TESIS
UNIVERSITAS INDONESIA
PENDAHULUAN
dunia, termasuk Indonesia. Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan merupakan salah satu
usaha pokok untuk memberikan nilai-nilai kebatinan yang ada dalam hidup rakyat yang
berkebudayaan kepada tiap-tiap turunan baru (penyerahan kultur), tidak hanya berupa
pemeliharaan, namun juga untuk memajukan dan mengembangkan kebudayaan, menuju ke arah
Eropa, perjalanan pendidikan telah berlangsung sejak zaman Yunani dan Romawi hingga
modern setelah era Renaisans. Di Asia, pendidikan telah diterapkan sejak masa Mesir, India, dan
Tiongkok kuno2, hingga era modern setelah terpengaruh kolonialisme Eropa. Begitu juga
Indonesia, sebagai bangsa Asia yang mendapat pengaruh kolonialisme, pendidikan modern mulai
Hal ini menandakan bahwa unsur politik adalah unsur terkuat dalam memengaruhi atau
membuat kebijakan pendidikan. Secara umum, korelasi antara kekuasaan sebagai pemegang
politik dan pemerintahan, dengan kebijakan pendidikan tidak dapat dipisahkan. Dapat juga
dikatakan bahwa penerapan pendidikan di suatu masyarakat, daerah, hingga negara tidak dapat
dipisahkan dari kebijakan pemerintah dan situasi serta suasana politik yang berlaku di era
1 Era Orde Lama dalam penelitian ini ditulis dengan terminologi Demokrasi Terpimpin.
2 Kamadjaja. Pendidikan Nasional Pantjasila: Perdjuangan Pendidikan Nasional Indonesia dan Hasil-Hasilnja,
(Yogyakarta: UP. Indonesia, 1966), hlm. 72-76.
3
tersebut. Menurut Asep Suryana, kebijakan pendidikan merupakan upaya mengatur pendidikan,
Begitu juga di era kerajaan/kesultanan Islam, walaupun di era tersebut banyak terjadi akulturasi
kebudayaan antara Islam dan Hindu-Buddha ataupun budaya setempat. Pendidikan yang
diterapkan di era Islam yang paling terkenal hingga saat ini dikenal sebagai pendidikan
tradisional, misalnya Pesantren, Surau, Langgar, dan lain-lain. Hal yang sama terjadi di era
kristenisasi4, menjadi ‘modern-sekuler’ akibat kebijakan Politik Etis, lahir dari dari kaum
sosialis-liberalis yang prihatin terhadap kondisi sosial ekonomi kaum bumiputra (inlander)5.
berikutnya. Setelah Belanda menyerah pada Jepang, militer Jepang menduduki wilayah Hindia-
(termasuk di bidang pendidikan) penghapusan segala hal yang berbau Belanda dan Barat,
menerapkan Nipponisasi, dalam kebijakan politik dan pendidikannya merangkul Islam untuk
3 Agus Suwignyo, Unifying Diversities: Early Institutional Formation of the Indonesian National Education
System, C. December 1949-August 1950, (Jurnal Humaniora Vol. 24 no. 1 Februari 2012: 3-17, FIB UGM:
Yogyakarta), hlm. 15.
4 Menteri Pengadjaran RI (Ki Hadjar Dewantara), ‘INSTRUKSI MENTERI PENGADJARAN: Kepada Sekalian
Pemimpin Pengadjaran, Kepala Sekolah dan Guru-Guru disegenap Daerah diseluruh Djawa’, 29 September 1945.
5 Kamadjaja, Log.Cit., hlm. 82-83.
4
kebijakan. Dari segi ekonomi, terdapat kebijakan nasionalisasi perusahaan asing. Dari sisi sudut
Indonesiasentris. Dari bidang pendidikan, disesuaikan dengan kepentingan negara serta berbagai
kelompok politik yang berkuasa, dengan beberapa asas dan ideologi. Setelah era revolusi yang
berpusat mengusir dan menghapus segala sesuatu yang berbau kolonial dan fasisme Jepang,
situasi politik berubah mengikuti zaman. Perpolitikan dunia sejak akhir 1940-an hingga 1960-an,
mulai masuk dan menguatnya era Perang Dingin. Hal tersebut juga memengaruhi situasi politik
Selanjutnya, penulis merasa penting untuk menjelaskan fokus pendidikan yang dimaksud
dalam penelitian ini. Karena secara umum, pendidikan terbagi menjadi pendidikan nasional
(sekuler) dan pendidikan agama. Untuk itu perlu ditegaskan, fokus penelitian ini adalah
pendidikan agama sama sekali, karena jika berbicara tentang pendidikan agama secara khusus,
hal tersebut membutuhkan sumber penelitian dari lembaga-lembaga serta Kementerian Agama.
Tentang pendidikan agama tetap akan disinggung dalam kaitannya sebagai pendidikan
nasional. Karena Indonesia ini unik, satu sisi tidak bisa dibilang negara agama (teokrasi), namun
umat beragama. Sehingga urusan keagamaan dan pendidikan agama dalam beberapa hal, tetap
Berbicara tentang pendidikan nasional suatu negara, pasti berdasar pada nasionalisme
yang dianut oleh negara dan bangsa tersebut. Perkembangan nasionalisme dan pembentukan
negara-bangsa (nation-state) di tiap negara-bangsa dunia memiliki ciri khas/ karakter masing-
masing, Indonesia pun demikian. Masyarakat Indonesia telah memiliki sejarah panjang sebagai
masyarakat yang dikuasai, dan berkuasa atas nama agama. Agama dan kebudayaan telah melebur
menjadi satu, termasuk ketika nantinya nasionalisme berkembang, tidak dapat melepaskan diri
dari agama. Berbeda dengan perkembangan nasionalisme Eropa yang beriringan dengan
sekularisme.
Perkembangan nasionalisme Indonesia pun digerakkan oleh tiga kekuatan ideologi besar:
nasionalisme, agama (khususnya Islam), dan marxisme. Ketika Indonesia merdeka, penerapan
kebijakan pendidikan nyatanya tidak bisa menggabungkan semuanya. Hal itu dapat dibuktikan
dengan pemisahan naungan pendidikan melalui dua kementerian: Kementerian Pendidikan serta
Kementerian Agama. Pendidikan yang berbasis nasional dan sifatnya non-agama (sekuler),
Kementerian Agama.
Selanjutnya, penulis meyakini bahwa dalam meneliti kebijakan pendidikan harus melihat
akar historis situasi politiknya. Di era Demokrasi Terpimpin yang menjadi fokus periode
penelitian ini, semua aspek kehidupan masyarakat wajib mengikuti konsep dan haluan negara
berdasar pada indoktrinasi serta ajaran langsung Sukarno, termasuk di bidang pendidikan. Tesis
ini secara lebih detail membahas hal tersebut (kebijakan pendidikan di era Demokrasi
Terpimpin). Sebenarnya, sudah banyak tulisan, karya ilmiah, jurnal, skripsi, tesis, disertasi,
bahkan reportase dalam surat kabar/media massa tentang kebijakan pendidikan. Terkait sejarah
pendidikan Indonesia, juga telah banyak ditulis. Namun kajian pendidikan nasional di era
6
Demokrasi Terpimpin apalagi mengacu dengan sumber primer dan berbagai UU (Undang-
undang) dan landasan hukum resmi lainnya di zaman Demokrasi Terpimpin, masih belum
banyak diteliti.
Menurut penulis, berbagai kajian dan tulisan tentang era Demokrasi Terpimpin terlalu
banyak yang membahas mengenai sisi kebijakan politiknya saja. Seperti Politik Mercusuar,
dan GANEFO (Games of New Emerging Forces), perebutan Irian Barat, keluarnya Indonesia
dari PBB, politik ‘Ganyang Malaysia’, simbolisasi politik dengan pembangunan (Monumen
Nasional, Hotel Indonesia, dan lain-lain), ketegangan segitiga kekuatan politik: Tentara/ TNI AD
(Angkatan Darat), Sukarno, dan PKI (Partai Komunis Indonesia), hingga pecahnya G30S
(Gerakan 30 September 1965). Sementara penelitian yang fokus di bidang pendidikan era
Demokrasi Terpimpin, belum banyak dibahas. Hal tersebut menjadi permasalahan yang ada pada
penelitian ini.
sebagai berikut:
Parlementer?
Terpimpin?
Penelitian ini menggunakan cakupan spasial dan temporal. Secara spasial, karena
membahas tentang kebijakan pendidikan nasional, maka berlaku atau mencakup se-Indonesia.
Fokus penelitian ini yakni kebijakan pendidikan nasional yang diterapkan Sukarno, dan mengacu
pada pandangan Sukarno tentang pendidikan, sebagai ‘Kepala Sekolah (Kepsek)’ bagi seluruh
Secara cakupan temporal, penelitian ini berpusat di era Demokrasi Terpimpin (1959-
1966). Dimulai sejak 1959, karena pada periode ini, dimulainya Demokrasi Terpimpin Sukarno
melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Walaupun dimulai sejak 1959, namun pada bab-bab awal
penelitian ini sedikit menjabarkan terlebih dahulu sejarah pendidikan Indonesia era awal
kemerdekaan / masa revolusi. Akhir periode penelitian ini berujung pada 1966 karena di era
tersebut Demokrasi Terpimpin dan pengaruh Sukarno kian terkikis sebagai dampak dari
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab serangkaian permasalahan yang ada dalam
dampak dari penerapan kebijakan sistem pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin
Hasil penelitian ini nantinya, diharapkan mampu menjadi salah satu rujukan bagi
DPR RI dalam membuat kebijakan pendidikan nasional yang sesuai amanat UUD 1945. Manfaat
lainnya di luar pemerintahan, adalah menambah kajian pendidikan dan sejarah pendidikan
nasional, serta sangat bermanfaat untuk para lembaga riset dan/atau bahkan
Tinjauan pustaka adalah peninjauan terhadap penulisan terdahulu yang sejenis dengan
penelitian ini. Adapun beberapa karya tulis yang sejenis dan dijadikan sumber, namun memiliki
perbedaan dengan kajian ini, diantaranya yaitu buku Kamadjaja, Pendidikan Nasional
Jogja, 1966. Buku tersebut membedah sejarah pendidikan Indonesia sejak zaman kerajaan
Hindu-Buddha hingga Demokrasi Terpimpin, ditulis secara ideologis dan politis berdasar sesuai
situasi politik serta kebijakan pemerintah di era tersebut (lebih bersifat indoktrinasi). Hal yang
kurang dari buku ini adalah awal mula periode tulisan terlalu jauh (sejak zaman kerajaan Hindu-
Buddha) dan kurangnya penjelasan lebih rinci tentang dampak kebijakan pendidikan di era
Demokrasi Terpimpin.
Berikutnya, jurnal yang ditulis Sunarso, yakni Pendidikan Nasional Indonesia (Tinjauan
dari Perspektif Sejarah), Volume 4 no. 1, 2007, Jurusan PKnH FISE Universitas Negeri
Yogyakarta. Jurnal tersebut membahas tentang sejarah pendidikan nasional Indonesia sejak
zaman Kerajaan Hindu-Buddha hingga Reformasi. Serta menggunakan kerangka pikir historis
Perbedaan dengan penelitian ini cukup jelas terdapat pada sumber, yakni lebih banyak
sumber sekunder (buku penelitian lain dan tidak sesuai zaman saat kebijakan pendidikan
Sukarno diterapkan) dan kurangnya sumber primer. Perbedaan berikutnya dengan penelitian ini
adalah jurnal tersebut terlalu singkat karena hanya berupa jurnal, namun temporalnya terlalu
Kemudian, artikel yang ditulis Said Hamid Hasan, Arah & Perubahan Kurikulum di
(Universitas Pendidikan Indonesia), Bandung: 30 Juni 2019. Membahas tentang sejarah singkat
dengan membedah perkembangan kurikulum nasional dari awal kemerdekaan hingga masa
kontemporer (pasca-reformasi).
namun temporalnya juga terlalu panjang untuk ukuran artikel, karena keterbatasan sumber yang
dimiliki (walaupun ada beberapa dokumen/sumber primer yang digunakan seperti Undang-
Undang Nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah serta
Disekolah untuk Seluruh Indonesia. Namun masih sangat kurang dan berbeda dengan fokus
Lalu, jurnal Muhammad Rijal Fadli, Dyah Kumalasari, Sistem Pendidikan Indonesia
Pada Masa Orde Lama (Periode 1945-1966), Jurnal Agastya, Vol 9, no. 2, 2019. Membahas
tentang sistem pendidikan pada masa Orde Lama6: periode pendidikan dari awal
6 Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan RI, Undang-Undang No. 4 tahun 1950 RI tentang Dasar-
Dasar Pendidikan dan Pengadjaran disekolah untuk Seluruh Indonesia, Yogyakarta: 2 April 1950.
10
kemerdekaan sampai masa Orde Lama (1945-1950 & 1950-1966). Secara temporal dan fokus
penelitian, hampir sama seperti penelitian ini. Namun terdapat perbedaan signifikan, selain
karena tulisan tersebut hanya berupa jurnal singkat, sumber yang digunakan dalam jurnal
Selain itu, ada juga jurnal Dwi Siswoyo, Pandangan Soekarno Tentang Pancasila dan
Pendidikan, Jurnal Cakrawala Pendidikan, Februari 2013, Th. XXXII, No. 1. Membahas tentang:
Urgensi nasionalisme dalam membangun bangsa, urgensi Pancasila sebagai dasar filosofi negara
Tulisan ini menggunakan kerangka pikir historis-filosofis berbasis ideologi atau secara ideologis
Sukarno untuk memperoleh makna tentang nasionalisme, pancasila, dan pendidikan. Perbedaan
dengan penelitian yang penulis lakukan ada pada fokus kajiannya. Jurnal tersebut lebih condong
pada penjabaran tentang konsepsi pemikiran Sukarno tentang nasionalisme dan Pancasila, bukan
UNY Press: Yogyakarta, 2019. Buku ini sebagai buku ‘babon’ berjumlah 400-an halaman yang
sebagai ideologi negara. Hal yang menarik tentang sistem pendidikan nasional era Demokrasi
Terpimpin menurut buku ini adalah dengan melihat dan membedahnya dalam lingkup dimensi
historis.
Hal itu terjadi karena dalam buku ini membahas juga terkait perjalanan historis
pendidikan Pancasila serta pendidikan nasional berbasis Pancasila. Perbedaan dengan penelitian
yang penulis lakukan cukup jelas diantaranya buku tersebut adalah kumpulan tulisan dari
11
berbagai penulis, lalu sumber yang digunakan juga banyak menggunakan sumber sekunder, serta
Humaniora Vol. 24 no. 1 Februari 2012: 3-17, FIB UGM: Yogyakarta. Jurnal ini tidak secara
langsung membedah periode Demokrasi Terpimpin karena jurnal ini membahas periode revolusi
(1945-1950). Namun jurnal ini mampu menjadi referensi melihat akar awal pembentukan sistem
pendidikan nasional yang nantinya dapat dikaitkan di masa/ fokus periodisasi penelitian yakni
Penelitian ini sendiri lebih fokus untuk melihat aspek kebaruan dalam hal pendidikan
Indonesia khususnya di era Demokrasi Terpimpin. Karena penulis meyakini bahwa terdapat
beberapa aspek dalam sejarah dunia pendidikan Indonesia yang belum diteliti. Penulis mencoba
masuk ke ranah yang kosong itu, dengan memberikan sebuah aspek tema yang baru, yakni
dengan melakukan penelitian dengan banyak sumber primer, berisi analisis mengenai kebijakan
pendidikan Indonesia di era Demokrasi Terpimpin beserta dampak dan pengaruhnya terhadap
masyarakat.
Kebaruan dalam penelitian ini ada beberapa hal dan membedakan dari
memiliki periodisasi terlalu panjang (misal, buku karya Kamadjaja), maka penelitian ini lebih
fokus pada era Demokrasi Terpimpin dengan menarik akar historisnya sejak awal kemerdekaan.
