Anda di halaman 1dari 34

Raden Dewi Sartika

Nama Lengkap : Raden Dewi Sartika


Profesi : Pahlawan Nasional
Agama : Islam
Tempat Lahir : Bandung
Tanggal Lahir : Kamis, 4 Desember 1884

BIOGRAFI

Raden Dewi Sartika adalah putri pasangan raden Somanegara dan Raden Ayu Permas. Ayahnya
adalah seorang patih di Bandung yang sangat Nasionalis. Ketika ayah dan ibunya ditangkap dan
diasingkan ke ternate (Maluku), lalu dia dititipkan pada pamannya, Patih Aria yang tinggal di
Cicalengka. Dewi lahir di Bandung, 4 Desember 1884, dia adalah tokoh perintis pendidikan
untuk kaum perempuan. Diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun
1966

Dewi Sartika amat gigih dalam memperjuangkan nasib dan harkat kaum perempuan. Pada 16
Januari 1904, dia mendirikan sekolah istri atau sekolah untuk perempuan di bandung. Pada tahun
1910, sekolah istri berganti nama menjadi sakola kautamaan istri.  Sekolah Istri tersebut terus
mendapat perhatian positif dari masyarakat. Murid- murid bertambah banyak, bahkan ruangan
Kepatihan Bandung yang dipinjam sebelumnya juga tidak cukup lagi menampung murid-murid.
Untuk mengatasinya, Sekolah Istri pun kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Seiring
perjalanan waktu, enam tahun sejak didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit
diperbarui menjadi Sekolah Keutamaan Istri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata
pelajaran juga bertambah.

Kemudian pada 1913, berdiri pula organisasi kautamaan istri di tasikmalaya. Organisasi ini
menaungi sekolah-sekolah yang didirikan oleh dewi sartika. Pada tahun 1929, sakola kautamaan
istri diubah namanya menjadi Sakolah Raden Dewi dan oleh pemerintah Hindia Belanda
dibangunkan sebuah gedung baru yang besar dan lengkap.

Dia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang
baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang berhubungan
dengan pembinaan rumah tangga banyak diberikannya. Untuk menutupi biaya operasional
sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi
beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya. Salah satu
yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari Raden
Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudkan
perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran.

Pada tahun 1947, akibat agresi militer Belanda, Dewi Sartika ikut mengungsi bersama-sama para
pejuang yang terus malakukan perlawanan terhadap Belanda untuk mempertahankan
kemerdekaan. Saat mengungsi inilah, tepatnya tanggal 11 september 1947, Dewi sartika yang
sudah lanjut usia wafat di Cinean, Jawa Barat. Setelah keadaan aman, makamnya dipindahkan ke
Bandung.
Biografi Rahmah El Yunusiyah

Kelahiran: 20 Desember 1900, Kota Padang Panjang


Meninggal: 26 Februari 1969, Kota Padang Panjang
Lahir: 26 Oktober 1900; Nagari Bukit Surungan, Padang Panjang, Hindia Belanda
Dikenal atas: Pendiri Diniyah Putri
Orang tua: Muhammad Yunus (ayah); Rafia (ibu)

Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyah adalah salah satu pahlawan wanita milik
bangsa Indonesia, yang dengan hijab syar'i-nya tak membatasi segala aktifitas dan semangat
perjuangannya.

Rahmah, begitu ia biasa dipanggil, adalah seorang guru, pejuang pendidikan, pendiri sekolah
Islam wanita pertama di Indonesia, aktifis kemanusiaan, anggota parlemen wanita RI, dan
pejuang kemerdekaan Republik Indonesia.

Beliau adalah seorang reformator pendidikan Islam dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia
merupakan pendiri Diniyah Putri, perguruan yang saat ini meliputi taman kanak-kanak hingga
sekolah tinggi. Ia memelopori pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di
Padangpanjang, menjamin seluruh perbekalan dan membantu pengadaan alat senjata mereka
sewaktu Revolusi Nasional Indonesia.

Rahmah sempat belajar di Diniyah School yang dipimpin abangnya, Zainuddin Labay El
Yunusy. Tidak puas dengan sistem koedukasi yang mencampurkan pelajar putra dan putri,
Rahmah secara inisiatif menemui beberapa ulama Minangkabau (Abdul Karim Amrullah) untuk
mendalami agama, hal tidak lazim bagi seorang perempuan pada awal abad ke-20 di
Minangkabau. Ia mempelajari berbagai ilmu praktis secara privat yang kelak ia ajarkan kepada
murid-muridnya. Dengan dukungan abangnya, ia merintis Diniyah Putri pada 1 November 1923
yang tercatat sebagai sekolah agama Islam perempuan pertama di Indonesia.

Sewaktu pendudukan Jepang, Rahmah memimpin Hahanokai di Padangpanjang untuk membantu


perwira Giyugun. Pada masa perang kemerdekaan, ia memelopori berdirinya TKR di
Padangpanjang dan mengerahkan muridnya ikut serta melawan penjajah walaupun dengan
kesanggupan mereka dalam menyediakan makanan dan obat-obatan. Ia ditangkap oleh Belanda
pada 7 Januari 1949 dan ditahan. Dalam pemilu 1955, Rahmah terpilih sebagai anggota DPR
mewakili Masyumi, tetapi tidak pernah lagi menghadiri sidang setelah ikut bergerilya
mendukung Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Keberadaan Diniyah Putri kelak menginspirasi Universitas Al-Azhar membuka Kulliyatul Lil
Banat, fakultas yang dikhususkan untuk perempuan. Dari Universitas Al-Azhar, Rahmah
mendapat gelar kehormatan "Syaikhah"—yang belum pernah diberikan sebelumnya—sewaktu ia
berkunjung ke Mesir pada 1957, setelah dua tahun sebelumnya Imam Besar Al-Azhar
Abdurrahman Taj berkunjung ke Diniyah Putri. Di Indonesia, pemerintah menganugerahkannya
tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana secara anumerta pada 13 Agustus 2013.
Cut Nyak Dien

Nama Lengkap : Cut Nyak Dien


Profesi : Pahlawan Nasional
Agama : Islam
Tempat Lahir : Lampadang, Aceh
Tanggal Lahir : Selasa, 0 -1 1848
Warga Negara : Indonesia
Suami : Teuku Cek Ibrahim Lamnga, Teuku Umar

BIOGRAFI

Tjoet Njak Dhien merupakan pahlawan nasional wanita Indonesia asal Aceh. Ia berasal dari
keluarga bangsawan yang agamis di Aceh Besar. Ketika usianya menginjak 12 tahun, Tjoet Njak
Dhien dinikahkan dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga yang juga berasal dari keluarga
bangsawan.

Semenjak Belanda menyerang Aceh untuk pertama kalinya pada tanggal 26 Maret 1873,
semangat Tjoet Njak Dhien untuk memerangi pasukan kolonial Belanda mulai timbul. Peristiwa
gugurnya Teuku Cek Ibrahim Lamnga dalam peperangan melawan Belanda pada tanggal 29 Juni
1878 semakin menyulut kemarahan dan kebencian wanita pemberani ini terhadap kaum penjajah
tersebut. Ia kemudian menikah lagi dengan Teuku Umar yang juga merupakan pahlawan
nasional Indonesia di tahun 1880.
Awalnya Tjoet Njak Dhien menolak pinangan Teuku Umar, tetapi ia akhirnya setuju untuk
menikah dengan pria yang masih memiliki garis kekerabatan dengan dirinya ini setelah Teuku
Umar menyanggupi keinginannya untuk ikut turun ke medan perang. Ia sangat ingin
mengenyahkan Belanda dari bumi Aceh dan menuntut balas atas kematian suaminya terdahulu.

Bersama dengan Teuku Umar dan para pejuang Aceh lainnya, Tjoet Njak Dhien pun gencar
melakukan serangan terhadap Belanda. Dalam masa perjuangan tersebut, Tjoet Njak Dhien
sempat mendapat makian dari Tjoet Njak Meutia yang juga pejuang wanita dari Aceh lantaran
keputusan suaminya, Teuku Umar, menyerahkan diri pada Belanda dan bekerja sama dengan
mereka. Padahal Teuku Umar tidak benar-benar menyerahkan diri pada Belanda. Hal ini ia
lakukan sebagai taktik untuk mendapatkan peralatan perang Belanda. Setelah niatnya terlaksana
dan ia kembali pada Tjoet Njak Dhien dan para pengikutnya, Belanda yang merasa telah
dikhianati oleh Teuku Umar melancarkan operasi besar-besaran untuk memburu pasangan
suami-istri tersebut. Teuku Umar pun akhirnya gugur dalam pertempuran di Meulaboh pada
tanggal 11 Februari 1899.

Sepeninggal suaminya, Tjoet Njak Dhien masih meneruskan perlawanan kepada Belanda.
Namun, sakit encok yang dideritanya dan kondisi matanya yang mulai rabun membuat para
pengawalnya merasa kasihan dan akhirnya membuat kesepakatan dengan Belanda bahwa Tjoet
Njak Dhien boleh ditangkap asalkan diperlakukan secara terhormat, bukan sebagai penjahat
perang.

Setelah Belanda menyetujui kesepakatan ini, Tjoet Njak Dhien pun akhirnya ditangkap dan
dibawa ke Banda Aceh. Ia kemudian dibuang ke Sumedang tanggal 11 Desember 1905 dan
menghembuskan napas terakhirnya di sana tanggal 6 November 1908. Jenazah Tjoet Njak Dhien
kemudian dikebumikan di Gunung Puyuh, Sumedang.  
Rasuna Said

Kelahiran: 14 September 1910, Hindia Belanda

Meninggal: 2 November 1965, Jakarta

Pendidikan: Pondok Pesantren Perguruan Diniyyah Puteri

Anak: Auda Zaschkya Duski

Hajjah Rangkayo Rasuna Said adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia yang telah
menerima penghargaan sebagai pahlawan nasional Indonesia dari pemerintah. Ia merupakan
pejuang yang dengan gigih memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan,
sama seperti perjuangan yang dilakukan oleh Ibu Kartini. HR Rasuna Said dikenal sebagai sosok
yang berkemauan keras dan memiliki pengetahuan yang luas.

Pada masa kecilnya, ia telah mengenyam pendidikan Islam di pesantren. Pada saat sekolah
inilah, ia pernah menjadi satu-satunya santri perempuan. Sejak saat itu, Rasuna Said sangat
memperhatikan kemajuan dan pendidikan bagi kaum perempuan. Ia menilai bahwa perjuangan
tersebut tidak hanya bisa dilakukan melalui jalur pendidikan, namun bisa dilakukan juga dengan
perjuangan politik. Kemudian, ia memulai perjuangannya untuk membela kaum perempuan
dengan bergabung di Sarekat Rakyat sebagai sekretaris cabang.
Setelah itu, ia menjadi anggota Persatuan Muslim Indonesia. Karena kemampuan dan cara
pikirnya yang sangat kritis, ia sempat ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah Belanda pada
tahun 1932. Rasuna Said juga tercatat sebagai wanita pertama yang terkena hukum Speek Delict,
yaitu hukum pemerintahan Belanda yang menyatakan bahwa siapapun dapat dihukum karena
berbicara menentang Belanda.

Pada masa penjajahan Jepang, Rasuna Said merupakan salah satu pendiri organisasi pemuda
Nippon Raya. Dalam karir politiknya, HR Rasuna Said pernah menjabat sebagai DPR RIS dan
kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung sejak tahun 1959 sampai meninggal.
Rasuna Said diangkat sebagai salah satu pahlawan nasional berdasarkan Surat Keputusan
Presiden R.I. No. 084/TK/Tahun 1974 tanggal 13 Desember 1974. Untuk mengenang jasanya
dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, nama HR Rasuna Said diabadikan sebagai
salah satu nama jalan protokol di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
R.A Kartini

Kelahiran: 21 April 1879, Jepara


Meninggal: 17 September 1904, Kabupaten Rembang
Pasangan: Raden Adipati Joyodiningrat (m. 1903–1904)
Pendidikan: Europeesche Lagere School
Anak: Soesalit Djojoadhiningrat

Raden Adjeng Kartini atau Raden Ayu Kartini merupakan sosok wanita pribumi yang dilahirkan
dari keturunan bangsawan anak ke 5 dari 11 bersaudara ini merupakan sosok wanita yang sangat
antusias dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Kartini sangat gemar membaca dan
menulis,tapi sangat di sayangkan orang tuanya mengharuskan Kartini menimba ilmu hanya
sampai sekolah dasar karena harus dipingit tetapi karena tekad bulat kartini untuk mencapai cita
citanya, Kartini mulai mengembangkan dengan belajar menulis dan membaca bersama teman
sesama perempuannya, saat itu juga Kartini juga belajar bahasa Belanda.

Kartini tidak pernah patah semangat,dengan rasa keingintahuan yang sangat besar, kartini ingin
selalu membaca surat surat kabar, buku buku dan majalah eropa dari situlah terlintas ide untuk
memajukan wanita wanita Indonesia dari segala keterbelakangan.ditambah dengan
kemampuannya berbahasa Belanda, Kartini juga surat menyurat dengan korespondensi dari
Belanda.
Sempat terjadi surat menyurat antara Kartini dan Mr.J.H Abendanon untuk pengajuan beasiswa
di negeri Belanda, tetapi semua itu tidak pernah terjadi dikarenakan Kartini harus menikah pada
12 November 1903 dengan Raden Adipati Joyodiningrat yang pernah menikah 3 kali.
Perjuangan Kartini tidak berhenti setelah menikah, beruntung Kartini memiliki suami yang selalu
mendukung akan cita citanya untuk memperjuangkan pendidikan dan martabat kaum perempuan,
dari situlah Kartini mulai memperjuangkan untuk didirikannya sekolah Kartini pada tahun 1912
di Semarang. Pendirian sekolah wanita tersebut berlanjut di Surabaya, Jogjakarta, Malang,
Madiun, Cirebon. Sekolah kartini didirikan oleh yayasan kartini, adapun yayasan Kartini sendiri
didirikan oleh keluarga Van Deventer dan Tokoh Politik etis.

