Anda di halaman 1dari 8

DEFINISI SASTRA POPULER

Istilah sastra populer di tegaskan oleh Clifford Geertz dalam artikel “kesenian
populer’ dan tradisi jawa” (Ibrahim, 1997:87) merupakan turunan dari istilah budaya massa
yang terdapat dalam kategori kebudayaan elit/adiluhung (tinggi) dan kebudayaan massa
(rendah). Hal tersebut dikenal juga sebagai high culture dan mass culture dalam
pengkategorian dan berkembang dalam masyarakat barat. Dalam kebudayaan barat memang
dibedakan oleh kesenian tinggi dan rendah. Hal tersebut juga menjadi perbedaan yang lumrah
sebagai suatu pertentangan. Dalam tulisannya Sapardi Djoko Damono menyatakan bahwa
kebudayaan massa (mass culture) merupakan istilah Inggris yang berasal dari Jerman: mass
dan culture, kata “mass” dalam istilah tersebut berpacu kepada mayoritas masyarakat Eropa
yang tak terpelajar.

Victor Neuburg (1997:12) mengatakan dalam bukunya Popular Literature A History


and Guide, pada abad 19 di Inggris terjadi perkembangan sastra populer. Dan ia
mendefinisikan sastra populer sebagai what the unsophisticated reader has choosen for
pleasure. Maka dari itu sastra populer bisa diartikan sebagai bacaan para pembaca dari
kalangan biasa untuk hiburan. Hal tersebut tidak berkaitan dengan kelas sosial, namun dari
segi taraf apresiasinya. Jadi dapat diartikan bahwa pada kalangan yang berpendidikan pun
dapat menggemari dan mengapresiasi sastra populer.

Pendefinisian sastra populer oleh ahli sastra Indonesia Umar Kayam dilihat dari
sasaran pembaca dan segi pendistribusiannya. Sastra populer (kayam,1981:82) diartikan
sebagai sastra yang ditulis untuk selera populer dan kemudian dijajakan sebagai barang
dagangan. Dalam segi pendefinisian kata, sastra populer terdiri dari kata sastra dan populer.
Kata populer sendiri dapat diartikan sebagai sesuatu yang digemari orang banyak, mudah
dipahami dan sesuai dengan kebutuhan khalayak ramai. Dan kata sastra sendiri dapat
diartikan sebagai suatu produk hasil dari gagasan, ide, dan imajinasi dari dasar pemikiran
yang berupa karya.

JENIS-JENIS SASTRA POPULER

Menurut Faruk dan Suminto A, jenis sastra tidak terbatas pada sastra lisan. Pada
mulanya sastra populer merupakan sastra lisan yang diciptakan oleh masyarakat dan tersebar
luas secara lisan di seluruh lapisan masyarakat. Namun seiring dengan perkembangannya,
setelah ditemukannya mesin cetak, sastra yang berupa sastra lisan berubah menjadi sastra
tulis yang tersebar kembali ke lingkungan masyarakat. Ditemukannya mesin cetak membuat
sastra tulis yang pada mulanya berjumlah terbatas mengalami pendistribusian yang luas.

Dalam kenyataannya sastra lisan dan sastra tulis dalam sastra populer mengalami
perkembangan secara bersama-sama sesuai dengan perkembangan zaman. Sesuai dengan
adanya perkembangan teknologi. Dari kedua jenis sastra populer tersebut maka sastra populer
memiliki genre seperti puisi, prosa, dan drama. Berikut penjelasannya:

a) Puisi
Dalam sastra populer, genre puisi termasuk kepada sastra lisan. Misalnya
berkaitan dengan lirik lagu dan puisi keduanya memiliki diksi, gaya bahasa, bunyi,
imaji, dan tipografi. Dengan rasa yang berbeda lirik lagu merupakan puisi yang dalam
cakupannya harus mampu digemari oleh masyarakat dengan ringan sebagai suatu
hiburan. Oleh karena itu, hal tersebut bersangkutan dengan definisi sastra populer
menurut para ahli sastra sebagai suatu bentuk selera populer dan kemudian dijajakan
sebagai barang dagangan. Terkait dalam keberadaannya sastra lisan seperti puisi
semula hanya beredar dari mulut ke mulut namun perkembangan teknologi dan
masyarakat industri bersamaan dengan adanya radio, tape, video, televisi, film, dan
lain-lainnya. Sastra lisan berkembang dengan disesuaikan dengan selera masyarakat.
Maka terciptalah lagu dengan lirik-lirik yang bentuknya didasari oleh sastra. Dalam
segi fungsi sebagai suatu hiburan ringan yang dapat diminati oleh segala kalangan
masyarakat.

b) Prosa
Jenis sastra populer berupa prosa merupakan hal yang paling menonjol dalam
lingkungan masyarakat. Hal tersebut didasari oleh adanya perkembangan sastra
tulisan yang marak dicetak berupa cerpen dan novel populer, ini disebabkan karena
jenis prosa sangat mudah masuk untuk diikuti masyarakat ramai sebagai suatu hiburan
berupa pengelolaan imajinasi. Jenis sastra populer berbentuk prosa sendiri memiliki
berbagai genre, dari segi pembacanya prosa dibagi menjadi prosa (cerpen/novel) anak,
remaja, dan dewasa. Hal tersebut disesuaikan ke dalam maslah, kompleksitas, plot dan
gaya bahasa yang disesuaikan dengan usia pembaca. Misalnya cerita anak dengan
segala fantasinya, cerita remaja dengan kisah percintaan dilingkungan sekolah, dan
cerita dewasa dengan segala permasalahan yang kompleks dengan gaya bahasa yang
berat. Selain dari segi usia sastra populer berupa prosa muncul dari segi persoalan
yang digambarkan, hal tersebut diklasifikasikan ke dalam empat jenis kategori yaitu
cerita misteri, thriller, drama, dan fiksi-sains
Cerita misteri merupakan suatu prosa(cerpen/novel) yang menceritakan
rangkaian plot berupa suatu teka-teki yang harus dipecahkan. Jadi bisa diartikan
bahwa dalam cerita misteri, pembaca diajak untuk memecahkan suatu teka-teki yang
diciptakan pengarang. Selain itu, cerita misteri juga sering disebut cerita detektif yang
dapat diartikan sebagai suatu upaya pengungkapan, pelacakan, atau penyingkapan
suatu hal yang masih tersembunyi. Menurut Faruk dan Suminto A. Sayuti (1998: 5-4)
unsur terpenting dalam cerita misteri/detektif yaitu orang yang melakukan pelacakan,
objek yang dilacak, faktor yang menyebabkan tersembunyinya objek yang harus
dilacak, dan yang terakhir alat dan cara diperlukan dalam pelacakan tersebut.
Cerita thriller dalam genre ini sekilas mirip dengan cerita misteri namun titik
fokus dalam cerita thriller merupakan pengungkapan dari suatu tindakan kriminal
yang terjadi. Arti kata thriller sendiri yaitu menggetarkan kata, bila disangkut pautkan
ke dalam suatu genre cerita thriller diartikan sebagai suatu cerita yang plotnya
mendebarkan. Dilihat dari karakteristiknya cerita thriller mempunyai tokoh yang
cenderung keras yang terdiri dari para jagoan, latar tempatnya berupa lokasi yang
eksotis, alur yang berpacu pada waktu, dan aksi yang menegangkan. Cerita thriller
juga memiliki berbagai ragam seperti action, crime, horor, dan sebagainya.
Cerita drama bersangkutan dengan keterlibatan rasa emosional pembaca, di
mana plot cerita drama mengajak pembaca ikut merasakan kebahagiaan atau
kesedihan tokoh dalam cerita tersebut. Cerita drama bersangkut-paut dengan
keharmonisan dan ketidakharmonisan hubungan tokoh dengan kehidupannya.
Cerita fiksi-sains merupakan cerita rekaan ilmiah yang ditulis sebagai suatu
imajinasi yang didasari oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
c) Drama
Menurut Sumarjo (1997) dalam bukunya perkembangan teater dan Drama
Indonesia, sudah merunut sejarah teater dari akar kemunculannya di zaman mesolitik
dan neolitik, masa pengaruh kebudayaan India-klasik, masa pengaruh agama Islam,
masa masuknya kebudayaan barat, masa teater modern Indonesia.
Masa mesolitik dan neolitik, pada masa ini teater berupa dialog, nyanyian,
tarian, musik, gerak, dan lainnya yang kini menjadi unsur seni pertunjukan sebagai
suatu ritual kepada sang penguasa jagat raya. Hal tersebut bersangkutan dengan
perbedaan bentuk dan idiom yang digunakan masyarakat tersebut dalam ritual-religius
yang dipengaruhi oleh kehidupan yang mereka jalani. Misalnya masyarakat mesolitik
dengan kehidupan berburu sehingga gerakan dari idiom tersebut berupa penjelmaan
tingkah binatang, alam dan sejenisnya. Sedangkan masyarakat neolitikum dengan
kehidupan bertani atau berladang yang hidupnya nomaden atau berpindah-pindah
juga memiliki kebudayaan dalam bidang pertanian dan kesuburan hasil panen juga
berdampak pada unsur betina dan jantan sehingga tarian yang mereka hasilkan seperti
tarian erotik.
Masa pengaruh kebudayaan India-klasik, masuknya pengaruh kebudayaan
India ke Nusantara pada abad 1 Masehi, mempengaruhi agama dan kebudayaan dalam
sistem masyarakat. Yang pada awalnya berbentuk “republik kampung” menjadi suatu
masyarakat yang didasari monarki sehingga muncullah keraton dengan kebudayaan
yang beragam dengan dasar agama India seperti hinduisme, buddhisme, dan
tantrisme. Hal tersebut menyebabkan adanya seni istana dan seni rakyat. Seni istana
diperuntukkan untuk suatu kepentingan religius sebagai suatu pelengkap keagungan
raja. Sedangkan kesenian rakyat yang merupakan tradisi yang sudah tumbuh
sebelumnya dipertunjukkan sebagai hiburan rakyat. Dalam perkembangannya
kemudian, kesenian tersebut dapat terlihat dalam teter tradisional seperti ketoprak,
longser, kentrung, dan lain-lainya.
Masa pengaruh Islam, masuk pada abad ke 13 mendesak agama-agama Hindu
di pusat kerajaan(keraton), pada masa ini seni teater meneruskan idiom seni
Hinduisme (Sumardjo, 1997:10)
Masa pengaruh kebudayaan barat, di bawa pedagang-pedagang Eropa pada
abad ke 15 seperti Portugis, Inggris, dan Belanda masuk ke Indonesia. kedatangan
mereka tersebut mempengaruhi seni teater Indonesia. mereka membawa kebudayaan
kota, mereka datang ke Indonesia dengan tujuan ekonomi, dengan cara berdagang.
Oleh karena itu mereka terpusat di kota. Maka dari itu teater pada masa ini merupakan
sebagai suatu produk ekonomi. Fungsi dari pertunjukan tersebut tidak lain sebagai
suatu jasa hiburan (Sumardjo, 1997:11) seni pada masa ini dipertunjukkan di gedung
tertutup dan dijual sebagai barang dagangan.
Masa teater modern, hal ini bersangkutan dengan teater yang dipengaruhi oleh
bentuk barat. Ciri yang menandakan hal tersebut adalah adanya sekat antara penonton
dan pemain dalam panggung pertunjukan juga adanya naskah drama. Dalam
perkembangannya sastra modern memiliki beberapa masa yaitu masa perintis(Teater
Bangsawan, Teater Stremboel, Dan Teater Opera), masa kebangkitan(Teater Miss
Riboet’s Orion, Teater Dardanella Opera, awal teater modern Indonesia), masa
perkembangan(Teater Jaman Jepang, Teater Tahun 1950, Teater Tahun 1960), dan
masa teater mutakhir (1970-1980). Pertunjukan teater tersebut pada mulanya
berkembang di lapisan masyarakat kota yang kurang terpelajar. Teater tersebut berupa
teater kebudayaan massa. Di sisi lain, kaum terpelajar yang telah menyerap tersebut
lalu mencampurkan dengan kebudayaan barat untuk kepentingan perkembangan teater
dalam ranah ekspresi intelektual, sehingga teater tersebutlah yang berkembang di
Indonesia. hal-hal tersebut dapat menyimpulkan bahwa dalam perkembangannya
drama di Indonesia dapat disimpulkan sebagai drama populer, yang fungsinya sebagai
hiburan dan seleranya tergantung pada penonton. Seiring dengan perkembangan
teknologi pada zaman ini seni teater telah mengalami perkembangan pesat hingga
dipentaskan di televisi dalam bentuk komedi, sinetron dan lain-lainnya.

STRUKTUR SASTRA POPULER


Struktur sastra populer sebenarnya tidak berbeda dengan struktur karya prosa
elit. Ada karakteristik tertentu yang menjadi ciri struktur sastra populer. Struktur sastra
popular terdiri atas unsur-unsur tema, tokoh dan penokohan, alur dan pengaluran,
latar, sudut pandang, dan gaya bahasa.
a) Tema
Tema merupakan ide atau gagasan pengarang yang ingin disampaikan di dalam
karya sastra. Menurut Faruk dan Suminto A. Sayuti (1998), tidak semua tema atau
masalah ditampilkan sastra populer. Sesuai dengan sifatnya yang populer massal.
Sastra populer hanya memfokuskan dan memberikan jawaban terhadap masalah
dengan persoalan yang sederhana yang dianggapnya menarik perhatian orang banyak.
Faruk dan Suminto A. Sayuti mengungkapkan bahwa tema atau masalah yang bisa
menarik perhatian orang banyak merupakan permasalahan kebutuhan ekonomi,
kebutuhan cinta kasih, kebutuhan seks, dan sebagainya yang bertaut kebutuhan dasar
manusia.
b) Tokoh dan Penokohan
Tokoh merupakan pelaku yang ada di cerita, sementara penokohan adalah cara
penulis menampilkan tokoh-tokoh dan watak-wataknya tersebut di dalam suatu cerita.
Dalam sastra populer, segi yang diangkat adalah tokoh yang harus mudah dikenali dan
diingat oleh pembaca. Maksudnya pembaca tidah harus bersusah payah dalam
mencari gambaran tokoh tersebut. Maka dari itu, tokoh dalam sastra populer harus
menonjol.
Menurut Faruk dan Suminto A. Sayuti (1998), penokohan dalam sastra populer
memiliki beberapa karakteristik, yaitu: 1) Tokoh-tokoh cenderung ke dalam kelompok
kelas menengah kita dan akrab dengan kebiasaan hidup atau gaya hidup kelas
menengah kita; 2) Cenderung wataknya hitam putih. Maksudnya ialah jika baik, baik
terus, jika jahat, jahat terus. Tetapi terkadang bisa terjadi perubahan watak; 3) Kerap
kali melakukan perbuatan yang menghebohkan, yang berani menyimpang secara
menyolok dari kebiasaan masyarakat pada umumnya; 4) Mempunyai kebiasaan unik,
yang berbeda dari kebiasaan yang diketetahui pembaca.
Dalam segi teknik penokohan, terdapat tiga teknik di dalam sastra populer,
yaitu: 1) Teknik analitik, telling, atau ekspositori; 2) Teknik dramatik, showing; 3)
Teknik campuran. Istilah teknik analitik atau ekspositori (expository) dan dramatik
(dramatic) berasal dari Altenbernd dan Lewis (1996), sementara istilah teknik telling
dan showing berasal darj Abrams (1981).
Teknik analitik (telling, ekspositori) merupakan cara pengarang menampilkan
tokoh secara langsung dengan penjelasan dari narator. Sementara teknik dramatik
(showing) merupakan kebalikannya dari teknik analitik, yaitu cara pengarang
mengahadirkan tokoh secara tidak langsung dengan digambarkan atau dilukiskan
melalui berbagai hal seperti penggambaran fisik, ucapan tokoh, tindakan tokoh,
perasan dan pikiran tokoh, dan sejenisnya. Pengarang menyebutkan watak tokoh
secara implisit. Teknik campuran merupakan gabungan dari teknik analitik dan teknik
dramatik.
c) Alur dan Pengaluran
Alur merupakan rangkaian peristiwa yang saling bersangkut paut karena
hubungan sebab-akibat. Alur bisa ditampakkan secara linier atau alur maju, teknik
flashback atau alur mundur, atau teknik bayangan. Sementara pengaluran adalah
rentetan teks. Menurut Faruk dan Suminto A. Sayuti, ada karakteristik yang menimbul
dalam alur dan pengaluran di dalam sastra populer. Karakteristik tersebut antara lain
dari segi jenis peristiwa dan kejadiannya, dan cara pengurutannya.
Dalam segi jenis peristiwa dan kejadiannya, sastra populer lebih untuk
menampilkan peristiwa-peristiwa yang bersifat menyolok mata secara langsung untuk
mengikat respon dari daya-daya inderawi manusia dan pembacanya. Sementara dalam
segi cara pengurutannya, kejadian dalam sastra populer cenderung dibentuk untuk
membuat pembaca selalu ingin tahu mengenai kelanjutan dari cerita. Faruk dan
Suminto A. Sayuti juga mengemukakan bahwa ada tiga teknik dalam pengurutan yang
digunakan oleh pengarang, yaitu: 1) Teknik penundaan (suspending); 2) Teknik
pembayangan (foreshadowing); dan 3) Teknik pembalikan (flashingback).
Teknik penundaan merupakan teknik yang memotong rentetan kejadian
tertentu pada bagian tertentu yang membuat pembaca bertanya-tanya mengenai
kelanjutan pada rentetan itu. Teknik pembayangan adalah cara pengarang memberi
gambaran mengenai kelanjutan dari peristiwa sehingga membuat pembaca tidak sabar
untuk mengetahui kelanjutan tersebut. Lalu teknik pembalikan yaitu penyusunan
rangkaian cerita secara terbalik, baik dari akibat ke sebab, maupun dari tengah atau
belakang ke depan.
d) Latar
Menurut Abrams (1981), latar merupakan tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1) Latar tempat, yaitu merupakan lokasi
terjadinya peristiwa; 2) Latar waktu, yaitu berhubungan dengan saat terjadinya
peristiwa cerita, seperti berupa penanggalan atau penggambaran situasi pagi, siang,
sore, malam, dan lain-lain; 3) Latar sosial, yaitu situasi yang berwujud adat istiadat,
budaya, nilai atau norma, dan sejenisnya yang ada di peristiwa cerita. Menurut Faruk
dan Suminto A. Sayuti (1998), latar pada sastra populer mengarah pada kemungkinan
untuk dialami secara langsung oleh pembaca. Latar dalam sastra populer merupakan
latar yang sudah akrab dengan pembaca baik secara fisik maupun secara mental, dan
secara faktual maupun fiksional.
e) Sudut Pandang
Sudut pandang merupakan posisi yang ditempati pengarang di hadapan cerita
yang dipaparkannya. Terdapat tiga sudut pandang yang digunakan oleh pengarang,
yaitu: 1) Orang pertama sebagai tokoh utama, pengarang seolah-olah masuk dalam
cerita tersebut sebagai tokoh utama yang menjadi pusat kesadaran dan pusat dari
cerita; 2) Orang pertama tokoh tambahan, disini tokoh ‘aku’ hadir sebagai tokoh
pendukung yang hanya sebagai saksi dari rentetan peristiwa yang dialami oleh tokoh
utama; 3) Orang ketiga serba tahu, pengarang menceritakan apapun yang berkaitan
oleh tokoh utama; dan untuk orang ketiga terbatas, pengarang menceritakan sebatas
pengetahuannya saja.
Tetapi dalam sastra populer tedapat pula sudut pandang romantik-ironik.
Menurut Faruk dan Suminto A. Sayuti, sudut pandang romantik-ironik merupakan
sudut pandang yang meletakkan narator di luar cerita, tetapi berpartisipasi dalam
dialog dengan pembaca dan memberi komentar tentang segala yang terjadi di dalam
cerita. Tujuan dari adanya sudut pandang ini yaitu untuk membentuk kekuatan antara
narator dengan pembaca, untuk membuat suasana berkomunikasi dengan pembaca.
f) Gaya Bahasa
Faruk dan Suminto A. Sayuti juga mengemukakan bahwa gaya bahasa dalam
sastra populer lebih kepada dekat dengan corak bahasa pada percakapan sehari-hari
sehingga ditemukan susunan kalimat yang pendek, kosa kata kolokial, bahkan bahasa
gaul dan bahasa asing. Dapat dikatakan juga bahwa sastra populer lebih kepada
memindahkan begitu saja bentuk bahasa lisan ke dalam bahasa tulisan.

Anda mungkin juga menyukai