Tujuan pendidikan pada zaman ini sama dengan tujuan kedua agama tersebut.
Pendidikan dilaksanakan dalam rangka penyebaran dan pembinaan kehidupan
beragama Hindu dan Budha.
Orde ini mempunyai organisasi pendidikan yang seragam, sama di mana pun, dan
bebas untuk semua. Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang ampuh
untuk penyebaran agama (Nasution, 2008: 4).
Sejalan dengan Politik Etis yang dijalankan belanda, tampak kemajuan yang lebih
pesat dalam bidang pendidikan. Tokoh-tokoh pendidik pada zaman ini ialah
Mohamad Syafei, Ki Hajar Dewantara, dan K.H Ahmad Dahlan.
f) Zaman Kemerdekaan
i) Zaman Reformasi
• Epistimologis
Anak laki-laki dan perempuan mendapatkan pendidikan yang sama. Lingkungan
pendidian anak harus indah, tetapi sederhana. Erawati (2012) menguraikan kerangka
pendidikan menurut Plato sebagai berikut:
a. Sejak lahir sampai usia tujuh tahun anak banyak mendapatkan pendidikan fisik.
Mereka harus menyimak dongeng dan puisi yang terpilih. Negara yang menyensor
materi yang disajikan pada anak. Mainan yang sesuai disediakan, anak dididik dengan
tegas, tetapi dengan kelembutan. Kecerdasan dan ketangkasan fisik secara harmonis
dibentuk.
b. Usia 7-13 tahun aktivitas intelektual dan fisik dijalankan secara bersamaan.
c. Usia 20 tahun pendidikan khusus mulai dilakukan dengan seleksi yang ketat.
d. Usia 30 tahun dilakukan seleksi lagi untuk pendidikan selanjutnya selama lima tahun.
Materi level lebih tinggi meliputi matematika, astronomi, harmoni, dan sains untuk 10
tahun pertama, belajar filsafat pada lima tahun terakhir. 15 tahun kemudian mengabdi pada
negara. Ketika usia 50 tahun mereka belajar filsafat dalam sisa hidupnya. Pendidikan
merupakan suatu kewajiban bagi Plato, karena anak merupakan milik negara bukan orang tua.
Plato lebih menekankan pengembangan intelektual, kurang mengembangkan jasmaniah.
• Aksiologis
• Epistimologis
Pendekatan yang menjadi ciri khas Montessori berfokus pada tugas guru dalam
mengamati anak saat memilih materi yang dibuat untuk memahami konsep atau keterampilan
tertentu. Awalnya perhatian beliau lebih kepada anak usia pra-sekolah. Setelah mengamati
perkembangan pada anak yang masuk SD, beliau mengembangkan penelitiannya pada anak-
anak masa remaja hingga jenjang menengah dan pendidikan tinggi.
Metode Montessori menekankan pada aktivitas pengerahan diri pada anak dan
pengamatan dari guru. Dalam artian menekankan pentingnya penyesuaian dari lingkungan
belajar anak dengan tingkat perkembangannya, dan peran aktivitas fisik dalam menyerap
konsep akademis dan keterampilan praktek. Kemudian ciri lainnya adalah penggunaan
peralatan otodidak untuk memperkenalkan berbagai konsep.
• Aksiologis
Menurut Maria Montessori, jawaban tujuan pendidikan ada dalam diri anak itu sendiri,
rancang bangun individu setiap manusia harus dibiarkan berkembang agar dengan begitu
setiap manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat mengurus yang menjadi tugas
kemasyarakatannya.
• Epistimologis
Skinner membagi dua metode tentang bagaimana guru melakukan pelajaran, yaitu:
➢ Pengajaran terprogram, mengarahkan siswa apa yang harus dilakukan dan apa yang
baik untuk mereka. Hakekat dari metode ini merupakan hubungan dengan
keberhasilan siswa. Skinner menyebutkan macam-macam penguatan positif mulai
sistem ‘kredit poin’ sampai dengan ungkapan guru. Agar efektif metode ini harus
memberikan penghargaan secara konsisten.
• Aksiologis
Tujuan yang tepat dari ilmu pengetahuan tentang manusia menurut Skinner adalah
memprediksi dan mengendalikan tingkah laku manusia. Pengendalian harus dilakukan tidak
kepada manusianya secara langsung tetapi kepada lingkungannya. Jika tingkah laku
merupakan sebuah respon terhadap lingkungan, rangsangan lingkungan yang diubah akan
membawa kepada tingkah laku yang dirubah pula.
• Epistimologis
Peran guru adalah mengaktualkan yang masih kuncup dan mengembangkan lebih
lanjut apa yang sedikit atau baru sebagian teraktualisasi, semaksimal mungkin sesuai dengan
kondisi yang ada. Jean Piaget, merumuskan konsep pendidikan dasar yaitu pendidikan yang
menghasilkan, mencipta, sekalipun tidak banyak, meskipun suatu penciptaan dibatasi oleh
pembandingan dengan penciptaan yang lain.
• Aksiologis
Pendidikan secara umum berfungsi membantu siswa dalam pengembangan dirinya,
yaitu pengembangan semua potensi, kecakapan, serta karakteristik pribadinya ke arah yang
positif, baik bagi dirinya maupun lingkungannya. Pendidikan bukan sekedar memberikan
pengetahuan, nilai atau pelatihan keterampilan. Pendidikan berfungsi mengembangkan apa
yang secara potensi dan aktual telah dimiliki siswa, sebab siswa bukanlah gelas kosong yang
harus diisi dari luar.
Piaget berpendapat bahwa memaksa merupakan metode mengajar yang paling buruk,
karena tanpa paksaan siswa akan merekontruksi apa yang dipelajarinya (inquiry). Kemudian
Piaget membagi tahap perkembangan kognitif manusia menjadi 4 tahap (Desmita, 2011:
101), yaitu:
1. Tahap sensori-motorik (sejak lahir sampai usia 2 tahun / Refleks instinktif, pemikiran
simbolis, pengoordinasian pengalaman).
2. Tahap pra-operasional (usia 2 sampai 7 tahun / Mempresentasikan dunia dengan kata-
kata dan gambar-gambar).
3. Tahap konkret-operasional (usia 7 sampai 11 tahun / berpikir secara logis tentang
peristiwa konkret dan pengklasifikasian benda).
4. Tahap operasional-formal (usia 11 tahun ke atas / berpikir abstrak, logis, dan lebih
idealistik).
Piaget sebenarnya tidak banyak menulis tentang pendidikan dan secara langsung tidak
bermaksud memberikan semacam sugesti kepada guru serta penerapan teori-teorinya didalam
ruangan kelas. Meskipun demikian dalam perkembangan selanjutnya teori Piaget ternyata
memberikan pengaruh yang sangat besar serta acuan penting dalam pelaksanaan proses
pendidikan di sekolah. Banyak guru mendapatkan inspirasi dari teori Piaget dalam mendesain
kurikulum dan memilih strategi pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan
peserta didiknya.
Teresa M.McDevitt dan Jeanne Ellis Ormod (dalam Desmita, 2011: 112)
menyebutkan beberapa implikasi teori Piaget bagi guru-guru sekolah, yaitu:
1. Memberikan kesempatan kepada peserta didik melakukan eksperimen terhadap objek-
objek fisik dan fenomena-fenomena alam.
2. Mengeksplorasi kemampuan penalaran siswa dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan atau pemberian tugas-tugas pemecahan masalah.
3. Tahap-tahap perkembangan kognitif Piaget menjadi acuan dalam menginterpretasikan
tingkah laku siswa dan mengembangkan rencana pelajaran.
4. Tahap-tahap perkembangan kognitif Piaget juga memberikan petunjuk bagi para guru
dalam memilih strategi pembelajaran yang lebih efektif pada tingkat kelas yang
berbeda.
5. Merancang aktivitas kelompok dimana siswa berbagi pandangan dan kepercayaan
dengan siswa lain.
Menurut Piaget interaksi dengan teman sebaya sangat membantu anak memahami
bahwa orang lain memiliki pandangan dunia yang berbeda dengan pandangannya sendiri dan
ide-ide mereka tidak selalu akurat dan logis. Dalam artian interaksi dengan teman sebaya akan
memungkinkan siswa menguji pemikirannya, merasa tertantang, menerima umpan balik, dan
melihat bagaimana orang lain mengatasi masalah.
Teori Piaget cocok dengan pendidikan di Indonesia yang bercorak demokratis, meski
tidak sepenuhnya di Indonesia bisa menjalankan teori belajar kontruktivisme sepenuhnya
seperti teori Piaget. Namun Kurikulum KTSP 2006 sudah merupakan awal pembelajaran
dengan konsep kontruktivisme.
• Epistimologis
Pendidikan menurut teori Benjamin S Bloom terbagi menjadi 3 yaitu Ranah Kognitif,
Afektif dan Psikomotorik. Teori Benjamin S. Bloom dijadikan acuan untuk mengetahui
tercapainya tujuan pendidikan berupa adanya perubahan pengetahuan, sikap dan gerak pada
setiap peserta didik.
• Aksiologis
Tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain, yaitu:
1) Cognitive Domain (Ranah Kognitif), mengasah perilaku-perilaku yang menekankan
aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
2) Affective Domain (Ranah Afektif) membentuk perilaku-perilaku yang menekankan
aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
3) Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) melatih perilaku-perilaku yang
menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang,
dan mengoperasikan mesin.
• Ontologi
Ki Hajar Dewantara melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya.
Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan
manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan
yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan
perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan
pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya.
Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya
cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus
akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi. Dari titik pandang sosio-
anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa
manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara
yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan
kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah
kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”.
Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri.
Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan
budaya masyarakat yang melingkupinya.
• Epistimologi
Cara mengajar beliau menerapkan metode “among”. Metode sistem among dapat
dikatakan metode pembelajaran inovatif yang mampu mengembangkan jiwa merdeka siswa.
Metode ini melawan metode klasikal yang kaku, statis, dan dingin dengan info-info guru
semata. Among mempunyai pengertian menjaga, membina, dan mendidik anak dengan
kasih sayang. Lalu gurunya disebut pamong karena momong (mengasuh) yang mempunyai
kepandaian dan pengalaman lebih dari yang diamong. Sistem among memberikan ciri jiwa
merdeka. Jadi, mengajar dengan sistem among yang pertama harus ditumbuhkan adalah
mengenalkan, menanamkan, dan mewujudkan jiwa merdeka. Dengan jiwa merdeka,
kreativitas dan imajinasi siswa akan muncul dan kelak menjadi bekal membangun Indonesia.
Oleh karena itu, sistem among mengharamkan hukuman disiplin dengan paksaan/kekerasan
karena itu akan menghilangkan jiwa merdeka anak. Sistem Among dilaksanakan secara
“tut wuri handayani”, bila perlu perilaku anak boleh dikoreksi (handayani) namun tetap
dilaksanakan dengan kasih sayang. Anak didik dibiasakan bergantung pada disiplin
kebatinannya sendiri, bukan karena paksaan dari luar atau perintah orang lain. Seperti
prinsip Ki Hadjar Dewantara bahwa kita tidak perlu segan-segan memasukkan bahan-
bahan dan kebudayaan asing, dari manapun asalnya, tetapi harus diingat bahwa dengan bahan
itu kita dapat menaikkan derajad hidup kita dengan jalan mengembangkan apa yang
sudah menjadi milik kita, memperkaya apa yang belum kita miliki.
• Aksiologi
Tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya
menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di
masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak
luhur dan berkeahlian. Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara menempatkan kemerdekaan
sebagai syarat dan juga tujuan membentuk kepribadian dan kemerdekaan batin bangsa
Indonesia agar peserta didik selalu kokoh berdiri membela perjuangan bangsanya.
Karena kemerdekaan menjadi tujuan pelaksanaan pendidikan, maka sistem pengajaran
haruslah berfaedah bagi pembangunan jiwa dan raga bangsa. Untuk itu, di mata Ki Hajar
Dewantara, bahan-bahan pengajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan hidup rakyat.
Bagi Ki Hajar Dewantara, pendidikan tidak boleh dimaknai sebagai paksaan; kita
harus mengunakan dasar tertib dan damai, tata tentram dan kelangsungan kehidupan
batin, kecintaan pada tanah air menjadi prioritas. Karena ketetapan pikiran Jurnal Pedagogika
dan Dinamika Pendidikan. Vol. 4, No. 2, Oktober 2016 (87-9591) dan batin itulah yang akan
menentukan kualitas seseorang. Memajukan pertumbuhan budi pekerti-pikiran merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan, agar pendidikan dapat memajukan kesempurnaan
hidup. Yakni: kehidupan yang selaras dengan perkembangan dunia tanpa meninggalkan jiwa
kebangsaan.
Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam
kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan
juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata
lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau
figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama
Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan,
keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di
bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan
kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru
sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak
Tuhan dan membawa keselamatan.
Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam
hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah;
dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite Jurnal Pedagogika
dan Dinamika Pendidikan. Vol. 4, No. 2, Oktober 2016 (87-95-92) sekolah, pihak terkait; segi
administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi
antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti
perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif
yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan
keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga
performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial,
kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu
adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi
pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik. Di sinilah relevansi pemikiran Ki Hajar
Dewantara di bidang pendidikan: mencerdaskan kehidupan bangsa hanya mungkin
diwujudkan dengan pendidikan yang memerdekakan dan membentuk karakter kemanusian
yang cerdas dan beradab. Oleh karena itu, konsepsi pendidikan Ki Hajar Dewantara dapat
menjadi salah satu solusi membangun kembali pendidikan dan kebudayaan nasional yang
telah diporak-porandakan oleh kepentingan kekuasan dan neoliberalisme.
BAB III
KESIMPULAN
1. Setiap tokoh pemikir pendidikan pada masanya memiliki hasil pemikiran yang
berpengaruh atau berimplikasi dalam dunia pendidikan dunia, khususnya
pendidikan Indonesia. Buah pemikiran setiap tokoh pendidikan dipengaruhi oleh
ideolog, filsafat yang dianutnya pada masa itu, atau kondisi pemerintahan dalam
negara. Hal ini berimplikasi pada pelaksanaan pemikiran-pemikiran tokoh
pendidikan tersebut, baik secara ontologism, aksiologis, maupun epistimologisnya.
3. Selain itu, latar belakang historis dan aliran agama juga mempengaruhi pemikiran
tokoh pendidikan. Misalnya, tokoh Kartini pada masa sebelum kemerdekaan yang
memperjuangkan hak perempuan dan pendidikan berdasarkan budi pekerti. Tokoh
K.H. Ahmad Dahlan yang menganut pemikiran pendidikan berdasarkan akhlak dan
budi pekerti menjadi salah satu bukti hasil pemikiran yang dipengaruhi aliran agama
tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Pribadi, S.A.T (2010). Kiprah K.H. Ahmad Dahlan dalam Modernisasi Pendidikan Islam di
Indonesia. Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Jakarta: Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah.
Sadulloh, U & Setiasih, O. (2009). Landasan Historis Pendidikan. Dalam Sub Koordinator
MKDP Landasan Pendidikan (hlm 143-203) Bandung: UPI.