Kartini meninggal Selang beberapa hari setelah melahirkan anak pertama bernama R.M Soesalit
pada 13 September 1904, tepatnya 4 hari setelah kelahiran R.M Soesalit, saat itu usia Kartini
masih telatif muda di usia 25 tahun.
Setelah kematian Kartini, seorang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda
Mr.J.H Abendanon mulai membukukan surat menyurat kartini dengan teman temannya di eropa
dengan judul  “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah
Terang”.
Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita
dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan
dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu.
Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu
diskriminasi.
Roehana Koeddoes

Kelahiran: 20 Desember 1884, Koto Gadang


Meninggal: 17 Agustus 1972, Jakarta
Lahir: Siti Roehana; 20 Desember 1884; Koto Gadang, Agam, Sumatra Barat, Hindia Belanda
Pasangan: Abdoel Koeddoes
Kerabat: Soetan Noeralamsjah; Soetan Sjahrir (adik tiri); Agoes Salim (sepupu); Chairil
Anwar (kemenakan)
Saudara kandung: Sutan Syahrir
Orang tua: Mohammad Rasjad, Kiam

Roehana Koeddoes 20 Desember 1884 – 17 Agustus 1972) adalah wartawati pertama


Indonesia.[3] Pada 1911, Ruhana mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di Koto
Gadang. Sembari aktif di bidang pendidikan yang disenanginya, Ruhana menulis di surat kabar
perempuan, Poetri Hindia. Ketika dibredel pemerintah Hindia-Belanda, Ruhana berinisiatif
mendirikan surat kabar, bernama Sunting Melayu, yang tercatat sebagai salah satu surat kabar
perempuan pertama di Indonesia.[4] Roehana hidup pada zaman yang sama dengan Kartini, ketika
akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi.

Ia dilahirkan sebagai Siti Ruhana pada tanggal 20 Desember 1884 di desa (nagari) Koto
Gadang, Kabupaten Agam, di pedalaman Sumatra Barat, Hindia Belanda.  Ayahnya Mohammad
Rasjad Maharadja Soetan adalah kepala jaksa Karesidenan Jambi dan kemudian Medan. Ruhana
adalah saudara tiri Sutan Sjahrir, dan sepupu Agus Salim, baik intelektual dan politisi penting
dalam gerakan kemerdekaan Indonesia.[6] Dia juga bibi (mak tuo) penyair Indonesia Chairil
Anwar. Ruhana cerdas meski tidak mengenyam pendidikan formal. Dia sering belajar dengan
ayahnya, yang mengajarinya membaca dan studi bahasa. Ketika ayahnya ditugaskan di Alahan
Panjang, Sumatera Barat, dia meminta tetangganya (termasuk istri jaksa lain) untuk
mengajarinya membaca dan menulis dalam aksara Jawi dan Latin, dan keterampilan rumah
tangga seperti membuat renda.[5][1][7][8] Setelah kematian ibunya pada tahun 1897, ia kembali ke
Koto Gadang dan menjadi semakin tertarik untuk mengajar gadis-gadis di sana untuk belajar
kerajinan tangan dan membaca Al-Qur'an, meskipun ia sendiri masih anak-anak.[5][9]
Roehana adalah seorang perempuan yang mempunyai komitmen yang kuat pada pendidikan
terutama untuk kaum perempuan. Pada zamannya Roehana termasuk salah satu dari segelintir
perempuan yang percaya bahwa diskriminasi terhadap perempuan, termasuk kesempatan untuk
mendapat pendidikan adalah tindakan semena-semena dan harus dilawan. Dengan kecerdasan,
keberanian, pengorbanan serta perjuangannya Roehana melawan ketidakadilan untuk perubahan
nasib kaum perempuan.[butuh rujukan]
Walaupun Roehana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun ia rajin belajar dengan
ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda yang selalu membawakan Roehana bahan bacaan
dari kantor. Keinginan dan semangat belajarnya yang tinggi membuat Roehana cepat menguasai
materi yang diajarkan ayahnya. Dalam Umur yang masih sangat muda Roehana sudah bisa
menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda. Selain itu ia juga belajar abjad Arab, Latin,
dan Arab-Melayu. Saat ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang, Roehana bertetanga dengan
pejabat Belanda atasan ayahnya. Dari istri pejabat Belanda itu Roehana belajar menyulam,
menjahit, merenda, dan merajut yang merupakan keahlian perempuan Belanda. Disini ia juga
banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup, dan
pendidikan di Eropa yang sangat digemari Roehana.

Wafat dan Penghargaan


Roehana Koeddoes meninggal di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1972, 27 tahun pada Hari
Kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak.
Pada tahun 1974, pemerintah daerah Sumatera Barat memberikan penghargaan kepadanya
sebagai Wartawati Pertama. Ia juga mendapatkan penghargaan sebagai Perintis Pers Indonesia
pada tahun 1987 dan Bintang Jasa Utama pada tahun 2007.
Sejak 7 November 2019, pemerintah Indonesia mendeklarasikan Roehana Koeddoes sebagai
Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 120/TK/2019 dan diberikan
kepada cucunya sebagai ahli waris pada hari berikutnya. Dua tahun kemudian, dia dirayakan
di Google Doodle.
Martha Christina Tiahahu

Kelahiran: 4 Januari 1800, Hindia Belanda


Meninggal: 2 Januari 1818, Laut Banda
Lahir: 4 Januari 1800; Abubu, Nusa Laut, Maluku, Hindia Belanda
Penghargaan: National Hero of Indonesia
Monumen: patung di Ambon, Maluku; patung di Abubu
Orang tua: Paulus Tiahahu, Sina

Martha Christina Tiahahu (4 Januari 1800 – 2 Januari 1818) adalah seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau
Nusalaut. Lahir sekitar tahun 1800 dan pada waktu mengangkat senjata melawan penjajah Belanda berumur 17
tahun. Ayahnya adalah Kapitan Paulus Tiahahu, seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga
pembantu Thomas Matulessy dalam Perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda.[1]
Martha Christina Tiahahu tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang berani dimana ketika ia terjun
dalam medan pertempuran melawan tentara kolonial Belanda dalam Perang Pattimura tahun 1817, saat itu ia
masih remaja. Keberanian dan konsekuennya sangat terkenal dikalangan pejuang, masyarakat luas, bahkan
para musuh.
Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dan pantang mundur. Dengan rambutnya yang panjang
terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang (merah) ia tetap mendampingi ayahnya dalam
setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua. Siang dan malam ia selalu hadir dan ikut
dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat
kepada kaum wanita di negeri-negeri agar ikut membantu kaum pria di setiap medan pertempuran sehingga
Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang.
Di dalam pertempuran yang sengit di Desa Ouw – Ullath jasirah tenggara Pulau Saparua yang tampak betapa
hebat srikandi ini menggempur musuh bersama para pejuang rakyat. Namun akhirnya karena tidak seimbang
dalam persenjataan, tipu daya musuh dan pengkhianatan, para tokoh pejuang dapat ditangkap dan menjalani
hukuman. Ada yang harus mati digantung dan ada yang dibuang ke Pulau Jawa. Kapitan Paulus Tiahahu
divonis hukum mati tembak. Martha Christina Tiahahu berjuang untuk melepaskan ayahnya dari hukuman
mati, tetapi ia tidak berdaya dan meneruskan bergerilyanya di hutan, tetapi akhirnya tertangkap dan hendak
diasingkan ke Pulau Jawa. Saat itulah ia jatuh sakit, namun ia menolak diobati oleh orang Belanda.
Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan penghormatan militer
jasadnya diluncurkan di Laut Banda tepatnya di antara Pulau Buru dan Pulau Manipa pada tanggal 2 Januari
1818. Untuk menghargai jasa dan pengorbanannya, Martha Christina Tiahahu dikukuhkan sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Inyiak Upiak Palatiang

