Anda di halaman 1dari 23

Kajian Historis terhadap Tokoh-Tokoh

Pendidik sebagai Landasan Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini hampir seluruh negara-negara di dunia menghadapi tantangan pendidikan
untuk mewujudkan keunggulan daya saing negaranya dalam percaturan global. Sistem yang
canggih dan berbagai pengembangan strategi pendidikan terus di improvisasi demi mencapai
tujuan pendidikan yang telah diterapkan dan disepakati bersama. Khusus bagi Indonesia,
tujuan pendidikan telah tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor
20 Tahun 2003 Pasal 3, yaitu:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdakan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab.

Standar nasional pendidikan diciptakan untuk membatasi kriteria minimum tentang


sistem pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh desentralisasi
sistem pendidikan dalam kerangka pemerintahan Indonesia yang menganut asas otonomi
daerah. Terciptanya mekanisme ini tidak lepas dari perjalanan pendidikan Indonesia yang
dipengaruhi oleh berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Bagian ini mengarah pada
historis pendidikan Indonesia yang menganut berbagai paham, aliran, dan konsep-konsep
pendidikan dari berbagai tokoh dunia dan juga tokoh-tokoh Indonesia sendiri.
Sejak awal tahun 1970 sistem pendidikan di Indonesia mengalami perubahan terus
menerus, sejalan dengan program pembangunan di bidang pendidikan yang mulai
dilaksanakan secara terprogram sejak 40 tahun yang lalu (Suryadi, 2014). Berbagai rintisan
program dalam pelayanan pendidikan tercermin dalam kurikulum yang dinamis dan
menggambarkan periodisasi pendidikan. Perubahan zaman yang dialami menuntut
peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan dari proses pendidikan. Sejarah
perjuangan bangsa pada masa lampau juga berimplikasi terhadap sistem pendidikan yang
terjadi pada hari ini. Segala unsur yang menjadi faktor didalamnya membentuk penciptaan
individu sebagai insan pendidikan.
Mengingat sejarah dan belajar darinya akan membuat refleksi pada sebuah tujuan dan
merupakan titik balik menuju suatu kebangkitan. Sejarah yang dispesifikasi ke dalam kajian
filsafati pendidikan akan menjadi perbandingan. Karena perubahan akan semakin mudah bila
belajar dari perbandingan dan kesalahan masa lalu. Demikian halnya dalam aspek pendidikan,
sejarah dibutuhkan sebagai bahan pembelajaran dan refleksi untuk perbaikan sistem
pendidikan yang lebih baik dan berkualitas.

1.2 Rumusan Masalah


Bertolak dari latar belakang yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, penulis
merumuskan masalah yang sekaligus akan menjadi batasan dalam pembahasan makalah ini.
Adapun rumusan masalah yang dimaksud, yaitu:
1. Bagaimana periodisasi dari historis pendidikan yang terjadi di dunia dan di Indonesia?
2. Bagaimana pemikiran tokoh pendidikan dunia jika ditinjau dari aspek ontologi,
epistimologi, aksiologi, serta implikasinya untuk Pendidikan di Indonesia?
3. Bagaimana pemikiran tokoh pendidikan Indonesia jika ditinjau dari aspek ontologi,
epistimologi, aksiologi, serta implikasinya untuk Pendidikan dewasa ini?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah


Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui periodisasi historis pendidikan dunia dan Indonesia sebagai tambahan
wawasan dalam meningkatkan pemahaman tentang pendidikan.
2. Mengetahui tokoh-tokoh pendidikan dunia yang berkontribusi dalam perkembangan
dunia pendidikan serta implikasinya terhadap pendidikan di Indonesia.
3. Mengetahui tokoh-tokoh pendidikan Indonesia yang berkontribusi dalam
perkembangan dunia pendidikan serta implikasinya terhadap pendidikan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Periodisasi Historis Pendidikan


2.1.1 Pendidikan Dunia
Pidarta (2007: 110) menjelaskan tentang perjalanan pendidikan dunia yang telah
berlangsung mulai dari zaman Hellenisme (150 SM -500), zaman pertengahan (500-1500),
zaman Humanisme atau Renaissance serta zaman Reformasi (1600an). Namun pendidikan
pada zaman ini belum cukup memberikan kontribusinya.
Sejarah pendidikan dunia yang banyak dibahas dalam beberapa literatur
mengemukakan tentang periodisasi pendidikan dunia yang terdiri dari:
a) Zaman Realisme
• Tokoh-tokoh zaman ini ialah Francis Bacon dan Johann Amos Comenius.
• Menurut aliran ini, pengetahuan yang benar diperoleh tidak hanya melalui
penginderaan semata tetapi juga melalui persepsi penginderaan (Mudyahardjo,
2008: 117).
b) Zaman Rasionalisme
• Tokoh pada zaman ini adalah John Locke.
• Aliran ini memberikan kekuasaan kepada manusia untuk berpikir sendiri dan
bertindak untuk dirinya, karena itu latihan sangat diperlukan oleh manusia bagi
pengetahuannya sendiri dan bertindak untuk dirinya.
c) Zaman Naturalisme
• Tokoh pendidikan pada zaman ini ialah J.J. Rousseau.
• Aliran ini menentang kehidupan yang tidak wajar seperti korupsi, gaya hidup yang
dibuat-buat dan sebagainya.
• Aliran ini menyatakan bahwa manusia didorong oleh kebutuhan-kebutuhannya,
dan dapat menemukan jalan kebenaran didalam dirinya sendiri.
d) Zaman Developmentalisme
• Aliran ini memandang pendidikan sebagai suatu proses perkembangan jiwa
sehingga sering disebut sebagai gerakan psikologis dalam pendidikan.
• Tokohnya ialah Pestalozzi, Johan Frederich Herbart, Stanley Hall.
e) Zaman Nasionalisme
• Dibentuk sebagai upaya membentuk patriot bangsa dalam mempertahankan
bangsa dari kaum imperialis.
• Tokohnya adalah La Chatolais, Fichte, dan Jefferson.
f) Zaman Liberalisme, Positivisme, dan Individualisme
• Liberalisme berpendapat bahwa pendidikan adalah alat untuk memperkuat
kedudukan penguasa/pemerintahan, dipelopori oleh Adam Smith.
• Positivisme percaya kebenaran yang dapat diamati oleh panca indera sehingga
kepercayaan terhadap agama semakin melemah, tokohnya August Comte.
g) Zaman Sosialisme
• Aliran ini berpendapat bahwa masyarakat memiliki arti yang lebih penting
daripada individu. Oleh karena itu pendidikan harus diabdikan untuk tujuan-tujuan
sosial.
• Tokohnya Paul Nartrop, George Kerchensteiner, dan John Dewey.

2.1.2 Pendidikan Indonesia


Pendidikan di Indonesia dimulai sejak zaman Hindu Budha, kemudian diikuti oleh
perkembangan pengaruh Islam, zaman penjajahan, hingga zaman kemerdekaan. Mudyahardjo
(2008) dan Nasution (2008) menguraikan masing-masing zaman tersebut, yaitu:
a) Zaman Hindu Budha

Tujuan pendidikan pada zaman ini sama dengan tujuan kedua agama tersebut.
Pendidikan dilaksanakan dalam rangka penyebaran dan pembinaan kehidupan
beragama Hindu dan Budha.

b) Zaman Pengaruh Islam

Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sejalan dengan perkembangan


penyebaran Islam di nusantara, baik sebagai agama maupun sebagai arus
kebudayaan. Pendidikan Islam ini tidak diselenggarakan secara terpusat, namun
banyak diupayakan secara perorangan.

c) Zaman Pengaruh Nasrani (Katolik dan Kristen)

Orde ini mempunyai organisasi pendidikan yang seragam, sama di mana pun, dan
bebas untuk semua. Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang ampuh
untuk penyebaran agama (Nasution, 2008: 4).

d) Zaman Kolonial Belanda

Sejalan dengan Politik Etis yang dijalankan belanda, tampak kemajuan yang lebih
pesat dalam bidang pendidikan. Tokoh-tokoh pendidik pada zaman ini ialah
Mohamad Syafei, Ki Hajar Dewantara, dan K.H Ahmad Dahlan.

e) Zaman Kolonial Jepang

Di bidang pendidikan, Jepang telah menghapus dualisme pendidikan dari penjajah


Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang sama bagi semua orang.
Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstruksikan oleh Jepang untuk
dipakai dilembaga-lembaga pendidikan, dikantor-kantor, dan dalam pergaulan
sehari-hari.

f) Zaman Kemerdekaan

Tujuan pendidikan belum dirumuskan dalam suatu undang-undang yang mengatur


pendidikan.

g) Zaman Orde Lama

Pendidikan Nasional zaman ‘Orde Lama’ adalah pendidikan yang dapat


membangun bangsa agar mandiri sehingga dapat menyelesaikan revolusinya baik di
dalam maupun di luar.

h) Zaman Orde Baru

Menurut Orde Baru, pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan


kepribadian dan kemampuan didalam sekolah dan diluar sekolah dan berlangsung
seumur hidup dan dilaksanakan didalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan
masyarakat.

i) Zaman Reformasi

Dalam bidang pendidikan ada perubahan-perubahan dengan munculnya Undang-


Undang Pendidikan yang baru dan mengubah sistem pendidikan sentralisasi menjadi
desentralisasi, disamping itu kesejahteraan tenaga kependidikan perlahan-lahan
meningkat. Hal ini memicu peningkatan kualitas profesional mereka. instrumen-
instrumen untuk mewujudkan desentralisasi pendidikan juga diupayakan, misalnya
MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), Life Skills (Lima Ketrampilan Hidup), dan
TQM (Total Quality Management).

2.2 Tokoh-Tokoh Pendidikan Dunia dan Implikasinya terhadap Dunia Pendidikan


2.2.1 Plato
a. Biografi
Plato atau Aristokles lahir sekitar 427 SM dari keluarga terkemuka Athena. Ayahnya
bernama Ariston, dan Ibunya bernama Periktione. Plato adalah filsuf Yunani yang sangat
berpengaruh, murid Socrates dan guru dari Aristoteles ini terkenal dengan ajarannya
mengenai cita-cita. Filsafat pendidikan Plato adalah perenialisme.

b. Tinjauan Ontologis, Epistimologi, dan Aksiologi


• Ontologis

Pendidikan merupakan suatu tindakan pembebasan dari belenggu ketidaktahuan dan


ketidakbenaran. Dengan pendidikan orang akan mengetahui apa yang benar-apa yang tidak
benar, apa yang baik-apa yang jahat, apa yang patut-apa yang tidak patut. Maka dapat
disimpulkan pendidikan menurut Plato adalah membebaskan dan memperbaharui.

• Epistimologis
Anak laki-laki dan perempuan mendapatkan pendidikan yang sama. Lingkungan
pendidian anak harus indah, tetapi sederhana. Erawati (2012) menguraikan kerangka
pendidikan menurut Plato sebagai berikut:
a. Sejak lahir sampai usia tujuh tahun anak banyak mendapatkan pendidikan fisik.
Mereka harus menyimak dongeng dan puisi yang terpilih. Negara yang menyensor
materi yang disajikan pada anak. Mainan yang sesuai disediakan, anak dididik dengan
tegas, tetapi dengan kelembutan. Kecerdasan dan ketangkasan fisik secara harmonis
dibentuk.
b. Usia 7-13 tahun aktivitas intelektual dan fisik dijalankan secara bersamaan.
c. Usia 20 tahun pendidikan khusus mulai dilakukan dengan seleksi yang ketat.
d. Usia 30 tahun dilakukan seleksi lagi untuk pendidikan selanjutnya selama lima tahun.
Materi level lebih tinggi meliputi matematika, astronomi, harmoni, dan sains untuk 10
tahun pertama, belajar filsafat pada lima tahun terakhir. 15 tahun kemudian mengabdi pada
negara. Ketika usia 50 tahun mereka belajar filsafat dalam sisa hidupnya. Pendidikan
merupakan suatu kewajiban bagi Plato, karena anak merupakan milik negara bukan orang tua.
Plato lebih menekankan pengembangan intelektual, kurang mengembangkan jasmaniah.
• Aksiologis

Tujuan pendidikan adalah:


1) Membentuk manusia yang utuh, yakni yang berhasil menggapai segala keutamaan
moralitas jiwa yang mengantarnya pada ide tertinggi yaitu kebajikan, kebaikan, dan
keadilan.
2) Menemukan kemampuan ilmiah setiap individu dan melatihnya sehingga menjadi seorang
warga negara yang baik, dalam suatu masyarakat yang harmonis, melaksanakan tugasnya
secara efisien menurut kelas-kelasnya.

c. Kontribusi dan Implikasi dalam Dunia Pendidikan


Plato dengan karya terbesarnya Republik muncul saat beliau berusia 40 tahun.
Republik menggambarkan negara yang ideal dan kerangka sistem pendidikan baik untuk
warga Sparta maupun Athena. Plato juga membagi kelompok warga negara menjadi tiga
kelas, yaitu 1) Masyarakat awan; 2) Kelompok tentara atau penjaga; 3) Pemerintah.
Plato mengutarakan kutipan, yaitu “apabila pikiran dididik, maka orang tersebut akan
bisa memperhatikan jasmaninya karena jiwa yang baik meningkatkan kondisi jasmaniah”.
Plato berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menghimpun seluruh kekuatan
manusia menjadi kerjasama harmonis. Hal ini memperlihatkan bahwa skema pendidikan Plato
berpusat pada gagasan mengenai warga negara adalah milik negara, dan tujuan utama
pendidikan adalah menyesuaikan kualifikasi individu untuk mengabdi pada negara.
Plato merupakan seorang ilmuwan yang menggagas pertama kali skema pendidikan
yang sistematis dalam sejarah (first systematic of education in history). Sedangkan Aristoteles
mengumandangkan pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan menurutnya mencakup
menumbuhkan jasmani, karakter, dan intelektualitas. Pembelajaran mulai serius dimulai sejak
anak berusia tujuh tahun. Perempuan dibolehkan untuk mengenyam pendidikan supaya dapat
mendidik anak-anak.
Berdasarkan pandangan pendidikan Plato, seyogyanya pendidikan dijadikan pijakan
konkrit dalam upaya membangun karakter bangsa. Plato menempatkan kebijakan intelektual
ditempat tertinggi. Dalam rencana pendidikannya dikemukakan dan ditekankan pula
kebijakan moral dan latihan kemauan.
2.2.2 Maria Montessori
a. Biografi
Maria Montessori lahir di Italia pada tahun 1870 di Chiaravalle. Maria mempunyai
minat dan bakat yang besar terhadap matematika, sehingga orang tuanya mengirimnya ke
Roma. Ia menekuni bidang mesin, kemudian biologi dan akhirnya bidang kedokteran. Setelah
lulus ia bekerja di klinik psikiater, pekerjaannya banyak berhubungan dengan masalah cacat
mental, sehingga mengantarkan ia pada gagasan-gagasannya tentang pendidikan.
Pada tahun 1909 ia menerbitkan Scientific Pedagogy as Applied to Child Education in
the Children Houses. Selama hidupnya Maria Montessori yakin bahwa pendidikan dimulai
sejak bayi lahir, bahkan tahun-tahun awal kehidupannya merupakan masa-masa formatif yang
paling penting baik bagi fisik maupun mental anak. Dr. Montessori meninggal di Belanda
tahun 1952 pada umur 81 tahun. Setelah kematiannya anak laki-lakinya menggantikan
kedudukannya sebagai direksi Association Montessori Internationale yang berpusat di
Amsterdam.

b. Tinjauan Ontologis, Epistimologi, dan Aksiologi


• Ontologis
Bagi pendidikan ala Montessori manusia adalah mahluk yang aktif beraksi, pintar,
mampu berbahasa, kreatif, mahluk sosial, memiliki sensitifitas waktu, emosional, berjenis
kelamin, religious dan moralis, sadar akan diri sendiri dan memiliki indera. Maria Montessori
dari hasil penyelidikannya mempercayai bahwa anak-anak tidak saja memiliki sifatnya
masing-masing tapi juga memiliki perkembangan karakter jiwa yang individual.

• Epistimologis
Pendekatan yang menjadi ciri khas Montessori berfokus pada tugas guru dalam
mengamati anak saat memilih materi yang dibuat untuk memahami konsep atau keterampilan
tertentu. Awalnya perhatian beliau lebih kepada anak usia pra-sekolah. Setelah mengamati
perkembangan pada anak yang masuk SD, beliau mengembangkan penelitiannya pada anak-
anak masa remaja hingga jenjang menengah dan pendidikan tinggi.
Metode Montessori menekankan pada aktivitas pengerahan diri pada anak dan
pengamatan dari guru. Dalam artian menekankan pentingnya penyesuaian dari lingkungan
belajar anak dengan tingkat perkembangannya, dan peran aktivitas fisik dalam menyerap
konsep akademis dan keterampilan praktek. Kemudian ciri lainnya adalah penggunaan
peralatan otodidak untuk memperkenalkan berbagai konsep.
• Aksiologis
Menurut Maria Montessori, jawaban tujuan pendidikan ada dalam diri anak itu sendiri,
rancang bangun individu setiap manusia harus dibiarkan berkembang agar dengan begitu
setiap manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat mengurus yang menjadi tugas
kemasyarakatannya.

c. Kontribusi dan Implikasi dalam Dunia Pendidikan


Maria Montessori seorang pendidik berkebangsaan Italia mengemukakan teori tentang
hukum masa peka pada hukum perkembangan manusia Menurutnya masa peka merupakan
masa pertumbuhan ketika suatu fungsi jiwa mudah sekali dipengaruhi dan dikembangkan
(Desmita, 2011: 17). Beliau mengemukakan teori tentang anak, yaitu:
“Jika pendidikan mengenali nilai intrinsik dari kepribadian seorang anak, maka
memberikan nuansa yang tepat bagi pertumbuhan spiritualnya, kita menyingkapkan anak
yang sama sekali baru, dimana karakternya yang memukau pada akhirnya dapat
menyumbang kepada dunia yang lebih baik”.
Teori ini menjelaskan mengenai eksistensi anak sebagai suatu masa yang sangat
esensial bagi keseluruhan hidupnya. Beliau juga menegaskan tentang konsep Child’s Self-
Construction yang menyatakan bahwa anak membangun sendiri perkembangan jiwanya.
Sensitive period menyatakan usia anak dini adalah masa peka, absorbent mind serta pada
masa anak usia dini memiliki jiwa penyerap berbagai pengetahuan dan pengalaman hidupnya.
Teorinya berkontribusi terutama dalam pendidikan anak usia dini.

2.2.3 B.F Skinner


a. Biografi
Burrhusm Frederic Skinner lahir di Susquehanna, Pennsylvania 20 Maret 1904,
meninggal di Massachusetts, 18 Agustus 1990 pada umur 86 tahun. Beliau adalah seorang
psikolog Amerika yang terkenal dengan teori behaviorisme. Skinner menempuh pendidikan
dalam bidang bahasa inggris dari Hamilton College. Kemudian meneruskan pendidikan dalam
bidang psikologi di Universitas Harvard.

b. Tinjauan Ontologis, Epistimologi, dan Aksiologi


• Ontologis
Setiap manusia bergerak karena mendapat rangsangan dari lingkungannya. Sistem
tersebut dinamakan “cara kerja yang menentukan” (operant conditioning) atau teori
pembiasaan perilaku. Setiap makhluk hidup pasti selalu berada dalam proses bersinggungan
dengan lingkungannya. Di dalam proses itu, makhluk hidup menerima rangsangan atau
stimulan tertentu yang membuatnya bertindak sesuatu.

• Epistimologis
Skinner membagi dua metode tentang bagaimana guru melakukan pelajaran, yaitu:

➢ Manajemen kontingensi, merupakan penggunaan penguatan positif secara hati atau


pemberian penghargaan kepada siswa merupakan kebalikan dari pemberian hukuman;

➢ Pengajaran terprogram, mengarahkan siswa apa yang harus dilakukan dan apa yang
baik untuk mereka. Hakekat dari metode ini merupakan hubungan dengan
keberhasilan siswa. Skinner menyebutkan macam-macam penguatan positif mulai
sistem ‘kredit poin’ sampai dengan ungkapan guru. Agar efektif metode ini harus
memberikan penghargaan secara konsisten.

• Aksiologis
Tujuan yang tepat dari ilmu pengetahuan tentang manusia menurut Skinner adalah
memprediksi dan mengendalikan tingkah laku manusia. Pengendalian harus dilakukan tidak
kepada manusianya secara langsung tetapi kepada lingkungannya. Jika tingkah laku
merupakan sebuah respon terhadap lingkungan, rangsangan lingkungan yang diubah akan
membawa kepada tingkah laku yang dirubah pula.

c. Kontribusi dan Implikasi dalam Dunia Pendidikan


Dalam pandangan Skinner pemberian penghargaan hendaknya dilakukan untuk
memberikan penguatan terhadap siswa. Beliau bertahan pada pendapatnya bahwa belajar
adalah performance. Program pengajaran merinci belajar kedalam langkah-langkah kecil,
sementara gerakan tujuan tingkah laku mempunyai target proses pengajaran pada penampilan
skala kecil.
Pada eksperimennya Skinner menggunakan seekor tikus sehingga menghasilkan teori
Stimulus Respon (S-R) dan operant conditioning. Kelemahan dalam teori Skinner adalah
proses belajar itu dipandang sebagai sesuatu yang dapat diamati, padahal belajar adalah
kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagai suatu gejala. Disamping
itu proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan sangat tidak diterima
mengingat mencoloknya fisik dan psikis.
2.2.4 Jean Piaget
a. Biografi
Jean Piaget adalah seorang psikolog berkebangsaan Swiss yang tertarik pada dunia
pendidikan karena merasa tidak puas dengan teori pada ahli pendidikan yang sudah ada.
Piaget lahir pada 1896 dan meninggal pada 1980. Peranan Piaget di dunia pendidikan semakin
besar setelah menduduki jabatan sebagai Direktur International Bureau of Education (IBE)
pada 1929. Sejak saat itu Piaget banyak menulis tentang pendidikan umum.

b. Tinjauan Ontologis, Epistimologi, dan Aksiologi


• Ontologis
Pendidikan merupakan penghubung dua sisi, disatu sisi individu sedang tumbuh dan
disisi lain nilai sosial, intelektual, dan moral yang menjadi tanggung jawab pendidik untuk
mendorong individu tersebut. Individu berkembang sejak lahir dan terus berkembang,
perkembangan ini bersifat kausal (sebab akibat). Namun terdapat komponen normatif, juga
karena pendidik menuntut nilai. Nilai ini adalah norma yang berfungsi sebagai penunjuk
dalam mengindentifikasi apa yang diwajibkan, diperbolehkan, dan dilarang. Jadi pendidikan
adalah hubungan normatif antara individu dan nilai.

• Epistimologis
Peran guru adalah mengaktualkan yang masih kuncup dan mengembangkan lebih
lanjut apa yang sedikit atau baru sebagian teraktualisasi, semaksimal mungkin sesuai dengan
kondisi yang ada. Jean Piaget, merumuskan konsep pendidikan dasar yaitu pendidikan yang
menghasilkan, mencipta, sekalipun tidak banyak, meskipun suatu penciptaan dibatasi oleh
pembandingan dengan penciptaan yang lain.

• Aksiologis
Pendidikan secara umum berfungsi membantu siswa dalam pengembangan dirinya,
yaitu pengembangan semua potensi, kecakapan, serta karakteristik pribadinya ke arah yang
positif, baik bagi dirinya maupun lingkungannya. Pendidikan bukan sekedar memberikan
pengetahuan, nilai atau pelatihan keterampilan. Pendidikan berfungsi mengembangkan apa
yang secara potensi dan aktual telah dimiliki siswa, sebab siswa bukanlah gelas kosong yang
harus diisi dari luar.

c. Kontribusi dan Implikasi dalam Dunia Pendidikan

Piaget berpendapat bahwa memaksa merupakan metode mengajar yang paling buruk,
karena tanpa paksaan siswa akan merekontruksi apa yang dipelajarinya (inquiry). Kemudian
Piaget membagi tahap perkembangan kognitif manusia menjadi 4 tahap (Desmita, 2011:
101), yaitu:
1. Tahap sensori-motorik (sejak lahir sampai usia 2 tahun / Refleks instinktif, pemikiran
simbolis, pengoordinasian pengalaman).
2. Tahap pra-operasional (usia 2 sampai 7 tahun / Mempresentasikan dunia dengan kata-
kata dan gambar-gambar).
3. Tahap konkret-operasional (usia 7 sampai 11 tahun / berpikir secara logis tentang
peristiwa konkret dan pengklasifikasian benda).
4. Tahap operasional-formal (usia 11 tahun ke atas / berpikir abstrak, logis, dan lebih
idealistik).

Piaget sebenarnya tidak banyak menulis tentang pendidikan dan secara langsung tidak
bermaksud memberikan semacam sugesti kepada guru serta penerapan teori-teorinya didalam
ruangan kelas. Meskipun demikian dalam perkembangan selanjutnya teori Piaget ternyata
memberikan pengaruh yang sangat besar serta acuan penting dalam pelaksanaan proses
pendidikan di sekolah. Banyak guru mendapatkan inspirasi dari teori Piaget dalam mendesain
kurikulum dan memilih strategi pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan
peserta didiknya.
Teresa M.McDevitt dan Jeanne Ellis Ormod (dalam Desmita, 2011: 112)
menyebutkan beberapa implikasi teori Piaget bagi guru-guru sekolah, yaitu:
1. Memberikan kesempatan kepada peserta didik melakukan eksperimen terhadap objek-
objek fisik dan fenomena-fenomena alam.
2. Mengeksplorasi kemampuan penalaran siswa dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan atau pemberian tugas-tugas pemecahan masalah.
3. Tahap-tahap perkembangan kognitif Piaget menjadi acuan dalam menginterpretasikan
tingkah laku siswa dan mengembangkan rencana pelajaran.
4. Tahap-tahap perkembangan kognitif Piaget juga memberikan petunjuk bagi para guru
dalam memilih strategi pembelajaran yang lebih efektif pada tingkat kelas yang
berbeda.
5. Merancang aktivitas kelompok dimana siswa berbagi pandangan dan kepercayaan
dengan siswa lain.
Menurut Piaget interaksi dengan teman sebaya sangat membantu anak memahami
bahwa orang lain memiliki pandangan dunia yang berbeda dengan pandangannya sendiri dan
ide-ide mereka tidak selalu akurat dan logis. Dalam artian interaksi dengan teman sebaya akan
memungkinkan siswa menguji pemikirannya, merasa tertantang, menerima umpan balik, dan
melihat bagaimana orang lain mengatasi masalah.

Teori Piaget cocok dengan pendidikan di Indonesia yang bercorak demokratis, meski
tidak sepenuhnya di Indonesia bisa menjalankan teori belajar kontruktivisme sepenuhnya
seperti teori Piaget. Namun Kurikulum KTSP 2006 sudah merupakan awal pembelajaran
dengan konsep kontruktivisme.

2.2.5 Benjamin S. Bloom


a. Biografi
Benjamin S. Bloom lahir pada 21 Februari di Lansford Pennsylvania dan meninggal
pada 13 September 1999. Ia adalah seorang guru, penasihat pendidikan dan ahli psikologi
pendidikan. Pekerjaan pertamanya sebagai instruktur di Departemen Pendidikan di University
of Chicago pada 1944 dan menjadi Professor pada 1970 kemudian menjabat sebagai penasihat
pendidikan pemerintah Israel, India, dan banyak negara lain. Pada tahun 2001 Bloom bekerja
sama dengan David Krathwohl dan menulis A Taxonomy for Learning, Teaching, and
Assessing.

b. Tinjauan Ontologis, Epistimologi, dan Aksiologi


• Ontologis
Manusia memiliki potensi sesuai dengan ranah atau kawasan yang ada padanya.
Kemampuan belajar tersebut dapat diasah berdasarkan ranah atau kawasan tersebut.

• Epistimologis
Pendidikan menurut teori Benjamin S Bloom terbagi menjadi 3 yaitu Ranah Kognitif,
Afektif dan Psikomotorik. Teori Benjamin S. Bloom dijadikan acuan untuk mengetahui
tercapainya tujuan pendidikan berupa adanya perubahan pengetahuan, sikap dan gerak pada
setiap peserta didik.
• Aksiologis
Tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain, yaitu:
1) Cognitive Domain (Ranah Kognitif), mengasah perilaku-perilaku yang menekankan
aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
2) Affective Domain (Ranah Afektif) membentuk perilaku-perilaku yang menekankan
aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
3) Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) melatih perilaku-perilaku yang
menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang,
dan mengoperasikan mesin.

c. Kontribusi dan Implikasi dalam Dunia Pendidikan


Konsep taksonomi Bloom memang sudah mengemuka di dunia pendidikan. Teori
tersebut dikembangkan dalam rangka mengklasifikasikan tujuan pendidikan dalam tiga ranah,
yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Konsep tersebut mengalami perbaikan seiring dengan
perkembangan dan kemajuan zaman serta teknologi. Revisi yang dilakukan oleh Lorin
Anderson pada 1990 terkait perubahan kata kunci, pada kategori kata benda menjadi kata
kerja.

Gambar 2.1 Perubahan Taksonomi Bloom


Sumber: Suyitno, 2009
Taksonomi Bloom mengenai sasaran pendidikan ranah kognitif merupakan model
yang sederhana untuk diterapkan dalam kerangka kurikulum, termasuk di Indonesia. Siswa
dapat mengembangkan dan menggunakan keterampilan berpikir mereka dan guru dapat
bersikap adil dengan tidak memisahkan anak berbakat dari anak yang lain. Guru hanya perlu
menyesuaikan jumlah waktu untuk setiap tingkat taksonomi dengan tingkat kemampuan anak.

2.3 Tokoh-Tokoh Pendidikan di Indonesia dan Implikasinya terhadap Pendidikan di


Indonesia
2.3.1 R. A Kartini
a. Biografi
Raden Ajeng Kartini lahir di Jepara, 21 Apil 1879. Beliau adalah seorang tokoh
pahlawan nasional Indonesia dari suku Jawa. Raden Ajeng Kartini berasal dari bangsa
priyayi. Kartini bersekolah di ELS (Europese Lagere School) sampai usia 12 tahun. Di sisi
lain Kartini belajar Bahasa Belanda. Ia juga banyak membaca surat kabar Semarang De
Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel paket majalah yang
diedarkan took buku kepada langganan. Diantaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu
pengetahaun yang cukup berat. Kartini banyak membuat tulisan dan mengutip kalimat.
Perhatiannya tersorot pada emansipasi wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi, dan
persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.

b. Kontribusi dan Implikasi dalam Dunia Pendidikan


Peran R.A Kartini dalam memajukan pendidikan di Indonesia merupakan salah satu
contoh kontribusi wanita dalam sejarah. Kartini mendobrak kondisi yang memprihatinkan
tersebut dengan membangun sekolah khusus wanita. Selain itu beliau juga mendirikan
perpustakaan bagi anak-anak. Kartini dalam memajukan pendidikan Indonesia tertuang dalam
karya nya “Door Duisternis Tot Licht”, yang diartikan sebagai ‘habis gelap terbitlah terang’.
Kartini telah membawa banyak perubahan dan kemajuan dalam pendidikan Indonesia.
Kartini mengajarkan bahwa seorang wanita harus mempunyai pemikiran jauh ke depan. Di
mata Kartini pendidikan adalah hal penting. Pendidikan akan mampu mengangkat derajat dan
martabat bangsa. Kartini konsisten mengemukakan pentingnya pendidikan yang mengasah
budi pekerti, atau yang kita kenal sebagai pendidikan karakter pada masa sekarang.
Kartini mengatakan bahwa pendidikan itu janganlah hanya akal saja yang dipertajam,
tetapi budi pekerti pun harus dipertinggi. Sekolah diperlukan dalam memajukan pendidikan.
Pendidikan di sekolah juga harus dibarengi dengan pendidikan di keluarga. Untuk para guru
di sekolah, kartini berharap guru tidak hanya mengajar semata, tetapi juga harus menjadi
pendidik. Dalam notanya berjudul ‘Berilah Orang Jawa Pendidikan’ Kartini dengan tegas
mengatakan “guru-guru memiliki tugas rangkap: menjadi guru dan pendidik! Mereka harus
melaksanakan pendidikan rangkap itu, yaitu pendidikan pikiran dan budi pekerti”
Bagi Kartini mendidik perempuan merupakan kunci peradaban, karena perempuan
yang akan mendidik anak-anak (generasi muda). Beliau juga memiliki pemikiran tentang
kebijakan pendidikan, dimana pemerintah berkewajiban meningkatkan kesadaran budi pekerti
perempuan, mendidik perempuan, memberi pelajaran perempuan, dan menjadikan perempuan
sebagai ibu dan pendidik yang cakap dan cerdas. Namun Kartini juga tidak lantas membatasi
pendidikan yang normatif, beliau memberi kebebasan kepada siswa untuk berpikir dan
mengutarakan pendapat. Bahan bacaan menjadi gagasan kartini juga, karena bahan bacaan
atau yang sekarang ini kita artikan sebagai sumber belajar merupakan alat pendidikan yang
diharapkan banyak mendatangkan kebajikan. Anak-anak hendaknya diberi bahan bacaan yang
mengasyikkan, bukan karangan kering yang semata-mata ilmiah.

2.3.2 K.H Ahmad Dahlan


a. Biografi
K.H Ahmad Dahlan adalah tokoh pendidikan Indonesia sekaligus pendiri
Muhammadiyah, yang berdiri pada tanggal 18 November 1912. Dasar tujuan pendidikan
Muhammadiyah, yaitu ajaran Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Rasul. Dalam
usaha penyelenggaraan pendidikan,

b. Kontribusi dan Implikasi dalam Dunia Pendidikan


Muhammadiyah tidak tertarik untuk mendirikan pesantren, karena pada saat itu
pesantren cenderung mengisolasi diri. Sekolah-sekolah yang diselenggarakan Muhammadiyah
ada yang bercorak sekolah umum seperti sekolah yang diselenggarakan pemerintah Belanda,
dan ada sekolah-sekolah khusus keislaman. Sekolah-sekolah yang diselenggarakan
Muhammadiyah yaitu pada tahun 1921, yaitu Al-Islamul Arqo, kemudian diubah menjadi
Hooger Muhammadiyah School, dimana pada 1923 menjadi Kweekschool Islam. Pada tahun
1924 sekolah tersebut dipisahkan antara murid laki-laki dan perempuan, yang akhirnya pada
tahun 1932 menjadi Muallimien Muhammadiyah (Sekolah Guru Islam Putra), dan Muallimat
Muhammadiyah (Sekolah Guru Muhammadiyah Putri).
Taman kanak-kanak Muhammadiyah (Bustanul Athfal) didirikan pada tahun 1926,
HIS met de Quran pertama kali didirikan pada tahun 1923 di Jakarta, tahun 1926 di Kudus,
dan tahun 1928 di Aceh. Selanjutnya Muhammadiyah juga mendirikan sekolah-sekolah
seperti HIS, Volschool, Verpolgschool, Schakelschool. Jadi pada dasarnya Muhammadiyah
mendirikan sekolah sesuai dan sama dengan sekolah-sekolah Belanda.

Alasan yang melatarbelakangi sebab-sebab munculnya gagasan modernisasi K.H


Ahmad Dahlan dalam pendidikan Islam, yaitu karena lembaga pendidikan barat yang
cenderung sekuler dengan menjadikan murid sekedar bisa menjadi pegawai pemerintah, serta
lemahnya lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam yang belum mampu menyiapkan
generasi yang sesuai dengan tuntutan pada zaman itu. Di dalam pendidikan dan pengajaran
agama islam KH Ahmad Dahlan menanamkan keyakinan dan faham tentang Islam yang utuh.
Penerapan gagasan modernisasi pendidikannya telah membawa hasil yang tak ternilai.
Sumbangan pemikirannya yaitu dengan usaha-usaha yang direalisasikan (Pribadi, 2010)
melalui:
a. Memasukkan pelajaran agama Islam ke dalam lembaga pendidikan milik kolonial
Belanda.
b. Penerapan sistem dan mengadopsi metode pendidikan Barat dalam lembaga
pendidikan Islam.
c. Memadukan antara pelajaran agama dengan pelajaran umum

2.3.3 Ki Hajar Dewantara


a. Biografi
Ki Hajar Dewantara terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Beliau
lahir di Kota Yogyakarta, pada tanggal 2 Mei 1889. Hari kelahirannya kemudian diperingati
setiap tahun oleh Bangsa Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ki Hajar Dewantara
terlahir dari keluarga bangsawan maka beliau berhak memperoleh pendidikan untuk para
kaum bangsawan. Ia pertama kali bersekolah di ELS yaitu Sekolah Dasar untuk anak-anak
Eropa dan melanjutkan pendidikannya di STOVIA.
Ki Hadjar Dewantara cenderung lebih tertarik dalam dunia jurnalistik atau tulis-
menulis, hal ini dibuktikannya dengan bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar pada
masa itu. Berdirinya organisasi Budi Utomo sebagai organisasi sosial dan politik Jurnal
Pedagogika dan Dinamika Pendidikan (Vol. 4, No. 2, Oktober 2016 87-95-90), kemudian
mendorong Ki Hadjar Dewantara untuk bergabung didalamnya. Pada tahun 1919, beliau
kembali ke Indonesia dari pengasingan dan langsung bergabung sebagai guru di sekolah yang
didirikan oleh saudaranya. Pengalaman mengajar yang ia terima di sekolah tersebut kemudian
digunakannya untuk membuat sebuah konsep baru mengenai metode pengajaran pada sekolah
yang ia dirikan sendiri pada tanggal 3 Juli 1922. Sekolah tersebut bernama Nationaal
Onderwijs Instituut Tamansiswa yang kemudian kita kenal sebagai Taman Siswa.

b. Tinjauan Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi

• Ontologi
Ki Hajar Dewantara melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya.
Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan
manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan
yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan
perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan
pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya.
Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya
cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus
akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi. Dari titik pandang sosio-
anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa
manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara
yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan
kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah
kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”.
Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri.
Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan
budaya masyarakat yang melingkupinya.
• Epistimologi
Cara mengajar beliau menerapkan metode “among”. Metode sistem among dapat
dikatakan metode pembelajaran inovatif yang mampu mengembangkan jiwa merdeka siswa.
Metode ini melawan metode klasikal yang kaku, statis, dan dingin dengan info-info guru
semata. Among mempunyai pengertian menjaga, membina, dan mendidik anak dengan
kasih sayang. Lalu gurunya disebut pamong karena momong (mengasuh) yang mempunyai
kepandaian dan pengalaman lebih dari yang diamong. Sistem among memberikan ciri jiwa
merdeka. Jadi, mengajar dengan sistem among yang pertama harus ditumbuhkan adalah
mengenalkan, menanamkan, dan mewujudkan jiwa merdeka. Dengan jiwa merdeka,
kreativitas dan imajinasi siswa akan muncul dan kelak menjadi bekal membangun Indonesia.
Oleh karena itu, sistem among mengharamkan hukuman disiplin dengan paksaan/kekerasan
karena itu akan menghilangkan jiwa merdeka anak. Sistem Among dilaksanakan secara
“tut wuri handayani”, bila perlu perilaku anak boleh dikoreksi (handayani) namun tetap
dilaksanakan dengan kasih sayang. Anak didik dibiasakan bergantung pada disiplin
kebatinannya sendiri, bukan karena paksaan dari luar atau perintah orang lain. Seperti
prinsip Ki Hadjar Dewantara bahwa kita tidak perlu segan-segan memasukkan bahan-
bahan dan kebudayaan asing, dari manapun asalnya, tetapi harus diingat bahwa dengan bahan
itu kita dapat menaikkan derajad hidup kita dengan jalan mengembangkan apa yang
sudah menjadi milik kita, memperkaya apa yang belum kita miliki.
• Aksiologi
Tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya
menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di
masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak
luhur dan berkeahlian. Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara menempatkan kemerdekaan
sebagai syarat dan juga tujuan membentuk kepribadian dan kemerdekaan batin bangsa
Indonesia agar peserta didik selalu kokoh berdiri membela perjuangan bangsanya.
Karena kemerdekaan menjadi tujuan pelaksanaan pendidikan, maka sistem pengajaran
haruslah berfaedah bagi pembangunan jiwa dan raga bangsa. Untuk itu, di mata Ki Hajar
Dewantara, bahan-bahan pengajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan hidup rakyat.
Bagi Ki Hajar Dewantara, pendidikan tidak boleh dimaknai sebagai paksaan; kita
harus mengunakan dasar tertib dan damai, tata tentram dan kelangsungan kehidupan
batin, kecintaan pada tanah air menjadi prioritas. Karena ketetapan pikiran Jurnal Pedagogika
dan Dinamika Pendidikan. Vol. 4, No. 2, Oktober 2016 (87-9591) dan batin itulah yang akan
menentukan kualitas seseorang. Memajukan pertumbuhan budi pekerti-pikiran merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan, agar pendidikan dapat memajukan kesempurnaan
hidup. Yakni: kehidupan yang selaras dengan perkembangan dunia tanpa meninggalkan jiwa
kebangsaan.

c. Kontribusi dan Implikasi dalam Dunia Pendidikan

Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam
kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan
juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata
lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau
figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama
Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan,
keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di
bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan
kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru
sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak
Tuhan dan membawa keselamatan.
Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam
hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah;
dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite Jurnal Pedagogika
dan Dinamika Pendidikan. Vol. 4, No. 2, Oktober 2016 (87-95-92) sekolah, pihak terkait; segi
administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi
antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti
perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif
yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan
keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga
performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial,
kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu
adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi
pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik. Di sinilah relevansi pemikiran Ki Hajar
Dewantara di bidang pendidikan: mencerdaskan kehidupan bangsa hanya mungkin
diwujudkan dengan pendidikan yang memerdekakan dan membentuk karakter kemanusian
yang cerdas dan beradab. Oleh karena itu, konsepsi pendidikan Ki Hajar Dewantara dapat
menjadi salah satu solusi membangun kembali pendidikan dan kebudayaan nasional yang
telah diporak-porandakan oleh kepentingan kekuasan dan neoliberalisme.
BAB III
KESIMPULAN

1. Setiap tokoh pemikir pendidikan pada masanya memiliki hasil pemikiran yang
berpengaruh atau berimplikasi dalam dunia pendidikan dunia, khususnya
pendidikan Indonesia. Buah pemikiran setiap tokoh pendidikan dipengaruhi oleh
ideolog, filsafat yang dianutnya pada masa itu, atau kondisi pemerintahan dalam
negara. Hal ini berimplikasi pada pelaksanaan pemikiran-pemikiran tokoh
pendidikan tersebut, baik secara ontologism, aksiologis, maupun epistimologisnya.

2. Tokoh pendidikan di Indonesia memberikan sumbangsih pemikirannya dari mulai


masa Hindu Budha, bahkan sampai sekarang. Secara filosofis, pemikiran-
pemikiran tokoh pendidikan Indonesia dipengaruhi oleh ideologi Pancasila sebagai
ideologi Negara.

3. Selain itu, latar belakang historis dan aliran agama juga mempengaruhi pemikiran
tokoh pendidikan. Misalnya, tokoh Kartini pada masa sebelum kemerdekaan yang
memperjuangkan hak perempuan dan pendidikan berdasarkan budi pekerti. Tokoh
K.H. Ahmad Dahlan yang menganut pemikiran pendidikan berdasarkan akhlak dan
budi pekerti menjadi salah satu bukti hasil pemikiran yang dipengaruhi aliran agama
tertentu.
DAFTAR PUSTAKA

Desmita. (2011). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung PT Remaja Rosdakarya.

Erawati, M. (2012). Diktat Kuliah Psikologi Semester Ganjil. Tidak diterbitkan.

Pidarta, M. (2007). Landasan Pendidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia.


Jakarta: PT Rineka Cipta.

Pribadi, S.A.T (2010). Kiprah K.H. Ahmad Dahlan dalam Modernisasi Pendidikan Islam di
Indonesia. Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Jakarta: Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah.

Mudyahardjo, R. (2008). Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal tentang Dasar-Dasar


Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.

Nasution, S. (2008). Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Sadulloh, U & Setiasih, O. (2009). Landasan Historis Pendidikan. Dalam Sub Koordinator
MKDP Landasan Pendidikan (hlm 143-203) Bandung: UPI.

Suryadi, A. (2014). Pendidikan Indonesia menuju 2025. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Suyitno. (2009). Tokoh-Tokoh Pendidikan Dunia. Sekolah Pascasarjana UPI: Tidak


Diterbitkan.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Anda mungkin juga menyukai