Anda di halaman 1dari 16

KLIPING

BIOGRAFI TOKOH ORDE LAMA-REFORMASI

Disusun oleh :
1. Eissy Putri Damayanti (06)
2. Riska Diah Aryanti (24)
Kelas IX G

SMP NEGERI 2 PREMBUN


TAHUN PELAJARAN 2022/2023
ORDE LAMA

K.H. Abdul Wahid Hasyim adalah pahlawan nasional yang pernah menjabat sebagai
Menteri Negara dan juga pernah sebagai Menteri Agama pada era orde lama. Ia adalah ayah
dari presiden keempat, Abdurrahman Wahid dan anak dari Muhammad Hasyim Asy'ari,
pendiri Nahdlatul Ulama dan pahlawan nasional Indonesia. Wikipedia
Kelahiran : 1 Juni 1914, Kabupaten Jombang
Meninggal : 19 April 1953, Cimahi
Anak : Abdurrahman Wahid, Salahuddin Wahid, Lily Chodidjah Wahid,
Hasyim Wahid, lainnya
Cucu : Yenny Wahid, Alissa Qotrunnada, Anita Hayatunnufus, Inayah
Wulandari, Irfan Wahid, lainnya
Orang tua : Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari, Nafiqoh
Kakek-Nenek : Kiai Asy'ari, Halimah
Jabatan sebelumnya : Menteri Agama Republik Indonesia (1949–1952)

Mengarungi Ilmu Sejak Muda


KH. Abdul Wahid Hasyim merupakan anak pertama dari 15 orang anak dari pasangan
KH. Hasyim Asyari dengan Nyai Nafiqah binti Kyai Ilyas. Ia lahir di Jombang, pada hari
Jumat legi, Rabiul Awwal 1333 H, atau 1 Juni 1914 M. Sejak kecil, ia dikenal sebagai sosok
anak yang mempunyai kelebihan dengan otak yang sangat cerdas. Ia belajar al-Qur’an
langsung kepada ayahnya dan khatam di usia 7 tahun. Pendidikanya dimulai dengan belajar di
bangku Madrasah Salafiyah di Pesantren Tebuireng. Pada usia 12 tahun, atau setelah selesai
dari di bangku madrasah, ia diminta oleh ayahnya untuk membantu mengajar adik-adiknya
dan anak-anak seusianya.
Sebagai anak tokoh, ia tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah
Pemerintah Hindia Belanda. Ia banyak belajar segala sesuatu secara otodidak. Ia mempelajari
kitab-kitab dan buku berbahasa arab. Bahkan, ia mampu mendalami syair-syair berbahasa
arab dan hafal di luar kepala, serta menguasai maknanya dengan baik.
Pada usia 13 tahun, ia sempat belajar di beberapa pesantren, di antaranya di Pondok
Siwalan, Panji, sebuah pesantren tua di Sidoarjo. Setelah setahun di Siwalan, ia pindah ke
Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Dalam proses menuntut ilmu, Bagi KH. Abdul Wahid
Hasyim, keberkatan dari sang guru sangat lah penting, bukan ilmunya. Soal ilmu,
menurutnya, bisa dipelajari di mana saja dan dengan cara apa saja. Tapi soal memperoleh
berkah, adalah masalah lain.
Pada usia 15 tahun beliau sudah mengenal huruf latin dan menguasai bahasa Inggris
dan Belanda. Kedua bahasa asing itu dipelajari secara otodidak dengan membaca majalah
yang diperoleh dari dalam negeri atau kiriman dari luar negeri. Pada tahun 1932, saat usianya
18 tahun, ia melanjutkan pendidikannya ke Mekkah. Dua tahun kemudian, ia telah menguasai
tiga bahasa asing, yaitu bahasa arab, Inggris dan Belanda. Dengan bekal kemampuan tiga
bahasa tersebut, KH. Abdul Wahid Hasyim dapat mempelajari berbagai buku dari tiga bahasa
tersebut.

Prestasi dan Pemikirannya Soal Pendidikan Pesantren


Pada usia 25 tahun Wahid Hasyim bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia
(MIAI), federasi organisasi massa dan partai Islam saat itu. Setahun kemudian atau pada saat
usianya baru 26 tahun, Wahid Hasyim menjadi Ketua MIAI. Kariernya terus menanjak
dengan cepat. Ia menjadi Ketua PBNU pada usia 32 tahun, menjadi anggota Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada usia 31 tahun, hingga Menteri Agama pada tiga kabinet
(Hatta, Natsir, dan Sukiman) pada usia 31 tahun. Selama menjadi Menteri Agama, beliau
telah membentuk beberapa programnya, diantaranya:
 Mendirikan Jam’iyah al-Qurra’ wa al-Huffazh (Organisasi Qari dan Penghafal al-Qur’an)
di Jakarta.
 Menetapkan tugas kewajiban Kementerian Agama melalui Peraturan Pemerintah no. 8
tahun 1950.
 Merumuskan dasar-dasar peraturan Perjalanan Haji Indonesia.
 Menyetujui berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dalam
kementerian agama.
Fokus utama pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim adalah peningkatan kualitas
sumberdaya umat Islam. Sebagai seorang santri, upaya peningkatan kualitas tersebut
dilakukan melalui pendidikan khususnya pesantren. Berkat pemikirannya itu, Wahid Hasyim
memberikan banyak sumbangsih perubahan untuk dunia penididikan di pesantren. Pesantren
tidak lagi berkosentrasi pada urusan ukhrawiyah (akhirat), tetapi juga menjadi terbuka dengan
urusan duniawiyah (dunia).

