Anda di halaman 1dari 92

1

TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA

“BUNG KARNO SEBAGAI KEPALA SEKOLAH”


Cara Sukarno Mengelola Pendidikan Nasional
Era Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

ASLAMA NANDA RIZAL


1906414430

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA


PROGRAM PASCASARJANA ILMU SEJARAH
DEPOK
2022
2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perjalanan pendidikan sepanjang sejarah dunia telah mengarungi berbagai zaman. Di

Eropa, perjalanan pendidikan telah berlangsung sejak zaman Yunani dan Romawi hingga

modern setelah era Renaisans. Di Asia, pendidikan telah diterapkan sejak masa Mesir, India, dan

Tiongkok kuno, hingga era modern setelah terpengaruh kolonialisme Eropa. Begitu juga

Indonesia, sebagai bangsa Asia yang mendapat pengaruh kolonialisme, pendidikan modern mulai

berkembang, terpengaruh dan diterapkan oleh kolonial. Hal ini menandakan bahwa unsur politik

adalah unsur terkuat dalam memengaruhi atau membuat kebijakan pendidikan.

Secara umum, korelasi antara kekuasaan sebagai pemegang politik dan pemerintahan,

dengan kebijakan pendidikan tidak dapat dipisahkan. Dapat juga dikatakan bahwa penerapan

pendidikan di suatu masyarakat, daerah, hingga negara tidak dapat dipisahkan dari kebijakan

pemerintah dan situasi serta suasana politik yang berlaku di era tersebut. Menurut Asep Suryana,

kebijakan pendidikan merupakan upaya mengatur pendidikan, yang tidak dapat terlepas dari

kekuasaan secara politis.

Di Indonesia, pada era kerajaan Hindu-Buddha, pendidikan yang berlaku adalah

pendidikan yang berbasis Hindu-Buddha dan bertujuan melanggengkan kekuasaan kerajaan.

Begitu juga di era kerajaan/kesultanan Islam, walaupun di era tersebut banyak terjadi akulturasi

kebudayaan antara Islam dan Hindu-Buddha ataupun budaya setempat. Pendidikan yang

diterapkan di era Islam yang paling terkenal hingga saat ini dikenal sebagai pendidikan

tradisional, misalnya Pesantren, Surau, Langgar, dan lain-lain. Hal yang sama terjadi di era
3

kolonialisme di Nusantara, yang perlahan mengubah kebijakan pendidikannya dari nuansa

kristenisasi, menjadi ‘modern-sekuler’ akibat kebijakan Politik Etis, lahir dari dari kaum sosialis-

liberalis yang prihatin terhadap kondisi sosial ekonomi kaum bumiputra (inlander).

Perang Dunia II lalu mengubah dan memengaruhi kebijakan pendidikan Indonesia

berikutnya. Setelah Belanda menyerah pada Jepang, militer Jepang menduduki wilayah Hindia-

Belanda. Di masa pendudukan Jepang, secara umum melakukan/ menerapkan kebijakan

(termasuk di bidang pendidikan) penghapusan segala hal yang berbau Belanda dan Barat,

menerapkan Nipponisasi, dalam kebijakan politik dan pendidikannya merangkul Islam untuk

mendapat simpati (berbanding terbalik dengan Belanda: kristenisasi oleh para

zending/missionairs, dan sekularsisasi oleh pemerintah kolonial), serta menerapkan militerisasi

demi kepentingan Perang Asia Timur Raya.

Setelah kemerdekaan Indonesia, kekuasaan politik, tata negara, dan penerapan kebijakan

pemerintahan mengalami perubahan secara mendasar. Nasionalisme menjadi basis segala

kebijakan, diantaranya kebijakan nasionalisasi perusahaan asing (ekonomi) dan pengubahan

perspektif Neerlandosentris menjadi Indonesiasentris (keilmuan). Setelah era revolusi yang

berpusat mengusir dan menghapus segala sesuatu yang berbau kolonial Belanda dan fasisme

Jepang, situasi politik berubah mengikuti zaman. Perpolitikan dunia sejak akhir 1940-an hingga

1960-an, mulai masuk dan menguatnya era Perang Dingin. Hal tersebut juga memengaruhi

situasi politik hingga berbagai kebijakan di Indonesia, termasuk di bidang pendidikan.

Berbicara tentang pendidikan nasional suatu negara, pasti berdasar pada nasionalisme

yang dianut oleh negara dan bangsa tersebut. Perkembangan nasionalisme dan pembentukan

negara-bangsa (nation-state) di tiap negara-bangsa dunia memiliki ciri khas/ karakter masing-
4

masing, Indonesia pun demikian. Masyarakat Indonesia telah memiliki sejarah panjang sebagai

masyarakat yang dikuasai, dan berkuasa atas nama agama. Agama dan kebudayaan telah melebur

menjadi satu, termasuk ketika nantinya nasionalisme berkembang, tidak dapat melepaskan diri

dari agama. Berbeda dengan perkembangan nasionalisme Eropa yang beriringan dengan

sekularisme.

Perkembangan nasionalis Indonesia pun digerakkan oleh tiga kekuatan ideologi besar:

nasionalisme, agama (khususnya Islam), dan marxisme. Ketika Indonesia merdeka, penerapan

kebijakan pendidikan nyatanya tidak bisa menggabungkan semuanya. Hal itu dapat dibuktikan

dengan pemisahan naungan pendidikan melalui dua kementerian: Kementerian Pendidikan serta

Kementerian Agama. Pendidikan yang berbasis nasional dan sifatnya non-agama dinaungi oleh

Kementerian Pendidikan. Sedangkan pendidikan agama, dinaungi oleh Kementerian Agama.

Selanjutnya, penulis meyakini bahwa dalam meneliti kebijakan pendidikan harus melihat

akar historis situasi politiknya. Di era Demokrasi Terpimpin yang menjadi fokus periode

penelitian ini, semua aspek kehidupan masyarakat wajib mengikuti konsep dan haluan negara

berdasar pada indoktrinasi serta ajaran langsung Sukarno, termasuk di bidang pendidikan. Tesis

ini secara lebih detail membahas hal tersebut (dijabarkan pada bab berikutnya tentang kebijakan

pendidikan di era Demokrasi Terpimpin).

Sebenarnya, sudah banyak tulisan, karya ilmiah, jurnal, skripsi, tesis, disertasi, bahkan

reportase dalam surat kabar/media massa tentang kebijakan pendidikan. Terkait sejarah

pendidikan Indonesia, juga telah banyak ditulis. Namun kajian pendidikan nasional di era

Demokrasi Terpimpin apalagi mengacu dengan sumber primer dan berbagai UU (Undang-
5

undang) dan landasan hukum resmi lainnya di zaman Demokrasi Terpimpin, masih belum

banyak diteliti.

1.2 Rumusan Masalah

Menurut penulis, berbagai kajian dan tulisan tentang era Demokrasi Terpimpin terlalu

banyak yang membahas mengenai sisi kebijakan politiknya saja. Seperti Politik Mercusuar,

penguatan Gerakan Non-Blok, pembentukan CONEFO (Conferences Of New Emerging Forces)

dan GANEFO (Games of New Emerging Forces), perebutan Irian Barat, keluarnya Indonesia

dari PBB, politik ‘Ganyang Malaysia’, simbolisasi politik dengan pembangunan (Monumen

Nasional, Hotel Indonesia, dan lain-lain), ketegangan segitiga kekuatan politik: Tentara/ TNI AD

(Angkatan Darat), Sukarno, dan PKI (Partai Komunis Indonesia), hingga pecahnya G30S

(Gerakan 30 September 1965). Sementara penelitian yang fokus di bidang pendidikan era

Demokrasi Terpimpin, belum banyak dibahas. Hal tersebut menjadi permasalahan yang ada pada

penelitian ini. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka terdapat beberapa pertanyaan penelitian

yakni sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi pendidikan Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga Demokrasi

Parlementer?

2. Bagaimana penerapan kebijakan dan sistem pendidikan nasional di era Demokrasi

Terpimpin?

3. Bagaimana dampak dari penerapan kebijakan dan sistem pendidikan nasional di era

Demokrasi Terpimpin tersebut?


6

1.3 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan cakupan spasial dan temporal. Secara spasial, karena

membahas tentang kebijakan pendidikan nasional, maka berlaku atau mencakup se-Indonesia.

Fokus penelitian ini yakni kebijakan pendidikan nasional yang diterapkan Sukarno, dan mengacu

pada pandangan Sukarno tentang pendidikan, sebagai ‘Kepala Sekolah (Kepsek)’ bagi seluruh

sekolah se-Indonesia saat itu.

Secara cakupan temporal, penelitian ini berpusat di era Demokrasi Terpimpin (1959-

1966). Dimulai sejak 1959, karena pada periode ini, dimulainya Demokrasi Terpimpin Sukarno

melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Walaupun dimulai sejak 1959, namun pada bab-bab awal

penelitian ini sedikit menjabarkan terlebih dahulu sejarah pendidikan Indonesia era awal

kemerdekaan / masa revolusi. Akhir periode penelitian ini berujung pada 1966 karena di era

tersebut Demokrasi Terpimpin dan pengaruh Sukarno kian terkikis sebagai dampak dari

peristiwa G30S 1965.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab serangkaian permasalahan yang ada dalam

pertanyaan penelitian. Diantaranya, pertama, menjabarkan kondisi pendidikan Indonesia sejak

awal kemerdekaan hingga Demokrasi Parlementer. Kedua, menganalisis penerapan kebijakan

sistem pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin. Terakhir, menjawab/menjelaskan

dampak dari penerapan kebijakan sistem pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin

tersebut bagi masyarakat.


7

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi salah satu rujukan bagi

Kemendikbudristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) & Komisi X

DPR RI dalam membuat kebijakan pendidikan nasional yang sesuai amanat UUD 1945. Manfaat

lainnya di luar pemerintahan, adalah menambah kajian pendidikan dan sejarah pendidikan

nasional, serta sangat bermanfaat untuk para lembaga riset dan/atau bahkan

ilmuwan/praktisi/pelaku politik dalam memperjuangan pendidikan dengan perspektif Sukarnois.

1.6 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka adalah peninjauan terhadap penulisan terdahulu yang sejenis dengan

penelitian ini. Adapun beberapa karya tulis yang sejenis, namun memiliki perbedaan dengan

kajian ini, diantaranya yaitu buku Kamadjaja, Pendidikan Nasional Pantjasila: Perdjuangan

Pendidikan Nasional Indonesia dan Hasil-Hasilnja, UP. Indonesia: Jogja, 1966. Buku tersebut

membedah sejarah pendidikan Indonesia sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha hingga Demokrasi

Terpimpin, ditulis secara ideologis dan politis berdasar sesuai situasi politik serta kebijakan

pemerintah di era tersebut (lebih bersifat indoktrinasi). Hal yang kurang dari buku ini adalah

awal mula periode tulisan terlalu jauh (sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha) dan kurangnya

penjelasan lebih rinci tentang dampak kebijakan pendidikan di era Demokrasi Terpimpin.

Berikutnya, jurnal yang ditulis Sunarso, yakni Pendidikan Nasional Indonesia (Tinjauan

dari Perspektif Sejarah), Volume 4 no. 1, 2007, Jurusan PKnH FISE Universitas Negeri

Yogyakarta. Jurnal tersebut membahas tentang sejarah pendidikan nasional Indonesia sejak

zaman Kerajaan Hindu-Buddha hingga Reformasi. Serta menggunakan kerangka pikir historis

dengan membedah sejarah pendidikan dari berbagai zaman.


8

Perbedaan dengan penelitian ini cukup jelas terdapat pada sumber, yakni lebih banyak

sumber sekunder (buku penelitian lain dan tidak sesuai zaman saat kebijakan pendidikan

Sukarno diterapkan) dan kurangnya sumber primer. Perbedaan berikutnya dengan penelitian ini

adalah jurnal tersebut terlalu singkat karena hanya berupa jurnal, namun temporalnya terlalu

panjang hingga masa reformasi.

Kemudian, artikel yang ditulis Said Hamid Hasan, Instruksi dan Perubahan Kurikulum di

Indonesia: Tinjauan Sejarah, Departemen Pendidikan Sejarah UPI (Universitas Pendidikan

Indonesia), Bandung: 30 Juni 2019. Membahas tentang sejarah singkat perkembangan kurikulum

nasional sejak 1950-2004. Menggunakan kerangka pikir historis dengan membedah

perkembangan kurikulum nasional dari awal kemerdekaan hingga masa kontemporer (pasca-

reformasi).

Artikel/tulisan tersebut cukup lugas menjabarkan perkembangan kurikulum nasional,

namun temporalnya juga terlalu panjang untuk ukuran artikel, karena keterbatasan sumber yang

dimiliki (walaupun ada beberapa dokumen/sumber primer yang digunakan seperti UU no. 4

tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah dan UU no. 12 tahun

1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia.

Namun masih sangat kurang dan berbeda dengan fokus utama penelitian ini, yakni era

Demokrasi Terpimpin.

Lalu, jurnal Sistem Pendidikan Indonesia Masa Orde Lama (1945-1966), Jurnal Agastya,

Jilid 9, no. 2, 2019 yang ditulis oleh Muhammad Rijal Fadli, Dyah Kumalasari dan kawan-

kawan. Membahas sistem pendidikan dalam tiga periode: awal kemerdekaan, Demokrasi

Parlementer hingga Demokrasi Terpimpin. Secara temporal dan fokus penelitian, hampir sama

seperti penelitian ini. Namun terdapat perbedaan signifikan, selain karena tulisan tersebut hanya
9

berupa jurnal singkat, sumber yang digunakan dalam jurnal tersebut semuanya sekunder

(mengacu pada tulisan orang lain).

Selain itu, ada juga jurnal Dwi Siswoyo, Pandangan Soekarno Tentang Pancasila dan

Pendidikan, Jurnal Cakrawala Pendidikan, Februari 2013, Th. XXXII, No. 1. Tulisan ini

menggunakan kerangka historis-filosofis ideologis atau berbasis ideologis dan menggunakan

hermeneutika dialektika, berdialog dengan karya-karya Sukarno untuk memaknai nasionalisme,

Pancasila, dan pendidikan. Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan ada pada fokus

kajiannya. Jurnal tersebut lebih condong pada penjabaran tentang konsepsi pemikiran Sukarno

tentang nasionalisme dan Pancasila, bukan pada penerapan kebijakan pendidikan di era

Demokrasi Terpimpin.

Kemudian, buku Universitas Negeri Yogyakarta, Pancasila Dalam Praksis Pendidikan,

UNY Press: Yogyakarta, 2019. Buku ini sebagai buku ‘babon’ berjumlah 400-an halaman yang

membahas seluk-beluk pendidikan Pancasila ataupun pendidikan nasional berbasis Pancasila

sebagai ideologi negara. Hal yang menarik tentang sistem pendidikan nasional era Demokrasi

Terpimpin menurut buku ini adalah dengan melihat dan membedahnya dalam lingkup dimensi

historis. Hal itu terjadi karena dalam buku ini membahas juga terkait perjalanan historis

pendidikan Pancasila serta pendidikan nasional berbasis Pancasila. Perbedaan dengan penelitian

yang penulis lakukan cukup jelas diantaranya buku tersebut adalah kumpulan tulisan dari

berbagai penulis, lalu sumber yang digunakan juga banyak menggunakan sumber sekunder, serta

secara temporal sangat luas melebihi era Demokrasi Terpimpin.

Selanjutnya, jurnal Agus Suwignyo, Uniform Diversity: Early Institutional Formation of

the Indonesian National Education System, C. December 1949-Agustus 1950, Journal of the

Humanities Vol. 24 nomor 1, Februari 2012: 3-17, FIB UGM: Yogyakarta. Kajian ini tidak
10

secara langsung membedah masa Demokrasi Terpimpin karena berkaitan dengan masa revolusi

(1945-1950). Namun jurnal ini mampu menjadi referensi melihat akar awal pembentukan sistem

pendidikan nasional yang nantinya dapat dikaitkan di masa/ fokus periodisasi penelitian yakni

periode Demokrasi Terpimpin.

Penelitian ini sendiri lebih fokus untuk melihat aspek kebaruan dalam hal pendidikan

Indonesia khususnya di era Demokrasi Terpimpin. Karena penulis meyakini bahwa terdapat

beberapa aspek dalam sejarah dunia pendidikan Indonesia yang belum diteliti. Penulis mencoba

masuk ke ranah yang kosong itu, dengan memberikan sebuah aspek tema yang baru, yakni

dengan melakukan penelitian dengan banyak sumber primer, berisi analisis mengenai kebijakan

pendidikan Indonesia di era Demokrasi Terpimpin beserta dampak dan pengaruhnya terhadap

masyarakat.

Kebaruan dalam penelitian ini ada beberapa hal dan membedakan dari

penelitian/penulisan sebelumnya. Diantaranya, pertama jika beberapa penelitian sebelumnya

memiliki periodisasi terlalu panjang (misal, buku karya Kamadjaja), maka penelitian ini lebih

fokus pada era Demokrasi Terpimpin dengan menarik akar historisnya sejak awal kemerdekaan.

Berikutnya, jika pada penelitian dengan tema dan periode yang hampir sama/ mirip dengan

penelitian ini banyak menggunakan sumber sekunder, maka kebaruan dalam penelitian ini adalah

lebih banyak menggunakan sumber primer berupa arsip, naskah, dan dokumen berbagai

kebijakan pendidikan sejak awal kemerdekaan hingga Demokrasi Terpimpin.

Kemudian, jika pada penelitian sebelumnya (yang termasuk dalam tinjauan pustaka)

lebih condong bersifat deskriptif bahkan mendukung aspek politisnya, maka penelitian ini lebih

bersifat naratif, melakukan analisis, dan kritis. Selain itu, penulis yakin penelitian ini semakin

membuktikan bahwa politik adalah aspek utama dalam pengambilan kebijakan, sesuai dengan
11

pepatah ‘politik adalah panglima’. Kebijakan dan sistem pendidikan nasional pun, harus

melewati fase politisasi. Proses politisasi tersebutlah yang dibedah dan dikritisi dalam penelitian

ini dan menjadi salah satu aspek kebaruannya.

1.7 Pendekatan dan Kerangka Konseptual

Penelitian ini memadukan antara sejarah perjalanan pendidikan dan penerapan

kebijakannya. Untuk bisa menyesuaikan dengan fokus penelitian yakni era kekuasaan Sukarno

(Demokrasi Terpimpin), dapat melihat dari pemikiran besar Sukarno terlebih dahulu. Kemudian,

mengerucut pada berbagai konsepsi politiknya, pandangannya tentang pendidikan, hingga

kebijakan yang ia terapkan di masa Demokrasi Terpimpin. Penelitian ini juga membuktikan

bahwa politisasi pendidikan atau menjalankan sistem pendidikan nasional, tidak terlepas dari

politik kepentingan penguasa.

Agar dapat meneliti sejarah perjalanan dan kebijakan pendidikan sesuai dengan tema dan

periode serta fokus penelitian ini secara lebih jelas, harus membedah terlebih dahulu konsep

pendidikan yang relevan. Fokus penelitian ini adalah kebijakan yang diterapkan oleh Sukarno,

maka pola pikir tentang pendidikan harus berdasar pemikiran Sukarno. Tentunya pemikiran

seseorang tidak akan bisa berdiri sendiri, pasti berdasar, terpengaruh, kombinasi, inovasi-kreasi,

bahkan sinkretisasi, termasuk pemikiran Sukarno.

Cukup rumit jika memahami pemikiran Sukarno secara mendalam dan menyeluruh.

Namun dalam bidang atau konteks pendidikan, setidaknya ada beberapa pemikiran tokoh yang

memengaruhi pemikiran Sukarno tentang pendidikan hingga ia menerapkannya dalam kebijakan

pendidikan. Diantaranya Ki Hadjar Dewantara, Karl Marx, HOS Cokroaminoto, KH. Ahmad

Dahlan, hingga Abraham Lincoln. Pemikiran para tokoh tersebut dapat dibuktikan nantinya
12

dengan karya tulisan Sukarno tentang pendidikan sejak masa kolonial melalui berbagai surat

kabar yang dihimpun dalam buku DBR (Dibawah Bendera Revolusi) mulai sekitar 1964. Salah

satu judul karya tulis Sukarno tentang pendidikan secara terang-terangan adalah “Mendjadi

Goeroe di Masa Kebangoenan”.

Sedangkan jika mengacu pada konsepsi pendidikan modern para ahli, teoritikus, ataupun

filsuf diantaranya dari Descartes (rasionalisme), Locke (empirisme), Comte (positivisme), Kohl

atau Habermas (humanisme), Paulo Freire (pendidikan untuk pembebasan), Thorndike

(behaviorisme), dan lain-lain. Teori dan konsepsi pendidikan dari filsuf yang menjadi alat

analisis penelitian ini menggunakan perspektif Paulo Freire tentang pendidikan untuk

pembebasan. Alasannya karena Freire memiliki arah pikir yang sejalan dengan Sukarno yakni

sosialisme dengan pisau analisis marxisme.

1.8 Metode Penelitian


Metode sejarah dalam penelitian ini dilakukan dengan mencari dan mengkaji/meneliti

karya dan sumber yang berkaitan dengan tema penelitian. Lebih tepatnya yakni karya dan

sumber tentang sejarah dan kebijakan pendidikan di awal masa kemerdekaan (revolusi), era

Demokrasi Parlementer, hingga yang paling utama dalam penelitian ini yaitu era Demokrasi

Terpimpin. Penulis mencari sumber penelitian mengutamakan sumber primer (dokumen) ke

beberapa tempat seperti Perpusnas (Perpustakaan Nasional) & ANRI (Arsip Nasional RI),

mencari buku/naskah/dokumen asli pada zamannya (periode penelitian ini) ke berbagai tempat

seperti toko buku bekas, atau meminjam dari rekan/kolega yang menyimpannya, dan lain-lain.

Kemudian, penulis juga memadukan dan mencari celah dari sumber sekunder yang

relevan dengan penelitian ini khususnya karya-karya yang dijabarkan pada tinjauan pustaka,

kemudian semuanya dianalisis dan dijabarkan dalam penelitian ini.


13

1.9 Sumber Penelitian


Sumber penelitian ini diantaranya sumber langsung (primer) yakni arsip-arsip atau

dokumen atau catatan atau laporan berbagai hasil kebijakan pemerintah di era Demokrasi

Terpimpin tentang pendidikan, serta sumber sekunder yakni buku-buku, artikel, dan jurnal yang

membahas seputar sejarah pendidikan Indonesia yang relevan penelitian ini, diantaranya telah

ditulis dalam tinjauan pustaka.

Beberapa sumber primer yang menjadi rujukan berkisar tentang penjabaran

ideologi/ajaran dan menjadi dasar Sukarno dalam menerapkan kebijakan pendidikan diantaranya

adalah arsip MPRS & Departemen Penerangan RI, “Ringkasan Ketetapan Madjelis

Permusjawaratan Rakjat Sementara – Republik Indonesia No. I dan II/MPRS/1960“. Membahas

tentang formalisasi MANIPOL-USDEK menjadi GBHN (Garis Besar Haluan Negara), berbagai

Ketetapan tentang Pembangunan Nasional Semesta Berencana (Tahapan Pertama 1961-1969),

Penjabaran kebijakan pemerintah tentang bidang pendidikan atau yang tertulis dalam berbagai

lampirannya sebagai ‘Bidang Mental/Agama/Kerochanian/Penelitian’.

Selanjutnya, buku Notosoetardjo (Editor), “RE-SO-PIM: Revolusi, Sosialisme, Pimpinan

Nasional”, Penerbitan Bersama: ENDANG-PEMUDA (cetakan kedua, tanpa tahun). Buku ini

menjabarkan pidato asli/primer Sukarno yakni “Pidato Presiden Republik Indonesia pada

Tanggal 17 Agustus 1961” sepanjang 50-an halaman. Lalu membedah konsep Revolusi

Indonesia, Sosialisme Indonesia dan Kepemimpinan Nasional berdasar ajaran Sukarno untuk

melengkapi dan menjabarkan inti ajaran utamanya di masa Demokrasi Terpimpin yakni

MANIPOL-USDEK.

Buku ini juga bertujuan untuk mengkaji konsep/ideologi ajaran Sukarno sebagai alat

analisis untuk memvisualisasikan sistem pendidikan nasional di era politik Demokrasi

Terpimpin. Demikian pula dengan buku Departemen Penerangan Republik Indonesia,


14

“Manifesto Politik Republik Indonesia (17 Agustus 1959)”. Buku tersebut mencakup berbagai

keputusan dan penetapan MANIPOL RI tanggal 17 Agustus 1959 dan menganalisis keseluruhan

konsep MANIPOL dan turunannya/kebijakan/agenda pemerintah yang salah satunya terkait

dengan pendidikan.

1.10 Sistematika Penulisan


Penulisan hasil penelitian ini dilakukan dengan membaginya menjadi lima bab, yaitu Bab

I yang meliputi latar belakang, masalah penelitian, ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian,

kepentingan penelitian penelitian, tinjauan pustaka, pendekatan dan kerangka kerja konseptual,

metode penelitian, sumber dan penelitian yang sistematis. Lalu Bab II menyajikan keadaan

pendidikan Indonesia dari awal kemerdekaan hingga Demokrasi Parlementer.

Kemudian Bab III menjabarkan berbagai penerapan kebijakan sistem pendidikan nasional

di era Demokrasi Terpimpin. Selanjutnya, Bab IV menjelaskan dampak dari penerapan kebijakan

sistem pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin tersebut. Terakhir, Bab V menjadi

penutup yang berisi simpulan dari penelitian ini. Berisi tentang temuan-temuan baru yang

didapat, serta menjawab seluruh pertanyaan penelitian atau dalam perumusan masalah pada tesis

ini. Penutup dan simpulan ini juga menjawab atau dapat menuju pada tujuan penelitian yakni

agar dapat dijadikan referensi bagi pengampu kebijakan nasional hari ini dengan semangat

‘merdeka belajar’ yang terus digaungkan pemerintah.


15

BAB II

KONDISI PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA DARI AWAL KEMERDEKAAN

HINGGA DEMOKRASI PARLEMENTER

2.1 Situasi Politik Indonesia: Awal Kemerdekaan Hingga Demokrasi Terpimpin

Sepanjang 1945-1949, situasi politik Indonesia berada di fase atau zaman revolusi. Di

era ini, perpolitikan nasional terpecah menjadi dua kubu yaitu kelompok yang terjun perang fisik

(militer) dan para elit politik yang menggunakan jalur diplomasi. Situasi pelik kedua cara

mempertahankan kemerdekaan Indonesia tersebut berakhir setelah pengakuan dan penyerahan

kedaulatan pada akhir 1949. Pada 1950-pertengahan 1959, sistem pemerintahan Indonesia

menganut parlementer, atau dikenal juga sebagai era Demokrasi Parlementer.

Di zaman ini, situasi politik kental dengan nuansa Perang Dingin dan membuat elit

politik nasional terpecah dan konflik internal dengan berkali-kali pergantian kabinet. Situasi

politik kembali berubah sejak akhir 1957 dan memuncak pada 5 Juli 1959, melalui Dekrit

Presiden, Sukarno mengambilalih pemerintahan dan mengubahnya menjadi Demokrasi

Terpimpin melalui Dekrit Presiden, kembali ke UUD 1945.

Pengambilalihan kekuasaan dan pemerintahan tersebut mengacu dari sembilan tahun era

Demokrasi Parlementer yang Sukarno anggap gagal. Ia meresmikan Demokrasi Terpimpin 1959

dengan jargon ‘Penemuan Kembali Revolusi Kita’. Sukarno menyatakan bahwa sejak KMB

(Konferensi Meja Bundar) hingga era Demokrasi Parlementer, Indonesia masuk dalam alam

liberalisme. Sehingga dengan berlakunya Dekrit Presiden, Revolusi Indonesia dianggap kembali

ke UUD (Undang-Undang Dasar 1945)1. Sukarno juga memperkenalkan konsep MANIPOL

1 Pidato Presiden Republik Indonesia, RESOPIM (Revolusi, Sosialisme, Pimpinan Nasional), 17 Agustus 1961.
16

(Manifesto Politik), yang isinya adalah USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi

Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Nasional).

Sukarno membawa kehidupan rakyat secara keseluruhan harus sesuai dengan indoktrinasi

dan ajarannya: MANIPOL-USDEK, lalu dengan platform politik Front Nasional, serta konsepsi

NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis). Seluruh elemen masyarakat wajib mengikuti dan

menjalankan hal itu dengan tujuan menuju masyarakat sosialis Indonesia, versi Sukarno.

Kewajiban tersebut kemudian mendapat banyak penentangan secara politik. Hiruk-pikuk politik

dalam negeri ditambah dengan gangguan dan efek/dampak dari Perang Dingin saat itu, mencapai

puncaknya dengan terjadi Peristiwa 1 Oktober 1965 oleh Gerakan 30 September 1965. Setelah

tragedi itu, dengan berbagai hal yang terjadi, membuat Sukarno lengser pada awal 1967 secara

resmi.

Penulis menganalisis situasi politik tersebut (era Demokrasi Terpimpin) dalam kaitannya

dengan penerapan kebijakan dan sistem pendidikan nasional. Salah satu analisa tersebut adalah

mengacu pendapat Habermas terkait kepentingan. Bagi Habermas, manusia memiliki

kepentingan berkomunikasi dan menyalurkan aspirasi serta ekpsresinya secara bebas tanpa

monopoli. Wujud atau bentuk dari hal tersebut salah satunya adalah pendidikan. Ruang publik

seperti pendidikan seharusnya tidak dikuasai satu pihak, baik dalam sistem kapitalisme

(monopoli kapitalis) ataupun autoritarian (monopoli individu, seperti era Demokrasi Terpimpin).

Pada kenyataannya, Sukarno nampak/dianggap memberangus kebebesan ruang publik /

demokrasi yang di periode sebelumnya (parlementer/liberal) dibuka lebar. Penelitian ini juga

menjabarkan tentang sisi monopoli yang dilakukan Sukarno dalam penerapan kebijakan dan

sistem pendidikan nasional. Menurut penulis, penerapan Manipol-Usdek sebagai sumber dari

segala sumber kebijakan membuat Manipol justru menjadi ‘Monopol’, sebagai alat memonopoli
17

kehidupan masyarakat. Tentunya hal tersebut bertentangan dengan teori Habermas tentang

kepentingan dan kebebasan manusia yang telah dijelaskan.

2.2 Pendidikan Nasional di Masa Revolusi

Tidak banyak kajian atau hasil penelitian sejarah bahkan sumber sejarah yang mampu

menjabarkan secara mendetail sistem pendidikan nasional di era revolusi (awal kemerdekaan).

Di era ini, bangsa Indonesia khususnya di bidang pemerintahan, sedang sangat sibuk mengurusi

politik dalam dan luar negeri demi mempertahankan kemerdekaan. Namun, ada beberapa kajian

yang akhirnya mampu membuka cakrawala tentang pendidikan Indonesia di era ini.

Kamadjaja, misalnya. Ia menjelaskan tentang Kongres Pendidikan Indonesia yang telah

dimulai sejak era kolonial. Hal ini bermula dari kebijakan pemerintah Hindia-Belanda tentang

Ordonansi Sekolah Liar (1932). Elemen-elemen atau lembaga yang bergerak di bidang

pendidikan saat itu menolak kebijakan tersebut hingga membentuk Kongres Pendidikan.

Beberapa lembaga/organisasi hingga partai politik yang ikut mendukung pelaksanaannya yakni

Taman Siswa, INS. Kayutanam, Perguruan Rakyat, Adhidharma, (PSII) Partai Syarikat Islam

Indonesia, Perguruan Islam, Permi (Sumatra), Muhammadiyah, hingga Budi Utomo. Kongres

Pendidikan tersebut berlangsung pada 1935, 1937, dan di era Jepang berhenti. Di awal

kemerdekaan, Kongres Pendidikan dijalankan kembali pada 1947, 1949, 1954, hingga

dibubarkan pada 1958 karena situasi politik nasional saat itu.

Selain Kamadjaja, sejarawan UGM Agus Suwignyo menulis kritik terhadap pendidikan

nasional di era revolusi kemerdekaan: Unifying Diversities: Early Institutional Formation of the

Indonesian National Education System, C. December 1949-August 1950. Kajian ini dapat

menjadi acuan untuk melihat akar awal terbentuknya sistem pendidikan nasional, selanjutnya
18

dapat dikaitkan dengan periode/objek periode penelitian yaitu periode waktu di Demokrasi

Terpimpin.

Menurut Agus, pendidikan nasional di era revolusi kemerdekaan berkaitan erat dengan

kondisi politik dan konteks Indonesianisasi saat itu. Segala bidang kehidupan rakyat

diindonesiakan, termasuk pendidikan. Hal-hal yang berkaitan dengan Belanda dan Jepang, coba

digantikan dengan konteks dan nuansa Indonesia. Secara singkat sebagai gambaran umum, era

revolusi kemerdekaan (1945-1949) hingga awal 1950-an, pemerintahan Indonesia terbagi

menjadi RI (Republik Indonesia) dan RIS (Republik Indonesia Serikat).

Kebijakan pendidikan nasional, baik RIS maupun RI juga berpusat pada sentralisasi dan

homogenisasi. Proses ini sebagai wujud dari Indonesianisiasi. Ketika RIS bubar dan kembali ke

RI dengan bentuk kesatuan (NKRI), Indonesianisiasi kembali diteruskan. Namun sebagai

gambaran, konteks sentralisasi dan homogenisasi di bidang pendidikan nasional ini menghimpun

organisasi/lembaga pendidikan, sistem pendidikan, kurikulum pembelajaran, dan para

personel/kepengurusan sekolah dengan menguatkan dan harus sesuai dengan karakter Indonesia.

Indonesianisiasi pendidikan ini menurut Agus, menunjukkan kekuatan para tokoh nasionalis

Indonesia untuk mempersatukan masyarakat Indonesia serta menstimulasi sense atau perasaan

dan semangat identitas bersama. Kementerian Pendidikan Nasional mengatakan pada tahun 2013

bahwa sejarah kurikulum Indonesia mengalami perubahan beberapa kali, antara lain tahun 1947,

1952, 1962, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006 dan 2013. Seluruh kurikulum bahasa Indonesia

dirancang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Perubahan/kebijakan kurikulum yang

pertama terjadi pada tahun 1947.

Kurikulum era ini dikenal dengan Rencana Peladjaran, lebih tepatnya dengan membagi

menjadi tiga kategori utama: kursus, jam belajar, dan materi pembelajaran. Selaras dengan Agus
19

Suwignyo, bahwa kurikulum dan kebijakan pendidikan nasional diterapkan untuk mereformasi

pendidikan dari pengaruh sistem pendidikan berbasis Belanda, dan mengedepankan

pengembangan karakter bangsa Indonesia yang baru merdeka saat itu. Muatan program berfokus

pada pendidikan karakter, penjangkauan negara, dan penjangkauan publik. Ada 16 mata

pelajaran yang diajarkan, antara lain Bahasa Indonesia dan Daerah, Aljabar, Ilmu Alam, Ilmu

Hayati (sekarang biologi), Ilmu Bumi (sekarang geografi), Sejarah, Menggambar, Menulis, Seni

Rupa, Kerja Kasar, Seni Wanita, Senam, Kebersihan dan Kesehatan dan Pendidikan Karakter

Bangsa. Mata pelajaran agama kemudian diperkenalkan dan ditambahkan ke dalam kurikulum

tahun 1947 pada tahun 1951.

Era awal kemerdekaan, nomenklatur kementerian pendidikan adalah Kementerian

Pengadjaran. Kementerian ini dipimpin oleh Menteri Pengadjaran, sebagai menteri pertama,

yakni Ki Hadjar Dewantara. Sejarah awal pendidikan nasional Indonesia setelah kemerdekaan

dimulai sejak Menteri Pengadjaran (Ki Hadjar Dewantara) mengeluarkan instruksi, khususnya

untuk seluruh daerah di pulau Jawa. Poin-poin pentingnya diantaranya sebagai berikut:

1. Tentang Dasar Pendidikan

a. Upaya pendidikan dan pengajaran harus berdasarkan kebangsaan Indonesia, dengan

rincian: etika kemanusiaan, agama, saling menghormati adat istiadat, tanpa

mengganggu persatuan negara dan bangsa Indonesia.

b. Mengadakan upacara, peraturan, pelatihan, dan pengajaran untuk memperkuat

kebangsaan dan cinta negara

2. Maksud dan Tujuan Pengajaran

a. Pengajaran harus memberikan semua pengetahuan dan kebijaksanaan umum,

untuk/untuk kehidupan lahir dan batin siswa/siswa.


20

b. Meningkatkan sistem pendidikan dan pengajaran untuk memenuhi norma dan standar

internasional.

c. Menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di lembaga pendidikan dan

pendidikan serta bahasa asing lain yang diperlukan seperti bahasa Inggris dan bahasa

Jerman untuk memperluas pengetahuan.

d. Di sekolah menengah, pengajaran perempuan tidak boleh berbeda dengan laki-laki,

dan tidak boleh melakukan diskriminasi gender. Praktik tersebut harus diawasi

sepenuhnya berdasarkan 'Tut Wuri Handayani' dan rasa kekeluargaan, bebas dari

kekerasan.

e. Memperbaiki pendidikan nasional yang sebelumnya terpuruk dalam 3,5 tahun (masa

pendudukan Jepang). Perbaiki dengan cepat namun bertahap, sehingga kedudukan

tingkatan tiap sekolah cepat kembali normal.

f. Dengan persediaan guru dan buku yang ada saat ini, maka pengajaran khususnya

bahasa asing dilaksanakan secara praktis dan sesuai dengan kondisi yang ada di

Kementrian Pengajaran.

Ada beberapa hal yang dapat dipertanyakan, disayangkan, bahkan dikritik dari instruksi

Ki Hadjar Dewantara tersebut. Diantaranya, pertama, situasi politik saat itu (awal kemerdekaan)

adalah situasi revolusioner. Segala kehidupan masyarakat erat kaitannya dengan pekik ‘merdeka’

ataupun kata-kata revolusi sebagai jargon. Namun mengacu pada instruksi tersebut, tidak ada

unsur revolusioner yang secara formal dituliskan. Pada poin nomor satu tentang Tentang Dasar

Pendidikan, misalnya. Instruksi yang diberikan hanya bersifat normatif sebatas cinta negara,

memperkuat kebangsaan, dan tidak mengganggu persatuan bangsa.


21

Menurut penulis, Ki Hadjar Dewantara selaku Menteri Pengajaran, tidak dapat membaca

situasi dan kondisi politik saat itu dan memprediksi masa berikutnya. Instruksi tersebut

dikeluarkan pada 29 September 1945, sekitar satu bulan setelah proklamasi kemerdekaan

Indonesia. Situasi bangsa Indonesia saat itu tengah bahagia dan penuh semangat, sehingga

analisa penulis adalah bahwa hal yang paling penting bagi Menteri Pengajaran saat itu adalah

benar-benar menjaga momentum proklamasi dengan menjaga persatuan bangsa.

Namun Menteri Pengajaran (Ki Hadjar Dewantara), nampaknya tidak memprediksi

bahwa selang setahun setelah proklamasi, situasi politik berubah drastis. Terjadi perpecahan

dalam negeri (internal) terutama terkait makna dan cara mempertahankan kemerdekaan, serta

banyak gangguan stabilitas nasional dari dalam dan luar negeri. Terjadi banyak revolusi sosial

yang justru saling membunuh sesama bangsa Indonesia. Lalu juga terjadi perbedaan cara

perjuangan melawan Belanda di kalangan elit: militer (perang fisik) dan politisi/ pimpinan politik

(diplomasi/perundingan). Belanda pun tidak lama setelah proklamasi, segera tiba di Indonesia

dengan membonceng NICA/Inggris dan berusaha merebut kembali Indonesia setelah menang

Perang Dunia II. Hal itu luput dari instruksi Menteri Pengajaran tersebut.

Berikutnya, Tentang Maksud dan Tujuan Pengajaran dalam instruksi tersebut juga

menurut penulis tidak ada unsur revolusionernya. Hal ini harus dikritik dari Menteri Pengajaran

sekelas Ki Hadjar Dewantara. Apa karena Ki Hadjar Dewantara bukan seorang sosialis garis

keras/ radikal? Juga apa karena Ki Hadjar Dewantara adalah penganut atau lebih condong

pada filosofi Jawa yang kental dengan budaya menjaga keseimbangan dan tidak penuh

keributan? Tidak ada tujuan bernuansa revolusioner (politis) misal: mewujudkan Sosialisme

Indonesia, atau menjaga kemerdekaan Indonesia dari ancaman bangsa asing, atau seperti

melanjutkan revolusi Indonesia yang belum selesai, dan lain-lain yang sejenis.
22

Di poin c pada Tentang Maksud dan Tujuan Pengajaran tersebut juga patut

dipertanyakan. Di situ tertulis: “Mempergunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di

lembaga pendidikan dan pengajaran serta tambahan bahasa asing yang diperlukan seperti Inggris

(bahasa internasional) dan Jerman untuk perluasan ilmu pengetahuan (diajarkan pada Sekolah

Menengah Tinggi)”. Mengapa harus bahasa Jerman? Notabenenya saat itu (September 1945),

Indonesia baru saja proklamasi kemerdekaan dan melepaskan diri dari Jepang, sekutu utama

Jerman (NAZI) pada Perang Dunia II. Saat itu juga Jerman identik dengan NAZI dan fasisme,

walaupun gerakan sosialisme eropa yang utama juga banyak di Jerman. Begitu juga

kecondongan bangsa Indonesia saat itu yang cenderung antipati terhadap hal-hal berbau asing

seperti Belanda & Jepang, Menteri Pengajaran saat itu justru memberi instruksi untuk

memperkuat bahasa Inggris dan Jerman di lembaga pendidikan.

Jenjang pendidikan dan jenis pendidikan nasional pada masa revolusi kemerdekaan

sangat beragam. Tingkat pendidikan terendah adalah SR (Sekolah Rakyat), masa studi sekitar

enam tahun. Tujuan dibentuknya SR adalah untuk meningkatkan taraf pendidikan dan

memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk bersekolah, yang tidak mereka rasakan pada

masa kolonial. Kurikulum SR diatur berdasarkan Keputusan Menteri PPK tanggal 19 November

1946 No. 1153/Bhg A yang menyebut bahwa daftar mata pelajaran SR menekankan pada mata

pelajaran Bahasa dan Berhitung. Rinciannya adalah 38 jam pelajaran per minggu, 8 jam untuk

bahasa Indonesia, jam untuk bahasa daerah dan 17 jam untuk berhitung (kelas IV, V dan VI).

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menyatakan pada tahun 1993

terdapat 24.775 SR pada akhir tahun 1949 di seluruh Indonesia. Setelah tamat SR bisa

melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMT).
23

Namun, untuk pelajar/siswa SR yang ingin fokus ke jenis pendidikan tematis (bukan

umum seperti SMP & SMT), ada sekolah yang dikembangkan sebagai sekolah pendidikan guru.

Hal itu karena guru adalah martir dan frontliner pendidikan, berperan besar dalam proses

pendidikan nasional. Pemerintah sejak awal kemerdekaan, membangun pendidikan guru dan

membaginya menjadi tiga jenis, diantaranya SGB (Sekolah Guru B), SGC (Sekolah Guru C), dan

SGA (Sekolah Guru A). SGB bertujuan untuk mendistribusi guru bagi SR (Sekolah Rakyat).

Selain sekolah pendidikan guru, para pelajar/siswa juga dapat melanjutkan/mengenyam

pendidikan dengan jenis sekolah kejuruan (vokasi). Pada masa revolusi, pendidikan kejuruan

difokuskan pada pendidikan ekonomi dan pendidikan perempuan.

Kemudian ada ST (Sekolah Teknik) yang bertujuan untuk menjadi tenaga terampil.

Beberapa bidang ST yang ada pada awal kemerdekaan bergerak dalam bidang bela Tanah Air

dan sekolah tersebut dijadikan sebagai pabrik senjata. Contohnya Sekolah Teknik Solo,

memproduksi senjata yang dibutuhkan negara. Selain itu, ada ST peserta mata kuliah Kerajinan

Tangan Negara (KKN), diantaranya mata kuliah utama: kayu, besi, jalinan, mebel, las dan batu.

Setelah itu ST melanjutkan ke STP (Sekolah Teknik Pertama) dengan jurusan: kayu, batu,

keramik, mebel, tekstil, besi, listrik, mobil, percetakan, tekstil kulit, sepeda motor, ukur tanah

dan mengecor. Jenjang berikutnya yaitu STM (Sekolah Teknik Menengah). Bertujuan untuk

melatih para ahli teknis dan staf teknis menengah. Termasuk jurusan konstruksi, konstruksi sipil,

pembuatan kapal, pembuatan mesin, elektromekanis, pembuatan kapal, kimia, penerbangan.

Terakhir yakni Pendidikan Guru, bertujuan memenuhi kebutuhan guru di sekolah teknik.

Menurut penulis, pelaksanaan Silabus BCV yang ditetapkan dengan SK Menteri PP dan

K tanggal 19 November 1946 juga harus dikaji secara kritis. Diantaranya adalah nomor

1153/Bhg A, yang mengatur daftar mata pelajaran SR dengan penekanan pada mata pelajaran
24

bahasa dan matematika. Dapat kita pungkiri bahwa buta huruf/melek huruf dan angka adalah

kebutuhan manusia yang sebenarnya saat itu. Oleh karena itu wajar jika kursus bahasa dan

matematika harus menjadi program utama untuk perbaikan. Tapi sekali lagi, sepertinya

kebijakan yang dilakukan tidak membaca situasi dan kondisi saat itu, terutama aspek politik.

Di era tersebut, seperti kritik pada Instruksi Menteri Pengajaran Ki Hadjar Dewantara,

aspek politik juga harusnya menjadi hal utama sebelum pemerintah membuat kebijakan

pendidikan nasional. Di era tersebut (November 1946), situasi dan kondisi politik mulai

berkecamuk (era revolusi). Kedatangan Belanda kembali ke Indonesia dan banyaknya

peperangan terhadap Belanda dan sekutu (Inggris), seharusnya pemerintah membuat kebijakan

pendidikan nasional tentang pertahanan negara yang diajarkan sejak dini yang sinergi dengan

Kementerian Pertahanan/Keamanan saat itu. Namun hal tersebut tidak ada dalam kurikulum SR

tersebut.

Kemerdekaan Indonesia pada 1945 dan berlanjut dengan revolusi fisik nyatanya tidak

menurunkan semangat bangsa Indonesia untuk memperbaiki kualitas pendidikannya. Pada situasi

politik yang tengah berkecamuk di dalam dan luar negeri soal politik dan mempertahankan

kemerdekaan, justru berbagai universitas didirikan oleh pemerintah RI melalui BPTRI (Balai

Perguruan Tinggi Republik Indonesia) yang menyelenggarakan kuliah di beberapa kota selama

masa revolusi. Sebelumnya, di era kolonial telah terdapat beberapa sekolah tinggi, baik lokal

ataupun peninggalan Belanda. Namun banyak sekolah tinggi tersebut yang merger menjadi satu

universitas negeri/ milik pemerintah. Sekolah tinggi warisan Belanda, disatukan dan

dinasionalisasi pemerintah.

Sekolah tinggi yang didirikan oleh kaum revolusioner/republik di Republik Indonesia

pada awal revolusi antara lain Sekolah Tinggi Republik yang didirikan pada 17 Februari 1946
25

oleh Departemen Pendidikan di Yogyakarta, Balai Pendidikan Gadjah Mada didirikan pada 3

Maret 1946 oleh Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, terdiri dari Fakultas Hukum

Yogyakarta dan Fakultas Sastra. Selanjutnya, Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Gigi

didirikan pada Februari 1946 di Malang. Disusul oleh Perguruan Tinggi Kedokteran lainnya

pada tanggal Maret 1946 di Solo dan pada tanggal 5 Maret 1946 di Klaten. Fakultas Pertanian

dan Fakultas Farmasi kemudian didirikan pada tanggal 27 September 1946 di Klaten. PTKH

(Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan) didirikan di Bogor pada November 1946 oleh

Kementerian Kemakmuran Republik Indonesia. Sayangnya, karena invasi militer pertama

Belanda pada Juli 1947, PTKHdipindahkan ke Klaten. Begitu juga dengan universitas-

universitas di Malang. Pada 19 Desember 1949, Universitas Gadjah Mada didirikan di

Yogyakarta sebagai universitas pertama di era republik, terdiri dari enam fakultas.

Sementara untuk sekolah tinggi yang didirikan oleh penjajah sebelum kemerdekaan, termasuk

STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen). Juga dikenal sebagai Sekolah Kedokteran Jawa di

Kwitang, kemudian menjadi Sekolah Geeneskundig Hoge School di Salemba, Jakarta. Kemudian ada

fakultas hukum yaitu Recht Hoge School. Lokasinya saat ini ditempati oleh kantor Kementerian

Pertahanan Indonesia. Lembaga kedokteran dan hukum kolonial kemudian menjadi fakultas dari UI

(Universitas Indonesia). Di Bogor juga ada sekolah pertanian atau Landbouw School, sekarang IPB

(Institut Pertanian Bogor). Dulunya ada perguruan tinggi teknik di kawasan Technische Hoge School di

Bandung, sekarang ITB (Institut Teknologi Bandung).

Pada Januari 1946 pihak NICA/Belanda, mendirikan perguruan tinggi: Nood-Universiteit

van Nederlandsch Indie. Universitas tersebut menaungi STOVIA, RHS, dan Faculteit der

Letteren en Wijsbegeerte (Fakultas Sastra dan Filsafat). Nood Universiteit pada tahun 1947

berubah nama menjadi Universiteit van Indonesia dan berkantor pusat di Jakarta. Menurut situs

resmi Universitas Indonesia, beberapa profesor nasionalis seperti Pak Djokosoetano,


26

menjalankan Universiteit van. Pada tahun 1950, setelah mengalami serangkaian peristiwa, terkait

dengan kebutuhan mendesak akan pendidikan tinggi masyarakat Indonesia, Universitas

Indonesia akhirnya resmi didirikan sebagai milik republik. Sedangkan mengenai pendidikan di

bidang keagamaan, pemerintah pada waktu itu membuat kebijakan tersendiri bagi Departemen

Agama dan diresmikan pada tanggal 3 Januari 1946. Salah satu alasannya adanya Departemen

Agama adalah memperjuangkan sistem dan kebijakan pendidikan Islam di Indonesia. Menurut

Maksum, secara lebih spesifik, pelaksanaan Departemen Agama dalam hal ini ditangani oleh

departemen khusus yang mengurusi urusan pendidikan agama.

2.3 UU no. 4 Tahun 1950 RI Era Demokrasi Parlementer


Ki Hadjar Dewantara tidak lama menjabat sebagai Menteri Pengajaran (Pendidikan). Hal

ini terjadi beriringan dengan pergantian sistem pemerintahan dan situasi politik dalam negeri saat

itu, dengan diterapkannya Demokrasi Parlementer. Pergantian kepala negara yang tadinya

sekaligus kepala pemerintahan (presidensil), sejak November 1945 berganti menjadi

parlementer, kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Era parlementer/ kabinet

pertama, dimulai/dipimpin oleh Sutan Syahrir. Pada 2 Oktober 1946, Suwandi dilantik sebagai

Menteri Pendidikan dengan nomenklatur Menteri PP & K (Pendidikan, Pengajaran, dan

Kebudayaan).

Pada 12 April 1947, Menteri PP & K membentuk sebuah ‘Panitia Penyelidik Pendidikan

dan Pengadjaran RI’ (PPPRI). Ki Hadjar Dewantara, oleh Menteri PP & K (Suwandi), ditunjuk

sebagai Ketua PPPRI tersebut. Singkatnya, PPPRI bertanggung jawab untuk meninjau semua

upaya pendidikan dan pengajaran di Indonesia. Menteri PP dan K pada saat kabinet Amir

Syarifuddin kemudian diagnti dengan dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo. Kebijakan pun berganti,

Ali / Menteri PP & K pada 1948 membentuk ‘Panitia Pembantu Pembentuk Undang2 Pokok
27

Pendidikan dan Pengadjaran’. Sayangnya, agenda panitia tersebut terhambat oleh situasi

revolusi fisik nasional, tepatnya yakni Agresi Militer Belanda II. Hal tersebut menyebabkan

banyak arsip Kementerian PP & K termasuk rencana dari panitia tersebut diambil oleh Belanda.

Menurut Kamadjaja, dengan demikian tidak dapat diketahui lagi sampai seberapa/mana

pekerjaan dari panitia tersebut.

Menurut penulis, banyak arsip Kementerian PP & K termasuk rencana dari panitia

tersebut diambil oleh Belanda, sangat disayangkan. Hal tersebut membuat terdapatnya missing

link yang harus dipecahkan melalui penelitian lebih lanjut dengan menemukan terlebih dahulu

arsip-arsip tersebut, serta membuktikan pendapat Kamadjaja itu. Jika memang benar diambil

oleh Belanda, maka tugas pemerintah dengan menggandeng para sejarawan terutama yang

mendapat kesempatan menempuh pendidikan bidang Sejarah di Belanda/ luar negeri, harus bisa

menemukan arsip-arsip tersebut. Berikutnya menurut penulis juga, situasi politik agresi militer

yang dilakukan Belanda tersebut pun mempengaruhi Instruksi Menteri Pengajaran dan

Kurikulum Pendidikan (SR dan sejenisnya) yang telah ada pada 1945 dan 1946. Penulis

berasumsi bahwa kedua kebijakan tersebut tidak dapat diimplementasikan dengan baik, bahkan

benar-benar tidak terlaksana. Tentunya asumsi ini harus dibuktikan dengan penelitian lebih

lanjut. Namun, penulis sendiri pun tidak/belum dapat membuktikan sejauh mana penerapan

instruksi dan kurikulum tersebut.

Lanjut ke akhir era revolusi kemerdekaan, tepatnya akhir 1949 menjelang KMB

(Konferensi Meja Bundar), Menteri PP & K dijabat oleh Sri Mangunsarkoro. Hal ini beriringan

dengan perubahan kabinet yang dipegang oleh Mohammad Hatta. Pada 17 Oktober 1949,

Mangunsarkoro / Menteri PP & K berpidato dalam sidang BP-KNIP (Badan Pekerja – Komite

Nasional Indonesia Pusat) sebagai Badan Legislatif RI (cikal-bakal DPR RI) saat itu. Ia
28

menyatakan bahwa sedang merancang UU (Undang-Undang) Pendidikan Nasional yang

berdasar Pancasila. Rancangan UU tersebut terlaksana di era RIS (Republik Indonesia Serikat),

yakni UU no. 4 tahun 1950 RI (berlaku hanya/oleh Republik Indonesia di Yogyakarta) tentang

Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengadjaran disekolah untuk Seluruh Indonesia. UU ini terdiri

dari 17 Bab dan 30 Pasal, ditetapkan di Yogyakarta, 2 April 1950 oleh Presiden RI yakni Mr.

Asaat dan S. Mangunsarkoro sebagai Menteri PP & K.

Adanya UU tersebut menjadi penting sebab terdapat keterbatasan sumber primer dalam

membedah situasi dan berbagai kebijakan pendidikan nasional di masa RIS tersebut. Banyak

penelitian terkait sejarah dan kebijakan pendidikan nasional era ini, selalu mengacu pada UU

tersebut. Namun dari serangkaian pasal tersebut ada beberapa poin penting yang

menggambarkan jiwa UU ini, diantaranya menurut Rifa’i, pada pasal 30 menyatakan bahwa:

1) Setiap warga negara berhak atas pendidikan,

2) Bebas memilih pendidikan yang akan diikuti,

3) Pendidikan gratis, tidak mengurangi pengawasan pejabat yang berwenang atas pendidikan

sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Selain itu, tentang pendidikan agama (Islam), juga ada dalam UU tersebut. Salah satunya

terkait madrasah, sebagai bentuk pendidikan Islam yang paling mendasar. Pengakuan pemerintah

atas madrasah secara resmi diatur dalam UU ini (Undang-Undang No. 4 1950), tentang dasar-

dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Pasal 10 lebih jelas: belajar di sekolah agama yang

diakui oleh Departemen Agama dianggap telah memenuhi kewajiban akademik. Menurut

Mudzakkir, untuk mencapai pengakuan tersebut, madrasah harus menawarkan agama sebagai

pelajaran utama setidaknya enam jam seminggu secara teratur, di samping pelajaran umum.
29

Sayangnya, beberapa pendapat menyatakan bahwa UU tersebut tidak dapat dinyatakan

sebagai UU nasional, konteks atau penerapan UU tersebut tidak berlaku ke seluruh Indonesia.

Hal ini karena situasi politik nasional dan internasional dengan adanya KMB lalu perubahan

negara menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat), hingga kembali ke bentuk kesatuan (NKRI)

pada 17 Agustus 1950. Di era RIS, RI hanya salah satu negara bagian dalam RIS. UU Pokok

Pendidikan dan Pengajaran RI yang sifatnya nasional terjadi setelah RIS bubar dan

kembali/menjadi ke NKRI. Nantinya baru ditetapkan pada 1954, tepatnya sebagai UU Pokok

Pendidikan dan Pengadjaran RI no. 12 tahun 1954. Pada 12 Maret 1954, Presiden Sukarno

bersama Menteri PP & K yakni Mohammad Yamin, menetapkan UU Pokok Pendidikan dan

Pengadjaran RI no. 12 tahun 1954 yang berisi UU no. 4 tahun 1950. Bedanya, jika UU no. 4

tahun 1950 hanya berlaku di Yogyakarta (RI saat itu), maka melalui UU no. 12 tahun 1954,

diberlakukan ke seluruh wilayah RI (yang tidak lagi hanya Yogyakarta). Jelasnya UU no. 12

tahun 1954 ini berisi: ‘Pernjataan berlakunja UU No. 4 tahun 1950 dari Republik Indonesia

dahulu (era RIS), tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah untuk Seluruh

Indonesia’.

Diterapkannya UU Pokok Pendidikan dan Pengadjaran RI no. 12 tahun 1954 ternyata

terdapat beberapa kekurangan. Pada sidang parlemen pada 27 Januari 1954, internal pemerintah

menjabarkan kekurangan atau kelemahan dari UU tersebut. Salah satu yang berkomentar

memberi kritik yakni M. Hutasoit, Sekretaris Jenderal Kementerian PP & K. Menurutnya,

kekurangan UU ini dengan melihat perkembangan suasana, pengalaman saat itu serta melihat

panitia yang merumuskan UU tersebut. Panitia perumus saat itu hanya terbatas pada sekeliling

Jogja, belum merepresentasikan seluruh Indonesia. Ia menegaskan pentingnya untuk membuat

UU Pendidikan dan Pengajaran yang baru. Namun, pada 12 Maret 1954 (tidak sampai sebulan
30

dari sidang parlemen tersebut), pemerintah melalui Menteri PP & K RI, Mohammad Yamin,

bersama Presiden RI Sukarno, mengesahkan UU tersebut.

Sayangnya, cukup sulit untuk menemukan naskah/arsip lanjutan kebijakan dari UU

tersebut atau rencana revisi UU tersebut. Menurut Kamadjaja, ‘Panitya Negara’ yang

direncanakan Kementerian PP & K serta pekerjaannya, tidak diketahui. Dalam penelitiannya,

Kamadjaja memperkuat argumennya dengan pandangan Prof. Soetedjo Brodjonagoro (Dosen

Fakultas Paedagogik Universitas Gadjah Mada 1957-1964 kemudian menjadi Guru Besar IKIP

Yogyakarta), yang menyatakan bahwa UU organik No. 12 tahun 1954 yaitu ‘UU Pokok

Pendidikan dan Pengadjaran’ tidak pernah mengalami perubahan walau telah mengalami

perubahan-perubahan UUD sampai 3 kali (UUD 1945, UUD RIS, UUDS 1950) .Diterapkannya

UU Pokok Pendidikan dan Pengadjaran RI no. 12 tahun 1954 ini berlaku sepanjang sisa era

Demokrasi Parlementer. Pemberlakuan/penerapan UU dan serangkaian/berbagai peraturan

tentang pendidikan dan pengajaran lanjutan nantinya akan dikembangkan lagi ketika Sukarno

mengambil alih pemerintahan. Tepatnya dengan mengelurakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan

memberlakukan kembali UUD 1945 serta mengubah sistem pemerintahan, membubarkan

parlemen dan Konstituante, meruntuhkan Demokrasi Parlementer, dan menerapkan sistem baru

yakni ‘Demokrasi Terpimpin’.

Jika ada pertanyaan: kebijakan-kebijakan pendidikan nasional apa saja yang dikeluarkan

oleh pemerintah era Demokrasi Parlementer yang menjadi latar belakang bagi kebijakan

Sukarno mengeluarkan kebijakan baru pada era Demokrasi Terpimpin? Rasanya cukup sulit

menjawabnya secara detail, beberapa sebabnya sebagai berikut:


31

1. Dasar hukum yang mengatur tentang pendidikan nasional di era Demokrasi

Terpimpin hanya ada dua: UU no. 4 tahun 1950 (di era RIS dan awal Demokrasi

Parlementer), serta UU no. 12 tahun 1954

2. Situasi politik era transisi RIS kembali ke NKRI hingga sepanjang Demokrasi

Parlementer sangat keras dan tidak stabil, terlalu fokus pada gesekan politik,

kebijakan politik dan ekonomi, serta pertarungan/tarik-ulur kepentingan

pemerintah dengan situasi Perang Dingin (Blok Barat & Timur), perjuangan

kemerdekaan bangsa-bangsa Asia & Afrika, hingga perebutan kembali Irian

Barat.

Namun untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada poin penting dalam UU no. 4 tahun

1950 yakni tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membentuk manusia dan warga negara

yang cakap, demokratis, dan bertanggung jawab untuk kesejahteraan masyarakat dan tanah air.

Dibandingkan dengan era demokrasi terpimpin, tujuan pendidikan sangat berbeda (lihat Bab III:

Kebijakan Pendidikan Nasional di Era Demokrasi Terpimpin). Di era Demokrasi Parlementer

berdasar UU tersebut, memiliki sifat demokratis adalah tujuan pendidikan. Hal ini sesuai dengan

semangat zaman saat itu, demokrasi liberal. Berbeda dengan era Demokrasi Terpimpin,

menetapkan tujuan dan politik pendidikan nasional secara ’radikal’ lebih jauh lebih ’kiri’ dengan

memasukkan konsepsi Sukarno.


32

BAB III

(KEBIJAKAN PENDIDIKAN NASIONAL MASA DEMOKRASI TERPIMPIN

3.1 Konsep Pendidikan Sukarno

Konsepsi Sukarno dalam hal apapun (politik, ekonomi, sosial-budaya, hingga

pendidikan) tidak terlepas dari ideologi-ideologi dunia yang memengaruhi pola pikirnya.

Sukarno menyerap banyak pemikiran, gagasan, konsepsi, ideologi, hingga filsafat dan agama.

Sejak masa pergerakan nasional Sukarno banyak terpengaruh, memilah-memilih, hingga

menggagas berbagai hasil pemikirannya sendiri.

Ideologi Sukarno sepanjang sejarah hidupnya sejak pra kemerdekaan hingga berkuasa

penuh di era Demokrasi Terpimpin secara garis besar dapat dibagi menjadi beberapa konsepsi

yakni Nasionalisme, Marxisme, Marhaenisme, Pancasila, Nasakom, dan Manipol-Usdek.

Kemudian, dari ragam pembagian konsepsi Sukarno tersebut, dapat terlihat berbagai kebijakan di

pemerintahan saat Sukarno berkuasa, selalu berdasar ajaran-ajarannya itu, termasuk di bidang

pendidikan era Demokrasi Terpimpin.

Ada beberapa pemikiran tokoh yang memengaruhi pemikiran Sukarno tentang

pendidikan hingga ia menerapkannya dalam kebijakan pendidikan. Seperti yang telah ditulis atau

disampaikan pada bab I tentang pendekatan dan kerangka konseptual, tokoh-tokoh yang

memengaruhi Sukarno tersebut diantaranya Ki Hadjar Dewantara, Karl Marx, HOS

Cokroaminoto, KH. Ahmad Dahlan, hingga Abraham Lincoln. Pemikiran mereka dapat

dibuktikan nantinya dengan karya tulisan Sukarno tentang pendidikan sejak masa kolonial

melalui berbagai surat kabar yang dihimpun dalam buku DBR (Dibawah Bendera Revolusi)

mulai sekitar 1964. Salah satu judul karya tulis Sukarno tentang pendidikan secara terang-

terangan adalah “Mendjadi Goeroe di Masa Kebangoenan”.


33

Pemikiran Sukarno tidak dapat dilepaskan dari Marxisme. Ia memang tokoh dan

konsisten sebagai nasionalis. Presiden Republik Indonesia pertama itu berkali-kali membantah

bahwa ia bukan komunis, sebagaimana banyak tuduhan di alamatkan padanya. Namun ia juga

seringkali mengingatkan untuk tidak anti-komunis, apalagi terhadap Marxisme. Sukarno sendiri

pun sejak mudanya sudah gandrung akan Marxisme. Pembelajaran tentang Nasionalisme oleh

Sukarno juga dengan pemberian unsur Marxisme.

Sukarno menggunakan Marxisme sebagai pisau analisis dalam membedah problem

rakyat Indonesia. Ia terpengaruh oleh pemikiran Karl Marx dan Engels yakni Sosialisme ilmiah.

Ajaran Marx tersebut kemudian berkembangan dan disebut sebagai Marxisme. Ide tersebut

menjadi esensial sebab Marxisme menjadi metode analisa relasi sosial, pisau analisis dan

ideologi perjuangan yang bertujuan melawan Kapitalisme dan Imperialisme. Nasionalisme yang

dianut oleh Sukarno bersandar pada Marxisme.

Karl Marx sendiri adalah seorang filsuf, ideolog, ekonom, sejarawan, sosiolog, dan

penulis yang mewakafkan hidupnya untuk mempelajari dan membedah Kapitalisme serta

merumuskan Sosialisme yang akademis, dikenal juga sebagai Sosialisme ilmiah. Marx lahir pada

1818 di Trier, Jerman. Ia awalnya terpengaruh oleh filsuf G.W.F. Hegel (1770-1831), dengan

filsafat Idealismenya. Namun kemudian Marx berbalik ke filsafat Materialisme dan menolak

Idealisme karena terpengaruh oleh Ludwig Feurbach, salah satu pelopor filsafat Materalisme.

Marx pun melampaui Feurbach mengenai pandangan bahwa kondisi material seseorang hidup,

pada kenyataannya menciptakan mereka melihat dan memahami dunia.

Satu hal yang sering menjadi bumerang bagi para marxis ialah implementasi Marxisme

yang dilengkapi dengan Leninisme menjadi Komunisme, di berbagai negara seperti Uni Soviet

dan Tiongkok, atau tepatnya ialah Blok Timur. Marxisme menjadi dogma. Pada
34

perkembangannya, banyak penganut Marxisme yang menolak dogmatisasi Marxisme apalagi

setelah berkembangnya Stalinisme. Che Guevara adalah salah satu tokoh Marxis yang menolak

hal ini dengan menentang cara Marxisme ditafsirkan dan diterapkan di blok sosialis. Che

Guevara mengecam dogmatisme Uni Soviet.

Sukarno secara garis besar pemikiran mengenai Marxisme, sama seperti Che Guevara,

bahkan jauh sebelum Che berpandangan demikian. Corak dan cara berpikir Sukarno lebih

condong pada sinkretis. Ia memadukannya dengan Nasionalisme yang bersumber dari pemikiran

Ernest Renan, serta agama (Islam) yang ia anut. Sukarno menjadikan Marxisme sebagai pisau

analisis saja, bukan sebagai dogma mutlak dan kaku. Sukarno sebagai marxis, tidak sampai

menjadi seorang komunis. Namun dari marxis, Sukarno belajar menjadi nasionalis yang selalu

menempatkan Sosialisme dalam tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara, baik di dunia

maupun di bidang pendidikan. Hal ini tampak dalam berbagai kebijakan pemerintahan Sukarno

di bidang pendidikan (sistem pendidikan nasional), yang akan diuraikan pada bab selanjutnya.

Wujud dari paduan tiga ideologi tersebut membuat satu wadah/platform politik yakni

Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunis) yang dijalankan di era Demokrasi Terpimpin.

Pemikiran persatuan ketiga ideologi tersebut telah digagas atau disusun oleh Sukarno sejak era

pergerakan nasional. Pada 1926 Sukarno menulis artikel di surat kabar Suluh Indonesia Muda,

yakni “Nasionalisme, Islamisme, Marxisme”. Tulisan tersebut fenomenal dan menjadi penanda

pemikiran Sukarno tentang ketiganya yang harus bersatu demi kemerdekaan Indonesia. Setelah

kemerdekaan, Sukarno tetap konsisten pada konsepsi tersebut hingga benar-benar dapat

diwujudkan dalam pemerintahan di era Demokrasi Terpimpin. Kebijakan dari konsepsi tersebut

bertujuan untuk mempersatuan tiga kekuatan politik terbesar di Indonesia saat itu (terutama

setelah Pemilihan Umum 1955) yaitu kelompok nasionalis (direpresentasikan oleh PNI),
35

kelompok islam (direpresentasikan oleh NU, karena Masyumi membubarkan diri setelah

Peristiwa PRRI-Permesta), dan komunis (direpresentasikan oleh PKI).

Sukarno dalam pidatonya yakni “Djalannya Revolusi Kita (17 Agustus 1960)”,

menyampaikan:

“Bukalah tulisan-tulisan saja dari zaman pendjadjahan. Batjalah tulisan saja pandjang lebar

dalam madjalah Suluh Indonesia Muda tahun 1926, tahun gawat-gawatnja perdjoangan menetang

Belanda. Di dalam tulisan itu pun saja telah mengandjurkan dan membuktikan dapatnja persatuan

antara Islam, Nasionalisme, dan Marxisme”.

Sukarno mewujudkan persatuan ketiga aliran, ideologi, dan kelompok tersebut dalam konsepsi

Nasakom era Demokrasi Terpimpin dengan membentuk Front Nasional. Posisi-posisi strategis

dalam pemerintahan nasional/pusat juga diisi oleh ketiganya. Di Dewan Nasional, Sukarno

mengklaim bahwa kalangan nasionalis, islam, dan komunis berjalan dengan baik. Di DPA

(Dewan Pertimbangan Agung), gembong ketiganya ada di sana. Di Depernas (Dewan Perancang

Nasional) juga terisi oleh ketiga kelompok tersebut. Terutama sekali di MPR-S (Majelis

Permusyarawatan Rakyat – Sementara) dan DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat – Gotong

Royong), terisi oleh gembong utama ketiga kelompok tersebut.

Kaitan antara konsepsi Nasakom ini dengan Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) era

Demokrasi Terpimpin, salah satunya ada dalam Penpres (Penetapan Presiden) RI no. 19 tahun

1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila, tepatnya pada Bab III

(Kurikulum Pendidikan/Persekolahan), Pasal 18, poin no. 5, yang menyatakan bahwa iman dan

ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan ciri khas Indonesia. Juga mengacu pada

TAP MPRS No. II/MPRS/1960 Bab II pasal 2 ayat 3 dan lampiran A 338, serta semangat

toleransi terhadap keyakinan masing-masing sebagai ciri khas bangsa Indonesia lainnya dalam

membentuk Indonesia baru yang berjiwa Nasakom.


36

Konsepsi politik Sukarno berikutnya yakni Manipol-Usdek, yang ia cetuskan beriringan

dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit ini mengacu pada keputusan Sukarno sebagai

Presiden RI untuk membubarkan parlemen yang selama sembilan tahun (sejak 1950) dianggap

gagal dalam menjalankan pemerintahan. Sistem pemerintahan Indonesia sepanjang 1950 hingga

pertengahan 1959, menganut Demokrasi Parlementer.

Parlemen dianggap gagal dalam Sidang/Majelis Konstituante untuk merumuskan dasar

negara karena tidak kunjung sepakat. Pemerintahan juga silih-berganti kabinet berkali-kali

(Kabinet Natsir hingga Djuanda). Lalu juga terdapat banyak pergolakan/konflik dalam negeri

(Tragedi Westerling, DI/TII, hingga PRRI-Permesta). Hal-hal itu yang membuat Sukarno

mengambil alih pemerintahan, mengubah sistem parlementer menjadi presidensial dan menjadi

Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan RI.

Satu bulan setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, tepatnya pada Peringatan Hari Proklamasi

17 Agustus 1959, Sukarno menyampaikan pidato yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi

Kita (Manifesto Politik)”. Pidato tersebut menjabarkan tentang konsepsi politik nasional yang

disampaikan Sukarno dan kemudian menjadi landasan utama pemerintahan Indonesia. Konsepsi

Presiden Sukarno tersebut kemudian dikenal sebagai Manipol-Usdek. Secara singkat, alur

konsepsi Manipol-Usdek ini sebagai berikut:

a. Manipol adalah penjelasan resmi dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959

b. Manipol adalah garis-garis besar haluan negara

c. Usdek adalah intisari dari Manipol

Isi dari Manipol pada Agustus dan September 1959 diperinci oleh DPA (Dewan

Pertimbangan Agung). Pertama, berisi preambul/pengantara. Kedua, berisi berbagai persoalan


37

pokok dari Revolusi Indonesia. Ketiga, program umum Revolusi Indonesia. Sementara, Usdek

sendiri bermakna:

1. UUD 1945

2. Sosialisme Indonesia

3. Demokrasi Terpimpin

4. Ekonomi Terpimpin

5. Kepribadian Indonesia

Makna relasi/hubungan antara Manipol dan Usdek, yakni Sukarno menegaskan bahwa jika

rakyat Indonesia pro terhadap UUD 1945, maka meningkat kepada hal kedua yakni Sosialisme

Indonesia. lalu, jika rakyat Indonesia sepakat dengan Sosialisme Indonesia, maka rakyat

Indonesia harus ber-Demokrasi Terpimpin. Berikutnya, jika telah ber-Demokrasi Terpimpin,

maka ekonomi yang dijalankan rakyat Indonesia adalah Ekonomi Terpimpin. Serta, jika

semuanya telah dijalankan, maka hal tersebut mencerminkan kepribadian dan kebudayaan bangsa

Indonesia secara menyeluruh atau keseluruhan.

Hubungan antara konsepsi Manipol-Usdek ini dengan konteks dan kebijakan pendidikan

yang dijalankan Sukarno di era Demokrasi Terpimpin diantaranya dijelaskan/dijabarkan oleh

DPA (Dewan Pertimbangan Agung) RI, yakni:

“Dalam Djarek, Presiden menanja, “Dapatkah Sosialisme diselenggarakan oleh

bangsa jang buta-huruf?”, saja komandokan sekarang, supaja buta-huruf itu habis

sama sekali pada achir tahun 1964! Dan saja komandokan kepada semua sekolah-

sekolah dan universitas, supaja semua murid mahasiswa-mahasiswa di-USDEK-kan

dan di-MANIPOL-kan! (Djarek halaman 47)”.

Dari hal tersebut secara singkat dapat ditarik benang merah, bahwa pendidikan yang

dijalan Sukarno di era Demokrasi Terpimpin, beriringan dengan tujuan serta langkah politiknya.
38

Dapat juga dikatakan, bahwa pendidikan nasional Indonesia dijalankan secara indoktriner,

ideologis, politis, dan dogmatis sesuai satu penafsiran dan satu ajaran tunggal, ajaran Sukarno.

3.2 Merombak Tatanan Kementerian & Penerapan Civics

Perubahan situasi politik pasti berdampak pada perubahan kebijakan dalam pemerintahan

suatu negara. Sepanjang 1950-pertengahan 1959, sistem pemerintahan Indonesia menganut

parlementer, atau dikenal juga sebagai era Demokrasi Parlementer. Namun pada 5 Juli 1959,

Sukarno mengambilalih pemerintahan dan mengubahnya menjadi Demokrasi Terpimpin melalui

Dekrit Presiden, kembali ke UUD 1945.

Sejak itu situasi politik yang telah berubah, berdampak pula pada kebijakan

pemerintahan. Di era Demokrasi Parlementer, pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri

dan melalui mekanisme parlemen. Maka di era Demokrasi Terpimpin, semua terpusat di tangan

Sukarno sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

Perubahan kebijakan dalam pemerintahan tersebut juga terjadi di bidang pendidikan. Era

kekuasaan Sukarno ini (Demokrasi Terpimpin), para menteri diangkat oleh Presiden, dan nama

Kementerian diganti menjadi Departemen. Bidang pendidikan sendiri mengalami perubahan,

tepatnya pemisahan yakni antara bidang Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) dengan

bidang Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PDK).

Saat itu, Sukarno menujuk Prijono sebagai Mendikdasbud (Menteri PDK). Prijono

kemudian menetapkan kebijakan yakni ‘Sapta Usaha Tama’, berisi berbagai peraturan tentang

pimpinan sekolah. Ia juga menerapkan ‘Panca Wardhana’, yakni lima macam perkembangan

anak yang menjadi dasar-dasar pelaksanaan tugas di sekolah. Prijono juga membentuk Majelis

Nasional Pendidikan (dengan gaya lama).


39

Pada era ini juga (Demokrasi Terpimpin), negara menafsirkan ideologi nasional melalui

berbagai kebijakannya. Salah satunya, pendidikan. Pemerintah memperkenalkan

Kewarganegaraan dalam Pendidikan Indonesia. Departemen Pendidikan, Pengajaran dan

Kebudayaan (PP dan K) telah menerbitkan salah satu bukunya, Civics, Masyarakat dan Manusia

Indonesia Baru, karya Mr. Soepardo dan kawan-kawan.

Secara ringkas, buku ini mencakup sejarah Gerakan Rakyat Indonesia, Pancasila, UUD

1945, Ekonomi Terpimpin dan Demokrasi, Konferensi Asia, Hak dan Kewajiban Warga Negara,

Manifesto Politik, Laksana Malaikat, serta berbagai keterikatan pada Dekrit Presiden5 Juli 1959.

Bersamaan dengan pidato kelahiran Pancasila, dokumen Panca Wardana dan Declaration

of Human Rights. Disusul dengan pidato-pidato lain oleh Presiden Sukarno dalam “Tujuh Bahan

Pokok Indoktrinasi” (Tubapi) dan UDHR dan kebijakan Panca Wardhana oleh Menteri

Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, yakni Prijono. Menurut Samsuri, buku-buku tersebut

kemudian menjadi sumber utama materi pendidikan kewarganegaraan di sekolah-sekolah yang

didominasi oleh corak indoktrinasi.

Di era Demokrasi Terpimpin, Pendidikan Kewarganegaraan dikembangkan dengan

nomenklatur mata pelajaran: Pendidikan Kewarganegaraan (1957) dan Civics (1961). Samsuri

menganggap mata pelajaran Kewarganegaraan (1957) lebih banyak membahas tentang

bagaimana kewarganegaraan diperoleh dan hilang, sedangkan Civics (1961) lebih banyak

membahas tentang sejarah kebangkitan nasional, UUD 1945, pidato-pidato tentang kebijakan

negara, khususnya Nation and Character Building bangsa Indonesia, seperti pelajaran

kewarganegaraan di Amerika Serikat pada tahun-tahun setelah Amerika Serikat mendeklarasikan

kemerdekaannya.
40

Mata pelajaran Civics kemudian diubah menjadi “Pendidikan Kewarganegaraan” pada

tahun 1962. Kemudian pada kurikulum 1968 secara resmi diberi nama “Pendidikan

Kewarganegaraan”. Dalam program ini, konstruksi Pancasila sebagai mata pelajaran dianggap

sebagai prioritas penelitian tentang pengelolaan negara dan sejarah perjuangan bangsa,

sedangkan aspek etika dianggap tidak terlihat. Kajian pendidikan kewarganegaraan oleh negara

untuk setiap jenjang pendidikan ternyata memiliki tingkat kompleksitas yang berbeda-beda.

Untuk tingkat dasar (SD), mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan mencakup

beberapa kurikulum, yaitu Sejarah Indonesia, Civics dan Ilmu Bumi. Untuk jenjang pendidikan

menengah pertama (SMP), mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan mencakup beberapa

kurikulum, antara lain Sejarah Nasional (30%), Peristiwa Setelah Kemerdekaan Indonesia

(30%), dan UUD 1945 (40%). Kemudian, untuk jenjang SMA (Menengah Atas), mata pelajaran

Pendidikan Kewarganegaraan mencakup beberapa program akademik yang sebagian besar

memuat UUD 1945

3.3 Landasan Hukum Sistem Pendidikan Nasional di Era Demokrasi Terpimpin

Walaupun Demokrasi Terpimpin telah dijalankan sejak 1959, namun kebijakan

pemerintah di bidang pendidikan yang secara langsung diputuskan oleh Presiden Sukarno baru

diterapkan pada 1964 melalui Keputusan Presiden RI No. 224 Tahun 1964. Pada berkas

keputusan tersebut tertulis bahwa Presiden Sukarno menimbang sesuai dengan ketentuan kalimat

ke-2 dari Keputusan Presiden No. 180 Tahun 1964, dipandang telah tiba waktunya untuk segera

membentuk Panitia Negara yang bertugas menyempurnakan dan mengembangkan Sistem

Pendidikan Panca Wardhana.


41

Presiden Sukarno juga berdasar pada Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 serta Keputusan Presiden

No. 180 Tahun 1964 tersebut, maka memutuskan untuk menetapkan pembentukan Panitia

Negara Pembentukan Sistim Pendidikan Pantja-Wardhana. Struktur keanggotaannya sebagai

berikut:

● Ketua: Prof. Sujono Hadinoto (Menteri/Wakil Ketua II DPA)

● Anggota:

- Prof. Prijono (Menteri Koordinator Kompartemen Pendidikan/Kebudayaan)

- Brigjend Dr. Sjarif Thajeb (Menteri PTIP)

- Nj. Artati Marzuki Sudirjo (Menteri PDK)

- K.H. Saifuddin Zuchri (Menteri Agama)

- K.H. Idham Chalid (Menteri Koordinator / Wakil Ketua MPRS)

- Njoto (Menteri Negara diperbantukan Presidium)

- Maladi (Menteri Olahraga)

- Dr. M. Isa

- Suhadi (Mayjend KKO)

- Dr. AM. Tambunan, S.H.

- Asmara Hadi

- Emma Puradiredja

- Wasit Suwarto

- I.J. Kasimo

- Nn. Endang Sulbi, S.H.

Mereka semua menjadi pengurus tersebut dengan beberapa tugas, diantaranya:

- Menyempurnakan dan mengembangkan Sistim Pendidikan Pantja-Wardhana


42

- Menyampaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya usul pertimbangan mengenai

persoalan pemberhentian 26 orang pegawai Departemen PDK

Presiden Sukarno juga mengamanatkan bahwa segala pekerjaan Sekretariat Panitia

Negara tersebut dikerjakan oleh Sekretariat DPA (Dewan Petimbangan Agung) RI. Kemudian

biaya pengeluran dari panitia tersebut dibebankan kepada Anggaran Belanja Pemerintahan

Agung. Keputusan Presiden tersebut berlaku sejak ditetapkan, yakni pada 7 September 1964.

Beberapa peta perjalanan hingga Keputusan Presiden tersebut diterapkan, bermula dari

Ketetapan MPRS No. II Tahun 1960 yang menyatakan bahwa:

- Mendidik sebagai pembangun Indonesia baru yang berakhlak mulia

- Pendidikan sebagai penghasil tenaga kerja di segala bidang dan di semua tingkatan

- Pendidikan sebagai lembaga pengembangan budaya bangsa

- Pendidikan sebagai lembaga pengembang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)

- Memobilisasi dan membangkitkan seluruh kekuatan rakyat untuk membangun

masyarakat dan rakyat Indonesia yang baru.

Sebelumnya, kebijakan pemerintah tentang pendidikan nasional masih merujuk dan

menggunakan undang-undang yang lama, yakni UU Pokok Pendidikan dan Pengadjaran RI no.

12 tahun 1954. Diterapkannya Ketetapan MPRS RI No. II Tahun 1960 tentang pendidikan

membuat pemerintah melalui Presiden segera membuat kebijakan yakni Keputusan Presiden RI

No. 224 Tahun 1964 (Pembentukan Panitia Negara – Panca Wardhana). Setahun berikutnya,

landasan hukum tentang pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin semakin diperkuat
43

dengan Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan

Nasional Pancasila.

Kemudian Penetapan Presiden RI No. 14 tentang Tugas, Wewenang, Kedudukan,

Anggaran Belanja, dan Komposisi Majelis Pendidikan Nasional. Lalu Keputusan Presiden RI

No. 232 Tahun 1965 tentang Pengangkatan para Wakil Ketua, para Anggota dan Sekretaris

Umum Majelis Pendidikan Nasional, Keputusan Presiden RI No. 145 tentang Nama dan

Rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional, serta No. 146 tentang Pembentukan Majelis

Pendidikan Nasional. Pentingnya Ketetapan MPRS RI No. II Tahun 1960 sebagai landasan

hukum awal tentang pendidikan hingga kemudian diteruskan dengan berbagai kebijakan

Presiden Sukarno secara eksekutif dapat dilihat dengan pembagian beberapa bidang, yakni

Pendidikan, Perguruan Tinggi, Perluasan Sekolah Kejuruan, dan Penelitian.

TAP MPRS RI No. II Tahun 1960 menjadi landasan yang paling utama sebelum Presiden

Sukarno menerapkan berbagai kebijakan seperti Perpres, Penpres, dan Keppres terutama di

bidang pendidikan. Hal ini menarik karena saat itu MPRS dan DPR-GR sebagai lembaga

legislatif justru sangat mendukung Presiden Sukarno. Jadi bisa dianalogikan pola perjalanan

kebijakan era Demokrasi Terpimpin sebagai berikut:

1. Penerapan Demokrasi Terpimpin (Dekrit Presiden 5 Juli 1959)

2. Didukung lembaga legislatif (MPRS & DPR-GR) melalui TAP MPRS 1960

3. Perpres, Penpres, dan Keppres yang diterapkan Presiden Sukarno.

Pentingnya TAP MPRS 1960 sebagai legitimasi kebijakan Presiden Sukarno di era

Demokrasi Terpimpin terjadi karena TAP tersebut adalah pijakan Garis-Garis Besar Haluan

Negara (GBHN) serta Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB). Khusus PNSB

tersebut, Presiden Sukarno yang didukung MPRS sebenarnya telah merancang beberapa tahap
44

seperti Tahapan Pertama 1961-1969. Namun sayang, belum sampai 1969, rezim Presiden

Sukarno tumbang pada 1966.

Terkait kebijakan pendidikan nasional yang berlandas pada TAP MPRS 1960 dapat

dilihat pada Bab II tentang Ketentuan Umum. Pasal 2 yakni Bidang Mental/Agama/

Kerohanian/Penelitian. Beberapa poin dari pasal tersebut yang dapat dianalisa diantaranya,

pertama, melaksanakan Manipol-Usdek dalam menerapkan pembinaan

mental/agama/rohani/penelitian serta kebudayaan dengan mengembangkan kebudayaan nasional

dan menolak pengaruh budaya asing. Kedua, menetapkan Pancasila dan Manipol sebagai mata

pelajaran di berbagai jenjang pendidikan dari pendidikan rendah hingga perguruan tinggi.

Selanjutnya menetapkan bahwa pendidikan agama merupakan mata pelajaran di sekolah

mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi negeri, dengan pengertian bahwa siswa berhak

memilih keluar, jika wali murid menyatakan keberatan. Kemudian kembangkan sebaik mungkin

pembangunan sarana ibadah dan lembaga keagamaan. Selain itu, cukup penting dan sejalan

dengan pendidikan nasional bahwa pemerintah menerapkan kebijakan dan sistem pendidikan

nasional untuk melatih tenaga profesional pembangunan, sesuai dengan kebutuhan masyarakat

Sosialis Indonesia (versi sistem politik saat itu).

Pemerintah juga berupaya agar segala bentuk dan ekspresi seni menjadi milik semua,

bahkan berupaya untuk menyebarluaskan ciri atau nuansa budaya bangsa. Melalui pasal ini,

pemerintah juga menyebut penguatan publikasi/informasi sebagai sarana pergerakan rakyat dan

massa revolusioner. Akhirnya, kebijakan pendidikan dan penelitian disesuaikan dengan

kebijakan luar negeri yang aktif, partisipatif tanpa melepaskan klaim ilmiah.
45

3.4 Pancasila sebagai Basis Pendidikan Nasional

Setelah pembentukan sistem pendidikan Panca Wardhana, Presiden Sukarno

mempertegas kembali kebijakannya tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional). Rangkaian

alur historisnya yakni masih sama berdasar TAP MPRS RI No. II Tahun 1960, lalu diwujudkan

dengan membuat Majelis Pendidikan Nasional melalui Keppres (Keputusan Presiden) RI No.

146 Tahun 1965 tentang Pembentukan Majelis Pendidikan Nasional, beriringan dengan Keppres

RI No. 145 Tahun 1965 tentang Nama dan Rumusan-induk Sistem Pendidikan Nasional

Pancasila.

Pada Keppres RI No. 146 Tahun 1965 tentang Pembentukan Majelis Pendidikan

Nasional, Presiden Sukarno membentuk majelis tersebut untuk melaksanakan Sisdiknas

Pancasila yang bertugas untuk merencanakan, membina, dan mengawasi pelaksanaannya. Secara

struktur, Presiden Sukarno menjadi Pengajom Agung, lalu Menteri/Wakil Ketua II DPA, Ketua

Panitya Negara Penjempurnaan Sistim Pendidikan Pantjawardhana, yakni Sujono Hadinoto

sebagai Ketua merangkap Anggauta. Ketua tersebut juga diinstruksikan untuk menyusun tugas,

wewenang, kedudukan, anggaran belanja, komposisi dan personalia dari majelis tersebut.

Lalu untuk Keppres RI No. 145 Tahun 1965 tentang Nama dan Rumusan-induk Sistim

Pendidikan Nasional Pantjasila, Sukarno menjelaskan kebijakan ini untuk mendukung dan

melaksanakan Keppres RI No. 224 Tahun 1964 pasal pertama dari bagian kedua, maka

dipandang perlu untuk segera memberi nama dan menetapkan rumusan-induk dari Sisdiknas,

serta mengganti/memperjelas konsepsi/kebijakan Panca Wardhana (kebijakan pendidikan

sebelumnya). Keppres ini juga berlandas pada Pidato Presiden Sukarno tanggal 17 Agustus 1964,

serta TAP MPRS RI No. VI/MPRS/1965. Pada Keppres ini, Sukarno menetapkan penamaan
46

Sistim Pendidikan Nasional Pantjasila, serta menjabarkan rumusan-induk Sisdiknas Pantjasila

tersebut yakni:

- Mukadimah

- Dasar-Asas Pendidikan Nasional

- Tujuan Pendidikan Nasional

- Isi Moral Pendidikan Nasional

- Politik Pendidikan Nasional

- Pengkhususan Pendidikan Nasional

- Penyelenggara Pendidikan Nasional

Berikutnya, melalui Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok

Sistem Pendidikan Nasional Pancasila, Presiden Sukarno merasa perlu mempertegas dan

menjabarkan hal tersebut karena beberapa alasan, diantaranya:

- Sistem pendidikan adalah bagian dari Nation and Character Building

- Perlu ada Sisdiknas yang sejalan dengan Revolusi Indonesia

- Untuk melaksanakan Keputusan Presiden RI No. 224 Tahun 1964 (Pembentukan

Panitia Negara – Panca Wardhana) pasal pertama dari bagian kedua dipandang perlu

untuk menetapkan Pokok-pokok Sisdiknas Pancasila dalam satu Penetapan Presiden.

Sukarno juga menegaskan bahwa inspirasi pembuatan Sisdiknas Pancasila tersebut

adalah dengan diyakinkan oleh konsepsi Manipol. Hal tersebut mengacu pada Bab I dalam

Ketentuan Umum, Mukadimah Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok

Sistem Pendidikan Nasional Pancasila. Ia menyebut bahwa pembangunan dan implementasi


47

kebijakan pendidikan nasional adalah amanat revolusi yang belum selesai, sehingga harus

memiliki konsepsi pendidikan yang revolusioner.

Manipol-Usdek sebagai dasar-asas pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin juga

dipertegas oleh Presiden Sukarno pada Pasal 1 Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965

tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila, yakni Dasar-Azas Pendidikan

Nasional. Negara (melalui Penpres tersebut) menegaskan bahwa Pancasila-Manipol-Usdek

adalah moral dan falsafah hidup bangsa Indonesia.

Lalu, juga merupakan manifestasi atau perwujudan dari kesatuan bangsa dan wilayah

Indonesia. Kemudian juga menjadi rasa penyatuan jiwa seperti Weltanschauung bangsa

Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut menjadi dasar bagi

pemerintahan era Demokrasi Terpimpin menjadikan Pancasila-Manipol-Usdek sebagai landasan

bagi semua pelaksanaan pendidikan nasional.

Dari Penpres tersebut juga menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan

menghasilkan warga negara Indonesia yang sosialis (moral) yang baik, bertanggung jawab atas

terwujudnya sosialisme Indonesia, adil dan makmur secara ruh maupun materil, serta berjiwa

Pancasilais. Di Pasal 3 Penpres tersebut juga membahas tentang isi moral pendidikan nasional,

yakni kolaborasi antara dasar negara (Pancasila) serta konsepsi Presiden Sukarno (Manipol-

Usdek). Satu hal yang menarik, yakni hal tersebut (seluruh arahan dan instruksi serta konsepsi)

berlaku tidak hanya bagi penyelenggara pendidikan dari pemerintah (negeri), namun juga bagi

pihak instansi pendidikan non-pemerintah (swasta).

Nuansa politis, ideologisasi serta indoktrinasi dalam kebijakan Sisdiknas Indonesia era

Demokrasi Terpimpin yang secara langsung dilakukan oleh Presiden Sukarno semakin nampak

nyata pada Pasal 4 yakni Politik Pendidikan Nasional. Ia menegaskan bahwa landasan politik
48

kebijakan Sisdiknas tersebut ialah Manipol serta berbagai pedoman pelaksanaannya.

Selanjutnya, bahwa garis dan strategi dasar pelaksanaan pendidikan Nasional-Demokratis harus

melahirkan patriot yang utuh: berdasar Pancasila dan Manipol-Usdek, menentang segala bentuk

penghisapan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. Lebih konkrit lagi, Presiden Sukarno

menjabarkan hal-hal penghisapan tersebut diantaranya:

- Imperialisme

- Kolonialisme dan Neo-Kolonialisme

- Feodalisme

- Kapitalisme.

Sukarno melalui Penpres yang ditandatanganinya ini menjadi anomali di lain sisi. Satu

sisi, ia memonopoli keputusan, makna, pandangan dan sikap politik dalam kebijakan pendidikan

nasional dengan mewajibkan pemerintahan secara nasional seluruh konsepsinya tersebut. Namun

di lain sisi, ia membebaskan pendidikan dijalankan sesuai aliran politiknya masing-masing.

Anomali yang dimaksud adalah jika kita berkaca pada politik pendidikan nasional, menentang

paham-paham yang ‘dilarang’ negara seperti Kapitalisme, Feodalisme, Kolonialisme dan Neo-

Kolonialisme serta Imperialisme.

Padahal, ‘isme-isme’ tersebut adalah aliran politik. Bagaimana mungkin bisa

menjalankan pendidikan secara bebas sesuai aliran politik, jika negara justru melarang

beberapa aliran politik secara tertulis dalam peraturannya? Selayaknya konsep demokrasi yang

sebenarnya, yakni kebebasan tanpa campur tangan atau intervensi negara (Liberalisme),

demokrasi yang dijalankan Sukarno ini adalah demokrasi terbatas dan terpusat dengan intervensi

Presiden. Namun, satu hal yang harus diapresiasi dalam Penpres ini adalah kebebasan
49

menjalankan dan menerapkan pendidikan (selain aliran politik), juga sesuai aliran agama dan

kepercayaan masing-masing.

Pada pembahasan sebelumnya telah disampaikan bahwa penerapan pendidikan agama

secara khusus dijalankan oleh Departemen Agama, khususnya Islam sebagai agama mayoritas

dan salah satu bentuknya adalah madrasah. Sayangnya, sulit menemukan sumber tentang

penerapan pendidikan agama dan kepercayaan lain di luar Islam di era Demokrasi Terpimpin.

Menarik jika ada penelitian selanjutnya yang secara lebih fokus membahas hal tersebut

(penerapan kebijakan pendidikan agama secara nasional di era Demokrasi Terpimpin, ataupun

sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia).

Pasal 5 Penpres tersebut, menarik sebagai bahan renungan untuk saat ini. Bahwa Presiden

Sukarno menegaskan pentingnya toleransi umat beragama termasuk di ranah pendidikan. Pasal 5

secara tegas menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional Indonesia disahkan, diatur, dan

dilaksanakan sesuai dengan keyakinan politik dan agamanya masing-masing dalam kerangka

Negara Pancasila dan konsepsi Manipol-Usdek sebagai satu kesatuan. Hal ini cukup untuk

mengklarifikasi bahwa konsepsi Manipol-Usdek Presiden Sukarno bukan buatan kaum Komunis,

atau bukan karena desakan atau pengaruh dari PKI, yang sering dinegasikan sebagai kelompok

atheis dan anti-agama (hal ini menarik untuk diperdebatkan dalam diskursus ideologi dan

politik).

Lalu pada Pasal 6 Penpres ini, menyebutkan tentang pihak-pihak mana saja yang

termasuk dalam kategori penyelenggara Sisdiknas. Diantaranya negara/pemerintah, lembaga

keagamaan, lembaga/organisasi kemasyarakatan (ormas), orangtua/wali murid, menurut bidang,

hak, kewajiban dan wewenangnya masing-masing. Cara pelaksanaannya diharapkan harus

harmonis antar elemen tersebut demi tercapainya tujuan pendidikan nasional. Kemudian, terkait
50

susunan pendidikan atau persekolahan nasional di era Demokrasi Terpimpin, Sukarno

menjabarkannya pada Bab II Penetapan Presiden tersebut, diantaranya:

- Pendidikan Biasa

- Pendidikan Khusus

- Pendidikan Luar Biasa

- Pendidikan Kemasyarakatan

- Pendidikan Luar Hubungan Sekolah

Di era ini, belum ada jenis sekolah ‘kejar paket’ seperti saat ini. Pemerintah

mengantisipasi warga negara yang tidak dapat menyelesaikan SD atau SM (Menengah) dengan

menyelenggarakan pendidikan khusus untuk menambah kemampuan pengetahuan dan bekerja.

Pemerintah di tangan Presiden Sukarno juga memberikan perhatian terhadap kaum difabel

(berkebutuhan khusus), yakni Pendidikan Luar Biasa.

Berikutnya, pada bagian II Pasal 13 dapat dilihat bahwa jika pada sekarang terdapat

PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), maka di era Demokrasi Terpimpin ada yang

namanya jenis Pendidikan Kemasyarakatan yang sejalan/sejenis dengan tipe PKBM. Fungsinya

sama, yakni bagi warga negara yang tidak sempat dididik pada salah satu jenis lembaga

pendidikan dalam Bab II Bagian I Penetapan Presiden tersebut, Pendidikan Kemasyarakatan

dapat menjadi alternatifnya.

Lalu, landasan hukum mengenai tipe/jenis lembaga pendidikan yang saat ini lebih dikenal

dengan LKP (Lembaga Kursus dan Pelatihan) dan sejenisnya, di era Demokrasi Terpimpin

terwadahi dengan nomenklatur Pendidikan Diluar Hubungan Sekolah. Pada Bagian II Pasal 14

dijelaskan, Kegiatan pendidikan di luar hubungan dengan sekolah dalam kerangka pendidikan

untuk mencapai tujuan pendidikan nasional dilakukan oleh penyelenggara sesuai bidang, hak,
51

kewajiban dan kewenangan masing-masing. Jenis-jenis pendidikan ini lebih berorientasi atau

dilepaskan ke sektor swasta atau non-pemerintah. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 15,

pendidikan luar sekolah diselenggarakan di lingkungan rumah dan/atau masyarakat.

Pada Bab III di Pasal 16 dan 17, Presiden Sukarno melalui Penetapan tersebut berikutnya

menegaskan tentang kurikulum pendidikan atau persekolahan. Di era ini, semua kegiatan

pendidikan nasional (di dalam dan di luar hubungan sekolah) diatur dalam Kurikulum

Pendidikan/Persekolahan, untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Kurikulum tersebut

secara lebih jelasnya, meliputi seluruh pengaruh yang didapat peserta didik atas pimpinan

lembaga pendidikan/sekolah.

Peran Presiden Sukarno dalam memonopoli, ideologisasi, dan indoktrinasi Sisdiknas

sangat terasa berikutnya pada jiwa kurikulum pendidikan/persekolahan yang diwajibkan untuk

dijalankan. Seperti yang tertera pada Pasal 18, diantaranya yakni semangat melaksanakan

Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat) secara gotong royong dalam rangka mewujudkan

masyarakat adil dan makmur serta diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian, Demokrasi

Terpimpin (diklaim) lebih mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat. Semangat cinta

tanah air, tanah air dan solidaritas nasional dengan Bhinneka Tunggal Ika, kepribadian dan

budaya bangsa juga disertakan.

Kemudian, rasa perikemanusiaan dalam bentuk persahabatan dengan seluruh bangsa-

bangsa di dunia atas semangat Nefo (New Emerging Forces), membangun dunia baru yang bebas

dari Imperialisme, Kolonialisme dan Neo-Kolonialisme. Serta, kepercayaan kepada Tuhan Yang

Maha Esa secara berkeadaban sebagai karakteristik bangsa Indonesia, sesuai dengan Ketetapan

MPRS No. II/ MPRS/1960 Bab II Pasal 2 Ayat 3 dan lampiran A338, dan semangat toleransi
52

terhadap keyakinan masing-masing sebagai karakteristik yang lain bangsa Indonesia dalam

membentuk manusia Indonesia baru jang berjiwa Nasakom.

Penetapan Presiden ini juga dilengkapi penjelasan dan pedoman pelaksanaannya serta

pembentukan Majelis Pendidikan Nasional sebagai badan tertinggi penentu kebijakan tentang

pendidikan. Lebih jelas lagi, Penpres tersebut mulai berlaku sejak ditetapkan yakni 25 Agustus

1965. Ditandatangani oleh Presiden Sukarno dan diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara

saat itu, Mohammad Ichsan, S.H.

3.5 Pembentukan Majelis Pendidikan Nasional

Setelah Penetapan Presiden tentang Sisdiknas ditetapkan, di hari yang sama (25 Agustus

1965), Sukarno membuat dan menetapkan juga Perpres (Peraturan Presiden) RI No. 14 Tahun

1965. Perpres tersebut mempertegas kembali serta menjabarkan dari pembentukan Majelis

Pendidikan Nasional yang telah dibuat melalui Keppres (Keputusan Presiden) RI No. 146 Tahun

1965 tentang Pembentukan Madjelis Pendidikan Nasional. Tugas, wewenang, kedudukan,

anggaran belanja, dan komposisi Majelis Pendidikan Nasional, diantaranya sebagai berikut:

● Tugas: melakukan enelitian, pembinaan, pengamanan dan pengawasan Sisdiknas

Pancasila di segala bidang

● Wewenang: memiliki hak dan kuasa untuk menentukan kebijakan pendidikan di segala

bidang

● Kedudukan: menjadi lembaga tertinggi dalam bidang pendidikan nasional, serta di bawah

naungan langsung Presiden

● Anggaran Belanja: mendapat tempat pada anggaran belanja lembaga tertinggi

● Komposisi: terdiri dari pimpinan dan keanggotaan (dijabarkan lebih lanjut).


53

Perpres tersebut kemudian diperkuat dengan Keppres (Keputusan Presiden) RI No. 232

Tahun 1965 tentang Pengangkatan para Wakil Ketua, Anggota-anggota dan Sekretaris Umum

Majelis Pendidikan Nasional. Singkatnya, Keppres ini ditetapkan dalam rangka melaksanakan

Pasal 21 Perpres RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional

Pancasila dan Pasal Keenam Ayat 3 Perpres RI No. 14 Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan

Nasional.

Tujuannya yakni demi penentuan atau agar segera menentukan Personalia (orang-orangnya)

yang terdiri dari berbagai jabatan: Wakil Ketua, para anggota, serta Sekretaris Umum dari

Majelis Pendidikan Nasional tersebut. Presiden Sukarno menetapkan Perpres ini dengan

mengingat TAP MPRS RI No. II/MPRS/1960, Pidato Presiden RI tanggal 17 Agustus 1964,

Keppres RI No. 224 Tahun 1964, Keppres RI No. 146 Tahun 1965, Penpres RI No. 19 Tahun

1965, serta Perpres RI No. 14 Tahun 1965.

Susunan Personalia Majelis Pendidikan Nasional tersebut diantaranya:

❖ Wakil Ketua: Soemari, Ridwan Fahdil, Siswojo, Mayjend KKO Soehadi.

❖ Anggota:

- Menko/Menteri yang berhubungan dengan bidang Pendidikan dan Wakil Komisi Pendidikan

DPR-GR: Prof. Prijono, K.H. Saifuddin Zuchri, Prof. Ruslan Abdulgani, Artati Marzuki

Soedirjo, Brigjend. Dr. Sjarif Thayeb, Maladi, Dr. Soemarno S., Drs. M. Achadi, Ipik

Gandamana, Prof. Soedjono Djoened P., Drs. Soerjadi, Jusuf Muda D., Mardanus, Brigjend.

M. Wonojudo.
54

- Wakil Partai Politik: Arudji Kartawinata, JCT. Simorangkir, IJ. Kasimo, Ratu Aminah H.,

Asmara Hadi, H. Abdurrachman.

- Wakil Golongan Fungsionil: Nyi Hadjar Dewantara, Asmu, Martiman, PA Harahap, Djamin,

Hasjim Ning, Kusno Utomo, Saroso Hurip, Soebroto, Tudjimah, Notohamidjojo, L. Soekoto,

IGB. Soegriwa, Armunanto, Busuno Wiwoho, Prof. Baroroh Baried, Hoo Kian Lam,

Soekarno Iskandar, Prof. Slamet Iman S., Sodiarto, Chaerun Caropeboka, RAJ. Soedjasmin,

Said Budaeri, Satyagraha, Zaini Mansur, Mahbub Djunaidi, Emma Puradiredja, Santoso.

- Wakil Daerah: M. Isa, Doel Arnowo, Tjilik Riwut, Andi Pangerang Daeng Rani, AB. Mboi,

Prof. G. Siwabessy, Lucas Rumkorem.

❖ Sekretaris Umum: Liem Bian Kie, S.H.

Hal yang menarik dan penting untuk dianalisa dalam pembentukan Majelis Pendidikan

Nasional tersebut adalah terdapat perwakilan dari masing-masing elemen. Diantaranya dari para

menteri dan DPR-GR, wakil partai politik, wakil golongan fungsionil/akademisi, hingga wakil

daerah, yang telah dijabarkan. Presiden Sukarno nampak ingin membuktikan keseriusannya

dalam mengelola sistem pendidikan nasional.

Terlihat ia ingin menunjukkan bahwa urusan pendidikan adalah urusan bersama, tidak

hanya Kementerian dan Dinas Pendidikan saja. Namun di sisi lain, keterlibatan banyak pihak

hingga dari kalangan militer serta partai politik membuat pertanyaan baru: “untuk apa pihak-

pihak yang berada di luar koridor pendidikan atau yang tidak/bukan memiliki latarbelakang

pendidikan, turut serta dalam merumuskan pendidikan nasional?”.


55

Sisi positifnya, Presiden Sukarno dapat dianggap benar-benar serius dalam mengelola

pendidikan nasional. Ia menjadikan pendidikan sebagai unsur yang sangat penting dalam

pembangunan bangsa sehingga dalam merumuskan pendidikan nasional harus melibatkan

banyak pihak hingga wakil dari berbagai daerah. Namun di sisi lain, kritik terhadap Presiden

Sukarno terkait hal tersebut juga dapat disampaikan bahwa ia terlalu politis dalam mengelola

pendidikan nasional. Presiden Sukarno nampak mementingkan sisi prestisiusnya dibanding fokus

pada kebijakan intinya. Keterlibatan banyak pihak dalam satu bidang seperti pendidikan

nasional, justru membuat pelaksanaan kebijakan tersebut tidak akan fokus karena banyak pihak

yang berkepentingan.

Melihat dari suasana politik saat itu dapat juga diasumsikan bahwa Presiden Sukarno

ingin membuktikan bahwa kebijakannya (dalam hal ini, pendidikan) diikuti dan dituruti serta

didukung seluruh elemen masyarakat yang tentu sejalan dengan garis politiknya. Kritik

berikutnya terhadap kebijakan pembentukan Majelis Pendidikan Nasional tersebut adalah bahwa

Presiden Sukarno justru mempersempit ruang gerak akademisi dengan ikut melibatkan politisi

partai dan militer, sehingga nampak pihak fungsionil/akademisi bukan menjadi peran yang

sentral pengambil kebijakan.

Pada perjalanannya, Majelis Pendidikan Nasional yang dibentuk Presiden Sukarno tidak

bertahan lama. Karena beberapa waktu/bulan setelahnya, terjadi huru-hara G30S 1965. Setelah

peristiwa itu, kebijakan negara tidak banyak dapat diimplementasikan karena pemerintah fokus

meredam situasi politik nasional yang semakin kisruh.


56

3.6 Pembangunan Pendidikan Nasional Melalui PNSB (Pembangunan Nasional Semesta


Berencana)

Pada sub-bab sebelumnya telah dijelaskan tentang pentingnya TAP MPRS No. I dan II

Tahun 1960 sebagai salah satu landasan hukum kebijakan pendidikan nasional di era Demokrasi

Terpimpin. Penerapan TAP MPRS tersebut kemudian diimplementasikan dalam PNSB

(Pembangunan Nasional Semesta Berencana) Tahap Pertama 1961-1969. Dampak dari TAP

MPRS 1960 yang menjadi landasan kebijakan pendidikan nasional era Demokrasi Terpimpin

tersebut yakni pemerintah membangun banyak sekali pembangunan terkait bidang pemerintah.

Diantaranya yakni sebagai berikut:

1. Penggalian Kekayaan Kebudayaan di Nias, Kalimantan Tengah, Toraja, Flores, dan

Maluku.

Proyek ini menelan biaya sekitar Rp. 50.000.000,- dan memiliki target hasil diantaranya

penambahan kader, piringan hitam, berbagai film dancatatan artistik, maquette-maquette, teknik

pembuatan alat kesenian, peninggalan Islam dan Hindu, bahan untuk museum nasional, film

kebudayaan untuk sekolah rakyat dan menengah, bahan untuk perguruan tinggi, dan cara kerja

modern. Pembangunan ini dimulai berangsur mulai tahun pertama PNSB Rencana/Tahap I dan

ditargetkan selesai pada akhir periode ini (1969).

2. Museum Nasional di Kotapraja (kini DKI) Jakarta Raya

Proyek ini menelan anggaran sekitar Rp. 313.000.000,- dan memiliki target hasil

diantaranya untuk pemeliharaan kebudayaan, memperkuat kepribadian bangsa serta memajukan

pariwisata. Pembangunan ini membutuhkan dukungan pendidikan ahli musem, dan sekaligus

membangun taman rekreasi dan Taman Bhinneka Tunggal Ika hingga Museum Perjuangan.

Direncanakan dan diselenggarakan mulai tahun pertama PNSB Tahap I (1961) dan selesai di

akhir periode (1969).


57

3. Galeri Kesenian Nasional di Kotapraja (kini DKI) Jakarta Raya

Proyek ini menelan biaya sekitar Rp 469.000.000,- dan bertujuan untuk memamerkan

hasil kesenian nasional, memelihara kepribadian kebudayaan, perkembangan daya kreatif serta

memajukan pariwisata. Galeri ini memuat 4000 lukisan dalam satu baris, 8000 lukisan dalam dua

baris dan dapat diperbesar dengan 2000 lukisan. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB

Tahap I dan selesai di akhir periode (1961-1969).

4. Perpustakaan Nasional di Kotapraja (kini DKI) Jakarta Raya

Proyek ini menyerap anggaran sebesar Rp. 453.000.000,- dan bertujuan untuk memenuhi

kebutuhan bacaan rakyat, menghimpun karya intelektual bangsa Indonesia, serta pendidikan ahli

perpustakaan. Pembangunan ini memiliki kapasitas empat juta buku, dimulai tahun pertama

PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode (1961-1969).

5. Lembaga Bahasa dan Kesusatraan di Kotapraja (kini DKI) Jakarta Raya

Proyek ini menghabiskan anggaran sebesar Rp. 44.000.000,- dan bertujuan yakni

menerjemahkan berbagai buku untuk universitas, membuat Kamus Besar Bahasa Indonesia dan

Ensiklopedia Indonesia, penemuan berbagai istilah, pendidikan ahli penerjemah, dan ahli-ahli

bahasa. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode

(1961-1969).

6. Taman Kebudayaan di Beberapa Provinsi (Daerah Tingkat I)

Proyek ini menghabiskan anggaran sebesar Rp. 110.000.000,- dan bertujuan yakni

sebagai pusat penghidupan kebudayaan daerah dan nasional. Proyek ini membangun dua puluh

dua taman yang dibangun mulai tahun kedua Tahap I (1962) hingga akhir tahun ketiga.
58

7. Terjemahan Kitab Suci Al-Quran, Bible, Weda, dan Dhamma Padda (Tri Pitaka)

Proyek ini sangat menarik untuk membuktikan bahwa rezim Sukarno era Demokrasi

Terpimpin adalah rezim yang sangat memperhatikan agama. Anggaran yang diserap untuk

pembangunan ini masing-masing Rp. 62.000.000,- (Islam), Rp. 33.000.000,- (Nasrani), Rp.

20.000.000,- (Hindu dan Buddha). Pembuatan terjemahan ini dimulai sejak tahun pertama Tahap

I (1961) dan selesai dalam 10 bulan.

Total pembangunan beberapa lembaga dan proyek kebudayaan dan keagamaan tersebut

menghabiskan/memerlukan jumlah keseluruhan anggaran sekitar Rp. 1.554.000.000,-.

Berikutnya, pemerintah era Demokrasi Terpimpin melalui TAP MPRS tersebut juga membangun

berbagai universitas negeri di Indonesia, diantaranya sebagai berikut:

● Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta

Proyek ini menelan biaya sebesar Rp. 1.650.000.000,- dan memiliki target hasil yakni

melipatgandakan sarjana di bidang teknik, ilmu pasti/alam, biologi, pertanian dan kehutanan,

serta dokter. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode

(1961-1969).

● Universitas Indonesia di Kotapraja (kini DKI) Jakarta Raya

Proyek ini membutuhkan anggaran sekitar Rp. 1.400.000.000,- dan memiliki target hasil

yaitu melipatgandakan sarjana di bidang pertanian dan kehutanan. Selain itu menambah fakultas

baru yakni teknik, ilmu pasti/alam, biologi, dan ahli penggunaan tanah. Pembangunan ini dimulai

tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode (1961-1969).

● Universitas Airlangga di Surabaya (termasuk Bali)

Proyek ini membutuhkan biaya sebesar Rp. 950.000.000,- dan bertujuan untuk

melipatgandakan sarjana dokter, guru, serta menambah fakultas baru yakni teknik, ilmu
59

pasti/alam, dan pertanian/kehutanan. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan

selesai di akhir periode (1961-1969).

● · Universitas Hasanuddin di Makassar

Proyek ini menelan anggaran sekitar Rp. 700.000.000,- dan memiliki target hasil untuk

melengkapi fakultas kedokteran, keguruan, serta menambah fakultas baru seperti teknik, ilmu

pasti/alam, dan pertanian/kehutanan. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan

selesai di akhir periode (1961-1969).

● · Universitas Sumatra Utara di Medan

Proyek ini menghabiskan dana sebesar Rp. 700.000.000,- dan memiliki target hasil untuk

melengkapi fakultas kedokteran, kedokteran hewan, pertanian dan kehutanan, serta keguruan.

Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode (1961-

1969).·

● Universitas Andalas di Sumatra Barat

Proyek ini menelan biaya sekitar Rp. 700.000.000,- dan bertujuan untuk

menyempurnakan fakultas kedokteran dan keguruan, serta menambah fakultas baru yaitu teknik

dan ilmu pasti/alam. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir

periode (1961-1969).

● · Universitas Padjajaran (termasuk Fakultas Keguruan) di Bandung

Proyek ini menelan biaya sekitar Rp. 1.050.000.000,- dan bertujuan melipatgandakan

sarjana bidang ilmu pasti/alam, pertanian, kedokteran, keguruan, serta menambah fakultas

keguruan / FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Pembangunan ini dimulai tahun

pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode (1961-1969).


60

Serta beberapa kampus lainnya seperti Institut Teknologi di Bandung (kini ITB),

Universitas Sriwijaya di Palembang, Universitas Kalimantan, Universitas Maluku di Ambon,

serta Universitas Diponegoro di Semarang yang masing-masing membutuhkan anggaran sebesar

Rp. 1.082.000.000,-, Rp. 250.000.000,-, Rp. 250.000.000,-, Rp. 250.000.000,-, Rp. 250.000.000,.

Tujuan pembangunan di pelbagai universitas tersebut yakni melipatgandakan sarjana di

berbagai bidang seperti teknik geologi, kimia, biologi, ilmu pasti/alam (ITB), kemudian memulai

pembangunan fakultas teknik, ilmu pasti/alam serta kedokteran (Universitas Sriwijaya dan

Universitas Kalimantan), lalu pembangunan fakultas teknik, perkapalan, hingga marine sciences

(Universitas Maluku), serta bantuan untuk perlengkapan alat-alat dan guru-guru (Universitas

Diponegoro). Pembangunan semuanya pun sama, dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan

selesai di akhir periode (1961-1969).

Tidak hanya di dunia universitas/pendidikan tinggi saja, pembangunan pendidikan

nasional melalui PNSB ini juga termasuk berbagai jenjang sekolah, diantaranya sebagai berikut:

● STM (Sekolah Teknik Menengah) di Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatra

Selatan, Jawa Barat, Jakarta Raya, Jawa Timur, hingga Sulawesi, yang secara total

memiliki anggaran sebesar Rp. 156.000.000,-. Bertujuan untuk menyempurnakan dan

melipatgandakan tamatan/lulusan. Pembangunan ini memiliki catatan penting yakni

sekolah-sekolah tersebut sudah ada namun masih banyak yang belum memiliki gedung.

Proyek tersebut dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode (1961-

1969).

● Pembangunan yang sama, STM, namun tujuan berbeda yakni untuk menambah tenaga

teknik seperti STM di Riau, Sumatra Utara, Jakarta Raya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa

Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Bali hingga Sulawesi.
61

Proyek tersebut menelan anggaran sekitar Rp. 132.000.000,-. Periode pembangunan

semuanya pun sama, dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode

(1961-1969).

● Sekolah Guru Pengajaran Teknik yang bertujuan menyempurnakan dan melipatgandakan

lulusan/tamatan di Jakarta Raya, Sumatra Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta,

serta Jawa Timur yang membutuhkan biaya sebesar Rp. 84.000.000,-. Sekolah Guru

Pengajaran Teknik yang bertujuan menambah jumlah gurunya seperti di Jakarta Raya dan

membutuhkan biaya sekitar Rp. 12.000.000,-. Pembangunan semuanya pun sama,

dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode (1961-1969).

● Kursus Ahli Teknik di Sumatra Utara, Jakarta Raya, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang

membutuhkan biaya sebesar Rp. 48.000.000,-. Bertujuan menyempurnakan dan

memperlipatgandakan tamatan/lulusan. Pembangunan semuanya pun sama, dimulai tahun

pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode (1961-1969).

Selain itu masih banyak sekali proyek pembangunan pendidikan nasional yang

dirumuskan dalam PNSB Tahap I (1961-1969) dalam TAP MPRS No. 1 dan No. 2 Tahun 1960

tersebut seperti Akademi Pekerjaan Umum, Pendidikan Teknik Swasta, Akademi Pertanian,

Akademi Pembangunan Veteran, Sekolah Tekstil Tinggi, Akademi Pelajaran, Sekolah Pelajaran

dan Perkapalan Menengah, Pendidikan Tenaga PTT, Akademi Sinematografi, Akademi Gula

Negara.

Berikutnya ada juga Sekolah Analis, Sekolah Kejuruan Perhotelan, Sekolah Menengah

Pertanian Atas, Kursus Karantina, Sekolah Kehutanan Menengah Atas, Sekolah Perikanan

Menengah Atas, Sekolah Kehewanan Menengah Atas, Sekolah Guru Atas, Sekolah Guru

Kepandaian Putri, Sekolah Menengah Atas bagian B, Sekolah Rakyat. Lembaga Pemberantasan
62

Buta Huruf, Kursus Kemasyarakatan dan Perpustakaan, Pendidikan Keahlian Jurusan Ekonomi

Pelajaran, Pendidikan Perwira Dek, Mesin, dan Markonis.

Pembangunan pendidikan nasional ini bahkan memiliki cadangan rencana pembangunan

seperti kursus perdagangan pertama, kursus perdagangan senior, kursus perwira administrasi,

kursus perwira administrasi senior, sekolah kerajinan, sekolah pedagogi, perguruan tinggi,

sekolah pedagogi taman kanak-kanak, sekolah dasar tingkat pendidikan pertahanan rakyat,

universitas ekonomi dan sekolah menengah, sekolah kepandaian putri 2 tahun dan 4, serta

sekolah dengan kebutuhan khusus. Total biaya pembangunan berbagai lembaga pendidikan dari

tingkat terendah hingga perguruan tinggi / institut / universitas negeri senilai total Rp

16.261.000.000.

Selanjutnya, dari sisi pengembangan ilmu pengetahuan (masih masuk kategori

pendidikan nasional) pemerintah juga membangun banyak sekali proyek pembangunan seperti

Lembaga Kimia, Lembaga Biologi, Lembaga Fisika, Lembaga Geologi/Pertambangan, Lembaga

Metalurgi, Lembaga Elektronika, Lembaga Ekonomi dan Masyarakat, Penelitian bidang

Geologi, Aerial Survey, Penelitian bidang Industri, Penelitian bidang produksi Pangan,

Penelitian bidang Perkebunan dan Kehutanan, Laboratorium Riset PTT, Penelitian bidang

Lingkungan, Penelitian bidang Penerbangan dan produksi Pesawat Udara, serta pembangunan

penelitian lembaga lainnya yang dianggap penting. Jumlah total anggaran keseluruhan

pembangunan tersebut berkisar Rp. 2.653.000.000,-.


63

BAB IV

DAMPAK KEBIJAKAN PENDIDIKAN NASIONAL

ERA DEMOKRASI TERPIMPIN

4.1. Hegemoni Kebijakan Pendidikan Nasional

Hal yang paling terasa dalam hampir semua kebijakan Sukarno di era Demokrasi

Terpimpin adalah hegemoni konsepsi dalam kebijakan, menguatnya dominasi, bahkan cenderung

monopoli. Secara politik, kekuatan dan kekuasaan Sukarno saat itu sangat besar. Tidak ada

oposisi karena kekuatan Masyumi & PSI telah diberangus sebagai dampak dari PRRI-Permesta.

DI/TII saat itu juga semakin diambang kehancuran. Partai-partai politik disederhanakan dan

kekuatan MPRS saat itu bukan sebagai penyeimbang/oposisi, justru menjadi pendukung utama

Demokrasi Terpimpin.

Kuatnya kekuasaan Sukarno saat itu berdampak pada masifnya hegemoni Sukarno di

semua sisi kebijakan nasional. Nasakom menjadi platform dengan Front Nasional sebagai wadah

politiknya. Manipol-Usdek menjadi bahan bakar yang wajib digunakan dalam setiap gerak rakyat

Indonesia. Stigma ‘Kontra-Revolusi’ akan disematkan jika menolak, menentang, atau

bersebrangan dengan konsepsi Sukarno. Hal ini ternyata melingkupi juga dunia atau bidang

pendidikan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, kebijakan dan sistem

pendidikan nasional mengacu serta berlandas pada konsepsi Presiden.

