Anda di halaman 1dari 19

TEORI DAN GENRE SASTRA INDONESIA

Kegiatan Belajar 3
Genre Prosa Fiksi

Penulis:

Dra. Sri Suhita, M.Pd.


Rahmah Purwahida, S.Pd., M.Hum.

PPG DALAM JABATAN


Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
2018

Hak cipta © Direktorat Pembelajaran, Dit. Belmawa, Kemenristekdikti RI, 2018


Kegiatan Belajar 3: Genre Prosa Fiksi

Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


Menemukenali genre prosa fiksi dengan tepat berdasarkan ciri-cirinya.

Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan


1. Mengidentifikasi genre prosa fiksi lama, terdiri atas: fabel, cerita rakyat:
legenda dan dongeng
1. Mengidentifikasi prosa fiksi modern, terdiri atas: cerita pendek, novel, dan
anekdot

Pokok-pokok Materi

A. Genre Prosa Fiksi


1. Puisi Lama
2. Puisi Baru
B. Jenis Prosa Fiksi
1. Prosa Lama
fabel, cerita rakyat: legenda, dongeng, dan prosa lirik
2. Prosa Baru/Modern
cerita pendek, novel, dan anekdot

Uraian Materi
A. GENRE PROSA
1. Prosa Lama
Pada hakikatnya karya sastra merupakan karya imajinatif yang
bermediakan bahasa, serta memiliki unsur estetika yang dominan. Karya
sastra berbentuk prosa atau lengkapnya prosa fiksi, sering juga disebut
sebagai cerita rekaan. Dalam pembelajaran sastra istilah prosa fiksi sering
hanya disebut sebagai prosa saja. Prosa muncul dari imajinasi pengarang
berdasarkan pada peristiwa yang benar terjadi atau hanya terjadi dalam
khayal seorang pengarang. Dengan kontemplasi dan kreativitasnya,
pengarang mencipta sebuah karya yang memunculkan peristiwa tentang
kehidupan.
Pada prosa lama umumnya nama pengarang cerita tidak diketahui
atau bersifat anonim. Menurut jenisnya cerita lama atau lebih dikenal
dengan rakyat dapat dibagi menjadi: (1) mite, (2) legenda, (3) sage, dan
(4) fabel. Mite berhubungan dengan kepercayaan masyarakat lama
tentang dewa-dewi dan kejadian gaib atau misteri. Contoh mite yang
terkenal yaitu cerita tentang Nyai Loro Kidul. Legenda merupakan cerita
yang berhubungan dengan peristiwa sejarah, asal-usul, atau kejadian
alam. Contoh legenda antara lain yaitu kisah Tangkuban Perahu dan
Malin Kundang.

a. Fabel
Fabel sering disebut sebagai cerita binatang karena tokohnya terdiri
atas para binatang yang dapat berperilaku seperti manusia. Fabel
merupakan cerita rakyat yang bersifat didaktik, yang disampaikan untuk
mendidik pembacanya melalui sindiran atau kiasan.

Cermatilah fabel tentang Rubah dan Burung Bangau berikut.

RUBAH DAN BURUNG BANGAU

Seekor rubah memutuskan untuk membuat lelucon pada burung bangau.


Untuk melakukan ini, ia mengundang burung bangau itu untuk makan malam di
liangnya. Ketika burung bangau tiba, rubah itu menghidangkan sup yang lezat di
piring datar.
“Mm, sup ini enak sekali,” kata rubah itu, menjilati rakus dari piring yang
datar, hidungnya hanya beberapa senti dari piring. “Apa pendapatmu,
sahabatku?”
“Mana aku tahu?” gerutu burung bangau itu, mematuk tanpa hasil ke
piring datar dengan paruhnya yang panjang. “Piring ini terlalu datar. Aku tidak
bisa memasukkan sup ke dalam mulutku.”
Ini memang yang diharapkan rubah tua licik itu. Ia membuat burung
bangau itu marah dan kelihatan konyol. Ia menganggap itu sangat lucu, dan
menghabiskan sup itu sendiri dengan senyuman licik di wajahnya. Burung
bangau itu berusaha sekali-dua kali lagi untuk mematuk sup itu, tapi kemudian
menyerah dan pulang, memutuskan akan membalas rubah itu.
Beberapa hari kemudian, burung bangau itu sudah membuat rencana. Ia
mengundang rubah untuk datang dan makan malam bersama di rumahnya di
tepi air. Ia juga mempersiapkan sup untuk hidangan. Ia menghidangkannya di
dalam gelas tinggi yang lebar di bagian bawahnya dan sempit di bagian atasnya.
“Ayo mulai,” kata burung bangau itu, mencelupkan paruhnya ke dalam
gelas dan menghirup sebanyak-banyaknya. “Mm, ini enak sekali! Apa
pendapatmu, sahabatku?”

“Mana aku tahu?” gerutu rubah itu, berusaha tanpa hasil memasukkan
mulutnya ke dalam gelas. “Aku tidak bisa mencapai sup itu untuk mencicipinya.”
Burung bangau tidak berkata apa-apa lagi, hanya menghabiskan sup itu,
sementara rubah memandangnya dengan marah.
Pada akhirnya rubah itu pulang dengan jengkel. Sekarang leluconnya
ditujukan padanya, dan entah mengapa ia menganggapnya tidak lucu.

(dikutip dari Aerosop)

Tokoh dalam fabel tidak selalu berbentuk binatang, manusia juga dapat
berperan di dalamnya. Namun, sesuai dengan ciri fabel, tokoh utama fabel
haruslah binatang yang dapat berperilaku bagaikan manusia. Fabel di atas
hanya memiliki dua tokoh. Tahukah Anda, siapa tokoh utama fabel ini? Rubah
ataukah burung bangau? Mengapa tokoh tersebut disebut sebagai tokoh utama?
Fabel ditulis dengan tujuan memberi pelajaran hidup kepada pembaca
melalui perilaku binatang yang menjadi tokoh cerita. Pelopor fabel bernama
Aesopus dari Yunani. Di Indonesia, kancil merupakan binatang yang sering
menjadi tokoh utama fabel, sedangkan di barat lebih banyak srigala. Cobalah
Anda cari tahu, binatang apakah yang sering dijadikan tokoh cerita fabel di
negara-negara tetangga Indonesia!

b. Cerita Rakyat
Cerita rakyat merupakan cerita yang mengandung unsur fantasi dan
berkembang secara leluri di masyarakat. Selain bersifat menghibur, cerita rakyat
juga merupakan sarana untuk mengetahui: (1) asal-usul nenek moyang, (2) jasa
atau teladan pendahulu kita, (3) hubungan kekerabatan atau silsilah, (4) asal
mula suatu tempat, (5) adat-istiadat, dan (6) sejarah benda pusaka.
LEGENDA DANAU TOBA
Di wilayah Sumatera hiduplah seorang petani yang sangat rajin bekerja.
Ia hidup sendiri sebatang kara. Setiap hari ia bekerja menggarap ladang dan
mencari ikan dengan tidak mengenal lelah. Hal ini dilakukannya untuk
memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Pada suatu hari petani tersebut pergi ke sungai di dekat tempat
tinggalnya. Ia bermaksud mencari ikan untuk lauknya hari ini. Dengan hanya
beberbekal sebuah kail, umpan dan tempat ikan, ia pun pergi menuju ke
sungai...Petani tersebut sangat senang sekali, karena ikan yang didapatkannya
sangat besar dan cantik sekali...tiba-tiba ikan tersebut berubah menjadi seorang
wanita yang sangat cantik... Putri jelmaan ikan itu bersedia menjadi istrinya.
Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh
menceritakan bahwa asal-usul Putri dari seekor ikan....

Dongeng ini hanya dikutip sebagian. Bagaimanakah kelanjutan


ceritanya? Anda dapat menelusurinya melalui:
Insert https://ceritadandongengrakyat.blogspot.co.id

Pada umumnya nama pengarang cerita rakyat tidak diketahui namanya


atau bersifat anonim. Menurut jenisnya cerita rakyat dapat dibagi menjadi: (1)
mite, (2) legenda, (3) sage, dan (4) fabel. Mite berhubungan dengan
kepercayaan masyarakat tentang dewa-dewi dan kejadian gaib atau misteri.
Contoh mite yang terkenal yaitu cerita tentang Nyai Loro Kidul. Legenda
merupakan cerita yang berhubungan dengan peristiwa sejarah atau kejadian
alam, antara lain contoh legenda yaitu Legenda Danau Toba dan kisah
Tangkuban Perahu. Sage adalah cerita rakyat yang mengandung unsur sejarah.
Fabel sering disebut sebagai cerita binatang karena pelaku utama cerita ialah
binatang.
Dongeng termasuk cerita rakyat yang merupakan bagian dari tradisi lisan.
Pengarang dongeng tidak dikenal (anonim). Hal ini sering terjadi pada sastra rakyat,
karena menganggap karya sastra sebagai milik bersama. Pada hakikatnya manusia
merupakan makhluk pencerita. Dalam kehidupannya mereka lebih banyak berbicara
dibandingkan dengan melakukan kegiatan lainnya, misalnya menulis atau membaca.
Dengan demikian mendongeng merupakan kegiatan yang tidak asing lagi, terutama bagi
orang tua.
Dongeng memiliki ciri tertentu, yaitu: (1) berawal dari tradisi lisan, (2)
mengandung nilai moral dan nilai didaktis, (3) tokoh bersifat hitam – putih, dan
(4) kebanyakan cerita berakhir dengan bahagia (happy ending).
Sebuah dongeng diceritakan kepada anak dengan tujuan menghibur sekaligus
mendidik anak. Tidaklah mengherankan bila dongeng akhirnya dipilih sebagai medium
pendidikan bagi anak. Tolok ukur untuk menetapkan baik buruknya sebuah dongeng
ialah: (1) kesesuaiannya dengan tingkat perkembangan anak, (2) sifatnya yang
menyenangkan dan memberi hiburan, serta (3) mengandung nilai-nilai yang mendidik.
Banyak manfaat yang diperoleh anak dari kegiatam mendengarkan dongeng
maupun mendongeng. Manfaat itu antara lain:
1. Menambah perbendaharaan kata yang berdampak pada anak akan memiliki
kemampuan dan keterampilan berbahasa dengan baik.
2. Menjalin komunikasi yang baik antara pendongeng (orang tua) dan yang
mendengarkan dongeng (anak).
3. Melatih imajinasi literal anak untuk lebih luas menjelajahi dunia yang unik dan
menarik.
4. Meningkatkan potensi sosial anak melalui perilaku tokoh dan pesan moral yang
dikandung.

c. Prosa Lirik
Bentuk karangan yang merupakan peralihan atau campuran prosa dan
puisi. Prosa lirik tidak terikat pada jumlah suku kata dan baris, namun sangat
mementingkan irama. Menurut zamannya prosa lirik dapat dibagi dua, yaitu
prosa lirik lama dan prosa lirik baru.
Prosa lirik lama bercirikan lebih mendekati bentuk puisi, lebih banyak
berupa cerita, lebih mementingkan jumlah suku kata yang tetap dibandingkan
dengan persajakan. Prosa lirik baru lebih mendekati bentuk prosa, berisi curahan
hati. Salah satu contoh prosa lirik ialah kaba Minangkabau.
Jamaris membagi kaba menjadi kaba lama dan kaba baru. Kaba lama
disebarkan dalam bentuk lisan atau bentuk naskah. Kaba baru disebarkan dalam
bentuk cetakan. Sebagai sastra daerah kaba Minangkabau berfungsi untuk
menunjang: (1) perkembangan bahasa daerah, (2) perkembangan bahasa dan
sastra Indonesia.
Secara etimologis kata kaba berasal dari bahasa Arab khabarun yang berarti
berita atau kabar. Pada mulanya kaba dianggap sebagai berita baik maupun
buruk yang merupakan petunjuk dari dewa atau Tuhan dan disampaikan dalam
bentuk cerita. Penyampaian kaba dengan cara dinyanyikan oleh tukang kaba
atau penglipur lara.
Kaba mirip dengan hikayat dalam segi cerita, namun keduanya memiliki
perbedaan. Hikayat disusun berbentuk kalimat dan paragraf, sedangkan kaba
disusun dalam bentuk bersajak, berpantun, atau berupa nyanyian. Cerita kaba
juga dikisahkan dalam bentuk randai. Dalam kesusastraan Minangkabau tidak
dikenal bentuk sastra kraton. Masyarakat Minangkabau pada hakikatnya
merupakan masyarakat yang bersifat demokratis.
Bait pertama kaba sering diawali dengan bentuk seperti berikut:

Kaik-bakaik rotan sago


Yo takaik di aka baha
Di langik alah tabarito
Tibo di bumi jadi kaba

Yang artinya:
kait-berkait rotan saga
Ya terkait di akar bahar
Di langit sudah terberitakan
Sampai di bumi jadi kabar

Perhatikan beberapa contoh jenis kaba lama, antara lain:


1) Kaba berisi kritik terhadap perbuatan semena-mena orang yang berkuasa, misalnya:
Kaba Sabai nan Aluih
PEMBUKAAN:

Mulo bismilah kato disusun


Kami maulang curito lamo
Naiak tahandok lah batahun
Kini dikambang nak nyo nyato

Kabalah lamo dimainkan


Adaik lamo pusako tuo
Kok nyo sumbang tolong maafkan
Maklumlah kami rang mudo-mudo

Sarumpun jirek di halaman


Samo rang rambah kaduonya
Baik nan pandai jo nan bukan
Samo disambah ka sadonyo

DENDANG JO SALUANG:
Tasabuik kaba maso daulu
Kaba banamo Sabai Nan Aluih
Curito urang sagalo koto
Dendang urang sagalo kampuang

Adopun samaso nan bak kian


Iyo di ranah Padang Tarok
Banamo Tuanku Rajo Babandiang
Ayah dek upiak Sabai Nan Aluih
Bapak dek buyuang Mangkutak Alam
Junjungan dek aciek Sadun Saribai
….

Kaba Sabai nan Aluih menceritakan tentang seorang gadis pembela


kebenaran dan penumpas kejahatan. Sabai nan Aluih nama anak sulung dari
Rajo Babanding dan Sadun Saribai. Sabai gadis cantik yang lemah lembut dan
berbudi pekerti luhur, tetapi berani mati demi membalas kematian ayahnya.
Wisran Hadi menyusun kembali randai Sabai nan Aluih berdasarkan kaba
yang asli. Sebelum itu sudah ada Tulis Sutan Sati yang menuliskan kaba Sabai
nan Aluih.
2) Kaba berisi kesewenang-wenangan lelaki yang memperistri banyak wanita tanpa
mempertimbangkan perasaan istrinya, misalnya:
Kaba Lareh Simawang
3) Kaba yang menceritakan kehidupan raja dan keluarganya, misalnya: kaba Cindua
Mato, kaba Anggun nan Tongga, kaba Magek Manandin, kaba Puti Jailan
4) Kaba yang menceritakan masyarakat biasa, misalnya: kaba Malin Kundang, kaba
Bujang Pajudi, kaba Urang Silaing
Esensi dari kaba Minangkabau yaitu kaba merupakan salah satu bentuk fiksi
atau cerita rekaan. Kaba termasuk prosa lirik karena bersifat liris, dengan demikian
tokoh dan peristiwa menjadi suatu hal yang penting di dalam kaba. Sebagai bentuk
sastra lisan, kaba lebih mementingkan faktor pendengar daripada faktor pembaca, unsur
bunyi, dan bagaimana mendendangkannya
Kaba sangat kaya dengan unsur simbolik dan kiasan, sehingga makna
dan nilai-nilai lebih banyak disampaikan dalam bentuk simbolik dan kiasan.
Konflik dalam kaba terjadi terutama adanya konflik antartokoh. Sangat jarang
ditemukan adanya konflik batin dalam diri para tokohnya.

2. Prosa Modern
Jenis prosa fiksi yang banyak dikenal orang yaitu cerita pendek (cerpen)
dan novel. Dahulu orang membedakan antara novel dengan roman. Pada
dasarnya kedua prosa ini berbentuk sama panjang, yang membedakannya
hanya pada akhir cerita. Istilah roman diambil dari bahasa Belanda. Karena
Belanda pernah lama menduduki Indonesia, maka istilah itu dahulu lebih dikenal
oleh masyarakat kita. Selain cerpen ada pula jenis prosa pendek yang
merupakan subgenre cerpen yaitu: (1) cerpen, (2) parabel, (3) cerita rakyat, dan
(4) anekdot.

a. Cerpen
Jenis prosa fiksi yang banyak dikenal orang yaitu cerita pendek (cerpen)
dan novel. Dahulu orang membedakan antara novel dengan roman. Pada
dasarnya kedua prosa ini berbentuk sama panjang, yang membedakannya
hanya pada akhir cerita. Istilah roman diambil dari bahasa Belanda. Karena
Belanda pernah lama menduduki Indonesia, maka istilah itu dahulu lebih dikenal
oleh masyarakat kita. Selain cerpen ada pula jenis prosa pendek yang
merupakan subgenre cerpen yaitu: (1) cerpen, (2) parabel, (3) cerita rakyat, dan
(4) anekdot.

Bacalah teks cerpen di bawah ini.


GERHANA
(Moh. Ali)

Buah pepaya memang enak rasanya. Yang ranum pun sedap kalau dibikin rujak.
Ada lagi keistimewaan pohon pepaya, ia tumbuh dan berbuah di segala musim, di
musim basah, maupun di musim kemarau. Jadi tak ada alasan bagi siapa pun di
muka bumi ini untuk membenci dan memusuhi pohon dan buah pepaya. Itulah
maka Sali tidak mengerti dan hampir tak dapat menahan hati. Ketika diketahuinya
pada suatu pagi pohon pepaya satu-satunya yang tumbuh di pekarangan
rumahya dalam keadaan roboh melintang di tanah. Beberapa buah pepaya yang
ranum dilihatnya tertimpa batangnya yang gemuk itu hingga lumat berlepotan
serupa tempurung kepala bayi-bayi remuk ditimpa penggada raksasa.

Serasa Sali diapungkan ke langit. Linglung tak tahu apa yang mesti dibuatnya.
Perutnya berbunyi-bunyi, kedua belah matanya terus berkedip-kedip. Jari-jarinya
menggeletar ketika membarut-baut pohon pepaya yang tumbang itu. Getahnya
yang meleleh menetes-netes, di matanya persis darah segar kental,
mengingatkannya pada cerita-cerita penyembelihan yang mengerikan.

Seorang tetangga dari sebelah rumahnya datang diam-diam dan berdiri di


sampingnya, ikut menyaksikan musibah ini.
“Tengok”, kata Sali, “Tengoklah ini ada bekas bacokan.” Lalu dirabanya bagian
itu, “Jadi.. telah dibacok dengan parang…”

“Siapa yang melakukannya?”, tanya tetangga.


“Mana kutahu? Kalau saja aku tahu siapa dia yang bertangan usil itu “, kata Sali
sambil meremas-remas tangannya. “Sekarang akan kausaksikan sudah pameran
dari kepingan tangan usil itu. Akan kulunyah-lunyah sampai lembut berantakan
tangan biadab itu”

“Aneh, apa maksudnya berbuat seperti ini?” “Apa latar belakangnya?” Tanya
tetangga pula.
“Kutanam dulu bijinya di sini”, kata Sali seraya mengais tanah di bawahnya
dengan ujung jari kakinya. Kupupuk dan kusirami dua kali sehari pagi dan sore.
Ketika kuncupnya menyemi, hampir aku berjingkrak-jingkrak menari lantaran
besar hatiku.” Kembali diusapnya batang pepaya. Tiba-tiba matanya bekaca-kaca
dan suaranya mengeruh:

“Aku seperti bapaknya yang mengasuhnya sejak ia masih bayi hingga sebesar
ini”. Tersekat sesaat. Lalu tambahnya “Sekarang beginilah keadaannya, ditebang,
dibacok, digorok, dan dirobohkan tak semena-mena”.
Tercenung tetangga mendengarkan kisah mengharukan itu. Berkali-kali ia mau
campur bicara. Tapi setiap kali diurungkannya. Akhirnya berkatalah ia. ” Sedih
juga jadinya ceritamu itu. Tapi sepertinya engkau melebih-lebihkannya. Aku jadi
teringat pada yang sudah mendahului kita…”

“Siapa melarang kalau ia kutimang bagai anakku sendiri?” Tanya Sali tiba-tiba.
“Bagiku ia tidak berbeda dengan seorang anak yang sungguh-sungguh.
Tidakkah ia punya nyawa juga seperti kita?”

Kepala tetangga kembali terangguk-angguk. Tiadalah ia berusaha buat bicara.


“ Menebangnya seperti ini”, kata Sali “sama dengan membunuh satu nyawa,
tidakkah demkian?” Kembali tetangga mengangguk-angguk. “Apakah dosanya ia
ditebang, dirobohkan? Di segala musim dipersembahkannya kepada kita buahnya
yang manis, segar. Mengapa ia dimusuhi, dibenci, dibacok dengan parang seperti
ini?”

“Benar juga katamu Sali,” kata tetangga. “Boleh dibilang ini pelanggaran,
pelanggaran atas hak orang. Bisa dituntut. Sebab setiap pelanggaran mestilah
dapat hukuman yang setimpal. Sebaiknya hal ini kau laporkan kepada Pak
Lurah”. “Tentu, ini mesti aku laporkan. Bukan saja kepada Pa Lurah, kalau perlu
bahkan kepada pembesar yang paling gede.”

“Pembesar kukira tak sudi mengurusi soal-soal sepele seperti ini…” sela
tetangga. “Mereka cuma mengurusi perkara-perkara besar saja. Urusan ini
tentulah tidak menarik minat mereka”.
“Apa? Sepele” dengus Sali. “Kini ditebangnya pohon pepaya, besok rumahku
akan dirobohkannya, dan lusa seluruh kampung akan dibakarnya. Nah, apa ini
bukan perkara besar?”
Kembali tetangga terangguk-angguk.

“Benar juga itu, sebaiknya kau laporkan dulu sekarang kepada Pak Lurah. Pagi-
pagi tentulah ia berada di rumahnya…”
Sebentar Sali berpikir. Kemudian dengan cepat ia melangkah meninggalkan
halamannya. Di luar pagar ia tertegun sejenak. Ingat ia belum sarapan. Tapi ia
segera melangkah lagi, hampir berlari-lari menuju ke rumah Pak Lurah. Di
kelurahan Sali disambut Pak Lurah.

“Sepagi ini ada apa? Kemalingan?”, tanya Pak Lurah.


Setelah mengatur nafasnya, Sali menjawab, “Pak Lurah , semalam kan tidak ada
angin ribut?
“Ya”,
“Kan tidak ada gempa bumi?”
“Benar…”
“Tapi sungguh mengherankan ..”
“Apa yang mengherankan?”
“Pohon pepayaku”
“Mengapa pohon pepayamu?”
“ Tumbang”
“Tentu ada yang merobohkannya”.
“Tak sak lagi. Ada bekas bacokan pada batangnya”.
“Bacokan? Hem. Siapa yang melakukannya?”
“Nah, inilah baru soalnya. Siapa yang berbuat tidaklah kuketahui, tapi pasti ia
adalah orang yang berulat di hatinya ”
.
“Kau punya seteru?” Tanya Pak Lurah, “Atau pernah cekcok sama tetangga
kanan kiri?”
“Setahuku aku tidak punya seteru seorang pun di muka bumi. Menyinggung-
nyinggung tidak pula kegemaranku. Seandaimya ada yang tersinggung dengan
kata-kataku masih banyak jalan yang akan ditempuhnya buat membalaskan sakit
hatinya padaku. Umpamanya melempari rumahku dengan batu-batu atau pergilah
ke dukun untuk meletuskan perutku. Mengapa mesti pohon pepaya yang tak
berdosa itu yang dirobohkannya?”

“Hem..” Pak Lurah memilin-milin kumisnya yang galak itu. Kemudian ujarnya,
“Boleh jadi ada sebabnya maka mereka tak suka pada pohon-pohon pepaya…”
“Áneh, tetapi mengapa?”
“Ya begitulah. Mungkin hatinya pernah terluka, hingga dendam mencekam dalam
hatinya.”
“Mustahil!”
“Kenapa mustahil? Misalkan pohon itu telah membangkitkan kenangannya
kepada hal-hal yang pahit yang penah dialaminya.”
“Bagaimana mungkin?”
“Mudah saja. Umpamanya dulu ia pernah mencuri buah pepaya dan tertangkap
basah. Si empunya tentulah menghajarnya sampai babak belur. Atau,
umpamakan dialah yang empunya pohon pepaya yang lebat berbuah, tetapi
selalu didapatinya buahnya hilang dicuri orang hingga tak sempat dinikmatinya
buah itu mesti sebuah pun. Tidakkah cukup alasan baginya untuk merobohkan
setiap pohon pepaya yang dilihatnya?”

Lama Sali terdiam. Sebenarnya ia kecewa di hati mendengar ocehan Pak Lurah
yang baginya mau mengada-ada itu. Tapi ia mendapat jalan lagi, katanya, “Kalau
ada seorang bocah pernah mengencinginya, adakah pantas kalau ia mencekik
mampus setiap bocah yang dijumpainya di jalan-jalan?”.
Rupanya Pak Lurah merasa tersinggung oleh bantahan Sali. Pak Lurah
mendehem beberapa kali seolah-olah ada yang mengganjal di tenggorokannya.
Kemudian ujarnya, “Mana boleh bocah kau samakan dengan pepaya?”
“Kan pohon punya nyawa juga Pak?”

“Uh, sebatang pohon pepaya tak lebih berharga dari sepicuk nasi rames, dan
kau berlagak seolah-olah kehilangan anak kandung kesayanganmu?”.
Sali mengerti bahwa Pak Lurah mulai meradang. Kentara dari kedua belah
matanya yang mulai memerah. Pikirnya lebih baik ia mengalah, ia berkata
merendah.
“Pak, pohon pepaya di pekaranganku telah dirobohkan dengan tak semena-
mena. Tidak patutkah itu aku laporkan?”

“Itu benar tapi jangan melebih-lebihkan Ingat, yang harus diutamakan ialah
kerkukunan kampung. Soal kecil yang dibesar-besarkan bisa mengakibatkan
kericuhan di dalam kampung. Setiap soal mesti diselesaikan dengan sebaik-
baiknya. Tidak boleh main seruduk. Lebih-lebih terhadapmu. Katanya kau
berpenyakit darah tinggi. Suatu penyakit yang jelek sekali mudah membuat orang
penasaran. Masih ingatkah kau pada peristiwa Dulah dan Bidin tempo hari.” Nah,
betapa menyedihkan kesudahannya….”

Karena dilihatnya Sali diam saja, Pak Lurah melanjutkan.


“Apakah soalnya? Dua kilo beras? Seorang kehilangan nyawa dan yang lain
meringkuk di penjara. Gara-gara sejumput beras. Yang satu bilang sudah
mengembalikan berasnya, yang lain bilang belum. Lalu selusin iblis menyurupi
mereka. Cekcok kian menjadi-jadi dan akhirnya berkesudahan dengan
penumpahan darah. Kini, kau datang dengan persoalan pohon pepayamu. Tak
ada bedanya antara sebatang pohon pepaya dengan dua kilo beras. Sama-
sama bisa berlarut-larut dan berkesudahan menyedihkan. Sebaiknya kau pulang
saja. Ambillah beberapa benih pepayamu dan tanamlah di pekaranganmu. Tiada
berapa lama tentu akan kaumiliki lagi pohon-pohon pepaya. Habis perkara.” Kata
Pak Lurah akhirnya.
Sali terbungkam. Cerita Lurah memang benar, sebab dilihatnya sendiri ketika si
Bidin diseret kekelurahan dan si Dullah dengan tandu diangkut ke kerumah sakit.
Tapi ada keragu-raguan timbul di hatinya. Benarkah mereka berkelahi sekadar
hanya lantaran meperebutkan dua kilo beras? Mustahil. Tentulah ada hal-hal lain
yang lebih musykil daripada itu.

Tiba-tiba urat di wajahnya meregang hingga wajah Sali kemerah-merahan.


Pikirnya, kemudian, mengapa pula soalku lantas dihubung-hubungkan dengan
segala yang bukan-bukan? Kerukunan kampung, kesejahteraan kampung, beras
berdarah, darah tinggi segala. Mengapa semua itu dibawa-bawa? Tidakkah
sepantasnya melapor kalau pohonnya ditebang orang?
Tetapi apabila terpandang wajah pak Lurah yang kerut-merut dan kumisnya yang
galak melintang di bawah hidungnya, sepatah kata pun tak terucapkan olehnya.
Diam-diam Sali menuruni jejnjang kelurahan menuju jalan raya.

Akan mengalahkah dia lalu ngosel kembali ke rumahnya? Tidak. Sekali-kali


tiadalah ia akan menyerah. Dia ingin tahu masih adakah peraturan yang sekurang
kurangnya masih memperhatikan maksud-maksud baik yang serupa itu, di
desanya ini, yang mau melindungi hak-hak orang. Kalau dari Pak Lurah sudah
tidak bisa diperolehnya apa yang diinginkannya maka tahulah ia ke mana
sekarang langkahnya mesti diarahkan.
Pak Camat!. Begitulah Sali lalu mempercepat langkah menuju ke kecamatan.

Di kantor kecamatan Sali diterima oleh beberapa juru tulis muda, karena Pak
Camat kebetulan tidak ada di tempat. Ada-ada saja olah tingkah lalu anak-anak
muda itu. Salah seorang, di antara mereka, setelah mendengar laporan Sali,
berkata,
“Wah urusan bapak ini memang bukan perkara kecil. Ini sungguh-sungguh satu
perkara yang bukan main besarnya. Harus disusun satu panitia khusus untuk
menyelidikinya. Mengadakan penelitian, dari segi dan penjuru. Kami kira Pak
Camat tentu tidak akan mampu menyelesaikannya. Jadi Bapak sebaiknya pergi
saja menghadap Jaksa Agung di ibu kota…”

“Ah, Jangan ke sana,” kata juru tulis yang lain. Jaksa Agung pun tak akan
sanggup mengurusnya…”
“Habis mau ke mana Bapak ini mau menggotong batang pepayanya yang besar
itu?” “Langsung ke PBB!” kata yang lain. “Alangkah geger dunia dibikinnya…!”
Akhirnya Sali mengerti bahwa olok-olok anak muda itu tentu tidak boleh
diteruskan. Siapa tahu akan menaikkan darahnya. Jadi, segera ditingalkannya
para juru tulis muda yang iseng itu.

Di tengah jalan yang berbatu-batu, terasa oleh Sali bebannya bertambah berat,
meski tiada dibawanya pohon pepaya itu. Dengan sebelah kaki dapat
digulingkannya pohon pepaya itu. Itu pun akan dilakukannya nanti. Mengapa kini
malah menjadi bertambah ruwet jadinya? Tapi bagaimana pun bukankah soal ini
harus mendapatkan penyelesaiannya?
Terpikir pula untuk melaporkannya kepada Bapak polisi desa. Kebetulan jalan
yang sedang akan ditepuhnya menuju ke sana pula. Meski banyak rasa pantang
di hatinya untuk menghadap bapak polisi, namun sekali ini dipaksakan jua
langkahnya menuju ke kantor polisi desa.

Hampir ditariknya kembali kakinya dari ambang pintu kantor itu, ketika tiba-tiba
pandang Sali terbentur pada tanda-tanda rumit, paku-paku, pantopel, dan segala
macam tetek-bengek yang serba membingungkan merubungi orang yang disebut-
sebut Pak polisi itu. Tapi ternyata taklah mungkin ia surut karena tiba-tiba
terdengar suara melenguh dari belakang meja. “Hai, ada yang mengintip di
sana…?
“Seketika Sali tergagap. Lalu dengan suara terputus-putus diceritakan Sali
maksud kedatangannya ke sana. Sekoyong–konyong bapak polisi tersentak
bagai disengat lebah lubang pantatnya. Bibirnya menyungging jelek, sebelah
matanya dipicingkannya rapat-rapat, dan yang sebelah lagi dibelalakkannya
lebar-lebar. Secara itulah ia menatap tamunya sesaat lamanya. Sekejap
kemudian, ruangan kecil itu pun berubah menjadi medan yang hiruk pikuk.

“Bangsat!. Kurang ajar!. Bajingan! Sambar gledek! Kiramu aku pokrol


bambukah? Calo gelapkah? Heh, di sini kantor polisi. Tahu? Tempat paling sopan
di muka bumi ini. Dan bukanlah tempat untuk mengadukan hal yang bukan-
bukan. Ayoh, lekas angkat kakimu dari tempat ini Nyah, nyahlah kau secepatnya
dari ini sebelum kau kutembak mati!.

Pelan-pelan Sali mengingsutkan pantatnya dari bangku panjang yang


didudukinya, lalu merayap diam-diam ke pintu. Terasa nafasnya sesak pengap
bagai dicekek lehernya. Celananya basah.

Entah bagaimana jalannya, tahu-tahu Sali sudah tiba kembali di pagar


pekarangannya. Di sini sekonyong-konyong robohlah ia tak sadarkan diri. Masih
juga ia tak sadar ketika kemudian keluarganya memindahkannya dari pekarangan
dan membaringkanya ke atas bale-bale di kamarnya. Tidak juga ia siuman ketika
beberapa dukun kampung telah didatangkan, ketika mantera-mantera telah
dibacakan, dan ketika air penawar diguyurkan ke ubun-ubunnya dan dibasuhkan
ke serata wajahnya.

Sekali terdengar keluhannya, kering dan gerah. Setelah itu sepi. Dadanya diam
dan rata. Menjelang tenga malam para tetangga dikejutkan oleh suatu pekikan
isteri Sali yang melulung mencabik kesenyapan malam. Tentu mereka pada
tergugah dan takjub bertanya-tanya.
“Ada apa? Apa yang terjadi di rumah Sali?”
Istri Sali menangkupkan kepalanya ke pinggiran bale-bale. Punggungnya
berguncang-guncang menahan kepiluan yang menghunjam ke dalam dadanya.
Kini di hadapannya, di atas bale-bale itu terbujur mayat suaminya, Sali.

Orang mulai menyibukkan diri, masuk ke luar pintu kamar. Tapi tiada seorang pun
merasa perlu untuk menanyakan sebab-sebab kematian Sali, karena mati adalah
untuk setiap makhluk yang hidup. Mungkin mereka sudah menduga, atau
mereka-reka di kepala, seperti halnya isterinya pun menduga, mereka-reka pula
di kepala, berkata dia mesti terbata-bata di sela sedu-sedannya,
“Pohon celaka itulah gara-gara semua ini. Beginilah jadinya. Akulah yang
menebangnya semalam, karena anak-anak sering memanjatnya….!”

Dari: Kumpulan Cerpen Potret Manusia Moh. Ali

Buktikan bahwa cerpen di atas sesuai dengan ciri cerpen berikut ini.
1. Membutuhkan waktu baca sekitar 10-15 menit
2. Menceritakan kehidupan tokoh yang dianggap penting
3. Memiliki alur sederhana
4. Karakter tokoh tidak diuraikan rinci
5. Tidak harus terjadi konflik batin, dan konflik tidak akan mengubah nasib tokoh
6. Perwatakan digambarkan secara singkat dan latar yang terbatas
Meskipun ada yang membatasi panjang cerpen sekitar 1.000 sampai
dengan 2.500 karakter, namun ada cerpen yang lebih pendek lagi. Anda tahu
cepen yang sangat pendek disebut apa? Ya betul, disebut short short story atau
cermin, cerita pendek mini. Cerpen pendek jenis ini lebih sesuai jika dijadikan
bahan pembelajaran, karena waktu bacanya yang singkat.
Sekarang perhatikanlah cerpen pendek karangan Tika Anggreni berikut
ini.
JANJI AYAH

Pada 7 Desember 1998, di Armenia Utara terjadi gempa bumi dengan


kekuatan 6,9 skala richter. Akibatnya, banyak bangunan yang runtuh atau rusak
berat. Termasuk sebuah gedung sekolah dasar di wilayah itu. Saat semua orang
panik, tampak seorang lelaki berlari menuju sekolah itu. Rupanya anaknya
bersekolah di tempat itu.
Pria itu terlihat sangat panik. Dia teringat akan janjinya kepada sang anak,
“Nak, apa pun yang terjadi papa akan selalu bersamamu!” Sesampainya di
sekolah, pria itu terkejut mendapati gedung itu sudah runtuh.
Awalnya ia hanya berdiri diam sambil meratapi nasib anaknya. Namun
beberapa saat kemudian ia memutuskan mencari anaknya di bawah reruntuhan.
Semua orang menganggap upayanya sia-sia belaka. Mereka yakin bahwa semua
murid pasti sudah tewas.
Melihat kegigihan pria itu, beberapa orang mulai merasa kasihan dan
membantunya. Dua jam, lima jam, sepuluh jam, tiga belas jam, sampai delapan
belas jam berlalu. Orang-orang mulai lelah dan membiarkan pria itu sendiri. Dia
sama sekali tidak putus asa. Upayanya itu ternyata membuahkan hasil. Ia
mendengar suara dari bawah papan yang runtuh. Dengan sekuat tenaga ia
mengangkat papan itu sambil memanggil nama anaknya, “Armando!” Dan dari
kegelapan di bawah terdengar suara anak kecil, “Papa!” Dilanjutkan dengan
suara anak-anak lain yang selamat.
Semua orang terkejut sembari bersyukur menemukan 14 anak yang masih
hidup. Pada saat mereka semua sudah dikeluarkan dari reruntuhan, semua orang
di sana mendengar Armando kecil berkata pada teman-temannya, “Lihat, aku
sudah bilang kan, papaku pasti akan datang menyelamatkan kita.”
Sebesar itulah kekuatan sebuah harapan.

(Tika Anggreni, Intisari: Mei 2016, hlm. 131)

b. Novel
Adapun kelompok novel terdiri atas: (1) novel, (2) novelet, (3) dan roman.
Penggolongan ini didasarkan atas panjang pendeknya penceritaan. Novel yang
tidak begitu panjang disebut novelet atau novela, yang panjangnya kurang jika
dibandingkan dengan roman. Pengarang novel disebut novelis.
Bentuknya yang panjang terurai juga membedakan pemaparan novel
dengan cerpen yang padat terkonsentrasi. Novel mampu menghadirkan
beberapa situasi sosial dalam cerita yang kompleks secara utuh. Di awal
kemunculannya roman dibedakan dari bentuk novel.
Roman merupakan jenis prosa fiksi yang pertama kali muncul, disusul
oleh cerpen kemudian novel. Roman berisi kehidupan tokoh sejak ia masih
kanak-kanak atau remaja. Cerita dalam karya roman diakhiri dengan kematian
tokoh utama. Roman Indonesia yang pertama berjudul Azab dan Sengsara terbit
tahun 1917, sedangkan roman detektif pertama di Indonesia berjudul Mencari
Pencuri Anak Perawan karangan Suman Hs. Pada perkembangannya roman
dimasukkan menjadi bagian dari subgenre novel.

c. Anekdot
Istilah anekdot berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas an yang berarti
‘tidak’ dan ekdotos yang berarti ‘dikeluarkan, diterbitkan.’ Cerita singkat atau
kisah pendek yang mengisahkan hal-hal yang lucu tentang tokoh tertentu, yang
belum dapat dipastikan kebenarannya. Ciri anekdot mengandung unsur humor
atau kelucuan, namun di balik unsur humor itu terdapat ajakan untuk
merenungkan suatu kebenaran.
Unsur anekdot meliputi: (1) tokoh, (2) alur, (3) latar, dan (4) rangkaian
peristiwa.
Bacalah anekdot berikut ini.

OBROLAN PRESIDEN

Saking sudah bosannya keliling dunia, Gus Dur coba cari suasana baru di
pesawat RI-01. Kali ia dia mengundang Presiden AS dan Prancis, terbang
bersamanya buat keliling dunia. Boleh dong, emangnya AS dan Prancis saja yang
punya pesawat kepresidenan?
Seperti biasa, setiap presiden selalu ingin memamerkan apa yang menjadi
kebanggaan negerinya.
Tak lama presiden Amerika, Clinton, mengeluarkan tangannya, dan sesaat
kemudian dia berkata, “Wah, kita sedang berada di atas New York!”
Presiden Indonesia (Gus Dur). “Lho, kok bisa tahu, sih?”
“Itu... Patung Liberty kepegang!” jawab Clinton dengan bangga.
Enggak mau kalah, Presiden Prancis, Jacques Chirac, ikut menjulurkan
tangannya keluar.
“tahu nggak ... kita sedang berada di atas kota Paris!” katanya dengan
sombongnya.
Presiden Indonesia berseru, “Wah ... kok bisa tahu juga?”
“Itu ... Menara Eiffel kepegang!” saut presiden Prancis tersebut.
Karena disombongi oleh Clinton dan Chirac, giliran Gus Dur yang menjulurkan
tangannya ke luar pesawat. “Wah ... kita sedang berada di atas Tanah Abang1”
teriak Gus Dur.
“Lho, kok bisa tahu, sih?” “Lho, kok bisa tahu, sih?” tanya Clinton dan Chirac
heran karena tahu Gus Dur itu ‘kan enggak bisa melihat.
“Ini ... jam tangan saya hilang...” jawab Gus Dur kalem.

(dikutip dari: Bupena Bahasa Indonesia untuk SMA/MA kelas X)

Tokoh dalam anekdot di atas ada tiga, dengan tokoh utama Gus Dur. Alur
yang dipergunakannya bergerak maju atau progresif, mengambil latar di pesawat
terbang kepresidenan RI. Sekarang, buatlah rangkaian peristiwa yang terjalin
membentuk cerita yang menimbulkan kelucuan ini.

1) Kaidah dan Struktur Anekdot


Kaidah anekdot bercirikan kelucuan serta memberi pelajaran bagi
pembacanya. Anekdot di atas mengandung kelucuan lokal, dan memberi
pelajaran bagi pembaca agar tidak perlu menyombongkan diri. Struktur anekdot
terdiri atas: abstraksi atau pengenalan, orientasi, krisis atau komplikasi, reaksi,
serta koda. Dalam hal ini koda dimungkinkan ada atau tidak ada, karena bersifat
tentatif.
Abstraksi atau pengenalan berisi pendahuluan yang menyatakan latar
belakang atau gambaran umum tentang isi suatu teks, mengenalkan kondisi atau
karakter tokoh dengan menjawab pertanyaan adiksimba. Orientasi merupakan
bagian cerita yang memberi gambaran tentang masalah yang akan terjadi dan
mengarah pada terjadinya suatu krisis, konflik, atau peristiwa utama. Pada
anekdot terdapat komplikasi yang menunjukkan keadaan krisis yaitu pada bagian
inti peristiwa anekdot yang merupakan puncak cerita. Pada bagian ini berisi
peristiwa yang menggelitik atau mengundang tawa, biasanya juga berisi kritikan
Pada bagian reaksi berisi tanggapan atau respons atas krisis yang
dinyatakan sebelumnya, berupa sikap mencela atau menertawakan, dan pada
bagian akhir terdapat koda. Koda merupakan penutup atau simpulan, penanda
berakhirnya cerita. Koda berbentuk persetujuan, komentar terhadap isi cerita,
atau menjelaskan hikmah dari cerita/peristiwa yang telah dipaparkan, yang
ditandai dengan kata: akhirnya, demikianlah, dan lain-lain. Terkadang anekdot
tidak memiliki koda, karena koda bersifat opsional.

Rangkuman
Selamat, Anda telah menyelesaikan Kegiatan Belajar 3 tentang Genre
Prosa Fiksi. Hal-hal penting yang telah Anda pelajari dalam Kegiatan Belajar 3 ini
meliputi:
Prosa lama yang terdiri atas: fabel, cerita rakyat, dan prosa lirik, serta prosa
modern yang membicarakan tentang: cerpen, novel, dan anekdot (unsur, kaidah,
dan struktur).
Tokoh utama dalam fabel haruslah binatang yang dapat berperilaku
bagaikan manusia. Melalui perilaku binatang yang menjadi tokoh cerita, tujuan
fabel ditulis untuk memberi pelajaran moral bagi para pembacanya. Fabel
termasuk dalam cerita rakyat.
Cerita rakyat adalah cerita yang beredar di kalangan masyarakat. Jenis
cerita rakyat dapat dibagi menjadi: (1) mite, (2) legenda, (3) sage, dan (4) fabel.
Contoh legenda nusantara yang terkenal, antara lain: legenda Danau Toba dan
legenda Tangkuban Perahu.

Anda mungkin juga menyukai