Anda di halaman 1dari 7

Nama : Yoana Ermadia

Kelas/ No. Absen : XII MIPA 2/ 34

POLA MEMBACA SASTRA

Oleh: Djoko Saryono

/1/
Sejak kapankah sastra hadir dalam kehidupan manusia? Ini pertanyaan klasik yang jelas-
jelas membosankan. Tetapi terus muncul karena tidak ada jawaban yang pasti.
Berdasarkan tradisi lisan dan peninggalan naskah yang ada, secara hipotetis dapat
dikatakan bahwa sejak abad-abad Sebelum Masehi sastra sudah hadir dalam kehidupan
manusia. Kalau naskah epik wiracarita Gilgamesh dari Sumeria/Mesopotamia dijadikan
titik tolak, paling tidak karya sastra sudah hadir abad ke-30 Sebelum Masehi.

Karya-karya sastra Yunani, misalnya Oeidipus Sang Raja, Oeidipus di Colonus, dan
Oeidipus Berpulang karya Sopochles, telaah-telaah kesastraan oleh Aristoteles dan Plato,
dan syair-syair Homerus diketahui diciptakan pada abad-abad Sebelum Masehi. Konon
karya puncak Homerus, yakni Illiad dan Odyssey, dipengaruhi oleh Gilgamesh.Demikian
juga karya Ramayana dan Mahabharata, yang di Indonesia sangat dikenal, digubah
lumayan jauh pada abad-abad Sebelum Masehi.

Naskah-naskah kakawin, kidung, dan macapat yang sangat terkenal di Jawa, Bali, dan
Lombok telah ditulis berabad-abad lalu. Sastra-sastra lisan yang banyak tersebar di
berbagai daerah Indonesia diduga sudah berumur beribu-ribu tahun. Dapat dikatakan,
sejak Sebelum Masehi sampai dengan sekarang sastra selalu hadir dalam kehidupan
manusia meskipun batasan, jenis, dan coraknya berbeda-beda atau tidak sama.

Sastra dapat selalu hadir dalam kehidupan manusia karena selalu dibutuhkan manusia
dalam hidup. Sastra dinikmati atau dibaca oleh manusia demi kepenuhan dan
kelengkapan selaku manusia. Agar dapat dinikmati atau dibaca oleh khalayak, sastra
harus selalu dikomunikasikan. Ini berarti ada komunikasi sastra supaya sastra
menjangkau atau mencapai penikmat¬nya (baik pendengar/penonton mau-pun pembaca).
Bagaimanakah sosok komunikasi sastra itu?  Ini dapat dibayangkan dengan
memperhatikan gejala komunikasi sastra pada zaman dahulu (sebelum Abad XX) dan
pada zaman sekarang (sejak Abad XX).

/2/
Bagaimanakah gejala komunikasi sastra pada zaman dahulu sejak Sebelum Masehi
sampai dengan Abad XIX Masehi? Jika diperhatikan benar, secara kasar bisa dikatakan
bahwa komunikasi sastra pada zaman dahulu pada umumnya melalui dua cara, yaitu cara
tulis dan cara lisan. Dengan kata lain, melalui tradisi tulis (yang dilisankan) dan tradisi
lisan.                    Tradisi tulis yang dilisankan ada karena adanya karya sastra tulis yang
pada hakikatnya perlu dilisankan. Kakawin-kakawin, kidung-kidung, tembang-tembang
macapat, dan lain-lain adalah karya sastra tulis karena tertulis dalam suatu bahan baik
lontar, kertas maupun bukan, tetapi penikmatannya pada umumnya dikerjakan dengan
secara lisan. Dalam kata-kata Walter J. Ong dalam Literacy and Orality, pembacaan
dimungkinkan karena sastra berupa naskah, bukan cetak(an).

Di samping berkembang penikmatan individual pada sekelompok kecil manusia,


berkembang pula tradisi penikmatan kolektif yang unsur pelisanannya sa-ngat kuat. Di
Jawa dikenal macapatan, di budaya Sunda dikenal mamaca, dan di Bali dikenal
mabebasan yang sebenarnya merupakan penikmatan kolektif karya sastra. Di daerah-
daerah lain di Indonesia juga dikenal pelisanan sastra seperti mabebasan dan macapatan
dengan nama berbeda.

