I Gusti Ngurah Rai adalah pahlawan nasional asal Pulau Dewata (Bali) yang gugur
dalam pertempuran sengit melawan Belanda di Tabanan Bali. Pertempuran
tersebut terkenal dengan istilah Puputan Margarana. Beliau lahir di Carang sari
Kabupaten Badung 30 Januari 1917 dan wafat 20 November 1946 kemudian
dimakamkan di Candi Marga tabanan Bali.
Ayahnya bernama I Gusti Ngurah Palung yang berprofesi sebagai manca (jabatan
setingkat camat). Setelah menamatkan pendidikannya di HIS Denpasar dan
MULO di Malang, tahun 1936 beliau melanjutkan pendidikan di Sekolah Kader
Militer di Gianyar Bali. Selanjutnya mengikuti pendidikan di Corps Opleiding Voor
Reserve Officieren (CORO) di Magelang. Pada masa pendudukan Jepang, Ngurah
Rai bekerja sebagai intel sekutu di daerah Bali dan Lombok.
I Gusti Ngurah Rai kemudian membentuk kembali pasukannya yang telah tercerai
beraidan memberi nama pasukannya Ciung Wanara. Setelah itu mereka
melakukan penyergapan terhadap kedudukan Belanda di Desa Marga Tabanan
Bali. Belanda kemudian melancarkan serangan besar-besaran lewat darat dan
udara. Ngurah Rai kemudian meminta pasukannya untuk perang puputan (habis-
habisan). Ia gugur bersama seluruh anggota pasukannya di sebelah timur laut
tabanan (Bali Selatan). Perang tersebut terkenal dengan sebutan Puputan
Margarana. Untuk menghormati jasanya, Pemerintah RI memberikan gelar
pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden RI no 63/TK/1975 tanggal 9 Agustus
1975.
Hal-hal yang dapat kita pelajari dari pahlawan I Gusti Ngurah Rai :
1. Menghargai keberagaman indonesia
5. Rela berkorban
6. Bertanggung jawab
7. Pantang menyerah
Jika diurutkan dari asal usul silsilah maka keluarga Kartini yang dari ayahnya
merupakan trah keturunan dari Sultan Hamengkubuwono IV. Keluarga Kartini
masih keturunan Sosroningrat dari silsilah kerajaan Majapahit.
RA. Kartini yang lulusan dari Europese Lagere School (ELS) sangat fasih dalam
berbahasa Belanda sehingga beliau merasa sanggup mengikuti jenjang yang
lebih tinggi dengan kemampuan tersebut.
Namun penjelasan itu tidak dihiraukan oleh ayahnya yang melarang RA.Kartini
untuk mengejar cita-cita bersekolah. Alasannya tidak lain dan tidak bukan karena
usia beliau yang sudah 12 tahun menandakan bahwa saatnya untuk dipingit dan
segera menikah.
Saat itu beliau tidak punya pilihan lain selain ikut apa kata orang tuanya yang
artinya RA. Kartini harus menjalani pingit.
Semetara itu Rosa Abendanon juga sering mengirimkan buku-buku dan surat
kabar dari Eropa pada RA. Kartini kecil sehingga pemikirannya menjadi lebih
maju. Dalam surat kabar tersebut memberitakan wanita-wanita Eropa memiliki
kedudukan yang sama untuk meraih hak-haknya sedangkan di Indonesia wanita
berada pada strata sosial yang amat rendah.
Akhir Pingitan dan Awal dari Cita-
cita RA. Kartini
id.wikipedia.org
Pada saat RA. Kartini berusia 20 tahun beliau sudah menyelesaikan buku-buku
seperti De Stille Kraacht milik Louis Coperus, Max Havelaar dan juga Surat-Surat
Cinta yang ditulis Multatuli dan Van Eeden, Roman-feminis dari Goekoop de-
Jong Van Beek dan Die Waffen Nieder mengenai Roman anti-perang oleh Berta
Von Suttner. Buku-buku bertulisan belanda tersebut membuat beliau makin
terbuka pikirannya dan semakin maju.
Kemudian pada tanggal 12 November 1903 pingitan berakhir dan beliau harus
menikah dengan bupati Rembang bernama K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo
Adhiningrat atas pilihan orang tuanya. Saat itu RA. Kartini berstatus istri kedua
bupati Rembang tersebut. Meski begitu suaminya sangat mendukung cita-cita
beliau dan bahkan memperbolehkan RA. Kartini membangun sekolah khusus
wanita.
Perjuangan RA. Kartini tidak terhenti bahkan setelah beliau wafat. Perjuangan
tersebut diteruskan oleh sahabatnya Rosa Abendanon yang membukukan surat-
surat keduanya menjadi sebuah buku.Buku itu diberi judul Door Duisternis tot
Licht yang artinya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”.
1. Sederhana
2. Berani dan optimis
3. Independen atau mandiri
4. Cerdas dan berwawasan luas
5. Inspiratif
6. Merakyat
7. Pengasih
8. Menghormati orang tua
9. Rajin
10. Tegas dalam memimpin
11. Selalu mengunggulkan perempuan (sampai dibuat hari ibu)
12. Seperti halnya perempuan pasti baik hati dan santun
13. Selalu ingin membangun indonesia menjadi lebih baik
14. Selalu sabar dalam menghadapi masalah yang ada
Cut Nyak Dien, Pejuang Perempuan Bernyali Singa
Meski sudah terpojok, pejuang yang masih keturunan Sultan Aceh ini
menolak untuk menyerah.
Cut Nyak Dien lahir pada tahun 1848 dari keluarga bangsawan Aceh. Dari garis
ayahnya, Cut Nyak Dien merupakan keturunan langsung Sultan Aceh. Ia menikah
dengan Teuku Ibrahim Lamnga pada usia masih belia tahun 1862 dan memiliki seorang
anak laki-laki.
Ketika Perang Aceh meluas tahun 1873, Cut Nyak Dien memimpin perang di garis
depan, melawan Belanda yang mempunyai persenjataan lebih lengkap. Setelah
bertahun-tahun bertempur, pasukannya terdesak dan memutuskan untuk mengungsi ke
daerah yang lebih terpencil. Dalam pertempuran di Sela Glee Tarun, Teuku Ibrahim
gugur.
Kendati demikian, Cut Nyak Dien melanjutkan perjuangan dengan semangat berapi-api.
Kebetulan saat upacara penguburan suaminya, ia bertemu dengan Teuku Umar yang
kemudian menjadi suami sekaligus rekan perjuangan.
Akibatnya, kondisi fisik dan kesehatan Cut Nyak Dien menurun, namun pertempuran
tetap ia lakukan. Melihat kondisi seperti itu, panglima perangnya, Pang Laot Ali,
menawarkan menyerahkan diri ke Belanda. Tapi Cut Nyak Dien malah marah dan
menegaskan untuk terus bertempur.
Akhirnya Cut Nyak Dien berhasil ditangkap dan untuk menghindari pengaruhnya
terhadap masyarakat Aceh, ia diasingkan ke Pulau Jawa, tepatnya ke Sumedang, Jawa
Barat. Di tempat pengasingannya, Cut Nyak Dien yang sudah renta dan mengalami
gangguan penglihatan, mengajar agama. Ia tetap merahasiakan jati diri sampai akhir
hayatnya.
1. Pantang menyerah
2. Berani mati
3. Ikhlas Berjuang demi kemerdekaan
4. Menentang penjajahan
5. Soleha dan taat beragama
6. Jiwa kepemimpinan
7. Cerdas dan penuh strategi
8. Tegas dan tangkas
9. Memiliki semangat yang setara dengan laki-laki
10. Mengutamakan kepentingan negara perjuangan melebihi kepentingan pribadi.