Inyiak Upiak Palatiang (lahir di Dusun Kubu Gadang, Nagari IV Koto, Kecamatan


Batipuah, Tanah Datar, Hindia Belanda, awal abad-20 – meninggal di Tanah Datar, Sumatra
Barat, 9 Mei 2010 pada umur ± 110 tahun) adalah seorang perempuan Minang yang banyak
mewarisi tradisi lama Minangkabau, seperti silat, randai, dan dendang saluang, sehingga ia
dipandang sebagai maestro seni tradisi Minang yang mendunia.[1][2][3]
Upiak Palatiang merupakan seorang pandeka (pendekar) perempuan silat Minang yang
menguasai aliran silek gunuang (silat gunung), salah satu aliran silat dengan tiga jurus dasar,
yaitu tangkok (tangkap), piuah (pelintir), dan gelek (mengelak). Silek gunuang menjadi hulu dari
berbagai aliran silat lainnya yang kemudian berkembang di Minangkabau.[2]
Di samping mencipta pantun-pantun pertunjukan randai, ia juga mahir mencipta syair dendang,
baik yang dilantunkannya sendiri, maupun oleh pendendang tradisi lainnya dengan iringan tiupan
saluang yang mendayu-dayu. Sudah ratusan syair yang lahir dari imajinasinya,
seperti Singgalang Kubu di Ateh, Singgalang Gunuang Gabalo Itiak, Singgalang Ratok
Sabu, Singgalang Layah, Singgalang Kariang, Singgalang Alai, Indang Batipuah, Parambahan
Batusangka, dan ratusan syair dendang lainnya.[2]
Dalam usia yang lebih dari seratus tahun, kondisi fisik Inyiak Upiak Palatiang masih terhitung
prima, sehingga masih mampu mempertunjukkan gerakan-gerakan silat dengan gesit dan lincah.
[2]

Inyiak Upiak Palatiang mempunyai beberapa orang murid, di antaranya Musra Dahrizal Katik
Rajo Mangkuto yang juga dikenal sebagai budayawan dan seniman Minangkabau yang aktif
mengajar dan melestarikan seni dan budaya Minangkabau.[1]
Sepanjang pernikahannya, Inyiak Upiak Palatiang dikaruniai beberapa orang anak, yaitu
Mawardi, Upiak Lamsinar, dan Zulfachri (Uncu). Den memilik beberapa orang cucu yaitu
Fardizal dan Fahmizal.
Sutomo

Kelahiran: 3 Oktober 1920, Surabaya


Meninggal: 7 Oktober 1981, Arafah, Mekkah, Arab Saudi
Lahir: 3 Oktober 1920; Surabaya, Jawa Timur, Hindia Belanda
Pasangan: Sulistina Sutomo (m. 1947–1981)
Anak: Bambang Sulistomo
Orang tua: Subastita, Kartawan Tjiptowidjojo

Sutomo dilahirkan di Kampung Blauran, Surabaya. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo,


priyayi golongan menengah yang pernah bekerja sebagai pegawai pemerintah, staf perusahaan
swasta, asisten kantor pajak, hingga pegawai perusahan ekspor-impor Belanda. Kartawan
mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa pengikut dekat Pangeran Diponegoro.
Ibu Sutomo bernama Subastita, seorang perempuan berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda,
dan Madura anak seorang distributor lokal mesin jahit Singer di wilayah Surabaya yang sebelum
pindah ke Surabaya pernah jadi polisi kotapraja dan anggota Sarekat Islam.
Sutomo sulung dari 6 orang bersaudara. Adiknya masing-masing bernama Sulastri, Suntari,
Gatot Suprapto, Subastuti, dan Hartini.[2]
Walaupun dibesarkan dalam keluarga yang sangat menghargai pendidikan, namun pada usia 12
tahun, Sutomo terpaksa meninggalkan bangku MULO akibat tdampak Despresi Besar yang
melanda dunia. Untuk membantu keluarga, ia mulai bekerja secara serabutan. Meski begitu,
belakangan Sutomo bisa masuk HBS secara korespondensi dan tercatat sebagai murid yang
dianggap lulus meski tidak secara resmi.
Sutomo lalu bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Pada usia 17 tahun, ia
menjadi berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu
Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang
Indonesia.
Perjuangan Bung Tomo pada Pertempuran 10 November 1945
Sutomo muda lebih banyak berkecimpung dalam bidang kewartawanan. Ia antaranya menjadi
jurnalis lepas untuk harian Soeara Oemoem, harian berbahasa Jawa Ekspres, mingguan Pembela
Rakyat, dan majalah Poestaka Timoer. Baru setelah ia mulai bergabung dengan sejumlah
kelompok politik dan sosial.
Pada 1944, ia terpilih menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru dan pengurus Pemuda Republik
Indonesia di Surabaya.yang disponsori Jepang. Bisa dibilang, inilah titik awal keterlibatannya
dalam Pertempuran 10 November. Dengan posisinya itu, ia bisa mendapatkan akses radio yang
lantas berperan besar untuk menyiarkan orasi-orasinya yang membakar semangat rakyat untuk
berjuang mempertahankan Indonesia. Terlebih, sejak 12 Oktober 1945 Bung Tomo juga
memimpin Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya.
Meskipun pada akhirnya pihak Indonesia kalah dalam pertempuran 10 November 1945, namun
rakyat Surabaya dianggap berhasil memukul mundur pasukan Inggris untuk sementara waktu
dan kejadian ini dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah kemerdekaan
Indonesia.

Setelah kemerdekaan
Antara 1950-1956, Bung Tomo masuk dalam Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin
Harahap sebagai Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran, merangkap Menteri
Sosial (Ad Interim). Sejak 1956 Sutomo menjadi anggota anggota Konstituante mewakili Partai
Rakyat Indonesia. Ia menjadi wakil rakyat hingga badan tersebut
dibubarkan Sukarno lewat Dekrit Presiden 1959.
Sutomo memprotes keras kebijakan Sukarno tersebut, termasuk membawanya ke pengadilan
meski akhirnya kalah. Akibatnya perlahan ia menarik diri dari dunia politik dan pemerintahan.
Di awal Orde Baru, Sutomo kembali muncul sebagai tokoh yang mulanya mendukung Suharto.
Namun sejak awal 1970-an, ia mulai banyak mengkritik program-program Suharto, termasuk
salah satunya proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Akibatnya pada 11
April 1978 ia ditangkap dan dipenjara selama setahun atas tuduhan melakukan aksi subversif.
Sekeluar dari penjara Sutomo tampaknya tidak lagi berminat untuk bersikap vokal pada
pemerintah dan memilih memanfaatkan waktu bersama keluarga dan mendidik kelima anaknya.
Selain itu Sutomo juga menjadi lebih bersungguh-sungguh dalam kehidupan imannya.
Pada 7 Oktober 1981, Sutomo meninggal dunia di Padang Arafah saat sedang menunaikan
ibadah haji. Berbeda dengan tradisi memakamkan jemaah haji yang meninggal di tanah suci,
jenazah Bung Tomo dibawa pulang ke tanah air. Sesuai wasiatnya, Bung Tomo tidak
dimakamkan di taman makam pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel
Surabaya.
Mohammad Hatta

Nama Lengkap : Mohammad Hatta


Alias : Bung Hatta
Profesi : Pahlawan Nasional
Agama : Islam
Tempat Lahir : Bukittinggi, Sumatera Barat
Tanggal Lahir : Selasa, 12 Agustus 1902
Warga Negara : Indonesia
Istri : Rahmi Rachim
Anak : Meutia Farida Hatta Swasono, Gemala Hatta, Halida Hatta
BIOGRAFI
Dr. H. Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902. Pria yang akrab disapa dengan
sebutan Bung Hatta ini merupakan pejuang kemerdekaan RI yang kerap disandingkan dengan
Soekarno. Tak hanya sebagai pejuang kemerdekaan, Bung Hatta juga dikenal sebagai seorang
organisatoris, aktivis partai politik, negarawan, proklamator, pelopor koperasi, dan seorang wakil
presiden pertama di Indonesia.
Kiprahnya di bidang politik dimulai saat ia terpilih menjadi bendahara Jong Sumatranen Bond
wilayah Padang pada tahun 1916. Pengetahuan politiknya berkembang dengan cepat saat Hatta
sering menghadiri berbagai ceramah dan pertemuan-pertemuan politik. Secara berkelanjutan,
Hatta melanjutkan kiprahnya terjun di dunia politik. 
Sampai pada tahun 1921 Hatta menetap di Rotterdam, Belanda dan bergabung dengan sebuah
perkumpulan pelajar tanah air yang ada di Belanda, Indische Vereeniging. Mulanya, organisasi
tersebut hanyalah merupakan organisasi perkumpulan bagi pelajar, namun segera berubah
menjadi organisasi pergerakan kemerdekaan saat tiga tokoh Indische Partij (Suwardi
Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumu) bergabung dengan Indische
Vereeniging yang kemudian berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Di Perhimpunan Indonesia, Hatta mulai meniti karir di jenjang politiknya sebagai bendahara
pada tahun 1922 dan menjadi ketua pada tahun 1925. Saat terpilih menjadi ketua PI, Hatta
mengumandangkan pidato inagurasi yang berjudul "Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan
Kekuasaan".
Dalam pidatonya, ia mencoba menganalisa struktur ekonomi dunia yang ada pada saat itu
berdasarkan landasan kebijakan non-kooperatif. Hatta berturut-turut terpilih menjadi ketua PI
sampai tahun 1930 dengan perkembangan yang sangat signifikan dibuktikan dengan
berkembangnya jalan pikiran politik rakyat Indonesia.
Sebagai ketua PI saat itu, Hatta memimpin delegasi Kongres Demokrasi Internasional untuk
perdamaian di Berville, Perancis, pada tahun 1926. Ia mulai memperkenalkan nama Indonesia
dan sejak saat itu nama Indonesia dikenal di kalangan organisasi-organisasi internasional. Pada
tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda
dan berkenalan dengan aktivis nasionalis India, Jawaharhal Nehru.
Aktivitas politik Hatta pada organisasi ini menyebabkan dirinya ditangkap tentara Belanda
bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul madjid Djojodiningrat
sebelum akhirnya dibebaskan setelah ia berpidato dengan pidato pembelaan berjudul: Indonesia
Free. 
Selanjutnya pada tahun 1932, Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club
Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran politik rakyat
Indonesia dengan adanya pelatihan-pelatihan.
Pada tahun 1933, Soekarno diasingkan ke Ende, Flores. Aksi ini menuai reaksi keras oleh Hatta.
Ia mulai menulis mengenai pengasingan Soekarno pada berbagai media. Akibat aksi Hatta inilah
pemerintah kolonial Belanda mulai memusatkan perhatian pada Partai Pendidikan Nasional
Indonesia dan menangkap pimpinan para pimpinan partai yang selanjutnya diasingkan ke Digul,
Papua.
Pada masa pengasingan di Digul, Hatta aktif menulis di berbagai surat kabar. Ia juga rajin
membaca buku yang ia bawa dari Jakarta untuk kemudian diajarkan kepada teman-temannya.
Selanjutnya, pada tahun 1935 saat pemerintahan kolonial Belanda berganti, Hatta dan Sjahrir
dipindahlokasikan ke Bandaneira. Di sanalah, Hatta dan Sjahrir mulai memberi pelajaran kepada
anak-anak setempat dalam bidang sejarah, politik, dan lainnya.
Setelah delapan tahun diasingkan, Hatta dan Sjahrir dibawa kembali ke Sukabumi pada tahun
1942. Selang satu bulan, pemerintah kolonial Belanda menyerah pada Jepang. Pada saat itulah
Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.
Pada awal Agustus 1945, nama Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
berganti nama menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dengan Soekarno sebagai
Ketua dan Hatta sebagai Wakil Ketua.
Sehari sebelum hari kemerdekaan dikumandangkan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
mengadakan rapat di rumah Admiral Maeda. Panitia yang hanya terdiri dari Soekarno, Hatta,
Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti tersebut merumuskan teks proklamasi yang akan dibacakan
keesokan harinya dengan tanda tangan Soekarno dan Hatta atas usul Soekarni.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 di jalan Pagesangan Timur 56 tepatnya pukul 10.00 kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Keesokan
harinya, pada tanggal 18 Agustus 1945 Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia
dan Hatta sebagai Wakil Presiden.
Berita kemerdekaan Republik Indonesia telah tersohor sampai Belanda. Sehingga, Belanda
berkeinginan kembali untuk menjajah Indonesia. Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan
Indonesia, pemerintahan Republik Indonesia dipindah ke Jogjakarta. Ada dua kali perundingan
dengan Belanda yang menghasilkan perjanjian linggarjati dan perjanjian Reville. Namun, kedua
perjanjian tersebut berakhir kegagalan karena kecurangan Belanda.
Pada Juli 1947, Hatta mencari bantuan ke India dengan menemui Jawaharhal Nehru dan
Mahatma Gandhi. Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan melakukan protes
terhadap tindakan Belanda dan agar dihukum pada PBB. Banyaknya kesulitan yang dialami oleh
rakkyat Indonesia memunculkan aksi pemberontakan oleh PKI sedangkan Soekarno dan Hatta
ditawan ke Bangka. Selanjutnya kepemimpinan perjuangan dipimpin oleh Jenderal Soedirman.
Perjuangan rakyat Indonesia tidak sia-sia. Pada tanggal 27 desembar 1949, Ratu Juliana
memberikan pengakuan atas kedaulatan Indonesia kepada Hatta.
Setelah kemerdekaan mutlak Republik Indonesia, Hatta tetap aktif memberikan ceramah-
ceramah di berbagai lembaga pendidikan. Dia juga masih aktif menulis berbagai macam
karangan dan membimbing gerakan koperasi sesuai apa yang dicita-citakannya. Tanggal 12 Juli
1951, Hatta mengucapkan pidato di radio mengenai hari jadi Koperasi dan selang hari lima hari
kemudian dia diangkat menjadi Bapak Koperasi Indonesia.
Hatta menikah dengan Rachim Rahmi pada tanggal 18 November 1945 di desa Megamendung,
Bogor, Jawa Barat. Pasangan tersebut dikaruniai tiga orang putri yakni Meutia, Gemala, dan
Halida.
Pada tanggal 14 Maret 1980 Hatta wafat di RSUD dr. Cipto Mangunkusumo. Karena
perjuangannya bagi Republik Indonesia sangat besar, Hatta mendapatkan anugerah tanda
kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" yang diberikan oleh Presiden
Soeharto.
Riset dan analisa oleh Atiqoh Hasan.
PENDIDIKAN
 Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)
 Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School, Batavia (1921)
 Meer Uirgebreid Lagere School (MULO), Padang (1919)
 Europeesche Lagere School (ELS), Padang, 1916
 Sekolah Dasar Melayu Fort de kock, Minangkabau (1913-1916)
Ki Hadjar Dewantara

Nama Lengkap : Ki Hajar Dewantara


Alias : Raden Mas Soewardi Soerjaningrat
Profesi : Tokoh Pendidikan
Agama : Islam
Tempat Lahir : Yogyakarta
Tanggal Lahir : Kamis, 2 Mei 1889
Warga Negara : Indonesia
Istri : Nyi Sutartinah

BIOGRAFI

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara adalah
pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi
para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun
orang-orang Belanda.
Ki Hadjar Dewantara lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dengan nama Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat. Ki Hajar Dewantara dibesarkan di lingkungan keluarga kraton
Yogyakarta. Saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, Ki Hadjar
Dewantara tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya.
Hal ini dimaksudkan supaya Ki Hadjar Dewantara dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara
fisik maupun hatinya. Ki Hadjar Dewantara menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar
Belanda) dan kemudian melanjutkan sekolahnya ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) tapi
lantaran sakit, sekolahnya tersebut tidak bisa dia selesaikan.
Ki Hadjar Dewantara kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain
Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan
Poesara. Pada masanya, Ki Hadjar Dewantara dikenal penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat
komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi
pembacanya.
Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada
pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral
Idenburg menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913 karena organisasi ini dianggap
dapat membangkitkan rasa nasionalism dan kesatuan rakyat untuk menentang pemerintah
kolonial Belanda.
Semangatnya tidak berhenti sampai sini. Pada bulan November 1913, Ki Hadjar Dewantara
membentuk Komite Bumipoetra yang bertujuan untuk melancarkan kritik terhadap Pemerintah
Belanda. Salah satunya adalah dengan menerbitkan tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander
Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu
untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga) di mana kedua tulisan tersebut menjadi tulisan
terkenal hingga saat ini. Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda dimuat dalam surat kabar de
Expres milik dr. Douwes Dekker.
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg
menjatuhkan hukuman pengasingan terhadap Ki Hadjar Dewantara. Douwes Dekker dan Cipto
Mangoenkoesoemo yang merasa rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil menerbitkan tulisan
yang bernada membela Ki Hadjar Dewantara. Mengetahui hal ini, Belanda pun memutuskan
untuk menjatuhi hukuman pengasingan bagi keduanya. Douwes Dekker dibuang di Kupang
sedangkan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa
mempelajari banyak hal dari pada di daerah terpencil. Akhirnya mereka diizinkan ke Negeri
Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu
dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Ki Hadjar
Dewantara berhasil memperoleh Europeesche Akte. Pada tahun 1918, Ki Hadjar Dewantara
kembali ke tanah air.
Di tanah air Ki Hadjar Dewantara semakin mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai
bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Bersama rekan-rekan seperjuangannya, dia pun
mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional yang diberi nama Nationaal Onderwijs
Instituut Taman Siswa (Perguruan Nasional Taman Siswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini
sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai
bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Pemerintah kolonial
Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober
1932.
Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.
Selama mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara
juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan
kebudayaan berwawasan kebangsaan. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan
dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia. Kegiatan menulisnya ini terus
berlangsung hingga zaman Pendudukan Jepang.
Saat Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar
ditunjuk untuk menjadi salah seorang pimpinan bersama Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta
dan K.H. Mas Mansur. Setelah kemerdekaan Indonesia berhasil direbut dari tangan penjajah dan
stabilitas pemerintahan sudah terbentuk.
Ki Hadjar Dewantara dipercaya oleh presiden Soekarno untuk menjadi Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Melalui jabatannya ini, Ki Hadjar Dewantara
semakin leluasa untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Pada tahun 1957, Ki
Hadjar Dewantara mendapatkan gelar Doktor Honori Klausa dari Universitas Gajah Mada. 
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, tepatnya pada tanggal 28 April
1959 Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kini, nama
Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan
(bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan
Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan
Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959.
Ajarannya yakni tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa
(di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi
teladan) akan selalu menjadi dasar pendidikan di Indonesia. Untuk mengenang jasa-jasa Ki
Hadjar Dewantara pihak penerus perguruan Taman Siswa mendirikan Museum Dewantara Kirti
Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara.
Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Taman
Siswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau
konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai
jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan
dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Riset dan Analisa: Fathimatuz Zahroh
PENDIDIKAN

 ELS (Europeesche Lagere School) 


 STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera)
H. Agus Salim

Kelahiran: 8 Oktober 1884, Koto Gadang


Meninggal: 4 November 1954, Jakarta
Pasangan: Zainatun Nahar (m. ?–1954)
Anak: Maria Zenibiyang, Islam Basari, Siti Asiah, Violet Hanisah, LAINNYA
Buku: Pesan-Pesan Islam: Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornell University Amerika
Serikat, LAINNYA
Jabatan sebelumnya: Menteri Luar Negeri Indonesia (1949–1949), LAINNYA
Pendidikan: Koning Willem III School te Batavia (1903), Europeesche Lagere School

H. Agus Salim (lahir dengan nama Masyhudul Haq (berarti "pembela kebenaran"); 8 Oktober


1884 – 4 November 1954) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Haji Agus Salim
ditetapkan sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961
melalui Keputusan Presiden Indonesia Nomor 657 tahun 1961.[1] Pekerjaan yang ditekuni oleh
Agus Salim adalah sebagai orator dan penulis. Agus Salim menguasai 4 bahasa
asing di Eropa (bahasa Belanda, bahasa Inggris, bahasa Jerman, dan bahasa Prancis), 2 bahasa
asing di Timur Tengah (bahasa Arab dan bahasa Turki) serta bahasa Jepang.

Latar belakang
Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab.
Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau.[3]
Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus bagi anak-anak
Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia
berhasil menjadi alumnus terbaik di HBS se-Hindia Belanda.
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi
pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk
bekerja di Duta besar Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad
Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai
Wakil Redaktur. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Agus
Salim menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang
jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta.
Kemudian mendirikan Sura tkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur
Harian Moestika di Kota Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau
Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam
dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.

Karya tulis

 Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia


 Dari Hal Ilmu Quran
 Muhammad voor en na de Hijrah
 Gods Laatste Boodschap
 Jejak Langkah Haji Agus Salim (Kumpulan karya Agus Salim yang dikompilasi koleganya,
Oktober 1954)
JENDRAL SOEDIRMAN

Nama Lengkap : Soedirman


Profesi : Pahlawan Nasional
Agama : Islam
Tempat Lahir : Desa Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah
Tanggal Lahir : Senin, 24 Januari 1916
Warga Negara : Indonesia

BIOGRAFI

Jenderal Soedirman ialah salah seorang Pahlawan Revolusi Nasional Indonesia. Dalam sejarah
perjuangan Republik Indonesia, ia merupakan Panglima dan Jenderal RI yang pertama dan
termuda. Pada usia yang masih cukup muda, yaitu 31 tahun, Soedirman telah menjadi seorang
jenderal. Selain itu, ia juga dikenal sebagai pejuang yang gigih. Meskipun ia sedang menderita
penyakit paru-paru parah, ia tetap berjuang dan bergerilya bersama para prajuritnya untuk
melawan tentara Belanda pada Agresi Militer II. 
Soedirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah pada tanggal 24 Januari 1916. Ia berasal dari
keluarga sederhana. Ayahnya seorang pekerja di pabrik gula Kalibagor Banyumas dan ibunya
keturunan Wedana Rembang. Soedirman memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman
Siswa. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo
tetapi tidak sampai tamat. Selama menempuh pendidikan di sana, ia pun turut serta dalam
kegiatan organisasi Pramuka Hizbul Wathan. Setelah itu ia menjadi guru di sekolah HIS
Muhammadiyah di Cilacap. Ia kemudian mengabdikan dirinya menjadi guru HIS
Muhammadiyah, Cilacap dan pemandu di organisasi Pramuka Hizbul Wathan tersebut.
Pada zaman penjajahan Jepang , Soedirman bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (Peta)
di Bogor. Pasca Indonesia merdeka dari penjajahan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan
Jepang di Banyumas. Kemudian beliau diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya setelah
menyelesaikan pendidikannya. Ia lalu menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR
(Tentara Keamanan Rakyat) terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang
Republik Indonesia (Panglima TNI). Perang Palagan Ambarawa melawan pasukan Inggris dan
NICA Belanda dari bulan November sampai Desember 1945 adalah perang besar pertama yang
ia pimpin. Karena ia berhasil memperoleh kemenangan pada pertempuran ini, Presiden Soekarno
pun melantiknya sebagai Jenderal.
Soedirman meninggal pada tanggal 29 Januari 1950 karena penyakit tuberkulosis parah yang ia
derita. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki,
Yogyakarta. Pada tahun 1997 ia dianugerahi gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan
bintang lima, pangkat yang hanya dimiliki oleh tiga jenderal di RI sampai sekarang. 
Riset dan analisis oleh: Meidita Kusuma Wardhani
PENDIDIKAN

