1
Disampaikan pada Diskusi Sastra Interdisipliner 6 (DSI-6) Forum Sastra Banding, 27 September 2013, di
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
1
Ndilalah kersa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja sing eling lawan waspada
Terjemahan:
Menemui jaman gila
Memang serba sulit suasananya
Ikut gila tidak sampai hati
Jika tidak ikut gila
tidak mendapat bagian apa pun
bisa jadi malah kelaparan
memang jika sudah kehendak Tuhan
dibanding keuntungan orang lupa diri
lebih baik orang yang ingat dan selalu waspada
Konteks jaman edan di atas menunjukkan spirit jaman, Manusia semakin jatuh
pada keadaan serba repot. Apalagi jika suasana jaman sudah salah kaprah, semakin
gila, kalau tidak mengikuti arus dianggap orang aneh. Semangat jaman di era R. Ng.
Ranggawarsita, lebih menekankan dua hal, yaitu (1) kekuasaan, artinya banyak warga
masyarakat yang gila kekuasaan,berebut pengaruh, dan ingin selalu menguasai yang
lain, (2) harta benda, yaitu sebuah kebanggaan material, jika tidak ikut gila saying
karena akan dianggap orang tidak umum. Penekanan jaman edan yang (1) sampai
sekarang masih terus menggerus bangsa, terutama dengan permainan politik dagang
sapi. Penekanan jaman edan (2) banyak mewarnai koruptor dan budaya suap yang
selama ini sedang ditanganni KPK. Sejak terkuaknya Gayus Tambunan, M. Nazarudin,
Engelina Sondak, Andi Malarangeng, Anas Urbaningrum, Rudi Rubiandini, Jaksa Urip
Trugunawan, dan lain-lain, jaman gila terus berjalan semakin tidak terkendali.
Konsep eling dan waspada, tampaknya hanya sebuah slogan. Slogan pengerem
dan pemanis mulit para pejabat. Jika di era R. Ng. Ranggawarsita yang manis dan
lamis itu para raja, sekarang para abdi dibawah Presiden, menteri, wakil menteri, dirjen,
gubernur, bupati,dan lain-lain. Seluruh elemen masyarakat tampak melupakan ajaran
eling lawan waspada. Mereka justru lali marang sapadha-padha, artinya melupakan
orang lain. Yang ingin diperkaya adalah diri sendiri dan kroninya.
Maka memang tidak keliru, jika puisi jaman di atas oleh para penyair pasca R. Ng.
Ranggawarsita dibuat simulakrum baru. Jika era masa lalu simulakrum itu berkaitan
dengan pemolesan realitas, karena adanya budaya pekewuh, sekarang sudah semakin
terang-terangan. Masa lalu, puisi dibungkus rapi, sekarang dalam konsep Cavallaro
(2004:269) sudah mengalami displacement, artinya pergeseran makna dan fenomena.
Betapa tidak, jika dahulu amenangi jaman edan, kini sudah banyak diubah menjadi
amerangi ajman edan. Artinya, memberantas jaman edan.
Jaman edan masa lalu suap dalam bentuk asok glondhong miwah pengarem-
arem. Ini merupakan tanda hadirnya jaman edan yang sampai sekarangbanyak
dilakukan oleh para pejabat. Karya jaman edan yang tahan jaman ini, menandai
kepiawaian pujangga, yang memuat (a) tidak sekedar mencontoh realitas, merasuk ke
dalam karya, melain sudah penuh bumbu-bumbu hal yang general, (2) sastrawan
sering membangun realitas baru yang disebut hiper-realitas. Hiper-realitas dilandasi
oleh ilusi. Karya jaman edan benar-benar pemindahan realitas, bukan sekedar meniru
realitas.
2
Tiruan yang persis sama dengan realitas itu hampir tidak ada.Maka Baudrillard
(Cavallaro, 2004:272-273) mengisyaratkan bahwa hiper-realitas adalah sebuah
simulakrum. Permainan ilusi sering menciptakan suasana sepadan atau bahkan jauh
darirealitas. Manusia telah lama hidup dalam halusinasi estetis. Lewat halusinasi puisi,
permainan makna semakin gencar. Bagi dia, hidup ini adalah sandiwara. Kehidupan
adalah sebuah gambar hidup. Jika dunia ini sebuah tiruan, tentu seluruh hal ini jauh dari
keaslian. Yang ada adalah pura-pura
Terjemahan
Kata jaman edan
Jiak tidak ikut gila tidak mendapat bagian
Anak-anak sekolah ikut gila
Ya Tuhan kasihan
Tatakrama dianggap kuna
Unggah-ungguh tidak ditaati
Sopan santun tanpa kata
Tepa selira serba menakutkan
Konsep hipogram dalam puisi jaman edan di atas memang tidak terelakkan. Kata-
kata hipogram ditandai oleh permainan simbol ora melu edan ora keduman. Penegasan
jaman edan dalam karya Windarti merupakan simulakrum baru yang mencoba
menerjemahkan jaman. Penyair berusaha menggabungkan sebuah hipogram dan
konsep pengaruh. Hipogram jaman edan menjadi acuan menciptakan konsep
pengaruh. Pengaruh terbesar dalam konsepsi jaman edan adalah persoalan etika,
3
sopan santun, tatakrama, dan unggah-ungguh. Tanda-tanda itu, kalau dikaitkan dengan
gagasan Barker (2005:414) merupakan sebuah simulakrum, untuk mengusung realitas
agar lebih nyata. Simulasi realitas semakin nyata. Namun demikian, kenyataan itu juga
bukan sebuah ukuran pasti.
Memahami puisi yang pepnuh muatan budaya di atas,perlu bantuan keilmuan lain.
Gagasan makro sastra, yang memandang karya sastra secara luas, pantas
dikemukakan. Hal serupa lebih Nampak jelas muatan budayanya pada puisi Jaman
Edan karya Inke Sita R sebagai berikut.
Jaman pujangga agung Ranggawarsita
Sinebut jaman eda
Pangarsa praja padha lirwa
Kawula padha nggresula
4
Padha ngleter
Jogedan tengah rattan
Sapa sira sapa ingsun
Dumeh kinasih ing sinuwun
Terjemahan:
Gila
Iki bangsa apa
Kok seperti keraton penjahat
Begal, kecu, pencuri dan rampog
Semakin enak
Menari di tengah jalan
Merasa paling hebat dirinya
Karena merasa dekat enguasa
Puisi tersebut melukiskan jaman edan yang sudah semakin parah. Keadaan di
jaman ini, sudah dianggap sebagai “kerajaan pencuri”. Betapa tidak, ketika KPK berkali-
kali menangkap tangan para pengeruk harta Negara, adalah bukti yang menguatkan ide
penyair. Bahkan sekarang para penjahat negara sudah semakin terang-terangan.
Jaman edan identik dengan jaman rusak. Tatanan yang sudah semakin rusak, hanya
menguntungkan pihak tertentu, adalah potret budaya maling yang semakin menjadi-
jajdi.
Jaman edan tampak mengikuti aliran dan irama kepemimpinan. Sastra dan
kekuasaan tampak berjalan seiring. Antara era kerajaan dan presiden,menurut para
penyair tetap ada gelagat jaman edan. Hegemoni kekuasaan kadang-kadang menekan
sumbu batin rakyat, sehingga ada berontak di sana sini. Pemberontakan kekuasaan
lewat puisi, dianggap tepat untuk menggelitik bangsa. Sayang sekali presiden tidak
pernah membaca sastra di atas. Maka besar kemungkinannya, puisi di atas hanya
dimaknai oleh kalangan terbatas, bukan penguasa. Kritik sejatam pisau pun, kalau yang
dikritik tidak mendengar atau membaca, kurang berdampak.
5
Konsep jaman edan demikian, jelas terpengaruh oleh sebuah hipogram pula di era
R. Ng. Ranggawarsita. Hal ini menandai bahwa cerpenis, jelas membaca karya-karya
sebelumnya. Kalau dibandingkan jaman edan dalam cerpen karya Ardini Pangastuti
sebenarnya mirip. Jika Sri Wintala Achmad ingin melukiskan jaman edan berkaitan
dengan politik uang, Ardini Pangastuti melukiskan edannya laki-laki yang selingkuh
pada wanita lain. Selingkuh pun juga gelagat jaman edan. Buktinya ketika KPK
membuka kedok para koruptor Ahmad Fatonah, Joko Susilo, Lutfi, ternyata materi
berkaitan pula dengan perselingkuhan.
Jika demikian dalah kisah cerpen pun gambaran jaman edan selalu berpusar pada
kebutuhan manusia secara duniawi. Cerpenis ingin memotret bangsa yang kotor
dengan praktik mafia dan pliitik uang. Keadaan demikian oleh cerpenis dibaca sebagai
degradasi moralitas bangsa. Begitulah potret jagad modernitas manusia yang semakin
serakah. Dalam kaitan ini, Lukacs (Barker, 2005:142) menyatakan bahwa modernism
adalah “penarikan mundur” ke dunia rasa takut ayng subjektif, di mana dunia luar
adalah horror yang tak tertandingi. Sebaliknya, Adorno justru memandang modernism
sebagai bentuk seni radikal. Kedua pendapat tersebut ada benarnya. Jika cerpenis
banyak menawarkan ide dengan gagasan lama, dikembangkan lewat ide baru
sebenarnya sudah dapat disebut modernism. Buktinya, konsep jaman edan R. Ng.
Ranggawarsita masih dipegang teguh, untuk membingkai ide basarnya. Kalau ditinjau
dari gagasan Adorno, berarti cerpenis yang terpengaruh itu, cenderung kurang kreatif,
kurang radikal.
Belajar dari Baudrillard (Faruk, 2011:6) konteks jaman edan cerpen jelas sebuah
simulakrum budaya. Simulakrum itu membentuk kontkes yang luas. Bila konteks itu
dipahami sebagai dunia yang ada di luar teks, hubungan antara teks dengan dunia itu
pun menjadi cair, dapat berubah, bertukar tempat, interaktif. Selain itu, dalam
sensibilitas multimedia tersebut konteks adalah sesuatu yang diciptakan sehingga
membentuk diri menjadi semacam simulakrum dan bahkan hiperrealitas dalam
pengertian. Karena itu, sensibilitas multimedia yang demikian dapat juga disebut
sebagai sensibilitas pascamodern, setidaknya bila dihubungkan dengan konsep
simulakrum dan hiperrealitas di atas.
Inti dari sebuah ketakutan eksistensial sering memunculkan jaman edan baru.
Modernisme cerpen tampaknya hanya sebuah perwujudan ide lama. Modernisme
menjadi gagasan yang menyalurkan naluri kemanusiaan. Konsep jaman edan, ternyata
kuncinya pada sebuah ketakutan “harus ikut edan” jika ingin selamat. Tentu hal ini akan
menyulut keinginan manusia. Manusia yang takut tidak eksis secara material, akhirnya
harus memburu harta dan kekuasaan. Begitulah yang terjadi pada konsep netra
hartana, artinya mata dhuwiten. Yang dikejar manusia di jagad modern adalah harta
benda dan kekuasaan, ditambah kenikmatan seksual.
6
dipisahkan. Penyair dan cerpenis pun kadang-kadang juga seorang budayawan estetis.
Maka karya-karyanya banyak menyuarakan ihwal budaya.
Kekuasaan tampaknya yang menjadi motor penggerak jaman. Di era jaman edan,
ada dua sumber kekuasaan, yaitu (1) drajat-pangkat (kewibawaan), yang diraih dengan
cara politis untuk meraih kedudukan, (2) semat, artinya harta benda yang menggoda
manusia, dan (3) nyamat, artinya keinginan seksual yang sulit dibendung oleh siapa
pun. Ketiga hal itu membangun makro sastra dalam puisi dan cerpen, melahirkan kreasi
baru yang memukau. Itulah sebabnya perbandingan makro antara puisi dan prosa
penting dilakukan, untuk mencermati seberapa jauh hipogram mempengaruhi karya
sastra.
Perbandingan makro sastra, adalah bandingan yang melihat pencerminan hal-hal
di luar sastra sevara lebih luas. Estetika pembangun cerpen dan puisi, diyakini sebagai
perwujudan unsur-unsur di luar sastra. Konteks budaya, yang biasanya menyelimuti
karya sastra. Dalam puisi dan cerpen jaman edan di atas, yang menjadi hipogram
hadirnya simulakrum jaman adalah persoalan ideologi kekuasaan. Di era masa silam,
ideologi material sudah tumbuh, yaitu ora melu edan ora keduman. Konsep ideologi ini,
dalam pandangan Strinati (2003:174) merupakan budaya imajiner. Era kerajaan dan
kapitalistik, ideologi merupakan representasi hubungan imajiner antar individu. Ideologi
merupakan “relasi budaya” yang dihidupkan. Oleh karena sastra itu sesungguhnya lahir
atas cubitan budaya setempat.
Antropologi sastra Jawa adalah sebuah pisau analisis bandingan makro, untuk
mencermati muatan budaya yang terpantul dalam sastra. Lewat antropologi sastra
Jawa, bandingan puisi dan prosa dapat memahami ideologi suatu jaman. Ideologi
imajiner jaman edan, telah mendistorsi pemikiran dari spiritual berubah ke material.
Maka, konsepsi “edan”, sudah jelas meracuni otak bangsa, namun sulit diobati. Itulah
sebuah “motif”, yang dalam pandangan Goethe (Kasim, (1996:60) bahwa motif adalah
inti cerita yang bersifat universal, tradisional, dan berulang kali muncul dalam sastra.
Motif material, dapat mengalineasi hidup manusia, dari jinak ke garang. Motif “edan”,
merupakan simbol kekuasaan mistis manusia. Mitos jika tidak ikut edan akan gagal
hidup, oleh penyair dan cerpenis baru semakin diperjelas. Penyair dan cerpenis baru
memtong pesan pujangga bahwa ada motif ingat (eling) dan waspada. Keduanya,
diserahkan sepenuhnya kepada pembaca untuk mengisi celah kekosongan.
Paling tidak, sampai detik ini dapat diketengahkan bahwa manusia sebagai
makhluk yang gemar bermain simbol tentang jaman edan, sudah mencoba mewariskan
motif dan ideologi. Puisi dan prosa adalah “saksi jaman”, yang penuh teka-teki. Puisi
dan prosa jaman edan itu tidak lain sebuah etnografi sastra yang penuh problematika
makna. Kalau membandingkan puisi dan cerpen jaman edan, berarti sastra bandingan
itu seperti gagasan Benedetto Crose (Gifford, 1995:2) yaitu sebagai pengembangan
dari ide “across literature.” Konteks persilangan budaya dalam sastra jelas ada hukum
wajib terjadi. Yang perlu dicatat bahwa dalam proses persilangan itu akan terjadi proses
development and reciprocal differences. Artinya, dalam sastra amat wajar terjajdi
pengembangan (kreasi) dan pengaruh timbal balik yang berbeda satu sama lain. Karya-
karya yang muncul sesudahnya, biarpun berkreasi tetap akan bernuansa karya
sebelumnya.
Yang banyak dimainkan oleh penyair dan cerpenis, ternyata sebuah simbol
budaya yang dalam wawasan antropologi sastra merupakan kunci hidup. Hidup selalu
7
tarik-menarik dengan simbol. Hidup selalu bermain simbol, itulah yang mewarnai jaman
edan. Maka, biarpun antropologi sastra Jawa memang tergolong ilmu sastra bandingan
yang masih relatif muda, sesungguhnya dapat menjawab berbagai motif, ideologi, dan
serpihan jaman yang teralineasi waktu. Riset antropologi sastra dapat memanfaatkan
gagasan Fernando Poyatos (1988) tentang antropologi sastra, Paul Benson (1993)
tentang sastra etnografi dan etnografi sastra, Kris Budiman (1994) kedekatan puisi dan
ideologi budaya, Ahimsa-Putra (2003) tentang perjalanan antropologi budaya ke sastra,
Muh Arif Rokhman (2003) tentang interdisipliner sastra, Imam Setyobudi (2007) tentang
tafsir antropologi feminis, dan masih banyak lagi, untuk mempertajam simbol-simbol
budaya jaman edan.
Lewat antropologi sastra, kita dapat membandingan pencuatan buduaya dalam
sastra. Loncatan ide dan ideologi apa pun akan terjawab dengan antropologi sastra.
Teori riset asing juga cukup banyak beredar, yang dapat membuka wawasan
antropologi sastra Jawa. Dari gagasan Guyard, Jost, Gifford, Kristeva, dan sebagainya
antropologi sastra Jawa sebagai sebuah peta riset makro sastra bandingan, dapat
menjaring hipogram, konsep pengaruh, tradisi, dan afinitas tentang jaman edan. Begitu
pula kalau menengok pintalan pemikiran Jost (1974:41),tampaknya hura-hura jaman
edan itu dalam sastra akan hadir terus-menerus. Oleh karena dalam sastra ada hal
yang telah mencapai imanen (immanence) dan konsep pengaruh (influence). Kedua hal
ini merupakan kata kunci wajib dalam studi sastra bandingan. Bila dikaitkan dengan
jaman edan, tampaknya secara antropologi sastra hidup manusiaitu memang tidak
pernah puas dengan simbol. Orang Jawa yang gemar bermain simbol, banyak othak-
athik, berkreasi jitu, untuk menyodorkan jaman edan sebagai kritik pedas.
Antropologi sastra adalah sebuah wawasan kajian sastra secara antropologis.
Maksudnya, di dalam karya sastra diasumsikan banyak menawarkan tindak sosial
budaya, yang kaya makna. Menurut Geertz (1999:3) kegemaran orang Jawa pada
tradisi mempertautkan serpih-serpih dan pola-pola yang disebut othak-athik gathuk
adalah sebuah drama aksidental untuk meraba makna. Drama pemaknaan semacam
itu, sebenarnya sejalan dengan karakteristik orang Jawa yang memang gemar pada
budaya lisan, sehingga banyak melakukan perubahan teks lagu. Tidak sedikut lagu
Jawa yang diubah, disesuaikan dengan tuntutan kultur dan kepentingan apa saja.
Tembang jaman edan di jaman R. Ng. Ranggawarsita telah dikreasi oleh penyair dan
cerpenis, untuk memotret jaman edan di era masa kini.
Munculnya antropologi sastra, didorong oleh pemikiran Cassier (Ratna, 2011:44)
tentang hakikat manusia sebagai animal simbolicum. Karya sastra adalah ekspresi
gagasan tentang hidup manusia melalui berbagai simbol. Gagasan ini, menurut Ratna
(2004:353) memunculkan sebuah disiplin baru, yang disebut antropologi sastra, senada
dengan istilah psikologi sastra dan sosiologi sastra. Gagasan antropologi sastra
merupakan pengembangan studi sastra dari kacamata antropologi. Hal ini dipertegas
lagi dengan pemikiran Benson (1993:13) dalam bukunya berjudul Anthropology and
Literature, dia mencoba mengaitkan antropologi dengan sastra untuk mengungkap
kehidupan manusia. Memang perlu disadari bahwa tradisi "othak-athik mathuk" telah
membius orang lawa, untuk bersuka ria dengan kelisanan miliknya. Tradisi ini menurut
pandangan antropologi sastra sah-sah saja, sebab merupakan kekayaan tindakan
simbolik manusia.
8
Tradisi tidak berarti mengabadikan otak beku. Tradisi semakin melahirkan celah
baru. Dalam konteks sastra bandingan tradisi tidak lagi tanpa tambahan, melainkan
lebih cair dan lentur. Penghayatan cerpenis dan penyair menyikapi jaman, semakin
kental dengan pengaruh di seputar keajaiban dunia. Mata penyair dan cerpenis tidak
sekedar secara fisik, namun mereka melampaui mata batin. Dengan mata batin,
mereka juga semakin tajam menyuarakan gagasannya.
E. Penutup
Dari pembahasan di atas, sungguh menarik membicarakan jaman edan sebagai
sebuah potret kehidupan. Manusia telah jatuh pada konteks hidup yang berideologi
serakah, ingin menguasai yang lain. Selain itu, motif penting dari serpihan jaman edan
adalah kekacauan situasi. Kekacauan oleh penyair dan cerpenis ditangkap sebagai
suatu permainan imajiner.
Lepas dari setuju atau tidak, ternyata melalui antropologi sastra Jawa, dapat
meraba berbagai hal simbolik kehidupan manusia. Manusia Jawa yang gemar berkreasi
dengan cara othak-athik, menyebabkan kecerdasan intelektual. Pada tataran ini, sulit
ditawar bahwa simbol menjadi hal utama dalam hidup. Simbol ketidakmapanan hidup,
yang diserang jaman edan telah melahirkan mitos-mitos baru.
Perubahan ideologi jaman edan setiap waktu sah-sah saja. Paling tidak, kalau hal
ini diwawas dengan gagasan Williams (Rokhman, 2003:31) tentang konsep dominant,
residual, dan emergent, akan mengungkap jaman edan secara proporsional. Dominan
dalam jaman edan adalah potret kerinduan pada permainan simbol. Permainan simbol
juga memunculkan permainan tafsir. Residual jaman edan, lebih banyak menawarkan
tentang jeritan hidup. Penyair dan cerpenis, hendak menyuarakan jeritan masyarakat
lewat pemikiran jernihnya. Adapun persoalan emergen, ditandai dengan kreasi mereka
mengikuti moving jaman. Spirit of age selalu menjajdi tumpuan para kreator.
Daftar Pustaka
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Benson, Paul. 1993. Anthropology and Literature. Chicago: University of Illinois Press.
Cavallaro, Dani. 2004. Critical and Cutural Theory. Yogyakarta: Niagara.
Faruk. 2011. Sastra dalam Masyarakat (Ter-)Multimedia(-kan): Implikasi Ontologis, dan
Edukasionalnya. Yogyakarta: FIB UGM, pidato pengukuhan guru besar.
Gifford, Henry. Comparative Literature; A Critical Introduction. USA: Blackwell Publisher
Ltd.
Jost, Francois. 1974. Introduction to Comparative Literature. Indianapolis dan New
York: The Bobbs-Merrill Company, Inc.
Kasim, Rozali. 1996. Sastra Bandingan; Ruang Lingkup dan Metode. Jakarta:
Depdikbud.
Ratna, Nyoman Kutha. Sastra dan Cultural Studies; Representasi Fiksi dan Fakta.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. 2005.
__________________. Antropologi Sastra; Peranan Unsur-unsur Kebudayaan dalam
Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
9
Rokhman, Muh Arif. 2003. “Cultural Materialism dalam Kajian Sastra” dalam Sastra
Interdisipliner; Menyandingkan Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Yogyakarta: Qalam.
Strinati, Dominic. 2003. Popular Culture; Pengantar Menuju Teori Budaya Populer.
Yogyakarta: Bentang.
10