Cut nyak dien adalah seorang sosok pahlawan wanita dari aceh barat yang mendapat julukan
srikandi Indonesia. Cut nyak dien anak dari teuku nan setia. Sedangkan ibunya anak
bangsawan dari lampar. Kakaknya bernama teuku rakyat. Cut nyak dien dilahirkan tahun
1848.
MELETUSNYA ERANG ACEH MULAI TANGGAL 4 JUNI 1873
Suami cut nyak dien yang pertama adalah teuku Ibrahim dari lamnga, anak dari teuku abas.
Dan dikarunia anak perempuan kemudian di beri nama cut gambang. Suami cut nyak dien
ditembak oleh belanda.
Cut nyak dien menikah lagi dengan panglima perangnya bernama teuku umar. Teuku umar
juga tertembak belanda pada tanggal 11 februari 1899 di ujung kala malaboh.
Pada tanggal 6 november 1905 cut nyak dien tertangkap oleh belanda. Pada saat itu mata cut
nyak dien dalam keadaan tidak bias melihat (buta).
Pada tanggal 11 desember 1906 dibuang ke seumedang bersama panglima dan seorang anak
laki-laki berumur 15 tahun. Pada waktu gubernur jendral belanda. Waktu bupati sumedang
pangeran surya aria atmaja
Untuk merawa cut nyak dien pangeran surya atmaja menyerahkan cut nyak dien ke K.H
Sanusi. Pada waktu itu rumahnya kecil. Setelah satu tahun merawat 1 tahun K.H Sanusi
meninggal pada tahun 1967 dan dimakamkan di gunung puyuh sumedang.
Kemudian cut nyak dien diurus oleh anak K.H sanusi yaitu H.Husna. semua kepentingan cut
nyak dien sangat diperhatikan pangeran aria suriiatmaja. waloupun mata cut nyak dien tidak
bias melihat tapi cut nyak dien bisa mengajarkan ibu-ibu mengaji, maka cut nyak dien di beri
julukan ibu perbu/ ibu ratu masyarakat. Cut nyak dien sangat dekat dengan siti khodijah
(anak dari H. Husna). Pada tahun 1967 siti khodijah meninggal dan dimakamkan di gunung
puyuh.
Nah, pada masa mudanya, Bung Tomo yang memiliki minat pada dunia jurnalisme tercatat
sebagai wartawan lepas pada Harian Soeara Oemoem di Surabaya 1937. Setahun kemudian,
ia menjadi Redaktur Mingguan Pembela Rakyat serta menjadi wartawan dan penulis pojok
harian berbahasa Jawa, Ekspres, di Surabaya pada tahun 1939.
Pada masa pendudukan Jepang, Sutomo bekerja di kantor berita tentara pendudukan Jepang,
Domei, bagian Bahasa Indonesia untk seluruh Jawa Timur di Surabaya (1942-1945). Saat
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, beliau memberitakannya dalam
bahasa Jawa bersama wartawan senior Romo Bintarti untuk menghindari sensor Jepang.
Selanjutnya, beliau menjadi Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya.
Ketika meletus pertempuran di Surabaya, 10 November 1945, Bung Tomo tampil sebagai
orator ulung di depan corong radio, membakar semangat rakyat untuk berjuang melawan
tentara Inggris dan NICA-Belanda. Sejarah mencatat bahwa perlawanan rakyat Indonesia di
Surabaya yang terdiri atas berbagai suku bangsa sangat dahsyat gan harsindo.com. Tidak ada
rasa takut menghadapi tentara Inggris yang bersenjata lengkap. Tanggal 10 November pun
kemudian kita kenang sebagai Hari Pahlawan.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bung Tomo pernah aktif dalam politik pada tahun 1950-an.
Namun pada awal tahun 1970-an, ia berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Pada
11 April 1978 ditahan oleh pemerintah selama satu tahun karena kritik-kritiknya yang pedas.
Sutomo meninggal di Mekkah, ketika sedang menunaikan ibadah haji. Jenazah Bung Tomo
dibawa kembali ke Indonesia dan dimakamkan di TPU Ngagel, Surabaya. Bung Tomo,
pahlawan pengobar semangat Juang arek-arek Surabaya ini mendapat gelar pahlawan secara
resmi dan pemerintah pada tahun 2008.
Tempat/Tgl. Lahir
Tempat/Tgl. Wafat
SK Presiden
Gelar
: Pahlawan Nasional
Selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin
setjarik kain poetih mendjadi merah & putih, maka selama itoe tidak akan kita maoe
menjerah kepada siapapoen djuga!
Sejarah singkat R.A Dewi Sartika biografi dan profil milik beliaudimulai ketika ia lahir
di Bandung, 130 tahun yang lalu pada tanggal 4 Desember. Ayah dari gadis ini ialah Raden
Somanagara, seorang pejuang kemerdekaan yang dihukum buang menuju pulau Ternate pada
masa Hindia Belanda masih memerintah Indonesia, dimana ayahnya kemudian meninggal
dunia di Ternate. Dewi Sartika lahir di keluarga priyayi Sunda dengan Nyi Raden Rajapermas
sebagai ibunya, dan meskipun adat daerah pada waktu itu wanita tidak boleh bersekolah,
kedua orangtuanya bersikeras untuk menyekolahkan gadis ini, terlebih di sekolah milik
Belanda.
Setelah ayahnya tiada, pamannya yang merupakan patih Cicalengka mengambil Dewi Sartika
untuk dirawat. Dari pamannya ini juga lah ia mendapatkan berbagai ilmu tentang kesundaan.
Selain dari pawannya, ia mempelajari banyak hal tentang kebudayaan Barat dari seorang
asisten residen Belanda. Dewi Sartika kecil memang sudah terlihat sebagai seorang pendidik
dan amat gigih untuk meraih kemajuan. Terkadang dapat dilihat ketika ia bermain di taman
belakang gedung kantor pamannya, ia sering mencoba-coba kegiatan-kegiatan yang ada di
sekolah sepertu mengajari baca-tulis dan bahasa Belanda kepada anak-anak dari pembantu
kepatihan. Adapun alat-alat yang menjadi alat bantu baginya mengajar adalah arang, genting
yang pecah, dan papan kandang kereta.
Sejarah singkat R.A Dewi Sartika biografi dan profil yang ada menuliskan bahwa beliau
menempuh sekolah dasar di Cicalengka. Bukti lain bahwa Dewi Sartika sudah berbakat
dalam dunia pengajaran selain hobinya bermain peran menjadi guru adalah ketika ia
menginjak umur 10 tahun, ia sudah ahli baca-tulis dan beberapa kata bahasa Belanda yang
mampu ditunjukkan oleh anak-anak dari pembantu kepatihan. Yang membuat warga
Cicalengka terkejut adalah pada masa itu hampir tidak ada anak-anak dari kalangan rakyat
jelata yang mampu melakukan hal-hal tersebut, terlebih lagi fakta bahwa yang mengajari
mereka adalah seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun.
Menginjak remaja, Dewi Sartika kembali pulang ke pangkuan ibundanya di Bandung. Jiwa
dewasa yang berkembang di dalam dirinya semakin mendorong gadis ini untuk
merealisasikan mimpi-mimpinya, yang juga diberikan dukungan penuh oleh pamannya yang
punya keinginan yang sama. Meski begitu, kesamaan mimpi antara Dewi Sartika dengan
pamannya tidak serta merta membuat hal ini menjadi lebih mudah bagi kedua orang tersebut
karena di masa itu ada adat yang menjadi rantai pengekang wanita, yang membuat pamannya
menjadi khawatir dan kesulitan. Terlepas dari semua masalah yang ada, api semangat yang
membara dalam hati Dewi Sartika tidak padam, dan pada akhirnya ia berhasil meyakinkan
pamannya dan mendapatkan izin pendirian sekolah khusus untuk perempuan.
Mimpi yang dimiliki Dewi Sartika perlahan menjadi kenyataan, dimulai pada tahun 1902
dimana ia membuka sebuah tempat pendidikan bagi para perempuan. Tempat yang dipilih
oleh Dewi Sartika adalah sebuah runagan kecil yang terletak di bagian belakang rumah milik
ibunya di Bandung. Yang menjadi materi pelajaran dari sekolah milik Dewi Sartika pada
masa itu antara lain adalah memasak, menjahit, menulis, merenda, dan memasak. Pada 16
Januari 1904, Dewi Sartika akhirnya membuka sebuah Sakola Istri (Sekolah Perempuan)
setelah sebelumnya berkonsultasi dengan Bupati R. A. Martenagara. Sekolah yang ia dirikan
merupakan sekolah bagi perempuan yang pertama perdiri di Hindia-Belanda, dan memiliki
tiga pengajar yaitu Dewi Sartika sendiri dan Ny. Poerwa serta Nyi. Oewid. Ruangan yang
digunakan mereka adalah pendopo kabupaten Bandung, dan murid angkatan pertama mereka
ada sebanyak 20 orang. Karena kelas yang ada bertambah, pada tahun 1905 sekolah ini
pindah menuju Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Tempat baru ini dibeli menggunakan uang dari
Dewi Sartika sendiri dan suntikan dana dari kantong pribadi milik Bupati Bandung.
Ayah Kartini, RMAA Sosroningrat, pada awalnya kepala distrik Mayong. Ibunya MA
Ngasirah, putri dari Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara, dan Nyai
Haji Siti Aminah. Pada waktu itu, peraturan kolonial ditentukan bahwa Kepala Kabupaten
harus menikahi seorang anggota bangsawan dan karena MA Ngasirah bukanlah bangsawan
yang cukup tinggi.
Biografi R.A Kartini, Ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam),
keturunan langsung dari Raja Madura. Setelah perkawinan kedua ini, ayah Kartini diangkat
untuk Kepala Kabupaten Jepara, menggantikan ayahnya sendiri istri keduanya, RAA
Tjitrowikromo.
Ibu Kita Kartini dilahirkan dalam keluarga dengan tradisi intelektual yang kuat. Kakeknya,
Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun sementara Kakak
Kartini, Sosrokartono adalah seorang ahli bahasa.
Keluarga Kartini mengizinkannya untuk menghadiri sekolah sampai dia berumur 12 tahun, di
antara mata pelajaran lain, ia fasih berbahasa Belanda, suatu prestasi yang tidak biasa bagi
wanita Jawa pada waktu itu.
Setelah berusia 12 tahun ia harus berdiam diri di rumah, aturan di kalangan bangsawan Jawa
pada masa tersebut, tradisi untuk mempersiapkan para gadis-gadis di usia muda untuk
pernikahan mereka. Gadis pingitan yang tidak diizinkan untuk meninggalkan rumah orangtua
mereka sampai mereka menikah, di mana titik otoritas atas mereka dialihkan kepada suami
mereka.
Ayah Kartini memberikan keringanan kepadanya selama pengasingan putrinya, memberikan
hak istimewa seperti memberikan pelajaran menyulam dan kadang-kadang tampil di depan
umum untuk acara khusus.
Selama pengasingan itu, Kartini terus mendidik dirinya sendiri. Karena Kartini bisa
berbahasa Belanda, ia mendapatkan beberapa teman pena Belanda. Salah satu dari mereka,
seorang gadis bernama Rosa Abendanon, menjadi temannya sangat dekat. Buku, surat kabar
dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa, dan memupuk
keinginan untuk memperbaiki kondisi perempuan pribumi, yang pada waktu itu memiliki
status sosial yang sangat rendah.