 Sekolah Taman Siswa


 HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tetapi tidak sampai tamat. 
 Pendidikan Militer Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor
KARIR

 Guru di HIS Muhammadiyah di Cilacap


 Panglima Besar TKR/TNI, dengan pangkat Jenderal
 Panglima Divisi V/Banyumas, dengan pangkat Kolonel
 Komandan Batalyon di Kroya
Tuanku Imam Bondjol

Nama Lengkap : Tuanku Imam Bondjol


Profesi : Pahlawan Nasional
Agama : Islam
Tempat Lahir : Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat
Warga Negara : Indonesia
Ayah : Khatib Bayanuddin
Ibu : Hamatun

BIOGRAFI

Tuanku Imam Bonjol adalah salah seorang tokoh ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang
melawan Belanda dalam sebuah peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun
1803-1837. Tuanku Imam Bonjol lahir dengan nama asli Muhammad Shahab di Bonjol pada
tahun 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Khatib Bayanuddin yang merupakan seorang
alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota dengan istrinya Hamatun. Sebagai
ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab atau Tuanku Imam Bonjol
memperoleh beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam.
Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan
Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Dia
sendiri akhirnya lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

Nama Tuanku Imam Bonjol dikenal sebagai pemuka agama Islam dengan pribadi yang santun.
Sosok Tuanku Imam Bonjol hingga kini tidak bisa dilepaskan dari Kaum Paderi. Kaum Paderi
merupakan sebutan yang diberikan kepada sekelompok masyarakat pendukung utama penegakan
syiar agama dalam tatanan masyarakat yang zaman dulu populer di tanah Minangkabau terutama
pada masa Perang Padri. Kelompok ini merupakan penganut agama Islam yang menginginkan
pelaksanaan hukum Islam secara menyeluruh di Kerajaan Pagaruyung. Keterlibatan Tuanku
Imam Bonjol sendiri dalam Perang Padri bermula saat dirinya diminta menjadi pemimpin Kaum
Paderi dalam Perang Padri setelah sebelumnya dia ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai
Imam di Bonjol. Tuanku Imam Bonjol dipercaya untuk menjadi pemimpin sekaligus panglima
perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.
Tuanku Nan Renceh merupakan salah satu anggota Harimau Nan Salapan yang merupakan
sebutan untuk pimpinan beberapa perguruan yang kemudian menjadi pemimpin dari Kaum
Padri. Dengan ditunjuknya sebagai pemimpin, maka kini komando Kaum Paderi ada di tangan
Tuanku Imam Bonjol. Sebagai pemimpin, Tuanku Imam Bonjol harus mewujudkan cita-cita
yang diimpikan oleh pemimpin Kaum Paderi sebelumnya walaupun harus melalui peperangan.

Perang Padri muncul sebagai sarana Kaum Padri (Kaum Ulama) dalam menentang perbuatan-
perbuatan yang marak waktu itu di kalangan masyarakat yang dilindungi oleh para penguasa
setempat dalam kawasan Kerajaan Pagaruyung, seperti kesyirikan (mendatangi kuburan-kuburan
keramat), perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau
dan umumnya pelonggaran pelaksanaan kewajiban ibadah agama Islam.

Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang telah memeluk Islam untuk meninggalkan
kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun
1803.

Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan sesama
Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri awalnya dipimpin oleh Harimau
Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpin oleh Yang Dipertuan Pagaruyung yakni Sultan
Arifin Muningsyah. Ketika mulai terdesak, Kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda pada
tahun 1821 yang justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik
melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri. Peperangan ini sendiri pada akhirnya
peperangan ini dapat dimenangkan Belanda dengan susah payah dan dalam waktu yang sangat
lama.

Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang Belanda ke Palupuh untuk berunding.
Tiba di tempat itu Tuanku Imam Bonjol langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat
kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat
terakhir itulah Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku
Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.

Pada masa kepemimpinannya, Tuanku Imam Bonjol mulai menyesali beberapa tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang
terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain, fanatisme tersebut juga melahirkan sikap
kepahlawanan dan cinta tanah air.

Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan
kepahlawanannya dalam menentang penjajahan. Sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia
yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai
Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.

PENGHARGAAN

 Pahlawan Nasional Indonesia SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973


PANGERAN DIPONEGORO

Kelahiran: 11 November 1785, Yogyakarta


Meninggal: 8 Januari 1855, Makassar
Nama lengkap: Mustahar
Kebangsaan: Indonesia
Orang tua: Hamengkubuwana III, R.A. Mangkarawati
Pasangan: Bendara Raden Ayu Retno Madubrongto, LAINNYA
Anak: Bagus Singlon
Diponegoro lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785 dari ibu yang merupakan
seorang selir (garwa ampeyan), bernama R.A. Mangkarawati, dari Pacitan dan ayahnya bernama
Gusti Raden Mas Suraja, yang di kemudian hari naik tahta bergelar Hamengkubuwana III.
[1]
 Pangeran Diponegoro sewaktu dilahirkan bernama Bendara Raden Mas Mustahar, kemudian
diubah menjadi Bendara Raden Mas Antawirya.[2] Nama Islamnya adalah 'Abdul Hamid.
[3]
 Setelah ayahnya naik tahta, Bendara Raden Mas Antawirya diwisuda sebagai pangeran dengan
nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara.
Ketika dewasa, Pangeran Diponegoro menolak keinginan sang ayah untuk menjadi raja. Ia
sendiri beralasan bahwa posisi ibunya yang bukan sebagai istri permaisuri, membuat dirinya
merasa tidak layak untuk menduduki jabatan tersebut.[4]
Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas, banyak membaca, dan ahli di bidang
hukum Islam-Jawa.[1] Dia juga lebih tertarik pada masalah-masalah keagamaan ketimbang
masalah pemerintahan keraton dan membaur dengan rakyat. Sang Pangeran juga lebih memilih
tinggal di Tegalrejo, berdekatan dengan tempat tinggal eyang buyut putrinya, yakni Gusti
Kangjeng Ratu Tegalrejo, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, daripada tinggal di
keraton.[4]
Pangeran Diponegoro mulai menaruh perhatian pada masalah keraton ketika dirinya ditunjuk
menjadi salah satu anggota perwalian untuk mendampingi Sultan Hamengkubuwana V (1822)
yang saat itu baru berusia 3 tahun. Karena baru berusia 3 tahun, pemerintahan keraton sehari-hari
dikendalikan oleh Patih Danureja dan Residen Belanda. Pangeran Diponegoro tidak menyetujui
cara perwalian seperti itu, sehingga dia melakukan protes.

Perang Diponegoro (1825–1830)


Perang Diponegoro atau Perang Jawa diawali dari keputusan dan tindakan Hindia Belanda yang
memasang patok-patok di atas lahan milik Diponegoro di Desa Tegalrejo. Tindakan tersebut
ditambah beberapa kelakuan Hindia Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan
eksploitasi berlebihan terhadap rakyat dengan pajak tinggi, membuat Pangeran Diponegoro
semakin muak hingga mencetuskan sikap perlawanan sang Pangeran.[10]
Di beberapa literatur yang ditulis oleh Hindia Belanda, menurut mantan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Professor Wardiman Djojonegoro, terdapat pembelokan sejarah penyebab
perlawanan Pangeran Diponegoro karena sakit hati terhadap pemerintahan Hindia Belanda dan
keraton, yang menolaknya menjadi raja. Padahal, perlawanan yang dilakukan disebabkan sang
Pangeran ingin melepaskan penderitaan rakyat miskin dari sistem pajak Hindia Belanda dan
membebaskan Istana dari madat.[11]
Keputusan dan sikap Pangeran Diponegoro yang menentang Hindia Belanda secara terbuka
kemudian mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas saran dari sang paman, yakni GPH
Mangkubumi, Pangeran Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo dan membuat markas di Gua
Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang salib,
perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang salib" yang dikobarkan Diponegoro
membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu.
Medan pertempuran Perang Diponegoro mencakup Yogyakarta, Kedu, Bagelen, Surakarta, dan
beberapa daerah seperti Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Weleri, Pekalongan, Tegal,
Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi, Parakan, Magelang, Madiun, Pacitan, Kediri,
Bojonegoro, Tuban, dan Surabaya.

Akhir hayat Diponegoro

Ketika ditangkap dan akan diasingkan ke Manado dengan menggunakan Kapal Pollux, kondisi
Pangeran Diponegoro sudah dalam keadaan lemah, muntah-muntah akibat mabuk laut, dan
terkena sakit Malaria. Di atas kapal, Letnan Knooerle, yang merupakan ajudan dari Gubernur
Jenderal van den Bosch (arsitek Tanam Paksa), mengawal pengasingan Diponegoro. Sering kali
mereka berdua terlibat dalam percakapan dan salah satu percakapannya adalah ketika
Diponegoro mempertanyakan kepada Knoorle, apakah sudah menjadi kebiasaan bangsa Eropa
untuk mengasingkan pemimpin yang kalah perang ke sebuah pulau terpencil yang jauh dari
sanak saudaranya. Mendapat pertanyaan itu, Knoorle menjawab bahwa Pangeran Diponegoro
diperlakukan sama dengan Napoleon Bonaparte, yang sama-sama diasingkan dalam usia 40
tahunan. Knoorle mengatakan pemerintahan Hindia Belanda tidak ingin peristiwa Napoleon
yang ditangkap dan diasingkan ke Pulau Elba berhasil kabur dan memimpin perang lagi lalu
berhasil dikalahkan sehingga dibuang ke pulau yang lebih terasing lagi, yakni St Helena hingga
wafat.[25]
Pangeran Diponegoro dan rombongannya, yakni istri, dua anaknya, dan 23 pengikutnya tiba di
Manado pada 12 Juni 1830. Awalnya, Diponegoro akan ditempatkan di Tondano, tetapi Knoorle
diberitahu oleh Pietermaat, seorang residen setempat bahwa Kiai Madja beserta 62 pengikutnya
baru saja tiba di Tondano dari Ambon, sehingga akhirnya Knoorle memutuskan Diponegoro
ditahan di Benteng Manado untuk sementara waktu agar tidak ketemu dengan Kiai Madja.
Diponegoro berada di Benteng Manado atau Fort Nieuw Amsterdam sejak Juni 1830 hingga Juni
1833. Selanjutnya, pada tahun 1833, Diponegoro dipindahkan ke Makassar secara diam-diam
dan ditempatkan di Benteng Fort Rotterdam selama sebelas tahun. Diponegoro menolak upaya
Hindia Belanda untuk memindahkannya ke tempat pengasingan baru dan ingin menghabiskan
akhir hayatnya di Makassar.
Diponegoro kemudian meninggal pada 8 Januari 1855, pukul 06.30 pagi. Tujuh hari kemudian,
anak dan istrinya memutuskan untuk tetap tinggal di Makassar. Menurut Peter Carey, sejarawan
yang menulis tentang Diponegoro, Gubernur Jenderal AJ Duymar van Twist mengeluarkan
perintah rahasia bahwa keluarga Diponegoro tetap diperlakukan sebagai orang dalam
pengasingan dan hanya diperbolehkan berada di Makassar, tetapi mereka mendapatkan
tunjangan 6000 gulden yang dibayarkan melalui keraton Yogyakarta.[25]
Pada tahun 1885, sang istri yakni Raden Ayu Retnoningsih meninggal dunia. Raden Ayu
Retnoningsih dimakamkan di kampung jera. Kampung jera atau kampung pemakaman berada di
lokasi kampung Melayu. Raden Ayu Retnoningsih dimakamkan disamping makam Pangeran
Diponegoro. 
Kapitan Pattimura

Nama Lengkap : Kapitan Pattimura


Alias : Pattimura | Thomas Matulessy
Agama : Islam
Tempat Lahir : Hualoy, Hualoy, Seram Selatan, Maluku
Tanggal Lahir : Minggu, 8 Juni 1783
Warga Negara : Indonesia

BIOGRAFI

Pattimura lahir pada tanggal 8 Juni 1783 dari ayah Frans Matulesi dengan Ibu Fransina Silahoi.
Munurut M. Sapidja ( penulis buku sejarah pemerintahan pertama) mengatakan bahwa
“pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah
beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang
terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak
dalam sebuah teluk di Seram Selatan"

Ia adalah pahlawan yang berjuang untuk Maluku melawan VOC Belanda. Sebelumnya Pattimura
adalah mantan sersan di militer Inggris. pada tahun 1816 Inggris bertekuk lutut kepda belanda.
Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat.
Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk
selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan
Kapitan Pattimura.

Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya.
Sebagai pemimpin dia berhasil mengoordinir raja-raja dan patih dalam melaksanakan kegiatan
pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun
benteng-benteng pertahanan. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang
persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang
Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh
Belanda.
Di Saparua, dia dipilih oleh rakyat untuk memimpin perlawanan. Untuk itu, ia pun dinobatkan
bergelar Kapitan Pattimura. Pada tanggal 16 Mei 1817, suatu pertempuran yang luar biasa
terjadi. Rakyat Saparua di bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura tersebut berhasil merebut
benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada dalam benteng itu semuanya tewas, termasuk
Residen Van den Berg.

Pasukan Belanda yang dikirim kemudian untuk merebut kembali benteng itu juga dihancurkan
pasukan Kapitan Pattimura. Alhasil, selama tiga bulan benteng tersebut berhasil dikuasai
pasukan Kapitan Patimura. Namun, Belanda tidak mau menyerahkan begitu saja benteng itu.
Belanda kemudian melakukan operasi besar-besaran dengan mengerahkan pasukan yang lebih
banyak dilengkapi dengan persenjataan yang lebih modern. Pasukan Pattimura akhirnya
kewalahan dan terpukul mundur.

Di sebuah rumah di Siri Sori, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap pasukan Belanda. Bersama
beberapa anggota pasukannya, dia dibawa ke Ambon. Di sana beberapa kali dia dibujuk agar
bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu ditolaknya.
 
Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan
pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Atas kegigihannya memperjuangkan
kemerdekaan, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan” oleh
pemerintah Republik Indonesia.

Riset Dan Analisa Oleh Nur Laila


PENGHARGAAN

 Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan RI

Anda mungkin juga menyukai