Oleh
Witakania S. Som
Dongeng atau conte adalah cerita sederhana yang diciptakan secara kolektif, bukan oleh
seseorang dan karenanya siapa penciptanya tidaklah dikenal. Pada awalnya dongeng tidak
ditujukan untuk anak-anak, melainkan untuk publik dewasa. Meski ceritanya sederhana, namun
dongeng adalah hal yang serius. Dongeng tidak pernah diceritakan pada sembarang waktu
dengan sembarang cara oleh sembarang orang. Dongeng dihadirkan oleh seorang tukang
dongeng yang merupakan sosok yang mampu membuat pendengarnya terpaku dan terpukau
oleh kisah yang dituturkannya, sosok yang dikenal baik dalam komunitasnya serta sosok yang
Pada umumnya tokoh dalam dongeng tidak bernama, atau kalau pun ia bernama, maka
nama tersebut hanyalah berupa ciri : Putri Salju karena kulitnya seputih salju, Si Kerudung
1
Merah karena busana yang dikenakannya, dsb. Latar waktu dongeng yang tak pernah jelas atau
in illo tempore ditunjukkan oleh keterangan waktu yang biasa mengawali sebuah dongeng :
antara kejadian sehari-hari dan hal-hal yang luar biasa : ratu yang memiliki cermin yang dapat
berbicara, putri yang tidur selama ratusan tahun. Dongeng selalu menawarkan optimisme
karena selalu memiliki akhir cerita yang bahagia : And they live happily ever after…
Salah satu jenis dongeng yang amat disukai adalah dongeng peri (conte de fées) yang
penuh dengan adegan-adegan ajaib dan menakjubkan. Para peri yang merupakan peninggalan
dari kepercayaan kuno yang memuja alam (www.europsy.org) hadir di dunia manusia sebagai
Dalam khasanah kesusastraan Perancis, dongeng peri amat identik dengan nama
Charles Perrault (1628-1703) yang menuliskan cerita lisan tersebut dan pada 1697
memuat antara lain Le Petit chaperon rouge (Si kerudung Merah), La Belle au bois dormant
(Putri Tidur), Cendrillon (Cinderella), Le Petit poucet (Si Jempol) yang amat terkenal tidak hanya
Dongeng-dongeng tersebut disukai hampir semua anak, bahkan termasuk juga orang
dewasa. Dan ketika dunia mengenal budaya film dan televisi, dongeng tersebut kemudian
ditampilkan pula dalam wujud film kartun. Berkat gambar yang indah, animasi yang halus,
cerita yang memukau, dan lagu-lagu yang merdu dari film-film kartun garapan Walt Disney,
dongeng peri ini kemudian dianggap sebagai film klasik: dikenang dan disukai sepanjang masa.
2
Meski asal-usulnya tidak dikenal, namun dongeng peri selalu menunjukkan sebuah
pengetahuan dan kebijaksanaan yang sama yang dimiliki oleh umat manusia di mana pun.
Eksistensi ingatan kolektif yang memiliki simbol-simbol yang khas sekaligus universal karena
dikenal oleh semua budaya yang berbeda. Namun di sisi lain, sebagai sebuah kreasi puitis
warisan sastra lisan yang mengambil inspirasinya dari ingatan kolektif, dongeng, seperti juga
dongeng peri, selalu berubah-ubah, selalu beradaptasi, dan selalu mengalami reaktualisasi
Menurut Marie Louise von Franz, sebagaimana dikutip oleh Claudia Samson
psikis dari ingatan kolektif. Peri laku dan sepak terjang para tokoh dianggap sebagai suri teladan
yang harus diadopsi. Maka, tokoh perempuan dalam dongeng peri menampilkan citra
3
Sebagaimana tokoh-tokoh lainnya dalam dongeng peri, sosok Putri Aurora dilukiskan
sebagai perempuan muda dan cantik, dengan raga yang sempurna : tubuh ramping, kulit putih,
hidung mancung serta rambut panjang keemasan. Sementara tokoh jahat yang diwakili oleh
ratu sekaligus ibu tiri ditampilkan sebagai perempuan tua dengan penampilan menakutkan :
hidung bengkok, alis mata naik, kuku-kuku jari panjang. Sementara rambutnya tersembunyi di
balik topi runcing bak topi penyihir yang sewarna dengan pakaian hitamnya.
Bila Putri Aurora disandingkan dengan Pangeran, sosok Prince charmant, pahlawan
penolong yang juga menampilkan kemolekan fisik sekaligus kekuatan dan kekuasaan, maka ratu
alias Ibu Tiri disejajarkan dengan mahluk mengerikan yang memiliki kekuatan jahat: seekor
Tampaklah di sini apa yang secara moral baik berarti secara fisik cantik atau sedap
dipandang. Sementara apa yang jahat maka secara ragawi akan jelek atau buruk rupa. Jelaslah
bahwa fisik dan metafisik, tubuh dan jiwa, penampakan dan realitas, luar dan dalam adalah
Mitos kecantikan yang menyatakan bahwa kecantikan baik dan kejelekan jahat telah
diyakini sejak dulu. Meski dikenal dengan dualisme tubuh yang negatif, Plato dalam karyanya
Symposium (211) mengungkapkan bahwa kecantikan identik dengan kebaikan dan cinta,
dengan kebahagiaan, hikmat, dan kebenaran serta pengetahuan, sementara kejelekan menjadi
kualitas yang sebanding namun bertentangan dalam sisi lain tabel pertentangan: jahat, tidak
tahu apa-apa, pembohong, benci, tidak bahagia, sia-sia, dan merusak (dalam Synnott, 2007:
4
Persepsi kecantikan atau kejelekan seseorang ditentukan antara lain oleh wajahnya.
Menurut Anthony Synnott dalam bukunya yang berjudul Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan
Masyarakat (2007), wajah adalah simbol utama diri, karena tak ada dua wajah yang identik.
Selain itu, lewat wajahlah kita mengenali diri kita sekaligus mengidentifikasi diri kita. Wajah
mengejutkan kita sebagai simbol, bukan hanya sebagai gambar roh, melainkan juga sebagai
gambar kepribadian yang tak dapat keliru. Wajah menyatakan kebe ara da Johann K.
Mitos bahwa wajah merupakan representasi sifat ditunjukkan dengan gamblang dalam
fisiognomi (dari bahasa Yunani "physis" yang berarti 'sifat' and "gnomon" yang berarti
'penilaian' atau 'interpretasi') yang menilai karakter dan kepribadian seseorang dari penampilan
fisik, terutama dari wajahnya. Hubungan antara penampilan luar dan karakter telah ada sejak
masa Yunani Kuno, dan terus dikembangkan hingga abad ke-20. Banyak karya sastra lain yang
Maupassant memberikan deskripsi yang amat rinci untuk memberikan gambaran yang tepat
mengenai karakter dan kepribadian tokohnya. Misalnya dalam nouvelle yang berjudul
L Héritage, tokoh Coralie digambarkan sebagai Elle était grande, grasse et rose, une belle fille
de forte race, avec des cheveux châtains et des yeux bleus . Ciri fisik ini berkelindan dengan sifat
Coralie yang agak tomboy yang ditunjukkan oleh busana yang dikenakannya Une robe simple
avait es otes g aves ui fo t vi e les e fs. Elle s écria : « Dieu ! du champagne ! quel
5
Selain wajah, rambut kepala juga merupakan bagian dari definisi budaya mengenai
femininitas (Synnott, 2007:166). Selama berabad-abad, rambut panjang menjadi sebuah tanda
dari jender dan simbol kelamin dalam masyarakat. Rambut panjang bagi perempuan adalah
kehormatan, seperti diceritakan dalam dongeng Rapuzel. Synnott juga menunjukkan bahwa
warna rambut berkaitan dengan konsep femininitas dan kecantikan. Dan warna rambut yang
paling disukai adalah warna pirang. Meski stereotipe rambut pirang identik dengan perempuan
bodoh dan hanya tahu bersenang-senang saja, namun warna ini tampaknya tetap menjadi
warna esensial perempuan, seperti halnya merah muda. Warna pirang juga dinilai sebagai
warna yang menyenangkan (Synnott, 2007: 176). Pilihan terhadap warna pirang bila
dibandingkan dengan rambut hitam merefleksikan pula pandangan rasialis dalam dunia yang
didominasi oleh kaum kulit putih yang diidentikkan dengan rambut pirang dan mata biru.
Sementara warna pirang ketika dibandingkan dengan rambut putih atau abu-abu menunjukkan
cantik, sedangkan laki-laki sejati adalah laki-laki kaya dan berkuasa. Definisi ini membentuk
pokok fantasi kita bahwa bila laki-laki-laki memimpikan kekayaan dan kekuasaan, maka
perempuan memimpikan kecantikan yang bisa memenangkan laki-laki yang memiliki kekayaan
dan kekuasaan (dalam Gamman & Mashment, 2010: 45-46). Cinderella yang sejatinya adalah
anak dari seorang saudagar kaya tentu saja memiliki ciri-ciri fisik yang selalu diyakini sebagai ciri
konvensional dari seorang perempuan terpandang, yaitu cantik dan menarik bagi laki-laki :
berkulit putih, bermata biru, berhasrat seksual karena kemudaannya. Selain itu Cinderella
merepresentasikan juga sosok perempuan ideal melalui sifat-sifat baik yang harus dilekatkan
6
pada perempuan : sabar, lemah lembut, pemaaf. Maka, Cinderella, pembantu bagi ibu tiri dan
kedua saudara tirinya, berhasil meraih kelas sosial yang lebih tinggi berkat kecantikannya. Ia
berhasil memenangkan hati Pangeran yang tengah dituntut untuk segera menikah demi tahta
Mitos kecantikan dilanggengkan dalam karya sastra seperti dongeng peri yang
mengajarkan sebuah pesan moral bahwa kemenangan kebaikan merupakan juga kemenangan
kecantikan. Kecantikan diterima sebagai kebaikan dan simbol kebaikan dan sesuatu yang baik
bagi jiwa; sebagai kebenaran; sebuah simbol status dan kesenangan seksual; sebagai relasi
subjektif, objektif, dan cultural; fisik dan metafisik; hadiah dari Tuhan; perolehan dan
Dan mitos kecantikan yang berbicara mengenai persoalan citra tubuh merupakan
sebuah realitas yang diciptakan. Tubuh menunjukkan bahwa raga bukan semata realitas alami,
namun sekaligus merupakan konsep kutural : semua masyarakat menciptakan citra tubuh ideal
untuk mendefinisikan diri mereka sendiri (Cavallaro, 2004:177). Mitos kecantikan menunjukkan
ah a kualitas ya g dise ut kecantikan eksis baik secara objektif maupun secara universal.
Germaine Greer mengatakan bahwa perempuan dicuci otak dengan citra fisik yang seharusnya
mereka miliki (dalam Synnott, 2007: 50). Perempuan sudah selayaknya mewujudkan mitos
tersebut dan laki-laki menginginkan perempuan yang sanggup mewujudkan mitos tersebut. Jadi
mewujudkan mitos menjadi sebuah keharusan bagi perempuan, namun tidak bagi laki-laki.
Situasi ini diperlukan sekaligus merupakan kewajaran karena bersifat biologis, seksual, dan
evolutif: laki-laki yang kuat bertarung demi mendapatkan perempuan cantik, dan perempuan
cantik akan berhasil dalam urusan reproduksi. Kecantikan perempuan berkorelasi dengan
7
kesuburannya, dan karena sistem ini berdasarkan atas seleksi seksual, maka tak mungkin
dihindari sekaligus tak mungkin diubah (Wolf, 2002:12). Perempuan adalah rahimnya, Tota
mulier in utero. Meski keberadaan rahim merupakan fakta bahwa begitulah tubuh seorang
perempuan, namun hal ini tidak kemudian mengimplikasikan bahwa perempuan haruslah
kemampuan kritis perempuan untuk mengambil jarak terhadap tubuhnya sendiri. Maka
perempuan hanya bisa melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan fungsi biologis
tubuhnya dan pekerjaan yang dilekatkan padanya karena tubuhnya (Lie, 2005:84). Jelaslah
bahwa perempuan hanya memiliki tugas dan identitas yang sama, yaitu membentuk dirinya
sesuai sosok yang ditetapkan oleh budaya patriarki: menjadi seperti yang diinginkan laki-laki. La
Belle yang tunduk tanpa syarat kepada La Bête hadir dalam sosok yang membawa pesan yang
amat kuat mengenai femininitas tradisional : perempuan penurut yang sabar dan lemah lembut
dan penyayang dan hadir untuk mengurus rumah dan melayani laki-laki tanpa hak untuk
Lebih jauh Lie menunjukkan adanya mitos yang diciptakan budaya patriarki bahwa
perempuan lemah telah menjadikan kelemahan fisik tersebut sebagai kerentanan perempuan
secara umum; perempuan tidak punya keyakinan pada kekuatan yang tidak dialaminya sendiri
terkurung dalam sikap pasif dan tak berdaya… dia ha ya isa e e pati te pat ya g sudah
ditentukan masyarakat baginya (2005:23). Sebagai pembantu, Cinderella tak sanggup untuk
melawan Ibu Tiri yang telah menawannya di dalam sebuah kamar buruk yang sempit di puncak
8
menara. Cinderella tak juga memiliki keberanian untuk berbuat sesuatu yang
memungkinkannya pergi ke istana dan menghadiri pesta dansa yang- padahal- amat
diinginkannya. Ia hanya pasif menunggu pertolongan dari tikus-tikus kecil sahabatnya dan ibu
peri yang baik hati yang datang dengan membawa aneka keajaiban.
Meski mitos kecantikan diciptakan dan dikekalkan oleh budaya patriarki, namun mitos
tersebut justru sanggup membuai perempuan. Marry Wollstonecraft mengatakan bahwa telah
diajarkan sejak kecil bahwa kecantikan adalah citra perempuan, pikiran yang membentuk
dirinya sendiri atas tubuh, dan meneriakkan di sekeliling kurungan emasnya, hanya untuk
politik yang acap kali digunakan untuk melawan kemajuan perempuan. Ketika perempuan
akhirnya sanggup membebaskan diri dari, misalnya, masalah domestikasi, maka mitos
kecantikanlah muncul sebagai citra diri dan identitas perempuan, bahkan kemudian mitos
kecantikan berkembang menjadi sebuah kontrol sosial atas perempuan : penciptaan dan
pemberlakuan citra ideal perempuan. Ketika perempuan tak mampu mencapai citra ideal yang
dibakukan oleh mitos kecantikan, perempuanlah yang bersalah, dan bukan mitos kecantikan
tersebut yang harus diubah. Padahal, menurut Joan Riviere, seorang perempuan dengan wajah
bersih, tanpa cacat cela, dengan kaki mulus tanpa buku, dengan bentuk alis mata yang indah,
9
Daftar Pustaka
Cavallaro, Dani, Critical and Cultural Theory, terj. Laily Rahmawati, Niagara, Yogyakarta, 2004.
Rogers, Marry F., Barbie Ikon Budaya Konsumerisme, terj. Medhy Aginta Hidayat, Bentang
Budaya, Yogyakarta, 2003.
Synott, Anthony, Tubuh Sosial, terj. Pipit Maizier, Jalasutra, Yoyakarta, 2007.
Tong, Rosemarie, Feminist Thought, terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro, Jalasutra, Yogyakarta.
von Franz, Marie-Louise, L I te p étatio des o tes de fée, terj. René Taillandier, Albin-Michel,
Paris, 1995.
Wolf, Naomi, The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women, Harper
Perennial, New York, 2002.
Daftar Situs
10
11