Pernikahan dan Wafat


KH. Wahid Hasyim menikah di usia 25 tahun, dengan Solichah, putri K.H. Bisri
Syansuri yang saat itu masih berusia 15 tahun. Pasangan ini dikarunai enam anak putra, yaitu
Abdurrahman ad-Dakhil atau Gus Dur (mantan Presiden RI), Aisyah (Ketua Umum PP
Muslimat NU, 1995-2000), Shalahudin al-Ayyubi (Insinyur lulusan ITB dan Pengasuh PP.
Tebuireng Jombang, sesudah K.H. Yusuf Hasyim), Umar Al-Faruq (dokter lulusan UI), Lilik
Khadijah dan Muhammad Hasyim. Wahid Hasyim meninggal di usia ke 39, tepatnya tanggal
19 April 1953 setelah sehari sebelumnya mengalami kecelakaan mobil ketika sedang dalam
perjalanan menuju Sumedang untuk menghadiri rapat NU.
ORDE BARU

Jenderal TNI. H. Gusti Raden Mas Dorodjatun atau yang lebih dikenal dengan nama:
Sri Sultan Hamengkubuwana IX adalah Sultan Yogyakarta kesembilan dan Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta yang pertama. Ia merupakan Wakil Presiden Indonesia kedua yang
menjabat pada tahun 1973–1978. Wikipedia
Kelahiran : 12 April 1912, Yogyakarta
Meninggal : 2 Oktober 1988, Universitas George Washington, Washington, D.C.,
Amerika
Anak : Hamengkubuwana X, Hadiwinoto, Joyokusumo, Yudhaningrat,
Prabukusuma, lainnya
Pasangan : K.R.A Nindyokirana (m. 1976–1988), K.R.A Astungkara
(m. 1948–1988), lainnya
Jabatan sebelumnya : Wakil Presiden Republik Indonesia (1973–1978), lainnya
Tempat pemakaman : Kecamatan Imogiri
Cucu : GKR Mangkubumi, Bendara, Maduretno, Condrokirono, Hayu

