Anda di halaman 1dari 59

Rubrik Sangkakala Pamali Sebagai Mitos dan Budaya Yang Estetik

Mitos penciptaan atau cerita penciptaan merupakan kisah simbolik dalam suatu budaya, biasanya datang dari cerita masa lampau atau yang lebih dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai kisah leluhur. Mitos penciptaan berkembang dalam tradisi lisan dan merupakan bentuk penularan paling cepat dan awet sepanjang sejarah manusia. Karena transformasinya dilakukan dengan metode dongengan mejelang tidur atau petuah-petuah keseharian. Mitos pula pernah saya singgung dalam sebuah esai yang dimuat di majalah Kreativa Jogjakarta, sebagai salah satu pembentuk karakter bangsa, karena pada dasarnya karakter adalah suatu simbol buah penggalian dari berbagai unsur yang tertanam dalam suatu Bangsa yang kemudian unsur-unsur tersebut menjadi satu kesatuan pembangun kepribadian (Karakter). Di antaranya adalah mitos pamali. Kenapa pamali dikatakan mitos? Karena ianya tak ada dalam tatanan hukum agama dan intitusi Negara, tetapi ia hadir sebagai satu kepercayaan turun temurun sebagai suatu sergahan sakral yang sangat tidak boleh dilanggar oleh siapapun.

Budaya Pamali Apakah pamali dapat dikatan sebagai bagian dari budaya? Kali ini saja saya ingin sedikit ngelantur untuk tidak menggunakan definisi budaya dari kacamata para pakar yang terdahulu, melainkan mengutip dari pandangan manusia yang hari ini berkembang. Bahwasanya budaya adalah yang diakui dan dilakukan secara bersama dalam pergerakan-pergerakan kehidupan manusia secara komunal dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Buktinya, orang-orang hari ini kerap mengatakan bahwa menggunakan jejaring sosial semisal Facebook dan Twitter dikatakan sudah menjadi

budaya, padahal ia tidak diwariskan secara turun temurun melainkan baru terjadi di abad melenium ini, katakanlah kurang dari satu dasawarsa. Lantas bagaimana dengan pamali? Tentu ia adalah bagian dari budaya, bukan dilihat dari ia muncul dari tradisi masa lampau akan tetapi karena sampai detik ini, di zaman yang sudah serba canggih dan industri pamali masih tumbuh subur sebagai satu keyakinan, bahwa dengan melanggarnya akan mendapatkan mudharat. Atau mengambil dari pemahaman formal yang mendefinisiakan budaya sebagai sebuah tradisi atau kebiasaan yang dilakukan oleh suatu masyarakat secara turun menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. pamali tetap masuk sebagai budaya dari dua disiplin ilmu. Akademis dan realis. Terlepas sudut pandang mana yang benar-benar, benar. Lain waktu saya akan ulas persoalan tersebut. Kembali ke pembahasan mitos yang membudaya, yakni pamali

Tentu tidaklah asing lagi beberapa mitos pamali yang berkembang di sebagian besar masyarakat Indonesia: 1. Dilarang duduk di pintu, pada zaman terdahulu duduk di depan pintu dianggap akan menghambat atau menggagalkan jodoh. Mitos ini berkembang pesat di kalangan masyarakat dari zaman ke zaman. Bahkan jika ada yang tidak juga menikah sedangkan usianya sudah lebih dari matang, banyak yang mengeluarkan pernyataan bahwa mungkin saja, orang tersebut sering duduk di depan pintu. 2. Larangan keras menenun kain di malam hari. Disebabkan mitos tersebut, saya sendiri pernah kewalahan saat kancing baju seragam lepas dan mesti dipasag kembali dengan menggunakan jarum. Semua warung yang saya datangi menolak menjual jarum dengan satu kata andalan, pamali. 3. Selain itu, larangan keluar rumah bagi anak-anak sesaat menjelang senja. Sergahan pamali pada persoalan ini lebih ekstrim lagi, karena ada bumbu lain yang sengaja dihadirkan sebagai penguat larangan. Yakni tokoh setan kala. Dalam sebuah kajian panjang antara saya dan seorang tokoh masyarakat di sebuah kampung, saya menemukan sosok atau tokoh Setan Kala adalah yang sukamencuri anak-anak. Namanya juga macam-macam. Ada yang menyebutnya dengan Jurig ada juga yang menyebutnya dengan Wewe Gambreng dan banyak sebutan lain, tergantung pada daerah dan bahasa yang digunakan.

Dari dua contoh di atas, dapat dibayangkan betapa dahsyatnya mitos pamali sehingga sanggup mempengaruhi sikap dan hubungan sosial masyarakat sedemikian rupa.

Sehingga membentuk satu asmosfir budaya yang diamini oleh masyarakat baik dapat dilogikakan ataupun tidak. Benar akhirnya, tidak ada masyarakat tanpa mitos. Masyarakat dan mitos adalah satu rangkaian yang tidak akan terputus. Tidak ada (suku) bangsa yang tidak memiliki Mitos. Setiap suku bangsa pasti memiliki mitosnya tersendiri sebagai cerminan budaya. Seperti mitos Nyi Roro kidul bagi masyarakat laut kidul dan sekitarnya, sehingga mempengaruhi karakter masyarakat yang terkesan sangat takzim pada laut lengkap dengan ritual-ritualnya seperti memotong kerbau dan melarungkan kepalanya ke laut dengan aksen bunga-bunga dan sebagainya. Akal dan nalar manusia yang kerap sekali berbenturan dengan rasa dan karsanya sendiri, ternyata tidak membuat mitos habis kikis dilogikakan. Mitos memang benar selalu ada, bahkan pada masyarakat modern sekali pun. bukankah di masyarakat perkotaan juga berkembang mitos? Meskipun alih-alih penghalusan bahasa atau apalah maksud sebenarnya dengan menyebutnya urban legend bukan urban mythe, bahkan karena alasan-alasan keuntungan tertentu (mungkin) sengaja dieksplotir, terutama secara komersial dengan dibuat macam-macam film-film bioskop, tayangan televisi, panggung-panggung teater dan barangkali, dalam puisi? Mitos tumbuh subur sebagai bagian dari kebudayaan atau sebagai awal mula lahirnya budaya tertentu. Soal kebenaran, tentu saja sebagai manusia yang berpikir dan memiliki pedoman agama yang benar tak layak berpijak dari sesuatu yang hayaliyah belaka.

Estetika Pamali Munro mengatakan bahwa estetika adalah cara merespon terhadap stimuli, terutama lewat persepsi indera, tetapi juga dikaitkan dengan proses kejiwaan, seperti asosiasi, pemahaman, imajinasi, dan emosi. Selain itu banyak lagi definisi Estetika dari yang menyentuh ranah filsafat sampai pada bentuk-bentuk estetika yang semuanya bermuara pada keindahan. Baiklah, terlalu klise berbicara teori. Lantas, di mana letak estetika mitos pamali? Jika dilihat dari unsure psikolog masyarakat, mitos pamali memiliki nilai-nilai estetis mistis. Karena ia menjadi bentuk kepercayaan dengan manfaat dan mudharat dari sesuatu yang sama sekali tidak kasat mata. (belum selesai) 2013

Rubrik Ruang Ketiga Mengaji Tiga Puisi Perempuan Serumpun Membaca puisi adalah mengkaji makna dari kata yang tertulis: banyak simbol yang harus diurai untuk menemukan makna tersebut. Terlebih lagi jika sudah menyentuh ranah keyakinan, yakni keyakinan akan diri dan sang penciptanya. Di sini saya ingin mengajak pembaca untuk mengaji puisi 3 penyair dari tiga Negara yang memiliki pencapaian dan intensitasnya masing-masing. Seperti apa? Mari mengeja: Noor Aisya Bte Buang (Singapura) INGIN KU-SEPERTI kemerlap kandil itu berbisik percik cahaya dituang gelap seperti malam dengan hitam memberi sejalur terang berteriak di antara sepi berpesta kebisingan pendita mencari dekapan cinta seperti jantung dengan denyut meronce rindu--khalawat keasingan pada api dengan dinginnya mana perginya panas melecur mencumbu mesra raga Ibrahim tertunduk, matinya segala bahang

fatwakan daku qalam bersufi terdakwat seribu warna gemilang pada pelita iman di dada nurani ingin ku-seperti : ruh dan kekasih tidak terpisah. abadi

100213 Puisi INGIN KU-SEPERTI dibuka dengan kemerlap kandil itu berbisik kata kandil di masa kini sudah jarang dipakai, akan tetapi tentu bukan berarti sudah basi, karena ternyata tidak banyak digunakan dalam puisi. Kandil yang memiliki arti lampu/dammar/lilin ini disulam dengan majas personifikasi yang menyeolahkan benda mati dapat melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan mahluk hidup. Yakni berbisik membisikkan apa? Puisi ini sengaja memberi ruang kosong yang bebas diisi oleh pembaca, sesuai dengan interprestasinya masing-masing untuk menemukan bisikanbisikan yang dimaksud. percik cahaya dituang gelap larik berikutnya menukik pada cahaya yang dituang dalam kegelapan. Dan kegelapan yang dimaksud jawabannya ada di larik berikutnya: seperti malam dengan hitam penyair ini menganalogikan pada malam dan hitam, dimana malam dan hitam diketahui umum merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, karena sejatinya hitam adalah warna, warna hitam merupakan warna gelap dan gelap sering dikaitkan dengan malam, meski purnama sekalipun pada sisi-sisi tertentu malam masih setia menyimpan kegelapan. Maka dapat diartikan bahwa cahaya yang dituang dalam gelap adalah sebentuk keinginan (baca judul) untuk sesuatu yang menyentuh ranah hakikat. Jika berbicara hakikat maka untuk dewasa ini dekat kaitannya dengan pemahaman tasawuf. memberi sejalur terang berteriak pada larik penutup bait pertama diperjelas maksud puisi, bahwa cukup secerca (sejalur di sini saya artikan secerca) untuk menyatakan keberadaan cahaya. Pemahaman maksud keberadaan digambarkan oleh berteriak. Sekaligus saya menangkap pemahaman akan esensi yang berkaitan kuat dengan Eksistensialisme. Ya esensi secerca cahaya di kumparan gelap yang sanggup mempertahankan esksistensinya.

di antara sepi berpesta kebisingan pada bait kedua dihadirkan dua keadaan yang berlawanan, kontradiksi ini tentu bukan tanpa kesengajaan, melainkan ini dubuat

sedemikian rupa untuk menciptakan satu landscape lengkap, bahwa dalam sepi ada kebisingan atau sebaliknya, dalam kebisingan ada sepi. Dua keadaan itu adalah mungkin terjadi pada diri siapapun. Tentu ini tidak bicara soal badan tapi jiwa. larik berikutnya pendita mencari dekapan cinta pendita dalam ejaan yang benar adalah pendeta penyair ini sengaja menjadikannya pendita agar dipahami sebagai dialek melayu. Yang diartikan tidak hanya sebagai pendeta dalam pemahaman umum akan tetapi lebih luas dari itu, di kalangan melayu pendita adalah gambaran orang-orang alim atau berilmu agama. Jika dipahami dari konotasi pendita maka cinta yang dicari bukanlah cinta dunia fana tetapi cinta yang hakiki. Lagi-lagi aroma kesufian terasa sangat kental, di bait kedua tertera: seperti jantung dengan denyut/meronce rindu--khalawat keasingan ditegaskan bahwa cinta yang dicari adalah seperti jantung dan denyut, jika denyut tak ada maka jantung tak berfungsi dan sebaliknya, jika jantung tak berfungsi maka denyut tak ada guna. meronce rindu dapat ditafsirkan sebagai kerinduan seorang hamba yang ingin mengasingkan diri untuk sementara waktu dari hiruk-pikuk kehidupan dan merasakan dengan khusuk cinta Sang Maha. Kemudian aroma sufisme dalam puisi ini dipertajam pada bait ketiga: pada api dengan dinginnya/mana perginya panas melecur/mencumbu mesra raga Ibrahim/tertunduk, matinya segala bahang di sini pusat symbol adalah Nabi Ibrahim Alaihissalam sejarah kehidupan Nabi Ibrahim sangatlah memukau, dari perjalanannya mencari Alloh Azza Wajala, yang sebelumnya menganggap bulan dan matahari adalah Tuhan hingga sampai pada ketauhidan yang kuat, yakni ketauhidan akan Tuhan yang Maha Satu. Bagi saya pribadi, yang disebut pencapaian Tauhid terbaik adalah pencapaian Nabi Ibrahim Alaihissalam, sebagai tanda bahwa Alloh tidak membiarkan hambanya taqlid buta, tetapi membiarkan mencariNya sampai ditemukan. Akan tetapi setelah masa Muhammad Rosulullah Shalallahu Alaihi Wasalam model-model pencarian itu sudah diatur kembali. Ada syariat-syariat yang mesti ditempuh dan ada hakikat yang perlu dipelajari secara seimbang agar tidak sesat jauh dari ajaran. Kemudian symbol bahang atau dalam bahasa Indonesia adalah panas yang mati, mengisyaratkan kisah pembakaran Nabi Ibrahim Alaihissalam oleh Raja Namrud yang kemudian seluruh api di penjuru dunia kehilangan panasnya. Pengamsalan atau pemisalan yang dibuat penyair ini telah mengajak pembaca menelusuri kecintaan dan ketauhidan seorang Nabi yang hingga saat ini namanya suci di mata tiga agama terbesar di dunia. Pada bait keempat lebih spesifik, yakni mengajukan permintaan untuk difatwakan pada kalam atau perkataan sufi fatwakan daku qalam bersufidalam larik ini tidak serta merta dapat diartikan kalam sufi sebagaimana arti sebenarnya, akan tetapi lebih pada ruh

kalamnya. Yakni kalam atau kata-kata yang putih dan penuh rasa cinta. terdakwat seribu warna gemilang maunya adalah terdakwat atau tertulis dengan tinta seribu warna gemilang yang dapat memberikan penerangan pada iman, ruh dan nurani, agar bersihlah segala prasangka dan kebencian: pada pelita iman di dada nurani dan pada larik terakhir bait keempat terjadi kontemplasi: ingin ku-seperti : ruh dan kekasih ingin seperti ruh dan kekasih, seperti apa kekasihnya, si A, si B atau si C? dan tidak tigatiganya. Karena kekasih adalah Robb dan ruh memang jauh lebih dulu mengenal Robbnya. tidak terpisah. abadi adalah kenyataan, ruh yang awalnya dari ruang rahasia Robb akan kembali ke Robb dalam keabadian. Puisi dari penyair Noor Aisya Bte Buang ini secara keseluruhan menggambarkan kerinduan akan cinta sag Maha Cinta. Cinta yang sama sekali terlepas dari persoalan duniawi dan Memberikan pesan-pesan pencarian Tuhan melalui berbagai symbol. Demikian. mari melanjutkan ke puisi yang kedua. Yessika Susastra (Jambi, Indonesia): KISAH SILA DAN TURAHMI DI RUMAH MAK RIFAT di beranda dada, sila duduk bersila dan turahmi tak lagi sendiri, sebab terasa ada sayap-sayap kehangatan di luas sajadah motif kembang, pintu ka'bah kubah dan lampu gantung cahaya-Nya tentu saja menyilaukan dan menyilakan untuk merapatkan pertemuan demi pemahaman; kupahami adamu seperti ada-Nya selalu senyum di detak-detik sapa aroma bunga begitulah, sila dan turahmi bersanding di beranda dada saat detak jam kian menggetar menunjuk telunjuk ke langit, menghitung kerlip bintang dan rembulan dan matahari dan pendar warna pelangi dan sila masih bersila dan turahmi menyanayi qasidah al barzanji "Allahuma ...." Jambi, 30 mei 2012 Pada bait pertama dibuka dengan menyebutkan tempat, Beranda yang memiliki arti ruang beratap yang terbuka (tidak berdinding) di bagian samping atau depan rumah

(biasa dipakai untuk tempat duduk santai sambil makan angin) beranda juga sering disebut teras rumah atau jogan. dirangkai dengan kata Dada yang memiliki arti bagian tubuh sebelah depan di antara perut dan leher. menjadi: Beranda Dada. Maka tidak dapat diartikan dengan makna yang sesungguhnya, akan tetapi mengambil maksud lain dalam kata tersebut. Saya menangkap di sini menggambarkan ruang kesadaran seorang manusia yang membuka diri bagi siapa saja yang hendak meneguk teh atau sekadar berkunjung mengucapkan salam kepada pemilik Beranda Dada Tersebut. (teh kehidupan dan salam salam cinta dalam mencinta sang Maha Cinta) Pemaknaan tersebut ditunjang oleh: Sila duduk bersila Sebuah kesantuna ala orang timur saat menerima tamu. Terbayang seketika si tuan rumah mempersilahkan dengan senyuman dan sapaan yang ramah. Apa lagi kalau disuguhi macam-macam makanan lezat dan bergizi. Gambaran beranda dada jadi sangat lengkap dengan penyebutan sajadah bermotif kembang , Pintu kabah, kubah dan lampu gantung. Penggambaran ruangan yang sangat rinci melalui katabahasa telah dilakukan dengan baik di sini. Meski banyak sekali dekorasinya yang disebutkan ternyata tidak membikin pandangan pembaca meluncur pada teras rumah yang serba wah melainkan pada teras rumah yang sejuk penuh khidmat. cahaya-Nya tentu saja menyilaukan dan menyilakan/untuk merapatkan pertemuan/ demi pemahaman; kupahami adamu seperti ada-Nya/selalu senyum di detak-detik sapa aroma bunga Pada bait kedua dibuka dengan larik cahaya-Nya tentu saja menyilaukan bukan cahaya yang terpantul dari kaca jendela atau kaca spion yang dimaksud dalam puisi ini. Gambaran cahaya Illahi sangat tegas diberikan penyair ini melalui tulisan capital di huruf N dalam kata ada-Nya siapa yang tak silau dengan cahaya Illahi? Walau harus diakui tidak semua orang menemukan cahaya-Nya. Karena butuh keihlasan dan kecintaan untuk dapat menemu hakikat sesungguhnya hakikat dalam kehidupan fana ini. dan menyilakan untuk merapatkan pertemuan maksud dari larik tersebut bermuara dari larik pertama. Bahwa yang mempersilahkan sesungguhnya adalah Alloh Azza Wajala. Mengambil hikmah dari anjuran atau perintah untuk bersilaturahmi dalam Q.S An-Nisaa' : 1: "Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." Dan hadis Rosululloh yag diriwayatkan oleh H.R Bukhari:

Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturahim. (H.R Bukhari) Sebagai seorang muslimah, penyair ini sangat meyakini bahwa silaturahmi merupakan ibadah yang agung, mudah dan membawa berkah. Sehingga merasa perlu meluangkan waktu untuk melaksanakan amal shalih ini dan dalam konteks puisi, silaturahmi yang hendak dijalin adalah silaturahmi batin antara penulis dan pembaca bahkan jika melihat konteks keberadaan seorang Yessika Susastra yang memiliki nama Asli Rita Indrawati yang hidupnya dekat dengan sesama penyair, dapat dimaknai sebagai silaturahmi batiniah antara sesama penyair atau lebih lunaknya sesama penggiat satra. Pada larik ketiga bait kedua lebih dalam lagi maknanya demi pemahaman pemahaman akan apa? kupahami adamu seperti ada-Nya di sini penyair menunjukkan kecerdikannya, tanpa harus ceramah panjang lebar dan memakan waktu berjam-jam telah menyampaikan pesan atau tausiah bahwa sesungguhnya kita ini ada karena keberadaanNya. Segala apa yang ada di alam semesta menunjukkan betapa kuasanya Sang Maha. selalu senyum di detak-detik sapa aroma bunga larik penutup bait kedua ini kembali mengisyaratkan pada kesadaran, kesadaran akan waktu. Larik ini mengingatkan saya pada surat Al-Ashr, ketika Allah bersumpah atas mahlukNya: Demi masa (Waktu), sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan merugi (celaka), kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran, dan saling menasehati dalam kesabaran. (QS Al Ashr: 1-3)

Mengapa ada senyum dan aroma bunga? bahwasanya penyair memahami kesibuan manusia yang dewasa ini lebih mencintai soal-soal nominal dan pencapaian fisik belaka telah membuat lupa, ada yang terlupakan yakni senyuman yang tulus dan ihlas kepada sesama saat bersilaturahmi baik secara langsung maupun batiniah sebagaimana dalam puisi ini. Senyum yang ihlas dipandang lebih mekar dari ribuan bunga dan lebih wangi dari kelopak-kelopaknya. bait kedua tentu seperti menikmati jamuan nikmat dalam pertemuan penuh petuah dalam dekap hangat. begitulah, sila dan turahmi bersanding/di beranda dada saat detak jam kian menggetar/menunjuk telunjuk ke langit, menghitung kerlip bintang/dan rembulan dan matahari dan pendar warna pelangi/dan sila masih bersila dan turahmi menyanayi qasidah al barzanji/Allahuma ..../

Setelah menikmati bait kedua tersekat nikmat, di sini sebentuk peleraiannya begitulah, sila dan turahmi bersanding yah! Memang begitulah adanya silaturahmi yang dilandasi pada kesadaran untuk saling menjunjung tinggi harkat dan martabat sesama manusia menuju hakikat keberadaan yakni cintaNya. Larik selanjutnya kembali kita disadarkan akan guna detik yang tiap detakannya adalah hitungan mundur bagi kita dalam dunia. Larik: menunjuk telunjuk ke langit, menghitung kerlip bintang/ matahari dan pendar warna pelangi adalah gambaran bahwa masing-masing kita punya mimpi dan punya cara untuk menggapainya akan tetapi jangan sampai membuat sekat-sekat tersendiri antar sesama, dan sebaiknya dengan alasan apa pun silaturahmi harus tetap terjaga sebagaimana dalam larik: dan sila masih bersila dan turahmi menyanyi qasidah al barzanji menegaskan ajakan untuk bersilaturahmi. Symbol qasidah adalah symbol keriangan dan al barzanji mengisyaratkan kecintaan kita kepada sang Kekasih Alloh yakni Baginda Rosulullah dan cinta itu diungkapkan melalui shalawat. Maka lengkaplah landscape silaturahmi dari jamuan sampai suasana yang ditawarkan ditutup dengan: Alhumma apa lagi menjawab dengan Amin? Pada puisi Yessika Susastra di atas, terdapat sebentuk kesadaran utuh seorang manusia akan pentingnya silaturahmi lebih dari itu kesadaran akan pentingnya memanusiakan manusia tersirat dalam puisi tersebut. Boleh jadi ini dilatarbelakangi oleh permasalahpermasalah yang lahir dari hubungan sosial yang kerap menimbulkan sengketa lantaran kurangnya kesadaran bahwa silaturahmi tidak sebatas antara manusia dan manusia namun di dalamnya ada kehendak Allah SWT. Hakikat silaturahmi adalah menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, memanusiakan manusia dan bersama-sama menuju lurus ke arah-Nya. Semoga! Mari membaca puisi terakhir milik Kameelia Kameel yang memiliki nama pena Bintang kartika, berikut selengkapnya:

Kameelia Kameel (Malaysia) MUNAJAT wahai pemutus tali pusatku,hingga pisah dengan ketuban pahit. ajari aku faham jeriji hidup di tajamnya kerikil singgahan dan simpang terlewati. tak keliru tafsir perhentian itu biar dada teguh mengemudi beban dengan roda ganjil di simpang-siur pertemukan bukan benang kusut duhai penghulur rahmat. kolong ranah liar meriak lubang-lubang pecah berserak bertubi-tumbang;

aku terambing di bebatuan serpih antara duri-duri duhai yang Maha. kentali dadaku dengan kasih.

Januari, 2013 "M U N A J A T" yang menjadi judul dari puisi secara tidak langsung telah mengimplikasikan adanya unsure pendekatan diri seorang hamba kepada Tuhannya. Pada saat bermunajat posisi Tuhan terkadang dianggap sebagai kekasih. Tentu ini tidak berlebihan karena jika menelisik dari Ummul Kitab, yakni Al-Fatihah: Dia Yang Maha Penyayang (Arrahman) dan Yang Maha Pengasih (Ar Rahim). Manusia semestinya tak pernah merasa kehilangan siapa-siapa, tak pernah merasa sendiri karena selalu ada sanga Maha yang selalu mengasihi dan menyayangi. Pengucapan wahai/duhai/hai/ dalam sebuah kalimat atau percakapan sudah dapat dimahfumi bahwa itu menyatakan kedekatan bukan sebaliknya yang menyatakan jauhnya jarak. Begitupun dengan larik pembuka puisi ini wahai pemutus tali pusatku, hingga pisah dengan ketuban pahit. jika dipahami secara telanjang akan muncul persepsi bahwa wahai tertuju pada orang yang pertama kali memutuskan tali pusat atau pusar saat mausia terlahir, tapi dalam puisi ini lebih dari syariat, ia sudah menuju pada hakikat bahwa dari alam ruh hingga terlahir segala yang mengkehendaki adalah Allah Azza wajala. Sebagaimana sifatNya yang Qudrat (Berkuasa) dan Iradat (Berkehendak menentukan). Untuk mempermudah pemahaman ini, saya mencontohkan pada proses menanak nasi. Secara syariatnya nasi itu matang dikarenakan ditanak oleh seseorang dengan syarat dan ketentuan yang semestinya. Dan pandangan hakikatnya adalah, bahwa beras itu matang jadi nasi atas Qudrat dan IradatNya. Setelah menyeru dengan mesra, apakah yang dikehendaki? ajari aku faham jeriji hidup di tajamnya kerikil singgahan ada dua symbol penting di larik ini, jeriji atau dalam bahasa Indonesianya jeruji dan kerikil tajam. Maka dapat diartikan bahwa hidup ini bagi penyair adalah kungkungan, jeriji, jeruji atau penjara badan meski dalam perjalanan sekalipun sesungguhnya tetap dalam penjara. Kemudian akan keluar saat sampai keabadian. Maka ia memanjatkan doa agar diberi kepahaman yang baik dalam menyikapi liku-liku kehidupan yang penuh cobaan. dan simpang terlewati. tak keliru tafsir perhentian itu larik ini menggambarka sebuah perjalanan panjang bani Adam di alam dunia fana dan perjalanan hidup tidak selalu berada di jalan lurus, banyak sekali simpangan sehingga menuntut siapapun untuk teliti dan berhati-hati dalam memilih agar sampai pada tujuan yang diharapkan. Perjalanan

itu meliputi perjalanan dalam arti yang sebenarnya dan perjalanan dalam arti yang lebih mendalam, yakni perjalanan keimana. Sejak dahulu hingga kini manusia tak mencari hakikat keberadaannya, keberadaan antara yang ada kemudian hilang dan keberadaan di bawah kuasa Sang Maha Ada. horisontal (Syariat) dan vertikal (Hakikat). Karena itulah doa yang dipanjatkan dalam munajat adalah petunjuk arah agar tak tersesat. Sejalan dalam fatihah Ihdinashirratal mustaqim,( Tunjukkan kami jalan yang lurus)/shiratalladzina anamta alaihim ghairil maghduubi alaihim waladhaalin, (Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat)

Jika seorang hamba telah mendapatkan petunjuk dari Robb-nya, maka beruntung dan selamatlah hidup hingga di alam pertanggungjawaban. Hal itu disadari betul dalam puisi ini, sebagaimana tergambar dalam dua larik penutup bait pertama: biar dada teguh mengemudi beban dengan roda ganjil/di simpang-siur pertemukan bukan benang kusut. Yang menarik adalah adanya symbol benang kusut. Benang kusut di sini dapat ditafsirkan sebagai bentuk ketidakpastian dari kekacauan. Karena was-was dan keragu-raguan. Karena manusia yang dadanya penuh dengan kewaswasan dan keragu-raguan akan mudah terbawa arus sedangkan arus terus menerus berubah haluan dan yang terjadi adalah terombang-ambingnya sang jiwa. Ternyata itu dirasakan oleh aku penyair sebagaimana tergambar pada larik kedua dan ketiga bait kedua: lubang-lubang pecah berserak bertubi-tumbang; aku terambing di bebatuan serpih antara duri-duri Di awal pembahasan puisi ini saya mengataka bahwa kata wahai/duhai/hai memiliki kesan yang sama, yakni kesan kedekatan bukan sebaliknya. Akan tetapi ada perbedaan suasana. Tentunya suasana jiwa seseorang yang menulis atau melapalkan kata tersebut. wahai lebih menggambarkan keadaan jiwa yang teguh, menyapa dengan keyakinan penuh. Contoh saat kita menyeru sang kekasih: wahai kekasihku di sana ada gambaran ketegasan dan keteguhan. Sedangkan kata duhai lebih menggambarkan keadaan jiwa yang lepuh berpeluh dengan lenguh. Atau di ambang keputusasaan. Contohnya saat seseorang terjatuh: duhai tuan, tolong bantu saya untuk bangkit jadi jelas, ada pergeseran keadaan dari bait pertama ke bait kedua. Bagi yang biasa bermunajat akan tahu betapa dalam bermunajat kerap sekali seorang hamba menangis tersedu-sedu meratapi kesalahan dirinya. Merasa malu dan meminta bantuan kepada Robb-nya. Hal itu tergambar jelas pembuka bait kedua: duhai penghulur rahmat. Kemudian setelah dipisah dengan titik dilanjutka dengan: kolong ranah liar meriak menyimbolkan pada keadaan yang ranah liarkeliaran dapat dikonotasikan pada kurangnya kasih sayang antara sesama manusia sehingga bermuara pada kebimbangan-kebimbangan sebagaimana yang digambarkan pada larik dan bait sebelumnya.

Puisi ditutup denga larik tunggal: duhai yang Maha. kentali dadaku dengan kasih. Kata atau seruan duhai diulang kembali di larik tunggal pada bait ketiga yang merupakan bait penutup ini bukan tanpa tujuan. Dengan demikian dapat diimplikasikan betapa penuh harapnya sang pemunajat ini. kentali dadaku denga kasih adalah permintaan pamungkas rupanya. Kenapa mesti minta dada penuh kasih? Ya. Tentu dengan dada yang dipenuhi kasih sayang, manusia akan berjalan pandangan yang terang. Dan pandangan manusia yang terang akan selamat dalam setiap perjalanan. Demikianlah pemahaman saya untuk puisi M U N A J A T Demikianlah 3 puisi, 3 penyair perempuan dari 3 negara yang berbeda: bermuara pada satu nilai, yakni nilai kemanusian dan ketuhanan. Membaca puisi ketiga penyair ini, tentu akan memberi nilai postif bagi pembacanya terutama dalam memandang kehidupan di antara banyaknya orang mempertahankanmempertaruhkan kediriannya. Ya, sejatinya kita satu jika saja masing-masing kita bersedia memberi ruang pada ego dan napsu untuk merelaksasi kembali apa sebetul-betulnya yang dituju. Mr. R 2013

Puisi-Puisi Dedet Setiadi (Indonesia) TERBACA aku sudah lama membaca abjad di matanya merasa jadi matahari ia ingin memisahkan laut dengan asinnya padahal bukan hak dengan mengutus cahayanya ia tulis pesan singkat dan tak habis-habis bertanya aku hanya tertawa sebab dinding yang didirikan itu semu adanya apa yang dibidik sudah lama lebur sebagai ombak dan laut tanpa nama Magelang, 2012

ALUN-ALUN pada tanah lapang yang menghampar di hatimu tumbuh sepasang pohon yang senantiasa rimbun berdaun waktu meski matahari dan dingin malam bergilir memelintir hari-hari bergulir di tanah kehidupan menyusun peradabannilai-nilai yang bertabrakan tak juga jadi layu walau daun jatuh berjatuhan satu persatu tapi segalanya tumbuh dan berkembang indah dalam iringan gamelan kirab gunungan! Yogyakarta, 2012

MENEMPUH JALAN MUARA Gerimis itu Berangsur-angsur merobohkan pohon sunyi Dari pinggir tebing maha tidurku Yang menjulag tinggi Dan dari ranting-ranting yang berserak Kubangun sampan Hingga menjelma lengkung kepasrahan Yang menampung gundah Lalu hanyut mengikuti debur ombak Menuju muara Pada subuh berembun Kubasuh lusuh jiwa Sebelum fajar menerbitkan matahari lain Di muara yang lebih lain Magelang, 2012

Dedet Setiadi lahir di Magelang, 12 Juli 1963. Mulai aktif menulis tahun 1982, berupa puisi, cerpen dan juga esai. Tulisan-tulisannya, pada tahun1980-2000 banyak di publikasikan di berbagai media massa seperti: Suara Pembaruan, Suara Karya, Pikiran Rakyat, Berita Buana, Bali Post, Mutiara, Bernas, kedaulatan Rakyat dan lain sebagainya. Tahun 1987 diundang dalam temu penyair Indonesia 87 di TIM Jakarta Tahun 1990, satu puisinya terpilih sebagai salah satu puisi terbaik versi Sanggar Minum Kopi, Bali. Antologi yang memuat karya-karyanya antara lain, Puisi Indonesia 87 (DKJ), Konstruksi Roh ( UNS 1984, Solo), Vibrasi Tiga Penyair ( Tiwikrama, 1996 ), Jentera Terkasa ( Forum Sastera Surakarta-TBJT,1998), Rekontruksi Jejak (TBJT,2011 ), Equqtor ( Yayasan Cempaka Kencana Yogyakarta, 2011), Requim bagi Rocker ( Taman Budaya Jawa Tengah Forum sastera Surakarta, 2012 ), Antologi Penyair Indonesia dari Negeri Poci 4 Negeri Abal-Abal, Februari 2013, Antologi 127 Penyair :

dari Sragen memandang Indonesia, 2013, dan lain sebagainya, HP: 081328605589 Email: dedet setiadi63@yahoo.co.id

Puisi-Puisi Phaosan Jehwae (Thailand)

KACA-KACA PASIR detik demi detik akar-akar tumbuh berserabut berambut hitam dan putih berwajah gelap dan terang berkaki panjang dan pendek punya pepohon yang gugur daun-daun ringan dan berat itulah namanya khalifah difirmankan sempurna jadian tetapi hamparan ada jurang lembah hamis dan wangi api dingin dan membakar pohon susu air madu perlu tenaga memanjat membakar semangat cinta munajat kasih yang Esa jangan sekadar melihat bingkai-bingkai kaca pecahlah remuklah kaca-kaca pasir di batu keras di air tenang menjejaki hikmah ilahi 20/4/12

ROKOK jangan rasa megah dan hebat jangan kau rasa jantan dan kuat jangan kau rasa tinggi dan mulia jangan kau rasa lawa dan kren jangan kau rasa kau mampu dan kaya bila kau merokok bila kau menghisap bila kau menelan bila kau memakan bila kau menghidu najis-najis rokok ganja tahi-tahinya dadah candu kau sangat lemah yakin kau pelacur jantan kau manusia hina kau hudoh sifat kau muskin akal jangan menyala api-api neraka jangan kau menghemburkan asap-asap jahanam jangan kau memakan bangkai iblis jangan kau menghidu tahi syaitan celakalah kau perokok musnahlah kau pemabuk hancurlah kau pecandu menyalakan bara 28/3/12

TEMAN DAN KEJUJURAN Pertemuan kita disuatu ketika Menitikan kejujuran yang sejati Bersyukurku terhadap Ilahi Diatas persahabatn yang suci Namun kini perpisahan harus terjadi Tidak ada setetispun kejujuran itu Aku mengorbankan segala genap raga jiwaku Ternyata persahabatan itu hanya tipuan keji Maslahat dan kepura-puraan di hatimu Caci maki sebaliknya sifat azali darimu Manis di mukaku ternyata Syaitan berwajah seram Untuk menipu persahabatan dan isi perut bodohmu Ya ! Allah bantulah hamba-Mu yang menderita ini Mencari Hidayah dan Petunjuk-Mu Dalam mendidikkan kesabaranku Ya ! Allah tabahkanlah hati nuraniku Hambamu diatas perpisahan ini Tuhan ! Betapa sulitnya mencari teman takkala derita Hariku gembira bersesakkan mencari sesuap nasi Aku bersyukur menghadapi perpisahan ini Kecelakaan berkedok teman telah merusak hatiku Ya ! Allah ampunilah dosaku dan kawula teman jahatku Tabahkan hatiku dalam kehibaan-Mu Berjuanglah menempuh Keagungan cita-citamu Selalu ingat akan kejahatan yang pernah kau hadapi Kau masih ada orang tua, keluarga Dan manusia yang masih mencintaimu Cis ! Tamat sudah. Kesedihan dan Penderitaan ini 27 Mei, 2010 Phaosan Jehwae, lahir di Pattani, Thailand, 1 Januari 1980. Karya tulisnya banyak membahas soal-soal kebudayaan, seperti Gender Issues in Thailand, Paper Presented at Short Course Shoutheast Asia on Islam, Gender and Reproductive Rights, 13 July 14 August 2002, The Ford Foundation, Yogyakarta, Indonesia, PATTANI DARUSSALAM (Telaah Atas Sejarah, Gerakan

dan Kebangkitan Islam di Selatan Thailand) diterbitkan oleh Majalah Hidayah, Edisi Spesial Idul Fitri, tahun 2-edisi 17 Ramadhan 1423/Desember 2002, Ratu-Ratu Kerajaan Patani, diterbitkan oleh The Indonesian Nasional News Agensy Lembaga Kantor Berita Nasional (Antara), pada tanggal 6 Februari 2003, dan lain-lain.

Puisi-Puisi Prof. Dr. Muhammad Haji Salleh (Malaysia) Ceritera Yang Ke Dua Puluh Enam. Dan segala anak Melayu bagaimana besar dosanya jangan sekali kamu bunuh melainkan dosanya derhaka kerana segala anak Melayu itu tanahmu Melayu itu tanahmu bangsa dan negerimu kamu besar dan raja padanya laut dan pantai di semenanjung ini laut-laut Samudra dan Riau Kedah dan Pahang Kelang dan Muar adalah air dan tanah bangsamu Hormatilah orang berilmu orang yang setia dengan bangsamu betapapun tidak setujunya Melayu hanya besar dengan kebebasan bahawa mereka bebas dan besar di pelabuhan kita di seluruh dunia bertemu bahasa kita difikirkan adat kita akarnya di sini Kaset DBP, 1980

Bulan Luntur i ada bulan di luar bersih dan mekar menyeberangi cahayanya lewat malam baru. untuk saat ini tak mungkin aku pandai memilih yang cantik pemandanganku retak oleh luka dalam

ii bagaimanakah rupa kenyataan? ataukah pernah ada bentuk padanya: yang baik dipilih dengan perasaan hormat, untuk penyumbang dikarangkan terima kasih dan diucapkan selamat, yang sederhana disudutkan pada kebiasaan, yang jujur dianjur menjaga nilai yang berani dibenarkan berkata awal? tapi ini semuanya mimpi, dilayangkan oleh purnama, kerana yang kulihat hanya kacau: yang licik jadi ketua, yang kejam jadi hakim, pemuji dipangkatkan tinggi, pemikir diawas-awasi. sarjana dipencilkan ke bilik, si rajin dituduh bercita-cita, si malas merancang kuasa. gelap dunia ini rimba subur membeli sopan dan seni kudengar ketawa besar dari daerah peniaga dan terkelip senyum

pada sekutunya yang bertakhta. tiada lukisan, tiada puisi. lagu telah tenggelam di bawah arahan, penari dirogol oleh pengurusnya.

iii bulan luntur abuk malam terpercik ke parasnya yang tinggal waktu lebihan tanpa cahaya atau bersihnya.

25 Mei 1983, Muhammad Haji Salleh Prof. Dr. Muhammad Haji Salleh merupakan salah seorang penulis Malaysia yang telah dianugerahkan gelaran Sasterawan Negara 1991. Beliau juga telah memenangi Anugerah Penulis S.E.A. pada tahun 1997. Pada 2008, beliau dinobat sebagai Tokoh Akademik Negarta. Beliau pernah menjadi Presiden Persatuan Penterjemah Malaysia (1978-1982) dan banyak menterjemah puisi berbahasa Melayu ke bahasa Inggeris. Beliau juga menjadi sidang editor jurnalTenggara, anggota Lembaga Pengelola Dewan Bahasa dan Pustaka, dan anggota Panel Anugerah Sastera Negara.

Rubrik Cerpen Anjing hitam Oleh: Indra Kusumah Anjing hitam itu masih menggaruk-garuk borok yang bernanah dan berdarah di paha kirinya, yang kian melebar menuju perutnya. Menurut penjaga makam, sudah hampir enam hari anjing itu menunggu makam pengemis yang mati dibakar warga kampung, Sabtu siang (tujuh hari yang lalu). Setelah dituduh mencuri nasi di Warteg Cak Sadewo, pengusaha warung tegal yang terkenal pelit dan banyak omong. Dan kini masyarakat kampung meyakini, bahwa anjing hitam itu adalah jelmaan atau titisan dari seekor anjing yang dalam beberapa kisah kisah iktibar dikabarkan masuk surga, atau menghapuskan dosa seorang pelacur. Namun, yang membuat warga cemas, kehadiran anjing hitam berluka borok di kaki kiri itu, sengaja datang untuk membalas perbuatan fitnah Cak Sadewo, serta warga kampung yang turut membakar pengemis. Terlebih menjelang dua hari setelah kehadirannya, Raweng, salah seorang pelaku pembakaran dan termasuk orang pertama yang menumpahkan bensin dan menyalakan korek api. Tewas dalam pelariannya beserta Sunanti, wanita yang bertahun-tahun digauli tapi tidak dinikahinya. Tragisnya, proses kematian Raweng membuat warga meyakini tentang kebenaran isu dendam yang dibawa oleh anjing hitam itu. Raweng dan Sunanti tewas terpanggang setelah bus

yang ditumpanginya mengalami kecelakaan dan terbakar, dan dari sekian penumpang yang tewas, hanya Raweng dan Sunanti yang terbakar. Dari kejadian itu, beberapa warga yang merasa terlibat dalam aksi pembakaran, segera menghijrahkan diri sejauh-jauhnya, termasuk Cak Sadewo. Tetapi ada juga yang memilih tetap tinggal, dengan keharusan membakar kemenyan dan sesajen tiap malamnya.

*** Pada malam getir itu, setelah berlari dari rumah pelacuran Bunda Ratu, dan melewati ratusan gang serta selokan. Langkahnya terhenti ketika Ia melihat sesosok pengemis yang pernah ia usir dari rumah majikannya (Bunda Ratu), tengah menguburkan dua preman yang mayatnya dibiarkan membusuk oleh warga pasar. Dua orang preman yang kemarin malam masih ia saksikan dan sempat membuatnya kesal. Karena setelah menghabiskan waktunya di rumah pelacuran Bunda Ratu. Menghabiskan berbotol-botol minuman lalu bercinta dengan dua nyai kembang, Rosita dan Jasmin, dalam satu kamar. Mereka lantas mengencinginya untuk yang keseratus kali, sambil berkata-kata, Minumlah!. Mereka adalah Mad Krempeng dan Lek Rampeng, preman pasar dan langganan tetap rumah pelacuran Bunda Ratu, langganan yang oleh Bunda Ratu paling dimanja dan ditakuti. Tapi malam itu, karena harum kembang melati yang ia cari, dan pancaran cahaya serta dua buah sayap dipunggung pengemis itu. Memaksa ia dengan khusuk menyaksikan ritual pemakaman tersebut. Dan menjadi satu-satunya saksi laku agama si pengemis. Hanya aku dan kau, wahai anjing hitam, pelayan Tuhan malam ini. Ungkap si pengemis membisikinya. Kalimat pembuka itulah, awal persahabatan yang kemudian menggiringnya -mengikuti kemana langkah pengemis tersebut. Aku melihat surga pada wangi tubuhmu, dan aku hendak mengikutimu ke surga. Ijinkanlah aku menjadi bayanganmu. Semenjak itulah ia mulai belajar melupakan air asin dari dua preman pasar tersebut dan prilaku para penghuni rumah pelacuran Bunda Ratu. Termasuk kawan setianya Badigul yang ia bunuh, karena selalu menghalang-halangi usahanya untuk melarikan diri. Jika kau mampu membebaskan kejahatan dari dalam tubuhmu, maka kemuliaan akan menjaga nafs-mu. Berbahagialah. Sebenarnya sudah cukup lama ia berencana melarikan dari tempat jahanam itu. Terlebih setelah kehadiran pengemis tua yang ia usir dan meninggalkan aroma kembang melati. Sudah tak terhitung berapa rencana dan upaya, tetapi langkahnya selalu terganjal oleh kawannya, Badigul, si penjilat yang oleh Bunda Ratu selalu dimanja-bahkan sering diajak

menemani tidur, jika Om Sudirman (mantan suami Bunda Ratu) tak menginap. Namun, semua aksi pelarian itu baru terlaksana ketika ia memutuskan untuk membunuh si penghalang, Badigul. Dan cara tersebut terpaksa harus ia lakukan. Maka pada sebuah kesempatan, setelah ia mencoba beradu-rayu, berbaik-sikap sambil menjilati bulu-bulu Badigul, yang nampak lebih halus dan terawat. Dengan gigitan kuat dan mematikan di bagian leher, nyawa Badigul meregang, melolong-mencipratkan darah segar, membanjiri mulut dan tubuhnya yang hitam. Pada kesempatan itulah ia berlari dengan mulut dan tubuh penuh darah, meninggalkan rumah pelacuran dan Bunda Ratu yang melompong, karena tak tahan melihat darah menggenang. Ia pergi menuju aroma melati. Berlari sekencang ruh, pergi untuk selamanya. *** Borok di paha kirinya kian melebar, walau tak tahan menanggung rasa sakit dan bau amis yang menyeruak. Hingga malam ketujuh ia masih duduk menjilat-jilati nisan kayu makam pengemis itu. Dan hingga hari ketujuh, ia masih berketetapan hati untuk bersua dengan ruh pengemis itu. Satu keinginan yang kuat, seperti ketika ia memburu harum melati si pengemis dua tahun lalu.Aku mencari ruh melatimu, duhai aulia. Bawalah tubuhku yang terlahirkan nista ini menuju surga, bertemu dengan Sang Waktu. Ini perbuatan musyrik, tak sepantasnya kita melakukan ritual ini. Mungkin kehadiran anjing itu hanya sebuah kebetulan saja. Kilah Tarji. Tidak! Kemenyan harus tetap d i bakar, dan ritual ini harus tetap dijalankan. Gertak Sukti, lelaki berpenampilan krempeng, salah satu penggagas ritual bakar kemenyan. Tak adakah cara lain? Sudah hampir tujuh malam ritual ini kita lakukan, tapi bencana demi bencana tak kunjung reda. Timpal Darmaji panik. Ini semua gara-gara ulahmu Sukti! Jika saja tidak kau hasut Cak Sadewo untuk memulai aksi pembakaran itu, nasib kita tidak akan seperti ini. Nampaknya di hampir setiap malam, setelah kematian pengemis tua tersebut. Bagi warga yang memilih tetap tinggal, suasana panik dan obrolan-obrolan beraroma cemas, menjadi menu rutin. Namun hingga pada hari ketujuh, tak satupun dari sekian ratus cara yang dilakukan warga, mampu meredam kecemasan dan hasut di antara mereka. Bahkan sebaliknya, kian hari kian memperkeruh situasi dan menciptakan kecemasankecemasan baru.

Kita butuh dukun, atau kita butuh sedikit amarah untuk membunuh anjing itu! tegas Narto, yang sedari tadi duduk membisu. Sekejap saja, ucapan Narto tersebut dengan tiba-tiba menciptakan gairah pembunuhan dan kematian di antara mereka.

Membangkitkan mereka dari resah dan kecemasan. Dan nampaknya mereka tersugesti oleh ucapan Narto di atas. Amarah, gumam Sukti. Amarah untuk membunuh, sambung Darmaji. Namun sebelum semua orang dalam kumpulan tersebut sepakat menelan kata amarah yang digagas Narto. Seorang lelaki berpeci hitam dan berkumis tebal yang sejak awal berada di belakang kumpulan tersebut, segera menimpali ucapan Narto di atas. Tidak, kita tidak membutuhkan amarah dan dukun untuk menyelesaikan masalah kita ini. Kita hanya butuh Tuhan. Dan seperti ucapan Narto di atas, tiba -tiba mereka tersadarkan diri dari gairah membunuh, cemas dan aroma hasut malam itu. Tuhan, kilah mereka serempak.

*** Tak ada kabar yang jelas tentang status pengemis tersebut. Terlebih tentang sosok anjing hitam yang tiba-tiba hadir menyertainya. Kehadirannya di kampung kediaman Cak Sadewo, layaknya seperti kehadiran pengemis lainnya, tak ada yang istimewa. Tetapi menurut sebagian orang yang pernah melihatnya, pengemis itu terbilang saleh. Walau sesekal ia sering membersihkan luka yang memborok di paha kaki anjing hitam yang sering mengikutinya. Tetapi ia pun sering pulang-pergi mengunjungi mushola di belakang rumah pak RW, bahkan dalam dua minggu tersebut ia tak pernah absen mengumandangkan tahrim; mengajak warga untuk shalat shubuh.

Entah apa pula yang membuat warga begitu terganggu oleh kehadirannya dan begitu membencinya, padahal sebagai seorang pengemis ia tidak bersikap menjijikan dan menggangu warga sekitar. Apalagi hingga memaksakan kehendak untuk disatuni. Bahkan pernah pada suatu waktu, ia memberikan semua hasil jerih payahnya kepada seorang pengemis perempuan yang kebetulan melewati kampung Cak Sadewo. Bahkan menurut Sajiman, salah seorang anak yatim-piatu di kampung tersebut, hampir setiap tiga kali sehari pengemis tua itu sering memberikan hasil dari jerih payah mengemis kepadanya. Bentuknya terkadang berupa beras, makanan ringan hingga uang. Ini jatahmu dari Tuhan, ambilah dan berterima kasihlah pada-Nya, papar sajiman mencoba mengingat ucapan pengemis itu beberapa waktu lalu. Kehadiran anjing hitam itupun sebenarnya tidak berlangsung lama. Menurut Sukti, anjing hitam itu hanya terlihat enam hari menemani pengemis tua itu. Bahkan pada hari keempat setelah kedatangan anjing hitam tersebut, pengemis tua itu sempat meninggalkan dan mengikatnya kencang di pagar rumah warga setempat. Dan dua hari semenjak kejadian tersebut, anjing hitam itu tak tampak lagi berkeliaran dikampung tersebut, pergi entah kemana. Bahkan baik Sukti maupun sebagaian warga sempat berasumsi bahwa anjing tersebut telah dengan diam-diam dibunuh pengemis itu.

Keyakinan tersebut, belakangan terbukti disaat Sukti secara tidak sengaja mendapatkan bangkai anjing hitam yang telah membusuk di kebun singkong Cak Sadewo. *** Mengakulah! Mengakulah! Kamu telah mencurinya! gertak Cak Sadewo. Dan sekali lagi pengemis tua itu hanya diam. Tubuhnya terkapar berlumuran darah karena terhantam pukulan kayu, tergeletak bagai kayu kering di tanah basah. Namun dengan kondisi tersebut ia tak mengaduh sedikitpun, nampak tidak menderita. Bahkan dengan tenang, dari mulutnya yang mengeluarkan darah, ia tak henti-hentinya menyebut-nyebut nama Tuhan. Tak satupun warga yang berani menolong pengemis tua itu dari amuk massa. Bahkan sebagian warga yang tidak mengetahui asal-muasal tragedi pengeroyokan tersebut, sebaliknya ikut menghakimi pengemis itu. Mengakulah! Mengakulah!, gertak Cak Sadewo untuk yang kesekian kali. Namun pengemis itu tetap diam tak bergeming. Akibatnya untuk yang kesekian kalinya ia dihantam sebuah tendangan, tepat di bagian dadanya. Dan kembali suara kebesaran Tuhan meluncur dari mulutnya,Subhanallah, subhanalllah, subhanallah.

Akibat sikap tenang dan diam tersebut, tubuh renta pengemis itu semakin menjadi ladang kekerasan dan amuk warga. Hingga pada titik terekstrim, sebuah ancaman pembakaran yang dimuntahkan Sukti, meledak menjadi mimpi buruk dan akhir tragedi kekerasan warga. Dengan gagah, salah seorang warga bernama Raweng, spontan menyiramkan bensin keseluruh tubuh pengemis itu dan menyulutkan korek api. Tubuh pengemis itu seketika saja terbakar- di terkam api. Ia menggeliat-geliat bagai ular sambil melolong memanggil-manggil nama Tuhannya. Kalian pembunuh, kalian pembunuh, bertobatlah, begitulah kalimat terakhir yang sempat diucapkan pengemis itu sebelum api dan malaikat maut menjemput. Hingga hari ketujuh, tak satupun warga tahu, siapa sebenarnya pengemis dan anjing hitam itu. Atau kebenaran fitnah yang dituduhkan kepada pengemis itu. Yang pasti kini tragedi demi tragedi kematian mulai menghantui dan menjadi mimpi buruk bagi mereka. Serang, 28 Mei 2006

Rubrik Esai ANTARA ABSURDITAS TEKS DAN SIMBOLIK PUITIKA PADA PUISI MALAM LEBARAN SITOR SITUMORANG. Oleh: Imron Tohari "Perbedaan bentuk dan isi hanya terletak pada diri penghayat. Bentuk hanya cukup dihayati secara indrawi tapi isi atau arti dihayati dengan mata batin seorang penghayat secara kontemplasi (Dharsono/Sony Kartika) Ketidak masuk akalan kata-kata (Absurditas teks) tersusun/tertuang pada sebuah puisi, seringkali menjadikan citraan yang ingin dibangun pengkarya cipta meninggalkan beragam asumsi pada penikmat baca/penghayat (kalau tidak boleh dikatakan menimbulkan suatu penolakan visualisasi dari citraan yang ditimbulkan oleh teks puisi dimaksud). Sementara Absurditas teks ini disukai atau tidak disukai akan sering kita jumpai pada sastra seni berpuisi, hal ini dikarenakan sifat kepadatan kata pada karya seni puisi, sedangkan pesan yang ingin disiratkan pada penghayat/penikmat baca demikian besar, dalam arti melebihi dari apa yang tersurat secara letter teks. Karena dua beban yang melekat pada tubuh puisi itulah, pengkarya cipta sering dihadapkan pada tuntutan penempatan diksi terpilih sebagai diksi yang menerjemahkan dirinya sendiri secara harafiah makna atau berperan sebagai diksi yang mengaktualisasikan dirinya sebagai bahasa semiotik (bahasa lambang), syukur-syukur kalau dalam pertautannya dengan diksi yang lainnya bisa mencakup keduanya (secara harafiah dan secara perlambangan). Seperti kita tahu, diksi/kata merupakan bagian terpenting dari bahasa, dan bahasa merupakan suatu instrument penting yang melekat pada puisi. Dan bahasa sebagai salah satu sarana komunikasi seni, baik secara langsung

maupun tidak langsung,begitu sangat dinamis. Denganbahasa kita bisa mencari kedekatan secara emosional kepribadian masing-masing individu, yang dapat dikatakan mempunyai karakteristik dalam berbahasa yang cukup beragam. Dengan bahasa, setiap individu bisa saling berinteraksi dalam menangkap debar-debar emosi/rasa yang tak berujud yang ingin disampaikan padanya oleh individu lainnya. Dengan bahasa dan atau melalui symbol-symbol bahasa, kita bisa menyampaikan pemikiran/opini dengan harapan tercipta imaji-imaji baru yang bisa mempengaruhi pola piker penerima pesan bahasa tersebut. Disinilah peran sastra seni puisi yang selain mempunyai sifat unik kepadatan kata dalam upayanya menyampaikan idea gagasan, puisi juga memiliki tiga unsur mendasar (pokok) pembangun batang tubuh puisi secara utuh, meliputi : diksi (diction), imaji (imagery), gaya bahasa (figurative language). Dari ketiga unsur mendasar ini (diksi, imaji, gaya bahasa) merupakan suatu hal yang sangat fundamental dalam membangun batang tubuh puisi (khususnya puisi pendek/bahkan teramat sangat pendek) yang dalam fungsinya sebagai penghantar pesan ke penikmat baca. Dan di puisi jenis pendek/teramat sangat pendek inilah pengkarya cipta sering dihadapkan pada kesulitan-kesulitan (baca: kerumitan) dalam melekatkan/memilih dan atau membentur tautkan diksi yang bisa memberikan efek letupan di rasa imaji piker penghayat.

Dan absurditas teks dalam fungsinya membentuk citraan suasana latar pada struktur bangun teks secara keseluruhan batang tubuh puisi ini pada puisi judul MALAM LEBARAN yang sekaligus menjadi pemandu awal untuk meluncur pada baris isi yang hanya terdiri satu baris Bulan di atas kuburan, dimana pada karya Sitor Situmorang kelahiran Desa Harianboho, 2 Oktober 1924, oleh beberapa pemerhati sastra seni puisi dianggap telah terjadi absurditas teks (ketidak masuk akalan susunan teks) dalam upayanya membangun citraan latar suasana, saat judul MALAM LEBARAN dibentur tautkan dengan pilihan diksi awal baris isi bulan, yang mana oleh b eberapa pemerhati sastra puisi, menangkap citraan secara harafiah teks dari pengkarya cipta (baca: penyair) susunan teks tadi memberikan gambaran pada malam lebaran telah muncul bulan, sedangkan hal ini dianggap oleh sebagian pemerhati sastra adalah sesuatu yang absurd (tidak masuk akal) sebab biasanya pada malam lebaran bulan belum muncul. Nah kalau begitu, salahkan penempatan dan atau pemilihan diksi bulan yang ditata letakkan pada awal baris isi, yang secara otomatis terjadi perapatan dengan laju judul yang juga berperan sebagai pemandu awal untuk memasuki ceruk makna dari batang tubuh puisi pendek Sitor Situmorang MALAM LEBARAN ini?

Sebelum saya masuk pada tafsir puisi Sitor Situmorang MALAM LEBARAN, khususnya yang terkait dengan peletakan diksi bulan, dari sudut pandang saya selaku penikmat baca/penghayat, ada baiknya saya merujuk kembali pada apa yang disampaikan/dikemukakan oleh Sony Kartika dalam bukunya yang bertajuk Kritik Seni, hal 33, penerbit Rekayasa Sains Bangdung 2007 ( yang saya sertakan di atas sebagai pembuka awal esai ini): Perbedaan bentuk dan isi hanya terletak pada diri penghayat. Bentuk hanya cukup dihayati secara indrawi tapi isi atau arti dihayati dengan mata batin seorang penghayat secara kontemplasi. Dari pemikiran Sony Kartika tersebut saya mengambil suatu kesimpulan maksud, bahwa saat kita membaca karya sastra seni puisi, kita selaku penikmat baca/penghayat dalam upayanya memetik suatu makna yang ada dalam batang tubuh puisi, sudah pasti kita awalnya dihadapkan pada citraan secara teks tersurat, sebelum kita pada akhirnya memasuki ruang citraan yang tersirat dalam susunan teks puisi termaksud, dan tentunya untuk memasuki ruang citraan tersirat tadi, melalui suatu proses kontemplasi (permenungan), kita akan dihadapkan pada kata/diksi sebagai fungsi bahasa perlambang ( semiotik). MALAM LEBARAN Bulan di atas kuburan -Sitor SitumorangPada karya puisi Sitor Situmorang di atas, secara citraan suasana (citraan tersurat), kalau merujuk pada judul "MALAM LEBARAN", saya mencermatinya pada saat mana puisi ini ditulis pengkarya cipta menangkap momen suasana di malam lebaran yang setiap tahun dirayakan umat muslim (kita kerucutkan di suasana malam lebaran di Indonesia tempat dimana penyair dilahirkan) yang langsung judul merupakan pemandu masuk ke citraan latar suasana (tersurat) pada isi yang hanya satu baris "Bulan di atas kuburan", namun di baris isi ini saya menangkap ada dua citraan yang ingin diciptakan di rasa imaji piker penikmat baca, yakni citraan secara latar suasana dan citraan secara perlambangan, dimana kata bulan secara citraan latar suasana tersurat pastinya akan menjadi absurd (tidak masuk akal) saat pembacaan judul MALAM LEBARAN sampai pada kata/diksi Bulan, jika mengacu pada makna harafiah Bulan berdasarkan KBBI;bulan n 1 benda langit yang mengitari bumi, bersinar pada malam hari karena pantulan sinar matahari, sedangkan pada malam lebaran bulan tentunya belumlah mengada/muncul. Namun citraan latar suasana itu akan kembali tampak, manakala kita teruskan pembacaan pada kata selanjutnya. di atas kuburan, disinilah saya menangkap adanya citraan latar suasana yang ingin dicitrakan secara tersurat pada pembaca, yakni latar suasana

pekuburan (baca: kuburan), sedangkan diksi bulan pada baris ini mengad a sebagai akibat yang dibebankan pada kata bulan atas muatan tema yang begitu besar yang ingin dilesatkan ke penghayat oleh penyair dari keseluruhan batang tubuh puisi secara utuh, sedang ruang kata pada puisi pendek ini sangat sempit untuk menjabarkan hal tersebut secara bersamaan antara citraan latar suasana yang sesungguhnya dengan citraan makna yang ingin disiratkan melalui bahasa kias/perlambang, sehingga dalam pemikiran saya selaku penghayat, diksi bulan dipilih sebagai bahasa semiotik (perlambang/kias)untuk menopang citraan latar suasana malam lebaran dan suatu tempat yang bernama kuburan. Jadi boleh dibilang kata/diksi bulan diadakan sebagai kias hitam putih atau gelap terang yang menjembatani kata malam lebaran yang mempunyai fungsi ganda sebagai makna harafiah malam lebaran itu sendiri, atau sebagai bahasa semiotik/kias. Demikian halnya dengan diksi kuburan yang juga berperan ganda sebagai kata yang membawa arti/makna harafiah kuburan yang berdasarkan KBBI; kuburan n tanah tempat menguburkan mayat; makam, atau berfungsi sebagai bahasa semiotik/kias semisal sebagai lambang dari sesuatu yang menggiriskan (menyeramkan). Dan dari empat kata kunci inilah : malam> lebaran> bulan > kuburan, penyair berharap nantinya penghayat minimal bisa menarik nilai-nilai kerohanian melalui jalan berkontemplasi. Seperti pernah saya tulis pada salah satu esai saya, bahwapuisi sebagai rainkarnasi bahasa hati, pikiran ( samsara bahasa ) dari masing-masing pribadi/individu pengkarya cipta yang dituangkan ke dalam bentuk bahasa tulis pun lisan yang pada akhirnya menciptakan letupan-letupan imajinatip di alam imajinasi pengkarya cipta itu sendiri maupun penikmat baca/apresiator puisi. Di mana muatan emosi puisi sangat beragam, ada suka ada duka, ada kegembiraan ada kemarahan. Dan puisi sebagai pengejawantahan atau perwujudan bahasa, mentranslate rasa/gejolak jiwa, melalui selubung syimbol-syimbol, atau tanda-tanda yang terangkum pada larik/baris/bait dalam menyampaikan pesan gejolak rasa jiwa dari penulis/penyair, yang merupakan hasil dari saripati sunyi (baca: perenungan!). Bisa saja karya puisi terlahir dari suatu pengamatan atas objek yang ditangkap oleh indera mata, atau sesuatu yang didengar, dihirup, ect, oleh indera perasa lainnya yang dimiliki insan manusia. Atau bisa juga karya puisi lahir bukan dari hasil tangkapan idera pada saat itu, namun lahir akibat munculnya suatu pemikiran-pemikiran baru atas apa yang dia rasakan, sehingga muncul objek-objek yang dirasa mampu sebagai penyampai pesan rasa imaji piker pengkarya cipta/penyair pada penikmat baca/penghayat melalui bahasa-bahasa kias/semiotik. Secara langsung saya tidak tahu proses awal yang melatar belakangi Sitor Situmorang pada puisi pendek bertajuk MALAM LEBARAN, walau dibeberapa artikel yang pernah

saya baca disebutkan bahwa terlahirnya puisi ini dikarenakan pada suatu malam Sitor Situmorang pergi berjalan kaki ke rumah Pramoedya Ananta Toer. Ternyata Pram saat itu sedang tidak berada di rumah. Lantas, ia pun pulang, berjalan kaki. Di saat pulang malam itu Sitor tersesat, dan dalam ketersesatannya ia melihat sebuah tembok putih. Karena penasaran apa yang ada di balik tembok itu? Maka, ia pun lantas naik di atas batu di dekat tembok, dan melongok, ternyata yang ada di balik tembok tersebut adalah kuburan. Dan pengalaman ini sangat membekas di pikiran Sitor Situmorang. Dan karena saya tidak mendengar sendiri dari Sitor Situmorang (Bagaimana mau mendengar sendiri dari beliau, lha kenal saja tidak hehe), terpaksa saya mesti abaikan dulu cerita artikel tadi dalam upaya saya untuk memungut makna yang tersirat dari keseluruhan batang tubuh puisi melalui pemecahan kode bahasa, atau melalui suatu proses pendekatan secara semantik struktural (pendekatan pada semantik yang menekankan hubungan makna antara kata dan kelompok kata). Dalam ketidaktahuan saya apa yang melatar belakangi lahirnya puisi satu baris Sitor Situmorang ini, melalui bahasa teks puisi //MALAM LEBARAN/Bulan di atas kuburan//, saya selaku penikmat baca/penghayat menangkap empat kata yang bisa saya jadikan kunci untuk menarik makna keluar dari kedalaman ceruk bahasa puisi. Dan ke empat kata yang saya maksud itu adalah malam lebaran> bulan > kuburan, yang bisa jadi salah satu dan atau bahkan keseluruhan kata tersebutlah yang mengada dan kemudian menginspirasi Sitor Situmorang melahirkan puisi pendek yang fonumenal. Pada ketidaktahuan saya mengenai proses awal lahirnya puisi ini, mengapa saya mengambil kata malam lebaran yang merupakan judul puisi pendek termaksud sebagai suatu kemungkinan awal lahirnya diksi-diksi lain seperti bulan dan kuburan? Atau bisa jadi saya mengawalinya dari kata bulan dan katakuburan sebagai suatu kemungkinan awal lahirnya judul malam lebaran untuk memberi dorongan kuat dalam meletupkan citraan imaji serta daya hisap kontemplasi di alam rasa piker penikmat baca/penghayat? Memang segala kemungkinan tersebut bisa saja saya ambil untuk memulai menelisik makna atau pesan apa yang sebenarnya tersembunyi disebalik rangkaian kata puisi termaksud. Namun sebelum saya mengambil salah satu dari sekian kemungkinan tadi, saya ingat bahwa untuk mendapatkan suatu pemaknaan/pesan yang begitu besar pada sebuah karya sastra seni puisi, tidaklah bijak rasanya kalau saya hanya memaknainya secara kata perkata saja, tapi saya rasa perlu juga untuk memaknainya secara semantik

struktural (pendekatan pada semantik yang menekankan hubungan makna antara kata dan kelompok kata). Saat saya untuk kesekian kalinya membaca puisi pendek ini secara pelan, serta mulai menghayati makna kata per kata, juga makna yang ditimbulkan oleh adanya pertautan kata satu dengan kata yang lainnya dalam suatu ikatan utuh batang tubuh puisi : //MALAM LEBARAN/Bulan di atas kuburan//, saya mencoba memaknai dulu puisi ini secara citraan latar suasana, tentunya melalui pendekatan semantik(ilmu tentang makna kata dan kalimat; pengetahuan mengenai seluk-beluk dan pergeseran arti kata) dan pendekatan secara semantik struktural (pendekatan pada semantik yang menekankan hubungan makna antara kata dan kelompok kata). Secara semantik (makna kata dan kalimat), kata/kalimat malam lebaran yang menjadi judul dari puisi pendek Sitor Situmorang ini; waktu malam sehari sebelum hari lebaran, dimana kata Lebaran itu sendiri secara harafiah makna berkaitan dengan hari raya umat Islam yang jatuh pada tgl 1 Syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama sebulan; Idulfitri. Sedang pada puisi ini penyair memilih diksi bulan yang disusun letakkan pada awal baris isi, yang karena kerapatannya dengan judul, menimbulkan suatu opini atas pembacaan puisi ini oleh beberapa pemerhati sasrtra puisi, sebagai citraan latar suasana yang tidak logis (absurds) dengan pemilihan diksi bulanyang secara rapat bertaut dengan kalimat pada judul MALAM LEBARAN. Sebab pada saat itu (malam lebaran) pastinya bulan masih belum muncul, jadi sangat janggal secara citraan teks puisi Sitor Situmorang ini yang secara tegas menulis pada teks puisinya tersebut: / MALAM LEBARAN / bulan di atas kuburan/ ; pada saat malam lebaran ada bulan di atas kuburan. Absurds? Ngawur? Atau Sitor Situmorang telah terjebak dengan b ahasa Imajinatipnya? Menurut subyektif piker saya, rasanya terlalu prematur kita menyimpulkan seperti itu. Seperti yang telah saya utarakan pada awal esai ini .sedangkan diksi bulan pada baris ini mengada sebagai akibat yang dibebankan pada kata bulan atas muatan tema yang begitu besar yang ingin dilesatkan ke penghayat oleh penyair dari keseluruhan batang tubuh puisi secara utuh, sedang ruang kata pada puisi pendek ini sangat sempit untuk menjabarkan hal tersebut secara bersamaan antara citraan latar suasana yang sesungguhnya dengan citraan makna yang ingin disiratkan melalui bahasa kias/perlambang, sehingga dalam pemikiran saya selaku penghayat, diksi bulan dipilih sebagai bahasa semiotik (perlambang/kias) untuk menopang citraan latar suasana malam lebaran dan suatu tempat yang bernama kuburan. Jadi boleh dibilang kata/diksi bulan diadakan sebagai kias hitam putih atau gelap terang yang

menjembatani kata malam lebaran yang mempunyai funsi ganda sebagai makna harafiah malam lebaran itu sendiri, atau sebagaibahasa semiotik/kias. Secara semantik, bulan bisa berarti benda langit yang mengitari bumi, bersinar pada malam hari karena pantulan sinar matahari. Namun bulan juga mempunyai makna kata/kalimat sebagai penunjuk adanya satu waktu penting dari rentang waktu selama 12 bulan (satu tahun). Dari kajian secara semantik pada kata bulan ini, saya mengambil suatu kesimpulan, bulan yang berarti/bermakna benda langit pada pengertian pertama dipakai sebagai semiotik puitika (bahasa lambing/kias), dan bulan yang bermakna kata/kalimat sebagai penunjuk waktu dipakai untuk memberikan citraan latar suasana secara teks tersurat. Sedangkan di atas yang diselipkan antara bulan dan kuburan merupakan suatu kalimat yang akan mempunyai kekuatan arti/maksud jika disertai/menyertai kalimat/diksi lainnya. Kemudian pada susunan kata berikutnya pada baris isi yang hanya satu larik tersebut, kenapa justru yang dipilih diksi kuburan, bukan pekuburan? saya rasa ini terkait dengan pemaknaan besar secara pysicologis personal yang ingin disiratkan melalui satu kesatuan rekatan utuh antar kata dan kelompok kata dalam bahasa perlambang pada batang tubuh puisi keseluruhan. kuburan ; tanah tempat menguburkan mayat; makam, dalam pengertian mempuny ai makna yang lebih mengerucut pekuburan; tempat yang luas yang khusus digunakan untuk menguburkan mayat; tanah pemakama, dalam pengertian mempunyai makna yang lebih luas Dari pendekatan semantik di atas, rasa imaji piker saya selaku penikmat baca/penghayat, menangkap puisi Sitor Situmorang ini, secara tersurat (citraan makna atas teks puisi): MALAM LEBARAN Bulan di atas kuburan -Sitor Situmorang-

Secara visualisasi gambar di rasa imaji piker saya selaku penghayat; tergambar jelas suasana satu hari sebelum datangnya hari raya (tepatnya malam lebaran), bulan sebagai kata/kalimat penunjuk adanya satu waktu penting dari rentang waktu selama 12 bulan (satu tahun), dan di bulan penting ini setiap tahunnya pada masyarakat muslim ada suatu tradisi yang sudah membudaya, yakni ziarah ke makam yang biasanya dilakukan setiap menjelang akhir ramadlan mulai dari pagi, dan puncaknya biasanya sore menjelang buka puasa dan sesudah buka puasa bersamaan dengan takbir berkumandang ( Bahkan ada yang mengambil momen Ziarah ke makam ini sehabis sholat Ied dan sehabis bermaaf-maafan dengan keluarga terdekat). Bisa jadi pada saat puisi ini dibuat, bertepatan dengan suasana malam lebaran yang pada saat itu langit cerah (entah ada bulan atau tidak pada waktu itu ya, tapi saya yakin pada waktu itu tidak lagi hujan hehe), dan merangsang alam imajiner Sitor Situmorang untuk mevisualisasikan gambaran suasana orang-orang ziarah di malam lebaran, dan hal itu tergambar jelas dalam citraan latar suasana yang dibentuk pada struktur bahasa puitisasi batang tubuh puisi ini (di kampung budaya ziarah pada malam lebaran masih sangat membumi). Memang kalau secara semantik kata bulan dimaknai benda langit yang mengitari bumi, bersinar pada malam hari karena pantulan sinar matahari, maka penempatan kata bulan pada puisi MALAM LEBARAN menjadi sesuatu yang absurd (tidak masuk akal) sebab biasanya pada malam lebaran bulan belum muncul. Jadi saya yakin jika kata bulan di sini dimaknai sebagai benda langit yang mengitari bumi, bersinar pa da malam hari karena pantulan sinar matahari, kata bulan ini pastinya bergeser fungsi sebagai bahasa lambang/kias (semiotik). MALAM LEBARAN Bulan di atas kuburan -Sitor SitumorangEntah kenapa dari awal saya justru terkesan dengan kata kuburan yang bisa jadi sebagai pokok utama pemicu kelahiran diksi-diksi lainnya dalam upayanya struktur bangun utuh puisi ingin melesatkan makna tersirat yang teramat besar pada puisi //MALAM LEBARAN/Bulan di atas kuburan//.

Ya, kuburan, sebuah kalimat yang begitu mistis terdengar di telinga, kata yang begitu menggetarkan ruang kontemplasi, karena bisa membangkitkan kesadaran akan

ketakutan, pertobatan, dan kata yang mengingatkan saya pada salah satu puisi sufistik bertajuk PESONA KEMATIAN karya penyair besarJALALUDDIN RUMI, : Ketakutanmu terhadap maut sesungguhnya adalah ketakutanmu terhadap dirimu sendiri: lihatlah apa yang sedang kaularikan dari dirimu! Itu adalah keburukan wajahmu sendiri, bukan wajah maut: ruhmu bagai pohon, dan maut laksana dedaunan. Ia tumbuh darimu, apakah ia menjadi baik atau buruk: semua pikiranmu yang terembunyi, curang atau wajar, lahir dari dirimu sendiri. Jika engkau dilukai duri-duri, engkaulah penanamnya; jika engkau berpakaian satin dan sutera, engkau sendirilah pemintalnya. Ketahuilah bahwa perbuatan itu tak sama dengan hasilnya; sebuah pelayanan tak selalu sama dengan upahnya. (Petikan Puisi Sufistik JALALUDDIN RUMI PESONA KEMATIAN Pustaka Firdaus, 1993). Sebagai penutup esai ANTARA ABSURDITAS TEKS DAN SIMBOLIK PUITIKA PADA PUISI MALAM LEBARAN SITOR SITUMORANG, dari citraan secara tersurat pada puisi Sitor Situmorang MALAM LEBARAN inilah simbolik-simbolik puitika yang ada pada batang tubuh puisi ini memberikan suatu kedalaman nilai kontemplasi (Kekuatan moral value) secara tersirat. Dimana Keindahan sesungguhnya adalah saat kita senantiasa ingat datangnya kematian. Sebab keindahan itu sendiri (baca: Bulan) melekat dan akan mengada pada aktualisasi laku baik kita sehari-hari (tidak hanya pada saat malam lebaran sahaja) sebelum kita tiba sampai di alam keabadian/alam barzah, dalam arti selama kita masih ada " di atas kuburan. Sayang kita insan seringnya ingat "Bulan di atas kuburan" hanya pada saat "MALAM LEBARAN" sahaja. Astagfirlohhaladzim. Subhannallah. Allahuakbar. (lifespirit, 9 Feb 2013)

Langgam Jiwa 03.05.2012 bisa jadi adalah hari yang haru bagi penggiat, pemerhati dan penikmat sastra khususnya di Indonesia. Karena pada waktu tersebut seoarang penyair, motivator dan sahabat yang baik bagi yang mengenalnya telah meninggal dunia pada usia 52 tahun. Adalah Heru Emka yang sudah dianggap sebagai seorang pejuang literasi. Ia punya cinta yang keras kepala pada sastra, karena dunia kepenulisan sudah ia lakoni sejak remaja. Sastra bagi pria kelahiran Semarang, 30 Oktober 1959 bukanlah sesuatu yang ekslusif atau hanya dapat disentuh oleh kalangan tertentu saja. Ia memiliki keyakinan kuat, siapapun berhak dan pasti bisa menulis karya sastra. Tentu saja jika ditekuni dengan baik dan mau menjalani proses kreatifnya. Tidak sedikit orang-orang yang awalnya sama sekali tidak berani mempublikasikan tulisan-tulisannya kemudian menjadi sangat giat memposting karya di berbagai media, di antaranya Facebook. Satu catatan penting, dari sikap Heru Emka yang tidak terlalu giat mengirim karya ke media cetak. Ia sudah pada tatanan pemahaman bahwa media cetak tidak punya hak apapun untuk melegitimasi seorang

pengkarya tulis, hanya saja di masa kekinian banyak sekali pengkarya (Baca: Penyair, Cerpenis, Esais dan sebagainya) yang keganjenan menggadang-gadang dirinya sendiri sebagai seseorang yang sudah terlegitimasi. Maka baiknya, anggaplah memasuki media cetak sebagai usaha merentangkan jaringan silaturahmi antara penulis dan pembaca, terutama yang tidak suka melakukan kegiatan online. Pola-pola pergerakan sastra yang dilakukan semasa hidupnya menggambarkan betapa ia memiliki semangat yang luar biasa, dengan melahirkan haiku Danau Angsa dan nilai lebih lainnya kerendahan hati dengan mau mengayomi penulis-penulis muda yang sedang belajar membenahi kualitas kekaryaannya. Sebut saja Yudi Damanhuri yang saya telpon tepat pada malam meinggalnya Heru Emka, ia menangis dan merasa syok, sebab Heru Emka baginya telah banyak membimbing dan menyemangati juga Muhammad Rain, Yangkung dan banyak lagi. Saya sendiri pernah merasakan kehangatan sapaannya, ketika saya tag ia dalam catatan Facebook yang berisi 7 puisi pendek. Dengan sangat tenang ia menulis begini: Dik, izinkan saya menyimpan puisi-puisi pendek ini untuk dijadikan esai sebagai penulis muda kesediaannya menyentuh karya saya menjadi satu kebahagiaan tersendiri, saying sungguh saying waktu tak mengizinkan karena ia lebih dulu dijemput keabadian. Di dalam keseriusannya menggeluti dunia sastra ia juga sangat piawai dengan tulisan-tulisan jenaka yang bikin pembaca tertawa, silahkan tertawa: Siapa butuh celana ? Berikut ini percakapan adu sombong antara pria-wanita : Wanita: Kaum pria jelas membutuhkan kehadiran kaum wanita di dunia. Pria: Kenapa pria membutuhkan wanita ? Wanita: Bila tak ada wanita, siapa yang menjahitkan celana pria ? Pria : Bila tak ada wanita, siapa yang membutuhkan celana ?

Bukan hiu Di sebuah sore yang cerah, seorang turis yang kaya sedang menikmati keindahan panorama sungai Amazone. Setelah capek mengabadikan pemandangan dengan kamera videonya, turis itu menuju tepian sungai dan melepaskan celananya. Dia kemudian bertanya pada seorang anak; Bukankah tak ada ikan hiu di sungai ini ?. Ya. Tentu saja tak ada ikan hiu di sungai ini, jawab di anak . Kalau begitu, tunggu apa lagi, kata si turis sambil tersenyum, dan kemudian berlari menceburkan dirinya ke sungai. Si anak yang lagi memancing itu pun melambaikan tangannya, sambil berteriak, Hei mister, ikan hiu memang tak ada di sungai ini, karena mereka takut pada buaya . Dipetik dari buku kumpulan humorku : Humor profokatif (CS Book, 2008) Untuk melengkapi keakraban dengan Heru Emka, ada baiknya membaca puisi yang kental dengan nuansa persabahatan ini: DALANG SUNGSANG dongeng bagi Nugroho Suksmanto -

alam terdiam senyap sunyaruri yang sempurna waktu masih terlelap dalam nyenyak tidurnya tanpa kedua saudaranya Brahma dan Wisnu Shiwa pergi mengembara dalam luas langit bisu merenangi energi gelombang menjelajah rasi bimasakti menyimak solilokui bintang bercakap dengan diri sendiri menjelang planet hijau

berkelebat cahaya ungu berpendar dalam kilau bangunkan tidur waktu menumpang kilat cahaya Shiwa tangkas mengejar hasrat terpendam di dada dihentak getar mendebar menjelang orbit bumi Uma jelita menjelma menyerahkan pada pelangi indah tubuh yang terbuka saat Uma membentang paha Shiwa tersengat sihir ekstasi pendaran warna di ujung vulva janjikan nikmat beragi langit pun jadi meriah oleh ledakan energi saat Shiwa menembus celah perawan Uma yang suci di puncak kama mata Shiwa yang ketiga lebar terbuka pancarkan bara kata-kata laju kata menyala menari di langit bumi menyulut daya cipta membuat mega berwarna-warni sperma kata Shiwa menghamili sunyi pagi melahirkan Batara Kala raksasa yang baik hati setibanya di dinding batu

Kala menanggalkan taringnya lalu goreskan aksara baru sebagai puisi yang pertama -semarang, lepas tengah malam, 24 desember 2010 Dikutip dari dokumen Kotak-Kotak Kreatif Begitulah sikap dan kiprah seorang Heru Emka di dunia kesusastraan yang memposisikan diri tidak sebagai senior dengan jargon-jargon mengerikan. Ia memposisikan diri sebagai sahabat yag ramah, tenang dan menyenangkan bagi semua kalangan usia. Wajaarlah jika ia pernah menulis tentang dirinya sendiri dalam sebauh blog: Saya mungnkin terlahir sebagai orang yang menyukai banyak hal. Selain membaca, saya senang menulis, mendengar musik, melihat gambar-gambar / visual yang indah, termasuk foto dan lukisan. Jadi saya punya hobi koleksi yang cukup beragam. Di samping menyimpan banyak buku (kutu buku berat), juga menyimpan banyak komik (dari komik impor hingga komik jadul), menyimpan musik (dalam format kaset, CD dan MP3 - hampir semua genre musik), mengkoleksi film (ada sekitar 3000-an judul, dalam format VCD dan DVD). Saya pernah bekerja sebagai penyiar radio, wartawan, copy writter, tim kreatif di sebuah production house (yang memproduksi TV Talk Show Jaya Suprana Show, yang disiarkan di stasiun TPI selama 130-an episode. Aaya juga menulis banyak buku. Dari yang serius, seperti buku kumpulan puisi, buku tentang musik (Berjudul Grindcore dan Thrash Metal sebagai Musik Alternatif - buku tentang musik keras yang pertama terbit di Indonesia - Medayu Press) juga buku cerita anak, serta berbagai buku psikopop remaja, dan buku humor untuk just for fun saja. Betapa kesenangannya memang sesuatu yang menyenangkan. Barangkali benar, bahwa gajah mati meninggalkan gading, manusia meninggal meninggalkan nama dan pejuang literasi meninggalkan karya-karya serta semangatnya. Semoga kita bisa meneruskan semangat itu! Mr. R 2013

Rubrik Rak Buku Kilasan Jejak Sang Camar Penerbit : Pustaka Jingga Judul: Kilasan Jejak Sang Camar Penulis: Homsin A. ISBN: 978-602-7880-28-3 Tebal: 103 halaman Ukuran: 13x19 Desain cover: Vindy Putri Harga: 25.000 Khomsin telah siap memasuki gelanggang yang lebih ramai dan penuh dengan suarasuara sumbang, dengan memberanikan diri menerbitkan antologi puisi tunggalnya yang bertajuk Kilasan Jejak Sang Camar. Penerbitan antologi puisi tunggal dewasa ini, boleh saja dianggap kurang meyakinkan jika dilihat dari segi kualitas, tersebab menjamurnya penerbitan indie. Tetapi itu sama sekali tidak penting bagi saya, karena sudah menjadi bahan lapuk yang sengaja selalu diwacanakan bahkan terkesan sangat cerewet dan membosankan. Maka tiadalah kata selain gembira menyambut kelahiran antologi puisi tunggal pemuda kelahiran Cirebon ini. Berdasarkan kegembiraan juga saya mengajak pembaca untuk turut menikmati bangunan kata yang menyimpan magma makna yang cukup berletupan di dalamnya. Enam puluh puisi yang dimuat secara diam-diam mengajak pembaca merimba di berbagai belantara, di antaranya dengan mengusung puisi-puisi perenungan: mengembalikan diri ke diri menuju Illahi. Seperti dalam puisi yang berjudul Kenali Diri: Kembali ke sungai dangkal Tak berarus tempat ia lahir Sucikan diri dari segala debu Segala angkuh Usai melompat tinggi

Khomsin dengan cerdas memaknai hidup, bahwa untuk keselamatan setiap manusia harus mengenali dirinya sendiri, batas-batas kemampuan dan ketidakmampuannya. Jika tidak, semakin susah dan payah saja menghadapi kehidupan. Sedang setiap yang berketuhanan selalu menyakini kemana mesti berpasrah bahkan di mana alamat akhir dari suatu tujuan, sebagaimana dilukiskan dalam puisi berjudul Kilasan Jejak: Dunia meninggalkan sisa, dan sisa itulah aku Mengarungi samudra dengan sampan dan perahu Bercerita tentang bangkai-bangkai kapal Serta tulang-belulang nahkodanya Terapung terbawa gelombang menuju pusara. Perenungan seorang pemuda belia ini sudah sampai pada tatanan kedirian yang dihadapkan pada Illahi. Sungguh pencapaian yang patut diapresiasi karena sudah keluar dari lingkaran pemikiran kebanyakan orang seusianya. Suguhan lain yang tak kalah menarik adalah penyuguhan puisi yang sangat tegas menyikapi gejolak negeri, Indonesia yang tengah dilanda kecurangan dan penindasan direkam dan dengan cara yang bijak sebagaimana dalam puisi berjudul Sumpah Pemuda: Teruslah Semua adalah kepunyaanmu Tanah air ini, bangsa dan bahasa Indonesia. . .! Jika taufik Ismail malu menjadi bangsa Indonesia, dan saya sendiri kerap menulis puisi gugatan, Khomsin punya cara sendiri. Dengan mengingatkan pada sejarah sumpah pemuda yang digagas Boedi Oetomo pada hari Minggu, 20 Mei 1908 silam. Kembali Khomsin mengajak berpikir untuk mencari jalan terbaik menyelamatkan Bangsa. Meski tema cinta tidak begitu mendominasi tetapi cukup menarik untuk ditelisik serta menambah lengkapnya antologi puisi Kilasan Jejak Sang Camar ini. Khomsin menuliskan puisi-puisi cinta yang menurut kacamata baca saya dilukiskan dengan cara yang cukup dewasa, sebagaimana dalam puisi berjudul Puisi Cinta: Untuk dik Pada suatu kali pertemuan bila ada aku, sekali lelah dan terus menyerah Ku tahu kau kan pergi, tapi Dunia telah menghantarkan kita

Pada sebuah tawa, pada sebuah tanya Yang belum terjawab, entah Dan kini, di atas suatu kali Aku, jatuh dan sangsi Kata yang dijadikan simbol dalam puisi di atas ternyata tidak semata bicara soal cinta, akan tetapi sudah memasuki ranah realitas kehidupan seperti tergambar dalam larik Dunia telah menghantarkan kita/Pada sebuah tawa, pada sebuah tanya/Yang belum terjawab, entah. Terasa betul kegelisahan manusia yang berdiri di antara sesama manusia dan garis takdir yang mengharuskan setiap kita melayani kehidupan seperti apapun bentuk-rupanya. Berbagai ranah dan wilayah dibedah dan didedah sebelum akhirnya memasuki sebuah wadah yang disebut dengan puisi. Khomsin menawarkan lanskap kehidupan, percintaan, kemanusiaan, kecemasan dan harapan buah dari pandangan, pemikiran, pemahaman dan perenungan yang mendalam. Tetapi, meski sebegitu liarnya pengembaraan sang penyair, puisi-puisi Khomsin tetap dapat berkomunikasi dengan pembaca. Sebagaimana dilukiskan dalam salah satu puisinya yang berjudul Kilasan Jejak: Mengembara jauh di rimba mencari kehidupan yang disisakan Khomsin telah memilih jalan keberanian menunjukkan bakat dan kemampuannya dalam proses kreatif penulisan puisi. Tentu saja tidak ada karya yang sempurna, karena kesempurnaan karya hanya milik Sang Maha Pengkarya. Perjalanan masih begitu panjang: Khomsin harus terus menapaki jejak sajak di antara riak-riak yang mewajahi dunia kesusastraan Indonesia. Salam Merdeka Jiwa dan Badan Muhammad Rois Rinaldi, Ketua Komite Sastra Cilegon

Teropong

Malam Apresiasi Online, Puisi Bait Kata Suara Membaca Noor Aisya Berbicara tentang penyair wanita dari negeri singa yang dua tahun belakangan semakin menunjukkan kelas dan kualitasnya ini, menjadi penting bagi saya. Selain ia intensif dengan pergulalatan kekaryaan juga memiliki keberanian untuk melakukan lompatan-lompatan kreativitas, walau dihadapkan pada konsekuensi penjelasan panjang lebar atau tudingan negatif tersebab keberaniannya mencipta puisi dengan cara lain atau cara yang tak dilakukan bayak penyair. Adalah Noor Aisya, perempuan ini telah memilih puisi sebagai media yang mengasyikkan untuk menyuarakan batinnya. Sekadar rekam jejak: karya-karyanya telah dimuat di antologi bersama baik di Singapura, Malaysia, ataupun Indonesia, di antaranya Tembang Cinta Kamboja, sauk Seloka: Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI, Gaza Apabila Penyair Membantah dan Melata Kasih Serumpun. Ia pernah diundang di PPN Jambi 2012, karyanya juga dimuat di Berita Minggu Singapura, Sastera New Sabah Times Malaysia, Warta Minggu Perdana Malaysia. Kini kesibukannya selain berkarya adalah mengajar. Sejauh pengamatan saya, karya-karya Noor Aisya memiliki kekuatan pada diksi-diksi yang powerfull, ia saggup mencipta diksi-diksi kuat dengan tatanan bahasa yang tidak terlalu rumit ditambah dengan teknik-teknik segar. Semisal dalam puisi Tahlil Buat Gaza /1/ merpati putih menangis

"pesanan damai kini mainan peluru-bom bukan lagi katakata aman" /2/ dalam isakan sebak membatu diam pada para syahid tertewas di bumi janda--hilang maruah /3/ lalu : astaghfirullah gigil dalam haru mengusung keranda al-fatihah di pusara Gaza tahlilkan doa langit mengaminkan--bergema 'Allahu Akhbar'! 201112 Temasik

Dalam puisi tersebut tidak memerlukan sesuatu yang digarang-garangkan atau dingeringerikan untuk membangun nuansa kengerian yang terjadi di Gaza. Saya menyebut puisi sejenis ini dengan Kesaksian Penyair karena puisi dilatarbelakangi oleh kenyataan, tanpa memanipulasi aksen-aksen yang sebenarnya:dalam isakan sebak/membatu diam pada/para syahid tertewas/di bumi janda--hilang maruah dalam bait kedua tersebut, diterangkan kejadian yang sangat memprihatinkan dan menyanyat siapa saja yang masih punya hati nurani. Bahwa terjadi satu kekejaman manusia terhadap manusia di muka bumi. Pejuangpejuang hak bangsanya mati syahid dan istri-istri harus rela menjadi janda. Kebengisan pula sebelumnya telah diwartakan bait pertama : merpati putih menangis/"pesanan damai kini/mainan peluru-bom/bukan lagi katakata aman"keadaan yang sama sekali jauh dari ketenangan sangat berhasil dituliskan juga dalam bait terakhir: lalu: astaghfirullah gigil dalam haru/mengusung keranda al-fatihah /di pusara Gaza tahlilkan

doa/langit mengaminkanbergema/'Allahu Akhbar'! bait tersebut menukik pada kesan pribadi sang penyair yang akan menohok pada kesan pembaca. Bahwa mesti ada yang dilakukan untuk menghadapi kekejaman, apa lagi hampir setiap undang-undang negera di seluruh dunia mendukung adanya perdamaian abadi, tetapi kenyataan berkata lain. Di saat tak ada yang dapat dilakukan maka hanya doa yang dipanjatkan kepada pencipta alam semesta. Hal ini mengingatkan saya pada Hadist Riwayat Muslim : Jika kamu melihat kemungkaran, ubahlah dengan tanganmu (kekuasaan yang dimiliki), jika tak mampu ubahlah dengan lisanmu, jika tak sanggup ubahlah dengan hatimu, dan itu adalah selemah-lemah Iman . Penyair telah melakukan dengan lisan dan doa. Mengapa lisan? Karena puisi adalah perpanjangan dari suarasuara. Puisi akan bicara banyak pada pembacanya. Selain pesan dan kesan yang dicipta begitu kuat, hal lain yang menarik adalah diksi mahal yang disuguhkan:keranda alfatihah/langit mengaminkanbergema/ di bumi janda--hilang maruah seperti apakah keranda alfatihah itu? Surah Al-Fatihah atau dalam bahasa Indoensia "Pembukaan" adalah surah pertama dalam Al-Qur'an. Surah ini diturunkan di Mekah dan terdiri dari 7 ayat. Al-Fatihah merupakan surah yang pertamatama diturunkan dengan lengkap di antara surah-surah yang ada dalam Al-Qur'an. Dinamakan juga Ummul Qur'an/Ummul Kitab. Bagaimana dengan keranda? di tanah melayu, keranda dikenal sebagai alat mengusung mayat menuju pekuburan. Maka jika dua kata tersebut digabung, dapat diartikan sebagai doa-doa pengiring mayat. Berbicara tentang Alfatihah, dalam sejarah panjang perkembangan islam di Negaranegara melayu dikenal juga kirim hadhoroh atau mengirim fatihah kepada orang-orang yang sudah meninggal. Maka sangat dekat pemahaman saya ke arah doa pengiring pemakaman. Diksi langit mengaminkanbergema dapat diartikan sebagai isyarat betapa sadis dan bengisnya kaum yang menindas Palestina di Gaza. Kalaulah boleh saya sebutkan kaum tersebut adalah kaum Yahudi yang merasa memiliki hak atas tanah Palestina karena keyakinan mereka tentang Tanah Yang Dijanjikan sulit sekali memang, di sisi lain dunia memandang ini adalah persoalan yang realis tetapi latar belakang sejatinya adalah keyakinan Yahudi yang sama sekali tidak menjadi keyakinan Palestina. Pada kesempatan ini saya tidak mungkin menjelaskan latarbelakang peperangan panjang Yahudi dengan Palestina, untuk memahami puisi ini lebih jauh lagi silakan cari sumbernya baik dari segi sejarah maupun tragedi Gaza. Diksi lain yang tak kalah menarik adalah di bumi janda hilang maruah jadi sangat kuat setelah adanya tanda strip dua (--) yang dapat dikonotasikan pada janda sebenarnya yang kehilangan maruah atau harga diri, bisa juga diartikan janda pada keberadaan Palestina yang terus dibombardir oleh Yahudi.

Noor Aisya memang memiliki ketertarikan atau katakanlah kepekaan yang kuat terhadap keberadaan manusia yang berhadapan dengan sesama manusia. Sehingga puisi-puisinya kerap meneriakkan kemanusiaan dengan lantang atau dengan lembut. Jika Tahlil Buat Gaza secara terang mengusung keprihatinan dan kegeraman terhadap kekejaman lain lagi dengan puisi berikut: Tragedi kita berada di medan pertarungan, entah apa yang kita mahu perjuangkan? pada pena kita pedangkan segala darah--meninta setiap luka mengalir hampa, kita jadikan cerita juga dongeng biar para pembaca menjadi asyik dibuai khayalan-metaforakan segala imaginasi mampu mencabar! daripada chairil juga rendra, kumasih terbakar dengan katakata sakti, memberontak rasionaliti untuk terus maju--ayuh, bangun! haruskah terus kita menjadi binatang jalang-teriakan yang terus menusuk kalbu manusiawiku... lalu, daripada Shakespeare, kuungkapi romantisme dalam tragedi! aahhh... bukankah hidup ini tragedi! kita manusia sial yang sering dimalapetakan permainan nasib. Lady Plath kutemui selendang kehitaman, jiwa hitam yang melaknat hidup! mati itu pelepasan-kemerdekaan ruh dari raga yang tiada lagi membawa erti! derita? apakah derita yang kita junjung pada tiangtiang harapan sedangkan guruh waktu tidak jemu memetir untuk menjatuhkan kita. lihatlah! kukenali air mata keramat Rois menjadi titisan keringat mendakwat segala kecaman-bertubitubi menghentam raganya. kurasai kemanisan juga kemasinan air mata Bintang Kartika di setiap diksidiksi ucapan nuraninya yang paling dalam. kutemui serpihaserpihan hati Melinda Nour di pepasir cinta, masih ada cahaya menyuluh setiap kegelapan... derita itu tragedi. dan tragedi itu sudah tersurat dalam setiap kata kita jadikan puisi.... 160113 Temasik Pada puisi tersebut dapat disaksikan acrobat kata dan makna saling taut menyuguhkan dinamikan sedemikian rumit. Bahwa hidup adalah trageditragedi kemanusiaan di hari ini yang sudah sulit sekali dinalarkan. Karena masing-masing manusia terus bergulat dengan kediriannya dalam ruang lingkup yang satu. Saling curiga, saling hantam dan saling menghancurkan kemudian bermuara dengan terbentuknya pribadi-pribadi yang

mempribadi. Bahkan pada kalangan penyair. Penyair hari ini, adalah banjaran pecinta kata yang gemar merangkai bunga untuk merayu dan memuja sang kekasih, atau sekumpulan manusia yang mencintai kesendirian serta kegelapan, sedangkan alam nyata dan segala polemiknya tak lagi penting untuk diperhatikan, ditelisik dan dicatat dalam arya-karyanya. Maka penyebutan nama-nama penyair seperti Renda dan Chairil adalah bentuk kehausan pada nilai-nilai kata yang sanggup mewakili kemanusiaan. Sebagaimana banyak diketahui bahwa Rendra adalah penyair yang sangat lantang meneriakkan hak-hak dengan puisi-puisi pamphlet atau balada. Dalam puisi tersebut diketengahkan juga kalimat Chairil Anwar seperti maju--ayuh, bangun terdapat kesengajaan memiripkan dengan puisi yang berjudul Karawang Bekasi lalu mempertanyakan puisi Aku, "haruskah terus kita menjadi binatang jalang--teriakan yang terus menusuk kalbu manusiawiku..." adalah pertanyaan penegas, bahwa tidaklah harus meradang menerjang (seperti) binatang jalang yang terbuang dari kumpulannya. Menyatu dalam kehidupan harus menjadi pilihan karena mengasingkan diri dari kenyataan adalah tindakan yang patut dikasihani. Selain Rendra dan Chairil disebut juga penyair muda asal Malaysia, Bintang Kartika dan Melinda Noor Aini. Secara utuh emosi yang diluapkan adalah mempertanyakan konteks sebuah teks puisi dalam menyikapi keberadaan manusiamemanusiakan manusia. Di sela pertanyaan-pertanyaan gamang, penyair ini menyelipkan suatu seruan yang tegas: derita? apakah derita yang kita junjung pada tiangtiang harapan sedangkan guruh waktu tidak jemu memetir untuk menjatuhkan kita. lihatlah! derita yang kerap dijunjungjulangkan sebagai sebentuk kedirian, pernyataan, pertanyaan ini dan itu telah dibuat seakan tak ada ujungnya, sedangkan waktu terus berjalan sehingga tanpa disadari pada keadaan tertentu akan mampu menjatuhkan siapapun bahkan membunuh kita dalam keadaan sia-sia. Jadi, sebaiknya jangan berlebihan menanggapi hidup, saya yakin ungkapan si Patkai tentang Derita tiada akhir itu hanya ada dalam serial Kera Sakti untuk membumbui romansa pencarian kitab yang diyakini di timur mana entah. Hidup adalah kenyataan yang harus dijalani sebaik-baiknya, kira-kira begitu pesan yang terkandung dalam puisi tersebut. Dilihat dari konteks bahasa dan makna denotatifnya, menampilkan asosiasi yang mau tidak mau menuntut pembaca untuk mencari referensi, semisal karya-karya Chairil, Rendra, Bintang Kartika dan Melinda Noor Aini. Karena tanpa mencarinya, tentu pembaca sedikit banyak akan kehilangan bagian-bagian penting dalam puisi tersebut. Terlepas dari perlunya referensi, Noor Aisya berhasil memunculkan renungan mendalam tentang manusia, derita dan harapan dengan bahasa yang apik digali dari sumber-sumber literer.

Terakhir adalah puisi Siluet Merah yang sempat dijadikan bahan kajian dalam Gru p Puisi Bait Kata Suara (PBKS).

SILUET MERAH kamu hadir dalam lelah sejuta ragu, merentap jantung rindu hingga terputus, seperti pisau memotong sadis daging korban sebelum sempat melafas syahadat. di mata bilah setajam kejam katamu, ia menusuk tepat hingga air mata lupa untuk tangisi duka asid yang (di)simbah kamu: tidak membalut luka ini dengan sutera kasih? sebaliknya menaburi garam agar aku lebih mengerti erangan pedih memerih antara kita. kucuba elak daripada terus direjam carikan itu namun perisai sabarku lebur dilahap api amarah membakar dan aku pun akhirnya tewas dalam cacimaki(an) mainan kata. ada siluet kasih cuba memendamkan rindu juga cinta. ternyata sulit membenarkan keegoisan: kau-aku cuba selindungi 090313 Temasik Asosiasi yang dihadirkan memancing logika dan batin saya untuk turut memberai kebermaknaan yang kuat dan tegas. Dalam kajian Malam Apresiasi Puisi Oline, saya sempat, bahkan berkali-kali menghernyitkan dahi tersebab apresiasi yang tidak sampai pada akar rumput, hanya sebatas permukaan saja. Meski demikian bukan berarti salah, karena tafsir yang berpangkal dari pemahaman tidak mungkin sama terlebih lagi dalam waktu yang relative singkat, tidak memberikan ruang untuk merenungi bagian-bagian terdalam juga bagian paling transcendent sekalipun. Semisal pemahaman bahwa puisi Siluet Merah terlalu deras larik-lariknya dan begitu kental nuansa emosi, serta amarah. Ditutup dengan seruan untuk bersabar sebab Tuhan bersama orang-orang yang sabar. Tentu saja nasihat yang disampaikan layak diperhatikan serta diingat lalu diaplikasikan dalam kehidupan, terutama bagi umat muslim. Akan tetapi dalam konteks kajian puisi bagi saya hal tersebut bukan pembahasan yang serius, sebab marah dan merah bukan satu kemarahan atau kemerahan yang sebagaimana ditemukan dalam dunia nyata. Dalam puisi segala hal bisa jadi lain dari teks aslinya, terkecuali puisi-puisi tertentu. Pengkajian bahwa puisi tersebut menyimbolkan kemarahan yang bermula dari ketidaksabaran menerima rindu, dilanjutkan dengan pernyataan bahwa rindu tidaklah pernah mengajarkan keraguan. Hanya saja, bergantung kepada kesiapan si Penerima

rindu. Masih serupa dengan kajian yang pertama, sebatas baca belum menyelam. Dan satu pendapat lagi yang saya catat, puisi tersebut mencoba mengedepankan amarah dan meluah-luahkannya dalam puisi. Saya jadi bertanya-tanya: apakah puisi cukup dimaknai secara telanjang? Tanpa ada usaha mendalami makna paling tersembunyi dari sebuah teks puisi. Saya ingin merangkum saja, bahwa puisi tersebut tidak semata bicara amarah antara sepasang manusia (Baca: Wanita dan Lelaki) karena ranah puisi tidak sempit. Jika kajianya semata begitu, bagaimana mengkaji puisi protes sosial yang berapi-api, apakah itu puisi yang harus diguyur hujan agar padam dan tak penuh dengan kemarahan? Tidakkah butuh menelisik bagaimana keadaan saat puisi ditulis sehingga akhirnya dikenal nama-nama seperti Wiji Thukul? Bicara puisi tidak cukup bicara tekstual belaka, bukan? Haruslah dipahami, dialektika kata dengan makna, peristiwa dan pengalaman empiris adalah satu kesatuan yang muskil dipisahkan begitu saja. Kata memang secara implisit ataupun eksplisit menghadirkan dirinya sendiri sebagai kata, misal "merentap jantung/pisau memotong sadis" dua contoh tersebut hadir sebagai kalimat jelas dari kata yang jelas, Tetapi yang tidak boleh dilupakan adalah, kata selalu mengusung makna dan makna yang diusung kata dalam sebuah puisi tidaklah sama dengan kata dalam berita di koran atau prosa pupuler ala kekinian apa lagi dibandingkan dengan novelnovel teenlit. Maka untuk menemukan bentuk dunianya secara utuh harus dilakukan pendekatan-pendekatan yang lebih serius, dengan penyelidikan makna bahasa dengan menekankan hubungan dari pelbagai tataran gramatikal yang terus berkembang bahkan berkecambah melingkupi perubahan-perubahan maknanya. Puisi Siluet Merah tidak hanya bicara rindu menggebu-gebu, cinta bernanah, cemburu memburu atau amarah berdarah-darah. Meski ianya ada dan juga menjadi bangunan puisi, tetapi bukan sebatas di sana. Ada pesan kemausiaan secara umum, pesan yang jauh lebih luas kepada pembacanya. Perhatikan bait ketiga yang merupakan bait penutup ini: aku pun akhirnya tewas dalam cacimaki(an) mainan kata. ada siluet kasih cuba memendamkan rindu juga cinta. ternyata sulit membenarkan keegoisan: kau-aku cuba selindungi Di sana ada titik balik, kembali ke pusat angka Nol yakni kesadaran yang menghumustanahkan segala amarah yang ada pada bait-bait sebelumnya. Kesadaran akan apa? Tentang bagaimana mestinya setiap manusia harus memiliki tenggang rasa yang luas (Baca: tidak egois) agar tidak terjadi prahara yang tidak diharapkan. Jadi,

pengkajian tentang amarah saja tidaklah lengkap. Harus dikedepankan hal-hal positif yang mungkin terkandung dalam puisi, karena puisi selalu mengusung pesan-pesan yang samar. Dari segi bahasa, di sini banyak sekali penyimpangan bahasa yang disengaja untuk menggapai tujuan-tujuan tertentu yang berkaitan dengan estetika. Ini dikenal dengan Licentia Poetica. Maka sebab itu pula, saya tidak sepaham dengan anggapan atau pendapat bahwa puisi lirik baiknya taat azas pada tata tulis, konvensi-konvensi yang berlaku. Karena bagaimanapun bentuk puisinya, ia adalah puisi yang boleh dan berhak menggunakan teknik-teknik puisi termasuk penggunaan Licentia Poetica. Tak dapat dipungkiri, Licentia Poetica sudah sangat lama menjadi persoalan pelik, karena sejauh ini belum ada yang sanggup memecahkan mana yang boleh dilanggar dan mana yang tidak boleh dilanggar. Jadi, jika hendak mempertanyakan tentang Licentia Poetica mesti juga mempertanyakan bagaimana cara meniadakan atau sebaliknya membakukannya? Kemudian muncul pernyataan, pembakuan akan membuat puisi semakin kaku. Dan benar, lantas? Masing-masing penyair hanya butuh satu hal, dapat mempertanggungjawabkan apa yang ditulis baik dari segi bahasa dan sosial. Demikian, esai singkat yang dibuat dalam waktu singkat tetapi dengan penelusuran yang tidak singkat ini. Salam Merdeka Jiwa dan Badan Muhammad Rois Rinaldi, Ketua Komite Sastra Cilegon

Iklan

Antologi Puisi Bilingual SPRING FIESTA [Pesta Musim Semi] adalah antologi puisi yang diikuti oleh 63 penyair dari 9 negara Libia, Arizona, Serbia, Pakistan, India, Hongkong, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Antologi yang diterbitkan oleh INDONESIAN AND ENGLISH POETRY Group dan Araska Publisher ini akan diluncurkan di Sanggar Satoeempatsatoe Indonesia, pada Sabtu 25 Mei 2013/19.30-21.30 WIB (Halaman Olah Raga SMP PGRI I, Jl, perintis Kemerdekaan II, Kompleks Perkantoran, Cikokol, Tangerang. selanjutka akan diadakan Roadshow ke berbagai daerah di antaranya Jogjakarta, Purwokerto dan Cilegon.

Penggarapan antologi ini terbilang cukup lama, sebab harus mengalihbahasakan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris dan sebaliknya. Berikut nama-nama penyair yang terpilih dalam antologi tersebut: Agustav Triono, Ari Witanto, Atin Lelya Sukowati, Badaruddin Amir, BeLia Sby, Buana KS, Budhi Wiryawan, Cunong Nunuk Suraja, Daru Maheldaswara , Dharmadi, Denny Hoffman & Maya Mijac, Diko Harjuni Tanera, Dimas Indiana S, Dudi Irawan, El. Trip Umiuki, Elsya Aprianti, Entis Sutisna, Ery Maryana, Fatima Maria, Ganto Swaro, Gito Waluyo, Haryono Soekiran, Hikmah Mukadas, I Gede Pandega Wiratama, Irena Jovanovic, Irfan M. Nugroho, Kit Rose, Kristina Monroe, Lilik P. Soebroto, Luru Jyoti Kisworo, Meera Srikant, Mohit Sharma, Muhammad Musyaffa, Muhammad Rantauan Alwiy, Muhammad Rois Rinaldi, Muhary, Wahyu Nurba, Nani S. Karyono, Nella S Wulan, Rahmat Ansyarif, Ria Oktavia Indrawati, Rini Intama, Ririn Siswokarsono, Riyan El Jameel, Ronnie Ng, Saving MyHeart, Sheetal Sahjata, Shourisha Arashi, Sifa Sofroy, Slamet Riyadi Sabrawi, Sokanindya Pratiwi Wening, Soni Farid Maulana, Sri Runia Komalayani, Sri Wintala Achmad, Susheel Kumar Sharma, Syam Candra Manthiek, Umilia Rokhani, Unis Sagena, Villy J. Roesta, Wadie Maharief, Wanto Tirta, Wild Dove, Windu Mandela dan Yuli Sectio Rini.

Penerbitan antologi ini, selain dapat mempererat jalinan silaturahmi antara penyair dari Negara-negara yang tergabung juga dapat menjadi media yang baik untuk memperkenalkan kesusastraan Indonesia di kancah dunia. Tentu saja, sastra Indonesia di hari depan sangat ditentukan oleh pergerakan-pergerakan seperti ini. Harapan selalu ada sebab cahaya takkan pernah benar-benar padam pada ruang gelap sekalipun.

Antologi bertajuk

Puisi Bebas

Negara Melata

yang Mesra

Serumpun ini digagas oleh Ani Din (Singapura). Negara Yang terlibat di dalam antologi tersebut, Singapura, Malaysia dan Indonesia yang diwakili oleh beberapa nama, di antaranya: Noor Aisya, Adri Sandra, Syahrial Mandeliang, Kamaria Bte Buang, Muhammad Rois Rinaldi, Lambaian Faridah Taib. Anggun Pesona dan

Simbol Mesra Serumpun dalam judul dapat dikonotasikan sebagai usaha untuk lebih merekatkan hubungan antara negeri serumpun. Barangkali diyakini, bahwa pergerakan sastra dapat dijadikan media untuk merekatkan ikatan-ikatan emosional yang sudah terbangun dari zaman nenek moyang. Tentu saja buku ini layak untuk dibaca.

Anda mungkin juga menyukai