Anda di halaman 1dari 39

Biografi Dewi Sartika

 Wink  Biodata, Biografi, Biografi Indonesia, Biografi Tokoh, Pahlawan Nasional, Tokoh Wanita

Advertisement

Dewi Sartika lahir di Bandung, 4 Desember 1884, dan


meninggal di Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur 62 tahun. Beliau adalah tokoh perintis
pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia
tahun 1966. Ayahnya, Raden Somanagara adalah seorang pejuang kemerdekaan. Terakhir, sang ayah
dihukum buang ke Pulau Ternate oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga meninggal dunia di sana.
Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda , Nyi Raden Rajapermas dan Raden
Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika,
ke sekolah Belanda pula. 

Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan
sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan,
sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten
Residen bangsa Belanda. Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan
kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering
memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak
pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat
bantu belajar. 
Raden Dewi Sartika yang mengikuti pendidikan Seko lah Dasar di Cicalengka, sejak kecil memang
sudah menunjukkan minatnya di bidang pendidikan. Dikatakan demikian karena sejak anak-anak ia
sudah senang memerankan perilaku seorang guru. Sebagai contoh, sebagaimana layaknya anak-anak,
biasanya sepulang sekolah, Dewi kecil selalu bermain sekolah-sekolahan dengan teman-teman anak
perempuan sebayanya, ketika itu ia sangat senang berperan sebagai guru. Waktu itu Dewi Sartika
baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan
beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan.
Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki
kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan. 

Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa memperoleh kesempatan menuntut ilmu
pengetahuan, maka ia berjuang mendirikan sekolah di Bandung, Jawa Barat. Ketika itu, ia sudah
tinggal di Bandung. Perjuangannya tidak sia-sia, dengan bantuan R.A.A.Martanegara, kakeknya, dan
Den Hamer yang menjabat Inspektur Kantor Pengajaran ketika itu, maka pada tahun 1904 dia
berhasil mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya “Sekolah Isteri”. Sekolah tersebut hanya dua
kelas sehingga tidak cukup untuk menampung semua aktivitas sekolah. Maka untuk ruangan belajar,
ia harus meminjam sebagian ruangan Kepatihan Bandung. Awalnya, muridnya hanya dua puluh
orang. Murid-murid yang hanya wanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda,
menyulam dan pelajaran agama.

Sekolah Istri tersebut terus mendapat perhatian positif dari masyarakat. Murid- murid bertambah
banyak, bahkan ruangan Kepatihan Bandung yang dipinjam sebelumnya juga tidak cukup lagi
menampung murid-murid. Untuk mengatasinya, Sekolah
Advertisement

Isteri pun kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Seiring perjalanan waktu, enam tahun
sejak didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit diperbarui menjadi Sekolah Keutamaan
Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga bertambah. 
Ia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik,
bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang berhubungan dengan
pembinaan rumah tangga banyak diberikannya. Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia
membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi
berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya. Salah satu yang
menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari Raden Kanduruan Agah
Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga
maupun pemikiran.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri,
terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan
Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah
dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya
diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten
wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini
menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh.  

Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada
tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan. Bulan September 1929, Dewi
Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian
berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika
dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda. 

Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang
memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu
merupakan Sekolah Latihan Guru. Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan
dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu
Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati
Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.

 Jangan tanya apa yang telah diberikan negara kepadamu, tapi apa yang telah kamu
berikan pada negaramu. Kata bijak tersebut sangat tepat menjadi panduan semua
bangsa yang hendak menobatkan seseorang sebagai penerima gelar kehormatan
‘pahlawan’ di negaranya.
Terlepas dari bentuk atau cara perjuangannya, seorang pahlawan pasti telah berbuat sesuatu yang
heroik untuk bangsanya sesuai kondisi zamannya. Demikian halnya dengan Raden Dewi Sartika. Jika
pahlawan lain melakukan perjuangan untuk bangsanya melalui perang frontal seperti angkat senjata,
Dewi Sartika memilih perjuangan melalui pendidikan, yakni dengan mendirikan sekolah. Berbagai
tantangan, khususnya di bidang pendanaan operasional sekolah yang didirikannya sering
dihadapinya. Namun berkat kegigihan dan ketulusan hatinya untuk membangun masyarakat
negerinya, sekolah yang didirikannya sebagai sarana pendidikan kaum wanita bisa berdiri terus,
bahkan menjadi panutan di daerah lainnya. biografiku.com
Mohammad Yamin
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Mohammad Yamin
Menteri Penerangan Indonesia ke-14

Masa jabatan
6 Maret 1962 – 17 Oktober 1962

Presiden Soekarno

Didahului oleh Maladi

Digantikan Roeslan Abdulgani


oleh

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia ke-9

Masa jabatan
30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955

Presiden Soekarno

Perdana Ali Sastroamidjojo


Menteri

Didahului oleh Bahder Djohan

Digantikan R.M. Suwandi


oleh

Menteri Kehakiman Indonesia ke-6

Masa jabatan
27 April 1951 – 14 Juni 1951

Presiden Soekarno

Perdana Sukiman Wirjosandjojo


Menteri

Didahului oleh Wongsonegoro

Digantikan Mohammad Nasrun


oleh

Informasi pribadi

Lahir 24 Agustus 1903
 Sawahlunto, Sumatera
Barat, Hindia Belanda

Meninggal 17 Oktober 1962 (umur 59)
 Jakarta, Indonesia

Kebangsaan Indonesia

Agama Islam
Tanda tangan

Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H. (lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 24


Agustus 1903 – meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun) adalah
sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus, dan ahli hukum yang telah dihormati
sebagai pahlawan nasional Indonesia. Ia merupakan salah satu perintis puisi modern
Indonesia dan pelopor Sumpah Pemuda sekaligus "pencipta imaji keindonesiaan" yang
mempengaruhi sejarah persatuan Indonesia.[1][2]

Daftar isi
  [sembunyikan] 

 1Latar belakang
 2Kesusastraan
 3Politik
 4Keluarga
 5Karya-karyanya
 6Penghargaan
 7Lihat pula
 8Referensi
 9Pranala luar

Latar belakang[sunting | sunting sumber]


Mohammad Yamin dilahirkan di Talawi, Sawahlunto pada 23 Agustus 1903. Ia merupakan
putra dari pasangan Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah yang masing-masing berasal
dari Sawahlunto dan Padang Panjang. Ayahnya memiliki enam belas anak dari lima istri,
yang hampir keseluruhannya kelak menjadi intelektual yang berpengaruh. Saudara-saudara
Yamin antara lain : Muhammad Yaman, seorang pendidik; Djamaluddin Adinegoro, seorang
wartawan terkemuka; dan Ramana Usman, pelopor korps diplomatik Indonesia. Selain itu
sepupunya, Mohammad Amir, juga merupakan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Yamin mendapatkan pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche
School (HIS) Palembang, kemudian melanjutkannya ke Algemeene Middelbare
School (AMS) Yogyakarta. Di AMS Yogyakarta, ia mulai mempelajari sejarah purbakala dan
berbagai bahasa seperti Yunani, Latin, dan Kaei. Namun setelah tamat, niat untuk
melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belanda harus diurungnya dikarenakan ayahnya
meninggal dunia. Ia kemudian menjalani kuliah di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah
Tinggi Hukum di Jakarta, yang kelak menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia), dan
berhasil memperoleh gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) pada tahun 1932.

Kesusastraan[sunting | sunting sumber]
Mohammad Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada dekade 1920-an semasa
dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan. Karya-karya pertamanya ditulis
menggunakan bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatera, sebuah jurnal berbahasa
Belanda pada tahun 1920. Karya-karya terawalnya masih terikat kepada bentuk-
bentuk bahasa Melayu Klasik.
Pada tahun 1922, Yamin muncul untuk pertama kali sebagai penyair dengan
puisinya, Tanah Air; yang dimaksud tanah airnya yaitu Minangkabau di Sumatera. Tanah
Air merupakan himpunan puisi modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan.
Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928. Karya ini
sangat penting dari segi sejarah, karena pada waktu itulah Yamin dan beberapa
orang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa,
dan satu bahasa Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang
berdasarkan sejarah Jawa, muncul juga pada tahun yang sama.
Dalam puisinya, Yamin banyak menggunakan bentuk soneta yang dipinjamnya dari literatur
Belanda. Walaupun Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, ia
masih lebih menepati norma-norma klasik Bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-
generasi penulis yang lebih muda. Ia juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah,
dan puisi. Ia juga menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar)
dan Rabindranath Tagore.

Politik[sunting | sunting sumber]
Karier politik Yamin dimulai ketika ia masih menjadi mahasiswa di Jakarta. Ketika itu ia
bergabung dalam organisasi Jong Sumatranen Bond[3] dan menyusun ikrah Sumpah
Pemuda yang dibacakan pada Kongres Pemuda II. Dalam ikrar tersebut, ia
menetapkan Bahasa Indonesia, yang berasal dari Bahasa Melayu, sebagai bahasa
nasional Indonesia. Melalui organisasi Indonesia Muda, Yamin mendesak supaya Bahasa
Indonesia dijadikan sebagai alat persatuan. Kemudian setelah kemerdekaan, Bahasa
Indonesia menjadi bahasa resmi serta bahasa utama dalam kesusasteraan Indonesia.
Pada tahun 1932, Yamin memperoleh gelar sarjana hukum. Ia kemudian bekerja dalam
bidang hukum di Jakarta hingga tahun 1942. Pada tahun yang sama, Yamin tercatat
sebagai anggota Partindo. Setelah Partindo bubar, bersama Adenan Kapau Gani dan Amir
Sjarifoeddin, ia mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Tahun 1939, ia terpilih
sebagai anggota Volksraad.
Semasa pendudukan Jepang (1942-1945), Yamin bertugas pada Pusat Tenaga
Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang.
Pada tahun 1945, ia terpilih sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang BPUPKI, Yamin banyak memainkan
peran. Ia berpendapat agar hak asasi manusia dimasukkan ke dalam konstitusi negara. [4] Ia
juga mengusulkan agar wilayah Indonesia pasca-kemerdekaan,
mencakup Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor Portugis, serta semua
wilayah Hindia Belanda. Soekarno yang juga merupakan anggota BPUPKI menyokong ide
Yamin tersebut. Setelah kemerdekaan, Soekarno menjadi Presiden Republik
Indonesia yang pertama, dan Yamin dilantik untuk jabatan-jabatan yang penting dalam
pemerintahannya.
Setelah kemerdekaan, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin antara lain
anggota DPR sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951-1952), Menteri Pengajaran,
Pendidikan, dan Kebudayaan (1953–1955), Menteri Urusan Sosial dan Budaya (1959-
1960), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), Ketua Dewan Pengawas IKBN
Antara (1961–1962) dan Menteri Penerangan (1962-1963).
Pada saat menjabat sebagai Menteri Kehakiman, Yamin membebaskan tahanan
politik yang dipenjara tanpa proses pengadilan. Tanpa grasi dan remisi, ia mengeluarkan
950 orang tahanan yang dicap komunis atau sosialis. Atas kebijakannya itu, ia dikritik oleh
banyak anggota DPR. Namun Yamin berani bertanggung jawab atas tindakannya tersebut.
Kemudian disaat menjabat Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Yamin
banyak mendorong pendirian univesitas-universitas negeri dan swasta di seluruh Indonesia.
Di antaraperguruan tinggi yang ia dirikan adalah Universitas Andalas di Padang, Sumatera
Barat.

Keluarga[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 1937, Mohammad Yamin menikah dengan Siti Sundari, putri seorang
bangsawan dari Kadilangu, Demak, Jawa Tengah.[5] Mereka dikaruniai satu orang
putra, Dang Rahadian Sinayangsih Yamin. Pada tahun 1969, Dian melangsungkan
pernikahan dengan Raden Ajeng Sundari Merto Amodjo, putri tertua dari Mangkunegoro
VIII. [rujukan?]

Karya-karyanya[sunting | sunting sumber]

Sampul Buku Muhammad Yamin dan cita cita persatuan

 Tanah Air (puisi), 1922


 Indonesia, Tumpah Darahku, 1928
 Kalau Dewa Tara Sudah Berkata (drama), 1932
 Ken Arok dan Ken Dedes (drama), 1934
 Sedjarah Peperangan Dipanegara, 1945
 Tan Malaka, 1945
 Gadjah Mada (novel), 1948
 Sapta Dharma, 1950
 Revolusi Amerika, 1951
 Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, 1951
 Bumi Siliwangi (Soneta), 1954
 Kebudayaan Asia-Afrika, 1955
 Konstitusi Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi, 1956
 6000 Tahun Sang Merah Putih, 1958
 Naskah Persiapan Undang-undang Dasar, 1960, 3 jilid
 Ketatanegaraan Madjapahit, 7 jilid

Penghargaan[sunting | sunting sumber]

 Bintang Mahaputra RI, tanda penghargaan tertinggi dari Presiden RI atas jasa-


jasanya pada nusa dan bangsa
 Tanda penghargaan dari Corps Polisi Militer sebagai pencipta lambang Gajah Mada
dan Panca Darma Corps
 Tanda penghargaan Panglima Kostrad atas jasanya menciptakan Pataka Komando
Cadangan Strategis Angkatan Darat

Lihat pula[sunting | sunting sumber]


Biografi Dr Sutomo - Pendiri Budi Utomo
 Wink  Pahlawan Nasional, Profil, Tokoh Indonesia

Advertisement

Biografi Dr Sutomo. Dokter Sutomo yang bernama asli Subroto ini lahir di desa Ngepeh, Jawa
Timur, 30 Juli 1888. Ketika belajar di STOVIA (Sekolah Dokter), ia bersama rekan-rekannya, atas
saran dr. Wahidin Sudirohusodo mendirikan Budi Utomo (BU), organisasi modem pertama di
Indonesia, pada tanggal 20 Mei 1908, yang kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan
Nasional. Kelahiran BU sebagai Perhimpunan nasional Indonesia, dipelopori oleh para pemuda
pelajar STOVIA (School tot Opleiding voor Indische Artsen) yaitu Sutomo, Gunawan, Suraji dibantu
oleh Suwardi Surjaningrat, Saleh, Gumbreg, dan lain-lain. Sutomo sendiri diangkat sebagai ketuanya.

Tujuan perkumpulan ini adalah kemajuan nusa dan bangsa yang harmonis dengan jalan memajukan
pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, kebudayaan, mempertinggi cita-
cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa yang terhormat.

Kemudian kongres peresmian dan pengesahan anggaran dasar BU diadakan di Yogyakarta 5 Okt
1908. Pengurus pertama terdiri dari: Tirtokusumo (bupati Karanganyar) sebagai ketua; Wahidin
Sudirohusodo (dokter Jawa), wakil ketua; Dwijosewoyo dan Sosrosugondo (kedua-duanya guru
Kweekschool), penulis; Gondoatmodjo (opsir Legiun Pakualaman), bendahara; Suryodiputro (jaksa
kepala Bondowoso), Gondosubroto (jaksa kepala Surakarta), dan Tjipto Mangunkusumo (dokter di
Demak) sebagai komisaris.

Sutomo setelah lulus dari STOVIA tahun 1911, bertugas sebagai dokter, mula-mula di Semarang,
lalu pindah ke Tuban, pindah lagi ke Lubuk Pakam (Sumatera Timur) dan akhirnya ke Malang. Saat
bertugas di Malang, ia membasmi wabah pes yang melanda daerah Magetan.
Ia banyak memperoleh pengalaman dari seringnya berpindah tempat tugas. Antara lain, ia semakin
banyak mengetahui kesengsaraan rakyat
Advertisement

dan secara langsung dapat membantu mereka. Sebagai dokter, ia tidak menetapkan tarif, bahkan
adakalanya pasien dibebaskan dari pembayaran.

Kemudian ia memperoleh kesempatan memperdalam pengetahuan di negeri Belanda pada tahun


1919. Sekembalinya di tanah air, ia melihat kelemahan yang ada pada Budi Utomo. Waktu itu sudah
banyak berdiri partai politik. Karena itu, ia ikut giat mengusahakan agar Budi Utomo bergerak di
bidang politik dan keanggotaannya terbuka buat seluruh rakyat.
Dr Sutomo
Kemudian pada tahun 1924, ia mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang merupakan wadah
bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah tenun, bank kredit, koperasi, dan
sebagainya. Pada tahun 1931 ISC berganti nama menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Di
bawah pimpinannya, PBI berkembang pesat.

Sementara itu, tekanan dari Pemerintah Kolonial Belanda terhadap pergerakan nasional semakin
keras. Lalu Januari 1934, dibentuk Komisi BU-PBI, yang kemudian disetujui oleh kedua pengurus-
besarnya pertengahan 1935 untuk berfusi. Kongres peresmian fusi dan juga merupakan kongres
terakhir BU, melahirkan Partai Indonesia Raya atau disingkat PARINDRA, berlangsung 24-26 Des
1935. Sutomo diangkat menjadi ketua. Parindra berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.

Selain bergerak di bidang politik dan kedokteran, dr. Sutomo juga aktif di bidang kewartawanan. Ia
bahkan memimpin beberapa buah surat kabar. Dalam usia 50 tahun, ia meninggal dunia di Surabaya
pada tanggal 30 Mei 1938.
Biografi Singkat dr. Soetomo (Pendiri Budi Utomo)

Dr. Soetomo (bernama asli Subroto) lahir di Ngepeh, Loceret, Nganjuk, Jawa Timur, pada 30
Juli 1888. Pada waktu belajar di STOVIA (Sekolah Dokter) ia sering bertukar pikiran dengan
pelajar-pelajar lain tentang penderitaan rakyat akibat penjajahan Belanda. Terkesan oleh saran
dr. Wahidin untuk memajukan pendidikan sebagai jalan untuk membebaskan bangsa dari
penjajahan, pada 20 Mei 1908 para pelajar STOVIA mendirikan Budi Utomo, organisasi modern
pertama yang lahir di Indonesia dan Soetomo diangkat sebagai ketuanya. Tujuan organisasi itu
ialah memajukan pengajaran dan kebudayaan.

Setelah lulus dari STOVIA tahun 1911, Soetomo bertugas sebagai dokter, mula-mula di
Semarang, lalu dipindahkan ke Tuban, Lubuk Pakam (Sumatera Timur) dan akhirnya ke
Malang. Sewaktu bertugas di Malang, ia berhasil membasmi wabah pes yang melanda daerah
Magetan. Sering berpindah tempat itu ternyata membawa manfaat. Ia semakin banyak
mengetahui kesengsaraan rakyat dan secara langsung dapat membantu mereka. Sebagai
dokter, adakalanya pasien dibebaskan dari pembayaran.
Soetomo memperoleh kesempatan memperdalam pengetahuan di Belanda tahun 1919.
Setibanya kembali di tanah air, ia melihat kelemahan yang ada pada Budi Utomo. Waktu itu
sudah banyak berdiri partai politik. Karena itu, diusahakannya agar Budi Utomo bergerak di
bidang politik dan keanggotaannya terbuka buat seluruh rakyat.

Pada tahun 1924 dr. Soetomo mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang merupakan
wabah bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah tenun, bank kredit,
koperasi dan sebagainya. Pada tahun 1931 ISC berganti nama menjadi Persatuan Bangsa
Indonesia (PBI). Di bawah pimpinan Soetomo PBI cepat berkembang. Sementara itu, tekanan-
tekanan dari Pemerintah Belanda terhadap pergerakan nasional semakin keras, oleh karena itu,
pada Desember 1935 Budi Utomo dan PBI digabungkan menjadi satu dengan nama Parindra.
Soetomo diangkat menjadi ketua. Parindra berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka. Selain
bergerak di bidang politik dan kedokteran, ia giat pula di bidang kewartawanan dan memimpin
berbagai surat kabar.

Akhirnya pendiri Budi Utomo, tokoh kebangkitan nasional ini menghembuskan nafas terakhir
tanggal 30 Mei 1938 di Surabaya, Jawa Timur, pada umur 49 tahun.

Kartini
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Untuk film dengan nama yang sama, lihat R.A. Kartini (film).

R.A. Kartini
Repro negatif potret Raden Ajeng Kartini (foto 1890-an)

Lahir 21 April 1879
Jepara, Jawa Tengah, Hindia
Belanda (sekarang Indonesia)

Meninggal 17 September 1904 (umur 25)
Rembang, Jawa Tengah, Hindia
Belanda (sekarangIndonesia)

Nama lain Raden Ayu Kartini

Dikenal karena Emansipasi wanita

Agama Islam

Pasangan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo


Adhiningrat

Tanda tangan
Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal
di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya
lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini[1] adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan
Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.

Daftar isi
  [sembunyikan] 

 1Biografi
 2Surat-surat
 3Pemikiran
 4Buku
 5Kontroversi
 6Peringatan
o 6.1Hari Kartini
o 6.2Nama jalan di Belanda
 7Galeri foto
 8Dalam budaya populer
 9Lagu
 10Referensi
 11Pranala luar

Biografi[sunting | sunting sumber]

Ayah Kartini, R.M. Sosroningrat.

Raden Adjeng Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa.[2] Ia


merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat
menjadi bupati Jepara segera setelah Kartini lahir.[2] Kartini adalah putri dari istri pertama,
tetapi bukan istri utama.[2] Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah
dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. [2] Dari sisi ayahnya,
silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI. Garis keturunan Bupati
Sosroningrat bahkan dapat ditilik kembali ke istana Kerajaan Majapahit.[2] Semenjak
Pangeran Dangirin menjadi bupati Surabaya pada abad ke-18, nenek moyang Sosroningrat
mengisi banyak posisi penting di Pangreh Praja. [2]
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu
mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah
bukanlah bangsawan tinggi[3], maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan
(Moerjam), keturunan langsung Raja Madura.[2] Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini
diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan,
R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara
sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario
Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun dan dikenal pada pertengahan abad
ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-
anaknya.[2] Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa.
Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School).
Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus
tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis
surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya
adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah
Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya
untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada
pada status sosial yang rendah.

Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter


Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku
kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan
yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun
kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari
surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil
membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau
mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata
soal emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan
wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari
gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat
judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada
November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya
Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt
yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan
sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan
Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario
Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada
tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi
kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang
kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan
sebagai Gedung Pramuka.

Sekolah Kartini (Kartinischool), 1918.

Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13


September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada
usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan
Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian
di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah
tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer,
seorang tokoh Politik Etis.

Surat-surat[sunting | sunting sumber]
Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat
yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu
menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu
diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya".
Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali,
dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang
diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan
terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah
Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku
menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini
sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-
surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers.
Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa
dan Sunda.
Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian
masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan
masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini
yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan
nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul Ibu Kita
Kartini. Kini lagu tersebut sangat populer di kalangan siswa di seluruh nusantara. Lagu ibu
kita Kartini menggambarkan inti perjuangan wanita untuk merdeka. Kini kemerdekaan kaum
wanita diwujudkan dalam konsep emansipasi wanita.
Pemikiran[sunting | sunting sumber]

Uang kertas pecahan IDR 5 cetakan tahun 1952 dengan gambar Kartini.

Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu,
terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan
dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat
kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar.
Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-
onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas
dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan
Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan)
dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada
perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk
menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa
akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit,
dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi
ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah
yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya
sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai
sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya
menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga
diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk
belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk
melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam
surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan
keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir
terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan
rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah
dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya
Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi
menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini
mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja,
bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan
kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu
kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia
menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri
dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu.
Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung
keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi
perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya
dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir
mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk
mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati
Rembang.

Buku[sunting | sunting sumber]

 Habis Gelap Terbitlah Terang

Sampul buku versi Armijn Pane.

Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa


Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini
diterbitkan oleh Balai Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan
pelopor Pujangga Baru, tercatat sebagai salah seorang penerjemah surat-surat
Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia pun juga disebut-sebut sebagai
Empat Saudara.
Pada 1938, buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format
yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku
terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat
Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn
Pane menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku
sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab
pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan
atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi. Pada buku
versi baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya
terdapat 87 surat Kartini dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang". Penyebab tidak
dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht,
adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk menjaga
jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini
dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi
salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab
pembahasan.

 Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya


Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada mulanya Sulastin
menerjemahkan Door Duisternis Tot Licht di Universitas Leiden, Belanda, saat ia
melanjutkan studi di bidang sastra tahun 1972. Salah seorang dosen pembimbing di
Leiden meminta Sulastin untuk menerjemahkan buku kumpulan surat Kartini
tersebut. Tujuan sang dosen adalah agar Sulastin bisa menguasai bahasa Belanda
dengan cukup sempurna. Kemudian, pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan
Sulastin Sutrisno versi lengkap Door Duisternis Tot Licht pun terbit.
Buku kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan judul Surat-surat Kartini,
Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Menurut Sulastin, judul terjemahan
seharusnya menurut bahasa Belanda adalah: "Surat-surat Kartini, Renungan
Tentang dan Untuk Bangsa Jawa". Sulastin menilai, meski tertulis Jawa, yang
didamba sesungguhnya oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa Indonesia.
Buku terjemahan Sulastin malah ingin menyajikan lengkap surat-surat Kartini yang
ada pada Door Duisternis Tot Licht. Selain diterbitkan dalam Surat-surat Kartini,
Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, terjemahan Sulastin Sutrisno juga
dipakai dalam buku Kartini, Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan
Suaminya.

 Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904


Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah Letters from Kartini, An
Indonesian Feminist 1900-1904. Penerjemahnya adalah Joost Coté. Ia tidak hanya
menerjemahkan surat-surat yang ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi
Abendanon. Joost Coté juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada Nyonya
Abendanon-Mandri hasil temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost Coté, bisa
ditemukan surat-surat yang tergolong sensitif dan tidak ada dalam Door Duisternis
Tot Licht versi Abendanon. Menurut Joost Coté, seluruh pergulatan Kartini dan
penghalangan pada dirinya sudah saatnya untuk diungkap.
Buku Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904 memuat 108 surat-
surat Kartini kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya JH
Abendanon. Termasuk di dalamnya: 46 surat yang dibuat Rukmini, Kardinah,
Kartinah, dan Soematrie.

 Panggil Aku Kartini Saja

Sampul Panggil Aku Kartini Saja, dikompilasi oleh Pramoedya Ananta


Toer.

Selain berupa kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan pada pemikiran
Kartini juga diterbitkan. Salah satunya adalah Panggil Aku Kartini
Saja karya Pramoedya Ananta Toer. Buku Panggil Aku Kartini Saja terlihat
merupakan hasil dari pengumpulan data dari berbagai sumber oleh Pramoedya.

 Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri


dan suaminya
Akhir tahun 1987, Sulastin Sutrisno memberi gambaran baru tentang Kartini lewat
buku Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya.
Gambaran sebelumnya lebih banyak dibentuk dari kumpulan surat yang ditulis untuk
Abendanon, diterbitkan dalam Door Duisternis Tot Licht.
Kartini dihadirkan sebagai pejuang emansipasi yang sangat maju dalam cara
berpikir dibanding perempuan-perempuan Jawa pada masanya. Dalam surat
tanggal 27 Oktober 1902, dikutip bahwa Kartini menulis pada Nyonya Abendanon
bahwa dia telah memulai pantangan makan daging, bahkan sejak beberapa tahun
sebelum surat tersebut, yang menunjukkan bahwa Kartini adalah
seorang vegetarian.[4] Dalam kumpulan itu, surat-surat Kartini selalu dipotong bagian
awal dan akhir. Padahal, bagian itu menunjukkan kemesraan Kartini kepada
Abendanon. Banyak hal lain yang dimunculkan kembali oleh Sulastin Sutrisno.

 Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme.


Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar
1899-1903
Sebuah buku kumpulan surat kepada Stella Zeehandelaar periode 1899-1903
diterbitkan untuk memperingati 100 tahun wafatnya. Isinya memperlihatkan wajah
lain Kartini. Koleksi surat Kartini itu dikumpulkan Dr Joost Coté, diterjemahkan
dengan judul Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada
Stella Zeehandelaar 1899-1903.
"Aku Mau ..." adalah moto Kartini. Sepenggal ungkapan itu mewakili sosok yang
selama ini tak pernah dilihat dan dijadikan bahan perbincangan. Kartini berbicara
tentang banyak hal: sosial, budaya, agama, bahkan korupsi.

Kontroversi[sunting | sunting sumber]

Peringatan Hari Kartini pada tahun 1953.

Ada kalangan yang meragukan kebenaran


surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H.
Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama,
dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-
surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena
memang buku Kartini terbit saat pemerintahan
kolonial Belanda menjalankan politik
etis di Hindia Belanda, dan Abendanon
termasuk yang berkepentingan dan
mendukung politik etis. Hingga saat ini pun
sebagian besar naskah asli surat tak diketahui
keberadaannya. Menurut almarhumah
Sulastin Sutrisno, jejak keturunan J.H.
Abendanon pun sukar untuk dilacak
Pemerintah Belanda.
Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai
hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak
yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan
agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja,
namun merayakannya sekaligus dengan Hari
Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan
mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan
pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya,
karena masih ada pahlawan wanita lain yang
tidak kalah hebat dengan Kartini seperti Cut
Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu,Dewi
Sartika dan lain-lain.Menurut mereka, wilayah
perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan
Rembang saja, Kartini juga tidak pernah
memanggul senjata melawan penjajah.
Sikapnya yang pro terhadap poligami juga
bertentangan dengan pandangan kaum
feminis tentang arti emansipasi wanita. Dan
berbagai alasan lainnya. Pihak yang pro
mengatakan bahwa Kartini tidak hanya
seorang tokoh emansipasi wanita yang
mengangkat derajat kaum wanita Indonesia
saja, melainkan adalah tokoh nasional;
artinya, dengan ide dan gagasan
pembaruannya tersebut dia telah berjuang
untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya
sudah melingkupi perjuangan nasional.
Kematian Kartini yang mendadak juga
menimbulkan spekulasi negatif bagi sebagian
kalangan. Seperti diketahui dalam sejarah,
Kartini meninggal pascamelahirkan, tepatnya
4 hari setelah melahirkan. Ketika Kartini,
mengandung bahkan sampai melahirkan, dia
tampak sehat walafiat. Hal inilah yang
mengandung kecurigaan. Efatino Febriana,
dalam bukunya “Kartini Mati Dibunuh”,
mencoba menggali fakta-fakta yang ada
sekitar kematian Kartini. Bahkan, dalam akhir
bukunya, Efatino Febriana berkesimpulan,
kalau kartini mamang mati karena sudah
direncanakan. Demikian pula Sitisoemandari
dalam buku "Kartini, Sebuah Biografi",
menduga bahwa Kartini meninggal akibat
permainan jahat dari Belanda. Permainan
jahat dari Belanda ingin agar Kartini bungkam
dari pemikiran-pemikiran majunya yang
ternyata berwawasan kebangsaan.
Ketika Kartini melahirkan, dokter yang
menolongnya adalah Dr van Ravesten, dan
berhasil dengan selamat. Selama 4 hari
pascamelahirkan, kesehatan Kartini baik-baik
saja. Empat hari kemudian, dr van Ravesten
menengok keadaan Kartini, dan ia tidak
khawatir akan kesehatan Kartini. Ketika
Ravesten akan pulang, Kartini dan Ravesten
menyempatkan minum anggur sebagai tanda
perpisahan. Setelah minum anggur itulah,
Kartini langsung sakit dan hilang kesadaran,
hingga akhirnya meninggal dunia. Sayang,
saat itu tak ada autopsi. Meski demikian,
pihak keluarga tidak mempedulikan desas-
desus yang muncul terkait kematian Kartini,
melainkan menerima peristiwa itu sebagai
takdir Yang Mahakuasa. Sementara pendapat
yang berbeda yang dinyatakan oleh para
dokter modern di era sekarang. Para dokter
berpendapat Kartini meninggal karena
mengalami preeklampsia atau tekanan darah
tinggi pada ibu hamil. Namun hal ini juga tidak
bisa dibuktikan karena dokumen dan catatan
tentang kematian Kartini tidak ditemukan.[5][6]

Peringatan[sunting | sunting sumber]
Hari Kartini[sunting | sunting sumber]

Makam R.A. Kartini di Bulu, Rembang.

Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan
Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun
1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan
Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan
Nasional sekaligus menetapkan hari lahir
Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati
setiap tahun sebagai hari besar yang
kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Nama jalan di Belanda[sunting | sunting
sumber]
  
Ki Hajar Dewantara
Kelahirannya menjadi Hari Pendidikan Nasional
 
Salah seorang tokoh Indonesia yang berjasa memajukan dunia
pendidikan adalah Ki Hajar Dewantara.

Nama asli : Raden Mas Soewardi Soeryaningrat 


Ganti nama : Ki Hajar Dewantara (pada usia 40 tahun)
Tempat, Tanggal Lahir  : Yogyakarta, Kamis, 2 Mei 1889
Agama : Islam
Zodiak : Taurus
Nama Istri : Nyi Sutartinah

Saat usianya genap 40 tahun ia berganti nama menjadi Ki Hadjar


Dewantara. Sejak saat itu Ki Hajar Dewantara tak lagi menggunakan
gelar kebangsawanan Raden Mas di depan namanya, hal ini bertujuan
agar ia bisa bebas dekat dengan kehidupan rakyat tanpa dibatasi oleh
ningrat dan darah biru kehidupan keraton.

Ki Hadjar Dewantara menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah


Dasar Belanda), kemudian melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter
Bumiputera) namun karena sakit ia tidak sampai tamat. Ia kemudian
menjadi wartawan di beberapa surat kabar diantaranya Sedyotomo,
Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja
Timoer dan Poesara. Tulisan-tulisan Ki Hadjar Dewantara pada surat
kabar tersebut sangat komunikatif dan tajam sehingga mampu
membangkitkan semangat patriotik dan antikolonial bagi rakyat
Indonesia saat itu.

Di usia yang masih terbilang muda disamping kesibukannya sebagai


seorang wartawan Ki Hadjar Dewantara juga aktif dalam organisasi
sosial dan politik. Ia aktif melakukan propaganda pada organisasi
Boedi Oetomo tahun 1908 untuk mensosialisasikan serta menggugah
betapa pentingnya persatuan dan kesatuan berbangsa dan bernegara
kepada masyarakat Indonesia. Pada 25 Desember 1912 bersama
Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo mendirikan Indische Partij (partai politik pertama
yang beraliran nasionalisme Indonesia) yang bertujuan mencapai
kemerdekaan Indonesia.

Karya-karya Ki Hajar Dewantara yang menjadi landasan dalam


mengembangkan pendidikan di Indonesia diantara adalah kalimat-
kalimat filosofis seperti:

"Ing ngarso sung tulodo, 


Ing madyo mangun karso, 
Tut wuri handayani"
yang artinya "Di depan memberi teladan, di tengah memberi
bimbingan, di belakang memberi dorongan" menjadi slogan
pendidikan yang digunakan hingga saat ini.

Ki Hajar Dewantara pernah menulis kritikan terhadap perayaan


seratus tahun bebasnya Negeri Belanda dari penjajahan Perancis
dibulan November 1913 dimana biaya perayaan tersebut ditarik dari
uang rakyat Indonesia dan dirayakan ditengah-tengah penderitaan
rakyat yang masih dijajah. Akibat kritikan tersebut ia dibuang ke
Pulau Bangka oleh Gubernur Jendral Idenburg tanpa melalui proses
pengadilan. Namun dua orang sahabatnya yaitu Douwes Dekker dan
Cipto Mangoenkoesoemo membelanya melalui tulisan sehingga
hukuman tersebut diganti menjadi dibuang ke negeri Belanda. 

Sekembalinya
dari Belanda
pada 3 Juli
1922, Ki Hajar
Dewantara
mendirikan
sebuah
perguruan
bercorak
nasional yang
bernama
Nationaal
Onderwijs
Instituut
Tamansiswa
atau Perguruan Nasional Taman Siswa. Dari sinilah lahir konsep
pendidikan nasional hingga Indonesia merdeka. 

Ki Hajar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pendidikan,


Pengajaran dan Kebudayaan Pengajaran Indonesia dalam kabinet
pertama Republik Indonesia. Ia juga mendapat gelar doktor
kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari Universitas Gadjah
Mada pada tahun 1957. 

Atas jasanya dalam merintis pendidikan umum di Indonesia, Ki Hajar


Dewantara dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia
dan berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 305 tahun 1959
tertanggal 28 November 1959, hari kelahiran Ki Hajar Dewantar
yaitu tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa, tepatnya
pada tanggal 28 April 1959 Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia di
Yogyakarta.

Kini, nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai


seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (Bapak Pendidikan
Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan
Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan
Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959,
tanggal 28 November 1959.

Ajarannya yakni Tut Wuri Handayani (di belakang memberi


dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang
untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan)
akan selalu menjadi dasar pendidikan di Indonesia. Untuk mengenang
jasa-jasa Ki Hadjar Dewantara pihak penerus perguruan Taman Siswa
mendirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk
melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara.

Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar


sebagai pendiri Taman Siswa dan kiprahnya dalam kehidupan
berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan
risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki
Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang
seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan
Badan Arsip Nasional.

Semoga jasanya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa selalu dicatat


sebagai amal ibadah yang terus mengalir.
Ki Hajar Dewantara
Kelahirannya menjadi Hari Pendidikan Nasional   
 
Salah seorang tokoh Indonesia yang berjasa memajukan dunia
pendidikan adalah Ki Hajar Dewantara.
Nama asli : Raden Mas Soewardi Soeryaningrat 
Ganti nama : Ki Hajar Dewantara (pada usia 40 tahun)
Tempat, Tanggal Lahir  : Yogyakarta, Kamis, 2 Mei 1889
Agama : Islam
Zodiak : Taurus
Nama Istri : Nyi Sutartinah
Saat usianya genap 40 tahun ia berganti nama menjadi Ki Hadjar
Dewantara. Sejak saat itu Ki Hajar Dewantara tak lagi menggunakan
gelar kebangsawanan Raden Mas di depan namanya, hal ini bertujuan
agar ia bisa bebas dekat dengan kehidupan rakyat tanpa dibatasi oleh
ningrat dan darah biru kehidupan keraton.

Ki Hadjar Dewantara menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah


Dasar Belanda), kemudian melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter
Bumiputera) namun karena sakit ia tidak sampai tamat. Ia kemudian
menjadi wartawan di beberapa surat kabar diantaranya Sedyotomo,
Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja
Timoer dan Poesara. Tulisan-tulisan Ki Hadjar Dewantara pada surat
kabar tersebut sangat komunikatif dan tajam sehingga mampu
membangkitkan semangat patriotik dan antikolonial bagi rakyat
Indonesia saat itu.

Di usia yang masih terbilang muda disamping kesibukannya sebagai


seorang wartawan Ki Hadjar Dewantara juga aktif dalam organisasi
sosial dan politik. Ia aktif melakukan propaganda pada organisasi
Boedi Oetomo tahun 1908 untuk mensosialisasikan serta menggugah
betapa pentingnya persatuan dan kesatuan berbangsa dan bernegara
kepada masyarakat Indonesia. Pada 25 Desember 1912 bersama
Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo mendirikan Indische Partij (partai politik pertama
yang beraliran nasionalisme Indonesia) yang bertujuan mencapai
kemerdekaan Indonesia.

Karya-karya Ki Hajar Dewantara yang menjadi landasan dalam


mengembangkan pendidikan di Indonesia diantara adalah kalimat-
kalimat filosofis seperti:
"Ing ngarso sung tulodo, 
Ing madyo mangun karso, 
Tut wuri handayani"
yang artinya "Di depan memberi teladan, di tengah memberi
bimbingan, di belakang memberi dorongan" menjadi slogan
pendidikan yang digunakan hingga saat ini.

Ki Hajar Dewantara pernah menulis kritikan terhadap perayaan


seratus tahun bebasnya Negeri Belanda dari penjajahan Perancis
dibulan November 1913 dimana biaya perayaan tersebut ditarik dari
uang rakyat Indonesia dan dirayakan ditengah-tengah penderitaan
rakyat yang masih dijajah. Akibat kritikan tersebut ia dibuang ke
Pulau Bangka oleh Gubernur Jendral Idenburg tanpa melalui proses
pengadilan. Namun dua orang sahabatnya yaitu Douwes Dekker dan
Cipto Mangoenkoesoemo membelanya melalui tulisan sehingga
hukuman tersebut diganti menjadi dibuang ke negeri Belanda. 

Sekembalinya
dari Belanda
pada 3 Juli
1922, Ki Hajar
Dewantara
mendirikan
sebuah
perguruan
bercorak
nasional yang
bernama
Nationaal
Onderwijs
Instituut
Tamansiswa atau Perguruan Nasional Taman Siswa. Dari sinilah lahir
konsep pendidikan nasional hingga Indonesia merdeka. 

Ki Hajar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pendidikan,


Pengajaran dan Kebudayaan Pengajaran Indonesia dalam kabinet
pertama Republik Indonesia. Ia juga mendapat gelar doktor
kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari Universitas Gadjah
Mada pada tahun 1957. 

Atas jasanya dalam merintis pendidikan umum di Indonesia, Ki Hajar


Dewantara dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia
dan berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 305 tahun 1959
tertanggal 28 November 1959, hari kelahiran Ki Hajar Dewantar
yaitu tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa, tepatnya


pada tanggal 28 April 1959 Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia di
Yogyakarta.
Kini, nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai
seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (Bapak Pendidikan
Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan
Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan
Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959,
tanggal 28 November 1959.

Ajarannya yakni Tut Wuri Handayani (di belakang memberi


dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang
untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan)
akan selalu menjadi dasar pendidikan di Indonesia. Untuk mengenang
jasa-jasa Ki Hadjar Dewantara pihak penerus perguruan Taman Siswa
mendirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk
melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara.

Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar


sebagai pendiri Taman Siswa dan kiprahnya dalam kehidupan
berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan
risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki
Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang
seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan
Badan Arsip Nasional.
Semoga jasanya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa selalu dicatat
sebagai amal ibadah yang terus mengalir.
Biografi HOS Cokroaminoto - Pahlawan Nasional
 Wink  Biografi Indonesia, Pahlawan Nasional, Profil, Tokoh Indonesia

Advertisement
Biografi HOS Cokroaminoto. Beliau dikenal
sebagai Salah satu Pahlawan Nasional. Nama lengkap beliau adalah Raden Hadji Oemar
Said Tjokroaminoto atau H.O.S Cokroaminoto lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 16 Agustus
1882 dan meninggal di Yogyakarta, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Tjokroaminoto
adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah
seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah
juga menjabat sebagai bupati Ponorogo. Sebagai salah satu pelopor pergerakan nasional,
ia mempunyai beberapa murid yang selanjutnya memberikan warna bagi sejarah
pergerakan Indonesia, yaitu Musso yang sosialis/komunis, Soekarno yang nasionalis, dan
Kartosuwiryo yang agamis. Namun ketiga muridnya itu saling berselisih. Pada bulan Mei
1912, Tjokroaminoto bergabung dengan organisasi Sarekat Islam.

Sebagai pimpinan Sarikat Islam, HOS dikenal dengan kebijakan-kebijakannya yang tegas
namun bersahaja. Kemampuannya berdagang menjadikannya seorang guru yang disegani
karena mengetahui tatakrama dengan budaya yang beragam. Pergerakan SI yang pada
awalnya sebagai bentuk protes atas para pedagang asing yang tergabung sebagai Sarekat
Dagang Islam yang oleh HOS dianggap sebagai organisasi yang terlalu mementingkan
perdagangan tanpa mengambil daya tawar pada bidang politik. Dan pada akhirnya tahun
1912 SID berubah menjadi Sarekat Islam.

Seiring perjalanannya, SI digiring menjadi partai politik setelah


Advertisement
mendapatkan status Badan Hukum pada 10 September 1912 oleh pemerintah yang saat itu
dikontrol oleh Gubernur Jenderal Idenburg. SI kemudian berkembang menjadi parpol
dengan keanggotaan yang tidak terbatas pada pedagang dan rakyat Jawa-Madura saja.
Kesuksesan SI ini menjadikannya salah satu pelopor partai Islam yang sukses saat itu.

Perpecahan SI menjadi dua kubu karena masuknya infiltrasi komunisme memaksa HOS
Cokroaminoto untuk bertindak lebih hati-hati kala itu. Ia bersama rekan-rekannya yang
masih percaya bersatu dalam kubu SI Putih berlawanan dengan Semaun yang berhasil
membujuk tokoh-tokoh pemuda saat itu seperti Alimin, Tan Malaka, dan Darsono dalam
kubu SI Merah. Namun bagaimanapun, kewibaan HOS Cokroaminoto justru dibutuhkan
sebagai penengah di antara kedua pecahan SI tersebut, mengingat ia masih dianggap guru
oleh Semaun. Singkat cerita jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin lebar saat
muncul pernyataan Komintern (Partai Komunis Internasional) yang menentang Pan-
Islamisme (apa yang selalu menjadi aliran HOS dan rekan-rekannya). Hal ini mendorong
Muhammadiyah pada Kongres Maret 1921 di Yogyakarta untuk mendesak SI agar segera
melepas SI merah dan Semaun karena memang sudah berbeda aliran dengan Sarekat
Islam. Akhirnya Semaun dan Darsono dikeluarkan dari SI dan kemudian pada 1929 SI
diusung sebagai Partai Sarikat Islam Indonesia hingga menjadi peserta pemilu pertama
pada 1950.

HOS Cokroaminoto hingga saat ini akhirnya dikenal sebagai salah satu pahlawan
pergenakan nasional yang berbasiskan perdagangan, agama, dan politik nasionalis. Kata-
kata mutiaranya seperti “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat”
akhirnya menjadi embrio pergerakan para tokoh pergerakan nasional yang patriotik, dan ia
menjadi salah satu tokoh yang berhasil membuktikan besarnya kekuatan politik dan
perdagangan Indonesia. H.O.S. Cokroaminoto meninggal di Yogyakarta pada 17 Desember
1934 pada usia 52 tahun.
Advertisement

Mohammad Yamin
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Mohammad Yamin
Menteri Penerangan Indonesia ke-14

Masa jabatan
6 Maret 1962 – 17 Oktober 1962

Presiden Soekarno

Didahului oleh Maladi

Digantikan oleh Roeslan Abdulgani

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia ke-9

Masa jabatan
30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955

Presiden Soekarno

Perdana Ali Sastroamidjojo


Menteri
Didahului oleh Bahder Djohan

Digantikan oleh R.M. Suwandi

Menteri Kehakiman Indonesia ke-6

Masa jabatan
27 April 1951 – 14 Juni 1951

Presiden Soekarno

Perdana Sukiman Wirjosandjojo


Menteri

Didahului oleh Wongsonegoro

Digantikan oleh Mohammad Nasrun

Informasi pribadi

Lahir 24 Agustus 1903
 Sawahlunto, Sumatera Barat, Hindia
Belanda

Meninggal 17 Oktober 1962 (umur 59)
 Jakarta, Indonesia

Kebangsaan Indonesia

Agama Islam

Tanda tangan

Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H. (lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 24


Agustus 1903 – meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun) adalah sastrawan,
sejarawan, budayawan, politikus, dan ahli hukum yang telah dihormati sebagai pahlawan nasional
Indonesia. Ia merupakan salah satu perintis puisi modern Indonesia dan pelopor Sumpah
Pemuda sekaligus "pencipta imaji keindonesiaan" yang mempengaruhi sejarah persatuan
Indonesia.[1][2]

Daftar isi
  [sembunyikan] 

 1Latar belakang
 2Kesusastraan
 3Politik
 4Keluarga
 5Karya-karyanya
 6Penghargaan
 7Lihat pula
 8Referensi
 9Pranala luar

Latar belakang[sunting | sunting sumber]


Mohammad Yamin dilahirkan di Talawi, Sawahlunto pada 23 Agustus 1903. Ia merupakan putra dari
pasangan Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah yang masing-masing berasal dari Sawahlunto
dan Padang Panjang. Ayahnya memiliki enam belas anak dari lima istri, yang hampir
keseluruhannya kelak menjadi intelektual yang berpengaruh. Saudara-saudara Yamin antara lain :
Muhammad Yaman, seorang pendidik; Djamaluddin Adinegoro, seorang wartawan terkemuka; dan
Ramana Usman, pelopor korps diplomatik Indonesia. Selain itu sepupunya, Mohammad Amir, juga
merupakan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Yamin mendapatkan pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Palembang,
kemudian melanjutkannya ke Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta. Di AMS
Yogyakarta, ia mulai mempelajari sejarah purbakala dan berbagai bahasa seperti Yunani, Latin, dan
Kaei. Namun setelah tamat, niat untuk melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belanda harus
diurungnya dikarenakan ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian menjalani kuliah
di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, yang kelak menjadi Fakultas
Hukum Universitas Indonesia), dan berhasil memperoleh gelar Meester in de Rechten (Sarjana
Hukum) pada tahun 1932.

Kesusastraan[sunting | sunting sumber]
Mohammad Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada dekade 1920-an semasa
dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan. Karya-karya pertamanya ditulis
menggunakan bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatera, sebuah jurnal berbahasa Belanda pada
tahun 1920. Karya-karya terawalnya masih terikat kepada bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik.
Pada tahun 1922, Yamin muncul untuk pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah Air;
yang dimaksud tanah airnya yaitu Minangkabau di Sumatera. Tanah Air merupakan himpunan puisi
modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan.
Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928. Karya ini sangat
penting dari segi sejarah, karena pada waktu itulah Yamin dan beberapa orang pejuang
kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa
Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa,
muncul juga pada tahun yang sama.
Dalam puisinya, Yamin banyak menggunakan bentuk soneta yang dipinjamnya dari literatur
Belanda. Walaupun Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, ia masih
lebih menepati norma-norma klasik Bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-generasi penulis
yang lebih muda. Ia juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah, dan puisi. Ia juga
menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan Rabindranath
Tagore.

Politik[sunting | sunting sumber]
Karier politik Yamin dimulai ketika ia masih menjadi mahasiswa di Jakarta. Ketika itu ia bergabung
dalam organisasi Jong Sumatranen Bond[3] dan menyusun ikrah Sumpah Pemuda yang dibacakan
pada Kongres Pemuda II. Dalam ikrar tersebut, ia menetapkan Bahasa Indonesia, yang berasal
dari Bahasa Melayu, sebagai bahasa nasional Indonesia. Melalui organisasi Indonesia Muda, Yamin
mendesak supaya Bahasa Indonesia dijadikan sebagai alat persatuan. Kemudian setelah
kemerdekaan, Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta bahasa utama dalam kesusasteraan
Indonesia.
Pada tahun 1932, Yamin memperoleh gelar sarjana hukum. Ia kemudian bekerja dalam bidang
hukum di Jakarta hingga tahun 1942. Pada tahun yang sama, Yamin tercatat sebagai anggota
Partindo. Setelah Partindo bubar, bersama Adenan Kapau Gani dan Amir Sjarifoeddin, ia
mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Tahun 1939, ia terpilih sebagai
anggota Volksraad.
Semasa pendudukan Jepang (1942-1945), Yamin bertugas pada Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA),
sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang. Pada tahun 1945, ia terpilih
sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam
sidang BPUPKI, Yamin banyak memainkan peran. Ia berpendapat agar hak asasi manusia
dimasukkan ke dalam konstitusi negara.[4] Ia juga mengusulkan agar wilayah Indonesia pasca-
kemerdekaan, mencakup Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor Portugis, serta semua
wilayah Hindia Belanda. Soekarno yang juga merupakan anggota BPUPKI menyokong ide Yamin
tersebut. Setelah kemerdekaan, Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama, dan
Yamin dilantik untuk jabatan-jabatan yang penting dalam pemerintahannya.
Setelah kemerdekaan, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin antara lain anggota DPR sejak
tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951-1952), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan
Kebudayaan (1953–1955), Menteri Urusan Sosial dan Budaya (1959-1960), Ketua Dewan
Perancang Nasional (1962), Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962) dan Menteri
Penerangan (1962-1963).
Pada saat menjabat sebagai Menteri Kehakiman, Yamin membebaskan tahanan politik yang
dipenjara tanpa proses pengadilan. Tanpa grasi dan remisi, ia mengeluarkan 950 orang tahanan
yang dicap komunis atau sosialis. Atas kebijakannya itu, ia dikritik oleh banyak anggota DPR.
Namun Yamin berani bertanggung jawab atas tindakannya tersebut. Kemudian disaat menjabat
Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Yamin banyak mendorong pendirian univesitas-
universitas negeri dan swasta di seluruh Indonesia. Di antaraperguruan tinggi yang ia dirikan
adalah Universitas Andalas di Padang, Sumatera Barat.

Keluarga[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 1937, Mohammad Yamin menikah dengan Siti Sundari, putri seorang bangsawan
dari Kadilangu, Demak, Jawa Tengah.[5] Mereka dikaruniai satu orang putra, Dang Rahadian
Sinayangsih Yamin. Pada tahun 1969, Dian melangsungkan pernikahan dengan Raden Ajeng
Sundari Merto Amodjo, putri tertua dari Mangkunegoro VIII. [rujukan?]
Karya-karyanya[sunting | sunting sumber]

Sampul Buku Muhammad Yamin dan cita cita persatuan

 Tanah Air (puisi), 1922


 Indonesia, Tumpah Darahku, 1928
 Kalau Dewa Tara Sudah Berkata (drama), 1932
 Ken Arok dan Ken Dedes (drama), 1934
 Sedjarah Peperangan Dipanegara, 1945
 Tan Malaka, 1945
 Gadjah Mada (novel), 1948
 Sapta Dharma, 1950
 Revolusi Amerika, 1951
 Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, 1951
 Bumi Siliwangi (Soneta), 1954
 Kebudayaan Asia-Afrika, 1955
 Konstitusi Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi, 1956
 6000 Tahun Sang Merah Putih, 1958
 Naskah Persiapan Undang-undang Dasar, 1960, 3 jilid
 Ketatanegaraan Madjapahit, 7 jilid

Anda mungkin juga menyukai