Lahir di Ngasem, Sompilan, Yogyakarta dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun,
Hamengkubuwana IX merupakan anak kesembilan. Gusti Pangeran Puruboyo dari istri
utamanya, Raden Ajeng Kustilah. Pada tahun 1914, ketika Dorodjatun belum genap tiga
tahun, Gusti Pangeran Puruboyo diangkat menjadi Putra Mahkota Yogyakarta. Karena
suaminya menjadi Putra Mahkota, Raden Ajeng Kustilah mendapat gelar Kanjeng Raden Ayu
Adipati Anom pada tahun 1915. Meskipun demikian, KRA Adipati Anom tidak sempat
menjadi Ratu Yogyakarta. Ia dipulangkan ke rumah ayahnya sekitar tahun 1918–1919.
Monfries serta Roem dkk. menuliskan bahwa penyebab pemulangan ini adalah retaknya
hubungan antara KRA Adipati Anom dengan mertuanya; sementara Romo Tirun mengatakan
bahwa penyebabnya adalah KRA Adipati Anom merupakan keturunan Untung Suropati yang
merupakan musuh Belanda, sehingga kejadian ini bermaksud untuk melindungi KRA Adipati
Anom.
Ketika berumur empat tahun, Dorodjatun diperintah ayahnya untuk mulai tinggal
terpisah dari keraton.[4] Dorodjatun kecil menangis keras dan terus memeluk salah satu tiang
di keraton sebelum dapat dipisahkan.[9] Ia tinggal bersama keluarga Mulder, orang Belanda
yang menjabat sebagai Kepala Sekolah Neutrale Hollands Javaanse Jongens School dan
tinggal di daerah Gondokusuman. Ketika tinggal bersama keluarga Mulder, Dorodjatun diberi
nama panggilan Henkie ("Henk kecil") yang diambil dari nama Pangeran Hendrik dari
Belanda. Nama panggilan ini terus ia gunakan hingga bersekolah dan kuliah di Belanda, serta
oleh teman-teman dekatnya tetap digunakan sampai masa tuanya sebagai Hamengkubuwana
IX. Henkie mendapatkan pendidikan pertamanya di taman kanak-kanak Frobel School
kemudian Eerste Europese Lagere School B untuk pendidikan dasarnya. Setahun kemudian,
ia pindah ke kediaman keluarga Cock dan bersekolah di Neutrale Europese Lagere School
hingga lulus pada bulan Juli 1925. Ayahnya diangkat menjadi Hamengkubuwana VIII ketika
ia duduk di kelas III sekolah tersebut, yaitu pada bulan Februari 1921. Di sekolah tersebut,
Dorodjatun bertemu dan berteman dengan Sultan Hamid II yang dijuluki Mozes saat itu.
Dorodjatun mengenyam pendidikan menengahnya di Hoogere Burgerschool (HBS)
Semarang mulai bulan Juli 1925. Ia tinggal bersama keluarga Voskuil, seorang sipir penjara
di Semarang. Karena iklim Semarang yang cukup panas, Dorodjatun merasa tidak cocok dan
kemudian dipindahkan oleh ayahnya ke HBS Bandoeng pada tahun 1928. Di sana, ia bersama
kakaknya, BRM Tinggarto, tinggal bersama dengan seorang tentara militer Belanda, Letnan
Kolonel De Boer
Sebelum menyelesaikan pendidikan menengahnya di HBS Bandung, ayah Dorodjatun
dan Tinggarto memerintahkan mereka untuk belajar ke Belanda. Mereka berangkat melalui
jalur laut bulan Maret 1930 dengan ditemani oleh keluarga Hofland, seorang direktur pabrik
gula di Gesikan. Mereka berdua bersekolah di Gymnasium atau Lyceum Haarlem yang
merupakan gabungan dari dua lembaga berbeda, yaitu Hoogere Burgerschool B (HBS-B) dan
Stedelijk Gymnasium. Di Haarlem, mereka tinggal di kediaman kepala sekolah mereka,
Mourik Broekman. Dorodjatun kerap dipanggil Sultan Henk ketika menuntut ilmu di sekolah
tersebut. Karena perbedaan kualitas pendidikan dengan Hindia Belanda, ia harus turun dua
kelas di Haarlem. Ia bukanlah siswa yang istimewa maupun cemerlang di sana. Meskipun
beberapa nilainya tergolong baik, Dorodjatun harus mengulang di beberapa mata pelajaran,
terutama hingga dua kali di pelajaran geometri dan trigonometri. Kakaknya, Tinggarto, juga
mengalami hal yang sama di Haarlem. Keduanya berhasil lulus dari sekolah ini pada tahun
1934.
Dorodjatun dan kakaknya kemudian pindah ke Leiden. Mereka masuk ke perguruan
tinggi Rijksuniversiteit Leiden, kini Universitas Leiden. Dorodjatun mengambil studi
Indologi, studi yang mempelajari administrasi kolonial, etnologi, dan kesusastraan di Hindia
Belanda; sementara Tinggarto memilih studi yang lebih populer, yakni bidang hukum. Belum
sempat menyelesaikan tesis untuk gelar doktorandusnya, Dorodjatun bersama saudara-
saudaranya yang berada di luar negeri dipanggil oleh keluarga di Jogja untuk kembali ke
Hindia Belanda setelah terjadinya Penyerbuan Jerman ke Polandia tahun 1939. Tesis yang
hampir selesai tersebut dibawa ke Jawa bersamanya dalam bentuk manuskrip dan belum
pernah dikumpulkan. Naskah itu hilang dan hanya diketahui judulnya saja, yaitu "Kontrak
Politik antara Sunan Solo dan Pemerintah Belanda". Hingga akhir hayatnya,
Hamengkubuwana IX belum mendapatkan gelar apapun dari universitas karena belum sempat
mengikuti wisuda kelulusannya.
Setelah tiba di Batavia pada bulan Oktober 1939, GRM Dorodjatun dijemput oleh
keluarganya di Pelabuhan Tanjung Priok. Paman-paman yang menjemputnya bersikap hormat
serta menggunakan krama inggil untuk menegurnya, bukan ngoko seperti biasanya.
Dorodjatun beserta rombongan penjemputnya kemudian pergi menuju Hotel des Indes,
tempat ayah dan anggota keluarga lainnya menginap di Batavia.
Ketika seorang penguasa swapraja sedang berada di Batavia, umumnya ada banyak
agenda kegiatan yang harus dipenuhi. Salah satu acara yang dihadiri keluarga kerajaan
bersama Dorodjatun di Batavia adalah undangan santapan malam di Istana Gubernur Jenderal
Hindia Belanda. Pada saat bersiap untuk menghadiri undangan tersebut, Dorodjatun
disematkan keris Kyai Jaka Piturun oleh ayahnya. Keris ini umumnya diwariskan kepada
putra penguasa yang dikehendaki menjadi putra mahkota. Oleh karena itu, penyematan ini
menandakan bahwa Dorodjatun adalah pewaris takhta Kesultanan Yogyakarta.
Setelah menghadiri agenda selama tiga hari di Batavia, keluarga kerajaan beserta
Dorodjatun kembali ke Yogyakarta menggunakan Kereta api Eendaagsche Express. Dalam
perjalanan, Hamengkubuwana VIII jatuh sakit hingga tak sadarkan diri. Sesampainya di
Yogyakarta, ia segera dilarikan ke Rumah Sakit Onder de Bogen dan dirawat hingga wafat
pada tanggal 22 Oktober 1939.
Sejak abad ke-18, para Penguasa Mataram diharuskan menandatangani kontrak politik
baru dengan Pemerintah Kolonial Belanda sebelum naik takhta. Hal ini juga terjadi ketika
Dorodjatun akan naik takhta. Sebelum pejabat Belanda dapat melakukan negosiasi dengan
calon Sultan baru, proses suksesi di internal keluarga kerajaan harus diselesaikan terlebih
dahulu. Dengan ini, Dorodjatun sebagai putra mahkota kemudian mengumpulkan para
saudara dan pamannya untuk bermusyawarah siapa yang akan menjadi Sultan selanjutnya.
Kesemua kerabatnya tidak keberatan jika Dorodjatun sebagai Sultan selanjutnya. Banyak
penulis dan sejarawan yang mengatakan bahwa secara de facto dari sini Dorodjatun
sebenarnya sudah menjadi Sultan Yogyakarta ke-9, tepatnya sekitar tanggal 26 Oktober 1939,
dua hari setelah pemakaman ayahnya.
Untuk membuat kontrak baru, Dorodjatun harus bernegosiasi dengan Gubernur
Yogyakarta Lucien Adam sebagai perwakilan Pemerintah Hindia Belanda. Lucien Adam
merupakan seorang pejabat senior Hindia Belanda dan seorang Javanicus (ahli adat istiadat
Jawa). Monfries mencatat bahwa Gubernur Adam ingin segera membentuk hubungan yang
baik dengan Dorodjatun dalam laporan-laporannya kepada pemerintah pusat di Batavia.
Mereka berdua pun memiliki satu kesamaan, yaitu pernah mengambil studi di Universitas
Leiden, meskipun terpaut umur yang cukup jauh. Adam, yang umurnya sudah mendekati 50
tahun, merasa harus menjadi seperti figur ayah yang bertanggung jawab bagi Dorodjatun.
Keduanya sebenarnya termasuk cukup akrab bahkan sering saling meminjam buku bacaan
satu sama lain.
Hampir setiap hari Dorodjatun harus bertemu dengan Gubernur Adam sejak awal
November 1939 untuk merundingkan kontrak politiknya. Perjanjian ini digunakan untuk
memperbarui kontrak politik yang ditandatangani pada masa Hamengkubuwana VIII
berkuasa dan memiliki isi yang lebih detail. Perundingan tersebut berlangsung alot. Menurut
buku Takhta untuk Rakyat, pembicaraan mengenai jabatan Patih Danurejo yang selain
bertanggung jawab kepada Sultan juga menjadi pegawai Belanda, adanya dewan penasihat
dari Pemerintah Hindia Belanda, serta prajurit keraton yang diminta agar berada di bawah
KNIL menjadi penyebabnya. Sementara itu, Monfries, mengutip laporan-laporan Gubernur
Adam, menuliskan bahwa Adam mengalami kesulitan dalam perundingan di bidang anggaran
sipil, kepolisian, hutan, dan jangkauan otoritas hukum Sultan atas rakyat-rakyatnya. Monfries
berpendapat bahwa sangat sulit menemukan penjelasan dari bukti-bukti yang ada atas
perbedaan yang sangat besar dari versi Hamengkubuwana dengan laporan-laporan Gubernur
Adam.
Di lain hal, Gubernur Adam, dalam laporannya kepada pemerintah pusat di Batavia,
mengatakan bahwa Dorodjatun memiliki perilaku yang baik. Ia menambahkan bahwa
Dorodjatun telah mengubah sistem perbelanjaan di keraton dengan cepat. Rencana kebijakan
lain yang disorot oleh Adam adalah reformasi besar-besaran di keraton oleh Dorodjatun, yaitu
dalam hal tingkat kekuasaan kepada rakyatnya, pembagian antara kekayaan keraton dan
kesultanan yang lebih jelas, dan pengaturan pembayaran gaji kepada anggota keluarganya.
Selain itu, Dorodjatun ingin mengurangi jumlah pegawai negeri sembari menaikkan gaji
mereka, juga mengubah peran tentara dengan menambahkan tugas jaga kepada mereka.
Setelah empat bulan berunding dengan alot, Dorodjatun tiba-tiba menyetujui kontrak
politik tersebut secara langsung tanpa adanya penolakan atas isi-isinya sebagaimana yang
telah ia sampaikan dalam perundingan-perundingan sebelumnya. Ia mengaku melakukannya
setelah mendapatkan wisik (bisikan) dari almarhum ayahnya yang mendatanginya dalam
mimpi.
“ Wis, Tholé, tekena waé. Landa bakal lunga saka bumi kéné.
(Sudahlah, Nak, tanda tangani saja. Belanda akan pergi dari bumi sini.)”
— Wisik yang diterima Dorodjatun.
Kegiatan perundingan selesai lebih cepat daripada laporan Gubernur Adam tanggal 18
Februari 1940 yang menyatakan bahwa perundingan mungkin selesai pada bulan April
sebelum Grebeg diadakan. Dengan demikian, prosesi upacara penobatan dilaksanakan
sebulan lebih cepat daripada pelaksanaan Grebeg. Kontrak politik yang terdiri atas 17 bab dan
59 pasal tersebut kemudian ditandatangani oleh kedua pihak pada tanggal 12 Maret 1940
meskipun dalam surat tertanggal 18 Maret 1940.
GRM Dorodjatun dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana IX pada tanggal
18 Maret 1940, sesuai dengan tanggal berlakunya kontrak politik dengan Pemerintah Hindia
Belanda. Gubernur Adam menobatkan GRM Dorodjatun untuk dua gelar sekaligus. Gelar
pertama adalah gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra
Narendra Mataram, gelarnya sebagai Putra Mahkota. Setelahnya, dinobatkanlah Sri Sultan
Hamengkubuwana IX dengan gelar Sampéyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan
Hamengkubuwana Sénapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah
ingkang Jumeneng Kaping Sanga.
Upacara ini dihadiri oleh Sri Paku Alam, KGPAA Mangkunegara, serta dua pangeran
dari Solo. Beberapa pejabat senior Belanda seperti H.J. van Mook, Gubernur Semarang, dan
Gubernur Solo juga hadir. Dalam upacara ini, Hamengkubuwana IX menyampaikan pidato
yang bernada progresif dan teguh pendirian serta menegaskan identitasnya sebagai orang
Jawa.
Jenderal Besar TNI H. M. Soeharto, adalah Presiden kedua Indonesia yang menjabat
dari tahun 1967 sampai 1998, menggantikan Soekarno. Wikipedia
Kelahiran: 8 Juni 1921, Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Bantul
Meninggal : 27 Januari 2008, Jakarta
Anak : Tommy Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana, Bambang Trihatmodjo,
Siti Hediati Hariyadi, lainnya
Masa kepresidenan : 27 Maret 1968 – 21 Mei 1998
Tempat pemakaman : Astana Giribangun
Jabatan sebelumnya : Presiden Indonesia (1968–1998), lainnya
Cucu : Didit Prabowo, Gendis Siti Hatmanti, Gayanti Hutami, Panji
Adhikumoro, Ari Sigit, lainnya

Soeharto lahir pada tanggal 8 Juni 1921 dari seorang wanita yang merupakan ibunya,
yang bernama Sukirah di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul,
Yogyakarta. Kelahiran itu dibantu dukun beranak bernama Mbah Kromodiryo yang juga
adalah adik kakek Sukirah, Mbah Kertoirono.
Dalam autobiografinya, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, yang disusun G.
Dwipayana, Sukirah digambarkan oleh Soeharto sebagai ibu muda yang sedang sulit
memikirkan masalah-masalah rumah tangga. Namun, banyak catatan di buku-buku sejarah
Soeharto lain yang banyak menyebutkan Sukirah sedang mengalami masalah mental yang
amat sulit.[10] Sebelum Soeharto (yang lahir 8 Juni 1921) berumur 40 hari, Sukirah harus
menghadapi talak suaminya, Kertosudiro.
Kertosudiro, seorang mantri ulu-ulu (pengatur irigasi) miskin yang kelak sebagai ayah
Soeharto, tidak memainkan peran banyak dalam kehidupan Soeharto. Bahkan, banyak
pengamat Soeharto, seperti R.E. Elson, beberapa biografer dan orang dekatnya, termasuk
mantan Menteri Penerangan yang dekat dengan Soeharto, Mashuri, meyakini bahwa
Kertosudiro bukanlah ayah kandung Soeharto.[10] Pada tahun 1974, pernah muncul
pemberitaan yang menghebohkan dari majalah gosip bernama ‘POP’ dengan liputan yang
menurunkan kisah lama yang beredar bahwa Soeharto adalah anak dari Padmodipuro, seorang
bangsawan dari trah Hamengkubowono II.[10] Soeharto kecil yang berumur 6 tahun dibuang
ke desa dan diasuh oleh Kertosudiro. Hal ini kemudian dibantah keras oleh Soeharto. Dengan
separuh murka, Soeharto mengadakan konferensi pers di Bina Graha bahwa liputan mengenai
asal usul dirinya yang anak bangsawan bisa saja merupakan tunggangan untuk melakukan
subversif. Soeharto dengan caranya sendiri ingin mengesankan bahwa dia adalah anak desa.
Ketidakjelasan asal-usul Soeharto secara genealogi sampai sekarang masih belum
terpecahkan. Namun, dari semua itu, bayi Soeharto berada di dunia dengan kondisi keluarga
yang kurang menguntungkan. Sukirah yang tertekan dan senang bertapa pernah ditemukan
hampir mati di suatu tempat karena memaksa dirinya berpuasa ngebleng (tidak makan dan
minum selama 40 hari) di suatu tempat yang tersembunyi, dan hilangnya sempat pernah
membuat panik penduduk desa Kemusuk sehingga para penduduk mencarinya.[10] Sadar
dengan kondisi Sukirah yang kurang baik, keluarga Sukirah akhirnya memutuskan untuk
menyerahkan pengurusan bayi Soeharto kepada kakak perempuan Kertosudiro.
Sukirah menikah lagi dengan Pramono dan dikaruniai tujuh anak, termasuk putra
kedua, Probosutedjo Pada bulan Oktober 1947, Soeharto didatangi oleh keluarga
Prawirowihardjo yang tidak lain merupakan paman sekaligus orang tua angkatnya. Mereka
berencana menjodohkan Soeharto dengan Raden Ayu Siti Hartinah, anak KRMT
Soemoharyomo. Soemoharyomo adalah seorang Wedana di Solo. Soeharto yang kala itu
sudah berusia 26 tahun mengaku belum memiliki calon, bahkan ia juga belum pernah
menjalin hubungan asmara dengan wanita manapun. Keluarganya khawatir jika Soeharto
bakal menjadi bujang lapuk, mengingat mereka telah lama mengenal sifat Soeharto yang
sangat pendiam, pasif dan cenderung pemalu. Akhirnya, rencana perjodohan keluarga
Prawirodihardjo tersebut berjalan dengan lancar.
Tanpa melalui proses pacaran, perkawinan antara Letnan Kolonel (Letkol) Soeharto
dengan Siti Hartinah (yang kemudian dikenal dengan Tien Soeharto) segera dilangsungkan
pada 26 Desember 1947 di Solo. Ketika itu, usia Soeharto 26 tahun, sedangkan Siti Hartinah
berusia 24 tahun. Pasangan ini dikarunia enam putra-putri, yaitu Siti Hardiyanti Hastuti
(Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Harijadi (Titiek), Hutomo
Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).
MASA REFORMASI