Berikutnya, jika pada penelitian dengan tema dan periode yang hampir sama/ mirip dengan
penelitian ini banyak menggunakan sumber sekunder, maka kebaruan dalam penelitian ini adalah
12
lebih banyak menggunakan sumber primer berupa arsip, naskah, dan dokumen berbagai
Kemudian, jika pada penelitian sebelumnya (yang termasuk dalam tinjauan pustaka)
lebih condong bersifat deskriptif bahkan mendukung aspek politisnya, maka penelitian ini lebih
bersifat naratif, melakukan analisis, dan kritis. Selain itu, penulis yakin penelitian ini semakin
membuktikan bahwa politik adalah aspek utama dalam pengambilan kebijakan, sesuai dengan
pepatah ‘politik adalah panglima’. Kebijakan dan sistem pendidikan nasional pun, harus
melewati fase politisasi. Proses politisasi tersebutlah yang dibedah dan dikritisi dalam penelitian
kebijakannya. Untuk bisa menyesuaikan dengan fokus penelitian yakni era kekuasaan Sukarno
(Demokrasi Terpimpin), dapat melihat dari pemikiran besar Sukarno terlebih dahulu. Kemudian,
kebijakan yang ia terapkan di masa Demokrasi Terpimpin. Penelitian ini juga membuktikan
bahwa politisasi pendidikan atau menjalankan sistem pendidikan nasional, tidak terlepas dari
Agar dapat meneliti sejarah perjalanan dan kebijakan pendidikan sesuai dengan tema dan
periode serta fokus penelitian ini secara lebih jelas, harus membedah terlebih dahulu konsep
pendidikan yang relevan. Fokus penelitian ini adalah kebijakan yang diterapkan oleh Sukarno,
maka pola pikir tentang pendidikan harus berdasar pemikiran Sukarno. Tentunya pemikiran
13
seseorang tidak akan bisa berdiri sendiri, pasti berdasar, terpengaruh, kombinasi, inovasi-kreasi,
Cukup rumit jika memahami pemikiran Sukarno secara mendalam dan menyeluruh.
Namun dalam bidang atau konteks pendidikan, setidaknya ada beberapa pemikiran tokoh yang
pendidikan. Diantaranya Ki Hadjar Dewantara, Karl Marx, HOS Cokroaminoto, KH. Ahmad
Dahlan, hingga Abraham Lincoln. Pemikiran para tokoh tersebut dapat dibuktikan nantinya
dengan karya tulisan Sukarno tentang pendidikan sejak masa kolonial melalui berbagai surat
kabar yang dihimpun dalam buku DBR (Dibawah Bendera Revolusi) mulai sekitar 1964. Salah
satu judul karya tulis Sukarno tentang pendidikan secara terang-terangan adalah “Mendjadi
Sedangkan jika mengacu pada konsepsi pendidikan modern para ahli, teoritikus, ataupun
filsuf diantaranya dari Descartes (rasionalisme), Locke (empirisme), Comte (positivisme), Kohl
(behaviorisme), dan lain-lain7. Berbagai teori tersebut nantinya akan dibedah dan disesuaikan
dengan penelitian ini, sehingga dapat menemukan teori yang memiliki kecondongan pola yang
mirip atau sama seperti kebijakan pendidikan di era Demokrasi Terpimpin. Teori-teori ilmuwan
tersebut juga menjadi pisau analisa dalam membedah kebijakan pendidikan nasional sejak awal
7 Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan RI, Undang-Undang No. 12 tahun 1954 tentang
Pernjataan berlakunja UU No. 4 tahun 1950 dari Republik Indonesia dahulu (era RIS), tentang Dasar-Dasar
Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia’. Jakarta: 12 Maret 1954.
14
Metode sejarah dalam penelitian ini adalah dengan mencari dan mengkaji/meneliti karya
dan sumber yang berkaitan dengan tema penelitian. Lebih tepatnya yakni karya dan sumber
tentang sejarah dan kebijakan pendidikan di awal masa kemerdekaan (revolusi), era Demokrasi
Parlementer, hingga yang paling utama dalam penelitian ini yaitu era Demokrasi Terpimpin.
Mencari sumber penelitian tentang hal-hal tersebut dengan mengutamakan sumber primer
(dokumen) ke beberapa tempat seperti Perpusnas (Perpustakaan Nasional) & ANRI (Arsip
Nasional RI), mencari buku/naskah/dokumen asli pada zamannya (periode penelitian ini) ke
berbagai tempat seperti toko buku bekas, atau meminjam dari rekan/kolega yang menyimpannya,
dan lain-lain. Kemudian, penulis juga memadukan dan mencari celah dari sumber sekunder yang
relevan dengan penelitian ini khususnya karya-karya yang dijabarkan pada tinjauan pustaka,
dokumen atau catatan atau laporan berbagai hasil kebijakan pemerintah di era Demokrasi
Terpimpin tentang pendidikan, serta sumber sekunder yakni buku-buku, artikel, dan jurnal yang
membahas seputar sejarah pendidikan Indonesia yang relevan penelitian ini, diantaranya telah
ditulis dalam tinjauan pustaka. Beberapa sumber primer yang menjadi rujukan berkisar tentang
penjabaran ideologi/ajaran dan menjadi dasar Sukarno dalam menerapkan kebijakan pendidikan
diantaranya adalah arsip MPRS & Departemen Penerangan RI, “Ringkasan Ketetapan Madjelis
Pertama 1961-1969), Penjabaran kebijakan pemerintah tentang bidang pendidikan atau yang
Nasional”, Penerbitan Bersama: ENDANG-PEMUDA (cetakan kedua, tanpa tahun). Buku ini
menjabarkan pidato asli/primer Sukarno yakni “Pidato Presiden Republik Indonesia pada
Tanggal 17 Agustus 1961” sepanjang 50-an halaman. Lalu membedah konsep Revolusi
Indonesia, Sosialisme Indonesia dan Kepemimpinan Nasional berdasar ajaran Sukarno untuk
melengkapi dan menjabarkan inti ajaran utamanya di masa Demokrasi Terpimpin yakni
MANIPOL-USDEK. Buku ini juga untuk melihat konsep/ideologi ajaran Sukarno sebagai pisau
analisa dalam melihat sistem pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin yang politis. Serta
buku Departemen Penerangan RI, “Manifesto Politik Republik Indonesia (17 Agustus 1959)”.
Buku ini berisi tentang berbagai keputusan & penetapan MANIPOL RI 17 Agustus 1959 sebagai
GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara). Lalu membedah konsep MANIPOL secara
bab I berisi latar belakang, permasalahan penelitian, ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, pendekatan dan kerangka konseptual, metode penelitian,
sumber penelitian, serta sistematika penulisan. Lalu bab II berisi tentang kondisi pendidikan
Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga Demokrasi Parlementer. Kemudian bab III
pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin tersebut. Terakhir, bab V menjadi penutup
16
yang berisi simpulan dari penelitian ini. Berisi tentang temuan-temuan baru yang didapat, serta
menjawab seluruh pertanyaan penelitian atau dalam perumusan masalah pada tesis ini. Penutup
dan simpulan ini juga menjawab atau dapat menuju pada tujuan penelitian yakni agar dapat
dijadikan referensi bagi pengampu kebijakan nasional hari ini dengan semangat ‘merdeka
BAB II
Sepanjang 1945-1949, situasi politik Indonesia berada di fase atau zaman revolusi. Di
era ini, perpolitikan nasional terpecah menjadi dua kubu yaitu kelompok yang terjun perang fisik
(militer) dan para elit politik yang menggunakan jalur diplomasi. Situasi pelik kedua cara
kedaulatan pada akhir 1949. Pada 1950-pertengahan 1959, sistem pemerintahan Indonesia
Di zaman ini, situasi politik kental dengan nuansa Perang Dingin dan membuat elit
politik nasional terpecah dan konflik internal dengan berkali-kali pergantian kabinet. Situasi
politik kembali berubah sejak akhir 1957 dan memuncak pada 5 Juli 1959, melalui Dekrit
Pengambilalihan kekuasaan dan pemerintahan tersebut mengacu dari sembilan tahun era
Demokrasi Parlementer yang Sukarno anggap gagal. Ia meresmikan Demokrasi Terpimpin 1959
dengan jargon ‘Penemuan Kembali Revolusi Kita’. Sukarno menyatakan bahwa sejak KMB
(Konferensi Meja Bundar) hingga era Demokrasi Parlementer, Indonesia masuk dalam alam
liberalisme. Sehingga dengan berlakunya Dekrit Presiden, Revolusi Indonesia dianggap kembali
(Manifesto Politik), yang isinya adalah USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Sukarno membawa kehidupan rakyat secara keseluruhan harus sesuai dengan indoktrinasi
dan ajarannya: MANIPOL-USDEK, lalu dengan platform politik Front Nasional, serta konsepsi
NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis). Seluruh elemen masyarakat wajib mengikuti dan
menjalankan hal itu dengan tujuan menuju masyarakat sosialis Indonesia, versi Sukarno.
Kewajiban tersebut kemudian mendapat banyak penentangan secara politik. Hiruk-pikuk politik
dalam negeri ditambah dengan gangguan dan efek/dampak dari Perang Dingin saat itu, mencapai
puncaknya dengan terjadi Peristiwa 1 Oktober 1965 oleh Gerakan 30 September 1965. Setelah
tragedi itu, dengan berbagai hal yang terjadi, membuat Sukarno lengser pada awal 1967 secara
resmi.
Penulis menganalisis situasi politik tersebut (era Demokrasi Terpimpin) dalam kaitannya
dengan penerapan kebijakan dan sistem pendidikan nasional. Salah satu analisa tersebut adalah
kepentingan berkomunikasi dan menyalurkan aspirasi serta ekpsresinya secara bebas tanpa
monopoli. Wujud atau bentuk dari hal tersebut salah satunya adalah pendidikan 9. Ruang publik
seperti pendidikan seharusnya tidak dikuasai satu pihak, baik dalam sistem kapitalisme
(monopoli kapitalis) ataupun autoritarian (monopoli individu, seperti era Demokrasi Terpimpin).
demokrasi yang di periode sebelumnya (parlementer/liberal) dibuka lebar. Penelitian ini juga
menjabarkan tentang sisi monopoli yang dilakukan Sukarno dalam penerapan kebijakan dan
sistem pendidikan nasional. Menurut penulis, penerapan Manipol-Usdek sebagai sumber dari
segala sumber kebijakan membuat Manipol justru menjadi ‘Monopol’, sebagai alat memonopoli
kehidupan masyarakat. Tentunya hal tersebut bertentangan dengan teori Habermas tentang
Tidak banyak kajian atau hasil penelitian sejarah bahkan sumber sejarah yang mampu
menjabarkan secara mendetail sistem pendidikan nasional di era revolusi (awal kemerdekaan).
Di era ini, bangsa Indonesia khususnya di bidang pemerintahan, sedang sangat sibuk mengurusi
politik dalam dan luar negeri demi mempertahankan kemerdekaan. Namun, ada beberapa kajian
yang akhirnya mampu membuka cakrawala tentang pendidikan Indonesia di era ini.
dimulai sejak era kolonial. Hal ini bermula dari kebijakan pemerintah Hindia-Belanda tentang
Ordonansi Sekolah Liar (1932). Elemen-elemen atau lembaga yang bergerak di bidang
pendidikan saat itu menolak kebijakan tersebut hingga membentuk Kongres Pendidikan.
Beberapa lembaga/organisasi hingga partai politik yang ikut mendukung pelaksanaannya yakni
Taman Siswa, INS. Kayutanam, Perguruan Rakyat, Adhidharma, (PSII) Partai Syarikat Islam
Indonesia, Perguruan Islam, Permi (Sumatra), Muhammadiyah, hingga Budi Utomo 10. Kongres
Pendidikan tersebut berlangsung pada 1935, 1937, dan di era Jepang berhenti. Di awal
kemerdekaan, Kongres Pendidikan dijalankan kembali pada 1947, 1949, 1954, hingga
Selain Kamadjaja, sejarawan UGM, Agus Suwignyo, pernah menulis jurnal tentang
Formation of the Indonesian National Education System, C. December 1949-August 1950, Jurnal
Humaniora Vol. 24 no. 1 Februari 2012: 3-17, FIB UGM: Yogyakarta. Jurnal ini mampu
menjadi referensi melihat akar awal pembentukan sistem pendidikan nasional yang nantinya
dapat dikaitkan di masa/ fokus periodisasi penelitian yakni periode Demokrasi Terpimpin.
Menurut Agus, pendidikan nasional di era revolusi kemerdekaan berkaitan erat dengan
kondisi politik dan konteks Indonesianisasi saat itu. Segala bidang kehidupan rakyat
diindonesiakan, termasuk pendidikan. Hal-hal yang berkaitan dengan Belanda dan Jepang, coba
digantikan dengan konteks dan nuansa Indonesia. Secara singkat sebagai gambaran umum, era
Kebijakan pendidikan nasional, baik RIS maupun RI juga berpusat pada sentralisasi dan
homogenisasi. Proses ini sebagai wujud dari Indonesianisiasi. Ketika RIS bubar dan kembali ke
gambaran, konteks sentralisasi dan homogenisasi di bidang pendidikan nasional ini menghimpun
personel/kepengurusan sekolah dengan menguatkan dan harus sesuai dengan karakter Indonesia.
10 Leon Trotsky, Revolusi Permanen: Teori Revolusi Sosialis untuk Dunia Ketiga, (Yogyakarta: Resist Book,
2013), hlm. 52.
20
Indonesianisiasi pendidikan ini menurut Agus, menunjukkan kekuatan para tokoh nasionalis
Indonesia untuk mempersatukan masyarakat Indonesia serta menstimulasi sense atau perasaan
Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan, yakni pada tahun 1947, 1952, 1962, 1968,
1975, 1984, 1994, 2004, 2006, dan 201312. Seluruh kurikulum Indonesia telah dirancang sesuai
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kurikulum era ini dikenal dengan Rencana Peladjaran, lebih tepatnya dengan membagi
menjadi tiga kategori utama: kursus, jam belajar, dan materi pembelajaran 13. Selaras dengan
Agus Suwignyo, bahwa kurikulum dan kebijakan pendidikan nasional diterapkan untuk
mereformasi pendidikan dari pengaruh sistem pendidikan berbasis Belanda, dan mengedepankan
kesadaran masyarakat. Ada 16 mata pelajaran yang diajarkan, antara lain Bahasa Indonesia,
Bahasa Daerah, Aljabar, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Hayati (kini Biologi), Ilmu Bumi (kini
Geografi), Sejarah, Menggambar, Menulis, Seni Rupa, Karya Tangan, Seni Wanita, Pendidikan
Jasmani, Kebersihan dan Kesehatan, serta Pendidikan Karakter Bangsa14. Pelajaran agama
11 Maj. Moch. Said, Pedoman untuk Melaksanakan Amanat Penderitaan Rakjat, (Surabaya: Permata, 1961), hlm.
916.
12 Arif Rahman & Adi “Pay” Prabowo, Das Kapital for Beginners: The Mannifest of Indonesian Economics,
(Yogyakarta: Narasi, 2013), hlm. 56.
13 Rupert Woodfin, & Oscar Zarate, Mengenal Marxisme (Marxisme untuk Pemula), (Yogyakarta: Resist Book,
2008), hlm. 12-15.
