Anda di halaman 1dari 4

Tujuan Pendidikan dari zaman kolonial Belanda hingga pasca Reformasi

An article by unyu No Comments

Langsung saja pada titik permasalahan atau bisa dikatakan to the point aja deh,hehehehe Seluruh tulisan ini gw sadur dari bukunya Syaifudin yang berjudul TAN MALAKA, MERAJUT MASYARAKAT DAN PENDIDIKAN INDONESIA YANG SOSIALISTIS. Pada Zaman Kolonial Belanda Tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda adalah hidden colonialism. Dua tujuan besar yang terkandung dari praktik pendidikan kolonial Belanda tersebut. Pertama, penciptaan tenaga kerja terampil yang nantinya dapat dipekerjakan oleh pemerintah kolonial Belanda dalam mengeksploitasi sumberdaya alam Indonesia dengan upah yang rendah atau tujuan pragmatis. Kedua, sosialisasi kebudayaan Barat pada penduduk Indonesia atau tujuan internalisasi westernisasi. Pada Zaman Penjajahan Jepang Jepang menerapkan asas praktik pendidikan etatisme (paham pengabdian pada negara) dan kultus hormat pada pimpinan dalam hal ini Kaisar Jepang. Pendidikan kenegaraan dimasukkan dalam pelajaran sekolah di Indonesia, dengan menanamkan perasaan hormat kepafa pemerintah dan Kaisar Jepang. Guna membantu peperangan Jepang (Perang Asia Timur Raya), maka pendidikan jasmani dan kemiliteran lebih diprioritaskan daripafa pendidikan kognitif atau dikenal dengan istilah pendidikan kewiraan. Pada Zaman Era Orde Lama atau Presiden Soekarno Presiden Soekarno, praktik pendidikan diarahkan pada penanaman jiwa nasionalisme dan membangun karakter bangsa atau di kenal dengan istilah nation and character building. Presiden Soekarno mengusung mengusung jargon politis yang dikenal dengan trisakti revolusu Indonesia, yakni (1) berdaulat di bidang politik, (2) berdikari dibidang ekonomi, dan (3) berkepribadian nasional dibidang kebudayaan.

PAada tanggal 29 Desember 1949 Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia, dan Republik Indonesia menjadi negara federasi yang dikenal dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) yang memiliki beberapa negara bagian dan wilayah otonom. RIS pada tanggal 17 Agustus 1950 dibubarkan. RIS kemudian berganti menjadi Republik Indonesia dengan landasan konstitusi UUDS RI 1950 dengan menganut sistem kabinet parlementer atau demokrasi parlementer. Pada tanggal 5 April 1950 secara formal pemerintah mengeluarkan UU nomor 4 tahun 1950 mengenai dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Salah satunya pada bab II pasal 3 disebutkan, tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah membentuk manusia susila yang cakap terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Pada tahun 1959 1965 dikenal sebagai masa demokrasi terpimpin dan dikenal juga sebagai era Orde Lama. Perubahan UU pendidikan yang ada menjadi Penetapan Presiden RI nomor 145 tahun 1965 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Direvisi kembali menjadi Penetapan Presiden RI nomor 19 tahun 1965 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pancasila yang disahkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 25 Agustus 1965. Intinya tujuan pendidikan di masa kepemimpinan Presiden Soekarno mengarah pada penanaman jiwa nation and character building. Hal ini dapat dilihat pada salah satu isi Penetapan Presiden RI nomor 19 tahun 1965 yang berbunyi: Pendidikan Nasional ialah Pendidikan Bangsa (Nation and Character Building) yang membina suatu bangsa yang mampu atas tanggung jawab sendiri menyelesaikan revolusinya, tahap demi tahap, dengan pengertian bahwa agama adalah unsur mutlak dalam rangka Nation and Character Building sesuai dengan Ketetapan MPRS tahun 1960. Pada Zaman Era Orda Baru Pada tahun 1965 era rezim Presiden Soekarno (Orde Lama) pun tumbang dan berganti rezim Soeharto (Orde Baru). Dengan adanya transisi kekuasaan dari Presiden Soekarno (Orde Lama) ke Soeharto (Orde Baru), kebijakan pendidikan melalui Penetapan Presiden RI Nomor 19 tahun 1965 pun diganti menjadi ketetapan MPRS RI nomor XXVII/MPRS/1966. Sampai pada akhirnya tanggal 12 Maret 1967 Soeharto yang juga andil dalam mempropagandakan turunnya rezim Soekarno, dilantik secara resmi menjadi Presiden RI oleh MPRS. Sistem demokrasi parlementer pun diganti menjadi demokrasi Pancasila. Di bawah pimpinan Presiden Soeharto, asas pendidikan kembali diintegrasikan dalam proyek politiknya yang dikenal dengan trilogi pembangunan. Isi dari trilogi pembangunan tersebut adalah stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan. Masa rezim Presiden Soekarno politik diyakini sebagai instrument realisasi konstitusi, lain halnya dengan rezim Soeharto, ekonomi diyakini sebagai instrumen yang efektif dalam bentuk fisik maupun non fisik. Presiden Soeharto kemudian mengirimkan beberapa wakilnya untuk melakukan presentasi blue print ke jenewa Swiss pada November 1967 selama tiga hari. Blu print ini menjanjikan bagi siapa saja yang menjadi kreditor maupun investor akan mendapat hak pengeksplorasi kekayaan alam Indonesia dan dengan harga murah. Perusahaan Freeport Amerika yang di masa Soekarno tidak mendapat izin akhirnya mendapat hak eksplorasi SDA tembaga emas di Timika Papua. Perusahaan Alcoa mendapat eksplorasi bauksit, kelompok konsorsium Eropa mendapat eksplorasi nikel di Papua Barat. Presiden Amerika Serikat Richard Milhous Nixon (1969-1974) mengatakan bahwa Indonesia adalah upeti terbesar dari Asia. Dimata para kapitalis Barat, Soeharto merupakan seorang yang berjasa dalam menyingkirkan Soekarno sebagai pimpinan nasionalis, yang dimasa kepemimpinannya menolak kooperasi ekonomi Barat melalui agen-agen Bank Dunia dan IMF. Rezim Presiden Soeharto pun disebut

sebagai era tumbuhnya embrio globalisasi. Presiden Soeharto pun menjalankan strategi politk pendidikan dengan menginternalisasikan ideologi Pancasila ke dalam kurikulum lembaga pendidikan-hal ini sesuai dengan demokrasi Pancasila yang diterapkannya. Tap MPRS RI nomor XXVII/MPRS/1966 pun diganti dan ditetapkan ke dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara menurut Tap MPR nomor IV/MPR/1978. Dimasa rezim Presiden Soeharto, asas pendidikan memiliki dua implikasi. Pertama, sebagai instrumen membangun sumber daya manusia atau pembangunan nasional. Kedua, sebagai alat politik Seoharto dalam menjaga kekuasaannya. Presiden Soeharto untuk kali pertamanya pada 15 Januari 1974 (Gerakan Malari), Presiden Soeharto didemo oleh para mahasiswa karena dianggap menjerumuskan Indonesia kedalam jeratan untang yang besar. Untuk menyiasati dampak yang lebih besar bagi satutus quo Presiden Soeharto, pasca-demonstrasi Malari, gerakan mahasiswa yang radikal dan subversif perlahan diredam. Wujud represif pemerintah terhadap gerakan mahasiswa ditandai dengan dikeluarkannya SK.No.028/1974 tentang pengawasan dan pengontrolan kegiatan mahasiswa oleh pimpinan perguruan tinggi. Selanjutnya untuk memperkuat politik represif pemerintah, Presiden Soeharto melalu Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef pada 19 April 1978 mengeluarkan SK.No.0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan SK.No.037/U/1979 tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Penerapan SK. NKKBKK ini bertujuan mengembalikan fungsi perguruan tinggi yang berorientasi pada kegiatan akademis (perkuliahan) dan tidak terjebak politik praktis. Presiden Soeharto pun membuat ketetapan MPR RI nomor II/MPR/1978 mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) sebagai politik pendidikannya. Segala bentuk sistem dan peraturan pendidikan Indonesia dibakukan ke dalam UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Walaupun berubah, tetap saja dalam UU satunya dalam Bab IX tentang kurikulum pasal 39 ayat 2 disebutkan, isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat : a. pendidikan Pancasila; b. pendidikan agama; c. pendidikan kewarganegaraan. Undang-undang nomor 2 tahun 1989 terus berlaku sampai akhir rezim Presiden Soekarno tumbang pada 1998. Masa Reformasi Undang-undang nomor 2 tahun 1989 masih berlaku sampai masa kepimimpinan Presiden B.J. Habibie (1998-1999) hingga presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001). Pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri (2001-2004), pada 8 Juli 2003 Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 diganti menjadi Undang-Undang nomor 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pergantian undang-undang ini juga didasarkan pada empat kali amandemen UUD RI 1945, antara lain Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 UUD RI 1945. Dimasa reformasi asas pendidikan diarahkan pada pembentukan SDM yang berdaya saing global. Salah satu praktik pendidikan yang sangat terlihat adalah pemberian dan peningkatan mata pelajaran teknologi (komputer) dan bahasa asing di setiap jenjang pendidikan formal, bahkan nonformal serta informal pun berlaku mata pelajaran ini. Visi makro pendidikan nasional yang ingin mewujudkan manusia berwawasan dan berkompetensi global turut didukung dengan berlakunya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam isi KTSP disebutkan bahwa salah satu acuan operasional KTSP adalah dinamikan perkembangan global, yang mengembangkan peserta didik mampu bersaing secara

global dan dapat hidup berdampingan dengan bangsa lain. Pada tanggal 1 Januari 1995 bersamaan dengan peresmian pembentukan WTO secara resmi Indonesia terdaftar anggota WTO dari 81 negara dunia pada saat itu. Sejak itu otomatis Indonesia mulai masuk ke dalam sistem perdagangan bebas dunia. Berarti juga pintu globalisasi turut terbuka lebar. Konsekuensi logis dari globalisasi ini adalah masuknya berbagai produk ekonomi barang maupun jasa, tenaga kerjam dan kebudayaan asing. Dampak nyata dari globalisasi adalah persaingan kapitalisme semakin menggila. Tidak hanya usaha-usaha barangjasa dalam sektor ekonomi, tetapi juga sektor sosial, politik. Bahkan pendidikan yang merupakan sektor vital pembentukan manusia Indonesia turut menjadi sasaran komodifikasi para kapitalis. Stratifikasi pendidikan kontemporer mengantarkan kita kembali pada masa kolonial Belanda. Segala praktik diskriminasi, orientasi pendidikan, dan pembelajaran ditujukan semata-mata untuk kepentingan kelompok dominan. Pembentukan tiap-tiap manusia dalam lembaga sekolah pun cenderung mengarah pada indivualisasi, karena memang mereka lebih diarahkan pada pembentukan kecerdasan kognitif daripada penanaman karakter sosial.

Anda mungkin juga menyukai