Kelas 12 IPA 6
Kelompok 1
RESENSI NOVEL
"RORO MENDUT"
Kelompok 1
1. Akbar Herlambang (Ketua)
2. Tajiman (Wakil ketua)
3. Delani (Sekretaris)
4. Rizki Muhamad Ramdan
5. Muslimat
6. Ikhsyal
BAB 1 Resensi Buku Fiksi (Novel)
Roro Mendut
A. Identitas Novel Roro Mendut
Judul buku : Roro Mendut
Pengarang : Y. B. Mangunwijaya
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Kota terbit : Jakarta Pusat
Tahun terbit : 1982-1987(diharian Kompas) (Novel) 2008
Angkatan sastra : Angkatan 66 (Protes Sosial, Politik, Novel,
Puisi, dan Cerpen)
F. Kesimpulan
Di dalam novel Roro Mendut, pengarang menggunakan beberapa latar
tempat yaitu di Pantai Utara Teluk Cikal, Puri Pati, Kuthanegara, Istana Kerajaan
Sultan Agung, Puri Wiragunan, Pasar, Muara Sungai Oya-Opak.
Tokoh-tokoh dalam novel ini, diantaranya Roro Mendut dengan watak gigih dalam
memperjuangkan keinginannya dan menunjukkan ketulusan cintanya pada
Pronocitro, Tumenggung Wiroguno dengan watak suka memaksa, sewena-wena,
dan Pronocitro yang digambarkan sebagai laki-laki tampan, gagah, dan
pemberani.
Dalam menganalisis sebuah novel sebaiknya kita harus mempelajari terlebih
dahulu unsur-unsur yang ada di dalamnya. Bagi pembaca diharapkan bisa lebih
memahami unsur-unsur intrinsik karya sastra terutama dalam bentuk novel dan
dapat menemukan unsur-unsur tersebut dalam cerita novel dengan sangat
mudah.
Perwira besar tadi, sungguh Siwa sampai tidak percaya pada mata di
kepalanya sendiri, langsung duduk bersila di atas pasir basah lalu
menyam paikan sembah. Dan selama hidup tak terlupakan lagi,
sehingga kelak ber puluh-puluh kali Siwa akan bangga menuturkannya
kepada handai taulan tanpa bosan, apa yang diucapkan perwira tadi.
Kata-kata bernada gagah khidmat pelan-pelan terucap, "Tersembah
bahagia Raden Rara Mendut!
3. Menuju Konflik
Ternyata wirasat Ni Semangka bukan cuma hantu khayalan. Jangan lagi
memangku Roro Mendut, melihatnya kembali pun Sang Adipati
junjungannya tidak sempat lagi. Balatentara Mataram dengan meriam
meriam Kiai Jakajotos dan Kiai Dhudhodhupak ditambah pengalaman
medan laga yang sudah lama teruji memang bukan tandingan untuk
Adipati Pragola. Sri Susuhunan Ingalaga Mataram pribadilah yang
memimpin per tempuran dahsyat tentara ratusan ribu melawan ratusan
ribu di perbatasan Kadipaten Pati. Dan oleh tombak pusaka Mataram
Kiai Baru dari tangan si abdi Naya-Darma, Sang Adipati Pragola tewas.
Lalu datanglah, atas perin tah raja Mataram, Tumenggung Wiraguna
Sang Alap-alap menggempur benteng-benteng Pati. Maka terobek-
robeklah segala pola batik kelarasan tata wilayah Pati. Seluruh peti
kehartaan maupun perabot pusaka Puri Pati telah diangkut dengan cikar
gerobak sapi beriring-iring dalam perjalanan ke Mataram.
Sayang Putri Arumardi mencium sahabatnya yang baru itu. Sudah sepe
kan dara pantai yang tidak sekuning gadis-gadis gunung tetapi kencana
perangainya itu bermukim di dalam keputrian. Semua sudah tahu,
bahwa Tumenggung Wiroguno hanya menghasratkan satu orang saja,
ialah Roro Mendut ini. Padahal Baginda Raja memberinya empat orang.
Hati Wiroguno jelas sudah terpukau oleh Roro Mendut. Maka di antara
sesama selir telah beredar desas-desus tentang kekuatan gaib guna-
guna kaum pantai utara. Tetapi Nyai Ajeng penuh pengertian
mengusulkan agar jangan hanya diangkat selir, tetapi benar-benar istri
resmi sekaligus. Sehingga raden-raden mas yang akan dilahirkan
rahimnya nanti memiliki hak-hak waris. Begitu diharapkan suaminya
dapat tenteram. Tetapi guna-guna macam apa itu sebab justru putrilah
yang menolak paduan asmara.
4. Puncak konflik
Pronocitro telah menjadi penjinak kuda keputrian di puri Wirogunan.
Pada suatu malam, ia telah berniat untuk membawa lari Roro Mendut.
Usahanya ini diketahui oleh Nyai Ajeng dan Wiroguno. Wiroguno ingin
mengejar mereka berdua tetapi Nyai Ajeng membiarkannya lari.
Pronocitro melompat pagar dan masuk halaman keputrian. Berhati-hati
ia mendekati gandhok. Dipanggilnya lirih kekasihnya yang pas mau
masuk pintu. Ketika melihat Pronocitro, Mendut terbelalak matanya,
telapak tangan di muka mulut, dan tergopoh langsung mematikan
lampu……Prajurit tadi melapor kepada penatus, bahwa Pronocitro telah
masuk. Penatus melapor kepada dayang-utama Nyai Ajeng. Dayang
Nyai Ajeng melapor kepada Nyai Ajeng yang sudah terbaring di ranjang.
Nyai Ajeng lekas berbusana sedikit, lalu menemui penatus Jogopuro
yang masih menunggu di luar. Mereka berunding apa yang sebaiknya
dikerjakan. Akhirnya Nyai Ajeng memutuskan untuk menyaksikan
dengan mata kepala sendiri. Pelan-pelan mereka, dengan disertai
dayang-utama pergi ke bagian gandhok Mendut ……( RM, 1983:360)
Saat kejadian itu, Nyai Ajeng membawa Wiroguno ke gandhok Mendut:
“Kakanda, daripada hanya membayangkan saja, mari kita tengok
kekasih Kanjeng.”
Tak terasa mereka sampai di gerbang halaman keputrian. Penatus
Jogopuro memberi hormat, bersembah dan melapor menurut instruksi,
“Dia masih di dalam.”
Nyai Ajeng (sengaja keras-keras), “Siapa?”
“Pronocitro, Puanku.”
Jantung Wiroguno serasa berhenti.
“Pronocitro? Di dalam?”
Meledaklah sekarang segala kubah lahar yang selama ini tertumpuk.
Sungguh dahsyat mengerikan bila gunung seperti Merapi meletus.
Mengamuklah Wiroguno masuk ke halaman menuju gandhok Mendut.
Digebraknya pintu. Ni Semongko dan Gendhuk Duku menjerit dan
langsung spontan lari. Ruang tidur Mendut ternyata kosong.
Nyai Ajeng membisikkan perintah kepada Jogopuro, “Biarkan dua orang
itu lari!”……..
Prajurit dan dayang-dayang berbondong lari ke kandang kuda. Keputrian
menjadi sepi. Lekas-lekas Putri Arumardi masuk gandhoknya dan
memberi tanda. Secepat badai, Pronocitro dan Roro Mendut yang oleh
kewaspadaan Arumardi disembunyikan dalam gandhoknya berlari
keluar, memanjat tangga yang tak kelihatan tersembunyi di balik
dedaunan pohon sawo kecik yang rindang, gesit meloncat di atas
dinding puri. Di luar Ntir-untir dan Bolu sudah siap dengan tangga lain.
Tanpa menghamburkan secuil detik Mendut diangkat di atas kuda yang
telah siap, dan berlarilah kedua kekasih itu ke dalam kegelapan malam.
Ntir-untir dan Bolu cepat-cepat naik kuda mereka masing-masing dan
lari ke arah yang berlawanan.
5. Resolusi
Serangan kilat Wiroguno benar-benar menentukan. Pronocitro
tergelimpang di muka Roro Mendut, walaupun masih sempat menikam
Wiroguno, yang terampil mengelakkan serangan. Wiroguno
mengamuk untuk keduakalinya dan penuh nafsu menikamkan
kerisnya ke arah dada Pronocitro. Tetapi pada saat itu Mendut
maju spontan bermaksud membela kekasihnya. Tanpa sengaja
keris Wiroguno menusuk jantung Mendut yang rebah di atas
kekasihnya. Sebuah gelombang besar dari laut merenggut kedua
kekasih yang bermandikan darah saling merangkul itu. Terbawalah
langsung mereka ke muara
Persamaan
- Dalam Novel Roro mendut, kisah tentang Roro Mendut dan Pronocitro.
Seperti halnya Laila Majnun, kisah tentang kemuliaan cinta, kesetiaan,
dan pengorbanan yang didasarkan pada mitos yang sejak berabad-
abad lalu beredar dalam masyarakat.
Ada dua segi menarik yang bisa dilihat dalam kedua karya penulis ini.
1. sebagaimana telah disebutkan, Laila Majnun dan Roro Mendut
bukanlah karya “asli” karena keduanya berangkat dari cerita rakyat
terkenal milik masyarakat pendukungnya;
2. sebagai penulis, Mangunwijaya dan Nizami juga sama-sama
mempunyai latar belakang kehidupan spiritual yang khusus;
Mangunwijaya seorang pastor dan Nizami seorang sufi.
Perbedaan
- Kisah tentang Roro Mendut-Pronocitro mungkin hanya dikenal dalam
wilayah geografis yang lebih terbatas bila dibandingkan dengan Laila
Majnun yang bersifat Universal
•
Penguasa Kadipaten Pati itu pun bermaksudmenjadikannya sebagai selir.
Bermakna lampau karena di masa sekarang sudah tidak adaselir seperti yang
dimaksud dalam kalimat tersebut.
Mereka terus menyeret gadis itu naik ke kuda lalu membawanya ke keraton.
•
Oleh karena masih dalam pengawasan prajurit Mataram,Roro Mendut
kemudian meminta izin untuk berdagang rokok di pasar.
•
Suatu hari, ketika sedang berjualan di pasar, Roro Mendut bertemu dengan
Pronocitro yang sengaja datang mencarikekasihnya itu.
•
Setiba di istana, Roro Mendut menceritakan perihal pertemuannya dengan
Pronocitro kepada Putri Arumardi,…