14 Ibid., hlm. 6-7
15 Helen Yaffe, Ekonomi Revolisi Che Guevara, (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2015), hlm. 5.
21
Pengadjaran. Kementerian ini dipimpin oleh Menteri Pengadjaran, sebagai menteri pertama,
yakni Ki Hadjar Dewantara. Sejarah awal pendidikan nasional Indonesia setelah kemerdekaan
dimulai sejak Menteri Pengadjaran (Ki Hadjar Dewantara) mengeluarkan instruksi, khususnya
untuk seluruh daerah di pulau Jawa. Poin-poin pentingnya diantaranya sebagai berikut:
a. Usaha pendidikan dan pengajaran harus berdasar pada kebangsaan Indonesia, dengan
b. Memperbaiki sistem pendidikan dan pengajaran agar dapat memenuhi syarat dan
pengajaran serta tambahan bahasa asing yang diperlukan seperti Inggris (bahasa
internasional) dan Jerman untuk perluasan ilmu pengetahuan (diajarkan pada Sekolah
Menengah Tinggi)
22
d. Daftar pengajaran di sekolah menengah putri tidak boleh beda dengan putra, tidak
keputrian. Praktiknya harus penuh pengawasan berdasar ‘Tut Wuri Handayani’ dan
e. Memperbaiki pendidikan nasional yang sebelumnya terpuruk selama 3,5 tahun (masa
f. Mengingat persediaan guru dan buku yang ada sekarang ini, sementara waktu
pengajaran khususnya bahasa asing dilakukan dengan cara yang praktis dan dengan
Ada beberapa hal yang dapat dipertanyakan, disayangkan, bahkan dikritik dari instruksi
Ki Hadjar Dewantara tersebut. Diantaranya, pertama, situasi politik saat itu (awal kemerdekaan)
adalah situasi revolusioner. Segala kehidupan masyarakat erat kaitannya dengan pekik ‘merdeka’
ataupun kata-kata revolusi sebagai jargon. Namun mengacu pada instruksi tersebut, tidak ada
unsur revolusioner yang secara formal dituliskan. Pada poin nomor satu tentang Tentang Dasar
Pendidikan, misalnya. Instruksi yang diberikan hanya bersifat normatif sebatas cinta negara,
Menurut penulis, Ki Hadjar Dewantara selaku Menteri Pengajaran, tidak dapat membaca
situasi dan kondisi politik saat itu dan memprediksi masa berikutnya. Instruksi tersebut
dikeluarkan pada 29 September 1945, sekitar satu bulan setelah proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Situasi bangsa Indonesia saat itu tengah bahagia dan penuh semangat, sehingga
16 Soeripto (penyusun). 7 Bahan Indoktrinasi Republik Indonesia. (Grip: Surabaya, 1961), hlm. 172.
23
analisa penulis adalah bahwa hal yang paling penting bagi Menteri Pengajaran saat itu adalah
bahwa selang setahun setelah proklamasi, situasi politik berubah drastis. Terjadi perpecahan
dalam negeri (internal) terutama terkait makna dan cara mempertahankan kemerdekaan, serta
banyak gangguan stabilitas nasional dari dalam dan luar negeri. Terjadi banyak revolusi sosial
yang justru saling membunuh sesama bangsa Indonesia. Lalu juga terjadi perbedaan cara
perjuangan melawan Belanda di kalangan elit: militer (perang fisik) dan politisi/ pimpinan politik
(diplomasi/perundingan). Belanda pun tidak lama setelah proklamasi, segera tiba di Indonesia
dengan membonceng NICA/Inggris dan berusaha merebut kembali Indonesia setelah menang
Perang Dunia II. Hal itu luput dari instruksi Menteri Pengajaran tersebut.
Berikutnya, Tentang Maksud dan Tujuan Pengajaran dalam instruksi tersebut juga
menurut penulis tidak ada unsur revolusionernya. Hal ini harus dikritik dari Menteri Pengajaran
sekelas Ki Hadjar Dewantara. Apa karena Ki Hadjar Dewantara bukan seorang sosialis garis
keras/ radikal? Juga apa karena Ki Hadjar Dewantara adalah penganut atau lebih condong
pada filosofi Jawa yang kental dengan budaya menjaga keseimbangan dan tidak penuh
keributan? Tidak ada tujuan bernuansa revolusioner (politis) misal: mewujudkan Sosialisme
Indonesia, atau menjaga kemerdekaan Indonesia dari ancaman bangsa asing, atau seperti
melanjutkan revolusi Indonesia yang belum selesai, dan lain-lain yang sejenis.
Di poin c pada Tentang Maksud dan Tujuan Pengajaran tersebut juga patut
lembaga pendidikan dan pengajaran serta tambahan bahasa asing yang diperlukan seperti Inggris
24
(bahasa internasional) dan Jerman untuk perluasan ilmu pengetahuan (diajarkan pada Sekolah
Menengah Tinggi)”. Mengapa harus bahasa Jerman? Notabenenya saat itu (September 1945),
Indonesia baru saja proklamasi kemerdekaan dan melepaskan diri dari Jepang, sekutu utama
Jerman (NAZI) pada Perang Dunia II. Saat itu juga Jerman identik dengan NAZI dan fasisme,
walaupun gerakan sosialisme eropa yang utama juga banyak di Jerman. Begitu juga
kecondongan bangsa Indonesia saat itu yang cenderung antipati terhadap hal-hal berbau asing
seperti Belanda & Jepang, Menteri Pengajaran saat itu justru memberi instruksi untuk
2.4 Jenjang & Jenis Pendidikan Dasar - Menengah Era Revolusi Kemerdekaan
Jenjang dan jenis pendidikan nasional di era revolusi kemerdekaan sangat beragam.
Jenjang pendidikan yang terendah yaitu SR (Sekolah Rakyat), dengan lama pendidikan sekitar 6
tahun. Tujuan pendirian SR adalah meningkatkan taraf pendidikan dan memberi kesempatan
bagi rakyat untuk mengenyam bangku sekolah, sesuatu yang kurang mereka dapatkan dan
Kurikulum SR diatur sesuai dengan putusan Menteri PP & K tanggal 19 November 1946
bahasa dan berhitung. Rinciannya, yakni 38 jam pelajaran seminggu, 8 jam untuk bahasa
Indonesia, 4 jam untuk bahasa daerah dan 17 jam untuk berhitung (kelas IV, V dan VI).
Depdikbud RI 1993 mengklaim bahwa tercatat sejumlah 24.775 SR pada akhir 1949 di seluruh
Indonesia17. Setelah SR, dapat melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah
Namun, untuk pelajar/siswa SR yang ingin fokus ke jenis pendidikan tematis (bukan
umum seperti SMP & SMT), ada sekolah yang dikembangkan sebagai sekolah pendidikan guru.
Hal itu karena guru adalah martir dan frontliner pendidikan, berperan besar dalam proses
pendidikan nasional. Pemerintah sejak awal kemerdekaan, membangun pendidikan guru dan
membaginya menjadi tiga jenis, diantaranya SGB (Sekolah Guru B), SGC (Sekolah Guru C), dan
SGA (Sekolah Guru A). SGB bertujuan untuk mendistribusi guru bagi SR (Sekolah Rakyat) 18.
pendidikan dengan jenis sekolah kejuruan (vokasi). Di era revolusi, pendidikan kejuruan fokus
Kemudian, terdapat juga ST (Sekolah Teknik) yang bertujuan untuk menjadi tenaga
terampil. Beberapa bidang ST yang ada di masa awal kemerdekaan diantaranya untuk terlibat
dalam pertahanan negara dan sekolahnya digunakan sebagai pabrik senjata. Sekolah Teknik di
Solo misalnya, dikerahkan untuk membuat senjata yang sangat diperlukan negara. Selain itu ada
juga ST yang bergerak di bidang Kursus Kerajinan Negeri (KKN), terdiri atas jurusan-jurusan:
kayu, besi, anyaman, perabot rumah, las dan batu. ST kemudian dilanjutkan ke STP (Sekolah
Teknik Pertama), dengan jurusan: kayu, batu, keramik, perabot rumah, anyaman, besi, listrik,
Jenjang berikutnya dari sekolah teknik yaitu STM (Sekolah Teknik Menengah).
Bertujuan mendidik tenaga ahli teknik dan pejabat teknik menengah. Terdiri atas jurusan
bangunan gedung, bangunan sipil, bangunan kapal, bangunan mesin, bangunan listrik, bangunan
mesin kapal, kimia, dan pesawat terbang. Terakhir, yakni Pendidikan Guru (untuk sekolah
Menurut penulis, penerapan Kurikulum SR yang diatur sesuai dengan putusan Menteri
PP & K tanggal 19 November 1946 tersebut juga harus mendapat tinjauan kritis. Diantaranya
bahasa dan berhitung. Kita dapat memungkiri, bahwa buta huruf/aksara dan angka adalah hal
yang benar-benar menjadi kebutuhan rakyat saat itu. Maka wajar jika pelajaran bahasa dan
berhitung menjadi agenda utama untuk ditingkatkan. Namun lagi-lagi, nampak tidak membaca
Di era tersebut, seperti kritik pada Instruksi Menteri Pengajaran Ki Hadjar Dewantara,
aspek politik juga harusnya menjadi hal utama sebelum pemerintah membuat kebijakan
pendidikan nasional. Di era tersebut (November 1946), situasi dan kondisi politik mulai
peperangan terhadap Belanda dan sekutu (Inggris), seharusnya pemerintah membuat kebijakan
pendidikan nasional tentang pertahanan negara yang diajarkan sejak dini yang sinergi dengan
Kementerian Pertahanan/Keamanan saat itu. Namun hal tersebut tidak ada dalam kurikulum SR
tersebut.
Kemerdekaan Indonesia pada 1945 dan berlanjut dengan revolusi fisik nyatanya tidak
menurunkan semangat bangsa Indonesia untuk memperbaiki kualitas pendidikannya. Pada situasi
politik yang tengah berkecamuk di dalam dan luar negeri soal politik dan mempertahankan
kemerdekaan, justru berbagai universitas didirikan oleh pemerintah RI melalui BPTRI (Balai
27
Perguruan Tinggi Republik Indonesia) yang menyelenggarakan kuliah di beberapa kota selama
masa revolusi. Sebelumnya, di era kolonial telah terdapat beberapa sekolah tinggi, baik lokal
ataupun peninggalan Belanda. Namun banyak sekolah tinggi tersebut yang merger menjadi satu
universitas negeri/ milik pemerintah. Sekolah tinggi warisan Belanda, disatukan dan
dinasionalisasi pemerintah.
Sekolah tinggi yang didirikan oleh para revolusiner / kaum republiken RI di awal masa
revolusi diantaranya Sekolah Tinggi Republik didirikan pada 17 Februari 1946 oleh Kementerian
Pengajaran di Yogyakarta, Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada didirikan pada 3 Maret 1946
oleh Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, terdiri dari Fakultas Hukum dan
Gigi didirikan pada Februari 1946 di Malang. Lalu Perguruan Tinggi Kedokteran lainnya pada 4
Maret 1946 di Solo dan 5 Maret 1946 di Klaten. Berikutnya Fakultas Pertanian dan Fakultas
Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan didirikan pada November 1946 oleh Kementerian
Kemakmuran Republik Indonesia di Bogor. Sayangnya, karena Agresi Militer I Belanda pada
Juli 1947, perguruan tinggi tersebut dipindah ke Klaten. Demikian juga perguruan tinggi di
Malang. Pada 19 Desember 1949, Universitas Gadjah Mada didirikan di Yogyakarta sebagai
diantaranya STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen). Dikenal juga sebagai Sekolah
Dokter Jawa di Kwitang yang kemudian berubah jadi Geeneskundig Hoge School di Salemba,
20 Ibid., hlm. 9.
28
Jakarta21. Lalu, ada sekolah hukum yaitu Recht Hoge School. Lokasinya kini ditempati Kantor
Kementerian Pertahanan RI. Kampus hukum dan kedokteran kolonial tersebut nantinya menjadi
fakultas-fakultas dari UI (Universitas Indonesia). Ada juga sekolah pertanian atau Landbouw
School di Bogor, kini menjadi IPB (Institut Pertanian Bogor). Perguruan Tinggi bidang teknik
ada Technische Hoge School di Bandung yang kini menjadi ITB (Institut Teknologi Bandung)22.
van Nederlandsch Indie. Universitas tersebut menaungi STOVIA, RHS, dan Faculteit der
Letteren en Wijsbegeerte (Fakultas Sastra dan Filsafat)23. Nood Universiteit pada tahun 1947
berganti nama menjadi Universiteit van Indonesie, dan berkedudukan di Jakarta. Menurut laman
resmi Universitas Indonesia, beberapa Guru Besar nasionalis seperti Mr. Djokosoetono,
mengoperasikan Universiteit van Indonesie di Ibukota Republik Indonesia saat itu, Yogyakarta 24.
Pada 1950 setelah melalui serangkaian peristiwa, ditambah dengan kebutuhan pendidikan tinggi
bangsa Indonesia yang mendesak akhirnya Universitas Indonesia resmi berdiri sebagai milik
republik.
Sementara itu, terkait pendidikan di bidang agama khususnya, pemerintah di era tersebut
memberi kebijakan tersendiri kepada Departemen Agama dan mulai resmi berdiri 3 Januari
1946. Adanya Departemen Agama salah satunya untuk memperjuangkan sistem dan kebijakan
pendidikan Islam di Indonesia. Menurut Maksum, secara lebih spesifik implementasi oleh
21 Ibid.
22 Keputusan Dewan Pertimbangan Agung Tentang Perintjian ‘Djalannya Revolusi Kita (Djarek)’ Jang Diutcapkan
Oleh Presiden Soekarno Pada Tanggal 17 Agustus 1960, 19 Januari 1961, poin no. 7.
23 Kamadjaja, log.cit., hlm. 87.
24 Samsuri, Desain Pendidikan Pancasila, dalam buku Pancasila Dalam Praksis Pendidikan,
(Yogyakarta: UNY Press, 2019), hlm. 91.
29
Departemen Agama tentang hal ini ditangani oleh suatu bagian khusus yang mengurusi masalah
pendidikan agama25.
ini terjadi beriringan dengan pergantian sistem pemerintahan dan situasi politik dalam negeri saat
itu, dengan diterapkannya Demokrasi Parlementer. Pergantian kepala negara yang tadinya
parlementer, kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Era parlementer/ kabinet
pertama, dimulai/dipimpin oleh Sutan Syahrir. Pada 2 Oktober 1946, Suwandi dilantik sebagai
Kebudayaan).
Pada 12 April 1947, Menteri PP & K membentuk sebuah ‘Panitia Penyelidik Pendidikan
dan Pengadjaran RI’ (PPPRI). Ki Hadjar Dewantara, oleh Menteri PP & K (Suwandi), ditunjuk
sebagai Ketua PPPRI tersebut. Singkatnya, PPPRI bertugas meninjau seluruh usaha pendidikan
dan pengajaran di Indonesia. Menteri PP & K di era Kabinet Amir Syarifuddin kemudian
Kebijakan pun berganti, Ali / Menteri PP & K pada 1948 membentuk ‘Panitia Pembantu
Pembentuk Undang2 Pokok Pendidikan dan Pengadjaran’. Sayangnya, agenda panitia tersebut
terhambat oleh situasi revolusi fisik nasional, tepatnya yakni Agresi Militer Belanda II. Hal
tersebut menyebabkan banyak arsip Kementerian PP & K termasuk rencana dari panitia tersebut
diambil oleh Belanda. Menurut Kamadjaja, dengan demikian tidak dapat diketahui lagi sampai
Menurut penulis, banyak arsip Kementerian PP & K termasuk rencana dari panitia
tersebut diambil oleh Belanda, sangat disayangkan. Hal tersebut membuat terdapatnya missing
link yang harus dipecahkan melalui penelitian lebih lanjut dengan menemukan terlebih dahulu
arsip-arsip tersebut, serta membuktikan pendapat Kamadjaja itu. Jika memang benar diambil
oleh Belanda, maka tugas pemerintah dengan menggandeng para sejarawan terutama yang
mendapat kesempatan menempuh pendidikan bidang Sejarah di Belanda/ luar negeri, harus bisa
Berikutnya menurut penulis juga, situasi politik agresi militer yang dilakukan Belanda
tersebut pun mempengaruhi Instruksi Menteri Pengajaran dan Kurikulum Pendidikan (SR dan
sejenisnya) yang telah ada pada 1945 dan 1946. Penulis berasumsi bahwa kedua kebijakan
tersebut tidak dapat diimplementasikan dengan baik, bahkan benar-benar tidak terlaksana.
Tentunya asumsi ini harus dibuktikan dengan penelitian lebih lanjut. Namun, penulis sendiri pun
tidak/belum dapat membuktikan sejauh mana penerapan instruksi dan kurikulum tersebut.
Lanjut ke akhir era revolusi kemerdekaan, tepatnya akhir 1949 menjelang KMB
(Konferensi Meja Bundar), Menteri PP & K dijabat oleh Sri Mangunsarkoro. Hal ini beriringan
dengan perubahan kabinet yang dipegang oleh Mohammad Hatta. Pada 17 Oktober 1949,
Mangunsarkoro / Menteri PP & K berpidato dalam sidang BP-KNIP (Badan Pekerja – Komite
Nasional Indonesia Pusat) sebagai Badan Legislatif RI (cikal-bakal DPR RI) saat itu. Ia
26 Aman, Sofyan, dkk., Pedoman Didaktik Metodik Pendidikan Moral Pancasila untuk para Guru SD, SLTP dan SLTA,
(Jakarta: PN Balai Pustaka, 1982), hlm. 11.
31
berdasar Pancasila.
Rancangan UU tersebut terlaksana di era RIS (Republik Indonesia Serikat), yakni UU no.
Pendidikan dan Pengadjaran disekolah untuk Seluruh Indonesia. UU ini terdiri dari 17 Bab dan
30 Pasal, ditetapkan di Yogyakarta, 2 April 1950 oleh Presiden RI yakni Mr. Asaat dan S.
Mangunsarkoro sebagai Menteri PP & K27. Adanya UU tersebut menjadi penting sebab terdapat
keterbatasan sumber primer dalam membedah situasi dan berbagai kebijakan pendidikan
nasional di masa RIS tersebut. Banyak penelitian terkait sejarah dan kebijakan pendidikan
nasional era ini, selalu mengacu pada UU tersebut. Namun dari serangkaian pasal tersebut ada
beberapa poin penting yang menggambarkan jiwa UU ini, diantaranya menurut Rifa’i, pada
3). Mengajar adalah bebas, dengan tidak mengurangi pengawasan penguasa yang dilakukan
Selain itu, tentang pendidikan agama (Islam), juga ada dalam UU tersebut. Salah satunya
terkait madrasah, sebagai bentuk pendidikan Islam yang paling mendasar. Pengakuan pemerintah
atas madrasah secara resmi diatur dalam UU ini (Undang-Undang No. 4 1950), tentang dasar-
dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Lebih jelas lagi pada pasal 10 menyebutkan bahwa
27 Somantri, M. N., Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, (Bandung: Rosda Karya, 2001), hlm. 284-285.
28 Arsip/naskah Keputusan Presiden RI No. 224 Tahun 1964.
32
belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan Departemen Agama, dianggap telah
madrasah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit enam
sebagai UU nasional, konteks atau penerapan UU tersebut tidak berlaku ke seluruh Indonesia.
Hal ini karena situasi politik nasional dan internasional dengan adanya KMB lalu perubahan
negara menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat), hingga kembali ke bentuk kesatuan (NKRI)
pada 17 Agustus 1950. Di era RIS, RI hanya salah satu negara bagian dalam RIS. UU Pokok
Pendidikan dan Pengajaran RI yang sifatnya nasional terjadi setelah RIS bubar dan
kembali/menjadi ke NKRI. Nantinya baru ditetapkan pada 1954, tepatnya sebagai UU Pokok
Pada 12 Maret 1954, Presiden Sukarno bersama Menteri PP & K yakni Mohammad
Yamin, menetapkan UU Pokok Pendidikan dan Pengadjaran RI no. 12 tahun 1954 yang berisi
UU no. 4 tahun 1950. Bedanya, jika UU no. 4 tahun 1950 hanya berlaku di Yogyakarta (RI saat
itu), maka melalui UU no. 12 tahun 1954, diberlakukan ke seluruh wilayah RI (yang tidak lagi
‘Pernjataan berlakunja UU No. 4 tahun 1950 dari Republik Indonesia dahulu (era RIS), tentang
terdapat beberapa kekurangan. Pada sidang parlemen pada 27 Januari 1954, internal pemerintah
menjabarkan kekurangan atau kelemahan dari UU tersebut. Salah satu yang berkomentar
kekurangan UU ini dengan melihat perkembangan suasana, pengalaman saat itu serta melihat
Panitia perumus saat itu hanya terbatas pada sekeliling Jogja, belum merepresentasikan
yang baru31. Namun, pada 12 Maret 1954 (tidak sampai sebulan dari sidang parlemen tersebut),
pemerintah melalui Menteri PP & K RI, Mohammad Yamin, bersama Presiden RI Sukarno,
mengesahkan UU tersebut.
tersebut atau rencana revisi UU tersebut. Menurut Kamadjaja, ‘Panitya Negara’ yang
Fakultas Paedagogik Universitas Gadjah Mada 1957-1964 kemudian menjadi Guru Besar IKIP
Yogyakarta), yang menyatakan bahwa UU organik No. 12 tahun 1954 yaitu ‘UU Pokok
Pendidikan dan Pengadjaran’ tidak pernah mengalami perubahan walau telah mengalami
perubahan-perubahan UUD sampai 3 kali (UUD 1945, UUD RIS, UUDS 1950)32 .
Diterapkannya UU Pokok Pendidikan dan Pengadjaran RI no. 12 tahun 1954 ini berlaku
31 KEPPRES (Keputusan Presiden) RI No. 146 Tahun 1965 tentang Pembentukan Madjelis
Pendidikan Nasional.
32 KEPPRES (Keputusan Presiden) RI No. 145 Tahun 1965 tentang Nama dan Rumusan-induk
Sistim Pendidikan Nasional Pantjasila.
34
mengelurakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan memberlakukan kembali UUD 1945 serta
Jika ada pertanyaan: kebijakan-kebijakan pendidikan nasional apa saja yang dikeluarkan
oleh pemerintah era Demokrasi Parlementer yang menjadi latar belakang bagi kebijakan
Sukarno mengeluarkan kebijakan baru pada era Demokrasi Terpimpin? Rasanya cukup sulit
Terpimpin hanya ada dua: UU no. 4 tahun 1950 (di era RIS dan awal Demokrasi
2. Situasi politik era transisi RIS kembali ke NKRI hingga sepanjang Demokrasi
Parlementer sangat keras dan tidak stabil, terlalu fokus pada gesekan politik,
pemerintah dengan situasi Perang Dingin (Blok Barat & Timur), perjuangan
Barat.
Namun untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada poin penting dalam UU no. 4 tahun
1950 yakni tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan
warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan
35
tanah air33. Tujuan pendidikan tersebut jika dibandingkan dengan era Demokrasi Terpimpin
terlihat sangat berbeda (baca di bab III: Kebijakan Pendidikan Nasional Era Demokrasi
adalah tujuan pendidikan. Hal ini sesuai dengan semangat zaman saat itu, demokrasi liberal.
Berbeda dengan era Demokrasi Terpimpin, menetapkan tujuan dan politik pendidikan nasional
secara ’radikal’ lebih jauh lebih ’kiri’ dengan memasukkan konsepsi Sukarno.
BAB III
pendidikan) tidak terlepas dari ideologi-ideologi dunia yang memengaruhi pola pikirnya.
Sukarno menyerap banyak pemikiran, gagasan, konsepsi, ideologi, hingga filsafat dan agama.
Ideologi Sukarno sepanjang sejarah hidupnya sejak pra kemerdekaan hingga berkuasa
penuh di era Demokrasi Terpimpin secara garis besar dapat dibagi menjadi beberapa konsepsi
Kemudian, dari ragam pembagian konsepsi Sukarno tersebut, dapat terlihat berbagai kebijakan di
pemerintahan saat Sukarno berkuasa, selalu berdasar ajaran-ajarannya itu, termasuk di bidang
33 Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional
Pancasila.
36
pendidikan hingga ia menerapkannya dalam kebijakan pendidikan. Seperti yang telah ditulis atau
disampaikan pada bab I tentang pendekatan dan kerangka konseptual, tokoh-tokoh yang
Cokroaminoto, KH. Ahmad Dahlan, hingga Abraham Lincoln. Pemikiran mereka dapat
dibuktikan nantinya dengan karya tulisan Sukarno tentang pendidikan sejak masa kolonial
melalui berbagai surat kabar yang dihimpun dalam buku DBR (Dibawah Bendera Revolusi)
mulai sekitar 1964. Salah satu judul karya tulis Sukarno tentang pendidikan secara terang-
Pemikiran Sukarno tidak dapat dilepaskan dari Marxisme. Ia memang tokoh dan
konsisten sebagai nasionalis. Presiden Republik Indonesia pertama itu berkali-kali membantah
bahwa ia bukan komunis, sebagaimana banyak tuduhan di alamatkan padanya. Namun ia juga
seringkali mengingatkan untuk tidak anti-komunis, apalagi terhadap Marxisme. Sukarno sendiri
pun sejak mudanya sudah gandrung akan Marxisme. Pembelajaran tentang Nasionalisme oleh
rakyat Indonesia. Ia terpengaruh oleh pemikiran Karl Marx dan Engels yakni Sosialisme ilmiah.
Ajaran Marx tersebut kemudian berkembangan dan disebut sebagai Marxisme. Ide tersebut
menjadi esensial sebab Marxisme menjadi metode analisa relasi sosial 34, pisau analisis dan
34 Bab III Pasal 18, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem
ideologi perjuangan yang bertujuan melawan Kapitalisme dan Imperialisme. Nasionalisme yang
Karl Marx sendiri adalah seorang filsuf, ideolog, ekonom, sejarawan, sosiolog, dan
penulis yang mewakafkan hidupnya untuk mempelajari dan membedah Kapitalisme serta
merumuskan Sosialisme yang akademis, dikenal juga sebagai Sosialisme ilmiah 35. Marx lahir
pada 1818 di Trier, Jerman36. Ia awalnya terpengaruh oleh filsuf G.W.F. Hegel (1770-1831),
dengan filsafat Idealismenya37. Namun kemudian Marx berbalik ke filsafat Materialisme dan
menolak Idealisme karena terpengaruh oleh Ludwig Feurbach, salah satu pelopor filsafat
Materalisme. Marx pun melampaui Feurbach mengenai pandangan bahwa kondisi material
seseorang hidup, pada kenyataannya menciptakan mereka melihat dan memahami dunia38.
Satu hal yang sering menjadi bumerang bagi para marxis ialah implementasi Marxisme
yang dilengkapi dengan Leninisme menjadi Komunisme, di berbagai negara seperti Uni Soviet
dan Tiongkok, atau tepatnya ialah Blok Timur. Marxisme menjadi dogma. Pada
setelah berkembangnya Stalinisme. Che Guevara adalah salah satu tokoh Marxis yang menolak
hal ini dengan menentang cara Marxisme ditafsirkan dan diterapkan di blok sosialis. Che
35 Keppres (Keputusan Presiden) RI No. 232 Tahun 1965 tentang Pengangkatan para Wakil
Ketua, Anggota-anggota dan Sekretaris Umum Majelis Pendidikan Nasional.
36 Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan, 2011), hlm. 344.
37 Dyah Kumalasari, Diktat Pengantar Sejarah Pendidikan, (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial & Ekonomi
Universitas Negeri Yogyakarta, 2008), hlm. 8-28.
38 Agus Suryana, Kekuasaan Politik dan Kebijakan, (Bandung: Jurusan Administrasi Pendidikan, Fakultas Ilmu
Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia, 2007), hlm. 5.
39 Arum Sutrisni Putri, Politik Etis: Pengertian, Latar Belakang, Tokoh dan Tujuan,
https://www.kompas.com/skola/read/2020/03/06/173000169/politik-etis--pengertian-latar-belakang-tokoh-dan-
tujuan?page=3, diakses pada 13 Februari 2021 pukul 21.05 WIB.
38
Sukarno secara garis besar pemikiran mengenai Marxisme, sama seperti Che Guevara,
bahkan jauh sebelum Che berpandangan demikian. Corak dan cara berpikir Sukarno lebih
condong pada sinkretis. Ia memadukannya dengan Nasionalisme yang bersumber dari pemikiran
Ernest Renan, serta agama (Islam) yang ia anut. Sukarno menjadikan Marxisme sebagai pisau
analisis saja, bukan sebagai dogma mutlak dan kaku. Sukarno sebagai marxis, tidak sampai
menjadi seorang komunis. Namun dari marxis, Sukarno belajar menjadi nasionalis yang selalu
menempatkan Sosialisme dalam tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di dunia
atau bidang pendidikan. Hal ini nampak sekali dalam berbagai kebijakan pemerintahan Sukarno
di bidang pendidikan (sistem pendidikan nasional), yang dijelaskan pada bab selanjutnya.
dijalankan khususnya di era Demokrasi Terpimpin. Kebijakan dari konsepsi tersebut bertujuan
untuk mempersatuan tiga kekuatan politik terbesar di Indonesia saat itu (terutama setelah
Pemilihan Umum 1955) yaitu kelompok nasionalis (direpresentasikan oleh PNI), kelompok islam
(direpresentasikan oleh NU, karena Masyumi membubarkan diri setelah Peristiwa PRRI-
Namun pemikiran persatuan ketiganya sebenarnya telah digagas atau disusun oleh
Sukarno sejak era pergerakan nasional. Pada 1926 Sukarno menulis artikel di surat kabar Suluh
Indonesia Muda, yakni “Nasionalisme, Islamisme, Marxisme”. Tulisan tersebut fenomenal dan
menjadi penanda pemikiran Sukarno tentang ketiganya yang harus bersatu demi kemerdekaan
Indonesia. Setelah kemerdekaan, Sukarno tetap konsisten pada konsepsi tersebut hingga benar-
benar dapat diwujudkan dalam pemerintahan di era Demokrasi Terpimpin. Sukarno dalam
“Bukalah tulisan-tulisan saja dari zaman pendjadjahan. Batjalah tulisan saja pandjang lebar
dalam madjalah Suluh Indonesia Muda tahun 1926, tahun gawat-gawatnja perdjoangan
menetang Belanda. Di dalam tulisan itu pun saja telah mengandjurkan dan membuktikan dapatnja
Sukarno mewujudkan persatuan ketiga aliran, ideologi, dan kelompok tersebut dalam konsepsi
Nasakom era Demokrasi Terpimpin dengan membentuk Front Nasional. Posisi-posisi strategis
dalam pemerintahan nasional/pusat juga diisi oleh ketiganya. Di Dewan Nasional, Sukarno
mengklaim bahwa kalangan nasionalis, islam, dan komunis berjalan dengan baik. Di DPA
(Dewan Pertimbangan Agung), gembong ketiganya ada di sana. Di Depernas (Dewan Perancang
Nasional) juga terisi oleh ketiga kelompok tersebut. Terutama sekali di MPR-S (Majelis
Kaitan antara konsepsi Nasakom ini dengan Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) era
Demokrasi Terpimpin, salah satunya ada dalam Penpres (Penetapan Presiden) RI no. 19 tahun
1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila, tepatnya pada Bab III
kepercayaan dan rasa taqwa pada Tuhan Yang Maha Esa secara berkeadaban adalah karakteristik
bangsa Indonesia. Hal ini juga mengacu pada TAP MPRS No. II/ MPRS/ 1960 Bab II pasal 2
ayat 3 dan lampiran A 338, dan semangat toleransi terhadap keyakinan masing-masing sebagai
karakteristik yang lain bangsa Indonesia dalam membentuk manusia Indonesia baru yang berjiwa
Nasakom.42
40 Ahmad Fikri Sabiq, Kebijakan Politik dan Dampaknya Terhadap Pendidikan Agama Islam di Indonesia,
(Padang: Lentera: Jurnal Diklat Keagamaan Padang, Vol. 5, No. 2, Juni 2021), hlm. 3.
41 I Nyoman Temon Astawa, Teori-Teori Dalam Dunia Pendidikan Modern:
file:///C:/Users/Aslama%20Nanda/Downloads/40-123-1-SM%20(1).pdf, diakses pada 25 Maret 2022, pukul 6.22
WIB.
42 Kementerian Pendidikan Nasional RI, Pengembangan Kurikulum 2013, Jakarta: Kementerian Pendidikan
Nasional RI,, 2012.
40
Manipol-Usdek adalah konsepsi Sukarno tentang Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
yang ia cetuskan beriringan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit ini mengacu pada
keputusan Sukarno sebagai Presiden RI untuk membubarkan parlemen yang selama sembilan
tahun (sejak 1950) dianggap gagal dalam menjalankan pemerintahan. Sistem pemerintahan
negara karena tidak kunjung sepakat. Pemerintahan juga silih-berganti kabinet berkali-kali
(Kabinet Natsir hingga Djuanda). Lalu juga terdapat banyak pergolakan/konflik dalam negeri
(Tragedi Westerling, DI/TII, hingga PRRI-Permesta). Hal-hal itu yang membuat Sukarno
mengambil alih pemerintahan, mengubah sistem parlementer menjadi presidensial dan menjadi
Satu bulan setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, tepatnya pada Peringatan Hari Proklamasi
17 Agustus 1959, Sukarno menyampaikan pidato yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi
Kita (Manifesto Politik)”. Pidato tersebut menjabarkan tentang konsepsi politik nasional yang
disampaikan Sukarno dan kemudian menjadi landasan utama pemerintahan Indonesia. Konsepsi
Presiden Sukarno tersebut kemudian dikenal sebagai Manipol-Usdek. Secara singkat, alur
Isi dari Manipol pada Agustus dan September 1959 diperinci oleh DPA (Dewan
pokok dari Revolusi Indonesia. Ketiga, program umum Revolusi Indonesia43. Sementara, Usdek
sendiri bermakna:
1. UUD 1945
2. Sosialisme Indonesia
3. Demokrasi Terpimpin
4. Ekonomi Terpimpin
5. Kepribadian Indonesia44
Makna relasi/hubungan antara Manipol dan Usdek, yakni Sukarno menegaskan bahwa jika
rakyat Indonesia pro terhadap UUD 1945, maka meningkat kepada hal kedua yakni Sosialisme
Indonesia. lalu, jika rakyat Indonesia sepakat dengan Sosialisme Indonesia, maka rakyat
maka ekonomi yang dijalankan rakyat Indonesia adalah Ekonomi Terpimpin. Serta, jika
semuanya telah dijalankan, maka hal tersebut mencerminkan kepribadian dan kebudayaan bangsa
Hubungan antara konsepsi Manipol-Usdek ini dengan konteks dan kebijakan pendidikan
bangsa jang buta-huruf?”, saja komandokan sekarang, supaja buta-huruf itu habis
43 Hien, T. K., English Language Instruction in Indonesia (Thesis). Malang: FKIP, Universitas Airlangga, 1962.
44 Departemen Pendidikan Nasional RI, Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan di Indonesia, Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Depdiknas, 1996.
45 Kementerian PP & K (Pendidikan, Pengadjaran, dan Kebudjayaan) RI, Dasar Pendidikan dan Pengadjaran
Jakarta: Kementerian PP & K RI, 1954.
42
sama sekali pada achir tahun 1964! Dan saja komandokan kepada semua sekolah-
Dari hal tersebut secara singkat dapat ditarik benang merah, bahwa pendidikan yang
dijalan Sukarno di era Demokrasi Terpimpin, beriringan dengan tujuan serta langkah politiknya.
Dapat juga dikatakan, bahwa pendidikan nasional Indonesia dijalankan secara indoktriner,
ideologis, politis, dan dogmatis sesuai satu penafsiran dan satu ajaran tunggal, ajaran Sukarno.
Perubahan situasi politik pasti berdampak pada perubahan kebijakan dalam pemerintahan
parlementer, atau dikenal juga sebagai era Demokrasi Parlementer. Namun pada 5 Juli 1959,
Dekrit Presiden, kembali ke UUD 1945. Sejak itu situasi politik yang telah berubah, berdampak
pula pada kebijakan pemerintahan. Di era Demokrasi Parlementer, pemerintahan dijalankan oleh
Perdana Menteri dan melalui mekanisme parlemen. Maka di era Demokrasi Terpimpin, semua
Perubahan kebijakan dalam pemerintahan tersebut juga terjadi di bidang pendidikan. Era
kekuasaan Sukarno ini (Demokrasi Terpimpin), para menteri diangkat oleh Presiden, dan nama
46 Sjamsudin, Helius, dkk, Sejarah Pendidikan di Indonesia: Zaman Kemerdekaan, 1945-1966. (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), hlm. 18.
43
tepatnya pemisahan yakni antara bidang Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) dengan
Saat itu, Sukarno menujuk Prijono sebagai Mendikdasbud (Menteri PDK). Prijono
kemudian menetapkan kebijakan yakni ‘Sapta Usaha Tama’, berisi berbagai peraturan tentang
pimpinan sekolah. Ia juga menerapkan ‘Panca Wardhana’, yakni lima macam perkembangan
anak yang menjadi dasar-dasar pelaksanaan tugas di sekolah. Prijono juga membentuk Majelis
Pada era ini juga (Demokrasi Terpimpin), negara menafsirkan ideologi nasional melalui
Civics dalam dunia pendidikan Indonesia. Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan
(PP & K) menerbitkan salah satu bukunya yakni Civics, Masyarakat dan Manusia Indonesia
Baru, karangan Mr. Soepardo, dan kawan-kawan. Secara singkat, buku tersebut berisi tentang
Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Pancasila, UUD 1945, Demokrasi dan Ekonomi
Terpimpin, Konferensi Asia-Afrika, Hak dan Kewajiban Warga Negara, Manifesto Politik,
Ditambah dengan Pidato Lahirnya Pancasila, materi tentang Panca Wardana, dan
Declaration of Human Rights. Berikutnya, pidato-pidato lainnya dari Presiden Sukarno dalam
“Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi” (Tubapi) dan UDHR dan kebijakan Panca Wardhana dari
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yakni Prijono. Menurut Samsuri, buku-buku
47 Rifa’i, Muhammad, Sejarah Pendidikan Nasional: Dari Masa Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2016), hlm. 136-137.
nomenklatur mata pelajaran: Kewarganegaraan (1957), dan Civics (1961). Samsuri menilai, mata
pelajaran Kewarganegaraan (1957) lebih condong membahas cara memperoleh dan kehilangan
kebangkitan nasional, UUD 1945, pidato-pidato politik kenegaraan, terutama untuk Nation and
Character Building bangsa Indonesia seperti pelajaran Civics di Amerika Serikat pada tahun-
Mata pelajaran Civics kemudian diganti menjadi “Kewargaan Negara” pada 1962. Lalu
pada Kurikulum 1968 ditetapkan secara resmi menjadi “Pendidikan Kewargaan Negara.” Di
dalam kurikulum ini, penjabaran Pancasila sebagai pokok bahasan dianggap mengedepankan
kajian tata negara dan sejarah perjuangan bangsa, sedangkan aspek moralnya dianggap belum
nampak50. Kajian Pendidikan Kewargaan Negara untuk masing-masing jenjang juga pada
meliputi beberapa program, yakni Sejarah Indonesia, Civics, dan Ilmu Bumi. Untuk jenjang SMP
(Sekolah Menengah Pertama), Mata Pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara meliputi beberapa
Merdeka (30%), dan UUD 1945 (40%). Lalu untuk jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas),
Mata Pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara meliputi beberapa program pembelajaran yang
pemerintah di bidang pendidikan yang secara langsung diputuskan oleh Presiden Sukarno baru
diterapkan pada 1964 melalui Keputusan Presiden RI No. 224 Tahun 1964. Pada berkas
keputusan tersebut tertulis bahwa Presiden Sukarno menimbang sesuai dengan ketentuan kalimat
ke-2 dari Keputusan Presiden No. 180 Tahun 1964, dipandang telah tiba waktunya untuk segera
Presiden Sukarno juga berdasar pada Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 serta Keputusan Presiden
No. 180 Tahun 1964 tersebut, maka memutuskan untuk menetapkan pembentukan Panitia
berikut:
● Anggota:
- Dr. M. Isa
- Asmara Hadi
- Emma Puradiredja
- Wasit Suwarto
- I.J. Kasimo
Negara tersebut dikerjakan oleh Sekretariat DPA (Dewan Petimbangan Agung) RI. Kemudian
biaya pengeluran dari panitia tersebut dibebankan kepada Anggaran Belanja Pemerintahan
Agung. Keputusan Presiden tersebut berlaku sejak ditetapkan, yakni pada 7 September 1964 52.
Beberapa peta perjalanan hingga Keputusan Presiden tersebut diterapkan, bermula dari
- Pendidikan sebagai produsen tenaga kerja dalam semua bidang dan tingkatan
52 Tyson Tirta, Dari Bekas Kampus Kolonial, Lahirlah Universitas Indonesia: https://tirto.id/dari-bekas-kampus-
kolonial-lahirlah-universitas-indonesia-cD4p, diakses pada 28 Maret pukul 04.35 WIB.
47
menggunakan undang-undang yang lama, yakni UU Pokok Pendidikan dan Pengadjaran RI no.
12 tahun 1954. Diterapkannya Ketetapan MPRS RI No. II Tahun 1960 tentang pendidikan
membuat pemerintah melalui Presiden segera membuat kebijakan yakni Keputusan Presiden RI
No. 224 Tahun 1964 (Pembentukan Panitia Negara – Panca Wardhana). Setahun berikutnya,
landasan hukum tentang pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin semakin diperkuat
dengan Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan
Nasional Pancasila.
Anggaran Belanja, dan Komposisi Majelis Pendidikan Nasional. Lalu Keputusan Presiden RI
No. 232 Tahun 1965 tentang Pengangkatan para Wakil Ketua, para Anggota dan Sekretaris
Umum Majelis Pendidikan Nasional, Keputusan Presiden RI No. 145 tentang Nama dan
Rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional, serta No. 146 tentang Pembentukan Majelis
Pendidikan Nasional. Pentingnya Ketetapan MPRS RI No. II Tahun 1960 sebagai landasan
hukum awal tentang pendidikan hingga kemudian diteruskan dengan berbagai kebijakan
Presiden Sukarno secara eksekutif dapat dilihat dengan pembagian beberapa bidang, yakni
TAP MPRS RI No. II Tahun 1960 menjadi landasan yang paling utama sebelum Presiden
Sukarno menerapkan berbagai kebijakan seperti Perpres, Penpres, dan Keppres terutama di
bidang pendidikan. Hal ini menarik karena saat itu MPRS dan DPR-GR sebagai lembaga
legislatif justru sangat mendukung Presiden Sukarno. Jadi bisa dianalogikan pola perjalanan
2. Didukung lembaga legislatif (MPRS & DPR-GR) melalui TAP MPRS 1960
Pentingnya TAP MPRS 1960 sebagai legitimasi kebijakan Presiden Sukarno di era
Demokrasi Terpimpin terjadi karena TAP tersebut adalah pijakan Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) serta Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB). Khusus PNSB
tersebut, Presiden Sukarno yang didukung MPRS sebenarnya telah merancang beberapa tahap
seperti Tahapan Pertama 1961-1969. Namun sayang, belum sampai 1969, rezim Presiden
Terkait kebijakan pendidikan nasional yang berlandas pada TAP MPRS 1960 dapat
dilihat pada Bab II tentang Ketentuan Umum. Pasal 2 yakni Bidang Mental/Agama/
Kerohanian/Penelitian. Beberapa poin dari pasal tersebut yang dapat dianalisa diantaranya,
dan menolak pengaruh budaya asing. Kedua, menetapkan Pancasila dan Manipol sebagai mata
pelajaran di berbagai jenjang pendidikan dari pendidikan rendah hingga perguruan tinggi.
Berikutnya, menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah mulai dari
sekolah rakyat (dasar) hingga Universitas negeri dengan pengertian bahwa murid berhak tidak
49
ikut serta, jika wali murid menyatakan keberatannya. Kemudian, membina sebaik-baiknya
pembangunan rumah ibadah dan lembaga keagamaan. Selanjutnya yang cukup penting dan tepat
pendidikan nasional yang tertuju pada pembentukan tenaga ahli dalam pembangunan, sesuai
dengan syarat manusia Sosialis Indonesia (versi rezim politik saat itu).
Pemerintah juga mengusahakan agar segala bentuk dan perwujudan kesenian menjadi
milik seluruh rakyat, bahkan berupaya untuk menyiarkan sifat-sifat atau nuansa kebudayaan
kebijakan pendidikan dan penelitian disesuaikan dengan politik luar negeri bebas-aktif,
alur historisnya yakni masih sama berdasar TAP MPRS RI No. II Tahun 1960, lalu diwujudkan
dengan membuat Majelis Pendidikan Nasional melalui Keppres (Keputusan Presiden) RI No.
146 Tahun 1965 tentang Pembentukan Majelis Pendidikan Nasional, beriringan dengan Keppres
RI No. 145 Tahun 1965 tentang Nama dan Rumusan-induk Sistem Pendidikan Nasional
Pancasila.
Pada Keppres RI No. 146 Tahun 1965 tentang Pembentukan Majelis Pendidikan
Pancasila yang bertugas untuk merencanakan, membina, dan mengawasi pelaksanaannya. Secara
55 Mudzakkir. (2015). Pendidikan Islam Masa Orde Lama Dan Orde Baru.Al Fatih, 4,55-66.
50
struktur, Presiden Sukarno menjadi Pengajom Agung, lalu Menteri/Wakil Ketua II DPA, Ketua
sebagai Ketua merangkap Anggauta. Ketua tersebut juga diinstruksikan untuk menyusun tugas,
wewenang, kedudukan, anggaran belanja, komposisi dan personalia dari majelis tersebut56.
Lalu untuk Keppres RI No. 145 Tahun 1965 tentang Nama dan Rumusan-induk Sistim
Pendidikan Nasional Pantjasila, Sukarno menjelaskan kebijakan ini untuk mendukung dan
melaksanakan Keppres RI No. 224 Tahun 1964 pasal pertama dari bagian kedua, maka
dipandang perlu untuk segera memberi nama dan menetapkan rumusan-induk dari Sisdiknas,
sebelumnya). Keppres ini juga berlandas pada Pidato Presiden Sukarno tanggal 17 Agustus 1964,
serta TAP MPRS RI No. VI/MPRS/1965. Pada Keppres ini, Sukarno menetapkan penamaan
tersebut yakni:
- Mukadimah
56 Rifa’i, Muhammad. (2016).Sejarah Pendidikan Nasional: Dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, hlm. 159.
57 Perpres (Peraturan Presiden) RI No. 14 Tahun 1965
51
Sistem Pendidikan Nasional Pancasila, Presiden Sukarno merasa perlu mempertegas dan
- Sistem pendidikan merupakan unsur mutlak dari Nation and Character Building
(Pembentukan Panitia Negara – Panca Wardhana) pasal pertama dari bagian kedua
Penetapan Presiden58.
adalah dengan diyakinkan oleh konsepsi Manipol. Hal tersebut mengacu pada Bab I dalam
Ketentuan Umum, Mukadimah Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
kebijakan pendidikan nasional adalah amanat revolusi yang belum selesai, sehingga harus
dipertegas oleh Presiden Sukarno pada Pasal 1 Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965
adalah moral dan falsafah hidup bangsa Indonesia. Lalu, juga merupakan manifestasi atau
perwujudan persatuan bangsa dan wilayah Indonesia. Berikutnya, juga menjadi perasan kesatuan
jiwa sebagai Weltanschauung bangsa Indonesia dalam penghidupan nasional dan internasional.
58 Mardanas Safwan, PROF.DR. BAHDER DJOHAN: Karya dan Pengabdiannya, Jakarta: Departemen Pendidikan
& Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional,
1985, hlm. 68.
52
Hal tersebut menjadi dasar bagi pemerintahan era Demokrasi Terpimpin menjadikan Pancasila-
Dari Penpres tersebut juga menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah
melahirkan warga negara Sosialis Indonesia yang baik (susila), bertanggungjawab atas
terlaksananya Sosialisme Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun materialnya serta
berjiwa Pancasilais. Di Pasal 3 Penpres tersebut juga membahas tentang isi moral pendidikan
nasional, yakni kolaborasi antara dasar negara (Pancasila) serta konsepsi Presiden Sukarno
(Manipol-Usdek). Satu hal yang menarik, yakni hal tersebut (seluruh arahan dan instruksi serta
konsepsi) berlaku tidak hanya bagi penyelenggara pendidikan dari pemerintah (negeri), namun
Nuansa politis, ideologisasi serta indoktrinasi dalam kebijakan Sisdiknas Indonesia era
Demokrasi Terpimpin yang secara langsung dilakukan oleh Presiden Sukarno semakin nampak
nyata pada Pasal 4 yakni Politik Pendidikan Nasional. Ia menegaskan bahwa landasan politik
Selanjutnya, bahwa garis dan strategi dasar pelaksanaan pendidikan ‘Nasional-Demokratis’ harus
melahirkan patriot yang komplit: berdasar Pancasila dan Manipol-Usdek, menentang segala
bentuk penghisapan manusia atas manusia, bangsa atas bangsa. Lebih konkrit lagi, Presiden
- Imperialisme
- Feodalisme
- Kapitalisme.
