Oleh:
NIM: 15320153
Dosen Pembimbing:
FAKULTAS HUMANIORA
2018
PENGGAMBARAN KELAS PENGUASA DAN MAKNA TRADISI
BUKA KLAMBU DALAM FILM “SANG PENARI”
15320153
vina30hartsa@gmail.com(15320153@student.uin-malang.ac.id)
Abstrak
Film “Sang Penari” yang diadaptasi dari novel trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” karya
Ahmad Tohari merupakan bukti dari gambaran suatu masyarakat yang dipengaruhi oleh
sistem kapitalisme dan marxisme klasik. Secara tidak sadar, Srintil dan warga Duruh Paruk
telah dikontrol oleh para penguasa dan mengalami tekanan. Budanya dan penguasa membuat
mereka dituntut untuk memenuhi kebijakan-kebijakannya. Penelitian ini menggunakan
metode qualitattif deskriptif berdasarkan teori Marxisme Klasik Marx dan Engles serta
semiotik Levis Strauss untuk mendapatkan pemahaman yang dalam mengenai penggambaran
ide kelas penguasa dan makna tradis buka klambu dalam film “Sang Penari”. Analisis
menemukan pengisi posisi kelas penguasa dan pengambilan makna tradisi buka klambu yang
digambarkan dalam deskripsi adegan atau dialog para tokoh.
I. Pendahuluan
Karya sastra banyak digunakan untuk merujuk kepada karya imajinasi kreatif,
termasuk puisi, prosa,drama, fiksi dan non-fiksi. Film merupakan salah satu karya sastra
yang menarik unruk dikaji. Fim memiliki cerita yang kompleks sehingga cukup mudah
untuk ditelaah karena tidak diperlukan imajinasi yang rumit untuk menentukan
bagaimana gambaran fisik dari sang tokoh dan adegan yang terjadi dalam cerita tersebut.
Dengan tampilan adio visualnya, suatu cerita di dalam film juga diharapkan dapat diambil
manfaat dan nilai-nilai moral yang terkandung didalamnya.
Film “Sang Penari” yang diadaptasi dari novel trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk”
banyak diteliti dari sisi feminisme yang memang lebih menonjol mengingat tokoh
utamanya adalah seorang perempuan. Srintil sebagai seorang ronggeng teah mengalami
berbagai tekanan batin dalam dirinya. Sebagai seorang wanita, ia juga ingin merasakan
menjadi wanita normal lainnya dan bisa menikah dengan orang yang dicintainya. Namun
mimpinya dari kecil mengharuskan dirinya untuk menerima segala konsekuensinya
sebagai seorang ronggeng dan menjadi pemuas nafsu para lelaki di desanya sebagai salah
satu ritual budaya ronggeng. Namun, banyak aspek-aspek lain yang sebenarnya bisa
dilihat dari fim ini.
Elisa Linda Yulia, Ni Luh Nyoman Kebayantini and Wahyu Budi Nugroho (2016)
dalam penelitiannya telah mengungkap sisi feminisme yang ada di dalam novel trilogi
“Ronggeng Dukuh Paruk” oleh Ahmad Tohari. Dengan menggunakan pendekatan
analisis wacana Sara Mills, mereka bertujuan untuk mendapatkan pemahaman tentang
posisi Srintil sebagai subjek, objek dan pandangan penulis. Dalam penelitian ini, Srintil
ditempatkan sebagai subjek dilihat dari situasinya dalam ekonomi, sosial, dan psikologis
dimana ia berhasil menentang ketentuan sosial yang membatasi ekspresi kehidupannya
dan menolak semua aturan lingkup "peronggengan". Di posisinya sebagai objek,
ditampilkan ketika ia bermain mata, menyentuh tubuhnya, difitnah, dicemooh, dan
terancam oleh statusnya sebagai mantan narapidana, Selain itu ia digunakan sebagai alat
atau boneka untuk memenuhi permintaan warga di sekelilingnya, baik dalam materi atau
memuaskan keinginan manusia.
Dalam penelitian lainnya yang ditulis oleh Sudarwati, novel ini diteliti dari segi
budayanya. Hegemoni budaya patriarkal dalam novel ini sangat melekat dan telah
dilestarikan secara turun-temurun. Ronggeng semata-mata hanya untuk kesenangan laki-
laki saja. Srintil sebagai ronggeng telah dijadikan sebuah objek unntuk memenuhi
tuntutan masyarakat sehingga tidak memiliki kesempatan memenuhi keinginannya. Ia
telah hidup untuk memenuhi budayanya. Secara simbolik, dunianya menyatakan bahwa
wanita merupakan hiburan, pemuas nafsu laki-laki dan dikontrol oleh hegemoni
kekuasaan. Dalam perspektif analisis gender, ia mengalami kematian subjek dan tidak
bisa memenuhi keinginannya untuk menikah dengan orang yang dicintainya.
Dalam penelitian ini, kami mencoba meneliti aspek yang berbeda dengan
menggunakan objek yang berbeda pula. Kami fokus pada bagaiman cara kelas rulling
dalam film "Sang Penari" mengontrol masyarakat Dukuh Paruk digambarkan sebagai
hasil dari upaya pemberantasan G30/S PKI komunisme yang terjadi pada akhir
pemerintahan Presiden Soekarno menuju ke Presiden Suharto di tahun 1960-an. Kami
menguraikan budaya kelas penguasa dalam aspek Marxisme klasik yang dialami oleh
masyarakat tersebut mengenai bagaima fenomena tersebut terjadi dan membedakan
pengaruh kelas penguasa baik kekuasaan struktur basis maupun suprastruktur dalam film
ini. Selain itu, kami juga menguraikan makna tradisi buka klambu yang menjadi salah
ritual pengesahan seorang ronggeng. Dari makna tersebut, peran dan tujuan tradisi ini
akan ditampilkan.
Karl Marx dan Friedrich Engels merupakan tokoh ahli filsafat German yang memiliki
ide tentang Marxisme Klasik. Mereka berpendapat bahwa ide kelas penguasa (rulling
class) terjadi pada masa dimana ide kekuasaan berkuasa, yakni ide dimana seorang
penguasa telah menguasai masyarakat baik secara materiil maupun intelektual. Mereka
mempercayai bahwa seorang dominan sebagai pemilik mutlak kekuasaan dapat
menguasai atau mengontrol masyarakat baik kekuasaan produksi materiil maupun
intelektual.
Kelas penguasa (kaum borjuis) dibagi menjadi dua bagian, yakni struktur basis dan
suprastruktur. Pembagian ini dilakukan berdasarkan fungsi kelas penguasa dalam mode
produksi (bagaimana masyarakat diatur dan mengatur untuk memproduksi kebutuhan
hidup). Kelas penguasa struktur basis adalalah kondisi dasar dimana ide kekuasaan
mengontrol suatu masyarakat tertentu dalam makna dan hubungan produksi. Makna
produksi merujuk pada alat-alat, mesin-mesin, faktor-faktor pendukung dan bahan-bahan
mentah. Sementara itu, hubungan produksi mencakup kekayaan pribadi, komoditi,
penguasaan pasar, aristokasi tenaga kerja, dan lain-lain. Di sisi lain, kelas penguasa
suprastruktur berada pada dasar penandaan dan legitimasi. Kelas ini dapat mengontrol
masyarakat dalam segala sesuatu yang secara tidak langsung berkaitan dengan produksi
(ideologi keluarga, seni, budaya, politik, komunikasi, teknologi dan sebagainya).
Teori Marxis tentang budaya klasik sebaliknya bertujuan untuk memahami dan
menjelaskan teks atau praktek-praktek yang selalu berada pada produksi-produksi
bersejarah yang kemudian dianalisis dalam kondisi sejarah yang memproduksinya. Hal
ini karena analisis kebudayaan dapat dengan cepat runtuh pada analisis ekonomi (budaya
menjadi cerminan pasif perekonomian).
Strauss juga mengamati struktur oposisi biner dalam suatu mitos dan membagi dunia
menjadi kategori eksklusif mutual yang dapat memproduksi makna sebagai akibat dari
adanya interaksi antara proses persamaan dan perbedaan budaya. Ia membagi dunia
menjadi berlawanan arti seperti; budaya/alam, baik/buruk dan laki-laki/perempuan untuk
mendapatkan mitos yang bermakna. Pembagian ini mempertimbangkan fungsi mitos yang
ada dalam realitas suatu budaya.
Film “Sang Penari” yang diadaptasi dari novel trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” karya
Ahmad Tohari berfungsi sebagai bukti dari gambaran suatu masyarakat yang dipengaruhi
oleh sistem kapitalisme dan marxisme klasik. Warga Duruh Paruk telah dikontrol oleh
para penguasa dan mengalami tekanan. Mereka sebagai masyarakat awam yang tidak
mengenal pendidikan dan politik secara tidak sadar telah terpengaruh hasutan manis Pak
Bakar (seorang Komunis) dan terdaftar sebagai anggota partai komunis. Seluruh
penduduk kecuali Sakarya (penabuh calung yang buta) kemudian dibunuh oleh oknum
pemberantas G30/S PKI meskipun mereka masih termasuk anggota yang terduga
penganut komunisme. Sementara itu, mereka juga telah dikuasai oleh sistem buruh yang
sejak lama berlaku sebelum Indonesia merdeka dan masih dijalankan pada masa
pemerintahan presiden Sukarno yang merupakan hasil dari ideologi kapitalisme yang
dibawa oleh penjajah ke Indonesia. Dalam hal ini, analisis menjabarkan penggambaran
kelas-kelas penguasa tersebut berdasarkan deskripsi film “Sang Penari.”
Berbiara tentang struktur basis dalam ide kelas penguasa yang ada dalam film “Sang
Penari” ini digambarkan oleh tokoh Pak Bakar yang dulunya adalah salah satu warga
Dukuh Paruk dan kemudian kembali sebagai tokoh intelek masyarakat serta menolak
sistem buruh yang telah diterapkan sejak lama di Indonesia yang juga berlaju di Dukuh
Paruk. Pak Bakar sebagai tokoh intelek desa Dukuh Paruk adalah seseorang yang
memiliki wibawa, cerdas dan dapat mempengaruhi orang lain dengan bahasanya. Beliau
sebagai seorang tokoh yang pernah mengenyam dunia pendidikan dianggap sebagai
seseorang yang memiliki tingkat intelektual yang tinggi dan tinggal diantara masyarakat
awan yang tidak pernah mengenal bangku sekolah.
Disinilah, peran Pak Bakar di masyarakat Dukuh Paruk telah mampu menguasai dan
mengontrol masyarakat secara intelektual dimana kemudian masyarakat awam yang tidak
mengerti pendidikan telah terhasut oleh kata-katanya sehingga mereka mengikuti ajakan
Pak Bakar untuk menentang sistem buruh. Pak Bakar kemudian memberi iming-iming
pemberian sembako dan peminjaman uang.
Secara tidak sadar, adanya penerimaan iming-iming ini membuat nama mereka
terdaftar sebagai anggota atau terduga komunis. Sementara pada saat itu bertepatan
dengan adanya pemberantasan komunisme oleh Jendral Suharto sehingga warga Dukuh
Paruk akhirnya terkena imbasnya dan kemudian dibunuh dengan tidak
berperikemanusiaan. Adapun penggambaran Pak Bakar sebagai kelas penguasa struktur
basis ini dibuktikan melaui bahasa yang digunakannya untuk mempengaruhi Dukuh
Paruk, seperti kata-kata dalam beberapa dialognya di bawah ini:
“ini ada yang salah sedulur-sedulur, masak warung pinggir sawah gak punya beras”
“kalau cuma masalah seks, buat saya itu hal sepele. Yang terpenting adalah bagaimana
ronggeng tetap lestari sebagai seni rakyat supaya harkat dan martabatnya tidak dibeli
oleh masyarakat borjuis. Negara kita ini bisa cepat maju kalau banyak anak muda seperti
Rasus. Ya, asal tenaganya digunakan dengan benar!”
“Tanah untuk rakyat, bukan buat tuan tanah/mandor. Semua itu buat rakyat! Partaiku
mikirin itu semua. Mikirin rakyat! Ini biar Dukuh Paruk tahu perkembangan. Ngikutin
perjuangan kita semua.”
“Kang, kalau partai saya suka., grup Ronggeng ini bakalan sering manggung. Panen
tanggapan!”
Sementara itu, sistem buruh di Indonesia telah berlaku sejak sebelum Indonesia
merdeka dan masih berlanjut hingga pemerintahan presiden Sukarno. Sistem yang
sebenarnya merupakan akibat dari ideologi yang dibawa penjajah ke Indonesia ini telah
mampu menguasai masyarakat dalam segi ekonomi. Tentunya, penguasaan ekonomi
masyarakat pada saat itu juga berarti menguasai masyarakat secara keseluruhan
mengingat ekonomi merupakan salah satu aspek terpenting dalam kesejahteraan
masyarakat.
Dalam film ini, sistem buruh dimana tuan tanah memilki dominasi dan kekuasaan
dalam hal pengambilan hasil panen. Mereka sebagai pemilik tanah berhak menentukan
ketentuan bagi hasil yang meskipun tidak seimbang dan memberi kebijakan-keijakan
terkait produksi. Ia telah mampu mengontrol kaumnya untuk melakukan apa yang
ditentukannya dan menerima apapun keputusannya baik terkait upah, durasi kerja,
pelangaran-pelangaran, dan sebagainya. Disinilah, penguasaan swasta terjadi dan ide
kelas penguasa strukur basis digambarkan.
Meskipun tidak digambarkan begitu detail dalam film ini tentang bagaimana sistem
buruh ini berlaku di desa Dukuh Paruk, namun ilustrasi adegan dimana Pak Bakar
mendatangi sawah milik salah satu warga dan perbincangannya dengan warga Dukuh
Paruk disana telah menjadi bukti adanya ide kelas penguasa struktur basis yang
digambarkan. Sistem buruh dimana tuan tanah sebagai pemilik atau dominan telah
mampu mengontrol masyarakat dalam segi ekonomi dimana seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya bahwa aspek ekonomi sangat mempengaruhi kondisi masyarakat
di Indonesia pada saat itu yang juga berlaku di Dukuh Paruk.
b. Kelas Penguasa Suprastruktur
Dengan menggunakan latar waktu yang terjadi pada tahun 1960-an, film ini telah
menyatakan bahwa terdapat penggambaran ide kelas penguasa suprastruktur. Pada saat
itu, tepatnya pada tahun 1965, Indonesia masih berada di bawah kuasa presiden Sukarno
meskipun tidak mutlak. Sedangkan Jendral Suharto dan sekutunya telah mendirikan
gerakan pemberantasan komunisme yang disebut G30/S PKI dan sedang melakukan
aksinya dengan membunuh para anggota dan terduga komunisme di seluruh Indonesia.
Tentunya, warga Dukuh Paruk pun tidak luput dari pengawasan para ABRI yang memang
bertugas mencari informasi terkait anggota.
Masyarakat Dukuh Paruk yang tidak pernah sama sekali mengenyam dunia
pendidikan telah termakan iming-iming Pak Bakar (seorang komunis) dan terdaftar
sebagai anggota atau terduga komunis kecuali Sakarya (penabuh calung ronggeng yang
buta). Setelah anggota ABRI dimana Rasus yang juga merupakan salah satu warga Dukuh
Paruk ikut mengawasi serta menyerahkan daftar nama warga Dukuh Paruk yang menjadi
anggota atau terduga komunis, mereka kemudian diseret paksa oleh oknum pemberantas
komunisme yang sedang bertugas pada saat itu. Warga kemudian disekap di ruang bawah
tanah yang jauh dari rumah penduduk untuk langsung dibunuh dengan ditembak atau
ditenggelamkan di rawa-rawa atau sungai-sungai. Mereka termasuk masih beruntung
daripada warga yang tidak langsung dibunuh, melainkan disiksa terlebih dahulu atas
kesalahpahaman yang terjadi.
Dalam film ini, makna tradisi buka klambu adalah gambaran dari budaya patriarki
yang terjadi pada warga Dukuh Paruk. Tradisi ini sebenarnya menggambarkan bagaimana
seorang perempuan telah diobjekkan dengan tidak memiliki kesempatan untuk membahas
pengalamannya. Perempuan telah dipaksa untuk mengikuti aturan yang sudah ada dan
impiannya tidak dianggap ada.
Karena sifatnya yang naif dan polos, Srintil secara tidak sadar telah dijadikan sebagai
alat atau boneka pemuas nafsu birahi laki-laki saja. Tubuhnya telah menjadi komoditi dan
harga dirinya telah direnggut. Dibalik citranya, seorang ronggeng adalah wanita
penghibur yang harus memuaskan hasrat para lelaki meski dengan imbalan yang sedikit.
Budaya ini dianggap benar dan semata-mata hanya untuk kesenangan laki-laki saja.
Sejak dulu, budaya ini telah menjadi turun-temurun dan disakralkan oleh warga
Dukuh Paruk. Bahkan para istri mendukung suaminya dan berebut untuk mengambil
keperawanan Srintil. Mereka beranggapan bahwa seorang lelaki yang dipilih untuk
dilayani oleh Srintil adalah orang paling kaya di desa mereka. Hal ini terlihat dari
bagaimana para istri menyiapkan dan mendorong suami mereka dengan menyiapkan
banyak uang untuk membayar malam mereka dengan Srintil. Untuk menjadi seorang
ronggeng pun diperlukan simbol persetujuan leluhur berupa keris ronggeng terdahulu
yang kemudian ritual pengesahannya diramalkan oleh seorang dukun ronggeng
(Kartareja, kakek angkat Srintil). Hal ini dibuktikan ketika Srintil sebelumnya ditolak
untuk menjadi ronggeng melalui perkataan sang dukun bahwa tradisi ronggeng tidak
hanya tentang “menjoget” atau dibuat untuk memperbaiki nama baik melainkan sebagai
wujud dharma bakti anak cucu kepada leluhur mereka (Ki Sektamenggala) dan kemudian
disahkan menjadi ronggeng setelah menerima keris ronggeng terdahulu yang ternyata
selama ini dibawa oleh Rasus.
Selain itu, Srintil juga tidak dapat memenuhi keinginannya untuk menikah dengan
pria yang dicintainya. Kesetiaannya untuk mengabdi pada budayanya telah dimanfaatkan.
Ia pun harus rela melupakan keinginannya itu atas tuntutan aturan seorang ronggeng.
Hasil bayaran yang seharusnya diberikan kepadanya pun pada kenyataannya tidak sampai
di tangannya, melainkan dinikmati oleh laki-laki (dukun dan penabuh calung) dan
hidupnya telah dikendalikan oleh laki-laki. Karena itulah, tradisi buka klambu ini
memiliki makna sebagai gambaran dari budaya patriarki di masyarakat.
VI. KESIMPULAN
Film “Sang Penari” yang diadaptasi dari novel trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” karya
Ahmad Tohari merupakan bukti dari gambaran suatu masyarakat yang dipengaruhi oleh
sistem kapitalisme dan marxisme klasik. Secara tidak sadar, warga Duruh Paruk telah
dikontrol oleh para penguasa dan mengalami tekanan. Karena tidak pernah mengenyam
bangku sekolah dan kondisi sosial mereka sebagai rakyat membuat mereka dituntut untuk
tunduk pada penguasa dan terkena dampak atas kebijakan dan kepandaian mereka.
Mereka telah dikuasai oleh dua kelas penguasa sekaligus.
Terlepas dari posisinya sebagai mantan warga Dukuh Paruk, Pak bakar dianggap
sebagai tokoh intelektual bagi warga Dukuh Paruk dan berhasil mengusai mereka dari
segi intelektual atas kepandaian kata-katanya dalam mempengaruhi mereka tentang ide
komunisme yang dibawanya. Disisi lain, sistem buruh yang dibawa oleh penjajah
Indonesia terdahulu telah sejak lama berlaku di Indonesia termasuk di Dukuh Paruk juga
berhasil menguasai warga dari segi produksi ekonominya. Tuan tanah (penguasa swasta)
sebagai pemilik atau dominan dapat menguasai para pekerjanya sehingga ketentuan dan
kebijakannya harus dipenuhi oleh mereka. Dengan demikian, kedua kelas penguasa ini
adalah berada pada tingkat struktur basis.
Sementara itu, posisi kelas penguasa suprastruktur telah diisi oleh Jendral Suharto dan
sekutunya dimana latar waktu dalam novel ini terjadi pada tahun 1960-an yakni masa-
masa gerakan pemberantasan komunisme dilakukan. Karena ketidakmutlakan
kepemimpinan presiden Sukarno, maka wewenang dan kekuasaan Jendral Suharto dan
sekutunya menjadi mutlak. Dengan kekuasaan tertinggi yang dimiliknya, mereka mampu
menguasai masyarakat baik dari segi aspek intelektual, politik, budaya, media komunikasi
dan informasi, produksi, dan sebagainya. Tidak ada satupun bentuk kekuasan yang dapat
mengimbanginya sehingga masyarakat pun menjadi patuh.
Selain itu, film ini juga mengungkap makna tradisi klambu yang sebenarnya yakni
gambaran dari adanya budaya patriarki yang nyata terjadi di Dukuh Paruk. Budaya
patriarki yang menganggap laki-laki menjadi dominasi telah menyisihkan perempuan dari
dunianya. Dalam film ini, tokoh Srintil yang digambarkan sebagai perempuan yang naif
dan lugu secara tidak sadar telah membuat dirinya sendiri sebagai objek pemuas nafsu
lelaki. Tradisi buka klambu ini telah merenggut harga dirinya sebagai seorang wanita dan
hidupnya dituntut untuk memenuhi budaya yang sebenarnya hanya untuk kesenangan
para laki-laki. Ia tidak bisa memenuhi keinginannya untuk menikahi lelaki yang
dicintainya dan upahnya juga hanya dinikmati para lelaki.
REFERENSI
Yulia, E.L., Kebayantini, N.L.N. and Nugroho W.B. 2016. Analisis Wacana Feminis Tokoh
Srintil Dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari. Journal of Faculty of
Social and Political Sciences Udayana University: Bali.
Sudarwati. 2011. Ideologi Patriarki Pada Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad
Tohari. Jurnal. Untag Surabaya: Surabaya.
Storey, J. 2009. Cultural Theory and Popular Culture, Fifth Edition. England: Pearson
Longman.
Eka. 2011. Resensi Film Sang Penari: Menonton Tradisi Dan Sejarah Bangsa.
http://bandung.bisnis.com/read/20111120/34242/111957/resensi-film-sang-penari-menonton-
tradisi-dan-sejarah-bangsa. Diakses pada 23 Mei 2018.
Hidayah, N. 2013. Sinopsis Novel Ronggeng Dukuh Paruk (Karya Ahmad Tohari).
http://dunianurulhidayah.blogspot.co.id/2013/02/sinopsis-novel-ronggeng-dukuh-paruk.html.
Diakses pada 24 Mei 2018.