Advertisement
Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan
sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan,
sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten
Residen bangsa Belanda. Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan
kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering
memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak
pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat
bantu belajar.
Raden Dewi Sartika yang mengikuti pendidikan Seko lah Dasar di Cicalengka, sejak kecil memang
sudah menunjukkan minatnya di bidang pendidikan. Dikatakan demikian karena sejak anak-anak ia
sudah senang memerankan perilaku seorang guru. Sebagai contoh, sebagaimana layaknya anak-anak,
biasanya sepulang sekolah, Dewi kecil selalu bermain sekolah-sekolahan dengan teman-teman anak
perempuan sebayanya, ketika itu ia sangat senang berperan sebagai guru. Waktu itu Dewi Sartika
baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan
beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan.
Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki
kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa memperoleh kesempatan menuntut ilmu
pengetahuan, maka ia berjuang mendirikan sekolah di Bandung, Jawa Barat. Ketika itu, ia sudah
tinggal di Bandung. Perjuangannya tidak sia-sia, dengan bantuan R.A.A.Martanegara, kakeknya, dan
Den Hamer yang menjabat Inspektur Kantor Pengajaran ketika itu, maka pada tahun 1904 dia
berhasil mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya “Sekolah Isteri”. Sekolah tersebut hanya dua
kelas sehingga tidak cukup untuk menampung semua aktivitas sekolah. Maka untuk ruangan belajar,
ia harus meminjam sebagian ruangan Kepatihan Bandung. Awalnya, muridnya hanya dua puluh
orang. Murid-murid yang hanya wanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda,
menyulam dan pelajaran agama.
Sekolah Istri tersebut terus mendapat perhatian positif dari masyarakat. Murid- murid bertambah
banyak, bahkan ruangan Kepatihan Bandung yang dipinjam sebelumnya juga tidak cukup lagi
menampung murid-murid. Untuk mengatasinya, Sekolah
Advertisement
Isteri pun kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Seiring perjalanan waktu, enam tahun
sejak didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit diperbarui menjadi Sekolah Keutamaan
Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga bertambah.
Ia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik,
bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang berhubungan dengan
pembinaan rumah tangga banyak diberikannya. Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia
membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi
berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya. Salah satu yang
menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari Raden Kanduruan Agah
Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga
maupun pemikiran.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri,
terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan
Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah
dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya
diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten
wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini
menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh.
Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada
tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan. Bulan September 1929, Dewi
Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian
berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika
dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang
memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu
merupakan Sekolah Latihan Guru. Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan
dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu
Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati
Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.
Jangan tanya apa yang telah diberikan negara kepadamu, tapi apa yang telah kamu
berikan pada negaramu. Kata bijak tersebut sangat tepat menjadi panduan semua
bangsa yang hendak menobatkan seseorang sebagai penerima gelar kehormatan
‘pahlawan’ di negaranya.
Terlepas dari bentuk atau cara perjuangannya, seorang pahlawan pasti telah berbuat sesuatu yang
heroik untuk bangsanya sesuai kondisi zamannya. Demikian halnya dengan Raden Dewi Sartika. Jika
pahlawan lain melakukan perjuangan untuk bangsanya melalui perang frontal seperti angkat senjata,
Dewi Sartika memilih perjuangan melalui pendidikan, yakni dengan mendirikan sekolah. Berbagai
tantangan, khususnya di bidang pendanaan operasional sekolah yang didirikannya sering
dihadapinya. Namun berkat kegigihan dan ketulusan hatinya untuk membangun masyarakat
negerinya, sekolah yang didirikannya sebagai sarana pendidikan kaum wanita bisa berdiri terus,
bahkan menjadi panutan di daerah lainnya. biografiku.com
Mohammad Yamin
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Mohammad Yamin
Menteri Penerangan Indonesia ke-14
Masa jabatan
6 Maret 1962 – 17 Oktober 1962
Presiden Soekarno
Masa jabatan
30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955
Presiden Soekarno
Masa jabatan
27 April 1951 – 14 Juni 1951
Presiden Soekarno
Informasi pribadi
Lahir 24 Agustus 1903
Sawahlunto, Sumatera
Barat, Hindia Belanda
Meninggal 17 Oktober 1962 (umur 59)
Jakarta, Indonesia
Kebangsaan Indonesia
Agama Islam
Tanda tangan
Daftar isi
[sembunyikan]
1Latar belakang
2Kesusastraan
3Politik
4Keluarga
5Karya-karyanya
6Penghargaan
7Lihat pula
8Referensi
9Pranala luar
Kesusastraan[sunting | sunting sumber]
Mohammad Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada dekade 1920-an semasa
dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan. Karya-karya pertamanya ditulis
menggunakan bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatera, sebuah jurnal berbahasa
Belanda pada tahun 1920. Karya-karya terawalnya masih terikat kepada bentuk-
bentuk bahasa Melayu Klasik.
Pada tahun 1922, Yamin muncul untuk pertama kali sebagai penyair dengan
puisinya, Tanah Air; yang dimaksud tanah airnya yaitu Minangkabau di Sumatera. Tanah
Air merupakan himpunan puisi modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan.
Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928. Karya ini
sangat penting dari segi sejarah, karena pada waktu itulah Yamin dan beberapa
orang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa,
dan satu bahasa Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang
berdasarkan sejarah Jawa, muncul juga pada tahun yang sama.
Dalam puisinya, Yamin banyak menggunakan bentuk soneta yang dipinjamnya dari literatur
Belanda. Walaupun Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, ia
masih lebih menepati norma-norma klasik Bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-
generasi penulis yang lebih muda. Ia juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah,
dan puisi. Ia juga menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar)
dan Rabindranath Tagore.
Politik[sunting | sunting sumber]
Karier politik Yamin dimulai ketika ia masih menjadi mahasiswa di Jakarta. Ketika itu ia
bergabung dalam organisasi Jong Sumatranen Bond[3] dan menyusun ikrah Sumpah
Pemuda yang dibacakan pada Kongres Pemuda II. Dalam ikrar tersebut, ia
menetapkan Bahasa Indonesia, yang berasal dari Bahasa Melayu, sebagai bahasa
nasional Indonesia. Melalui organisasi Indonesia Muda, Yamin mendesak supaya Bahasa
Indonesia dijadikan sebagai alat persatuan. Kemudian setelah kemerdekaan, Bahasa
Indonesia menjadi bahasa resmi serta bahasa utama dalam kesusasteraan Indonesia.
Pada tahun 1932, Yamin memperoleh gelar sarjana hukum. Ia kemudian bekerja dalam
bidang hukum di Jakarta hingga tahun 1942. Pada tahun yang sama, Yamin tercatat
sebagai anggota Partindo. Setelah Partindo bubar, bersama Adenan Kapau Gani dan Amir
Sjarifoeddin, ia mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Tahun 1939, ia terpilih
sebagai anggota Volksraad.
Semasa pendudukan Jepang (1942-1945), Yamin bertugas pada Pusat Tenaga
Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang.
Pada tahun 1945, ia terpilih sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang BPUPKI, Yamin banyak memainkan
peran. Ia berpendapat agar hak asasi manusia dimasukkan ke dalam konstitusi negara. [4] Ia
juga mengusulkan agar wilayah Indonesia pasca-kemerdekaan,
mencakup Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor Portugis, serta semua
wilayah Hindia Belanda. Soekarno yang juga merupakan anggota BPUPKI menyokong ide
Yamin tersebut. Setelah kemerdekaan, Soekarno menjadi Presiden Republik
Indonesia yang pertama, dan Yamin dilantik untuk jabatan-jabatan yang penting dalam
pemerintahannya.
Setelah kemerdekaan, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin antara lain
anggota DPR sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951-1952), Menteri Pengajaran,
Pendidikan, dan Kebudayaan (1953–1955), Menteri Urusan Sosial dan Budaya (1959-
1960), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), Ketua Dewan Pengawas IKBN
Antara (1961–1962) dan Menteri Penerangan (1962-1963).
Pada saat menjabat sebagai Menteri Kehakiman, Yamin membebaskan tahanan
politik yang dipenjara tanpa proses pengadilan. Tanpa grasi dan remisi, ia mengeluarkan
950 orang tahanan yang dicap komunis atau sosialis. Atas kebijakannya itu, ia dikritik oleh
banyak anggota DPR. Namun Yamin berani bertanggung jawab atas tindakannya tersebut.
Kemudian disaat menjabat Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Yamin
banyak mendorong pendirian univesitas-universitas negeri dan swasta di seluruh Indonesia.
Di antaraperguruan tinggi yang ia dirikan adalah Universitas Andalas di Padang, Sumatera
Barat.
Keluarga[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 1937, Mohammad Yamin menikah dengan Siti Sundari, putri seorang
bangsawan dari Kadilangu, Demak, Jawa Tengah.[5] Mereka dikaruniai satu orang
putra, Dang Rahadian Sinayangsih Yamin. Pada tahun 1969, Dian melangsungkan
pernikahan dengan Raden Ajeng Sundari Merto Amodjo, putri tertua dari Mangkunegoro
VIII. [rujukan?]
Karya-karyanya[sunting | sunting sumber]
Penghargaan[sunting | sunting sumber]
Advertisement
Biografi Dr Sutomo. Dokter Sutomo yang bernama asli Subroto ini lahir di desa Ngepeh, Jawa
Timur, 30 Juli 1888. Ketika belajar di STOVIA (Sekolah Dokter), ia bersama rekan-rekannya, atas
saran dr. Wahidin Sudirohusodo mendirikan Budi Utomo (BU), organisasi modem pertama di
Indonesia, pada tanggal 20 Mei 1908, yang kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan
Nasional. Kelahiran BU sebagai Perhimpunan nasional Indonesia, dipelopori oleh para pemuda
pelajar STOVIA (School tot Opleiding voor Indische Artsen) yaitu Sutomo, Gunawan, Suraji dibantu
oleh Suwardi Surjaningrat, Saleh, Gumbreg, dan lain-lain. Sutomo sendiri diangkat sebagai ketuanya.
Tujuan perkumpulan ini adalah kemajuan nusa dan bangsa yang harmonis dengan jalan memajukan
pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, kebudayaan, mempertinggi cita-
cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa yang terhormat.
Kemudian kongres peresmian dan pengesahan anggaran dasar BU diadakan di Yogyakarta 5 Okt
1908. Pengurus pertama terdiri dari: Tirtokusumo (bupati Karanganyar) sebagai ketua; Wahidin
Sudirohusodo (dokter Jawa), wakil ketua; Dwijosewoyo dan Sosrosugondo (kedua-duanya guru
Kweekschool), penulis; Gondoatmodjo (opsir Legiun Pakualaman), bendahara; Suryodiputro (jaksa
kepala Bondowoso), Gondosubroto (jaksa kepala Surakarta), dan Tjipto Mangunkusumo (dokter di
Demak) sebagai komisaris.
Sutomo setelah lulus dari STOVIA tahun 1911, bertugas sebagai dokter, mula-mula di Semarang,
lalu pindah ke Tuban, pindah lagi ke Lubuk Pakam (Sumatera Timur) dan akhirnya ke Malang. Saat
bertugas di Malang, ia membasmi wabah pes yang melanda daerah Magetan.
Ia banyak memperoleh pengalaman dari seringnya berpindah tempat tugas. Antara lain, ia semakin
banyak mengetahui kesengsaraan rakyat
Advertisement
dan secara langsung dapat membantu mereka. Sebagai dokter, ia tidak menetapkan tarif, bahkan
adakalanya pasien dibebaskan dari pembayaran.
Sementara itu, tekanan dari Pemerintah Kolonial Belanda terhadap pergerakan nasional semakin
keras. Lalu Januari 1934, dibentuk Komisi BU-PBI, yang kemudian disetujui oleh kedua pengurus-
besarnya pertengahan 1935 untuk berfusi. Kongres peresmian fusi dan juga merupakan kongres
terakhir BU, melahirkan Partai Indonesia Raya atau disingkat PARINDRA, berlangsung 24-26 Des
1935. Sutomo diangkat menjadi ketua. Parindra berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.
Selain bergerak di bidang politik dan kedokteran, dr. Sutomo juga aktif di bidang kewartawanan. Ia
bahkan memimpin beberapa buah surat kabar. Dalam usia 50 tahun, ia meninggal dunia di Surabaya
pada tanggal 30 Mei 1938.
Biografi Singkat dr. Soetomo (Pendiri Budi Utomo)
Dr. Soetomo (bernama asli Subroto) lahir di Ngepeh, Loceret, Nganjuk, Jawa Timur, pada 30
Juli 1888. Pada waktu belajar di STOVIA (Sekolah Dokter) ia sering bertukar pikiran dengan
pelajar-pelajar lain tentang penderitaan rakyat akibat penjajahan Belanda. Terkesan oleh saran
dr. Wahidin untuk memajukan pendidikan sebagai jalan untuk membebaskan bangsa dari
penjajahan, pada 20 Mei 1908 para pelajar STOVIA mendirikan Budi Utomo, organisasi modern
pertama yang lahir di Indonesia dan Soetomo diangkat sebagai ketuanya. Tujuan organisasi itu
ialah memajukan pengajaran dan kebudayaan.
Setelah lulus dari STOVIA tahun 1911, Soetomo bertugas sebagai dokter, mula-mula di
Semarang, lalu dipindahkan ke Tuban, Lubuk Pakam (Sumatera Timur) dan akhirnya ke
Malang. Sewaktu bertugas di Malang, ia berhasil membasmi wabah pes yang melanda daerah
Magetan. Sering berpindah tempat itu ternyata membawa manfaat. Ia semakin banyak
mengetahui kesengsaraan rakyat dan secara langsung dapat membantu mereka. Sebagai
dokter, adakalanya pasien dibebaskan dari pembayaran.
Soetomo memperoleh kesempatan memperdalam pengetahuan di Belanda tahun 1919.
Setibanya kembali di tanah air, ia melihat kelemahan yang ada pada Budi Utomo. Waktu itu
sudah banyak berdiri partai politik. Karena itu, diusahakannya agar Budi Utomo bergerak di
bidang politik dan keanggotaannya terbuka buat seluruh rakyat.
Pada tahun 1924 dr. Soetomo mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang merupakan
wabah bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah tenun, bank kredit,
koperasi dan sebagainya. Pada tahun 1931 ISC berganti nama menjadi Persatuan Bangsa
Indonesia (PBI). Di bawah pimpinan Soetomo PBI cepat berkembang. Sementara itu, tekanan-
tekanan dari Pemerintah Belanda terhadap pergerakan nasional semakin keras, oleh karena itu,
pada Desember 1935 Budi Utomo dan PBI digabungkan menjadi satu dengan nama Parindra.
Soetomo diangkat menjadi ketua. Parindra berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka. Selain
bergerak di bidang politik dan kedokteran, ia giat pula di bidang kewartawanan dan memimpin
berbagai surat kabar.
Akhirnya pendiri Budi Utomo, tokoh kebangkitan nasional ini menghembuskan nafas terakhir
tanggal 30 Mei 1938 di Surabaya, Jawa Timur, pada umur 49 tahun.
Kartini
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
R.A. Kartini
Repro negatif potret Raden Ajeng Kartini (foto 1890-an)
Lahir 21 April 1879
Jepara, Jawa Tengah, Hindia
Belanda (sekarang Indonesia)
Meninggal 17 September 1904 (umur 25)
Rembang, Jawa Tengah, Hindia
Belanda (sekarangIndonesia)
Agama Islam
Tanda tangan
Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal
di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya
lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini[1] adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan
Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
Daftar isi
[sembunyikan]
1Biografi
2Surat-surat
3Pemikiran
4Buku
5Kontroversi
6Peringatan
o 6.1Hari Kartini
o 6.2Nama jalan di Belanda
7Galeri foto
8Dalam budaya populer
9Lagu
10Referensi
11Pranala luar
Biografi[sunting | sunting sumber]
Surat-surat[sunting | sunting sumber]
Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat
yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu
menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu
diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya".
Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali,
dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang
diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan
terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah
Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku
menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini
sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-
surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers.
Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa
dan Sunda.
Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian
masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan
masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini
yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan
nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul Ibu Kita
Kartini. Kini lagu tersebut sangat populer di kalangan siswa di seluruh nusantara. Lagu ibu
kita Kartini menggambarkan inti perjuangan wanita untuk merdeka. Kini kemerdekaan kaum
wanita diwujudkan dalam konsep emansipasi wanita.
Pemikiran[sunting | sunting sumber]
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu,
terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan
dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat
kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar.
Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-
onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas
dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan
Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan)
dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada
perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk
menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa
akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit,
dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi
ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah
yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya
sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai
sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya
menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga
diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk
belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk
melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam
surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan
keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir
terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan
rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah
dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya
Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi
menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini
mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja,
bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan
kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu
kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia
menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri
dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu.
Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung
keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi
perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya
dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir
mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk
mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati
Rembang.
Buku[sunting | sunting sumber]
Selain berupa kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan pada pemikiran
Kartini juga diterbitkan. Salah satunya adalah Panggil Aku Kartini
Saja karya Pramoedya Ananta Toer. Buku Panggil Aku Kartini Saja terlihat
merupakan hasil dari pengumpulan data dari berbagai sumber oleh Pramoedya.
Kontroversi[sunting | sunting sumber]
Peringatan[sunting | sunting sumber]
Hari Kartini[sunting | sunting sumber]
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan
Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun
1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan
Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan
Nasional sekaligus menetapkan hari lahir
Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati
setiap tahun sebagai hari besar yang
kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Nama jalan di Belanda[sunting | sunting
sumber]
Ki Hajar Dewantara
Kelahirannya menjadi Hari Pendidikan Nasional
Salah seorang tokoh Indonesia yang berjasa memajukan dunia
pendidikan adalah Ki Hajar Dewantara.
Sekembalinya
dari Belanda
pada 3 Juli
1922, Ki Hajar
Dewantara
mendirikan
sebuah
perguruan
bercorak
nasional yang
bernama
Nationaal
Onderwijs
Instituut
Tamansiswa
atau Perguruan Nasional Taman Siswa. Dari sinilah lahir konsep
pendidikan nasional hingga Indonesia merdeka.
Sekembalinya
dari Belanda
pada 3 Juli
1922, Ki Hajar
Dewantara
mendirikan
sebuah
perguruan
bercorak
nasional yang
bernama
Nationaal
Onderwijs
Instituut
Tamansiswa atau Perguruan Nasional Taman Siswa. Dari sinilah lahir
konsep pendidikan nasional hingga Indonesia merdeka.
Advertisement
Biografi HOS Cokroaminoto. Beliau dikenal
sebagai Salah satu Pahlawan Nasional. Nama lengkap beliau adalah Raden Hadji Oemar
Said Tjokroaminoto atau H.O.S Cokroaminoto lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 16 Agustus
1882 dan meninggal di Yogyakarta, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Tjokroaminoto
adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah
seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah
juga menjabat sebagai bupati Ponorogo. Sebagai salah satu pelopor pergerakan nasional,
ia mempunyai beberapa murid yang selanjutnya memberikan warna bagi sejarah
pergerakan Indonesia, yaitu Musso yang sosialis/komunis, Soekarno yang nasionalis, dan
Kartosuwiryo yang agamis. Namun ketiga muridnya itu saling berselisih. Pada bulan Mei
1912, Tjokroaminoto bergabung dengan organisasi Sarekat Islam.
Sebagai pimpinan Sarikat Islam, HOS dikenal dengan kebijakan-kebijakannya yang tegas
namun bersahaja. Kemampuannya berdagang menjadikannya seorang guru yang disegani
karena mengetahui tatakrama dengan budaya yang beragam. Pergerakan SI yang pada
awalnya sebagai bentuk protes atas para pedagang asing yang tergabung sebagai Sarekat
Dagang Islam yang oleh HOS dianggap sebagai organisasi yang terlalu mementingkan
perdagangan tanpa mengambil daya tawar pada bidang politik. Dan pada akhirnya tahun
1912 SID berubah menjadi Sarekat Islam.
Perpecahan SI menjadi dua kubu karena masuknya infiltrasi komunisme memaksa HOS
Cokroaminoto untuk bertindak lebih hati-hati kala itu. Ia bersama rekan-rekannya yang
masih percaya bersatu dalam kubu SI Putih berlawanan dengan Semaun yang berhasil
membujuk tokoh-tokoh pemuda saat itu seperti Alimin, Tan Malaka, dan Darsono dalam
kubu SI Merah. Namun bagaimanapun, kewibaan HOS Cokroaminoto justru dibutuhkan
sebagai penengah di antara kedua pecahan SI tersebut, mengingat ia masih dianggap guru
oleh Semaun. Singkat cerita jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin lebar saat
muncul pernyataan Komintern (Partai Komunis Internasional) yang menentang Pan-
Islamisme (apa yang selalu menjadi aliran HOS dan rekan-rekannya). Hal ini mendorong
Muhammadiyah pada Kongres Maret 1921 di Yogyakarta untuk mendesak SI agar segera
melepas SI merah dan Semaun karena memang sudah berbeda aliran dengan Sarekat
Islam. Akhirnya Semaun dan Darsono dikeluarkan dari SI dan kemudian pada 1929 SI
diusung sebagai Partai Sarikat Islam Indonesia hingga menjadi peserta pemilu pertama
pada 1950.
HOS Cokroaminoto hingga saat ini akhirnya dikenal sebagai salah satu pahlawan
pergenakan nasional yang berbasiskan perdagangan, agama, dan politik nasionalis. Kata-
kata mutiaranya seperti “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat”
akhirnya menjadi embrio pergerakan para tokoh pergerakan nasional yang patriotik, dan ia
menjadi salah satu tokoh yang berhasil membuktikan besarnya kekuatan politik dan
perdagangan Indonesia. H.O.S. Cokroaminoto meninggal di Yogyakarta pada 17 Desember
1934 pada usia 52 tahun.
Advertisement
Mohammad Yamin
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Mohammad Yamin
Menteri Penerangan Indonesia ke-14
Masa jabatan
6 Maret 1962 – 17 Oktober 1962
Presiden Soekarno
Masa jabatan
30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955
Presiden Soekarno
Masa jabatan
27 April 1951 – 14 Juni 1951
Presiden Soekarno
Informasi pribadi
Lahir 24 Agustus 1903
Sawahlunto, Sumatera Barat, Hindia
Belanda
Meninggal 17 Oktober 1962 (umur 59)
Jakarta, Indonesia
Kebangsaan Indonesia
Agama Islam
Tanda tangan
Daftar isi
[sembunyikan]
1Latar belakang
2Kesusastraan
3Politik
4Keluarga
5Karya-karyanya
6Penghargaan
7Lihat pula
8Referensi
9Pranala luar
Kesusastraan[sunting | sunting sumber]
Mohammad Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada dekade 1920-an semasa
dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan. Karya-karya pertamanya ditulis
menggunakan bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatera, sebuah jurnal berbahasa Belanda pada
tahun 1920. Karya-karya terawalnya masih terikat kepada bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik.
Pada tahun 1922, Yamin muncul untuk pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah Air;
yang dimaksud tanah airnya yaitu Minangkabau di Sumatera. Tanah Air merupakan himpunan puisi
modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan.
Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928. Karya ini sangat
penting dari segi sejarah, karena pada waktu itulah Yamin dan beberapa orang pejuang
kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa
Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa,
muncul juga pada tahun yang sama.
Dalam puisinya, Yamin banyak menggunakan bentuk soneta yang dipinjamnya dari literatur
Belanda. Walaupun Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, ia masih
lebih menepati norma-norma klasik Bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-generasi penulis
yang lebih muda. Ia juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah, dan puisi. Ia juga
menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan Rabindranath
Tagore.
Politik[sunting | sunting sumber]
Karier politik Yamin dimulai ketika ia masih menjadi mahasiswa di Jakarta. Ketika itu ia bergabung
dalam organisasi Jong Sumatranen Bond[3] dan menyusun ikrah Sumpah Pemuda yang dibacakan
pada Kongres Pemuda II. Dalam ikrar tersebut, ia menetapkan Bahasa Indonesia, yang berasal
dari Bahasa Melayu, sebagai bahasa nasional Indonesia. Melalui organisasi Indonesia Muda, Yamin
mendesak supaya Bahasa Indonesia dijadikan sebagai alat persatuan. Kemudian setelah
kemerdekaan, Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta bahasa utama dalam kesusasteraan
Indonesia.
Pada tahun 1932, Yamin memperoleh gelar sarjana hukum. Ia kemudian bekerja dalam bidang
hukum di Jakarta hingga tahun 1942. Pada tahun yang sama, Yamin tercatat sebagai anggota
Partindo. Setelah Partindo bubar, bersama Adenan Kapau Gani dan Amir Sjarifoeddin, ia
mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Tahun 1939, ia terpilih sebagai
anggota Volksraad.
Semasa pendudukan Jepang (1942-1945), Yamin bertugas pada Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA),
sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang. Pada tahun 1945, ia terpilih
sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam
sidang BPUPKI, Yamin banyak memainkan peran. Ia berpendapat agar hak asasi manusia
dimasukkan ke dalam konstitusi negara.[4] Ia juga mengusulkan agar wilayah Indonesia pasca-
kemerdekaan, mencakup Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor Portugis, serta semua
wilayah Hindia Belanda. Soekarno yang juga merupakan anggota BPUPKI menyokong ide Yamin
tersebut. Setelah kemerdekaan, Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama, dan
Yamin dilantik untuk jabatan-jabatan yang penting dalam pemerintahannya.
Setelah kemerdekaan, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin antara lain anggota DPR sejak
tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951-1952), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan
Kebudayaan (1953–1955), Menteri Urusan Sosial dan Budaya (1959-1960), Ketua Dewan
Perancang Nasional (1962), Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962) dan Menteri
Penerangan (1962-1963).
Pada saat menjabat sebagai Menteri Kehakiman, Yamin membebaskan tahanan politik yang
dipenjara tanpa proses pengadilan. Tanpa grasi dan remisi, ia mengeluarkan 950 orang tahanan
yang dicap komunis atau sosialis. Atas kebijakannya itu, ia dikritik oleh banyak anggota DPR.
Namun Yamin berani bertanggung jawab atas tindakannya tersebut. Kemudian disaat menjabat
Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Yamin banyak mendorong pendirian univesitas-
universitas negeri dan swasta di seluruh Indonesia. Di antaraperguruan tinggi yang ia dirikan
adalah Universitas Andalas di Padang, Sumatera Barat.
Keluarga[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 1937, Mohammad Yamin menikah dengan Siti Sundari, putri seorang bangsawan
dari Kadilangu, Demak, Jawa Tengah.[5] Mereka dikaruniai satu orang putra, Dang Rahadian
Sinayangsih Yamin. Pada tahun 1969, Dian melangsungkan pernikahan dengan Raden Ajeng
Sundari Merto Amodjo, putri tertua dari Mangkunegoro VIII. [rujukan?]
Karya-karyanya[sunting | sunting sumber]