53
Sukarno melalui Penpres yang ditandatanganinya ini menjadi anomali di lain sisi. Satu
sisi, ia memonopoli keputusan, makna, pandangan dan sikap politik dalam kebijakan pendidikan
nasional dengan mewajibkan pemerintahan secara nasional seluruh konsepsinya tersebut. Namun
Anomali yang dimaksud adalah jika kita berkaca pada politik pendidikan nasional, menentang
paham-paham yang ‘dilarang’ negara seperti Kapitalisme, Feodalisme, Kolonialisme dan Neo-
Kolonialisme serta Imperialisme. Padahal, ‘isme-isme’ tersebut adalah aliran politik. Bagaimana
mungkin bisa menjalankan pendidikan secara bebas sesuai aliran politik, jika negara justru
melarang beberapa aliran politik secara tertulis dalam peraturannya? Selayaknya konsep
demokrasi yang sebenarnya, yakni kebebasan tanpa campur tangan atau intervensi negara
(Liberalisme), demokrasi yang dijalankan Sukarno ini adalah demokrasi terbatas dan terpusat
Namun, satu hal yang harus diapresiasi dalam Penpres ini adalah kebebasan menjalankan
dan menerapkan pendidikan (selain aliran politik), juga sesuai aliran agama dan kepercayaan
agama secara khusus dijalankan oleh Departemen Agama, khususnya Islam sebagai agama
mayoritas dan salah satu bentuknya adalah madrasah. Sayangnya, sulit menemukan sumber
tentang penerapan pendidikan agama dan kepercayaan lain di luar Islam di era Demokrasi
Terpimpin. Menarik jika ada penelitian selanjutnya yang secara lebih fokus membahas hal
tersebut (penerapan kebijakan pendidikan agama secara nasional di era Demokrasi Terpimpin,
Pasal 5 Penpres tersebut, menarik sebagai bahan renungan untuk saat ini. Bahwa Presiden
Sukarno menegaskan pentingnya toleransi umat beragama termasuk di ranah pendidikan. Pada
54
Pasal 5 secara tegas menyebut bahwa Sisdiknas Indonesia diperkenankan, disesuaikan, serta
dijalankan dengan/sesuai aliran politik dan keyakinan agama masing-masing dalam rangka dasar
negara Pancasila dan konsepsi Manipol-Usdek sebagai satu kesatuan. Hal ini cukup untuk
mengklarifikasi bahwa konsepsi Manipol-Usdek Presiden Sukarno bukan buatan kaum Komunis,
atau bukan karena desakan atau pengaruh dari PKI, yang sering dinegasikan sebagai kelompok
atheis dan anti-agama (hal ini menarik untuk diperdebatkan dalam diskursus ideologi dan
politik).
Lalu pada Pasal 6 Penpres ini, menyebutkan tentang pihak-pihak mana saja yang
harmonis antar elemen tersebut demi tercapainya tujuan pendidikan nasional. Kemudian, terkait
- Pendidikan Biasa
- Pendidikan Khusus
- Pendidikan Kemasyarakatan
Di era ini, belum ada jenis sekolah ‘kejar paket’ seperti saat ini. Pemerintah
mengantisipasi warga negara yang tidak dapat menyelesaikan SD atau SM (Menengah) dengan
Pemerintah di tangan Presiden Sukarno juga memberikan perhatian terhadap kaum difabel
Berikutnya, pada bagian II Pasal 13 dapat dilihat bahwa jika pada sekarang terdapat
PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), maka di era Demokrasi Terpimpin ada yang
namanya jenis Pendidikan Kemasyarakatan yang sejalan/sejenis dengan tipe PKBM. Fungsinya
sama, yakni bagi warga negara yang tidak sempat dididik pada salah satu jenis lembaga
Lalu, landasan hukum mengenai tipe/jenis lembaga pendidikan yang saat ini lebih dikenal
dengan LKP (Lembaga Kursus dan Pelatihan) dan sejenisnya, di era Demokrasi Terpimpin
terwadahi dengan nomenklatur Pendidikan Diluar Hubungan Sekolah. Pada Bagian II Pasal 14
dijelaskan, bahwa kegiatan pendidikan di luar hubungan sekolah sebagai bagian dari pendidikan
untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, diselenggarakan oleh para penyelenggara menurut
bidang, hak, kewajiban, serta masing-masing wewenang. Tipe/jenis pendidikan ini lebih condong
atau melepaskan ke pihak swasta atau non-pemerintah. Seperti yang tercantum pada Pasal 15,
yakni pendidikan di luar hubungan sekolah tersebut dilakukan di lingkungan rumah tangga
Pada Bab III di Pasal 16 dan 17, Presiden Sukarno melalui Penetapan tersebut berikutnya
menegaskan tentang kurikulum pendidikan atau persekolahan. Di era ini, semua kegiatan
pendidikan nasional (di dalam dan di luar hubungan sekolah) diatur dalam Kurikulum
secara lebih jelasnya, meliputi seluruh pengaruh yang didapat peserta didik atas pimpinan
lembaga pendidikan/sekolah.
56
sangat terasa berikutnya pada jiwa kurikulum pendidikan/persekolahan yang diwajibkan untuk
dijalankan. Seperti yang tertera pada Pasal 18, diantaranya yakni semangat mengemban Ampera
dan diridhoi Tuhan Yang Maha Esa. Lalu, semangat Demokrasi Terpimpin (diklaim)
mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Semangat cinta bangsa dan tanah air dan semangat
kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, berkepribadian dan berkebudayaan nasional
juga dimasukkan.
bangsa di dunia atas semangat Nefo (New Emerging Forces) untuk membangun dunia baru yang
bebas dari Imperialisme, Kolonialisme dan Neo-Kolonialisme. Serta, kepercayaan dan rasa
taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa secara berkeadaban sebagai karakteristik bangsa Indonesia,
sesuai dengan Ketetapan MPRS No. II/ MPRS/1960 Bab II Pasal 2 Ayat 3 dan lampiran A338,
dan semangat toleransi terhadap keyakinan masing-masing sebagai karakteristik yang lain
bangsa Indonesia dalam membentuk manusia Indonesia baru jang berjiwa Nasakom59.
Penetapan Presiden ini juga dilengkapi penjelasan dan pedoman pelaksanaannya serta
pembentukan Majelis Pendidikan Nasional sebagai badan tertinggi penentu kebijakan tentang
pendidikan. Lebih jelas lagi, Penpres tersebut mulai berlaku sejak ditetapkan yakni 25 Agustus
1965. Ditandatangani oleh Presiden Sukarno dan diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara
59 Nezar Patria dan Andi Arief, 1999, Negara dan Hegemoni, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 121.
57
Setelah Penetapan Presiden tentang Sisdiknas ditetapkan, di hari yang sama (25 Agustus
1965), Sukarno membuat dan menetapkan juga Perpres (Peraturan Presiden) RI No. 14 Tahun
1965. Perpres tersebut mempertegas kembali serta menjabarkan dari pembentukan Majelis
Pendidikan Nasional yang telah dibuat melalui Keppres (Keputusan Presiden) RI No. 146 Tahun
anggaran belanja, dan komposisi Majelis Pendidikan Nasional, diantaranya sebagai berikut:
● Wewenang: memiliki hak dan kuasa untuk menentukan kebijakan pendidikan di segala
bidang
● Kedudukan: menjadi lembaga tertinggi dalam bidang pendidikan nasional, serta di bawah
Perpres tersebut kemudian diperkuat dengan Keppres (Keputusan Presiden) RI No. 232
Tahun 1965 tentang Pengangkatan para Wakil Ketua, Anggota-anggota dan Sekretaris Umum
Majelis Pendidikan Nasional. Singkatnya, Keppres ini ditetapkan dalam rangka melaksanakan
Pasal 21 Perpres RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional
Pancasila dan Pasal Keenam Ayat 3 Perpres RI No. 14 Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan
Nasional. Tujuannya yakni demi penentuan atau agar segera menentukan Personalia (orang-
orangnya) yang terdiri dari berbagai jabatan: Wakil Ketua, para anggota, serta Sekretaris Umum
dari Majelis Pendidikan Nasional tersebut. Presiden Sukarno menetapkan Perpres ini dengan
60 Merujuk pada halaman 47: “Secara struktur, Presiden Sukarno menjadi Pengajom Agung, lalu Menteri/Wakil
Ketua II DPA, Ketua Panitya Negara Penjempurnaan Sistim Pendidikan Pantjawardhana, yakni Sujono Hadinoto
sebagai Ketua merangkap Anggauta.”
58
mengingat TAP MPRS RI No. II/MPRS/1960, Pidato Presiden RI tanggal 17 Agustus 1964,
Keppres RI No. 224 Tahun 1964, Keppres RI No. 146 Tahun 1965, Penpres RI No. 19 Tahun
❖ Anggota:
- Menko/Menteri yang berhubungan dengan bidang Pendidikan dan Wakil Komisi Pendidikan
DPR-GR: Prof. Prijono, K.H. Saifuddin Zuchri, Prof. Ruslan Abdulgani, Artati Marzuki
Soedirjo, Brigjend. Dr. Sjarif Thayeb, Maladi, Dr. Soemarno S., Drs. M. Achadi, Ipik
Gandamana, Prof. Soedjono Djoened P., Drs. Soerjadi, Jusuf Muda D., Mardanus, Brigjend.
M. Wonojudo.
- Wakil Partai Politik: Arudji Kartawinata, JCT. Simorangkir, IJ. Kasimo, Ratu Aminah H.,
- Wakil Golongan Fungsionil: Nyi Hadjar Dewantara, Asmu, Martiman, PA Harahap, Djamin,
Hasjim Ning, Kusno Utomo, Saroso Hurip, Soebroto, Tudjimah, Notohamidjojo, L. Soekoto,
IGB. Soegriwa, Armunanto, Busuno Wiwoho, Prof. Baroroh Baried, Hoo Kian Lam,
Soekarno Iskandar, Prof. Slamet Iman S., Sodiarto, Chaerun Caropeboka, RAJ. Soedjasmin,
Said Budaeri, Satyagraha, Zaini Mansur, Mahbub Djunaidi, Emma Puradiredja, Santoso.
- Wakil Daerah: M. Isa, Doel Arnowo, Tjilik Riwut, Andi Pangerang Daeng Rani, AB. Mboi,
61 Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966. Mitos dan Dilema: Mahasiswa Dalam Proses Perubahan
Politik 1959-1970, Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2006.
59
Hal yang menarik dan penting untuk dianalisa dalam pembentukan Majelis Pendidikan
Nasional tersebut adalah terdapat perwakilan dari masing-masing elemen. Diantaranya dari para
menteri dan DPR-GR, wakil partai politik, wakil golongan fungsionil/akademisi, hingga wakil
daerah, yang telah dijabarkan. Presiden Sukarno nampak ingin membuktikan keseriusannya
dalam mengelola sistem pendidikan nasional. Terlihat ia ingin menunjukkan bahwa urusan
pendidikan adalah urusan bersama, tidak hanya Kementerian dan Dinas Pendidikan saja. Namun
di sisi lain, keterlibatan banyak pihak hingga dari kalangan militer serta partai politik membuat
pertanyaan baru: “untuk apa pihak-pihak yang berada di luar koridor pendidikan atau yang
nasional?”.
Sisi positifnya, Presiden Sukarno dapat dianggap benar-benar serius dalam mengelola
pendidikan nasional. Ia menjadikan pendidikan sebagai unsur yang sangat penting dalam
banyak pihak hingga wakil dari berbagai daerah. Namun di sisi lain, kritik terhadap Presiden
Sukarno terkait hal tersebut juga dapat disampaikan bahwa ia terlalu politis dalam mengelola
pendidikan nasional. Presiden Sukarno nampak mementingkan sisi prestisiusnya dibanding fokus
pada kebijakan intinya. Keterlibatan banyak pihak dalam satu bidang seperti pendidikan
nasional, justru membuat pelaksanaan kebijakan tersebut tidak akan fokus karena banyak pihak
yang berkepentingan.
Melihat dari suasana politik saat itu dapat juga diasumsikan bahwa Presiden Sukarno
ingin membuktikan bahwa kebijakannya (dalam hal ini, pendidikan) diikuti dan dituruti serta
didukung seluruh elemen masyarakat yang tentu sejalan dengan garis politiknya. Kritik
berikutnya terhadap kebijakan pembentukan Majelis Pendidikan Nasional tersebut adalah bahwa
60
Presiden Sukarno justru mempersempit ruang gerak akademisi dengan ikut melibatkan politisi
partai dan militer, sehingga nampak pihak fungsionil/akademisi bukan menjadi peran yang
sentral pengambil kebijakan. Pada perjalanannya, Majelis Pendidikan Nasional yang dibentuk
Presiden Sukarno tidak bertahan lama. Karena beberapa waktu/bulan setelahnya, terjadi huru-
hara G30S 1965. Setelah peristiwa itu, kebijakan negara tidak banyak dapat diimplementasikan
karena pemerintah fokus meredam situasi politik nasional yang semakin kisruh.
Pada sub-bab sebelumnya telah dijelaskan tentang pentingnya TAP MPRS No. I dan II
Tahun 1960 sebagai salah satu landasan hukum kebijakan pendidikan nasional di era Demokrasi
(Pembangunan Nasional Semesta Berencana) Tahap Pertama 1961-1969. Dampak dari TAP
MPRS 1960 yang menjadi landasan kebijakan pendidikan nasional era Demokrasi Terpimpin
tersebut yakni pemerintah membangun banyak sekali pembangunan terkait bidang pemerintah.
Maluku.
Proyek ini menelan biaya sekitar Rp. 50.000.000,- dan memiliki target hasil diantaranya
penambahan kader, piringan hitam, berbagai film dancatatan artistik, maquette-maquette, teknik
pembuatan alat kesenian, peninggalan Islam dan Hindu, bahan untuk museum nasional, film
kebudayaan untuk sekolah rakyat dan menengah, bahan untuk perguruan tinggi, dan cara kerja
modern. Pembangunan ini dimulai berangsur mulai tahun pertama PNSB Rencana/Tahap I dan
Proyek ini menelan anggaran sekitar Rp. 313.000.000,- dan memiliki target hasil
pariwisata. Pembangunan ini membutuhkan dukungan pendidikan ahli musem, dan sekaligus
membangun taman rekreasi dan Taman Bhinneka Tunggal Ika hingga Museum Perjuangan.
Direncanakan dan diselenggarakan mulai tahun pertama PNSB Tahap I (1961) dan selesai di
Proyek ini menelan biaya sekitar Rp 469.000.000,- dan bertujuan untuk memamerkan
hasil kesenian nasional, memelihara kepribadian kebudayaan, perkembangan daya kreatif serta
memajukan pariwisata. Galeri ini memuat 4000 lukisan dalam satu baris, 8000 lukisan dalam dua
baris dan dapat diperbesar dengan 2000 lukisan. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB
Proyek ini menyerap anggaran sebesar Rp. 453.000.000,- dan bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan bacaan rakyat, menghimpun karya intelektual bangsa Indonesia, serta pendidikan ahli
perpustakaan. Pembangunan ini memiliki kapasitas empat juta buku, dimulai tahun pertama
Proyek ini menghabiskan anggaran sebesar Rp. 44.000.000,- dan bertujuan yakni
menerjemahkan berbagai buku untuk universitas, membuat Kamus Besar Bahasa Indonesia dan
Ensiklopedia Indonesia, penemuan berbagai istilah, pendidikan ahli penerjemah, dan ahli-ahli
62
bahasa. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode
(1961-1969).
Proyek ini menghabiskan anggaran sebesar Rp. 110.000.000,- dan bertujuan yakni
sebagai pusat penghidupan kebudayaan daerah dan nasional. Proyek ini membangun dua puluh
dua taman yang dibangun mulai tahun kedua Tahap I (1962) hingga akhir tahun ketiga.