Bisa dibilang, komunikasi sastra melalui tradisi tulis yang dilisankan tidak berkem¬bang
luas di masyarakat. Tradisi ini hanya berkembang di lingkungan terbatas pada abad-abad
lampau. Pada umumnya perkembangan tradisi ini di lingkungan keraton, bangsawan,
priyayi, dan kaum terpelajar yang memiliki keistimewaan istiadat dan budaya. Pada
perkembangannya kemudian, ketika kemampuan baca-tulis cetakan (printed) dan
kepemilikan naskah bukan monopoli sekelompok manusia lagi, yang sudah tampak pada
Abad XIX, tradisi ini memang berkembang luas di masyarakat. Masyarakat di pedesaan
atau kebanyakan dapat menikmati tradisi ini.

Pada umumnya masyarakat pedesaan atau kebanyakan berkomuni¬kasi sastra melalui


tradisi lisan. Tradisi lisan ini memiliki dua pola. Yang pertama, ada pencerita yang
bertutur tentang suatu cerita di satu pihak dan di pihak lain ada penikmat yang
mendengarkan tuturan pen-cerita. Contohnya terdapat pada pertunjukan wayang kulit,
jemblung, dan kentrung. Pada pertunjukan kesenian ini, sang dalang bercerita tentang
suatu cerita, sedang penonton mendengarkan cerita sang dalang.

Yang kedua, masing-masing penikmat secara dialogis saling bertutur dan menikmati. Di
sini kedudukan masing-masing penikmat sejajar dan setara, tidak ada dalang yang sangat
kuasa dan penikmat yang pasif. Contohnya terdapat pada tradisi berbalas pantun di
Melayu, parikan di Jawa (Timur), dan sisindiran di Sunda. Tentu kantong-kantong
budaya sastra lainnya ada dengan nama berbeda, misalnya di kantong budaya Banjar,
Bugis, Buton, dan Ternate.

Dua pola komunikasi sastra tersebut ditopang dan disangga oleh corak sastra dan tradisi
budaya tertentu. Komunikasi sastra melalui tradisi tulis yang dilisankan ditopang dan
disangga kuat oleh sastra tulis-naskah yang kuat sekali unsur kelisanannya dan tradisi
budaya lisan yang berakar kuat di masyarakat luas. Dengan perkataan lain, didukung
oleh sastra tulis berunsur kuat kelisanan dan masyarakat lisan, bukan masyarakat lisan.
Demikian juga komunikasi sastra melalui tradisi lisan ditopang dan disangga sepenuhnya
oleh adanya sastra lisan dan tradisi budaya lisan. Jadi, keadaan budaya beserta masyara-
kat pendukungnya yang masih berada taraf lisan membuat komunikasi sastra seperti
tersebut berkem bang pada masa lalu.

/3/
Bagaimanakah gejala komunikasi sastra pada zaman sekarang, sejak awal Abad XX
sampai dengan dasawarsa kedua Abad XXI? Adakah perbedaan hakiki dan mencolok
dengan komunikasi sastra pada zaman dahulu? Hilangkah pola komunikasi sastra zaman
dahulu pada zaman seka¬rang? Dapat dikatakan bahwa pola komunikasi sastra zaman
dahulu tidak hilang pada zaman sekarang.

Meskipun semakin surut dan berada di pinggiran, pertunjukan wayang kulit, jemblung
dan kentrung masih ada di tempat-tempat tertentu. Tradisi mabebasan di Bali dan
macapatan di Jawa juga masih hidup walaupun makin rendah kekerap¬annya dan kecil
pe-minatnya. Demikian juga tradisi berbalas pantun, parikan dan sisindiran masih dapat
ditemukan di masyarakat meskipun makin kalah melawan televisi, film, dan jenis-jenis
media modern. Bahkan sekarang komunikasi sastra berlangsung secara digital dengan
medium-medium seni baru. Di media sosial komunikasi sastra menggunakan medium
baru yang dimungkinkan oleh budaya digital.

