebagai seorang demokrat, Asmara Hadi

tidak ingin berlaku otoriter di partainya. Bahkan ia tidak bisa pidato “segalak”

138
Ibid.
139
Wawancara dengan Barus, eks-Sekretaris 1 Pengurus Besar (PB) Partindo
periode 1959-1965, 17 April 2017.
123

Soekarno140. Namun mengenai ideologi, ia adalah orang yang sangat dipercaya

oleh seluruh anggota, kader, pengurus dan simpatisan Partindo.

Ia lebih banyak mencurahkan pemikiran politik dan ideologinya tersebut

melalui tulisan, memang ia lebih dikenal sebagai penulis dibanding tokoh politik.

Asmara Hadi nampak jauh lebih bergairah jika berada di depan mesin tik, dan

sebagai seorang penulis atau ideolog, daripada di depan pengeras suara untuk

berpidato, juga dibandingkan dengan di depan kamera untuk difoto, sebagai Ketua

Umum partai, pejabat negara, dan tokoh politik nasional141. Asmara Hadi juga

merumuskan untuk Partindo dan untuk rakyat Indonesia, konsepsinya yang

berdasarkan arahan langsung dari Soekarno dengan menyesuaikan dengan kondisi

objektif rakyat Indonesia saat itu dan mencoba menembus batas waktu. Asmara

Hadi adalah seorang yang visioner.

Ia berpikir tidak hanya saat itu, namun juga bagi generasi penerus bangsa. Ia

selalu mengedepankan pentingnya Marhaenisme karena baginya Marhaenisme

sebagai suatu ideologi dan asas, serta asas perjuangan di dalamnya yang

revolusioner, tidak hanya milik Partindo dan saat itu saja, melainkan untuk seluruh

rakyat Indonesia dan terus berlaku selama Kapitalisme dan “Nekolim” masih ada

di Indonesia.

Sebagai sebuah ideologi dan asas, marhaenisme tidak dapat dilepaskan dari

dasar perjuangan dan pisau analisis yang digunakan: marxisme. Marhaenisme juga

140
Wawancara dengan Ruskana Putra Marhaen, eks- Ketua Pemuda Partindo
Cabang Karawang periode 1960-an, murid Asmara Hadi, sekaligus sahabat/senior
Tito Zeni Asmara Hadi, 17 April 2017.
141
Wawancara dengan Ruskana Putra Marhaen, diamini dan diucapkan juga oleh
Tito Zeni.
124

tidak dapat dilepaskan dari Soekarno sebagai penggali dan pencetusnya. Sebagai

salah satu ajaran Soekarno, marhaenisme merupakan bagian Soekarnoisme.

Maka itu, bagi Asmara Hadi dan diikuti oleh seluruh keluarga besar Partindo,

Marhaenisme juga disebut sebagai “Marxisme-Soekarnoisme”142. Bahkan

beberapa kali Asmara Hadi menyebutkan marhaenisme sebagai “ke-soekarno-

an”143. Untuk mendalami Marhaenisme/”ke-soekarno-an” tersebut, seseorang

haruslah memahami riwayat Karl Marx dan ajarannya.

Bahkan lambang Partindo yakni Banteng Hitam secara utuh, keempat kakinya

membentuk huruf “M” dan ekornya membentuk huruf “S”. Keduanya adalah

simbol dari “Marxisme-Soekarno”. Maksudnya ialah, Marhaenisme itu menapak

di Marxisme, kakinya menginjak kuat di tanah Marxisme. Ekornya menjadi

pengarah jalannya, dan penyadar darimana dirinya berasal. Maksudnya ialah

Soekarnoisme menjadi pengarah jalannya dan penyadar darimana dirinya berasal

(Indonesia). Makna konkretnya ialah “Marhaenisme Ajaran Bung Karno:

Marxisme-Soekarnoisme, yakni Marxisme yang diselenggarakan di Indonesia

dengan garis haluan politik Bung Karno (Soekarno)”144.


142
Wawancara dengan Barus, Ruskana Putra Marhaen, dan Tito Zeni Asmara
Hadi. Tempat dan waktu berbeda, namun sebagai sesama sahabat Asmara Hadi
dan rekan satu seperjuangan di Partindo, ketiganya mengatakan hal yang sama,
tanpa disengaja dan rekayasa. Itulah pembuktian dari kuatnya pengkaderan dan
ideologisasi di internal Partindo dan sayap-sayapnya, membuat para alumninya,
memiliki ideologi dan pemikiran dan memgang prinsip yang kuat hingga kini dan
tidak saling bertabrakan satu sama lain.

Asmara Hadi (H.R.), Rintisan ke Marhaenisme Adjaran Bung Karno, (Jakarta:


143

PB Partindo, 1961), hlm. 6.


144
Wawancara dengan Ruskana Putra Marhaen, eks- Ketua Pemuda Partindo
Cabang Karawang periode 1960-an, murid Asmara Hadi, sekaligus sahabat/senior
Tito Zeni Asmara Hadi, 17 April 2017.
125

Sebagai “Marxisme-Soekarnoisme”, tahapan tertinggi dari “Marxisme yang

diselenggarakan di Indonesia”, marhaenisme tidak dapat dilepaskan dan

dipisahkan dari Marxisme. Sejak awal perdebatan hal mengenai hubungan antara

Marhaenisme-Marxisme, Soekarno berkali-kali geram dengan pihak-pihak yang

ingin memisahkan keduanya. “Marxisme-Soekarnoisme” juga dapat diartikan

sebagai Marxisme yang berasal dari penafsiran Soekarno mengenai kondisi

Indonesia.

Dalam pasal 4 Anggaran Dasar Partindo 1963, Asmara Hadi menyatakan

bahwa marhaenisme ajaran Soekarno merupakan seluruh kalimat yang berdiri

secara utuh. Tidak ada “Marhaenisme” berdiri sendirian. Harus satu kalimat utuh

yakni “Marhaenisme Ajaran Bung Karno”145. Asmara Hadi saking geramnya

terhadap pihak-pihak yang masih ngotot membangkang pada kenyataan mengenai

marhaenisme tersebut, pernah membentak dalam tulisannya:

“Jika mengaku Marhaenis, harus menguasai


Marxisme sebagai ilmu dan menjiswainya lalu
menjalankannya dalam masyarakat Indonesia.
Marhaenisme bukan Marxisme? Keliru! Mungkin
dia kurang teliti mempelajari tulisan-tulisan Bung
Karno sejak 1926”146.

Pengurus Besar (PB) Partindo yang dipimpin oleh Asmara Hadi bahkan

semakin mantap dan berketatapan hati serta mengambil keputusan pada 1963

(sesuai dengan pernyataan dalam wawancara dengan Ruskana Putra Marhaen)

Asmara Hadi (H.R.), Di Bawah Bendera Marhaenisme, (Jakarta: PB Partindo,


145

1963), hlm. 24.


146
Ibid., hlm. 25.
126

untuk menaikkan pengertian ideologinya setingkat lagi dengan merumuskan

bahwa “Marhaenisme Ajaran Bung Karno” adalah: “Marxisme-Soekarnoisme”147.

Salah satu tujuan dari menaikkan pengertian ideologinya satu level atau satu

tahap lebih tinggi adalah bahwa para marhaenis sejati yang tergabung dalam

Partindo ingin dan akan menyatakan bahwa tidak mungkin orang menjalankan

Soekarnoisme atau mengaku soekarnois dan marhaenis, tanpa menjadi marxis

terlebih dahulu148. Hal tersebut untuk memastikan bahwa seseorang yang mengaku

barisan soekarno / soekarnois / marhaenis, benar-benar menjadi kader yang sejati,

menjadi marhaenis sejati, bukan “marhaenis gadungan” yang hanya ingin mencari

untung dengan berlindung di belakang nama besar Soekarno.

Salah satu alasan pemberian nama “Marxisme-Soekarnoisme” ialah alasan

internasional. Sebagai salah satu poros dunia, Indonesia harus berdiri di atas

kakinya sendiri, tidak mengekor pada negara mana pun juga. Pengertian

Marhaenisme sebagai Marxisme-Soekarnoisme juga bermaksud menunjukkan

kepada dunia, terutama dunia kaum marxis, bahwa marxisme Indonesia memiliki

coraknya sendiri. Soviet berkiblat pada Marxisme-Leninisme-Stalinisme,

Tiongkok dengan Marxisme-Maoisme, Vietnam Utara saat itu dengan Marxisme-

Ho Chi Minhisme, lalu di barisan lain ada Marxisme-Trotskyisme, dan lain-lain149.

147
Asmara Hadi (H.R.), Kibarkan Tinggi Panji Marhaenisme, (Jakarta: PB
Partindo, 1964), hlm. 3.
148
Ibid., hlm. 4.

Wawancara dengan Tito Zeni Asmara Hadi, putra kandung Asmara Hadi,
149

Bandung, 25 April 2017.


127

Indonesia memiliki Marxisme-Soekarnoisme. Demi menjaga persatuan sesama

negeri sosialis berhaluan marxis, namun agar Indonesia tidak terjerumus pada

Blok Timur, karena Indonesia memegang teguh prinsip politik luar negeri bebas

aktif dan telah terkenal dengan Gerakan Non-Bloknya.

Jadi satu sisi bersatu dalam “Front Anti Nekolim” sedunia, tapi tetap berada di

luar Blok Barat & Timur yang sedang dalam “Perang Dingin” saat itu. Penaikkan

status ideologi Marhaenisme menjadi Marxisme-Soekarnoisme juga bertujuan

untuk menaikkan harga diri bangsa Indonesia di mata dunia. Membuat blok barat

ketar-ketir, sekaligus membuat blok timur segan untuk mencaplok Indonesia agar

masuk ke blok timur.

Mengenai Soekarnoisme pula, Asmara Hadi mengatakan bahwa soekarnoisme

adalah sikap politik, pandangan politik, dan teori politik 150. Ia mendefinisikan

prinsip politik sebagai ide dasar tempat berdiri pikiran-pikiran politik yang lain.

Dalam hal ini, prinsip politik Soekarno adalah Marhaenisme151. Menurutnya,

kepada hakikat Marxisme itu diberilah nama Marhaenisme.

Hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Karena Marxisme adalah ajaran

untuk menyelamatkan kaum marhaen. Marxisme hanyalah dapat mencapai puncak

kemenangannya jika kaum marhaen yang memangkunya, jika kaum marhaen yang

bergerak dan berjuang melaksanakannya. Sebaliknya, kaum marhaen hanya dapat

sampai pada dunia keselamatannya, jika melaksanakan Marxisme152.Banyak orang


150
Asmara Hadi (H.R.), Kibarkan Tinggi Panji Marhaenisme, (Jakarta: PB
Partindo, 1964), hlm. 8.
151
Ibid.
152
Ibid., hlm. 11.
128

mengkritik gagasan Marxisme-Soekarnoisme ini. Salah satunya adanya ketakutan

berlebihan terhadap Marxisme yang diidentikkan dengan komunisme, padahal

keduanya berbeda. Marxisme juga bukanlah Atheisme sebagaimana propaganda

pihak-pihak kontra-revolusioner.

Penamaan Marxisme-Soekarnoisme ini pula menurut Asmara Hadi

menimbulkan kecurigaan pada sosok Soekarno itu sendiri. Juga mempertanyakan

Asmara Hadi dan kawan-kawan yang Muslim namun menganut Marxisme.

Asmara Hadi menjawabnya dengan santai dan mantap, bahwa Marxisme dan

religi bisa disatukan, dapat disintesakan153.

Bahkan jauh sebelum kritik itu dilemparkan untuk menghasut masyarakat dari

pihak –pihak kontra-revolusioner, Asmara Hadi saat muda pernah bertanya kepada

Soekarno. Saat itu Soekarno masih dalam masa pengasingannya di Ende, Flores.

Asmara Hadi sempat menyusul ke sana dan ikut tinggal bersama Soekarno selama

sekitar setahun. Asmara Hadi pernah bertanya kepada Soekarno:

“Bagaimana Bapak bisa mensintesakan Marxisme


dengan Religi?”

Soekarno pun menjawab:

“Marxisme saya sama dengan Marxisme-nya


Toelstra dan Juares. Marxisme yang di dalamnya,
menggema suara Tuhan!”154.

153
Ibid., hlm. 15-16.

Tito Zeni Asmara Hadi, “Riwayat Singkat Perjuangan Perintis Kemerdekaan


154

Alm. Bapak Asmara Hadi (HR) di Zaman Penjajahan Belanda, Jepang, dan
Setelah Kemerdekaan”, Catatan Pribadi, ditulis di Bandung, 14 Agustus 2016,
hlm. 5.
129

Soekarno juga berkali-kali dalam pidatonya mengingatkan dan menegaskan

rakyat Indonesia agar tidak terhasut dengan propaganda pihak kontra-revolusioner

yang ingin memecah belah persatuan bangsa. Serta dianggap sebagai “agen

nekolim”. Soekarno mewanti-wanti agar rakyat Indonesia tidak terkena phobia,

baik terhadap Nasionalisme, Agama, dan Komunisme, atau kepada konsepsi

gabungan ketiganya (NASAKOM) sekaligus.

Bahkan sejak muda, Soekarno telah menuliskan adanya persamaan atau benang

merah yang dapat mempertemukan ketiganya dalam tulisannya pada 1926 yakni

Nasionalisme, Islamisme, Marxisme155. Tulisan tersebut benar-benar

diperjuangkan oleh Soekarno puluhan tahun kemudian ketika telah menjadi

Presiden dengan membuat konsep NASAKOM dan poros Front Nasional untuk

melawan Neo-Kolonialisme dan Imperialisme.

I. Perjuangan Kelas Dalam Marhaenisme

Asmara Hadi menjelaskan bahwa dalam Marxisme, terdapat klas-klas dalam

kehidupan masyarakat kapitalis. Adanya kelas-kelas tersebut dan perjuangannya

di masa berikutnya, bergantung pada tahap-tahap historis dalam cara produksinya.

Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, (Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah


155

Bendera Revolusi, 1963), Jilid 1, hlm. 1-24.


130

Revolusi proletariat dalam Marxisme harus mencapai pada diterapkannya

“Diktatur Proletariat”, yakni taraf menuju masyarakat tanpa kelas156.

Menurut Asmara Hadi, sudah ada ahli sejarah/ filsuf dunia yang mengkonsep

mengenai kelas-kelas, sebelum Marx, yakni Thierry & Guizot. Mereka hidup saat

klas borjuis sedang naik di Eropa. Namun mereka kurang menggigit dalam

mendalami pembagian kelas tersebut. Marx kemudian yang “menggigit”-nya dan

membuat pembagian klas seharusnya menjadi pertentangan dan lanjut pada

perjuangan klas157.

Perjuangan kelas marhaen atau proletariat dalam Marxisme, atau Sosialisme,

tersebut bukan hanya sekadar miskin dan kaya. Bukan sekadar membalikkan

kehidupan dari miskin menjadi kaya, serta menjatuhkan yang kaya menjadi

miskin. Bukan demikian. Namun revolusi tersebut bertujuan mewujudkan

pemerataan atau masyarakat sosialis. Bukan permasalahan harta, namun lebih

terhadap posisi manusia atas alat-alat produksi yang harus dikelola secara gotong-

royong158.

Marhaenisme menurut Asmara Hadi, sebagai “Marxisme-Soekarnoisme”, juga

menerima perjuangan klas. Sejak jauh hari Soekarno sering mengatakan tidak

menolak perjuangan klas, bahwa perjuangan klas beriringan dengan perjuangan

nasional. Menurut Soekarno dan diamini oleh Asmara Hadi, perjuangan nasional

Asmara Hadi (H.R.), Rintisan ke Marhaenisme Adjaran Bung Karno, (Jakarta:


156

PB Partindo, 1961), hlm. 6.


157
Ibid., hlm. 18.
158
Ibid., hlm. 18-19.
131

menjadi hal utama di masa kolonial karena suasana pergerakan nasional saat itu

memiliki tujuan yang sama yakni kemerdekaan nasional, Indonesia merdeka.

Penerimaan terhadap perjuangan kelas dengan mengetahui kondisi Indonesia

pada masa jajahan tidak merdeka, kini telah merdeka. Maka perjuangan kelas

telah bisa dimulai atau dilakukan. Namun, lagi-lagi, dengan memperhatikan

kondisi Indonesia sebagai negeri agraris sekaligus maritim. Berbeda dengan

kondisi negeri-negeri kapitalis di Eropa yang telah mengalami industrialisasi

besar-besaran dan memiliki kondisi masyarakat berbeda dengan Indonesia. Juga

kondisi kaum marhaen Indonesia yang tidak hanya kaum proletar, namun juga

kaum tani melarat dan kaum melarat Indonesia lain-lain, juga kondisi Indonesia

yang masih setengah atau sisa-sisa feodal. Hal tersebut membuat perjuangan klas

di Indonesia tetap harus dilakukan, namun secara adaptif, dengan benar-benar

memperhatikan kondisi masyarakat Indonesia159.

J. Historis - Materialisme

Menurut Asmara Hadi pula, materialisme di dalam Marxisme ialah historis-

materialisme. Sebagai pisau analisis dan cara untuk mengkaji serta membedah

kondisi kaum marhaen Indonesia untuk mewujudkan masyarakat sosialis160.

159
Ibid., hlm. 22.
160
Ibid., hlm. 23-27.
132

Soekarno sebagai pencetus Marhaenisme juga menggembleng marhaenis dengan

menerima historis-materialisme161, dengan itulah para marhaenis dapat membedah

kondisi kaum marhaen. Menurut Marx yang diamini oleh Asmara Hadi, dalam

Marxisme terdapat satu teori inti yang benar-benar berpengaruh terhadap proletar

dan kaum marhaen, yakni teori nilai lebih atau mehrwert162, yang menyebabkan

pemiskinan terhadap kau marhaen.

Menurut Asmara Hadi, ada beberapa tahap untuk mengerti Marhaenisme,

yakni: lebih dahulu pahami Marxisme, kenali keadaan riil dan historis rakyat

Indonesia, mengadakan politik persatuan rakyat atau kaum marhaen, baru nanti

akan benar-benar mengerti Marhaenisme163. Untuk memahami Marxisme tentunya

kita harus memahami ajaran Marx dan Engels mengenai kehidupan rakyat.

Marx terutama, banyak menulis dan meneliti serta membongkar kapitalisme

dengan benar-benar terbongkar secara ilmiah. Maka itu, Sosialisme ajaran Marx

disebut sebagai Sosialisme ilmiah, Sosialisme yang berdasarkan kondisi objektif

secara ilmiah, dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Setelah

memahaminya, baru kita dapat bertindak164.

Marxisme menjadi ilmu dan metode, serta pembimbing perbuatan dalam arti

perjuangan melawan kapitalisme dan imperialisme serta mewujudukan sosialisme

Indonesia. Marxisme juga menjadi pisau analisis untuk membedah perkembangan

161
Ibid., hlm. 28
162
Ibid., hlm. 29.

Asmara Hadi (H.R.), Di Bawah Bendera Marhaenisme, (Jakarta: PB Partindo,


163

1963), hlm. 27.


164
Ibid., hlm. 30.
133

Kapitalisme dan Imperialisme. Membedah dengan sangat tajam, membuat “borok”

Kapitalisme dan Imperialisme akan terbuka lebar, maka itu dapat dilakukan

penyelamatan dan penyembuhan dengan obatnya yakni Sosialisme.

Untuk itu semua, maka kita harus menjadi materialis, bukan bermakna gila

harta/ penyembah benda, bahkan tidak bertuhan, sebagaimana banyak fitnah

terhadap kaum marxis. Bagi Asmara Hadi, materialis berarti orang yang mengakui

dan memahami hukum-hukum objektif yang ada dalam materi, dan bertindak

menurut hukum-hukum objektif tersebut165.

Asmara Hadi sangat menolak anggapan bahwa kaum marxis itu atheis atau

tidak bertuhan dan tidak beragama, karena menganut paham materialis. Asmara

Hadi membantah sesat pikir tersebut. Ia merupakan seorang muslim taat, dan

mengerti bagaimana menjadi orang Indonesia yang religius, nasionalis, dan

sosialis/marxis sekaligus. Ia membuktikan, menjadi ketiganya (religius, nasionalis,

dan sosialis) adalah keniscayaan jika moral dan karakter kita kuat dan mampu

membaca kondisi masyarakat di sekitar kita. Menurut Asmara Hadi:

“Siapa yang membaca Al-Qur’an dengan jiwa


filosofis, jadi bukan hanya baca aksaranya saja, tidak
akan gentar dengan kata-kata materialisme. Sebab
yang ada dalam Al-Qur’an bukan hanya Allah
sendiri, namun Ia (Allah) menunjuk pada bumi,
langit, dan bintang-bintang, serta alam semesta
sebagai tanda-tanda kearifan. Semuanya adalah
materi.
Allah menyuruh manusia belajar dari materi-
materi / benda-benda tersebut sebagai tanda-tanda
kehidupan untuk bertindak sesuai hukum materi-

165
Asmara Hadi (H.R), op.cit., hlm. 31.
134

materi tersebut. Bacalah Al-Qur’an dengan jiwa


filosofis dan hati ikhlas, bukan secara dogmatis”166

“dan telah kami ciptakan segalanya berpasang-


pasangan. Agar kamu menarik pelajarandarinya”
(Q.S. Adz-Dzariyat : 50).

Menurut Asmara Hadi, berpasangan-pasangan tersebut memiliki arti dialektis

atau kontradiksioner di dalam perspektif Marxisme167.

166
Asmara Hadi (H.R), op.cit., hlm. 32.
167
Ibid.,

Anda mungkin juga menyukai