7. Terjemahan Kitab Suci Al-Quran, Bible, Weda, dan Dhamma Padda (Tri Pitaka)
Proyek ini sangat menarik untuk membuktikan bahwa rezim Sukarno era Demokrasi
Terpimpin adalah rezim yang sangat memperhatikan agama. Anggaran yang diserap untuk
pembangunan ini masing-masing Rp. 62.000.000,- (Islam), Rp. 33.000.000,- (Nasrani), Rp.
20.000.000,- (Hindu dan Buddha). Pembuatan terjemahan ini dimulai sejak tahun pertama Tahap
Total pembangunan beberapa lembaga dan proyek kebudayaan dan keagamaan tersebut
Berikutnya, pemerintah era Demokrasi Terpimpin melalui TAP MPRS tersebut juga membangun
Proyek ini menelan biaya sebesar Rp. 1.650.000.000,- dan memiliki target hasil yakni
melipatgandakan sarjana di bidang teknik, ilmu pasti/alam, biologi, pertanian dan kehutanan,
serta dokter. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode
(1961-1969).
Proyek ini membutuhkan anggaran sekitar Rp. 1.400.000.000,- dan memiliki target hasil
yaitu melipatgandakan sarjana di bidang pertanian dan kehutanan. Selain itu menambah fakultas
baru yakni teknik, ilmu pasti/alam, biologi, dan ahli penggunaan tanah. Pembangunan ini dimulai
3. Universitas
64
65
BAB IV
Hal yang paling terasa dalam hampir semua kebijakan Sukarno di era Demokrasi
Terpimpin adalah hegemoni konsepsi dalam kebijakan, menguatnya dominasi, bahkan cenderung
monopoli. Secara politik, kekuatan dan kekuasaan Sukarno saat itu sangat besar. Tidak ada
oposisi karena kekuatan Masyumi & PSI telah diberangus sebagai dampak dari PRRI-Permesta.
DI/TII saat itu juga semakin diambang kehancuran. Partai-partai politik disederhanakan dan
kekuatan MPRS saat itu bukan sebagai penyeimbang/oposisi, justru menjadi pendukung utama
Demokrasi Terpimpin.
Kuatnya kekuasaan Sukarno saat itu berdampak pada masifnya hegemoni dan dominasi
Sukarno di semua sisi kebijakan nasional. Nasakom menjadi platform dengan Front Nasional
sebagai wadah politiknya. Manipol-Usdek menjadi bahan bakar yang wajib digunakan dalam
setiap gerak rakyat Indonesia. Stigma ‘Kontra-Revolusi’ akan disematkan jika menolak,
menentang, atau bersebrangan dengan konsepsi Sukarno. Hal ini ternyata melingkupi juga dunia
atau bidang pendidikan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, kebijakan dan
Hal tersebut secara sosiologis termasuk dalam konsep hegemoni dan dominasi.
Intelektual marxian, Antonio Gramsci, masih menjadi salah satu referensi utama dalam konsep
ini. Bagi Gramsci, hegemoni berawal dari supremasi kelas. Supremasi sebuah kelompok
mewujud dalam dua cara: dominasi dan kepemimpinan intelektual. Hegemoni menunjuk pada
Hal tersebut membentuk sikap kelas yang dipimpin. Ini terjadi dalam citra konsensual,
dan konsensus yang terjadi antara dua kelas ini diciptakan melalui pemaksaan maupun pengaruh
hakikatnya, hegemoni merupakan upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang
Hal yang paling mendasar dari hegemoni dan dominasi dalam kebijakan pendidikan
dimulai dari tujuan dan politik kebijakan pendidikan nasional. Telah dijelaskan sebelumnya,
bahwa terdapat perbedaan pola pikir yang tajam/beda antara era Demokrasi Terpimpin dengan
zaman sebelumnya, yakni era parlementer. Alam demokrasi bernuansa liberal yang kental di era
parlementer membuat tujuan dan politik pendidikan nasional ialah demokratisasi pendidikan dan
nasional, membentuk Sisdiknas Pancasila versi Sukarno, dan mendapat dukungan politik dari
kelompok kiri.
pendidikan nasional juga melalui penerapan mata pelajaran di sekolah. Sebagaimana yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya, pemerintah memperkenalkan mata pelajaran Civics dalam
63 Umasih (Jurusan Sejarah Universitas Negeri Jakarta), Ketika Kebijakan Orde Lama Memasuki Domain
Pendidikan: Penyiapan dan Kinerja Guru Sekolah Dasar di Indonesia, Jurnal Paramita Vol. 24, No. 1 - Januari
2014, hlm. 105.
67
dunia pendidikan Indonesia. Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP & K)
menerbitkan salah satu bukunya yakni Civics, Masyarakat dan Manusia Indonesia Baru,
karangan Mr. Soepardo, dan kawan-kawan. Secara singkat, buku tersebut berisi tentang Sejarah
Pergerakan Rakyat Indonesia, Pancasila, UUD 1945, Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin,
Konferensi Asia-Afrika, Hak dan Kewajiban Warga Negara, Manifesto Politik, Laksana
Kewargaan Negara. Pada bab ini dijelaskan kembali (merujuk bab sebelumnya), yakni untuk
jenjang SD (Sekolah Dasar) Mata Pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara meliputi beberapa
(30%), Kejadian Setelah Indonesia Merdeka (30%), dan UUD 1945 (40%). Lalu untuk jenjang
SMA (Sekolah Menengah Atas), Mata Pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara meliputi
beberapa program pembelajaran yang sebagian besar terdiri atas UUD 1945.
Hegemoni dan dominasi Sukarno sebagai Pengajom Agung64 dalam kebijakan pendidikan
nasional berikutnya, berdampak pada ‘tidak netral’-nya pendidikan. Esensi pendidikan secara
kepentingan politik pemerintah dan politisasi yang dilakukan Sukarno sebagai pengendali utama
negara. Hal itu merujuk pada Penpres RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem
Pendidikan Nasional Pancasila, bahwa perlu ada Sisdiknas yang sesuai dengan tuntutan Revolusi
Indonesia.
64 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (1200-2004), Jakarta: Serambi, 2007, hlm. 473.
68
Sepanjang penelitian ini, belum menemukan hasil riset/penelitian lain tentang kualitas
didik. Maksudnya, misal, Budi adalah produk dari pendidikan nasional era Demokrasi
pemikiran ataupun keterampilan Budi setelah mendapat pendidikan dari era Demokrasi
Parlementer.
Namun jika menggunakan konsep hegemoni dan dominasi pemerintahan Sukarno era
hingga pelaksana pendidikan (guru, kepala sekolah, dinas hingga kementerian pendidikan)
berpikir dengan alur pikir yang sama dengan Sukarno sebagai pemegang utama kebijakan
pendidikan nasional. Sayangnya, hal tersebut adalah asumsi yang selayaknya masih dapat
Kita bisa membedah sisi positif dan negatif dari hegemoni dan dominasi tersebut. Sisi
positif yang bisa diambil yakni bahwa suatu rezim pemerintahan haruslah kuat dan tidak mudah
terpengaruh pihak-pihak yang ingin mengancam stabilitas nasional. Berikutnya, hegemoni dan
dominasi dibutuhkan untuk melindungi rakyat Indonesia dari ketidakjelasan arah pembangunan
Presiden Sukarno sebagai simbol rakyat pada saat itu memiliki banyak pembelaan di
berbagai pidatonya dan mampu menggalang dukungan elemen politik lainnya atas hegemoni dan
dominasi yang ia lakukan. Terkait pendidikan nasional sendiri, hal tersebut bertujuan untuk
membuat rakyat Indonesia terdidik secara terarah lurus agar tidak ‘belok’ dari cita-cita revolusi
69
dan kemerdekaan Indonesia. Memang, di suatu waktu, hegemoni dan dominasi terasa dibutuhkan
jika bertujuan untuk kebaikan bersama. Namun, hegemoni dan dominasi yang berlebihan apalagi
mendasarkan kepemimpinan nasional hanya pada satu sosok tokoh, membuat negara melemah
dengan sendirinya.
Hal tersebut kemudian terjadi pada bangsa Indonesia, ketika Sukarno berhasil
digulingkan hingga akhirnya wafat pada 1970, kepemimpinan Indonesia berubah arah dan
berganti sandaran pada sosok tokoh yakni Suharto yang memiliki pemikiran, kebijakan, politisasi
dan kepentingan yang jauh berbeda dari Sukarno. Namun keduanya memiliki satu kesamaan:
hegemoni dan dominasi. Bahkan Suharto jauh lebih kuat dan lama dalam melakukan hegemoni
dan dominasi selama tiga puluh dua tahun hingga mengundurkan diri pada 1998.
Presiden Sukarno tidak hanya menghegemoni kebijakan dan sistem pendidikan nasional,
namun juga menjadikan pendidikan nasional sebagai sarana indoktrinasi. Hal ini justru menjadi
sisi negatif mengebiri demokrasi itu sendiri. Tepatnya, saat Presiden Sukarno membuat
kebijakan berupa retooling segala hal di berbagai kebijakan termasuk pendidikan nasional.
Retooling ini membuat media, suratkabar, hingga pendidikan dan kebudayaan menjadi sasaran.
Segala hal terkait pemberitaan, media dan informasi, hingga pendidikan dan kebudayaan harus
bernuansa revolusioner dan segaris dengan kebijakan politik Presiden Sukarno. Ia juga membuat
kebijakan sensor bagi pihak siapapun, apapun, dan manapun yang tidak sejalan dengan
kebijakannya.
merupakan sasaran terpenting. Hal ini bertujuan menghilangkan pemikiran liberalisme dan
70
nasional dari dasar/terendah (sekolah rakyat) hingga pendidikan tertinggi. Maka institusi-institusi
pendidikan menjadi sarana sebagai tempat penanaman paham, indoktrinasi atau sebagai tempat
dan menggantikannya dengan buku-buku marxisme ataupun buku-buku lain yang berkaitan
tentang ajaran sosialisme. Tindakan tersebut adalah bagian dari retooling, termasuk dalam
bidang kebudayaan dengan memberantas musik ‘ngak-ngik-ngok’ seperti Band asal Inggris: The
Beatles, novel bergaya romance Barat dan melarang memainkan film-film Barat. Menurut
Presiden Sukarno, melalui media-media tersebut terjadilah penetrasi kebudayaan Barat yang
Ada fenomena menarik dalam dunia pendidikan tinggi terkait hal tersebut (melanjutkan
tentang hegemoni dan dominasi). Kita melihat dunia pendidikan tinggi yang berisi mahasiswa
dengan berbagai organisasi serta aliran dan kelompok politiknya, walaupun menjalani
65 Waluyo, Shopiaan. 1964. ”Sistem Pendidi- kan Guru dalam Alam Manipol”. Prasaran disampaikan dalam
Seminar Pendidikan Guru tanggal 26-28 Juli 1964. Tanpa halaman.
66 Pendidikan Nasional. 1963. ”Pantjacinta sebagai Sumbangan Bagi Pelaksanaan Pancawardhana secara
Konsekwen”. No. 7 – 8 Maret 1963. Tanpa halaman.
71
pendidikan di era penuh indoktrinasi Sukarno, nyatanya tidak semua para peserta didik dari
kalangan pendidikan tinggi (mahasiswa) mendukung dan sejalan dengan Sukarno. Salah satu
contoh yang paling umum, adanya tipe-tipe mahasiswa kritikus Sukarno paling tajam di era
Demokrasi Terpimpin, seperti Soe Hok Gie. Sejak mahasiswa hingga lulus, tokoh pemuda dari
Fakultas Sastra UI (Universitas Indonesia) ini sangat sering mengkritik Sukarno dan berbagai
kebijakan pemerintah di zaman itu. Gie memiliki beberapa karya/tulisan politik-sejarah yang
hampir seluruhnya mengkritisi era Demokrasi Terpimpin diantaranya Catatan Harian Seorang
melebar dari tema utama penelitian ini, namun tentang hal tersebut perlu untuk sedikit dibahas.
Kebijakan pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin dengan begitu dogmatis dan
indoktriner serta berbagai kebijakan politik Sukarno yang cenderung otoriter dan diperkuat oleh
struktur politik nasional saat itu, nyatanya tidak membuat kehidupan dunia pendidikan tinggi
oleh peserta didiknya (mahasiswa), dapat disetir seratus persen sesuai perintah pemerintah.
Kehidupan dan gerakan mahasiswa sebagai elemen yang menikmati pendidikan hingga
perguruan tinggi (bagian dari pendidikan nasional) era Demokrasi Terpimpin, berjalan dengan
sangat dinamis namun keras dan penuh konflik ideologis. Saat itu sangat banyak gerakan
mahasiswa, intra dan ekstra kampus. Gerakan mahasiswa intra kampus seperti Dewan
Gerakan mahasiswa ekstra kampus seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan
Singkatnya, pertarungan gerakan dan organisasi mahasiswa saat itu mencapai puncaknya
setelah peristiwa G30S (Gerakan 30 September) 1965. Pecahnya konflik politik di tataran elit
nasional berdampak besar dalam dunia pendidikan tinggi. Setelah peristiwa Gestok, beberapa
gerakan mahasiswa seperti HMI, PMKRI, SOMAL, dan PMII, mendesak agar PPMI
ekstra kampus di masa Presiden Sukarno –yang didominasi GMNI Ali – Surachman, CGMI,
Perhimi, dan Germindo- untuk mengadakan kongres terkait sikap mereka perihal Gestok.
PPMI merasa terdesak hingga membuat Menteri PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu
Pengetahuan) saat itu, Sjarif Thajeb turun tangan. Ia mengusulkan pertemuan pada 25 Oktober
1965 di rumahnya. Namun pertemuan itu tidak dihadiri oleh gerakan mahasiswa beraliran kiri.
Hanya GMNI Ali – Surachman yang hadir. Pertemuan tersebut berlangsung alot. Para pemimpin
gerakan mahasiswa yang hadir pada saat itu sepakat untuk membentuk wadah baru sebagai
pengganti PPMI, yakni KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), dengan program utama
mengganyang PKI67.
Menteri PTIP Sjarif Thajeb bersikukuh menolak penyudutan terhadap Presiden Sukarno.
Namun mereka menolak. Akhirnya di kemudian hari, terjadi seperti penyesalannya dari Menteri
Sjarif Thajeb sebab ia menjadi salah satu pelopor berdirinya KAMI yang kemudian justru
menyerang Presiden Sukarno. GMNI Ali – Surachman menyatakan sikap keluar dari KAMI.
67 Poerbakawatja, Soegarda. 1963. Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka. Jakarta : Gunung Agung, tanpa
halaman.
73
November 1965. Selang beberapa hari setelah KAMI Jakarta terbentuk. Pembentukkan KAMI
terjadi di Margasiswa PMKRI Jalan Merdeka 9, Bandung. Presidium KAMI terdiri dari HMI,
Organisasi mahasiswa intra kampus akhirnya mengikuti dengan membentuk KOMII (Kesatuan
Mahasiswa dari 20 perguruan tinggi se-Bandung. Ketua Umum KOMII pertama adalah Rachmat
Awalnya, pergerakan KAMI dan KOMII terpisah. Hal tersebut sebab keduanya tidak
mau menyatu. Namun saat suasana perpolitikan dan ekonomi nasional yang semakin tegang serta
bersatunya KAMI dan KOMII. Akhirnya disepakati dalam Presidium KAMI terdiri dari 4 unsur
Menyatunya unsur intra dan ekstra kampus membuat aksi-aksi mahasiswa semakin tak
terkendali. Pada 10 Januari 1966 terjadilah aksi besar-besaran mahasiswa seluruh Indonesia ke
Jakarta. Aksi tersebut melahirkan tiga tuntutan yang dikenal sebagai TRITURA (Tri Tuntutan
Rakyat), yakni: Bubarkan PKI, Retool Kabinet Dwikora, dan Turunkan harga-harga.