Tidak berarti komunikasi sastra pada zaman sekarang tidak berbeda secara hakiki dan
mencolok dengan pada zaman dahulu. Pada zaman sekarang tumbuh dan berkembang
pola komunikasi sastra yang berbeda secara hakiki dan mencolok dengan zaman dahulu
walaupun pola komunikasi sastra zaman dahulu masih tetap hidup. Mengapa terjadi
perbedaan hakiki dan mencolok? Bagaimanakah pola komunika¬si sastra pada zaman
sekarang?

Zaman sekarang yang umum disebut zaman modern, pascamodern, dan atau zaman
disrupsi digital dicirikan oleh lima hal. Kelimanya adalah (i) berkembangnya secara
pesat dan luar biasa industri kertas, (ii) tumbuhnya industri percetakan dan penerbitan
secara besar-besaran, (iii) berkembangnya tradisi baca-tulis di masyarakat luas, dan (iv)
tumbuh-kembangnya keberaksaraan di samping kelisanan sekunder, serta (v) tumbuh-
kembangnya secara luas biasa kelisanan kedua akibat digitalisasi yang masif dan budaya
digital yang kian dominan. Hal ini mengakibatkan munculnya dan tersebar luasnya sastra
tulis dan sastra digital. Sastra tulis yang dibukukan atau yang dimuat di majalah dengan
mudah dapat dijangkau dan dinikmati oleh masyarakat luas dari berbagai lapisan sosial.
Apalagi sastra digital, dengan mudah dapat diakses dan dibaca oleh pembaca.

Sejalan dengan itu, pola komunikasi sastra menjadi lebih banyak melalui tradisi tulis dan
belakangan ini kemudian tradisi digital. Berhubung sastra tulis dicetak dalam lumayan
jumlah besar dan disebarluaskan secara besar-besaran hingga pribadi-pribadi anggota
masyarakat dapat menjangkau atau memilikinya secara individual, maka tiap-tiap
anggota masyarakat bisa berkomunikasi sastra secara individual, bukan kolektif.
Membaca sastra secara individual menjadi pola komunikasi sastra tulis.

Dalam bentuk konkretnya, tiap-tiap masyarakat dapat membaca karya sastra secara
invidual. Tanpa bergantung pada individu lain dan kepemilikan cerita atau tukang tutur.
Puisi, cerpen, novel, dan novela dapat dengan mudah dijangkau atau dimiliki oleh
anggota masyarakat dan selanjutnya dibacanya secara individual. Pola komunikasi sastra
seperti agaknya sangat dominan pada zaman sekarang. Gelora gerakan literasi
belakangan menyokong kebiasaan membaca sastra secara individual dan senyap.

Selain itu, pada zaman sekarang ternyata juga tumbuh dan berkembang satu pola
komunikasi sastra melalui tradisi lisan, yang berbeda dengan pola komunikasi sastra
melalui tradisi lisan pada zaman dahulu. Dikatakan demikian sebab kemasan dan ciri-ciri
penanda keberadaannya tidak sama. Pola komunikasi sastra melalui jalur tradisi lisan
pada zaman sekarang dikemas dan disa-jikan dengan mengikuti kaidah-kaidah seni
pertunjukan modern dan tunduk pada hukum-hukum pertunjukan modern. Dengan kata
lain, pada zaman sekarang berkembang pelisanan sastra yang dikemas mengikuti hukum
pertunjukan.

Sejak awal dasawarsa 1970-an pola komunikasi sastra tersebut sudah tumbuh dan
berkembang di Indonesia. Hal ini terlihat, misalnya, pada peristiwa (Rendra membaca
(lisan) Bibbop dan Orang-orang Miskin pada permulaan dasawarsa 1970-an, dan
Darmanto Yatman membaca lisan puisi dalam acara Musik Puisi di Senisono Art
Gallery, Yogyakarta, pada tahun 1979. Di samping itu, juga Linus Suryadi membacakan
novel Pengakuan Pariyem pada tahun 1980 dan 1981 di Universitas Gajah Mada dan
Universitas Airlangga. Pada waktun itu pula Emha Ainun Nadjib beserta Kelompok
DINASTI membaca puisi diiringi musik tradisio nal di Bentara Budaya, Jakarta, pada
tahun 1984. Tan Lioe Ie dikenal dengan pembacaan puisi secara musikal dan teatrikal.
Sekarang sudah marak pembacaan lisan puisi sebagai seni pertunjukan seperti ini sudah
lazim dan umum ditemukan dalam berbagai pembacaan puisi.

Belakangan seiring dengan maraknya digitalisasi dan budaya digital, pola komunikasi
sastra secara digital, yang mengombinasikan berbagai pola pembacaan sebelumnya,
makin mencuat dan menguat di Indonesia. Digitalisasi sistem komunikasi dan
dominannya media digital khususnya media sosial mengubah atau menggeser cara
membaca atau menikmati sastra. Individu dapat membaca secara individual dengan
mengakses laman-laman sastra digital, Youtube, dan sebagainya. Kita bisa membaca
sastra melalui laman Apresiasi Sastra, BasaBasi, Sastra Papua, dan sebagainya.  Lahirnya
sastra digital terutama puisi digital telah memunculkan cara membaca secara digital.
Cara menikmati atau membaca sastra digital ini menyatukan pandang, dengar, dan suara.
Kita bisa menikmati pembacaan puisi Tan Lioe Ie dan Hasan Aspahani, misalnya,
melalui Youtube. Media digital termasuk media sosial benar-benar telah mengubah,
dalam hal ini memperluas, pola komunikasi sastra.

/4/
Beberan di atas mengisyaratkan tiga hal. Pertama, komunikasi sastra melalui jalur tradisi
tulis dan lisan sudah ada sejak zaman dulu. Pada zaman dahulu jalur tradisi tulis terbatas
dan jalur tradisi lisan memasyarakat kuat. Pada zaman sekarang jalur tradisi tulis justru
sangat dominan dan jalur tradisi lisan menjadi terbatas. Kedua, membaca puisi/sastra
secara individual sebagai bentuk tradisi tulis komunikasi sastra sudah ada sejak zaman
dulu. Pada zaman dulu terbatas, sedang pada zaman sekarang dominan dan
memasyarakat.

Ketiga, melisankan sastra atau membaca sastra secara kolektif sudah ada sejak dulu. Pada
zaman dahulu sangat dominan dan memasyarakat, pada sekarang jauh lebih berkurang
meskipun kemasannya lebih bagus. Belakangan berkat masifnya digitalisasi dan menguatnya
budaya digital, membaca secara individual sekaligus kolektif berlangsung secara digital, yang
merangkum semua pola pembacaan yang telah ada sebelumnya. Ini semua menandakan
bahwa tradisi membaca sastra baik sebagai kegiatan pemahaman-individual-intelektual
maupun kegiatan penikmatan-performatif-kolektif ada sejak dulu hingga sekarang meskipun
perubahan-perubahan ciri khas dan format terjadi.

Sumber : satupena.id

Struktur Esai

1. Paragraf – paragraf yang berwarna biru merupakan pendahuluan.


Pendahuluan berisi latar belakang dan pendapat pribadi penulis mengenai tema esai
yang akan dibahas lebih jelas dan rinci di bagian selanjutnya. Pendahuluan merupakan
pengantar bagi pembaca memahami topik yang akan dibahas sehingga nantinya para
pembaca lebih mudah memahami isi esai.
2. Paragraf – paragraf yang berwarna hitam merupakan isi atau pembahasan.
Pada bagian ini, topik esai dijelaskan lebih rinci. Penulis dapat menuangkan
pikirannya secara kronogis terstruktur mengenai ide yang telah disusun dalam
kerangka kerja sebuah esai.
3. Paragraf – paragraf yang berwarna ungu merupakan kesimpulan atau penutup.
Di bagian ini, penulis merangkum ataupun meringkas semua bahasannya mengenai
ide – ide yang telah ia jelaskan secara rinci pada bagian sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai