Anda di halaman 1dari 7

Bung Tomo, Sang Pembakar Semangat Generasi Muda

Pahlawan Nasional kelahiran Surabaya ini mungkin familiar kamu lihat pada poster
yang menggambarkan semangat nasionalisme. Memang, tokoh yang satu ini dikenal
sebagai Pahlawan Nasional yang memiliki orasi berapi-api.
Sutomo, atau lebih akrab disapa Bung Tomo, merupakan salah satu tokoh yang
berperan untuk melawan sekutu dalam pertempuran 10 November 1954. Setelah
bergabung dengan Gerakan Rakyat Baru dan Pemuda Republik Indonesia, beliau
menyiarkan orasi untuk membakar semangat rakyat melalui radio-radio.
Bung Tomo juga pernah menjabat sebagai Menteri pada pemerintahan Soekarno,
walau kemudian beliau mundur dari jabatan ini dan meninggalkan dunia politik.
Ayah dengan lima anak ini juga sempat dipenjara karena melayangkan kritik ke
Soeharto.
Sekeluarnya dari penjara, Bung Tomo memfokuskan perhatiannya pada keluarga
dan agama. Beliau kemudian meninggal di usia 61 tahun saat tengah melakukan
ibadah Haji. Namanya kini dikenang sebagai salah satu Pahlawan Nasional
Indonesia.
Ibu Kita Kartini, Putri Sejati

Membaca tulisan di atas kita pasti teringat dengan lagu yang disenandungkan
setiap tanggal 21 April sebagai Hari Kartini. Mungkin nama dan lagunya sudah
terdengar familiar di telinga kita, tapi bagaimana kisah R.A. Kartini
memperjuangkan emansipasi wanita?
Sejak usia 12 tahun di sekolah Belanda, Kartini mulai tertarik dengan kemajuan
berpikir perempuan Belanda. Timbul keinginan dalam hati Kartini muda untuk turut
memperjuangan emansipasi perempuan pribumi.
Kartini memiliki ketertarikan dalam membaca dan menulis, terbukti Kartini
beberapa kali menulis untuk surat kabar berbahasa Belanda. Ketika dalam pingitan
pun Kartini juga saling berkorespondesi dengan teman-temannya di Belanda.
Melalui suratnya, berbagai kritik dituliskan termasuk masalah kesetaraan antara
perempuan dan laki-laki. Serta bagaimana perempuan tidak mendapat pendidikan
yang layak. Kelak. surat-surat Kartini dibukukan dan diterbitkan dengan judul
“Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Wafat pada 1904, kegigihan Kartini menginspirasi berdirinya Sekolah Kartini khusus
perempuan. Jasa-jasa dan perjuangan Kartini diabadikan pada Museum Kartini di
kota kelahirannya, Jepara.

Tut Wuri Handayani: Mengenang Sosok Ki Hadjar


Dewantara

Pernahkah kamu mendengar semboyan “ing ngarsa sung tuladha, ing madya
mangun karsa, tut wuri handayani”? Tahukah kamu bahwa semboyan tersebut
pertama dicetuskan oleh sang Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara?
Lahir di tengah keluarga kraton dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat,
Ki Hadjar Dewantara memulai kariernya sebagai penulis dan wartawan di beberapa
surat kabar yang memiliki ciri khas penulisan tajam dan patriotik.
Beliau juga mendirikan Indische Partij, sebuah partai nasionalis Indonesia,
bersama dengan Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, trio ini lalu
dipanggil sebagai Tiga Serangkai.
Dari serangkaian perjuangannya memajukan pendidikan di Indonesia, Taman Siswa
menjadi salah satu yang paling diingat. Sekolah ini bertujuan untuk menciptakan
rasa nasionalisme dan mendidik bangsa Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, beliau diangkat menjadi Menteri Pendidikan pertama
oleh Presiden Soekarno. Beliau meninggal di Yogyakarta pada tahun 1959 dan
dimakamkan di Taman Wijaya Brata.
Mohammad Husni Thamrin, Pahlawan di Balik Nama
Jalan di Jakarta Pusat
Saat mendengar tentang nama Mohammad Husni Thamrin, apa yang pertama kali
kamu ingat? Mungkin nama sebuah pusat bisnis di Jakarta Pusat melintasi
pikiranmu. Namun, apakah kamu tahu tentang kisah pahlawan nasional Indonesia
yang menginspirasi nama tersebut?
Mohammad Husni Thamrin adalah pahlawan yang dikenal dekat dengan rakyat
segala kalangan. Walau berasal dari keluarga terpandang, beliau selalu rendah hati.
Kiprahnya bermula saat bekerja di kepemerintahan. Pria yang juga merupakan
tokoh Betawi ini lalu bergabung sebagai anggota gemeenteraad (Dewan Kota)
sebelum kemudian terpilih menjadi Volksraad (perwakilan pribumi).
Dalam kedudukannya tersebut, M.H. Thamrin sering melakukan penolakan keras
terhadap kebijakan dari Belanda yang tidak berpihak pada pribumi. Beliau juga
menjadi pelopor berdirinya Gaboengan Politik Indonesia (GAPI) pada tahun 1939.
M.H. Thamrin kemudian meninggal saat menjadi tahanan rumah pada tanggal 11
Januari 1941. Namanya kemudian diabadikan sebagai jalan utama di Jakarta Pusat
hingga saat ini.

Sultan Hasanuddin, Sang ‘Ayam Jantan dari Timur’

Salah satu pahlawan nasional yang paling dikenal di Sulawesi adalah Sultan
Hasanuddin. Beliau merupakan Raja Gowa ke-16 yang diangkat karena kecerdasan
dan kecakapannya dalam diplomasi dan berdagang. Karena keberaniannya pula,
Belanda menjulukinya De Haantjes can Het Osten (Ayam Jantan dari Timur).
Pahlawan yang lahir di Makassar pada tahun 1631 ini, sedari kecil sering
mendampingi ayahnya, Sultan Malikussaid, dalam diskusi-diskusi penting.
Hasanuddin kecil tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan berani. Selain dekat
dengan rakyat, Sultan Hasanuddin juga sering menjadi utusan yang dikirim ke
kerajaan dan daerah lain.
Selama menjadi raja, Sultan Hasanuddin menjadi garda terdepan dalam melawan
Belanda. Peperangan yang berlangsung lama ini akhirnya dimenangkan Belanda
setelah terjadi perang saudara yang dipelopori oleh Belanda melalui Arung Palakka.
Setelah meninggalkan tahtanya sebagai raja, Sultan Hasanuddin kemudian
mengabdikan dirinya menjadi guru agama Islam. Beliau wafat pada tahun 1670, dan
tetap menolak Belanda hingga akhir hidupnya.
Dewi Sartika: Pejuang, Pendidik, Perempuan
Ketika membaca kalimat “Pejuang Pendidikan Perempuan asal Sunda” siapa yang
terbersit dipikiranmu? Beliau adalah Dewi Sartika, seorang priyayi Sunda yang
dibesarkan oleh orangtua yang sejak dahulu menentang pemerintah Hindia Belanda.
Kecerdasan Raden Dewi Sartika sudah terlihat dari kecil, dibuktikan dengan
kemampuan baca tulis yang melampaui anak-anak seusianya. Dengan
kepintarannya, beliau mendirikan sekolah untuk perempuan pribumi. Tidak hanya
membaca dan menulis, sekolah yang didirikan Dewi Sartika juga mengajarkan
menjahit, merenda, dan belajar agama.
Kala itu, di beberapa wilayah Jawa Barat telah berdiri sekolah yang dibina Dewi
Sartika dengan nama Sekolah Keutamaan Perempuan. Pada tahun 1929 berubah
nama menjadi Sekolah Raden Dewi. Segala hal dilakukan Dewi Sartika untuk
memajukan pendidikan perempuan pada waktu itu.
Dewi Sartika wafat dipengungsian pada 1947 setelah serangan agresi militer
Belanda. Atas jasa-jasanya dibuatkan patung Dewi Sartika di alun-alun Bandung.
Kegigihan Dewi Sartika dihadiahi penghargaan sebagai Pahlawan Nasional, pada
tanggal 1 Desember 1966.

Tuanku Imam Bonjol, Kisah Seorang Ulama, Imam dan


Juga Panglima Perang

Mungkin kamu sering mendengar pahlawan nasional ini sebagai nama banyak
fasilitas publik atau bahkan uang lembaran lima ribu. Pahlawan dengan nama asli
Muhammad Syahab ini, memperoleh gelar Tuanku Imam setelah memimpin Kaum
Padri di Bonjol.
Kaum Padri (atau kadang ditulis sebagai Kaum Paderi) adalah kaum ulama yang
berpegang pada ajaran Islam. Pada saat itu, Kaum Padri gagal bermufakat dengan
Kaum Adat yang menolak merubah kebiasaan yang tidak sesuai syariat Islam,
seperti berjudi hingga kebiasaan minum-minuman keras. Konflik ini akhirnya
berujung pada meletusnya Perang Padri, yang berlangsung sejak tahun 1803.
Kondisi ini diperumit oleh Kaum Adat yang meminta pertolongan Belanda pada
tahun 1821, yang bersedia membantu dengan syarat penguasaan terhadap wilayah
dalam Minangkabau. Kehadiran Belanda malah menyengsarakan masyarakat
Minangkabau. Setelah beberapa peperangan, pada akhirnya Kaum Adat dan Kaum
Padri sepakat untuk bersatu untuk melawan Belanda di tahun 1833.
Peperangan yang berujung kekalahan ini, berbuntut pada penangkapan Tuanku
Imam Bonjol setelah diajak berunding oleh Belanda. Beliau kemudian dibuang ke
Cianjur, sebelum dipindahkan ke Ambon hingga akhirnya Lotta, Minahasa, Manado.
Di tempat ini, akhirnya Tuanku Imam Bonjol meninggal dalam pengasingannya tepat
pada tanggal 8 November 1864.

Sisingamangaraja XII, Maharaja di Negeri Toba

Apakah kamu tahu bahwa Sisingamangaraja XII sempat terpampang pada uang
kertas pecahan Rp 1.000? Kiprahnya melawan Belanda selama tiga dekade
membuat kisah Sisingamangaraja XII menarik untuk disimak.
Memiliki nama kecil Patuan Bosar Sinambela, Sisingamangaraja XII naik takhta
pada 1876 untuk menggantikan ayahnya. Sisingamangaraja XII yang pada waktu itu
berumur 22 tahun memulai perjuangannya karena Belanda sedang
menerapkan open door policy (politik pintu terbuka).
Demi mempertahankan tanah airnya, Sisingamangaraja XII tidak pernah mau
berkompromi bahkan berdiplomasi dengan penjajah. Diputuskan untuk melawan
Belanda dengan mengumpulan pasukan di Balige. Hingga pada 1877 Belanda tidak
hanya menyerang markas Sisingamangaraja XII tetapi seluruh Toba.
Perang berlangsung lebih dari 20 tahun, selama itu pergerakan dilakukan secara
gerilya dengan memanfaatkan hutan, bahkan tidak pernah menginjakkan kaki ke
Istana. Hingga akhir hayatnya, Sisingamangaraja XII harus gugur bersama 2
putranya dengan semangat juang dan perlawanan yang gigih.
Pangeran Antasari: Pemimpin Banjar yang Dekat
dengan Rakyat
Ketika membaca cerita Perang Banjar, kisahnya tidak bisa dipisahkan oleh sosok
yang memimpin perlawanan tersebut yaitu Pangeran Antasari. Di tengah strategi
politik divide et impera milik Belanda, Pangeran Antasari berhasil mengusir Belanda
dari tanah kelahirannya.
Antasari dibesarkan dan tumbuh di tengah-tengah rakyat biasa. Sedikit banyak
Antasari mengerti penderitaan rakyat pada saat itu sehingga menjadi sosok yang
dekat dengan masyarakat Banjar. Belanda yang pada waktu itu mengadu domba
istana membuat kekacauan di Kerajaan Banjar.
Atas kekacauan yang terjadi, Pangeran kelahiran Banjarmasin tersebut berinisiatif
untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Tentu saja perlawanan Antasari
didukung oleh rakyat. Pasukan Antasari yang tadinya berjumlah 6.000 makin lama
bertambah karena dukungan dari berbagai pihak.
Pada 11 Oktober 1862, Pangeran Antasari wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa
sekali pun menyerah terhadap Belanda. Nama dan perjuangannya menjadi julukan
untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari dan diabadikan dalam uang pecahan
Rp.2000.
Perjuangan Ngurah Rai bersama Ciung Wanara

Ketika mendengar nama “Ngurah Rai” kita pasti familiar dengan sebuah nama
bandara di Bali. Di balik nama tersebut, ternyata I Gusti Ngurah Rai menyimpan
cerita perjuangan bersama rakyat Bali yang heroik.
Pada tahun 1936, Ngurah Rai memutuskan untuk menempuh pendidikan calon
perwira kemiliteran. Studinya berlanjut pada 1940 di Akademi Pendidikan Arteri di
Malang.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Ngurah Rai membentuk sekaligus
menjadi komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sunda Kecil. Di bawah
pimpinannya, tersebar pasukan hingga seluruh kota di Bali yang dikenal sebagai
Ciung Wanara.
Sempat diajak kerja sama oleh Belanda, Ngurah Rai menolak mentah-mentah dan
memilih untuk mengumpulkan pasukan untuk melawan penjajah. Pada saat itu
Ngurah Rai memerintahkan untuk melakukan Puputan (bertarung hingga titik darah
penghabisan).
Pertempuran melawan Belanda pun pecah yang menyebabkan Ngurah Rai harus
gugur bersama pasukannya dalam perlawanan tersebut. Hingga kini pertempuran
tersebut dikenal dengan Pertempuran Margarana.

Anda mungkin juga menyukai