Terutama di kalangan mahasiswa. KAMI dan KOMII yang melakukan aksi besar-besaran
tersebut membuat kelompok yang membela Sukarno –bahkan Sukarno sendiri pun- geram.
dengan para pimpinan GMNI Ali – Suarchman, Germindo, MMI, dan Dewan Mahasiswa
penyerangan kedua kubu dimana-mana. Keduanya saling bentrok. Barisan Soekarno berupaya
beserta jajarannya dari kursi kepemerintahan. Terjadilah bentrokan dimana-mana, bahkan jatuh
korban jiwa. Salah satunya yang terkenal adalah Arief Rahman Hakim.
melakukan reshuffle kabinet dengan memasukkan unsur PKI. KAMI pun geram, aksi mahasiswa
besar-besaran kembali terjadi. Aksi tersebut membuat kemacetan parah di Jakarta. Para
demosntran berhasil masuk ke Istana Negara. Pasukan Cakrabirawa menghadang dan terjadilah
Berbagai sekolah keguruan dengan sekian dan beragam jenjang memang telah
dilaksanakan di era Demokrasi Terpimpin sebagai bagian dari kebijakan pendidikan nasional.
Sayangnya, menurut Umasih, kenyataan di lapangan khususnya kualitas para guru masih minim
bahkan rendah68. Tentang hal ini mengacu pada hasil penelitian dari organisasi PGRI (Persatuan
Guru Republik Indonesia). Kongres PGRI pada 1973 menyatakan bahwa terdapat sekitar 11
persen guru sekolah dasar dianggap tidak berkualitas/ tidak masuk kategori kualifikasi di tahun
196069.
68 Suradi H.P. 1986. Sejarah Pendidikan Di Indonesia Tahun 1945 -1965. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Purbakala.
69 Beeby, C.E. 1981. Pendidikan di Indonesia Terjemahan. Jakarta : LP3ES.
75
Sementara Ricklefs menyebut, bahwa ada peningkatan angka partisipasi sekolah dasar
antara tahun 1953 sampai 1960. Secara jelasnya, dari sekitar 1,7 juta siswa menjadi 2,5 juta
(walaupun sekitar 60 persen dari jumlah tersebut keluar sebelum tamat) 70. Lembaga-lembaga
pendidikan dasar, menengah dan tinggi bermunculan terutama di Pulau Jawa. Angka melek
huruf, juga meningkat dari 7,4 persen pada tahun 1930 menjadi 46,7 persen pada tahun 1960 dari
jumlah anak yang berusia sepuluh tahun ke atas dan mayoritas (76 persen) laki-laki.
Berbicara tentang kondisi guru di era Demokrasi Terpimpin, ada sebuah jurnal menarik
yang ditulis Umasih: Ketika Kebijakan Orde Lama Memasuki Domain Pendidikan: Penyiapan
dan Kinerja Guru Sekolah Dasar di Indonesia, Jurnal Paramita Vol. 24, No. 1 - Januari 2014. Ia
menyebut bahwa di era Demokrasi Terpimpin terdapat politisasi dan polarisasi antar para guru
Sejatinya hal itu mirip dengan situasi di sub-bab sebelum ini, yakni gerakan mahasiswa.
Situasi politik saat itu benar-benar keras dan ideologis, semua elemen profesi hampir selalu
bermuatan politis. Buruh, tani, nelayan, segala jenis profesi bahkan guru semua mengalami
politisasi dan polarisasi yang tajam sejak awal kemerdekaan, membludak di zaman parlementer
(setelah Pemilu 1955 dengan beragam elemen dan kelompok politik), meruncing pecah di era
Khusus tentang politisasi dan polarisasi guru di era ini, menjadi dampak dari hegemoni
dan dominasi yang dilakukan pemerintahan Sukarno. Menurut Umasih, melalui sistem
pendidikan Panca Wardhana, selain syarat-syarat kualifikasi dan kepangkatan, seorang guru
harus revolusioner, ahli dalam bidangnya, manipolis dan patriot paripurna. Syarat
kerevolusioneran guru menjadi paling utama, sedangkan yang lainnya menjadi syarat berikutnya.
70 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Lima Repelita Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Pusat
Perbukuan Depdikbud, 1990.
76
Pada intinya, guru selain bertugas secara kependidikan, juga mendapat tugas politik.
harapan pemerintah saat itu, bahwa guru tidak boleh buta politik apalagi takut politik, karena itu
akan mudah menjadi umpan politik yang reaksioner, yang tidak membela kepentingan rakyat.
Guru harus berwatak revolusioner: memiliki rasa kebencian yang tajam dan semangat
Kolonialisme dan Feodalisme). Guru juga harus memiliki kesadaran kehidupan demokratis
dalam rangka untuk menyatukan kekuatan nasional yang anti-imperialis dan anti-feodal71.
hegemoni dan dominasi juga dilakukan kelompok Kiri seperti dari kalangan PKI (Partai
Komunis Indonesia), Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), Partai Acoma (Angkatan
Comunist Muda), PNI-sayap kiri, dan Partindo (Partai Indonesia). Situasi politik saat itu,
kelompok kiri dianggap sebagai pendukung pemerintah paling utama dan paling mendapat
akomodasi politik yang sangat kuat dari Sukarno. Kelompok ini mendapat perlawanan dari
‘sayap kanan’ yakni kelompok Islam dan Tentara (ABRI/TNI) khususnya Angkatan Darat. Posisi
Sukarno dalam polarisasi politik tersebut adalah menengahi keduanya, walaupun lebih condong
ke kiri.
Situasi politik demikian masuk juga ke kalangan guru, salah satu contohnya ialah
konflik / polarisasi politik di tubuh organisasi guru seperti PGRI. Tepatnya setelah pengurus
PGRI mengikuti Musyawarah Penegasan Pancasila sebagai Dasar Pendidikan Nasional yang
yang diadakan pada Februari 1963 oleh LPN (Lembaga Pendidikan Nasional) yang berhaluan
atau dianggap berafiliasi dengan kalangan kiri, pendukung sistem pendidikan Panca Wardhana.
LPN berpendapat bahwa politik pendidikan harus memiliki tiga prinsip yakni Nasional,
Kerakyatan dan Ilmiah72. Kiprah LPN mengingatkan pada berbagai lembaga lain yang berafiliasi
dengan kelompok kiri terutama PKI. Diantaranya SOBSI (buruh), Gerwani (gerakan
Pada 26-28 Juli 1964 di Jakarta, LPN membuat seminar lagi untuk mendukung aksi
boikot film imperialis Amerika Serikat. Bagi LPN, film itu dianggap membahayakan pendidikan
dan pertumbuhan anak didik. Aksi boikot yang dipelopori oleh para peserta seminar dan pekerja
film juga menjadi kewajiban kolektif guru dalam mewujudkan kebudayaan nasional yang
meliputi seluruh bidang kehidupan rohaniah dan jasmaniah bangsa Indonesia. Para guru dari
kalangan kiri juga melakukan serangkaian aksi seperti menuntut perbaikan nasib. Aksi tersebut
akhirnya membuahkan hasil mendapatkan tunjangan sebesar Rp. 500,- per bulan dan baju
Menurut Poerbakawatja, polarisasi guru terbelah menjadi dua kubu terkait hal tersebut,
ada yang pro dan ada yang kontrak dengan Panca Wardhana. Kubu kontra menanggap karena
sistem pendidikan tersebut menghilangkan esensi sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang
Maha Esa74. Kelompok kiri yang lebih dihegemoni dan didominasi oleh PKI, banyak melakukan
72 Pidato Presiden Republik Indonesia, RESOPIM (Revolusi, Sosialisme, Pimpinan Nasional), 17 Agustus 1961.
73 Tom Bottomore (penerjemah: Joko Susilo), Mazhab Frankfurt: Gagasan dan Kritik, (Yogyakarta: Penerbit
Independen, 2019), hlm. xix.
74 TAP MPRS RI Tahun 1960, BAB II, Pasal 2.
78
Konsep Panca Cinta dan Panca Tinggi dimasukkan dalam Panca Wardhana dan mendapat
banyak penentangan dari kalangan non/anti-kiri. Infiltrasi tersebut juga masuk ke dalam kubu
PGRI, sebagai PGRI Non-Vaksentral. Kelompok PGRI jenis ini, menyerukan berbagai
pemogokan berarti anti-buruh, anti-buruh berarti anti-komunis, dan anti-komunis berarti anti
Nasakom.
Hal tersebut menjadi propaganda yang lazim dikumandangkan para guru pro komunis
dalam mengintimidasi guru-guru lainnya yang tergabung dalam PGRI Vaksentral. Menurut
Suradi, para guru dan masyarakat umumnya dipaksa untuk menarik garis tegas tentang kawan
dan lawan75. Persaingan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat pun terjadi dengan
cara yang berlebihan. Orang-orang yang berbeda pendapat dengan pandangan pemerintah,
dengan mudah dituduh kontra-revolusi, anti-Manipol, agen subversi asing dan lain-lain julukan
Pada intinya, semua hal tersebut terjadi karena situasi politik Indonesia saat itu
‘memaksa’ seluruh elemen masyarakat dan profesi termasuk guru untuk mendukung Manipol-
Usdek. PKI pun dianggap memiliki peran besar, mengintervensi pembinaan guru-guru, terutama
guru sekolah dasar. Menurut Umasih, kinerja guru lebih diarahkan pada melakukan indoktrinasi
kepada peserta didik bagaimana praksis pendidikan manipolis dan Pancawardhanais daripada
75 Lampiran pada naskah TAP MPRS No. I dan II Tahun 1960 hlm. 173-174.
76 Rudi Hartono, Prinsip Pembangunan Semesta Berencana Ala Bung Karno,
https://www.berdikarionline.com/prinsip-pembangunan-semesta-berencana-ala-bung-karno/, Berdikari Online, 15
Januari 2016, diakses pada 16 Juni 2022 pukul 21.52 WIB.
77 Ibid.
79
Pada bab sebelumnya penulis telah menjabarkan berbagai rancangan dan implementasi
Menarik jika kita membahas atau mendalami tentang PNSB sebagai rujukan bagi pembangunan
Indonesia saat ini. Ada poin penting tentang PNSB ini yang disampaikan oleh Rudi Hartono dan
Menurut Rudi, sayang sekali PNSB yang telah diimplementasi melalui TAP MPRS 1960
tidak berjalan sebagaimana mestinya karena keburu dihentikan oleh kontra-revolusi pada 1965.
PNSB digagas sejak tahun 1959, melalui pidato perayaan HUT Kemerdekaan 17 Agustus 1959:
Penemuan Kembali Revolusi Kita. Penulis pun memiliki pandangan yang sama dengan Rudi,
Pidato tersebut membahas dan mengoreksi revolusi Indonesia yang dianggap kehilangan
arah oleh Presiden Sukarno karena liberalisme yang merasuk ke berbagai kehidupan masyarakat
Indonesia, mulai dari politik, ekonomi, hingga sosial-budaya. Wujud nyata secara politik dari
Parlementer / Liberal.
liberalisme dan menghimpun kekuatan dari lembaga lainnya terutama legislatif dengan
memperkuat MPRS dan DPR-GR menjadi pendukung utamanya. Wujud dukungan tersebut
dibuktikan dengan menerapkan TAP MPRS Tahun 1960 dan pendidikan nasional menjadi salah
78 Chandra Purnama, Pemikiran Sukarno di Sebalik Konfrontasi Indonesia-Malaysia 1959-1965: Sebuah Tinjauan
Psikologi Politik, Disertasi Doktoral Falsafah Universiti Utara Malaysia, Kedah Darul Aman: Malaysia, 2016, hlm.
152.
80
satu bidang utama yang diterapkan sesuai arahan, ajaran, dan instruksi Presiden Sukarno. Wujud
Menurut Rudi, PNSB punya arah dan tujuan yang jelas. PNSB bercita-cita mewujudkan
masyarakat adil dan makmur alias Sosialisme Indonesia yang anti-imperialis dan anti-
neokolonialisme. PNSB juga dinilai bersifat “overall planning”, atau segala hal/bidang harus
terencana (sesuai namanya: pembangunan semesta/ semua hal). PNSB membangun fisik dengan
mengedepankan perombakan cara berpikir, cara kerja/berjuang, dan cara hidup agar selaras
dengan semangat kemajuan dan tuntutan revolusi nasional 79. Hal ini juga berlaku pada penerapan
Namun sayang, hingga saat ini penulis belum menemukan dokumen penting yang
menyatakan keberhasilan atau sebatas kelanjutan dari proyek ini bagaimana dan sudah sejauh
mana. Besar kemungkinan hasil dari PNSB menghilang (atau dihilangkan) terkena dampak dari
politik desukarnoisasi era Orde Baru terutama setelah Peristiwa G30S 1965 dan runtuhnya
Padahal jika melihat total anggarannya, sangat banyak sekali dan menarik untuk kita
era PNSB Tahap I pada 1969. Besar kemungkinan akan dilanjutkan pada tahapan-tahapan
berikutnya PNSB Tahap II dan seterusnya. Kegagalan PNSB khususnya di bidang pendidikan
nasional tersebut juga merupakan bukti bahwa Presiden Sukarno tidak mampu mempertahankan
Hal ini juga membuktikan teori bahwa politik tetap lebih diutamakan dibanding
kebijakan publik. PNSB yang telah dibangun Sukarno kemudian diruntuhkan Suharto melalui
79 Majalah Minggu Pagi. 2 Mei 1965. No.5 Tahun ke XVIII. Hlm. 24.
81
rezim Orde Barunya dan membuat GBHN serta pola pembangunan baru yakni REPELITA
(Rancangan Pembangunan Lima Tahun). Terkait kebijakan pendidikan nasional di era Suharto
melalui REPELITA, tidak dibahas dalam tulisan/kajian ini dan bisa kita lihat pada penelitian
BAB IV
KESIMPULAN
82
LAMPIRAN
83
(Gambar 1: Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan
Nasional Pancasila)
84
(Gambar 2: Bab I, Ketentuan Umum, Mukadimah Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965
(Gambar 3: Pasal 1 sampai 3, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
(Gambar 4: Pasal 4 sampai 6, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
(Gambar 5: Bab II, Pasal 5-9, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
(Gambar 6: Pasal 10-12 dan Bagian II Pasal 13, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965
(Gambar 7: Bagian III Pasal 14-15, dan Bab III Pasal 16-17, Penetapan Presiden RI No. 19
(Gambar 8: Bab V Pasal 20 dan Bab VI Pasal 21, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965
(Gambar 9: Bab VII, Peraturan Penutup, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Penerangan RI. (1959). Manifesto Politik Republik Indonesia (17 Agustus 1959).
Perintjian ‘Djalannya Revolusi Kita (Djarek)’ Jang Diutcapkan Oleh Presiden Soekarno Pada
Tanggal 17 Agustus 1960, 19 Januari 1961. Jakarta: Dewan Pertimbangan Agung RI.
Fadrik Aziz Firdausi. (2017). Njoto: Biografi Pemikiran 1951-1965. Tangerang Selatan: Marjin
Kiri.
MPRS & Departemen Penerangan RI. (1960). Ringkasan Ketetapan Madjelis Permusjawaratan
Rakjat Sementara – Republik Indonesia No. I dan II/MPRS/1960. Jakarta: MPRS & Departemen
Penerangan RI.
ST. Sularto. (2016). Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas. Kompas: Jakarta.
Universitas Negeri Yogyakarta. (2019). Pancasila Dalam Praksis Pendidikan, UNY Press:
Yogyakarta.
94
Agus Suwignyo, Unifying Diversities: Early Institutional Formation of the Indonesian National
Education System, C. December 1949-August 1950, Jurnal Humaniora Vol. 24 no. 1 Februari
Dwi Siswoyo, Pandangan Soekarno Tentang Pancasila dan Pendidikan, Jurnal Cakrawala
Muhammad Rijal Fadli, Dyah Kumalasari, Sistem Pendidikan Indonesia Pada Masa Orde Lama
Said Hamid Hasan, Arah & Perubahan Kurikulum di Indonesia: Suatu Tinjauan Historis,
http://sejarah.upi.edu/artikel/dosen/arah-dan-perubahan-kurikulum-di-indonesia-suatu-tinjauan-
Juni 2019.
Sunarso, Pendidikan Nasional Indonesia (Tinjauan dari Perspektif Sejarah), Volume 4 no. 1,