Anda di halaman 1dari 5

Nama : Muhammad Zulfan Azka azkiya

NIM : 2021.01.065

MATKUL : Tugas Mandiri Ilmu Pendidikan “ Biografi 5 Tokoh Pendidikan Dalam Negri”

1. Ki Hajar Dewantara

Tokoh ini sangat identik dengan pendidikan di Indonesia. Dia dikenal sebagai Bapak Pendidikan
Nasional.Hari lahirnya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya pun dipakai oleh
Departemen Pendidikan RI sebagai jargon, yaitu tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarsa
sung tulada (di belakang memberi dorongan, di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa, di depan
memberi teladan).

Ki Hajar Dewantara dilahirkan di Yogyakarta (2 Mei 1889) dengan nama Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat. Semasa kecilnya, RM Soewardi Soeryaningrat sekolah di ELS (SD Belanda). Kemudian,
ia melanjutkan ke STOVIA (sekolah dokter bumiputra), namun tidak tamat. Setelah itu, dia bekerja
sebagai wartawan di Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja
Timoer, dan Poesara. Tulisan-tulisannya sangat tajam dan patriotik sehingga membangkitkan semangat
antipenjajahan.

Selain menjadi wartawan, RM Soerwardi Soeryaningrat juga aktif di organisasi sosial dan politik
Tahun 1908 ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo. Kemudian, bersama Douwes Dekker dan dr. ipto
Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (25 Desember 1912) yang bertujuan mencapai ndonesia
merdeka. Namun partai ini ditolak oleh pemerintah Belanda.

Kemudian, ia dan kawan-kawannya membentuk Komite Bumipoetra (1913) untuk melancarkan


kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda
dari penjajahan Prancis. Untuk membiayai pesta tersebut Pemerintah Belanda menarik uang dari rakyat
jajahannya.RM Soewardi Soeryaningrat mengkritik lewat tulisannya “Als Ik Eens Nederlander Was”
(Seandainya Aku Seorang Belanda) dan “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” (Satu untuk Semua,
tetapi Semua untuk Satu Juga).

Akibat tulisannya itu, RM Soerwardi Soeryaningrat dijatuhi hukuman buang ke Pulau Bangka
oleh Gubernur Jenderal Idenburg tanpa proses pengadilan. Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo
yang merasa rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil menerbitkan tulisan untuk membela
Soewardi.Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memberontak pada pemerinah
kolonial.Akibatnya, keduanya pun terkena hukuman buang, Douwes Dekker ke Kupang dan Cipto
Mangoenkoesoemo ke Banda.

Hukuman itu ditolak, mereka meminta untuk dibuang ke Negeri Belanda agar bisa
belajar.Keinginan tersebut diterima dan mereka diizinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai
bagian dari pelaksanaan hukuman.Selama di negara kincir angin tersebut, Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte dan kembali ke tanah air pada 1918.
Sekembalinya ke tanah air, bersama rekan-rekannya, RM Soewardi Soeryaningrat mendirikan
Perguruan Nasional Tamansiswa (3 Juli 1922).Perguruan ini mendidik para siswanya untuk memiliki
nasionalisme sehingga mau berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Demi memuluskan langkahnya
langkahnya, RM Soewardi Soeryaningrat pun berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara.
Sebagaiseorang bangsawan yang berasal dari lingkungan Kraton Yogyakarta dan dengan gelar RM di
depan namanya, dia kurang leluasa bergerak.

Aktivitas Tamansiswa pun ditentang oleh Pemerintah Belanda melalui Ordonasi Sekolah Liar
pada 1932.Dengan gigih RM Soewardi Soeryaningrat pun berjuang hingga ordonansi itu dicabut.Sambil
mengelola Tamansiswa, RM Soewardi Soeryaningrat tetap rajin menulis.Namun bukan lagi soal politik,
melainkan soal pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan.Melalui tulisan-tulisan itulah dia
berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

Tahun 1943, ketika Jepang menduduki Indonesia, Ki Hajar Dewantara bergabung ke Pusat
Tenaga Rakyat (Putera).Di organisasi tersebut, dia menjadi salah seorang pimpinan bersama Soekarno,
Muhammad Hatta, dan K.H. Mas Mansur. Setelah Indonesia merdeka, ia pun dipercaya menjabat Menteri
Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang pertama. Berbagai aktivitasnya dalam memperjuangkan
pendidikan di tanah air sebelum hingga Indonesia merdeka tersebut, membuatnya dianugerahui gelar
doktor kehormatan oleh Universitas Gadjah Mada (1957).

Ki Hajar Dewantara meninggal pada 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di Kampung
Celeban (Yogyakarta).Kemudian, atas jasa-jasanya, pendiri Taman siswa itu ditetapkan sebagai Pahlawan
Pergerakan Nasional.Ki Hajar Dewantara pun mendapat gelar Bapak Pendidikan Nasional dan tanggal
kelahirannya, 02 Mei, ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.

2. Kiai Hasyim Asy’ari

Kiai Hasyim Asy’ari Lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 (24
Dzulkaidah 1287 H). Meninggal pada tanggal 25 Juli 1947. Ayah dan Ibunya bernama Kiai Asy’ari dan
Halimah. Pendidikan yang ditempuhnya adalah: Pesantren Gedang, Pesantren Keras, selatan Jombang,
Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), dan
Pesantren Trenggilis (Semarang).

Karier yang pernah dijalani adalah sebagai Pendiri Pesantren Tebuireng (1899), salah satu Pendiri
Nahdhatul Ulama, 31 Januari 1926), dan Tokoh Pembaharuan Pesantren.

Adapun penghargaan yang diterimanya antara lain: Pahlawan Kemerdekaan Nasional (SK
Pesiden RI No. 294 Tahun 1964 tanggal 17 November 1964).

3. Ahmad Dahlan

KH. Ahmad Dahlan dilahirkan di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868 dengan nama kecil
Muhammad Darwis. Beliau adalah putra keempat dari tujuh bersaudara pasangan KH. Abu Bakar
(seorang ulam dan khatib terkemuka mesjid besar Kesultanan Yogyakarta dan Nyai Abu Bakar (putri dari
H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga. Dalam silsilah, disebutkan bahwa beliau
masih keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim.
Sebagai seorang anak ulama, KH. Ahmad Dahlan yang memiliki nama kecil Muhammad Darwis
sudah belajar agama dan bahasa Arab kepada sang ayah. Setelah belajar agama di kampungnya, beliau
melanjutkan sekolah ke Mekah setelah sang xayah menyuruh menunaikan rukun Islam kelima tahun
1883.

Saat berangkat ke Mekah untuk menuaikan haji, Muhammad Darwis masih berumur 15 tahun.
Beliau sempat bermukim di Mekah selama lima tahun untuk memperdalam ilmu agama seperti qira’at,
tauhid, tafsir, fikih, ilmu mantiq dan ilmu falak. Setelah kembali dari Mekah pada tahun 1902, beliau
berganti nama menjadi Haji Ahmad Dahlan.

Satu tahun kemudian, beliau berkesempatan untuk memperdalam ilmu agama lagi di Mekah.Dari
sini, beliau banyak belajar mengenal pemikiran para pembaharu Islam. Antara lain Ibnu Taimiyah,
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha.

13 Septembar 1904, Kartini meninggal pada usia yang masih muda, 25 tahun dan dimakamkan di
Rembang. Untuk menghormatinya, Van Deventer, seorang tokoh politik Etis, mendirikan Yayasan
Kartini (1912). Yayasan tersebut bertugas mengelola “Sekolah Kartini” yang didirikan di Semarang,
Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya.

4. RA. Dewi Sartika (1884-1947):

Dewi Sartika dilahirkan di keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dengan Raden
Somanagara.Meskipun bertentangan dengan adat waktu itu, ayah-ibunya bersikukuh menyekolahkan
Dewi Sartika di sekolah Belanda.Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika diasuh oleh pamannya (kakah
ibunya) yang menjadi patih di Cicalengka. Oleh pamannya itu, ia mendapatkan pengetahuan mengenai
kebudayaan Sunda, sementara wawasan kebudayaan Barat didapatkannya dari seorang nyonya Asisten
Residen berkebangsaan Belanda.

Sedari kecil , Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih
kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di
sekolah, belajar baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik
kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.

Waktu itu, Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh
kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak
pembantu kepatihan.Gempar, karena waktu itu belum ada anak (apalagi anak rakyat jelata) yang memiliki
kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.

Setelah remaja, Dewi Sartika kembali lagi kepada ibunya di Bandung.Jiwanya yang telah dewasa
semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati
Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki
oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang
kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir.Namun karena
kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan
diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, beliau memiliki
visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru di sekolah Karang Pamulang, yang saat itu
merupakan sekolah Latihan Guru.

Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan.Di sebuah ruangan
kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya
yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis dan sebagainya, menjadi materi
pelajaran saat itu Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi
Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga
orang : Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi.Oewid.Murid-murid angkatan
pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.

Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan
Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta
bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, bahasa sundabisa
lebih mememenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri,
terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan
Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari
seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti
menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah
Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke
Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan
lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa
yang berdiri di kota kewedanaan.

Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah
berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi “Sakola Raden Déwi”. Atas jasanya dalam
bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu
upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon – Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga
tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar,
Bandung.

5.Seto Mulyadi

Seto Mulyadi atau biasa dipanggil Kak Seto di lahir di Klaten, 28 Agustus 1951. Kak
Seto pertama kali memulai karier sebagai guru sejak 4 April 1970. Kala itu, Kak Seto diangkat
menjadi guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan mendampingi Pak Kasur di PAUD Kebun
Kanak-kanan Situ Lembang di Jakarta Pusat. Pada tahun 2007, Kak Seto mendirikan sekolah
alternatif bernama Homeschooling Kak Seto atau HSKS yang merupakan lembaga pendidikan
alternatif sebagai salah satu solusi pendidikan bagi anak-anak Indonesia.
Selain itu kiprahnya di dunia pendidikan dan perlindungan hak anak membuat Kak Seto
makin diakui di tingkat nasional dan internasional lewat berbagai penghargaan yang diterimanya,
di antaranya dari Sekjen PBB Javier Perez berupa penghargaan “Peace Messenger Award”, New
York, pada 1987, dan Orang Muda Berkarya tingkat Dunia, di Amsterdam pada 1987.

Anda mungkin juga menyukai