TESIS
UNIVERSITAS INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
Eropa, perjalanan pendidikan telah berlangsung sejak zaman Yunani dan Romawi hingga
modern setelah era Renaisans. Di Asia, pendidikan telah diterapkan sejak masa Mesir, India, dan
Tiongkok kuno, hingga era modern setelah terpengaruh kolonialisme Eropa. Begitu juga
Indonesia, sebagai bangsa Asia yang mendapat pengaruh kolonialisme, pendidikan modern mulai
berkembang, terpengaruh dan diterapkan oleh kolonial. Hal ini menandakan bahwa unsur politik
Secara umum, korelasi antara kekuasaan sebagai pemegang politik dan pemerintahan,
dengan kebijakan pendidikan tidak dapat dipisahkan. Dapat juga dikatakan bahwa penerapan
pendidikan di suatu masyarakat, daerah, hingga negara tidak dapat dipisahkan dari kebijakan
pemerintah dan situasi serta suasana politik yang berlaku di era tersebut. Menurut Asep Suryana,
kebijakan pendidikan merupakan upaya mengatur pendidikan, yang tidak dapat terlepas dari
Begitu juga di era kerajaan/kesultanan Islam, walaupun di era tersebut banyak terjadi akulturasi
kebudayaan antara Islam dan Hindu-Buddha ataupun budaya setempat. Pendidikan yang
diterapkan di era Islam yang paling terkenal hingga saat ini dikenal sebagai pendidikan
tradisional, misalnya Pesantren, Surau, Langgar, dan lain-lain. Hal yang sama terjadi di era
3
kristenisasi, menjadi ‘modern-sekuler’ akibat kebijakan Politik Etis, lahir dari dari kaum sosialis-
liberalis yang prihatin terhadap kondisi sosial ekonomi kaum bumiputra (inlander).
berikutnya. Setelah Belanda menyerah pada Jepang, militer Jepang menduduki wilayah Hindia-
(termasuk di bidang pendidikan) penghapusan segala hal yang berbau Belanda dan Barat,
menerapkan Nipponisasi, dalam kebijakan politik dan pendidikannya merangkul Islam untuk
Setelah kemerdekaan Indonesia, kekuasaan politik, tata negara, dan penerapan kebijakan
berpusat mengusir dan menghapus segala sesuatu yang berbau kolonial Belanda dan fasisme
Jepang, situasi politik berubah mengikuti zaman. Perpolitikan dunia sejak akhir 1940-an hingga
1960-an, mulai masuk dan menguatnya era Perang Dingin. Hal tersebut juga memengaruhi
Berbicara tentang pendidikan nasional suatu negara, pasti berdasar pada nasionalisme
yang dianut oleh negara dan bangsa tersebut. Perkembangan nasionalisme dan pembentukan
negara-bangsa (nation-state) di tiap negara-bangsa dunia memiliki ciri khas/ karakter masing-
4
masing, Indonesia pun demikian. Masyarakat Indonesia telah memiliki sejarah panjang sebagai
masyarakat yang dikuasai, dan berkuasa atas nama agama. Agama dan kebudayaan telah melebur
menjadi satu, termasuk ketika nantinya nasionalisme berkembang, tidak dapat melepaskan diri
dari agama. Berbeda dengan perkembangan nasionalisme Eropa yang beriringan dengan
sekularisme.
Perkembangan nasionalis Indonesia pun digerakkan oleh tiga kekuatan ideologi besar:
nasionalisme, agama (khususnya Islam), dan marxisme. Ketika Indonesia merdeka, penerapan
kebijakan pendidikan nyatanya tidak bisa menggabungkan semuanya. Hal itu dapat dibuktikan
dengan pemisahan naungan pendidikan melalui dua kementerian: Kementerian Pendidikan serta
Kementerian Agama. Pendidikan yang berbasis nasional dan sifatnya non-agama dinaungi oleh
Selanjutnya, penulis meyakini bahwa dalam meneliti kebijakan pendidikan harus melihat
akar historis situasi politiknya. Di era Demokrasi Terpimpin yang menjadi fokus periode
penelitian ini, semua aspek kehidupan masyarakat wajib mengikuti konsep dan haluan negara
berdasar pada indoktrinasi serta ajaran langsung Sukarno, termasuk di bidang pendidikan. Tesis
ini secara lebih detail membahas hal tersebut (dijabarkan pada bab berikutnya tentang kebijakan
Sebenarnya, sudah banyak tulisan, karya ilmiah, jurnal, skripsi, tesis, disertasi, bahkan
reportase dalam surat kabar/media massa tentang kebijakan pendidikan. Terkait sejarah
pendidikan Indonesia, juga telah banyak ditulis. Namun kajian pendidikan nasional di era
Demokrasi Terpimpin apalagi mengacu dengan sumber primer dan berbagai UU (Undang-
5
undang) dan landasan hukum resmi lainnya di zaman Demokrasi Terpimpin, masih belum
banyak diteliti.
Menurut penulis, berbagai kajian dan tulisan tentang era Demokrasi Terpimpin terlalu
banyak yang membahas mengenai sisi kebijakan politiknya saja. Seperti Politik Mercusuar,
dan GANEFO (Games of New Emerging Forces), perebutan Irian Barat, keluarnya Indonesia
dari PBB, politik ‘Ganyang Malaysia’, simbolisasi politik dengan pembangunan (Monumen
Nasional, Hotel Indonesia, dan lain-lain), ketegangan segitiga kekuatan politik: Tentara/ TNI AD
(Angkatan Darat), Sukarno, dan PKI (Partai Komunis Indonesia), hingga pecahnya G30S
(Gerakan 30 September 1965). Sementara penelitian yang fokus di bidang pendidikan era
Demokrasi Terpimpin, belum banyak dibahas. Hal tersebut menjadi permasalahan yang ada pada
penelitian ini. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka terdapat beberapa pertanyaan penelitian
Parlementer?
Terpimpin?
3. Bagaimana dampak dari penerapan kebijakan dan sistem pendidikan nasional di era
Penelitian ini menggunakan cakupan spasial dan temporal. Secara spasial, karena
membahas tentang kebijakan pendidikan nasional, maka berlaku atau mencakup se-Indonesia.
Fokus penelitian ini yakni kebijakan pendidikan nasional yang diterapkan Sukarno, dan mengacu
pada pandangan Sukarno tentang pendidikan, sebagai ‘Kepala Sekolah (Kepsek)’ bagi seluruh
Secara cakupan temporal, penelitian ini berpusat di era Demokrasi Terpimpin (1959-
1966). Dimulai sejak 1959, karena pada periode ini, dimulainya Demokrasi Terpimpin Sukarno
melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Walaupun dimulai sejak 1959, namun pada bab-bab awal
penelitian ini sedikit menjabarkan terlebih dahulu sejarah pendidikan Indonesia era awal
kemerdekaan / masa revolusi. Akhir periode penelitian ini berujung pada 1966 karena di era
tersebut Demokrasi Terpimpin dan pengaruh Sukarno kian terkikis sebagai dampak dari
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab serangkaian permasalahan yang ada dalam
dampak dari penerapan kebijakan sistem pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi salah satu rujukan bagi
DPR RI dalam membuat kebijakan pendidikan nasional yang sesuai amanat UUD 1945. Manfaat
lainnya di luar pemerintahan, adalah menambah kajian pendidikan dan sejarah pendidikan
nasional, serta sangat bermanfaat untuk para lembaga riset dan/atau bahkan
Tinjauan pustaka adalah peninjauan terhadap penulisan terdahulu yang sejenis dengan
penelitian ini. Adapun beberapa karya tulis yang sejenis, namun memiliki perbedaan dengan
kajian ini, diantaranya yaitu buku Kamadjaja, Pendidikan Nasional Pantjasila: Perdjuangan
Pendidikan Nasional Indonesia dan Hasil-Hasilnja, UP. Indonesia: Jogja, 1966. Buku tersebut
membedah sejarah pendidikan Indonesia sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha hingga Demokrasi
Terpimpin, ditulis secara ideologis dan politis berdasar sesuai situasi politik serta kebijakan
pemerintah di era tersebut (lebih bersifat indoktrinasi). Hal yang kurang dari buku ini adalah
awal mula periode tulisan terlalu jauh (sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha) dan kurangnya
penjelasan lebih rinci tentang dampak kebijakan pendidikan di era Demokrasi Terpimpin.
Berikutnya, jurnal yang ditulis Sunarso, yakni Pendidikan Nasional Indonesia (Tinjauan
dari Perspektif Sejarah), Volume 4 no. 1, 2007, Jurusan PKnH FISE Universitas Negeri
Yogyakarta. Jurnal tersebut membahas tentang sejarah pendidikan nasional Indonesia sejak
zaman Kerajaan Hindu-Buddha hingga Reformasi. Serta menggunakan kerangka pikir historis
Perbedaan dengan penelitian ini cukup jelas terdapat pada sumber, yakni lebih banyak
sumber sekunder (buku penelitian lain dan tidak sesuai zaman saat kebijakan pendidikan
Sukarno diterapkan) dan kurangnya sumber primer. Perbedaan berikutnya dengan penelitian ini
adalah jurnal tersebut terlalu singkat karena hanya berupa jurnal, namun temporalnya terlalu
Kemudian, artikel yang ditulis Said Hamid Hasan, Instruksi dan Perubahan Kurikulum di
Indonesia), Bandung: 30 Juni 2019. Membahas tentang sejarah singkat perkembangan kurikulum
perkembangan kurikulum nasional dari awal kemerdekaan hingga masa kontemporer (pasca-
reformasi).
namun temporalnya juga terlalu panjang untuk ukuran artikel, karena keterbatasan sumber yang
dimiliki (walaupun ada beberapa dokumen/sumber primer yang digunakan seperti UU no. 4
tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah dan UU no. 12 tahun
1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia.
Namun masih sangat kurang dan berbeda dengan fokus utama penelitian ini, yakni era
Demokrasi Terpimpin.
Lalu, jurnal Sistem Pendidikan Indonesia Masa Orde Lama (1945-1966), Jurnal Agastya,
Jilid 9, no. 2, 2019 yang ditulis oleh Muhammad Rijal Fadli, Dyah Kumalasari dan kawan-
kawan. Membahas sistem pendidikan dalam tiga periode: awal kemerdekaan, Demokrasi
Parlementer hingga Demokrasi Terpimpin. Secara temporal dan fokus penelitian, hampir sama
seperti penelitian ini. Namun terdapat perbedaan signifikan, selain karena tulisan tersebut hanya
9
berupa jurnal singkat, sumber yang digunakan dalam jurnal tersebut semuanya sekunder
Selain itu, ada juga jurnal Dwi Siswoyo, Pandangan Soekarno Tentang Pancasila dan
Pendidikan, Jurnal Cakrawala Pendidikan, Februari 2013, Th. XXXII, No. 1. Tulisan ini
Pancasila, dan pendidikan. Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan ada pada fokus
kajiannya. Jurnal tersebut lebih condong pada penjabaran tentang konsepsi pemikiran Sukarno
tentang nasionalisme dan Pancasila, bukan pada penerapan kebijakan pendidikan di era
Demokrasi Terpimpin.
UNY Press: Yogyakarta, 2019. Buku ini sebagai buku ‘babon’ berjumlah 400-an halaman yang
sebagai ideologi negara. Hal yang menarik tentang sistem pendidikan nasional era Demokrasi
Terpimpin menurut buku ini adalah dengan melihat dan membedahnya dalam lingkup dimensi
historis. Hal itu terjadi karena dalam buku ini membahas juga terkait perjalanan historis
pendidikan Pancasila serta pendidikan nasional berbasis Pancasila. Perbedaan dengan penelitian
yang penulis lakukan cukup jelas diantaranya buku tersebut adalah kumpulan tulisan dari
berbagai penulis, lalu sumber yang digunakan juga banyak menggunakan sumber sekunder, serta
the Indonesian National Education System, C. December 1949-Agustus 1950, Journal of the
Humanities Vol. 24 nomor 1, Februari 2012: 3-17, FIB UGM: Yogyakarta. Kajian ini tidak
10
secara langsung membedah masa Demokrasi Terpimpin karena berkaitan dengan masa revolusi
(1945-1950). Namun jurnal ini mampu menjadi referensi melihat akar awal pembentukan sistem
pendidikan nasional yang nantinya dapat dikaitkan di masa/ fokus periodisasi penelitian yakni
Penelitian ini sendiri lebih fokus untuk melihat aspek kebaruan dalam hal pendidikan
Indonesia khususnya di era Demokrasi Terpimpin. Karena penulis meyakini bahwa terdapat
beberapa aspek dalam sejarah dunia pendidikan Indonesia yang belum diteliti. Penulis mencoba
masuk ke ranah yang kosong itu, dengan memberikan sebuah aspek tema yang baru, yakni
dengan melakukan penelitian dengan banyak sumber primer, berisi analisis mengenai kebijakan
pendidikan Indonesia di era Demokrasi Terpimpin beserta dampak dan pengaruhnya terhadap
masyarakat.
Kebaruan dalam penelitian ini ada beberapa hal dan membedakan dari
memiliki periodisasi terlalu panjang (misal, buku karya Kamadjaja), maka penelitian ini lebih
fokus pada era Demokrasi Terpimpin dengan menarik akar historisnya sejak awal kemerdekaan.
Berikutnya, jika pada penelitian dengan tema dan periode yang hampir sama/ mirip dengan
penelitian ini banyak menggunakan sumber sekunder, maka kebaruan dalam penelitian ini adalah
lebih banyak menggunakan sumber primer berupa arsip, naskah, dan dokumen berbagai
Kemudian, jika pada penelitian sebelumnya (yang termasuk dalam tinjauan pustaka)
lebih condong bersifat deskriptif bahkan mendukung aspek politisnya, maka penelitian ini lebih
bersifat naratif, melakukan analisis, dan kritis. Selain itu, penulis yakin penelitian ini semakin
membuktikan bahwa politik adalah aspek utama dalam pengambilan kebijakan, sesuai dengan
11
pepatah ‘politik adalah panglima’. Kebijakan dan sistem pendidikan nasional pun, harus
melewati fase politisasi. Proses politisasi tersebutlah yang dibedah dan dikritisi dalam penelitian
kebijakannya. Untuk bisa menyesuaikan dengan fokus penelitian yakni era kekuasaan Sukarno
(Demokrasi Terpimpin), dapat melihat dari pemikiran besar Sukarno terlebih dahulu. Kemudian,
kebijakan yang ia terapkan di masa Demokrasi Terpimpin. Penelitian ini juga membuktikan
bahwa politisasi pendidikan atau menjalankan sistem pendidikan nasional, tidak terlepas dari
Agar dapat meneliti sejarah perjalanan dan kebijakan pendidikan sesuai dengan tema dan
periode serta fokus penelitian ini secara lebih jelas, harus membedah terlebih dahulu konsep
pendidikan yang relevan. Fokus penelitian ini adalah kebijakan yang diterapkan oleh Sukarno,
maka pola pikir tentang pendidikan harus berdasar pemikiran Sukarno. Tentunya pemikiran
seseorang tidak akan bisa berdiri sendiri, pasti berdasar, terpengaruh, kombinasi, inovasi-kreasi,
Cukup rumit jika memahami pemikiran Sukarno secara mendalam dan menyeluruh.
Namun dalam bidang atau konteks pendidikan, setidaknya ada beberapa pemikiran tokoh yang
pendidikan. Diantaranya Ki Hadjar Dewantara, Karl Marx, HOS Cokroaminoto, KH. Ahmad
Dahlan, hingga Abraham Lincoln. Pemikiran para tokoh tersebut dapat dibuktikan nantinya
12
dengan karya tulisan Sukarno tentang pendidikan sejak masa kolonial melalui berbagai surat
kabar yang dihimpun dalam buku DBR (Dibawah Bendera Revolusi) mulai sekitar 1964. Salah
satu judul karya tulis Sukarno tentang pendidikan secara terang-terangan adalah “Mendjadi
Sedangkan jika mengacu pada konsepsi pendidikan modern para ahli, teoritikus, ataupun
filsuf diantaranya dari Descartes (rasionalisme), Locke (empirisme), Comte (positivisme), Kohl
(behaviorisme), dan lain-lain. Teori dan konsepsi pendidikan dari filsuf yang menjadi alat
analisis penelitian ini menggunakan perspektif Paulo Freire tentang pendidikan untuk
pembebasan. Alasannya karena Freire memiliki arah pikir yang sejalan dengan Sukarno yakni
karya dan sumber yang berkaitan dengan tema penelitian. Lebih tepatnya yakni karya dan
sumber tentang sejarah dan kebijakan pendidikan di awal masa kemerdekaan (revolusi), era
Demokrasi Parlementer, hingga yang paling utama dalam penelitian ini yaitu era Demokrasi
beberapa tempat seperti Perpusnas (Perpustakaan Nasional) & ANRI (Arsip Nasional RI),
mencari buku/naskah/dokumen asli pada zamannya (periode penelitian ini) ke berbagai tempat
seperti toko buku bekas, atau meminjam dari rekan/kolega yang menyimpannya, dan lain-lain.
Kemudian, penulis juga memadukan dan mencari celah dari sumber sekunder yang
relevan dengan penelitian ini khususnya karya-karya yang dijabarkan pada tinjauan pustaka,
dokumen atau catatan atau laporan berbagai hasil kebijakan pemerintah di era Demokrasi
Terpimpin tentang pendidikan, serta sumber sekunder yakni buku-buku, artikel, dan jurnal yang
membahas seputar sejarah pendidikan Indonesia yang relevan penelitian ini, diantaranya telah
ideologi/ajaran dan menjadi dasar Sukarno dalam menerapkan kebijakan pendidikan diantaranya
adalah arsip MPRS & Departemen Penerangan RI, “Ringkasan Ketetapan Madjelis
tentang formalisasi MANIPOL-USDEK menjadi GBHN (Garis Besar Haluan Negara), berbagai
Penjabaran kebijakan pemerintah tentang bidang pendidikan atau yang tertulis dalam berbagai
Nasional”, Penerbitan Bersama: ENDANG-PEMUDA (cetakan kedua, tanpa tahun). Buku ini
menjabarkan pidato asli/primer Sukarno yakni “Pidato Presiden Republik Indonesia pada
Tanggal 17 Agustus 1961” sepanjang 50-an halaman. Lalu membedah konsep Revolusi
Indonesia, Sosialisme Indonesia dan Kepemimpinan Nasional berdasar ajaran Sukarno untuk
melengkapi dan menjabarkan inti ajaran utamanya di masa Demokrasi Terpimpin yakni
MANIPOL-USDEK.
Buku ini juga bertujuan untuk mengkaji konsep/ideologi ajaran Sukarno sebagai alat
“Manifesto Politik Republik Indonesia (17 Agustus 1959)”. Buku tersebut mencakup berbagai
keputusan dan penetapan MANIPOL RI tanggal 17 Agustus 1959 dan menganalisis keseluruhan
dengan pendidikan.
I yang meliputi latar belakang, masalah penelitian, ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian,
kepentingan penelitian penelitian, tinjauan pustaka, pendekatan dan kerangka kerja konseptual,
metode penelitian, sumber dan penelitian yang sistematis. Lalu Bab II menyajikan keadaan
Kemudian Bab III menjabarkan berbagai penerapan kebijakan sistem pendidikan nasional
di era Demokrasi Terpimpin. Selanjutnya, Bab IV menjelaskan dampak dari penerapan kebijakan
sistem pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin tersebut. Terakhir, Bab V menjadi
penutup yang berisi simpulan dari penelitian ini. Berisi tentang temuan-temuan baru yang
didapat, serta menjawab seluruh pertanyaan penelitian atau dalam perumusan masalah pada tesis
ini. Penutup dan simpulan ini juga menjawab atau dapat menuju pada tujuan penelitian yakni
agar dapat dijadikan referensi bagi pengampu kebijakan nasional hari ini dengan semangat
BAB II
Sepanjang 1945-1949, situasi politik Indonesia berada di fase atau zaman revolusi. Di
era ini, perpolitikan nasional terpecah menjadi dua kubu yaitu kelompok yang terjun perang fisik
(militer) dan para elit politik yang menggunakan jalur diplomasi. Situasi pelik kedua cara
kedaulatan pada akhir 1949. Pada 1950-pertengahan 1959, sistem pemerintahan Indonesia
Di zaman ini, situasi politik kental dengan nuansa Perang Dingin dan membuat elit
politik nasional terpecah dan konflik internal dengan berkali-kali pergantian kabinet. Situasi
politik kembali berubah sejak akhir 1957 dan memuncak pada 5 Juli 1959, melalui Dekrit
Pengambilalihan kekuasaan dan pemerintahan tersebut mengacu dari sembilan tahun era
Demokrasi Parlementer yang Sukarno anggap gagal. Ia meresmikan Demokrasi Terpimpin 1959
dengan jargon ‘Penemuan Kembali Revolusi Kita’. Sukarno menyatakan bahwa sejak KMB
(Konferensi Meja Bundar) hingga era Demokrasi Parlementer, Indonesia masuk dalam alam
liberalisme. Sehingga dengan berlakunya Dekrit Presiden, Revolusi Indonesia dianggap kembali
1 Pidato Presiden Republik Indonesia, RESOPIM (Revolusi, Sosialisme, Pimpinan Nasional), 17 Agustus 1961.
16
(Manifesto Politik), yang isinya adalah USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Sukarno membawa kehidupan rakyat secara keseluruhan harus sesuai dengan indoktrinasi
dan ajarannya: MANIPOL-USDEK, lalu dengan platform politik Front Nasional, serta konsepsi
NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis). Seluruh elemen masyarakat wajib mengikuti dan
menjalankan hal itu dengan tujuan menuju masyarakat sosialis Indonesia, versi Sukarno.
Kewajiban tersebut kemudian mendapat banyak penentangan secara politik. Hiruk-pikuk politik
dalam negeri ditambah dengan gangguan dan efek/dampak dari Perang Dingin saat itu, mencapai
puncaknya dengan terjadi Peristiwa 1 Oktober 1965 oleh Gerakan 30 September 1965. Setelah
tragedi itu, dengan berbagai hal yang terjadi, membuat Sukarno lengser pada awal 1967 secara
resmi.
Penulis menganalisis situasi politik tersebut (era Demokrasi Terpimpin) dalam kaitannya
dengan penerapan kebijakan dan sistem pendidikan nasional. Salah satu analisa tersebut adalah
kepentingan berkomunikasi dan menyalurkan aspirasi serta ekpsresinya secara bebas tanpa
monopoli. Wujud atau bentuk dari hal tersebut salah satunya adalah pendidikan. Ruang publik
seperti pendidikan seharusnya tidak dikuasai satu pihak, baik dalam sistem kapitalisme
(monopoli kapitalis) ataupun autoritarian (monopoli individu, seperti era Demokrasi Terpimpin).
demokrasi yang di periode sebelumnya (parlementer/liberal) dibuka lebar. Penelitian ini juga
menjabarkan tentang sisi monopoli yang dilakukan Sukarno dalam penerapan kebijakan dan
sistem pendidikan nasional. Menurut penulis, penerapan Manipol-Usdek sebagai sumber dari
segala sumber kebijakan membuat Manipol justru menjadi ‘Monopol’, sebagai alat memonopoli
17
kehidupan masyarakat. Tentunya hal tersebut bertentangan dengan teori Habermas tentang
Tidak banyak kajian atau hasil penelitian sejarah bahkan sumber sejarah yang mampu
menjabarkan secara mendetail sistem pendidikan nasional di era revolusi (awal kemerdekaan).
Di era ini, bangsa Indonesia khususnya di bidang pemerintahan, sedang sangat sibuk mengurusi
politik dalam dan luar negeri demi mempertahankan kemerdekaan. Namun, ada beberapa kajian
yang akhirnya mampu membuka cakrawala tentang pendidikan Indonesia di era ini.
dimulai sejak era kolonial. Hal ini bermula dari kebijakan pemerintah Hindia-Belanda tentang
Ordonansi Sekolah Liar (1932). Elemen-elemen atau lembaga yang bergerak di bidang
pendidikan saat itu menolak kebijakan tersebut hingga membentuk Kongres Pendidikan.
Beberapa lembaga/organisasi hingga partai politik yang ikut mendukung pelaksanaannya yakni
Taman Siswa, INS. Kayutanam, Perguruan Rakyat, Adhidharma, (PSII) Partai Syarikat Islam
Indonesia, Perguruan Islam, Permi (Sumatra), Muhammadiyah, hingga Budi Utomo. Kongres
Pendidikan tersebut berlangsung pada 1935, 1937, dan di era Jepang berhenti. Di awal
kemerdekaan, Kongres Pendidikan dijalankan kembali pada 1947, 1949, 1954, hingga
Selain Kamadjaja, sejarawan UGM Agus Suwignyo menulis kritik terhadap pendidikan
nasional di era revolusi kemerdekaan: Unifying Diversities: Early Institutional Formation of the
Indonesian National Education System, C. December 1949-August 1950. Kajian ini dapat
menjadi acuan untuk melihat akar awal terbentuknya sistem pendidikan nasional, selanjutnya
18
dapat dikaitkan dengan periode/objek periode penelitian yaitu periode waktu di Demokrasi
Terpimpin.
Menurut Agus, pendidikan nasional di era revolusi kemerdekaan berkaitan erat dengan
kondisi politik dan konteks Indonesianisasi saat itu. Segala bidang kehidupan rakyat
diindonesiakan, termasuk pendidikan. Hal-hal yang berkaitan dengan Belanda dan Jepang, coba
digantikan dengan konteks dan nuansa Indonesia. Secara singkat sebagai gambaran umum, era
Kebijakan pendidikan nasional, baik RIS maupun RI juga berpusat pada sentralisasi dan
homogenisasi. Proses ini sebagai wujud dari Indonesianisiasi. Ketika RIS bubar dan kembali ke
gambaran, konteks sentralisasi dan homogenisasi di bidang pendidikan nasional ini menghimpun
personel/kepengurusan sekolah dengan menguatkan dan harus sesuai dengan karakter Indonesia.
Indonesianisiasi pendidikan ini menurut Agus, menunjukkan kekuatan para tokoh nasionalis
Indonesia untuk mempersatukan masyarakat Indonesia serta menstimulasi sense atau perasaan
dan semangat identitas bersama. Kementerian Pendidikan Nasional mengatakan pada tahun 2013
bahwa sejarah kurikulum Indonesia mengalami perubahan beberapa kali, antara lain tahun 1947,
1952, 1962, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006 dan 2013. Seluruh kurikulum bahasa Indonesia
dirancang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Perubahan/kebijakan kurikulum yang
Kurikulum era ini dikenal dengan Rencana Peladjaran, lebih tepatnya dengan membagi
menjadi tiga kategori utama: kursus, jam belajar, dan materi pembelajaran. Selaras dengan Agus
19
Suwignyo, bahwa kurikulum dan kebijakan pendidikan nasional diterapkan untuk mereformasi
pengembangan karakter bangsa Indonesia yang baru merdeka saat itu. Muatan program berfokus
pada pendidikan karakter, penjangkauan negara, dan penjangkauan publik. Ada 16 mata
pelajaran yang diajarkan, antara lain Bahasa Indonesia dan Daerah, Aljabar, Ilmu Alam, Ilmu
Hayati (sekarang biologi), Ilmu Bumi (sekarang geografi), Sejarah, Menggambar, Menulis, Seni
Rupa, Kerja Kasar, Seni Wanita, Senam, Kebersihan dan Kesehatan dan Pendidikan Karakter
Bangsa. Mata pelajaran agama kemudian diperkenalkan dan ditambahkan ke dalam kurikulum
Pengadjaran. Kementerian ini dipimpin oleh Menteri Pengadjaran, sebagai menteri pertama,
yakni Ki Hadjar Dewantara. Sejarah awal pendidikan nasional Indonesia setelah kemerdekaan
dimulai sejak Menteri Pengadjaran (Ki Hadjar Dewantara) mengeluarkan instruksi, khususnya
untuk seluruh daerah di pulau Jawa. Poin-poin pentingnya diantaranya sebagai berikut:
b. Meningkatkan sistem pendidikan dan pengajaran untuk memenuhi norma dan standar
internasional.
pendidikan serta bahasa asing lain yang diperlukan seperti bahasa Inggris dan bahasa
dan tidak boleh melakukan diskriminasi gender. Praktik tersebut harus diawasi
sepenuhnya berdasarkan 'Tut Wuri Handayani' dan rasa kekeluargaan, bebas dari
kekerasan.
e. Memperbaiki pendidikan nasional yang sebelumnya terpuruk dalam 3,5 tahun (masa
f. Dengan persediaan guru dan buku yang ada saat ini, maka pengajaran khususnya
bahasa asing dilaksanakan secara praktis dan sesuai dengan kondisi yang ada di
Kementrian Pengajaran.
Ada beberapa hal yang dapat dipertanyakan, disayangkan, bahkan dikritik dari instruksi
Ki Hadjar Dewantara tersebut. Diantaranya, pertama, situasi politik saat itu (awal kemerdekaan)
adalah situasi revolusioner. Segala kehidupan masyarakat erat kaitannya dengan pekik ‘merdeka’
ataupun kata-kata revolusi sebagai jargon. Namun mengacu pada instruksi tersebut, tidak ada
unsur revolusioner yang secara formal dituliskan. Pada poin nomor satu tentang Tentang Dasar
Pendidikan, misalnya. Instruksi yang diberikan hanya bersifat normatif sebatas cinta negara,
Menurut penulis, Ki Hadjar Dewantara selaku Menteri Pengajaran, tidak dapat membaca
situasi dan kondisi politik saat itu dan memprediksi masa berikutnya. Instruksi tersebut
dikeluarkan pada 29 September 1945, sekitar satu bulan setelah proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Situasi bangsa Indonesia saat itu tengah bahagia dan penuh semangat, sehingga
analisa penulis adalah bahwa hal yang paling penting bagi Menteri Pengajaran saat itu adalah
bahwa selang setahun setelah proklamasi, situasi politik berubah drastis. Terjadi perpecahan
dalam negeri (internal) terutama terkait makna dan cara mempertahankan kemerdekaan, serta
banyak gangguan stabilitas nasional dari dalam dan luar negeri. Terjadi banyak revolusi sosial
yang justru saling membunuh sesama bangsa Indonesia. Lalu juga terjadi perbedaan cara
perjuangan melawan Belanda di kalangan elit: militer (perang fisik) dan politisi/ pimpinan politik
(diplomasi/perundingan). Belanda pun tidak lama setelah proklamasi, segera tiba di Indonesia
dengan membonceng NICA/Inggris dan berusaha merebut kembali Indonesia setelah menang
Perang Dunia II. Hal itu luput dari instruksi Menteri Pengajaran tersebut.
Berikutnya, Tentang Maksud dan Tujuan Pengajaran dalam instruksi tersebut juga
menurut penulis tidak ada unsur revolusionernya. Hal ini harus dikritik dari Menteri Pengajaran
sekelas Ki Hadjar Dewantara. Apa karena Ki Hadjar Dewantara bukan seorang sosialis garis
keras/ radikal? Juga apa karena Ki Hadjar Dewantara adalah penganut atau lebih condong
pada filosofi Jawa yang kental dengan budaya menjaga keseimbangan dan tidak penuh
keributan? Tidak ada tujuan bernuansa revolusioner (politis) misal: mewujudkan Sosialisme
Indonesia, atau menjaga kemerdekaan Indonesia dari ancaman bangsa asing, atau seperti
melanjutkan revolusi Indonesia yang belum selesai, dan lain-lain yang sejenis.
22
Di poin c pada Tentang Maksud dan Tujuan Pengajaran tersebut juga patut
lembaga pendidikan dan pengajaran serta tambahan bahasa asing yang diperlukan seperti Inggris
(bahasa internasional) dan Jerman untuk perluasan ilmu pengetahuan (diajarkan pada Sekolah
Menengah Tinggi)”. Mengapa harus bahasa Jerman? Notabenenya saat itu (September 1945),
Indonesia baru saja proklamasi kemerdekaan dan melepaskan diri dari Jepang, sekutu utama
Jerman (NAZI) pada Perang Dunia II. Saat itu juga Jerman identik dengan NAZI dan fasisme,
walaupun gerakan sosialisme eropa yang utama juga banyak di Jerman. Begitu juga
kecondongan bangsa Indonesia saat itu yang cenderung antipati terhadap hal-hal berbau asing
seperti Belanda & Jepang, Menteri Pengajaran saat itu justru memberi instruksi untuk
Jenjang pendidikan dan jenis pendidikan nasional pada masa revolusi kemerdekaan
sangat beragam. Tingkat pendidikan terendah adalah SR (Sekolah Rakyat), masa studi sekitar
enam tahun. Tujuan dibentuknya SR adalah untuk meningkatkan taraf pendidikan dan
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk bersekolah, yang tidak mereka rasakan pada
masa kolonial. Kurikulum SR diatur berdasarkan Keputusan Menteri PPK tanggal 19 November
1946 No. 1153/Bhg A yang menyebut bahwa daftar mata pelajaran SR menekankan pada mata
pelajaran Bahasa dan Berhitung. Rinciannya adalah 38 jam pelajaran per minggu, 8 jam untuk
bahasa Indonesia, jam untuk bahasa daerah dan 17 jam untuk berhitung (kelas IV, V dan VI).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menyatakan pada tahun 1993
terdapat 24.775 SR pada akhir tahun 1949 di seluruh Indonesia. Setelah tamat SR bisa
melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMT).
23
Namun, untuk pelajar/siswa SR yang ingin fokus ke jenis pendidikan tematis (bukan
umum seperti SMP & SMT), ada sekolah yang dikembangkan sebagai sekolah pendidikan guru.
Hal itu karena guru adalah martir dan frontliner pendidikan, berperan besar dalam proses
pendidikan nasional. Pemerintah sejak awal kemerdekaan, membangun pendidikan guru dan
membaginya menjadi tiga jenis, diantaranya SGB (Sekolah Guru B), SGC (Sekolah Guru C), dan
SGA (Sekolah Guru A). SGB bertujuan untuk mendistribusi guru bagi SR (Sekolah Rakyat).
pendidikan dengan jenis sekolah kejuruan (vokasi). Pada masa revolusi, pendidikan kejuruan
Kemudian ada ST (Sekolah Teknik) yang bertujuan untuk menjadi tenaga terampil.
Beberapa bidang ST yang ada pada awal kemerdekaan bergerak dalam bidang bela Tanah Air
dan sekolah tersebut dijadikan sebagai pabrik senjata. Contohnya Sekolah Teknik Solo,
memproduksi senjata yang dibutuhkan negara. Selain itu, ada ST peserta mata kuliah Kerajinan
Tangan Negara (KKN), diantaranya mata kuliah utama: kayu, besi, jalinan, mebel, las dan batu.
Setelah itu ST melanjutkan ke STP (Sekolah Teknik Pertama) dengan jurusan: kayu, batu,
keramik, mebel, tekstil, besi, listrik, mobil, percetakan, tekstil kulit, sepeda motor, ukur tanah
dan mengecor. Jenjang berikutnya yaitu STM (Sekolah Teknik Menengah). Bertujuan untuk
melatih para ahli teknis dan staf teknis menengah. Termasuk jurusan konstruksi, konstruksi sipil,
Terakhir yakni Pendidikan Guru, bertujuan memenuhi kebutuhan guru di sekolah teknik.
Menurut penulis, pelaksanaan Silabus BCV yang ditetapkan dengan SK Menteri PP dan
K tanggal 19 November 1946 juga harus dikaji secara kritis. Diantaranya adalah nomor
1153/Bhg A, yang mengatur daftar mata pelajaran SR dengan penekanan pada mata pelajaran
24
bahasa dan matematika. Dapat kita pungkiri bahwa buta huruf/melek huruf dan angka adalah
kebutuhan manusia yang sebenarnya saat itu. Oleh karena itu wajar jika kursus bahasa dan
matematika harus menjadi program utama untuk perbaikan. Tapi sekali lagi, sepertinya
kebijakan yang dilakukan tidak membaca situasi dan kondisi saat itu, terutama aspek politik.
Di era tersebut, seperti kritik pada Instruksi Menteri Pengajaran Ki Hadjar Dewantara,
aspek politik juga harusnya menjadi hal utama sebelum pemerintah membuat kebijakan
pendidikan nasional. Di era tersebut (November 1946), situasi dan kondisi politik mulai
peperangan terhadap Belanda dan sekutu (Inggris), seharusnya pemerintah membuat kebijakan
pendidikan nasional tentang pertahanan negara yang diajarkan sejak dini yang sinergi dengan
Kementerian Pertahanan/Keamanan saat itu. Namun hal tersebut tidak ada dalam kurikulum SR
tersebut.
Kemerdekaan Indonesia pada 1945 dan berlanjut dengan revolusi fisik nyatanya tidak
menurunkan semangat bangsa Indonesia untuk memperbaiki kualitas pendidikannya. Pada situasi
politik yang tengah berkecamuk di dalam dan luar negeri soal politik dan mempertahankan
kemerdekaan, justru berbagai universitas didirikan oleh pemerintah RI melalui BPTRI (Balai
Perguruan Tinggi Republik Indonesia) yang menyelenggarakan kuliah di beberapa kota selama
masa revolusi. Sebelumnya, di era kolonial telah terdapat beberapa sekolah tinggi, baik lokal
ataupun peninggalan Belanda. Namun banyak sekolah tinggi tersebut yang merger menjadi satu
universitas negeri/ milik pemerintah. Sekolah tinggi warisan Belanda, disatukan dan
dinasionalisasi pemerintah.
pada awal revolusi antara lain Sekolah Tinggi Republik yang didirikan pada 17 Februari 1946
25
oleh Departemen Pendidikan di Yogyakarta, Balai Pendidikan Gadjah Mada didirikan pada 3
Maret 1946 oleh Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, terdiri dari Fakultas Hukum
Yogyakarta dan Fakultas Sastra. Selanjutnya, Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Gigi
didirikan pada Februari 1946 di Malang. Disusul oleh Perguruan Tinggi Kedokteran lainnya
pada tanggal Maret 1946 di Solo dan pada tanggal 5 Maret 1946 di Klaten. Fakultas Pertanian
dan Fakultas Farmasi kemudian didirikan pada tanggal 27 September 1946 di Klaten. PTKH
(Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan) didirikan di Bogor pada November 1946 oleh
Belanda pada Juli 1947, PTKHdipindahkan ke Klaten. Begitu juga dengan universitas-
Yogyakarta sebagai universitas pertama di era republik, terdiri dari enam fakultas.
Sementara untuk sekolah tinggi yang didirikan oleh penjajah sebelum kemerdekaan, termasuk
STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen). Juga dikenal sebagai Sekolah Kedokteran Jawa di
Kwitang, kemudian menjadi Sekolah Geeneskundig Hoge School di Salemba, Jakarta. Kemudian ada
fakultas hukum yaitu Recht Hoge School. Lokasinya saat ini ditempati oleh kantor Kementerian
Pertahanan Indonesia. Lembaga kedokteran dan hukum kolonial kemudian menjadi fakultas dari UI
(Universitas Indonesia). Di Bogor juga ada sekolah pertanian atau Landbouw School, sekarang IPB
(Institut Pertanian Bogor). Dulunya ada perguruan tinggi teknik di kawasan Technische Hoge School di
van Nederlandsch Indie. Universitas tersebut menaungi STOVIA, RHS, dan Faculteit der
Letteren en Wijsbegeerte (Fakultas Sastra dan Filsafat). Nood Universiteit pada tahun 1947
berubah nama menjadi Universiteit van Indonesia dan berkantor pusat di Jakarta. Menurut situs
menjalankan Universiteit van. Pada tahun 1950, setelah mengalami serangkaian peristiwa, terkait
Indonesia akhirnya resmi didirikan sebagai milik republik. Sedangkan mengenai pendidikan di
bidang keagamaan, pemerintah pada waktu itu membuat kebijakan tersendiri bagi Departemen
Agama dan diresmikan pada tanggal 3 Januari 1946. Salah satu alasannya adanya Departemen
Agama adalah memperjuangkan sistem dan kebijakan pendidikan Islam di Indonesia. Menurut
Maksum, secara lebih spesifik, pelaksanaan Departemen Agama dalam hal ini ditangani oleh
ini terjadi beriringan dengan pergantian sistem pemerintahan dan situasi politik dalam negeri saat
itu, dengan diterapkannya Demokrasi Parlementer. Pergantian kepala negara yang tadinya
parlementer, kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Era parlementer/ kabinet
pertama, dimulai/dipimpin oleh Sutan Syahrir. Pada 2 Oktober 1946, Suwandi dilantik sebagai
Kebudayaan).
Pada 12 April 1947, Menteri PP & K membentuk sebuah ‘Panitia Penyelidik Pendidikan
dan Pengadjaran RI’ (PPPRI). Ki Hadjar Dewantara, oleh Menteri PP & K (Suwandi), ditunjuk
sebagai Ketua PPPRI tersebut. Singkatnya, PPPRI bertanggung jawab untuk meninjau semua
upaya pendidikan dan pengajaran di Indonesia. Menteri PP dan K pada saat kabinet Amir
Syarifuddin kemudian diagnti dengan dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo. Kebijakan pun berganti,
Ali / Menteri PP & K pada 1948 membentuk ‘Panitia Pembantu Pembentuk Undang2 Pokok
27
Pendidikan dan Pengadjaran’. Sayangnya, agenda panitia tersebut terhambat oleh situasi
revolusi fisik nasional, tepatnya yakni Agresi Militer Belanda II. Hal tersebut menyebabkan
banyak arsip Kementerian PP & K termasuk rencana dari panitia tersebut diambil oleh Belanda.
Menurut Kamadjaja, dengan demikian tidak dapat diketahui lagi sampai seberapa/mana
Menurut penulis, banyak arsip Kementerian PP & K termasuk rencana dari panitia
tersebut diambil oleh Belanda, sangat disayangkan. Hal tersebut membuat terdapatnya missing
link yang harus dipecahkan melalui penelitian lebih lanjut dengan menemukan terlebih dahulu
arsip-arsip tersebut, serta membuktikan pendapat Kamadjaja itu. Jika memang benar diambil
oleh Belanda, maka tugas pemerintah dengan menggandeng para sejarawan terutama yang
mendapat kesempatan menempuh pendidikan bidang Sejarah di Belanda/ luar negeri, harus bisa
menemukan arsip-arsip tersebut. Berikutnya menurut penulis juga, situasi politik agresi militer
yang dilakukan Belanda tersebut pun mempengaruhi Instruksi Menteri Pengajaran dan
Kurikulum Pendidikan (SR dan sejenisnya) yang telah ada pada 1945 dan 1946. Penulis
berasumsi bahwa kedua kebijakan tersebut tidak dapat diimplementasikan dengan baik, bahkan
benar-benar tidak terlaksana. Tentunya asumsi ini harus dibuktikan dengan penelitian lebih
lanjut. Namun, penulis sendiri pun tidak/belum dapat membuktikan sejauh mana penerapan
Lanjut ke akhir era revolusi kemerdekaan, tepatnya akhir 1949 menjelang KMB
(Konferensi Meja Bundar), Menteri PP & K dijabat oleh Sri Mangunsarkoro. Hal ini beriringan
dengan perubahan kabinet yang dipegang oleh Mohammad Hatta. Pada 17 Oktober 1949,
Mangunsarkoro / Menteri PP & K berpidato dalam sidang BP-KNIP (Badan Pekerja – Komite
Nasional Indonesia Pusat) sebagai Badan Legislatif RI (cikal-bakal DPR RI) saat itu. Ia
28
berdasar Pancasila. Rancangan UU tersebut terlaksana di era RIS (Republik Indonesia Serikat),
yakni UU no. 4 tahun 1950 RI (berlaku hanya/oleh Republik Indonesia di Yogyakarta) tentang
Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengadjaran disekolah untuk Seluruh Indonesia. UU ini terdiri
dari 17 Bab dan 30 Pasal, ditetapkan di Yogyakarta, 2 April 1950 oleh Presiden RI yakni Mr.
Adanya UU tersebut menjadi penting sebab terdapat keterbatasan sumber primer dalam
membedah situasi dan berbagai kebijakan pendidikan nasional di masa RIS tersebut. Banyak
penelitian terkait sejarah dan kebijakan pendidikan nasional era ini, selalu mengacu pada UU
tersebut. Namun dari serangkaian pasal tersebut ada beberapa poin penting yang
menggambarkan jiwa UU ini, diantaranya menurut Rifa’i, pada pasal 30 menyatakan bahwa:
3) Pendidikan gratis, tidak mengurangi pengawasan pejabat yang berwenang atas pendidikan
Selain itu, tentang pendidikan agama (Islam), juga ada dalam UU tersebut. Salah satunya
terkait madrasah, sebagai bentuk pendidikan Islam yang paling mendasar. Pengakuan pemerintah
atas madrasah secara resmi diatur dalam UU ini (Undang-Undang No. 4 1950), tentang dasar-
dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Pasal 10 lebih jelas: belajar di sekolah agama yang
diakui oleh Departemen Agama dianggap telah memenuhi kewajiban akademik. Menurut
Mudzakkir, untuk mencapai pengakuan tersebut, madrasah harus menawarkan agama sebagai
pelajaran utama setidaknya enam jam seminggu secara teratur, di samping pelajaran umum.
29
sebagai UU nasional, konteks atau penerapan UU tersebut tidak berlaku ke seluruh Indonesia.
Hal ini karena situasi politik nasional dan internasional dengan adanya KMB lalu perubahan
negara menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat), hingga kembali ke bentuk kesatuan (NKRI)
pada 17 Agustus 1950. Di era RIS, RI hanya salah satu negara bagian dalam RIS. UU Pokok
Pendidikan dan Pengajaran RI yang sifatnya nasional terjadi setelah RIS bubar dan
kembali/menjadi ke NKRI. Nantinya baru ditetapkan pada 1954, tepatnya sebagai UU Pokok
Pendidikan dan Pengadjaran RI no. 12 tahun 1954. Pada 12 Maret 1954, Presiden Sukarno
bersama Menteri PP & K yakni Mohammad Yamin, menetapkan UU Pokok Pendidikan dan
Pengadjaran RI no. 12 tahun 1954 yang berisi UU no. 4 tahun 1950. Bedanya, jika UU no. 4
tahun 1950 hanya berlaku di Yogyakarta (RI saat itu), maka melalui UU no. 12 tahun 1954,
diberlakukan ke seluruh wilayah RI (yang tidak lagi hanya Yogyakarta). Jelasnya UU no. 12
tahun 1954 ini berisi: ‘Pernjataan berlakunja UU No. 4 tahun 1950 dari Republik Indonesia
dahulu (era RIS), tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah untuk Seluruh
Indonesia’.
terdapat beberapa kekurangan. Pada sidang parlemen pada 27 Januari 1954, internal pemerintah
menjabarkan kekurangan atau kelemahan dari UU tersebut. Salah satu yang berkomentar
kekurangan UU ini dengan melihat perkembangan suasana, pengalaman saat itu serta melihat
panitia yang merumuskan UU tersebut. Panitia perumus saat itu hanya terbatas pada sekeliling
UU Pendidikan dan Pengajaran yang baru. Namun, pada 12 Maret 1954 (tidak sampai sebulan
30
dari sidang parlemen tersebut), pemerintah melalui Menteri PP & K RI, Mohammad Yamin,
tersebut atau rencana revisi UU tersebut. Menurut Kamadjaja, ‘Panitya Negara’ yang
Fakultas Paedagogik Universitas Gadjah Mada 1957-1964 kemudian menjadi Guru Besar IKIP
Yogyakarta), yang menyatakan bahwa UU organik No. 12 tahun 1954 yaitu ‘UU Pokok
Pendidikan dan Pengadjaran’ tidak pernah mengalami perubahan walau telah mengalami
perubahan-perubahan UUD sampai 3 kali (UUD 1945, UUD RIS, UUDS 1950) .Diterapkannya
UU Pokok Pendidikan dan Pengadjaran RI no. 12 tahun 1954 ini berlaku sepanjang sisa era
tentang pendidikan dan pengajaran lanjutan nantinya akan dikembangkan lagi ketika Sukarno
mengambil alih pemerintahan. Tepatnya dengan mengelurakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan
parlemen dan Konstituante, meruntuhkan Demokrasi Parlementer, dan menerapkan sistem baru
Jika ada pertanyaan: kebijakan-kebijakan pendidikan nasional apa saja yang dikeluarkan
oleh pemerintah era Demokrasi Parlementer yang menjadi latar belakang bagi kebijakan
Sukarno mengeluarkan kebijakan baru pada era Demokrasi Terpimpin? Rasanya cukup sulit
Terpimpin hanya ada dua: UU no. 4 tahun 1950 (di era RIS dan awal Demokrasi
2. Situasi politik era transisi RIS kembali ke NKRI hingga sepanjang Demokrasi
Parlementer sangat keras dan tidak stabil, terlalu fokus pada gesekan politik,
pemerintah dengan situasi Perang Dingin (Blok Barat & Timur), perjuangan
Barat.
Namun untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada poin penting dalam UU no. 4 tahun
1950 yakni tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membentuk manusia dan warga negara
yang cakap, demokratis, dan bertanggung jawab untuk kesejahteraan masyarakat dan tanah air.
Dibandingkan dengan era demokrasi terpimpin, tujuan pendidikan sangat berbeda (lihat Bab III:
berdasar UU tersebut, memiliki sifat demokratis adalah tujuan pendidikan. Hal ini sesuai dengan
semangat zaman saat itu, demokrasi liberal. Berbeda dengan era Demokrasi Terpimpin,
menetapkan tujuan dan politik pendidikan nasional secara ’radikal’ lebih jauh lebih ’kiri’ dengan
BAB III
pendidikan) tidak terlepas dari ideologi-ideologi dunia yang memengaruhi pola pikirnya.
Sukarno menyerap banyak pemikiran, gagasan, konsepsi, ideologi, hingga filsafat dan agama.
Ideologi Sukarno sepanjang sejarah hidupnya sejak pra kemerdekaan hingga berkuasa
penuh di era Demokrasi Terpimpin secara garis besar dapat dibagi menjadi beberapa konsepsi
Kemudian, dari ragam pembagian konsepsi Sukarno tersebut, dapat terlihat berbagai kebijakan di
pemerintahan saat Sukarno berkuasa, selalu berdasar ajaran-ajarannya itu, termasuk di bidang
pendidikan hingga ia menerapkannya dalam kebijakan pendidikan. Seperti yang telah ditulis atau
disampaikan pada bab I tentang pendekatan dan kerangka konseptual, tokoh-tokoh yang
Cokroaminoto, KH. Ahmad Dahlan, hingga Abraham Lincoln. Pemikiran mereka dapat
dibuktikan nantinya dengan karya tulisan Sukarno tentang pendidikan sejak masa kolonial
melalui berbagai surat kabar yang dihimpun dalam buku DBR (Dibawah Bendera Revolusi)
mulai sekitar 1964. Salah satu judul karya tulis Sukarno tentang pendidikan secara terang-
Pemikiran Sukarno tidak dapat dilepaskan dari Marxisme. Ia memang tokoh dan
konsisten sebagai nasionalis. Presiden Republik Indonesia pertama itu berkali-kali membantah
bahwa ia bukan komunis, sebagaimana banyak tuduhan di alamatkan padanya. Namun ia juga
seringkali mengingatkan untuk tidak anti-komunis, apalagi terhadap Marxisme. Sukarno sendiri
pun sejak mudanya sudah gandrung akan Marxisme. Pembelajaran tentang Nasionalisme oleh
rakyat Indonesia. Ia terpengaruh oleh pemikiran Karl Marx dan Engels yakni Sosialisme ilmiah.
Ajaran Marx tersebut kemudian berkembangan dan disebut sebagai Marxisme. Ide tersebut
menjadi esensial sebab Marxisme menjadi metode analisa relasi sosial, pisau analisis dan
ideologi perjuangan yang bertujuan melawan Kapitalisme dan Imperialisme. Nasionalisme yang
Karl Marx sendiri adalah seorang filsuf, ideolog, ekonom, sejarawan, sosiolog, dan
penulis yang mewakafkan hidupnya untuk mempelajari dan membedah Kapitalisme serta
merumuskan Sosialisme yang akademis, dikenal juga sebagai Sosialisme ilmiah. Marx lahir pada
1818 di Trier, Jerman. Ia awalnya terpengaruh oleh filsuf G.W.F. Hegel (1770-1831), dengan
filsafat Idealismenya. Namun kemudian Marx berbalik ke filsafat Materialisme dan menolak
Idealisme karena terpengaruh oleh Ludwig Feurbach, salah satu pelopor filsafat Materalisme.
Marx pun melampaui Feurbach mengenai pandangan bahwa kondisi material seseorang hidup,
Satu hal yang sering menjadi bumerang bagi para marxis ialah implementasi Marxisme
yang dilengkapi dengan Leninisme menjadi Komunisme, di berbagai negara seperti Uni Soviet
dan Tiongkok, atau tepatnya ialah Blok Timur. Marxisme menjadi dogma. Pada
34
setelah berkembangnya Stalinisme. Che Guevara adalah salah satu tokoh Marxis yang menolak
hal ini dengan menentang cara Marxisme ditafsirkan dan diterapkan di blok sosialis. Che
Sukarno secara garis besar pemikiran mengenai Marxisme, sama seperti Che Guevara,
bahkan jauh sebelum Che berpandangan demikian. Corak dan cara berpikir Sukarno lebih
condong pada sinkretis. Ia memadukannya dengan Nasionalisme yang bersumber dari pemikiran
Ernest Renan, serta agama (Islam) yang ia anut. Sukarno menjadikan Marxisme sebagai pisau
analisis saja, bukan sebagai dogma mutlak dan kaku. Sukarno sebagai marxis, tidak sampai
menjadi seorang komunis. Namun dari marxis, Sukarno belajar menjadi nasionalis yang selalu
menempatkan Sosialisme dalam tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara, baik di dunia
maupun di bidang pendidikan. Hal ini tampak dalam berbagai kebijakan pemerintahan Sukarno
di bidang pendidikan (sistem pendidikan nasional), yang akan diuraikan pada bab selanjutnya.
Wujud dari paduan tiga ideologi tersebut membuat satu wadah/platform politik yakni
Pemikiran persatuan ketiga ideologi tersebut telah digagas atau disusun oleh Sukarno sejak era
pergerakan nasional. Pada 1926 Sukarno menulis artikel di surat kabar Suluh Indonesia Muda,
yakni “Nasionalisme, Islamisme, Marxisme”. Tulisan tersebut fenomenal dan menjadi penanda
pemikiran Sukarno tentang ketiganya yang harus bersatu demi kemerdekaan Indonesia. Setelah
kemerdekaan, Sukarno tetap konsisten pada konsepsi tersebut hingga benar-benar dapat
diwujudkan dalam pemerintahan di era Demokrasi Terpimpin. Kebijakan dari konsepsi tersebut
bertujuan untuk mempersatuan tiga kekuatan politik terbesar di Indonesia saat itu (terutama
setelah Pemilihan Umum 1955) yaitu kelompok nasionalis (direpresentasikan oleh PNI),
35
kelompok islam (direpresentasikan oleh NU, karena Masyumi membubarkan diri setelah
Sukarno dalam pidatonya yakni “Djalannya Revolusi Kita (17 Agustus 1960)”,
menyampaikan:
“Bukalah tulisan-tulisan saja dari zaman pendjadjahan. Batjalah tulisan saja pandjang lebar
dalam madjalah Suluh Indonesia Muda tahun 1926, tahun gawat-gawatnja perdjoangan menetang
Belanda. Di dalam tulisan itu pun saja telah mengandjurkan dan membuktikan dapatnja persatuan
Sukarno mewujudkan persatuan ketiga aliran, ideologi, dan kelompok tersebut dalam konsepsi
Nasakom era Demokrasi Terpimpin dengan membentuk Front Nasional. Posisi-posisi strategis
dalam pemerintahan nasional/pusat juga diisi oleh ketiganya. Di Dewan Nasional, Sukarno
mengklaim bahwa kalangan nasionalis, islam, dan komunis berjalan dengan baik. Di DPA
(Dewan Pertimbangan Agung), gembong ketiganya ada di sana. Di Depernas (Dewan Perancang
Nasional) juga terisi oleh ketiga kelompok tersebut. Terutama sekali di MPR-S (Majelis
Kaitan antara konsepsi Nasakom ini dengan Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) era
Demokrasi Terpimpin, salah satunya ada dalam Penpres (Penetapan Presiden) RI no. 19 tahun
1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila, tepatnya pada Bab III
(Kurikulum Pendidikan/Persekolahan), Pasal 18, poin no. 5, yang menyatakan bahwa iman dan
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan ciri khas Indonesia. Juga mengacu pada
TAP MPRS No. II/MPRS/1960 Bab II pasal 2 ayat 3 dan lampiran A 338, serta semangat
toleransi terhadap keyakinan masing-masing sebagai ciri khas bangsa Indonesia lainnya dalam
dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit ini mengacu pada keputusan Sukarno sebagai
Presiden RI untuk membubarkan parlemen yang selama sembilan tahun (sejak 1950) dianggap
gagal dalam menjalankan pemerintahan. Sistem pemerintahan Indonesia sepanjang 1950 hingga
negara karena tidak kunjung sepakat. Pemerintahan juga silih-berganti kabinet berkali-kali
(Kabinet Natsir hingga Djuanda). Lalu juga terdapat banyak pergolakan/konflik dalam negeri
(Tragedi Westerling, DI/TII, hingga PRRI-Permesta). Hal-hal itu yang membuat Sukarno
mengambil alih pemerintahan, mengubah sistem parlementer menjadi presidensial dan menjadi
Satu bulan setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, tepatnya pada Peringatan Hari Proklamasi
17 Agustus 1959, Sukarno menyampaikan pidato yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi
Kita (Manifesto Politik)”. Pidato tersebut menjabarkan tentang konsepsi politik nasional yang
disampaikan Sukarno dan kemudian menjadi landasan utama pemerintahan Indonesia. Konsepsi
Presiden Sukarno tersebut kemudian dikenal sebagai Manipol-Usdek. Secara singkat, alur
Isi dari Manipol pada Agustus dan September 1959 diperinci oleh DPA (Dewan
pokok dari Revolusi Indonesia. Ketiga, program umum Revolusi Indonesia. Sementara, Usdek
sendiri bermakna:
1. UUD 1945
2. Sosialisme Indonesia
3. Demokrasi Terpimpin
4. Ekonomi Terpimpin
5. Kepribadian Indonesia
Makna relasi/hubungan antara Manipol dan Usdek, yakni Sukarno menegaskan bahwa jika
rakyat Indonesia pro terhadap UUD 1945, maka meningkat kepada hal kedua yakni Sosialisme
Indonesia. lalu, jika rakyat Indonesia sepakat dengan Sosialisme Indonesia, maka rakyat
maka ekonomi yang dijalankan rakyat Indonesia adalah Ekonomi Terpimpin. Serta, jika
semuanya telah dijalankan, maka hal tersebut mencerminkan kepribadian dan kebudayaan bangsa
Hubungan antara konsepsi Manipol-Usdek ini dengan konteks dan kebijakan pendidikan
bangsa jang buta-huruf?”, saja komandokan sekarang, supaja buta-huruf itu habis
sama sekali pada achir tahun 1964! Dan saja komandokan kepada semua sekolah-
Dari hal tersebut secara singkat dapat ditarik benang merah, bahwa pendidikan yang
dijalan Sukarno di era Demokrasi Terpimpin, beriringan dengan tujuan serta langkah politiknya.
38
Dapat juga dikatakan, bahwa pendidikan nasional Indonesia dijalankan secara indoktriner,
ideologis, politis, dan dogmatis sesuai satu penafsiran dan satu ajaran tunggal, ajaran Sukarno.
Perubahan situasi politik pasti berdampak pada perubahan kebijakan dalam pemerintahan
parlementer, atau dikenal juga sebagai era Demokrasi Parlementer. Namun pada 5 Juli 1959,
Sejak itu situasi politik yang telah berubah, berdampak pula pada kebijakan
dan melalui mekanisme parlemen. Maka di era Demokrasi Terpimpin, semua terpusat di tangan
Perubahan kebijakan dalam pemerintahan tersebut juga terjadi di bidang pendidikan. Era
kekuasaan Sukarno ini (Demokrasi Terpimpin), para menteri diangkat oleh Presiden, dan nama
tepatnya pemisahan yakni antara bidang Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) dengan
Saat itu, Sukarno menujuk Prijono sebagai Mendikdasbud (Menteri PDK). Prijono
kemudian menetapkan kebijakan yakni ‘Sapta Usaha Tama’, berisi berbagai peraturan tentang
pimpinan sekolah. Ia juga menerapkan ‘Panca Wardhana’, yakni lima macam perkembangan
anak yang menjadi dasar-dasar pelaksanaan tugas di sekolah. Prijono juga membentuk Majelis
Pada era ini juga (Demokrasi Terpimpin), negara menafsirkan ideologi nasional melalui
Kebudayaan (PP dan K) telah menerbitkan salah satu bukunya, Civics, Masyarakat dan Manusia
Secara ringkas, buku ini mencakup sejarah Gerakan Rakyat Indonesia, Pancasila, UUD
1945, Ekonomi Terpimpin dan Demokrasi, Konferensi Asia, Hak dan Kewajiban Warga Negara,
Manifesto Politik, Laksana Malaikat, serta berbagai keterikatan pada Dekrit Presiden5 Juli 1959.
Bersamaan dengan pidato kelahiran Pancasila, dokumen Panca Wardana dan Declaration
of Human Rights. Disusul dengan pidato-pidato lain oleh Presiden Sukarno dalam “Tujuh Bahan
Pokok Indoktrinasi” (Tubapi) dan UDHR dan kebijakan Panca Wardhana oleh Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, yakni Prijono. Menurut Samsuri, buku-buku tersebut
nomenklatur mata pelajaran: Pendidikan Kewarganegaraan (1957) dan Civics (1961). Samsuri
bagaimana kewarganegaraan diperoleh dan hilang, sedangkan Civics (1961) lebih banyak
membahas tentang sejarah kebangkitan nasional, UUD 1945, pidato-pidato tentang kebijakan
negara, khususnya Nation and Character Building bangsa Indonesia, seperti pelajaran
kemerdekaannya.
40
tahun 1962. Kemudian pada kurikulum 1968 secara resmi diberi nama “Pendidikan
Kewarganegaraan”. Dalam program ini, konstruksi Pancasila sebagai mata pelajaran dianggap
sebagai prioritas penelitian tentang pengelolaan negara dan sejarah perjuangan bangsa,
sedangkan aspek etika dianggap tidak terlihat. Kajian pendidikan kewarganegaraan oleh negara
untuk setiap jenjang pendidikan ternyata memiliki tingkat kompleksitas yang berbeda-beda.
beberapa kurikulum, yaitu Sejarah Indonesia, Civics dan Ilmu Bumi. Untuk jenjang pendidikan
kurikulum, antara lain Sejarah Nasional (30%), Peristiwa Setelah Kemerdekaan Indonesia
(30%), dan UUD 1945 (40%). Kemudian, untuk jenjang SMA (Menengah Atas), mata pelajaran
pemerintah di bidang pendidikan yang secara langsung diputuskan oleh Presiden Sukarno baru
diterapkan pada 1964 melalui Keputusan Presiden RI No. 224 Tahun 1964. Pada berkas
keputusan tersebut tertulis bahwa Presiden Sukarno menimbang sesuai dengan ketentuan kalimat
ke-2 dari Keputusan Presiden No. 180 Tahun 1964, dipandang telah tiba waktunya untuk segera
Presiden Sukarno juga berdasar pada Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 serta Keputusan Presiden
No. 180 Tahun 1964 tersebut, maka memutuskan untuk menetapkan pembentukan Panitia
berikut:
● Anggota:
- Dr. M. Isa
- Asmara Hadi
- Emma Puradiredja
- Wasit Suwarto
- I.J. Kasimo
Negara tersebut dikerjakan oleh Sekretariat DPA (Dewan Petimbangan Agung) RI. Kemudian
biaya pengeluran dari panitia tersebut dibebankan kepada Anggaran Belanja Pemerintahan
Agung. Keputusan Presiden tersebut berlaku sejak ditetapkan, yakni pada 7 September 1964.
Beberapa peta perjalanan hingga Keputusan Presiden tersebut diterapkan, bermula dari
- Pendidikan sebagai penghasil tenaga kerja di segala bidang dan di semua tingkatan
menggunakan undang-undang yang lama, yakni UU Pokok Pendidikan dan Pengadjaran RI no.
12 tahun 1954. Diterapkannya Ketetapan MPRS RI No. II Tahun 1960 tentang pendidikan
membuat pemerintah melalui Presiden segera membuat kebijakan yakni Keputusan Presiden RI
No. 224 Tahun 1964 (Pembentukan Panitia Negara – Panca Wardhana). Setahun berikutnya,
landasan hukum tentang pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin semakin diperkuat
43
dengan Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan
Nasional Pancasila.
Anggaran Belanja, dan Komposisi Majelis Pendidikan Nasional. Lalu Keputusan Presiden RI
No. 232 Tahun 1965 tentang Pengangkatan para Wakil Ketua, para Anggota dan Sekretaris
Umum Majelis Pendidikan Nasional, Keputusan Presiden RI No. 145 tentang Nama dan
Rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional, serta No. 146 tentang Pembentukan Majelis
Pendidikan Nasional. Pentingnya Ketetapan MPRS RI No. II Tahun 1960 sebagai landasan
hukum awal tentang pendidikan hingga kemudian diteruskan dengan berbagai kebijakan
Presiden Sukarno secara eksekutif dapat dilihat dengan pembagian beberapa bidang, yakni
TAP MPRS RI No. II Tahun 1960 menjadi landasan yang paling utama sebelum Presiden
Sukarno menerapkan berbagai kebijakan seperti Perpres, Penpres, dan Keppres terutama di
bidang pendidikan. Hal ini menarik karena saat itu MPRS dan DPR-GR sebagai lembaga
legislatif justru sangat mendukung Presiden Sukarno. Jadi bisa dianalogikan pola perjalanan
2. Didukung lembaga legislatif (MPRS & DPR-GR) melalui TAP MPRS 1960
Pentingnya TAP MPRS 1960 sebagai legitimasi kebijakan Presiden Sukarno di era
Demokrasi Terpimpin terjadi karena TAP tersebut adalah pijakan Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) serta Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB). Khusus PNSB
tersebut, Presiden Sukarno yang didukung MPRS sebenarnya telah merancang beberapa tahap
44
seperti Tahapan Pertama 1961-1969. Namun sayang, belum sampai 1969, rezim Presiden
Terkait kebijakan pendidikan nasional yang berlandas pada TAP MPRS 1960 dapat
dilihat pada Bab II tentang Ketentuan Umum. Pasal 2 yakni Bidang Mental/Agama/
Kerohanian/Penelitian. Beberapa poin dari pasal tersebut yang dapat dianalisa diantaranya,
dan menolak pengaruh budaya asing. Kedua, menetapkan Pancasila dan Manipol sebagai mata
pelajaran di berbagai jenjang pendidikan dari pendidikan rendah hingga perguruan tinggi.
mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi negeri, dengan pengertian bahwa siswa berhak
memilih keluar, jika wali murid menyatakan keberatan. Kemudian kembangkan sebaik mungkin
pembangunan sarana ibadah dan lembaga keagamaan. Selain itu, cukup penting dan sejalan
dengan pendidikan nasional bahwa pemerintah menerapkan kebijakan dan sistem pendidikan
nasional untuk melatih tenaga profesional pembangunan, sesuai dengan kebutuhan masyarakat
Pemerintah juga berupaya agar segala bentuk dan ekspresi seni menjadi milik semua,
bahkan berupaya untuk menyebarluaskan ciri atau nuansa budaya bangsa. Melalui pasal ini,
pemerintah juga menyebut penguatan publikasi/informasi sebagai sarana pergerakan rakyat dan
kebijakan luar negeri yang aktif, partisipatif tanpa melepaskan klaim ilmiah.
45
alur historisnya yakni masih sama berdasar TAP MPRS RI No. II Tahun 1960, lalu diwujudkan
dengan membuat Majelis Pendidikan Nasional melalui Keppres (Keputusan Presiden) RI No.
146 Tahun 1965 tentang Pembentukan Majelis Pendidikan Nasional, beriringan dengan Keppres
RI No. 145 Tahun 1965 tentang Nama dan Rumusan-induk Sistem Pendidikan Nasional
Pancasila.
Pada Keppres RI No. 146 Tahun 1965 tentang Pembentukan Majelis Pendidikan
Pancasila yang bertugas untuk merencanakan, membina, dan mengawasi pelaksanaannya. Secara
struktur, Presiden Sukarno menjadi Pengajom Agung, lalu Menteri/Wakil Ketua II DPA, Ketua
sebagai Ketua merangkap Anggauta. Ketua tersebut juga diinstruksikan untuk menyusun tugas,
wewenang, kedudukan, anggaran belanja, komposisi dan personalia dari majelis tersebut.
Lalu untuk Keppres RI No. 145 Tahun 1965 tentang Nama dan Rumusan-induk Sistim
Pendidikan Nasional Pantjasila, Sukarno menjelaskan kebijakan ini untuk mendukung dan
melaksanakan Keppres RI No. 224 Tahun 1964 pasal pertama dari bagian kedua, maka
dipandang perlu untuk segera memberi nama dan menetapkan rumusan-induk dari Sisdiknas,
sebelumnya). Keppres ini juga berlandas pada Pidato Presiden Sukarno tanggal 17 Agustus 1964,
serta TAP MPRS RI No. VI/MPRS/1965. Pada Keppres ini, Sukarno menetapkan penamaan
46
tersebut yakni:
- Mukadimah
Sistem Pendidikan Nasional Pancasila, Presiden Sukarno merasa perlu mempertegas dan
Panitia Negara – Panca Wardhana) pasal pertama dari bagian kedua dipandang perlu
adalah dengan diyakinkan oleh konsepsi Manipol. Hal tersebut mengacu pada Bab I dalam
Ketentuan Umum, Mukadimah Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
kebijakan pendidikan nasional adalah amanat revolusi yang belum selesai, sehingga harus
dipertegas oleh Presiden Sukarno pada Pasal 1 Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965
Lalu, juga merupakan manifestasi atau perwujudan dari kesatuan bangsa dan wilayah
Indonesia. Kemudian juga menjadi rasa penyatuan jiwa seperti Weltanschauung bangsa
Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut menjadi dasar bagi
menghasilkan warga negara Indonesia yang sosialis (moral) yang baik, bertanggung jawab atas
terwujudnya sosialisme Indonesia, adil dan makmur secara ruh maupun materil, serta berjiwa
Pancasilais. Di Pasal 3 Penpres tersebut juga membahas tentang isi moral pendidikan nasional,
yakni kolaborasi antara dasar negara (Pancasila) serta konsepsi Presiden Sukarno (Manipol-
Usdek). Satu hal yang menarik, yakni hal tersebut (seluruh arahan dan instruksi serta konsepsi)
berlaku tidak hanya bagi penyelenggara pendidikan dari pemerintah (negeri), namun juga bagi
Nuansa politis, ideologisasi serta indoktrinasi dalam kebijakan Sisdiknas Indonesia era
Demokrasi Terpimpin yang secara langsung dilakukan oleh Presiden Sukarno semakin nampak
nyata pada Pasal 4 yakni Politik Pendidikan Nasional. Ia menegaskan bahwa landasan politik
48
Selanjutnya, bahwa garis dan strategi dasar pelaksanaan pendidikan Nasional-Demokratis harus
melahirkan patriot yang utuh: berdasar Pancasila dan Manipol-Usdek, menentang segala bentuk
penghisapan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. Lebih konkrit lagi, Presiden Sukarno
- Imperialisme
- Feodalisme
- Kapitalisme.
Sukarno melalui Penpres yang ditandatanganinya ini menjadi anomali di lain sisi. Satu
sisi, ia memonopoli keputusan, makna, pandangan dan sikap politik dalam kebijakan pendidikan
nasional dengan mewajibkan pemerintahan secara nasional seluruh konsepsinya tersebut. Namun
Anomali yang dimaksud adalah jika kita berkaca pada politik pendidikan nasional, menentang
paham-paham yang ‘dilarang’ negara seperti Kapitalisme, Feodalisme, Kolonialisme dan Neo-
menjalankan pendidikan secara bebas sesuai aliran politik, jika negara justru melarang
beberapa aliran politik secara tertulis dalam peraturannya? Selayaknya konsep demokrasi yang
sebenarnya, yakni kebebasan tanpa campur tangan atau intervensi negara (Liberalisme),
demokrasi yang dijalankan Sukarno ini adalah demokrasi terbatas dan terpusat dengan intervensi
Presiden. Namun, satu hal yang harus diapresiasi dalam Penpres ini adalah kebebasan
49
menjalankan dan menerapkan pendidikan (selain aliran politik), juga sesuai aliran agama dan
kepercayaan masing-masing.
secara khusus dijalankan oleh Departemen Agama, khususnya Islam sebagai agama mayoritas
dan salah satu bentuknya adalah madrasah. Sayangnya, sulit menemukan sumber tentang
penerapan pendidikan agama dan kepercayaan lain di luar Islam di era Demokrasi Terpimpin.
Menarik jika ada penelitian selanjutnya yang secara lebih fokus membahas hal tersebut
(penerapan kebijakan pendidikan agama secara nasional di era Demokrasi Terpimpin, ataupun
Pasal 5 Penpres tersebut, menarik sebagai bahan renungan untuk saat ini. Bahwa Presiden
Sukarno menegaskan pentingnya toleransi umat beragama termasuk di ranah pendidikan. Pasal 5
secara tegas menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional Indonesia disahkan, diatur, dan
dilaksanakan sesuai dengan keyakinan politik dan agamanya masing-masing dalam kerangka
Negara Pancasila dan konsepsi Manipol-Usdek sebagai satu kesatuan. Hal ini cukup untuk
mengklarifikasi bahwa konsepsi Manipol-Usdek Presiden Sukarno bukan buatan kaum Komunis,
atau bukan karena desakan atau pengaruh dari PKI, yang sering dinegasikan sebagai kelompok
atheis dan anti-agama (hal ini menarik untuk diperdebatkan dalam diskursus ideologi dan
politik).
Lalu pada Pasal 6 Penpres ini, menyebutkan tentang pihak-pihak mana saja yang
harmonis antar elemen tersebut demi tercapainya tujuan pendidikan nasional. Kemudian, terkait
50
- Pendidikan Biasa
- Pendidikan Khusus
- Pendidikan Kemasyarakatan
Di era ini, belum ada jenis sekolah ‘kejar paket’ seperti saat ini. Pemerintah
mengantisipasi warga negara yang tidak dapat menyelesaikan SD atau SM (Menengah) dengan
Pemerintah di tangan Presiden Sukarno juga memberikan perhatian terhadap kaum difabel
Berikutnya, pada bagian II Pasal 13 dapat dilihat bahwa jika pada sekarang terdapat
PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), maka di era Demokrasi Terpimpin ada yang
namanya jenis Pendidikan Kemasyarakatan yang sejalan/sejenis dengan tipe PKBM. Fungsinya
sama, yakni bagi warga negara yang tidak sempat dididik pada salah satu jenis lembaga
Lalu, landasan hukum mengenai tipe/jenis lembaga pendidikan yang saat ini lebih dikenal
dengan LKP (Lembaga Kursus dan Pelatihan) dan sejenisnya, di era Demokrasi Terpimpin
terwadahi dengan nomenklatur Pendidikan Diluar Hubungan Sekolah. Pada Bagian II Pasal 14
dijelaskan, Kegiatan pendidikan di luar hubungan dengan sekolah dalam kerangka pendidikan
untuk mencapai tujuan pendidikan nasional dilakukan oleh penyelenggara sesuai bidang, hak,
51
kewajiban dan kewenangan masing-masing. Jenis-jenis pendidikan ini lebih berorientasi atau
dilepaskan ke sektor swasta atau non-pemerintah. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 15,
Pada Bab III di Pasal 16 dan 17, Presiden Sukarno melalui Penetapan tersebut berikutnya
menegaskan tentang kurikulum pendidikan atau persekolahan. Di era ini, semua kegiatan
pendidikan nasional (di dalam dan di luar hubungan sekolah) diatur dalam Kurikulum
secara lebih jelasnya, meliputi seluruh pengaruh yang didapat peserta didik atas pimpinan
lembaga pendidikan/sekolah.
sangat terasa berikutnya pada jiwa kurikulum pendidikan/persekolahan yang diwajibkan untuk
dijalankan. Seperti yang tertera pada Pasal 18, diantaranya yakni semangat melaksanakan
Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat) secara gotong royong dalam rangka mewujudkan
masyarakat adil dan makmur serta diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian, Demokrasi
Terpimpin (diklaim) lebih mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat. Semangat cinta
tanah air, tanah air dan solidaritas nasional dengan Bhinneka Tunggal Ika, kepribadian dan
bangsa di dunia atas semangat Nefo (New Emerging Forces), membangun dunia baru yang bebas
dari Imperialisme, Kolonialisme dan Neo-Kolonialisme. Serta, kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa secara berkeadaban sebagai karakteristik bangsa Indonesia, sesuai dengan Ketetapan
MPRS No. II/ MPRS/1960 Bab II Pasal 2 Ayat 3 dan lampiran A338, dan semangat toleransi
52
terhadap keyakinan masing-masing sebagai karakteristik yang lain bangsa Indonesia dalam
Penetapan Presiden ini juga dilengkapi penjelasan dan pedoman pelaksanaannya serta
pembentukan Majelis Pendidikan Nasional sebagai badan tertinggi penentu kebijakan tentang
pendidikan. Lebih jelas lagi, Penpres tersebut mulai berlaku sejak ditetapkan yakni 25 Agustus
1965. Ditandatangani oleh Presiden Sukarno dan diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara
Setelah Penetapan Presiden tentang Sisdiknas ditetapkan, di hari yang sama (25 Agustus
1965), Sukarno membuat dan menetapkan juga Perpres (Peraturan Presiden) RI No. 14 Tahun
1965. Perpres tersebut mempertegas kembali serta menjabarkan dari pembentukan Majelis
Pendidikan Nasional yang telah dibuat melalui Keppres (Keputusan Presiden) RI No. 146 Tahun
anggaran belanja, dan komposisi Majelis Pendidikan Nasional, diantaranya sebagai berikut:
● Wewenang: memiliki hak dan kuasa untuk menentukan kebijakan pendidikan di segala
bidang
● Kedudukan: menjadi lembaga tertinggi dalam bidang pendidikan nasional, serta di bawah
Perpres tersebut kemudian diperkuat dengan Keppres (Keputusan Presiden) RI No. 232
Tahun 1965 tentang Pengangkatan para Wakil Ketua, Anggota-anggota dan Sekretaris Umum
Majelis Pendidikan Nasional. Singkatnya, Keppres ini ditetapkan dalam rangka melaksanakan
Pasal 21 Perpres RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional
Pancasila dan Pasal Keenam Ayat 3 Perpres RI No. 14 Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan
Nasional.
Tujuannya yakni demi penentuan atau agar segera menentukan Personalia (orang-orangnya)
yang terdiri dari berbagai jabatan: Wakil Ketua, para anggota, serta Sekretaris Umum dari
Majelis Pendidikan Nasional tersebut. Presiden Sukarno menetapkan Perpres ini dengan
mengingat TAP MPRS RI No. II/MPRS/1960, Pidato Presiden RI tanggal 17 Agustus 1964,
Keppres RI No. 224 Tahun 1964, Keppres RI No. 146 Tahun 1965, Penpres RI No. 19 Tahun
❖ Anggota:
- Menko/Menteri yang berhubungan dengan bidang Pendidikan dan Wakil Komisi Pendidikan
DPR-GR: Prof. Prijono, K.H. Saifuddin Zuchri, Prof. Ruslan Abdulgani, Artati Marzuki
Soedirjo, Brigjend. Dr. Sjarif Thayeb, Maladi, Dr. Soemarno S., Drs. M. Achadi, Ipik
Gandamana, Prof. Soedjono Djoened P., Drs. Soerjadi, Jusuf Muda D., Mardanus, Brigjend.
M. Wonojudo.
54
- Wakil Partai Politik: Arudji Kartawinata, JCT. Simorangkir, IJ. Kasimo, Ratu Aminah H.,
- Wakil Golongan Fungsionil: Nyi Hadjar Dewantara, Asmu, Martiman, PA Harahap, Djamin,
Hasjim Ning, Kusno Utomo, Saroso Hurip, Soebroto, Tudjimah, Notohamidjojo, L. Soekoto,
IGB. Soegriwa, Armunanto, Busuno Wiwoho, Prof. Baroroh Baried, Hoo Kian Lam,
Soekarno Iskandar, Prof. Slamet Iman S., Sodiarto, Chaerun Caropeboka, RAJ. Soedjasmin,
Said Budaeri, Satyagraha, Zaini Mansur, Mahbub Djunaidi, Emma Puradiredja, Santoso.
- Wakil Daerah: M. Isa, Doel Arnowo, Tjilik Riwut, Andi Pangerang Daeng Rani, AB. Mboi,
Hal yang menarik dan penting untuk dianalisa dalam pembentukan Majelis Pendidikan
Nasional tersebut adalah terdapat perwakilan dari masing-masing elemen. Diantaranya dari para
menteri dan DPR-GR, wakil partai politik, wakil golongan fungsionil/akademisi, hingga wakil
daerah, yang telah dijabarkan. Presiden Sukarno nampak ingin membuktikan keseriusannya
Terlihat ia ingin menunjukkan bahwa urusan pendidikan adalah urusan bersama, tidak
hanya Kementerian dan Dinas Pendidikan saja. Namun di sisi lain, keterlibatan banyak pihak
hingga dari kalangan militer serta partai politik membuat pertanyaan baru: “untuk apa pihak-
pihak yang berada di luar koridor pendidikan atau yang tidak/bukan memiliki latarbelakang
Sisi positifnya, Presiden Sukarno dapat dianggap benar-benar serius dalam mengelola
pendidikan nasional. Ia menjadikan pendidikan sebagai unsur yang sangat penting dalam
banyak pihak hingga wakil dari berbagai daerah. Namun di sisi lain, kritik terhadap Presiden
Sukarno terkait hal tersebut juga dapat disampaikan bahwa ia terlalu politis dalam mengelola
pendidikan nasional. Presiden Sukarno nampak mementingkan sisi prestisiusnya dibanding fokus
pada kebijakan intinya. Keterlibatan banyak pihak dalam satu bidang seperti pendidikan
nasional, justru membuat pelaksanaan kebijakan tersebut tidak akan fokus karena banyak pihak
yang berkepentingan.
Melihat dari suasana politik saat itu dapat juga diasumsikan bahwa Presiden Sukarno
ingin membuktikan bahwa kebijakannya (dalam hal ini, pendidikan) diikuti dan dituruti serta
didukung seluruh elemen masyarakat yang tentu sejalan dengan garis politiknya. Kritik
berikutnya terhadap kebijakan pembentukan Majelis Pendidikan Nasional tersebut adalah bahwa
Presiden Sukarno justru mempersempit ruang gerak akademisi dengan ikut melibatkan politisi
partai dan militer, sehingga nampak pihak fungsionil/akademisi bukan menjadi peran yang
Pada perjalanannya, Majelis Pendidikan Nasional yang dibentuk Presiden Sukarno tidak
bertahan lama. Karena beberapa waktu/bulan setelahnya, terjadi huru-hara G30S 1965. Setelah
peristiwa itu, kebijakan negara tidak banyak dapat diimplementasikan karena pemerintah fokus
Pada sub-bab sebelumnya telah dijelaskan tentang pentingnya TAP MPRS No. I dan II
Tahun 1960 sebagai salah satu landasan hukum kebijakan pendidikan nasional di era Demokrasi
(Pembangunan Nasional Semesta Berencana) Tahap Pertama 1961-1969. Dampak dari TAP
MPRS 1960 yang menjadi landasan kebijakan pendidikan nasional era Demokrasi Terpimpin
tersebut yakni pemerintah membangun banyak sekali pembangunan terkait bidang pemerintah.
Maluku.
Proyek ini menelan biaya sekitar Rp. 50.000.000,- dan memiliki target hasil diantaranya
penambahan kader, piringan hitam, berbagai film dancatatan artistik, maquette-maquette, teknik
pembuatan alat kesenian, peninggalan Islam dan Hindu, bahan untuk museum nasional, film
kebudayaan untuk sekolah rakyat dan menengah, bahan untuk perguruan tinggi, dan cara kerja
modern. Pembangunan ini dimulai berangsur mulai tahun pertama PNSB Rencana/Tahap I dan
Proyek ini menelan anggaran sekitar Rp. 313.000.000,- dan memiliki target hasil
pariwisata. Pembangunan ini membutuhkan dukungan pendidikan ahli musem, dan sekaligus
membangun taman rekreasi dan Taman Bhinneka Tunggal Ika hingga Museum Perjuangan.
Direncanakan dan diselenggarakan mulai tahun pertama PNSB Tahap I (1961) dan selesai di
Proyek ini menelan biaya sekitar Rp 469.000.000,- dan bertujuan untuk memamerkan
hasil kesenian nasional, memelihara kepribadian kebudayaan, perkembangan daya kreatif serta
memajukan pariwisata. Galeri ini memuat 4000 lukisan dalam satu baris, 8000 lukisan dalam dua
baris dan dapat diperbesar dengan 2000 lukisan. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB
Proyek ini menyerap anggaran sebesar Rp. 453.000.000,- dan bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan bacaan rakyat, menghimpun karya intelektual bangsa Indonesia, serta pendidikan ahli
perpustakaan. Pembangunan ini memiliki kapasitas empat juta buku, dimulai tahun pertama
Proyek ini menghabiskan anggaran sebesar Rp. 44.000.000,- dan bertujuan yakni
menerjemahkan berbagai buku untuk universitas, membuat Kamus Besar Bahasa Indonesia dan
Ensiklopedia Indonesia, penemuan berbagai istilah, pendidikan ahli penerjemah, dan ahli-ahli
bahasa. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode
(1961-1969).
Proyek ini menghabiskan anggaran sebesar Rp. 110.000.000,- dan bertujuan yakni
sebagai pusat penghidupan kebudayaan daerah dan nasional. Proyek ini membangun dua puluh
dua taman yang dibangun mulai tahun kedua Tahap I (1962) hingga akhir tahun ketiga.
58
7. Terjemahan Kitab Suci Al-Quran, Bible, Weda, dan Dhamma Padda (Tri Pitaka)
Proyek ini sangat menarik untuk membuktikan bahwa rezim Sukarno era Demokrasi
Terpimpin adalah rezim yang sangat memperhatikan agama. Anggaran yang diserap untuk
pembangunan ini masing-masing Rp. 62.000.000,- (Islam), Rp. 33.000.000,- (Nasrani), Rp.
20.000.000,- (Hindu dan Buddha). Pembuatan terjemahan ini dimulai sejak tahun pertama Tahap
Total pembangunan beberapa lembaga dan proyek kebudayaan dan keagamaan tersebut
Berikutnya, pemerintah era Demokrasi Terpimpin melalui TAP MPRS tersebut juga membangun
Proyek ini menelan biaya sebesar Rp. 1.650.000.000,- dan memiliki target hasil yakni
melipatgandakan sarjana di bidang teknik, ilmu pasti/alam, biologi, pertanian dan kehutanan,
serta dokter. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode
(1961-1969).
Proyek ini membutuhkan anggaran sekitar Rp. 1.400.000.000,- dan memiliki target hasil
yaitu melipatgandakan sarjana di bidang pertanian dan kehutanan. Selain itu menambah fakultas
baru yakni teknik, ilmu pasti/alam, biologi, dan ahli penggunaan tanah. Pembangunan ini dimulai
Proyek ini membutuhkan biaya sebesar Rp. 950.000.000,- dan bertujuan untuk
melipatgandakan sarjana dokter, guru, serta menambah fakultas baru yakni teknik, ilmu
59
pasti/alam, dan pertanian/kehutanan. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan
Proyek ini menelan anggaran sekitar Rp. 700.000.000,- dan memiliki target hasil untuk
melengkapi fakultas kedokteran, keguruan, serta menambah fakultas baru seperti teknik, ilmu
pasti/alam, dan pertanian/kehutanan. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan
Proyek ini menghabiskan dana sebesar Rp. 700.000.000,- dan memiliki target hasil untuk
melengkapi fakultas kedokteran, kedokteran hewan, pertanian dan kehutanan, serta keguruan.
Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode (1961-
1969).·
Proyek ini menelan biaya sekitar Rp. 700.000.000,- dan bertujuan untuk
menyempurnakan fakultas kedokteran dan keguruan, serta menambah fakultas baru yaitu teknik
dan ilmu pasti/alam. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir
periode (1961-1969).
Proyek ini menelan biaya sekitar Rp. 1.050.000.000,- dan bertujuan melipatgandakan
sarjana bidang ilmu pasti/alam, pertanian, kedokteran, keguruan, serta menambah fakultas
keguruan / FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Pembangunan ini dimulai tahun
Serta beberapa kampus lainnya seperti Institut Teknologi di Bandung (kini ITB),
Rp. 1.082.000.000,-, Rp. 250.000.000,-, Rp. 250.000.000,-, Rp. 250.000.000,-, Rp. 250.000.000,.
berbagai bidang seperti teknik geologi, kimia, biologi, ilmu pasti/alam (ITB), kemudian memulai
pembangunan fakultas teknik, ilmu pasti/alam serta kedokteran (Universitas Sriwijaya dan
Universitas Kalimantan), lalu pembangunan fakultas teknik, perkapalan, hingga marine sciences
(Universitas Maluku), serta bantuan untuk perlengkapan alat-alat dan guru-guru (Universitas
Diponegoro). Pembangunan semuanya pun sama, dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan
nasional melalui PNSB ini juga termasuk berbagai jenjang sekolah, diantaranya sebagai berikut:
● STM (Sekolah Teknik Menengah) di Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatra
Selatan, Jawa Barat, Jakarta Raya, Jawa Timur, hingga Sulawesi, yang secara total
sekolah-sekolah tersebut sudah ada namun masih banyak yang belum memiliki gedung.
Proyek tersebut dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode (1961-
1969).
● Pembangunan yang sama, STM, namun tujuan berbeda yakni untuk menambah tenaga
teknik seperti STM di Riau, Sumatra Utara, Jakarta Raya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Bali hingga Sulawesi.
61
semuanya pun sama, dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode
(1961-1969).
lulusan/tamatan di Jakarta Raya, Sumatra Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta,
serta Jawa Timur yang membutuhkan biaya sebesar Rp. 84.000.000,-. Sekolah Guru
Pengajaran Teknik yang bertujuan menambah jumlah gurunya seperti di Jakarta Raya dan
dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode (1961-1969).
● Kursus Ahli Teknik di Sumatra Utara, Jakarta Raya, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang
Selain itu masih banyak sekali proyek pembangunan pendidikan nasional yang
dirumuskan dalam PNSB Tahap I (1961-1969) dalam TAP MPRS No. 1 dan No. 2 Tahun 1960
tersebut seperti Akademi Pekerjaan Umum, Pendidikan Teknik Swasta, Akademi Pertanian,
Akademi Pembangunan Veteran, Sekolah Tekstil Tinggi, Akademi Pelajaran, Sekolah Pelajaran
dan Perkapalan Menengah, Pendidikan Tenaga PTT, Akademi Sinematografi, Akademi Gula
Negara.
Berikutnya ada juga Sekolah Analis, Sekolah Kejuruan Perhotelan, Sekolah Menengah
Pertanian Atas, Kursus Karantina, Sekolah Kehutanan Menengah Atas, Sekolah Perikanan
Menengah Atas, Sekolah Kehewanan Menengah Atas, Sekolah Guru Atas, Sekolah Guru
Kepandaian Putri, Sekolah Menengah Atas bagian B, Sekolah Rakyat. Lembaga Pemberantasan
62
Buta Huruf, Kursus Kemasyarakatan dan Perpustakaan, Pendidikan Keahlian Jurusan Ekonomi
seperti kursus perdagangan pertama, kursus perdagangan senior, kursus perwira administrasi,
kursus perwira administrasi senior, sekolah kerajinan, sekolah pedagogi, perguruan tinggi,
sekolah pedagogi taman kanak-kanak, sekolah dasar tingkat pendidikan pertahanan rakyat,
universitas ekonomi dan sekolah menengah, sekolah kepandaian putri 2 tahun dan 4, serta
sekolah dengan kebutuhan khusus. Total biaya pembangunan berbagai lembaga pendidikan dari
tingkat terendah hingga perguruan tinggi / institut / universitas negeri senilai total Rp
16.261.000.000.
pendidikan nasional) pemerintah juga membangun banyak sekali proyek pembangunan seperti
Geologi, Aerial Survey, Penelitian bidang Industri, Penelitian bidang produksi Pangan,
Penelitian bidang Perkebunan dan Kehutanan, Laboratorium Riset PTT, Penelitian bidang
Lingkungan, Penelitian bidang Penerbangan dan produksi Pesawat Udara, serta pembangunan
penelitian lembaga lainnya yang dianggap penting. Jumlah total anggaran keseluruhan
BAB IV
Hal yang paling terasa dalam hampir semua kebijakan Sukarno di era Demokrasi
Terpimpin adalah hegemoni konsepsi dalam kebijakan, menguatnya dominasi, bahkan cenderung
monopoli. Secara politik, kekuatan dan kekuasaan Sukarno saat itu sangat besar. Tidak ada
oposisi karena kekuatan Masyumi & PSI telah diberangus sebagai dampak dari PRRI-Permesta.
DI/TII saat itu juga semakin diambang kehancuran. Partai-partai politik disederhanakan dan
kekuatan MPRS saat itu bukan sebagai penyeimbang/oposisi, justru menjadi pendukung utama
Demokrasi Terpimpin.
Kuatnya kekuasaan Sukarno saat itu berdampak pada masifnya hegemoni Sukarno di
semua sisi kebijakan nasional. Nasakom menjadi platform dengan Front Nasional sebagai wadah
politiknya. Manipol-Usdek menjadi bahan bakar yang wajib digunakan dalam setiap gerak rakyat
bersebrangan dengan konsepsi Sukarno. Hal ini ternyata melingkupi juga dunia atau bidang
pendidikan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, kebijakan dan sistem
Hal tersebut secara sosiologis termasuk dalam konsep hegemoni dan dominasi.
Intelektual marxian, Antonio Gramsci, masih menjadi salah satu referensi utama dalam konsep
ini. Bagi Gramsci, hegemoni berawal dari supremasi kelas. Supremasi kelompok
64
memanifestasikan dirinya dalam dua cara: dominasi dan kepemimpinan intelektual. Hegemoni
tematik mengacu pada pengaruh kuat kepemimpinan dalam bentuk moral dan intelektual.
Hal tersebut membentuk sikap kelas yang dipimpin. Hal ini terjadi dalam gambaran
konsensus, dan konsensus yang terjadi di antara kedua lapisan ini tercipta melalui paksaan serta
pengaruh yang disamarkan melalui pengetahuan yang disebarkan melalui alat-alat kekuasaan.
Pada hakikatnya, hegemoni merupakan upaya untuk menggiring orang agar menilai dan
Hal yang paling mendasar dari hegemoni dalam kebijakan pendidikan dimulai dari tujuan
dan politik kebijakan pendidikan nasional. Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa terdapat
perbedaan pola pikir yang tajam/beda antara era Demokrasi Terpimpin dengan zaman
Alam demokrasi bernuansa liberal yang kental di era parlementer membuat tujuan dan
Pancasila versi Sukarno, dan mendapat dukungan politik dari kelompok kiri.
pendidikan nasional juga melalui penerapan mata pelajaran di sekolah. Sebagaimana yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya, pemerintah memperkenalkan mata pelajaran Civics dalam
Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP & K) menerbitkan salah satu
bukunya yakni Civics, Masyarakat dan Manusia Indonesia Baru, karangan Mr. Soepardo, dan
kawan-kawan. Secara singkat, buku tersebut berisi tentang Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia,
65
Pancasila, UUD 1945, Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin, Konferensi Asia-Afrika, Hak dan
Kewajiban Warga Negara, Manifesto Politik, Laksana Malaikat, serta berbagai lampiran Dekrit
Kewargaan Negara. Pada bab ini dijelaskan kembali (merujuk bab sebelumnya), yakni untuk
jenjang SD (Sekolah Dasar) Mata Pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara meliputi beberapa
Setelah Indonesia Merdeka dan UUD 1945. Lalu untuk jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas),
Mata Pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara meliputi beberapa program pembelajaran yang
berikutnya, berdampak pada ‘tidak netral’-nya pendidikan. Esensi pendidikan secara positivistik
yang mengedepankan empirisitas dan keilmiahan, nampak beririsan dengan kepentingan politik
pemerintah dan politisasi yang dilakukan Sukarno sebagai pengendali utama negara. Hal itu
merujuk pada Penpres RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional
Pancasila, bahwa perlu ada Sisdiknas yang sesuai dengan tuntutan Revolusi Indonesia.
Sepanjang penelitian ini, belum menemukan hasil riset/penelitian lain tentang kualitas
didik. Maksudnya, misal, Budi adalah produk dari pendidikan nasional era Demokrasi
pemikiran ataupun keterampilan Budi setelah mendapat pendidikan dari era Demokrasi
Parlementer.
sekolah, dinas hingga kementerian pendidikan) berpikir dengan alur pikir yang sama dengan
Sukarno sebagai pemegang utama kebijakan pendidikan nasional. Sayangnya, hal tersebut adalah
asumsi yang selayaknya masih dapat diperdebatkan ataupun dikomparasi kembali dengan
penelitian ataupun hasil riset lain/kemudian/di masa mendatang, untuk dapat dibuktikan.
Kita bisa membedah sisi positif dan negatif dari hegemoni dan dominasi tersebut. Sisi
positif yang bisa diambil yakni bahwa suatu rezim pemerintahan haruslah kuat dan tidak mudah
terpengaruh pihak-pihak yang ingin mengancam stabilitas nasional. Berikutnya, hegemoni dan
dominasi dibutuhkan untuk melindungi rakyat Indonesia dari ketidakjelasan arah pembangunan
Presiden Sukarno sebagai simbol rakyat pada saat itu memiliki banyak pembelaan di
berbagai pidatonya dan mampu menggalang dukungan elemen politik lainnya atas hegemoni dan
dominasi yang ia lakukan. Terkait pendidikan nasional sendiri, hal tersebut bertujuan untuk
membuat rakyat Indonesia terdidik secara terarah lurus agar tidak ‘belok’ dari cita-cita revolusi
dan kemerdekaan Indonesia. Memang, di suatu waktu, hegemoni dan dominasi terasa dibutuhkan
jika bertujuan untuk kebaikan bersama. Namun, hegemoni dan dominasi yang berlebihan apalagi
mendasarkan kepemimpinan nasional hanya pada satu sosok tokoh, membuat negara melemah
dengan sendirinya.
67
Hal tersebut kemudian terjadi pada bangsa Indonesia, ketika Sukarno berhasil
digulingkan hingga akhirnya wafat pada 1970, kepemimpinan Indonesia berubah arah dan
berganti sandaran pada sosok tokoh yakni Suharto yang memiliki pemikiran, kebijakan, politisasi
dan kepentingan yang jauh berbeda dari Sukarno. Namun keduanya memiliki satu kesamaan:
hegemoni dan dominasi. Bahkan Suharto jauh lebih kuat dan lama dalam melakukan hegemoni
dan dominasi selama tiga puluh dua tahun hingga mengundurkan diri pada 1998.
Presiden Sukarno tidak hanya menghegemoni kebijakan dan sistem pendidikan nasional,
namun juga menjadikan pendidikan nasional sebagai sarana indoktrinasi. Hal ini justru menjadi
sisi negatif mengebiri demokrasi itu sendiri. Tepatnya, saat Presiden Sukarno membuat
kebijakan berupa retooling segala hal di berbagai kebijakan termasuk pendidikan nasional.
Retooling ini membuat media, suratkabar, hingga pendidikan dan kebudayaan menjadi sasaran.
Segala hal terkait pemberitaan, media dan informasi, hingga pendidikan dan kebudayaan harus
bernuansa revolusioner dan segaris dengan kebijakan politik Presiden Sukarno. Ia juga membuat
kebijakan sensor bagi pihak siapapun, apapun, dan manapun yang tidak sejalan dengan
kebijakannya.
merupakan sasaran terpenting. Hal ini bertujuan menghilangkan pemikiran liberalisme dan
nasional dari dasar/terendah (sekolah rakyat) hingga pendidikan tertinggi. Maka institusi-institusi
pendidikan menjadi sarana sebagai tempat penanaman paham, indoktrinasi atau sebagai tempat
dan menggantikannya dengan buku-buku marxisme ataupun buku-buku lain yang berkaitan
tentang ajaran sosialisme. Tindakan tersebut adalah bagian dari retooling, termasuk dalam
bidang kebudayaan dengan memberantas musik ‘ngak-ngik-ngok’ seperti Band asal Inggris: The
Beatles, novel bergaya romance Barat dan melarang memainkan film-film Barat. Menurut
Presiden Sukarno, melalui media-media tersebut terjadilah penetrasi kebudayaan Barat yang
Salah satu contoh nyata dari kebijakan ini adalah kisah grup band pop Koes Plus yang
sebelumnya bernama Koes Bersaudara. JJ Rizal dalam tulisannya, Koes Bersaudara, Sukarno
dan Spionase, menyebut bahwa Koes Bersaudara (kemudian Koes Plus) sebagai korban
pelarangan musik “ngak ngik ngok” yang berujung pemenjaraan mereka pada 1965. Namun
menurut JJ Rizal ada hal menarik untuk kasus Koes Bersaudara ini. Pada 29 November 2008,
dalam acara Kick Andy Show, Koes Plus membuat pengakuan mengejutkan. Menurut Koes Plus,
pemenjaraan itu hanya drama politik. Sebelumnya pada 2004 dalam wawancara bersama
sejarawan Steven Farram yang meneliti musik zaman Sukarno, Yok (vokalis Koes Plus) telah
Singkatnya menurut Koes Plus, pada pertengahan 1965, Presiden Sukarno meminta Koes
Bersaudara menjalankan tugas dalam misi rahasia ‘mengganyang Malaysia’. Saat itu Koes Plus
dianggap sedang berada di puncak popularitas hingga ke Malaysia. Namun, agar mereka dapat
diterima dan dipercaya lebih sebagai teman sepemikiran di Malaysia dan dapat dengan mudah
menyelesaikan misi dinas rahasia mereka, dibuatlah sebuah drama yang menunjukkan bahwa
menjadi korban kebijakan Sukarno, mereka harus dikutuk di media dan dikirim ke penjara.
69
Lanjut JJ Rizal dalam tulisan itu menyebut pada 14 Maret 1965, Harian Rakjat milik PKI
ketidakacuhan terhadap tanah air dengan revolusi dan kepribadiannya yang tinggi”. Presiden
Sukarno kemudian memanfaatkan hal tersebut dengan menjadikan Koes Bersaudara sebagai
kemudian dalam historiografi dianggap sebagai salah satu contoh pengebirian demokrasi dalam
Namun apapun kontroversi terkait kasus Koes Plus tersebut, sejatinya Presiden Sukarno
memainkan peran penting tentang hal yang boleh dan tidak boleh dalam pembangunan
pendidikan dan kebudayaan nasional. Satu sisi bermakna positif, bangsa Indonesia jangan
sampai terpengaruh budaya negatif dari bangsa Barat. Sisi lain cenderung lebih banyak
berksenian/berkebudayaan yang menjadi esensi utama dalam dunia pendidikan. Hal tersebut juga
nasional.
Padahal di era ‘Sukarno Muda’ sebelum kemerdekaan dalam banyak tulisannya, ia selalu
menekankan bahwa nasionalisme Indonesia tidaklah sempit dan bersifat chauvinis. Kolonialisme
dan imperialisme serta kapitalisme yang dilawan bukanlah persoalan ras, bangsa, warna kulit,
bukan tentang ‘siapa dan darimana asalnya’, melainkan tentang/persoalan sistem yang menindas
rakyat. Membenci Barat karena bangsa ataupun warna kulitnya termasuk musiknya, dan
menganggap diri/bangsa Indonesia lebih baik, bukan membenci sistemnya, sejatinya sudah
Maka tidak heran, Sukarno di era Presiden zaman Demokrasi Terpimpin, atau sering
disebut ‘Sukarno Tua’ sangat bersifat Ultranasionalis dan cenderung otoriter bahkan beberapa
menanggap diktator. Hal tersebut menjadi renungan kita bersama khususnya di dunia pendidikan
ke depan. Tidak membenci modernitas dan budaya global, namun harus tetap melestarikan
budaya bangsa sendiri tanpa terjebak pada nasionalisme sempit atau chauvinistik.
Ada fenomena menarik dalam dunia pendidikan tinggi terkait hal tersebut (melanjutkan
tentang hegemoni). Kita melihat dunia pendidikan tinggi yang berisi mahasiswa dengan berbagai
organisasi serta aliran dan kelompok politiknya, walaupun menjalani pendidikan di era penuh
indoktrinasi Sukarno, nyatanya tidak semua para peserta didik dari kalangan pendidikan tinggi
(mahasiswa) mendukung dan sejalan dengan Sukarno. Salah satu contoh yang paling umum,
adanya tipe-tipe mahasiswa kritikus Sukarno paling tajam di era Demokrasi Terpimpin, seperti
Soe Hok Gie. Sejak mahasiswa hingga lulus, tokoh pemuda dari Fakultas Sastra UI (Universitas
Indonesia) ini sangat sering mengkritik Sukarno dan berbagai kebijakan pemerintah di zaman itu.
Gie memiliki beberapa karya/tulisan politik-sejarah yang hampir seluruhnya mengkritisi era
Demokrasi Terpimpin diantaranya Catatan Harian Seorang Demonstran, Setelah Tiga Tahun,
dan lain-lain.
melebar dari tema utama penelitian ini, namun tentang hal tersebut perlu untuk sedikit dibahas.
Kebijakan pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin dengan begitu dogmatis dan
indoktriner serta berbagai kebijakan politik Sukarno yang cenderung otoriter dan diperkuat oleh
struktur politik nasional saat itu, nyatanya tidak membuat kehidupan dunia pendidikan tinggi
71
oleh peserta didiknya (mahasiswa), dapat disetir seratus persen sesuai perintah pemerintah.
Kehidupan dan gerakan mahasiswa sebagai elemen yang menikmati pendidikan hingga
perguruan tinggi (bagian dari pendidikan nasional) era Demokrasi Terpimpin, berjalan dengan
sangat dinamis namun keras dan penuh konflik ideologis. Saat itu sangat banyak gerakan
mahasiswa, intra dan ekstra kampus. Di intra (internal/dalam) kampus, diantaranya ada DEMA
Singkatnya, pertarungan gerakan dan organisasi mahasiswa saat itu mencapai puncaknya
setelah peristiwa G30S (Gerakan 30 September) 1965. Pecahnya konflik politik di tataran elit
nasional berdampak besar dalam dunia pendidikan tinggi. Setelah peristiwa Gestok, beberapa
gerakan mahasiswa mengadakan kongres terkait sikap mereka perihal Gestok. Menteri PTIP
(Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan) saat itu, Sjarif Thajeb menyarankan pertemuan pada
25 Oktober 1965 tanpa melibatkan gerakan mahasiswa sayap kiri. Para tokoh gerakan mahasiswa
yang hadir saat itu sepakat membentuk KAMI (Aliansi Aksi Mahasiswa Indonesia), dengan
Menteri PTIP Sjarif Thajeb dengan tegas membantah tuduhan terhadap Presiden
Sukarno. Tapi mereka menolak. Akhirnya terjadi penyesalan Menteri Sjarif Thajeb karena dia
salah satu pelopor pendiri KAMI yang kemudian menyerang Presiden Sukarno. Imbas dari
situasi gerakan dan organisasi mahasiswa saat itu, pada 10 Januari 1966 terjadi aksi demonstrasi
mahasiswa dari seluruh Indonesia di Jakarta secara besar dan menghasilkan tuntutan yang
dikenal dengan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat), yaitu meminta Sukarno membubarkan PKI,
72
melalukan reorganisasi Kabinet Dwikora dan menurunkan harga karena inflasi yang sangat
tinggi.
membentuk Barisan Soekarno bersama pimpinan GMNI Ali – Suarchman, Germindo, MMI, dan
Dewan Mahasiswa Universitas Bung Karno di Istana Merdeka. Pembentukan Barisan Sukarno
mendapat perlawanan dari KAMI. Ada serangan dari kedua belah pihak di mana-mana.
bertekad mencopot Sukarno dan stafnya dari kursi pemerintahan. Bentrokan terjadi di mana-
mana, bahkan jatuh korban. Presiden Sukarno menolak mengabulkan Tritura bahkan ia
melakukan reshuffle kabinet dengan memasukkan unsur-unsur PKI. KAMI sangat marah, aksi
besar mahasiswa kembali terjadi. Aksi tersebut menyebabkan lalu lintas di Jakarta menjadi
sangat padat. Para pengunjuk rasa berhasil memasuki Istana Negara. Pasukan Cakrabirawa
Berbagai sekolah keguruan dengan sekian dan beragam jenjang memang telah
dilaksanakan di era Demokrasi Terpimpin sebagai bagian dari kebijakan pendidikan nasional.
Sayangnya, menurut Umasih, kenyataan di lapangan khususnya kualitas para guru masih minim
bahkan rendah. Tentang hal ini mengacu pada hasil penelitian dari organisasi PGRI (Persatuan
Guru Republik Indonesia). Kongres PGRI pada 1973 menyatakan bahwa terdapat sekitar 11
persen guru sekolah dasar dianggap tidak berkualitas/ tidak masuk kategori kualifikasi di tahun
1960.
73
Sementara Ricklefs menyebut, bahwa partisipasi sekolah dasar antara tahun 1953 sampai
1960 meningkat. Secara jelasnya, dari sekitar 1,7 juta siswa menjadi 2,5 juta (walaupun sekitar
60 persen dari jumlah tersebut keluar sebelum tamat). Lembaga-lembaga pendidikan dasar,
menengah dan tinggi bermunculan terutama di Pulau Jawa. Angka melek huruf, juga meningkat
dari 7,4 persen pada tahun 1930 menjadi 46,7 persen pada tahun 1960 dari jumlah anak yang
Berbicara tentang kondisi guru di era Demokrasi Terpimpin, ada sebuah jurnal menarik
yang ditulis Umasih: Ketika Kebijakan Orde Lama Memasuki Domain Pendidikan: Penyiapan
dan Kinerja Guru Sekolah Dasar di Indonesia. Ia menyebut bahwa di era Demokrasi Terpimpin
terdapat politisasi dan polarisasi antar para guru secara tajam bahkan cenderung berujung
konflik. Sejatinya hal itu mirip dengan situasi di sub-bab sebelum ini, yakni gerakan mahasiswa.
Situasi politik saat itu benar-benar keras dan ideologis, semua elemen profesi hampir selalu
bermuatan politis. Buruh, tani, nelayan, segala jenis profesi bahkan guru semua mengalami
politisasi dan polarisasi yang tajam sejak awal kemerdekaan, membludak di zaman parlementer
(setelah Pemilu 1955 dengan beragam elemen dan kelompok politik), meruncing pecah di era
Khusus tentang politisasi dan polarisasi guru di era ini, menjadi dampak dari hegemoni
dan dominasi yang dilakukan pemerintahan Sukarno. Menurut Umasih, melalui sistem
pendidikan Panca Wardhana, selain syarat-syarat kualifikasi dan kepangkatan, seorang guru
harus revolusioner, ahli dalam bidangnya, manipolis dan patriot paripurna. Syarat
kerevolusioneran guru menjadi paling utama, sedangkan yang lainnya menjadi syarat berikutnya.
Pada hakikatnya, selain tugas pendidikan, guru juga memiliki tugas politik. Harapan pemerintah
saat itu adalah agar para guru tidak buta politik atau takut politik, karena ini akan dengan mudah
74
menjadi umpan politik politik reaksioner yang tidak melayani kepentingan rakyat. Guru harus
memiliki kualitas revolusioner: memiliki kebencian terhadap musuh dan semangat yang kuat
Guru juga harus memiliki rasa hidup demokratis untuk menyatukan kekuatan nasional melawan
hegemoni dan dominasi juga dilakukan kelompok Kiri seperti dari kalangan PKI (Partai
Komunis Indonesia), Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), Partai Acoma (Angkatan
Comunist Muda), PNI-sayap kiri, dan Partindo (Partai Indonesia). Situasi politik saat itu,
kelompok kiri dianggap sebagai pendukung pemerintah paling utama dan paling mendapat
akomodasi politik yang sangat kuat dari Sukarno. Kelompok ini mendapat perlawanan dari
‘sayap kanan’ yakni kelompok Islam dan Tentara (ABRI/TNI) khususnya Angkatan Darat. Posisi
Sukarno dalam polarisasi politik tersebut adalah menengahi keduanya, walaupun lebih condong
ke kiri.
Situasi politik demikian masuk juga ke kalangan guru, salah satu contohnya ialah
konflik / polarisasi politik di tubuh organisasi guru seperti PGRI. Tepatnya setelah pengurus
PGRI mengikuti Musyawarah Penegasan Pancasila sebagai Dasar Pendidikan Nasional yang
berlangsung di Jakarta pada 17 Juli 1963. Musyawarah tersebut merupakan respon atas “Seminar
Pendidikan Mengabdi Manipol” yang diadakan pada Februari 1963 oleh LPN (Lembaga
Pendidikan Nasional) yang berhaluan atau dianggap berafiliasi dengan kalangan kiri, pendukung
sistem pendidikan Panca Wardhana. LPN berpendapat bahwa politik pendidikan harus memiliki
tiga prinsip yakni Nasional, Kerakyatan dan Ilmiah. Kiprah LPN mengingatkan pada berbagai
75
lembaga lain yang berafiliasi dengan kelompok kiri terutama PKI. Diantaranya SOBSI (buruh),
Pada 26-28 Juli 1964 di Jakarta, LPN membuat seminar lagi untuk mendukung aksi
boikot film imperialis Amerika Serikat. Bagi LPN, film itu dianggap membahayakan pendidikan
dan pertumbuhan anak didik. Guru juga secara ideologis ikut mendukung aksi boikot tersebut,
dengan tujuan mewujudkan kebudayaan nasional yang meliputi seluruh bidang kehidupan
rohaniah dan jasmaniah bangsa Indonesia. Para guru dari kalangan kiri juga melakukan
serangkaian aksi seperti menuntut perbaikan nasib. Aksi tersebut akhirnya membuahkan hasil
mendapatkan tunjangan sebesar Rp. 500,- per bulan dan baju seragam 1 stel per tahun.
Menurut Poerbakawatja, polarisasi guru terbelah menjadi dua kubu terkait hal tersebut,
ada yang pro dan ada yang kontrak dengan Panca Wardhana. Kubu kontra menanggap karena
sistem pendidikan tersebut menghilangkan esensi sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang
Maha Esa. Kelompok kiri yang lebih dihegemoni dan didominasi oleh PKI, banyak melakukan
inflitrasi termasuk dalam bidang dan gerakan pendidikan. Konsep Panca Cinta dan Panca Tinggi
dimasukkan dalam Panca Wardhana dan mendapat banyak penentangan dari kalangan non/anti-
kiri. Infiltrasi tersebut juga masuk ke dalam kubu PGRI, sebagai PGRI Non-Vaksentral.
Kelompok PGRI jenis ini, menyerukan berbagai pemogokan, demonstrasi dan konfrontasi
Ini menjadi propaganda populer yang digunakan oleh guru-guru pro-komunis untuk
mengintimidasi guru-guru lain yang tergabung dalam Vaksentral PGRI. Menurut Suradi, sangat
penting bagi guru dan masyarakat untuk menarik garis tegas antara kawan dan lawan. Persaingan
antar individu maupun antar kelompok dalam masyarakat juga berlebihan. Mereka yang tidak
76
Pada intinya, semua hal tersebut terjadi karena situasi politik Indonesia saat itu
‘memaksa’ seluruh elemen masyarakat dan profesi termasuk guru untuk mendukung Manipol-
Usdek. PKI pun dianggap memiliki peran besar, mengintervensi pembinaan guru-guru, terutama
guru sekolah dasar. Menurut Umasih, kinerja guru lebih diarahkan pada melakukan indoktrinasi
kepada peserta didik bagaimana praksis pendidikan manipolis dan Pancawardhanais daripada
Pada bab sebelumnya penulis telah menjabarkan berbagai rancangan dan implementasi
Menarik jika kita membahas atau mendalami tentang PNSB sebagai rujukan bagi pembangunan
Indonesia saat ini. PNSB yang telah diimplementasi melalui TAP MPRS 1960 tidak berjalan.
Hal ini sebagai imbas dari Peristiwa G30S 1965. PNSB yang digagas sejak tahun 1959 mewakili
isi pemikiran Presiden Sukarno untuk menghantam liberalisme sepanjang 1950-1959 yang
liberalisme dan menghimpun kekuatan dari lembaga lainnya terutama legislatif dengan
memperkuat MPRS dan DPR-GR menjadi pendukung utamanya. Wujud dukungan tersebut
dibuktikan dengan menerapkan TAP MPRS Tahun 1960 dan pendidikan nasional menjadi salah
satu bidang utama yang diterapkan sesuai arahan, ajaran, dan instruksi Presiden Sukarno. Wujud
nyata pembangunan dari TAP MPRS tersebut adalah melalui PNSB, yang bercita-cita untuk
PNSB juga menjadi suatu perencanaan yang komprehensif, dimana segala/semua bidang
fisiknya dengan mengedepankan inovasi dalam berpikir, berbuat, gaya hidup, dan gaya hidup
sesuai dengan semangat progresif dan tuntutan revolusi nasional. Hal ini juga berlaku pada
Namun sayang, hingga saat ini penulis belum menemukan dokumen penting yang
menyatakan keberhasilan atau sebatas kelanjutan dari proyek ini bagaimana dan sudah sejauh
mana. Besar kemungkinan hasil dari PNSB menghilang (atau dihilangkan) terkena dampak dari
politik desukarnoisasi era Orde Baru terutama setelah Peristiwa G30S 1965 dan runtuhnya
Padahal jika melihat total anggarannya, sangat banyak sekali dan menarik untuk kita
era PNSB Tahap I pada 1969. Besar kemungkinan akan dilanjutkan pada tahapan-tahapan
berikutnya PNSB Tahap II dan seterusnya. PNSB yang telah dibangun Sukarno kemudian
diruntuhkan Suharto melalui rezim Orde Barunya dan membuat GBHN serta pola pembangunan
baru yakni REPELITA (Rancangan Pembangunan Lima Tahun). Terkait kebijakan pendidikan
nasional di era Suharto melalui REPELITA, tidak dibahas dalam tulisan/kajian ini dan bisa kita
lihat pada penelitian lebih lanjut atau dari akademisi yang telah menuliskannya.
78
BAB V
KESIMPULAN
Pendidikan menjadi salah satu bidang yang terdampak secara tidak langsung dalam
kekacauan kondisi politik yang terjadi di awal masa kemerdekaan. Tuntutan yang cepat serta
belum adanya arah kebijakan yang tepat dalam pendidikan selama masa revolusi hingga
akhirnya dilakukan secara “paksa” oleh Presiden Sukarno. Hal tersebut mengacu pada
Demokrasi Terpimpin yang mulai diberlakukan secara menyeluruh, termasuk sistem pendidikan
nasional.
Seiring dengan dinamika politik yang terjadi pada masa itu, maka arah kebijakan
pendidikan nasional pun berubah menjadi bentuk doktrin baru dalam rupa mata pelajaran.
Bahkan hal ini juga telah disematkan dalam pokok ajaran pendidikan dasar lewat peraturan yang
dibuat oleh Prijono sebagai Mendikdasbud (Menteri PDK) dengan program ‘Panca Wardhana’
yang digagasnya, menjadi peletak standarisasi pelaksanaan tugas sekolah yang bernama Majelis
Nasional Pendidikan.
Bentuk indoktrinasi yang tercipta akibat pandangan ini sendiri akhirnya melahirkan suatu
konsep pembelajaran baru bernama “Kewargaan Negara” yang terinspirasi dari Amerika.
Konsep pembelajarannya sendiri beragam berdasarkan pada tingkatan pendidikan. Mulai dari
yang paling dasar sampai tingkat pendidikan tinggi. Mulai dari pelajaran sejarah, budaya sampai
Meskipun secara konsep sudah dianggap mampu menjadi standar pendidikan secara
menyeluruh, namun pada kenyataannya baru dapat diterapkan di tahun 1964. Keluarnya
79
Keputusan Presiden RI No. 224 Tahun 1964 menandai dimulainya suatu era pendidikan baru
yang berbasis pada dasar konsep besar Presiden Sukarno di awal masa Demokrasi Terpimpin.
Tanpa mengesampingkan pokok ajaran agama, namun juga tidak diberlakukan secara “paksa”
dan diberikan toleransi dengan dasar pertimbangan wali murid atau orang tua.
Hal tersebut juga menjadi terobosan baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Dimana
ketika itu fokus utamanya adalah membentuk banyak anak bangsa yang berprestasi sebagai
tenaga ahli baik di kalangan akademisi, teknisi atau pun tenaga penunjang lainnya. Tak
ketinggalan juga nuansa budaya Indonesia pun turut serta diupayakan untuk disebarluaskan
secara masif. Hal ini guna memupuk rasa nasionalisme yang kuat dan mengakar sebagai jati diri
Secara bertahap namun pasti, sistem pendidikan nasional yang baru terbentuk itu pun
mengalami beberapa perubahan dengan harapan agar semakin baik dan terciptanya masyarakat
sosialis. Presiden Sukarno sendiri mengubahnya menjadi konsep “Sistim Pendidikan Nasional
Pantjasila” demi mencapai apa yang diinginkannya. Landasan utama yang kemudian digunakan
adalah mengacu pada TAP MPRS RI No. VI/MPRS/1965. Lahirnya keputusan ini pun dengan
diiringi langkah politik Presiden Sukarno sendiri yang pada saat itu sedang gencar-gencarnya
Penekanan yang lebih kuat ada pada pasal 4 Politik Pendidikan Nasional. Menentang
segala bentuk penindasan, dan juga penghisapan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa.
Cerminan dari penggabungan arah pandang politik Presiden Sukarno pada masa itu dengan
rencana sistem pendidikan. Dapat dikatakan dalam hal ini pun secara tak langsung bukanlah
pandangan dalam berbangsa dan bernegara melainkan bentuk lain dari monopoli seorang
Presiden Sukarno sebagai seorang pemikir revolusioner dan seorang pemimpin negara. Namun di
80
sisi lain, Presiden Sukarno memberikan kebebasan pada arah pendidikan politik yang meskipun
kolonialisme-neo kolonialisme. Dapat dikatakan juga bahwa meskipun dalam arah pendidikan
politik diberikan ruang untuk membebaskan segala bentuk pandangan terkait politik, namun
tetap saja akan ada campur tangan langsung maupun tidak langsung dari pemerintah (Presiden
sebagai pemegang tertinggi kekuasaan). Dengan demikian pula Presiden Sukarno dapat dengan
mudah untuk menyingkirkan yang berseberangan dengan cara pandangnya secara politik.
Ada beberapa hal yang patut untuk dipertimbangkan karena sejatinya dalam setiap
keputusan yang bersifat umum akan selalu melahirkan dua pihak, pro dan kontra. Secara tidak
langsung pun Sukarno membuat sistem pendidikan berdasarkan pada cara pikirnya, dan cara
pandangnya sendiri dibalut dengan hegemoni kekuasaan yang sedang berada di tangannya.
Terlihat dengan berbagai macam keputusan di bidang pendidikan selalu beriringan dengan
keputusan politik. Menandakan bahwa antara kebijakan politik dan pendidikan adalah sejalan.
Masih kentalnya nuansa revolusi menjadi salah satu bagian tak terpisahkan dari arah kebijakan
pendidikan yang terarah dan lurus sesuai dengan tuntutan revolusi itu sendiri. Sebuah hegemoni
yang dibalut dengan kekuasaan akan melahirkan dominasi yang sangat kuat.
Penokohan Sukarno di masa itu merupakan salah satu bentuk suksesnya hegemoni dan
dominasi yang dibangun olehnya lewat pendidikan. Tak hanya sampai di situ saja, bahkan
buku-buku marxisme. Secara tidak langsung hal itu pun menjadi bentuk indoktrinasi yang
dilakukan agar orang-orang di masa itu sejalan dengan pola pikir revolusioner yang masih sangat
kental. Bahkan Sukarno sendiri juga menghindari penetrasi budaya barat lewat musik, cerita
Meskipun berdasarkan pada data yang dihimpun penulis sendiri terdapat dua sudut
pandang yang sama kuatnya. Antara bentuk perlindungan terhadap budaya sendiri atau malah
sebaliknya, bentuk dari pengekangan terhadap kebebasan. Dunia pendidikan yang sudah
terpolitisasi pada akhirnya juga akan memberikan dampak yang kuat. Meskipun dengan adanya
sistem pendidikan yang berlandaskan pada peraturan perundangan yang ada, tetap saja akan
melahirkan pandangan yang tidak selalu sama. Sukarno sendiri mungkin menyadari hal itu,
namun dengan dominasinya secara politik, pendidikan menjadi sarana untuk semakin memupuk
Pada akhirnya, hasil dari sistem pendidikan yang diterapkan itu sendiri pun melahirkan
banyak tokoh muda yang tentu saja tidak semua berpihak pada Sukarno, melainkan juga menjadi
musuh bagi pemerintahan Presiden Sukarno pada saat itu. Tidak sedikit kritik pedas yang
menusuk ke telinganya. Bahkan demonstrasi pun menjadi jalan untuk menunjukkan sifat kontra
pemerintah di masa itu. Gejolak anak muda yang telah menempuh pendidikan hingga jenjang
yang tinggi memunculkan banyak pandangan baru terkait arah kebijakan politik pendidikan
nasional pemerintah.
Banyaknya catatan kelam tentang perseteruan antara pemerintah di masa Sukarno dengan
elemen mahasiswa yang menjadi intelektual muda masa itu cukup sengit. Terlepas apapun itu
yang menjadi pemicunya, arah haluan politik pendidikan yang sempat digagas Presiden Sukarno
pun menjadi semakin dipertanyakan. Berperan sebagai penengah antara haluan kiri dan haluan
kanan, namun jelas saja Presiden Sukarno lebih condong pada haluan kiri. Kedekatannya dengan
PKI pun menjadi salah satu penyebab munculnya gelombang protes besar-besaran yang terjadi di
masa itu.
82
Sementara itu, dunia pendidikan sendiri merupakan laboratorium alami bagi pengajar
untuk menanamkan pendidikan sedari dini. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa bentuk
dari indoktrinasi yang dilakukan pada sistem pendidikan nasional Presiden Sukarno dimulai dari
skala pendidikan terkecil. Setiap pengajar tak lepas dari hal-hal yang mendasari haluan politik
dari Presiden Sukarno itu sendiri. Tuntutan untuk bisa berpolitik bagi seorang pengajar
merupakan suatu tuntutan yang berat. Pada umumnya seorang pengajar akan dihargai karena
Namun dengan arah politik pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin, para
pengajar dituntut untuk mampu memberikan suri tauladan terkait sikap berbangsa dan bernegara
dalam pandangan revolusi yang telah ditetapkan dalam sistem pendidikan Indonesia. Sehingga
salah satu hal wajib yang harus dimiliki adalah membenci musuh alami dari revolusi seperti
feodalisme, kapitalisme, kolonialisme, neo kolonialisme dan imperialisme. Sama seperti dengan
apa yang terjadi dengan hasil pendidikan para mahasiswa di masa itu, para pengajar pun terbelah
konseptual memanglah menarik untuk disikapi. Namun pada akhirnya, antara politik dan
pendidikan haruslah ada jembatan penghubung yang kuat dengan mengedepankan kepentingan
bersama, bukan hanya salah satu saja. Karena pemicu terbesar dari kegagalan sistem pendidikan
yang telah digagas Presiden Sukarno sendiri adalah sisi politik yang begitu kuat dan berakhir
dengan hegemoni dan dominasi yang pada akhirnya menjadi bumerang bagi cita-cita luhur yang
LAMPIRAN
(Gambar 1: Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan
Nasional Pancasila)
84
(Gambar 2: Bab I, Ketentuan Umum, Mukadimah Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965
(Gambar 3: Pasal 1 sampai 3, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
(Gambar 4: Pasal 4 sampai 6, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
(Gambar 5: Bab II, Pasal 5-9, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
(Gambar 6: Pasal 10-12 dan Bagian II Pasal 13, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965
(Gambar 7: Bagian III Pasal 14-15, dan Bab III Pasal 16-17, Penetapan Presiden RI No. 19
(Gambar 8: Bab V Pasal 20 dan Bab VI Pasal 21, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965
(Gambar 9: Bab VII, Peraturan Penutup, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang