2. Ki Hadjar Dewantara
Nomor urut kedua tokoh pendidikan Indonesia adalah Raden Mas Soewardi
Soerjaningrat atau lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara, beberapa
menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro; lahir di
Yogyakarta, 2 Mei 1889 meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur
69 tahun, beliau adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia,
kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari
zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa,
suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi
jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi
maupun orang-orang Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari
Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, TUT WURI
HANDAYANI, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia.
Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia,
KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan
20.000 rupiah tahun emisi 1998.
Di urutan ketiga adalah Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis
(lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 meninggal di Yogyakarta, 23 Februari
1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia
adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar.
KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar
Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan
adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun.
Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiranpemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani,
Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya
tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua
tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang
juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia
mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah
Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup
berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi wiraswasta
yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai
gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan
dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat
mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat
Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah
untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Ahmad
Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal
menurut tuntunan agama Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia
untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan
ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912. Dan sejak awal
Di urutan ke empat adalah Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat
disebut Raden Ayu Kartini, beliau lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879
dan meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25
tahun. R.A Kartini adalah seorang tokoh pendidikan perempuan dari suku
Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor
kebangkitan perempuan pribumi.
5.Dewi Sartika
Sebelum masa kolonialisme berlangsung, sejarah bendera merah putih sudah pernah
ditorehkan oleh kerajaan-kerajaan kuno Indonesia pada masa itu. Beberapa orang
percaya bahwa Sang Saka Merah Putih diambil berdasarkan warna kerajaan
Majapahit. Selain itu moto nasional juga dipercaya merupakan saduran dari puisi
Jawa kuno berjudul Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular dari
Majapahit. Sebelum Majapahit, dikabarkan bahwa ada bendara merah putih yang
dikibarkan pada tahun 1292 dimana saat itu terjadi perang antara Jayakatwang
melawan Kertanegara.
Penggunaan bendera merah putih di Kerajaan Majapahit tertulis dalam buku karangan
Mpu Prapanca yang berjudul Negarakertagama dimana pada buku tersebut
diceritakan bahwa bendera merah putih sudah menjadi benda sakral yang selalu
digunakan setiap ada upacara hari kebesaran raja Hayam Wuruk saat ia berkuasa di
tahun 1350 hingga 1389. Mpu Prapanca juga berpendapat bahwa bagi Majapahit,
warna merah dan putih adalah warna yang mulia. Hal ini ia simpulkan karena gambar
yang ada pada kereta milik para raja yang menghadiri upacara-upacara besar selalu
dihiasi dengan gambar berwarna merah.
Selain Majapahit dan Singosari, bendera perang yang dimiliki Sisingamangaraja IX
yang berasal dari Batak juga memilih warna merah putih sebagai panji perangnya,
dimana bentuknya adalah bendera dengan latar warna merah dan putih, serta pedang
ganda yang juga berwarna putih. Dua pedang yang digambarkan pada bendera
tersebut melambangkan pusaka milik keturunan Sisingamangaraja, yaitu Piso Gaja
Dompak.
Sejarah bendera merah putih pra-penjajahan Belanda terjadi juga di Aceh dimana
ketika itu para pejuang aceh menggunakan bendera berwarna merah putih dengan
corak pedang, matahari, bulan sabit, ayat suci Quran, dan matahari. Di Bugis,
bendera merah putih mereka kenal dengan nama Woromporang dan merupakan
simbol kebesaran dan kekuasaan kerajaan mereka. Begitu juga saat perang
Diponegoro yang saat itu menggunakan bendera merah dan putih saat melawan
Belanda pada tahun 1825 hingga 1830.
Di Minangkabau, terdapat sebuah Kitab Tembo Alam, dimana kitab tersebut
merupakan salinan tahun 1840 dari kitab yang sudah lebih berumur. Kitab tersebut
menuliskan bahwa bendera alam Minangkabau juga memiliki warna dasar merah dan
putih, ditambah dengan warna hitam. Konon bendera ini adalah peninggalan kerajaan
Minangkabau di abad ke-14 saat diperintah oleh Maharaja Adityawarman. Warna
merah adalah warna hubalang, menggambarkan orang-orang yang menjalankan
perintah. Warna putih adalah warna agama yang menggambarkan para alim ulama.
Dan warna hitam adalah warna adat Minangkabau, yang melambangkan penghulu
adat Minangkabau.
Zaman Penjajahan
Pada Oktober 1908, Budi Utomo sebagai gerakan nasionalis pertama dibentuk, dan
menyusul 4 tahun kemudian dibentuklah Sarekat Islam sebagai gerakan massa
pertama yang terbentuk. Pada bulan Desember 1912, Sarekat Islam sudah memiliki
lebih dari 90.000 anggota, dimana jumlah yang sangat banyak ini membuat Belanda
ketakutan dan melakukan opresi besar-besaran terhadap gerakan-gerakan nasionalis
yang memiliki banyak anggota. Para pemimpin dari gerakan-gerakan nasionalis
tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah orang-orang yang telah menuntut ilmu di
Belanda dan diracuni dengan bumbu-bumbu manis kemerdekaan ala barat. Pada masa
Sekian dulu ya ulasan singkat mengenai kisah sejarah bendera merah putih, semoga
artikel yang kami berikan dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita semua
tentang sejarah serta menumbuhkan rasa nasionalisme yang tinggi terhadap sebagai
warga negara Indonesia.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan
politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk
mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu
mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang
beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan
mencapai Indonesia merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum
pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui
Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan
menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah
karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan
menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun
ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus
sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa
Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda
yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan
Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan
tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul
Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen
maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan
Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr.
Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta
kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar
dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk
menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan
sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu!
Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan
sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut
mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral
Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman
internering (hukum buang) yaitu
sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang
untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan
diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela
Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk
memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga
terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto
Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa
memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke
Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.
Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran,
sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche
Akte.
Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan
perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih
kemerdekaan.
Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun
mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat
menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai
bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah
kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah