Anda di halaman 1dari 22

Bayang-Bayang Wayang

BAB I

PENDAHULUAN
etika pada akhirnya saya memilih kata bayang-bayang bagi buku Bayang-Bayang Wayang ini, disebabkan oleh beberapa alasan. Beberapa buku lain menyatakan bahwa sesungguhnya kisah wayang, meski maksudnya adalah epos Ramayana, Mahabharata dan Bharatayuda, merupakan cermin dan sarana untuk mawas diri - bagi kehidupan manusia. Ia berbicara tentang berbagai watak dan karakter manusia yang bisa meliputi keteladanan, keberanian, kemarahan, kesendirian, kecongkakan, kejujuran, integritas, pengorbanan, kebijakan, kebimbangan, dendam, kekecewaan dan pencarian. Ia bisa pula berada di wilayah, iri, dengki, intrik, fitnah, dan pengkhianatan. Walau ada pula kasih sayang, cinta, kemesraan, kesetiaan meski tak lepas dari berbagai bentuk penyelewengan, nafsu, skandal dan perselingkuhan yang terkesan manusiawi. Sulit orang memahami betapa kisah yang mungkin disusun beribu-ribu halaman, melibatkan ribuan orang, bahkan mungkin ratusan ribu orang, namun tak ada yang benarbenar menjadi tokoh utama. Meski ditulis oleh para cendekiawan dan pujangga terpintar, bergelar Empu (Mpu) seperti Mpu Kanwa, Mpu Prapanca, Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Para tokoh yang tampil dalam bagian atau sekte tertentu, ternyata ia mengecewakan para pembaca dan atau penontonnya ketika pada bagian yang lain ternyata ia berbuat bertentangan suatu kebaikan atau seharusnya baik. Tak ada yang pantas menjadi idola sepanjang hidup, kehidupan, atau masa dimana sang tokoh dihidupkan. Tidak ada hitam-putih dalam wayangan. Bukankah itu justru sesuai dengan kehidupan manusia senyatanya? Oleh karena itu pula maka sesungguhnya perilaku yang melahirkan istilah-istilah politik di kemudian hari juga tidak asing bagi dunia pewayangan. Misalnya intrik-intrik politik, termasuk agitasi, debat, intimidasi, mata-mata

Bab 1. Pendahuluan

(spionase), sabotage, perebutan kedudukan, perebutan kursi, perebutan kekuasaan, korupsi, pengkhianatan, pembunuhan, berbagai bentuk kecurangan, money politic, cost politic, black campaign, dan bentuk-bentuk kejahatan, kemungkaran serta berbagai bentuk tindakan tidak terpuji lainnya. Disamping tentu saja sikap keksatriaan, loyalitas, solidaritas, kesetia kawanan, kasih sayang, cinta kasih, penghormatan, penghargaan, kekaguman dan lain-lain. Alasan berikutnya, karena saya ingin buku ini juga memberikan informasi tentang panggung wayang itu sendiri, peraga dan perannya, tokoh-tokoh yang pernah tercatat dalam kurun waktu tertentu dalam pertunjukan wayang, jangkauan yang pernah dan mungkin akan dicapai oleh wayang, dan itulah bayangbayangnya. Proyeksi wayang untuk masa yang akan datang mungkin tak dapat dilepaskan dari berbagai aspek pertunjukan dan seni pewayangan. Namun sebaliknya, bayang-bayang mungkin tak bisa bergantung sepenuhnya pada pola yang ada sebelumnya. Contoh, batik, tak mungkin lagi dikenakan sepenuhnya untuk budaya berkain. Kini ia bisa digunakan sebagai pola hiasan dinding, taplak meja, baju dan lain-lain. Begitu pula keris, seringkali sudah terlepas dari makna awal sebagai senjata. Kajian artistik lebih kental dari pada kajian senjata dan kesenjataan. Perubahan-perubahan yang mungkin dan sudah terjadi akan melibatkan pula teknologi maju misalnya bidang optic, termasuk fotografi, perfilman, musik, kesenirupaan, internet dan lain-lain. Kebudayaan Jawa sangat dipengaruhi oleh Hinduisme India, yang membawa serta sistem kasta; namun sesudah itu nampak suatu perbedaan mendasar antara kedua masyarakat tersebut. Sistem Kasta India berdasarkan oposisi-oposisi, yang paling mendasar adalah antara murni versus bernoda. Bagaimanapun juga, ketika ciri-ciri kebudayaan India masuk ke Jawa, orang Jawa mengambilnya dengan sangat selektif, serta menolak sistem kasta yang berdasarkan oposisi-oposisi dan, sekali lagi, lebih suka mengambil jalan tengah. Hasilnya, meskipun menerima Hinduisme, kebudayaan Jawa tidak dapat menerima sistem Kasta, dan juga, masyarakat Jawa berlapis-lapis namun tidak hirarkhis (berbeda dengan Dumont, 1970). Apakah memilih sikap jalan tengah, mendua atau memakai istilahnya Laksono: paradoksal - ini cocok dengan ide-ide yang menggaris bawahi mitologi Jawa ? (De Josselin De Jong, dalam Laksono, 2009).
2

Bayang-Bayang Wayang

Suatu pertanyaan yang jawabnya jelas tidak sederhana. Selain kajian serta analisis yang dilakukan akan terkena pula konsep kemungkinan terjadinya sikap kompromistis, juga disadari sebagai layaknya suatu obyek kajian sosial, tidak akan diketemukan kemutlakan antara yang positif maupun negatif. Hitam dan putih. Untuk mencapai sasaran orientasi itu wayang juga memberikan tuntunannya. Pada adegan pertapan yang berlangsung sesudah tengah malam, digambarkan bagaimana seorang satria muda mendapatkan pelajaran dari seorang pendeta mengenai tatalaku seorang satria yang harus melayani manusia. Saran sang pendeta yaitu agar seorang satria memperhatikan tiga S: sabar, sareh dan saleh, sabar tidak mudah melepas emosi; sareh, lemah lembut dan hati-hati; saleh, menyembah Tuhan dalam sikap dan tindak. Kemudian ada empat nasehat bagi para negarawan atau satria: sugih tanpa banda, kaya tanpa harta kekayaan; perang tanpa bala (maju), perang tanpa bala tentara; menang tanpa ngasorake, memperoleh kemenangan tanpa mengalahkan; dan weweh tanpa kelangan, memberi tanpa kehilangan. Oleh karena itu seorang pimpinan haruslah memiliki kebijaksanaan dan keadilan seorang raja, pandangan ke depan seorang pertapa, dan kesederhanaan sejati seorang petani (Boediardjo, 1978:101). Orang Jawa juga menggunakan konsep jumbuhing kawulaGusti untuk menginterpretasi dan mengorganisasi jalan hidup dalam masyarakat nyata (eksisten). Seperti diketahui bahwa dalam setiap organisasi sosial, termasuk negara, selalu ada dua elemen manusia yaitu pengorganisasi dan yang diorganisasi, atau pemerintah dan rakyat, atau raja dan rakyat, atau penggede dan wong cilik. Dalam hubungan ini orang Jawa, berdasarkan konsep jumbuhing kawula-Gusti, menganggap bahwa raja dan rakyat sama pentingnya, berbeda lebih karena fungsinya (keduniawian) dari pada karena nilainya (transenden-esensial) (Moertono, 1981:25). Keduanya bisa suci secara esensial dan transendental lewat persatuan dengan Gusti atau yang tidak bisa diterangkan, sehingga identifikasi raja-dewa dan rakyat-dewa, yang tidak ada dalam kanonik Hindu, bisa masuk akal orang Jawa. Kemanunggalan ini dimungkinkan karena menurut mistik Jawa ada ciri umum yang sama antara manusia dan Tuhan yang terletak dalam esensi dan substansi yang tidak bisa diterangkan, yaitu suksma (dari kata India berarti roh) atau Nur (dari kata Arab berarti
3

Bab 1. Pendahuluan

cahaya) (Moertono, 1981:15 dan Susanto, 1977:27-37). Kalau orang Barat mengatakan bahwa wayang kulit purwa Indonesia sebagai the most complex and sophisticated theatrical form in the world, karena pada kenyataannya wayang merupakan buah karya akal budi manusia Indonesia yang merupakan warisan budaya tidak nyata dan mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang luar biasa. Wayang Indonesia memang unik, karena meliputi seni drama, seni musik, seni suara, seni sastra, seni rupa dan sebagainya. Demikian pula, wayang hadir dalam wujudnya yang utuh baik dalam segi estetika, etika dan filsafatnya. Wayang dalam kehidupan bangsa Indonesia bukanlah sekedar kesenian yang memberikan hiburan, namun merupakan abstraksi dari suatu realitas tatanan kehidupan manusia yang diwujudkan dalam berbagai symbol tokoh wayang, cerita, alat pertunjukan, wacana bahkan sampai pada dalang yang mempertunjukkan wayang.

DALANG Dalang adalah sutradara, pemain, artis, serta tokoh sentral dari pada suatu pertunjukan wayang. Tanpa dalang, maka pertunjukan wayang itu tidak ada. Apalagi untuk dalang pada pertunjukan wayang kulit. Komunikasi antara dalang dengan unit pendukung, perlengkapan dan peralatan pertunjukan wayang merupakan komunikasi yang unik. Melalui segenap indera yang dimilikinya, ia berkomunikasi dengan kompleksitas orang dan peralatan yang lazim digunakan dalam suatu pertunjukan wayang. Tanpa suatu skenario yang dipersiapkan terlebih dahulu, namun wayang tampil secara spontan, kompak dan tidak pernah mengalami out of order, semalam suntuk. Sungguh suatu bentuk teater yang aneh karena meskipun tanpa suatu skenario - padahal dalang dapat memilih beratus lakon atau cerita baku (babonpakem), carangan, anggitan (sanggit) tontonan dapat berjalan mulus dari jejeran sampai tancep kayon. Sesungguhnya, dalam berbagai bentuk Seni Pertunjukan Rakyat di Indonesia, terdapat keanehan ini, dalam arti tidak menggunakan skenario atau naskah, selain garis besar belaka (resume) yang disampaikan oleh wasesa sandi (sutradara) dalam bentuk proses penuangan. Ia bisa dalam bentuk Kethoprak, Ludruk, bahkan Dagelan. Dalam bentuk antawacana (dialog) dengan tembang palaran, bahkan juga
4

Bayang-Bayang Wayang

dilakukan secara spontan. Artinya semua penari harus mengenal dengan baik kaidah penyusunan tembang macapat, berkenaan dengan guru lagu dan guru wilangan-nya. Kepada seluruh anggota pemain wayang, pengrawit (wirapradangga), pesinden, wirasuara, ia berkomunikasi dengan sasmita (tanda-tanda). Sasmita ini bisa disampaikan dalam bentuk lisan, pathet, suluk, sendon, buka celuk, sastra maupun dalam bentuk dhodhogan serta peragaan dari pada wayang itu sendiri. Dengan pola komunikasi sedemikian dalang bisa memerintahkan gendhing yang akan dibunyikan. Padahal ribuan gendhing merupakan repertoire yang tidak dipersiapkan terlebih dahulu. Dengan dhodhogan maka gamelan akan berbunyi, berganti gendhing, merubah tempo, mempercepat, melambatkan atau bahkan menghentikan gendhing tersebut. Hal yang sama juga dapat dilakukan dengan kombangan. Penempatan kayon juga bermakna perubahan pathet, atau mengganti suasana. Tak heran manakala pemain gamelan, pesinden dan wiraswara sesungguhnya juga menjadi penonton dari pada pentas dimana ia terlibat menampilkannya. Ketika pada akhirnya diketahui bahwa wayang adalah suatu model pertunjukan, maka diketahui pula bahwa wayang (shadow play) ada dimana-mana. Melalui sebuah seminar di New Delhi, India, 1966, dimana salah satu pembicara dari Indonesia adalah Djadoeg Djajakusuma, yang pernah menyutradarai film Lahirnya Gatotkaca, membahas pula adanya beberapa pertunjukan yang dinamakan wayang. Di India dikenal Kathakali, di Jepang dikenali Tintokee Puppet Show dan dari Indonesia, Ramayana Ballet Troupe. Tahun 2005, penulis mengikuti dan tampil sebagai pembentang (penyaji) pada sebuah seminar wayang di Pusat Kebudayaan UM Kuala Lumpur, dengan wayang Indonesia. Wayang India disajikan oleh Prof. Dr. Ghulam Sarwar Yousuf, serta wayang Kelantan. Tahun 1970, pernah diselenggarakan Festival Ramayana Nasional, diikuti Festival Ramayana Internasional, 1971. Pertunjukannya diselenggarakan di panggung terbuka Candra Wilatikta, Pandaan, Jawa Timur. Oleh karena alat peraganya benda mati, dan oleh karenanya harus dihidupkan, maka diperlukan apa yang disebut dalang. Victoria M.Clara menuliskan tentang dalang dan wayang, melalui bukunya Dalang Dibalik Wayang (The Dalang Behind the Wayang The Role of the Surakarta and the Yogyakarta Dalang in Indonesian Javanese Society), sebagai berikut : Perkataan wayang mengandung sejumlah pengertian. Pengertian pertama adalah
5

Bab 1. Pendahuluan

gambaran tentang suatu tokoh, boneka, lebih tegas lagi adalah boneka pertunjukan wayang. Pengertian ini kemudian diperluas sehingga meliputi juga pertunjukan yang dimainkan dengan boneka-boneka tersebut, demikian pula, lebih luas lagi ialah bentuk-bentuk seni drama tertentu. Dengan demikian, disamping wayang kulit, yang dalam hal ini bayangan boneka-boneka kulit berpahat, di proyeksikan di atas kelir, dengan bantuan sebuah lampu, adalah wayang klithik yang menggunakan boneka-boneka kayu pipih yang bercat (klithik), dan wayang golek yang menggunakan boneka tiga matra yang berbusana (golek), dan tanpa menggunakan kelir bagi kedua-duanya itu. Kecuali itu ada suatu bentuk pertunjukan, dengan seorang pemain mengisahkan ceritanya dan dibantu oleh adegan-adegan cerita yang dilukis pada kain atau kertas, dan digelarnya (mbeber) selagi kisah berlangsung. Pertunjukan ini disebut wayang beber. Selanjutnya ada dua bentuk pertunjukan lakon dengan pelaku-pelaku manusia (wong), bukannya boneka. Bentuk ini bisa dibagi-bagi menurut perbendaharaan cerita, teknik panggung dan perlengkapan panggung ke dalam wayang wong yang para pelaku utamanya tidak bertopeng, dan wayang topeng dengan pelaku-pelaku utama selalu memakai topeng. Dengan demikian, perkataan wayang, kecuali berarti boneka, juga manusia pemain-pemain panggung baik aktor maupun penari. Lebih lanjut perkataan itu pun menunjuk kepada perbendaharaan lakon yang dipentaskannya. Cerita-cerita wayang purwa (purwa= awal, asal), misalnya, yang dimainkan baik dalam pertunjukan-pertunjukan wayang kulit maupun wayang wong, mengambil seluruh atau sebagian bahannya dari wiracarita India Ramayana dan Mahabharata dalam versi Jawa. Tetapi perbendaharaan lakon purwa itu juga bertalian dengan cerita-cerita mengenai asal-usul orang Jawa, dan riwayat nenek moyang mereka yang telah didewakan itu. Cerita-cerita wayang gedhog, dengan pelaku-pelaku utamanya Raden Panji dari Koripan dan Dewi Sekartaji Galuh Candra Kirana dari Kediri, disusun dalam periode kejayaan kerajaan-kerajaan Jawa Timur itu. Menurut tutur Jawa, cerita-cerita ini mengisahkan babad raja-raja Jawa. Perbendaharaan lakon gedhog dimainkan baik dalam pertunjukan wayang kulit maupun wayang topeng. Disamping perbendaharaan lakon-lakon wayang purwa dan wayang gedhog, terdapat banyak siklus ceritacerita lain di dalam pertunjukan lakon wayang Jawa. Dalang adalah tokoh utama dalam semua bentuk teater wayang yang tampil. Dia
6

Bayang-Bayang Wayang

adalah penutur kisah, penyanyi lagu (suluk), yang mengajak memahami suasana pada saat tertentu, pemimpin musik gamelan yang mengiringi, dan diatas dari segalanya itu, dialah pemberi jiwa pada boneka atau pelaku-pelaku manusianya itu (Victoria, 1987: 46). Sekali peristiwa, ketika saya berjalan-jalan di Bukit Bintang, sentral kota Kuala Lumpur Malaysia, oleh karena penampilan saya yang barangkali cukup nyentrik menurut kacamata mereka, sehingga disebutnya anak wayang. Beberapa orang lain yang mengerubungi saya saat itu mengangguk-angguk pertanda paham akan sebutan anak wayang yang diberikan oleh salah seorang rakan-nya tersebut. Saya terkejut justru oleh karena sebutannya itu. Anak wayang ? Benarkah mereka tahu wayang ? Ternyata, yang mereka maksudkan sebagai anak wayang adalah artis. Artis itu pula hanya terfokus pada pemain film dan penyanyi. Mungkin juga pelawak. Ada kecenderungan istilah itu berpadan kata dengan sebutan selebritis yang mencuat populer di negeri kita. Seniman lain atau artis lain, misalnya penari, musisi, perupa, designer, apalagi dalang, tak termasuk artis. Tak termasuk anak wayang, dalam paham mereka. Tak heran manakala bagi mereka, gedung bioskop (berasal dari kata bio, hidup dan scope, sudut pandang) di negeri itu disebut pawagam. Singkatan dari panggung wayang gambar. Berarti film yang diputar di sebuah gedung, disebutnya sebagai wayang gambar. Lalu apa artinya wayang menurut mereka ? Ternyata wayang adalah toneel, suatu pertunjukan di atas panggung. Ia bisa berbentuk teater tradisional, opera Melayu, sandiwara bangsawan, bahkan wayang Cina. Di negeri kita pertunjukan yang diselenggarakan di klenteng-klenteng itu juga disebut dengan kata wayang. Wayang Potehi, atau wayang Thithi.

PIRANTI DALANG Wayang. Wayang kulit Jawa tentunya terbuat dari kulit (walulang-lulang-leather). Pada umumnya terbuat dari kulit sapi, hanya sedikit daripadanya yang dibuat dari kulit kambing (Moebirman, 1973:11). Prosesnya, setelah dikerat sesuai dengan ukuran yang dikehendaki, direndam lebih kurang dua malam,
7

Bab 1. Pendahuluan

supaya lembut dan tidak tegang. Dibantu bonggol pisang yang dimasukkan dalam rendaman untuk mematikan kulit. Lembaran kulit itu disandarkan di pohon atau dinding, hingga betul-betul lembut dan tidak jatuh (Ku Zam-Zam Ku Idris, 1987:3-4). Kulit yang lembut kemudian digunakan untuk membuat wayang. Kulit digosok dengan daun serai dan lengkuas yang ditumbuk menjadi serbuk. Kulit kemudian diuli dengan rempah tersebut, sampai hilang baunya. Setelah itu barulah kulit siap untuk dibuat wayang dengan terlebih dahulu di-penthang. Barulah dibersihkan bulubulunya kemudian dibuat pola peraga wayang yang hendak dibuat. Khusus untuk wayang yang akan dijadikan hiasan dinding, sebagian dari bulu-bulu itu dibiarkan utuh, tidak dicabut, tidak dibersihkan. Setelah pola atau patron dibuat, barulah di-tatah sesuai dengan pola tersebut. Jadilah wayang putih-an, artinya sudah di-tatah, namun belum dicat, atau di-sungging. Kini, wayang putihan juga sudah bisa dijual, terutama manakala akan dijadikan hiasan dinding. Pengecatan juga dilakukan sesuai dengan pola serta ragam hias yang baku. Pekerjaan ini dilakukan dengan penuh kehalusan, kesungguhan dan kehati-hatian. Kehalusan (ngrawit) pekerjaan tatah-sungging ini selain kualitas kulitnya akan menentukan kualitas wayangnya, sekaligus harganya. Wayang kulit pada umumnya dianggap sebagai bentuk lain dari pada wayang wong atau wayang orang. Demikian pula dengan busana dan asesorisnya. Bagaimanapun bentuk wayang dianggap sebagai mengikuti aliran surrealis. Artinya, tidak sebagaimana layaknya kaidah proporsional dari pada bentuk manusia secara natural. Ada juga wayang yang lebih natural/realistis yang belakangan dibuat oleh Ki Manteb Sudarsono dan Ki Enthus Susmono. Oleh karena wayang kulit dibuat dalam bentuk dua dimensi, maka untuk peraga raksasa matanya dibuat berjajar. Demikian pula dengan jari-jari kaki dan tangannya (Soekatno, 1992:78-81). Sekaligus mulutnya yang besar dihiasi dengan taring yang menonjol keluar. Banyak diantaranya, terutama untuk tokoh ksatria dan wanodya (wanita), bahagian pinggang atau perutnya teramat kecil, langsing, ramping. Sementara panjang tangan juga dibuat sedemikian rupa sehingga nyaris sampai di telapak kaki. (Soekatno, 1992:28-29). Pola lain, misalnya mata, ada yang disebut liyepan; kedelen; dondongan; thelengan, berikut maknanya. Demikian pula dengan bentuk hidung, bentuk mulut warna wajah/muka dan lainlain. Begitu pula dengan busana dan asesorisnya misalnya
8

Bayang-Bayang Wayang

Jamang/Sumping (sada saeler, surengpati, gadjah ngoling, oncenoncen dan lain-lain), Selendang/Sampur: Kunca; Binggel, gelang kaki (calumpringan, kana); Kelat Bahu (calumpringan, nagamangsa); gelang (candrakirana, calumpringan). Sementara tentang cara pengenaan kain dodotan dikenal antara lain katongan (raja); rampekan (prajurit); kera; bokongan, putri; poleng; poleng bintul; punakawan dan lain-lain. Barang tentu berikut motif batik yang lazim dikenakan, seperti parangkusuma, tluntum, parang rusak, lereng, kawung (punakawan) poleng (Hanoman, Bima) dan lain-lain. Jenis-jenis motif batik tradisional yang sudah menjadi konvensi bagi peraga-peraga wayang tertentu. Sampai sekarang, seseorang yang berani mengenakan kain merong kampuh jinggo, kain berwarna merah, bermakna menantang raja atau memberontak. Di bagian kepala ada pula pola gelung (supiturang, wenangkara mangkara keling, gembelan); makutha (mahkota, kroon, crown, tiara); kethu (dewa, pendeta, tepak, udheng) dan jangkangan (surengpati, oncen-oncen, praban) (Soekatno, 1992:57-75). Dari uraian tersebut jelas bahwa pada hakekatnya busana yang di-tatah-kan dan di-sungging-kan pada wayang kulit berdasar pada busana yang dikenakan pada wayang orang. Sebagian besar watak manusia dapat pula digambarkan melalui wujud raut muka, posisi bentuk serta warnanya. Ada pula yang digambarkan melalui posisi ukuran maupun bentuk tubuhnya. Wujud raut muka yang mengekspresikan watak, terdapat pada bentuk-bentuk mata, hidung, mulut, warna roman muka, begitu pula pada posisi sikap wajah, yaitu luruh, longok dan langaknya. Sikap muka yang merunduk (luruh), melihat ke depan (longok) dan agak menengadah (langak), menggambarkan watak yang berbeda di antara satu dengan yang lain. Begitu pula wajah yang berwarna hitam, merah, kuning emas (prada) dan biru pada raut mukanya. Dengan demikian semakin disadari perlunya pengenalan wayang kulit pada gambarnya, tatahannya, dan penyunggingannya. Apalagi pada episode kehidupan suatu peraga wayang tertentu dikenali pula apa yang disebut wanda. Wanda adalah bentuk wayang pada posisi tertentu. Jagalabilawa (nama khas dari Werkudara masa mengabdi secara tersamar di kraton Wiratha) atau Bima misalnya, mempunyai beberapa bentuk yang disebut wanda, yaitu Wanda Mimis (peluru), Wanda Lindu Panon dan Wanda Lindu. Dibandingkan dengan bentuk Werkudara, mempunyai perbedaan dalam hal gelung (ikat kepala), warna wajah
9

Bab 1. Pendahuluan

dan warna tubuh. Dengan demikian (ge)-gambar-(an) wayang yang ekspressif dekoratif, tatah-(an) dan sungging- (an) yang ornamental perlu diingat dan dikenali, apalagi berkenaan dengan perkembangan teknologi modern yang harus dikaitkan dengan konsep (ke)-senirupa-(an) masa kini. Gamelan. Tidak dari awal pertunjukan wayang diiringi gamelan. Karena pada masa itu gamelan memang belum ada. Artinya, pertunjukan wayang telah ada sebelum adanya gamelan. Atau, wayang dan gamelan merupakan pertunjukan sendiri-sendiri yang terpisah antara satu dengan yang lain. Konser gamelan lepas sebagai pengiring wayang memang tampil dalam berbagai bentuk. Ada yang disebut cokekan, siteran, gadon, selain ada pula konser lengkap yang disebut klenengan. Belakangan ada pula gamelan Sekaten. Dipertunjukkan di Mesjid Agung Surakarta dan Jogyakarta. Unit gamelan Sekaten milik kraton Surakarta antara lain bernama Ki Guntur Madu. Ia menggunakan dan mempunyai beberapa instrumen khusus. Antara lain Bonang Panembung, bonang berukuran lebih besar dari pada Bonang Barung. Ukuran serta jumlah dari pada balungan, seperti Demung, Saron, lebih besar dan lebih banyak. Teknis membunyikan juga lebih keras (soran) dengan gending-gending khusus, antara lain Rambu dan Rangkung. Tentunya dengan pemukul (tabuh) yang lebih besar pula. Kendang, sebagai pamurba wirama, dihilangkan diganti dengan bedug, sehingga terkesan lebih Islami. Konon gamelan ini ditambahkan serta dipindahkan pertunjukannya ke mesjid oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga (lihat lampiran). Dua wali di antara sembilan wali yang dikenali sebagai Wali Sanga, penyebar agama Islam di Jawa. Pertunjukan wayang mulai dikenal pada zaman Prabu Jayabaya yang bertahta di Mamonang, tahun 930. Kemudian berkembang pada zaman Erlangga di Kediri. Menurut Hazeu, sebagaimana dikutip oleh Amir Mertosedono, dalam bukunya Sejarah Wayang, Asal-usul, Jenis dan Cirinya, wayang pada zaman tersebut tidak mengambil cerita dari epos Ramayana dan Mahabharata dari India itu, akan tetapi cerita Panji-Sekartaji. Cerita yang sampai sekarang masih berlaku dalam pertunjukan wayang madya atau wayang gedog. Bentuk wayang itu sendiri sangat berbeda dengan yang terdapat di India, misalnya pada pertunjukan Kathakali. Diakui bahwa wayang merupakan
10

Bayang-Bayang Wayang

pertunjukan yang menampilkan penggambaran tentang sifat dan karakter manusia. Oleh karenanya, pertunjukan wayang diyakini sebagai hasil kreasi atau kebudayaan asli orang Jawa (Indonesia). Ketika kemudian epos Ramayana dan Mahabharata masuk, dalam beberapa hal ia diakomodasikan dan di adopsi dan diadaptasi dalam wayang Indonesia. Untuk menterjemahkan sifat dan karakter manusia tersebut. Sehingga sesungguhnya, nonton wayang ibarat berkaca (kaca benggala), sekaligus menyadari akan perilaku yang baik, maupun yang buruk. Juga tentang konflik-konflik yang terjadi, berikut alasan-alasan yang terkadang memang terkesan dilematis (Amir, 1986: 6-7). Lihat Serat Tripama yang menampilkan posisi dilematis dari pada Adipati Karna, dari Ngawangga, patih Suwandageni dari Maespati dan Kumbakarna dari Alengkadiraja. Sebenarnya juga: Gunawan Wibisana. Terserah kepada penonton, perilaku peraga yang mana yang akan menjadi panduan hidup dan idola-nya. Keasyikan nonton wayang dalam konteks gambaran sedemikian mungkin seperti penonton fanatik sinetron masa kini. Yang tetap diikuti oleh penonton setianya meskipun bersambung-sambung hingga lebih dari seratus episode. Saat itu pertunjukan wayang sudah menggunakan alat tetabuhan yang dinamakan Thudung (sejenis seruling), saron dan kemanak. Kemanak terbuat dari brons dalam bentuk seperti pisang dan berlubang, dibawah terdapat pegangan. Dahulu alat ini dipakai untuk mengiringi lagu-lagu. Kemanak masih dipakai sampai sekarang sejak masa Bedaya Ketawang di kraton Surakarta (Amir, 1986: 8). Iringan kemanak ini tetap digunakan pada iringan semua bentuk beksan bedayan, serta kempul isi pada gending-gending Ketawang dengan gerongan khas. Bahkan ketika gamelan sudah digunakan untuk mengiringi beksan bedayan tersebut. Ketika gamelan sudah digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit, maka yang digunakan adalah Laras Slendro. Laras Slendro dianggap lebih sesuai dengan kualitas dan warna vokal dalang. Terutama dalam hal sulukan, ada-ada, pathetan serta kombangan. Oleh karena gendhing-gendhing baku untuk wayang, sampai sekarang tetap menggunakan laras Slendro, seperti talu atau patalon, gendhing-gendhing jejeran sesuai dengan pathetnya, seperti Gambir Sawit (Pathet Sanga) dan Kutut Manggung (Pathet Manyura) maka disebutkan pula bahwa penggunaan Laras Pelog adalah pinjaman. Laras Pelog pada umumnya dipakai sebagai gendhing-gendhing dolanan, gecul yang
11

Bab 1. Pendahuluan

hadir pada adegan Limbukan (Cangik dan Limbuk) serta Gara-gara (prepat punakawan). Belakangan juga dalam adegan Kusumayudha (Perang Kembang), dengan iringan Ayak-ayakan Kemudha Laras Pelog Pathet Enem. Kelir. Wayang Golek dan Wayang Klithik tidak menggunakan kelir. Kelir adalah layar lebar yang digunakan pada pertunjukan wayang kulit. Pada rumah Joglo, kelir di pasang pada bagian pringgitan. Bagian ini merupakan bagian peralihan dari pada ranah publik, pendopo dengan ranah privat, ndalem atau nggandok. Oleh karena itu penonton wayang kulit yang tergolong keluarga, pada umumnya nonton di bagian dalam ndalem, yang sering dianggep nonton mburi kelir. Nonton di belakang kelir ini memang benar-benar wewayangan, atau bayang-bayang. Lihat buku Aspek Kebudayaan Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik (Subanindyo, 2010). Dari sinilah pengaruh blencong yang seolah-olah menghidupkan wayang akan dapat terlihat (lihat: Blencong). Penonton juga tidak terganggu oleh adanya gamelan. Bagi penonton publik, mereka menonton didepan kelir, sehingga selain dapat melihat keindahan dari pada peraga wayang itu sendiri, oleh karena tatah dan sungging-nya, berikut simpingannya, juga dapat menyaksikan deretan pesinden atau waranggana manakala ada. Sayang, menyaksikan dari sisi ini selain tak dapat menyaksikan pengaruh blencong, dimana wayang seolaholah menjadi hidup, juga terkadang terhalang oleh gamelan, terutama gayor untuk kempul dan gong. Debog (simpingan). Untuk menancapkan wayang, baik yang dimainkan maupun yang yang dipamerkan (display), digunakan debog, yaitu batang pisang. Tak heran, sebagaimana pernah diceritakan oleh Pandam Guritno, ketika melanglang buana menampilkan wayang kulit, salah satu kesulitan utama pertunjukan di Eropa dan Amerika adalah ketiadaan batang pisang (debog) tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan itu, di Eropa atau Amerika, peran debog sering diganti dengan karet busa. Barang tentu untuk menancapkan wayang yang di-display juga ada aturan-aturan tertentu. Mana wayang yang harus ada disebelah kanan ki dalang, mana pula yang harus berada disebelah kirinya. Tugas menyimping ini sesungguhnya tidak terbatas hanya memasang wayang yang harus di-display, akan tetapi juga mempersiapkan
12

Bayang-Bayang Wayang

segala sesuatu keperluan dalang. Misalnya menyediakan wayangwayang yang akan digunakan (play) sesuai urutan adegannya, menempatkan kotak wayang berikut keprak dan kepyaknya, menyediakan cempala, memasang dan menyalakan maupun mengatur sumbu blencong, lampu minyak yang khas digunakan dalam pertunjukan wayang kulit, dan lain-lain. Sekali-sekali juga membantu pelayanan konsumsi (makan minum, rokok) untuk dalang. Untuk penyiapan ini terkadang dibantu oleh anak-anak muda sebagai salah satu media pendidikan untuk mengenali dan akhirnya mencintai wayang. Blencong. Blencong adalah lampu minyak (minyak kelapa lenga klentik) yang khusus digunakan dalam pertunjukan wayang kulit. Design-nya juga khusus, dengan cucuk (paruh) dimana diujungnya akan menyala api sepanjang malam. Oleh karenanya seorang penyimping harus mewaspadai pula keadaan sumbu blencong tersebut manakala meredup, atau bahkan mati sama sekali.Tak boleh pula api itu berkobar terlampau besar. Karena akan mobat-mabit. Kalaupun lampu penerangan untuk dalang pada masa sekarang sudah menggunakan listrik, sesungguhnya ada fungsi dasar yang hilang atau dihilangkan dari penggunaan blencong tersebut. Oleh karena blencong adalah lampu minyak, maka apinya akan bergoyang manakala ada gerakan-gerakan wayang, lebih-lebih waktu perang, yang digerakkan oleh ki dalang. Ada kesan bahwa ayunan api (kumlebeting agni) dari blencong itu seolah-olah memberikan nafas dan atau menghidupkan wayang itu sendiri. Hal yang tak terjadi manakala penerangan menggunakan listrik atau tromak (petromax). Saat ini blencong sudah jarang digunakan. Dianggap kurang praktis dan merepotkan.

Kotak, Keprak, Kepyak Pemain-pemain yang terdiri dari para pemimpin berbagai negeri, mulai dari presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota serta para anggota DPR dan DPD maupun tokoh-tokoh politik lainnya, dalam tingkatan daerah masing-masing, pada akhirnya akan kembali masuk kotak. Baik oleh karena habis masa jabatannya, di recall, atau karena kejahatan-kejahatan korupsi, termasuk skandal perselingkuhan yang mungkin dilakukannya.
13

Bab 1. Pendahuluan

Ketika ia masih berada di pentas jabatannya, tentu ia menari sesuai dengan irama gendang dan atau gendhingnya. Begitu usai, ia akan diturunkan oleh dalang-nya. Kecuali kalau ia masih harus tampil dalam panggung berikutnya, yaitu panggung pengadilan. Sama dengan wayang. Ia akan tampil dan ditampilkan oleh dalangnya. Ketika perannya selesai, ia akan segera masuk kotak. Tempat untuk menyimpan wayang.. Tentu saja untuk para pemain di alam nyata, tidak bakal diangkat kembali karena keterbatasan usia manusia. Ia akan dibuka kembali pada waktunya, mungkin dikeluarkan lagi, apabila lakon memerlukannya. Kotak berukuran 1,5 meter kali 2,5 meter ini akan merupakan peralatan dalang selain sebagaimana sudah diutarakan merupakan tempat menyimpan wayang, juga sebagai keprak, sekaligus tempat menggantungkan kepyak. Dari kotak tempat menyimpan wayang ini juga akan dikeluarkan wayang, baik yang akan ditampilkan maupun yang akan di-simping. Di-simping artinya dijajar, di-display di kanan dan kiri layar (kelir) yang ditancapkan di debog (batang pisang). Kotak akan ditaruh dekat dalang, di sebelah kiri, dan ditentang yang dekat dalang ditempatkan kepyak. Sedang kepraknya justru bagian dari kotak yang dipukul dengan cempala. Keprak adalah suara dhodhogan sebagai tanda, disebut sasmita, dengan jenis tertentu diwujudkan pemukulan pada kotak dengan menggunakan cempala. Sementara pada kepyak, berupa tiga atau empat lempengan logam (kuningan/gangsa atau besi) yang digantungkan pada kotak, juga dipukul dengan cempala, dalam bentuk tanda tertentu, juga sebagai sasmita atau tanda-tanda untuk selain mengatur perubahan adegan merubah, mempercepat, memperlambat, sirep, menghentikan atau mengganti lagu (gendhing). Terdengar nada yang berbeda antara kepyak wayang kulit Jogya dan gaya Surakarta.

Cempala Piranti ini merupakan senjata bagi dalang untuk memberikan segala perintah, baik kepada wiraniyaga, wiraswara maupun waranggana. Bentuknya sangat artistik, bagaikan meru. Ia bisa dipukulkan pada kotak, sebagai keprak, bisa pula ke kepyak, tiga/empat lempengan logam yang digantungkan pada kotak wayang. Pada saat ke dua tangan dalang sedang memegang wayang
14

Bayang-Bayang Wayang

dan ini yang unik maka tugas untuk membunyikan keprak maupun kepyak, dengan tetap menggunakan cempala, dilakukan oleh kaki kanan ki dalang. Cempala dengan desain sedemikian rupa itu akan dijepit di antara ibu jari dan jari telunjuk berikutnya. Menggunakan cempala memerlukan latihan untuk memperoleh tingkatan ketrampilan tertentu. Memukul kotak dengan cempala, Ki Dalang dapat memilih berbagai kemungkinan pembangun suasana dengan dhodhogan, seperti ada-ada, pathetan, kombangan. Dapat pula sebagai perintah kepada karawitan untuk mengawali, merubah, sirep, gesang atau menghentikan gamelan. Juga dapat digunakan untuk memberikan ilustrasi adegan, seperti suara kaki kuda, suara peperangan dan lain-lain. Artinya, ketika ke dua belah tangan ki dalang sedang memainkan wayang, maka keprak atau kepyak dapat juga berbunyi. Suatu keprigelan yang jarang dapat dilihat oleh para penonton wayang, karena biasanya ia sedang asyik mengikuti adegan yang ditampilkan di kelir (layar). Padahal untuk mencapai tingkat keprigelan tersebut, seorang dalang harus melakukan latihan-latihan yang intensif. Betapa tidak, keempat anggota badan, tangan dan kaki harus terus bergerak, sementara pikiran dan pandangan terfokus pada apa yang dilakukannya di layar / kelir.

PENDIDIKAN PEDALANGAN Meski sementara seniman dan budayawan merasa tidak terlalu khawatir dengan minat generasi muda terhadap wayang, terus terang, saya justru merasa miris, khawatir. Penonton generasi muda terhadap pertunjukan wayang, baik yang menontonnya secara fisik di tempat-tempat pertunjukan, maupun sekedar nonton di televisi, merosot drastis, berbanding terbalik dengan perkembangan dan minat terhadap wayang dan pewayangan di luar negeri. Manakala ada generasi muda kita yang memaksakan diri nonton wayang melalui televisi, maka lebih banyak diantaranya ditonton televisi dari pada nonton televisi. Karena ketiduran. Perkembangan minat terhadap wayang, sangat besar terutama di Amerika, termasuk Suriname, kemudian Belanda dan juga Jepang. Apalagi setelah wayang, kemudian juga batik dan keris, dinyatakan sebagai hasil karya budaya luar biasa dari manusia Indonesia. Profesor Mantle Hood, adalah seorang ethnomusikolog yang amat
15

Bab 1. Pendahuluan

mengenal seni karawitan. Lihat bukunya : Gamelan Orchestra in the World of Music. Sementara Mc Hoffman adalah salah seorang dalang berkebangsaan Amerika. Kaoru Hata dan Hiromi Kano pula adalah dalang dan pesinden berkebangsaan Jepang. Masih ada dalang-dalang, pesinden, penabuh gamelan serta pemerhati gamelan dan wayang dari Perancis, Belanda dan lain-lain. Kalau pada tahun limapuluhan, dalam acara Dies Natalis Universitas Gadjah Mada Jogyakarta (19 Desember 1954-1959) dipentaskan wayang kulit (5 jam) dengan pelaku para sarjana alumni perguruan tinggi tersebut, antara lain dalang: Letkol Ir. Sri Mulyono; pengendang Kapten Zeni Ir. Sudirgo, pengrebab, Sita Laksmi, SH (FH UGM, Ethnomusicologi, USA), penggender penerus, Sudiyanto, B.Sc; pembonang, Ir Suhadi; Kamanto B.Sc, bonang penerus; Ir. Suprapta, penabuh gong dan kempul; Drs. Amir Rokhiyatmo (kemudian menjadi tokoh SENAWANGI), penabuh Demung dan lain-lain (Sri Mulyono, 1975:104), tentulah hal yang biasa. Karena GAMA ada di Jogya sebagai salah satu sentral budaya Jawa. Namun ternyata dalam salah satu dies natalisnya pula, Universitas Sumatera Utara (USU), juga pernah menampilkan wayang kulit semalam suntuk dengan tiga dalang bergantian, yaitu Kaoru Hata (konjen Jepang di Medan); Kombes Pol. Suyitno Landung (Poldasu) dan Ki Djatiutomo, MBA (PTP III). Sedangkan Festival Wayang Kulit Provinsi Sumatera Utara, dengan peserta lebih dari 100 orang, diselenggarakan di Medan, tahun 1969 serta beberapa tahun berikutnya. Menyambut peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI ke 50, 17 Agustus 1995, PEPADI Sumut menyelenggarakan serangkaian kegiatan antara lain pementasan Ki Manteb Sudarsono (auditorium IKIP Medan), seminar tentang keris (Haryono Guritno), seminar filsafat pewayangan (Damardjati Supadjar) dan lain-lain. Sementara wayang (wong) pejabat, juga beberapa kali pernah ditampilkan di Medan, dengan tokoh-tokohnya antara lain Brigjen Harry Suwondo, SH (Rektor USU); drs. Suryadi (DPRRI); Kolonel Sukardi (TNI-AU); Mayor Sugini (Pomdam II/BB); Sugeng Suharsono; Sugeng Iskumoro (Bank Niaga); Sugeng Karim Sastrosiswoyo (Kejaksaan Tinggi); Djatiutomo (PTP III); Subanindyo Hadiluwih, SH (dosen UISU) dan lain-lain. Beberapa guru dan dosen dikirim dari Indonesia/Jawa ke luar negeri untuk mengajar disana. Kalau saya sebutkan beberapa orang diantaranya, niscaya sesungguhnya masih jauh lebih banyak lagi. Misalnya
16

Bayang-Bayang Wayang

Marsam dan Urip Sri Maeni, berpuluh tahun mengajar di California University Amerika Serikat. Belakangan hadir pula disana RT Wasitodipuro, Harjito, Ben Suharto, Kardjo dan lain-lain. Sementara Pudjiyono dan isteri, seorang penari Bali, mengajar di Monash University. Saya sendiri sempat mengajar di Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia, setelah universitas tersebut membeli gamelan Jawa. Beberapa sarjana kita meraih gelar Doctor (Ph.D) tidak dari salah satu universitas dalam negeri, akan tetapi justru dari luar negeri. Termasuk I Made Bandem (Amerika), Sal Murgiyanto (Amerika), Sutarno, RM Sudarsono (Amerika), Sri Hastanto (Inggris), Rahayu Supanggah (Perancis), dan lain-lain. Manakala minat generasi muda Indonesia pupus sudah, maka kita harus belajar wayang, pewayangan, termasuk karawitan Indonesia, di luar negeri. Di Indonesia sendiri lembaga pendidikan di bidang kesenian memang lumayan. Sejak tingkatan SMA (konservatori), misalnya Konservatori Karawitan di Sala, Jogya (tari), Denpasar, Bandung dan Padang Panjang. Kemudian Sekolah Musik di Jogya dan Medan. Sementara di tingkatan pendidikan tinggi, dimulai dari Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) dan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) yang kemudian berubah menjadi Institute Seni Indonesia (ISI) dan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI). Disamping Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang mangkal di Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM). Sayang, Taman Pusat Kesenian dan Kebudayaan (Tapiandaya) di Medan yang pembangunannya berkiblat ke TIM Jakarta, terlanjur almarhum sebelum sempat berkibar. Rangkaian gedung kesenian yang megah, meski sebelumnya dikenal sebagai tempat jin membuang anak itu kemudian dihancurkan secara sistemik menjadi ajang penataran P-4 dan kini ajang Pekan Raya Sumatera Utara (PRSU) yang sedikit banyak tak ada hubungannya dengan proses kreativitas seni, selain berjualan barang-barang hasil seni dengan mutu yang cukup rendah. Selanjutnya beberapa IKIP, yang mempunyai Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) dengan Jurusan Seni Drama, Tari dan Musik (Sendratasik). Berikutnya adalah Fakultas Sastra dan Kesenian. Seperti Jurusan Ethnomusikologi Fakultas Sastra USU dan Fakultas Kesenian Nommensen. Bagaimanapun lembagalembaga seperti Taman Budaya merupakan lembaga pendidikan non-formal di bidang kesenian. Begitu juga dengan Lembaga Pusat Kesenian Jawa Tengah (LPKJ) era Soedjono Humardhani. Lalu Yayasan Roro Jonggrang yang pusat kegiatannya di nDalem
17

Bab 1. Pendahuluan

Suryohamijayan dan Puro Pakualaman, yang menampilkan pentas Ramayana secara kolosal di Panggung Terbuka (Open Theatre) Prambanan, era Letjen Gusti Pangeran Haryo Djatikusumo (1961 sampai sekarang). Kegiatan ini merangsang beberapa daerah lain untuk mendirikan dan membuka Panggung Terbuka. Salah satu diantaranya Panggung Terbuka Wilatikta di Pandaan, Jawa Timur. Kegiatan ini juga melahirkan bentuk institusi kesenian ballet, yang kemudian mendapatkan namanya yang khas, sendratari (seni drama dan tari). Bentuk tari ini menghilangkan ontowecana (dialog) sekaligus menghilangkan fungsi dalang. Dialog diterjemahkan dalam pola gerak, sedang fungsi dalang diambil alih oleh kendang sebagai pamurba wirama (penguasa tunggal irama). Harus diakui lembaga-lembaga pendidikan formal, informal maupun non-formal ini dinilai berhasil mengangkat kemampuan kreativitas seniman dengan latar belakang akademis (terprogram) dari sisi kualitatif, meskipun belum cukup signifikan secara kuantitatif. Apalagi, mereka yang masuk ke lembaga pendidikan tersebut ternyata banyak yang berasal dari lingkungan seniman tradisional. Dari keluarga dalang, penari, pesinden, pengrawit dan lain-lain. Artinya, ada praktisi yang menuntut bobot akademis, ada pula akademisi yang menggunakan laboratoriumnya berupa kegiatan kesenian masyarakat, sehingga ia berusaha ngamen, dengan istilah PY (payon) di berbagai acara murub (ketemune neng tarub). Pekerjaan dalang didasarkan atas tradisi yang berabad-abad tuanya dan diturunkan selalu secara lisan, umumnya dari ayah kepada anak laki-laki. Meskipun belakangan juga tampil dalang wanita, namun tidak pernah populer sebagaimana dalang pria. Disamping pengetahuan dan ketrampilan yang harus dikuasai oleh mereka, misalnya tentang cerita, gending yang dimainkan oleh gamelan pengiring, suluk dan teknik pergelaran, juga ada sekian banyak pengetahuan gaib yang terlibat di dalamnya. Pengetahuan ini mengenai doa-doa dan mantra-mantra khusus, dan tata cara tertentu dalam hal tingkah laku yang memberikan kekuatan bagi dalang menghadapi kejadian-kejadian penting dalam kehidupan masyarakat, misalnya musim kering dan hama yang mengancam panen, malang-mujur nasib seseorang dan juga keberhasilan sendiri sebagai seorang dalang. Pengetahuan gaib demikian semata-mata hanya boleh dikuasai oleh mereka yang sudah diberkati, dan juga
18

Bayang-Bayang Wayang

telah menempuh beberapa bentuk pengajaran tertentu sebelumnya. Pengetahuan yang keduniawian dan yang gaib ini berpadu, dan membentuk apa yang dinamakan pedhalangan, yaitu ilmu atau seni dalang. Di dalam masyarakat Jawa tradisional setiap kedudukan dan pekerjaan seseorang sudah ditentukan oleh kaidahkaidah dan nilai-nilai yang berakar di dalam dan bisa diterangkan dari masa lalu, telah disuratkan untuk selama-lamanya, sehingga oleh karenanya dipandang sebagai tertib yang mati tidak bisa ditawar-tawar. Kekurangan pengertian tentang kedudukan seseorang, dan lalai akan kewajibannya, orang percaya akan berdampak merusakkan tertib masyarakat dan alam. Oleh karena itu, menjadi penting agar tingkah laku masyarakat dibimbing dan diarahkan sebagaimana mestinya, untuk menghindari bencana itu (Victoria, 1987:6-7). Melengkapi pengetahuan-pengetahuan sedemikian, biasanya seorang dalang juga memahami beberapa sajen yang harus disediakan, seperti ayam hidup, ingkung, pisang, jajan pasar dan lain-lain. Berikut adalah catatan Victoria M. Clara van Goenendael tentang awal pendidikan formal untuk para dalang. Sekolah dalang pertama, yaitu Pasinaon Dhalang ing Surakarta atau Sekolah Dalang Surakarta yang dalam kependekannya disebut Padhasuka, dibuka pada tahun 1923 atas perintah Susuhunan Paku Buwana X. Sekolah ini bertempat di museum Radya Pustaka, yang terletak di taman dan pusat hiburan Sriwedari, oleh karenanya sekolah ini juga dikenal dengan salah satu dari ke dua nama itu. Pada tahun 1925 contoh yang diberikan oleh Surakarta ini ditiru oleh Yogya, ketika sekolah dalang Habirandha dibuka atas perintah Sultan Hamengku Buwana VIII (1912-1939), dan dengan di dorong oleh Java Instituut. Pada tahun 1931, menambah yang sudah ada itu, Mangku Nagara VII (1916-1944) membuka pula sekolahnya sendiri, yaitu Pasinaon Dhalang ing MangkuNagaran, dalam bentuknya yang lain kelak terkenal dengan singkatannya PDMN. Salah seorang tokohnya adalah Ki Ngabehi Wignyasutarna. Nama PDMN pertama kali digunakan secara resmi di dalam rapat pendirian yayasan untuk Pendidikan Pedalangan di Mangkunegaran (Pasinaon Pedhalangan ing Mangkunegaran, PDMN) yang diadakan di pendapa agung Mangkunegaran pada tanggal 24 Nopember 1949. Kursus dimulai dalam bulan Januari 1950 (Serat Koenjoek, 1950; Victoria, 1987:53-54). Catatan Sri Mulyono menyebutkan beberapa kursus pedalangan yang berkembang antara lain: a. Kursus Dalang HBS (Himpunan
19

Bab 1. Pendahuluan

Budaya Surakarta); b. Sekolah dalang Habiranda, Jogyakarta; c. Kursus/Sekolah Dalang Kasunanan di Museum Radya Pustaka, Sala; d. PDM, Pasinaon Dalang Mangkunegaran di Surakarta (Ki Wignyasutarna); e. PDL, Pasinaon Dalang Lebda Jiwa di Kartasura (Ki Nyatatjarita); f. KPKK, Kursus Pedalangan Kesenian Klaten (Ki Pujasumarta); g. KDW, Kursus Dalang Wonogiri (Ki Suratno); h. KDM, Kursus Dalang Malang; i. KDS, Kursus Dalang Semarang; j. KDM, Kursus Dalang Mardiguna di Jakarta; k. KDS, Kursus Dalang Sekti di Jakarta; l. HSB, Himpunan Siswa Budaya, di Surakarta dibawah asuhan Ki Susilatmaja, Ki Pringgasatata, Ki Sri Handayakusuma dan drs. SD Humardani; Marsudiwirama, Jogya, dibawah asuhan R. Ng. Nayawirangka / Atmacendana dan lain-lain (Sri Mulyono, 1975:148). Alasan tentang dibukanya sekolah-sekolah dalang di istana masing-masing itu bisa dikemukakan : 1. ketidak puasan terhadap mutu pertunjukan kebanyakan dalang sebagai akibat kurangnya pendidikan, dan 2. ketidak mampuan dalang mengikuti perkembangan masyarakat di dalam pergelaran mereka, sehingga daya tariknya terhadap kaum intelektual Jawa menurun. Kurikulum sekolah-sekolah ini ditekankan pada latihan praktek, dengan setiap langkah diterangkan dalam pelajaran-pelajaran teori secara tersendiri. Juga segi-segi perbahasan dan sastra dalam pergelaran mendapat banyak perhatian, misalnya tentang ketepatan pengucapan suluk yang dilantunkan dalang, dan arti kata-kata di dalamnya; penjelasan tentang nama-nama tempat; hubungan silsilah yang benar di dalam tokoh-tokoh wayang; urutan kronologis yang dianggap benar di antara setiap lakon; dan hubungan wiracarita-wiracarita India, Ramayana dan Mahabharata dengan lakon-lakon wayang Jawa. Akibat miskinnya pendidikan di kalangan kebanyakan dalang rakyat itu, dan sebagai akibatnya juga merekapun menjadi tidak mengenal bahasa puisi kuna (Kawi), yang justru dari sinilah bahasa dalang (basa pedhalangan) meminjam sangat banyak unsurnya, maka kemudian terjadilah perusakan secara besar-besaran terhadap ungkapan-ungkapan yang digunakan oleh dalang, demikian juga dengan segala macam penjelasan yang aneh-aneh mengenai katakata dan kalimat-kalimat yang dipahaminya secara keliru. Kekeliruan-kekeliruan pengertian seperti itulah yang dilempangkan di sekolah-sekolah dalang tersebut (Victoria, 1987:56-57). Hal yang teristimewa penting bagi kebanyakan dalang rakyat ini ialah bahwa di sekolah itulah mereka untuk pertama kali berhadapan
20

Bayang-Bayang Wayang

dengan tradisi sastra tertulis di kraton-kraton. Dengan demikian, mereka merasa dicambuk untuk belajar sendiri dengan jalan mengikuti jam-jam pelajaran. Hasrat ini dimudahkan oleh adanya penerbitan sejumlah buku pada saat itu, yang biasa digunakan sebagai bahan pelajaran oleh para dalang, khususnya berkat bantuan Commissie voor de Volkslectuur, Balai Pustaka, terlebihlebih oleh karena buku-buku tersebut dapat dipinjam atau dibeli dengan harga yang sangat murah. Sejak saat itu naskah-naskah suluk diterbitkan, seringkali juga dilengkapi dengan notasi karawitannya. (Belakangan juga diterbitkan oleh penerbit Tan Khoen Swie, Kediri). Disamping silsilah-silsilah dan kisah-kisah tentang para tokoh pahlawan wayang, terbit juga sejumlah jalan cerita wayang (pakem balungan) yang sedikit banyak terinci. Bahan cerita ini umumnya dipinjam dari atau setidak-tidaknya diilhami oleh, Pustaka Raja (buku tentang raja-raja) karangan R.Ng. Ranggawarsita (1802-1874). Dia seorang pujangga kraton Sala, tetapi menjalin hubungan erat dengan Mangku Nagara IV (1853-1881), seorang raja penyair yang antara lain dipandang sebagai tokoh pencipta suatu bentuk wayang baru, wayang madya. Pustaka Raja adalah buku kumpulan cerita-cerita rakyat, seringkali dalam bentuk jalan cerita wayang, yang digubah dan disusun oleh penulisnya begitu rupa, sehingga menanamkan kesan adanya urutan kronologis tertentu, diperkuat pula oleh pembubuhan pertanggalan yang sama sekali khayali belaka. Dengan demikian Pustaka Raja seolah-olah tampil sebagai karya sejarah mengenai riwayat nenek moyang dan raja-raja Jawa, dan memang demikianlah sesungguhnya arti buku ini bagi kebanyakan orang Jawa, bukan sekedar bagi dalang-dalang saja. Bagi mereka, Pustaka Raja, khususnya bagian pertama yaitu Pustaka Raja Purwa, menjadi kitab babon (pakem) bagi tradisi pedalangan Surakarta. Diilhami oleh kitab ini lakon-lakon wayang berkembang menjadi model penyusunan cerita-cerita baru (carangan). Maka, dalang Surakarta pun menyatakan diri mengikuti tradisi Surakarta, oleh karena mereka menggubah lakon-lakonnya dengan bersumber kepada Pustaka Raja (Victoria, 1987:9-11). Babon (pakem) yang lain antara lain Pakem Sastra Miruda ditulis oleh Kusumadilaga dan Murwakala. Pakem belakangan ini menjadi rujukan untuk lakon dalam upacara ruwatan. Berbeda dengan rekan-rekan mereka di Sala, dalang-dalang di Yogyakarta tidak mempunyai pakem yang bisa dipakai sebagai pedoman. Dalam hal ini yang dimaksud ialah
21

Bab 1. Pendahuluan

semacam kitab babon yang sebanding dengan Pustaka Raja, yang oleh dalang dipandang sebagai buku pegangan hukum (semacam pakem istimewa). Purwakanda (cerita tentang asal muasal) yang disusun selama pemerintahan Hamengku Buwana V (1822-1855), dan seperti halnya Pustaka Raja yang merupakan kumpulan ceritacerita purbakala dan wiracarita dari Jawa masa lalu, barangkali bisa menjadi kitab babon yang sangat cocok untuk dalang-dalang Yogyakarta, tetapi hampir tidak diketahui sama sekali di luar kalangan kraton. Masa belajar di Habiranda adalah tiga tahun. Pelajaran diatur sedemikian rupa sehingga setiap tahun diajarkan satu babak yang dirancang mengikuti cara yang ditetapkan dalam iringan gamelan (pathet), yaitu Pathet nem untuk babak pertama, pathet sanga untuk babak ke dua, dan pathet manyura untuk babak ke tiga. Mncermati nama-nama Pathet ini sudah menunjukkan bahwa dasar dari pada gamelan pada masa awal perkembangan wayang menggunakan gamelan Slendro. Karena pada gamelan dengan laras Pelog, maka pathetannya adalah Pelog Lima, Nem, dan Pelog Barang. Dalam setiap tahun setiap babak itu diterangkan secara terinci. Pada akhir tahun ke tiga pendidikannya, siswa baru diduga mampu mempergelarkan satu pertunjukan penuh. Pelajaran tidak berdasarkan satu naskah baku tertentu, tetapi dengan menggunakan petilan-petilan dari berbagai macam lakon. Diharapkan pada akhir tahun ke tiga, siswa sudah akan pandai menggubah lakon sendiri, dan juga menyusun sekaligus percakapannya (antawecana). Metode ini dikemukakan di dalam Pedhalangan Ngayogyakarta Jilid I Gegaran Pamulangan Habiranda (Pedalangan Yogyakarta Jilid I Pedoman Pendidikan Habiranda), sebuah buku pedoman yang disusun oleh sejumlah guru Habiranda bersama-sama dengan Raden Mas Mujanattistomo, dan diterbitkan oleh Yayasan Habiranda pada tahun 1977. Buku ini diterbitkan dalam edisi sangat mewah, sehingga tidak terjangkau oleh dompet sebagian besar siswa sekolah itu. Kasus yang hampir sama juga pernah terjadi dengan diterbitkannya buku tentang keris bernama Relung Pustaka, oleh Raden Tumenggung Hardjonegoro (Go Tik Swan), kala itu pimpinan Museum kraton Radya Pustaka. Oleh karena diterbitkan dalam edisi sangat mewah, dengan pewarnaan yang sangat canggih pada masa itu, maka setelah beberapa nomor, akhirnya Relung Pustaka mengalami nasib yang sama dengan Pedhalangan Ngayogyakarta, keburu bangkrut dengan lay out yang sesungguhnya memang sangat indah.
22

Anda mungkin juga menyukai