Hal tersebut secara sosiologis termasuk dalam konsep hegemoni dan dominasi.

Intelektual marxian, Antonio Gramsci, masih menjadi salah satu referensi utama dalam konsep

ini. Bagi Gramsci, hegemoni berawal dari supremasi kelas. Supremasi kelompok
64

memanifestasikan dirinya dalam dua cara: dominasi dan kepemimpinan intelektual. Hegemoni

tematik mengacu pada pengaruh kuat kepemimpinan dalam bentuk moral dan intelektual.

Hal tersebut membentuk sikap kelas yang dipimpin. Hal ini terjadi dalam gambaran

konsensus, dan konsensus yang terjadi di antara kedua lapisan ini tercipta melalui paksaan serta

pengaruh yang disamarkan melalui pengetahuan yang disebarkan melalui alat-alat kekuasaan.

Pada hakikatnya, hegemoni merupakan upaya untuk menggiring orang agar menilai dan

memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan.

Hal yang paling mendasar dari hegemoni dalam kebijakan pendidikan dimulai dari tujuan

dan politik kebijakan pendidikan nasional. Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa terdapat

perbedaan pola pikir yang tajam/beda antara era Demokrasi Terpimpin dengan zaman

sebelumnya, yakni era parlementer.

Alam demokrasi bernuansa liberal yang kental di era parlementer membuat tujuan dan

politik pendidikan nasional ialah demokratisasi pendidikan dan demokratisasi masyarakat.

Sedangkan di era Sukarno/ Demokrasi Terpimpin, demokrasi dipersempit menjadi indoktrinasi

negara melalui Manipol-Usdek sebagai landasan pendidikan nasional, membentuk Sisdiknas

Pancasila versi Sukarno, dan mendapat dukungan politik dari kelompok kiri.

Hegemoni Sukarno dan monopoli kekuatan politik pemerintah dalam kebijakan

pendidikan nasional juga melalui penerapan mata pelajaran di sekolah. Sebagaimana yang telah

dijelaskan pada bab sebelumnya, pemerintah memperkenalkan mata pelajaran Civics dalam

dunia pendidikan Indonesia.

Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP & K) menerbitkan salah satu

bukunya yakni Civics, Masyarakat dan Manusia Indonesia Baru, karangan Mr. Soepardo, dan

kawan-kawan. Secara singkat, buku tersebut berisi tentang Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia,
65

Pancasila, UUD 1945, Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin, Konferensi Asia-Afrika, Hak dan

Kewajiban Warga Negara, Manifesto Politik, Laksana Malaikat, serta berbagai lampiran Dekrit

Presiden 5 Juli 1959.

Implementasi dari mata pelajaran Civics tersebut benar-benar diterapkan di berbagai

jenjang pendidikan. Civics kemudian berganti/digantikan namanya menjadi Pendidikan

Kewargaan Negara. Pada bab ini dijelaskan kembali (merujuk bab sebelumnya), yakni untuk

jenjang SD (Sekolah Dasar) Mata Pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara meliputi beberapa

program, yakni Sejarah Indonesia, Civics, dan Ilmu Bumi.

Untuk jenjang SMP (Sekolah Menengah Pertama), Mata Pelajaran Pendidikan

Kewargaan Negara meliputi beberapa program, diantaranya Sejarah Kebangsaan, Kejadian

Setelah Indonesia Merdeka dan UUD 1945. Lalu untuk jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas),

Mata Pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara meliputi beberapa program pembelajaran yang

sebagian besar terdiri atas UUD 1945.

Hegemoni Sukarno sebagai Pengajom Agung dalam kebijakan pendidikan nasional

berikutnya, berdampak pada ‘tidak netral’-nya pendidikan. Esensi pendidikan secara positivistik

yang mengedepankan empirisitas dan keilmiahan, nampak beririsan dengan kepentingan politik

pemerintah dan politisasi yang dilakukan Sukarno sebagai pengendali utama negara. Hal itu

merujuk pada Penpres RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional

Pancasila, bahwa perlu ada Sisdiknas yang sesuai dengan tuntutan Revolusi Indonesia.

Sepanjang penelitian ini, belum menemukan hasil riset/penelitian lain tentang kualitas

manusia/masyarakat, ataupun pihak-pihak yang menjadi pelaksana pendidikan maupun peserta

didik. Maksudnya, misal, Budi adalah produk dari pendidikan nasional era Demokrasi

Terpimpin. Belum ada hasil riset/penelitian yang membuktikan/menjelaskan perbedaan kualitas


66

pemikiran ataupun keterampilan Budi setelah mendapat pendidikan dari era Demokrasi

Terpimpin ataupun perbandingannya ketika Budi mendapat pendidikan di era Demokrasi

Parlementer.

Namun jika menggunakan konsep hegemoni Demokrasi Terpimpin, besar kemungkinan

segenap siswa/pelajar/mahasiswa (peserta didik) hingga pelaksana pendidikan (guru, kepala

sekolah, dinas hingga kementerian pendidikan) berpikir dengan alur pikir yang sama dengan

Sukarno sebagai pemegang utama kebijakan pendidikan nasional. Sayangnya, hal tersebut adalah

asumsi yang selayaknya masih dapat diperdebatkan ataupun dikomparasi kembali dengan

penelitian ataupun hasil riset lain/kemudian/di masa mendatang, untuk dapat dibuktikan.

Kita bisa membedah sisi positif dan negatif dari hegemoni dan dominasi tersebut. Sisi

positif yang bisa diambil yakni bahwa suatu rezim pemerintahan haruslah kuat dan tidak mudah

terpengaruh pihak-pihak yang ingin mengancam stabilitas nasional. Berikutnya, hegemoni dan

dominasi dibutuhkan untuk melindungi rakyat Indonesia dari ketidakjelasan arah pembangunan

nasional seperti di era sebelumnya (Demokrasi Parlementer 1950-1959).

Presiden Sukarno sebagai simbol rakyat pada saat itu memiliki banyak pembelaan di

berbagai pidatonya dan mampu menggalang dukungan elemen politik lainnya atas hegemoni dan

dominasi yang ia lakukan. Terkait pendidikan nasional sendiri, hal tersebut bertujuan untuk

membuat rakyat Indonesia terdidik secara terarah lurus agar tidak ‘belok’ dari cita-cita revolusi

dan kemerdekaan Indonesia. Memang, di suatu waktu, hegemoni dan dominasi terasa dibutuhkan

jika bertujuan untuk kebaikan bersama. Namun, hegemoni dan dominasi yang berlebihan apalagi

mendasarkan kepemimpinan nasional hanya pada satu sosok tokoh, membuat negara melemah

dengan sendirinya.
67

Hal tersebut kemudian terjadi pada bangsa Indonesia, ketika Sukarno berhasil

digulingkan hingga akhirnya wafat pada 1970, kepemimpinan Indonesia berubah arah dan

berganti sandaran pada sosok tokoh yakni Suharto yang memiliki pemikiran, kebijakan, politisasi

dan kepentingan yang jauh berbeda dari Sukarno. Namun keduanya memiliki satu kesamaan:

hegemoni dan dominasi. Bahkan Suharto jauh lebih kuat dan lama dalam melakukan hegemoni

dan dominasi selama tiga puluh dua tahun hingga mengundurkan diri pada 1998.

4.2 Mengebiri Demokrasi Melalui Pendidikan Nasional

Presiden Sukarno tidak hanya menghegemoni kebijakan dan sistem pendidikan nasional,

namun juga menjadikan pendidikan nasional sebagai sarana indoktrinasi. Hal ini justru menjadi

sisi negatif mengebiri demokrasi itu sendiri. Tepatnya, saat Presiden Sukarno membuat

kebijakan berupa retooling segala hal di berbagai kebijakan termasuk pendidikan nasional.

Retooling ini membuat media, suratkabar, hingga pendidikan dan kebudayaan menjadi sasaran.

Segala hal terkait pemberitaan, media dan informasi, hingga pendidikan dan kebudayaan harus

bernuansa revolusioner dan segaris dengan kebijakan politik Presiden Sukarno. Ia juga membuat

kebijakan sensor bagi pihak siapapun, apapun, dan manapun yang tidak sejalan dengan

kebijakannya.

Menurut Chandra Purnama dari Universiti Utara Malaysia, Retooling mental-ideologi

merupakan sasaran terpenting. Hal ini bertujuan menghilangkan pemikiran liberalisme dan

feodalisme. Presiden Sukarno memusatkan pelaksanaannya di pelbagai institusi pendidikan

nasional dari dasar/terendah (sekolah rakyat) hingga pendidikan tertinggi. Maka institusi-institusi

pendidikan menjadi sarana sebagai tempat penanaman paham, indoktrinasi atau sebagai tempat

‘cuci otak’ bagi mereka yang berpikiran tidak revolusioner.


68

Pengebirian demokrasi melalui pendidikan nasional oleh Presiden Sukarno juga

dilakukan dengan memberangus/memberantas buku-buku yang mengandung ajaran-ajaran Barat

dan menggantikannya dengan buku-buku marxisme ataupun buku-buku lain yang berkaitan

tentang ajaran sosialisme. Tindakan tersebut adalah bagian dari retooling, termasuk dalam

bidang kebudayaan dengan memberantas musik ‘ngak-ngik-ngok’ seperti Band asal Inggris: The

Beatles, novel bergaya romance Barat dan melarang memainkan film-film Barat. Menurut

Presiden Sukarno, melalui media-media tersebut terjadilah penetrasi kebudayaan Barat yang

melemahkan revolusi dan kepribadian nasional.

Salah satu contoh nyata dari kebijakan ini adalah kisah grup band pop Koes Plus yang

sebelumnya bernama Koes Bersaudara. JJ Rizal dalam tulisannya, Koes Bersaudara, Sukarno

dan Spionase, menyebut bahwa Koes Bersaudara (kemudian Koes Plus) sebagai korban

pelarangan musik “ngak ngik ngok” yang berujung pemenjaraan mereka pada 1965. Namun

menurut JJ Rizal ada hal menarik untuk kasus Koes Bersaudara ini. Pada 29 November 2008,

dalam acara Kick Andy Show, Koes Plus membuat pengakuan mengejutkan. Menurut Koes Plus,

pemenjaraan itu hanya drama politik. Sebelumnya pada 2004 dalam wawancara bersama

sejarawan Steven Farram yang meneliti musik zaman Sukarno, Yok (vokalis Koes Plus) telah

menyatakan hal tersebut.

Singkatnya menurut Koes Plus, pada pertengahan 1965, Presiden Sukarno meminta Koes

Bersaudara menjalankan tugas dalam misi rahasia ‘mengganyang Malaysia’. Saat itu Koes Plus

dianggap sedang berada di puncak popularitas hingga ke Malaysia. Namun, agar mereka dapat

diterima dan dipercaya lebih sebagai teman sepemikiran di Malaysia dan dapat dengan mudah

menyelesaikan misi dinas rahasia mereka, dibuatlah sebuah drama yang menunjukkan bahwa

menjadi korban kebijakan Sukarno, mereka harus dikutuk di media dan dikirim ke penjara.
69

Lanjut JJ Rizal dalam tulisan itu menyebut pada 14 Maret 1965, Harian Rakjat milik PKI

mengatakan bahwa Koes Bersaudara “telah menjadi putera-putera Indonesia yang

meninggalkan kepribadiannya, lalu bertelanjang bulat memamerkan kebandelan dan

ketidakacuhan terhadap tanah air dengan revolusi dan kepribadiannya yang tinggi”. Presiden

Sukarno kemudian memanfaatkan hal tersebut dengan menjadikan Koes Bersaudara sebagai

simbol penyebar musik kontra-revolusioner. Penangkapan Koes Bersaudara menurut JJ Rizal

kemudian dalam historiografi dianggap sebagai salah satu contoh pengebirian demokrasi dalam

kebudayaan nasional (termasuk ranah pendidikan) oleh Presiden Sukarno.

Namun apapun kontroversi terkait kasus Koes Plus tersebut, sejatinya Presiden Sukarno

memainkan peran penting tentang hal yang boleh dan tidak boleh dalam pembangunan

pendidikan dan kebudayaan nasional. Satu sisi bermakna positif, bangsa Indonesia jangan

sampai terpengaruh budaya negatif dari bangsa Barat. Sisi lain cenderung lebih banyak

negatifnya karena menekan, mempersempit, dan mengekang kebebasan berekspresi dan

berksenian/berkebudayaan yang menjadi esensi utama dalam dunia pendidikan. Hal tersebut juga

dapat dikategorikan sebagai pengebirian demokrasi melalui pendidikan dan kebudayaan

nasional.

Padahal di era ‘Sukarno Muda’ sebelum kemerdekaan dalam banyak tulisannya, ia selalu

menekankan bahwa nasionalisme Indonesia tidaklah sempit dan bersifat chauvinis. Kolonialisme

dan imperialisme serta kapitalisme yang dilawan bukanlah persoalan ras, bangsa, warna kulit,

bukan tentang ‘siapa dan darimana asalnya’, melainkan tentang/persoalan sistem yang menindas

rakyat. Membenci Barat karena bangsa ataupun warna kulitnya termasuk musiknya, dan

menganggap diri/bangsa Indonesia lebih baik, bukan membenci sistemnya, sejatinya sudah

masuk kategori chauvinis.


70

Maka tidak heran, Sukarno di era Presiden zaman Demokrasi Terpimpin, atau sering

disebut ‘Sukarno Tua’ sangat bersifat Ultranasionalis dan cenderung otoriter bahkan beberapa

menanggap diktator. Hal tersebut menjadi renungan kita bersama khususnya di dunia pendidikan

ke depan. Tidak membenci modernitas dan budaya global, namun harus tetap melestarikan

budaya bangsa sendiri tanpa terjebak pada nasionalisme sempit atau chauvinistik.

4.3 Melawan Hegemoni Sukarno di Perguruan Tinggi: Sebuah Anomali

Ada fenomena menarik dalam dunia pendidikan tinggi terkait hal tersebut (melanjutkan

tentang hegemoni). Kita melihat dunia pendidikan tinggi yang berisi mahasiswa dengan berbagai

organisasi serta aliran dan kelompok politiknya, walaupun menjalani pendidikan di era penuh

indoktrinasi Sukarno, nyatanya tidak semua para peserta didik dari kalangan pendidikan tinggi

(mahasiswa) mendukung dan sejalan dengan Sukarno. Salah satu contoh yang paling umum,

adanya tipe-tipe mahasiswa kritikus Sukarno paling tajam di era Demokrasi Terpimpin, seperti

Soe Hok Gie. Sejak mahasiswa hingga lulus, tokoh pemuda dari Fakultas Sastra UI (Universitas

Indonesia) ini sangat sering mengkritik Sukarno dan berbagai kebijakan pemerintah di zaman itu.

Gie memiliki beberapa karya/tulisan politik-sejarah yang hampir seluruhnya mengkritisi era

Demokrasi Terpimpin diantaranya Catatan Harian Seorang Demonstran, Setelah Tiga Tahun,

dan lain-lain.

Begitu juga pergerakan mahasiswa di era Demokrasi Terpimpin. Walaupun sedikit

melebar dari tema utama penelitian ini, namun tentang hal tersebut perlu untuk sedikit dibahas.

Kebijakan pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin dengan begitu dogmatis dan

indoktriner serta berbagai kebijakan politik Sukarno yang cenderung otoriter dan diperkuat oleh

struktur politik nasional saat itu, nyatanya tidak membuat kehidupan dunia pendidikan tinggi
71

oleh peserta didiknya (mahasiswa), dapat disetir seratus persen sesuai perintah pemerintah.

Kehidupan dan gerakan mahasiswa sebagai elemen yang menikmati pendidikan hingga

perguruan tinggi (bagian dari pendidikan nasional) era Demokrasi Terpimpin, berjalan dengan

sangat dinamis namun keras dan penuh konflik ideologis. Saat itu sangat banyak gerakan

mahasiswa, intra dan ekstra kampus. Di intra (internal/dalam) kampus, diantaranya ada DEMA

(Dewan Mahasiswa) dan SM (Senat Mahasiswa). Sedangkan di ekstra (eksternal/luar) kampus

diantaranya HMI (Himpunan Mahasiswa Islam, GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional

Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), MAPANTJAS

(Mahasiswa Pantjasila), dan lain-lain.

Singkatnya, pertarungan gerakan dan organisasi mahasiswa saat itu mencapai puncaknya

setelah peristiwa G30S (Gerakan 30 September) 1965. Pecahnya konflik politik di tataran elit

nasional berdampak besar dalam dunia pendidikan tinggi. Setelah peristiwa Gestok, beberapa

gerakan mahasiswa mengadakan kongres terkait sikap mereka perihal Gestok. Menteri PTIP

(Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan) saat itu, Sjarif Thajeb menyarankan pertemuan pada

25 Oktober 1965 tanpa melibatkan gerakan mahasiswa sayap kiri. Para tokoh gerakan mahasiswa

yang hadir saat itu sepakat membentuk KAMI (Aliansi Aksi Mahasiswa Indonesia), dengan

program pemusnahan PKI sebagai agenda utamanya.

Menteri PTIP Sjarif Thajeb dengan tegas membantah tuduhan terhadap Presiden

Sukarno. Tapi mereka menolak. Akhirnya terjadi penyesalan Menteri Sjarif Thajeb karena dia

salah satu pelopor pendiri KAMI yang kemudian menyerang Presiden Sukarno. Imbas dari

situasi gerakan dan organisasi mahasiswa saat itu, pada 10 Januari 1966 terjadi aksi demonstrasi

mahasiswa dari seluruh Indonesia di Jakarta secara besar dan menghasilkan tuntutan yang

dikenal dengan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat), yaitu meminta Sukarno membubarkan PKI,
72

melalukan reorganisasi Kabinet Dwikora dan menurunkan harga karena inflasi yang sangat

tinggi.

Kondisi tersebut membuat Presiden Sukarno murka. Waperdam I Subandrio kemudian

membentuk Barisan Soekarno bersama pimpinan GMNI Ali – Suarchman, Germindo, MMI, dan

Dewan Mahasiswa Universitas Bung Karno di Istana Merdeka. Pembentukan Barisan Sukarno

mendapat perlawanan dari KAMI. Ada serangan dari kedua belah pihak di mana-mana.

Keduanya bentrok. Barisan Sukarno berusaha mempertahankan presiden, sementara KAMI

bertekad mencopot Sukarno dan stafnya dari kursi pemerintahan. Bentrokan terjadi di mana-

mana, bahkan jatuh korban. Presiden Sukarno menolak mengabulkan Tritura bahkan ia

melakukan reshuffle kabinet dengan memasukkan unsur-unsur PKI. KAMI sangat marah, aksi

besar mahasiswa kembali terjadi. Aksi tersebut menyebabkan lalu lintas di Jakarta menjadi

sangat padat. Para pengunjuk rasa berhasil memasuki Istana Negara. Pasukan Cakrabirawa

mencegat dan menembak Arief Rahman Hakim.

4.3 Politisasi dan Polarisasi Guru

Berbagai sekolah keguruan dengan sekian dan beragam jenjang memang telah

dilaksanakan di era Demokrasi Terpimpin sebagai bagian dari kebijakan pendidikan nasional.

Sayangnya, menurut Umasih, kenyataan di lapangan khususnya kualitas para guru masih minim

bahkan rendah. Tentang hal ini mengacu pada hasil penelitian dari organisasi PGRI (Persatuan

Guru Republik Indonesia). Kongres PGRI pada 1973 menyatakan bahwa terdapat sekitar 11

persen guru sekolah dasar dianggap tidak berkualitas/ tidak masuk kategori kualifikasi di tahun

1960.
73

Sementara Ricklefs menyebut, bahwa partisipasi sekolah dasar antara tahun 1953 sampai

1960 meningkat. Secara jelasnya, dari sekitar 1,7 juta siswa menjadi 2,5 juta (walaupun sekitar

60 persen dari jumlah tersebut keluar sebelum tamat). Lembaga-lembaga pendidikan dasar,

menengah dan tinggi bermunculan terutama di Pulau Jawa. Angka melek huruf, juga meningkat

dari 7,4 persen pada tahun 1930 menjadi 46,7 persen pada tahun 1960 dari jumlah anak yang

berusia sepuluh tahun ke atas dan mayoritas (76 persen) laki-laki.

Berbicara tentang kondisi guru di era Demokrasi Terpimpin, ada sebuah jurnal menarik

yang ditulis Umasih: Ketika Kebijakan Orde Lama Memasuki Domain Pendidikan: Penyiapan

dan Kinerja Guru Sekolah Dasar di Indonesia. Ia menyebut bahwa di era Demokrasi Terpimpin

terdapat politisasi dan polarisasi antar para guru secara tajam bahkan cenderung berujung

konflik. Sejatinya hal itu mirip dengan situasi di sub-bab sebelum ini, yakni gerakan mahasiswa.

Situasi politik saat itu benar-benar keras dan ideologis, semua elemen profesi hampir selalu

bermuatan politis. Buruh, tani, nelayan, segala jenis profesi bahkan guru semua mengalami

politisasi dan polarisasi yang tajam sejak awal kemerdekaan, membludak di zaman parlementer

(setelah Pemilu 1955 dengan beragam elemen dan kelompok politik), meruncing pecah di era

Demokrasi Terpimpin, hingga pecah setelah G30S 1965.

Khusus tentang politisasi dan polarisasi guru di era ini, menjadi dampak dari hegemoni

dan dominasi yang dilakukan pemerintahan Sukarno. Menurut Umasih, melalui sistem

pendidikan Panca Wardhana, selain syarat-syarat kualifikasi dan kepangkatan, seorang guru

harus revolusioner, ahli dalam bidangnya, manipolis dan patriot paripurna. Syarat

kerevolusioneran guru menjadi paling utama, sedangkan yang lainnya menjadi syarat berikutnya.

Pada hakikatnya, selain tugas pendidikan, guru juga memiliki tugas politik. Harapan pemerintah

saat itu adalah agar para guru tidak buta politik atau takut politik, karena ini akan dengan mudah
74

menjadi umpan politik politik reaksioner yang tidak melayani kepentingan rakyat. Guru harus

memiliki kualitas revolusioner: memiliki kebencian terhadap musuh dan semangat yang kuat

melawan musuh-musuh revolusi (imperialisme, kolonialisme, kolonialisme dan feodalisme).

Guru juga harus memiliki rasa hidup demokratis untuk menyatukan kekuatan nasional melawan

imperialisme dan feodalisme.

Selain yang dilakukan Sukarno/ pemerintah melalui kebijakan pendidikan nasional,

hegemoni dan dominasi juga dilakukan kelompok Kiri seperti dari kalangan PKI (Partai

Komunis Indonesia), Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), Partai Acoma (Angkatan

Comunist Muda), PNI-sayap kiri, dan Partindo (Partai Indonesia). Situasi politik saat itu,

kelompok kiri dianggap sebagai pendukung pemerintah paling utama dan paling mendapat

akomodasi politik yang sangat kuat dari Sukarno. Kelompok ini mendapat perlawanan dari

‘sayap kanan’ yakni kelompok Islam dan Tentara (ABRI/TNI) khususnya Angkatan Darat. Posisi

Sukarno dalam polarisasi politik tersebut adalah menengahi keduanya, walaupun lebih condong

ke kiri.

Situasi politik demikian masuk juga ke kalangan guru, salah satu contohnya ialah

konflik / polarisasi politik di tubuh organisasi guru seperti PGRI. Tepatnya setelah pengurus

PGRI mengikuti Musyawarah Penegasan Pancasila sebagai Dasar Pendidikan Nasional yang

berlangsung di Jakarta pada 17 Juli 1963. Musyawarah tersebut merupakan respon atas “Seminar

Pendidikan Mengabdi Manipol” yang diadakan pada Februari 1963 oleh LPN (Lembaga

Pendidikan Nasional) yang berhaluan atau dianggap berafiliasi dengan kalangan kiri, pendukung

sistem pendidikan Panca Wardhana. LPN berpendapat bahwa politik pendidikan harus memiliki

tiga prinsip yakni Nasional, Kerakyatan dan Ilmiah. Kiprah LPN mengingatkan pada berbagai
75

lembaga lain yang berafiliasi dengan kelompok kiri terutama PKI. Diantaranya SOBSI (buruh),

Gerwani (gerakan perempuan), hingga Lekra (lembaga budaya), dan lain-lain.

Pada 26-28 Juli 1964 di Jakarta, LPN membuat seminar lagi untuk mendukung aksi

boikot film imperialis Amerika Serikat. Bagi LPN, film itu dianggap membahayakan pendidikan

dan pertumbuhan anak didik. Guru juga secara ideologis ikut mendukung aksi boikot tersebut,

dengan tujuan mewujudkan kebudayaan nasional yang meliputi seluruh bidang kehidupan

rohaniah dan jasmaniah bangsa Indonesia. Para guru dari kalangan kiri juga melakukan

serangkaian aksi seperti menuntut perbaikan nasib. Aksi tersebut akhirnya membuahkan hasil

mendapatkan tunjangan sebesar Rp. 500,- per bulan dan baju seragam 1 stel per tahun.

Menurut Poerbakawatja, polarisasi guru terbelah menjadi dua kubu terkait hal tersebut,

ada yang pro dan ada yang kontrak dengan Panca Wardhana. Kubu kontra menanggap karena

sistem pendidikan tersebut menghilangkan esensi sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang

Maha Esa. Kelompok kiri yang lebih dihegemoni dan didominasi oleh PKI, banyak melakukan

inflitrasi termasuk dalam bidang dan gerakan pendidikan. Konsep Panca Cinta dan Panca Tinggi

dimasukkan dalam Panca Wardhana dan mendapat banyak penentangan dari kalangan non/anti-

kiri. Infiltrasi tersebut juga masuk ke dalam kubu PGRI, sebagai PGRI Non-Vaksentral.

Kelompok PGRI jenis ini, menyerukan berbagai pemogokan, demonstrasi dan konfrontasi

terhadap pihak-pihak yang ‘kontra-revolusi’. Anti pemogokan berarti anti-buruh, anti-buruh

berarti anti-komunis, dan anti-komunis berarti anti Nasakom.

Ini menjadi propaganda populer yang digunakan oleh guru-guru pro-komunis untuk

mengintimidasi guru-guru lain yang tergabung dalam Vaksentral PGRI. Menurut Suradi, sangat

penting bagi guru dan masyarakat untuk menarik garis tegas antara kawan dan lawan. Persaingan

antar individu maupun antar kelompok dalam masyarakat juga berlebihan. Mereka yang tidak
76

setuju dengan pandangan pemerintah rentan terhadap tuduhan kontra-revolusi, anti-Manipol,

agen subversif asing dan lain-lain julukan lagi mematikan lainnya.

Pada intinya, semua hal tersebut terjadi karena situasi politik Indonesia saat itu

‘memaksa’ seluruh elemen masyarakat dan profesi termasuk guru untuk mendukung Manipol-

Usdek. PKI pun dianggap memiliki peran besar, mengintervensi pembinaan guru-guru, terutama

guru sekolah dasar. Menurut Umasih, kinerja guru lebih diarahkan pada melakukan indoktrinasi

kepada peserta didik bagaimana praksis pendidikan manipolis dan Pancawardhanais daripada

pendidikan berpikir (empiris, rasional, ilmiah, positivistik).

4.5 Gagalnya Pembangunan Pendidikan Nasional Melalui PNSB

Pada bab sebelumnya penulis telah menjabarkan berbagai rancangan dan implementasi

kebijakan pendidikan nasional melalui PNSB (Pembangunan Nasional Semesta Berencana).

Menarik jika kita membahas atau mendalami tentang PNSB sebagai rujukan bagi pembangunan

Indonesia saat ini. PNSB yang telah diimplementasi melalui TAP MPRS 1960 tidak berjalan.

Hal ini sebagai imbas dari Peristiwa G30S 1965. PNSB yang digagas sejak tahun 1959 mewakili

isi pemikiran Presiden Sukarno untuk menghantam liberalisme sepanjang 1950-1959 yang

menerapkan Demokrasi Parlementer / Liberal.

Setelah menerapkan Demokrasi Terpimpin pada 1959, Presiden Sukarno memberangus

liberalisme dan menghimpun kekuatan dari lembaga lainnya terutama legislatif dengan

memperkuat MPRS dan DPR-GR menjadi pendukung utamanya. Wujud dukungan tersebut

dibuktikan dengan menerapkan TAP MPRS Tahun 1960 dan pendidikan nasional menjadi salah

satu bidang utama yang diterapkan sesuai arahan, ajaran, dan instruksi Presiden Sukarno. Wujud

nyata pembangunan dari TAP MPRS tersebut adalah melalui PNSB, yang bercita-cita untuk

menciptakan masyarakat sosialis Indonesia, anti-imperialis dan anti-kolonialisme baru.


77

PNSB juga menjadi suatu perencanaan yang komprehensif, dimana segala/semua bidang

direncanakan (sesuai dengan namanya: pembangunan semesta/segalanya). PNSB membangun

fisiknya dengan mengedepankan inovasi dalam berpikir, berbuat, gaya hidup, dan gaya hidup

sesuai dengan semangat progresif dan tuntutan revolusi nasional. Hal ini juga berlaku pada

penerapan PNSB di lapangan dan dalam sistem pendidikan nasional.

Namun sayang, hingga saat ini penulis belum menemukan dokumen penting yang

menyatakan keberhasilan atau sebatas kelanjutan dari proyek ini bagaimana dan sudah sejauh

mana. Besar kemungkinan hasil dari PNSB menghilang (atau dihilangkan) terkena dampak dari

politik desukarnoisasi era Orde Baru terutama setelah Peristiwa G30S 1965 dan runtuhnya

kekuasaan Sukarno pada 1966-1967.

Padahal jika melihat total anggarannya, sangat banyak sekali dan menarik untuk kita

bayangkan andai seluruh pembangunan tersebut berakhir sebagaimana mestinya di penghujung

era PNSB Tahap I pada 1969. Besar kemungkinan akan dilanjutkan pada tahapan-tahapan

berikutnya PNSB Tahap II dan seterusnya. PNSB yang telah dibangun Sukarno kemudian

diruntuhkan Suharto melalui rezim Orde Barunya dan membuat GBHN serta pola pembangunan

baru yakni REPELITA (Rancangan Pembangunan Lima Tahun). Terkait kebijakan pendidikan

nasional di era Suharto melalui REPELITA, tidak dibahas dalam tulisan/kajian ini dan bisa kita

lihat pada penelitian lebih lanjut atau dari akademisi yang telah menuliskannya.
78

BAB V

KESIMPULAN

Pendidikan menjadi salah satu bidang yang terdampak secara tidak langsung dalam

kekacauan kondisi politik yang terjadi di awal masa kemerdekaan. Tuntutan yang cepat serta

belum adanya arah kebijakan yang tepat dalam pendidikan selama masa revolusi hingga

Demokrasi Liberal, menjadikan adanya sentralisasi kekuasaan di bidang pendidikan nasional

akhirnya dilakukan secara “paksa” oleh Presiden Sukarno. Hal tersebut mengacu pada

Demokrasi Terpimpin yang mulai diberlakukan secara menyeluruh, termasuk sistem pendidikan

nasional.

Seiring dengan dinamika politik yang terjadi pada masa itu, maka arah kebijakan

pendidikan nasional pun berubah menjadi bentuk doktrin baru dalam rupa mata pelajaran.

Bahkan hal ini juga telah disematkan dalam pokok ajaran pendidikan dasar lewat peraturan yang

dibuat oleh Prijono sebagai Mendikdasbud (Menteri PDK) dengan program ‘Panca Wardhana’

yang digagasnya, menjadi peletak standarisasi pelaksanaan tugas sekolah yang bernama Majelis

Nasional Pendidikan.

Bentuk indoktrinasi yang tercipta akibat pandangan ini sendiri akhirnya melahirkan suatu

konsep pembelajaran baru bernama “Kewargaan Negara” yang terinspirasi dari Amerika.

Konsep pembelajarannya sendiri beragam berdasarkan pada tingkatan pendidikan. Mulai dari

yang paling dasar sampai tingkat pendidikan tinggi. Mulai dari pelajaran sejarah, budaya sampai

pada konsep berkebangsaan dan bernegara.

Meskipun secara konsep sudah dianggap mampu menjadi standar pendidikan secara

menyeluruh, namun pada kenyataannya baru dapat diterapkan di tahun 1964. Keluarnya
79

Keputusan Presiden RI No. 224 Tahun 1964 menandai dimulainya suatu era pendidikan baru

yang berbasis pada dasar konsep besar Presiden Sukarno di awal masa Demokrasi Terpimpin.

Tanpa mengesampingkan pokok ajaran agama, namun juga tidak diberlakukan secara “paksa”

dan diberikan toleransi dengan dasar pertimbangan wali murid atau orang tua.

Hal tersebut juga menjadi terobosan baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Dimana

ketika itu fokus utamanya adalah membentuk banyak anak bangsa yang berprestasi sebagai

tenaga ahli baik di kalangan akademisi, teknisi atau pun tenaga penunjang lainnya. Tak

ketinggalan juga nuansa budaya Indonesia pun turut serta diupayakan untuk disebarluaskan

secara masif. Hal ini guna memupuk rasa nasionalisme yang kuat dan mengakar sebagai jati diri

dan identitas bangsa.

Secara bertahap namun pasti, sistem pendidikan nasional yang baru terbentuk itu pun

mengalami beberapa perubahan dengan harapan agar semakin baik dan terciptanya masyarakat

sosialis. Presiden Sukarno sendiri mengubahnya menjadi konsep “Sistim Pendidikan Nasional

Pantjasila” demi mencapai apa yang diinginkannya. Landasan utama yang kemudian digunakan

adalah mengacu pada TAP MPRS RI No. VI/MPRS/1965. Lahirnya keputusan ini pun dengan

diiringi langkah politik Presiden Sukarno sendiri yang pada saat itu sedang gencar-gencarnya

menerapkan Manipol dalam setiap sendi bernegara.

Penekanan yang lebih kuat ada pada pasal 4 Politik Pendidikan Nasional. Menentang

segala bentuk penindasan, dan juga penghisapan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa.

Cerminan dari penggabungan arah pandang politik Presiden Sukarno pada masa itu dengan

rencana sistem pendidikan. Dapat dikatakan dalam hal ini pun secara tak langsung bukanlah

pandangan dalam berbangsa dan bernegara melainkan bentuk lain dari monopoli seorang

Presiden Sukarno sebagai seorang pemikir revolusioner dan seorang pemimpin negara. Namun di
80

sisi lain, Presiden Sukarno memberikan kebebasan pada arah pendidikan politik yang meskipun

disebutkan sebelumnya, Presiden Sukarno menentang feodalisme, kapitalisme, imperialisme dan

kolonialisme-neo kolonialisme. Dapat dikatakan juga bahwa meskipun dalam arah pendidikan

politik diberikan ruang untuk membebaskan segala bentuk pandangan terkait politik, namun

tetap saja akan ada campur tangan langsung maupun tidak langsung dari pemerintah (Presiden

sebagai pemegang tertinggi kekuasaan). Dengan demikian pula Presiden Sukarno dapat dengan

mudah untuk menyingkirkan yang berseberangan dengan cara pandangnya secara politik.

Ada beberapa hal yang patut untuk dipertimbangkan karena sejatinya dalam setiap

keputusan yang bersifat umum akan selalu melahirkan dua pihak, pro dan kontra. Secara tidak

langsung pun Sukarno membuat sistem pendidikan berdasarkan pada cara pikirnya, dan cara

pandangnya sendiri dibalut dengan hegemoni kekuasaan yang sedang berada di tangannya.

Terlihat dengan berbagai macam keputusan di bidang pendidikan selalu beriringan dengan

keputusan politik. Menandakan bahwa antara kebijakan politik dan pendidikan adalah sejalan.

Masih kentalnya nuansa revolusi menjadi salah satu bagian tak terpisahkan dari arah kebijakan

pendidikan yang terarah dan lurus sesuai dengan tuntutan revolusi itu sendiri. Sebuah hegemoni

yang dibalut dengan kekuasaan akan melahirkan dominasi yang sangat kuat.

Penokohan Sukarno di masa itu merupakan salah satu bentuk suksesnya hegemoni dan

dominasi yang dibangun olehnya lewat pendidikan. Tak hanya sampai di situ saja, bahkan

Sukarno kemudian menyingkirkan buku-buku bernuansa barat dan menggantikannya dengan

buku-buku marxisme. Secara tidak langsung hal itu pun menjadi bentuk indoktrinasi yang

dilakukan agar orang-orang di masa itu sejalan dengan pola pikir revolusioner yang masih sangat

kental. Bahkan Sukarno sendiri juga menghindari penetrasi budaya barat lewat musik, cerita

novel bergenre romance.


81

Meskipun berdasarkan pada data yang dihimpun penulis sendiri terdapat dua sudut

pandang yang sama kuatnya. Antara bentuk perlindungan terhadap budaya sendiri atau malah

sebaliknya, bentuk dari pengekangan terhadap kebebasan. Dunia pendidikan yang sudah

terpolitisasi pada akhirnya juga akan memberikan dampak yang kuat. Meskipun dengan adanya

sistem pendidikan yang berlandaskan pada peraturan perundangan yang ada, tetap saja akan

melahirkan pandangan yang tidak selalu sama. Sukarno sendiri mungkin menyadari hal itu,

namun dengan dominasinya secara politik, pendidikan menjadi sarana untuk semakin memupuk

jiwa jiwa muda yang sejalan dengan jiwa revolusioner.

Pada akhirnya, hasil dari sistem pendidikan yang diterapkan itu sendiri pun melahirkan

banyak tokoh muda yang tentu saja tidak semua berpihak pada Sukarno, melainkan juga menjadi

musuh bagi pemerintahan Presiden Sukarno pada saat itu. Tidak sedikit kritik pedas yang

menusuk ke telinganya. Bahkan demonstrasi pun menjadi jalan untuk menunjukkan sifat kontra

pemerintah di masa itu. Gejolak anak muda yang telah menempuh pendidikan hingga jenjang

yang tinggi memunculkan banyak pandangan baru terkait arah kebijakan politik pendidikan

nasional pemerintah.

Banyaknya catatan kelam tentang perseteruan antara pemerintah di masa Sukarno dengan

elemen mahasiswa yang menjadi intelektual muda masa itu cukup sengit. Terlepas apapun itu

yang menjadi pemicunya, arah haluan politik pendidikan yang sempat digagas Presiden Sukarno

pun menjadi semakin dipertanyakan. Berperan sebagai penengah antara haluan kiri dan haluan

kanan, namun jelas saja Presiden Sukarno lebih condong pada haluan kiri. Kedekatannya dengan

PKI pun menjadi salah satu penyebab munculnya gelombang protes besar-besaran yang terjadi di

masa itu.
82

Sementara itu, dunia pendidikan sendiri merupakan laboratorium alami bagi pengajar

untuk menanamkan pendidikan sedari dini. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa bentuk

dari indoktrinasi yang dilakukan pada sistem pendidikan nasional Presiden Sukarno dimulai dari

skala pendidikan terkecil. Setiap pengajar tak lepas dari hal-hal yang mendasari haluan politik

dari Presiden Sukarno itu sendiri. Tuntutan untuk bisa berpolitik bagi seorang pengajar

merupakan suatu tuntutan yang berat. Pada umumnya seorang pengajar akan dihargai karena

kecakapannya dalam memberikan ilmu yang dimiliki pada anak didiknya.

Namun dengan arah politik pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin, para

pengajar dituntut untuk mampu memberikan suri tauladan terkait sikap berbangsa dan bernegara

dalam pandangan revolusi yang telah ditetapkan dalam sistem pendidikan Indonesia. Sehingga

salah satu hal wajib yang harus dimiliki adalah membenci musuh alami dari revolusi seperti

feodalisme, kapitalisme, kolonialisme, neo kolonialisme dan imperialisme. Sama seperti dengan

apa yang terjadi dengan hasil pendidikan para mahasiswa di masa itu, para pengajar pun terbelah

menjadi dua haluan.

Secara menyeluruh, sistem pendidikan pada masa Demokrasi Terpimpin secara

konseptual memanglah menarik untuk disikapi. Namun pada akhirnya, antara politik dan

pendidikan haruslah ada jembatan penghubung yang kuat dengan mengedepankan kepentingan

bersama, bukan hanya salah satu saja. Karena pemicu terbesar dari kegagalan sistem pendidikan

yang telah digagas Presiden Sukarno sendiri adalah sisi politik yang begitu kuat dan berakhir

dengan hegemoni dan dominasi yang pada akhirnya menjadi bumerang bagi cita-cita luhur yang

telah terbangun dengan baik.


83

LAMPIRAN

(Gambar 1: Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan

Nasional Pancasila)
84

(Gambar 2: Bab I, Ketentuan Umum, Mukadimah Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965

tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila).


85

(Gambar 3: Pasal 1 sampai 3, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok

Sistem Pendidikan Nasional Pancasila).


86

(Gambar 4: Pasal 4 sampai 6, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok

Sistem Pendidikan Nasional Pancasila).


87

(Gambar 5: Bab II, Pasal 5-9, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok

Sistem Pendidikan Nasional Pancasila).


88

(Gambar 6: Pasal 10-12 dan Bagian II Pasal 13, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965

tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila).


89

(Gambar 7: Bagian III Pasal 14-15, dan Bab III Pasal 16-17, Penetapan Presiden RI No. 19

Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila).


90

(Gambar 8: Bab V Pasal 20 dan Bab VI Pasal 21, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965

tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila).


91

(Gambar 9: Bab VII, Peraturan Penutup, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang

Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila).


92

(Gambar 10: PERPRES (Peraturan Presiden) RI No. 14 Tahun 1965).

Anda mungkin juga menyukai