Anda di halaman 1dari 14

Dongeng dari Tuban:

Kisah Tentang Si Hitam Yang Mencari Tuhan


(Satu Ekspresi Religiusitas-Kreatif Penulis Jawa Pesisir)1

(s. bambang purnomo)2

Dongeng, konon kata orang, adalah satu bentuk upaya pelarian diri
dari dunia nyata:
dongeng berguna untuk membuat si penderita dapat tertawa.
si penyedih menghilangkan duka,
meski si kurang bijak berlagak pongah: keras bersuara
dongeng: katanya, hanya bagi mereka
yang bodo(h)
dan yang cengeng belaka
Apapun kata orang:
dongeng disuka dari jaman ke jaman
dari Syahrazad3, Sang Puteri dengan kisah seribu satu malam
hingga Madona4, Wanita Peraga dengan cerita sejuta satu masalah

1.

Dongeng, bertutur tentang kehidupan. Dikaitkan dengan (aktivitas) kehidupan


manusia, dongeng merupakan produk dan sarana hiburan konvensional dalam berbagai
komunitas masyarakat, baik masyarakat tradisional maupun modern, yang secara sadar
bersama-sama menerima (kehadirannya), meski di dalamnya penuh dengan unsur
”kebohongan”. Bohong artinya tidak mengatakan sesuatu yang sebenarnya ada atau terjadi.
Yang disampaikan dalam berbagai bentuk dongeng memang merupakan realitas fiktif atau
khayali, sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Dalam konteks ini, sifat fiktif dalam rangkaian
dongeng dipertentangkan dengan realitas empirik atau kenyataan yang sebenarnya dalam
hidup keseharian. Bagaimana pun sederhananya, dongeng merupakan karya dan sarana kreatif
masyarakat pendukungnya demi pencapaian tujuan tertentu.
Dalam konteks serupa itu, sebagai sebentuk fiksi yang kreatif, dongeng adalah hasil
kreasi yang penuh daya cipta dan memancarkan sifat mimesis 'pencerminan kenyataan'; di sini
dongeng sering mengemukakan banyak hal yang dalam kenyataannya empirik tidak pernah
ada atau tidak mungkin ada.
Meskipun demikian harus disadari bahwa
realitas dalam dongeng niscaya bersangkut paut dengan kebenaran. Di samping
kenyataan faktual yang dimunculkan dalam dongeng, di sana ditampilkan serangkaian
kemungkinan, sarat dengan pemikiran dan keinginan, betapa pun sederhananya.
Meminjam istilah-istilah dalam dunia sastra, dalam hal ini dunia dongeng hakikatnya
juga menciptakan dunia sendiri (a performance in words)5, sebuah dunia khusus yang
dituangkan dalam kata (een wereld in woorden) 6. Dengan demikian secara teoretik dongeng

1
Disampaikan dalam Seminar Internasional Bahasa, Sastra, dan Budaya di Kampus FBS UNESA Lidah Wetan,
Senin, 6 Oktober 2003.
2
Dosen Bahasa dan Sastra Daerah pada Fakultas Bahasa dan Seni UNESA Surabaya.
3
Syahrazad, Sang Puteri Wazir yang cerdik dan bijaksana dalam kisah lama yang berhasil menyadarkan Raja
Syahrayar yang suka berganti istri setiap malam, dan yang kemudian membunuh para istrinya yang terdahulu,
melalui kisah-kisah dalam dongeng menawan yang diceritakan berurutan selama 1001 malam.
4
Minggu kedua September 2003 ini Madona Sang Superstar dunia ini meluncurkan buku dongeng yang
ditulisnya. Sebuah buku dongeng dengan tokoh wanita yang maju dan progresif; yang benar-benar menjadi tokoh
dalam ceritanya; bukan sekedar tokoh utama pelengkap sebagaimana muncul dalam dongeng-dongeng
konvensional selama ini (Cinderela, Putri Salju, Putri Tidur, dsb).
5
Periksa misalnya: Wellek, Rene dan Warren. 1978 (cetak ulang) Theory of Literature. dalam Penguin Books.
6
Maatje, 1977, dalam Luxemburg, 1984. Pengantar Teori Sastra, terjemahan Dick Hartoko. Jakarta.

Sepotong Dongeng dari Tuban: 1


dalam batas tertentu dapat dianggap menampilkan perbuatan manusia yang universal melalui
daya cipta kreatif-artistik para pengarangnya.
Sekalipun berbagai jenis dongeng menawarkan dunia fiksi yang lain dari dunia
kenyataan, dalam beberapa hal dunia fiksi ini memiliki persamaan dengan dunia nyata. Daya
imajinatif para pendongeng dari masa ke masa, dalam mengekspresikan ide-ide dan pemikiran
kreatif mereka diwujudkan dalam struktur realitas “keseharian“ yang melibatkan tokoh-tokoh
fiktif beserta aktifitas mereka.
Tujuannya adalah agar dengan mudah dapat dipahami oleh penikmat dan mudah
diterima atas dasar pengenalan mereka kepada dunia realitas, yang berkenaan dengan aspek
ruang dan waktu, aspek kausalitas, dan seluruh aspek yang mudah dikenali dalam hidup
keseharian para pendukungnya, lengkap dengan latar budaya masing-masing 7.
Kenyataan atau realitas apapun yang muncul dalam dongeng, tidak penting sejalan atau
tidak, dengan realitas aktual dalam kehidupan sehari-hari.
Realitas dalam dongeng, pada dasarnya merupakan sejenis ilusi (bayang-bayang)
kenyataan; sekaligus merupakan upaya para pendongeng untuk membangkitkan kesan para
penikmatnya.
Kemiripan dengan realitas keseharian secara terinci dalam dongeng, sesungguhnyalah
merupakan cara yang akurat para pencerita dari berbagai masa untuk menciptakan ilusi dalam
dongeng yang dikemukakannya.
Di samping itu, cara penggambaran serupa juga sering dimanfaatkan untuk
membangkitkan sekaligus mengikat minat para presiator pada situasi yang diciptakan para
pendongeng itu sendiri.
Situasi yang dimaksudkan, tidak jarang, atau malah sering, bertentangan dengan
realitas sehari-hari, tidak mungkin terjadi, atau situasi luar biasa, yang dibangun dengan tujuan
tertentu.
Peristiwa-peristiwa gaib, ramalan, hal-hal yang mentakjubkan, menjadi bagian yang
senantiasa dimunculkan.
Kebenaran situasi, dalam konteks semacam ini 8, merupakan kebenaran yang lebih
dalam daripada sekedar ketaatan pada realitas sehari-hari.

2.
Dalam aktivitas inventarisasi tradisi tulis dan lisan Nusantara di Jawa Timur dalam
beberapa kesempatan, sempat dicatat kemunculan sebuah dongeng lama dari daerah Tuban,
yang konon sejak lama berkembang di daerah pesisir utara Jawa 9. Dongeng itu bertutur
tentang Derwis yang konon pernah cukup populer di kalangan pesantren pesisir, baik dalam
tradisi dongeng yang diwartakan dari mulut ke mulut, maupun yang dalam beberapa
kesempatan pernah menjadi bahan repertoar pertunjukan wayang krucil di daerah ini.
Kenyataan ini menjadi semakin fenomenal ketika kisahnya itu muncul dalam dalam bentuk
tradisi tulis, meski dewasa ini tidak banyak dijumpai naskah menyimpan cerita itu.
Dongeng tentang Derwis bertutur tentang seorang anak muda yang gundah karena
kehilangan sebagian dirinya, yang hilang beberapa saat setelah ia dilahirkan. Dikisahkan ia
dilahirkan dari keluarga istana di Bagdad, dalam keadaan kembar siam (kembar akekempelan).
Keadaannya yang tidak wajar, dan mimpi buruk ayahnya yang menjadi penguasa di Bagdad

7
Forster. 1976. dalam The Aspect of The Novel. New York: Penguin Books. Bandingkan juga dengan Sapardi
Djoko Damono yang mencoba menerapkan pendekatan struktur pertunjukan wayang bagi novel-novel Jawa
tahun 1950-an (desertasi, tahun 1984); karakteristik suatu masa tertentu. Periksa George Lukacs. 1974. dalam
The Historical Novel. London: Pelicans Books. Lihat juga: Kuntowidjojo, Dr. 1987.
8
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1978. Theory of Literature. Terjemahan Meelani Budianta (Teori
Kesusastraan). Jakarta: Gramedia.
9
Informasi pertama kali diperoleh tahun 1991 dari Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo alm. ketika menyodorkan
sebuah teks suluk yang berasal dari Tuban: Suluk Kangkung dan beberapa naskah lama lain yang kemudian
menjadi koleksi Museum Kembang Kuning. Teks Suluk kangkung ini telah ditelaah Penulis atas dana dari Pusat
pembinaan dan Pengembangan Bahasa Jakarta pada tahun 1994.

Sepotong Dongeng dari Tuban: 2


itu membuat ia dibuang dari istana. Beruntung kemudian ditolong oleh seorang petani miskin
yang sangat baik dan shaleh. Kesalehan, keikhlasan, dan rasa sayang petani pada si kembar,
mendatangkan Nabi Hidlir (!) untuk menolongnya. Bayi kembar itu kemudian dibelah dengan
tangan, setelah menjadi bayi yang utuh, sebenarnya tampak tampan, namun separuh penuh
bagian tubuhnya berwarna hitam pekat, dari atas kepala hingga ke ujung kakinya.
Penampilannya yang sangat ganjil ini kelak sering menjadikannya bahan ejekan di tengah
kawan-kawan dan bahkan masyarakat tempat ia bergaul. Adapun anak kembarannya yang baru
dipisahkan, yang tampak bersinar cemerlang hilang ke alam gaib. Bayi laki-laki yang
berpenampilan aneh karena warna kulit di tubuhnya ini, separuh hitam pekat, separuh yang
lain putih bersih, tumbuh menjadi sorang pemuda yang jujur, saleh, dan baik –sebagaimana
ayah angkatnya-, dan dikenal sebagai seorang Derwis10.

Jika dibagi dalam babakan episode kehidupan Derwis, maka struktur naratif dongeng
Derwis ini adalah sebagai berikut.

1. Kelahiran dan masa pembuangan (bayi) Derwis dari istana, diketemukan dan dibesarkan oleh
petani miskin yang shaleh. Setelah “dioperasi” Hidlir dan tumbuh, Derwis mendapat nilai-nilai
keagamaan dari ayah angkatnya.

2. Kerinduan pada saudara kembarnya yang hilang, kegundahan atas dirinya yang berpenampilan
ganjil, dan rahasia kehidupan membawa pergi Derwis dari desanya, dan belajar pada beberapa
petapa. Ia banyak belajar tentang kewajiban manusia di dunia.

3. Atas petunjuk Maulana Mustakim (!), salah seorang Saikh tempat ia belajar, Derwis pergi ke
gunung Tursina mencari saudaranya. Mendapat gangguan sepasang jin laki-perempuan yang
semula ingin memakannya. Berkat pertolongan kayu mukmin (=orang yang senantiasa hidup
dalam keimanan-?), Derwis justru dapat mengalahkan pasangan jin itu, termasuk dalam
memecahkan teki-teki yang diajukan. Di sini Derwis berdebat tentang asal-usul hidupan dan
penciptaan manusia. Karena tidak menemukan saudaranya, Derwis meninggalkan gunung
Tursina dengan beberapa pemberian pasangan jin yang takluk kepadanya.

4. Berguru pada sorang pendeta wanita, dan mendapat banyak pelajaran tentang hakekat laki-laki
wanita, hakikat siang-malam, hakikat perkawinan, hakekat huruf-huruf dalam diri manusia,
dsb. Oleh gurunya, Derwis disarankan pergi ke tanah Jawa (!).

5. Derwis menyeberang ke Jawa, melalui banyak lautan dan rintangan, sambil terus berguru pada
beberapa ulama. Banyak pengetahuan yang diperolehnya, termasuk kerangka ajaran martabat
tujuh Kepergiannya diikuti oleh empat ekor binatang yang pernah ditolongnya. Binatang-
binatang itu adalah: kera hitam (lutung), burung balam, kerbau bule, dan pelanduk. Keempat
binatang itu sangat setia kepadanya.

6. Seperti juga banyak perahu nelayan yang tengah berlayar bersama Darwis, perahu Derwis pun
diterjang gelombang, sebelum sampai ke (pusat -?) tanah Jawa. Kelima sekawan itu (Derwis
dan keempat binatang sahabatnya) terdampar di tepi sebuah sendhang (kolam besar). Ternyata
di sini telah menunggu Nabi Hidlir yang pernah menolongnya sewaktu bayi. Di katakan Hidlir,

10
Darwis adalah istilah bagi seorang muslim yang karena berniat ingin mencapai kesempurnaan hidup
berdasarkan nilai-nilai Islami, bersedia untuk hidup serba kekurangan, miskin, dan menjauhkan diri dari urusan
keduaniaan.

Sepotong Dongeng dari Tuban: 3


saudara kembar Derwis telah lama menunggu kedatangannya, di dalam sendang kajaten yang
ditemuinya secara tak sengaja.

7. Kembaran Derwis semula dapat dijumpai Derwis dalam mimpinya, dalam keadaan yang
bersinar terang laksana matahari. Ia mau kembali bersama Derwis, asalkan Derwis bersedia
membunuh keempat binatang peliharaannya itu. Ketika bangun, Derwis bersedih dan bercerita
pada para sahabatnya. Mereka mengatakan bahwa mimpi Derwis adalah hasil perbuatan jin
penunggu sendhang. Mereka meminta Derwis melupakan saudaranya yang sudah kasuksman
itu.

8. Merasa dihalangi kawan-kawannya, Derwis pergi meninggalkan mereka setelah menyuruh


mereka melakukan beberapa pekerjaan ringan. Secara diam-diam ia masuk ke dalam sendang
melalui kali Torik (thareqah -?). Ia memang tidak berniat membunuh keempat kawan yang
setia padanya, meski ada yang menyarankan demikian. Di dalam kolam itu, setelah melampaui
beberapa cobaan dan keadaan alam yang aneh, mentakjubkan, namun nyaris membuatnya
tewas, Derwis akhirnya dapat menjumpai saudaranya, yang persis sama sebagaimana ditemui
dalam mimpi. Di dalam perjumpaan itu, kedua saudara kembar saling berdebat tentang alam
semesta, manusia, dan Tuhan. ........................... 11

Sebagaimana dikemukakan terdahulu, dongeng tentang Derwis ini juga hidup dalam
tradisi naskah, meski tampaknya kurang begitu populer12. Paling tidak, sejauh ini ada sebuah
naskah penyimpan cerita tentang tokoh Derwis yang bertubuh separuh hitam ini. Naskah yang
dimaksud, ditemukan di pedalaman Gresik, meski konon berasal dari Tuban; di rumah seorang
Guru Ngaji yang dihormati warga di komunitasnya. Masyarakat menyebutnya sebagai
seseorang sesepuh yang sering dianggap sebagai panutan. Nasehat dan “fatwa”-nya banyak
ditunggu masyarakat dalam berbagai masalah yang timbul, sehingga sebagian pengagumnya
memandangnya sebagai seorang Ulama yang memiliki karamah. Dalam kedudukan itu, ia
sering dipanggil dengan sebutan Kyai Guru, meski ia lebih suka dipanggil sebagai seorang
Ustad, atau kalau tidak: Kyai Dhusun. Namanya sendiri adalah Muhammad Arif 13.
Keadaan naskah sudah cukup rusak pada beberapa bagian, lebih-lebih pada bagian
awal dan akhir teks. Selain sudah robek-robek, tampak hilang di beberapa tempat, warna
kertas (daluwang) naskah yang sudah kuning kusam, huruf yang sebagian sudah memudar
menyulitkan pembacaan dan pemahaman tuntas isinya. Meskipun demikian, dengan
memperbandingkan dengan naskah lain yang sejenis, bagian-bagian yang kabur atau gelap,
akhirnya dapat dimengerti dan ditafsirkan isinya. Sangat disayangkan, kondisi naskah ini juga
–untuk sementara-- tidak memungkinkan dilakukan proses penafsiran waktu penulisan, dan
siapa penulis atau penyalinnya. Tentang hal ini, hanya ada keterangan pada salah satu lembar
(tambahan-?) yang dituliskan di bagian belakang:
“Pengarangipun sampun boten kasumerepan. Kula (?) babar amrih boten ical tanpa lari,
kangge anambahi kathahing serat-serat Jawi. Sinten sumerep yen ing tembe wingking
wonten pigunanipun”

11
teks terputus karena naskah rusak dan tak dapat dibaca lagi). Yang menarik, perdebatan itu secara
secara umum mirip dengan penjelasan tentang martabat tujuh dalam berbagai teks sufistik pada
umumnya.
12
Simpulan ini memang bersifat sementara; dalam hal ini hanya dengan pelacakan katalogis atas beberapa
katalog yang telah diterbitkan; seperti Museum Sana Budaya Yogyakarta (Jilid I: TE Behrend), Perpustakaan
Nasional, Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (Jilid 3: TE Behrend, dkk), Perpustakaan Kraton
Yogyakarta (Jilid 2: J. Linsday, dkk)
13
Meski dalam kesehariannya berpenampilan sangat sederhana dan santun, beberapa kerabat dan tetangganya
mengenalnya sebagai seorang keturunan Sunan Giri dari generasi yang kesekian. Beberapa sumber informasi lain
mengatakan bahwa meski ia telah lama tinggal di Gresik (sebagaimana leluhurnya), namun didapatkan penjelasan
bahwa Kyai ini prenah cukup lama berdiam di daerah Tuban dalam masa kurun pengembaraannya sebagai
seorang mubaligh dan (santri kelana).

Sepotong Dongeng dari Tuban: 4


(Pengarangnya tidak lagi diketahui. Saya (?) sajikan lagi biar tidak hilang tanpa bekas,
untuk memperkaya khazanah kepustakaan Jawa. Siapa tahu kelak ada gunanya)

Penamaan naskah dongeng yang tergabung dalam bendel naskah suluk (sufistik) dari
Gresik ini dilakukan dengan menunjuk pada topik terpenting pembicaraan 14. Hal serupa ini
juga terjadi pada teks-teks seperti Suluk Sangkan Paran, Suluk Wahya Jatmika, Suluk Dhudha,
dan Seh Malaya dan banyak teks lain yang serupa15 Judul naskah Gresik ini secara
keseluruhan muncul dengan huruf yang relatif agak lebih besar dari huruf naskah, terletak di
bagian sampul (?) yang sudah rusak. Tulisannya: “Gih punika Layang Topah Kalayan Derwis”
Dapat dipastikan penamaan Layang Topah (-kalayan Derwis) ini mengacu pada
kolofon pada lembar awal naskah:

“ (Ki-)tab Topah winedhar (ing) Jawi, amrih gampil wau ingkang lapal, mi(-wah) ta
surasane, sakehe ingkang angrungu, miwah kang amaca tulis, samya sinimpen manah,
agung sawabi(-pun), sakathahe pra sujanma, ingkang sami ngawruhi rasane ……., samya
den-apalena”

(Kitab Topah digubah dalam bahasa Jawa, ‘tuk memudahkan mereka yang memahaminya,
lengkap dengan maknanya. Semua saja yang mendengarkan, dan yang membaca huruf-
hurufnya, semoga menyimpannya dalam hati, besarlah manfaatnya, semua orang terpelajar,
yang memahami maknanya yang terdalam, akan senantiasa mengingatnya)

Penggunaan istilah Layang Topah pada judul (tambahan-?) dan kolofon, jelas
mengingatkan pada teks Tuhfah, gubahan Muhammad ibn Fad-l 'llâh al-Burhanpûrî.
Pendekatan filologis kelak membuktikan adanya keterkaitan itu. Kitab pertama, jelas
bersumber dari kitab yang disebut kemudian. Dengan kata lain, sebutan layang topah dalam
judul jelas merujuk pada keberadaan teks Tuhfah, yang menjadi sumbernya 16.

Bahasa yang pergunakan dalam naskah Layang Topah Kalayan Derwis (selanjutnya
disingkat LTKD) ini tampaknya adalah bahasa Jawa (baru) bergaya pesisir, yang biasa dipakai
oleh penduduk Muslim di sepanjang pantai utara Jawa pada abad-abad ke-15 dan 16. Hal ini
menarik, karena di samping naskah LTKD dijumpai didaerah pesisir (Gresik), diduga ada
keterkaitan antara naskah ini dengan karya Syaikh Haji Abdul Muhyi, Pamijahan, yang telah

14
Ini berbeda dengan kebanyakan teks sufistik umumnya, hal penamaan atau pemilihan judul yang umumnya
dilakukan dengan cara mengambil nama salah seorang pelaku penting dalam teks itu (misalnya dalam kasus
Suluk Sujinah, Suluk Wujil, Suluk Sukarsa, dan Suluk Tembangraras atau Serat Centhini, Suluk Purwaduksina,
dll),
15
Tak jarang dijumpai karya sastra suluk yang sama sekali tidak memiliki judul. Kebanyakan dari teks suluk
seperti ini, merupakan fragmen atau bagian kecil dari sebuah teks tertentu, yang kerapkali terkumpul dalam
sebuah bendel suluk yang cukup besar. Bendel suluk semacam ini, ada yang memiliki judul, ada juga yang tidak
menunjukan judul tertentu. Judul yang kadang muncul dalam sebuah bendel suluk, sering kali diambil dari teks
pertama yang terdapat dalam bendel masing-masing.
16
Dalam Layang Topah (LTKD), ajaran al-Burhanpuri ini juga dikemukakan bahwa kewujudan terjadi dalam
tingkat-tingkat sebanyak tujuh tataran yang disebutnya dengan martabat, yaitu: 1) Martabat Ahadiyah, 2)
Martabat Wahdah, 3) Martabat Wahidiyah, 4) Martabat Alam Arwah, 5) Martabat Alam Mitsal, 6) Martabat
Alam Ajsam, dan 7) Martabat Alam Insan. Di antara martabat-martabat itu Martabat Alam Insan merupakan
penampakan Tuhan paling sempurna yaitu pada insan kamil. Insan Kamil di sini adalah para Nabi dan Rasul serta
para wali dan sufi Istilah martabat Insan Kamil tampaknya dipicu oleh Abdulkarim ibn Ibrahim al-Jilli (1365-
1406 M) sejak menuliskan karyanya, Insanul-Kamil fi Ma’rifatil-Awakhir wal-Awail, Sejak itu ia menjadi salah
satu gagasan bagi tujuan tiap-tiap pencapaian mistik (tasawuf) di kalangan Islam. Pada konsep al-Jilli, hal itu
hanya mungkin dicapai dengan cara menyempurnakan martabat manusia, agar sedekat-dekatnya “mirip” dengan
Allah.

Sepotong Dongeng dari Tuban: 5


menulis kembali kitab Tuhfah gubahan Muhammad ibn Fad-l 'llâh al-Burhanpûrî dalam bahasa
Jawa pesisiran17. Syaikh Haji Abdulmuhyi pun, konon, pernah lama menetap di daerah
Cirebon, sebelum menetap di Pamijahan dan menuliskan karyanya yang cukup monumental
itu.

Dongeng tentang Derwis dalam naskah LTKD ditulis tangan dalam huruf pegon yang
ber harakah. Huruf pegon adalah bentuk tulisan Arab yang biasanya digunakan untuk
menuliskan teks-teks berbahasa Jawa, kadang-kadang juga Sunda, Madura, dan Lombok,
dengan teknis penulisan yang agak berbeda dari tata tulis bahasa Arab. Ada kalanya, jenis
penulisan dengan huruf ini dengan tanpa tanda harakah disebut naskah Arab gundhil
(gundhul).
Meskipun bahasa yang digunakannya bergaya Jawa pesisir; tapi dari pembacaan
keseluruhan naskah ini ada indikasi bahwa ia merupakan hasil penulisan lebih dari seorang
penulis sekaligus. Pada bagian awal tampak ditulis dengan corak yang sedikit berlainan, lebih-
lebih dengan bagian akhir naskah yang menyertainya. Perbedaan itu tidak mengganggu secara
substansial dalam proses pembacaan, karena tampak seluruh bagian-bagiannya saling mengisi.
Hal ini lebih jelas lagi jika dikaitkan dengan kenyataan akan adanya dua jenis teks yang ada
dalam naskah, yakni bagian teks yang berjudul Layang Topah dan bagian lain adalah tentang
(cariyosipun) Derwis.

3.

Baik kisah Derwis dalam tradisi lisan maupun yang tercantum dalam naskah LTKD,
keduanya bertutur tentang kisah perjalanan tokoh Derwis yang ganjil karena warna kulit
tubuhnya yang separuh hitam separuh putih. Inti perjalanan Derwis adalah pencarian diri
kembarnya yang hilang semejak kecil beberapa saat setelah dilahirkan, dan upayanya
menyatukan kembali tubuhnya menjadi manusia yang normal. Oleh karena keganjilan dirinya
itu disebabkan oleh kehendak rahasia Tuhan (karsa rahsaning Gusti), maka perjalanannya itu
disebut sebagai pencarian Tuhan yang tak kunjung henti.

Cerita Derwis yang berpenampilan ganjil karena warna tubuhnya yang terparuh
menjadi dua bagian yang sangat kontras mengingatkan pada kisah tentang Jaka Salewah
(pemuda yang bertubuh salewah ‘sebelah’) dalam naskah dengan judul itu dalam tradisi Jawa
(sebagaimana disebut dalam berbagai katalog naskah Jawa), serta berbagai dongeng Bali
tentang tokoh berbadan separuh dengan nasib yang hampir sama dengan yang diderita Derwis.
Dongeng-dongeng itu muncul dengan berbagai judul dan variasi ceritanya; seperti antara lain:
I Rare Sigaran (Si Sebelah), I Mrereng (Si Bandel), I Sigir (Jalma Tuah Asibak ‘Orang
bertubuh separuh), I Truna Asibak Tua Asibak (Si Jejaka separuh, tua separuh), I Sibakan (Si
Sebelah), dan I Dukuh Sakti (Si Dukun Sakti) 18.
Sehubungan dengan itu, Hooykass (1941 dan 1948) juga telah membahas tiga versi
manusia separuh yang berasal dari Jawa, Bali, dan Lombok. Ketiganya berkisah tentang anak
laki-laki yang dilahirkan dengan tubuh yang hanya separuh saja, seolah tubuhnya itu telah
dibelah dua, tepat di tengah-tengah badan dari ujung kepala hingga ke ujung kaki; secara tegak
lurus. Dalam kegundahan dan kekesalannya, si manusia separuh itu pergi menemui Tuhan dan
mohon “pengadilan” atas keberadaannya itu; dan memohon bagian lain dari tubuhnya.
17
Periksa tulisan Johns. Dr. A.H. 1965. The Gift Addressed to The Spirit of The Prophet. Canbera: The Australian
National University Press, juga Santrie terdahulu.
18
Di samping membahasnya secara singkat, James Dananjaya dalam bukunya Folklore Indonesia juga
membandingkan motif dongeng-dongeng Bali itu dengan cerita rakyat atau dongeng Jawa Jaka Kendhil. Sarjana
asing yang juga membahas dongeng Jaka Kendhil adalah J. Kraemer. Dongeng ini berkisah tentang seorang anak
lelaki yang dilahirkan dalam bentuk kendhil, atau periuk nasi yang terbuat dari tanah liat bakar. Pada akhir cerita,
si jaka Kendhil ini dapat menikah dengan seorang puteri Mesir yang cantik setelah melalui beberapa cobaan.
Perkawinan itu juga membuat si jaka Kendhil berubah menjadi seorang pemuda yang sangat tampan dan
sempurna.

Sepotong Dongeng dari Tuban: 6


Sewaktu pergi ke surga, ia dititipi serangkaian pertanyaan rahasia kehidupan dari kawan-
kawannya untuk disampaikan kepada Tuhan. Setelah melalui perjuangan tertentu yang
melelahkan, laki-laki bertubuh separuh itu pun berhasil dengan upayanya: menemui Tuhan,
mengembalikan badannya yang utuh, dan membawa pulangan jawaban Tuhan atas berbagai
pertanyaan kawan-kawan yang dibawanya19.
Menurut Hooykass, ketiga versi cerita yang berlainan itu memiliki banyak persamaan.
Persamaan itu muncul karena divusi atau sebagai akibat adanya penyebaran dongeng-dongeng
itu dari berbagai tempat yang beragam. Pendapat ini memang benar, mengingat motif orang
separuh badan ini memang bersifat universal; terbukti telah masuk dalam rangkaian motif
yang dikumpulkan Steith Thomson dengan nomor F525 (James Dananjaya, 1984). Motif ini
bersifat universal juga karena selain muncul di Indonesia (Jawa, bali, Lombok, dan beberapa
daerah lain), ternyata juga muncul di Cina, India,, Afriika, dan sebagainya.
Jadi, kemunculan tubuh separuh warna seperti kulit tubuh Derwis, adalah merupakan
varian universal dari motif tubuh separuh sebagaimana muncul di Bali, Lombok, dan berbagai
tempat lain di dunia. Yang istimewa adalah: bingkai cerita (universal) tentang si tubuh separuh
itu kemudian diisi dan sekaligus merupakan dramatisasi ide-ide sufistik yang dikemukakan
dalam teks Topah yang dikemukakan dalam bagian pertama naskah. Pertanyaan-pertanyaan
tentang rahasia kehidupan, ketuhanan, manusia, dan semesta yang dibawa Derwis dalam
pengembaraannya hingga pertemuannya dengan saudara kembarnya hakikatnya merupakan
penjabaran tentang ide martabat tujuh dalam serat Topah 20
Diskusi verbal dan aktualisasi dramatik antara Derwis dengan berbagai Gurunya, dan
puncaknya dengan saudara kembar yang kelak kembali menyatu dengannya, memang sejalan
dengan ide-ide dalam teks Topah atau Tuhfah. Sebagaimana teks yang menjadi prototipnya,
bagian pertama naskah LTKD bertutur tentang tingkatan-tingkatan wujud yang dikenal dengan
martabat tujuh. Tataran pertama dari ketersembunyian Tuhan pada awal penciptaan adalah
Ahadiyya, dan keenam tahap emanasi yang terpancar darinya adalah Wahda dan Wahidiyya,
keduanya masih satu ‘lingkaran bersama tataran pertama, dan ketiganya dikenali sebagai alam
luhut; martabat-martabat “keesaan” Allah yang tersembunyi dari pengetahuan manusia. Inilah
yang dikatakan sebagai Wujudullah yang berarti wujud Allah yang mutlak21.
Dijelaskan sebagai kunci bagi pengembaraan Derwis ketika berusaha membuka pintu
rahasia Tuhan, tak dapat dilepaskan dari uraian tentang berbagai hal yang berkaitan masalah
Wujud. Wujud Allah yang mutlak bersifat qadim, yang terdahulu, yang kekal, atau eternal.
Sementara ke-ada-an hamba bersifat muhdath, yang terkemudian, yang baru, atau, temporal.
Empat martabat lainnya termasuk ke dalam kategori muhdats ini adalah ‘alam al-arwaah
(alam ruh), ‘alam al-mithaal (alam Ide), ‘alam al-ajsaam (alam Jasad), and ‘alam al-Insaan al
Kaamil (alam manusia sempurna). Ke-ada-an yang serba mungkin itu baru jadi setelah Allah
memfirmankan, “Kun...!” artinya kalau Allah menghendaki terjadinya sesuatu, cukup Ia
berfirman: Jadi! Maka jadilah yang ia kehendaki.22
Pada tataran pertama, ahadiya, (tataran indeterminasi atau ke-Esa-an absolut) yang ada
belum lagi jadi, bahkan yang tiada pun belum . Ke-ada-an itu diistilahkan alam awang-
uwung, martabat sepi. Hanya Allah yang pasti ada dalam kesucian. Sendiri, mutlak hanya zat
semata; Inilah martabat pertama Allah yang mutlak sendiri, hanya dhat semata, belum disertai
sifat; dan belum lagi berkehendak menciptakan atau memberi apa pun. Ke-ada-an yang
mutlak ini tidak terjangkau, sehingga disebutkan la ta’ayun. Sebab, ketika itu, wujud Allah
hanya bisa diistilahkan wujud haq, wujud yang paling hakiki, atau ghaibul ghuyub, maha
lebih gaib dibanding kegaiban apa pun,.dan disebut juga ghaibul huwiyat, gaib dengan
sendirinya.

19
Bandingkan dengan kisah laki-laki separuh lain sebagaimana dikemukakan oleh Anti Aarne dalam artikelnya
yang berjudul Der Reiche Man und Sein Schwiegersohn (orang kaya dengan puteranya yang bertubuh sebelah)
yang diterbitkan dio dalam majalah Folklore Fellow Communications No. 23.
20
Telaah lain (Bambang Purnomo, 2003) membuktikan bahwa teks ini berasal atau mengambil teks al-Tuhfa al-
Mursala ilaa ruh al-Nabi sebagai prototipnya.
21
“.....kang satunggil la takyun, tegesipun martabat sepi, takyunani durung ana,gaib ananipun,
ingaranan dat kang mutlak, pan Kun ning Hyang datan ana wong meruhi, nadyan nabi
Molekat. // .....tan tumingal ing Kun Hu tangala, tan ana wruh Kun yektine, tan wonten saminipun,
sipat asma pan durung lahir, bainat durung ana, mung ing Dhewekipun..........”
22
Alieyya M. Santrie membandingkan bagian ini dengan ayat-ayat dalam Al Qur’asnul Karim: QS 2:117; 3:47,
59; 6:73;16:40; 36:82 dan 40:68.

Sepotong Dongeng dari Tuban: 7


Secara ringkas, uraian tentang martabat ahadiyah ini sebenarnya kembali menegaskan
perbedaan antara Tuhan dan hamba, dengan menegakan ke-ada-an Allah yang mutlak
tersembunyi dari pengetahuan siapa pun yang dalam salah satu hadis qudsi dinyatakan,
“Kuntu kanzan makhfiyan, fa ahbabtu an ‘urafa”, (Aku adalah perbendaharaan tersembunyi.
Karena Aku hendak mengetahui-Ku, maka Aku ciptakan makhluk-Ku. Sehingga dengan itu
Aku pun tahu diri-Ku23
Martabat kedua, wahdah (tataran determinasi pertama) adalah ketika Allah “cinta ke-
Ada-an diri-Nya sendiri”. Dalam martabat kedua ini Allah mulai berkehendak atas segalanya,
di sini pengetahuan Tuhan dalam kapasitas menyeluruh segalanya, sewaktu masih dalam
keadaan gaib, tetap dalam wujudullah24.
Dengan kondisi ini, ke-Ada-an Allah disebut isyiq, ‘cinta’, atau asyiq ‘pecinta’. Ke-
ada-an yang tetap ini dinyatakan sebagai a’yan tsabitah, ‘esensi yang tetap’ (LTKD: I:12-13
dst) sebab yang memberri dan menerima ke-ada-an itu sebenarnya adalah Allah. Lebih jauh
lagi ke-ada-an inipun diterangkan dengan berbagai istilah khusus yang khas, yang semua
diidentifikasikan pada Tuhan. Kesemua istilah itu juga diterangkan sebagai hakikat dari semua
(ke-ada-an) yang serba mungkin, yang dimaklumatkan dalam ilmu Allah,”….wallahu (al-
ladzi) khalaqas samawati wal-ardha wa ja’alazh zhukumati wan nur,” (QS. 6. Al-Anam :1)
yang menunjukan perciptaan bumi dan langit dari asal cahaya, atau lebih tepat lagi, barangkali
dari cahaya asal, yakni cahaya haqiqat Muhammadiyah ‘hakekat realitas Muhammad.
Pada bagian ini ke-Ada-an Tuhan diistilahkan wujud mumkin ‘keadaan yang serba
mungkin’, ditegaskan juga sebagai adam mumkin ‘ketiadaan yang serba mungkin’, disebut
juga keadaan haqiqat mumkinah ‘yakni hakikat dari keserba-mungkinan’ atau juga haqiqat
Muhammadiyah ‘hakekat realitas Muhammad atau nur Muhammad ‘hakekat cahaya
Muhammad’, nur ‘hakekat cahaya’, nuruallah ‘cahaya allah, syuhud ‘sang penyaksi’, bahrul
hayat ‘lautan kehidupan,atau juga ta’yun awal ‘kenyataan yang pertama kali’,atau juga
nqatu ghaib ‘sumber segala yang gaib’,disebut juga sebagai ruh qudus ‘ruh suci’, dan ruh
Rabbani ‘ruh ketuhanan’.
Jelas diuraikan oleh penulis LTKD (I:21,22, 24, dst) ini, bahwa sebenarnya “martabat”
Allah itu yang meng-ada-kan, dan di sisi lain Ia juga sebagai hakikat dari semua ke-ada-an
yang serba mungkin . Dalam hal ini, yang diistilahkan cahaya asal, tidak lain adalah
wujudullah. Karena cahaya asal tersebut dinyatakan juga sebagai a’yan tsabitah (esensi yang
tetap), yang tidak sama dengan keserbamungkinan makhluk (“...adapun a’yan karijiyah
menyertainya kemudian, sebagai saksi (syuhud) atas keberadaan a’yan thabitah itu,....... meski
bagai berwujud tunggal, ketunggalannya itu tidaklah sama......(I:22-23)
Sebenarnya, menurut Syantrie (1993), ide tentang cahaya asal itu juga merupakan satu
pokok pembicaraan klasik yang merujuk kepada salah satu hadis qudsi, “Kalau tidak
dikarenakan (nur) kau, Muhammad, niscaya Aku tidak akan meng-ada-kan alam ini.”25 Ayat,
“Allahu nurus-samawati walardha,”26 menunjukkan cahaya asal tersebut sebagai hakikat ke-
ada-an langit dan bumi. Teks LTKD (II:1) kembali menegaskan: “Segala awal kejadian,
sebelum semesta diciptakan, adalah Nur-Muhammad sebagai mula, bersabda Nabi Mustafa,
awal sgala kejadian, bermula dari cahaya-ku, sebagai asal mula manusia”27
23
Menurut Santrie (1983), Ibn Arabi pun, tokoh penting paham Wujudiah, mengakui dalam penafsirannya atas
hadis qudsi tersebut, “Hanya oleh-Nya sendiri Dia (Allah, dalam ke-ada-an yang mutlak sendiri) mengetahui
diri-Nya sendiri.” Bahkan maksud Allah dengan meng-ada-kan segenap makhluk dan juga manusia, menurut
Ibn Arabi, tidak lain adalah agar Dia mengetahui diri-Nya sendiri dalam suatu ke-ada-an yang (dalam ke-ada-
an itu) jelas tampak sifat-Nya dan juga asma-Nya.
24
“ ........Itulah martabat wahdah, mulailah adanya ta’yun, hakikat madiyah sejati, kang kasuksma ing rasane
Hyang sejati, ing jro suhud datiyah. // Dalam kesegala hakekat, semua belum terpisah dengan Hyang Suksma,
ke-ada-annya masih menyatu, di dalam hukum-Nya, tanpa perbedaan identitas satupun, menjiwa dalam
wahdah, kini muhal-nya, hakikat muhammadiyah, yang menjadikannya ber-tajali, di dalam kegaiban Tuhan”
(LTKD: I: 13-14,)
25
Dalam satu riwayat dari Jabir ibn Abdullah al-Anshari dinyatakan, “Sungguh, yang di-ada-kan Allah sebelum
adanya sesuatu adalah nur nabimu, Muhammad s.a.w., dari nurNya itu.”
26
Lihat QS 24:35
27
Pembahasan Nur Muhammad tidakdapat dilepaskan dari peran al-Hallaj. Ia yang nama lengkapnya Abu
Mughits al-Husain ibn Manshur al-Hallaj, adalah seorang ulama sufi yang hidup antara 858-913 M dan
dianggap paling kontroversial dalam perkara pengajaran mistik (tasawuf) yang diungkapkannya. Al-Hallaj
menyongsong hukuman matinya untuk membuktikan kebenaran hakikat realitas yang diungkapkannya itu.

Sepotong Dongeng dari Tuban: 8


Martabat ketiga menurut dongeng Derwis adalah Wahidiyah, yakni martabat
determinasi kedua, di sini pengetahuan Tuhan dalam ke-ada-an yang menyeluruh terhadap
segala sesuatu menjadi nyata. Ilmu Tuhan menjadi penyebab keberadaan makhluk. (LTKD:
I:19):
Dalam “martabat” ini ke-ada-an Allah disebut dengan istilah ma’syuq, yang dicintai’,
sebab di sini telah jelas tampak semua yang “dicintai” Allah, yang dimaklumatkan dalam ilmu
Allah. Artinya, Allah mulai menunjukkan diri-Nya sendiri; dan juga mulai meng-ada-kan
semua (ke-ada-an) yang serba mungkin. Di sini Allah telah berkehendak atas terjadinya semua
yang “ada” itu. Kemudian setelah keserbamungkinan yang baru itu ada, dalam hal ini tampak
semua dalam ilmu Allah, ke-ada-an Allah ini disebut ta’yun,’yang nyata’ bahkan diistilahkan
juga kunhi Dzatullah, yakni kesifatan Dhat Allah.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa martabat wahidiyah ini berlangsung
ketika Allah mulai meng-ada-kan segala-galanya, tanpa memerlukan sarana. Allah hanya
memfirmankan, “Kun!” (.datan ana kalingan sami, ndarbeni Kun-bainat..... LTKD, I:23)
maka terjadilah semua ke-ada-an yang serba mungkin itu. Sekali lagi, tampaknya ide yang
mendasari uraian ini dimaksudkan untuk memberi semacam “ garis batas” antara ke-ada-an
Tuhan dan hamba. Bagian ini (LTKD: I:42) menegaskan perbedaan “martabat” yang
memisahkan satu sama lain. Batas ini terletak dalam martabat wahidiyah ini atau tepatnya
antara martabat wahidiyah dan alam arwah. Di sini dikatakan alam arwah dan yang lain adalah
“martabat” kehidupan yang pertama kali dijadikan Allah, yang dalam alam arwah diawali
dengan meng-ada-nya nyawa rahmani, yaitu cahaya suci yang belum menerima nasib.
Naskah dongeng Derwis ini mengemukakan bahwa alam arwah adalah martabat nyawa
ketika belum menerima nasib (tan narima pituduh) dan nyawa itu masih merupakan cahaya
suci yang pertama kali dijadikan kehidpan, sehingga disebut nyawa rahmani. Ke-ada-an
nyawa rahmani ini sebenarnya masih belum lagi dibebani identitas apa pun, sebab nyawa itu
baru dijadikan Allah sebagai sebuah substansi ‘jauhar’, bahkan belum dipilahkan dalam
berbagai bentuk nyawa yang dibebani ketentuan hidup (‘nora kena nrimaha sapitedah).
Dengan ringkas naskah dongeng Derwis ini mengemukakan bahwa martabat alam
arwah hakikatnya tidak lain merupakan asal terjadinya nyawa (ruh rahmani) sebagai substansi
semua ke-ada-an yang serba mungkin, yang baru (muhdath), dan juga sebagai awal
kehidupan. Adapun ketika nyawa rahmani itu mulai menerima nasib (ingkang anarima
sapitedah ing anane), ketika pecah terpilah-pilah dalam bentuk nyawa-nyawa yang telah
dibebani ketentuan hidup, maka ke-ada-an nyawa-nyawa tersebut kelak dijadikan Allah
sebagai jisim., kebertubuhan
Tentang martabat Alam Mithal atau martabat idea, yakni martabat ketika terjadi
konkretisasi yang ada, dalam bentuk kompleks; sehingga tidak menerima diferensiasi
‘perbedaan’ atau separasi. Dalam naskah dongeng Derwis dikemukakan, bahwa pencapaian
ruh rahmani merupakan akibat penerimaan ketentuan atau nasib. Dengan itu, di samping juga
karena dijadikan Allah sebagai awal jisim, ia diwujudkan sebagai ke-ada-an berbagai ruh yang
mempunyai peran sendiri-sendiri. Terjadilah ruh-ruh yang bervariasi, yakni ruh nabati, ruh
hewani, ruh jasmani dan ruh ruhani. nyawa-nyawa yang memang terbagi dari asal-asul cahaya
suci tersebut. Artinya, martabat alam mithal adalah ketika mulai meng-ada-nya ruh-ruh yang
lain, yang menyertai ruh rahmani dengan unsur-unsur kekuatan masing-masing; tapi unsur-
unsur kekuatan yang diperankan berbagai ruh itu, masih saling berkaitan.
Menurut dongeng Derwis, martabat alam ajsam yang berlangsung ketika terjadi
konkretisasi yang ada dalam bentuk materi. Keadaan ini bermula ketika meng-ada-nya jasad
halus ‘ruhiyah’, yang kemudian mengalami “penubuhan’, menanggungkan panca indera lahir
dan batin, dan juga semua hal lainnya. Di sini tubuh atau jasad itu pun disebutlah jasad halus
yang telanjang, karena masih begitu polos (kasyf) untuk menerima hal-hal baik dan buruk.

(Santrie, 1993, lebih jauh lihat Fariduddin al Aattar, Warisan Para Aulia, terj. bahasa Indonesia, Pustaka,
Bandung, 1983, Schimmel, op cit). Tokoh ini yang membukakan jalan bagi perkembangan konsep nur
Muhammad ini, al-Hallaj yang pertama kali berkata, “Tha Sin, cahaya-cahaya kenabian pun dipancarkan dari
nur (Muhammad) itu, dan nur itu mendahului semua ke-ada-an, sebab nur itu telah ada sebelum meng-ada-
nya makhluk; dan segenap ilmuhanya dari samuderanya, segenap hikmah hanya secauk dari bengawannya,
bahkan menggelarinya Ummi, Hurmi dan Makki …” Lihat Dr. Abul Wafa al-Ghanimi at-Taftazani, op cit., atau
Annemarie Schimmel, op cit.,)

Sepotong Dongeng dari Tuban: 9


Adapun terjadinya ruhiyah tidak lain merupakan akibat menyatunya semua ruh yang
sebelumnya justru berperanan sendiri-sendiri.
Saat itulah setelah ruhiyah jadi, dilukiskan Allah mulai menegaskan kesaksian, “Alastu
bi Rabbikum ?”(Bukankah Aku Tuhanmu ?) Ruhiyah itu tegak berdiri seraya mengucapkan
hamdalah dan mengiyakan, “bala, syahidna,” (demikianlah kami menyaksikan-Mu)
Kemudian ruhiyah itu rukuk dan sujud membaca tasbih, Memuliakan dan mensucikann-Nya;
kemudian ruhiyah duduk seraya memohon ampun dan kasih Allah. Sesaat kemudian
menengok ke kanan melihat para malaikat, kemudian mengucapkan salam.. Hal inilah yang
kemudian dinyatakan sebagai salam daim yakni salaht yang dilaksanakan dengan ketetapan
jiwa dan bersifat bathin sebagai asal usul salat zhahir di kemudian hari.
Menurut dongeng Derwis, Alam Insan Kamil, yakni martabat manusia yang mencakup
segenap potensi kesempurnaan enam martabat terdahulu. Di sini Allah meniupkan ruh-Nya,
yang dalam naskah ini diistilahkan ruh idhafi ‘ruh yang terpelihara’, ke dalam jasmani Adam
sebagai asal-usul meng-ada-nya manusia. Adapun ruh idhafi itu, hakikatnya merupakan istilah
ruhiyah yang telah menyaksikan syahadat, yang ketika ditiup ke dalam ubun-ubun Adam,
ialah jauhar manikem (substansi nyawa manusia) dan sebagian lagi memasuki muka Adam,
dan hal itu ialah nurbuwat Rasulullah (cahaya kenabian Rasulullah). Dijelaskan dalam
dongeng Derwis, jauhar manikem awalnya di langit ialah a’yan khariyah, sedang ketika
membumi, disebut (a’yan) duriyah.’realitas atau esensi yang kukuh’.
Secara cukup rinci, meskipun kualitas dan kuantitas setiap uraian yang disampaikan
tidak sama, dikemukakan dalam dongeng Derwis proses “penciptaan” dalam skema martabat
tujuh itu sebagai berikut.

INSAN AJSAM / JISIM MITHAL / SIMBOL ARWAH


KAMIL

Anasir Anasir Anasir kasar Anasir Anasir sifat Rincian Hakikat


shalat halus nama

1. Berdiri Nafsu a. Rupa Api Api wujud Ruh idhafi


amarah (dhatullah)
b. Jantung ---

c. Otak

d. organ

dalam
2. Rukuk Nafsu a. darah Angin Angin nafas a. nafas Ruh Rukhani
sufiyah (sirrullah)
b. daging b. tanafas

c. keringat c. anfas

d. indra d. nufus

3. Sujud Nafsu a. air hidup : Air Air hidup a. mani Ruh Rabbani
Mutmainah nyawa (Sifattullah)
b. madi
b. rasa mulia :
c. wadi
iman
d. manikem
c. nurcahya :
jiwa

Sepotong Dongeng dari Tuban: 10


4. Duduk Nafsu a. wadag Tanah Jisim nakirah Ruh Jasmani
tasahud Lawamah (mikrokosmos)
b. rambut ---

c. tulang

d. kulit

Yang menarik, kebanyakan penjelasan itu, dikemukakan dalam teks “kedua” LTKD,
yaitu bagian uraian naratif dalam kisah pengembaraan Derwis dari berbagai pertapaan-
kepertapaan, serta diakhiri dengan dialog Derwis dengan saudara kembarnya, sesaat sebelum
kedua bersaudara itu menyatu menjadi satu tubuh yang tampak sangat sempurna keadaannya.
Bagian ini memang tidak tampak secara eksplisit dalam kitab Tuffah dalam edisi Johns.

Meskipun bagian ini tampak terpisah dari teks pendahulunya (teks Topah yang
berbentuk tembang) maka segera tampak bahwa terdapat keterkaitan yang tak terpisahkan
antara teks pertama dengan (bagian) teks berikut dari LTKD:

“Nahen kalilinganipun pun Derwis,........ miturut sapituturipun Ki Guru saking tanah


Tuban, ....... taruna jalitheng ingkang warni, .....anyoba manglepasaken brangti, mawuru (?) amaknani
kanugrahaning, Widi marang suksmaning Nabi.......’ inilah kisah tentang Derwis, menurut keterangan
Ki Guru dari tanah Tuban, ....... pemuda berkulit hitam, .... yang mencoba melepas gundah, dalam
mengartikan (atau mengartikulasikan -?) anugerah Tuhan kepada ruh Nabi.),

sesungguhnya merupakan penghubung antara dua teks itu.

Dengan kata lain, teks pertama (Layang Topah) adalah inti ajaran tentang “martabat
tujuh” menurut versi Muhammad Ibn Fadlullah berdasarkan resepsi penyalinnya, sementara
teks kedua, merupakan hasil resepsi itu dari penyalin dan kemudian mewujudkannya sebagai
penulis (baru-!) dalam bentuk naratif dengan tokoh Darwis. Sementara kata dalam bait-bait
pembuka: kanugrahaning, Widi marang suksmaning Nabi.......’ juga merupakan terjemahan
bebas dari: al-Tuhfa al-Mursala ilaa ruh al-Nabi Dengan ini jelas bahwa penyalin yang
kemudian menjadi penulis dongeng Derwis adalah orang yang “cukup mengenal” teks karya
Muhammad Ibn Fadlullah tersebut.

4.

Ternyata keistimewaan dongeng Derwis yang berasal dari Tuban ini belum terhenti
sampai sedemikian itu. Dengan mencermati struktur naratif dongeng Derwis ini tampak bahwa
selain penulis awalnya hendak mewartakan ide martabat tujuh melalui dramatisasi manusia
separuh warna ini, ia juga bermaksud mengajarkan ide itu dengan alur pemikiran ortodoks
yang masih mempertahankan ide-ide Sunnah dengan mementingkan aspek syariat dalam
pendekatan sufistiknya.

Sepotong Dongeng dari Tuban: 11


Di pihak lain, yang tak kalah menariknya struktur naratif pengembaraan Darwis
mencari kebenaran (keberadaan saudara kembarnya, hakikat dirinya, Tuhan, dan semesta,
ternyata sangat mirip dengan perjalanan Raden Wrekudara dalam teks Serat Dewaruci atau
Sunan Kalijaga dalam Suluk Seh Malaya pada saat mencari air Perwitasari! Perhatikan bagan
ringkas berikut:

No. Cariyosipun Derwis Serat Dewaruci


1. Kegundahan Derwis ingin mengetahui Raden Wrekodara atau Sang Sena rindu
rahasia kehidupan setelah dipisah dari mensucikan hidupnya dengan tirta
saudara kembarnya Pawitradi
2. Berguru tentang ilmu ketuhanan misalnya Berguru pada Dahyang Drona tentang
pada Maulana Mustakim. ilmu ketuhanan
3. Pergi ke Gunung Tursina berselisih dengan Pergi ke Gunung Raksamuka ber-selisih
jin penunggu gunung dengan Rukmuka dan Rukma-kala
4. Bersama Derwis tua, saudara angkat dan Pertemuan dengan keluarga di Hastina
kawan sedesa yang berat melepas kepergian dan Pandawa di Amarta, yang meng-
Derwis khawatirkan kepergian Arya Sena
5. Berguru ke berbagai tempat didampingi oleh Perjuangan Sena di dampingi dan kelak
sahabat-sahabat binatangnya yang sangat dihalangi oleh saudara-saudara Tunggal-
setia yang sekaligus dilukiskan sebagai bayu-nya (Kera-Kinara, Ga-jah-kanitra,
pelambang nafsu-nafsu manu-siawi Derwis: raksasa-Anras; dan Resi-Langgeng;
mutmainah, amarah, lua-mah, dan sufiyah. sebagai pelambang nafsu-nafsu:
mutmainah, amarah, luamah, dan
sufiyah.
6. Pergi berlayar melalui berbagai lautan, Mencari air suci ke tepian samudra
hingga akhirnya ke tanah Jawa
7. Meninggalkan sahabat-sahabatnya di tepian Terjun ke samudera bertempur dengan
telaga Kajaten, masuk melalui kali Tarek naga setelah meninggalkan ke empat
dengan bantuan Nabi Hidlir saudaranya.
8. Menemui saudara kembarnya dan ber-diskusi Berdiskusi dengan Dewaruci
tentang ilmu Ketuhanan.
9. Menyatu dengan saudara kembarnya, Mendapatkan pengetahuan sejati, sete-lah
pingsan, dan kembali menjadi manusia biasa. menyatukan diri dengan Dewaruci.

Perjalanan Derwis dalam mencari jatidirinya yang utuh sebagaimana manusia (yang
secara potensial sempurna “insan kamil”), adalah perjalanan simbolik seorang sufi ketika
berusaha mencapai kesadaran tertinggi, akhsani taqwim; mencapai ma’rifatullah melalui jalan
suluk. Pada bagian awal cerita ditekankan bahwa Derwis dapat kembali mencapai kesejatian
dirinya dengan berbagai laku tertentu; yang akhirnya akan membawanya pada pengenalannya
atas Tuhan Penciptanya. Doktrin terkenal dari Hadith Qudsi man ‘arafa nafsahu, fa qad ‘arafa
rabbahu ‘barang siapa mengenal dirinya, dia akan mengenal Tuhannya’ dijadikan landasan
awal pengembaraan mistis Derwis. Tiap episode perjalanan Derwis dengan sahabatnya, secara

Sepotong Dongeng dari Tuban: 12


tersirat dan tersurat mengesankan tahap-tahap aktualisasi dan dranmatisasi syariat, thareqat,
hakikat, dan ma’rifat.

Sementara itu, kisah Sang Arya Sena atau Wrekudara dalam Serat Dewaruci yang garis
besarnya diperbandingkan itu, khususnya yang berbentuk tembang macapat, telah berulangkali
dicetak dalam huruf Jawa. Pertama dicetak oleh poercetakan Van Dorp pada tahun 1870, lalu
tahun 1873, dan 1880 (Poerbatjaraka, 1957). Dalam cetakan dan penerbitannya yang terakhir
itu disebutkan bahwa teks berasal dari Mas Ngabei Kramaprawira sendiri, bukan gybahan
Yasadipuran sebagaimana dikenal pada umumnya.

Serat Dewaruci Yasadipuran, dibuka dengan pemunculan tokoh Arya Sena bermohon
diri pada gurunya, Resi Drona, untuk segera berangkat merncari air amreta. Kisah ini, seperti
yang dikutip dalam perbandingan terdahulu, yang masih sering dimunculkan dalam
kebanyakan pagelaran wayang purwa dengan lakon ini. Dalam dunia mistisme Jawa, model
kisah ini piula yang menjadi acuan dalam laku dan berbagai ajaran yang di sampaikan. Kisah
perjumpaan Raden Wrekudara dengan sang Dewaruci, dipandang sebagai simbolisasi manusia
Jawa dalam mencapai, menghayati, dan mengaktualisasikan ngelmu kasampurnan dalam
keterkaitan mereka dengan sang Maha Pencipta.

5.

Pembahasan dongeng Derwis ini memang bersifat awal dan belum lagi tuntas. Banyak
hal yang belum terungkap, misalnya tentang intertekstualitas teks Derwis, baik dalam tradisi
tulis maupun tradisi lisan, dalam struktur secara keseluruhan; kemudian meletakkan ke dalam
konteks yang lebih luas. Seperti misalnya bagaimana hubungannya dengan kisah Dewaruci
yang sangat terkenal dalam khasanah sufisme (atau mistisisme) Jawa. Bagaimana pengarang
menghidupkan uraian tentang martabat tujuh dalam struktur naratif dongeng Derwis, dsb.

Dalam upaya penggalian pertalian historik, estetik, etik, dan nilai-nilai ideal yang
secara potensial masih sangat bermanfaat bagi hidup keseharian manusia Indonesia sebagai
pribadi, anggota masyarakat, dan sebagai anak bangsa yang sedang tumbuh, program kajian
teks-teks Nusantara sebagaimana dongeng Derwis yang ada di berbagai daerah di Indonesia,
sangat relevan dan urgen untuk segera dilaksanakan Sebagaimana dikemukakan terdahulu,
sebagai langkah awal, pemerian dongeng Derwis sebagai salah satu ekspresi sastra Nusantara
ini dapat bersifat informatif daripada hasil analisis yang tuntas. Pemerian berbagai informasi
itu diharap dapat mengantarkan pembahasan ini pada analisis lain yang dilakukan kelak pada
tahap berikut program ini.

Demikianlah.

Surabaya, 01 Oktober 2004

Griya Karangkalumprik.

Sepotong Dongeng dari Tuban: 13


Kepustakaan:

Afifi, Abul’ala, Dr. 1939. The Mystical Pholoshophy of Muhyiddin Ibnul’Araby. Cambrigde.
Al-Aattar Fariduddin, 1983. Warisan Para Aulia, terjemahan. bahasa Indonesia, Bandung: Penerbit
Pustaka.
Al-Ghanimi at-Taftazani, Dr. Abul Wafa. Sufi: Dari Zaman ke Zaman, terj. bahasa Indonesia, Pustaka,
Bandung, 1985,
Dananjaya, James. 1984. Folklore Indonesia: ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka
Grafity.
Daudy, Ahmad . 1979. Syaikh Nuruddin ar-Raniri, Jakarta: Bulan Bintang.
Drewes. G.W.J. 1969. The Admonitions of She Bari, Javanese Muslim Text Attributet to the Saint of
Bonang, Ranggawarsita. Orient Extreemus. Leiden
Forster. 1976. dalam The Aspect of The Novel. New York: Penguin Books.
Johns. Dr. A.H. 1965. The Gift Addressed to The Spirit of The Prophet. Canbera: The Australian
National University Press.
Lukacs. George 1974. dalam The Historical Novel. London: Pelicans Books.
Maatje, 1977, dalam Luxemburg, 1984. Pengantar Teori Sastra, terjemahan Dick Hartoko. Jakarta.
Pigeaud. G.Th. 1967,1968, 1969, 1970. Literature of Java. Catalogue Raissone of Javanese
Manuscrift and Suplement. The Hague : Martinus Nijhoff.
Purnama, S. Bambang. . 1987. “Suluk, Sebagai Prototip Kesusastraan Jawa Pesisiran” dalam Media
Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan. No. 26, tahun XI, Januari 1987. Surabaya: IKIP Surabaya
University Press.
----------. 1993. Suluk Kangkung dari Tuban. Laporan Penelitian (Belum dipublikasikan. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
---------- 2003. Martabat Tujuh, dan eksistensinya dalam Naskah Pesisir: “Layang Topah Kalayan Derwis”
(Satu studi aspek Sufistik dalam Teks Lama Nusantara. Makalah yang disampaikan dalam Simposium
Internasional Pernaskahan Nusantara VII, dalam rangka Dies Natalis ke 41 Universitas Udayana, 45
tahun Fakultas Sastra, dan Purna Bakti Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus di Denpasar, 28-30 Juli 2003.
Scmimmel, Anniemarie. 1978. Mystical Dimentions of Islam. The University of North Carolina Press.
Soebardi, S. 1975. The Book of Cebolek: A Critical Editions with Introduction, Translations and Notes.
Contribution to The study of Javanese Mystical Tradition. The Hague.
Thompson, Stith, 1966. Motif-Index of Folk-Literarture. Revised and Enlarged Editions, 6 Vol.
Bloomington & London: Indiana University Press.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1978. Theory of Literature. Terjemahan Meelani Budianta (Teori Kesusastraan).
Jakarta: Gramedia.
Woordward, Mark R. 1989. dalam disertasinya yang berjudul: “Islam in Java, Normative Piety and Misticism in
The Sultanate of Yogyakarta” Yogyakarta: Bentang

Sepotong Dongeng dari Tuban: 14

Anda mungkin juga menyukai