Anda di halaman 1dari 13

JURNAL

PENGGAMBARAN KELAS PENGUASA DAN MAKNA TRADISI


BUKA KLAMBU DALAM FILM “SANG PENARI”

Oleh:

VIna Hartsa A’yuni HIdayati

NIM: 15320153

Dosen Pembimbing:

Dra. Mundi Rahayu, M.Hum.

JURUSAN SASTRA INGGRIS

FAKULTAS HUMANIORA

UNIVERSTAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

2018
PENGGAMBARAN KELAS PENGUASA DAN MAKNA TRADISI
BUKA KLAMBU DALAM FILM “SANG PENARI”

Vina Hartsa A’yuni hidayati

15320153

vina30hartsa@gmail.com(15320153@student.uin-malang.ac.id)

Abstrak

Film “Sang Penari” yang diadaptasi dari novel trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” karya
Ahmad Tohari merupakan bukti dari gambaran suatu masyarakat yang dipengaruhi oleh
sistem kapitalisme dan marxisme klasik. Secara tidak sadar, Srintil dan warga Duruh Paruk
telah dikontrol oleh para penguasa dan mengalami tekanan. Budanya dan penguasa membuat
mereka dituntut untuk memenuhi kebijakan-kebijakannya. Penelitian ini menggunakan
metode qualitattif deskriptif berdasarkan teori Marxisme Klasik Marx dan Engles serta
semiotik Levis Strauss untuk mendapatkan pemahaman yang dalam mengenai penggambaran
ide kelas penguasa dan makna tradis buka klambu dalam film “Sang Penari”. Analisis
menemukan pengisi posisi kelas penguasa dan pengambilan makna tradisi buka klambu yang
digambarkan dalam deskripsi adegan atau dialog para tokoh.

I. Pendahuluan

Sastra merupakan suatu istilah yang digunakan untuk mengekspresikan pengalaman


manusia. Hal ini berarti bahwa sastra ditulis tidak hanya untuk kepuasan dan hiburan
semata, tetapi juga menggambarkan kondisi atau peristiwa yang terjadi di kehidupan
nyata dimana suatu karya sastra itu ditulis oleh seorang penulis. Seorang penulis
mengekspresikan persaaan dan pengetahuan mereka melalui karya sastra tersebut.
Dengan demikian, suatu karya sastra juga dapat berfungsi sebagai cermin kehidupan
manusia yang menggambarkan pandangan penulis terhadap fenomena sosial yang mereka
temui dan alami di masyarakat.

Karya sastra banyak digunakan untuk merujuk kepada karya imajinasi kreatif,
termasuk puisi, prosa,drama, fiksi dan non-fiksi. Film merupakan salah satu karya sastra
yang menarik unruk dikaji. Fim memiliki cerita yang kompleks sehingga cukup mudah
untuk ditelaah karena tidak diperlukan imajinasi yang rumit untuk menentukan
bagaimana gambaran fisik dari sang tokoh dan adegan yang terjadi dalam cerita tersebut.
Dengan tampilan adio visualnya, suatu cerita di dalam film juga diharapkan dapat diambil
manfaat dan nilai-nilai moral yang terkandung didalamnya.

Film “Sang Penari” yang diadaptasi dari novel trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk”
banyak diteliti dari sisi feminisme yang memang lebih menonjol mengingat tokoh
utamanya adalah seorang perempuan. Srintil sebagai seorang ronggeng teah mengalami
berbagai tekanan batin dalam dirinya. Sebagai seorang wanita, ia juga ingin merasakan
menjadi wanita normal lainnya dan bisa menikah dengan orang yang dicintainya. Namun
mimpinya dari kecil mengharuskan dirinya untuk menerima segala konsekuensinya
sebagai seorang ronggeng dan menjadi pemuas nafsu para lelaki di desanya sebagai salah
satu ritual budaya ronggeng. Namun, banyak aspek-aspek lain yang sebenarnya bisa
dilihat dari fim ini.

Elisa Linda Yulia, Ni Luh Nyoman Kebayantini and Wahyu Budi Nugroho (2016)
dalam penelitiannya telah mengungkap sisi feminisme yang ada di dalam novel trilogi
“Ronggeng Dukuh Paruk” oleh Ahmad Tohari. Dengan menggunakan pendekatan
analisis wacana Sara Mills, mereka bertujuan untuk mendapatkan pemahaman tentang
posisi Srintil sebagai subjek, objek dan pandangan penulis. Dalam penelitian ini, Srintil
ditempatkan sebagai subjek dilihat dari situasinya dalam ekonomi, sosial, dan psikologis
dimana ia berhasil menentang ketentuan sosial yang membatasi ekspresi kehidupannya
dan menolak semua aturan lingkup "peronggengan". Di posisinya sebagai objek,
ditampilkan ketika ia bermain mata, menyentuh tubuhnya, difitnah, dicemooh, dan
terancam oleh statusnya sebagai mantan narapidana, Selain itu ia digunakan sebagai alat
atau boneka untuk memenuhi permintaan warga di sekelilingnya, baik dalam materi atau
memuaskan keinginan manusia.

Dalam penelitian lainnya yang ditulis oleh Sudarwati, novel ini diteliti dari segi
budayanya. Hegemoni budaya patriarkal dalam novel ini sangat melekat dan telah
dilestarikan secara turun-temurun. Ronggeng semata-mata hanya untuk kesenangan laki-
laki saja. Srintil sebagai ronggeng telah dijadikan sebuah objek unntuk memenuhi
tuntutan masyarakat sehingga tidak memiliki kesempatan memenuhi keinginannya. Ia
telah hidup untuk memenuhi budayanya. Secara simbolik, dunianya menyatakan bahwa
wanita merupakan hiburan, pemuas nafsu laki-laki dan dikontrol oleh hegemoni
kekuasaan. Dalam perspektif analisis gender, ia mengalami kematian subjek dan tidak
bisa memenuhi keinginannya untuk menikah dengan orang yang dicintainya.
Dalam penelitian ini, kami mencoba meneliti aspek yang berbeda dengan
menggunakan objek yang berbeda pula. Kami fokus pada bagaiman cara kelas rulling
dalam film "Sang Penari" mengontrol masyarakat Dukuh Paruk digambarkan sebagai
hasil dari upaya pemberantasan G30/S PKI komunisme yang terjadi pada akhir
pemerintahan Presiden Soekarno menuju ke Presiden Suharto di tahun 1960-an. Kami
menguraikan budaya kelas penguasa dalam aspek Marxisme klasik yang dialami oleh
masyarakat tersebut mengenai bagaima fenomena tersebut terjadi dan membedakan
pengaruh kelas penguasa baik kekuasaan struktur basis maupun suprastruktur dalam film
ini. Selain itu, kami juga menguraikan makna tradisi buka klambu yang menjadi salah
ritual pengesahan seorang ronggeng. Dari makna tersebut, peran dan tujuan tradisi ini
akan ditampilkan.

II. Kerangka Teori

Karl Marx dan Friedrich Engels merupakan tokoh ahli filsafat German yang memiliki
ide tentang Marxisme Klasik. Mereka berpendapat bahwa ide kelas penguasa (rulling
class) terjadi pada masa dimana ide kekuasaan berkuasa, yakni ide dimana seorang
penguasa telah menguasai masyarakat baik secara materiil maupun intelektual. Mereka
mempercayai bahwa seorang dominan sebagai pemilik mutlak kekuasaan dapat
menguasai atau mengontrol masyarakat baik kekuasaan produksi materiil maupun
intelektual.

Kelas penguasa (kaum borjuis) dibagi menjadi dua bagian, yakni struktur basis dan
suprastruktur. Pembagian ini dilakukan berdasarkan fungsi kelas penguasa dalam mode
produksi (bagaimana masyarakat diatur dan mengatur untuk memproduksi kebutuhan
hidup). Kelas penguasa struktur basis adalalah kondisi dasar dimana ide kekuasaan
mengontrol suatu masyarakat tertentu dalam makna dan hubungan produksi. Makna
produksi merujuk pada alat-alat, mesin-mesin, faktor-faktor pendukung dan bahan-bahan
mentah. Sementara itu, hubungan produksi mencakup kekayaan pribadi, komoditi,
penguasaan pasar, aristokasi tenaga kerja, dan lain-lain. Di sisi lain, kelas penguasa
suprastruktur berada pada dasar penandaan dan legitimasi. Kelas ini dapat mengontrol
masyarakat dalam segala sesuatu yang secara tidak langsung berkaitan dengan produksi
(ideologi keluarga, seni, budaya, politik, komunikasi, teknologi dan sebagainya).

Teori Marxis tentang budaya klasik sebaliknya bertujuan untuk memahami dan
menjelaskan teks atau praktek-praktek yang selalu berada pada produksi-produksi
bersejarah yang kemudian dianalisis dalam kondisi sejarah yang memproduksinya. Hal
ini karena analisis kebudayaan dapat dengan cepat runtuh pada analisis ekonomi (budaya
menjadi cerminan pasif perekonomian).

Di sisi lain, Claude Lévi-Strauss dalam teori semiotik mempertimbangkan mitos


dalam pengembangan analisisnya. Mitos atau Mitologi pada teori Staruss ini merujuk
pada sesuatu yang dianggap benar dan benar-benar nyata yang tercantum dalam tradisi-
tradisi budaya. cerita-cerita dalam budaya kita bertujuan untuk mengahalau kontradiksi
dan membuat dunia mudah dipahami dan dihuni. Singkatnya, cerita-cerita ini berusaha
membuat kita berdamai dengan diri sendiri dan keberadaan kita.

Strauss menggunakan teori strukturalisme Saussure untuk membantunya menemukan


“dasar-dasar bawah sadar” budaya yang disebut “masyarakat primitif.” Ia menganalisis
aktivitas estetika dan bentuk lain dari praktek-praktek budaya dan sosial sebagai analogi
sistem bahasa dimana masing-masing bahasa dengan cara yang berbeda memiliki mode
komunikasi atau ekspresi

Analisis mitos Strauss tertarik membahas tentang budaya populer. Ia mengklaim


bahwa di bawah heterogenitas mitos yang luas ditemukan struktur yang homogen.
Terdapat banyak mitos yang disusun di mana-mana tapi tetap harus ada sebuah struktur
homogenen yang mendasari (berdasarkan gambaran hubungan langue dan parole).

Strauss juga mengamati struktur oposisi biner dalam suatu mitos dan membagi dunia
menjadi kategori eksklusif mutual yang dapat memproduksi makna sebagai akibat dari
adanya interaksi antara proses persamaan dan perbedaan budaya. Ia membagi dunia
menjadi berlawanan arti seperti; budaya/alam, baik/buruk dan laki-laki/perempuan untuk
mendapatkan mitos yang bermakna. Pembagian ini mempertimbangkan fungsi mitos yang
ada dalam realitas suatu budaya.

III. Analisis data dan Metodologi

Penelitian ini menggunakan metode qualitattif deskriptif berdasarkan teori Marxisme


Klasik Marx dan Engles serta semiotik Levis Strauss. Seperti yang telah disebutkan
dalam masalah penelitian, penelitian ini menjelaskan bagaimana penggambaran ide kelas
penguasa dan apa makna tradisi buka klambu dalam film “Sang Penari.” Secara
deskriptif, penelitian ini menafsirkan lalu kemudian menganalisis data-data sehingga hasil
dari penelitian ini berupa deskripsi data-data. Adapun penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan pemahaman yang dalam mengenai penggambaran ide kelas penguasa dan
makna tradis buka klambu dalam film “Sang Penari”.

Pertama-tama, data-data dalam penelitian ini diklasifikasi berdasarkan teori Marxisme


Klasik Marx dan Engles serta semiotik Levis Strauss. data-data dalam penelitian ini
berupa deskripsi kata-kata yang diambil dari representasi latar, adegan dan dialog tokoh
dalam film ini. Data-data yang cocok yang membantu menemukan penafsiran telah
dipilih lalu kemudian dikembangkan pada analisis berikutnya. Setelah mengumpulkan
data-data, ada beberapa langkah dalam penelitian ini untuk menganalisis data-data
tersebut. Pertama, penjelasan klasifikasi data-data ditampilkan berdasarkan teori
Marxisme Klasik Marx dan Engles serta semiotik Levis Strauss. Kedua, penafsiran dan
diskusi data-data dilakukan dari sudut Marxisme Klasik dan semiotik. Dan yang terakhir,
kesimpulan dari temuan penelitian ini didiskripsikan.

IV. Kelas Penguasa Dalam Film “Sang Penari”

Film “Sang Penari” yang diadaptasi dari novel trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” karya
Ahmad Tohari berfungsi sebagai bukti dari gambaran suatu masyarakat yang dipengaruhi
oleh sistem kapitalisme dan marxisme klasik. Warga Duruh Paruk telah dikontrol oleh
para penguasa dan mengalami tekanan. Mereka sebagai masyarakat awam yang tidak
mengenal pendidikan dan politik secara tidak sadar telah terpengaruh hasutan manis Pak
Bakar (seorang Komunis) dan terdaftar sebagai anggota partai komunis. Seluruh
penduduk kecuali Sakarya (penabuh calung yang buta) kemudian dibunuh oleh oknum
pemberantas G30/S PKI meskipun mereka masih termasuk anggota yang terduga
penganut komunisme. Sementara itu, mereka juga telah dikuasai oleh sistem buruh yang
sejak lama berlaku sebelum Indonesia merdeka dan masih dijalankan pada masa
pemerintahan presiden Sukarno yang merupakan hasil dari ideologi kapitalisme yang
dibawa oleh penjajah ke Indonesia. Dalam hal ini, analisis menjabarkan penggambaran
kelas-kelas penguasa tersebut berdasarkan deskripsi film “Sang Penari.”

a. Kelas Penguasa Struktur Basis

Berbiara tentang struktur basis dalam ide kelas penguasa yang ada dalam film “Sang
Penari” ini digambarkan oleh tokoh Pak Bakar yang dulunya adalah salah satu warga
Dukuh Paruk dan kemudian kembali sebagai tokoh intelek masyarakat serta menolak
sistem buruh yang telah diterapkan sejak lama di Indonesia yang juga berlaju di Dukuh
Paruk. Pak Bakar sebagai tokoh intelek desa Dukuh Paruk adalah seseorang yang
memiliki wibawa, cerdas dan dapat mempengaruhi orang lain dengan bahasanya. Beliau
sebagai seorang tokoh yang pernah mengenyam dunia pendidikan dianggap sebagai
seseorang yang memiliki tingkat intelektual yang tinggi dan tinggal diantara masyarakat
awan yang tidak pernah mengenal bangku sekolah.

Karena kepiawaiannya dalam mempengaruhi pikiran orang lain dengan bahasanya,


beliau mampu menguasai intelektual warga Dukuh Paruk sehingga mereka mengikuti apa
yang coba ditanamkan olehnya, yakni ide komunisme yang menganggap bahwa suatu
masyarakat tidak boleh berada pada penguasaan swasta (kaum borjuis) atau hasil panen
adalah hak milik seluruh rakyat. Singkatnya, ide ini ingin menghapuskan sistem buruh
yang sedang berlaku.

Beliau juga menanamkan pemahaman modern pada masayarakat bahwa kemajuan


pemikiran dunia dapat menawarkan kehidupan yang lebih baik dan tidak lagi tertindas
dan diperlakukan semena-mena oleh kaum borjuis karena mereka tidak mengerti tentang
teknologi dan pendidikan. Mereka juga dapat membawa budaya leluhur mereka untuk
dikenal dunia bahwa nilai kebudayaan suatu tradisi atau budaya menjadi lebih terapresiasi
karenanya, bukan malah dengan cara tradisi buka klambu mereka yang salah yang seolah-
olah menjadikan tradisi itu sebagai ajang pesta seks.

Disinilah, peran Pak Bakar di masyarakat Dukuh Paruk telah mampu menguasai dan
mengontrol masyarakat secara intelektual dimana kemudian masyarakat awam yang tidak
mengerti pendidikan telah terhasut oleh kata-katanya sehingga mereka mengikuti ajakan
Pak Bakar untuk menentang sistem buruh. Pak Bakar kemudian memberi iming-iming
pemberian sembako dan peminjaman uang.

Secara tidak sadar, adanya penerimaan iming-iming ini membuat nama mereka
terdaftar sebagai anggota atau terduga komunis. Sementara pada saat itu bertepatan
dengan adanya pemberantasan komunisme oleh Jendral Suharto sehingga warga Dukuh
Paruk akhirnya terkena imbasnya dan kemudian dibunuh dengan tidak
berperikemanusiaan. Adapun penggambaran Pak Bakar sebagai kelas penguasa struktur
basis ini dibuktikan melaui bahasa yang digunakannya untuk mempengaruhi Dukuh
Paruk, seperti kata-kata dalam beberapa dialognya di bawah ini:

“ini ada yang salah sedulur-sedulur, masak warung pinggir sawah gak punya beras”
“kalau cuma masalah seks, buat saya itu hal sepele. Yang terpenting adalah bagaimana
ronggeng tetap lestari sebagai seni rakyat supaya harkat dan martabatnya tidak dibeli
oleh masyarakat borjuis. Negara kita ini bisa cepat maju kalau banyak anak muda seperti
Rasus. Ya, asal tenaganya digunakan dengan benar!”

“Tanah untuk rakyat, bukan buat tuan tanah/mandor. Semua itu buat rakyat! Partaiku
mikirin itu semua. Mikirin rakyat! Ini biar Dukuh Paruk tahu perkembangan. Ngikutin
perjuangan kita semua.”

“Kang, kalau partai saya suka., grup Ronggeng ini bakalan sering manggung. Panen
tanggapan!”

Sementara itu, sistem buruh di Indonesia telah berlaku sejak sebelum Indonesia
merdeka dan masih berlanjut hingga pemerintahan presiden Sukarno. Sistem yang
sebenarnya merupakan akibat dari ideologi yang dibawa penjajah ke Indonesia ini telah
mampu menguasai masyarakat dalam segi ekonomi. Tentunya, penguasaan ekonomi
masyarakat pada saat itu juga berarti menguasai masyarakat secara keseluruhan
mengingat ekonomi merupakan salah satu aspek terpenting dalam kesejahteraan
masyarakat.

Dalam film ini, sistem buruh dimana tuan tanah memilki dominasi dan kekuasaan
dalam hal pengambilan hasil panen. Mereka sebagai pemilik tanah berhak menentukan
ketentuan bagi hasil yang meskipun tidak seimbang dan memberi kebijakan-keijakan
terkait produksi. Ia telah mampu mengontrol kaumnya untuk melakukan apa yang
ditentukannya dan menerima apapun keputusannya baik terkait upah, durasi kerja,
pelangaran-pelangaran, dan sebagainya. Disinilah, penguasaan swasta terjadi dan ide
kelas penguasa strukur basis digambarkan.

Meskipun tidak digambarkan begitu detail dalam film ini tentang bagaimana sistem
buruh ini berlaku di desa Dukuh Paruk, namun ilustrasi adegan dimana Pak Bakar
mendatangi sawah milik salah satu warga dan perbincangannya dengan warga Dukuh
Paruk disana telah menjadi bukti adanya ide kelas penguasa struktur basis yang
digambarkan. Sistem buruh dimana tuan tanah sebagai pemilik atau dominan telah
mampu mengontrol masyarakat dalam segi ekonomi dimana seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya bahwa aspek ekonomi sangat mempengaruhi kondisi masyarakat
di Indonesia pada saat itu yang juga berlaku di Dukuh Paruk.
b. Kelas Penguasa Suprastruktur

Dengan menggunakan latar waktu yang terjadi pada tahun 1960-an, film ini telah
menyatakan bahwa terdapat penggambaran ide kelas penguasa suprastruktur. Pada saat
itu, tepatnya pada tahun 1965, Indonesia masih berada di bawah kuasa presiden Sukarno
meskipun tidak mutlak. Sedangkan Jendral Suharto dan sekutunya telah mendirikan
gerakan pemberantasan komunisme yang disebut G30/S PKI dan sedang melakukan
aksinya dengan membunuh para anggota dan terduga komunisme di seluruh Indonesia.
Tentunya, warga Dukuh Paruk pun tidak luput dari pengawasan para ABRI yang memang
bertugas mencari informasi terkait anggota.

Masyarakat Dukuh Paruk yang tidak pernah sama sekali mengenyam dunia
pendidikan telah termakan iming-iming Pak Bakar (seorang komunis) dan terdaftar
sebagai anggota atau terduga komunis kecuali Sakarya (penabuh calung ronggeng yang
buta). Setelah anggota ABRI dimana Rasus yang juga merupakan salah satu warga Dukuh
Paruk ikut mengawasi serta menyerahkan daftar nama warga Dukuh Paruk yang menjadi
anggota atau terduga komunis, mereka kemudian diseret paksa oleh oknum pemberantas
komunisme yang sedang bertugas pada saat itu. Warga kemudian disekap di ruang bawah
tanah yang jauh dari rumah penduduk untuk langsung dibunuh dengan ditembak atau
ditenggelamkan di rawa-rawa atau sungai-sungai. Mereka termasuk masih beruntung
daripada warga yang tidak langsung dibunuh, melainkan disiksa terlebih dahulu atas
kesalahpahaman yang terjadi.

Disinilah, ide kelas penguasa suprastruktur digambarkan. Karena ketidakmutlakan


kepemimpinan presiden Sukarno pada saat itu, maka Jendral Suharto dan sekutunya lah
yang memegang kekuasaan pada saat itu. Wewenangnya untuk memberantas ide
komunisme baik anggota maupun terduga komunisme adalah sangat berpengaruh dan
mutlak. Mereka tentu telah memanfaatkan media komunikasi dan informasi (radio, tv dan
surat kabar), politik, budaya dan lain-lain untuk mencapai visi dan misi mereka ini.
Mereka sebagai penguasa tertinggi mampu menguasai dan mengontrol masyarakat untuk
menaati kebijakan-kebijakan yang telah dibuatnya dimana mereka menentang ide
komunisme yang tujuan utamanya adalah terciptanya masyarakat komunis dengan aturan
sosial ekonomi berdasarkan kepemilikan besama terutama terkait produksi kebutuhan
hidup.
Ide kelas ini juga dibuktikan kemutlakannya dengan kita melihat dalam ilustrasi
adegan film ini dimana para anggota ABRI tidak mampu berbuat apa-apa ketika aksi
pemberantasan dilakukan. Bahkan meskipun dalam kasus Rasus dimana orang-orang
terdekatnya terutama Srintil (tokoh utama yang menjadi ronggeng) terkena dampak atas
ketidaktahuan mereka. Para anggota ABRI yang seharusnya bertugas melindugi
rakyatnya kini tidak berlaku dan harus ikut mengawasi lancarnya jalan eksekusi
pembunuhan tanpa boleh ikut campur tangan atau mereka akan ikut dibunuh atas tuduhan
bersekongkol dengan para komunis. Dengan demikian, Jendral Suharto dan sekutunya
adalah gambaran dari ide kelas penguasa suprastruktur karena mereka telah berhasil
menguasai masyarakat baik dari segi kekuasaan materiil maupun intelektual.

V. Makna Tradisi Buka Klambu

Dalam film ini, makna tradisi buka klambu adalah gambaran dari budaya patriarki
yang terjadi pada warga Dukuh Paruk. Tradisi ini sebenarnya menggambarkan bagaimana
seorang perempuan telah diobjekkan dengan tidak memiliki kesempatan untuk membahas
pengalamannya. Perempuan telah dipaksa untuk mengikuti aturan yang sudah ada dan
impiannya tidak dianggap ada.

Karena sifatnya yang naif dan polos, Srintil secara tidak sadar telah dijadikan sebagai
alat atau boneka pemuas nafsu birahi laki-laki saja. Tubuhnya telah menjadi komoditi dan
harga dirinya telah direnggut. Dibalik citranya, seorang ronggeng adalah wanita
penghibur yang harus memuaskan hasrat para lelaki meski dengan imbalan yang sedikit.
Budaya ini dianggap benar dan semata-mata hanya untuk kesenangan laki-laki saja.

Sejak dulu, budaya ini telah menjadi turun-temurun dan disakralkan oleh warga
Dukuh Paruk. Bahkan para istri mendukung suaminya dan berebut untuk mengambil
keperawanan Srintil. Mereka beranggapan bahwa seorang lelaki yang dipilih untuk
dilayani oleh Srintil adalah orang paling kaya di desa mereka. Hal ini terlihat dari
bagaimana para istri menyiapkan dan mendorong suami mereka dengan menyiapkan
banyak uang untuk membayar malam mereka dengan Srintil. Untuk menjadi seorang
ronggeng pun diperlukan simbol persetujuan leluhur berupa keris ronggeng terdahulu
yang kemudian ritual pengesahannya diramalkan oleh seorang dukun ronggeng
(Kartareja, kakek angkat Srintil). Hal ini dibuktikan ketika Srintil sebelumnya ditolak
untuk menjadi ronggeng melalui perkataan sang dukun bahwa tradisi ronggeng tidak
hanya tentang “menjoget” atau dibuat untuk memperbaiki nama baik melainkan sebagai
wujud dharma bakti anak cucu kepada leluhur mereka (Ki Sektamenggala) dan kemudian
disahkan menjadi ronggeng setelah menerima keris ronggeng terdahulu yang ternyata
selama ini dibawa oleh Rasus.

Selain itu, Srintil juga tidak dapat memenuhi keinginannya untuk menikah dengan
pria yang dicintainya. Kesetiaannya untuk mengabdi pada budayanya telah dimanfaatkan.
Ia pun harus rela melupakan keinginannya itu atas tuntutan aturan seorang ronggeng.
Hasil bayaran yang seharusnya diberikan kepadanya pun pada kenyataannya tidak sampai
di tangannya, melainkan dinikmati oleh laki-laki (dukun dan penabuh calung) dan
hidupnya telah dikendalikan oleh laki-laki. Karena itulah, tradisi buka klambu ini
memiliki makna sebagai gambaran dari budaya patriarki di masyarakat.

VI. KESIMPULAN

Film “Sang Penari” yang diadaptasi dari novel trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” karya
Ahmad Tohari merupakan bukti dari gambaran suatu masyarakat yang dipengaruhi oleh
sistem kapitalisme dan marxisme klasik. Secara tidak sadar, warga Duruh Paruk telah
dikontrol oleh para penguasa dan mengalami tekanan. Karena tidak pernah mengenyam
bangku sekolah dan kondisi sosial mereka sebagai rakyat membuat mereka dituntut untuk
tunduk pada penguasa dan terkena dampak atas kebijakan dan kepandaian mereka.
Mereka telah dikuasai oleh dua kelas penguasa sekaligus.

Terlepas dari posisinya sebagai mantan warga Dukuh Paruk, Pak bakar dianggap
sebagai tokoh intelektual bagi warga Dukuh Paruk dan berhasil mengusai mereka dari
segi intelektual atas kepandaian kata-katanya dalam mempengaruhi mereka tentang ide
komunisme yang dibawanya. Disisi lain, sistem buruh yang dibawa oleh penjajah
Indonesia terdahulu telah sejak lama berlaku di Indonesia termasuk di Dukuh Paruk juga
berhasil menguasai warga dari segi produksi ekonominya. Tuan tanah (penguasa swasta)
sebagai pemilik atau dominan dapat menguasai para pekerjanya sehingga ketentuan dan
kebijakannya harus dipenuhi oleh mereka. Dengan demikian, kedua kelas penguasa ini
adalah berada pada tingkat struktur basis.

Sementara itu, posisi kelas penguasa suprastruktur telah diisi oleh Jendral Suharto dan
sekutunya dimana latar waktu dalam novel ini terjadi pada tahun 1960-an yakni masa-
masa gerakan pemberantasan komunisme dilakukan. Karena ketidakmutlakan
kepemimpinan presiden Sukarno, maka wewenang dan kekuasaan Jendral Suharto dan
sekutunya menjadi mutlak. Dengan kekuasaan tertinggi yang dimiliknya, mereka mampu
menguasai masyarakat baik dari segi aspek intelektual, politik, budaya, media komunikasi
dan informasi, produksi, dan sebagainya. Tidak ada satupun bentuk kekuasan yang dapat
mengimbanginya sehingga masyarakat pun menjadi patuh.

Selain itu, film ini juga mengungkap makna tradisi klambu yang sebenarnya yakni
gambaran dari adanya budaya patriarki yang nyata terjadi di Dukuh Paruk. Budaya
patriarki yang menganggap laki-laki menjadi dominasi telah menyisihkan perempuan dari
dunianya. Dalam film ini, tokoh Srintil yang digambarkan sebagai perempuan yang naif
dan lugu secara tidak sadar telah membuat dirinya sendiri sebagai objek pemuas nafsu
lelaki. Tradisi buka klambu ini telah merenggut harga dirinya sebagai seorang wanita dan
hidupnya dituntut untuk memenuhi budaya yang sebenarnya hanya untuk kesenangan
para laki-laki. Ia tidak bisa memenuhi keinginannya untuk menikahi lelaki yang
dicintainya dan upahnya juga hanya dinikmati para lelaki.

REFERENSI

Yulia, E.L., Kebayantini, N.L.N. and Nugroho W.B. 2016. Analisis Wacana Feminis Tokoh
Srintil Dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari. Journal of Faculty of
Social and Political Sciences Udayana University: Bali.

Sudarwati. 2011. Ideologi Patriarki Pada Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad
Tohari. Jurnal. Untag Surabaya: Surabaya.

Storey, J. 2009. Cultural Theory and Popular Culture, Fifth Edition. England: Pearson
Longman.

Suseno, B. 2015. Menelisik Pemikiran Marxis Klasik.


http://mbudiscendikia.blogspot.co.id/2015/06/menelisik-pemikiran-marxis-klasik.html.
Diakses pada 28 Maret 2018.

Harris, K. 2015.Analisis film Sang Penari. http://kevinhrs11.blogspot.co.id/2015/04/analisis-


film-sang-penari.html. Diakses pada 2 April 2018.

Eka. 2011. Resensi Film Sang Penari: Menonton Tradisi Dan Sejarah Bangsa.
http://bandung.bisnis.com/read/20111120/34242/111957/resensi-film-sang-penari-menonton-
tradisi-dan-sejarah-bangsa. Diakses pada 23 Mei 2018.
Hidayah, N. 2013. Sinopsis Novel Ronggeng Dukuh Paruk (Karya Ahmad Tohari).
http://dunianurulhidayah.blogspot.co.id/2013/02/sinopsis-novel-ronggeng-dukuh-paruk.html.
Diakses pada 24 Mei 2018.

Anda mungkin juga menyukai