Prof. Dr.-Ing. Ir. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, FREng. adalah Presiden Republik
Indonesia yang ketiga. Sebelumnya, BJ Habibie menjabat sebagai Wakil Presiden Republik
Indonesia ke-7, menggantikan Try Sutrisno. BJ Habibie menggantikan Soeharto yang
mengundurkan diri dari jabatan presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Wikipedia
Kelahiran : 25 Juni 1936, Parepare
Meninggal : 11 September 2019, RSPAD GATOT Subroto, Jakarta
Masa kepresidenan : 21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999
Anak : Ilham Akbar Habibie, Thareq Kemal Habibie
Cucu : Muhammad Pasha Nur Fauzan, Nadia Sofia Fitri Dahlia, Farrah
Azizah Habibie, lainnya
Pasangan : Hasri Ainun Besari (m. 1962–2010)
Pendidikan : Universitas Aachen (1965), Universitas Aachen (1955–1960), lainnya

Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie) merupakan anak keempat dari delapan
bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo. Ayahnya
yang berprofesi sebagai ahli pertanian yang berasal dari etnis Gorontalo, sedangkan ibunya
berasal dari etnis Jawa.
Alwi Abdul Jalil Habibie (ayah dari BJ Habibie) memiliki marga "Habibie", salah satu
marga asli dalam struktur sosial Pohala'a (Kerajaan dan Kekeluargaan) di Gorontalo.
Sementara itu, R.A. Tuti Marini Puspowardojo (ibu dari BJ Habibie) merupakan anak seorang
dokter spesialis mata di Yogyakarta dan ayahnya yang bernama Puspowardjojo bertugas
sebagai pemilik sekolah.
Marga Habibie dicatat secara historis berasal dari wilayah Kabila, sebuah daerah di
Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.[17][18] Dari silsilah keluarga, kakek dari BJ
Habibie merupakan seorang pemuka agama, anggota majelis peradilan agama, serta salah satu
pemangku adat Gorontalo yang tersohor pada saat itu.[19] Keluarga besar Habibie di
Gorontalo terkenal gemar beternak sapi, memiliki kuda dalam jumlah yang banyak, serta
memiliki perkebunan kopi.
Pernikahan
Perkenalan keduanya bermula sejak masih remaja, ketika keduanya masih duduk di
bangku sekolah menengah pertama hingga berlanjut ketika bersekolah di SMA Kristen Dago
Bandung, Jawa Barat.[20] Komunikasi mereka akhirnya terputus setelah Habibie melanjutkan
kuliah dan bekerja di Jerman Barat, sementara Ainun tetap di Indonesia dan berkuliah di
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
BJ Habibie menikah dengan Hasri Ainun Besari pada tanggal 12 Mei 1962 di Rangga
Malela, Bandung. Akad nikah Habibie dan Ainun digelar secara adat dan budaya Jawa,
sedangkan resepsi pernikahan digelar keesokan harinya dengan adat dan budaya Gorontalo di
Hotel Preanger. Ketika menikah dengan Habibie, Ainun dihadapkan dengan dua pilihan,
memilih untuk tetap bekerja di rumah sakit anak-anak di Hamburg atau berperan serta
berkarya di belakang layar sebagai istri dan ibu rumah tangga. Dari pernikahan keduanya,
Habibie dan Ainun dikaruniai dua orang putra, yaitu Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal
Habibie.
Habibie belajar tentang keilmuan teknik mesin di Fakultas Teknik Universitas
Indonesia Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung) pada tahun 1954. Pada 1955–
1965, Habibie melanjutkan studi teknik penerbangan, spesialisasi konstruksi pesawat terbang,
di RWTH Aachen, Jerman Barat. Menerima gelar diploma insinyur pada 1960 dan gelar
doktor insinyur pada 1965 dengan predikat summa cum laude. Dalam ingatan masyarakat
Gorontalo, Habibie telah menerima gelar adat tertinggi dari persekutuan 5 Kerajaan Adat
Gorontalo.
Gelar adat tertinggi ini jarang diberikan kepada seseorang kecuali memiliki karya
pengabdian yang tinggi kepada tanah leluhur, agama, bangsa, dan negara, yaitu:
 Gelar adat Pulanga, "Ti Tilango Lo Madala" yang berarti Sang Cahaya Negeri
 Gelar adat Gara'i, "Ta Lopo Lolade Tilango" yang berarti Sang pemberi Cahaya dengan
ilmu yang dimilikinya"
Habibie pernah bekerja di Messerschmitt-Bölkow-Blohm, sebuah perusahaan
penerbangan yang berpusat di Hamburg, Jerman Barat. Pada tahun 1973, ia kembali ke
Indonesia atas permintaan Presiden Soeharto.
Habibie kemudian menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek)
sejak tahun 1978 sampai Maret 1998. Gebrakan BJ Habibie saat menjabat Menristek
diawalinya dengan keinginannya untuk mengimplementasikan "Visi Indonesia". Menurut
Habibie, lompatan-lompatan Indonesia dalam "Visi Indonesia" bertumpu pada riset dan
teknologi, khususnya pula dalam industri strategis yang dikelola oleh PT IPTN, PT Pindad,
dan PT PAL. Targetnya, Indonesia sebagai negara agraris dapat melompat langsung menjadi
negara industri dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sementara itu, ketika menjabat sebagai Menristek, Habibie juga terpilih sebagai Ketua
Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang pertama. Habibie terpilih secara
aklamasi menjadi Ketua ICMI pada tanggal 7 Desember 1990.
Puncak karier Habibie terjadi pada tahun 1998, di mana saat itu ia diangkat sebagai
Presiden Republik Indonesia (21 Mei 1998 - 20 Oktober 1999), setelah sebelumnya menjabat
sebagai Wakil Presiden ke-7 (menjabat sejak 14 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998) dalam
Kabinet Pembangunan VII di bawah Presiden Soeharto.
Habibie mewarisi kondisi keadaan negara kacau balau pasca pengunduran diri
Soeharto pada masa Orde Baru sehingga menimbulkan maraknya kerusuhan dan disintegerasi
hampir seluruh wilayah Indonesia. Segera setelah memperoleh kekuasaan, Presiden Habibie
segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan
dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk
program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi
kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
Pada era pemerintahannya yang singkat, ia berhasil memberikan landasan kokoh bagi
Indonesia. Pada eranya, dilahirkan UU Anti-Monopoli atau UU Persaingan Sehat, perubahan
UU Partai Politik, dan yang paling penting adalah UU Otonomi Daerah. Melalui penerapan
UU Otonomi Daerah inilah gejolak disintegrasi yang diwarisi sejak era Orde Baru berhasil
diredam dan akhirnya dituntaskan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tanpa
adanya UU Otonomi Daerah, bisa dipastikan Indonesia akan mengalami nasib sama seperti
Uni Soviet dan Yugoslavia.
Pengangkatan BJ Habibie sebagai Presiden menimbulkan berbagai macam kontroversi
bagi masyarakat Indonesia. Pihak yang pro menganggap pengangkatan Habibie sudah
konstitusional. Hal itu sesuai dengan ketentuan pasal 8 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa
"bila Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa
jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya". Sedangkan pihak yang
kontra menganggap bahwa pengangkatan BJ Habibie dianggap tidak konstitusional. Hal ini
bertentangan dengan ketentuan Pasal 9 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa "Sebelum
presiden memangku jabatan, maka presiden harus mengucapkan sumpah atau janji di depan
MPR atau DPR"
Langkah-langkah yang dilakukan BJHabibie di bidang politik adalah:
 Memberi kebebasan pada rakyat untuk menyalurkan aspirasinya sehingga banyak
bermunculan partai-partai politik baru yakni sebanyak 48 partai politik
 Membebaskan narapidana politik (napol) seperti Sri Bintang Pamungkas (mantan
anggota DPR yang masuk penjara karena mengkritik Presiden Soeharto) dan Muchtar
Pakpahan (pemimpin buruh yang dijatuhi hukuman karena dituduh memicu kerusuhan di
Medan tahun 1994)
 Mencabut larangan berdirinya serikat-serikat buruh independen
 Membentuk tiga undang-undang yang demokratis, yaitu:
 UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik
 UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu
 UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan Kedudukan MPR/ DPR
 Menetapkan 12 Ketetapan MPR dan ada 4 ketetapan yang mencerminkan jawaban dari
tuntutan reformasi, yaitu:
 Tap MPR No. VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap No. IV/MPR/1983 tentang
Referendum
 Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang
Pancasila Sebagai Asas Tunggal
 Tap MPR No. XII/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap MPR No. V/MPR/1978 tentang
Presiden mendapat mandat dari MPR untuk memiliki hak-hak dan kebijakan di luar batas
perundang-undangan
 Tap MPR No. XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil
Presiden maksimal hanya dua kali periode.
 12 Ketetapan MPR antara lain:
 Tap MPR No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi pembangunan dalam rangka
penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara
 Tap MPR No. XI/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas
korupsi, kolusi, dan nepotisme
 Tap MPR No. XIII/MPR/1998, tentang pembatasan masa jabatan presiden dan wakil
presiden Republik Indonesia
 Tap MPR No. XV/MPR/1998, tentang penyelenggaraan Otonomi daerah
 Tap MPR No. XVI/MPR/1998, tentang politik ekonomi dalam rangka demokrasi
ekonomi
 Tap MPR No. XVII/MPR/1998, tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
 Tap MPR No. VII/MPR/1998, tentang perubahan dan tambahan atas Tap MPR No.
I/MPR/1998 tentang peraturan tata tertib MPR
 Tap MPR No. XIV/MPR/1998, tentang Pemilihan Umum
 Tap MPR No. III/V/MPR/1998, tentang referendum
 Tap MPR No. IX/MPR/1998, tentang GBHN
 Tap MPR No. XII/MPR/1998, tentang pemberian tugas dan wewenang khusus kepada
Presiden/mandataris MPR dalam rangka menyukseskan dan pengamanan pembangunan
nasional sebagai pengamalan Pancasila
 Tap MPR No. XVIII/MPR/1998, tentang pencabutan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4)

Menurut pihak oposisi, salah satu kesalahan terbesar yang ia lakukan saat menjabat
sebagai Presiden ialah memperbolehkan diadakannya referendum provinsi Timor Timur
(sekarang Timor Leste). Ia mengajukan hal yang cukup menggemparkan publik saat itu, yaitu
mengadakan jajak pendapat bagi warga Timor Timur untuk memilih merdeka atau masih
tetap menjadi bagian dari Indonesia. Pada masa kepresidenannya, Timor Timur lepas dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi negara terpisah yang berdaulat pada
tanggal 30 Agustus 1999.
Kasus inilah yang mendorong pihak oposisi yang tidak puas dengan latar belakang
Habibie semakin giat menjatuhkannya. Upaya ini akhirnya berhasil saat Sidang Umum 1999,
ia memutuskan untuk tidak mencalonkan diri lagi setelah laporan pertanggungjawabannya
ditolak oleh MPR.
Pandangan terhadap pemerintahan Habibie pada era awal reformasi cenderung bersifat
negatif, tapi sejalan dengan perkembangan waktu banyak yang menilai positif pemerintahan
Habibie. Salah satu pandangan positif itu dikemukakan oleh L. Misbah Hidayat dalam
bukunya Reformasi Administrasi: Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden.
“Visi, misi dan kepemimpinan presiden Habibie dalam menjalankan agenda reformasi
memang tidak bisa dilepaskan dari pengalaman hidupnya. Setiap keputusan yang diambil
didasarkan pada faktor-faktor yang bisa diukur. Maka tidak heran tiap kebijakan yang diambil
kadangkala membuat orang terkaget-kaget dan tidak mengerti. Bahkan sebagian kalangan
menganggap Habibie apolitis dan tidak berperasaan. Pola kepemimpinan Habibie seperti itu
dapat dimaklumi mengingat latar belakang pendidikannya sebagai doktor di bidang
konstruksi pesawat terbang. Berkaitan dengan semangat demokratisasi, Habibie telah
melakukan perubahan dengan membangun pemerintahan yang transparan dan dialogis.
Prinsip demokrasi juga diterapkan dalam kebijakan ekonomi yang disertai penegakan hukum
dan ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Dalam mengelola kegiatan kabinet sehari-haripun,
Habibie melakukan perubahan besar. Ia meningkatkan koordinasi dan menghapus
egosentisme sekotral antarmenteri. Selain itu sejumlah kreativitas mewarnai gaya
kepemimpinan Habibie dalam menangani masalah bangsa.[39] Untuk mengatasi persoalan
ekonomi, misalnya, ia mengangkat pengusaha menjadi utusan khusus. Dan pengusaha itu
sendiri yang menanggung biayanya. Tugas tersebut sangat penting, karena salah satu
kelemahan pemerintah adalah kurang menjelaskan keadaan Indonesia yang sesungguhnya
pada masyarakat internasional. Sementara itu pers, khususnya pers asing, terkesan hanya
mengekspos berita-berita negatif tentang Indonesia sehingga tidak seimbang dalam
pemberitaan.”
Dr. K.H. Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur, adalah tokoh Muslim
dan politisi Indonesia yang menjadi Presiden keempat Indonesia dari tahun 1999 hingga 2001.
Ia menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
hasil Pemilu 1999. Wikipedia
Kelahiran : 7 September 1940, Denanyar
Meninggal : 30 Desember 2009, Jakarta
Anak : Yenny Wahid, Alissa Qotrunnada, Inayah Wulandari, Anita
Hayatunnufus
Masa kepresidenan : 20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001
Pasangan : Sinta Nuriyah (m. 1968–2009)
Kakek-Nenek : Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari, Bisri Syansuri, Nafiqoh
Orang tua : Abdul Wahid Hasyim, Solichah, Sholehah

Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di
Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Terdapat
kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, tetapi kalender yang digunakan untuk
menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya'ban 1359
Hijriah, sama dengan 7 September 1940.
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. "Addakhil" berarti "Sang Penakluk".
Kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", dan kemudian lebih dikenal
dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada
seorang anak kiai yang berati "abang" atau "mas".
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Gus Dur lahir dalam keluarga
yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah
K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H.
Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan.
[3] Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi
Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren
Denanyar Jombang. Saudaranya adalah Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Ia menikah
dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah.
Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa.[4]
Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah
dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan
Demak.
Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok
yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan
penelitian seorang peneliti Prancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh
Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.
Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih
menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah
organisasi yang berdiri dengan dukungan tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia.
Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke
Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.
Pada akhir perang tahun 1949, Gus Dur pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai
Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah
ke SD Matraman Perwari. Gus Dur juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan
koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Gus Dur terus tinggal di Jakarta
dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952.
Pada April 1953, ayah Gus Dur meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pendidikan Gus Dur berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah
Pertama (SMP). Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke
Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan mengaji kepada K.H. Ali Maksum di
Pondok Pesantren Krapyak dan belajar di SMP. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP,
Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia
mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam
waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren
Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri,
Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai
kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah seperti Horizon
dan Majalah Budaya Jaya.
Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk belajar
Studi Islam di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November 1963.
Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Gus Dur diberitahu oleh pihak universitas bahwa ia harus
mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu
memberikan bukti bahwa ia memiliki kemampuan bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil
kelas remedial.
Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964; ia suka menonton
film Eropa dan Amerika, dan juga menonton pertandingan sepak bola. Wahid juga terlibat
dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut. Pada akhir
tahun, ia berhasil lulus kelas remedial Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam
dan bahasa Arab tahun 1965, Gus Dur kecewa; ia telah mempelajari banyak materi yang
diberikan dan menolak metode belajar yang digunakan Universitas.
Di Mesir, Wahid dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja,
peristiwa Gerakan 30 September (G30S) terjadi. Mayor Jenderal Suharto menangani situasi di
Jakarta dan upaya pemberantasan komunis dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut,
Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap
pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan
pada Gus Dur, yang ditugaskan menulis laporan.
Gus Dur mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan metode pendidikan serta
pekerjaannya setelah G30S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa
ia harus mengulang belajar. Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di
Universitas Baghdad. Gus Dur pindah ke Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun
ia lalai pada awalnya, Gus Dur dengan cepat belajar. Gus Dur juga meneruskan
keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970,
Abdurrahman Wahid pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Gus Dur ingin
belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Universitas Baghdad
kurang diakui. dari Belanda, Gus Dur pergi ke Jerman dan Prancis sebelum kembali ke
Indonesia tahun 1971.
Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan bahwa ia akan pergi ke luar negeri lagi
untuk belajar di Universitas McGill Kanada. Ia membuat dirinya sibuk dengan bergabung ke
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) organisasi yg
terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan
majalah Prisma dan Gusdur menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Selain
bekerja sebagai kontributor LP3ES, Gusdur juga berkeliling pesantren dan madrasah di
seluruh Jawa. Pada saat itu, pesantren berusaha keras mendapatkan pendanaan dari
pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Gusdur merasa prihatin dengan
kondisi itu karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan ini.
Gusdur juga prihatin dengan kemiskinan pesantren yang ia lihat. Pada waktu yang sama
ketika mereka membujuk pesantren mengadopsi kurikulum pemerintah, pemerintah juga
membujuk pesantren sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam
perkembangan ekonomi Indonesia. Gus Dur memilih batal belajar luar negeri dan lebih
memilih mengembangkan pesantren.
Abdurrahman Wahid meneruskan kariernya sebagai jurnalis, menulis untuk majalah
dan surat kabar. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi
sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk
memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan
Jombang, tempat Gus Dur tinggal bersama keluarganya.
Meskipun memiliki karier yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit
hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan
tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es. Pada tahun 1974 Gus Dur mendapat
pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas dan segera
mengembangkan reputasi baik. Satu tahun kemudian Gus Dur menambah pekerjaannya
dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.
Pada tahun 1977, Gus Dur bergabung ke Universitas Hasyim Asy'ari sebagai dekan
Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam dan Universitas ingin agar Gus Dur mengajar subjek
tambahan seperti syariat Islam dan misiologi. Namun kelebihannya menyebabkan beberapa
ketidaksenangan dari sebagian kalangan universitas.

Anda mungkin juga menyukai