Anda di halaman 1dari 95

1

TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA

“BUNG KARNO SEBAGAI KEPALA SEKOLAH”


Cara Sukarno Mengelola Pendidikan Nasional
Era Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

ASLAMA NANDA RIZAL


1906414430

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA


PROGRAM PASCASARJANA ILMU SEJARAH
DEPOK
2022
BAB I
2

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan adalah elemen penting dalam membangun kehidupan masyarakat di seluruh

dunia, termasuk Indonesia. Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan merupakan salah satu

usaha pokok untuk memberikan nilai-nilai kebatinan yang ada dalam hidup rakyat yang

berkebudayaan kepada tiap-tiap turunan baru (penyerahan kultur), tidak hanya berupa

pemeliharaan, namun juga untuk memajukan dan mengembangkan kebudayaan, menuju ke arah

keseluruhan hidup kemanusiaan1.

Sepanjang sejarah, dunia pendidikan telah mengalami perjalanan di berbagai zaman. Di

Eropa, perjalanan pendidikan telah berlangsung sejak zaman Yunani dan Romawi hingga

modern setelah era Renaisans. Di Asia, pendidikan telah diterapkan sejak masa Mesir, India, dan

Tiongkok kuno2, hingga era modern setelah terpengaruh kolonialisme Eropa. Begitu juga

Indonesia, sebagai bangsa Asia yang mendapat pengaruh kolonialisme, pendidikan modern mulai

berkembang, terpengaruh dan diterapkan oleh kolonial.

Hal ini menandakan bahwa unsur politik adalah unsur terkuat dalam memengaruhi atau

membuat kebijakan pendidikan. Secara umum, korelasi antara kekuasaan sebagai pemegang

politik dan pemerintahan, dengan kebijakan pendidikan tidak dapat dipisahkan. Dapat juga

dikatakan bahwa penerapan pendidikan di suatu masyarakat, daerah, hingga negara tidak dapat

dipisahkan dari kebijakan pemerintah dan situasi serta suasana politik yang berlaku di era

1 Era Orde Lama dalam penelitian ini ditulis dengan terminologi Demokrasi Terpimpin.
2 Kamadjaja. Pendidikan Nasional Pantjasila: Perdjuangan Pendidikan Nasional Indonesia dan Hasil-Hasilnja,
(Yogyakarta: UP. Indonesia, 1966), hlm. 72-76.
3

tersebut. Menurut Asep Suryana, kebijakan pendidikan merupakan upaya mengatur pendidikan,

yang tidak dapat terlepas dari kekuasaan secara politis3.

Di Indonesia, pada era kerajaan Hindu-Buddha, pendidikan yang berlaku adalah

pendidikan yang berbasis Hindu-Buddha dan bertujuan melanggengkan kekuasaan kerajaan.

Begitu juga di era kerajaan/kesultanan Islam, walaupun di era tersebut banyak terjadi akulturasi

kebudayaan antara Islam dan Hindu-Buddha ataupun budaya setempat. Pendidikan yang

diterapkan di era Islam yang paling terkenal hingga saat ini dikenal sebagai pendidikan

tradisional, misalnya Pesantren, Surau, Langgar, dan lain-lain. Hal yang sama terjadi di era

kolonialisme di Nusantara, yang perlahan mengubah kebijakan pendidikannya dari nuansa

kristenisasi4, menjadi ‘modern-sekuler’ akibat kebijakan Politik Etis, lahir dari dari kaum

sosialis-liberalis yang prihatin terhadap kondisi sosial ekonomi kaum bumiputra (inlander)5.

Perang Dunia II lalu mengubah dan memengaruhi kebijakan pendidikan Indonesia

berikutnya. Setelah Belanda menyerah pada Jepang, militer Jepang menduduki wilayah Hindia-

Belanda. Di masa pendudukan Jepang, secara umum melakukan/ menerapkan kebijakan

(termasuk di bidang pendidikan) penghapusan segala hal yang berbau Belanda dan Barat,

menerapkan Nipponisasi, dalam kebijakan politik dan pendidikannya merangkul Islam untuk

mendapat simpati (berbanding terbalik dengan Belanda: kristenisasi oleh para

zending/missionairs, dan sekularsisasi oleh pemerintah kolonial), serta menerapkan militerisasi

demi kepentingan Perang Asia Timur Raya.

3 Agus Suwignyo, Unifying Diversities: Early Institutional Formation of the Indonesian National Education
System, C. December 1949-August 1950, (Jurnal Humaniora Vol. 24 no. 1 Februari 2012: 3-17, FIB UGM:
Yogyakarta), hlm. 15.
4 Menteri Pengadjaran RI (Ki Hadjar Dewantara), ‘INSTRUKSI MENTERI PENGADJARAN: Kepada Sekalian
Pemimpin Pengadjaran, Kepala Sekolah dan Guru-Guru disegenap Daerah diseluruh Djawa’, 29 September 1945.
5 Kamadjaja, Log.Cit., hlm. 82-83.
4

Setelah kemerdekaan Indonesia, kekuasaan (politik), tata negara, dan penerapan

kebijakan (pemerintahan) berubah secara besar-besaran. Nasionalisme menjadi basis segala

kebijakan. Dari segi ekonomi, terdapat kebijakan nasionalisasi perusahaan asing. Dari sisi sudut

pandang keilmuan termasuk sejarah, meninggalkan perspektif Neerlandosentris menjadi

Indonesiasentris. Dari bidang pendidikan, disesuaikan dengan kepentingan negara serta berbagai

kelompok politik yang berkuasa, dengan beberapa asas dan ideologi. Setelah era revolusi yang

berpusat mengusir dan menghapus segala sesuatu yang berbau kolonial dan fasisme Jepang,

situasi politik berubah mengikuti zaman. Perpolitikan dunia sejak akhir 1940-an hingga 1960-an,

mulai masuk dan menguatnya era Perang Dingin. Hal tersebut juga memengaruhi situasi politik

hingga berbagai kebijakan di Indonesia, termasuk di bidang pendidikan.

Selanjutnya, penulis merasa penting untuk menjelaskan fokus pendidikan yang dimaksud

dalam penelitian ini. Karena secara umum, pendidikan terbagi menjadi pendidikan nasional

(sekuler) dan pendidikan agama. Untuk itu perlu ditegaskan, fokus penelitian ini adalah

pendidikan nasional (sekuler/non-agama). Namun bukan berarti tidak akan membahas

pendidikan agama sama sekali, karena jika berbicara tentang pendidikan agama secara khusus,

hal tersebut membutuhkan sumber penelitian dari lembaga-lembaga serta Kementerian Agama.

Berikutnya, jikalau demikian, akan sangat memperpanjang penelitian dan membuyarkan

fokus/konsentrasi penelitian ini.

Tentang pendidikan agama tetap akan disinggung dalam kaitannya sebagai pendidikan

nasional. Karena Indonesia ini unik, satu sisi tidak bisa dibilang negara agama (teokrasi), namun

dalam setiap kehidupannya selalu menggunakan/terpengaruh/dan mengakomodasi kepentingan

umat beragama. Sehingga urusan keagamaan dan pendidikan agama dalam beberapa hal, tetap

masuk dalam urusan dan hukum nasional.


5

Berbicara tentang pendidikan nasional suatu negara, pasti berdasar pada nasionalisme

yang dianut oleh negara dan bangsa tersebut. Perkembangan nasionalisme dan pembentukan

negara-bangsa (nation-state) di tiap negara-bangsa dunia memiliki ciri khas/ karakter masing-

masing, Indonesia pun demikian. Masyarakat Indonesia telah memiliki sejarah panjang sebagai

masyarakat yang dikuasai, dan berkuasa atas nama agama. Agama dan kebudayaan telah melebur

menjadi satu, termasuk ketika nantinya nasionalisme berkembang, tidak dapat melepaskan diri

dari agama. Berbeda dengan perkembangan nasionalisme Eropa yang beriringan dengan

sekularisme.

Perkembangan nasionalisme Indonesia pun digerakkan oleh tiga kekuatan ideologi besar:

nasionalisme, agama (khususnya Islam), dan marxisme. Ketika Indonesia merdeka, penerapan

kebijakan pendidikan nyatanya tidak bisa menggabungkan semuanya. Hal itu dapat dibuktikan

dengan pemisahan naungan pendidikan melalui dua kementerian: Kementerian Pendidikan serta

Kementerian Agama. Pendidikan yang berbasis nasional dan sifatnya non-agama (sekuler),

dinaungi oleh Kementerian Pendidikan. Sedangkan pendidikan agama, dinaungi oleh

Kementerian Agama.

Selanjutnya, penulis meyakini bahwa dalam meneliti kebijakan pendidikan harus melihat

akar historis situasi politiknya. Di era Demokrasi Terpimpin yang menjadi fokus periode

penelitian ini, semua aspek kehidupan masyarakat wajib mengikuti konsep dan haluan negara

berdasar pada indoktrinasi serta ajaran langsung Sukarno, termasuk di bidang pendidikan. Tesis

ini secara lebih detail membahas hal tersebut (kebijakan pendidikan di era Demokrasi

Terpimpin). Sebenarnya, sudah banyak tulisan, karya ilmiah, jurnal, skripsi, tesis, disertasi,

bahkan reportase dalam surat kabar/media massa tentang kebijakan pendidikan. Terkait sejarah

pendidikan Indonesia, juga telah banyak ditulis. Namun kajian pendidikan nasional di era
6

Demokrasi Terpimpin apalagi mengacu dengan sumber primer dan berbagai UU (Undang-

undang) dan landasan hukum resmi lainnya di zaman Demokrasi Terpimpin, masih belum

banyak diteliti.

Menurut penulis, berbagai kajian dan tulisan tentang era Demokrasi Terpimpin terlalu

banyak yang membahas mengenai sisi kebijakan politiknya saja. Seperti Politik Mercusuar,

penguatan Gerakan Non-Blok, pembentukan CONEFO (Conferences Of New Emerging Forces)

dan GANEFO (Games of New Emerging Forces), perebutan Irian Barat, keluarnya Indonesia

dari PBB, politik ‘Ganyang Malaysia’, simbolisasi politik dengan pembangunan (Monumen

Nasional, Hotel Indonesia, dan lain-lain), ketegangan segitiga kekuatan politik: Tentara/ TNI AD

(Angkatan Darat), Sukarno, dan PKI (Partai Komunis Indonesia), hingga pecahnya G30S

(Gerakan 30 September 1965). Sementara penelitian yang fokus di bidang pendidikan era

Demokrasi Terpimpin, belum banyak dibahas. Hal tersebut menjadi permasalahan yang ada pada

penelitian ini.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka terdapat beberapa pertanyaan penelitian yakni

sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi pendidikan Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga Demokrasi

Parlementer?

2. Bagaimana penerapan kebijakan sistem pendidikan nasional di era Demokrasi

Terpimpin?

3. Bagaimana dampak dari penerapan kebijakan sistem pendidikan nasional di era

Demokrasi Terpimpin tersebut?


7

1.3 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan cakupan spasial dan temporal. Secara spasial, karena

membahas tentang kebijakan pendidikan nasional, maka berlaku atau mencakup se-Indonesia.

Fokus penelitian ini yakni kebijakan pendidikan nasional yang diterapkan Sukarno, dan mengacu

pada pandangan Sukarno tentang pendidikan, sebagai ‘Kepala Sekolah (Kepsek)’ bagi seluruh

sekolah se-Indonesia saat itu.

Secara cakupan temporal, penelitian ini berpusat di era Demokrasi Terpimpin (1959-

1966). Dimulai sejak 1959, karena pada periode ini, dimulainya Demokrasi Terpimpin Sukarno

melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Walaupun dimulai sejak 1959, namun pada bab-bab awal

penelitian ini sedikit menjabarkan terlebih dahulu sejarah pendidikan Indonesia era awal

kemerdekaan / masa revolusi. Akhir periode penelitian ini berujung pada 1966 karena di era

tersebut Demokrasi Terpimpin dan pengaruh Sukarno kian terkikis sebagai dampak dari

peristiwa G30S 1965.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab serangkaian permasalahan yang ada dalam

pertanyaan penelitian. Diantaranya, pertama, menjabarkan kondisi pendidikan Indonesia sejak

awal kemerdekaan hingga Demokrasi Parlementer. Kedua, menganalisis penerapan kebijakan

sistem pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin. Terakhir, menjawab/menjelaskan

dampak dari penerapan kebijakan sistem pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin

tersebut bagi masyarakat.


8

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini nantinya, diharapkan mampu menjadi salah satu rujukan bagi

Kemendikbudristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) & Komisi X

DPR RI dalam membuat kebijakan pendidikan nasional yang sesuai amanat UUD 1945. Manfaat

lainnya di luar pemerintahan, adalah menambah kajian pendidikan dan sejarah pendidikan

nasional, serta sangat bermanfaat untuk para lembaga riset dan/atau bahkan

ilmuwan/praktisi/pelaku politik dalam memperjuangan pendidikan dengan perspektif Sukarnois.

1.6 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka adalah peninjauan terhadap penulisan terdahulu yang sejenis dengan

penelitian ini. Adapun beberapa karya tulis yang sejenis dan dijadikan sumber, namun memiliki

perbedaan dengan kajian ini, diantaranya yaitu buku Kamadjaja, Pendidikan Nasional

Pantjasila: Perdjuangan Pendidikan Nasional Indonesia dan Hasil-Hasilnja, UP. Indonesia:

Jogja, 1966. Buku tersebut membedah sejarah pendidikan Indonesia sejak zaman kerajaan

Hindu-Buddha hingga Demokrasi Terpimpin, ditulis secara ideologis dan politis berdasar sesuai

situasi politik serta kebijakan pemerintah di era tersebut (lebih bersifat indoktrinasi). Hal yang

kurang dari buku ini adalah awal mula periode tulisan terlalu jauh (sejak zaman kerajaan Hindu-

Buddha) dan kurangnya penjelasan lebih rinci tentang dampak kebijakan pendidikan di era

Demokrasi Terpimpin.

Berikutnya, jurnal yang ditulis Sunarso, yakni Pendidikan Nasional Indonesia (Tinjauan

dari Perspektif Sejarah), Volume 4 no. 1, 2007, Jurusan PKnH FISE Universitas Negeri

Yogyakarta. Jurnal tersebut membahas tentang sejarah pendidikan nasional Indonesia sejak

zaman Kerajaan Hindu-Buddha hingga Reformasi. Serta menggunakan kerangka pikir historis

dengan membedah sejarah pendidikan dari berbagai zaman.


9

Perbedaan dengan penelitian ini cukup jelas terdapat pada sumber, yakni lebih banyak

sumber sekunder (buku penelitian lain dan tidak sesuai zaman saat kebijakan pendidikan

Sukarno diterapkan) dan kurangnya sumber primer. Perbedaan berikutnya dengan penelitian ini

adalah jurnal tersebut terlalu singkat karena hanya berupa jurnal, namun temporalnya terlalu

panjang hingga masa reformasi.

Kemudian, artikel yang ditulis Said Hamid Hasan, Arah & Perubahan Kurikulum di

Indonesia: Suatu Tinjauan Historis, http://sejarah.upi.edu/artikel/dosen/arah-dan-perubahan-

kurikulum-di-indonesia-suatu-tinjauan-historis/ , Departemen Pendidikan Sejarah UPI

(Universitas Pendidikan Indonesia), Bandung: 30 Juni 2019. Membahas tentang sejarah singkat

perkembangan kurikulum nasional sejak 1950-2004. Menggunakan kerangka pikir historis

dengan membedah perkembangan kurikulum nasional dari awal kemerdekaan hingga masa

kontemporer (pasca-reformasi).

Artikel/tulisan tersebut cukup lugas menjabarkan perkembangan kurikulum nasional,

namun temporalnya juga terlalu panjang untuk ukuran artikel, karena keterbatasan sumber yang

dimiliki (walaupun ada beberapa dokumen/sumber primer yang digunakan seperti Undang-

Undang Nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah serta

Undang-Undang Nomor 12 tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengadjaran

Disekolah untuk Seluruh Indonesia. Namun masih sangat kurang dan berbeda dengan fokus

utama penelitian ini, yakni era Demokrasi Terpimpin.

Lalu, jurnal Muhammad Rijal Fadli, Dyah Kumalasari, Sistem Pendidikan Indonesia

Pada Masa Orde Lama (Periode 1945-1966), Jurnal Agastya, Vol 9, no. 2, 2019. Membahas

tentang sistem pendidikan pada masa Orde Lama6: periode pendidikan dari awal

6 Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan RI, Undang-Undang No. 4 tahun 1950 RI tentang Dasar-
Dasar Pendidikan dan Pengadjaran disekolah untuk Seluruh Indonesia, Yogyakarta: 2 April 1950.
10

kemerdekaan sampai masa Orde Lama (1945-1950 & 1950-1966). Secara temporal dan fokus

penelitian, hampir sama seperti penelitian ini. Namun terdapat perbedaan signifikan, selain

karena tulisan tersebut hanya berupa jurnal singkat, sumber yang digunakan dalam jurnal

tersebut semuanya sekunder (mengacu pada tulisan orang lain).

Selain itu, ada juga jurnal Dwi Siswoyo, Pandangan Soekarno Tentang Pancasila dan

Pendidikan, Jurnal Cakrawala Pendidikan, Februari 2013, Th. XXXII, No. 1. Membahas tentang:

Urgensi nasionalisme dalam membangun bangsa, urgensi Pancasila sebagai dasar filosofi negara

Indonesia, urgensi Pendidikan Nasional dalam membangun kepribadian (karakter) bangsa.

Tulisan ini menggunakan kerangka pikir historis-filosofis berbasis ideologi atau secara ideologis

serta menggunakan hermeneutika dialektis, dengan melakukan berdialog tetrhadap karya-karya

Sukarno untuk memperoleh makna tentang nasionalisme, pancasila, dan pendidikan. Perbedaan

dengan penelitian yang penulis lakukan ada pada fokus kajiannya. Jurnal tersebut lebih condong

pada penjabaran tentang konsepsi pemikiran Sukarno tentang nasionalisme dan Pancasila, bukan

pada penerapan kebijakan pendidikan di era Demokrasi Terpimpin.

Kemudian, buku Universitas Negeri Yogyakarta, Pancasila Dalam Praksis Pendidikan,

UNY Press: Yogyakarta, 2019. Buku ini sebagai buku ‘babon’ berjumlah 400-an halaman yang

membahas seluk-beluk pendidikan Pancasila ataupun pendidikan nasional berbasis Pancasila

sebagai ideologi negara. Hal yang menarik tentang sistem pendidikan nasional era Demokrasi

Terpimpin menurut buku ini adalah dengan melihat dan membedahnya dalam lingkup dimensi

historis.

Hal itu terjadi karena dalam buku ini membahas juga terkait perjalanan historis

pendidikan Pancasila serta pendidikan nasional berbasis Pancasila. Perbedaan dengan penelitian

yang penulis lakukan cukup jelas diantaranya buku tersebut adalah kumpulan tulisan dari
11

berbagai penulis, lalu sumber yang digunakan juga banyak menggunakan sumber sekunder, serta

secara temporal sangat luas melebihi era Demokrasi Terpimpin.

Selanjutnya, jurnal Agus Suwignyo, Unifying Diversities: Early Institutional Formation

of the Indonesian National Education System, C. December 1949-August 1950, Jurnal

Humaniora Vol. 24 no. 1 Februari 2012: 3-17, FIB UGM: Yogyakarta. Jurnal ini tidak secara

langsung membedah periode Demokrasi Terpimpin karena jurnal ini membahas periode revolusi

(1945-1950). Namun jurnal ini mampu menjadi referensi melihat akar awal pembentukan sistem

pendidikan nasional yang nantinya dapat dikaitkan di masa/ fokus periodisasi penelitian yakni

periode Demokrasi Terpimpin.

Penelitian ini sendiri lebih fokus untuk melihat aspek kebaruan dalam hal pendidikan

Indonesia khususnya di era Demokrasi Terpimpin. Karena penulis meyakini bahwa terdapat

beberapa aspek dalam sejarah dunia pendidikan Indonesia yang belum diteliti. Penulis mencoba

masuk ke ranah yang kosong itu, dengan memberikan sebuah aspek tema yang baru, yakni

dengan melakukan penelitian dengan banyak sumber primer, berisi analisis mengenai kebijakan

pendidikan Indonesia di era Demokrasi Terpimpin beserta dampak dan pengaruhnya terhadap

masyarakat.

Kebaruan dalam penelitian ini ada beberapa hal dan membedakan dari

penelitian/penulisan sebelumnya. Diantaranya, pertama jika beberapa penelitian sebelumnya

memiliki periodisasi terlalu panjang (misal, buku karya Kamadjaja), maka penelitian ini lebih

fokus pada era Demokrasi Terpimpin dengan menarik akar historisnya sejak awal kemerdekaan.

Berikutnya, jika pada penelitian dengan tema dan periode yang hampir sama/ mirip dengan

penelitian ini banyak menggunakan sumber sekunder, maka kebaruan dalam penelitian ini adalah
12

lebih banyak menggunakan sumber primer berupa arsip, naskah, dan dokumen berbagai

kebijakan pendidikan sejak awal kemerdekaan hingga Demokrasi Terpimpin.

Kemudian, jika pada penelitian sebelumnya (yang termasuk dalam tinjauan pustaka)

lebih condong bersifat deskriptif bahkan mendukung aspek politisnya, maka penelitian ini lebih

bersifat naratif, melakukan analisis, dan kritis. Selain itu, penulis yakin penelitian ini semakin

membuktikan bahwa politik adalah aspek utama dalam pengambilan kebijakan, sesuai dengan

pepatah ‘politik adalah panglima’. Kebijakan dan sistem pendidikan nasional pun, harus

melewati fase politisasi. Proses politisasi tersebutlah yang dibedah dan dikritisi dalam penelitian

ini dan menjadi salah satu aspek kebaruannya.

1.7 Pendekatan dan Kerangka Konseptual

Penelitian ini memadukan antara sejarah perjalanan pendidikan dan penerapan

kebijakannya. Untuk bisa menyesuaikan dengan fokus penelitian yakni era kekuasaan Sukarno

(Demokrasi Terpimpin), dapat melihat dari pemikiran besar Sukarno terlebih dahulu. Kemudian,

mengerucut pada berbagai konsepsi politiknya, pandangannya tentang pendidikan, hingga

kebijakan yang ia terapkan di masa Demokrasi Terpimpin. Penelitian ini juga membuktikan

bahwa politisasi pendidikan atau menjalankan sistem pendidikan nasional, tidak terlepas dari

politik kepentingan penguasa.

Agar dapat meneliti sejarah perjalanan dan kebijakan pendidikan sesuai dengan tema dan

periode serta fokus penelitian ini secara lebih jelas, harus membedah terlebih dahulu konsep

pendidikan yang relevan. Fokus penelitian ini adalah kebijakan yang diterapkan oleh Sukarno,

maka pola pikir tentang pendidikan harus berdasar pemikiran Sukarno. Tentunya pemikiran
13

seseorang tidak akan bisa berdiri sendiri, pasti berdasar, terpengaruh, kombinasi, inovasi-kreasi,

bahkan sinkretisasi, termasuk pemikiran Sukarno.

Cukup rumit jika memahami pemikiran Sukarno secara mendalam dan menyeluruh.

Namun dalam bidang atau konteks pendidikan, setidaknya ada beberapa pemikiran tokoh yang

memengaruhi pemikiran Sukarno tentang pendidikan hingga ia menerapkannya dalam kebijakan

pendidikan. Diantaranya Ki Hadjar Dewantara, Karl Marx, HOS Cokroaminoto, KH. Ahmad

Dahlan, hingga Abraham Lincoln. Pemikiran para tokoh tersebut dapat dibuktikan nantinya

dengan karya tulisan Sukarno tentang pendidikan sejak masa kolonial melalui berbagai surat

kabar yang dihimpun dalam buku DBR (Dibawah Bendera Revolusi) mulai sekitar 1964. Salah

satu judul karya tulis Sukarno tentang pendidikan secara terang-terangan adalah “Mendjadi

Goeroe di Masa Kebangoenan”.

Sedangkan jika mengacu pada konsepsi pendidikan modern para ahli, teoritikus, ataupun

filsuf diantaranya dari Descartes (rasionalisme), Locke (empirisme), Comte (positivisme), Kohl

atau Habermas (humanisme), Paulo Freire (pendidikan untuk pembebasan), Thorndike

(behaviorisme), dan lain-lain7. Berbagai teori tersebut nantinya akan dibedah dan disesuaikan

dengan penelitian ini, sehingga dapat menemukan teori yang memiliki kecondongan pola yang

mirip atau sama seperti kebijakan pendidikan di era Demokrasi Terpimpin. Teori-teori ilmuwan

tersebut juga menjadi pisau analisa dalam membedah kebijakan pendidikan nasional sejak awal

kemerdekaan hingga era Demokrasi Terpimpin (diterapkan Sukarno).

1.8 Metode Penelitian

7 Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan RI, Undang-Undang No. 12 tahun 1954 tentang
Pernjataan berlakunja UU No. 4 tahun 1950 dari Republik Indonesia dahulu (era RIS), tentang Dasar-Dasar
Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia’. Jakarta: 12 Maret 1954.
14

Metode sejarah dalam penelitian ini adalah dengan mencari dan mengkaji/meneliti karya

dan sumber yang berkaitan dengan tema penelitian. Lebih tepatnya yakni karya dan sumber

tentang sejarah dan kebijakan pendidikan di awal masa kemerdekaan (revolusi), era Demokrasi

Parlementer, hingga yang paling utama dalam penelitian ini yaitu era Demokrasi Terpimpin.

Mencari sumber penelitian tentang hal-hal tersebut dengan mengutamakan sumber primer

(dokumen) ke beberapa tempat seperti Perpusnas (Perpustakaan Nasional) & ANRI (Arsip

Nasional RI), mencari buku/naskah/dokumen asli pada zamannya (periode penelitian ini) ke

berbagai tempat seperti toko buku bekas, atau meminjam dari rekan/kolega yang menyimpannya,

dan lain-lain. Kemudian, penulis juga memadukan dan mencari celah dari sumber sekunder yang

relevan dengan penelitian ini khususnya karya-karya yang dijabarkan pada tinjauan pustaka,

kemudian semuanya dianalisis dan dijabarkan dalam penelitian ini.

1.9 Sumber Penelitian


Sumber penelitian ini diantaranya sumber langsung (primer) yakni arsip-arsip atau

dokumen atau catatan atau laporan berbagai hasil kebijakan pemerintah di era Demokrasi

Terpimpin tentang pendidikan, serta sumber sekunder yakni buku-buku, artikel, dan jurnal yang

membahas seputar sejarah pendidikan Indonesia yang relevan penelitian ini, diantaranya telah

ditulis dalam tinjauan pustaka. Beberapa sumber primer yang menjadi rujukan berkisar tentang

penjabaran ideologi/ajaran dan menjadi dasar Sukarno dalam menerapkan kebijakan pendidikan

diantaranya adalah arsip MPRS & Departemen Penerangan RI, “Ringkasan Ketetapan Madjelis

Permusjawaratan Rakjat Sementara – Republik Indonesia No. I dan II/MPRS/1960“.

Membahas tentang formalisasi MANIPOL-USDEK menjadi GBHN (Garis Besar Haluan

Negara), berbagai Ketetapan tentang Pembangunan Nasional Semesta Berencana (Tahapan


15

Pertama 1961-1969), Penjabaran kebijakan pemerintah tentang bidang pendidikan atau yang

tertulis dalam berbagai lampirannya sebagai ‘Bidang Mental/Agama/Kerochanian/Penelitian’.

Selanjutnya, buku Notosoetardjo (Editor), “RE-SO-PIM: Revolusi, Sosialisme, Pimpinan

Nasional”, Penerbitan Bersama: ENDANG-PEMUDA (cetakan kedua, tanpa tahun). Buku ini

menjabarkan pidato asli/primer Sukarno yakni “Pidato Presiden Republik Indonesia pada

Tanggal 17 Agustus 1961” sepanjang 50-an halaman. Lalu membedah konsep Revolusi

Indonesia, Sosialisme Indonesia dan Kepemimpinan Nasional berdasar ajaran Sukarno untuk

melengkapi dan menjabarkan inti ajaran utamanya di masa Demokrasi Terpimpin yakni

MANIPOL-USDEK. Buku ini juga untuk melihat konsep/ideologi ajaran Sukarno sebagai pisau

analisa dalam melihat sistem pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin yang politis. Serta

buku Departemen Penerangan RI, “Manifesto Politik Republik Indonesia (17 Agustus 1959)”.

Buku ini berisi tentang berbagai keputusan & penetapan MANIPOL RI 17 Agustus 1959 sebagai

GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara). Lalu membedah konsep MANIPOL secara

menyeluruh dan turunan/kebijakan/program kerja pemerintah salah satunya tentang pendidikan.

1.10 Sistematika Penulisan


Penulisan hasil penelitian / tesis ini dibuat dengan membaginya ke dalam lima bab, yakni

bab I berisi latar belakang, permasalahan penelitian, ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, tinjauan pustaka, pendekatan dan kerangka konseptual, metode penelitian,

sumber penelitian, serta sistematika penulisan. Lalu bab II berisi tentang kondisi pendidikan

Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga Demokrasi Parlementer. Kemudian bab III

menjabarkan berbagai penerapan kebijakan sistem pendidikan nasional di era Demokrasi

Terpimpin. Selanjutnya, bab IV menjelaskan dampak dari penerapan kebijakan sistem

pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin tersebut. Terakhir, bab V menjadi penutup
16

yang berisi simpulan dari penelitian ini. Berisi tentang temuan-temuan baru yang didapat, serta

menjawab seluruh pertanyaan penelitian atau dalam perumusan masalah pada tesis ini. Penutup

dan simpulan ini juga menjawab atau dapat menuju pada tujuan penelitian yakni agar dapat

dijadikan referensi bagi pengampu kebijakan nasional hari ini dengan semangat ‘merdeka

belajar’ yang terus digaungkan pemerintah.

BAB II

PENDIDIKAN NASIONAL DARI AWAL KEMERDEKAAN

HINGGA DEMOKRASI PARLEMENTER

2.1 Situasi Politik Indonesia: Awal Kemerdekaan Hingga Demokrasi Terpimpin

Sepanjang 1945-1949, situasi politik Indonesia berada di fase atau zaman revolusi. Di

era ini, perpolitikan nasional terpecah menjadi dua kubu yaitu kelompok yang terjun perang fisik

(militer) dan para elit politik yang menggunakan jalur diplomasi. Situasi pelik kedua cara

mempertahankan kemerdekaan Indonesia tersebut berakhir setelah pengakuan dan penyerahan

kedaulatan pada akhir 1949. Pada 1950-pertengahan 1959, sistem pemerintahan Indonesia

menganut parlementer, atau dikenal juga sebagai era Demokrasi Parlementer.

Di zaman ini, situasi politik kental dengan nuansa Perang Dingin dan membuat elit

politik nasional terpecah dan konflik internal dengan berkali-kali pergantian kabinet. Situasi

politik kembali berubah sejak akhir 1957 dan memuncak pada 5 Juli 1959, melalui Dekrit

Presiden, Sukarno mengambilalih pemerintahan dan mengubahnya menjadi Demokrasi

Terpimpin melalui Dekrit Presiden, kembali ke UUD 1945.


17

Pengambilalihan kekuasaan dan pemerintahan tersebut mengacu dari sembilan tahun era

Demokrasi Parlementer yang Sukarno anggap gagal. Ia meresmikan Demokrasi Terpimpin 1959

dengan jargon ‘Penemuan Kembali Revolusi Kita’. Sukarno menyatakan bahwa sejak KMB

(Konferensi Meja Bundar) hingga era Demokrasi Parlementer, Indonesia masuk dalam alam

liberalisme. Sehingga dengan berlakunya Dekrit Presiden, Revolusi Indonesia dianggap kembali

ke UUD (Undang-Undang Dasar 1945)8. Sukarno juga memperkenalkan konsep MANIPOL

(Manifesto Politik), yang isinya adalah USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi

Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Nasional).

Sukarno membawa kehidupan rakyat secara keseluruhan harus sesuai dengan indoktrinasi

dan ajarannya: MANIPOL-USDEK, lalu dengan platform politik Front Nasional, serta konsepsi

NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis). Seluruh elemen masyarakat wajib mengikuti dan

menjalankan hal itu dengan tujuan menuju masyarakat sosialis Indonesia, versi Sukarno.

Kewajiban tersebut kemudian mendapat banyak penentangan secara politik. Hiruk-pikuk politik

dalam negeri ditambah dengan gangguan dan efek/dampak dari Perang Dingin saat itu, mencapai

puncaknya dengan terjadi Peristiwa 1 Oktober 1965 oleh Gerakan 30 September 1965. Setelah

tragedi itu, dengan berbagai hal yang terjadi, membuat Sukarno lengser pada awal 1967 secara

resmi.

Penulis menganalisis situasi politik tersebut (era Demokrasi Terpimpin) dalam kaitannya

dengan penerapan kebijakan dan sistem pendidikan nasional. Salah satu analisa tersebut adalah

mengacu pendapat Habermas terkait kepentingan. Bagi Habermas, manusia memiliki

kepentingan berkomunikasi dan menyalurkan aspirasi serta ekpsresinya secara bebas tanpa

8 Kamadjaja, Log.Cit., hlm. 85.


18

monopoli. Wujud atau bentuk dari hal tersebut salah satunya adalah pendidikan 9. Ruang publik

seperti pendidikan seharusnya tidak dikuasai satu pihak, baik dalam sistem kapitalisme

(monopoli kapitalis) ataupun autoritarian (monopoli individu, seperti era Demokrasi Terpimpin).

Pada kenyataannya, Sukarno nampak/dianggap memberangus kebebesan ruang publik /

demokrasi yang di periode sebelumnya (parlementer/liberal) dibuka lebar. Penelitian ini juga

menjabarkan tentang sisi monopoli yang dilakukan Sukarno dalam penerapan kebijakan dan

sistem pendidikan nasional. Menurut penulis, penerapan Manipol-Usdek sebagai sumber dari

segala sumber kebijakan membuat Manipol justru menjadi ‘Monopol’, sebagai alat memonopoli

kehidupan masyarakat. Tentunya hal tersebut bertentangan dengan teori Habermas tentang

kepentingan dan kebebasan manusia yang telah dijelaskan.

2.2 Pendidikan Nasional di Masa Revolusi

Tidak banyak kajian atau hasil penelitian sejarah bahkan sumber sejarah yang mampu

menjabarkan secara mendetail sistem pendidikan nasional di era revolusi (awal kemerdekaan).

Di era ini, bangsa Indonesia khususnya di bidang pemerintahan, sedang sangat sibuk mengurusi

politik dalam dan luar negeri demi mempertahankan kemerdekaan. Namun, ada beberapa kajian

yang akhirnya mampu membuka cakrawala tentang pendidikan Indonesia di era ini.

Kamadjaja, misalnya. Ia menjelaskan tentang Kongres Pendidikan Indonesia yang telah

dimulai sejak era kolonial. Hal ini bermula dari kebijakan pemerintah Hindia-Belanda tentang

Ordonansi Sekolah Liar (1932). Elemen-elemen atau lembaga yang bergerak di bidang

pendidikan saat itu menolak kebijakan tersebut hingga membentuk Kongres Pendidikan.

Beberapa lembaga/organisasi hingga partai politik yang ikut mendukung pelaksanaannya yakni

Taman Siswa, INS. Kayutanam, Perguruan Rakyat, Adhidharma, (PSII) Partai Syarikat Islam

9 Ibid., hlm. 201.


19

Indonesia, Perguruan Islam, Permi (Sumatra), Muhammadiyah, hingga Budi Utomo 10. Kongres

Pendidikan tersebut berlangsung pada 1935, 1937, dan di era Jepang berhenti. Di awal

kemerdekaan, Kongres Pendidikan dijalankan kembali pada 1947, 1949, 1954, hingga

dibubarkan pada 1958 karena situasi politik nasional saat itu.

Selain Kamadjaja, sejarawan UGM, Agus Suwignyo, pernah menulis jurnal tentang

pendidikan nasional di era revolusi kemerdekaan: Unifying Diversities: Early Institutional

Formation of the Indonesian National Education System, C. December 1949-August 1950, Jurnal

Humaniora Vol. 24 no. 1 Februari 2012: 3-17, FIB UGM: Yogyakarta. Jurnal ini mampu

menjadi referensi melihat akar awal pembentukan sistem pendidikan nasional yang nantinya

dapat dikaitkan di masa/ fokus periodisasi penelitian yakni periode Demokrasi Terpimpin.

Menurut Agus, pendidikan nasional di era revolusi kemerdekaan berkaitan erat dengan

kondisi politik dan konteks Indonesianisasi saat itu. Segala bidang kehidupan rakyat

diindonesiakan, termasuk pendidikan. Hal-hal yang berkaitan dengan Belanda dan Jepang, coba

digantikan dengan konteks dan nuansa Indonesia. Secara singkat sebagai gambaran umum, era

revolusi kemerdekaan (1945-1949) hingga awal 1950-an, pemerintahan Indonesia terbagi

menjadi RI (Republik Indonesia) dan RIS (Republik Indonesia Serikat).

Kebijakan pendidikan nasional, baik RIS maupun RI juga berpusat pada sentralisasi dan

homogenisasi. Proses ini sebagai wujud dari Indonesianisiasi. Ketika RIS bubar dan kembali ke

RI dengan bentuk kesatuan (NKRI), Indonesianisiasi kembali diteruskan. Namun sebagai

gambaran, konteks sentralisasi dan homogenisasi di bidang pendidikan nasional ini menghimpun

organisasi/lembaga pendidikan, sistem pendidikan, kurikulum pembelajaran, dan para

personel/kepengurusan sekolah dengan menguatkan dan harus sesuai dengan karakter Indonesia.

10 Leon Trotsky, Revolusi Permanen: Teori Revolusi Sosialis untuk Dunia Ketiga, (Yogyakarta: Resist Book,
2013), hlm. 52.
20

Indonesianisiasi pendidikan ini menurut Agus, menunjukkan kekuatan para tokoh nasionalis

Indonesia untuk mempersatukan masyarakat Indonesia serta menstimulasi sense atau perasaan

dan semangat identitas bersama11.

Kementerian Pendidikan Nasional pada 2013 menyatakan bahwa sejarah kurikulum

Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan, yakni pada tahun 1947, 1952, 1962, 1968,

1975, 1984, 1994, 2004, 2006, dan 201312. Seluruh kurikulum Indonesia telah dirancang sesuai

dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Perubahan/kebijakan kurikulum pertama, terjadi pada 1947.

Kurikulum era ini dikenal dengan Rencana Peladjaran, lebih tepatnya dengan membagi

menjadi tiga kategori utama: kursus, jam belajar, dan materi pembelajaran 13. Selaras dengan

Agus Suwignyo, bahwa kurikulum dan kebijakan pendidikan nasional diterapkan untuk

mereformasi pendidikan dari pengaruh sistem pendidikan berbasis Belanda, dan mengedepankan

pengembangan karakter bangsa Indonesia yang baru merdeka saat itu.

. Muatan kurikulum difokuskan pada pendidikan karakter, kesadaran bernegara, dan

kesadaran masyarakat. Ada 16 mata pelajaran yang diajarkan, antara lain Bahasa Indonesia,

Bahasa Daerah, Aljabar, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Hayati (kini Biologi), Ilmu Bumi (kini

Geografi), Sejarah, Menggambar, Menulis, Seni Rupa, Karya Tangan, Seni Wanita, Pendidikan

Jasmani, Kebersihan dan Kesehatan, serta Pendidikan Karakter Bangsa14. Pelajaran agama

kemudian diperkenalkan dan ditambahkan ke dalam kurikulum 1947 pada 195115.

11 Maj. Moch. Said, Pedoman untuk Melaksanakan Amanat Penderitaan Rakjat, (Surabaya: Permata, 1961), hlm.
916.
12 Arif Rahman & Adi “Pay” Prabowo, Das Kapital for Beginners: The Mannifest of Indonesian Economics,
(Yogyakarta: Narasi, 2013), hlm. 56.
13 Rupert Woodfin, & Oscar Zarate, Mengenal Marxisme (Marxisme untuk Pemula), (Yogyakarta: Resist Book,
2008), hlm. 12-15.
14 Ibid., hlm. 6-7
15 Helen Yaffe, Ekonomi Revolisi Che Guevara, (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2015), hlm. 5.
21

2.3 Instruksi ‘Menteri Pengadjaran’.

Era awal kemerdekaan, nomenklatur kementerian pendidikan adalah Kementerian

Pengadjaran. Kementerian ini dipimpin oleh Menteri Pengadjaran, sebagai menteri pertama,

yakni Ki Hadjar Dewantara. Sejarah awal pendidikan nasional Indonesia setelah kemerdekaan

dimulai sejak Menteri Pengadjaran (Ki Hadjar Dewantara) mengeluarkan instruksi, khususnya

untuk seluruh daerah di pulau Jawa. Poin-poin pentingnya diantaranya sebagai berikut:

1. Tentang Dasar Pendidikan

a. Usaha pendidikan dan pengajaran harus berdasar pada kebangsaan Indonesia, dengan

rincian: adab kemanusiaan, agama, saling menghormati adat-istiadat, tidak

mengganggu persatuan negara dan bangsa Indonesia

b. Mengadakan upacara, peraturan, pelatihan, dan pengajaran untuk memperkuat

kebangsaan dan cinta negara

2. Tentang Maksud dan Tujuan Pengajaran

a. Pengajaran harus memberikan segala ilmu pengetahuan dan kepandaian umum,

untuk/demi hidup lahir-batin para murid/pelajar

b. Memperbaiki sistem pendidikan dan pengajaran agar dapat memenuhi syarat dan

ukuran dunia internasional

c. Mempergunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di lembaga pendidikan dan

pengajaran serta tambahan bahasa asing yang diperlukan seperti Inggris (bahasa

internasional) dan Jerman untuk perluasan ilmu pengetahuan (diajarkan pada Sekolah

Menengah Tinggi)
22

d. Daftar pengajaran di sekolah menengah putri tidak boleh beda dengan putra, tidak

boleh ada diskriminasi gender. Perbedaannya hanya dalam hal pekerjaan-pekerjaan

keputrian. Praktiknya harus penuh pengawasan berdasar ‘Tut Wuri Handayani’ dan

rasa kekeluargaan, tidak boleh dengan kekerasan.

e. Memperbaiki pendidikan nasional yang sebelumnya terpuruk selama 3,5 tahun (masa

pendudukan Jepang). Diperbaiki dengan cepat namun berangsur, sehingga derajat

tingkatan sekolah masing-masing lekas kembali pulih/sediakala.

f. Mengingat persediaan guru dan buku yang ada sekarang ini, sementara waktu

pengajaran khususnya bahasa asing dilakukan dengan cara yang praktis dan dengan

syarat yang ada pada Kementerian Pengadjaran16.

Ada beberapa hal yang dapat dipertanyakan, disayangkan, bahkan dikritik dari instruksi

Ki Hadjar Dewantara tersebut. Diantaranya, pertama, situasi politik saat itu (awal kemerdekaan)

adalah situasi revolusioner. Segala kehidupan masyarakat erat kaitannya dengan pekik ‘merdeka’

ataupun kata-kata revolusi sebagai jargon. Namun mengacu pada instruksi tersebut, tidak ada

unsur revolusioner yang secara formal dituliskan. Pada poin nomor satu tentang Tentang Dasar

Pendidikan, misalnya. Instruksi yang diberikan hanya bersifat normatif sebatas cinta negara,

memperkuat kebangsaan, dan tidak mengganggu persatuan bangsa.

Menurut penulis, Ki Hadjar Dewantara selaku Menteri Pengajaran, tidak dapat membaca

situasi dan kondisi politik saat itu dan memprediksi masa berikutnya. Instruksi tersebut

dikeluarkan pada 29 September 1945, sekitar satu bulan setelah proklamasi kemerdekaan

Indonesia. Situasi bangsa Indonesia saat itu tengah bahagia dan penuh semangat, sehingga

16 Soeripto (penyusun). 7 Bahan Indoktrinasi Republik Indonesia. (Grip: Surabaya, 1961), hlm. 172.
23

analisa penulis adalah bahwa hal yang paling penting bagi Menteri Pengajaran saat itu adalah

benar-benar menjaga momentum proklamasi dengan menjaga persatuan bangsa.

Namun Menteri Pengajaran (Ki Hadjar Dewantara), nampaknya tidak memprediksi

bahwa selang setahun setelah proklamasi, situasi politik berubah drastis. Terjadi perpecahan

dalam negeri (internal) terutama terkait makna dan cara mempertahankan kemerdekaan, serta

banyak gangguan stabilitas nasional dari dalam dan luar negeri. Terjadi banyak revolusi sosial

yang justru saling membunuh sesama bangsa Indonesia. Lalu juga terjadi perbedaan cara

perjuangan melawan Belanda di kalangan elit: militer (perang fisik) dan politisi/ pimpinan politik

(diplomasi/perundingan). Belanda pun tidak lama setelah proklamasi, segera tiba di Indonesia

dengan membonceng NICA/Inggris dan berusaha merebut kembali Indonesia setelah menang

Perang Dunia II. Hal itu luput dari instruksi Menteri Pengajaran tersebut.

Berikutnya, Tentang Maksud dan Tujuan Pengajaran dalam instruksi tersebut juga

menurut penulis tidak ada unsur revolusionernya. Hal ini harus dikritik dari Menteri Pengajaran

sekelas Ki Hadjar Dewantara. Apa karena Ki Hadjar Dewantara bukan seorang sosialis garis

keras/ radikal? Juga apa karena Ki Hadjar Dewantara adalah penganut atau lebih condong

pada filosofi Jawa yang kental dengan budaya menjaga keseimbangan dan tidak penuh

keributan? Tidak ada tujuan bernuansa revolusioner (politis) misal: mewujudkan Sosialisme

Indonesia, atau menjaga kemerdekaan Indonesia dari ancaman bangsa asing, atau seperti

melanjutkan revolusi Indonesia yang belum selesai, dan lain-lain yang sejenis.

Di poin c pada Tentang Maksud dan Tujuan Pengajaran tersebut juga patut

dipertanyakan. Di situ tertulis: “Mempergunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di

lembaga pendidikan dan pengajaran serta tambahan bahasa asing yang diperlukan seperti Inggris
24

(bahasa internasional) dan Jerman untuk perluasan ilmu pengetahuan (diajarkan pada Sekolah

Menengah Tinggi)”. Mengapa harus bahasa Jerman? Notabenenya saat itu (September 1945),

Indonesia baru saja proklamasi kemerdekaan dan melepaskan diri dari Jepang, sekutu utama

Jerman (NAZI) pada Perang Dunia II. Saat itu juga Jerman identik dengan NAZI dan fasisme,

walaupun gerakan sosialisme eropa yang utama juga banyak di Jerman. Begitu juga

kecondongan bangsa Indonesia saat itu yang cenderung antipati terhadap hal-hal berbau asing

seperti Belanda & Jepang, Menteri Pengajaran saat itu justru memberi instruksi untuk

memperkuat bahasa Inggris dan Jerman di lembaga pendidikan.

2.4 Jenjang & Jenis Pendidikan Dasar - Menengah Era Revolusi Kemerdekaan

Jenjang dan jenis pendidikan nasional di era revolusi kemerdekaan sangat beragam.

Jenjang pendidikan yang terendah yaitu SR (Sekolah Rakyat), dengan lama pendidikan sekitar 6

tahun. Tujuan pendirian SR adalah meningkatkan taraf pendidikan dan memberi kesempatan

bagi rakyat untuk mengenyam bangku sekolah, sesuatu yang kurang mereka dapatkan dan

rasakan di era kolonial.

Kurikulum SR diatur sesuai dengan putusan Menteri PP & K tanggal 19 November 1946

No 1153/Bhg A, yang menetapkan daftar pelajaran SR menekankan terhadap pelajaran

bahasa dan berhitung. Rinciannya, yakni 38 jam pelajaran seminggu, 8 jam untuk bahasa

Indonesia, 4 jam untuk bahasa daerah dan 17 jam untuk berhitung (kelas IV, V dan VI).

Depdikbud RI 1993 mengklaim bahwa tercatat sejumlah 24.775 SR pada akhir 1949 di seluruh

Indonesia17. Setelah SR, dapat melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah

Menengah Tinggi (SMT).

17 Ibid., hlm. 173.


25

Namun, untuk pelajar/siswa SR yang ingin fokus ke jenis pendidikan tematis (bukan

umum seperti SMP & SMT), ada sekolah yang dikembangkan sebagai sekolah pendidikan guru.

Hal itu karena guru adalah martir dan frontliner pendidikan, berperan besar dalam proses

pendidikan nasional. Pemerintah sejak awal kemerdekaan, membangun pendidikan guru dan

membaginya menjadi tiga jenis, diantaranya SGB (Sekolah Guru B), SGC (Sekolah Guru C), dan

SGA (Sekolah Guru A). SGB bertujuan untuk mendistribusi guru bagi SR (Sekolah Rakyat) 18.

Selain sekolah pendidikan guru, para pelajar/siswa juga dapat melanjutkan/mengenyam

pendidikan dengan jenis sekolah kejuruan (vokasi). Di era revolusi, pendidikan kejuruan fokus

pada pendidikan ekonomi dan pendidikan kewanitaan19.

Kemudian, terdapat juga ST (Sekolah Teknik) yang bertujuan untuk menjadi tenaga

terampil. Beberapa bidang ST yang ada di masa awal kemerdekaan diantaranya untuk terlibat

dalam pertahanan negara dan sekolahnya digunakan sebagai pabrik senjata. Sekolah Teknik di

Solo misalnya, dikerahkan untuk membuat senjata yang sangat diperlukan negara. Selain itu ada

juga ST yang bergerak di bidang Kursus Kerajinan Negeri (KKN), terdiri atas jurusan-jurusan:

kayu, besi, anyaman, perabot rumah, las dan batu. ST kemudian dilanjutkan ke STP (Sekolah

Teknik Pertama), dengan jurusan: kayu, batu, keramik, perabot rumah, anyaman, besi, listrik,

mobil, cetak, tenun kulit, motor, ukur tanah dan ngecor.

Jenjang berikutnya dari sekolah teknik yaitu STM (Sekolah Teknik Menengah).

Bertujuan mendidik tenaga ahli teknik dan pejabat teknik menengah. Terdiri atas jurusan

bangunan gedung, bangunan sipil, bangunan kapal, bangunan mesin, bangunan listrik, bangunan

18 Kamadjaja, log.cit., hlm. 122.


19 Roeslan Abdulgani, PENDJELASAN MANIPOL DAN USDEK, (Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1960), hlm. 21-
22.
26

mesin kapal, kimia, dan pesawat terbang. Terakhir, yakni Pendidikan Guru (untuk sekolah

teknik). Tujuannya untuk memenuhi keperluan guru Sekolah Teknik.

Menurut penulis, penerapan Kurikulum SR yang diatur sesuai dengan putusan Menteri

PP & K tanggal 19 November 1946 tersebut juga harus mendapat tinjauan kritis. Diantaranya

pada No 1153/Bhg A, yang menetapkan daftar pelajaran SR menekankan terhadap pelajaran

bahasa dan berhitung. Kita dapat memungkiri, bahwa buta huruf/aksara dan angka adalah hal

yang benar-benar menjadi kebutuhan rakyat saat itu. Maka wajar jika pelajaran bahasa dan

berhitung menjadi agenda utama untuk ditingkatkan. Namun lagi-lagi, nampak tidak membaca

situasi dan kondisi saat itu terutama aspek politiknya.

Di era tersebut, seperti kritik pada Instruksi Menteri Pengajaran Ki Hadjar Dewantara,

aspek politik juga harusnya menjadi hal utama sebelum pemerintah membuat kebijakan

pendidikan nasional. Di era tersebut (November 1946), situasi dan kondisi politik mulai

berkecamuk (era revolusi). Kedatangan Belanda kembali ke Indonesia dan banyaknya

peperangan terhadap Belanda dan sekutu (Inggris), seharusnya pemerintah membuat kebijakan

pendidikan nasional tentang pertahanan negara yang diajarkan sejak dini yang sinergi dengan

Kementerian Pertahanan/Keamanan saat itu. Namun hal tersebut tidak ada dalam kurikulum SR

tersebut.

2.5 Revolusi & Pendidikan Tinggi

Kemerdekaan Indonesia pada 1945 dan berlanjut dengan revolusi fisik nyatanya tidak

menurunkan semangat bangsa Indonesia untuk memperbaiki kualitas pendidikannya. Pada situasi

politik yang tengah berkecamuk di dalam dan luar negeri soal politik dan mempertahankan

kemerdekaan, justru berbagai universitas didirikan oleh pemerintah RI melalui BPTRI (Balai
27

Perguruan Tinggi Republik Indonesia) yang menyelenggarakan kuliah di beberapa kota selama

masa revolusi. Sebelumnya, di era kolonial telah terdapat beberapa sekolah tinggi, baik lokal

ataupun peninggalan Belanda. Namun banyak sekolah tinggi tersebut yang merger menjadi satu

universitas negeri/ milik pemerintah. Sekolah tinggi warisan Belanda, disatukan dan

dinasionalisasi pemerintah.

Sekolah tinggi yang didirikan oleh para revolusiner / kaum republiken RI di awal masa

revolusi diantaranya Sekolah Tinggi Republik didirikan pada 17 Februari 1946 oleh Kementerian

Pengajaran di Yogyakarta, Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada didirikan pada 3 Maret 1946

oleh Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, terdiri dari Fakultas Hukum dan

Fakultas Kesusteraan di Yogyakarta. Kemudian Perguruan Tinggi Kedokteran dan Kedokteran

Gigi didirikan pada Februari 1946 di Malang. Lalu Perguruan Tinggi Kedokteran lainnya pada 4

Maret 1946 di Solo dan 5 Maret 1946 di Klaten. Berikutnya Fakultas Pertanian dan Fakultas

Farmasi berdiri pada 27 September 1946 di Klaten.

Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan didirikan pada November 1946 oleh Kementerian

Kemakmuran Republik Indonesia di Bogor. Sayangnya, karena Agresi Militer I Belanda pada

Juli 1947, perguruan tinggi tersebut dipindah ke Klaten. Demikian juga perguruan tinggi di

Malang. Pada 19 Desember 1949, Universitas Gadjah Mada didirikan di Yogyakarta sebagai

universitas pertama di era republik, terdiri dari enam fakultas20.

Sementara untuk sekolah tinggi yang dibentuk kolonial sebelum kemerdekaan,

diantaranya STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen). Dikenal juga sebagai Sekolah

Dokter Jawa di Kwitang yang kemudian berubah jadi Geeneskundig Hoge School di Salemba,

20 Ibid., hlm. 9.
28

Jakarta21. Lalu, ada sekolah hukum yaitu Recht Hoge School. Lokasinya kini ditempati Kantor

Kementerian Pertahanan RI. Kampus hukum dan kedokteran kolonial tersebut nantinya menjadi

fakultas-fakultas dari UI (Universitas Indonesia). Ada juga sekolah pertanian atau Landbouw

School di Bogor, kini menjadi IPB (Institut Pertanian Bogor). Perguruan Tinggi bidang teknik

ada Technische Hoge School di Bandung yang kini menjadi ITB (Institut Teknologi Bandung)22.

Pada Januari 1946 pihak NICA/Belanda, mendirikan perguruan tinggi: Nood-Universiteit

van Nederlandsch Indie. Universitas tersebut menaungi STOVIA, RHS, dan Faculteit der

Letteren en Wijsbegeerte (Fakultas Sastra dan Filsafat)23. Nood Universiteit pada tahun 1947

berganti nama menjadi Universiteit van Indonesie, dan berkedudukan di Jakarta. Menurut laman

resmi Universitas Indonesia, beberapa Guru Besar nasionalis seperti Mr. Djokosoetono,

mengoperasikan Universiteit van Indonesie di Ibukota Republik Indonesia saat itu, Yogyakarta 24.

Pada 1950 setelah melalui serangkaian peristiwa, ditambah dengan kebutuhan pendidikan tinggi

bangsa Indonesia yang mendesak akhirnya Universitas Indonesia resmi berdiri sebagai milik

republik.

Sementara itu, terkait pendidikan di bidang agama khususnya, pemerintah di era tersebut

memberi kebijakan tersendiri kepada Departemen Agama dan mulai resmi berdiri 3 Januari

1946. Adanya Departemen Agama salah satunya untuk memperjuangkan sistem dan kebijakan

pendidikan Islam di Indonesia. Menurut Maksum, secara lebih spesifik implementasi oleh

21 Ibid.
22 Keputusan Dewan Pertimbangan Agung Tentang Perintjian ‘Djalannya Revolusi Kita (Djarek)’ Jang Diutcapkan
Oleh Presiden Soekarno Pada Tanggal 17 Agustus 1960, 19 Januari 1961, poin no. 7.
23 Kamadjaja, log.cit., hlm. 87.
24 Samsuri, Desain Pendidikan Pancasila, dalam buku Pancasila Dalam Praksis Pendidikan,
(Yogyakarta: UNY Press, 2019), hlm. 91.
29

Departemen Agama tentang hal ini ditangani oleh suatu bagian khusus yang mengurusi masalah

pendidikan agama25.

2.6 Era Demokrasi Parlementer


Ki Hadjar Dewantara tidak lama menjabat sebagai Menteri Pengajaran (Pendidikan). Hal

ini terjadi beriringan dengan pergantian sistem pemerintahan dan situasi politik dalam negeri saat

itu, dengan diterapkannya Demokrasi Parlementer. Pergantian kepala negara yang tadinya

sekaligus kepala pemerintahan (presidensil), sejak November 1945 berganti menjadi

parlementer, kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Era parlementer/ kabinet

pertama, dimulai/dipimpin oleh Sutan Syahrir. Pada 2 Oktober 1946, Suwandi dilantik sebagai

Menteri Pendidikan dengan nomenklatur Menteri PP & K (Pendidikan, Pengajaran, dan

Kebudayaan).

Pada 12 April 1947, Menteri PP & K membentuk sebuah ‘Panitia Penyelidik Pendidikan

dan Pengadjaran RI’ (PPPRI). Ki Hadjar Dewantara, oleh Menteri PP & K (Suwandi), ditunjuk

sebagai Ketua PPPRI tersebut. Singkatnya, PPPRI bertugas meninjau seluruh usaha pendidikan

dan pengajaran di Indonesia. Menteri PP & K di era Kabinet Amir Syarifuddin kemudian

berganti, dijalankan oleh Ali Sastroamidjojo.

Kebijakan pun berganti, Ali / Menteri PP & K pada 1948 membentuk ‘Panitia Pembantu

Pembentuk Undang2 Pokok Pendidikan dan Pengadjaran’. Sayangnya, agenda panitia tersebut

terhambat oleh situasi revolusi fisik nasional, tepatnya yakni Agresi Militer Belanda II. Hal

tersebut menyebabkan banyak arsip Kementerian PP & K termasuk rencana dari panitia tersebut

25 Ibid., hlm. 92.


30

diambil oleh Belanda. Menurut Kamadjaja, dengan demikian tidak dapat diketahui lagi sampai

seberapa/mana pekerjaan dari panitia tersebut26.

Menurut penulis, banyak arsip Kementerian PP & K termasuk rencana dari panitia

tersebut diambil oleh Belanda, sangat disayangkan. Hal tersebut membuat terdapatnya missing

link yang harus dipecahkan melalui penelitian lebih lanjut dengan menemukan terlebih dahulu

arsip-arsip tersebut, serta membuktikan pendapat Kamadjaja itu. Jika memang benar diambil

oleh Belanda, maka tugas pemerintah dengan menggandeng para sejarawan terutama yang

mendapat kesempatan menempuh pendidikan bidang Sejarah di Belanda/ luar negeri, harus bisa

menemukan arsip-arsip tersebut.

Berikutnya menurut penulis juga, situasi politik agresi militer yang dilakukan Belanda

tersebut pun mempengaruhi Instruksi Menteri Pengajaran dan Kurikulum Pendidikan (SR dan

sejenisnya) yang telah ada pada 1945 dan 1946. Penulis berasumsi bahwa kedua kebijakan

tersebut tidak dapat diimplementasikan dengan baik, bahkan benar-benar tidak terlaksana.

Tentunya asumsi ini harus dibuktikan dengan penelitian lebih lanjut. Namun, penulis sendiri pun

tidak/belum dapat membuktikan sejauh mana penerapan instruksi dan kurikulum tersebut.

Lanjut ke akhir era revolusi kemerdekaan, tepatnya akhir 1949 menjelang KMB

(Konferensi Meja Bundar), Menteri PP & K dijabat oleh Sri Mangunsarkoro. Hal ini beriringan

dengan perubahan kabinet yang dipegang oleh Mohammad Hatta. Pada 17 Oktober 1949,

Mangunsarkoro / Menteri PP & K berpidato dalam sidang BP-KNIP (Badan Pekerja – Komite

Nasional Indonesia Pusat) sebagai Badan Legislatif RI (cikal-bakal DPR RI) saat itu. Ia

26 Aman, Sofyan, dkk., Pedoman Didaktik Metodik Pendidikan Moral Pancasila untuk para Guru SD, SLTP dan SLTA,
(Jakarta: PN Balai Pustaka, 1982), hlm. 11.
31

menyatakan bahwa sedang merancang UU (Undang-Undang) Pendidikan Nasional yang

berdasar Pancasila.

Rancangan UU tersebut terlaksana di era RIS (Republik Indonesia Serikat), yakni UU no.

4 tahun 1950 RI (berlaku hanya/oleh Republik Indonesia di Yogyakarta) tentang Dasar-Dasar

Pendidikan dan Pengadjaran disekolah untuk Seluruh Indonesia. UU ini terdiri dari 17 Bab dan

30 Pasal, ditetapkan di Yogyakarta, 2 April 1950 oleh Presiden RI yakni Mr. Asaat dan S.

Mangunsarkoro sebagai Menteri PP & K27. Adanya UU tersebut menjadi penting sebab terdapat

keterbatasan sumber primer dalam membedah situasi dan berbagai kebijakan pendidikan

nasional di masa RIS tersebut. Banyak penelitian terkait sejarah dan kebijakan pendidikan

nasional era ini, selalu mengacu pada UU tersebut. Namun dari serangkaian pasal tersebut ada

beberapa poin penting yang menggambarkan jiwa UU ini, diantaranya menurut Rifa’i, pada

pasal 30 menyatakan bahwa:

1). Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran,

2). Memilih pengajaran yang akan diikuti adalah bebas,

3). Mengajar adalah bebas, dengan tidak mengurangi pengawasan penguasa yang dilakukan

terhadap pengajaran itu menurut peraturan UU28.

Selain itu, tentang pendidikan agama (Islam), juga ada dalam UU tersebut. Salah satunya

terkait madrasah, sebagai bentuk pendidikan Islam yang paling mendasar. Pengakuan pemerintah

atas madrasah secara resmi diatur dalam UU ini (Undang-Undang No. 4 1950), tentang dasar-

dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Lebih jelas lagi pada pasal 10 menyebutkan bahwa

27 Somantri, M. N., Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, (Bandung: Rosda Karya, 2001), hlm. 284-285.
28 Arsip/naskah Keputusan Presiden RI No. 224 Tahun 1964.
32

belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan Departemen Agama, dianggap telah

memenuhi kewajiban belajar. Menurut Mudzakkir, untuk mendapat pengakuan tersebut

madrasah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit enam

jam seminggu secara teratur, selain mata pelajaran umum29.

Sayangnya, beberapa pendapat menyatakan bahwa UU tersebut tidak dapat dinyatakan

sebagai UU nasional, konteks atau penerapan UU tersebut tidak berlaku ke seluruh Indonesia.

Hal ini karena situasi politik nasional dan internasional dengan adanya KMB lalu perubahan

negara menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat), hingga kembali ke bentuk kesatuan (NKRI)

pada 17 Agustus 1950. Di era RIS, RI hanya salah satu negara bagian dalam RIS. UU Pokok

Pendidikan dan Pengajaran RI yang sifatnya nasional terjadi setelah RIS bubar dan

kembali/menjadi ke NKRI. Nantinya baru ditetapkan pada 1954, tepatnya sebagai UU Pokok

Pendidikan dan Pengadjaran RI no. 12 tahun 1954.

Pada 12 Maret 1954, Presiden Sukarno bersama Menteri PP & K yakni Mohammad

Yamin, menetapkan UU Pokok Pendidikan dan Pengadjaran RI no. 12 tahun 1954 yang berisi

UU no. 4 tahun 1950. Bedanya, jika UU no. 4 tahun 1950 hanya berlaku di Yogyakarta (RI saat

itu), maka melalui UU no. 12 tahun 1954, diberlakukan ke seluruh wilayah RI (yang tidak lagi

hanya Yogyakarta). Jelasnya UU no. 12 tahun 1954 ini berisi:

‘Pernjataan berlakunja UU No. 4 tahun 1950 dari Republik Indonesia dahulu (era RIS), tentang

Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia’30.

Diterapkannya UU Pokok Pendidikan dan Pengadjaran RI no. 12 tahun 1954 ternyata

terdapat beberapa kekurangan. Pada sidang parlemen pada 27 Januari 1954, internal pemerintah

29 Ketetapan MPRS RI No. II Tahun 1960.


30 Kamadjaja, log.cit., hlm. 149-152.
33

menjabarkan kekurangan atau kelemahan dari UU tersebut. Salah satu yang berkomentar

memberi kritik yakni M. Hutasoit, Sekretaris Jenderal Kementerian PP & K. Menurutnya,

kekurangan UU ini dengan melihat perkembangan suasana, pengalaman saat itu serta melihat

panitia yang merumuskan UU tersebut.

Panitia perumus saat itu hanya terbatas pada sekeliling Jogja, belum merepresentasikan

seluruh Indonesia. Ia menegaskan pentingnya untuk membuat UU Pendidikan dan Pengajaran

yang baru31. Namun, pada 12 Maret 1954 (tidak sampai sebulan dari sidang parlemen tersebut),

pemerintah melalui Menteri PP & K RI, Mohammad Yamin, bersama Presiden RI Sukarno,

mengesahkan UU tersebut.

Sayangnya, cukup sulit untuk menemukan naskah/arsip lanjutan kebijakan dari UU

tersebut atau rencana revisi UU tersebut. Menurut Kamadjaja, ‘Panitya Negara’ yang

direncanakan Kementerian PP & K serta pekerjaannya, tidak diketahui. Dalam penelitiannya,

Kamadjaja memperkuat argumennya dengan pandangan Prof. Soetedjo Brodjonagoro (Dosen

Fakultas Paedagogik Universitas Gadjah Mada 1957-1964 kemudian menjadi Guru Besar IKIP

Yogyakarta), yang menyatakan bahwa UU organik No. 12 tahun 1954 yaitu ‘UU Pokok

Pendidikan dan Pengadjaran’ tidak pernah mengalami perubahan walau telah mengalami

perubahan-perubahan UUD sampai 3 kali (UUD 1945, UUD RIS, UUDS 1950)32 .

Diterapkannya UU Pokok Pendidikan dan Pengadjaran RI no. 12 tahun 1954 ini berlaku

sepanjang sisa era Demokrasi Parlementer. Pemberlakuan/penerapan UU dan

31 KEPPRES (Keputusan Presiden) RI No. 146 Tahun 1965 tentang Pembentukan Madjelis
Pendidikan Nasional.
32 KEPPRES (Keputusan Presiden) RI No. 145 Tahun 1965 tentang Nama dan Rumusan-induk
Sistim Pendidikan Nasional Pantjasila.
34

serangkaian/berbagai peraturan tentang pendidikan dan pengajaran lanjutan nantinya akan

dikembangkan lagi ketika Sukarno mengambil alih pemerintahan. Tepatnya dengan

mengelurakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan memberlakukan kembali UUD 1945 serta

mengubah sistem pemerintahan, membubarkan parlemen dan Konstituante, meruntuhkan

Demokrasi Parlementer, dan menerapkan sistem baru yakni ‘Demokrasi Terpimpin’.

Jika ada pertanyaan: kebijakan-kebijakan pendidikan nasional apa saja yang dikeluarkan

oleh pemerintah era Demokrasi Parlementer yang menjadi latar belakang bagi kebijakan

Sukarno mengeluarkan kebijakan baru pada era Demokrasi Terpimpin? Rasanya cukup sulit

menjawabnya secara detail, beberapa sebabnya sebagai berikut:

1. Dasar hukum yang mengatur tentang pendidikan nasional di era Demokrasi

Terpimpin hanya ada dua: UU no. 4 tahun 1950 (di era RIS dan awal Demokrasi

Parlementer), serta UU no. 12 tahun 1954

2. Situasi politik era transisi RIS kembali ke NKRI hingga sepanjang Demokrasi

Parlementer sangat keras dan tidak stabil, terlalu fokus pada gesekan politik,

kebijakan politik dan ekonomi, serta pertarungan/tarik-ulur kepentingan

pemerintah dengan situasi Perang Dingin (Blok Barat & Timur), perjuangan

kemerdekaan bangsa-bangsa Asia & Afrika, hingga perebutan kembali Irian

Barat.

Namun untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada poin penting dalam UU no. 4 tahun

1950 yakni tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan

warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan
35

tanah air33. Tujuan pendidikan tersebut jika dibandingkan dengan era Demokrasi Terpimpin

terlihat sangat berbeda (baca di bab III: Kebijakan Pendidikan Nasional Era Demokrasi

Terpimpin). Di era Demokrasi Parlementer berdasar UU tersebut, memiliki sifat demokratis

adalah tujuan pendidikan. Hal ini sesuai dengan semangat zaman saat itu, demokrasi liberal.

Berbeda dengan era Demokrasi Terpimpin, menetapkan tujuan dan politik pendidikan nasional

secara ’radikal’ lebih jauh lebih ’kiri’ dengan memasukkan konsepsi Sukarno.

BAB III

SUKARNO SEBAGAI ‘KEPALA SEKOLAH’


(Kebijakan & Sistem Pendidikan Nasional di Tangan Sukarno)

3.1 Memahami Konsepsi Sukarno

Konsepsi Sukarno dalam hal apapun (politik, ekonomi, sosial-budaya, hingga

pendidikan) tidak terlepas dari ideologi-ideologi dunia yang memengaruhi pola pikirnya.

Sukarno menyerap banyak pemikiran, gagasan, konsepsi, ideologi, hingga filsafat dan agama.

Sejak masa pergerakan nasional Sukarno banyak terpengaruh, memilah-memilih, hingga

menggagas berbagai hasil pemikirannya sendiri.

Ideologi Sukarno sepanjang sejarah hidupnya sejak pra kemerdekaan hingga berkuasa

penuh di era Demokrasi Terpimpin secara garis besar dapat dibagi menjadi beberapa konsepsi

yakni Nasionalisme, Marxisme, Marhaenisme, Pancasila, Nasakom, dan Manipol-Usdek.

Kemudian, dari ragam pembagian konsepsi Sukarno tersebut, dapat terlihat berbagai kebijakan di

pemerintahan saat Sukarno berkuasa, selalu berdasar ajaran-ajarannya itu, termasuk di bidang

pendidikan era Demokrasi Terpimpin.

33 Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional
Pancasila.
36

Ada beberapa pemikiran tokoh yang memengaruhi pemikiran Sukarno tentang

pendidikan hingga ia menerapkannya dalam kebijakan pendidikan. Seperti yang telah ditulis atau

disampaikan pada bab I tentang pendekatan dan kerangka konseptual, tokoh-tokoh yang

memengaruhi Sukarno tersebut diantaranya Ki Hadjar Dewantara, Karl Marx, HOS

Cokroaminoto, KH. Ahmad Dahlan, hingga Abraham Lincoln. Pemikiran mereka dapat

dibuktikan nantinya dengan karya tulisan Sukarno tentang pendidikan sejak masa kolonial

melalui berbagai surat kabar yang dihimpun dalam buku DBR (Dibawah Bendera Revolusi)

mulai sekitar 1964. Salah satu judul karya tulis Sukarno tentang pendidikan secara terang-

terangan adalah “Mendjadi Goeroe di Masa Kebangoenan”.

3.2 Marxisme sebagai Landasan, Corak Pikir, dan Pisau Analisis

Pemikiran Sukarno tidak dapat dilepaskan dari Marxisme. Ia memang tokoh dan

konsisten sebagai nasionalis. Presiden Republik Indonesia pertama itu berkali-kali membantah

bahwa ia bukan komunis, sebagaimana banyak tuduhan di alamatkan padanya. Namun ia juga

seringkali mengingatkan untuk tidak anti-komunis, apalagi terhadap Marxisme. Sukarno sendiri

pun sejak mudanya sudah gandrung akan Marxisme. Pembelajaran tentang Nasionalisme oleh

Sukarno juga dengan pemberian unsur Marxisme.

Sukarno menggunakan Marxisme sebagai pisau analisis dalam membedah problem

rakyat Indonesia. Ia terpengaruh oleh pemikiran Karl Marx dan Engels yakni Sosialisme ilmiah.

Ajaran Marx tersebut kemudian berkembangan dan disebut sebagai Marxisme. Ide tersebut

menjadi esensial sebab Marxisme menjadi metode analisa relasi sosial 34, pisau analisis dan

34 Bab III Pasal 18, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem

Pendidikan Nasional Pancasila.


37

ideologi perjuangan yang bertujuan melawan Kapitalisme dan Imperialisme. Nasionalisme yang

dianut oleh Sukarno bersandar pada Marxisme.

Karl Marx sendiri adalah seorang filsuf, ideolog, ekonom, sejarawan, sosiolog, dan

penulis yang mewakafkan hidupnya untuk mempelajari dan membedah Kapitalisme serta

merumuskan Sosialisme yang akademis, dikenal juga sebagai Sosialisme ilmiah 35. Marx lahir

pada 1818 di Trier, Jerman36. Ia awalnya terpengaruh oleh filsuf G.W.F. Hegel (1770-1831),

dengan filsafat Idealismenya37. Namun kemudian Marx berbalik ke filsafat Materialisme dan

menolak Idealisme karena terpengaruh oleh Ludwig Feurbach, salah satu pelopor filsafat

Materalisme. Marx pun melampaui Feurbach mengenai pandangan bahwa kondisi material

seseorang hidup, pada kenyataannya menciptakan mereka melihat dan memahami dunia38.

Satu hal yang sering menjadi bumerang bagi para marxis ialah implementasi Marxisme

yang dilengkapi dengan Leninisme menjadi Komunisme, di berbagai negara seperti Uni Soviet

dan Tiongkok, atau tepatnya ialah Blok Timur. Marxisme menjadi dogma. Pada

perkembangannya, banyak penganut Marxisme yang menolak dogmatisasi Marxisme apalagi

setelah berkembangnya Stalinisme. Che Guevara adalah salah satu tokoh Marxis yang menolak

hal ini dengan menentang cara Marxisme ditafsirkan dan diterapkan di blok sosialis. Che

Guevara mengecam dogmatisme Uni Soviet39.

35 Keppres (Keputusan Presiden) RI No. 232 Tahun 1965 tentang Pengangkatan para Wakil
Ketua, Anggota-anggota dan Sekretaris Umum Majelis Pendidikan Nasional.
36 Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan, 2011), hlm. 344.
37 Dyah Kumalasari, Diktat Pengantar Sejarah Pendidikan, (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial & Ekonomi
Universitas Negeri Yogyakarta, 2008), hlm. 8-28.
38 Agus Suryana, Kekuasaan Politik dan Kebijakan, (Bandung: Jurusan Administrasi Pendidikan, Fakultas Ilmu
Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia, 2007), hlm. 5.
39 Arum Sutrisni Putri, Politik Etis: Pengertian, Latar Belakang, Tokoh dan Tujuan,
https://www.kompas.com/skola/read/2020/03/06/173000169/politik-etis--pengertian-latar-belakang-tokoh-dan-
tujuan?page=3, diakses pada 13 Februari 2021 pukul 21.05 WIB.
38

Sukarno secara garis besar pemikiran mengenai Marxisme, sama seperti Che Guevara,

bahkan jauh sebelum Che berpandangan demikian. Corak dan cara berpikir Sukarno lebih

condong pada sinkretis. Ia memadukannya dengan Nasionalisme yang bersumber dari pemikiran

Ernest Renan, serta agama (Islam) yang ia anut. Sukarno menjadikan Marxisme sebagai pisau

analisis saja, bukan sebagai dogma mutlak dan kaku. Sukarno sebagai marxis, tidak sampai

menjadi seorang komunis. Namun dari marxis, Sukarno belajar menjadi nasionalis yang selalu

menempatkan Sosialisme dalam tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di dunia

atau bidang pendidikan. Hal ini nampak sekali dalam berbagai kebijakan pemerintahan Sukarno

di bidang pendidikan (sistem pendidikan nasional), yang dijelaskan pada bab selanjutnya.

3.3 Nasakom: Wadah Politik Sukarno dalam Menerapkan Kebijakan Pendidikan

Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunis) merupakan konsepsi politik Sukarno yang

dijalankan khususnya di era Demokrasi Terpimpin. Kebijakan dari konsepsi tersebut bertujuan

untuk mempersatuan tiga kekuatan politik terbesar di Indonesia saat itu (terutama setelah

Pemilihan Umum 1955) yaitu kelompok nasionalis (direpresentasikan oleh PNI), kelompok islam

(direpresentasikan oleh NU, karena Masyumi membubarkan diri setelah Peristiwa PRRI-

Permesta), dan komunis (direpresentasikan oleh PKI).

Namun pemikiran persatuan ketiganya sebenarnya telah digagas atau disusun oleh

Sukarno sejak era pergerakan nasional. Pada 1926 Sukarno menulis artikel di surat kabar Suluh

Indonesia Muda, yakni “Nasionalisme, Islamisme, Marxisme”. Tulisan tersebut fenomenal dan

menjadi penanda pemikiran Sukarno tentang ketiganya yang harus bersatu demi kemerdekaan

Indonesia. Setelah kemerdekaan, Sukarno tetap konsisten pada konsepsi tersebut hingga benar-

benar dapat diwujudkan dalam pemerintahan di era Demokrasi Terpimpin. Sukarno dalam

pidatonya yakni “Djalannya Revolusi Kita (17 Agustus 1960)”, menyampaikan:


39

“Bukalah tulisan-tulisan saja dari zaman pendjadjahan. Batjalah tulisan saja pandjang lebar

dalam madjalah Suluh Indonesia Muda tahun 1926, tahun gawat-gawatnja perdjoangan

menetang Belanda. Di dalam tulisan itu pun saja telah mengandjurkan dan membuktikan dapatnja

persatuan antara Islam, Nasionalisme, dan Marxisme”.40

Sukarno mewujudkan persatuan ketiga aliran, ideologi, dan kelompok tersebut dalam konsepsi

Nasakom era Demokrasi Terpimpin dengan membentuk Front Nasional. Posisi-posisi strategis

dalam pemerintahan nasional/pusat juga diisi oleh ketiganya. Di Dewan Nasional, Sukarno

mengklaim bahwa kalangan nasionalis, islam, dan komunis berjalan dengan baik. Di DPA

(Dewan Pertimbangan Agung), gembong ketiganya ada di sana. Di Depernas (Dewan Perancang

Nasional) juga terisi oleh ketiga kelompok tersebut. Terutama sekali di MPR-S (Majelis

Permusyarawatan Rakyat – Sementara) dan DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat – Gotong

Royong), terisi oleh gembong utama ketiga kelompok tersebut41.

Kaitan antara konsepsi Nasakom ini dengan Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) era

Demokrasi Terpimpin, salah satunya ada dalam Penpres (Penetapan Presiden) RI no. 19 tahun

1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila, tepatnya pada Bab III

(Kurikulum Pendidikan/Persekolahan), Pasal 18, poin no. 5, yang menyatakan bahwa

kepercayaan dan rasa taqwa pada Tuhan Yang Maha Esa secara berkeadaban adalah karakteristik

bangsa Indonesia. Hal ini juga mengacu pada TAP MPRS No. II/ MPRS/ 1960 Bab II pasal 2

ayat 3 dan lampiran A 338, dan semangat toleransi terhadap keyakinan masing-masing sebagai

karakteristik yang lain bangsa Indonesia dalam membentuk manusia Indonesia baru yang berjiwa

Nasakom.42

40 Ahmad Fikri Sabiq, Kebijakan Politik dan Dampaknya Terhadap Pendidikan Agama Islam di Indonesia,
(Padang: Lentera: Jurnal Diklat Keagamaan Padang, Vol. 5, No. 2, Juni 2021), hlm. 3.
41 I Nyoman Temon Astawa, Teori-Teori Dalam Dunia Pendidikan Modern:
file:///C:/Users/Aslama%20Nanda/Downloads/40-123-1-SM%20(1).pdf, diakses pada 25 Maret 2022, pukul 6.22
WIB.
42 Kementerian Pendidikan Nasional RI, Pengembangan Kurikulum 2013, Jakarta: Kementerian Pendidikan
Nasional RI,, 2012.
40

3.4 Manipol-Usdek: Haluan Sukarno dalam Penerapan Kebijakan Pendidikan

Manipol-Usdek adalah konsepsi Sukarno tentang Garis Besar Haluan Negara (GBHN)

yang ia cetuskan beriringan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit ini mengacu pada

keputusan Sukarno sebagai Presiden RI untuk membubarkan parlemen yang selama sembilan

tahun (sejak 1950) dianggap gagal dalam menjalankan pemerintahan. Sistem pemerintahan

Indonesia sepanjang 1950 hingga pertengahan 1959, menganut Demokrasi Parlementer.

Parlemen dianggap gagal dalam Sidang/Majelis Konstituante untuk merumuskan dasar

negara karena tidak kunjung sepakat. Pemerintahan juga silih-berganti kabinet berkali-kali

(Kabinet Natsir hingga Djuanda). Lalu juga terdapat banyak pergolakan/konflik dalam negeri

(Tragedi Westerling, DI/TII, hingga PRRI-Permesta). Hal-hal itu yang membuat Sukarno

mengambil alih pemerintahan, mengubah sistem parlementer menjadi presidensial dan menjadi

Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan RI.

Satu bulan setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, tepatnya pada Peringatan Hari Proklamasi

17 Agustus 1959, Sukarno menyampaikan pidato yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi

Kita (Manifesto Politik)”. Pidato tersebut menjabarkan tentang konsepsi politik nasional yang

disampaikan Sukarno dan kemudian menjadi landasan utama pemerintahan Indonesia. Konsepsi

Presiden Sukarno tersebut kemudian dikenal sebagai Manipol-Usdek. Secara singkat, alur

konsepsi Manipol-Usdek ini sebagai berikut:

a. Manipol adalah penjelasan resmi dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959

b. Manipol adalah garis-garis besar haluan negara

c. Usdek adalah intisari dari Manipol

Isi dari Manipol pada Agustus dan September 1959 diperinci oleh DPA (Dewan

Pertimbangan Agung). Pertama, berisi preambul/pengantara. Kedua, berisi berbagai persoalan


41

pokok dari Revolusi Indonesia. Ketiga, program umum Revolusi Indonesia43. Sementara, Usdek

sendiri bermakna:

1. UUD 1945

2. Sosialisme Indonesia

3. Demokrasi Terpimpin

4. Ekonomi Terpimpin

5. Kepribadian Indonesia44

Makna relasi/hubungan antara Manipol dan Usdek, yakni Sukarno menegaskan bahwa jika

rakyat Indonesia pro terhadap UUD 1945, maka meningkat kepada hal kedua yakni Sosialisme

Indonesia. lalu, jika rakyat Indonesia sepakat dengan Sosialisme Indonesia, maka rakyat

Indonesia harus ber-Demokrasi Terpimpin. Berikutnya, jika telah ber-Demokrasi Terpimpin,

maka ekonomi yang dijalankan rakyat Indonesia adalah Ekonomi Terpimpin. Serta, jika

semuanya telah dijalankan, maka hal tersebut mencerminkan kepribadian dan kebudayaan bangsa

Indonesia secara menyeluruh atau keseluruhan45.

Hubungan antara konsepsi Manipol-Usdek ini dengan konteks dan kebijakan pendidikan

yang dijalankan Sukarno di era Demokrasi Terpimpin diantaranya dijelaskan/dijabarkan oleh

DPA (Dewan Pertimbangan Agung) RI, yakni:

“Dalam Djarek, Presiden menanja, “Dapatkah Sosialisme diselenggarakan oleh

bangsa jang buta-huruf?”, saja komandokan sekarang, supaja buta-huruf itu habis

43 Hien, T. K., English Language Instruction in Indonesia (Thesis). Malang: FKIP, Universitas Airlangga, 1962.

44 Departemen Pendidikan Nasional RI, Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan di Indonesia, Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Depdiknas, 1996.

45 Kementerian PP & K (Pendidikan, Pengadjaran, dan Kebudjayaan) RI, Dasar Pendidikan dan Pengadjaran
Jakarta: Kementerian PP & K RI, 1954.
42

sama sekali pada achir tahun 1964! Dan saja komandokan kepada semua sekolah-

sekolah dan universitas, supaja semua murid mahasiswa-mahasiswa di-USDEK-kan

dan di-MANIPOL-kan! (Djarek halaman 47)”.46

Dari hal tersebut secara singkat dapat ditarik benang merah, bahwa pendidikan yang

dijalan Sukarno di era Demokrasi Terpimpin, beriringan dengan tujuan serta langkah politiknya.

Dapat juga dikatakan, bahwa pendidikan nasional Indonesia dijalankan secara indoktriner,

ideologis, politis, dan dogmatis sesuai satu penafsiran dan satu ajaran tunggal, ajaran Sukarno.

3.5 Merombak Tatanan Kementerian & Penerapan Civics

Perubahan situasi politik pasti berdampak pada perubahan kebijakan dalam pemerintahan

suatu negara. Sepanjang 1950-pertengahan 1959, sistem pemerintahan Indonesia menganut

parlementer, atau dikenal juga sebagai era Demokrasi Parlementer. Namun pada 5 Juli 1959,

Sukarno mengambilalih pemerintahan dan mengubahnya menjadi Demokrasi Terpimpin melalui

Dekrit Presiden, kembali ke UUD 1945. Sejak itu situasi politik yang telah berubah, berdampak

pula pada kebijakan pemerintahan. Di era Demokrasi Parlementer, pemerintahan dijalankan oleh

Perdana Menteri dan melalui mekanisme parlemen. Maka di era Demokrasi Terpimpin, semua

terpusat di tangan Sukarno sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

Perubahan kebijakan dalam pemerintahan tersebut juga terjadi di bidang pendidikan. Era

kekuasaan Sukarno ini (Demokrasi Terpimpin), para menteri diangkat oleh Presiden, dan nama

Kementerian diganti menjadi Departemen. Bidang pendidikan sendiri mengalami perubahan,

46 Sjamsudin, Helius, dkk, Sejarah Pendidikan di Indonesia: Zaman Kemerdekaan, 1945-1966. (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), hlm. 18.
43

tepatnya pemisahan yakni antara bidang Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) dengan

bidang Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PDK).

Saat itu, Sukarno menujuk Prijono sebagai Mendikdasbud (Menteri PDK). Prijono

kemudian menetapkan kebijakan yakni ‘Sapta Usaha Tama’, berisi berbagai peraturan tentang

pimpinan sekolah. Ia juga menerapkan ‘Panca Wardhana’, yakni lima macam perkembangan

anak yang menjadi dasar-dasar pelaksanaan tugas di sekolah. Prijono juga membentuk Majelis

Nasional Pendidikan (dengan gaya lama) 47.

Pada era ini juga (Demokrasi Terpimpin), negara menafsirkan ideologi nasional melalui

berbagai kebijakannya. Salah satunya, pendidikan. Pemerintah memperkenalkan mata pelajaran

Civics dalam dunia pendidikan Indonesia. Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan

(PP & K) menerbitkan salah satu bukunya yakni Civics, Masyarakat dan Manusia Indonesia

Baru, karangan Mr. Soepardo, dan kawan-kawan. Secara singkat, buku tersebut berisi tentang

Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Pancasila, UUD 1945, Demokrasi dan Ekonomi

Terpimpin, Konferensi Asia-Afrika, Hak dan Kewajiban Warga Negara, Manifesto Politik,

Laksana Malaikat, serta berbagai lampiran Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Ditambah dengan Pidato Lahirnya Pancasila, materi tentang Panca Wardana, dan

Declaration of Human Rights. Berikutnya, pidato-pidato lainnya dari Presiden Sukarno dalam

“Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi” (Tubapi) dan UDHR dan kebijakan Panca Wardhana dari

Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yakni Prijono. Menurut Samsuri, buku-buku

tersebut kemudian menjadi sumber utama mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di

sekolah-sekolah, didominasi dengan corak indoktrinatif48.

47 Rifa’i, Muhammad, Sejarah Pendidikan Nasional: Dari Masa Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2016), hlm. 136-137.

48 Ibid. hlm. 138-139.


44

Di era Demokrasi Terpimpin, Pendidikan Kewarganegaraan berkembang dengan

nomenklatur mata pelajaran: Kewarganegaraan (1957), dan Civics (1961). Samsuri menilai, mata

pelajaran Kewarganegaraan (1957) lebih condong membahas cara memperoleh dan kehilangan

kewarganegaraan, sedangkan Civics (1961) dianggap lebih banyak membahas sejarah

kebangkitan nasional, UUD 1945, pidato-pidato politik kenegaraan, terutama untuk Nation and

Character Building bangsa Indonesia seperti pelajaran Civics di Amerika Serikat pada tahun-

tahun setelah Deklarasi Kemerdekaan Amerika49.

Mata pelajaran Civics kemudian diganti menjadi “Kewargaan Negara” pada 1962. Lalu

pada Kurikulum 1968 ditetapkan secara resmi menjadi “Pendidikan Kewargaan Negara.” Di

dalam kurikulum ini, penjabaran Pancasila sebagai pokok bahasan dianggap mengedepankan

kajian tata negara dan sejarah perjuangan bangsa, sedangkan aspek moralnya dianggap belum

nampak50. Kajian Pendidikan Kewargaan Negara untuk masing-masing jenjang juga pada

realitanya terdapat perbedaan tingkat kompleksitasnya.

Untuk jenjang SD (Sekolah Dasar) Mata Pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara

meliputi beberapa program, yakni Sejarah Indonesia, Civics, dan Ilmu Bumi. Untuk jenjang SMP

(Sekolah Menengah Pertama), Mata Pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara meliputi beberapa

program pembelajaran, diantaranya Sejarah Kebangsaan (30%), Kejadian Setelah Indonesia

Merdeka (30%), dan UUD 1945 (40%). Lalu untuk jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas),

Mata Pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara meliputi beberapa program pembelajaran yang

sebagian besar terdiri atas UUD 194551.

49 Rifa’i, op.cit., 141-142.


50 Petrik Matanasi, Sekolah-sekolah di Zaman Belanda, https://tirto.id/sekolah-sekolah-di-zaman-belanda-bXbV,
diakses pada 14 Februari 2021 WIB pukul 1.56 WIB.
51 Ibid.
45

3.6 Landasan Hukum Sistem Pendidikan Nasional di Era Demokrasi Terpimpin

Walaupun Demokrasi Terpimpin telah dijalankan sejak 1959, namun kebijakan

pemerintah di bidang pendidikan yang secara langsung diputuskan oleh Presiden Sukarno baru

diterapkan pada 1964 melalui Keputusan Presiden RI No. 224 Tahun 1964. Pada berkas

keputusan tersebut tertulis bahwa Presiden Sukarno menimbang sesuai dengan ketentuan kalimat

ke-2 dari Keputusan Presiden No. 180 Tahun 1964, dipandang telah tiba waktunya untuk segera

membentuk Panitia Negara yang bertugas menyempurnakan dan mengembangkan Sistem

Pendidikan Panca Wardhana.

Presiden Sukarno juga berdasar pada Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 serta Keputusan Presiden

No. 180 Tahun 1964 tersebut, maka memutuskan untuk menetapkan pembentukan Panitia

Negara Pembentukan Sistim Pendidikan Pantja-Wardhana. Struktur keanggotaannya sebagai

berikut:

● Ketua: Prof. Sujono Hadinoto (Menteri/Wakil Ketua II DPA)

● Anggota:

- Prof. Prijono (Menteri Koordinator Kompartemen Pendidikan/Kebudayaan)

- Brigjend Dr. Sjarif Thajeb (Menteri PTIP)

- Nj. Artati Marzuki Sudirjo (Menteri PDK)

- K.H. Saifuddin Zuchri (Menteri Agama)

- K.H. Idham Chalid (Menteri Koordinator / Wakil Ketua MPRS)

- Njoto (Menteri Negara diperbantukan Presidium)

- Maladi (Menteri Olahraga)

- Dr. M. Isa

- Suhadi (Mayjend KKO)


46

- Dr. AM. Tambunan, S.H.

- Asmara Hadi

- Emma Puradiredja

- Wasit Suwarto

- I.J. Kasimo

- Nn. Endang Sulbi, S.H.

Mereka semua menjadi pengurus tersebut dengan beberapa tugas, diantaranya:

- Menyempurnakan dan mengembangkan Sistim Pendidikan Pantja-Wardhana

- Menyampaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya usul pertimbangan mengenai

persoalan pemberhentian 26 orang pegawai Departemen PDK

Presiden Sukarno juga mengamanatkan bahwa segala pekerjaan Sekretariat Panitia

Negara tersebut dikerjakan oleh Sekretariat DPA (Dewan Petimbangan Agung) RI. Kemudian

biaya pengeluran dari panitia tersebut dibebankan kepada Anggaran Belanja Pemerintahan

Agung. Keputusan Presiden tersebut berlaku sejak ditetapkan, yakni pada 7 September 1964 52.

Beberapa peta perjalanan hingga Keputusan Presiden tersebut diterapkan, bermula dari

Ketetapan MPRS No. II Tahun 1960 yang menyatakan bahwa:

- Pendidikan sebagai Pembina Manusia Indonesia Baru yang berakhlak tinggi

- Pendidikan sebagai produsen tenaga kerja dalam semua bidang dan tingkatan

- Pendidikan sebagai lembaga pengembang Kebudayaan Nasional

- Pendidikan sebagai lembaga pengembang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)

52 Tyson Tirta, Dari Bekas Kampus Kolonial, Lahirlah Universitas Indonesia: https://tirto.id/dari-bekas-kampus-
kolonial-lahirlah-universitas-indonesia-cD4p, diakses pada 28 Maret pukul 04.35 WIB.
47

- Menggerakkan dan menyadarkan seluruh kekuatan rakyat untuk membangun

Masyarakat dan Manusia Indonesia Baru53.

Sebelumnya, kebijakan pemerintah tentang pendidikan nasional masih merujuk dan

menggunakan undang-undang yang lama, yakni UU Pokok Pendidikan dan Pengadjaran RI no.

12 tahun 1954. Diterapkannya Ketetapan MPRS RI No. II Tahun 1960 tentang pendidikan

membuat pemerintah melalui Presiden segera membuat kebijakan yakni Keputusan Presiden RI

No. 224 Tahun 1964 (Pembentukan Panitia Negara – Panca Wardhana). Setahun berikutnya,

landasan hukum tentang pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin semakin diperkuat

dengan Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan

Nasional Pancasila.

Kemudian Penetapan Presiden RI No. 14 tentang Tugas, Wewenang, Kedudukan,

Anggaran Belanja, dan Komposisi Majelis Pendidikan Nasional. Lalu Keputusan Presiden RI

No. 232 Tahun 1965 tentang Pengangkatan para Wakil Ketua, para Anggota dan Sekretaris

Umum Majelis Pendidikan Nasional, Keputusan Presiden RI No. 145 tentang Nama dan

Rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional, serta No. 146 tentang Pembentukan Majelis

Pendidikan Nasional. Pentingnya Ketetapan MPRS RI No. II Tahun 1960 sebagai landasan

hukum awal tentang pendidikan hingga kemudian diteruskan dengan berbagai kebijakan

Presiden Sukarno secara eksekutif dapat dilihat dengan pembagian beberapa bidang, yakni

Pendidikan, Perguruan Tinggi, Perluasan Sekolah Kejuruan, dan Penelitian54.

TAP MPRS RI No. II Tahun 1960 menjadi landasan yang paling utama sebelum Presiden

Sukarno menerapkan berbagai kebijakan seperti Perpres, Penpres, dan Keppres terutama di

53 Universitas Indonesia, Sekilas Sejarah: http://repository.ui.ac.id/dokumen/lihat/6513.pdf (Depok: Buku Panduan


UI Tahun Akademik 2011/2012, 2011), hlm. 5.
54 Maksum. (1999). Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm.
123.
48

bidang pendidikan. Hal ini menarik karena saat itu MPRS dan DPR-GR sebagai lembaga

legislatif justru sangat mendukung Presiden Sukarno. Jadi bisa dianalogikan pola perjalanan

kebijakan era Demokrasi Terpimpin sebagai berikut:

1. Penerapan Demokrasi Terpimpin (Dekrit Presiden 5 Juli 1959)

2. Didukung lembaga legislatif (MPRS & DPR-GR) melalui TAP MPRS 1960

3. Perpres, Penpres, dan Keppres yang diterapkan Presiden Sukarno.

Pentingnya TAP MPRS 1960 sebagai legitimasi kebijakan Presiden Sukarno di era

Demokrasi Terpimpin terjadi karena TAP tersebut adalah pijakan Garis-Garis Besar Haluan

Negara (GBHN) serta Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB). Khusus PNSB

tersebut, Presiden Sukarno yang didukung MPRS sebenarnya telah merancang beberapa tahap

seperti Tahapan Pertama 1961-1969. Namun sayang, belum sampai 1969, rezim Presiden

Sukarno tumbang pada 1966.

Terkait kebijakan pendidikan nasional yang berlandas pada TAP MPRS 1960 dapat

dilihat pada Bab II tentang Ketentuan Umum. Pasal 2 yakni Bidang Mental/Agama/

Kerohanian/Penelitian. Beberapa poin dari pasal tersebut yang dapat dianalisa diantaranya,

pertama, melaksanakan Manipol-Usdek dalam menerapkan pembinaan

mental/agama/rohani/penelitian serta kebudayaan dengan mengembangkan kebudayaan nasional

dan menolak pengaruh budaya asing. Kedua, menetapkan Pancasila dan Manipol sebagai mata

pelajaran di berbagai jenjang pendidikan dari pendidikan rendah hingga perguruan tinggi.

Berikutnya, menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah mulai dari

sekolah rakyat (dasar) hingga Universitas negeri dengan pengertian bahwa murid berhak tidak
49

ikut serta, jika wali murid menyatakan keberatannya. Kemudian, membina sebaik-baiknya

pembangunan rumah ibadah dan lembaga keagamaan. Selanjutnya yang cukup penting dan tepat

mengenai pendidikan nasional yakni pemerintah menyelenggarakan kebijakan dan sistem

pendidikan nasional yang tertuju pada pembentukan tenaga ahli dalam pembangunan, sesuai

dengan syarat manusia Sosialis Indonesia (versi rezim politik saat itu).

Pemerintah juga mengusahakan agar segala bentuk dan perwujudan kesenian menjadi

milik seluruh rakyat, bahkan berupaya untuk menyiarkan sifat-sifat atau nuansa kebudayaan

nasional. Pemerintah melalui pasal ini juga menyampaikan tentang penguatan

publikasi/penerangan sebagai media penggerak rakyat dan massa revolusioner. Terakhir,

kebijakan pendidikan dan penelitian disesuaikan dengan politik luar negeri bebas-aktif,

mengikutsertakan rakyat tanpa meninggalkan syarat-syarat ilmiah55.

3.7 Pancasila sebagai Basis Pendidikan Nasional

Setelah pembentukan sistem pendidikan Panca Wardhana, Presiden Sukarno

mempertegas kembali kebijakannya tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional). Rangkaian

alur historisnya yakni masih sama berdasar TAP MPRS RI No. II Tahun 1960, lalu diwujudkan

dengan membuat Majelis Pendidikan Nasional melalui Keppres (Keputusan Presiden) RI No.

146 Tahun 1965 tentang Pembentukan Majelis Pendidikan Nasional, beriringan dengan Keppres

RI No. 145 Tahun 1965 tentang Nama dan Rumusan-induk Sistem Pendidikan Nasional

Pancasila.

Pada Keppres RI No. 146 Tahun 1965 tentang Pembentukan Majelis Pendidikan

Nasional, Presiden Sukarno membentuk majelis tersebut untuk melaksanakan Sisdiknas

Pancasila yang bertugas untuk merencanakan, membina, dan mengawasi pelaksanaannya. Secara

55 Mudzakkir. (2015). Pendidikan Islam Masa Orde Lama Dan Orde Baru.Al Fatih, 4,55-66.
50

struktur, Presiden Sukarno menjadi Pengajom Agung, lalu Menteri/Wakil Ketua II DPA, Ketua

Panitya Negara Penjempurnaan Sistim Pendidikan Pantjawardhana, yakni Sujono Hadinoto

sebagai Ketua merangkap Anggauta. Ketua tersebut juga diinstruksikan untuk menyusun tugas,

wewenang, kedudukan, anggaran belanja, komposisi dan personalia dari majelis tersebut56.

Lalu untuk Keppres RI No. 145 Tahun 1965 tentang Nama dan Rumusan-induk Sistim

Pendidikan Nasional Pantjasila, Sukarno menjelaskan kebijakan ini untuk mendukung dan

melaksanakan Keppres RI No. 224 Tahun 1964 pasal pertama dari bagian kedua, maka

dipandang perlu untuk segera memberi nama dan menetapkan rumusan-induk dari Sisdiknas,

serta mengganti/memperjelas konsepsi/kebijakan Panca Wardhana (kebijakan pendidikan

sebelumnya). Keppres ini juga berlandas pada Pidato Presiden Sukarno tanggal 17 Agustus 1964,

serta TAP MPRS RI No. VI/MPRS/1965. Pada Keppres ini, Sukarno menetapkan penamaan

Sistim Pendidikan Nasional Pantjasila, serta menjabarkan rumusan-induk Sisdiknas Pantjasila

tersebut yakni:

- Mukadimah

- Dasar-Asas Pendidikan Nasional

- Tujuan Pendidikan Nasional

- Isi Moral Pendidikan Nasional

- Politik Pendidikan Nasional

- Pengkhususan Pendidikan Nasional

- Penyelenggara Pendidikan Nasional57

56 Rifa’i, Muhammad. (2016).Sejarah Pendidikan Nasional: Dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, hlm. 159.
57 Perpres (Peraturan Presiden) RI No. 14 Tahun 1965
51

Berikutnya, melalui Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok

Sistem Pendidikan Nasional Pancasila, Presiden Sukarno merasa perlu mempertegas dan

menjabarkan hal tersebut karena beberapa alasan, diantaranya:

- Sistem pendidikan merupakan unsur mutlak dari Nation and Character Building

- Perlu ada Sisdiknas yang sesuai dengan tuntutan Revolusi Indonesia

- Dalam rangka melaksanakan Keputusan Presiden RI No. 224 Tahun 1964

(Pembentukan Panitia Negara – Panca Wardhana) pasal pertama dari bagian kedua

dipandang perlu untuk menetapkan Pokok-pokok Sisdiknas Pancasila dalam satu

Penetapan Presiden58.

Sukarno juga menegaskan bahwa inspirasi pembuatan Sisdiknas Pancasila tersebut

adalah dengan diyakinkan oleh konsepsi Manipol. Hal tersebut mengacu pada Bab I dalam

Ketentuan Umum, Mukadimah Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok

Sistem Pendidikan Nasional Pancasila. Ia menyebut bahwa pembangunan dan implementasi

kebijakan pendidikan nasional adalah amanat revolusi yang belum selesai, sehingga harus

memiliki konsepsi pendidikan yang revolusioner.

Manipol-Usdek sebagai dasar-asas pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin juga

dipertegas oleh Presiden Sukarno pada Pasal 1 Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965

tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila, yakni Dasar-Azas Pendidikan

Nasional. Negara (melalui Penpres tersebut) menegaskan bahwa Pancasila-Manipol-Usdek

adalah moral dan falsafah hidup bangsa Indonesia. Lalu, juga merupakan manifestasi atau

perwujudan persatuan bangsa dan wilayah Indonesia. Berikutnya, juga menjadi perasan kesatuan

jiwa sebagai Weltanschauung bangsa Indonesia dalam penghidupan nasional dan internasional.
58 Mardanas Safwan, PROF.DR. BAHDER DJOHAN: Karya dan Pengabdiannya, Jakarta: Departemen Pendidikan
& Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional,
1985, hlm. 68.
52

Hal tersebut menjadi dasar bagi pemerintahan era Demokrasi Terpimpin menjadikan Pancasila-

Manipol-Usdek sebagai landasan bagi semua pelaksanaan pendidikan nasional.

Dari Penpres tersebut juga menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah

melahirkan warga negara Sosialis Indonesia yang baik (susila), bertanggungjawab atas

terlaksananya Sosialisme Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun materialnya serta

berjiwa Pancasilais. Di Pasal 3 Penpres tersebut juga membahas tentang isi moral pendidikan

nasional, yakni kolaborasi antara dasar negara (Pancasila) serta konsepsi Presiden Sukarno

(Manipol-Usdek). Satu hal yang menarik, yakni hal tersebut (seluruh arahan dan instruksi serta

konsepsi) berlaku tidak hanya bagi penyelenggara pendidikan dari pemerintah (negeri), namun

juga bagi pihak instansi pendidikan non-pemerintah (swasta).

Nuansa politis, ideologisasi serta indoktrinasi dalam kebijakan Sisdiknas Indonesia era

Demokrasi Terpimpin yang secara langsung dilakukan oleh Presiden Sukarno semakin nampak

nyata pada Pasal 4 yakni Politik Pendidikan Nasional. Ia menegaskan bahwa landasan politik

kebijakan Sisdiknas tersebut ialah Manipol serta berbagai pedoman pelaksanaannya.

Selanjutnya, bahwa garis dan strategi dasar pelaksanaan pendidikan ‘Nasional-Demokratis’ harus

melahirkan patriot yang komplit: berdasar Pancasila dan Manipol-Usdek, menentang segala

bentuk penghisapan manusia atas manusia, bangsa atas bangsa. Lebih konkrit lagi, Presiden

Sukarno menjabarkan hal-hal penghisapan tersebut diantaranya:

- Imperialisme

- Kolonialisme dan Neo-Kolonialisme

- Feodalisme

- Kapitalisme.
53

Sukarno melalui Penpres yang ditandatanganinya ini menjadi anomali di lain sisi. Satu

sisi, ia memonopoli keputusan, makna, pandangan dan sikap politik dalam kebijakan pendidikan

nasional dengan mewajibkan pemerintahan secara nasional seluruh konsepsinya tersebut. Namun

di lain sisi, ia membebaskan pendidikan dijalankan sesuai aliran politiknya masing-masing.

Anomali yang dimaksud adalah jika kita berkaca pada politik pendidikan nasional, menentang

paham-paham yang ‘dilarang’ negara seperti Kapitalisme, Feodalisme, Kolonialisme dan Neo-

Kolonialisme serta Imperialisme. Padahal, ‘isme-isme’ tersebut adalah aliran politik. Bagaimana

mungkin bisa menjalankan pendidikan secara bebas sesuai aliran politik, jika negara justru

melarang beberapa aliran politik secara tertulis dalam peraturannya? Selayaknya konsep

demokrasi yang sebenarnya, yakni kebebasan tanpa campur tangan atau intervensi negara

(Liberalisme), demokrasi yang dijalankan Sukarno ini adalah demokrasi terbatas dan terpusat

dengan intervensi Presiden.

Namun, satu hal yang harus diapresiasi dalam Penpres ini adalah kebebasan menjalankan

dan menerapkan pendidikan (selain aliran politik), juga sesuai aliran agama dan kepercayaan

masing-masing. Pada pembahasan sebelumnya telah disampaikan bahwa penerapan pendidikan

agama secara khusus dijalankan oleh Departemen Agama, khususnya Islam sebagai agama

mayoritas dan salah satu bentuknya adalah madrasah. Sayangnya, sulit menemukan sumber

tentang penerapan pendidikan agama dan kepercayaan lain di luar Islam di era Demokrasi

Terpimpin. Menarik jika ada penelitian selanjutnya yang secara lebih fokus membahas hal

tersebut (penerapan kebijakan pendidikan agama secara nasional di era Demokrasi Terpimpin,

ataupun sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia).

Pasal 5 Penpres tersebut, menarik sebagai bahan renungan untuk saat ini. Bahwa Presiden

Sukarno menegaskan pentingnya toleransi umat beragama termasuk di ranah pendidikan. Pada
54

Pasal 5 secara tegas menyebut bahwa Sisdiknas Indonesia diperkenankan, disesuaikan, serta

dijalankan dengan/sesuai aliran politik dan keyakinan agama masing-masing dalam rangka dasar

negara Pancasila dan konsepsi Manipol-Usdek sebagai satu kesatuan. Hal ini cukup untuk

mengklarifikasi bahwa konsepsi Manipol-Usdek Presiden Sukarno bukan buatan kaum Komunis,

atau bukan karena desakan atau pengaruh dari PKI, yang sering dinegasikan sebagai kelompok

atheis dan anti-agama (hal ini menarik untuk diperdebatkan dalam diskursus ideologi dan

politik).

Lalu pada Pasal 6 Penpres ini, menyebutkan tentang pihak-pihak mana saja yang

termasuk dalam kategori penyelenggara Sisdiknas. Diantaranya negara/pemerintah, lembaga

keagamaan, lembaga/organisasi kemasyarakatan (ormas), orangtua/wali murid, menurut bidang,

hak, kewajiban dan wewenangnya masing-masing. Cara pelaksanaannya diharapkan harus

harmonis antar elemen tersebut demi tercapainya tujuan pendidikan nasional. Kemudian, terkait

susunan pendidikan atau persekolahan nasional di era Demokrasi Terpimpin, Sukarno

menjabarkannya pada Bab II Penetapan Presiden tersebut, diantaranya:

- Pendidikan Biasa

- Pendidikan Khusus

- Pendidikan Luar Biasa

- Pendidikan Kemasyarakatan

- Pendidikan Luar Hubungan Sekolah

Di era ini, belum ada jenis sekolah ‘kejar paket’ seperti saat ini. Pemerintah

mengantisipasi warga negara yang tidak dapat menyelesaikan SD atau SM (Menengah) dengan

menyelenggarakan pendidikan khusus untuk menambah kemampuan pengetahuan dan bekerja.


55

Pemerintah di tangan Presiden Sukarno juga memberikan perhatian terhadap kaum difabel

(berkebutuhan khusus), yakni Pendidikan Luar Biasa.

Berikutnya, pada bagian II Pasal 13 dapat dilihat bahwa jika pada sekarang terdapat

PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), maka di era Demokrasi Terpimpin ada yang

namanya jenis Pendidikan Kemasyarakatan yang sejalan/sejenis dengan tipe PKBM. Fungsinya

sama, yakni bagi warga negara yang tidak sempat dididik pada salah satu jenis lembaga

pendidikan dalam Bab II Bagian I Penetapan Presiden tersebut, Pendidikan Kemasyarakatan

dapat menjadi alternatifnya.

Lalu, landasan hukum mengenai tipe/jenis lembaga pendidikan yang saat ini lebih dikenal

dengan LKP (Lembaga Kursus dan Pelatihan) dan sejenisnya, di era Demokrasi Terpimpin

terwadahi dengan nomenklatur Pendidikan Diluar Hubungan Sekolah. Pada Bagian II Pasal 14

dijelaskan, bahwa kegiatan pendidikan di luar hubungan sekolah sebagai bagian dari pendidikan

untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, diselenggarakan oleh para penyelenggara menurut

bidang, hak, kewajiban, serta masing-masing wewenang. Tipe/jenis pendidikan ini lebih condong

atau melepaskan ke pihak swasta atau non-pemerintah. Seperti yang tercantum pada Pasal 15,

yakni pendidikan di luar hubungan sekolah tersebut dilakukan di lingkungan rumah tangga

dan/atau di lingkungan masyarakat.

Pada Bab III di Pasal 16 dan 17, Presiden Sukarno melalui Penetapan tersebut berikutnya

menegaskan tentang kurikulum pendidikan atau persekolahan. Di era ini, semua kegiatan

pendidikan nasional (di dalam dan di luar hubungan sekolah) diatur dalam Kurikulum

Pendidikan/Persekolahan, untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Kurikulum tersebut

secara lebih jelasnya, meliputi seluruh pengaruh yang didapat peserta didik atas pimpinan

lembaga pendidikan/sekolah.
56

Peran Presiden Sukarno dalam memonopoli, ideologisasi, dan indoktrinasi Sisdiknas

sangat terasa berikutnya pada jiwa kurikulum pendidikan/persekolahan yang diwajibkan untuk

dijalankan. Seperti yang tertera pada Pasal 18, diantaranya yakni semangat mengemban Ampera

(Amanat Penderitaan Rakjat) secara gotong-royong demi tercapainya masyarakat adil-makmur

dan diridhoi Tuhan Yang Maha Esa. Lalu, semangat Demokrasi Terpimpin (diklaim)

mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Semangat cinta bangsa dan tanah air dan semangat

kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, berkepribadian dan berkebudayaan nasional

juga dimasukkan.

Kemudian, rasa perikemanusiaan dalam bentuk persahabatan dengan seluruh bangsa-

bangsa di dunia atas semangat Nefo (New Emerging Forces) untuk membangun dunia baru yang

bebas dari Imperialisme, Kolonialisme dan Neo-Kolonialisme. Serta, kepercayaan dan rasa

taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa secara berkeadaban sebagai karakteristik bangsa Indonesia,

sesuai dengan Ketetapan MPRS No. II/ MPRS/1960 Bab II Pasal 2 Ayat 3 dan lampiran A338,

dan semangat toleransi terhadap keyakinan masing-masing sebagai karakteristik yang lain

bangsa Indonesia dalam membentuk manusia Indonesia baru jang berjiwa Nasakom59.

Penetapan Presiden ini juga dilengkapi penjelasan dan pedoman pelaksanaannya serta

pembentukan Majelis Pendidikan Nasional sebagai badan tertinggi penentu kebijakan tentang

pendidikan. Lebih jelas lagi, Penpres tersebut mulai berlaku sejak ditetapkan yakni 25 Agustus

1965. Ditandatangani oleh Presiden Sukarno dan diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara

saat itu, Mohammad Ichsan, S.H.

3.8 Pembentukan Majelis Pendidikan Nasional

59 Nezar Patria dan Andi Arief, 1999, Negara dan Hegemoni, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 121.
57

Setelah Penetapan Presiden tentang Sisdiknas ditetapkan, di hari yang sama (25 Agustus

1965), Sukarno membuat dan menetapkan juga Perpres (Peraturan Presiden) RI No. 14 Tahun

1965. Perpres tersebut mempertegas kembali serta menjabarkan dari pembentukan Majelis

Pendidikan Nasional yang telah dibuat melalui Keppres (Keputusan Presiden) RI No. 146 Tahun

1965 tentang Pembentukan Madjelis Pendidikan Nasional. Tugas, wewenang, kedudukan,

anggaran belanja, dan komposisi Majelis Pendidikan Nasional, diantaranya sebagai berikut:

● Tugas: mengadakan penelitian, pembinaan, pengamanan dan pengawasan Sisdiknas

Pancasila di segala bidang

● Wewenang: memiliki hak dan kuasa untuk menentukan kebijakan pendidikan di segala

bidang

● Kedudukan: menjadi lembaga tertinggi dalam bidang pendidikan nasional, serta di bawah

naungan langsung Presiden

● Anggaran Belanja: mendapat tempat pada anggaran belanja lembaga tertinggi

● Komposisi: terdiri dari pimpinan dan keanggotaan (dijabarkan lebih lanjut)60.

Perpres tersebut kemudian diperkuat dengan Keppres (Keputusan Presiden) RI No. 232

Tahun 1965 tentang Pengangkatan para Wakil Ketua, Anggota-anggota dan Sekretaris Umum

Majelis Pendidikan Nasional. Singkatnya, Keppres ini ditetapkan dalam rangka melaksanakan

Pasal 21 Perpres RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional

Pancasila dan Pasal Keenam Ayat 3 Perpres RI No. 14 Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan

Nasional. Tujuannya yakni demi penentuan atau agar segera menentukan Personalia (orang-

orangnya) yang terdiri dari berbagai jabatan: Wakil Ketua, para anggota, serta Sekretaris Umum

dari Majelis Pendidikan Nasional tersebut. Presiden Sukarno menetapkan Perpres ini dengan

60 Merujuk pada halaman 47: “Secara struktur, Presiden Sukarno menjadi Pengajom Agung, lalu Menteri/Wakil
Ketua II DPA, Ketua Panitya Negara Penjempurnaan Sistim Pendidikan Pantjawardhana, yakni Sujono Hadinoto
sebagai Ketua merangkap Anggauta.”
58

mengingat TAP MPRS RI No. II/MPRS/1960, Pidato Presiden RI tanggal 17 Agustus 1964,

Keppres RI No. 224 Tahun 1964, Keppres RI No. 146 Tahun 1965, Penpres RI No. 19 Tahun

1965, serta Perpres RI No. 14 Tahun 196561.

Susunan Personalia Majelis Pendidikan Nasional tersebut diantaranya:

❖ Wakil Ketua: Soemari, Ridwan Fahdil, Siswojo, Mayjend KKO Soehadi.

❖ Anggota:

- Menko/Menteri yang berhubungan dengan bidang Pendidikan dan Wakil Komisi Pendidikan

DPR-GR: Prof. Prijono, K.H. Saifuddin Zuchri, Prof. Ruslan Abdulgani, Artati Marzuki

Soedirjo, Brigjend. Dr. Sjarif Thayeb, Maladi, Dr. Soemarno S., Drs. M. Achadi, Ipik

Gandamana, Prof. Soedjono Djoened P., Drs. Soerjadi, Jusuf Muda D., Mardanus, Brigjend.

M. Wonojudo.

- Wakil Partai Politik: Arudji Kartawinata, JCT. Simorangkir, IJ. Kasimo, Ratu Aminah H.,

Asmara Hadi, H. Abdurrachman.

- Wakil Golongan Fungsionil: Nyi Hadjar Dewantara, Asmu, Martiman, PA Harahap, Djamin,

Hasjim Ning, Kusno Utomo, Saroso Hurip, Soebroto, Tudjimah, Notohamidjojo, L. Soekoto,

IGB. Soegriwa, Armunanto, Busuno Wiwoho, Prof. Baroroh Baried, Hoo Kian Lam,

Soekarno Iskandar, Prof. Slamet Iman S., Sodiarto, Chaerun Caropeboka, RAJ. Soedjasmin,

Said Budaeri, Satyagraha, Zaini Mansur, Mahbub Djunaidi, Emma Puradiredja, Santoso.

- Wakil Daerah: M. Isa, Doel Arnowo, Tjilik Riwut, Andi Pangerang Daeng Rani, AB. Mboi,

Prof. G. Siwabessy, Lucas Rumkorem.

❖ Sekretaris Umum: Liem Bian Kie, S.H.

61 Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966. Mitos dan Dilema: Mahasiswa Dalam Proses Perubahan
Politik 1959-1970, Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2006.
59

Hal yang menarik dan penting untuk dianalisa dalam pembentukan Majelis Pendidikan

Nasional tersebut adalah terdapat perwakilan dari masing-masing elemen. Diantaranya dari para

menteri dan DPR-GR, wakil partai politik, wakil golongan fungsionil/akademisi, hingga wakil

daerah, yang telah dijabarkan. Presiden Sukarno nampak ingin membuktikan keseriusannya

dalam mengelola sistem pendidikan nasional. Terlihat ia ingin menunjukkan bahwa urusan

pendidikan adalah urusan bersama, tidak hanya Kementerian dan Dinas Pendidikan saja. Namun

di sisi lain, keterlibatan banyak pihak hingga dari kalangan militer serta partai politik membuat

pertanyaan baru: “untuk apa pihak-pihak yang berada di luar koridor pendidikan atau yang

tidak/bukan memiliki latarbelakang pendidikan, turut serta dalam merumuskan pendidikan

nasional?”.

Sisi positifnya, Presiden Sukarno dapat dianggap benar-benar serius dalam mengelola

pendidikan nasional. Ia menjadikan pendidikan sebagai unsur yang sangat penting dalam

pembangunan bangsa sehingga dalam merumuskan pendidikan nasional harus melibatkan

banyak pihak hingga wakil dari berbagai daerah. Namun di sisi lain, kritik terhadap Presiden

Sukarno terkait hal tersebut juga dapat disampaikan bahwa ia terlalu politis dalam mengelola

pendidikan nasional. Presiden Sukarno nampak mementingkan sisi prestisiusnya dibanding fokus

pada kebijakan intinya. Keterlibatan banyak pihak dalam satu bidang seperti pendidikan

nasional, justru membuat pelaksanaan kebijakan tersebut tidak akan fokus karena banyak pihak

yang berkepentingan.

Melihat dari suasana politik saat itu dapat juga diasumsikan bahwa Presiden Sukarno

ingin membuktikan bahwa kebijakannya (dalam hal ini, pendidikan) diikuti dan dituruti serta

didukung seluruh elemen masyarakat yang tentu sejalan dengan garis politiknya. Kritik

berikutnya terhadap kebijakan pembentukan Majelis Pendidikan Nasional tersebut adalah bahwa
60

Presiden Sukarno justru mempersempit ruang gerak akademisi dengan ikut melibatkan politisi

partai dan militer, sehingga nampak pihak fungsionil/akademisi bukan menjadi peran yang

sentral pengambil kebijakan. Pada perjalanannya, Majelis Pendidikan Nasional yang dibentuk

Presiden Sukarno tidak bertahan lama. Karena beberapa waktu/bulan setelahnya, terjadi huru-

hara G30S 1965. Setelah peristiwa itu, kebijakan negara tidak banyak dapat diimplementasikan

karena pemerintah fokus meredam situasi politik nasional yang semakin kisruh.

3.9 Pembangunan Pendidikan Nasional Melalui PNSB (Pembangunan Nasional Semesta


Berencana)

Pada sub-bab sebelumnya telah dijelaskan tentang pentingnya TAP MPRS No. I dan II

Tahun 1960 sebagai salah satu landasan hukum kebijakan pendidikan nasional di era Demokrasi

Terpimpin. Penerapan TAP MPRS tersebut kemudian diimplementasikan dalam PNSB

(Pembangunan Nasional Semesta Berencana) Tahap Pertama 1961-1969. Dampak dari TAP

MPRS 1960 yang menjadi landasan kebijakan pendidikan nasional era Demokrasi Terpimpin

tersebut yakni pemerintah membangun banyak sekali pembangunan terkait bidang pemerintah.

Diantaranya yakni sebagai berikut:

1. Penggalian Kekayaan Kebudayaan di Nias, Kalimantan Tengah, Toraja, Flores, dan

Maluku.

Proyek ini menelan biaya sekitar Rp. 50.000.000,- dan memiliki target hasil diantaranya

penambahan kader, piringan hitam, berbagai film dancatatan artistik, maquette-maquette, teknik

pembuatan alat kesenian, peninggalan Islam dan Hindu, bahan untuk museum nasional, film

kebudayaan untuk sekolah rakyat dan menengah, bahan untuk perguruan tinggi, dan cara kerja

modern. Pembangunan ini dimulai berangsur mulai tahun pertama PNSB Rencana/Tahap I dan

ditargetkan selesai pada akhir periode ini (1969).


61

2. Museum Nasional di Kotapraja (kini DKI) Jakarta Raya

Proyek ini menelan anggaran sekitar Rp. 313.000.000,- dan memiliki target hasil

diantaranya untuk pemeliharaan kebudayaan, memperkuat kepribadian bangsa serta memajukan

pariwisata. Pembangunan ini membutuhkan dukungan pendidikan ahli musem, dan sekaligus

membangun taman rekreasi dan Taman Bhinneka Tunggal Ika hingga Museum Perjuangan.

Direncanakan dan diselenggarakan mulai tahun pertama PNSB Tahap I (1961) dan selesai di

akhir periode (1969).

3. Galeri Kesenian Nasional di Kotapraja (kini DKI) Jakarta Raya

Proyek ini menelan biaya sekitar Rp 469.000.000,- dan bertujuan untuk memamerkan

hasil kesenian nasional, memelihara kepribadian kebudayaan, perkembangan daya kreatif serta

memajukan pariwisata. Galeri ini memuat 4000 lukisan dalam satu baris, 8000 lukisan dalam dua

baris dan dapat diperbesar dengan 2000 lukisan. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB

Tahap I dan selesai di akhir periode (1961-1969).

4. Perpustakaan Nasional di Kotapraja (kini DKI) Jakarta Raya

Proyek ini menyerap anggaran sebesar Rp. 453.000.000,- dan bertujuan untuk memenuhi

kebutuhan bacaan rakyat, menghimpun karya intelektual bangsa Indonesia, serta pendidikan ahli

perpustakaan. Pembangunan ini memiliki kapasitas empat juta buku, dimulai tahun pertama

PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode (1961-1969).

5. Lembaga Bahasa dan Kesusatraan di Kotapraja (kini DKI) Jakarta Raya

Proyek ini menghabiskan anggaran sebesar Rp. 44.000.000,- dan bertujuan yakni

menerjemahkan berbagai buku untuk universitas, membuat Kamus Besar Bahasa Indonesia dan

Ensiklopedia Indonesia, penemuan berbagai istilah, pendidikan ahli penerjemah, dan ahli-ahli
62

bahasa. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode

(1961-1969).

6. Taman Kebudayaan di Beberapa Provinsi (Daerah Tingkat I)

Proyek ini menghabiskan anggaran sebesar Rp. 110.000.000,- dan bertujuan yakni

sebagai pusat penghidupan kebudayaan daerah dan nasional. Proyek ini membangun dua puluh

dua taman yang dibangun mulai tahun kedua Tahap I (1962) hingga akhir tahun ketiga.

7. Terjemahan Kitab Suci Al-Quran, Bible, Weda, dan Dhamma Padda (Tri Pitaka)

Proyek ini sangat menarik untuk membuktikan bahwa rezim Sukarno era Demokrasi

Terpimpin adalah rezim yang sangat memperhatikan agama. Anggaran yang diserap untuk

pembangunan ini masing-masing Rp. 62.000.000,- (Islam), Rp. 33.000.000,- (Nasrani), Rp.

20.000.000,- (Hindu dan Buddha). Pembuatan terjemahan ini dimulai sejak tahun pertama Tahap

I (1961) dan selesai dalam 10 bulan.

Total pembangunan beberapa lembaga dan proyek kebudayaan dan keagamaan tersebut

menghabiskan/memerlukan jumlah keseluruhan anggaran sekitar Rp. 1.554.000.000,-62.

Berikutnya, pemerintah era Demokrasi Terpimpin melalui TAP MPRS tersebut juga membangun

berbagai universitas negeri di Indonesia, diantaranya sebagai berikut:

1. Universitas Gadjah Mada di Yigyakarta

Proyek ini menelan biaya sebesar Rp. 1.650.000.000,- dan memiliki target hasil yakni

melipatgandakan sarjana di bidang teknik, ilmu pasti/alam, biologi, pertanian dan kehutanan,

62 Suara Guru, Hasil Kongres PGRI 1973, Jakarta: 1973.


63

serta dokter. Pembangunan ini dimulai tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode

(1961-1969).

2. Universitas Indonesia di Kotapraja (kini DKI) Jakarta Raya

Proyek ini membutuhkan anggaran sekitar Rp. 1.400.000.000,- dan memiliki target hasil

yaitu melipatgandakan sarjana di bidang pertanian dan kehutanan. Selain itu menambah fakultas

baru yakni teknik, ilmu pasti/alam, biologi, dan ahli penggunaan tanah. Pembangunan ini dimulai

tahun pertama PNSB Tahap I dan selesai di akhir periode (1961-1969).

3. Universitas
64
65

BAB IV

DAMPAK & SISI POSITIF-NEGATIF

KEBIJAKAN PENDIDIKAN NASIONAL

ERA DEMOKRASI TERPIMPIN

4.1. Hegemoni dan Dominasi Atas Kebijakan Pendidikan Nasional

Hal yang paling terasa dalam hampir semua kebijakan Sukarno di era Demokrasi

Terpimpin adalah hegemoni konsepsi dalam kebijakan, menguatnya dominasi, bahkan cenderung

monopoli. Secara politik, kekuatan dan kekuasaan Sukarno saat itu sangat besar. Tidak ada

oposisi karena kekuatan Masyumi & PSI telah diberangus sebagai dampak dari PRRI-Permesta.

DI/TII saat itu juga semakin diambang kehancuran. Partai-partai politik disederhanakan dan

kekuatan MPRS saat itu bukan sebagai penyeimbang/oposisi, justru menjadi pendukung utama

Demokrasi Terpimpin.

Kuatnya kekuasaan Sukarno saat itu berdampak pada masifnya hegemoni dan dominasi

Sukarno di semua sisi kebijakan nasional. Nasakom menjadi platform dengan Front Nasional

sebagai wadah politiknya. Manipol-Usdek menjadi bahan bakar yang wajib digunakan dalam

setiap gerak rakyat Indonesia. Stigma ‘Kontra-Revolusi’ akan disematkan jika menolak,

menentang, atau bersebrangan dengan konsepsi Sukarno. Hal ini ternyata melingkupi juga dunia

atau bidang pendidikan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, kebijakan dan

sistem pendidikan nasional mengacu serta berlandas pada konsepsi Presiden.


66

Hal tersebut secara sosiologis termasuk dalam konsep hegemoni dan dominasi.

Intelektual marxian, Antonio Gramsci, masih menjadi salah satu referensi utama dalam konsep

ini. Bagi Gramsci, hegemoni berawal dari supremasi kelas. Supremasi sebuah kelompok

mewujud dalam dua cara: dominasi dan kepemimpinan intelektual. Hegemoni menunjuk pada

kuatnya pengaruh kepemimpinan dalam bentuk moral maupun intelektual.

Hal tersebut membentuk sikap kelas yang dipimpin. Ini terjadi dalam citra konsensual,

dan konsensus yang terjadi antara dua kelas ini diciptakan melalui pemaksaan maupun pengaruh

terselubung lewat pengetahuan yang disebarkan melalui perangkat-perangkat kekuasaan. Pada

hakikatnya, hegemoni merupakan upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang

problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan63.

Hal yang paling mendasar dari hegemoni dan dominasi dalam kebijakan pendidikan

dimulai dari tujuan dan politik kebijakan pendidikan nasional. Telah dijelaskan sebelumnya,

bahwa terdapat perbedaan pola pikir yang tajam/beda antara era Demokrasi Terpimpin dengan

zaman sebelumnya, yakni era parlementer. Alam demokrasi bernuansa liberal yang kental di era

parlementer membuat tujuan dan politik pendidikan nasional ialah demokratisasi pendidikan dan

demokratisasi masyarakat. Sedangkan di era Sukarno/ Demokrasi Terpimpin, demokrasi

dipersempit menjadi indoktrinasi negara melalui Manipol-Usdek sebagai landasan pendidikan

nasional, membentuk Sisdiknas Pancasila versi Sukarno, dan mendapat dukungan politik dari

kelompok kiri.

Hegemoni Sukarno dan dominasi kekuatan politik pemerintah dalam kebijakan

pendidikan nasional juga melalui penerapan mata pelajaran di sekolah. Sebagaimana yang telah

dijelaskan pada bab sebelumnya, pemerintah memperkenalkan mata pelajaran Civics dalam

63 Umasih (Jurusan Sejarah Universitas Negeri Jakarta), Ketika Kebijakan Orde Lama Memasuki Domain
Pendidikan: Penyiapan dan Kinerja Guru Sekolah Dasar di Indonesia, Jurnal Paramita Vol. 24, No. 1 - Januari
2014, hlm. 105.
67

dunia pendidikan Indonesia. Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP & K)

menerbitkan salah satu bukunya yakni Civics, Masyarakat dan Manusia Indonesia Baru,

karangan Mr. Soepardo, dan kawan-kawan. Secara singkat, buku tersebut berisi tentang Sejarah

Pergerakan Rakyat Indonesia, Pancasila, UUD 1945, Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin,

Konferensi Asia-Afrika, Hak dan Kewajiban Warga Negara, Manifesto Politik, Laksana

Malaikat, serta berbagai lampiran Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Implementasi dari mata pelajaran Civics tersebut benar-benar diterapkan di berbagai

jenjang pendidikan. Civics kemudian berganti/digantikan namanya menjadi Pendidikan

Kewargaan Negara. Pada bab ini dijelaskan kembali (merujuk bab sebelumnya), yakni untuk

jenjang SD (Sekolah Dasar) Mata Pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara meliputi beberapa

program, yakni Sejarah Indonesia, Civics, dan Ilmu Bumi.

Untuk jenjang SMP (Sekolah Menengah Pertama), Mata Pelajaran Pendidikan

Kewargaan Negara meliputi beberapa program pembelajaran, diantaranya Sejarah Kebangsaan

(30%), Kejadian Setelah Indonesia Merdeka (30%), dan UUD 1945 (40%). Lalu untuk jenjang

SMA (Sekolah Menengah Atas), Mata Pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara meliputi

beberapa program pembelajaran yang sebagian besar terdiri atas UUD 1945.

Hegemoni dan dominasi Sukarno sebagai Pengajom Agung64 dalam kebijakan pendidikan

nasional berikutnya, berdampak pada ‘tidak netral’-nya pendidikan. Esensi pendidikan secara

positivistik yang mengedepankan empirisitas dan keilmiahan, nampak beririsan dengan

kepentingan politik pemerintah dan politisasi yang dilakukan Sukarno sebagai pengendali utama

negara. Hal itu merujuk pada Penpres RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem

Pendidikan Nasional Pancasila, bahwa perlu ada Sisdiknas yang sesuai dengan tuntutan Revolusi

Indonesia.

64 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (1200-2004), Jakarta: Serambi, 2007, hlm. 473.
68

Sepanjang penelitian ini, belum menemukan hasil riset/penelitian lain tentang kualitas

manusia/masyarakat, ataupun pihak-pihak yang menjadi pelaksana pendidikan maupun peserta

didik. Maksudnya, misal, Budi adalah produk dari pendidikan nasional era Demokrasi

Terpimpin. Belum ada hasil riset/penelitian yang membuktikan/menjelaskan perbedaan kualitas

pemikiran ataupun keterampilan Budi setelah mendapat pendidikan dari era Demokrasi

Terpimpin ataupun perbandingannya ketika Budi mendapat pendidikan di era Demokrasi

Parlementer.

Namun jika menggunakan konsep hegemoni dan dominasi pemerintahan Sukarno era

Demokrasi Terpimpin, besar kemungkinan segenap siswa/pelajar/mahasiswa (peserta didik)

hingga pelaksana pendidikan (guru, kepala sekolah, dinas hingga kementerian pendidikan)

berpikir dengan alur pikir yang sama dengan Sukarno sebagai pemegang utama kebijakan

pendidikan nasional. Sayangnya, hal tersebut adalah asumsi yang selayaknya masih dapat

diperdebatkan ataupun dikomparasi kembali dengan penelitian ataupun hasil riset

lain/kemudian/di masa mendatang, untuk dapat dibuktikan.

Kita bisa membedah sisi positif dan negatif dari hegemoni dan dominasi tersebut. Sisi

positif yang bisa diambil yakni bahwa suatu rezim pemerintahan haruslah kuat dan tidak mudah

terpengaruh pihak-pihak yang ingin mengancam stabilitas nasional. Berikutnya, hegemoni dan

dominasi dibutuhkan untuk melindungi rakyat Indonesia dari ketidakjelasan arah pembangunan

nasional seperti di era sebelumnya (Demokrasi Parlementer 1950-1959).

Presiden Sukarno sebagai simbol rakyat pada saat itu memiliki banyak pembelaan di

berbagai pidatonya dan mampu menggalang dukungan elemen politik lainnya atas hegemoni dan

dominasi yang ia lakukan. Terkait pendidikan nasional sendiri, hal tersebut bertujuan untuk

membuat rakyat Indonesia terdidik secara terarah lurus agar tidak ‘belok’ dari cita-cita revolusi
69

dan kemerdekaan Indonesia. Memang, di suatu waktu, hegemoni dan dominasi terasa dibutuhkan

jika bertujuan untuk kebaikan bersama. Namun, hegemoni dan dominasi yang berlebihan apalagi

mendasarkan kepemimpinan nasional hanya pada satu sosok tokoh, membuat negara melemah

dengan sendirinya.

Hal tersebut kemudian terjadi pada bangsa Indonesia, ketika Sukarno berhasil

digulingkan hingga akhirnya wafat pada 1970, kepemimpinan Indonesia berubah arah dan

berganti sandaran pada sosok tokoh yakni Suharto yang memiliki pemikiran, kebijakan, politisasi

dan kepentingan yang jauh berbeda dari Sukarno. Namun keduanya memiliki satu kesamaan:

hegemoni dan dominasi. Bahkan Suharto jauh lebih kuat dan lama dalam melakukan hegemoni

dan dominasi selama tiga puluh dua tahun hingga mengundurkan diri pada 1998.

4.2 Mengebiri Demokrasi Melalui Pendidikan Nasional

Presiden Sukarno tidak hanya menghegemoni kebijakan dan sistem pendidikan nasional,

namun juga menjadikan pendidikan nasional sebagai sarana indoktrinasi. Hal ini justru menjadi

sisi negatif mengebiri demokrasi itu sendiri. Tepatnya, saat Presiden Sukarno membuat

kebijakan berupa retooling segala hal di berbagai kebijakan termasuk pendidikan nasional.

Retooling ini membuat media, suratkabar, hingga pendidikan dan kebudayaan menjadi sasaran.

Segala hal terkait pemberitaan, media dan informasi, hingga pendidikan dan kebudayaan harus

bernuansa revolusioner dan segaris dengan kebijakan politik Presiden Sukarno. Ia juga membuat

kebijakan sensor bagi pihak siapapun, apapun, dan manapun yang tidak sejalan dengan

kebijakannya.

Menurut Chandra Purnama dari Univeristi Utara Malaysia, Retooling mental-ideologi

merupakan sasaran terpenting. Hal ini bertujuan menghilangkan pemikiran liberalisme dan
70

feodalisme. Presiden Sukarno memusatkan pelaksanaannya di pelbagai institusi pendidikan

nasional dari dasar/terendah (sekolah rakyat) hingga pendidikan tertinggi. Maka institusi-institusi

pendidikan menjadi sarana sebagai tempat penanaman paham, indoktrinasi atau sebagai tempat

‘cuci otak’ bagi mereka yang berpikiran tidak revolusioner65.

Pengebirian demokrasi melalui pendidikan nasional oleh Presiden Sukarno juga

dilakukan dengan memberangus/memberantas buku-buku yang mengandung ajaran-ajaran Barat

dan menggantikannya dengan buku-buku marxisme ataupun buku-buku lain yang berkaitan

tentang ajaran sosialisme. Tindakan tersebut adalah bagian dari retooling, termasuk dalam

bidang kebudayaan dengan memberantas musik ‘ngak-ngik-ngok’ seperti Band asal Inggris: The

Beatles, novel bergaya romance Barat dan melarang memainkan film-film Barat. Menurut

Presiden Sukarno, melalui media-media tersebut terjadilah penetrasi kebudayaan Barat yang

melemahkan revolusi dan kepribadian nasional66.

4.3 Melawan Hegemoni & Dominasi di Perguruan Tinggi: Sebuah Anomali

Ada fenomena menarik dalam dunia pendidikan tinggi terkait hal tersebut (melanjutkan

tentang hegemoni dan dominasi). Kita melihat dunia pendidikan tinggi yang berisi mahasiswa

dengan berbagai organisasi serta aliran dan kelompok politiknya, walaupun menjalani

65 Waluyo, Shopiaan. 1964. ”Sistem Pendidi- kan Guru dalam Alam Manipol”. Prasaran disampaikan dalam
Seminar Pendidikan Guru tanggal 26-28 Juli 1964. Tanpa halaman.
66 Pendidikan Nasional. 1963. ”Pantjacinta sebagai Sumbangan Bagi Pelaksanaan Pancawardhana secara
Konsekwen”. No. 7 – 8 Maret 1963. Tanpa halaman.
71

pendidikan di era penuh indoktrinasi Sukarno, nyatanya tidak semua para peserta didik dari

kalangan pendidikan tinggi (mahasiswa) mendukung dan sejalan dengan Sukarno. Salah satu

contoh yang paling umum, adanya tipe-tipe mahasiswa kritikus Sukarno paling tajam di era

Demokrasi Terpimpin, seperti Soe Hok Gie. Sejak mahasiswa hingga lulus, tokoh pemuda dari

Fakultas Sastra UI (Universitas Indonesia) ini sangat sering mengkritik Sukarno dan berbagai

kebijakan pemerintah di zaman itu. Gie memiliki beberapa karya/tulisan politik-sejarah yang

hampir seluruhnya mengkritisi era Demokrasi Terpimpin diantaranya Catatan Harian Seorang

Demonstran, Setelah Tiga Tahun, dan lain-lain.

Begitu juga pergerakan mahasiswa di era Demokrasi Terpimpin. Walaupun sedikit

melebar dari tema utama penelitian ini, namun tentang hal tersebut perlu untuk sedikit dibahas.

Kebijakan pendidikan nasional di era Demokrasi Terpimpin dengan begitu dogmatis dan

indoktriner serta berbagai kebijakan politik Sukarno yang cenderung otoriter dan diperkuat oleh

struktur politik nasional saat itu, nyatanya tidak membuat kehidupan dunia pendidikan tinggi

oleh peserta didiknya (mahasiswa), dapat disetir seratus persen sesuai perintah pemerintah.

Kehidupan dan gerakan mahasiswa sebagai elemen yang menikmati pendidikan hingga

perguruan tinggi (bagian dari pendidikan nasional) era Demokrasi Terpimpin, berjalan dengan

sangat dinamis namun keras dan penuh konflik ideologis. Saat itu sangat banyak gerakan

mahasiswa, intra dan ekstra kampus. Gerakan mahasiswa intra kampus seperti Dewan

Mahasiswa (DEMA) ataupun Senat Mahasiswa (SM).

Gerakan mahasiswa ekstra kampus seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan

Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia

(PMKRI), Mahasiswa Pantjasila (Mapantjas), Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos), Gerakan

Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII),


72

Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Sekretariat Organisasi Mahasiswa Lokal

(SOMAL) dan lain-lain.

Singkatnya, pertarungan gerakan dan organisasi mahasiswa saat itu mencapai puncaknya

setelah peristiwa G30S (Gerakan 30 September) 1965. Pecahnya konflik politik di tataran elit

nasional berdampak besar dalam dunia pendidikan tinggi. Setelah peristiwa Gestok, beberapa

gerakan mahasiswa seperti HMI, PMKRI, SOMAL, dan PMII, mendesak agar PPMI

(Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) yang merupakan wadah gerakan mahasiswa

ekstra kampus di masa Presiden Sukarno –yang didominasi GMNI Ali – Surachman, CGMI,

Perhimi, dan Germindo- untuk mengadakan kongres terkait sikap mereka perihal Gestok.

PPMI merasa terdesak hingga membuat Menteri PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu

Pengetahuan) saat itu, Sjarif Thajeb turun tangan. Ia mengusulkan pertemuan pada 25 Oktober

1965 di rumahnya. Namun pertemuan itu tidak dihadiri oleh gerakan mahasiswa beraliran kiri.

Hanya GMNI Ali – Surachman yang hadir. Pertemuan tersebut berlangsung alot. Para pemimpin

gerakan mahasiswa yang hadir pada saat itu sepakat untuk membentuk wadah baru sebagai

pengganti PPMI, yakni KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), dengan program utama

mengganyang PKI67.

Menteri PTIP Sjarif Thajeb bersikukuh menolak penyudutan terhadap Presiden Sukarno.

Namun mereka menolak. Akhirnya di kemudian hari, terjadi seperti penyesalannya dari Menteri

Sjarif Thajeb sebab ia menjadi salah satu pelopor berdirinya KAMI yang kemudian justru

menyerang Presiden Sukarno. GMNI Ali – Surachman menyatakan sikap keluar dari KAMI.

Saat itulah, GMNI Osa – Usep masuk.

67 Poerbakawatja, Soegarda. 1963. Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka. Jakarta : Gunung Agung, tanpa
halaman.
73

Mereka memanfaatkan momen tersebut.KAMI secara resmi dibentuk di Bandung, 1

November 1965. Selang beberapa hari setelah KAMI Jakarta terbentuk. Pembentukkan KAMI

terjadi di Margasiswa PMKRI Jalan Merdeka 9, Bandung. Presidium KAMI terdiri dari HMI,

PMII, PMKRI, SOMAL, MAPANTJAS, dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah).

Organisasi mahasiswa intra kampus akhirnya mengikuti dengan membentuk KOMII (Kesatuan

Organisasi Mahasiswa Intra-Universiter Indonesia). Pembentukan KOMII terjadi pada 24

November 1965. KOMII dipelopori oleh Dewan-dewan Mahasiswa maupun Senat-senat

Mahasiswa dari 20 perguruan tinggi se-Bandung. Ketua Umum KOMII pertama adalah Rachmat

Witoelar dari ITB.

Awalnya, pergerakan KAMI dan KOMII terpisah. Hal tersebut sebab keduanya tidak

mau menyatu. Namun saat suasana perpolitikan dan ekonomi nasional yang semakin tegang serta

carut-marut, aksi-aksi mahasiswa semakin meningkat. Hal tersebut menyebabkan awal

bersatunya KAMI dan KOMII. Akhirnya disepakati dalam Presidium KAMI terdiri dari 4 unsur

ekstra dan 4 unsur ekstra kampus.

Menyatunya unsur intra dan ekstra kampus membuat aksi-aksi mahasiswa semakin tak

terkendali. Pada 10 Januari 1966 terjadilah aksi besar-besaran mahasiswa seluruh Indonesia ke

Jakarta. Aksi tersebut melahirkan tiga tuntutan yang dikenal sebagai TRITURA (Tri Tuntutan

Rakyat), yakni: Bubarkan PKI, Retool Kabinet Dwikora, dan Turunkan harga-harga.

Setelah peristiwa “TRITURA”, kondisi dalam negeri Indonesia semakin semrawut.

Terutama di kalangan mahasiswa. KAMI dan KOMII yang melakukan aksi besar-besaran

tersebut membuat kelompok yang membela Sukarno –bahkan Sukarno sendiri pun- geram.

Waperdam I Subandrio kemudian mempelopori dibentuknya Barisan Soekarno. Pada 15

Februari 1966, Subandrio mendampingi Presiden Sukarno mengadakan pertemuan terbatas


74

dengan para pimpinan GMNI Ali – Suarchman, Germindo, MMI, dan Dewan Mahasiswa

Universitas Bung Karno di Istana Merdeka, membentuk Barisan Soekarno tersebut.

Terbentuknya Barisan Soekarno mendapat perlawanan dari KAMI. Terjadilah

penyerangan kedua kubu dimana-mana. Keduanya saling bentrok. Barisan Soekarno berupaya

untuk mempertahankan Presiden, sementara KAMI bersikukuh ingin menurunkan Sukarno

beserta jajarannya dari kursi kepemerintahan. Terjadilah bentrokan dimana-mana, bahkan jatuh

korban jiwa. Salah satunya yang terkenal adalah Arief Rahman Hakim.

TRITURA tidak dikabulkan Presiden Sukarno. Malah pada 24 Februari 1966, ia

melakukan reshuffle kabinet dengan memasukkan unsur PKI. KAMI pun geram, aksi mahasiswa

besar-besaran kembali terjadi. Aksi tersebut membuat kemacetan parah di Jakarta. Para

demosntran berhasil masuk ke Istana Negara. Pasukan Cakrabirawa menghadang dan terjadilah

penembakan terhadap Arief Rahman Hakim.

4.3 Politisasi dan Polarisasi Guru

Berbagai sekolah keguruan dengan sekian dan beragam jenjang memang telah

dilaksanakan di era Demokrasi Terpimpin sebagai bagian dari kebijakan pendidikan nasional.

Sayangnya, menurut Umasih, kenyataan di lapangan khususnya kualitas para guru masih minim

bahkan rendah68. Tentang hal ini mengacu pada hasil penelitian dari organisasi PGRI (Persatuan

Guru Republik Indonesia). Kongres PGRI pada 1973 menyatakan bahwa terdapat sekitar 11

persen guru sekolah dasar dianggap tidak berkualitas/ tidak masuk kategori kualifikasi di tahun

196069.

68 Suradi H.P. 1986. Sejarah Pendidikan Di Indonesia Tahun 1945 -1965. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Purbakala.
69 Beeby, C.E. 1981. Pendidikan di Indonesia Terjemahan. Jakarta : LP3ES.
75

Sementara Ricklefs menyebut, bahwa ada peningkatan angka partisipasi sekolah dasar

antara tahun 1953 sampai 1960. Secara jelasnya, dari sekitar 1,7 juta siswa menjadi 2,5 juta

(walaupun sekitar 60 persen dari jumlah tersebut keluar sebelum tamat) 70. Lembaga-lembaga

pendidikan dasar, menengah dan tinggi bermunculan terutama di Pulau Jawa. Angka melek

huruf, juga meningkat dari 7,4 persen pada tahun 1930 menjadi 46,7 persen pada tahun 1960 dari

jumlah anak yang berusia sepuluh tahun ke atas dan mayoritas (76 persen) laki-laki.

Berbicara tentang kondisi guru di era Demokrasi Terpimpin, ada sebuah jurnal menarik

yang ditulis Umasih: Ketika Kebijakan Orde Lama Memasuki Domain Pendidikan: Penyiapan

dan Kinerja Guru Sekolah Dasar di Indonesia, Jurnal Paramita Vol. 24, No. 1 - Januari 2014. Ia

menyebut bahwa di era Demokrasi Terpimpin terdapat politisasi dan polarisasi antar para guru

secara tajam bahkan cenderung berujung konflik.

Sejatinya hal itu mirip dengan situasi di sub-bab sebelum ini, yakni gerakan mahasiswa.

Situasi politik saat itu benar-benar keras dan ideologis, semua elemen profesi hampir selalu

bermuatan politis. Buruh, tani, nelayan, segala jenis profesi bahkan guru semua mengalami

politisasi dan polarisasi yang tajam sejak awal kemerdekaan, membludak di zaman parlementer

(setelah Pemilu 1955 dengan beragam elemen dan kelompok politik), meruncing pecah di era

Demokrasi Terpimpin, hingga pecah setelah G30S 1965.

Khusus tentang politisasi dan polarisasi guru di era ini, menjadi dampak dari hegemoni

dan dominasi yang dilakukan pemerintahan Sukarno. Menurut Umasih, melalui sistem

pendidikan Panca Wardhana, selain syarat-syarat kualifikasi dan kepangkatan, seorang guru

harus revolusioner, ahli dalam bidangnya, manipolis dan patriot paripurna. Syarat

kerevolusioneran guru menjadi paling utama, sedangkan yang lainnya menjadi syarat berikutnya.

70 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Lima Repelita Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Pusat
Perbukuan Depdikbud, 1990.
76

Pada intinya, guru selain bertugas secara kependidikan, juga mendapat tugas politik.

harapan pemerintah saat itu, bahwa guru tidak boleh buta politik apalagi takut politik, karena itu

akan mudah menjadi umpan politik yang reaksioner, yang tidak membela kepentingan rakyat.

Guru harus berwatak revolusioner: memiliki rasa kebencian yang tajam dan semangat

perlawanan yang gigih terhadap musuh-musuh revolusi (Imperialisme, Kolonialisme, Neo-

Kolonialisme dan Feodalisme). Guru juga harus memiliki kesadaran kehidupan demokratis

dalam rangka untuk menyatukan kekuatan nasional yang anti-imperialis dan anti-feodal71.

Selain yang dilakukan Sukarno/ pemerintah melalui kebijakan pendidikan nasional,

hegemoni dan dominasi juga dilakukan kelompok Kiri seperti dari kalangan PKI (Partai

Komunis Indonesia), Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), Partai Acoma (Angkatan

Comunist Muda), PNI-sayap kiri, dan Partindo (Partai Indonesia). Situasi politik saat itu,

kelompok kiri dianggap sebagai pendukung pemerintah paling utama dan paling mendapat

akomodasi politik yang sangat kuat dari Sukarno. Kelompok ini mendapat perlawanan dari

‘sayap kanan’ yakni kelompok Islam dan Tentara (ABRI/TNI) khususnya Angkatan Darat. Posisi

Sukarno dalam polarisasi politik tersebut adalah menengahi keduanya, walaupun lebih condong

ke kiri.

Situasi politik demikian masuk juga ke kalangan guru, salah satu contohnya ialah

konflik / polarisasi politik di tubuh organisasi guru seperti PGRI. Tepatnya setelah pengurus

PGRI mengikuti Musyawarah Penegasan Pancasila sebagai Dasar Pendidikan Nasional yang

berlangsung di Jakarta pada 17 Juli 1963.

71 Umasih, op.cit., hlm. 112.


77

Musyawarah tersebut merupakan respon atas “Seminar Pendidikan Mengabdi Manipol”

yang diadakan pada Februari 1963 oleh LPN (Lembaga Pendidikan Nasional) yang berhaluan

atau dianggap berafiliasi dengan kalangan kiri, pendukung sistem pendidikan Panca Wardhana.

LPN berpendapat bahwa politik pendidikan harus memiliki tiga prinsip yakni Nasional,

Kerakyatan dan Ilmiah72. Kiprah LPN mengingatkan pada berbagai lembaga lain yang berafiliasi

dengan kelompok kiri terutama PKI. Diantaranya SOBSI (buruh), Gerwani (gerakan

perempuan), hingga Lekra (lembaga budaya), dan lain-lain.

Pada 26-28 Juli 1964 di Jakarta, LPN membuat seminar lagi untuk mendukung aksi

boikot film imperialis Amerika Serikat. Bagi LPN, film itu dianggap membahayakan pendidikan

dan pertumbuhan anak didik. Aksi boikot yang dipelopori oleh para peserta seminar dan pekerja

film juga menjadi kewajiban kolektif guru dalam mewujudkan kebudayaan nasional yang

meliputi seluruh bidang kehidupan rohaniah dan jasmaniah bangsa Indonesia. Para guru dari

kalangan kiri juga melakukan serangkaian aksi seperti menuntut perbaikan nasib. Aksi tersebut

akhirnya membuahkan hasil mendapatkan tunjangan sebesar Rp. 500,- per bulan dan baju

seragam 1 stel per tahun73.

Menurut Poerbakawatja, polarisasi guru terbelah menjadi dua kubu terkait hal tersebut,

ada yang pro dan ada yang kontrak dengan Panca Wardhana. Kubu kontra menanggap karena

sistem pendidikan tersebut menghilangkan esensi sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang

Maha Esa74. Kelompok kiri yang lebih dihegemoni dan didominasi oleh PKI, banyak melakukan

inflitrasi termasuk dalam bidang dan gerakan pendidikan.

72 Pidato Presiden Republik Indonesia, RESOPIM (Revolusi, Sosialisme, Pimpinan Nasional), 17 Agustus 1961.
73 Tom Bottomore (penerjemah: Joko Susilo), Mazhab Frankfurt: Gagasan dan Kritik, (Yogyakarta: Penerbit
Independen, 2019), hlm. xix.
74 TAP MPRS RI Tahun 1960, BAB II, Pasal 2.
78

Konsep Panca Cinta dan Panca Tinggi dimasukkan dalam Panca Wardhana dan mendapat

banyak penentangan dari kalangan non/anti-kiri. Infiltrasi tersebut juga masuk ke dalam kubu

PGRI, sebagai PGRI Non-Vaksentral. Kelompok PGRI jenis ini, menyerukan berbagai

pemogokan, demonstrasi dan konfrontasi terhadap pihak-pihak yang ‘kontra-revolusi’. Anti

pemogokan berarti anti-buruh, anti-buruh berarti anti-komunis, dan anti-komunis berarti anti

Nasakom.

Hal tersebut menjadi propaganda yang lazim dikumandangkan para guru pro komunis

dalam mengintimidasi guru-guru lainnya yang tergabung dalam PGRI Vaksentral. Menurut

Suradi, para guru dan masyarakat umumnya dipaksa untuk menarik garis tegas tentang kawan

dan lawan75. Persaingan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat pun terjadi dengan

cara yang berlebihan. Orang-orang yang berbeda pendapat dengan pandangan pemerintah,

dengan mudah dituduh kontra-revolusi, anti-Manipol, agen subversi asing dan lain-lain julukan

lagi yang mematikan76.

Pada intinya, semua hal tersebut terjadi karena situasi politik Indonesia saat itu

‘memaksa’ seluruh elemen masyarakat dan profesi termasuk guru untuk mendukung Manipol-

Usdek. PKI pun dianggap memiliki peran besar, mengintervensi pembinaan guru-guru, terutama

guru sekolah dasar. Menurut Umasih, kinerja guru lebih diarahkan pada melakukan indoktrinasi

kepada peserta didik bagaimana praksis pendidikan manipolis dan Pancawardhanais daripada

pendidikan berpikir77 (empiris, rasional, ilmiah, positivistik).

4.5 Gagalnya Pembangunan Pendidikan Nasional Melalui PNSB


(Pembangunan Nasional Semesta Berencana)

75 Lampiran pada naskah TAP MPRS No. I dan II Tahun 1960 hlm. 173-174.
76 Rudi Hartono, Prinsip Pembangunan Semesta Berencana Ala Bung Karno,
https://www.berdikarionline.com/prinsip-pembangunan-semesta-berencana-ala-bung-karno/, Berdikari Online, 15
Januari 2016, diakses pada 16 Juni 2022 pukul 21.52 WIB.
77 Ibid.
79

Pada bab sebelumnya penulis telah menjabarkan berbagai rancangan dan implementasi

kebijakan pendidikan nasional melalui PNSB (Pembangunan Nasional Semesta Berencana).

Menarik jika kita membahas atau mendalami tentang PNSB sebagai rujukan bagi pembangunan

Indonesia saat ini. Ada poin penting tentang PNSB ini yang disampaikan oleh Rudi Hartono dan

penulis sepakati logika berpikirnya.

Menurut Rudi, sayang sekali PNSB yang telah diimplementasi melalui TAP MPRS 1960

tidak berjalan sebagaimana mestinya karena keburu dihentikan oleh kontra-revolusi pada 1965.

PNSB digagas sejak tahun 1959, melalui pidato perayaan HUT Kemerdekaan 17 Agustus 1959:

Penemuan Kembali Revolusi Kita. Penulis pun memiliki pandangan yang sama dengan Rudi,

bahwa pidato tersebut adalah pidato evaluasi-korektif78.

Pidato tersebut membahas dan mengoreksi revolusi Indonesia yang dianggap kehilangan

arah oleh Presiden Sukarno karena liberalisme yang merasuk ke berbagai kehidupan masyarakat

Indonesia, mulai dari politik, ekonomi, hingga sosial-budaya. Wujud nyata secara politik dari

praktik liberalisme tersebut ialah sepanjang 1950-1959 yang menerapkan Demokrasi

Parlementer / Liberal.

Setelah menerapkan Demokrasi Terpimpin pada 1959, Presiden Sukarno memberangus

liberalisme dan menghimpun kekuatan dari lembaga lainnya terutama legislatif dengan

memperkuat MPRS dan DPR-GR menjadi pendukung utamanya. Wujud dukungan tersebut

dibuktikan dengan menerapkan TAP MPRS Tahun 1960 dan pendidikan nasional menjadi salah

78 Chandra Purnama, Pemikiran Sukarno di Sebalik Konfrontasi Indonesia-Malaysia 1959-1965: Sebuah Tinjauan
Psikologi Politik, Disertasi Doktoral Falsafah Universiti Utara Malaysia, Kedah Darul Aman: Malaysia, 2016, hlm.
152.
80

satu bidang utama yang diterapkan sesuai arahan, ajaran, dan instruksi Presiden Sukarno. Wujud

nyata pembangunan dari TAP MPRS tersebut adalah melalui PNSB.

Menurut Rudi, PNSB punya arah dan tujuan yang jelas. PNSB bercita-cita mewujudkan

masyarakat adil dan makmur alias Sosialisme Indonesia yang anti-imperialis dan anti-

neokolonialisme. PNSB juga dinilai bersifat “overall planning”, atau segala hal/bidang harus

terencana (sesuai namanya: pembangunan semesta/ semua hal). PNSB membangun fisik dengan

mengedepankan perombakan cara berpikir, cara kerja/berjuang, dan cara hidup agar selaras

dengan semangat kemajuan dan tuntutan revolusi nasional 79. Hal ini juga berlaku pada penerapan

PNSB di bidang dan sistem pendidikan nasional.

Namun sayang, hingga saat ini penulis belum menemukan dokumen penting yang

menyatakan keberhasilan atau sebatas kelanjutan dari proyek ini bagaimana dan sudah sejauh

mana. Besar kemungkinan hasil dari PNSB menghilang (atau dihilangkan) terkena dampak dari

politik desukarnoisasi era Orde Baru terutama setelah Peristiwa G30S 1965 dan runtuhnya

kekuasaan Sukarno pada 1966-1967.

Padahal jika melihat total anggarannya, sangat banyak sekali dan menarik untuk kita

bayangkan andai seluruh pembangunan tersebut berakhir sebagaimana mestinya di penghujung

era PNSB Tahap I pada 1969. Besar kemungkinan akan dilanjutkan pada tahapan-tahapan

berikutnya PNSB Tahap II dan seterusnya. Kegagalan PNSB khususnya di bidang pendidikan

nasional tersebut juga merupakan bukti bahwa Presiden Sukarno tidak mampu mempertahankan

nilai-nilai dan pengelolaan yang telah ia bangun.

Hal ini juga membuktikan teori bahwa politik tetap lebih diutamakan dibanding

kebijakan publik. PNSB yang telah dibangun Sukarno kemudian diruntuhkan Suharto melalui

79 Majalah Minggu Pagi. 2 Mei 1965. No.5 Tahun ke XVIII. Hlm. 24.
81

rezim Orde Barunya dan membuat GBHN serta pola pembangunan baru yakni REPELITA

(Rancangan Pembangunan Lima Tahun). Terkait kebijakan pendidikan nasional di era Suharto

melalui REPELITA, tidak dibahas dalam tulisan/kajian ini dan bisa kita lihat pada penelitian

lebih lanjut atau dari akademisi yang telah menuliskannya.

BAB IV

KESIMPULAN
82

LAMPIRAN
83

(Gambar 1: Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan

Nasional Pancasila)
84

(Gambar 2: Bab I, Ketentuan Umum, Mukadimah Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965

tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila).


85

(Gambar 3: Pasal 1 sampai 3, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok

Sistem Pendidikan Nasional Pancasila).


86

(Gambar 4: Pasal 4 sampai 6, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok

Sistem Pendidikan Nasional Pancasila).


87

(Gambar 5: Bab II, Pasal 5-9, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok

Sistem Pendidikan Nasional Pancasila).


88

(Gambar 6: Pasal 10-12 dan Bagian II Pasal 13, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965

tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila).


89

(Gambar 7: Bagian III Pasal 14-15, dan Bab III Pasal 16-17, Penetapan Presiden RI No. 19

Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila).


90

(Gambar 8: Bab V Pasal 20 dan Bab VI Pasal 21, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965

tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila).


91

(Gambar 9: Bab VII, Peraturan Penutup, Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang

Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila).


92

(Gambar 10: PERPRES (Peraturan Presiden) RI No. 14 Tahun 1965).


93

DAFTAR PUSTAKA

Buku & Arsip

Departemen Penerangan RI. (1959). Manifesto Politik Republik Indonesia (17 Agustus 1959).

Jakarta: Departemen Penerangan RI.

Dewan Pertimbangan Agung RI (1961). Keputusan Dewan Pertimbangan Agung Tentang

Perintjian ‘Djalannya Revolusi Kita (Djarek)’ Jang Diutcapkan Oleh Presiden Soekarno Pada

Tanggal 17 Agustus 1960, 19 Januari 1961. Jakarta: Dewan Pertimbangan Agung RI.

Fadrik Aziz Firdausi. (2017). Njoto: Biografi Pemikiran 1951-1965. Tangerang Selatan: Marjin

Kiri.

Kamadjaja. (1966). Pendidikan Nasional Pantjasila: Perdjuangan Pendidikan Nasional

Indonesia dan Hasil-Hasilnja, Yogyakarta: UP. Indonesia.

Leo Agung. (2013). Sejarah Intelektual. Yogyakarta: Ombak.

MPRS & Departemen Penerangan RI. (1960). Ringkasan Ketetapan Madjelis Permusjawaratan

Rakjat Sementara – Republik Indonesia No. I dan II/MPRS/1960. Jakarta: MPRS & Departemen

Penerangan RI.

Notosoetardjo (Editor). (cetakan kedua, tanpa tahun). RE-SO-PIM: Revolusi, Sosialisme,

Pimpinan Nasional, Penerbitan Bersama: ENDANG-PEMUDA.

Soeripto (penyusun). (1961). 7 Bahan Indoktrinasi Republik Indonesia. Grip: Surabaya.

ST. Sularto. (2016). Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas. Kompas: Jakarta.

Universitas Negeri Yogyakarta. (2019). Pancasila Dalam Praksis Pendidikan, UNY Press:

Yogyakarta.
94

Jurnal & Artikel

Agus Suwignyo, Unifying Diversities: Early Institutional Formation of the Indonesian National

Education System, C. December 1949-August 1950, Jurnal Humaniora Vol. 24 no. 1 Februari

2012: 3-17, FIB UGM: Yogyakarta.

Dwi Siswoyo, Pandangan Soekarno Tentang Pancasila dan Pendidikan, Jurnal Cakrawala

Pendidikan, Februari 2013, Th. XXXII, No. 1.

Muhammad Rijal Fadli, Dyah Kumalasari, Sistem Pendidikan Indonesia Pada Masa Orde Lama

(Periode 1945-1966), Jurnal Agastya, Vol 9, no. 2, 2019.

Said Hamid Hasan, Arah & Perubahan Kurikulum di Indonesia: Suatu Tinjauan Historis,

http://sejarah.upi.edu/artikel/dosen/arah-dan-perubahan-kurikulum-di-indonesia-suatu-tinjauan-

historis/ , Departemen Pendidikan Sejarah UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), Bandung: 30

Juni 2019.

Sunarso, Pendidikan Nasional Indonesia (Tinjauan dari Perspektif Sejarah), Volume 4 no. 1,

2007, Jurusan PKnH FISE Universitas Negeri Yogyakarta.


95

Anda mungkin juga menyukai