Kartini membaca surat kabar Semarang De Locomotief, disunting oleh Pieter Brooshooft,
serta leestrommel, sebuah majalah yang diedarkan oleh toko buku kepada para pelanggan.
Dia juga membaca majalah budaya dan ilmiah serta majalah wanita Belanda De Hollandsche
Lelie, yang ia mulai mengirim kontribusi yang diterbitkan. Dari surat-suratnya, jelas bahwa
Kartini membaca segala sesuatu dengan banyak perhatian dan perhatian. Buku-buku yang
telah dibacanya sebelum ia berusia 20 tahun dimasukkan oleh Max Havelaar dan Surat Cinta
oleh Multatuli. Dia juga membaca De Stille Kracht (The Hidden Force) oleh Louis Couperus,
karya-karya Frederik van Eeden, Augusta de Witt, penulis Romantis-feminis Mrs Goekoop
de-Jong Van Beek dan sebuah novel anti-perang oleh Berta von Suttner, Waffen Nieder mati!
(Lay Down Your Arms!). Semua berada di Belanda.
Keprihatinan Kartini tidak hanya dalam bidang emansipasi wanita, tetapi juga masalahmasalah masyarakatnya. Kartini melihat bahwa perjuangan bagi perempuan untuk
memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum itu hanya bagian dari gerakan yang
lebih luas.
Orangtua Kartini diatur pernikahannya dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Kepala
Kabupaten Rembang, yang sudah memiliki tiga istri. Dia menikah pada tanggal 12 November
1903. Ini bertentangan dengan keinginan Kartini, tetapi dia setuju untuk menenangkan
ayahnya yang sakit. Suaminya mengerti tujuan Kartini dan memungkinkannya untuk
mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks Kantor Kabupaten
Rembang.
Kartini melahirkan seorang anak hasil pernikahannya dengan Raden Adipati Joyodiningrat,
Kepala Kabupaten Rembang pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian pada
tanggal 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25. Dia dimakamkan di Desa Bulu,
Rembang.
Terinspirasi oleh contoh Kartini, keluarga Van Deventer mendirikan Yayasan Kartini yang
membangun sekolah untuk perempuan, Sekolah Kartini di Semarang pada 1912, diikuti oleh
sekolah-sekolah perempuan lain di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan
daerah lainnya.
Peringatan Hari Kartini pada tahun 1953 Pada tahun 1964, Presiden Sukarno menyatakan
tanggal kelahiran Kartini, 21 April, sebagai Hari Kartini Hari Libur Nasional Indonesia.
Keputusan ini telah dikritik. Telah diusulkan bahwa Hari Kartini harus dirayakan dalam
hubungannya dengan Hari ibu Indonesia, pada tanggal 22 Desember sehingga pilihan Kartini
sebagai pahlawan nasional tidak akan menaungi wanita lain yang tidak seperti Kartini,
mengangkat senjata untuk melawan penjajah.
Sebaliknya, orang-orang yang mengakui pentingnya Kartini berpendapat bahwa tidak hanya
dia seorang feminis yang ditinggikan status perempuan di Indonesia, dia juga seorang tokoh
nasionalis, dengan ide-ide baru yang berjuang atas nama orang-orang, termasuk di tingkat
nasional perjuangan kemerdekaan.
Setelah dewasa, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud menikah dengan salah seorang
puteri dari Tuanku Hasyim Bangtamuda, tokoh Aceh yang seperjuangan dengan ayahnya. Dia
diangkat sebagai Panglima Polem IX pada bulan Januari 1891 untuk menggantikan ayahnya
Panglima Polem Raja Kuala yang telah berpulang ke rahmatullah. Setelah pengangkatannya
sebagai Panglima dia kemudian mempunyai nama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda
Setia Perkasa Muhammad Daud. (Ibrahim Alfian: 1977, 209).
Dukungan Keluarga
Dalam perjuangannya sebagai Panglima Sagoe XXII Mukim (Pedalaman Aceh Besar), Teuku
Panglima Polem Sri Muda Peurkasa Muhammad Daud dibantu oleh dua orang Panglima,
yakni abang iparnya yang bernama Teuku Ali Basyah dari Geudong dan Teuku Ibrahim
Montasie'. Di samping itu, Panglima Polem juga mendapat dukungan yang sangat kuat dari
mertuanya Tuanku Hasyim Bangtamuda. Di mana dia sendiri berhasil mengumpulkan dana
sabilillah dari wilayah bawahannya XXII Mukim yang jumlahnya sekitar 35.000 ringgit dan
mertuanya Tuanku Hasyim juga berhasil mengumpulkan amunisi dari Daerah VII Mukim
Pidie.
SULTAN HASANUDDIN
Nama Lengkap
: Sultan Hasanuddin
Alias
Profesi
: Pahlawan Nasional
Agama
: Islam
Tempat Lahir
Tanggal Lahir
BIOGRAFI
Terkenal dengan sebutan 'Ayam Jantan Dari Timur', Sultan Hasanuddin adalah pahlawan
nasional dari Sulawesi, tepatnya dari Kerajaan Gowa. Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa
ke-16, putra dari I Manuntungi Daeng Mattola yang bergelar Sultan Malikussaid (ayah) dan
ibunya bernama I Sabbe To'mo Lakuntu.
Ilmu berpolitik, diplomasi, ilmu pemerintahan dan ilmu perang dipelajari Hasanuddin ketika
ikut mendampingi ayahnya melakukan perundingan-perundingan penting, ditambah dengan
bimbingan Karaeng Pattingaloang, mangkubumi kerajaan Gowa, yang sangat berpengaruh
dan cerdas.
Pergaulan Hasanuddin yang luas dengan rakyat jelata, orang asing dan Melayu membuatnya
sering dipercaya menjadi utusan ayahnya untuk mengunjungi daerah dan kerajaan lain.
Pada usia 21 tahun, Sultan Hasanuddin ditugaskan untuk menjabat bagian pertahanan
Kerajaan Gowa. Di sinilah Sultan Hasanuddin mulai bermain strategi mengatur pertahanan
untuk melawan serangan Belanda yang ingin memonopoli perdagangan di Maluku.
Setahun kemudian ayahnya wafat, dan atas titah beliau, Sultan Hasanuddin yang seharusnya
tidak ada dalam garis tahta dinobatkan menjadi raja karena kepintaran dan keahliannya.
Peperangan dengan Belanda berlangsung alot karena dua kubu memiliki kekuatan armada
yang sebanding. Hingga Belanda menemukan bahwa daerah-daerah di bawah kekuasaan
Gowa mudah dihasut dan dipecah belah.
Arung Palakka yang merupakan sahabat sepermainan Sultan Hasanuddin saat kecil
memimpin pemberontakan Raja Bone terhadap Kerajaan Gowa.
Tahun 1662, Belanda kembali mengobarkan perang saudara dan di tahun 1664, Sultan
Ternate, Sultan Buton dan Arung Palakka berhasil disatukan di bawah kendali Belanda.
Setelah 16 tahun berperang tidak hanya dengan Belanda namun juga dengan rakyatnya
sendiri (yang memberontak), Sultan Hasanuddin akhirnya kalah dalam peperangan tahun
1669.
Di tahun yang sama Sultan Hasanuddin mundur dari jabatannya sebagai Raja Gowa dan
memilih menjadi pengajar agama Islam sambil tetap menanamkan rasa kebangsaan dan
persatuan. Sultan Hasanuddin wafat tanggal 12 Juni 1670, dan tidak mau bekerja sama
dengan Belanda hingga akhir hayatnya.
TEUKU UMAR
Teuku Umar Lahir di Meulaboh pada tahun 1854 - Wafat di Meulaboh pada tanggal 11
Februari 1899
Adalah Pahlawan Kemerdekaan Indonesia di Nanggroe Aceh Darussalam yang berjuang
dengan cara berpura - pura bekerjasama dengan koloial Belanda. Ia melawan Belanda ketika
telah mengumpulkan senjata dan uang yang cukup banyak.
Foto yang di sebelah kiri adalah gambar di buku sejarah. sedangkan foto yang di sebelah
kanan adalah foto asli Teuku Umar pada masa Kerajaan Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.
WR SUPRATMAN
WR Supratman terkenal sebagai seorang komposer dan pencipta lagu kebangsaan Indonesia
Raya. Beliau lahir di Jakarta 9 Maret 1903, meninggal di Surabaya 17 Agustus 1938,
dimakamkan di Surabaya. Ayahnya bernama Senen, sersan di Batalyon VIII. Saudara Soepratman
berjumlah enam, laki satu, lainnya perempuan. Sebagai seorang anak bintara KNIL WR
Supratman kerap berpindah-pindah tempat tinggal . Beliau menyelesaikan Sekolah Dasar di
Jakartadan meneruskan pendidikan ke Normal School Makassar hingga tamat. Setelah itu pindah
ke Bandung setelah sebelumnya sempat bekerja sebagai guru sekolah dasar di Makassar.
Di Bandung beliau bekerja sebagai wartawan dan sejak itu ikut aktif dalam pergerakan nasional.
Kebenciannya terhadap Belanda pernah ia tuangkan dalam sebuah bukunya yang berjudul
perawan desa. Namun buku tersebut dilarang beredar serta di sita Belanda.
WR. Supratman memiliki kepandaian bermain biola. Tahun 1924 inspirasinya muncul untuk
menciptakan lagu kebangsaan setelah ia membaca sebuah artikel di majalah timbul. Sewaktu
tinggal di Makassar, Soepratman memperoleh pelajaran musik dari kakak iparnya yaitu Willem
van Eldik, sehingga pandai bermain biola dan kemudian bisa menggubah lagu. Ketika tinggal di
Jakarta, pada suatu kali ia membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul. Penulis karangan
itu menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Maka lahirlah lagu
Indonesia raya. Pada malam penutupan kongress pemuda II yang berlangsung tanggal 27-28
Oktober 1928 WR Supratman diberi kesempatan menampilkan lagu Indonesia Raya lewat
gesekan biolanya. Kongres tersebut selain melahirkan Sumpah Pemuda juga menetapkan bendera
merah putih sebagai bendera nasional. Sejak saat itu bendera merah putih dan lagu Indonesia
Raya selalu hadir dalam setiap kongres yang dilakukan partai-partai politik.
Lagu Indonesia Raya juga dinyanyikan secara spontan saat proklamasi kemerdekaan tanggal 17
Agustus 1945 yang kemudian ditetapkan sebagai lagu kebangsaan setelah Indonesia Merdeka.
Berdasarkan SK Presiden NO 16/TK/1971, WR Supratman kemudian ditetapkan sebagai
pahlawan nasional.
Siyem.
nasihat
dokter.
Sebab,
saya
harus
mengikuti
siasat
perang.
Jenderal Soedirman meninggal dunia di Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 29 Januari
1950 akibat sakit tuberkulosis parah yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan di Semaki, Yogyakarta. Tahun 1997 dia mendapat gelar sebagai Jenderal Besar
Anumerta dengan bintang lima, pangkat yang hanya dimiliki oleh tiga jenderal di RI sampai
sekarang, Haji Muhammad Soeharto, Abdul Haris Nasution dan dirinya sendiri.
TUGAS KLIPING
PAHLAWAN NASIONAL
NAMA
: MAULIDAN REIFAI L.
KELAS
:V
SEKOLAH
: MIM PATIKRAJA