Anda di halaman 1dari 165

2

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Manajemen yang diterapkan dalam kegiatan komunikasi berperan sebagai

penggerak aktivitas komunikasi dalam usaha pencapaian tujuan komunikasi


(Suprapto, 2009 : 132). Manajemen komunikasi menitikberatkan pada bagaimana
mengelola informasi untuk mencapai tujuan (Suprapto, 2009 : 136). Manajemen
komunikasi sendiri bertujuan untuk merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi
berbagai bentuk kegiatan dan sumber daya komunikasi di dalam dan di antara
sistem sosial.
Teks sebagai salah satu bentuk media komunikasi selalu diproduksi dalam
konteks sosial. Teks selalu dipengaruhi oleh/dan mereproduksi nilai budaya dan
mitos dari konteks tersebut. Mitos kultural yang berlaku menentukan akan berupa
apakah denotasi kunci, kode, konotasi dan tanda yang dimiliki suatu teks. Bahkan,
andai pun suatu teks bertentangan dengan nilai-nilai itu dan secara publik
menyatakan ketidaksepakatannya, namun teks masih dipengaruhi oleh nilai-nilai
tersebut. Jadi pada titik ini, kita dapat mengatakan bahwa dalam banyak kasus,
proses produksi teks kira-kira tampak seperti ini:

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

Produksi tekstual
Mitos > denotasi > kode dan konotasi > tanda

Proses ini juga memiliki beberapa implikasi. Di satu sisi, mitos


berpengaruh dan sikap kultural tampak memengaruhi struktur dan makna teks.
Mitos mendasari makna dan nilai teks. Di sisi lain, karena mitos benar-benar
mendasari teks dan tampak natural, mitos itu tetap tersembunyi di dalam teks.
Mitos tidak terperhatikan karena mitos meminta penerimaan sebagai kebenaran
sosial (Thwaites, Davis & Mules, 2009 : 123). Mitos menstrukturkan teks tetapi,
untuk banyak pembacaan, mitos tetap tidak bisa dikenali. Mitos yang tidak terlihat
dan ternaturalisasikan inilah yang coba diungkap oleh proses analisis yang kita
petakan sebelumnya. Oleh karena itu, ada dua relasi antara teks dan mitos:
1. Mitos budaya menstrukturkan makna dan nilai teks.
2. Teks menyembunyikan mitos yang menstrukturkannya.

Teks dalam pengertiannya yang paling sederhana adalah kombinasi


tanda-tanda. Tipe-tipe teks yang paling jelas adalah kalimat yang ditulis di dalam
sebuah novel, atau fashion yang dikenakan oleh seseorang. Kata-kata pada novel
atau unsur-unsur pakaian pada fashion dapat dianggap sebagai kumpulan tandatanda, yang secara bersama-sama membentuk verbal text dan fashion text (Piliang,
2003 : 270).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

Komunikasi lewat novel fiksi dapat mengandung kritik terhadap situasi


lingkungan yang terasa janggal bagi ketenangan jiwa penulisnya. Maka, pesan
yang ditulis dalam novel fiksi bisa dianggap berazaskan mitos yang beredar di
masyarakat, atau sebaliknya, kisah dan teks dalam novel fiksi dapat dijadikan
acuan menjalani kehidupan, bahkan jadi media komunikasi massa yang bertujuan
mengarahkan pola pikir orang-orang yang membacanya karena menyetujui sudut
pandang sang penulis.
Ada seorang pangeran kecil dengan mahkota ajaibnya dan
penyihir jahat yang menculiknya, mengurungnya di menara,
membuatnya jadi bisu. Di menara itu ada jendela berterali dan
anak itu membenturkan kepalanya ke terali, berharap seseorang
akan mendengar suaranya dan menemukannya. Mahkota itu
membuat suara terindah yang pernah didengar orang. Suaranya
bergema sampai jauh. Begitu indahnya suara tersebut sehingga
orang merasa ingin menangkap udara. Mereka tak menemukan
sang pangeran, tak pernah menemukan kamarnya, tapi suara itu
memenuhi hati setiap orang dengan keindahan (Piliang, 2003 :
27).

Dalam wacana cultural studies, sudah begitu banyak intelektual yang


mengemukakan bagaimana pada abad ini media telah berubah menjadi
representasi dari realitas, citraan yang telah menutupi fakta sedemikian rupa,
bahkan tak jarang dikatakan telah menjadi realitas itu sendiri.
Namun, bukankah zaman dulu pun manusia sudah dilingkungi oleh
dongeng, mitos, legenda, kabar burung, dan lain sebagainya, yang beredar dari
mulut ke mulut dan kemudian berkembang menutupi fakta yang sebenarnya.
Kalau memang begitu, apakah pertanyaan perenial sepanjang perjalanan sejarah

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

umat manusia adalah mengenai apa yang sebenarnya sedang terjadi di sekitar
kita, dalam kehidupan kita?. Karena itu pula, apakah sepanjang kehidupannya
manusia, sadar atau tidak, sebenarnya hanya sedang melakukan proses penafsiran
terus-menerus, dan tak pernah tahu keadaan objektifnya? Dan kemudian lagi,
apakah tafsiran-tafsirannya tersebut ternyata adalah suara indah di udara yang
malah menutupi isyarat permintaan tolong sang pangeran kecil? Dan akhirnya,
apakah media, apa pun bentuknya, memang selalu membiaskan segala bentuk
proses penandaan, setiap bentuk komunikasi? (Piliang, 2003, 27 28).
Dalam representasi lewat media, sangat mungkin terjadi misrepresentasi:
ketidakbenaran penggambaran, kesalahan penggambaran (Eriyanto, 2003 : 120).
Praktik marjinalisasi adalah misrepresentasi yang berbeda dengan eksklusi dan
pengucilan. Dalam ekskomunikasi dan eksklusi, kelompok lain/orang lain
dipandang sebagai the others, yang lain yang berbeda dengan kita. Praktik itu
mengimplikasikan adanya pembagian antara pihak kita di satu sisi dengan pihak
mereka di sisi lain. Tentu saja, akibat lanjutannya adalah penggambaran yang
buruk pihak lain. Dalam marjinalisasi, terjadi penggambaran buruk kepada
pihak/kelompok lain. Akan tetapi, berbeda dengan eksklusi/ekskomunikasi, di sini
tidak terjadi pemilihan antara pihak kita dengan pihak mereka. Banyak
misrepresentasi dari marjinalisasi ini terjadi dalam pemberitaan. Wanita dalam
banyak

wacana

media

digambarkan

secara

buruk.

Wanita,

misalnya,

direpresentasikan sebagai pihak yang tidak berani, kurang inisiatif, tidak rasional,
dan lebih perasa. Di sini, wanita tidak digambarkan sebagaimana mestinya, tetapi

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

penggambaran itu tidak disertai dengan pemisahan (seperti kita laki-laki dan
mereka wanita) (Eriyanto, 2003 : 124).
Sebagai seorang penulis yang aktif menyuarakan kesetaraan gender, Ayu
Utami seolah-olah ingin menampilkan sosok perempuan yang kuat dan mandiri
lewat tokoh Lalita dalam novel berjudul Lalita, yang pertama kali diterbitkan pada
September 2012. Ayu Utami adalah penulis Indonesia yang selalu mengangkat
mitos berkaitan dengan feminisme dalam novel-novel hasil karyanya. Ayu Utami
lahir di Bogor, lalu besar dan tinggal di Jakarta. Kuliah di Fakultas Ilmu Budaya,
jurusan Sastra Rusia. Sebagai wartawan di masa Orde Baru, ia ikut mendirikan
Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Ia juga ikut mendirikan Komunitas Utan Kayu.
Ayu Utami pun pernah menjadi anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta
(2006 2009).
Novel pertamanya, Saman, mendapat penghargaan novel terbaik DKJ
1998, dan kini telah diterbitkan dalam enam bahasa asing. Karena dianggap
memperluas batas cakrawala sastra Indonesia, ia mendapat Prince Claus Award
dari Belanda (2000) dan penghargaan dari Majelis Sastra Asia Tenggara (2008).
Novel terbarunya, Bilangan Fu, meraih Khatulistiwa Literary Award 2008.
Karyanya yang lain adalah novel Larung (2001), kumpulan kolom Si Parasit
Lajang (2003), dan naskah drama Sidang Susila (2008). Kini ia bekerja sebagai
kurator sastra di Komunitas Salihara1.

http://salihara.org/about/curators/ayu-utami, diakses tanggal 2 Desember 2013, pukul 10.00 WIB.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

Di dalam sebuah novelnya yang berjudul Pengakuan: Eks Parasit Lajang,


Ayu Utami, melalui tokoh A, membongkar mitos yang mengumpamakan bahwa
perempuan-perempuan siap dikirim sebagai produk konsumsi lelaki, jika segelnya
rusak berhak diganti, yang menjadikan keperawanan seperti barang. Teks ini
mengutarakan adanya ketidakadilan dalam masyarakat patriarki, di mana
perempuan disuruh menjaga keperawanan sampai menikah, disuruh menurut
aurat, dan masyarakat berhak menilai baik atau tidaknya seorang perempuan.
Agama pun sepertinya tidak ramah terhadap perempuan dengan aturan-aturannya,
dan sebaliknya sangat ramah pada laki-laki2.
Pembebasan perempuan selama ini sering dibayangkan sebagai kesetaraan
dalam kesempatan untuk mendapat pekerjaan atau kebebasan dalam menentukan
pasangan atau tidak berpasangan (Chudori, 2013 : 137). Mulai dari Kartini sampai
Ayu Utami selalu menitikberatkan masalah dominasi pria dalam kehidupan kaum
perempuan, termasuk urusan pasang-berpasangan. Perempuan menganggap lakilaki punya kuasa untuk bertindak semena-mena terhadap pasangan mereka.
Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan
masyarakat. Seperti kekuasaan laki-laki dalam wacana mengenai seksisme
(Eriyanto, 2003 : 11).
Ayu Utami mengangkat pula persoalan gender dan feminisme ini dalam
serial Bilangan Fu, yang menceritakan tentang petualangan tiga tokoh, yaitu

Saras Dewi Menyingkap Ayu Utami Melalui Eks Parasit Lajang, dalam
http://www.tembi.net/id/news/saras-dewi-menyingkap-ayu-utami-melalui-eks-parasit-lajang4337.html, diakses tanggal 2 Desember 2013, pukul 10.00 WIB.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

Sandi Yuda, Marja, dan Parang Jati. Buku pertama dari serial ini berjudul Manjali
dan Cakrabirawa yang diterbitkan tahun 2010, dan buku Bilangan Fu yang
diterbitkan pada tahun 2008 disebut sebagai seri ke-0. Lalita merupakan novel
kedua dari serial Bilangan Fu. Lalita digambarkan sebagai seorang perempuan
yang memiliki kuasa atas orang-orang di sekitarnya. Ia menginginkan orang-orang
memberikan perhatian utuh kepadanya. Terlebih lagi, ia sangat tidak senang jika
pria yang disukainya tidak memberikan perhatian sepenuhnya. Lalita menganggap
dirinya seorang raniraja perempuan. Ia adalah seorang rani. Ia percaya bahwa
dalam kehidupan sebelumnya ia adalah seorang ratu (Utami, 2012 : 24).
Tokoh Lalita yang disorot dalam novel Lalita seperti merepresentasikan
idealisme perempuan yang kuat dan mandiri. Kehadiran Lalita mampu menyihir
orang-orang yang melihatnya, sosok perempuan berpenampilan fisik yang sangat
menarik dan modern. Kemandirian dan kemapanan perempuan yang ditampilkan
lewat karakter tokoh Lalita melibatkan pula kecerdasannya yang tampak sengaja
ditonjolkan untuk mengintimidasi orang lain, terutama kaum lelaki. Selain itu
penokohan Lalita memunculkan ide kekuasaan seksualitas perempuan, yang
memperlihatkan upaya Ayu Utami sebagai pengarang novel Lalita untuk
membebaskan diri dari konstruksi sosial yang selama ini dibangun masyarakat
yang menganggap bahwa perempuan adalah sosok pasif dan penurut.
Selama ini kaum feminis keberatan dengan dominasi pria yang dapat
semena-mena mempermainkan wanita, termasuk dalam kasus poligami atau
berganti-ganti pasangan. Ayu Utami giat membela hak kaum perempuan dengan
melepaskan diri dari mitos yang dibangun masyarakat soal keperawanan. Profil
www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

tokoh Lalita yang habis-habisan menonjolkan kekuasaan diri lewat penampilan


yang mengumbar intelektualitas serta kemapanan secara umum dapat disebut
sebagai representasi sosok perempuan yang kuat dan mandiri.
Dalam novel Lalita karya Ayu Utami terdapat tanda-tanda yang muncul
dan dapat dimaknai. Makna tanda-tanda dalam teks dapat dianalisis dengan
menggunakan analisis semiotika. Hal yang menarik untuk diteliti dari novel Lalita
karya Ayu Utami adalah bagaimana kekuasaan perempuan direpresentasikan
tokoh Lalita berdasarkan tanda-tanda yang mewakilinya.

1.2

Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis bermaksud mengaji lebih

lanjut terkait penokohan Lalita dalam novel Lalita karya Ayu Utami dalam sebuah
karya tulis dengan fokus penelitian: Representasi Kekuasaan Perempuan pada
Tokoh Lalita dalam Novel Lalita karya Ayu Utami.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

10

1.3

Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana representasi kekuasaan perempuan dilihat dari tokoh Lalita
dalam novel Lalita karya Ayu Utami?
2. Bagaimana representasi kekuasaan perempuan dilihat dari relasi sosial
dalam novel Lalita karya Ayu Utami?
3. Bagaimana representasi kekuasaan perempuan dilihat dari ideologi
dalam novel Lalita karya Ayu Utami?

1.4

Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui representasi kekuasaan perempuan dilihat dari tokoh
Lalita dalam novel Lalita karya Ayu Utami.
2. Mengetahui representasi kekuasaan perempuan dilihat dari relasi tokoh
dalam novel Lalita karya Ayu Utami.
3. Mengetahui representasi kekuasaan perempuan dilihat dari ideologi
dalam novel Lalita karya Ayu Utami.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

11

1.5

Kegunaan Penelitian

1.5.1

Kegunaan Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat berguna mengembangkan

kajian media, khususnya tentang isi media yang berbentuk novel, serta dapat
digunakan sebagai referensi dalam mengembangkan paradigma kritis di bidang
komunikasi serta semiotika sosial dengan dasar pemikiran M.A.K. Halliday untuk
menilai representasi kekuasaan perempuan dalam sebuah novel.

1.5.2

Kegunaan Praktis
Kegunaan praktis dari penelitian ini adalah memberikan kesadaran dan

pemahaman terhadap pembaca, terlebih produsen media massa, tentang


penyampaian dan pembentukan makna pesan dalam sebuah novel yang bisa
merepresentasikan kekuasaan perempuan. Membangkitkan kesadaran pembaca
akan adanya representasi mengenai mitos feminisme dalam media massa.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

12

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Penelitian Terdahulu
Pada tahun 2009, ada penelitian sejenis yang dilakukan oleh Prima

Sabrina, NPM K1C040525, dengan mengambil judul Representasi Feminitas


dalam Film Animasi Mulan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1)
representasi feminitas dilihat dari makna denotasi dalam film animasi Mulan,
(2) representasi feminitas dilihat dari makna konotasi dalam film animasi
Mulan, (3) mitos feminitas yang terkandung dalam film animasi Mulan. Dari
penelitian terhadap film animasi Mulan ini kemudian diperoleh kesimpulan:
1. Dalam film Mulan terdapat tanda-tanda denotasi baik dalam bentuk
dialog, aktivitas, mimik, gestur, properti, kostum, dan setting. Tanda-tanda
ini menunjukkan feminitas yang terkait dengan pernikahan, keinginan
laki-laki tentang perempuan, perempuan dan anak dalam keluarga, dan
ruang gerak perempuan.
2. Makna konotasi dalam film Mulan diperoleh dengan mengaitkan tandatanda seperti dialog, aktivitas, mimik, gestur, properti, kostum, dan setting
dengan konteks sosial budaya. Hasil penelitian ini menunjukkan perihal
arti pernikahan bagi perempuan terkait dengan pandangan mengenai peran

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

13

perempuan dalam masyarakat; keinginan laki-laki tentang perempuan


terkait dengan gambaran perempuan ideal dalam masyarakat; kewajiban
perempuan di keluarga dan masyarakat terkait dengan peran sosial
perempuan dan laki-laki; dan kebimbangan perempuan di wilayah publik
terkait dengan konstruksi yang menempatkan perempuan di wilayah
domestik.
3. Film Mulan secara umum seolah-olah menunjukkan sosok perempuan
yang kuat, independen, dan berani. Akan tetapi berdasarkan analisis tandatanda denotasi maupun konotasi, ditemukan mitos feminitas di dalamnya.
Mitos feminitas yang ditemukan menunjukkan bahwa karier utama
perempuan adalah menikah, perempuan ideal adalah yang sesuai
keinginan laki-laki, peran utama perempuan adalah melahirkan anak, dan
aktivitas ideal perempuan adalah di wilayah domestik.

Ada pun penelitian tentang feminitas lainnya dengan judul Representasi


Feminitas dalam Novel The Lunch Gossip yang disusun oleh Kiki Zakiah, NPM
KX0 03874. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2010 ini bertujuan untuk
mengetahui (1) representasi feminitas yang dapat dimaknai dari novel The Lunch
Gossip sebagai teks, (2) mitos yang terdapat pada citra feminitas dalam novel
The Lunch Gossip sebagai teks. Dari penelitian studi semiotika Roland Barthes
tentang representasi feminitas dalam gaya hidup lajang perkotaan dalam novel
The Lunch Gossip ini, diperoleh kesimpulan:

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

14

1. Representasi

feminitas

memiliki

beberapa

konsep

yang

mampu

menampilkan beberapa mitos simbolisasi perempuan dalam konstruksi


sosial. Citra-citra tersebut dimunculkan dalam bentuk konsep sistem
penandaan tingkat dua yang didapat dari proses identifikasi dalam sistem
penandaan tingkat kedua (konotasi) yang nantinya akan membentuk mitos
tersebut. Citra-citra yang bisa merepresentasikan hal itu adalah:
a. Perempuan perkotaan yang memakai pakaian bermerek, sepatu
bermerek, mempunyai apartemen pribadi, menyetir mobil sendiri, dan
perselingkuhan menunjukkan kemewahan dan gaya hidup perempuan
lajang perkotaan.
b. Perempuan yang memiliki ciri fisik kulit putih, rambut panjang hitam,
kulit mulus tidak berjerawat, mata besar bersinar, serta ber-make up
sederhana menunjukkan konstruksi kecantikan yang dibangun budaya
patriarki, serta menunjukkan perempuan dari kelas menengah atas.
c. Bentuk perlawanan perempuan dalam kemampuan melakukan
pekerjaan laki-laki, dapat mengungguli laki-laki, memunculkan sisi
maskulinitas dalam pekerjaannya.
2. Citra feminitas dalam mitos tentang perempuan yang direpresentasikan
melalui novel The Lunch Gossip sudah bisa membentuk sebuah citra
feminitas yang di dalamnya terdapat muatan maskulinitas yang ada pada
perempuan. Artinya, perempuan hidup dengan konstruksi sosial yang
dilekatkan kepada mereka sehingga menjadi sebuah mitos seperti pada

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

15

hal-hal yang penulis telah simpulkan. Dikarenakan feminitas merupakan


sesuatu yang tidak ajeg, maka feminitas bisa dipertukarkan dengan
maskulinitas. Seperti pada kesimpulan di atas, perempuan tidak hanya
merepresentasikan sisi feminitas seperti mitos yang berlaku pada mereka,
tetapi

mereka

mampu

merepresentasikan

sisi

maskulinitas

yang

dimilikinya meskipun kapasitasnya tidak sebesar pada sisi feminitas.


Dalam novel The Lunch Gossip, citra feminitas yang direpresentasikan
adalah gaya hidup perempuan lajang perkotaan, tubuh perempuan dalam
gaya hidup dan citra feminitas, dan perlawanan perempuan perkotaan
dalam kerangka feminitas.

Penelitian lain mengenai feminisme yang berjudul Representasi Ideologi


Feminisme dalam Film Mereka Bilang, Saya Monyet! ditulis oleh Fitria Sofyani,
NPM 21011070075. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2011 ini bertujuan
untuk mengetahui (1) bagaimana ideologi feminisme ditampilkan dalam film
Mereka Bilang, Saya Monyet!, (2) bagaimana posisi subjek dan objek ditampilkan
oleh teks dalam film Mereka Bilang, Saya Monyet!, (3) bagaimana posisi
pembaca ditampilkan oleh teks dalam film Mereka Bilang, Saya Monyet!. Dari
penelitian studi wacana kritis dengan pendekatan semiotika Roland Barthes dan
model Sara Mills tentang representasi ideologi feminisme dalam film Mereka
Bilang, Saya Monyet! ini, diperoleh kesimpulan:

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

16

1. Melalui analisis semiotika Roland Barthes, peneliti menemukan aliran


feminisme terepresentasi dalam film tersebut, yaitu feminisme liberal
dan feminisme radikal. Dengan penguraian makna denotasi, konotasi,
mitos dan ideologi, peneliti melihat bahwa aliran-aliran feminisme
tersebut diperlihatkan dalam film ini, melalui penampilan, setting,
pose, mimik dan gesture yang ditampilkan baik oleh karakter Adjeng
maupun karakter lainnya.
2. Pada tahap analisis posisi subjek-objek dengan analisis wacana Sara
Mills, peneliti menarik kesimpulan bahwa posisi subjek dalam film
Mereka Bilang, Saya Monyet! ada di pihak perempuan, sementara
posisi objek ada di pihak laki-laki. Wacana yang menjadi arus utama
dalam teks yang ditampilkan film Mereka Bilang, Saya Monyet!
adalah

mengenai

kekerasan

terhadap

perempuan,

seksualitas

perempuan dan peranan perempuan di ranah domestik maupun publik.


Struktur diskursif yang muncul dalam teks film ini bertumpu kepada
perspektif perempuan yang mendukung adanya perlawanan perempuan
terhadap budaya patriarki. Sementara itu, pihak laki-laki yang menolak
perspektif perempuan dan diposisikan sebagai objek karena diberi
ruang yang sedikit untuk menampilkan diri dan gagasannya dalam
teks. Bahkan kehadiran mereka dalam teks lebih banyak ditampilkan
oleh pencerita atau subjek. Pemusatan cerita terhadap perempuan,
pemosisian yang berpihak pada perempuan, dan karakter laki-laki yang
ditampakkan sebagai pihak yang bersalah, tidak berdaya, serta tidak

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

17

memiliki kekuatan, menurut peneliti menjadi pembentuk makna


ideologi feminisme.
3. Pada analisis posisi penulis-pembaca melalui mediasi, peneliti
menyimpulkan bahwa penulis berusaha menanamkan pemahaman
kepada penonton mengenai situasi kehidupan perempuan yang cukup
kompleks dengan mediasi melalui tokoh-tokoh dalam teks terutama
Adjeng dan Ibu. Melalui mediasi ini, peneliti melihat usaha penulis
teks untuk menggugah kesadaran penonton mengenai berbagai
permasalahan yang dihadapi perempuan sehingga pada akhirnya dapat
mengubah sikap mereka terhadap hal ini atas kesadaran sendiri. Pada
telaah mengenai kode budaya, peneliti menemukan bahwa televisi dan
koran dijadikan sebagai kode budaya, atau sesuatu yang dipahami
bersama oleh penulis dan penonton sebagai sumber informasi
mengenai kekerasan terhadap perempuan. Kode budaya ini menjadi
landasan kesamaan pandangan antara penulis dan penonton. Pada
analisis terhadap pembacaan dominan, peneliti menyimpulkan bahwa
teks ini ditujukan terutama pada penonton perempuan dengan adanya
pemusatan pada tokoh Adjeng dan Ibu. Peneliti menyimpulkan bahwa
teks ini secara langsung ditujukan pada perempuan dan ada maksud
tersembunyi untuk mengeluarkan laki-laki dalam teks dengan
pemakaian kata mereka. Dalam teks film ini, peneliti menafsirkan
bahwa penonton akan menempatkan diri mereka sebagai perempuan.
Adjeng dan Ibu berperan besar dalam teks ini untuk mengidentifikasi

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

18

posisi penonton karena mereka mendominasi berbagai gagasan atau


wacana mengenai perempuan. Usaha penulis teks untuk mengarahkan
penonton agar menempatkan diri mereka pada karakter perempuan
terlihat cukup jelas karena adanya pemihakan terhadap karakter
perempuan.

Satu lagi penelitian dalam kerangka feminisme dilakukan pada tahun 2011
oleh Steffi Septiani, NPM 210110070317, dengan mengambil judul Representasi
Perempuan Tomboy dalam Film Get Married. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui (1) kode-kode yang ada di dalam film Get Married, (2) mitos
perempuan tomboy yang terkandung di dalam film Get Married, (3) ideologi yang
terkandung di dalam film Get Married. Dan dari penelitian analisis semiotika
Roland Barthes tentang representasi perempuan tomboy dalam film Get
Married ini, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat bermacam-macam kode yang dihasilkan dalam film Get
Married yaitu kode hermeneutik (kode teka-teki), kode semik (makna
konotatif), kode simbolik, kode proaretik (logika tindakan), dan kode
gnomik atau kode kultural. Kode pertama, kode yang muncul akibat
pertanyaan yang muncul di benak khalayak. Kedua, kode semik
tentang tokoh-tokoh di film Get Married. Ketiga, kode simbol bahwa
perempuan tomboy tidak pernah berdandan. Keempat, kode tindakan
implikasi perempuan tomboy yang berdandan menjadi menarik

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

19

secara fisik. Kode terakhir adalah kode kultural yang mencerminkan


budaya patriarkis.
2. Berdasarkan analisis tanda-tanda denotasi dan konotasinya ditemukan
mitos perempuan tomboy di dalamnya. Mitos perempuan tomboy
dilihat dari performance yaitu perempuan tomboy tidak pernah
berdandan, selalu memakai pakaian kaos dan celana jeans, sikap duduk
seperti pria yang tidak mencerminkan feminin.
3. Ideologi patriarki dan ideologi heteroseksualitas adalah ideologi yang
terdapat dalam film Get Married. Perempuan dituntut untuk
mempercantik diri di hadapan pria. Dalam film ini seorang perempuan
tomboy tertarik kepada lawan jenisnya. Film ini ingin menunjukkan
orientasi seksual yang banyak terdapat di masyarakat dan dianggap
normal dalam masyarakat adalah heteroseksual.
Prima Sabrina
Judul

Kiki Zakiah

Fitria Sofyani

Steffi Septiani

Representasi

Representasi

Representasi

Representasi

Feminitas dalam

Feminitas

Ideologi

Perempuan

Film Animasi

dalam Novel Feminisme

Mulan

The Lunch dalam


Gossip

Film dalam

Mereka
Bilang

Tomboy
Film

Get Married
Saya

Monyet!

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

20

Fokus
Penelitian

Mitos feminitas

Citra

dalam film animasi feminitas


Mulan

Ideologi

Representasi

feminisme

perempuan
film tomboy

dalam novel dalam


The Lunch Mereka
Gossip

Bilang

dalam

film

Saya Get Married

Monyet!

Metode

Semiotika Roland

Semiotika

Studi Wacana Semiotika

Barthes

Roland

Kritis dengan Roland

Barthes

Semiotika

Barthes

Barthes
Simpulan

Ditemukan tanda- Ditemukan

Ditemukan

Ditemukan

tanda konotasi dan citra

representasi

ideologi

denotasi

aliran

patriarki

yang feminitas

menampilkan
mitos
bahwa

dalam

gaya feminisme

feminitas hidup

liberal

karier perempuan

utama perempuan lajang


adalah menikah

ideologi
dan hetero-

feminisme

seksualitas

radikal

perkotaan

Persamaan Tentang isu gender Mengulas isu Mengangkat


dan hubungannya gender

www.vincacallista.tumblr.com

dan

dari tentang

Mengulas
feminisme

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

21

Perbedaan

dengan perempuan

novel fiksi

feminisme

atas patriarki

Membenarkan

Menjelaskan

Kekuasaan

Kekuasaan

adanya feminitas

gaya hidup

perempuan

perempuan

di balik gambaran

perempuan

yang jelas

dari segi

feminisme tentang

yang sesuai

dilakukan

penampilan

wanita tangguh

feminitas

untuk

yang tomboy

memberontak

2.2

Semiotika Sosial
Dalam pelbagai tulisannya, Halliday selalu mengemukakan konsep

bahasa sebagai semiotik sosial yang menjadi intisari dari pandangannya


terhadap kajian kebahasaan. Sebagai seorang linguis fungsional-sistemik,
pandangan Halliday selalu memberi tekanan pada keberadaan konteks sosial
bahasa, yakni fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa dan bagaimana
perkembangannya (Halliday, 1977, 1978; Halliday & Hasan, 1985; Santoso, 2012
: 84). Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang lainseperti
tradisi, kesenian, religi, sistem teknologi, sistem sosial, sistem mata pencaharian,
dan sistem sopan santunsecara bersama-sama membentuk kebudayaan manusia.
Halliday mencoba menghubungkan bahasa terutama dengan satu segi tertentu
yang begitu penting bagi pengalaman manusia, yakni segi struktur sosial.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

22

Dalam pelbagai pandangannya, Halliday selalu menegaskan bahwa bahasa


adalah produk proses sosial. Seorang anak yang belajar bahasa dalam waktu yang
sama belajar sesuatu yang lain melalui bahasa, yakni membangun gambaran
realitas di sekitar dan di dalamnya. Tidak ada fenomena bahasa yang vakum
sosial, tetapi ia selalu berhubungan erat dengan aspek-aspek sosial. Dalam proses
sosial ini, menurut Halliday (1978 : 1; Santoso, 2012 : 84) konstruk realitas tidak
dapat dipisahkan dari konstruk sistem semantis tempat realitas itu dikodekan.
Selanjutnya, Halliday juga merumuskan bahwa language is a shared meaning
potential, at once both a part of experience and an intersubjective interpretation
of experience. Dalam komunikasi, berdasarkan pengalaman yang dimilikinya
yang bersifat intersubjektif itu, masing-masing partisipan akan selalu menafsirkan
teks yang ada. Dengan demikian, makna selalu bersifat ganda. Tidak ada makna
yang tunggal.
Formulasi bahasa sebagai semiotik sosial mengandung arti bahwa kita
menafsirkan bahasa selalu dalam konteks sosiokultural tempat kebudayaan itu
sendiri ditafsirkan dalam terminologis semiotis sebagai sebuah sistem
informasi. Dalam level yang amat konkret, bahasa itu tidak berisi kalimatkalimat, tetapi bahasa itu berisi teks atau wacana, yakni pertukaran makna
(exchange of meaning) dalam konteks interpersonal. Mengaji bahasa hakikatnya
mengaji teks atau wacana yang selalu melibatkan konteks.
Konteks tuturan itu sendiri sebuah konstruk semiotis yang memiliki
sebuah

bentuk

yang

memungkinkan

sejumlah

partisipan

komunikasi

memprediksikan fitur-fitur register yang berlaku untuk memahami orang lain.


www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

23

Melalui tindakan pemaknaan (act of meaning) dalam kehidupan sehari-hari,


masyarakat memerankan struktur sosial, menegaskan status dan peran yang
dimilikinya, serta menetapkan dan mentransmisikan sistem nilai dan pengetahuan
yang dibagi kepada orang lain. Ini sesuai dengan tiga fungsi bahasa: ideasional,
interpersonal, dan tekstual.
Satu konsep penting dan mendasar yang dikemukakan oleh Halliday
(1978) terkait dengan semiotika sosial adalah manusia sosial. Manusia itu pada
hakikatnya adalah sosial, bukan yang lain. Manusia sosial bukan berarti lawan
kata dari manusia individu. Manusia sosial adalah individu dalam lingkungan
sosialnya. Tampaknya kita akan menjadi sulit berpikir tentang bahasa tanpa
memperhitungkan adanya manusia sosial karena bahasa sebagai alat dan sarana
tempat manusia berinteraksi (Santoso, 2012 : 84 85).
Tidak ada aktivitas manusia yang terlepas dari peran dan fungsi bahasa.
Wujud aplikasi bahasa sebagai semiotika sosial ini diterjemahkan oleh M.A.K.
Halliday ke dalam linguistik fungsional-sistemik (systemic-functional linguistics
atau sering disingkat menjadi SFL). Asal-usul fungsi sosial bahasa dalam
kerangka pikir Halliday berdasar atas pengalaman anak-anak dalam menguasai
bahasa. Selama pertumbuhannya anak akan memerlukan bahasa untuk memenuhi
pelbagai fungsi kehidupan. Memahami penggunaan bahasa memberikan
pemahaman ke arah cara bagaimana bahasa itu dipelajari. Pertanyaan yang
penting yang harus dijawab adalah apakah bahasa yang sudah menjalankan
berbagai fungsi itu direfleksikan dalam struktur lingualnya. Sesuai dengan

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

24

makna fungsional dalam linguistik: bentuk bahasa melayani fungsi bahasa. Setiap
fungsi bahasa akan dilayani oleh bentuk bahasa tertentu.
Halliday (2003 : 295; Santoso, 2012 : 86) menegaskan bahwa organisasi
internal bahasa bukanlah suatu yang kebetulan; organisasi internal membentuk
fungsi yang akan dilaksanakan bahasa dalam melayani kehidupan manusia sosial
(social man). Bahasa akan terus berkembang dan bentuk-bentuk bahasanya akan
ditentukan oleh penggunaannya. Semakin kompleks kehidupan manusia yang
identik dengan semakin kompleksnya fungsi-fungsi bahasa akan semakin
berkembang juga bentuk-bentuk bahasanya. Bentuk bahasa akan menyesuaikan
dengan fungsi-fungsi penggunaan.
Dalam rangka memenuhi dan melayani kehidupan manusia sebagai
manusia sosial, Halliday (2003 : 296; Santoso, 2012 : 86) menegaskan adanya
kekuatan kekuasaan dalam bahasa. Kekuasaan bahasa ditetapkan dalam tindak
pemaknaan (the act of meaning). Melalui tindak pemaknaan kuasa bahasa dapat
diungkap. Tindak pemaknaan itu meliputi lima hal berikut:
Pertama, bahasa sebagai sarana akses ke arah ranah tertentu, yakni
lingkungan tindak sosial. Untuk memasuki pelbagai ranah diperlukan bahasa.
Orang tidak dapat memasuki ranah tindak sosial tanpa bahasa. Dalam konteks ini
dikenallah konsep penting dari Halliday tentang register. Dengan register itu
kita dapat memasuki ke pelbagai ranah tindak-tindak sosial.
Kedua, bahasa sebagai ideologi. Bahasa telah membawa anggota
masyarakat tentang bagaimana cara mengatakan sesuatu atau cara menuliskan

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

25

sesuatu. Dalam bahasa terkandung cara pandang tertentu yang dicoba


dinaturalisasikan kepada orang lain. Jika cara pandang itu terus-menerus
diperjuangkan ia akan menjadi ideologi.
Ketiga, bahasa dan ketidaksamaan sosial. Bahasa juga mewakili atau
menjadi potret bagi ketidaksamaan sosial. Bahasa dapat digunakan untuk
memasukkan dan/atau mengeluarkan seseorang dari komunitas. Bahasa dapat
digunakan untuk mengesahkan dan tidak mengesahkan anggota komunitas
tertentu.

Bahasa

juga

dapat

difungsikan

untuk

meminggirkan

atau

mengetengahkan anggota masyarakat tertentu.


Keempat, bahasa sebagai metawacana (dalam konstruksi realitas). Ini
terkait dengan hipotesis metafungsi bahasa dari Halliday: isi bidang bahasa
leksikogrammar dan urutan level yang lebih tinggi yang disebut semantikakan
dapat dipahami secara baik untuk menerangkan tiga jenis makna yang berbedabeda, yakni (i) makna sebagai refleksi (menerangkan pengalaman manusia), (ii)
makna sebagai suatu tindakan (memerankan relasi interpersonal), dan (iii) makna
sebagai tekstur (yang memungkinkan dua fungsi yang lain dapat diidentifikasi).
Kelima, bahasa sebagai model (untuk memahami sistem-sistem jenis-jenis
yang lain). Kajian gramatikal dalam bahasa digunakan untuk memahami sistem
semiotika yang lain. Sebagai contoh, kajian gramatikal digunakan untuk
memahami kesastraan, tari, drama, musik, seni visual, lukisan, arsitektur, dan
sebagainya.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

26

Dalam kerangka semiotika sosial, bahasa bukanlah sisi luar dan


manifestasi yang tidak sempurna dari entitas yang disebut dengan mind, bahasa
juga tidak dapat direduksi sebagai sebuah kode komunikasi. Bahasa manusia
adalah sebuah pengembangan sistem dan proses ekosemiotik. Bahasa adalah
wujud dari sebuah perkembangan dan/atau evolusi kesadaran manusia. Sebagai
manusia sosial, evolusi ke arah kesadaran manusia adalah sebuah keniscayaan. Ini
semakin meneguhkan bahwa bahasa itu pada hakikatnya adalah fenomena sosial
(Santoso, 2012 : 86 88).
Kajian bahasa sebagai semiotik sosial dalam pandangan Halliday (1977 :
13 41; 1978 : 108 126) mencakup sub-sub kajian berikut: (1) teks, (2) konteks
situasi (context of situation), yang terdiri atas tiga jenis konteks, yakni (i) medan
wacana (field of discourse), (ii) pelibat wacana (tenor of discourse), dan (iii)
sarana atau modus wacana (mode of discourse), (3) register, (4) kode, (5) sistem
lingual, yang mencakup (i) komponen ideasional, (ii) komponen interpersonal,
dan (iii) komponen tekstual, serta (6) struktur sosial.
1. Teks
Teks adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam
konteks situasi (Halliday & Hasan, 1992 : 13; Santoso, 2012 : 88). Teks itu
berkaitan dengan apa yang secara aktual dilakukan, dimaknai, dan
dikatakan oleh masyarakat dalam situasi yang nyata. Dengan demikian, dalam
pandangan Halliday, teks selalu dimaknai secara dinamis.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

27

Dalam rumusan lain, Halliday berpendapat bahwa teks adalah suatu


pilihan semantis (semantic choice) dalam konteks sosial, suatu cara pengungkapan
makna melalui bahasa lisan atau tulis (Sutjaja, 1990 : 74; Santoso, 2012 : 88).
Pilihan semantis bukanlah sesuatu yang tanpa maksud. Sebaliknya, pilihan
semantis selalu terkait dengan konteks sosial yang sering bersifat determinatif.
Dengan demikian, semua bahasa yang hidup yang mengambil bagian tertentu
dalam konteks situasi dapat dinamakan teks. Dalam hal ini, teks dimaknai secara
dinamis. Beberapa pikiran penting berkaitan dengan teks dalam pandangan
Halliday mencakup: (1) teks sebagai unit semantis, (2) teks memproyeksikan
makna kepada level yang lebih tinggi, (3) teks sebagai proses sosiosemantis, dan
(4) situasi sebagai faktor penentu teks.
Teks sebagai Unit Semantis
Teks adalah sebuah konsep semantis. Menurut Halliday (1978 : 135;
Santoso, 2012 : 89) kualitas tekstur tidak didefinisikan dari ukurannya. Teks tidak
terkait dengan ukuran panjang pendek. Meskipun terdapat pengertian sebagai
sesuatu di atas kalimat (supersentence) atau klausa, sesuatu yang lebih besar
daripada kalimat atau klausa, dalam pandangan Halliday hal ini secara esensial
salah tunjuk pada kualitas teks. Kita tidak dapat merumuskan bahwa teks itu lebih
besar atau lebih panjang daripada kalimat atau klausa. Oleh karena itu, Halliday
mengajak kita untuk tidak berselisih paham tentang penggunaan istilah teks
yang merujuk pada untaian kalimat yang direalisasikan ke dalam sebuah teks.
Ditegaskan oleh Halliday (1978 : 135; Santoso, 2012 : 89) dalam kenyataannya
kalimat-kalimat itu lebih merupakan realisasi teks daripada merupakan sebuah
www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

28

teks itu sendiri. Memang, sebuah teks dapat berwujud kata, frasa, klausa,
kalimat, atau paragraf. Sebuah teks adalah unit semantis yang tidak
tersusun dari kalimat atau klausa, tetapi direalisasikan dalam kalimat-kalimat
atau klausa-klausa. Ada perbedaan makna yang pokok antara tersusun dan
direalisasikan dalam memahami teks.
Teks sebagai Proyeksi Makna
Halliday (1978 : 138; Santoso, 2012 : 89) berpandangan bahwa sebuah
teks selain dapat direalisasikan dalam level-level sistem lingual yang lebih
rendahseperti sistem-sistem leksikogramatis dan fonologisjuga merupakan
realisasi dari level yang lebih tinggi dari interpretasi, kesastraan, sosiologis,
psikoanalitis, dan sebagainya yang dimiliki oleh teks itu. Level-level yang lebih
rendah ini memiliki kekuatan untuk memproyeksikan makna pada level yang
lebih tinggi, yang oleh Halliday diberi istilah latar depan (foregrounded). Dari
sebuah teksyang dibangun dari sejumlah sistem leksikogramatis dan
fonologisdapat
ketidaksamaan,

diproyeksikan

makna-makna

ketidaksetaraan,

pemilihkasihan,

tentang
penindasan,

ketidakadilan,
peneguhan,

pembiaran, penonjolan ide, pemaksaan, penyembunyian sesuatu, peminggiran,


peniadaan, dan sebagainya.
Teks sebagai Proses Sosiosemantis
Halliday (1978 : 139; Santoso, 2012 : 90) berpendapat bahwa dalam arti
yang sangat umum sebuah teks merupakan sebuah peristiwa sosiologis, sebuah
perjumpaan semiotis melalui makna-makna yang berupa sistem sosial yang saling

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

29

dipertukarkan. Setiap anggota masyarakat akan saling mengonsumsi makna yang


dipertukarkan. Individu-individu sebagai anggota masyarakat adalah seorang
pemakna (meaner) terhadap fakta-fakta semiotik itu. Melalui tindak-tanduk
pemaknaan antarindividu, realitas sosial diciptakan, dijaga dalam urutan yang
baik, dan secara terus-menerus disusun dan dimodifikasi. Dengan demikian,
makna pada hakikatnya bersifat dinamis, terus berkembang, terus berada pada
proses tawar-menawar.
Ciri utama teks adalah adanya interaksi. Dalam pertukaran makna itu
terjadi perjuangan semantis (semantic contest) antara individu-individu yang
terlibat. Karena sifatnya yang perjuangan (baca: pertarungan) itu, makna akan
selalu bersifat ganda, tidak ada makna yang bersifat tunggal begitu saja. Setiap
orang akan bersaing memberikan makna kepada bentuk lingual tertentu.
Dengan demikian, pilihan bahasa pada hakikatnya adalah perjuangan untuk
memilih kode bahasa tertentu yang akan membawa makna tertentu. Pilihan bahasa
hakikatnya adalah perjuangan untuk menaturalisasikan, menegosiasikan,
bahkan untuk memaksakan bentuk lingual tertentu untuk dikonsumsi orang lain.
Situasi sebagai Faktor Penentu Teks
Menurut Halliday (1978 : 141; Santoso, 2012 : 90) makna diciptakan oleh
sistem sosial dan dipertukarkan oleh anggota-anggota masyarakat dalam bentuk
teks. Makna tidak diciptakan dalam keadaan terisolasi dari lingkungannya. Seaneh
apa pun sebuah bentuk bahasa apabila dapat dipahami orang lain maka bentuk
bahasa itu hakikatnya adalah sosial. Bahkan, secara tegas dirumuskan oleh

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

30

Halliday bahwa makna adalah sistem sosial. Individu yang menghasilkan dan
mengonsumsi teks pada hakikatnya adalah manusia sosial (social man).
Perubahan dalam sistem sosial akan direfleksikan dalam teks. Situasi sosial akan
menentukan bentuk dan makna suatu teks.
2. Konteks Situasi
Situasi merupakan lingkungan tempat teks. Konteks situasi adalah
keseluruhan lingkunganbaik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan
tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Suatu pemberian atau potret
yang lengkap perlu diberikan perian tentang latar belakang budayanya secara
keseluruhan, bukan hanya hal yang sedang terjadi, tetapi juga sejarah budaya
secara keseluruhan yang ada di belakang para pemeran dan kegiatan yang terjadi.
Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya diperlukan pemahaman terhadap
dua konteks, yakni konteks situasi dan konteks budaya. Dalam pandangan
Halliday (1978 : 110; Santoso, 2012 : 91) konteks situasi terdiri atas tiga unsur,
yakni (i) medan wacana (field of discourse), (ii) pelibat atau partisipan wacana
(tenor of discourse), dan (iii) sarana atau modus wacana (mode of discourse).
Medan Wacana
Medan wacana (field of discourse) adalah konteks situasi yang merujuk
kepada aktivitas sosial yang sedang terjadi serta latar institusi tempat satuansatuan kebahasaan itu muncul. Untuk menganalisis medan wacana kita dapat
mengajukan pertanyaan what is going on. Dalam medan wacana terdapat tiga hal
yang perlu diungkap:

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

31

ranah pengalaman,
tujuan jangka pendek, dan
tujuan jangka panjang.

Ranah pengalaman merujuk kepada ketransitifan (transitivity) yang


mempertanyakan apa yang terjadi dengan seluruh proses, partisipan, dan
keadaan. Tujuan jangka pendek merujuk pada tujuan yang harus segera dicapai
dalam waktu yang pendek. Tujuan ini bersifat amat konkret. Tujuan jangka
panjang merujuk pada tempat teks dalam skema suatu persoalan yang lebih besar.
Tujuan ini bersifat lebih abstrak.
Pelibat Wacana
Pelibat atau partisipan wacana (tenor of discourse) adalah konteks situasi
yang merujuk pada hakikat relasi antarpartisipan, termasuk pemahaman peran dan
statusnya dalam konteks sosial dan lingual. Untuk menganalisis pelibat wacana,
analisis bahasa dapat mengajukan pertanyaan who is taking part. Dalam aspek
pelibat wacana paling tidak ada tiga hal yang perlu diungkap:
peran agen atau masyarakat,
status sosial, dan
jarak sosial.
Peran, status, dan jarak sosial dapat bersifat sementara dan dapat pula
permanen. Peran terkait dengan fungsi yang dijalankan oleh individu atau
masyarakat. Status terkait dengan tempat individu dalam masyarakat sehubungan

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

32

dengan orang-orang lain: sejajar atau tidak sejajar. Jarak sosial terkait dengan
tingkat pengenalan partisipan terhadap partisipan lainnya: akrab, dekat, baru
berkenalan, atau memiliki jarak.
Sarana atau Modus Wacana
Sarana/modus wacana (mode of discourse) adalah konteks situasi yang
merujuk pada bagian bahasa yang sedang dimainkan dalam situasi, termasuk
saluran yang dipilih: lisan atau tulisan. Untuk menganalisis modus wacana,
pertanyaan pokok yang dapat diajukan adalah whats role assigned to language.
Dalam modus wacana ini paling tidak ada lima hal yang diungkap:
peran bahasa,
tipe interaksi,
medium,
saluran, dan
modus retoris.
Peran bahasa terkait dengan kedudukan bahasa dalam aktivitas: bisa saja
bahasa bersifat wajib (konstitutif) atau tidak wajib atau penyokong/tambahan.
Peran wajib terjadi apabila bahasa sebagai aktivitas keseluruhan. Peran tambahan
terjadi apabila bahasa membantu aktivitas lainnya. Dalam pidato, misalnya,
bahasa memiliki peran wajib. Tipe interaksi merujuk pada jumlah pelaku:
monologis atau dialogis. Medium terkait dengan sarana yang digunakan: lisan,

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

33

tulisan, atau isyarat. Saluran terkait dengan bagaimana teks itu dapat diterima:
fonis, grafis, atau visual. Modus retoris merujuk pada perasaan teks secara
keseluruhan: persuasif, kesastraan, akademis, edukatif, mantra, dan sebagainya.
Dalam pidato, misalnya, modus persuasif akan sangat menonjol.
3. Register
Istilah register kali pertama digunakan dalam pengertian tentang
keberagaman teks.

Register merupakan konsep semantis

yang dapat

didefinisikan sebagai suatu susunan makna yang dikaitkan atau dihubungkan


secara khusus dengan susunan situasi tertentu dari medan, pelibat, dan sarana
(Halliday & Hasan, 1992 : 53; Santoso, 2012 : 93).
Terdapat dua hal pokok dalam pengertian register. Pertama, register
disamakan dengan gaya (style), yakni variasi dalam tuturan atau tulisan seseorang.
Gaya umumnya bervariasi dari bersifat sangat akrab sampai yang amat formal
menurut jenis situasi, orang, atau pribadi yang dituju, lokasi, topik yang
didiskusikan, dan sebagainya. Kedua, register adalah variasi tuturan yang
digunakan oleh kelompok tertentu yang biasanya memiliki pekerjaan yang sama
atau kepentingan yang sama. Kita mengenal register politik, register perawat,
register pendidikan, dan register kedokteran.
Suatu

register

dapat

dikenali

atau

diketahui

dari

karakteristik

leksikogramatis dan fonologis yang secara khusus menyertai atau menyatakan


makna-makna tertentu. Ciri-ciri bentuk leksikon, gramatis, dan fonologis tertentu
menjadi petunjuk suatu register tertentu. Register politik, misalnya, memiliki

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

34

karaktertistik yang membedakan dengan register akademik. Juga, register


kedokteran memiliki karakteristik yang membedakan dengan register hukum.
Register tertentu memiliki karakteristik yang membedakan dengan register
lainnya.
4. Kode
Kode merupakan prinsip organisasi semiotik yang mengatur pilihan makna
oleh penutur dan penafsiran pendengar (Halliday, 1977 : 22; Santoso, 2012 : 94).
Istilah kode yang digunakan Halliday senada dengan kode yang digunakan dalam
kajian-kajian Bernstein. Dalam sosiolinguistik, misalnya, kode digunakan untuk
memberikan nama umum kepada semua penggunaan ragam, dialek, dan bahasa
dalam komunikasi. Menurut Halliday (1978 : 111; Santoso, 2012 : 94) kode
diaktualisasikan ke dalam bahasa melalui suatu register. Kode menentukan
orientasi semantis penutur dalam konteks sosial tertentu. Kode bahasa yang
digunakan dalam komunikasi menurut Bernstein (1978) dapat digolongkan
menjadi dua: (i) kode lengkap, dan (ii) kode terbatas.
Kode Lengkap atau Kode Formal
Menggunakan suatu kode yang lengkap (elaborated code) atau kode
formal (formal code) berarti menggunakan kode yang mengandung pengertian
berikut.

menggunakan aturan gramatikal yang akurat dan kalimat yang akan


mengatur apa yang dikatakan;

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

35

menggunakan

kalimat-kalimat

kompleks

dengan

menerapkan

rentangan piranti konjungsi dan subordinasi;

menerapkan preposisi untuk menunjukkan relasi-relasi waktu dan


logis;

menunjukkan keseringan menggunakan pronomina orang pertama


tunggal;

menggunakan secara seksama rentangan adjektiva dan adverbial secara


luas;

menyediakan ucapan-ucapan yang memenuhi syarat.

Dalam kode lengkap emosi atau perasaan akan cenderung dikuasai dan
rasionalitas dijadikan ukuran penggunaan bahasa. Kode ini akan lebih
menonjolkan aspek pikiran, intelektualitas, serta rasionalitas. Kode lengkap
banyak digunakan dalam komunikasi yang bersifat formal, misalnya komunikasi
keilmuan.
Kode Terbatas atau Kode Umum
Menggunakan suatu kode terbatas (restricted code) atau kode umum
(public code) berarti menggunakan kode yang mengandung pengertian berikut.

menggunakan kalimat yang secara gramatikal sederhana, pendek, serta


bentuk kalimat yang miskin dan tidak lengkap;

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

36

menggunakan sedikit konjungsi atau kata penghubung yang sederhana


dan diulang-ulang;

menggunakan sedikit bentuk subrodinasi, cenderung ke arah presentasi


informasi yang pendek-pendek;

menggunakan adjektiva dan adverbial secara terbatas;

jarang menggunakan subjek pronomina impersonal;

mengacaukan alasan dan simpulan;

sering memunculkan permohonan sirkularitas simpatik (misalnya:


You know, apa itu, maaf anu, dan sebagainya);

sering menggunakan idiom;

menggunakan sebuah bahasa dengan makna implisit.

Dalam kode ringkas atau terbatas kurang diperhatikan unsur-unsur


intelektual dan rasionalitas, yang lebih penting komunikasi dapat berjalan. Kode
terbatas lebih bersifat menyederhanakan jalan pikiran, mengedepankan kata-kata
yang penting-penting saja, misalnya nomina, verba, adjektiva. Bahasa yang
digunakan untuk komunikasi tidak resmi jarang menggunakan ukuran rasionalitas.
Komunikasi yang tercipta lebih banyak bersifat personal, pribadi, yang dapat
menimbulkan jarak sosial yang dekat.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

37

5. Sistem Lingual
Sistem lingual (linguistic system) terdiri atas tiga tingkatan: (i) semantik,
(ii) leksiko-gramatis, dan (iii) fonologis dengan menempatkan sistem semantis
menjadi perhatian utama dalam konteks sosiolingual (Halliday, 1978 : 111;
Santoso, 2012 : 96). Penekanan pada aspek semantis ini memberikan pengertian
bahwa kajian semiotik sosial ini lebih berupa kajian fungsional daripada kajian
kognitif ala Chomsky. Ia selalu mengaji fungsi daripada bentuk. Dalam
pandangan kajian fungsional, sistem semantis berkaitan dengan tiga fungsi
bahasa: (i) fungsi ideasional, (ii) fungsi interpersonal, dan (iii) fungsi tekstual.
6. Struktur Sosial
Dalam pandangan Halliday (1978 : 113 114; Santoso, 2012 : 98) struktur
sosial disangkutkan ke dalam teori sosiolinguistik atas dasar tiga titik pijak
hubungan timbal balik: (i) hubungan struktur sosial dengan konteks sosial, (ii)
hubungan struktur sosial dengan pola-pola hubungan sosial, dan (iii) hubungan
struktur sosial dengan kelas atau hierarki sosial. Struktur sosial menetapkan dan
memberikan arti kepada berbagai jenis konteks sosial tempat makna-makna itu
dipertukarkan. Kelompok sosial dan jaringan komunikasi yang berbeda sangat
menentukan bentuk-bentuk karakteristik konteks situasi.
Sebagai contoh, relasi antara status dan peran partisipan atau pelibat secara
jelas akan menghasilkan struktur sosial tertentu, dapat berupa struktur sosial yang
koordinatif-egalitarian atau subordinatif-berjenjang. Pola-pola lingual yang
digunakan sebagai sarana retoris menunjukkan ciri sarana wacana yang

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

38

diasosiasikan dengan strategi. Dalam bahasa Jawa, misalnya, tersedianya


banyak kata bagi pronomina persona kedua, seperti kowe, rika, kon, sampeyan,
awakmu, panjenengan, panjenengan ndalem, ingkang sinuwun, dan sebagainya
dapat menunjukkan sebuah struktur sosial yang subordinatif-berjenjang yang
terealisasikan melalui pilihan pronomina persona kedua.
Struktur sosial masuk melalui pengaruh hierarki sosial. Menurut Halliday
(1978) struktur sosial hadir dalam bentuk-bentuk interaksi semiotis dan menjadi
nyata melalui keganjilan, keanehan, dan kekacauan dalam sistem semantis.
Sekarang, dalam penggunaan bahasa, misalnya, tampak muncul adanya fenomena
kekaburan dalam bahasa yang merupakan bagian dari ekspresi dinamis dan
tegangan sistem sosial. Kekaburan itu dipilih untuk mewujudkan ketaksaan,
pertentangan atau kebencian, ketidaksempurnaan, ketidaksamaan, serta perubahan
sistem sosial dan struktur sosial (Santoso, 2012 : 86 99).

2.3

Feminisme Eksistensialis
Tokoh yang teramat dikenal dalam teori feminisme eksistensialis adalah

Simone de Beauvoir (Arivia, 2003 : 122). Mengambil pemikiran Simone de


Beauvoir, misalnya tentang eksistensialisme dalam upayanya untuk mengerti
situasi perempuan. Simak saja apa yang dikatakan sebagai berikut:

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

39

Bukan karena jenis kelamin, perempuan menuntut eksistensinyakesubmisifan perempuan merupakan bukti. Apa yang mereka tuntut
adalah diakui sebagai makhluk yang bereksistensi dan yang
mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dan tidak
mensubordinasikan eksistensi pada hidup, manusia dan sifat
dasariah binatang. Perspektif eksistensial telah memungkinkan
kita untuk mengerti bagaimana kondisi biologis dan ekonomi dari
pandangan primitif telah membawa kita pada supremasi laki-laki.
Si perempuan dijadikan mangsa dalam maternitas perempuan
tetap dekat dengan tubuhnya, seperti seekor binatang (Solanas,
1969 : 265; Arivia, 2003 : 19).

De Beauvoir memperlihatkan perempuan sebagai yang lain (the other),


bukan saja pada laki-laki tetapi juga pada perempuan itu sendiri. Penjelasan
tentang ketertindasan perempuan sebagian karena persoalan subyektivitas
perempuan, yakni bagaimana perempuan dilihat dan melihat dirinya sebagai
obyek. Bagi de Beauvoir, perempuan selalu menjadi obyek pada yang lain dan
pada dirinya sendiri sebelum ia dapat menjadi subyek (Arivia, 2003 : 19 20).
Bagaimana pun adalah Simone de Beauvoir yang memulai dengan
pertanyaan Apa itu perempuan? Menurutnya, orang menganggap perempuan
hanya Tota mulier in utero, maksudnya bahwa perempuan adalah kandungan.
Pernyataan ini membedakan dengan jelas antara laki-laki dengan perempuan.
Mulai dari penjelasan data biologis, Simone de Beauvoir mencoba menjelaskan
bagaimana sulitnya bagi perempuan untuk tetap menjadi dirinya sendiri,
bagaimana kemudian ia menjadi apa yang disebut sebagai yang lain (the Other)
(Arivia, 2003 : 122).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

40

Persoalan the Other ini dimulai ketika perempuan mulai mempercayai


bahwa ia makhluk yang perlu dilindungi karena kelemahan di tubuhnya. Ia
mulai berpikir bahwa ia tidak dapat hidup tanpa seorang laki-laki, apalagi bila ia
yakin bahwa ia adalah bagian dari laki-laki (diciptakan dari tulang rusuk lakilaki). Oleh sebab itu, ia didefinisikan berdasarkan pendapat laki-laki dan bukan
sebaliknya. Ia mencari referensi kepada laki-laki dan ia mencari restu dari lakilaki. Laki-laki jelas di sini menjadi subyek, ia absolut sedangkan perempuan
adalah obyek atau yang lain (the Other) (Arivia, 2003 : 122 123).
Dalam menjelaskan dasar teorinya tentang perempuan, de Beauvoir
mengacu pada teori eksistensialisme dari Jean-Paul Sartre. Sartre menyatakan
bahwa terdapat tiga modus Ada pada manusia, yakni Ada-pada-dirinya (etre en
soi), Ada-bagi-dirinya (etre pour soi) dan Ada-untuk-orang lain (etre pour les
autres). Pada dua konsep pertama, cara berada etre-en-soi adalah Ada yang
penuh, sempurna dan digunakan untuk membahas obyek-obyek yang nonmanusia
karena ia tidak berkesadaran. Sedangkan bagi etre-pour-soi, konsep ini bertolak
belakang dari etre-en-soi. Etre-pour-soi mempunyai relasi karena ia berkesadaran.
Dalam konsep etre-pour-soi, diperkenalkan ciri khas manusia yang mempunyai
aktivitas menidak di mana diperkenalkan dengan konsep ketiadaan. Menurut
Sartre, konsep ini hanya dapat dilakukan oleh manusia. Aktivitas menidak yang
memuat konsep ketiadaan adalah sama dengan kebebasan. Man is condemned to
be free, manusia terkutuk untuk bebas. Oleh sebab itu, manusia, masih
menurutnya, harus bertanggung jawab atas dirinya sendiri (Arivia, 2003 : 123).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

41

Filsafat Sartre yang paling dekat dengan feminisme adalah etre-pour-les


autres (ada untuk orang lain). Ini adalah filsafat yang melihat relasi-relasi
antarmanusia. Bagi Sartre, setiap relasi antarmanusia pada dasarnya diasalkan
pada konflik. Konflik adalah inti dari relasi intersubyektif. Dalam perjumpaan
antara subyek atau kesadaran, aktivitas menidak berlangsung, artinya masingmasing pihak mempertahankan kesubyekannya. Masing-masing mempertahankan
dunianya dan berusaha memasukkan kesadaran lain dalam dunianya. Sehingga
terjadi usaha untuk mengobyekkan orang lain. Dalam hal relasi antara laki-laki
dan perempuan, laki-laki mengobyekkan perempuan dan membuatnya sebagai
yang lain (Other). Dengan demikian, laki-laki mengklaim dirinya sebagai jati
diri dan perempuan sebagai yang lain, atau laki-laki sebagai subyek dan
perempuan sebagai obyek (Arivia, 2003 : 123 124).
Feminisme Eksistensialis mengatakan bahwa pilihan perempuan untuk
bekerja merupakan salah satu bentuk penolakan menjadi Liyan atau menjadi
Objek. Perempuan beraktualisasi dengan bekerja di luar rumah seperti laki-laki.
Seperti dikatakan Beauvoir ada empat strategi aktualisasi diri perempuan agar
tetap eksis, yaitu dengan bekerja, menjadi intelektual, sebagai transformator sosial
di masyarakat dan menolak internalisasi status Liyan-nya dengan menolak
menjadi Objek (Tong, 1998; Irianto, 2006 : 466).
Seperti yang dikatakan oleh de Beauvoir (1974) untuk menjadi manusia
sempurna, menuju kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, maka perempuan
harus mempunyai akses ke dunia publik. Memang tidak sedikit laki-laki yang
tidak sependapat dan menentang perempuan beraktivitas di dunia publik.
www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

42

Walaupun mereka (kaum laki-laki) sendiri tetap mencari pendamping hidup yang
sempurna dari kaum perempuan. Dari konflik antara kerja dan urusan rumah
tangga yang dihadapi perempuan, menjadi sinyal untuk tumbuhnya kesadaran
akan pentingnya perempuan eksis dalam hidup ini dengan beraktivitas di luar
rumah. Bagi perempuan intelektual, mandiri berarti telah menjadi diri sendiri
(Subjek). Perempuan memutuskan dan berupaya mengatasi risiko dari keputusan
tersebut, yang berarti mengatasi hambatan dan kegagalan (Irianto, 2006 : 466).

2.4

Psikologi Humanistik
Ciri yang sangat penting dari pandangan para humanis adalah keyakinan

bahwa individu dimotivasikan oleh pertumbuhan positif ke arah keparipurnaan,


kesempurnaan, keunikan pribadi, dan kepenuhan diri sendiri. Dengan kata lain,
para humanis berpendapat bahwa individu tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan
dari bawah, dari luar, atau dari dalam individu seperti yang dikemukakan oleh
pandangan-pandangan lain, melainkan individu didorong ke atas, yakni pada
suatu keadaan perkembangan pribadi yang lebih tinggi. Pada hakikatnya
pandangan para humanis lebih positif dan optimistik tentang perkembangan
manusia dibandingkan dengan pandangan yang dikemukakan oleh para ahli teori
lainnya. Mencari suatu keadaan perkembangan yang lebih tinggi menyebabkan
manusia berbeda dari spesies-spesies lain, dengan demikian istilah humanisme
digunakan untuk pandangan ini (Semiun, 2006 : 223).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

43

Psikologi Humanistik dari satu pihak menentang apa yang disebut sebagai
pesimisme suram dan keputusasaan yang terkandung dalam pandangan
psikoanalitik tentang manusia dan di lain pihak menentang konsepsi robot tentang
manusia yang digambarkan dalam behaviorisme. Psikologi Humanistik lebih
penuh harapan dan optimistik tentang manusia. Ia yakin bahwa dalam diri setiap
orang terdapat potensi-potensi untuk menjadi sehat dan tumbuh secara kreatif.
Kegagalan dalam mewujudkan potensi-potensi ini disebabkan oleh pengaruh yang
bersifat menjerat dan keliru dari latihan yang diberikan oleh orang tua, serta
pengaruh-pengaruh sosial lainnya. Namun pengaruh-pengaruh yang merugikan ini
dapat diatasi apabila individu mau menerima tanggung jawab untuk hidupnya
sendiri. Rogers yakin apabila tanggung jawab ini diterima, maka kita akan segera
melihat kalau saja persepsi dan perbudakan yang meliputi seluruh dunia dapat
dicegah munculnya seorang pribadi baru yang penuh kesadaran, mengarahkan
dirinya sendiri, seorang penjelajah dunia batin lebih daripada dunia luar, yang
memandang rendah sikap serba tunduk pada kebiasaan-kebiasaan dan dogma
tentang autoritas (Rogers, 1974 : Supratiknya, 1993 : 125-126).
Teori

ini

pada dasarnya

adalah

fenomenologis,

artinya Rogers

memberikan tekanan yang kuat pada pengalaman-pengalaman sang pribadi,


perasaan-perasaan dan nilai-nilainya, dan semua yang teringkas dalam ekspresi
kehidupan batin (Supratiknya, 1993 : 126).
Carl Rogers merupakan salah satu tokoh yang berpengaruh dalam Teori
Psikologi Humanistik. Seperti para psikolog humanistik lain, dia berpendapat
bahwa manusia cenderung membangun dirinya dengan kebebasan memilih dan
www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

44

bertindak. Pandangan Rogers disebut self-theory karena ia tertarik pada self


sebagai eksekutif kepribadian. Bagi Rogers, self adalah pembawaan sejak lahir
dan merupakan gestalt konseptual yang terorganisasi dan konsisten yang terdiri
dari persepsi-persepsi tentang karakteristik-karakteristik saya atau aku dan
persepsi-persepsi tentang hubungan-hubungan saya atau aku dengan orangorang lain, dan dengan bermacam-macam aspek kehidupan bersama dengan nilainilai yang dilekatkan pada persepsi-persepsi itu (Rogers, 1959 : 200; Semiun,
2006 : 224).
Rogers berpendapat bahwa orang-orang memiliki cara-cara yang unik
untuk melihat diri mereka sendiri dan dunia yang disebut Rogers frame of
reference (kerangka acuan) yang unik. Kita menetapkan diri kita dalam cara-cara
yang berbeda dan menilai diri kita menurut sejumlah nilai yang berbeda-beda.
Rogers mengemukakan bahwa kita semua mengembangkan suatu kebutuhan akan
penghargaan diri dan penghargaan diri kita itu terbungkus dalam cara bagaimana
kita bertindak sesuai dengan cita-cita kita.
Bila cita-cita kita itu datang dari dalam diri kita (cita-cita yang sejati dan
autentik), maka kita memiliki peluang untuk mengaktualisasikan diri kita. Bila
cita-cita kita itu didasari semata-mata pada tuntutan orang-orang lain, maka sulit
bagi kita untuk bertindak sesuai dengan cita-cita itu, dan harga diri kita mungkin
jatuh berantakan (Semiun, 2006 : 224).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

45

Pandangan tentang manusia. Seluruh perkembangan teori dipengaruhi


oleh kepercayaan dan asumsi-asumsi dasar pendiri teori. Maka, pandangan
singkat yang dikemukakan Rogers perlu disajikan dalam suatu teori formal.
1. Percaya kepada martabat manusia. Rogers sangat percaya akan
martabat dan harga diri setiap individu. Dia melihat manusia sebagai
orang yang mampu mengambil keputusan sendiri dan dia mengamati
hak setiap individu untuk berbuat demikian. Sebagai kesimpulan dari
keyakinan ini ialah kebutuhan-kebutuhan masyarakat sangat baik kalau
dilayani oleh proses dan lembaga sosial yang mendorong individu
untuk mandiri dan memimpin dirinya sendiri (self directing).
2. Mengutamakan hal yang subyektif. Pentingnya elemen-elemen yang
subjektif sangat ditekan Rogers dan dia berkeyakinan bahwa hal yang
subjektif itu juga meluas sampai pada sebagian besar tingkah laku
manusia dan tidak hanya terbatas pada praktik terapi. Manusia pada
hakikatnya hidup dalam dunia pribadi dan subjektifnya sendiri, dan
bahkan fungsinya yang sangat objektif dalam ilmu pengetahuan,
matematika, dan sebagainya merupakan akibat dari tujuan dan pilihan
subjektifnya. Tetapi dia juga berpendapat:
...Suatu pandangan yang sangat berbeda, suatu paradoks yang
tidak menyangkal pandangan objektif, tetapi yang sejajar dengan
itu. Walaupun manusia benar-benar memahami dirinya sebagai
suatu gejala yang sudah ditentukan, produk dari elemen-elemen

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

46

dan kekuatan-kekuatan masa lampau, dan penyebab yang sudah


ditentukan terhadap peristiwa-peristiwa dan tingkah laku-tingkah
laku masa depan, namun dia tidak dapat hidup sebagai objek.
3. Tendensi ke arah aktualisasi. Setelah beberapa tahun dia (Carl Rogers)
semakin yakin bahwa tendensi yang melekat pada manusia itu
bergerak ke arah-arah yang dapat digambarkan secara kasar sebagai
pertumbuhan, kemampuan menyesuaikan diri, sosialisasi, realisasi diri,
kemandirian, otonomi. Tendensi yang terarah ini sekarang disebut
tendensi aktualisasi (actualizing tendency), yang didefinisikan sebagai
tendensi yang melekat pada organisme untuk mengembangkan semua
kapasitasnya dan cara-cara yang bertujuan untuk mempertahankan atau
meningkatkan organisme. Walaupun konsepsi ini sangat sederhana,
namun tendensi aktualisasi merupakan ciri khas yang fundamental dari
semua yang hidup. Kehidupan adalah suatu proses yang aktif bukan
pasif, di mana organisme berinteraksi dengan lingkungannya dalam
cara-cara yang dirancang untuk mempertahankan, meningkatkan, dan
mengembangkan dirinya sendiri. Pada manusia, tidak ada segi
pertumbuhan dan perkembangan beroperasi secara terlepas dari
kecenderungan aktualisasi ini. Pada tingkat-tingkat yang lebih rendah,
kecenderungan aktualisasi berkenaan dengan kebutuhan-kebutuhan
fisiologis dasar akan makanan, air, dan udara. Karena itu,
kecenderungan aktualisasi itu memungkinka organisme hidup terus
dengan mempertahankan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah dasar.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

47

Aktualisasi berbuat jauh lebih banyak daripada mempertahankan


organisme,

aktualisasi

juga

memudahkan

dan

meningkatkan

pematangan dan pertumbuhan. Jika bayi bertambah besar, maka organorgan tubuh dan proses-proses fisiologis akan menjadi semakin
kompleks dan terdiferensiasi karena mereka mulai berfungsi dalam
arah-arah yang dituju. Proses pematangan dari bayi yang baru lahir ini
mulai dengan perubahan-perubahan dalam ukuran dan bentuk sampai
pada perkembangan sifat-sifat jenis kelamin sekunder pada masa
remaja. Pematangan yang penuh ini tidak dicapai secara otomatis,
meskipun pada dasarnya blue-print proses pematangan terkandung
dalam struktur genetik individu. Proses tersebut memerlukan banyak
usaha. Manusia memiliki kapasitas dan tendensi atau motivasi untuk
mengaktualisasi diri. Kapasitas dan tendensi atau motivasi ini (yang
sering tersembunyi dan tidak kelihatan) dilepaskan dalam kondisikondisi yang tepat.
4.

Manusia dapat dipercaya. Berkaitan erat dengan ide-ide di atas,


Rogers berpendapat bahwa manusia pada dasarnya baik dan dapat
dipercaya. Kata-kata seperti dapat dipercaya, dapat diandalkan,
konstruktif, atau baik menggambarkan ciri-ciri khas yang kelihatannya
melekat pada manusia. Tentu Rogers menyadari sepenuhnya bahwa
manusia kadang-kadang bertingkah laku dalam cara-cara yang tidak
dapat dipercaya atau bahkan jahat. Manusia tentu dapat berbohong,
membenci, kejam, dan bodoh, tetapi dalam pandangan Rogers sifat-

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

48

sifat yang buruk ini muncul dari sikap defensif yang mengasingkan
orang dari kodratnya sendiri. Kalau sikap defensif ini terbuka kepada
semua pengalamannya, maka manusia akan bergerak ke arah cara-cara
berpikir untuk dapat bergaul dengan orang-orang lain dan dapat
dipercaya. Dia akan berjuang untuk mengadakan hubungan-hubungan
yang bermakna dan konstruktif dengan sesama manusia dalam caracara yang meningkatkan perkembangannya sendiri dan perkembangan
spesiesnya. Pandangan Rogers sangat berbeda dengan pandangan
beberapa psikoanalisis yang melihat manusia sebagai yang destruktif
dan antisosial sejak lahir. Manusia lahir dengan dorongan-dorongan
instingtif

yang harus dikontrol supaya terjadi perkembangan

kepribadian yang sehat.


5. Manusia lebih bijaksana daripada intelektualnya. Erat hubungannya
dengan apa yang dikatakan sebelumnya ialah keyakinan Rogers bahwa
manusia lebih bijaksana daripada intelektualnya, lebih bijaksana
daripada pikiran sadarnya. Apabila manusia berfungsi dengan baik dan
tidak defensif, maka dia mempercayai seluruh reaksi organismenya
yang sering mengakibatkan penilaian-penilaian lebih baik, bahkan
lebih intuitif daripada pikiran sadarnya. Rogers berbicara mengenai
fungsi kesadaran. Dia melihat kesadaran sebagai salah satu
perkembangan yang terakhir karena suatu puncak kesadaran yang
kecil, kapasitas untuk mengadakan lambang yang berdasarkan suatu
piramida yang sangat besar dari fungsi organismik yang tak sadar.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

49

Apabila organisme berfungsi secara bebas dan efektif, maka


kesadarannya merupakan suatu bagian yang kecil dari seluruh kegiatan
dan cenderung menjadi reflektif dan bukan menjadi lampu sorot
yang tajam dari fokus perhatian (Rogers, 1963 : 17; Semiun, 2006 :
231 - 232). Kesadaran dipertajam dan terfokus bila organisme sedang
mengalami kesulitan.

2.5

Pengertian Representasi
/representasi/ /rprsntasi/ n 1 perbuatan mewakili; 2 keadaan

mewakili; 3 apa yang mewakili; perwakilan3.


Representasi pada dasarnya ingin melihat bagaimana seseorang,
kelompok, tindakan, dan kegiatan ditampilkan dalam teks. Representasi dalam
pengertian (Norman) Fairclough dilihat dari dua hal, yakni bagaimana seseorang,
kelompok, dan gagasan ditampilkan dalam anak kalimat dan gabungan atau
rangkaian antaranak kalimat (Eriyanto, 2003 : 290).
Representasi dalam anak kalimat, aspek ini berhubungan dengan
bagaimana seseorang, kelompok, peristiwa, dan kegiatan ditampilkan dalam teks,
dalam hal ini bahasa yang dipakai. Ketika sesuatu tersebut ditampilkan, pada
dasarnya pemakai bahasa dihadapkan pada paling tidak dua pilihan. Pertama, pada
tingkat kosakata (vocabulary): kosakata apa yang dipakai untuk menampilkan dan

http://kbbi.web.id/representasi, diakses tanggal 11 Januari 2014, pukul 09.00 WIB.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

50

menggambarkan sesuatu, yang menunjukkan bagaimana sesuatu tersebut


dimasukkan dalam satu set kategori. Kedua, pilihan yang didasarkan pada tingkat
grammar (tata bahasa). Pertama-tama terutama perbedaan di antara tindakan
(dengan aktor sebagai penyebab) dan sebuah peristiwa (tanpa aktor sebagai
penyebab atau pelaku). Ini bukan semata persoalan ketatabahasaan, karena realitas
yang dihadirkan dari pemakaian tata bahasa ini berbeda. Pemakai bahasa dapat
memilih, apakah seseorang, kelompok, atau kegiatan tertentu hendak ditampilkan
sebagai sebuah tindakan (action) ataukah sebagai sebuah peristiwa (event). Pilihan
kosakata yang dipakai terutama berhubungan dengan bagaimana peristiwa,
seseorang, kelompok, atau kegiatan tertentu dikategorisasikan dalam suatu set
tertentu. Kosakata ini sangat menentukan karena berhubungan dengan pertanyaan
bagaimana realitas ditandakan dalam bahasa dan bagaimana bahasa itu
memunculkan realitas bentukan tertentu. Orang atau kelompok miskin dapat
dibahasakan dengan kata miskin, tidak punya, tidak mampu, kurang beruntung,
kelompok terpinggirkan, atau bahkan kelompok yang tertindas. Semua pilihan
kata-kata tersebut menimbulkan asosiasi tertentu pada realitas yang diacu. Dengan
pemakaian kata seperti orang miskin, tidak mampu, atau kurang beruntung,
persoalan kemiskinan dibatasi hanya pada persoalan rakyat miskin itu semata.
Mereka miskin karena mereka tidak beruntung, atau mengalami kegagalan usaha.
Pendek kata, mereka sendirilah yang menentukan dan menyebabkan kemiskinan.
Sebaliknya, dalam kata kelompok terpinggirkan, kelompok marjinal, atau
kelompok tertindas, persoalan kemiskinan bukan hanya persoalan personal pada
diri orang, tetapi berhubungan dengan struktur sosial yang timpang. Kemiskinan

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

51

dalam kata-kata ini tidak hanya karena seseorang gagal berusaha, tetapi karena
mereka tidak mempunyai kesempatan dan akses yang sama, atau sengaja dibuat
miskin oleh kelompok-kelompok yang lebih kuat dalam masyarakat (Eriyanto,
2003 : 290 291).
Representasi dalam kombinasi anak kalimat, antara satu anak kalimat
dengan anak kalimat yang lain dapat digabung sehingga membentuk suatu
pengertian yang dapat dimaknai. Pada dasarnya, realitas terbentuk lewat bahasa
dengan gabungan antara satu anak kalimat dengan anak kalimat yang lain.
Misalnya, ada fakta maraknya demonstrasi mahasiswa, ada fakta lain berupa nilai
tukar rupiah menurun. Bagaimana dua fakta tersebut ditampilkan dalam teks? Dua
fakta itu dapat digabung dalam pengertian banyaknya demonstrasi mahasiswa itu
menyebabkan nilai tukar rupiah melemah. Akan tetapi, dapat dipandang sebagai
dua fakta yang terpisah, turunnya nilai tukar rupiah tidak dianggap sebagai
penyebab dan dua fakta itu benar-benar terpisah (Eriyanto, 2003 : 294).
Representasi dalam rangkaian antarkalimat, berhubungan dengan
bagaimana dua anak kalimat digabung, maka aspek ini berhubungan dengan
bagaimana dua kalimat atau lebih disusun dan dirangkai. Representasi ini
berhubungan dengan bagian mana dalam kalimat yang lebih menonjol
dibandingkan dengan bagian yang lain. Salah satu aspek penting adalah apakah
partisipan dianggap mandiri ataukah ditampilkan memberikan reaksi dalam teks
(Eriyanto, 2003 : 296).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

52

2.6

Kekuasaan Perempuan dalam Novel


Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana

dengan masyarakat. Seperti kekuasaan laki-laki dalam wacana mengenai


seksisme, kekuasaan kulit putih terhadap kulit hitam dalam wacana mengenai
rasisme, kekuasaan perusahaan terbentuk dominasi pengusaha kelas atas kepada
bawahan, dan sebagainya (Eriyanto, 2003 : 11).
Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat
apa yang disebut sebagai kontrol. Satu orang atau kelompok mengontrol orang
atau kelompok lain lewat wacana. Kontrol di sini tidaklah harus selalu dalam
bentuk fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara mental atau psikis. Kelompok
yang dominan mungkin membuat kelompok lain bertindak seperti yang
diinginkan olehnya, berbicara dan bertindak sesuai dengan yang diinginkan.
Kenapa hanya bisa dilakukan oleh kelompok dominan? Menurut van Djik, mereka
lebih mempunyai akses dibandingkan kelompok yang tidak dominan. Kelompok
dominan lebih mempunyai akses seperti pengetahuan, uang, dan pendidikan
dibandingkan dengan kelompok yang tidak dominan (Eriyanto, 2003 : 12).
Selain dalam novel Lalita, ada novel-novel lainnya yang mengulas tentang
gambaran kekuasaan perempuan. Salah satu contohnya adalah novel thriller
berjudul Pintu Terlarang karya Sekar Ayu Asmara, di mana tokoh Talyda sang
istri sangat menguasai sistem rumah tangga, gaya hidup Gambir suaminya, sampai
bebas melakukan hubungan seksual dengan pria manapun dan tidak mengakui itu

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

53

sebagai perselingkuhan sebab Talyda menganggap hanya tubuhnya yang


berkhianat.
Semalaman, mereka berdua berbagi cinta. Singa betina
menaklukkan raja belantara. Beban tak hinggap pada hati nurani
Talyda. Bercinta dengan pasangan tak dikenal menjadikan
semuanya lebih mudah. (Asmara, 2012 : 103)

Contoh lain adalah novel Supernova; Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh
karya Dee Lestari, dalam alur ceritanya terdapat kisah mengenai seorang istri
yang berani menunjukkan kekuasaan atas suaminya dengan cara berselingkuh
dengan lelaki lain yang dirasa sang istri membuatnya lebih nyaman.
Sepanjang hidup saya, hanya ada satu perempuan yang saya cintai
sungguh-sungguh. Istri saya sendiri. Dan, dia menyeleweng.
Anehnya, saya tidak sanggup marah. Bahkan, untuk menyalahkan
sedikit pun tidak bisa. (Dee, 2012 : 222)

Tokoh Lalita dalam novel Lalita karya Ayu Utami menjelma sebagai tanda
tentang makna kekuasaan perempuan, dilihat dari intelektualitas, penampilan fisik
yang modern, kemapanan, eksklusivitas diri, dominasi seksual, dan penggunaan
semua aspek tersebut menjadi kekuatan dalam mengontrol laki-laki dan membuat
mereka melakukan segala keinginannya.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

54

2.7

Novel sebagai Media Massa


novel /novl/ n Sas karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian

cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan


watak dan sifat setiap pelaku4.
Novel adalah sebuah teks naratif. Novel menceritakan kisah yang
merepresentasikan suatu situasi yang dianggap mencerminkan kehidupan nyata
atau untuk merangsang imajinasi. Sering dalam proses pengisahannya novel
merujuk secara langsung atau tidak langsung ke teks-teks lain. Hal ini
mendatangkan adanya suatu rasa saling terkait ke tatanan signifikasi lebih besar
yang melahirkannya.
Di dalam teori semiotika mutakhir, aspek penarasian seperti ini dinyatakan
sebagai intertekstualitas. Interteks adalah teks narasi lain yang dimainkan oleh
sebuah novel melalui pengutipan atau implikasi. Bisa dikatakan ini adalah teks
yang terletak di luar teks utama. Sebuah novel juga bisa memiliki subteks, yaitu
kisah yang secara implisit terkandung di dalamnya yang mendorong sebuah narasi
di permukaan. Sebagai contoh, teks utama dalam film Blade Runner mengisahkan
karya detektif ilmiah, tetapi subteksnya jelas adalah yang bersifat religiusupaya
pencarian Sang Pencipta. Interpretasi ini dipertegas dengan banyaknya permainan
intertekstual ke dalam tema dan simbol Alkitabiah di dalam film tersebut (Danesi,
2010 : 75 76).

http://kbbi.web.id/novel, diakses tanggal 24 Desember 2013, pukul 08.30 WIB.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

55

Buku yang dikenal dengan nama novel fiksi (dari bahasa Latin fingere
yang artinya membentuk, menyatukan), dalam beberapa abad sejak ditemukan
menjadi salah satu bentuk seni kemanusiaan yang paling populer. Novel juga
merupakan artefak pengalihan pikiran massal dalam budaya pop yang baru
muncul pada awal abad ke-20suatu zaman ketika novel fiksi kacangan (pulp
fiction) ditulis hanya dengan tujuan untuk melakukan pengalihan pikiran massa
sehingga bisa secara teratur dibuang dan digantikan oleh novel-novel baru.
Sampai sekarang ini, genre fiksi kacangandetektif, kriminal, fiksi ilmiah, roman,
thriller, dan novel-novel petualanganmengisi rak-rak toko buku dan terus
menjadi sumber bacaan yang menyenangkan bagi sejumlah besar masyarakat
(Danesi, 2010 : 75).
Buku fiksi yang sebenarnya pertama ditulis pada Zaman Pertengahan. Saat
itu adalah zaman ketika orang-orang mulai menemukan kisah-kisah khayalan dan
menuliskannya untuk dinikmati orang lain. Sebelum Abad Pertengahan ini,
mungkin orang-orang sudah menceritakan kisah-kisah semi fiksi seperti fabel,
cerita rakyat, atau legenda, tetapi yang dilakukan kisah-kisah ini tidak sama
dengan

kisah-kisah

dalam

Zaman

Pertengahanpengisahan

cerita

demi

pengisahan itu sendiri. Di pisah lain, kisah-kisah zaman kuno merupakan


penggambaran khayalan (atau satir) tentang tema-tema mitos dan pahlawan dalam
legenda, atau yang memiliki fungsi pendidikan, seperti menanamkan moral dan
etika kepada anak-anak dan orang dewasa (Danesi, 2010 : 76).
Meskipun demikian, fiksi menjadi karya naratif yang berkembang meluas
hanya setelah diterbitkannya karya Giovanni Boccaccio (1313 1375) berjudul
www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

56

Decameron pada tahun 1353, dengan karya ini merupakan kumpulan 100 kisah
fiksi yang ditulis dengan latar belakang Maut Hitam yang muram, sebagaimana
wabah pes bubo yang melanda Eropa dalam abad ke-14 itu disebut. Decameron
merupakan karya fiksi pertama dalam pengertian modern. Dalam rangka
menghindarkan dari bencana wabah ini, sepuluh orang sahabat memutuskan untuk
mengungsi di sebuah vila di luar kota Florence. Di tempat itu mereka berusaha
saling menyenangkan sesama teman dengan menceritakan kisah karangan secara
bergiliran. Pengisahan cerita setiap harinya diakhiri dengan canzone, yaitu puisi
liris yang singkat.
Dengan munculnya genre yang disebut sebagai picaresque di Spanyol
dalam abad ke-16yang di dalamnya pahlawan biasanya dilukiskan sebagai
pengelana yang berjalan dan mengalami pelbagai peristiwa mengesankannovel
menjadi santapan utama masyarakat Eropa. Contoh klasik dari genre picaresque
adalah novel yang penuh teka-teki karya Miguel de Cervantes Saavedra (1547
1616) yaitu Don Quixote de la Mancha (Bagian I, 1605, bagian II, 1615) yang
menurut banyak orang merupakan novel karya agung pertama di dunia Barat.
Sejak itu, penulisan karya fiksi dianggap menjadi satu tolok ukur untuk melihat
perilaku dan karakter manusia. Ini mungkin karena secara intuitif kita merasa
bahwa struktur naratif mencerminkan struktur kehidupan nyata yang kita alami:
yaitu bahwa kita merasakan bahwa struktur naratif sudah ada secara implisit di
dalam bentuk tindakan dan peristiwa yang muncul dalam kehidupan manusia
sebenarnya. Kita bahkan cenderung melihat novel laris, roman Harlequin, fiksi
detektif, dan sejenisnya itu mengisahkan sesuatu yang penting di dalam kita

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

57

sendiri, walaupun kita membacanya hanya untuk kesenangan atau kenikmatan


saja. Novel menjadi semakin nyata secara psikologis, menguraikan dan sering
mengejek kehidupan dan moral kontemporer (Danesi, 76 77).
Teknik-teknik narasi di dalam novel cukup beragam, mulai dari
pengisahan bentuk orang pertama sampai narasi dalam bentuk aliran kesadaran
rumit yang dirancang untuk mengungkapkan perasaan, pikiran, dan tindakan
tersembunyi suatu karakter (Danesi, 2010 : 78).

2.8

Teks sebagai Tanda


Teks bukan sesuatu yang datang dari langit, bukan juga suatu ruang hampa

yang mandiri. Teks dibentuk dalam suatu praktik diskursus, suatu praktik wacana.
Kalau ada teks yang memarjinalkan wanita, bukan berarti teks tersebut suatu
ruang hampa, bukan pula sesuatu yang datang dari langit. Teks itu hadir dan
bagian dari representasi yang menggambarkan masyarakat yang patriarkal
(Eriyanto, 2003, 222).
Teks tidak pernah ada dalam abstraksi. Teks bekerja melalui proses
semiotik seperti metafora dan metonimi, yang di dalamnya makna sosial
dipertukarkan dan kode sosial berinteraksi. Teks tidak membuat yang nyata
menjadi hadir melainkan merepresentasikannya melalui kode dan tanda. Tanda
dan kode utama dalam teks ini mengapresiasi jaringan pemahaman sosial yang
didasarkan pada oposisi kultural dan mitos yang mendasaroposisi antara kita dan
mereka. Jika imaji merepresentasikan seorang non-Barat sebagai mereka, maka
www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

58

imaji itu menyapa seorang Barat sebagai kita. Kita tidak sekadar memerhatikan
kontras Barat-Timur, kita disapa sebagai telah berada pada satu pihak di
dalamnyasebagai seseorang yang baginya imaji ini merupakan imaji
keeksotikan, ketidakfamiliaran dan pesona, ketimbang imaji realitas yang familiar
dan bahkan sehari-hari yang lumrah. Inilah bagaimana teks mendorong para
pembaca untuk mengistimewakan satu kumpulan nilai dan makna atas kumpulan
nilai dan makna lainnya: secara sederhana, teks mengadakan oposisi mitos dan
kemudian menyapa para pembaca seolah mereka telah berada pada satu pihak
ketimbang pihak lainnya (Thwaites, Davis & Mules, 2009 : 124 125).
Kalau persepsi dunia kita membentuk dan dibentuk oleh kosakata kita,
bahasa menjadi sesuatu yang istimewa karena kehadirannya dalam jagad makna
bisa digunakan untuk membahasakan simbol-simbol yang lain. Dengan bahasa,
manusia tidak hanya berpikir dan memahami dunia, tetapi juga membentuk
realitas. Bahasa juga menjadi dunia citra yang membedakan kemanusiaan kita.
Bahasa sekaligus mencerminkan aktualisasi dari kebebasan (akal budi) manusia.
Bahasa dianggap identik dengan penalaran akal budi, yang dengannya manusia
mengekspresikan diri serta membangun dunianya yang berbudaya (Ibrahim, 2011
: 226 227).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

59

BAB III
METODOLOGI DAN SUBJEK PENELITIAN

3.1

Metodologi Penelitian

3.1.1

Paradigma Penelitian
Penelitian adalah upaya untuk menemukan suatu kebenaran atau

membenarkan kebenaran melalui model-model tertentu. Model tersebut dikenal


dengan paradigma. Menurut Bogdan dan Biklen (1982), paradigma adalah
kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau
proposisi

yang

mengarahkan

cara

berpikir.

Sedangkan

Kuhn

(1962)

mendefinisikan paradigma sebagai contoh yang diterima tentang praktik ilmiah


sebenarnya, contoh-contoh termasuk hukum, teori, aplikasi, dan instrumentasi
secara bersama yang menyediakan model yang darinya muncul tradisi dari
penelitian ilmiah.
Paradigma terdiri dari bermacam-macam, namun yang sering digunakan
yaitu paradigma keilmuan dan paradigma alamiah. Paradigma keilmuan
bersumber dari pandangan positivisme yang mencari fakta penyebab fenomena
sosial dan kurang mempertimbangkan keadaan subjektif individu. Durkheim
menyarankan agar para ahli ilmu pengetahuan sosial untuk mempertimbangkan
fakta sosial atau fenomena sosial karena hal tersebut memberikan pengaruh dan

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

60

memaksakan pengaruh tertentu terhadap perilaku manusia. Sedangkan paradigma


alamiah bersumber dari pandangan fenomenologis yang berusaha memahami
perilaku manusia dari segi kerangka berpikir maupun cara bertindak orang-orang
tersebut yang dibayangkan maupun yang dipikirkan oleh orang-orang itu sendiri.
Paradigma sosial mengacu pada orientasi perseptual dan kognitif yang
dipakai oleh masyarakat komunikatif untuk memahami dan menjelaskan aspek
tertentu dalam kehidupan sosial. Paradigma sosial terbatas pada pandangan dua
hal, yang pertama yaitu paradigma sosial yang hanya dimiliki oleh kalangan
terbatas dan tidak melulu diterima oleh anggota masyarakat. Masyarakat yang
menerima paradigma ini adalah masyarakat ilmiah, terciptanya komunikasi guna
menciptakan paradigma sosial. Kedua, paradigma sosial yang berlaku dalam
aspek tertentu dari kehidupan dan bukan aspek yang menyeluruh. Paradigma
sosial terbatas dalam ruang lingkup penerimaan daripada pandangan dunia yang
berlaku, sebagai elemen dasar dari paradigma sosial merupakan pandangan dunia
baik dalam komponen dasar, keyakinan atau sistem keyakinan dan nilai-nilai yang
terkait.
Definisi Capra (1996) tentang paradigma adalah sebagai konstelasi
konsep, nilai-nilai persepsi dan praktik yang dialami bersama oleh masyarakat
yang membentuk visi khusus tentang realitas sebagai dasar tentang cara
mengorganisasikan dirinya. Baker (1992) dalam paradigms the business of
discovering the future, mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat aturan
tertulis atau tidak tertulis yang membangun atau mendefinisikan batas-batas dan
menceritakan bagaimana seharusnya melakukan sesuatu di dalam batas-batas
www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

61

tersebut agar dapat berhasil. Paradigma adalah pola atau model tentang bagaimana
sesuatu terstruktur atau bagaimana bagian-bagian yakni perilaku yang di
dalamnya ada konteks khusus atau dimensi waktu itu berfungsi. Dari definisidefinisi yang tercantum, dapat diambil kesimpulan bahwa paradigma adalah cara
pandang, pola penelitian untuk memahami kompleksitas dunia nyata yang
berdasarkan asumsi-asumsi tertentu dan memiliki batasan-batasan

yang

menyertainya. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan


praktisinya, bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus
dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistemologi
yang panjang.
Penelitian ini menggunakan paradigma interpretif, yaitu suatu paradigma
yang menganggap bahwa ilmu bukanlah didasarkan pada hukum dan prosedur
yang baku, setiap gejala atau peristiwa bisa jadi memiliki makna yang berbeda,
ilmu bersifat induktif, berjalan dari yang spesifik menuju ke yang umum dan
abstrak. Ilmu bersifat idiografis, artinya ilmu mengungkap realitas melalui
simbol-simbol dalam bentuk deskriptif. Newman berpendapat bahwa pendekatan
interpretif berangkat dari upaya untuk mencari penjelasan tentang peristiwaperistiwa sosial atau budaya yang didasarkan pada perspektif dan pengalaman
orang yang diteliti. Pendekatan interpretatif diadopsi dari orientasi praktis. Secara
umum pendekatan interpretatif merupakan sebuah sistem sosial yang memaknai
perilaku secara detail langsung mengobservasi.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

62

3.1.2

Metode Kualitatif
Paradigma interpretif pada akhirnya melahirkan pendekatan kualitatif.

Pendekatan kualitatif adalah riset yang bersifat deskriptif dan cenderung


menggunakan analisis dengan pendekatan induktif, yaitu beranjak dari hal-hal
yang khusus ke umum untuk menentukan suatu teori. Proses dan makna perspektif
subyek lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan
sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Selain
itu, landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang
latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Terdapat
perbedaan mendasar antara peran landasan teori dalam penelitian kualitatif dengan
penelitian

kuantitatif.

Dalam

penelitian

kualitatif,

peneliti

berusaha

mendeskripsikan dan memahami suatu fenomena secara mendalam dengan


peneliti itu sendiri sebagai instrumen utama. Pendekatan kualitatif memusatkan
perhatian pada prinsip-prinsip umum atau pola-pola yang mendasari perwujudan
satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia. Penelitian kualitatif
lebih menekankan pada proses daripada hasil.
Dalam penelitian kuantitatif, penelitian berangkat dari teori menuju data
dan berakhir pada penerimaan atau penolakan terhadap teori yang digunakan,
sedangkan dalam penelitian kualitatif peneliti bertolak dari data, memanfaatkan
teori yang ada sebagai bahan penjelas dan berakhir dengan suatu teori.
Bogdan dan Taylor (1975) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

63

atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati. Penelitian kualitatif
memandang objek secara utuh dan holistik, jadi pada penelitian kualitatif tidak
boleh mengisolasikan individu atau objek ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi
harus memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Kirk dan Miller (1986)
menggambarkan penelitian kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada
manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut
dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. Paradigma membangun realitas yang
dipersepsikan tentang realitas yang ada, serta memfokuskan perhatian pada aspekaspek tertentu dari realitas objektif dan membimbing interpretasi seseorang pada
struktur yang mungkin dan berfungsi pada realitas yang tampak maupun yang
tidak tampak.
Penelitian kualitatif jauh lebih subjektif daripada penelitian atau survei
kuantitatif dan menggunakan metode yang sangat berbeda dari mengumpulkan
informasi, terutama individu, dalam menggunakan wawancara secara mendalam
dan fokus grup. Sifat dari jenis penelitian ini adalah penelitian dan penjelajahan
terbuka berakhir dilakukan dalam jumlah relatif kelompok kecil yang
diwawancarai secara mendalam. Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi
alamiah dan bersifat penemuan. Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah
instrumen kunci. Oleh karena itu, peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan
yang

luas,

sehingga

dapat

mengajukan

pertanyaan,

menganalisis,

dan

mengonstruksi objek yang diteliti menjadi lebih jelas. Penelitian ini lebih
menekankan pada makna dan terikat nilai. Penelitian kualitatif digunakan jika

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

64

masalah belum jelas, untuk mengetahui makna yang tersembunyi, untuk


memahami interaksi sosial, untuk mengembangkan teori, untuk memastikan
kebenaran data, dan meneliti sejarah perkembangan.

3.2

Kerangka Analisis

3.2.1

Semiotika M.A.K. Halliday


Pusat dari konsentrasi ini adalah tanda. Kajian mengenai tanda dan cara

tanda tersebut bekerja disebut semiotik atau semiologi. Semiotika memiliki tiga
wilayah:
1. Tanda itu sendiri. Wilayah ini meliputi kajian mengenai berbagai jenis
tanda yang berbeda, cara-cara berbeda dari tanda-tanda di dalam
menghasilkan makna, dan cara tanda-tanda tersebut berhubungan dengan
orang yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya
bisa dipahami di dalam kerangka penggunaan/konteks orang-orang yang
menempatkan tanda-tanda tersebut.
2. Kode-kode atau sistem di mana tanda-tanda diorganisasi. Kajian ini
melingkupi bagaimana beragam kode telah dikembangkan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat atau budaya, atau untuk mengeksploitasi
saluran-saluran komunikasi yang tersedia bagi pengiriman kode-kode
tersebut.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

65

3. Budaya tempat di mana kode-kode dan tanda-tanda beroperasi. Hal ini


pada gilirannya bergantung pada penggunaan dari kode-kode dan tandatanda untuk eksistensi dan bentuknya sendiri.

Jadi, fokus utama semiotika adalah teks. Di dalam semiotik, penerima,


atau pembaca, dipandang memiliki peranan yang lebih aktif dibandingkan
sebagian besar model proses. Semiotik lebih memilih istilah pembaca (reader)
(juga berlaku pada foto dan lukisan) dibandingkan penerima (receiver) karena
istilah tersebut menunjukkan derajat aktivitas yang lebih besar dan juga membaca
adalah sesuatu yang kita pelajari untuk melakukannya; jadi hal tersebut ditentukan
oleh pengalaman budaya dari pembaca. Pembaca membantu untuk menciptakan
makna dari teks dengan membawa pengalaman, sikap, dan emosi yang dimiliki ke
dalam makna (Fiske, 2012 : 66 67).
Ketika menafsirkan suatu teks, pengalaman, latar belakang budaya
peneliti, pendidikan, afiliasi politik, bahkan keberpihakan
mempengaruhi hasil interpretasi (Eriyanto, 2003 : 62).

Fokus penelitian Halliday terletak pada bahasa sebagai komunikasi,


sedangkan dari segi insani melihat bahasa sebagai alat sosialisasi. Dengan
mengikuti asumsi sosiologi yang menyatakan insani sebagai makhluk sosial, dan
tujuan sosialisasi itu adalah terbangunnya insani sebagai makhluk sosial yang
benar,

Halliday

melihat

bahwa

kajian-kajian

ilmu

bahasa

bertugas

mengungkapkan proses sosialisasi tersebut lewat bahasa (Pangaribuan, 2008 : 50).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

66

Di dalam teori sosiosemantik (Halliday, 1974; 1975; 1978; Pangaribuan,


2008 : 62), konteks dan fungsi merupakan dua konsep abstrak yang berperan
mengungkap-kan hakekat realita sosial melalui wahana bahasa. Menurut Halliday,
struktur konteks dibangun oleh tiga komponen, yaitu ranah (field), tenor dan modi
(Halliday, 1978 : 142 149; Halliday & Hasan, 1989; Pangaribuan, 2008 : 62).
Ranah merupakan rekaan tentang peristiwa apa yang terjadi, yaitu segala peristiwa
atau tindak sosial yang sedang berlangsung baik secara pengalaman, maupun
abstraksi logisnya. Aspek itu menggambarkan peristiwa apa yang terjadi yang
melibatkan para penutur atau partisipan sebagaimana dinyatakan

atau

direalisasikan unsur-unsur status, proses, pelaku, tujuan, lokasi, dan waktu dari
unsur klausa. Tenor merupakan unsur partisipan dan perannya dalam bentuk
hubungan interpersonal, status, dan perannya serta sifat hubungan persona di
antara mereka sebagaimana direalisasikan dalam pilihan-pilihan piranti linguistik
yang terdapat pada teks. Dalam tenor itu, hubungan interaksi yang signifikanlah
yang diamati. Modi merupakan realisasi yang diungkapkan oleh teks secara
keseluruhan sebagai tindak sosial, baik bersifat lisan, maupun tulisan, baik dari
aneka jenis wahana monolog maupun dialog, dan lain-lain (Pangaribuan, 2008 :
62 63).
Guna menemukan tanda-tanda representasi kekuasaan perempuan dalam
novel Lalita karya Ayu Utami, unit analisis dalam penelitian ini akan diteliti
dengan mengacu pada tiga fungsi bahasa menurut Halliday, sebagaimana yang
sejalan dengan pemikiran Fairclough berikut ini.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

67

Fairclough understands CDA to be concerned with the


investigation of the tension between the two assumptions about
language use: that language is both socially constitutive and
socially determined. He bases his ideas on the multifunctional
linguistic theory embodied in Hallidays functional-systemic
linguistics (Halliday 1978, 1985): every text has an ideational
function through its representation of experience and
representatiton of the world. In addition texts produce social
interactions between participants in discourse and therefore also
display an interpersonal function. Finally, texts also have a
textual function in so far as they unite separate components into
a whole and combine this with situational contexts, for example by
the use of situational deixis (Fairclough 1995a: 6). Through the
notion of the multifunctionality of language in texts, Fairclough
operationalizes the theoretical assumption that texts and
discourses are socially constitutive: Language use is always
simultaneously constitutive of (i) social identities, (ii) social
relations and (iii) systems of knowledge and beliefs (Fairclough
1993: 134). The ideational function of language constitutes
systems of knowledge; the interpersonal function creates social
subjects or identities or the relationships between them. That
implies that every text contributesalbeit in a small wayto the
constitution of these three aspects of society and culture (Titscher
et al, 2000 : 148 149).

Menurut pemikiran Halliday, dalam pandangan kajian fungsional, sistem


semantis berkaitan dengan tiga fungsi bahasa: (i) fungsi tekstual, (ii) fungsi
interpersonal, dan (iii) fungsi ideasional.
Fungsi Tekstual
Komponen tekstual merujuk pada kekuatan pembentukan teks (textforming) penutur yang membuat teks itu menjadi relevan (Halliday, 1978 : 112;
Santoso, 2012 : 98). Komponen tekstual menyediakan tekstur yang membuat
perbedaan antara bahasa yang diperlakukan bebas konteks dengan bahasa yang
dioperasionalkan dalam lingkungan konteks situasi. Dalam komponen tekstual,

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

68

bahasa

mempunyai

fungsi

tekstual.

Bahasa

akan

digunakan

untuk

mengorganisasikan makna-makna pengalaman dan interpersonal kita ke dalam


bentuk yang linear dan koheren (Santoso, 2012 : 98). Fungsi tekstual dilihat dari
bagaimana keterpaduan makna direalisasikan melalui struktur informasi, kohesi,
dan unsur-unsur lain yang menyatakan bagaimana bahasa itu melayani
kepentingan partisipan (Pangaribuan, 2008 : 52)
Fungsi Interpersonal
Komponen interpersonal merujuk pada kekuatan makna penutur sebagai
penyelundup yang ikut campur (Halliday, 1978 : 112; Santoso, 2012 : 96). Ini
merupakan fungsi partisipasi bahasa atau bahasa dipandang sebagai doing
something.

Komponen

interpersonal

menginformasikan

bahwa

penutur

menyelundupkan dirinya ke dalam konteks situasi, baik dalam rangka


mengekspresikan sikap dan keputusan yang dimilikinya maupun mencoba
memengaruhi sikap dan perilaku orang lain. Dalam komponen interpersonal,
bahasa memiliki fungsi interpersonal.
Bahasa digunakan untuk mengodekan interaksi dan menunjukkan
bagaimana kita semua mendapatkan proposisi-proposisi itu dalam komunikasi.
Bahasa mengodekan makna-makna tentang sikap, interaksi, dan relasi timbal
balik. Pemahaman kita terhadap jarak sosial, misalnya, terkait dengan komponen
interpersonal ini. Penggunaan ekspresi informal, misalnya, dapat menciptakan
sebuah kesan jarak sosial yang dekat. Kajian modalitas dapat menginformasikan
tentang sikap penutur terhadap sesuatu (Santoso, 2012 : 96 97).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

69

Fungsi Ideasional
Komponen ideasional merujuk pada kekuatan makna penutur sebagai
pengamat (Halliday, 1978 : 112; Santoso, 2012 : 96). Hal ini merupakan fungsi ini
dari bahasa atau bahasa sebagai about something. Komponen bahasa ini
menginformasikan bahwa melalui sebuah bahasa seorang penutur akan
menyandikan atau mengodekan pengalaman kultural dan pengalaman individunya
sebagai anggota budaya atau kultur masyarakat tertentu.
Dalam komponen ideasional, bahasa memiliki fungsi merepresentasikan.
Bahasa digunakan untuk mengodekan (encoding) pengalaman manusia tentang
dunia. Bahasa digunakan untuk membawa gambaran realitas yang ada di sekitar
manusia. Gambaran realitas ini dapat berupa frasa, klausa, atau kalimat.
Ketransitifan dan nominalisasi, misalnya, dapat menginformasikan bagaimana
sebuah realitas ditata sedemikian rupa melalui pilihan kode bahasa. Demikian
juga dengan penataan realitas dalam konstruksi aktif dan pasif (Santoso, 2012 :
96). Fungsi ideasional direpresentasikan oleh unsur pengalaman dan pemikiran
logis yang diungkap melalui teks, seperti siapa berperan apa, melakukan tindak
sosial apa, kepada siapa, di lokasi mana, dan lain-lain (Pangaribuan, 2008 : 52).
Halliday mengemukakan bahwa teks itu selalu dilingkupi konteks situasi
dan konteks budaya (Butt et al., 1999 : 11; Santoso, 2008 : 13). Mengaji bahasa
secara fungsional pada hakikatnya mengaji tiga aspek yang saling terkait, yakni
teks, konteks situasi (context of situation), dan konteks budaya (context of

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

70

culture). Dalam teks, selalu terkandung unsur tekstur dan struktur. Oleh Butt et al.
(1999 : 12; Santoso, 2008 : 13), kajian Halliday itu digambarkan berikut.

3
1

Gambar 3.1
Model Linguistik Fungsional-Sistemik Halliday
Keterangan:
1: Teks
2: Konteks situasi
3: Konteks budaya

3.2.2

Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam

penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Langkah
pertama yang Peneliti lakukan adalah menyadari adanya represi mitos tentang
sikap seorang perempuan dalam novel Lalita karya Ayu Utami, yang berbanding
terbalik dengan mitos penempatan perempuan dalam hierarki yang dibangun oleh
lingkungan yang didominasi oleh budaya patriarki. Represi mitos tersebut
diarahkan kepada pembentukan makna tentang kekuasaan perempuan.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

71

Beririsan dengan metode Semiotika Sosial yang digunakan untuk meneliti


data dari teks sebagai tanda, Peneliti memisahkan bagian-bagian teks yang
dianggap mengandung makna feminisme. Lalu data-data dalam teks tersebut
dikumpulkan untuk kemudian diteliti menggunakan Semiotika Sosial dari hasil
pemikiran M.A.K. Halliday, Feminisme Eksistensialis dari hasil pemikiran
Simone de Beauvoir, serta Psikologi Humanistik dari hasil pemikiran Carl Rogers
sebagai teori pendukung.

3.2.3

Teknik Analisis Data


Analisis data dilakukan oleh peneliti untuk dapat menarik kesimpulan-

kesimpulan. Analisis data dalam penelitian komunikasi kualitatif pada dasarnya


dikembangkan dengan maksud hendak memberikan makna (making sense of)
terhadap

data,

menafsirkan

(interpreting),

atau

mentransformasikan

(transforming) data ke dalam bentuk-bentuk narasi yang kemudian mengarah


pada temuan yang bernuansakan proposisi-proposisi ilmiah (thesis) yang akhirnya
sampai pada kesimpulan-kesimpulan final (Pawito, 2008 : 100 101).
Dalam penelitian terhadap subjek kekuasaan perempuan lewat representasi
dalam novel Lalita karya Ayu Utami ini, Peneliti menganalisis data dengan
memilah bagian-bagian teks yang mengandung makna represi mitos yang
berkaitan dengan isu feminisme. Seluruh sumber teks dikutip dari novel Lalita
karya Ayu Utami yang diterbitkan pada tahun 2012 oleh Kepustakaan Populer
Gramedia.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

72

Gambaran (description) sebagai hasil dari penelitian komunikasi kualitatif


tereksplisitkan dalam analisis data yangkemudian terangkum dalam rumusanrumusan kesimpulan yang dikemukakan oleh peneliti di bagian akhir laporan
dalam pola narasi yang mengalir dari satu persoalan ke persoalan berikutnya (one
point to the next). Sifat subjektif sering kali terkesan menonjol dalam upaya ini.
Kendatipun demikian, kata subjektif sama sekali tidak berarti semena-mena. Di
sini, peneliti menangkap gejala (mengumpulkan data), kemudian menganalisisnya
dengan memilah-milah dan membuat kategori-kategori atau tema-tema tertentu,
melakukan reduksi data, memberikan makna-makna atau mengemukakan
interpretasi-interpretasi tertentu dengan mengacu pada pandangan-pandangan
teoretik tertentu, dan baru kemudian peneliti menarik kesimpulan-kesimpulan
(Pawito, 2008 : 102 103).
Dalam menganalisis data penelitian tentang representasi kekuasaan
perempuan pada tokoh Lalita dalam novel Lalita, peneliti melakukan teknik
analisis data berdasarkan pemikiran Miles dan Huberman (1994 ; Pawito, 2008 :
104). Teknik analisis ini pada dasarnya terdiri dari tiga komponen: reduksi data
(data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan serta pengujian
kesimpulan (drawing and verifying conclusion) (Punch, 1998 : 202 204; Pawito,
2008 : 104 106).

Reduksi Data (Data Reduction)


Bukan asal membuang data yang tidak diperlukan, melainkan
merupakan upaya yang dilakukan oleh peneliti selama analisis data

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

73

dilakukan dan merupakan langkah yang tak terpisahkan dari analisis


data. Langkah reduksi data melibatkan beberapa tahap, yaitu:
1. Melibatkan

langkah-langkah

editing,

pengelompokan,

dan

meringkas data.
2. Peneliti

menyusun

kode-kode

dan

catatan-catatan

(memo)

mengenai berbagai hal, termasuk yang berkenaan dengan aktivitas


serta proses-proses sehingga peneliti dapat menemukan tema-tema,
kelompok-kelompok,

dan

pola-pola

data.

Catatan

yang

dimaksudkan di sini tidak lain adalah gagasan-gagasan atau


ungkapan yang mengarah pada teorisasi berkenaan dengan data
yang ditemui. Catatan mengenai data atau gejala tertentu dapat
dibuat sepanjang satu kalimat, satu paragraf, atau mungkin
beberapa paragraf.
3. Peneliti

menyusun

rancangan

konsep

(mengupayakan

konseptualisasi) serta penjelasan-penjelasan berkenaan dengan


tema, pola, atau kelompok-kelompok data bersangkutan.

Penyajian Data (Data Display)


Data display melibatkan langkah-langkah mengorganisasikan data,
yakni menjalin (kelompok) data yang satu dengan (kelompok) data
yang lain sehingga seluruh data yang dianalisis benar-benar dilibatkan
salam satu kesatuan karena dalam penelitian kualitatif data biasanya
beraneka ragam perspektif dan terasa tertumpuk maka penyajian data

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

74

(data display) pada umumnya diyakini sangat membantu proses


analisis. Dalam hubungan ini, data disaji berupa kelompok-kelompok
yang kemudian saling dikait-kaitkan sesuai dengan kerangka teori
yang digunakan.

Penarikan & Pengujian Kesimpulan (Drawing and Verifying


Conclusion)
Peneliti pada dasarnya mengimplementasikan prinsip induktif dengan
mempertimbangkan pola-pola data yang ada dan/atau kecenderungan
dari display data yang telah dibuat. Ada kalanya kesimpulan telah
tergambar sejak awal, namun kesimpulan final tidak pernah dapat
dirumuskan secara memadai tanpa peneliti menyelesaikan analisis
seluruh data yang ada. Peneliti dalam kaitan ini masih harus
mengonfirmasi, mempertajam, atau mungkin merevisi kesimpulankesimpulan yang telah dibuat untuk sampai pada kesimpulan final
berupa proposisi-proposisi ilmiah mengenai gejala atau realitas yang
diteliti.

Teks pertama yang dikutip dari narasi pada halaman 8 novel Lalita
mengandung representasi makna tentang kekuasaan perempuan lewat penampilan
fisik. Dari teks berbentuk narasi tersebut didapatkan beberapa tanda yang
mewakili representasi penampilan fisik sebagai aspek kekuasaan perempuan.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

75

Tanda itu kemudian diteliti menggunakan Semiotika Sosial serta Feminisme


Eksistensialis dan Psikologi Humanistik sebagai teori pendukung.
Teks berikutnya dikutip dari narasi pada halaman 24 novel Lalita
menyisipkan tanda-tanda yang mengarahkan kepada makna kecerdasan sebagai
aspek kekuasaan perempuan. Tanda-tanda yang terkandung dalam teks narasi
tersebut kemudian diteliti menggunakan Semiotika Sosial, serta Feminisme
Eksistensialis dan Psikologi Humanistik sebagai teori pendukung.
Teks ketiga yang dikutip dari narasi pada halaman 24 novel Lalita karya
Ayu Utami memiliki tanda-tanda yang merepresentasikan kemandirian sebagai
aspek kekuasaan perempuan terhadap dominasi budaya patriarki. Representasi
makna lewat tanda-tanda dalam teks narasi tersebut kemudian diteliti
menggunakan Semiotika Sosial, serta Feminisme Eksistensialis dan Psikologi
Humanistik sebagai teori pendukung.

3.2.4

Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data


Validitas (validity) data dalam penelitian komunikasi kualitatif lebih

menunjuk pada tingkat sejauh mana data yang diperoleh telah secara akurat
mewakili realitas atau gejala yang diteliti. Kemudian reliabilitas berkenaan
dengan tingkat konsistensi hasil dari penggunaan cara pengumpulan data. Ada
empat kriteria yang melandasi pemeriksaan keabsahan penelitian kualitatif, yaitu
Derajat Kepercayaan (Credibility), Keteralihan (Transferability), Ketergantungan
(Dependability), dan Kepastian (Confirmality) (Moleong, 2000 : 173).
www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

76

Untuk kepentingan ini, peneliti menggunakan teknik triangulasi data, yang


menunjuk pada upaya peneliti untuk mengakses sumber-sumber yang lebih
bervariasi guna memperoleh data berkenaan dengan persoalan yang sama. Hal ini
berarti peneliti bermaksud menguji data yang diperoleh dari satu sumber (untuk
dibandingkan) dengan data dari sumber lain. Dari sini, peneliti akan sampai pada
salah satu kemungkinan: data yang diperoleh ternyata konsisten, tidak konsisten,
atau berlawanan. Dengan cara begini peneliti kemudian dapat mengungkapkan
gambaran yang lebih memadai (beragam perspektif) mengenai gejala yang diteliti
(Pawito, 2008 : 97 98).

3.2.5

Subjek Penelitian
Penelitian ini menganalisis novel karya Ayu Utami yang berjudul Lalita,

diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia, yang cetakan pertamanya pada


tahun 2012. Isi novel ini terdiri dari tiga bagian, yaitu Indigo (halaman 1 88),
Hitam (halaman 89 156), dan Merah (halaman 157 239). Novel ini merupakan
buku kedua seri Bilangan Fu. Buku pertamanya adalah Manjali dan Cakrabirawa,
yang terbit tahun 2010, dan buku Bilangan Fu sendiri menjadi induk dari seri ini
yang disebut Ayu Utami sebagai buku ke-0. Seri Bilangan Fu selalu
menghadirkan kisah yang berhubungan dengan tiga tokoh; Parang Jati, Sandi
Yuda, dan Marja. Novel Lalita menggarisbawahi perkenalan ketiga tokoh tersebut
dengan tokoh baru yang menjadi inti cerita dalam seri kedua ini, yaitu Lalita
Vistara.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

77

Bagian Indigo dibuka dengan pertemuan Sandi Yuda dengan Lalita,


seorang wanita kaya raya yang menjadi kurator foto. Yuda yang adalah seorang
pemanjat tebing yang diminta Oscar mengajarkan teknik pengamanan sesi kursus
pemotretan di ketinggian. Oscar adalah direktur Galeri Foto, juga Sekolah Foto
Jurnalistik Antara, yang memperkenalkan Lalita dengan Yuda, kemudian mereka
bersama-sama menghadiri acara pembukaan pameran fotografi Kassian Cephas,
fotografer pribumi pertama di Indonesia. Di sana Yuda menyelamatkan harga diri
Lalita dari kudeta berdarah yang dilancarkan oleh para tamu perempuan yang
tidak menyukainya dekat dengan Oscar. Hubungan keduanya jadi semakin intim
setelah Lalita mengundang Yuda menginap di rumahnya. Sejak pertemuan
pertama, penampilan Lalita yang mencolok jadi menarik minat Yuda, sehingga
lelaki itu memperhatikannya, seperti yang digambarkan pada teks berikut ini.
Perempuan Indigo. Seseorang di dalam mobil itu
mengucapkannya. Yuda telah mengucapkannya tanpa sadar. Ia
mengatakannya dengan mata melamun tanpa dosa, tapi semua
orang di dalam mobil itu tahu bahwa yang dimaksud adalah
Lalita. Ya, wanita yang baru ia kenal, yang tak mau orang salah
menyebut namanya. Wanita berlonceng yang berdandan mencolok
dalam tanktop ungu ketat, sepatu biru gelap, lensa kontak nila,
sepuhan mata warna bulu merak, menghisap rokok ramping ungu.
Indigo adalah nama lain bagi biru yang mendekati ungu (Utami,
2012 : 13).

Perempuan Indigo, julukan yang disematkan Yuda atas sosok Lalita


yang menyukai warna biru mendekati ungu, namun ternyata Lalita mengakui
bahwa dirinya memang perempuan indigo yang sebelumnya pernah hidup pada
abad ke-5 di Tibet sebagai seorang Biksu yang mengajarkan suatu ajaran

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

78

Buddhisme yang dibawa dari Sumatra, abad ke-10 di Jawa Tengah sebagai
seorang putri dalam dinasti Syailendra, abad ke-15 di Transylvania sebagai putri
Drakula, dan sekarang kembali hidup pada abad ke-20 di Nusantara sebagai
Lalita. Ada tiga zaman yang kerap muncul dalam penglihatanku. Terutama kalau
aku sedang meditasi. Itu adalah pastlife-ku (Utami, 2012 : 15).
Di rumah Lalita, Yuda menemukan sebuah kitab rahasia yang dinamai
Buku Indigo, buku bersampul kulit warna ungu yang berisi catatan tangan dan
gambar bagan-bagan konsentris yang sebetulnya salinan dari sebuah sumber yang
lebih tua. Misteri tentang pribadi Lalita semakin mencurigakan setelah Yuda
bertemu dengan Janaka, alias Jataka, yang mengaku sebagai kakak Lalita. Janaka
memperingatkan Yuda agar berhati-hati terhadap perempuan indigo itu.
Sementara itu, Lalita sendiri membenci Janaka dan menyebutnya jahanam.
Kakak-adik ini ternyata musuh bebuyutan sejak berabad-abad yang lalu,
reinkarnasi selalu mempertemukan mereka dalam abad yang lain dengan latar
belakang kehidupan dan perseteruan yang berbeda.
Percayakah kamu, Yuda? Setiap sekitar lima abad ia, kami, lahir
kembali? Kami lahir kembali di tempat yang sama, untuk
melanjutkan perseteruan kami. Janaka menghabiskan sisa tawa
sataniknya. Pria itu memandang ke arah pagar terjauh, seolah
menggumam pada diri sendiri sambil menggeleng-gelengkan
kepala: Abad ke-5 bertempat di Sriwijaya-Nepal. Menjelang
katakanlah abad ke-10 cerita berlokasi di Jawa Tengah. Abad ke15 di Transylvania. Abad ke-20 kembali di Nusantara. Jika
demikian, kami berdua pasti akan lahir lagi di abad ke-25, entah
di mana. Mungkin di Afghanistan, tempat ada patung-patung
Buddha bertatah pada tebing batu (Utami, 2012 : 49).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

79

Marja, kekasih Yuda, dan sahabat Yuda, Parang Jati, turut terlibat dalam
masalah perebutan Buku Indigo antara Lalita dan Janaka yang berakhir petaka.
Kitab tersebut menjadi sangat penting karena berisi pemikiran dan penelitian
Anshel Eibenschtz, kakek mereka, mengenai spiritualisme dan psikoanalisis.
Bagian Indigo ditutup dengan kisah tragis yang menimpa Lalita. Wanita itu
ditemukan di rumahnya dalam keadaan telanjang, habis dianiaya orang yang benci
kepadanya, tubuhnya ditutupi oleh kain, tangannya terluka bekas dijerat tali, bulu
mata palsu berwarna ungu yang biasanya menambah kecongkakan gayanya sudah
dicabut dari mata Lalita, dan yang paling membuatnya terguncang adalah make-up
yang selalu menutupi wajahnya pun telah dihapus secara paksa dan membiarkan
Lalita tampil polos ke hadapan dunia, suatu hal yang begitu ditakutinya.
Bagian kedua novel ini, Hitam, mengisahkan peristiwa yang mengubah
jalan pikiran Anshel Eibenschtz sejak menghadiri Exposition Universelle di
Paris, yakni pameran dunia akbar dalam rangka perayaan seabad Revolusi
Prancis, yang ditandai oleh peresmian Menara Eiffel. Di acara tersebut, selain
pameran perkembangan teknologi terbaru, komoditi dan produk kolonial, Anshel
juga menonton pertunjukan eksotis dari negeri-negeri jajahan Prancis dan tanah
baru. Ada paviliun Village Ngre, Kampung Negro, di mana pengunjung bisa
melihat desa-desa primitif dan semi primitif bagaikan di tempat aslinya. Panitia
acara itu telah membangun kembali rumah adat dari Afrika dan Asia atau negeri
jauh lain; lengkap dengan tetumbuhan dan sampel manusianya, orang-orang kulit
hitam atau coklat yang dipaket langsung dari tanah jajahan Prancis untuk hidup di
sana selama beberapa bulan pameran agar warga peradaban Barat bisa menonton

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

80

dan mempelajari manusia primitif maupun semi primitif, dan menyadari betapa
jauh Eropa telah beranjak dari bangsa primata.
Dari semua yang dipamerkan di sana, Anshel lebih menaruh perhatian
kepada perangkat musik yang didominasi instrumen logam yang dipacak pada
rangka kayu, dimainkan oleh orang-orang kecil berkulit coklat yang duduk di
lantai. Alat musiknya ada yang menyerupai silofon, hanya saja terbuat dari
kuningan, lalu perangkat seperti genta-genta aneh yang dipukul pada ujungnya,
serta sejenis simbal pelbagai ukuran yang digantung. Paduan itu menghasilkan
bunyi-bunyi yang membius jiwa Anshel.
Anshel merasa getaran gamelan itu berbicara pada jiwanya tanpa
melalui otaknya. Ia merasa kepalanya kosong tetapi dadanya
penuh. Ia mengamati bentuk gong, instrumen yang gaung beratnya
paling menyentuh dasar jiwa. Dan gong itu berbentuk bagan
konsentris (Utami, 2012 : 98 99).

Bentuk bagan konsentris lain ditemukan Anshel kecil saat ayahnya


membawa ia ke sebuah tempat dalam pameran yang mana ada begitu banyak
kepala Buddha dari batu andesit. Anshel melihat kepala-kepala itu ditancapkan
pada sunduk besi, atau dipacak pada tatak, sebagiannya dengan proporsi manusia.
Penggalan arca-arca itu diambil dari sebuah kompleks percandian di pulau Jawa,
daerah jajahan Kerajaan Belanda jauh di timur. Seorang penjaga pameran
menunjukkan denahnya, itulah pertama kali Anshel mengenal Borobudur, candi
Buddha terbesar yang ditemukan di dunia, dan Anshel melihat denahnya sebagai
bagan konsentris yang disebut mandala.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

81

Menurut saya, Ayah, seseorang yang sungguh-sungguh mencintai


ilmu dan kebijaksanaan tidak akan memenggal kepala-kepala itu
dan memamerkannya di sini. Jawaban itu menunjukkan
kecenderungan anaknya ke arah spiritualitas dan kebijaksanaan.
Mereka seharusnya datang ke sana dan mempelajari segala
sesuatunya di sana, lanjut si anak bermata hijau dengan kepala
miring (Utami, 2012 : 99).

Setelah dewasa, Anshel meninggalkan Eropa dan mengembara dalam


rangka pencarian diagram-diagram konsentris atau mandala yang dianggapnya
sebagai struktur dasar alam semesta. Anshel pergi ke Istanbul, Yerusalem, Kairo,
tapi tidak menemukan apa yang ia cari, lantas melanjutkan pengembaraan ke
Pegunungan Himalaya, Tibet. Di sana Anshel tinggal cukup lama untuk lebih
mendalami apa yang ia cari, sebab mandala masih menjadi tradisi bagi warga
Tibet. Ajaran Buddhisme telah memukaunya, tidak lagi Anshel mendukung teoriteori Freud yang sejak dulu sering disangkalnya. Lalu teman-temannya di Tibet
menyarankan Anshel untuk hijrah ke Sumatera dan Jawa Tengah, di mana ia akan
menemukan jawaban atas misteri axis mundi, pusat dunia. Dan bersentuhan
langsung dengan candi Borobudur tentu saja sangat mengguncang nalar Anshel,
maka menetaplah ia di Indonesia, menuliskan semua hasil temuannya dalam kitab
ilmu pengetahuan yang disebut Buku Indigo.
Jika kau tidak menyadari apapun dari alam itu, maka itu berarti
kau kini berjalan mundur. Tapi, agar tak berjalan mundur, baiklah
kita mengingat kata-kata Anshel, kakekku, tentang candi
kecintaannya: Betapa menakjubkan pengetahuan para pembuat
Borobudur mengenai struktur jiwa manusia. Apalagi dilihat dari
kacamata psikoanalisa modern (Utami, 2012 : 155).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

82

Merah adalah bagian terakhir dari novel ini, di mana lebih menonjolkan
kisah Sandi Yuda yang memperbaiki hubungannya dengan Marja yang sempat
kritis akibat perbuatan Lalita, dibantu oleh Parang Jati yang turut menjaga
keharmonisan asmara keduanya, meskipun Parang Jati diam-diam jatuh cinta
kepada kekasih sahabatnya. Marja terlibat dalam perburuan Buku Indigo yang
sempat lenyap akibat obsesi pribadi Janaka, tetapi akhirnya perempuan itulah
yang memegang kitab tersebut. Akhir cerita, Sandi Yuda menemukan rahasia
bahwa Lalita Vistara memutuskan jadi biksuni. Mereka bertemu di sebuah momen
yang tak terduga, Yuda terkejut oleh penampilan Lalita yang berubah sama sekali,
tetapi tidak bisa berhubungan secara akrab, sebagaimana yang digambarkan oleh
Ayu Utami pada teks adegan berikut ini.
Serombongan peziarah, sebagian dengan jubah biksu berwarna
kuning-oranye, sebagian lagi mengenakan seperti sari berwarna
putih. Dan mata Yuda menangkap satu sosok di antaranya. Ia
mengenali hidung lancip itu. Tapi tidak. Itu bukan yang utama. Ia
mengenali sesuatu pada gerak tubuhnya. Yang mengenakan warna
kuning-oranye itu. Yang memiliki profil tulang tengkorak paling
bagus di antara yang lain. Kulitnya membawa jejak tipis Eurasia.
Rambutnya nyaris gundul. Matanya kuat dan menonjol. Bibirnya
sederhana. Langkah jingkat kucing Mata mereka bertatapan
tatkala biksuni itu mengangkat wajahnya. Mata itu hitam. Mereka
harus berbagi jalan. Yuda dan dua yang lain menepi. Mata itu
tanpa pulasan. Tanpa bulu-bulu plastik. Para peziarah bersalam
permisi. Yuda menjawab: silakan. Biksuni itu menatap lurus ke
depan lagi. Yuda ingin memanggil namanya. Tapi ia tahu itu tidak
boleh (Utami, 2012 : 238 239).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

83

3.2.6

Unit Analisis Penelitian


Unit analisis dalam penelitian ini mencakup tanda-tanda representasi

kekuasaan perempuan pada tokoh Lalita yang akan diungkap melalui analisis
tekstual itu diwakili oleh teks yang telah diseleksi dari novel Lalita karya Ayu
Utami. Menggunakan analisis interpersonal dari pemikiran M.A.K. Halliday pula
teks yang diteliti mengarah kepada relasi yang dibangun oleh Ayu Utami dengan
pembaca novelnya agar tujuannya tercapai untuk menggeser pemikiran atau
mengubah sudut pandang pembaca novelnya tentang representasi kekuasaan pada
tokoh Lalita. Unit analisis ketiga mengenai ideologi yang terkandung dalam novel
Lalita sebagaimana yang dihasilkan oleh pemikiran Ayu Utami sebagai penulis
novelnya. Adapun tema-tema yang dipilih untuk analisis tekstual pada penelitian
ini adalah sebagai berikut.

Penampilan fisik
Tubuhnya sangat ramping, jika bukan kurus. Sabuk lebarnya kemerlip. Ia
mengenakan tanktop ungu yang kontras dengan kulit kuningnya dan
celana jins ketat. Dari bawah jins itu menyembul kakinya yang berjinjit
dalam balutan sepatu bertemali dengan hak lancip. Kuku-kukunya bercat,
merah darah di waktu malam. Jari-jarinya panjang dan lentik. Sempurna
seperti peri yang tak pernah menginjak tanah. Di pergelangan kaki
kanannya melekat gelang emas putih dengan genta-genta kecil. Genta
yang berdenting mengiringi langkahnya. Rambutnya bagai benangbenang sutra yang disetrika dan digulung di bagian ujung (Utami, 2012 :
8).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

84

Kecerdasan
Ia seorang kurator dan art dealer, memiliki galeri di Singapura dan
Hongkong, berbahasa Inggris sangat fasih dan sedikit Prancis, membaca
sastra dan filsafat. Lalita Vistara sangat canggih (Utami, 2012 : 24).

Kemandirian
Para grupies itu tidak tahan melihat pemain baru, yang datang tidak
melalui jalur sama. Pemain baru ini mengendarai BMW marun, memakai
tank top ketat ungu, kaki berjinjit pada stileto Christian Louboutin 12cm,
juga ungu, tas Louis Vuitton, dan dengan make-up tahan panggung
(Utami, 2012 : 24).

Karakter perempuan yang kuat dan mandiri direpresentasikan lewat latar


belakang tokoh Lalita. Kehadirannya mampu menyihir orang-orang yang melihat,
Ayu Utami menggambarkannya sebagai perempuan berpenampilan fisik yang
sangat menarik dan modern. Sosok Lalita mewakili gambaran perempuan
metropolitan yang selalu berupaya tampil trendi. Kekuatan tokoh Lalita tidak
hanya dari fisiknya, bukan sekadar perempuan cantik, tetapi juga memiliki
kepribadian yang kuat dan pintar. Ia seorang primadona yang oleh perempuan lain
dianggap sebagai ancaman dan pesaing berat dalam memperebutkan lelaki
idaman. Kemandirian perempuan yang ditampilkan lewat karakter tokoh Lalita
melibatkan pula kemapanannya secara ekonomi, memperlihatkan upaya Ayu
Utami sebagai pengarang novel Lalita untuk membebaskan diri dari konstruksi
sosial yang selama ini dibangun masyarakat yang menganggap bahwa perempuan
adalah sosok pasif yang tertindas budaya patriarki.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

85

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kekuasaan


perempuan direpresentasikan oleh teks dalam novel Lalita karya Ayu Utami.
Penelitian ini menggunakan analisis semiotika sosial M.A.K. Halliday, dan akan
menguraikan bagaimana kekuasaan perempuan direpresentasikan tokoh Lalita.
Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama, representasi
mental, yaitu konsep tentang sesuatu yang ada di kepala kita masing-masing
(peta konseptual), representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak.
Kedua, bahasa, yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep
abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang
lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu
dengan tanda dari simbol-simbol tertentu. Media sebagai suatu teks banyak
menebarkan bentuk-bentuk representasi pada isinya (Wibowo, 2011 : 122).
Ayu Utami sebagai penulis yang menyertakan sudut pandang feminisme
mengutarakan

konsep-konsep pemikirannya

lewat

struktur bahasa serta

penokohan dalam novel berjudul Lalita. Maka peneliti membentuk konsep tentang
representasi kekuasaan perempuan pada tokoh bernama Lalita yang terbentuk atas
teks yang ditelitinya sehingga akan diterjemahkan pula menjadi representasi

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

86

bahasa pada bab ini dengan analisis tekstual, analisis interpersonal, dan analisis
ideasional.

4.1

Analisis Tekstual
Berdasarkan penelitian teks yang mengungkap makna di balik simbol-

simbol, dalam novel Lalita karya Ayu Utami terdapat pembentukan teks yang
terkait dengan wacana kekuasaan perempuan. Teks tersebut berfungsi
menyiratkan tanda-tanda tertentu untuk merepresentasikan kekuasaan. Setelah
melewati proses analisis terhadap teks berdasarkan plot, ditemukan tiga tema yang
berhubungan dengan teks gambaran kekuasaan perempuan yang direpresentasikan
oleh Ayu Utami sebagai pengarang novel Lalita. Tema tersebut adalah
representasi penampilan fisik, representasi

kecerdasan, dan representasi

kemandirian.

4.1.1

Penampilan Fisik sebagai Aspek Kekuasaan Perempuan


Berdasarkan tujuan penelitian yang mengungkap adanya faktor kekuasaan

perempuan dalam teks yang diproduksi oleh Ayu Utami, penampilan fisik jadi
aspek pertama yang diangkat karena bisa dijadikan alat perempuan menguasai
situasi dan mencapai keinginannya. Tubuh seorang perempuan adalah miliknya
sendiri, sejak awal dirinya bisa mengatur penggunaannya, bagaimana dia merawat
dan membentuk tubuhnya. Seorang perempuan dewasa yang telah memahami jati

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

87

dirinya tentu akan menampilkan identitas pribadi tersebut lewat bentuk tubuhnya.
Perempuan yang tidak peduli tentang kegunaan penampilan sebagai kesan
pertama dalam perkenalan dengan orang-orang baru akan membiarkan tubuhnya
tidak terawat dan tampil acak-acakan. Tetapi seorang perempuan lain yang paham
betul betapa orang-orang akan menilainya lewat penampilan tubuh untuk pertama
kali akan betul-betul melakukan perawatan yang membuat tubuhnya tampak tetap
muda pada usia kepala empat, seperti yang diceritakan Ayu Utami pada tokoh
Lalita dalam novel Lalita. Lalita, tokoh utama dalam novel ini, adalah seorang
perempuan yang sangat cantik dan menawan, seperti diwakili tanda-tanda yang
terdapat dalam kutipan teks berikut ini.
TEKS

TANDA

Tubuhnya sangat ramping, jika bukan


kurus. Sabuk lebarnya kemerlip. Ia
mengenakan tanktop ungu yang kontras
dengan kulit kuningnya dan celana jins
ketat. Dari bawah jins itu menyembul
kakinya yang berjinjit dalam balutan
sepatu bertemali dengan hak lancip.
Kuku-kukunya bercat, merah darah di
waktu malam. Jari-jarinya panjang dan
lentik. Sempurna seperti peri yang tak
pernah
menginjak
tanah.
Di
pergelangan kaki kanannya melekat
gelang emas putih dengan genta-genta
kecil.
Genta
yang
berdenting
mengiringi langkahnya. Rambutnya
bagai benang-benang sutra yang
disetrika dan digulung di bagian ujung
(Utami, 2012 : 8)

www.vincacallista.tumblr.com

Tubuh yang ramping

Kulit kuning

Kuku-kuku bercat merah

Jari-jari panjang dan lentik

Rambut bagai benang-benang


sutra

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

88

a.

Tubuh Ramping sebagai Aspek Kekuasaan Perempuan


Ayu Utami menggambarkan tokoh Lalita sebagai seorang perempuan

berusia kepala empat yang tubuhnya masih molek dan enak dipandang, dia
sengaja membuat penampilannya seperti itu agar menarik perhatian orang-orang.
Lalita diceritakan sebagai perempuan yang gemar diperhatikan, dirinya akan
merasa lebih percaya diri jika penampilannya berhasil memukau orang lain.
Cantik dan langsing memang sejak lama menggambarkan sosok perempuan yang
bisa dianggap menarik. Perempuan dikonstruksikan sebagai makhluk yang cantik,
identik dengan keindahan rupa. Perempuan lebih memperhatikan penampilan
fisiknya daripada laki-laki, sebab orang lain atau masyarakat dipengaruhi ideologi
bahwa cara memandang dan menilai seorang perempuan pertama kali adalah dari
fisiknya. Penilaian masyarakat yang baik tentang penampilan fisiknya dapat
menjadi ukuran kebanggaan seorang perempuan.
Lalita sebagaimana yang digambarkan oleh Ayu Utami menjadi sosok
yang jadi sorotan publik, dilihat dari profilnya sebagai seorang perempuan yang
sukses di bidang karir seninya. Media massa seperti majalah suka mengangkat
identitas dirinya maka Lalita menganggap penampilan fisik sangat penting sebab
masyarakat akan menilai pula jati dirinya dari bagaimana dia merawat tubuhnya,
seperti yang tertulis pada adegan berikut ini.
Ia melihat foto perempuan itu. Lalita Vistara. Dalam rubrik
sosialita majalah-majalah mewah. Lalita adalah figur yang ada
dalam pesta-pesta elite. Dan perempuan itu gemerlap. Ia bukan
ibu-ibu seperti dibayangkan Marja. Tubuhnya ramping
(Utami, 2012 : 210).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

89

Tubuh merupakan ajang kontes berbagai ideologi yang tidak bebas dari
konstruksi budaya. Seiring pergeseran cara pandang mengenai standardisasi tubuh
ideal, berubah pula gaya hidup manusia secara keseluruhan, khususnya cara kaum
laki-laki menilai tubuh perempuan dan cara kaum perempuan memperlakukan
tubuhnya demi menarik perhatian laki-laki. Tubuh jadi memegang peranan
penting

bagi

perempuan,

karena

melalui

tubuhnyalah

si

perempuan

mengonstruksikan identitasnya. Kaum perempuan sering kali memosisikan


dirinya sebagai subjek yang memperlihatkan apa saja yang dikonsumsinya untuk
membentuk subjektivitas mereka. Tubuh yang ramping menjadi ideal atas
penampilan perempuan, sejak media massa terus mengonstruksikan standardisasi
bentuk tubuh yang ideal adalah tubuh yang ramping, sebagaimana yang dituturkan
oleh Ibrahim (2011 : 64 65) berikut.
Bukankah saat ini setiap hari kita dibombardir oleh citraan
perempuan ideal yang dikonstruksi melalui dan oleh media?
Standar kehidupan yang tidak realistikyang tidak jarang mustahil
digapai itukini menyebabkan tidak sedikit perempuan hidup
dalam perburuan kecantikan dan dicekam rasa cemas jika gagal
menggapainya. Tidak sedikit perempuan modern yang mengidap
sindrom anorexia nervosa, kecemasan akan kegemukan, sehingga
ada di antara mereka yang selalu berusaha sekuat tenaga untuk
merekayasa tubuh (bedah plastik, pakai silikon), mengurangi
kolesterol, agar tetap tampil ideal di pentas budaya pop. Citraan
perempuan bertubuh ramping yang ideal juga telah menyebabkan
tidak sedikit perempuan yang lari ke praktik diet ketat atau
memoles diri dengan bantuan industri kecantikan yang terus
berkembang dengan bermacam daya tarik yang dijanjikannya.
Citra-citra ideal yang terus-menerus dikonstruksi dan ditanamkan
serta disosialisasikan lewat/oleh media ini perlahan tetapi pasti
berubah menjadi standar budaya mengenai kecantikan komersial
yang mengendap dalam kesadaran tidak sedikit perempuan
modern (Ibrahim, 2011 : 64 65).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

90

Pada umumnya orang berasumsi bahwa perempuan yang menarik fisiknya


tidak hanya digemari dan disukai sebagai pasangan kencan atau teman, namun
juga diasosiasikan dengan hal-hal baik. Misalnya, mereka dipandang akan lebih
sukses dalam kehidupannya, lebih berbakat, lebih sosial dan lebih percaya diri,
sekaligus mendapatkan perlakuan yang lebih baik di masyarakat. Perlakuan yang
lebih baik ini memiliki dampak jangka panjang. Mungkin mereka merasa lebih
percaya diri, atau mungkin telah membawa hal-hal terbaik dalam diri dan hidup
mereka karena bagaimanapun kecantikan fisik menghasilkan umpan balik positif.
Belajar dari pengalaman ini, mereka lebih menekankan pentingnya penampilan
fisik dibandingkan laki-laki. Konstruksi sosial seperti ini membuat perempuan
dianggap sebagai kaum yang senang dipuji dan dikagumi penampilan fisiknya,
baik oleh lawan maupun sesama jenis.
Contoh wanita yang berkuasa di negara Indonesia salah satunya dapat
diwakili oleh sosok Megawati Sukarnoputri, seorang politisi yang pernah
menjabat sebagai Presiden ke-5 Republik Indonesia. Anak kedua dari Presiden
pertama Indonesia, Ir. Soekarno, ini hingga sekarang masih aktif di bidang politik
sebagai Ketua Partai PDI-P. Dari segi penampilan, Megawati Sukarnoputri selalu
tampil rapi saat menghadiri acara kenegaraan serta tampil di media massa, meski
postur tubuhnya tidak langsing dan ramping seperti yang digambarkan oleh Ayu
Utami sebagai aspek kekuasaan seorang perempuan. Masyarakat dan rekan
politiknya mengagumi Megawati Sukarnoputri bukan dari bentuk tubuhnya yang
ramping, melainkan dari prestasi dan aktivitasnya di ranah politik. Megawati

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

91

Sukarnoputri bahkan dihormati oleh Presiden Indonesia Terpilih, Presiden ke-7,


Joko Widodo.
Contoh lain wanita yang memegang peranan kuasa di Indonesia adalah
Wali Kota Surabaya yang menjabat sejak 28 September 2010, yaitu Tri Risma
Harini, atau yang kerap disebut Ibu Risma. Ibu Risma yang merupakan seorang
insinyur ini adalah wanita pertama yang terpilih sebagai Wali Kota Surabaya
sepanjang sejarahnya. Ia juga tercatat sebagai wanita pertama di Indonesia yang
dipilih langsung menjadi Wali Kota melalui pemilihan kepala daerah, sepanjang
sejarah demokrasi di Indonesia pascareformasi tahun 1998. Pertimbangan
dipilihnya Ibu Risma menjadi Wali Kota Surabaya tentu bukan dari penampilan
fisiknya yang langsing, melainkan dari prestasi kerjanya. Ibu Risma memiliki
pengalaman panjang sebelum menjadi Wali Kota Surabaya, antara lain beliau
pernah menjabat sebagai Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Bappeko
Surabaya, Kepala Seksi Pendataan dan Penyuluhan Dinas Bangunan Kota
Surabaya, Kepala Cabang Dinas Pertamanan Kota Surabaya, Kepala Bagian Bina
Bangunan, Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan, Kepala Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya, dan Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Kota Surabaya. Ibu Risma rajin mengecek kelayakan dan
kebersihan zona pejalan kaki dan tempat umum sejak masih menjabat sebagai
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya. Ibu Risma mengubah
Taman Bungkul yang dulunya diabaikan menjadi satu dari sekian banyak tujuan
rekreasi yang populer di Surabaya. Taman Bungkul memperoleh penghargaan
Asian Townscape Sector Award tahun 2013 dari United Nations in Fukuoka,

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

92

Jepang. Daerah lain di Surabaya yang bernama Keputih, dahulu adalah daerah
yang didominasi sampah, sekarang diperbaiki menjadi taman yang asri, rapi,
berwarna-warni. Sebagai seorang arsitek dan ahli tata kota, Ibu Risma mengubah
lebih dari 20 persen kota Surabaya menjadi ruang terbuka hijau, lebih tinggi dari
Jakarta5.
Surabaya hari ini merupakan tempat perlindungan yang bersih, hijau, dan
subur. Untuk prestasi itu, masyarakat memberi penghargaan kepada Ibu Risma,
sang Wali Kota yang bergerak secara berani dan gesit untuk mengubah wajah
kotanya menjadi lebih baik. Sejak Ibu Risma menjadi Wali Kota, Surabaya telah
menerima banyak penghargaan, termasuk ASEAN Environmentally Sustainable
Award 2012 dan Penghargaan Adipura Kencana. Nama Ibu Risma sendiri tercatat
sebagai Wanita Paling Inspiratif Tahun 2013 oleh majalah Forbes Indonesia6.
Prestasi Ibu Risma menjadi tolok ukur kepopulerannya sebagai seorang pemimpin
yang disegani. Penampilan fisiknya tidak seperti yang digambarkan oleh Ayu
Utami melalui sosok tokoh Lalita dalam novel Lalita.
Ayu Utami dalam novel Lalita menggambarkan tubuh Lalita yang masih
ramping pada usia kepala empat sebagai salah satu aspek kekuasaannya.
Kemolekan tubuh Lalita digambarkan memiliki kuasa, menjadikan dirinya
berpotensi serta bernilai tinggi. Penampilan fisik Lalita berpengaruh kepada kesan

http://www.thejakartapost.com/news/2014/02/15/tri-rismaharini-madame-mayor-iron-fist-tenderheart.html, diakses tanggal 22 November 2014, pukul 12.40 WIB.


6

http://www.citymayors.com/mayors/surabaya-mayor-tri-rismaharini.html, diakses tanggal 22


November 2014, pukul 12.42 WIB.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

93

yang ditangkap orang lain tentang dirinya, baik laki-laki maupun perempuan tidak
menganggapnya wanita biasa-biasa, tergambar dalam adegan yang melibatkan
tokoh perempuan lain, sebagaimana yang ditulis oleh Ayu Utami berikut ini.
Marja selalu punya mata untuk menambahkan meskipun dan
tetapi dalam menerima kecantikan saingannya yang cukup
menyakitkan hati. Dengan rasa luka ia berkata pada diri sendiri
bahwa agak wajarlah jika Yuda terjerat oleh Lalita. Ia boleh
menghibur diri dengan berkata bahwa saingannya adalah
perempuan punya kelas. Bukan perempuan sembarangan. Itu
membuat harga dirinya tidak jatuh (Utami, 2012 : 210).

Standardisasi penampilan seseorang dibentuk oleh lingkungannya. Tempat


Lalita tinggal di Jakarta dan lingkungan pekerjaannya yang membentuk pola pikir
bahwa perempuan yang menarik dan akan memperoleh perhatian adalah
perempuan yang menjaga bentuk tubuhnya sehingga tetap langsing meski
memasuki usia kepala empat. Penampilan fisik Lalita yang digambarkan oleh Ayu
Utami jadi nilai plus bagi tokoh perempuan berusia kepala empat sepertinya,
maka fisik tersebut menjadi aspek kekuasaan seorang perempuan atas dirinya
sendiri dan atas perhatian orang lain. Untuk melancarkan usaha menggerakkan
orang lain sesuai keinginan pribadi, seorang harus memastikan bahwa targetnya
menaruh perhatian dan minat kepadanya, fisik yang dibentuk secara menarik tentu
saja bisa jadi alat penggerak sebelum orang lain berhasil digerakkan sesuai
rencana individu. Kehadiran Lalita mampu menyihir orang-orang yang
melihatnya, sebagaimana yang digambarkan oleh Ayu Utami dalam adegan
perkenalan Lalita dengan salah satu tokoh sentral yaitu Sandi Yuda. Sejak
pertemuan pertama pun Lalita telah menarik minat orang baru.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

94

Oscar menepuk bahu Yuda keras sekali, agaknya mengingatkan


agar ia jangan terlalu polos dengan keheranannya. Lagipula,
matanya yang membulat itu bisa dibaca sebagai ketertarikan yang
terlalu telanjang (Utami, 2012 : 9).

Tubuh dimaknai dengan nilai-nilai budaya seperti yang dibayangkan dan


dimengerti oleh masyarakat. Tubuh menjadi tubuh sebagaimana yang telah
dikonstruksikan sebuah budaya, maka pemaknaan terhadap tubuh dapat berbedabeda sesuai budaya yang menyetujuinya. Tubuh tidak mungkin terlepas dari
makna dan nilai yang diidentikkan dengannya oleh sebuah budaya tempat tubuh
tersebut hadir. Dalam representasi gaya hidup di Jakarta, di mana tokoh Lalita
berada sebagaimana yang digambarkan oleh Ayu Utami, yang didominasi budaya
patriarki, tubuh menjadi arena kontes kaum perempuan untuk saling meruntuhkan,
mengukuhkan, dan menguasai. Oleh karena penampilan fisik Lalita yang menarik
perhatian karena sesuai dengan standardisasi penampilan perempuan cantik yang
ingin dilihat lelaki, momen pertama kali Sandi Yuda bertemu dengan perempuan
ini menjadi berkesan bagi lelaki itu. Pertemuan pertama mereka bertempat di
sebuah restoran Jepang yang berada di dalam mal Plaza Indonesia, Jakarta Pusat.
Kemunculan Lalita yang baru kembali dari toilet di situ segera menarik perhatian
semua orang, terutama memukau Sandi Yuda yang pertama kali melihat seorang
perempuan dewasa berpenampilan seperti Lalita, sebagaimana digambarkan oleh
Ayu Utami pada teks berikut ini.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

95

Benarlah. Kehadiran sang wanita terasa sebelum makhluk itu


tampak. Yuda tahu itu saat kepala Oscar tiba-tiba beralih ke suatu
arah, bagai tersihir. Begitu pula kepala pelayan yang sedang
berdiri dekat meja mereka. Ah, perempuan itu pasti lumayan
istimewa. Lalu Yuda pun ikut menoleh. (Utami, 2012 : 7).

Tetapi, penggambaran tentang penampilan fisik tokoh Lalita ketara masih


dipengaruhi oleh lingkungan hidup masyarakat yang didominasi budaya patriarki.
Penampilan fisik yang diterapkan pada tokoh Lalita masih bertujuan menarik
perhatian kaum lelaki. Ketidakinginan menjadi Objek sebagaimana yang diusung
oleh

Feminisme

Eksistensialis,

tidak

sesuai

dengan

kesukaan

Lalita

berpenampilan mengikuti tren yang digemari kaum laki-laki. Tolok ukur


kepuasaannya tetap dilihat dari apakah lelaki akan memperhatikan penampilannya
atau tidak. Selain itu, Teori Psikologi Humanistik pun menekankan bahwa
kegagalan dalam mewujudkan potensi seorang manusia dapat disebabkan oleh
pengaruh yang menjerat dari lingkungan sosial. Mitos tentang perempuan sebagai
objek telah mengakar dalam masyarakat berbudaya patriarki, dan tanpa disadari
sosok tokoh Lalita pun mengadopsi cara pikir masyarakat yang didominasi oleh
budaya patriarki.
b.

Kulit Kuning Langsat Penyempurna Penampilan Fisik Perempuan


Kulit adalah lapisan terluar dari tubuh, penilaian keseluruhan tubuh

seseorang bisa dimulai dari permukaannya. Penggambaran tentang kulit pada


tubuh tokoh Lalita oleh Ayu Utami semewah berwarna kuning, terawat, sehingga
menjadikan organ itu disebutkan secara jelas sebagai identitas yang melekat di
dirinya.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

96

Pada umumnya, warna kulit perempuan Indonesia adalah kuning langsat,


sawo matang, dan coklat. Warna-warna tersebut dinilai sangat eksotis dan sehat
dibandingkan dengan kulit orang Eropa atau Amerika. Kecenderungan ini bukan
tanpa sebab, kulit ras Asia, pigmen warnanya lebih banyak daripada pigmen kulit
orang-orang dari ras Kaukasus yang putih. Akibatnya, kemungkinan untuk
terserang kanker kulit sangat kecil. Selain itu, warna dan tekstur kulit Asia lebih
mulus dan membuat perempuan Asia tampak lebih muda 7.
Lalita digambarkan oleh Ayu Utami sebagai perempuan yang berkulit
kuning langsat, yang merupakan ciri khas kulit orang Indonesia. Diberkahi kulit
yang eksotis dan cenderung kuning langsat atau sawo matang adalah sebuah hal
yang patut disyukuri. Di belahan dunia lain saja banyak wanita yang rela
melakukan tanning untuk mendapatkan warna kulit seperti wanita Indonesia 8.
Kekuasaan yang terdapat pada simbol kulit kuning langsat serupa penyempurnaan
penampilan

fisik

yang menarik,

yang dibalut

lapisan

terluar

dengan

penggambaran yang sempurna sebagai representasi kecantikan perempuan


Indonesia yang merawat tubuhnya dengan baik.
Kecantikan kulit Lalita pun menjadi aspek yang diperhatikan orang lain
ketika hendak mengomentari penampilan fisik Lalita, sebagaimana yang
digambarkan oleh Ayu Utami lewat sudut pandang tokoh perempuan lain, yaitu

http://www.anneahira.com/make-up-natural.htm, diakses tanggal 9 Juni 2014, pukul 13.30 WIB.

http://www.vemale.com/body-and-mind/cantik/28496-memilih-lipstik-sesuai-kulit-orangindonesia.html, diakses tanggal 8 Juni 2014, pukul 12.00 WIB.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

97

Marja. Ia memang memiliki tulang tengkorak yang bagus, tapi make-upnya


terlalu penuh. Kulitnya kuning langsat (Utami, 2012 : 210).
Potensi manusia untuk menjadi dirinya sebagaimana caranya hidup
diusung oleh tokoh Lalita yang tidak ikut-ikutan mengubah kulitnya menjadi
putih, seperti media massa menggerakkan tren bahwa perempuan cantik harus
berkulit

putih.

Feminisme

eksistensialis

lewat

kekuatan

tokoh

Lalita

mempertahankan kulit kuning langsat sebagai kecantikan asli Indonesia sejalan


dengan potensi manusia yang diusung oleh Teori Psikologi Humanistik. Ayu
Utami membawa pesan lewat teks ini bahwa kulit kuning langsat khas Indonesia
tidak mesti ditinggalkan, karena tetap menonjolkan kecantikan asli perempuan
Indonesia sebagai aspek kekuatan budaya.

c.

Kuku-kuku Bercat Merah sebagai Ciri Detail Penampilan Fisik


Kuku-kuku

yang indah terawat

tentu mempercantik penampilan

perempuan, karena tangan berguna untuk melakukan interaksi, maka sebisa


mungkin didandani untuk menarik perhatian orang lain. Ayu Utami pun
menggambarkan tokoh Lalita sebagai perempuan yang menganggap kuku adalah
bagian penting dari keseluruhan penampilan fisiknya, sehingga kuku-kuku jarinya
yang lentik selalu dihias dengan warna yang mencolok, seperti warna merah.
Warna merah mengarahkan makna kepada pribadi yang kuat, berani,
percaya diri, dan bergairah. Merah adalah warna yang punya banyak arti, mulai
dari cinta yang menggairahkan hingga kekerasan perang. Warna ini tak cuma
www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

98

memengaruhi psikologi tetapi juga fisik. Penelitian menunjukkan menatap warna


merah bisa meningkatkan detak jantung dan membuat kita bernapas lebih cepat 9.
Bahkan dalam satu adegan yang ditulis oleh Ayu Utami, tokoh Sandi Yuda
dideskripsikan betul memperhatikan warna merah yang menarik perhatian dari
kuku-kuku jari Lalita.
Ia di belakangnya. Ia bisa melihat serong ke arah kemudi. Lalita
pada setir. Jemarinya nan lentik dengan kuku bercat darah malam
bersandar pada tuas persneling (Utami, 2012 : 16).

Detail perhatian seorang perempuan pada penampilannya ditunjukkan dari


betapa bagian kecil dari tubuh seperti kuku pun dihiasi dengan indah supaya
menarik minat orang lain. Mengecat kuku dengan warna yang diinginkannya
sebagaimana yang digambarkan Ayu Utami pada tokoh Lalita merupakan citra
bahwa perempuan bisa leluasa menguasai tubuhnya sendiri untuk menguasai
situasi dengan penampilan fisiknya. Pada usianya yang kepala empat, Lalita
diceritakan masih mementingkan detail penampilannya. Kebiasaannya menghadiri
pesta di mana dia minum minuman bersama tamu lainnya menggugah dirinya
untuk menghiasi kuku-kuku jarinya, sebab tangannya akan terekspos ketika
memegang gelas. Demikian pula ketika tokoh Lalita digambarkan sedang
merokok, kuku-kuku jarinya yang berwarna akan dinilai sebagai pemanis yang
menarik perhatian orang lain, menimbulkan kesan bahwa perempuan ini betulbetul memperhatikan keseluruan penampilan fisiknya hingga hal yang kecil.
9

http://nasional.kompas.com/read/2008/10/09/15551015/psikologi.dan.arti.warna, diakses tanggal


9 Maret 2014, pukul 18.00 WIB.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

99

d.

Rambut Bagai Benang-benang Sutra sebagai Aspek Kepercayaan Diri


Rambut merupakan mahkota seorang perempuan. Diibaratkan begitu

karena rambut dianggap sangat berharga keberadaannya. Fungsinya bukan hanya


untuk melindungi kulit kepala agar tidak terekspos oleh sinar matahari atau polusi,
tetapi juga sebagai penunjang keberhasilan penampilan. Rambut yang terawat
mencirikan bahwa pemiliknya adalah seorang yang rajin dan disiplin,
memperhatikan keindahan dirinya dengan cara memastikan mahkotanya terlihat
bagus. Kepribadian orang yang menganggap rambut adalah mahkota seorang
perempuan yang harus dirawat sampai selalu kelihatan memukau digambarkan
pula oleh Ayu Utami pada tokoh Lalita.
Lalita diceritakan memiliki rambut yang panjang dan saking terawatnya
jadi diibaratkan sehalus benang-benang sutra. Sutra sendiri adalah bahan tekstil
hasil tenunan dari serat protein alami. Seratnya berasal dari kepompong yang
didapat dari peternakan ulat sutra. Ulat sutra yang diternakan diberi makan buah
murbei, dan kain sutra yang dihasilkan dari ulat sutra ternakan akan menghasilkan
kain yang bertekstur halus, kuat, lembut, dan berkilau ketika terkena cahaya
matahari. Bagusnya benang sutra yang seperti itu menjadi tekstur idaman yang
ingin pula ada pada rambut, yaitu halus, kuat, lembut, dan berkilau ketika terkena
cahaya matahari.
Seorang perempuan memiliki kuasa penuh atas rambutnya, bagaimana
mereka merawatnya terkait dengan kemampuan membayangkan bentuk
penampilannya jika orang lain menilainya dari atas sampai bawah. Maka, rambut

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

100

jadi aspek penilaian penting dalam penampilan fisik. Lalita digambarkan sebagai
seorang perempuan yang menyertakan keindahan rambutnya sebagai faktor
kekuasaan yang menarik minat orang lain agar mau berdekat-dekat dengannya
sampai mau menuruti keinginannya.
Deaux dan kawan-kawan (dalam Unger dan Crawford, 1992 : 112; DS et
al, 2010 : 13) menunjukkan perbedaan atribut yang dilekatkan pada beberapa
konsep, di antaranya konsep tentang wanita seksi yang syaratnya harus memiliki
tubuh yang bagus, rambut panjang, berpakaian dengan baik, kulit halus, dan
berwajah cantik. Samuel Mulia, seorang pengamat gaya hidup, mengutarakan,
Sepanjang perempuan tetap kembali pada kodrat dan perannya, feminitas adalah
senjata dan kekuatan perempuan untuk tetap kuat dan eksis, dalam sebuah
diskusi bertajuk Whats Hair Got to Do With Femininity di Jakarta. Tak sedikit
wanita yang merasa lebih feminin saat mengenakan gaun, sepatu hak tinggi dan
rambut panjang terurai. Namun, Samuel menegaskan, penampilan fisik hanya satu
unsur dari sisi feminin yang bisa menambah nilai feminitas kaum perempuan10.
Perempuan diajarkan untuk tidak terpaku pada penampilan fisik saja.
Penampilan fisik memang sesuatu, kendati bukan yang terutama. Perempuan
sadar, bahwa sebenarnya keberartian diri tidak hanya ditentukan dari bentuk fisik.
Namun, bagaimanapun, sebagian besar orang tetap memasukkan kriteria fisik
sebagai salah satu faktor penting dalam menilai kualitas perempuan. Akibatnya,
sebagian besar perempuan yang menyadari bahwa dirinya lebih dari sekadar sosok
10

http://www.tempo.co/read/news/2009/02/09/110159094/Kekuatan-Feminitas, diakses tanggal 2


Maret 2014, pukul 12.30 WIB.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

101

fisik karena kemampuan dan intelektualitas yang dimilikinya, tetap berusaha


untuk dapat menampilkan dirinya dalam sosok fisik yang disenangi oleh
lingkungan, yaitu cantik dan langsing (Melliana, 2006 : 21).
Rambut yang dianalogikan sehalus kain sutra dapat menambah lengkap
tampilan seorang perempuan secara keseluruhan. Terlebih di balik kepemilikan
rambut sehalus sutra ada nilai tambah yang menguatkan konsep diri seorang
perempuan karena terkandung tanda-tanda usaha memperoleh rambut yang
terawat seperti itu, yang mana melibatkan perawatan eksklusif yang berharga
mahal. Lalita sebagaimana yang digambarkan oleh Ayu Utami memiliki latar
belakang finansial yang dapat menyokong kebutuhannya akan perawatan rambut
yang menjadikannya indah dipandang. Rambut yang bagus jadi penambah nilai
bagi seorang perempuan yang mementingkan eksistensi dalam lingkungan
hidupnya, seperti yang diterapkan pada tokoh Lalita dalam novel Lalita.
Menurut Djohan (2009 : 67), beberapa hal penting mengenai konsep
manusia seperti kebenaran, kecantikan, keadilan, cinta, dan kepercayaan dapat
dipelajari dan dipahami melalui pengalaman non-verbal yang sama halnya dengan
melalui kata-kata. Analisis tekstual di atas memaparkan tanda-tanda penampilan
fisik Lalita yang menjadi satu faktor yang menguatkan konsep dirinya yang
berpengaruh langsung pada kepercayaan dirinya.
Seperti yang dipaparkan oleh Martha Tilaar (1999 : 55), dari kesan yang
lahir lewat penampilan yang lebih baik akan muncul berbagai kesan lain yang
terpancar dari dalam diri sebagai pantulan kepribadian, dan setiap kesan yang

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

102

muncul dari penampilan biasanya juga mencerminkan ciri-ciri dari kepribadian.


Itulah kecantikan yang berdasarkan citra ketimuran. Dari penampilan bisa dilihat
apakah seorang perempuan memiliki kepribadian yang mantap, atau sebaliknya,
tidak memiliki keyakinan diri dan daya pesona. Suatu gambaran positif yang bisa
menambah rasa percaya diri. Kepercayaan diri yang bertambah tentu akan
berdampak

positif

terhadap

kepribadian

seseorang.

Berbagai

penelitian

menunjukkan bahwa keberhasilan seseorang dalam hidup sangat ditentukan oleh


kepribadian. Faktor utama keberhasilan seseorang dalam profesi adalah
kepercayaan diri. Semakin tinggi kepercayaan terhadap diri sendiri akan semakin
besar kemungkinan untuk berhasil. Dalam hal perempuan, keyakinan diri bisa
dipertebal dengan perawatan diri yang benar, dengan memperbaiki penampilan
(Tilaar, 1999 : 55 56). Keberhasilan tokoh Lalita dalam pergaulan dan
pekerjaannya yang melibatkan banyak orang pun didukung oleh kesempurnaan
penampilan yang diperhatikan betul olehnya, sebagaimana yang diceritakan oleh
Ayu Utami sang penulis novel Lalita.

4.1.2

Kecerdasan sebagai Aspek Kekuasaan Perempuan


Berdasarkan tujuan penelitian yang mengungkap adanya faktor kekuasaan

perempuan dalam teks yang diproduksi oleh Ayu Utami, kecerdasan merupakan
aspek berikutnya dari standardisasi penilaian kualitas diri seorang perempuan.
Untuk mendapatkan kekuasaan dibutuhkan akses yang dapat dijadikan senjata
dalam bersaing meraih posisi yang lebih tinggi dalam hierarki sosial, dan

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

103

pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang adalah akses penting untuk pencapaian
nilai diri yang lebih tinggi. Masyarakat kini kerap mengidentikkan bahwa laki-laki
selalu mempunyai pengetahuan lebih daripada perempuan, padahal kaum
perempuan pun mampu memaksimalkan kemampuan kerja otaknya.
Banyak pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan akses penting
untuk menentukan dirinya berada di kelas mana dan hendaknya bergaul dengan
kalangan mana. Pengetahuan bisa menjadi sebab dan akibat seseorang berada di
lingkungan tertentu, dari situ diperolehnya jenis-jenis pengetahuan dan kepada
lingkungan itu pula dirinya merasa sejalan dalam pemikiran. Lalita, tokoh utama
dalam novel Lalita, adalah seorang perempuan yang tidak hanya mengandalkan
kecantikan fisik, tetapi juga kekuatan otaknya menjadikan kecerdasan sebagai
aksesnya menguasai lingkungan, seperti diwakili tanda-tanda yang terdapat dalam
kutipan teks berikut ini.
TEKS

TANDA

Ia seorang kurator dan art dealer,


memiliki galeri di Singapura dan

Berbahasa Inggris dan Prancis

Membaca sastra dan filsafat

Hongkong, berbahasa Inggris sangat


fasih dan sedikit Prancis, membaca
sastra dan filsafat. Lalita Vistara sangat
canggih (Utami, 2012 : 24)

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

104

a.

Berbahasa Inggris dan Prancis sebagai Aspek Kecerdasan Perempuan


Seorang perempuan dalam masyarakat Timur seperti contoh jenis

kehidupan yang bisa ditemukan di Indonesia diidentikkan dengan pekerjaan


rumah, terhitung kodrat utamanya adalah menikah untuk menghasilkan
keturunan dan berakhir mengurus anak-anak serta mengerjakan pekerjaan dapur
dan rumah tangga lainnya. Kemampuan berbahasa asing tidak dibutuhkan jika
target aktivitas sehari-hari seorang perempuan adalah pekerjaan dapur, tidak
perlu berhubungan dengan orang lain atau masyarakat yang berasal dari
lingkungan yang sama sekali berbeda.
Tokoh Lalita diceritakan oleh Ayu Utami sebagai seorang perempuan
yang karirnya meluas hingga mancanegara, dan tidak perlu dipusingkan oleh
segala pekerjaan rumah tangga. Lalita memiliki seorang pembantu yang bertugas
mengurus seluruh pekerjaan rumah tangga dan seorang tukang kebun yang
bertanggung jawab menjaga halaman rumahnya tetap asri dan segar. Lalita pun
digambarkan tidak memiliki suami atau pasangan tetap yang akan memaksanya
berdiam diri di rumah karena persoalan uang serta pekerjaan sudah dipegang oleh
suaminya. Tidak ada pula anak atau keturunan Lalita, sehingga perempuan itu
tidak punya tanggung jawab untuk mencurahkan segala perhatian dan dirinya
demi mengurus serta mendidik anak-anaknya. Lalita, sebagaimana yang
digambarkan oleh Ayu Utami, hanya perlu mengembangkan kemampuan dirinya,
meningkatkan kualitas diri, guna mempertajam eksistensinya.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

105

Menguasai bahasa asing menjadi salah satu faktor yang dapat


meningkatkan nilai diri seseorang, terutama kaum perempuan yang kerap
dianggap mesti tetap berada satu tingkat lebih rendah daripada kemampuan
seorang pria. Dilihat dari kemampuannya berbahasa asing, tokoh Lalita
sebagaimana yang digambarkan oleh Ayu Utami termasuk ke dalam kategori
perempuan yang cerdas, yang mau mempelajari bahasa selain bahasa ibu demi
meningkatkan nilai diri atau nilai tawar dirinya di masyarakat. Ini sejalan dengan
pemikiran Chomsky (1968 : 62) dalam buku Neuropsikolinguistik berikut ini.
Pemilikan bahasa dalam diri seorang manusia dimungkinkan oleh
adanya organisasi mental khusus, tidak hanya dikarenakan oleh
adanya inteligensi manusia yang jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan makhluk lainnya. Dalam kaitannya dengan kompetensi
bahasa, Chomsky menyarankan bahwa kita harus meyakini bahwa
kompetensi bahasapengetahuan tentang bahasasebagai sebuah
sistem yang abstrak yang menentukan perilaku, sebuah sistem
yang dibangun oleh kalimat yang jumlahnya tidak terbatas yang
disebut generative grammar, dan mengaitkannya dengan
kreativitas mental (mental creativity) (Arifuddin, 2013 : 134).

Inggris dan Prancis adalah bahasa asing yang diterapkan jadi kemampuan
Lalita di samping bahasa ibunya, yaitu bahasa Indonesia. Kemampuan Lalita
berbahasa Inggris dan Prancis seperti yang digambarkan oleh Ayu Utami menjadi
salah satu karakter yang mewakili kecerdasannya, karena pemerolehan bahasa
kedua memerlukan penguasaan pengetahuan bahasa (competence) dan penampilan
bahasa (performance). Kompetensi menurut Chomsky (1965; Arifuddin, 2013 :
115 - 116) mengandung representasi mental dari kaidah bahasa yang membentuk
tata bahasa yang terinternalisasi dalam penutur dan pendengar (lawan tutur).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

106

Kompetensi mengandung pemahaman dan produksi bahasa. Kompetensi


merupakan proses penguasaan pengetahuan kebahasaan. Penampilan bahasa
(performance) mengacu kepada kemampuan pembelajar dalam memahami dan
menghasilkan ujaran secara aktual dalam aktivitas komunikasi. Dalam
performansi bahasa pasti terjadi perlibatan pengetahuan atau kaidah-kaidah
bahasa yang dituturkan. Itulah sebabnya, pemerolehan bahasa senantiasa
melibatkan competence dan performance.
Kemampuan berbahasa Inggris mengantarkan Lalita pada penguasaan
bisnis yang dijalaninya secara internasional dan menjadikan profilnya lebih
berkuasa dibandingkan orang lain yang tidak memiliki keahlian berbahasa Inggris.
Pidato-pidato yang diantarkan Lalita pada acara pembukaan dan penutupan acara
pameran karya seni yang dikuratorinya pun selalu menggunakan bahasa Inggris
karena audiens yang jadi target market-nya adalah orang-orang dari kelas atas,
termasuk orang-orang asing yang tertarik pada bidang seni. Bobot pembicaraan
yang diutarakan Lalita pun diceritakan oleh Ayu Utami tidak sekadar omong
kosong atau basa-basi yang mudah, tetapi penjelasan tentang materi-materi
berbasis sejarah yang telah ditelitinya, seperti yang diwakili oleh teks berikut ini.
Mandala. Bagan konsentris. Barangkali ceramah Lalita menelusup
ke bawah sadarnya. Lalita sedang bercerita tentang model-model
mandala yang ada di dunia ini. Poros dunia. Axis mundi. Tapi
Yuda tak sanggup mendengarkannya. Ia jatuh tertidur. Barangkali
ia menarik diri dari dunia dalam ruangan itu karena, diam-diam,
ia minder. Tapi tentu saja ia tidak mengakuinya. Ceramah itu
dalam bahasa Inggris. Sebagian tamu yang datang adalah orang
asing: pecinta kebudayaan Nusantara undangan Indonesian
Heritage Society, ibu-ibu dari International Womens Club, wakil
budaya kedutaan asing (Utami, 2012 : 75).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

107

Lalita yang menguasai medan dibandingkan dengan tokoh lain yang tidak
mempunyai kemampuan berbahasa Inggris seperti Sandi Yuda diceritakan tampak
lebih menonjol karena keahliannya berbahasa asing. Ayu Utami menggambarkan
tokoh Lalita lebih memiliki kekuasaan atas penggunaan bahasa asingnya,
sementara tokoh lain yang tidak mempunyai keahlian berbahasa asing seperti
Sandi Yuda tergambar dengan respons yang mengantuk dan tidak tertarik pada
ceramah Lalita sebab didasari ketidaktahuannya atas menerjemahkan deretan
kalimat berbahasa asing menjadi bayangan tentang materi yang disampaikan.
Perbandingan kemampuan berbahasa seperti ini berkaitan dengan konsep
kecerdasan linguistik yang dicetuskan oleh Howard Gardner. Dalam arti luas,
kecerdasan linguistik adalah hasil kemampuan dalam penggunaan bahasa lisan
dan tulisan. Seperti juga dengan semua jenis kecerdasan, ada beberapa subjenis
atau ragam, dari kecerdasan linguistik: kecerdasan individu yang baik dalam
mempelajari bahasa asing, contohnya, atau kecerdasan dari seorang penulis hebat,
yang dapat menyampaikan gagasan yang rumit dalam prosa yang tepat. Dalam
dunia bisnis, dua jenis kecerdasan sangat menonjol satu ditemukan dalam
pembicara yang mampu mendapatkan informasi yang berguna melalui pertanyaan
dan diskusi dengan orang lain; yang lain adalah ahli retorika yang mampu
meyakinkan seseorang untuk melakukan suatu tindakan dengan menggunakan
cerita, pidato, atau bujukan. Ketika campuran dari kemampuan linguistik ini
dikombinasikan pada satu individu, kita akan menyaksikan seseorang yang amat
mungkin untuk sukses dalam beberapa bidang bisnismungkin bahkan tanpa
berusaha (Gardner, 2004 : 39).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

108

Kecakapan Lalita digambarkan oleh Ayu Utami jadi faktor kekuasaannya


dalam beradaptasi dengan lingkungan pekerjaan dan lingkungan pergaulan
barunya.

Kepercayaan

kemampuannya

dalam

dirinya

kian

berbahasa,

menampak
sebab

karena

Lalita

ditunjang

digambarkan

oleh
mudah

berkomunikasi dengan orang lain, bahkan yang baru dikenalnya. Menguasai


pembicaraan jadi salah satu aspek penting dalam menampilkan kekuasaan,
terlebih dengan penguasaan bahasa asing yang dapat menjadi akses dalam
memperluas penyebaran pengaruh diri seorang perempuan.
Kecerdasan berbahasa sebagaimana yang digambarkan oleh Ayu Utami
pada tokoh Lalita mengindikasikan pengaruh langsung dengan kecerdasan mental,
seperti yang dijelaskan oleh Richard Claproth dalam bukunya yang diberi judul
Dahsyatnya Bahaya Aktivasi Otak Tengah, diwakili kutipan berikut ini.
Verbal-linguistik adalah kecerdasan yang berhubungan dengan
kata-kata, baik lisan atau tertulis. Kecerdasan ini sering disebut
sebagai word smart karena orang dengan kecerdasan verballinguistik yang tinggi memiliki kemampuan berkata-kata dan
berbahasa. Mereka mudah mempelajari bahasa asing karena
memiliki memori verbal yang tinggi dan mampu untuk
mengingatnya kembali (Claproth, 2011 : 173).

Kemampuan Lalita dalam berbahasa sebagaimana diceritakan oleh Ayu


Utami sebagai simbol atas kecerdasannya, menjadikan pula tutur kata Lalita dapat
membuai tokoh lainnya, seperti Sandi Yuda. Keindahan kata-kata Lalita membuat
Yuda sulit menggugat. Ia tersihir dan lupa pada pertanyaan-pertanyaannya
(Utami, 2012 : 58).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

109

b.

Membaca Sastra dan Filsafat sebagai Ciri Kecerdasan Linguistik


Kecerdasan linguistik yang terdapat pada karakter tokoh Lalita

sebagaimana yang ditulis oleh Ayu Utami ditambah dengan kemampuannya


mencerna karya sastra dan filsafat, Lalita menjadikan dua subjek tersebut bahan
bacaan. Sastra dan filsafat dianggap sebagai bahan bacaan yang berat sebab
bobot bahasa yang mesti dicerna pikiran pembaca lebih padat makna dan banyak
menggunakan konotasi, dan makna-makna yang terselubung dalam bacaan sastra
juga filsafat tidak bisa langsung dimengerti dengan sekali baca tanpa modal pola
pikir yang sejalan dalam otak pembaca.
Karakter tokoh Lalita yang dikaitkan dengan kesukaannya membaca sastra
dan filsafat menjadi indikasi tentang kecerdasan, sebab karya sastra merupakan
bagian suatu sirkuit yang kompleks. Robert Escarpit menjelaskan tentang
kompetensi orang yang gemar membaca karya sastra dalam bukunya yang
berjudul Sosiologi Sastra, menghubungkannya dengan karya sastra sebagai alat
transmisi yang sangat kompleks, yang merupakan bagian seni sekaligus juga
teknologi dan usaha dagang, ia mengaitkan individu-individu yang jelas
definisinya (atau dikenal namanya) pada suatu kolektifitas yang dapat dikatakan
anonim (namun terbatas). Pada semua titik sirkuit itu, kehadiran individu pencipta
menimbulkan masalah interpretasi psikologis, moral, filsafat. Mengingat fakta
sastra merupakan bagian tak terpisahkan dari cara berpikir individual, bentukbentuk

abstrak dan

sekaligus

struktur kolektif, pembahasannya

cukup

menyulitkan (Escarpit, 2008 : 3).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

110

Identitas kecerdasan yang melekat pada tokoh Lalita karena karakternya


yang membaca sastra dan filsafat seperti yang digambarkan oleh Ayu Utami pun
menjadi faktor kekuasaan Lalita sebab menonjolkan nilai lebih dari dirinya.
Kemampuan di bidang linguistik dari bacaan sastra dan filsafat merupakan nilai
tambah di luar minat Lalita pada bidang seni yang jadi pekerjaannya.
Disandingkan dengan tokoh lainnya yang tidak berkompeten di bidang sastra dan
filsafat, Lalita jadi punya kekuasaan tersendiri pada profil dirinya. Orang-orang
yang membaca sebuah karya sastra perlu memiliki pemahaman tentang esensi dari
karya tersebut, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Wahyudi Siswanto
mengenai jenis pembaca karya sastra berikut ini.
Pembaca harus sadar bahwa yang mereka baca adalah karya
sastra yang di dalamnya berisi antara kenyataan dan khayalan.
Dalam dunia sastra, praanggapan ini dinamakan konvensi sastra.
Sastrawan dan pembaca sadar bahwa bahasa yang ada dalam
puisi, cerpen, atau drama akan berbeda dengan bahasa praktis
yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari meskipun kata-kata
atau kalimat yang digunakan sama. Bahasa yang ada di dalam
karya sastra sudah mengalami perubahan seperti penggalian,
penambahan, atau pengurangan makna (Siswanto, 2008 : 94).

Ketertarikan tokoh Lalita terhadap sastra yang digambarkan oleh Ayu


Utami dijadikan indikasi kecerdasannya yang didasari oleh kecintaan pada ilmu
dan budaya, sebab karya sastra adalah harta karun berbagai kearifan lokal yang
seyogianya diwariskan secara turun-temurun lewat pendidikan. Sastra dalam
dirinya ada isi, yakni nilai-nilai dan interpretasi kehidupan. Pembiasaan terhadap
karya sastra meningkatkan kecerdasan naratif atau narative intelligence, yaitu
kemampuan memaknai secara kritis dan kemampuan memproduksi narasi

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

111

(Dirgantara, 2012 : 49). Kecerdasan linguistik yang diceritakan oleh Ayu Utami
lewat ketertarikan tokoh Lalita pada karya sastra pun sejalan dengan pendapat
Jonathan Culler yang tercantum dalam buku Pengantar Teori Sastra yang ditulis
Dr. Wahyudi Siswanto (2008 : 103), bahwa seorang pembaca adalah seseorang
yang memiliki kompetensi linguistik (pengetahuan sintatik dan semantik) yang
diperlukan untuk membaca. Pembaca yang berpengalaman tentang teks-teks
sastra juga memerlukan kompetensi sastra secara khusus (pengetahuan tentang
konvensi-konvensi sastra).
Kompetensi seorang perempuan di bidang sastra menjadi poin yang dapat
menonjolkan eksistensinya di lingkungan masyarakat. Apresiasi terhadap karya
sastra bukan hanya menimbulkan kepuasan pribadi, tetapi juga membentuk kesan
pada identitas seorang perempuan, sebab sesuai yang tertera pada buku Pelangi
Bahasa Sastra dan Budaya Indonesia (Dirgantara, 2012 : 48), bahwa
mengapresiasi sastra berarti mengenal nilai-nilai yang terdapat di dalam karya
sastra. Dengan kegairahan dan empati akhirnya kita dapat merasakan kenikmatan.
Kenikmatan itu dapat timbul karena merasa berhasil dalam menerima pengalaman
orang lain dan bertambah pengalaman sehingga dapat menghadapi kehidupan
dengan lebih baik. Selain itu juga karena kekaguman akan kemampuan sastrawan
dalam mengarahkan segala alat yang ada pada medium seninya sehingga berhasil
memperjelas, memadukan, dan memberikan makna terhadap pengalaman yang
diolahnya. Kenikmatan membaca karya sastra juga bisa diperoleh karena
menikmati sesuatu demi sesuatu itu sendiri yaitu kenikmatan estetik

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

112

Karya sastra itu semuanya memiliki sifat membuat cerdas


pembaca. Coba saja baca karya-karya seperti Godlob-nya
Danarto, atau Patung-nya Seno Gumira Ajidarma, atau Dilarang
Mencintai Bunga-bunga-nya Kuntowijoyo, atau Lelaki Kabut dan
Boneka-nya Helvy Tiana Rosa, atau juga Koran Gondrong-nya
Asma Nadia. Menurut saya, semua cerpen itu akan membuat
pembacanya cerdas dengan berbagai sebab dan sarana. Ada yang
membuat cerdas pembaca lewat bahasa yang begitu berkarakter,
ada yang lewat metafor-metafornya, ada yang lewat penokohan
yang tidak sederhana, atau ada juga yang lewat alur (Iskandar,
2003 : 160).

Ayu Utami sebagai penulis novel Lalita juga menerapkan kesukaan


terhadap filsafat pada karakter tokoh Lalita, sehingga menambah kekuatan
pribadinya. Tidak semua orang tertarik membaca karya filsafat, dikarenakan
filsafat identik dengan bacaan yang berat dan membutuhkan pemikiran yang
mendalam untuk mencerna makna dalam ilmunya. Pada bukunya yang berjudul
Filsafat dan Sains, Reza A.A. Wattimena menuliskan bahwa di dalam membaca
buku-buku filsafat, ide-ide yang dijabarkan oleh para filsuf seringkali terkesan
absurd, abstrak, terutama jika disampaikan dengan bahasa yang berbelit-belit.
Seringkali, pembaca akan berjumpa dengan istilah-istilah sulit, kalimat-kalimat
panjang yang tidak jelas, apalagi jika para filsuf menulis dengan gaya bahasa yang
kuno yang tidak lagi digunakan sekarang. Memang, para filsuf seringkali
mengandaikan bahwa pembacanya sudah mengerti beberapa hal dasar terlebih
dahulu sebelum membaca bukunya. Mereka juga terbiasa mengandaikan bahwa
pembaca buku mereka adalah sesama intelektual juga.
Reza A.A. Wattimena juga memberi gambaran tentang proses pembaca
filsafat hingga dapat memahami pemikiran para filsuf yang dipelajarinya.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

113

Pertama, pembaca harus menyediakan waktu yang cukup banyak untuk


memahami betul suatu tulisan filsafat. Awalnya, pembaca membutuhkan satu jam.
Lalu, pembaca butuh satu jam lagi untuk benar-benar memahami apa yang ingin
dikatakan oleh sang filsuf. Jadi, dalam proses itu, untuk memahami ide dasar dari
tulisan filsafat, pembaca harus mampu mengenali apa yang berada di balik katakata atau tulisan sang filsuf. Di dalam filsafat, pembaca tidak bisa menerapkan
cara baca instan 20 menit selesai. Di saat membaca, pikiran pembaca juga harus
terbebas dari masalah-masalah lain yang mungkin membuat resah. Kedua, ketika
membaca buku filsafat, pembaca harus melakukannya secara berkelanjutan.
Jangan membaca buku filsafat bergantian dengan buku lainnya karena nantinya
pembaca akan harus mulai dari awal lain. Ketiga, sedapat mungkin, pembaca
haruslah berusaha menjaga jarak terhadap buku yang tengah dibaca. Pada titik ini,
perasaan subyektif, seperti suka ataupun tidak suka, haruslah ditunda terlebih
dahulu. Tujuannya jelas, supaya pembaca dapat menunda segala bentuk prasangka
dan bias yang mungkin dimiliki. Dengan cara ini, inti utama dari pemikiran filsuf
yang sedang dibaca dapat terpahami dengan jernih (Wattimena, 2008 : 25 26).
Filsafat alam dan semua filsafat lain tidak bersifat empiris, melainkan
metafisis meskipun dalam arti yang terbatas. Disebut metafisika karena filsafat
merupakan suatu usaha paham tentang cara berada di antara cara berada yang lain.
Pertanyaan dalam filsafat ialah, what kind of being it is? Disebut terbatas karena
paham yang diusahakan terbatas pada daerah kenyataan tertentu. Filsafat alam
membahas cara berada yang khas untuk benda karena benda, maka seluas
segala benda. Filsafat manusia membahas apa yang khas untuk manusia karena

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

114

manusia dan luasnya seluas segala manusia. Maka, segala cabang filsafat terbatas
pada salah satu cara berada. Metafisika membahas kenyataan sebagai
kenyataan, maka seluas segala kenyataan (Snijders, 2009 : 30).
Lalita sebagaimana yang diceritakan oleh Ayu Utami tertarik pada filsafat
ilmu. Salah satu ilmu yang menarik perhatiannya untuk dipelajari lebih dalam itu
tercatat pada sejilid kertas-kertas tua yang diwariskan kakeknya yang bernama
Anshel Eibenschtz, seorang lelaki eksentrik yang sejak muda tertarik pada
mandala-mandala di dunia dan dihubungkannya dengan struktur jiwa manusia.
Lembaran-lembaran yang digambarkan Ayu Utami telah menguning dan berbau
langut itu berisi manuskrip, catatan, ilustrasi, serta diagram yang hampir
semuanya konsentris, dan diberi nama Kitab Indigo. Dijelaskan sampai sekarang
Lalita masih menyimpan buku peninggalan kakeknya tersebut di rumahnya dan
menganggapnya sebagai warisan yang sangat berharga. Ketika masih hidup,
Anshel Eibenschtz mempercayakan warisan ilmu pengetahuannya kepada Lalita
sang cucu perempuan, seperti yang tergambar pada teks berikut ini.
Lalita menerima sejilid kertas tua itu, dan sejak itu setiap hari
pengetahuannya tentang sang kakek bertambah. Setiap kali
pengetahuan itu bertambah banyak, setiap kali pula sang kakek
bertambah muda dalam penglihatannya (Utami, 2012 : 96)

Ayu Utami mendeskripsikan bahwa Lalita mampu memahami tentang pola


konsentris penemuan kakeknya, yang mana model konsentris adalah struktur
dasar yang ada dalam alam semesta, bahkan penemuan struktur atom juga
menunjukkan pola konsentris. Teks berikut ini menggambarkan kecakapan Lalita

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

115

saat menjelaskan pengetahuannya mengenai filsafat ilmu tentang mandala dan


hubungannya dengan jiwa manusia.
Alam nirsadar memiliki kumpulan citra-dalam. Citra-dalam ini
mengenali struktur-struktur makrokosmos maupun mikrokosmos.
Dan struktur itu tampaknya berbentuk konsentris, sebagaimana
sejauh ini kita lihat dalam mandala maupun model astronomi dan
struktur atom (Utami, 2012 : 125).

Kecerdasan Lalita digambarkan dengan kemampuan mengikuti pola pikir


kakeknya hingga sampai kepada pemahaman tentang ilmu poros dunia (axis
mundi) sebagaimana yang ditulis pula dalam Kitab Indigo. Candi Borobudur
merupakan salah satu mandala yang dianggap sebagai poros dunia oleh Anshel
Eibenschtz dan didukung penuh oleh kepercayaan Lalita. Lalita mempelajari
filsafat Candi Borobudur lebih dalam daripada pengetahuan dasar yang umumnya
dipelajari oleh anak-anak Indonesia, sebagaimana teks berikut, Betapa
menakjubkan pengetahuan para pembuat Borobudur mengenai struktur jiwa
manusia. Apalagi dilihat dari kacamata psikoanalisa modern (Utami, 2012 : 155).
Bahkan Lalita diceritakan oleh Ayu Utami sampai menghubungkan
penemuan Anshel tersebut dengan keinginannya menyelenggarakan pameran pelat
foto karya Kassian Cephas yang adalah dokumentasi pertama mengenai relief
Karmawibangga yang telah terkubur di dasar Candi Borobudur. Kekuatan Lalita
dalam mengeksplor dan menguasai filsafat dari ilmu yang didapatnya menjadi
faktor yang menggambarkan karakter kecerdasan.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

116

Kecerdasan linguistik tokoh Lalita digambarkan oleh Ayu Utami lebih


tinggi daripada tokoh-tokoh lain yang memiliki peran dalam novel Lalita,
pengaruhnya tampak pada gambaran hubungan interpersonal antara Lalita dan
lawan bicaranya, seperti yang diwakili oleh teks berikut ini.
Ia mengulang jawaban lambat-lambat, seperti bermain guruguruan. Nanti malam ada pembukaan pameran foto yang
aku hm, aku rancang.
O Yuda jadi merasa agak kurang terpelajar. Kenapa pula
orang harus pakai istilah yang susah. Jika ada kata rancang,
kenapa pakai kurator. Tapi ia harus cepat-cepat menghapus
jejak ketidaktahuannya. O ya. Pameran foto apa?
Kamu tahu Kassian Cephas?
Sial. Ia tidak tahu juga. Nama itu susah betul. Rupanya banyak
yang ia tidak tahu di dunia fotografi. Ia merasa terasing lagi. Ia
menyesal telah mengajukan pertanyaan yang hanya menunjukkan
ketololannya.
Kassian Cephas adalah fotografer pribumi
Indonesia, kata perempuan itu bersemangat.

pertama

di

Sebagai lelaki, diam-diam Yuda terbiasa tidak bahagia jika


kedapatan kurang tahu dibanding perempuan. Tapi, kali ini pun ia
memang hanya bisa bilang o (Utami, 2012 : 10).

Menurut pemikiran Eriyanto (2003 : 12), kekuasaan itu dalam


hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa yang disebut dengan
kontrol. Satu orang atau kelompok mengontrol orang atau kelompok lain lewat
wacana. Kontrol di sini tidaklah harus selalu dalam bentuk fisik dan langsung
tetapi juga kontrol secara mental atau psikis. Kelompok yang dominan mungkin
membuat kelompok lain bertindak seperti yang diinginkan olehnya, berbicara dan
bertindak sesuai dengan yang diinginkan. Kenapa hanya bisa dilakukan oleh

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

117

kelompok dominan? Mereka lebih mempunyai akses dibandingkan kelompok


yang tidak dominan. Kelompok dominan lebih mempunyai akses pengetahuan,
uang, dan pendidikan dibandingkan dengan kelompok yang tidak dominan.
Ayu Utami menggambarkan akses pengetahuan yang dimiliki oleh Lalita
berperan hingga ke dominasi hubungan seksual. Dengan pengetahuan tentang axis
mundi, atau poros dunia, yang diterapkan tokoh Lalita dalam hubungan seksual,
perempuan itu bisa membuat lelaki manapun yang diinginkannya datang kembali
kepadanya, karena hanya dengan Lalita mereka bisa mencapai kenikmatan
berhubungan seksual yang memuncak, sebagaimana yang digambarkan oleh Ayu
Utami dalam adegan berikut ini.
Perempuan itu yang meneleponnya pada hari keempat, menuntut
bertemu untuk menumpahkan rasa marah. Si pemuda minta maaf.
Ia tahu ia bukan satu-satunya lelaki. Tapi perempuan itu tak mau
tahu. Akhirnya pemuda itu berkata: baiklah, hukumlah saya
sebagaimana kamu mau. Perempuan itu mau mendengar kata
ampun. Sebab kata maaf tidak cukup. Ia mau mendengarnya
berulang-ulang. Ia buat lelaki itu mematuhinya. Dan ia beri
pemuda itu klimaks yang datang bersama fantasi kehancuran.
Minyak yang tumpah. Mesin yang meledak. Setelah itu si
perempuan mengenakan kembali jins dan kamisolnya (seperti
sebelumnya, ia tak pernah menanggalkan korsetnya sejak semula),
seolah hendak meninggalkan kamar gelap beraroma cuka. Yuda
pun memohon. Lalita, jangan selesai. Aku menginginkannya.
Perempuan itu menoleh dan memandang dengan mata Lilith-nya
yang angkuh. Ingin apa kamu? Yuda menjawab lirih, seperti
seorang terdakwa. Axis mundi (Utami, 2012 : 57 58).

Kecerdasan seorang perempuan untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang


dimilikinya pada hubungan seksual, seperti yang direpresentasikan oleh tokoh

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

118

Lalita, diiyakan pula oleh Ayu Utami lewat pengakuannya dalam buku
Pengakuan Eks Parasit Lajang seperti digambarkan teks berikut ini.
Tapi aku juga belajar linguistik di universitas, termasuk di
dalamnya adalah anatomi alat bicara. Bibir, gigi, kaki gigi, ujung
lidah, tengah lidah, samping lidah, belakang lidah, langit-langit
keras maupun lunak, anak tekak, pita suara bagaimana mereka
bekerja. Aku tahu bagaimana bentuk rongga mulut dan
tenggorokan. Organ itu membuat lengkungan ke bawah. Aku tahu
juga bahwa penis cenderung melengkung dan lengkungan penis
muda tidak bisa ditawar justru karena kemudaannya. Benda itu
melengkung ke arah yang berbeda pada masing-masing pria,
dipengaruhi oleh, terutama, kebiasaan mereka menyimpannya.
Aku tinggal menyesuaikan saja. Mana yang membutuhkan arah
begini, mana yang begitu (Utami, 2013 : 81).

Representasi kecerdasan ini mencakup ide kekuasaan perempuan yang


diperoleh dari modal pengetahuan yang tersimpan dalam otaknya. Kemampuan
berbahasa asing serta ketertarikan membaca sastra dan filsafat menjadi tandatanda yang menunjukkan aspek kecerdasan seorang perempuan, sehingga bisa
dikategorikan sebagai seorang perempuan yang canggih, yaitu perempuan yang
memiliki nilai lebih di bidang pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan.
Sebagaimana definisi yang tertera pada www.kbbi.web.id, canggih berarti: (1)
banyak cakap; bawel; cerewet; (2) suka mengganggu (ribut); (3) tidak dalam
keadaan yang wajar, murni, atau asli; (4) kehilangan kesederhanaan yang asli
(seperti sangat rumit, ruwet, atau terkembang); (5) banyak mengetahui atau
berpengalaman (dalam hal-hal duniawi); (6) bergaya intelektual11.

11

http://kbbi.web.id/canggih, diakses tanggal 5 Juni 2014, pukul 13.00 WIB.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

119

Dalam kaitannya dengan tanda kecerdasan yang direpresentasikan oleh


Ayu Utami lewat karakter tokoh Lalita, canggih mengandung pengertian bahwa
Lalita Vistara adalah seorang perempuan yang telah merengkuh macam-macam
pengalaman selama perjalanan kehidupannya dan memahami unsur instrinsik dari
setiap kejadian sebagaimana kesukaannya terhadap filsafat, sehingga mampu
menyerap berbagai pengetahuan yang membuat dirinya hidup dengan pola pikir
yang intelektual. Menurut Carl Rogers lewat pemikirannya tentang Psikologi
Humanistik, tokoh Lalita yang digambarkan sebagai seorang perempuan cerdas
telah sejalan dengan pemikiran para humanis yang berpendapat bahwa individu
tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari bawah, dari luar, atau dari dalam
individu seperti yang dikemukakan oleh pandangan-pandangan lain, melainkan
individu didorong ke atas, yakni pada suatu keadaan perkembangan pribadi yang
lebih tinggi. Potensi keinginan Lalita untuk menjadikan dirinya cerdas tidak
berhasil digagalkan oleh desakan sosial yang menempatkan perempuan harus
selalu sebagai subordinat, termasuk soal pendidikan.

4.1.3

Kemandirian sebagai Aspek Kekuasaan Perempuan


Berdasarkan tujuan penelitian yang mengungkap adanya faktor kekuasaan

perempuan dalam teks yang diproduksi oleh Ayu Utami, kemandirian adalah
aspek yang penting untuk diangkat karena merupakan alat perempuan menguasai
situasi dengan caranya sendiri tanpa bergantung kepada orang lain, terutama kaum
laki-laki. Keputusan untuk menjadi seorang yang mandiri ada di tangan

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

120

perempuan sendiri, sejak awal perempuan bisa beradaptasi dengan cara hidup
yang mandiri dan menempa dirinya dengan kebiasaan-kebiasaan yang bisa
dilakukannya sendiri, sehingga pada akhirnya kemandirian itu menjadi nilai tawar
yang tinggi dari dirinya.
Diceritakan oleh Ayu Utami sebagai seorang perempuan yang tinggal
sendiri tanpa suami yang membiayai hidupnya atau pasangan tetap yang selalu
menemani selama kehidupannya, tokoh Lalita merepresentasikan kekuatan
perempuan

dengan

kemandirian

sebagai

kekuatan

penopang

hidupnya.

Sebagaimana yang digambarkan lewat tanda-tanda pada teks berikut ini.

TEKS

TANDA

Para grupies itu tidak tahan melihat


pemain baru, yang datang tidak melalui
jalur

sama.

Pemain

baru

Mengendarai BMW

Konsumen

ini

Sepatu

Christian

Louboutin

mengendarai BMW marun, memakai


tanktop ketat ungu, kaki berjinjit pada

Konsumen Tas Louis Vuitton

stileto Christian Louboutin 12cm, juga


ungu, tas Louis Vuitton, dan dengan
make-up tahan panggung (Utami, 2012
: 24).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

121

a.

Mengendarai BMW sebagai Aspek Kemandirian Perempuan


Mandiri

bermakna

tidak

ketergantungan

dengan

orang

lain,

kepentingannya bisa dipenuhi sendiri tanpa bergantung kepada kemampuan yang


dimiliki orang lain. Lalita diceritakan oleh Ayu Utami sebagai perempuan yang
tidak ketergantungan pada orang lain, terutama kaum lelaki, menyoal akses
transportasi. Alat transportasi pun Lalita miliki, kemandiriannya digambarkan
lewat adegan Lalita sendiri yang mengendarai mobil BMW miliknya.
Transportasi menjadi penting guna karena dapat membuat seorang
berpindah tempat demi memenuhi kebutuhannya. Akses transportasi yang terbatas
bisa ditemui dalam kehidupan seorang perempuan yang tidak mempunyai
kemampuan menyetir kendaraan sendiri atau tidak memiliki kendaraan pribadi,
maka hidupnya akan bergantung kepada orang-orang yang bersedia mengantarnya
atau kepada supir angkutan umum. Lain halnya dengan seorang perempuan yang
dapat dengan mudah berpindah-pindah tempat ke manapun dirinya menginginkan
karena punya keahlian menyetir mobil. Kemampuan tersebut menjadi akses
berharga yang meningkatkan nilai diri seorang perempuan. Kekuasaan atas
dirinya meluas sebab bisa jadi dengan keahlian menyetir mobil tersebut seorang
perempuan jadi dibutuhkan orang lain untuk mengantar mereka dan menjadi akses
transportasi yang penting, sebagaimana yang digambarkan Ayu Utami pada
adegan yang melibatkan kemampuan menyetir Lalita. Dan Lalita ada di sana, di
kursi pengemudi. Dia yang menyetir dan membawa semua penumpang di dalam
mobil ini, termasuk Yuda (Utami, 2012 : 14).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

122

Keahlian Lalita dalam menyetir mobil sendiri sebagaimana yang


digambarkan oleh Ayu Utami dapat mempermudah jalannya rencana Lalita
dengan tokoh-tokoh lainnya sebab mereka tidak perlu ambil pusing soal alat
transportasi untuk menuju tempat-tempat yang mereka tuju, dan Lalita pun
menunjukkan kekuasaannya dengan menyetir sendiri tanpa mengeluh atau
meminta tokoh lelaki untuk menggantikannya menyetir mobil. Lalita diceritakan
oleh Ayu Utami mempunyai akses luas di bidang pergaulan dan pekerjaannya,
dengan menyetir sendiri mobilnya Lalita mampu memenuhi segala kebutuhannya
soal akses transportasi, tidak mesti menunggu orang lain atau bergantung pada
orang-orang yang akan mau mengantarnya ke tempat-tempat yang ditujunya.
Kekuasaan seorang perempuan dapat direngkuh lewat kemampuannya menyetir
mobil sendiri. Berkuasa dalam ini juga bisa diartikan mampu menggiring dirinya
sendiri serta orang lain ke tempat-tempat yang diharapkannya, lewat rute-rute
yang

disukainya,

membawa

orang-orang

yang

diinginkannya,

bahkan

berwewenang menurunkan orang yang tidak disukainya, seperti salah satu adegan
yang terjadi dalam plot novel Lalita sebagaimana ditulis oleh Ayu Utami berikut:
Lalita menurunkan Oscar di sebuah mulut jalan yang
menyedihkan. Setidaknya malam itu, di mata Lalita, Oscar tampak
menyedihkan. Setelah itu si perempuan membawa Yuda tanpa
meminta izin lagi. Seorang ratu yang percaya penuh bahwa lelaki
tidak akan menolak ia (Utami, 2012 : 27).

Di masa kini, kendaraan tidak lagi sekadar alat transportasi yang tidak
akan diperhatikan merek atau jenisnya. Mobil yang dikendarai seseorang
mencerminkan identitas pengendaranya, bagaimana seleranya, hingga latar

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

123

belakang finansialnya. Ini sejalan dengan pemikiran Henry Russell yang tertera
dalam bukunya yang berjudul Etiket (2009 : 200), bahwa dalam dunia waras,
sebuah mobil hanya memiliki arti sebagai suatu alat transportasi. Namun dalam
dunia nyata, sering kali mobil menjadi ekspresi dari pemiliknya. Tidak ada orang
yang benar-benar dapat mendengar apa yang dikatakannya, namun jelas ia
mencoba memberi tahu kita sesuatu mengenai dirinya, statusnya. Karena mobil
dapat dikagumi, dicemburui, dan disesali oleh teman-temannya, pilihannya akan
ditentukan oleh beberapa hal ini; bagaimana caranya menyeberangi ruangan?
Apakah ia ingin berada di tengah-tengah dan menjadi pusat perhatian atau tetap
menjadi kain layar yang tidak terlalu menarik perhatian di latar belakang? Banyak
orang ingin memberi kesan dan menarik perhatian orang lain dengan harga,
ukuran, dan kelas mobil mereka. Yang lain takut ditertawakan oleh rekan-rekan
mereka karena terlihat berada dalam mobil tuabagi orang-orang itu, pilihan
mobil yang tepatatau, menghindari penggunaan mobil yang salah, adalah
sesuatu yang perlu dilakukan untuk mempertahankan cinta untuk diri sendiri.
Ayu Utami dalam bukunya yang berjudul Si Parasit Lajang pun
mengamini tanda-tanda kekuasaan perempuan adalah lewat kemampuannya
menyetir mobil sendiri dan penolakan terhadap wacana tentang lelakilah yang
mestinya menyetir mobil, sebagaimana teks di bawah ini.
Saya punya peraturan: untuk menunjukkan siapa yang berkuasa,
saya yang melakukan check-in. Bahkan, kalau berkencan pertama
dengan cowok, saya tidak akan mau naik mobilnya. Cowok itu
yang ikut saya dan saya yang menyetir. Karena itu, memang sulit
sekali bagi lelaki untuk bisa membawa saya. (Utami, 2013 : 102)

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

124

Kekuasaan yang ditampilkan lewat selera berkendara tokoh Lalita diwakili


dengan BMW sebagai mobil pilihannya. Mengendarai mobil BMW bukan hanya
sekadar mengendarai sebuah mobil biasa. Seorang perempuan yang mengendarai
BMW akan menjadi pusat perhatian dan dipandang sebagai perempuan yang
mapan. Sebuah merek mengingatkan tentang suatu atribut atau kemewahan
tertentu. Misalnya BMW memberikan kesan mahal, diciptakan dengan baik,
direncanakan dengan baik, tahan lama, prestise tinggi, dan sebagainya
(Rangkuti, 2008 : 119 120). Lalita diceritakan hidup tanpa suami yang
menafkahinya, tidak ada pula pasangan tetap yang rutin membiayai hidupnya,
maka dapat dimaknai bahwa Lalita membeli mobil BMW dengan penghasilannya
sendiri, menjadi simbol kesuksesannya sebagai perempuan yang mandiri dan
berselera tinggi. BMW mampu menjaga kepemimpinan merek yang kuat selama
beberapa dekade. Merek BMW yang menggambarkan merek yang dinamis,
estetis, eksklusif, dan inovatif menjadi pusat dari kesuksesannya (Suyanto, 2007 :
50). BMW pun dianggap sebagai mobil yang mahal perawatannya. Berkuasa
lewat kemandiriannya, Lalita mewakili betapa seorang perempuan yang mandiri
secara finansial bisa sampai hidup secara glamor meskipun hidup sendiri.
BMW adalah simbol selera masyarakat elite. Merek-merek serupa
identitas berhala baru dipuja-puji dan disembah-sembah sebagai komoditas
modern pemberi legitimasi derajat sosial bagi kaum konsumen ini. Manusia
modern di planet bumi pasti mengenal merek-merek semacam: Mercedes Benz,
Rolls Royce, BMW, Toyota, Gucci, Levis, Benetton, Versace, Reebok, Lancome,
Rolex, McDonalds, Nike, Pizza Hut, Disneyland, Coca Cola, IBM, Sony,

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

125

Marlboro, Toshiba, Nokia, Kodak, Canon, Good Year, Phillips, Xerox, Cadbury,
Body Shop, Pepsi, Korg, AT&T, dan ribuan lain yang tidak termuat di sini. Setiap
penyebutan nama produk itu selalu dikaitkan dengan sekelompok kecil golongan
masyarakat terpilih, yang mampu menikmati berkah modernitas di antara
mayoritas bisu massa rakyat yang jauh dari hiruk-pikuk gemebyarnya aroma
kehidupan perkotaan modern (Susanto, 2003 : 24).
Mobil baru dikatakan mewah, apabila fungsinya tidak sekadar alat,
melainkan sebagai simbol prestise: Mercy, BMW (Praptadiharja, 2004 : 231).
Maka dari itu, seorang perempuan yang mengendarai mobil BMW menyiratkan
simbol dirinya sebagai bagian dari masyarakat elite, seperti yang dideskripsikan
Ayu Utami pada karakter tokoh Lalita.

b.

Sepatu Christian Louboutin sebagai Ciri Gaya Hidup


Standardisasi selera seorang perempuan ditentukan oleh lingkungan

hidupnya serta kemampuannya secara finansial. Orang-orang yang hidup dalam


masyarakat kelas menengah ke bawah menganggap pembelian sepatu didasari
oleh fungsinya sebagai alas kaki saja, sedangkan masyarakat kelas atas
mempertimbangkan pula kepopuleran merek yang akan mereka beli. Merekmerek yang telah dikenal mahal akan menjadi nilai tambah dalam lingkup
pergaulan dan pekerjaan, sebab membuat orang-orang yang mengenakannya dicap
mapan, memiliki banyak uang maka mampu memenuhi selera mereka terhadap
barang-barang mewah.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

126

Lalita seperti diceritakan oleh Ayu Utami mengenakan sepatu hasil


rancangan seorang desainer kelas dunia, menyiratkan kesan bahwa tokoh Lalita
mewakili selera fesyen dari kelas atas. Sepatu yang dirancang oleh Christian
Louboutin mempunyai ciri khas pada sol sepatunya yang berwarna merah dan
telah dianggap sebagai karya seni yang dibandrol dengan harga mahal sekaligus
citra elite. Sepatu rancangan Louboutin sudah sering terlihat di berbagai ajang
penghargaan musik atau film bergengsi, dipakai oleh orang-orang terkenal dan
berasal dari kelas atas. Angelina Jolie beberapa kali tertangkap kamera
mengenakan sepatu Louboutin di Karpet Merah Oscar. Bahkan di dalam film
Wanted pun Angelina Jolie memakai sepatu Louboutin dari koleksi pribadi. Masih
banyak pesohor dunia yang mengenakan hasil rancangan Louboutin, seperti Kylie
Minogue yang memakainya dalam video klip 2 Hearts, serta Madonna yang
mengenakan sepatu kulit Louboutin ketika tampil di konser Live Earth. Ratu
pop Jepang, Ayumi Hamasaki, juga penggemar fanatik merek itu. Aktris Sarah
Jessica Parker memakai sepatu Louboutin pada hari pernikahannya, dan namanama besar seperti Christina Aguilera, Mariah Carey, Gwyneth Partlow, Jennifer
Lopez, Diane Von Furstenberg, dan Catherine Deneuve, bisa ditambahkan dalam
daftar nama pelanggan Louboutin12.
Merek internasional seperti Louboutin menjadi simbol kekuasaan Lalita
sejak menjadi tanda kemapanannya, simbol kemandiriannya secara finansial.
Merek-merek berkelas dapat membawa seseorang ke penilaian yang baik

12

http://www.suarapembaruan.com/home/karya-seni-sol-merah-christian-louboutin/4610, diakses
tanggal 13 Januari 2014, pukul 22.00 WIB.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

127

mengenai jati dirinya. Penghasilan seseorang dapat ditaksir dari barang-barang


yang digunakannya, dan seseorang patut dikagumi atas kemampuannya membeli
barang-barang bermerek karena simbol ini mengarah kepada dugaan tentang
penghasilan yang besar, dan penghasilan yang besar identik dengan kerja keras
yang penuh tanggung jawab besar pula. Sepatu jenis stiletto hasil rancangan
Christian Louboutin dibandrol harga di atas enam ratus dollar Amerika13. Bagi
orang-orang yang tidak memiliki penghasilan besar, uang sebesar itu bisa lebih
berguna jika dipakai untuk memenuhi kebutuhan pokok terlebih dahulu, tetapi
Ayu Utami menggambarkan tokoh Lalita mengenakan sepatu seharga ratusan
dollar Amerika itu untuk aktivitasnya.
Kegiatan konsumsi adalah pembelanjaan barang dan jasa yang dipakai
langsung untuk memuaskan keinginan para konsumen (Alam, 2006 : 240).
Kepuasan tokoh Lalita dalam hal merek sepatu digambarkan oleh Ayu Utami
dapat dipenuhi dengan penggunaan hasil rancangan Christian Louboutin. Lalita
yang diceritakan hidup sendiri tanpa pasangan tetap yang membiayai hidupnya
mampu memiliki dan menggunakan sepatu Louboutin sebagai simbol kelas
sosialnya, maka tersirat pula tanda kemandirian Lalita secara ekonomi.

c.

Tas Louis Vuitton sebagai Ciri Kemandirian Finansial

13

http://www.shopstyle.com/browse/pumps/Christian-Louboutin, diakses tanggal 2 April 2014,


pukul 11.55 WIB.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

128

Tampil dengan tas mewah merupakan bagian dari identitas kelas. Seorang
sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Ari Sudjito, mengungkapkan bahwa
dalam masyarakat dunia konsumsi, mengonsumsi bisa merupakan tindakan untuk
menunjukkan identitas kelas. Dalam masyarakat demikian, biasanya terdapat
komunitas-komunitas yang memiliki ukuran dan simbol kelas tertentu. Dengan
mengonsumsi ukuran-ukuran kelas itu, mereka lalu memiliki posisi tawar yang
kuat dalam komunitas.
Penggunaan merek Louis Vuitton yang diterapkan oleh Ayu Utami pada
tokoh Lalita menjadi salah satu simbol yang menggambarkan bahwa Lalita
berasal dari kalangan kelas atas di mana orang-orang dalam kelompok itu
mementingkan kesan glamor dalam penampilannya. Senada dengan yang diamati
oleh Lia Candrasari, seorang pengusaha yang juga kolektor ratusan tas mewah,
bahwa dorongan di kalangan sosialita untuk menjinjing tas mewah memang
berpretensi demi meraih pengakuan akan status sosial. Lia pun bercerita tentang
bagaimana dirinya kerap diragukan lingkungan sosialnya ketika terjun di bisnis
batubara. Karena itu, membawa tas branded bisa membuat orang lain lebih
mengakui (status sosial), bisnis pun lancar, ungkap Lia. Era keterbukaan
informasi menciptakan hukum sosial di kalangan penggemar tas mewah, yakni
harus memiliki tas mewah otentik14.
Tas merek Louis Vuitton yang disematkan oleh Ayu Utami sebagai salah
satu barang yang mewakili selera Lalita pun mencirikan kemapanannya dari segi
14

http://female.kompas.com/read/2011/09/15/08262017/Status.Sosial.dalam.Kemewahan.Tas,
diakses tanggal 7 Juni 2014, pukul 15.50 WIB.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

129

finansial. Meski bukan satu-satunya merek sukses di dunia mode, nyatanya Louis
Vuitton (LV) berhasil menggebrak pasar dengan desain-desainnya yang genius.
Entah itu pakaian atau aksesoris. Dan yang paling banyak diburu adalah tas. Tak
jarang tas keluaran LV dianggap sebagai simbol kemewahan15. Latar belakang
status sosial Lalita membuat profilnya layak diulas sebagai sosialita di majalahmajalah mewah, sebagaimana yang digambarkan oleh Ayu Utami pada teks ini;
Ia melihat foto perempuan itu. Lalita Vistara. Dalam rubrik
sosialita majalah-majalah mewah. Lalita adalah figur yang ada
dalam pesta-pesta elite. Dan perempuan itu gemerlap (Utami,
2012 : 210).

Kemandirian tokoh Lalita secara finansial diperlihatkan pula pada


deskripsi interaksinya dengan tokoh-tokoh lelaki yang diceritakan oleh Ayu
Utami dalam novel Lalita, seperti pada salah satu teks mengenai kemandirian
ekonomi berikut ini.
Lalita mengajak ia dan Oscar makan malam. Agaknya, untuk tidak
memberi kesempatan Lalita menunjukkan kekuasaan dengan kartu
kredit platinumnya, Oscar menolak pergi ke tempat nan gaya, yang
hanya Lalita sanggup bayar tanpa menggerutu (Utami, 2012 : 26).

Tidak hanya digambarkan lewat penggunaan merek mewah untuk tas dan
sepatu, akses untuk membayar yang dipakai oleh Lalita pun kartu kredit platinum.
Penggunaan kartu kredit dapat membedakan diri dari pesaing melalui image dan

15

http://life.viva.co.id/news/read/451409-mengulik-sejarah-merek-mahal-louis-vuitton, diakses
tanggal 3 April 2014, pukul 01.00 WIB.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

130

identitas diri yang diciptakan, yang dapat memenuhi kebutuhan emosional


pelanggannya. Seperti contohnya Citibank, yang percaya bahwa kartu kredit
bukan hanya sekadar alat untuk pembayaran, melainkan juga suatu gaya hidup.
Karena itu, ia menghadirkan beragam kartu kredit yang dapat membantu untuk
memenuhi

kebutuhan

gaya

hidup

pelanggannya, sekaligus

memberikan

penghargaan dan ekspresi diri pemegangnya. Dengan memegang Kartu Kredit


Platinum Citibank, kita akan merasa masuk sebuah komunitas elit dengan prestis
dan status tertentu (Kartajaya, 2004 : 143).
Proses panjang kehidupan dengan budaya patriarki yang dianut sebagian
besar masyarakat Indonesia, mengakibatkan rendahnya kualitas hidup perempuan
diikuti rendahnya posisi tawar perempuan dalam keluarga. Rendahnya posisi
tawar perempuan dalam keluarga seringkali disebabkan ketergantungan
perempuan di bidang ekonomi dan tidak jarang hal ini menyebabkan perempuan
mengalami tindak ekonomi dan tidak kekerasan dalam rumah tangga (Alam,
2006 : 240). Lain halnya dengan apa yang terungkap sebagai kekuasaan
perempuan yang digambarkan oleh Ayu Utami lewat representasi kemandirian
tokoh Lalita. Citra tokoh Lalita ditampilkan sebagai perempuan yang tidak
ketergantungan pada laki-laki secara ekonomi, secara psikologis bisa bertahan
hidup sendiri, memiliki pekerjaan sebagai kurator dan pemilik galeri internasional
yang dipandang prestise di bidang seni, serta paham akan investasi dan menjadi
financially smart, sehingga melancarkan proses pemberdayaan dirinya dalam
meningkatkan kualitas hidupnya dan meningkatkan posisi tawarnya dalam
keluarga dan masyarakat.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

131

4.2

Analisis Interpersonal
Menurut Halliday (1978 : 112; Santoso, 2012 : 96), bahasa digunakan

untuk mengodekan kekuatan penutur sebagai penyelundup yang ikut campur.


Penutur yang dimaksud jika dikaitkan dengan ranah novel Lalita adalah sang
penulis, yaitu Ayu Utami. Melalui teks yang ditulisnya, Ayu Utami berupaya
memengaruhi sikap pembaca terhadap tokoh Lalita dilihat dari sudut pandang
feminisme. Interaksi-interaksi dalam novel Lalita menjadi susunan kode yang
mewakili penutur dalam memperlihatkan kekuasaan perempuan yang diwakili
tokoh Lalita.
Relasi-relasi yang dibangun oleh Ayu Utami sebagai penulis mencakup
relasi lewat narasi, relasi lewat dialog, dan relasi lewat tokoh-tokoh lain dalam
novel Lalita yang semua mengarah kepada pembentukan kesan tentang tokoh
Lalita sebagai representasi kekuasaan perempuan.

4.2.1

Relasi Lewat Narasi


Narasi dalam novel menjadi media yang bertugas memberi deskripsi

tentang informasi yang ingin disampaikan oleh penulis novel. Pikiran dan
perasaan penulis dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk paragraf, salah
satunya adalah paragraf narasi. Narasi adalah penceritaan suatu kejadian secara
runtut sesuai urutan waktu. Jadi, narasi mempunyai ciri sebagai berikut:

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

132

1. Adanya unsur perbuatan atau tindakan;


2. Adanya unsur rangkaian waktu, informatif;
3. Adanya sudut pandang penulis.
Narasi bertujuan menggugah pikiran pembaca untuk mengetahui apa yang
dikisahkan dalam novel (Kusmayadi, 2008 : 34). Dengan demikian, pembaca
dapat memperoleh pengetahuan yang luas mengenai apa yang dibacanya,
termasuk pembentukan karakter tokoh sesuai yang diinginkan penulis novelnya.
Lewat narasi, penulis berusaha memberikan makna pada peristiwa atau kejadian
itu sebagai suatu pengalaman yang berkaitan dengan peran si tokoh yang
diceritakan. Bagaimana cara Ayu Utami membangun relasi dengan pembaca
novelnya adalah lewat pemaparan langsung dalam bentuk narasi. Sehubungan
dengan tema kekuasaan perempuan yang direpresentasikan oleh tokoh Lalita, Ayu
Utami menceritakan karakter tokoh tersebut secara langsung lewat narasi. Salah
satu contohnya pada teks narasi berikut ini.
Ia seperti tahu bahwa kehadirannya selalu menjadi ancaman bagi
para wanitaatau ia merasa demikian, atau ia membuat demikian.
Ia seorang primadona. La femme fatale. Tapi ia memang tidak
suka berbagi. Ia suka memberi, sejauh itu menjamin statusnya.
Tetapi pasti ia tidak nyaman jika orang tidak melongok padanya.
Ia sangat tidak bahagia jika pria yang ia sukai tidak memberikan
perhatian sepenuhnya pada dia. Ia adalah seorang rani. Ia
percaya bahwa dalam kehidupan sebelumnya ia adalah seorang
ratu. Kepercayaan itu mewujud pada sikap tubuhnya (Utami, 2012
: 24)

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

133

Melalui teks narasi di atas, Ayu Utami mengutarakan penggambarannya


tentang tokoh Lalita Vistara, seperti menyampaikan langsung kepada pembaca
novel Lalita bahwa sosok tokoh perempuan ini sengaja menampilkan diri secara
maksimal karena haus perhatian, dan sosoknya begitu mengandung kesan penuh
kekuasaan hingga diibaratkan seperti seorang ratu yang berkuasa dan memegang
jabatan lebih tinggi daripada orang-orang lain, hingga kehadiran Lalita yang
begitu menonjol dan menarik perhatian dianggap sebagai ancaman bagi
perempuan lain. Didukung oleh relasi yang dibangun lewat narasi dari sudut
pandang tokoh lain mengenai Lalita yang dibuat Ayu Utami, sebagaimana yang
tergambar pada narasi berikut ini.
Para grupies tidak tahan melihat seorang perempuan berlagak
sebagai rani. Apalagi sambil perempuan itu percaya bahwa ia
memang reinkarnasi seorang ratu, dan memandang yang lain
sebagai reinkarnasi hamba sahaya (Utami, 2012 : 24)

Sikap Lalita dalam menjalin interaksi dengan lingkungannya dituturkan


oleh Ayu Utami lewat narasi, seolah-olah sang penulis mendeskripsikan
pendapatnya tentang tokoh Lalita secara langsung kepada pembaca novelnya,
menjadikan tokoh Lalita seakan-akan hidup dengan segala ciri khas dirinya,
menjadi sosok yang dicintai karena keindahan dirinya sekaligus dibenci tokoh
lainnya karena sikapnya yang melambung terkesan merendahkan orang lain.
Narasi yang ditulis oleh Ayu Utami merupakan upaya mengubah cara pandang
pembaca mengenai Lalita. Dengan membaca narasi seperti pada penggalan teks di
atas, pembaca novel Lalita akan memperoleh kesan bahwa Lalita adalah seorang

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

134

perempuan yang secara sengaja membentuk pencitraan dirinya dengan


mengeksklusifkan diri lewat penampilan dan sikap yang menonjolkan dirinya.
Eksistensi tokoh Lalita disuguhkan oleh Ayu Utami lewat narasi dan pembaca
novel Lalita bisa menyetujuinya dengan mengikuti jalinan relasi yang dibangun
langsung oleh penulis novelnya tersebut.
Melalui narasi seperti yang dicontohkan penggalan teks di atas, Ayu
Utami mengontak pembacanya dengan menceritakan bagaimana sikap Lalita
dalam membentuk jati dirinya sendiri sehingga membuat profilnya tampak seperti
seorang primadona. Cara-cara yang tokoh Lalita lakukan untuk merepresentasikan
kekuasaan perempuan disampaikan oleh Ayu Utami lewat narasi penokohan itu,
membuat pembaca memahami penggambaran karakter Lalita yang jadi inti cerita.
Ayu Utami membuat pembaca novelnya merasa seperti berkesempatan menemui
Lalita secara langsung dan memperhatikan sosoknya dengan seksama sampai
membentuk kesan tersendiri mengenai kepribadian tokoh Lalita.
Dalam Lalita, Ayu Utami juga menghadirkan wacana kekuasaan
seksualitas. Ia menunjukkan keberaniannya mengungkap cerita mengenai
hubungan seksual, sesuatu yang hingga saat ini masih dianggap hal yang tabu
untuk dibicarakan. Tetapi Ayu Utami mampu menyampaikan deskripsinya lewat
narasi dengan gaya bahasa yang baik, seperti penggalan teks berikut ini.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

135

Perempuan Indigo menamainya axis mundi kecil. Ialah celah


lembut di antara tonjolan leher rahim dan dinding terdalam
vagina. Tapi, untuk mencapainya, kedua pihak harus menjadi
feminin dan maskulin sekaligus. Titik ini mensyaratkan
keseimbangan dan tak memungkinkan dominasi. Hubungan seks
bisa saja terjadi oleh pemerkosaan, atau persetubuhan yang
dangkal, dan sebagian pelakunya mengatakan itu nikmat juga, tapi
axis mundi hanya bisa dicapai oleh kesetaraan antara lelakiperempuan secara mental maupun fisik (Utami, 2012 : 32).

Penggalan adegan di atas memberikan gambaran tersirat mengenai


kesetaraan antara perempuan dan laki-laki yang disampaikan Ayu Utami lewat
narasi tentang sikap Lalita dalam melakukan hubungan seksual. Secara langsung
kepada pembaca novelnya, Ayu Utami ingin menyampaikan bahwa hubungan
seksual yang murni bukanlah yang didominasi oleh salah satu pihak. Konstruksi
yang dibangun oleh masyarakat membentuk anggapan bahwa perempuan ideal
adalah sosok yang pasif dan penurut, termasuk untuk urusan hubungan seksual.
Sering kali yang terjadi, perempuan hanya dijadikan objek kepuasan seksual bagi
lelaki, tanpa mementingkan kepuasan pribadinya. Pandangan Ayu Utami yang
tergambar pada contoh narasi di atas, ingin menyampaikan ide tentang kesetaraan,
bahwa tidak ada satu pihak pun yang boleh lebih dominan dibandingkan pihak
lainnya karena baik perempuan atau laki-laki dua-duanya sama berkedudukan
sebagai subjek.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

136

4.2.2

Relasi Lewat Dialog


Dialog dibuat guna membantu teknik penulisan dalam novel. Dialog

adalah salah satu perwujudan ekspresi yang disampaikan oleh tokoh-tokoh secara
langsung. Pusat gravitasi novel bisa berpindah ke dialog, menjadikan
keberadaannya cara terbaik menghidupkan novel. Dialog merupakan salah satu
perwujudan gerakan batin, penggerak emosi pembaca novel. Ayu Utami sebagai
penulis novel Lalita menyisipkan pemikirannya tentang penokohan Lalita lewat
dialog yang diceritakan terucap dari mulut Lalita dan terjalin dengan karakter
tokoh lainnya, sehingga dapat menimbulkan kesan tersendiri di benak pembaca
novel Lalita mengenai profil Lalita Vistara, seperti contoh berikut ini.
Musik?
Apa saja.
Perempuan itu menyetel sesuatu yang terlalu canggih untuk
dikenal Yuda.
Kamu mau kopi atau absinthe?
Yang terakhir.
Yuda menjawab begitu cepat. Barangkali
ketidaktahuannya tentang lagu yang diputar itu.

ia

menutupi

Perempuan itu tertawa kecil, ramah.


Kamu tahu apa itu absinthe? perempuan itu bertanya. Matanya
mengerling.
Tidak tahu.
Si perempuan tertawa lepas. Bagus. Memang tidak semua hal
perlu diketahui. (Utami, 2012 : 29)

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

137

Melalui dialog di atas, Ayu Utami menampakkan kepada pembaca


novelnya bahwa pengetahuan Lalita jauh melebihi pengetahuan Yuda. Perkataan
Lalita kepada Yuda menunjukkan bahwa dirinya lebih tahu daripada laki-laki itu.
Sambil tertawa kecil, Lalita menampilkan kepercayaan diri bahwa dirinya lebih
modern dan lebih canggih daripada pengetahuan yang selama ini Yuda simpan di
otaknya. Lalita lewat dialog tersebut digambarkan mengenal jenis musik yang
dianggap terlalu canggih bagi selera Yuda yang biasa-biasa saja, serta jenis
minuman kelas atas yang hanya diketahui oleh kalangan tertentu. Lalita dalam
dialog tersebut menyatakan bahwa apa yang diketahui olehnya tidak perlu
diketahui oleh Yuda, bahwa tidak semua hal perlu diketahui oleh laki-laki yang
biasanya selalu dianggap lebih tahu dari perempuan. Sikap Lalita yang
ditampilkan lewat rentetan dialog oleh Ayu Utami mengubah pandangan pembaca
novelnya sehingga membentuk gambaran kesan bahwa sosok Lalita adalah
seorang perempuan yang lebih unggul daripada laki-laki.
Dialog yang dibuat antara Lalita dan tokoh pendukung dalam novel Lalita
dibuat oleh Ayu Utami sebagai relasi untuk menggiring emosi pembaca agar lebih
merasa memahami posisi Lalita dan mengenal karakternya. Dialog-dialog yang
melibatkan emosi pembaca menimbulkan kesan bahwa Lalita seolah bicara dan
mempresentasikan kepribadiannya secara langsung. Pembaca novelnya dapat
mengemban empati lewat dialog-dialog yang menggambarkan sikap serta cara
Lalita berinteraksi di lingkungannya, menyebabkan pergeseran cara pandang
tentang seorang perempuan yang menguasai situasi dengan kemampuan yang ada
di dirinya.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

138

4.2.3

Relasi Lewat Tokoh-tokoh Lain


Relasi yang dibangun oleh penulis novel Lalita dengan pembaca novelnya

sehubungan dengan penggambaran karakter tokoh Lalita Vistara tidak hanya


disampaikan lewat narasi dan dialog, tetapi Ayu Utami juga menyusupkan
pendapat serta pemikirannya sebagai pembangun karakter Lalita lewat tokohtokoh lain yang terdapat dalam novel Lalita. Ayu Utami menggiring pembaca
novelnya membangun makna yang lebih mendalam tentang eksistensi Lalita
Vistara dengan menceritakan bermacam lika-liku sudut pandang tokoh lainnya
tentang Lalita.
Ada tiga tokoh pendukung yang diceritakan Ayu Utami berinteraksi
dengan Lalita sepanjang plot novel, yaitu Sandi Yuda, Janaka, dan Marja. Lewat
sudut pandang masing-masing tokoh tersebut, Ayu Utami meyakinkan khalayak
soal wacana kekuasaan perempuan yang terkandung dalam penokohan Lalita.
a. Sandi Yuda
Lalita menjaga komunikasi dengan tokoh lain, salah satunya yang terdekat
adalah Sandi Yuda, atau yang dipanggil Yuda. Kesetaraan gender yang
merupakan benang merah dari cerita novel ini tersirat pula pada adegan yang
terjadi setelah Yuda menyelamatkan Lalita dari tragedi melayangnya piala anggur
yang nyaris mengenai perempuan itu. Sebagai imbalannya, Lalita mengajak Yuda
menginap di rumahnya. Ajakan itu sangat mengejutkan bagi Yuda yang
sebelumnya menganggap perempuan tidak akan seberani itu dan selalu bisa
ditebak, tetapi Lalita adalah pribadi yang tidak tertebak. Selanjutnya, hubungan

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

139

keduanya semakin intens, malah terus berkembang dari hubungan pertemanan


menjadi hubungan badan bagaikan suami-istri. Namun hierarki status sosial yang
terbentang di antara dua jenis kehidupan mereka tetap jadi membuat Yuda
berpikir ada jembatan yang memisahkan kedekatan mereka, seperti gambaran
relasi penulis novel Lalita dengan pembaca yang disampaikan lewat tokoh Sandi
Yuda.
Ketika diskusi telah usai, ia disergap enggan untuk menghampiri
Lalita. Ada yang mencekat. Tiba-tiba Lalita tampak begitu
gemerlap dan ia anjing kampung yang dicaci. Tiba-tiba ia merasa
bahwa birahi yang ada di antara mereka sangat dalam dan
rahasia. Gelap. Axis mundi kecil itu, yang mensyaratkan
keseimbangan penuh antara lelaki dan perempuan, dan yang
mereka bisa mencapainya ah, itu hanya diizinkan di kamar gelap
yang tak diketahui. Di tempat yang seutuhnya kedap. Sebuah
rahim buatan yang kejam. Di luar itu adalah dunia yang berbeda.
Di luar itu tidak ada kesetaraan. Sang Wanita bagai ratu. Ia, Sandi
Yuda, hanyalah ponggawa yang bisa dipanggil atau dibuang
sesukanya (Utami, 2012 : 76).

Relasi yang dibangun oleh Ayu Utami sebagai penulis novel Lalita dengan
pembaca novelnya dipresentasikan lewat sudut pandang tokoh lain. Lalita dengan
penilaian dari mata Sandi Yuda dapat menjadi aspek pendukung dalam
membentuk kesan tentang karakter tokoh Lalita. Yuda sebagaimana diceritakan
oleh Ayu Utami adalah seorang mahasiswa yang gemar mendaki gunung, ia
dipekerjakan oleh Oscar, Direktur Galeri Foto Jurnalistik Antara, untuk mengajari
para fotografer mengambil gambar di ketinggian. Yuda sebagai anak muda yang
masih kuliah memiliki perasaan bahwa Lalita melebihinya dalam semua hal dan
di segala bidang, sehingga Yuda mengiyakan bahwa profil dirinya hanyalah

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

140

bagaikan seorang ponggawa istana yang tidak pantas bersanding dengan Lalita
yang bagaikan seorang ratu di depan umum.
Diskusi tentang karya foto Kassian Kephas yang diceritakan dari sudut
pandang Yuda seperti penggalan teks di atas dipimpin oleh Lalita. Perempuan itu
menjelaskan filsafat Candi Borobudur menggunakan bahasa Inggris di depan para
tamu penting, sementara Yuda yang berdiri di antara para pengunjung tidak
mampu mengikuti paparan ilmu yang diterangkan oleh Lalita. Gambaran yang
dideskripsikan lewat adegan yang dialami dan dipikirkan oleh tokoh Yuda ini
tetap disisipi oleh pemikiran Ayu Utami sebagai penulis yang hendak mengubah
pandangan pembaca novelnya bahwa tokoh Lalita memang seorang perempuan
intelektual. Pengetahuan yang dimiliki Lalita membuat Yuda tidak mampu
mengejarnya, menegaskan bahwa eksistensi Lalita jauh lebih menonjol sebagai
seorang perempuan.
Melalui tokoh Yuda, Ayu Utami membangun relasi dengan pembaca novel
Lalita tentang bagaimana pantasnya seorang laki-laki berpikir mengenai
hubungan yang dimiliki dengan seorang perempuan. Hierarki berperan di wacana
ini, diwakili oleh tokoh Sandi Yuda yang merasa kalau hubungan intim yang
dijalinnya dengan perempuan kelas atas seperti Lalita hanya terjadi dan diketahui
antara mereka berdua saja, sebab jika diumbar ke publik maka masyarakat akan
mencibir Yuda, menduga kalau Yuda hanya bermimpi menjalin hubungan dengan
perempuan seperti Lalita. Yuda pun digambarkan gelisah memikirkan betapa
Lalita sangat berkuasa membawa dirinya dan melakukan apapun yang
diinginkannya kepada Yuda tanpa mendapat perlawanan sama sekali dari Yuda.
www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

141

Relasi yang dibangun oleh Ayu Utami lewat tokoh Sandi Yuda mengukuhkan
bahwa eksistensi Lalita berbasis feminisme.
Malam itu, jika ada yang gelisah, maka lelaki muda itulah yang
gelisah. Ia tak bisa tertidur juga. Ia merasa gerah, meski
pendingin menyala. Ada rasa aneh dan tak rela. Ia malu
mengakuinya, bahkan pada diri sendiri. Ia merasa dipakai. Dan
begitu mudah ia dipakai. Ah, ia bisa saja sesumbar telah meniduri
seorang perempuan berkelas. Ia bisa saja membanggakan betapa
tante keren kaya itu ngebet padanya dan mengerinjal-gerinjal,
seperti yang ada dalam cerita porno picisan. Dan, walau dua
puluh tahun lebih tua, tubuh Lalita cantik matang. Tapi, yang
terjadi tidak seperti itu. Perempuan itulah yang menungganginya
lebih dulu, setelah membawanya tanpa ia melakukan perlawanan
sama sekali (Utami, 2012 : 35).

Kekuasaan perempuan yang direpresentasikan tokoh Lalita Vistara


mendapat penggambaran yang mendukung lewat pemaparan pendapat dan
pemikiran tokoh Sandi Yuda. Seorang perempuan yang cerdas dan berstatus sosial
kelas atas seperti Lalita membuat seorang pemuda biasa seperti Yuda tidak
percaya diri disandingkan dengan Lalita. Selain itu, relasi yang dibangun oleh
Ayu Utami melalui medan tokoh Yuda menggiring pembaca novelnya menyetujui
bahwa penampilan fisik Lalita di usianya yang berkepala empat pun masih
memiliki andil sebagai aspek kekuasaan yang dapat dipergunakan Lalita untuk
mendapatkan apapun dan siapapun yang diinginkannya.
b. Janaka
Tokoh lainnya yang berperan besar mengantarkan informasi penting
tentang sosok Lalita adalah tokoh sang kakak laki-laki. Ayu Utami sebagai
penulis novel Lalita membangun relasi dengan pembaca novelnya lewat
www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

142

pemaparan sudut pandang kakak laki-laki Lalita yang bernama Janaka. Suatu
adegan yang melibatkan Janaka dan Sandi Yuda menjelma sebagai medan
informasi yang menjelaskan identitas Lalita yang merepresentasikan kekuasaan
perempuan, sebagaimana yang ditulis Ayu Utami berikut ini.
Percayakah kamu, Yuda? Setiap sekitar lima abad ia, kami, lahir
kembali? Kami lahir kembali di tempat yang sama, untuk
melanjutkan perseteruan kami. Janaka menghabiskan sisa tawa
sataniknya. Pria itu memandang ke arah pagar terjauh, seolah
menggumam pada diri sendiri sambil menggeleng-gelengkan
kepala: Abad ke-5 bertempat di Sriwijaya-Nepal. Menjelang
katakanlah abad ke-10 cerita berlokasi di Jawa Tengah. Abad ke15 di Transylvania. Abad ke-20 kembali ke Nusantara. Jika
demikian, kami berdua pasti akan lahir lagi di abad ke-25, entah
di mana. Mungkin di Afghanistan, tempat ada patung-patung
Buddha tertatah pada tebing batu... (Utami, 2012 : 49).

Kekuasaan perempuan yang direpresentasikan oleh Lalita dengan bersikap


seakan dirinya seorang ratu yang berstatus lebih tinggi dibandingkan orang-orang
di sekitarnya dipengaruhi oleh latar belakang kehidupannya. Lalita diceritakan
sebagai seorang perempuan indigo yang pernah hidup di beberapa zaman sebelum
hidup jadi Lalita Vistara pada zaman sekarang di Indonesia. Melalui tokoh
Janaka, Ayu Utami membangun relasi dengan pembaca novelnya tentang
kepribadian Lalita dari sudut pandang seorang yang selalu hidup berdampingan
sekaligus bermusuhan dengannya. Mengandung tujuan untuk menggeser
pandangan pembaca novelnya mengenai tokoh Lalita, Ayu Utami memunculkan
ide-idenya lewat penokohan Janaka, yang mana disertakan pula penjelasan yang
menimbulkan kesan bahwa Lalita merupakan perempuan yang tidak mau kalah
oleh laki-laki.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

143

Selama berkali-kali reinkarnasi di zaman yang berbeda, hidup Lalita


diceritakan selalu bersinggungan dengan Janaka, meski peran mereka di setiap
zaman berbeda-beda dan bertolak belakang. Janaka membeberkan kisah hidup
Lalita dimulai pada abad ke-5, di kerajaan di Sumatera Selatan, di mana ada pusat
pengajaran Buddhisme. Semacam universitas yang hebat dengan studi agama
yang sangat menonjol ketika itu. Begitu majunya sampai-sampai para biksu dari
India dan Cina datang ke negeri Pulau Emas untuk belajar dan menyalin kitabkitab. Demikian mengagumkan, maka ajaran dari perguruan itu dibawa ke Nepal
dan berkembang di sana, menyebabkan Buddhisme Nepal hari ini memiliki jejakjejak ajaran yang dulu terdapat di Nusantara. Janaka menyinggung soal Lalita
yang begitu percaya bahwa dirinya pernah hidup pada zaman itu, seribu lima ratus
tahun silam, dan mempelajari ajaran-ajaran Buddhisme tersebut serta mengetahui
suatu rahasia yang sangat hebat. Lalita merasa tahu bahwa Buddhisme di Nepal
ini telah membikin lingkaran penuh, artinya ajaran ini telah berkelana dari India,
ke Cina, lalu ke Nusantara, dan kembali lagi ke tempat di mana India dan Cina
bertemu, yaitu Nepal.
Tetapi ketika itu Lalita yang hidup sebagai biksu pada akhirnya mati
sambil mengemban tugas suci yang belum selesai. Tugas suci itu adalah
pembangunan Borobudur yang rahasianya berhubungan dengan ajaran Buddha
yang telah membikin lingkaran penuh tadi. Maka, penjelasan dari sudut pandang
Janaka pun melebar kepada reinkarnasi Lalita yang pertama demi mengemban
tugas suci, yaitu lahir kembali pada abad ke-9 di Pulau Jawa, sebagai putri dalam
dinasti Syailendra.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

144

Itu pun tidak cukup, lanjut Janaka. Kita perlu drama. Sang
putri, yang bertanggungjawab untuk tim pemahat dan pematung,
akhirnya wafat dalam suasana permusuhan dengan pemimpin tim
teknik sipil. Yaitu aku! Sebab akulah yang memerintahkan
penutupan relief Karmawibangga dengan alasan teknik
silpasastra. Kamu tahu apa itu silpa-sastra? Itu teknik bangunan
kuno India. Tahu teknik sipil ya? Sipil dan silpa datang dari akar
kata yang sama.
Ia kalah dalam perseteruan. Terbukti dengan terkuburnya relief
Karmawibangga. Sampai sekarang relief tentang hukum karma itu
pun masih terkubur dalam damai. Ia menuduh aku sengaja
membiarkan para pemahat menatah pada dinding yang salah. Ia
menuduh aku sengaja baru memberitahukan kesalahan itu ketika
seluruh panil hampir terpahat dengan sempurna. Ia menuduh aku
sengaja menimbulkan pemberontakan para seniman sehingga
mereka tidak mau memahat ulang pada batu yang benar. Ia
menuduh aku memang memiliki rencana untuk menggagalkan
misinya. Pendek kata, dengan demikian tugas sucinya belum
selesai. (Utami, 2012 : 47).

Ayu Utami menegaskan profil Lalita sebagai seorang seniman melalui


relasi yang dipresentasikan oleh tokoh Janaka, begitu pula dengan karakter
perempuan yang kerap ingin menguasai keadaan tempatnya berada. Perseteruan
antara Lalita dan Janaka yang diceritakan Ayu Utami lewat sudut pandang Janaka
semakin membentuk kesan di benak pembaca novelnya tentang eksistensi Lalita
dengan kekuatan karakter yang tidak mau begitu saja tunduk dan menuruti
kehendak orang lain, terutama kaum laki-laki, jika itu memang bertentangan
dengan keinginannya. Kedekatan intelektual Lalita dengan Candi Borobudur
sebagaimana yang digambarkan melalui sudut pandang Janaka menegaskan pula
perihal aksinya menyelenggarakan pameran foto karya Kassian Kephas yang
bertemakan Karmawibangga, relief yang diperseterukan oleh Lalita dan Janaka
pada masa lampau.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

145

Perempuan itu begitu penuh gairah menjelaskan Borobudur.


Barangkali untuk mengalihkan kegeraman karena dinomerduakan.
Barangkali juga karena perempuan ini percaya bahwa ia pernah
hidup di abad ke-9 dan menjadi saksi penciptaan karya agung itu
(Utami, 2012 : 19).

Penggunaan tokoh Janaka untuk menyumbang rincian mengenai karakter


yang menguatkan penokohan Lalita dipengaruhi juga oleh karakterisasi Janaka
sendiri. Maka dari itu, pembaca novel Lalita digiring untuk menilai sikap Lalita
dari sudut pandang yang berbeda-beda, yang dikemas oleh Ayu Utami sesuai
pembawaan tokoh yang menceritakannya. Masing-masing tokoh memberi
sumbangan ide tentang sosok Lalita Vistara. Janaka digambarkan sebagai kakak
laki-laki Lalita, tetapi terus-menerus berseteru karena perbedaan pendapat yang
signifikan dengan Lalita. Dari sudut pandang Janaka, Ayu Utami menyampaikan
penilaian bahwa Lalita adalah seorang perempuan yang susah-payah membentuk
identitasnya sendiri untuk ditampilkan kepada dunia agar melancarkan hasratnya
atas akses kekuasaan. Dimulai dari mengubah nama pemberian orang tua mereka.
Janaka menceritakan bahwa nama asli adik perempuannya adalah Ambika Putri
Nataprawira, nama yang berasal dari epik Hindu-Mahabharata. Tetapi kemudian
ia tertarik kepada Buddhisme, dan ia mengganti namanya jadi Lalita Vistara.
Orang tentu boleh memilih namanya sendiri. Sama seperti orang
berhak mengubah nasib mereka. Tapi orang yang tidak mau
mengakui nama pemberian orang tuanya, ia menyimpan sejenis
megalomania tersendiri, Yuda. Suara Janaka kini berubah nada
menjadi prihatin (Utami, 2012 : 44).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

146

Kekuasaan yang tergambar dari karakter tokoh Lalita memungkinkan


adanya kesan yang ditangkap pembaca tentang megalomania. Ayu Utami
menegaskan kemungkinan itu kepada pembaca novelnya lewat penuturan tokoh
Janaka. Istilah megalomania mengacu pada dorongan kuat yang terjadi secara
patologis, agar mencari kekuasaan (Sunaryo, 2002 : 31). Pendapat sepihak Janaka
yang menduga Lalita mengidap megalomania disodorkan sebagai pilihan ciri dari
Ayu Utami tentang penokohan Lalita. Bahkan melalui tokoh Janaka pun Ayu
Utami lebih menjelaskan akibat yang akan diperoleh tokoh lain jika berhubungan
dengan Lalita, seperti yang tergambar pada teks berikut ini.
Segala identitas yang ada padanya adalah yang ia bangun dan
ciptakan untuk ditampilkan kepada dunia. Tetapi di balik itu yang
ada adalah suatu lubang hitam yang tak akan pernah kenyang
menyedot energi dari luar (Utami, 2012 : 50)

Lewat deskripsi yang diwakili oleh tokoh Janaka, Ayu Utami menambah
referensi karakter bagi pembaca novelnya untuk mengambil makna tentang hidup
Lalita. Janaka mempengaruhi tokoh lain agar percaya bahwa Lalita adalah seorang
perempuan yang haus perhatian, yang tidak akan kenyang seberapapun orang lain
mencurahkan perhatian padanya, dan Janaka memperingati Yuda bahwa Lalita
akan membuatnya merasa letih karena menghabiskan energi anak muda itu. Dari
sudut pandang Janaka, kesan yang tertangkap oleh pembaca mengenai tokoh
Lalita akan mungkin bergeser sesuai ide-ide yang diutarakan Ayu Utami melalui
tokoh Janaka ini. Hanya saja kedua tokoh tersebut selalu ditampilkan pro-kontra
satu sama lain. Ayu Utami tetap membangun relasi dengan pembaca novelnya

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

147

mengenai pembelaan Lalita yang digambarkan tidak sependapat dengan


pendeskripsian Janaka tentang dirinya, sebagaimana yang digambarkan oleh Ayu
Utami lewat dialog berikut ini.
Salah satu di antara kami keluar lebih dulu, tentu saja. Konon,
yang lahir lebih dulu itulah yang adik. Tapi, sesungguhnya, aku
tak tahu siapa yang muncul lebih dulu. Itu rahasia orang tua kami.
Dia mengklaim sebagai kakak, sebab dia laki-laki. Baginya lelaki
lebih senior daripada perempuan. Dan kau tahu, yang diinginkan
lelaki hanyalah kekuasaan. (Utami, 2012 : 59)

Ayu Utami menggambarkan Lalita sebagai perempuan yang tidak mau


tunduk pada konstruksi sosial tentang perempuan yang selalu menjadi objek atas
kekuasaan laki-laki yang dibentuk dan diulang-ulang oleh masyarakat. Lalita
diceritakan tidak memiliki jalan pikiran yang sama dengan saudara lelakinya,
Janaka bagi Lalita bukanlah seorang yang pemikirannya patut dipertimbangkan.
Seperti dasar pemikiran Simone de Beauvoir (Arivia, 2003 : 19) dalam kerangka
feminisme eksistensialis bahwa perempuan menuntut eksistensinya, apa yang
mereka tuntut adalah diakui sebagai makhluk yang bereksistensi dan yang
mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dan tidak mensubordinasikan
eksistensi pada hidup, manusia dan sifat dasariah binatang.
Melalui representasi tokoh Janaka, Ayu Utami membeberkan cara
pandang seorang saudara lelakinya mengenai kepribadian Lalita, dapat
menjadikan pola pikir pembaca novelnya pun bergeser seiring pengaruh dari
pemikiran Janaka. Ayu Utami sendiri lalu menyampaikan sangkalan atas pendapat
Janaka lewat tokoh Lalita, sekaligus menampilkan kesan permusuhan yang

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

148

disebabkan oleh penolakan Lalita terhadap sikap abangnya yang menjadikan


dirinya objek. Lalita digambarkan menolak dijadikan the Other, sebab persoalan
the Other ini sendiri dimulai ketika perempuan mulai mempercayai bahwa ia
makhluk yang perlu dilindungi karena lemah dan mulai berpikir bahwa ia tidak
dapat hidup tanpa seorang laki-laki, apalagi bila ia yakin bahwa ia adalah bagian
dari laki-laki (diciptakan dari tulang rusuk laki-laki). Maka dari itu, Lalita
sebagaimana yang digambarkan oleh Ayu Utami dengan relasi lewat tokoh Janaka
tidak menyetujui dirinya didefinisikan berdasarkan pendapat saudara laki-lakinya.
c. Marja
Marja Manjali, kekasih Sandi Yuda, turut terlibat dalam permasalahan
dengan Lalita Vistara. Marja diceritakan oleh Ayu Utami terjerumus ke dalam
kemelut hidup Lalita sejak mengetahui kekasihnya memiliki hubungan gelap
dengan Lalita dan akhirnya Marja pun terlibat dalam masalah perebutan Kitab
Indigo antara Lalita dan saudara laki-lakinya. Marja adalah tokoh yang berlatar
belakang mahasiswi seni rupa ITB yang sempat bekerja di Lalitas Artspace,
galeri seni kepunyaan Lalita, demi tujuan menyelidiki identitas perempuan itu.
Ayu Utami memberi porsi yang cukup banyak bagi tokoh Marja untuk
menyampaikan pendapatnya mengenai Lalita, sebagai sarana membangun relasi
lainnya dengan pembaca. Salah satu adegan yang menggambarkan profil Lalita
dari sudut pandang Marja tertera pada teks berikut ini.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

149

Marja selalu punya mata untuk menambahkan meskipun dan


tetapi dalam menerima kecantikan saingannya yang cukup
menyakitkan hati. Dengan rasa luka ia berkata pada diri sendiri
bahwa agak wajarlah Yuda terjerat oleh Lalita. Ia boleh
menghibur diri dengan berkata bahwa saingannya adalah
perempuan punya kelas. Bukan perempuan sembarangan. Itu
membuat harga dirinya tidak jatuh (Utami, 2012 : 210).

Melalui tokoh Marja, Ayu Utami menyusupkan sudut pandang seorang


perempuan lain tentang identitas Lalita, bagaimana perempuan lain berpikiran
soal sosok perempuan seperti yang direpresentasikan oleh tokoh Lalita.
Representasi kecantikan yang diangkat sebagai salah satu aspek kekuasaan
perempuan ditegaskan oleh sikap Marja terhadap informasi yang diketahuinya
tentang Lalita.
Ungkapan meskipun yang digunakan Marja berkata dasar meski, dan
menurut KBBI daring memiliki definisi kata penghubung untuk menandai
perlawanan makna; walaupun; sungguhpun16. Ayu Utami membuat tokoh Marja
melakukan penyangkalan mengenai penampilan fisik Lalita yang masih cantik di
usia kepala empat, nyaris sama memukau seperti dirinya yang berusia dua
puluhan, dengan pemikiran Marja yang menyiratkan perasaan berbesar hati
sebagaimana yang digambarkan pada teks di atas. Tetapi dalam KBBI daring
juga diartikan sebagai kata penghubung intrakalimat untuk menyatakan hal yang
bertentangan atau tidak selaras17. Ayu Utami membangun relasi dengan pembaca
novelnya

lewat

tokoh

Marja

mengenai

responsnya

16

http://kbbi.web.id/meski, diakses tanggal 25 Juni 2014, pukul 09.24 WIB.

17

http://kbbi.web.id/tetapi, diakses tanggal 25 Juni 2014, pukul 09.32 WIB.

www.vincacallista.tumblr.com

terhadap

situasi

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

150

perselingkungan yang dilakukan oleh seorang kekasih seperti Sandi Yuda dengan
perempuan lain, yaitu Lalita. Marja digambarkan berusaha berbesar hati karena
perempuan lain yang menjadi saingannya bukanlah perempuan biasa-biasa saja,
melainkan perempuan yang spesial, seorang perempuan berkelas.
Biasanya reaksi individu terhadap ancaman ketidaksenangan dan
pengrusakan yang belum dihadapinya ialah menjadi cemas atau takut. Apabila
kecemasan timbul, maka itu akan mendorong orang untuk melakukan sesuatu
supaya tegangan dapat dikurangi atau dihilangkan. Ayu Utami menggambarkan
lewat tokoh Marja bahwa langkah yang diambil oleh perempuan muda itu untuk
mengurangi atau bahkan menghilangkan kecemasannya berkenaan dengan
perselingkuhan Yuda adalah mencari tahu jati diri perempuan selingkuhannya.
Yang mana cara tersebut mengantar Marja kepada pengenalan dirinya dengan
profil diri Lalita yang memang menjadikan kecemasannya berkurang, sebab
kapabilitas Lalita memberi pengaruh kepada kesan perselingkuhan yang
disembunyikan Yuda darinya.
Nilai diri yang terkandung pada sosok Lalita tersirat dapat melambungkan
pula nilai diri orang-orang yang terkait dengannya. Sebagaimana digambarkan
oleh Ayu Utami lewat Marja, tokoh mahasiswi tersebut malah jadi memaklumi
kalau kekasihnya tertarik pada Lalita sebab nilai tawar yang dimiliki pribadi
Lalita sangat tinggi, menyebabkan Marja pun menganggap nilai dirinya jadi
terangkat pula jika kekasihnya berselingkuh dengan perempuan dari kelas atas
seperti Lalita. Faktor kekuasaan Lalita lainnya yaitu kecerdasan digambarkan oleh
Ayu Utami berpengaruh pula pada pengetahuan Marja, karena mereka memiliki
www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

151

ketertarikan yang sama di bidang seni dan Marja malah dapat belajar ilmu baru
dari Lalita, seperti pada teks ini.
Dari beberapa proyek yang ada, ia memilih satu, yang
dianggapnya akan mendekatkan dia pada Lalita. Pameran itu
menanggapi peralihan era fotografi kepada digital, yang telah
dirancang lama bersama Lalita sendiri. Marja belajar teknik
kamar gelap. Ia senang karena ia menyusul pengetahuan Yuda. Ia
juga belajar beberapa teori tentang warna, yang mengingatkan ia
kembali pada keajaiban-keajaiban alam. Betapa aneh, warnawarna dalam film negatif adalah warna-warna yang muncul di
pelupuk matamu ketika kau memejam secara seketika. Tapi, anakanak abad digital akan segera kehilangan pengetahuan itu.
Mereka akan tak lagi punya pengalaman dengan film dan negatif.
Anak-anak abad digital akan kehilangan pemahaman mengenai
bayang-bayang, kata sang kurator. Entah kenapa, mungkin
karena cara mengatakannya, kalimat itu menempel di pelupuk
mata Marja: Anak-anak abad digital akan kehilangan pemahaman
mengenai bayang-bayang (Utami, 2012 : 211 212).

Kekuasaan perempuan yang direpresentasikan oleh Ayu Utami lewat


tokoh Lalita dengan memperkuat kesan-kesan yang disumbang dari peran tokohtokoh lain yang menggambarkan pula sosok Lalita. Bertujuan menggeser sudut
pandang pembaca novelnya, Ayu Utami membangun relasi lewat pola pikir
tokoh-tokoh lain dan memperkuat aspek-aspek kekuasaan Lalita yang mencakup
penampilan fisik, kecerdasan, serta kemandiriannya. Ketidaktergantungan Lalita
pada laki-laki yang menyiratkan kemandirian hidupnya pun ditampilkan sebagai
faktor kekuasaan yang mampu melarikan perhatian Marja dari kecemasan akibat
perselingkuhan. Ayu Utami menggambarkannya pada teks berikut ini.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

152

Ia mulai mendengar, Lalita selalu punya hubungan dengan lelaki.


Sebagian besarnya muda. Yuda, tampaknya, hanya salah satu di
antaranya. Pun mungkin bukan satu-satunya dalam suatu kurun
waktu. Pengetahuan itu meluruhkan lagi selapis sakit hati Marja
(Utami, 2012 : 212).

Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat


apa yang disebut sebagai kontrol. Satu orang atau kelompok mengontrol orang
atau kelompok lain lewat wacana. Kontrol di sini tidaklah harus selalu dalam
bentuk fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara mental atau psikis. Kelompok
yang dominan mungkin membuat kelompok lain bertindak seperti yang
diinginkan olehnya, berbicara dan bertindak sesuai dengan yang diinginkan.
Kenapa hanya bisa dilakukan oleh kelompok dominan? Menurut van Djik, mereka
lebih mempunyai akses dibandingkan kelompok yang tidak dominan. Kelompok
dominan lebih mempunyai akses seperti pengetahuan, uang, dan pendidikan
dibandingkan dengan kelompok yang tidak dominan (Eriyanto, 2003 : 12).
Perempuan yang dapat menggunakan akses penampilan fisik yang menarik,
kecerdasan, dan kemandirian, untuk menggerakkan orang lain sejalan dengan
pikirannya, seperti yang digambarkan oleh Ayu Utami pada representasi tokoh
Lalita mengindikasikan bahwa perempuan tersebut memiliki kekuasaan.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

153

4.3

Analisis Ideasional
Komponen ideasional merujuk pada kekuatan makna penutur sebagai

pengamat (Halliday, 1978 : 112; Santoso, 2012 : 96). Hal ini merupakan fungsi ini
dari bahasa atau bahasa sebagai about something. Komponen bahasa ini
menginformasikan bahwa melalui sebuah bahasa seorang penutur akan
menyandikan atau mengodekan pengalaman kultural dan pengalaman individunya
sebagai anggota budaya atau kultur masyarakat tertentu. Topik permasalahan yang
diangkat untuk judul penelitian ini diawali dengan ketertarikan peneliti mengenai
adanya tanda-tanda kekuasaan perempuan yang direpresentasikan oleh Ayu Utami
lewat tokoh Lalita. Adanya hal tersebut membuat peneliti merasa tertarik karena
teks selalu diproduksi dalam konteks sosial, teks selalu dipengaruhi oleh/dan
direproduksi nilai budaya dan mitos dari konteks sosial tempat teks tersebut
diproduksi. Pada sisi inilah peneliti ingin mengaji tentang kekuasaan perempuan
dilihat dari tanda-tanda yang digambarkan oleh Ayu Utami. Ditemukan bahwa
teks dipengaruhi oleh konteks sosial dan konteks budaya tempatnya diproduksi.
Representasi kekuasaan perempuan yang ditemukan pada aspek-aspek
untuk kontrol sosial dalam penokohan Lalita mengacu pada wacana eksistensialis
yang berdasar pada pemikiran Simone de Beauvoir untuk teori feminisme
eksistensialis. Ideologi tentang kekuasaan perempuan yang digambarkan oleh Ayu
Utami dalam novel Lalita ini berkaitan dengan wacana feminisme dan
mengandung penjelasan dari analisis tekstual dan analisis interpersonal yang telah
diungkap sebelumnya.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

154

Dari tema representasi penampilan fisik ditemukan analisis tekstual tandatanda kekuasaan perempuan dilihat dari tubuh yang ramping, kulit kuning langsat,
kuku-kuku bercat, jari-jari yang panjang dan lentik, dan memiliki rambut yang
bagaikan benang-benang sutra. Simone de Beauvoir menyatakan bahwa
perempuan adalah kandungan, sebagai penjelasannya tentang bagaimana
sulitnya bagi perempuan untuk menjadi dirinya sendiri, bagaimana kemudian ia
menjadi apa yang disebut sebagai yang lain (the Other). Ia didefinisikan
berdasarkan pendapat laki-laki dan ia mencari restu dari laki-laki. Laki-laki jelas
di sini menjadi subyek, ia absolut sedangkan perempuan adalah obyek atau yang
lain (the Other) (Arivia, 2003 : 122 123). Tetapi tokoh Lalita digambarkan oleh
Ayu Utami sebagai perempuan yang menempatkan posisinya sebagai subjek pada
hubungannya dengan orang lain, terutama dengan kaum laki-laki. Lalita
menentukan sendiri caranya berpenampilan pada usianya yang kepala empat dan
memiliki pendapatnya sendiri dalam bersikap, sebagaimana yang digambarkan
pada teks berikut ini.
Lalita menurunkan Oscar di sebuah mulut jalan yang
menyedihkan. Setidaknya malam itu, di mata Lalita, Oscar tampak
menyedihkan. Setelah itu si perempuan membawa Yuda tanpa
meminta izin lagi. Seorang ratu yang percaya penuh bahwa lelaki
tidak akan menolak ia (Utami, 2012 : 27).

Setiap relasi antarmanusia pada dasarnya diasalkan pada konflik. Konflik


adalah inti dari relasi intersubyektif. Dalam perjumpaan antara subyek atau
kesadaran, masing-masing pihak mempertahankan kesubyekannya. Masingmasing mempertahankan dunianya dan berusaha memasukkan kesadaran lain

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

155

dalam dunianya. Sehingga terjadi usaha untuk mengobyekkan orang lain (Arivia,
2003 : 123). Lalita direpresentasikan oleh Ayu Utami sebagai perempuan yang
menganggap penampilan suatu aspek penting untuk membentuk identitas dan
kepercayaan dirinya dalam berhubungan dengan orang lain, terutama dengan
kaum laki-laki seperti yang tergambar pada teks di atas. Tilaar (1999 : 55)
menyatakan bahwa dari penampilan bisa dilihat apakah seorang perempuan
memiliki kepribadian yang mantap, atau sebaliknya, tidak memiliki keyakinan diri
dan daya pesona. Suatu gambaran positif yang bisa menambah rasa percaya diri.
Kepercayaan diri yang bertambah tentu akan berdampak positif terhadap
kepribadian seseorang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Ayu Utami
menggambarkan adanya pengaruh penampilan fisik Lalita dengan kepercayaan
diri yang tampil dari sikap tubuhnya.
Maka dari itu, analisis ideasional yang ditemukan pada teks tentang
representasi penampilan fisik tokoh Lalita pun sejalan dengan pemikiran Melliana
(2006 : 14 15), bahwa pada umumnya orang berasumsi bahwa perempuan yang
menarik fisiknya tidak hanya digemari dan disukai sebagai pasangan kencan atau
teman, namun juga diasosiasikan dengan hal-hal baik. Misalnya, mereka
dipandang akan lebih sukses dalam kehidupannya, lebih berbakat, lebih sosial dan
lebih percaya diri, sekaligus mendapat perlakuan yang lebih baik di masyarakat.
Dari representasi penampilan fisik tokoh Lalita yang diciptakan oleh Ayu Utami
ditemukan tanda yang mengarah kepada feminisme.
Dari tema representasi kecerdasan ditemukan analisis tekstual tanda-tanda
kekuasaan perempuan dilihat dari kemampuan berbahasa Inggris dan Prancis
www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

156

sebagai bahasa asing, kesukaan membaca sastra dan filsafat, sehingga seorang
perempuan dikategorikan sebagai perempuan yang canggih. Irianto (2006 : 466)
mengemukakan sudut pandang Simone de Beauvoir tentang empat strategi
aktualisasi diri perempuan sebagai langkah penolakan dijadikan Objek adalah
dengan bekerja, menjadi intelektual, menjadi transformator sosial di masyarakat
dan menolak internalisasi Liyan-nya dengan menolak menjadi Objek.
Sehubungan dengan strategi menjadi intelektual, menguasai bahasa asing
seperti yang diterapkan Ayu Utami pada karakter tokoh Lalita membutuhkan
kompetensi dalam berbahasa. Arifuddin (2013 : 115 116) menuturkan bahwa
pemerolehan bahasa kedua memerlukan penguasaan pengetahuan bahasa
(competence) dan penampilan bahasa (performance). Kompetensi mengandung
pemahaman dan produksi bahasa. Kompetensi merupakan proses penguasaan
pengetahuan bahasa. Penampilan bahasa (performance) mengacu kepada
kemampuan pembelajar dalam memahami dan menghasilkan ujaran secara aktual
dalam aktivitas komunikasi. Dalam performasi bahasa pasti terjadi perlibatan
pengetahuan atau kaidah-kaidah bahasa yang dituturkan. Kecerdasan lingustik
yang ditampilkan oleh Ayu Utami lewat tokoh Lalita berkaitan dengan ciri
lainnya, yaitu suka membaca karya sastra dan filsafat. Orang-orang yang
membaca karya sastra dan filsafat perlu memahami esensi dari karya tersebut,
harus memiliki kompetensi linguistik.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

157

Di dalam membaca buku-buku filsafat, ide-ide yang dijabarkan


oleh para filsuf seringkali terkesan absurd, abstrak, terutama jika
disampaikan dengan bahasa yang berbelit-belit. Seringkali,
pembaca akan berjumpa dengan istilah-istilah sulit, kalimatkalimat panjang yang tidak jelas, apalagi jika para filsuf menulis
dengan gaya bahasa kuno yang tidak lagi digunakan sekarang.
Memang, para filsuf seringkali mengandaikan bahwa pembacanya
sudah mengerti beberapa hal dasar terlebih dahulu sebelum
membaca bukunya (Wattimena, 2008 : 25).

Arivia (2003 : 123) mengiyakan bahwa dalam hal relasi antara laki-laki
dan perempuan, laki-laki mengobyekkan perempuan dan membuatnya sebagai
yang lain (Other). Dengan demikian, laki-laki mengklaim dirinya sebagai jati
diri dan perempuan sebagai yang lain, atau laki-laki sebagai subyek dan
perempuan sebagai obyek. Di lain hal, apa yang dituntut dari sudut pandang
feminisme eksistensialis adalah perempuan diakui sebagai makhluk yang
bereksistensi dan yang mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Maka dari
itu, kecerdasan tokoh Lalita sebagaimana yang diceritakan oleh penulis Ayu
Utami menjadi salah satu representasi kekuasaan.
Yuda jadi merasa agak kurang terpelajar. Kenapa pula orang
harus pakai istilah yang susah. Jika ada kata rancang, kenapa
pakai kurator. Tapi ia harus cepat-cepat menghapus jejak
ketidaktahuannya. O ya. Pameran foto apa? Kamu tahu
Kassian Cephas? Sial. Ia tidak tahu juga. Nama itu susah betul.
Rupanya banyak yang ia tidak tahu di dunia fotografi. Ia merasa
terasing lagi. Ia menyesal telah mengajukan pertanyaan yang
hanya menunjukkan ketololannya. Kassian Cephas adalah
fotografer pribumi pertama di Indonesia, kata perempuan itu
bersemangat. Sebagai lelaki, diam-diam Yuda terbiasa tidak
bahagia jika kedapatan kurang tahu dibanding perempuan (Utami,
2012 : 10).

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

158

Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat


apa yang disebut sebagai kontrol. Satu orang atau kelompok mengontrol orang
atau kelompok lain lewat wacana. Kontrol di sini tidaklah harus selalu dalam
bentuk fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara mental atau psikis. Kelompok
dominan lebih mempunyai akses dibandingkan kelompok yang tidak dominan.
Kelompok dominan lebih mempunyai akses seperti pengetahuan, uang, dan
pendidikan dibandingkan dengan kelompok yang tidak dominan (Eriyanto, 2003 :
12). Lalita digambarkan oleh penulis Ayu Utami sebagai seorang perempuan yang
terpelajar dan memiliki banyak pengetahuan, seperti yang diwakili oleh teks yang
menyebutnya sangat canggih. Lalita Vistara sangat canggih (Utami, 2012 : 24).
Canggih memiliki definisi banyak mengetahui atau berpengalaman dan
bergaya intelektual

18

. Bagi perempuan intelektual, mandiri berarti telah

menjadi diri sendiri (Subjek). Maka dari itu, dalam kaitannya dengan analisis
ideasional, teks tentang representasi kecerdasan pada tokoh Lalita mengandung
tanda-tanda feminisme.
Dari tema representasi kemandirian ditemukan analisis tekstual tandatanda kekuasaan perempuan dilihat dari kemandiriannya menyetir sendiri, jadi
pengendara BMW, konsumen sepatu Christian Louboutin, dan konsumen tas
Louis Vuitton. Banyak konsumen yang menganggap BMW sebagai mobil yang
amat mahal perawatannya (Shimp, 2003 : 243). Mobil baru dikatakan mewah,
apabila fungsinya tidak sekadar alat, melainkan sebagai simbol prestise: Mercy,
BMW (Praptadiharja, 2004 : 231). Maka dari itu, mengendarai sendiri atau
18

http://kbbi.web.id/canggih, diakses tanggal 5 Juni 2014, pukul 13.00 WIB.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

159

memiliki mobil BMW menjadi simbol masyarakat elite. Kegiatan konsumsi


adalah pembelanjaan barang dan jasa yang dipakai langsung untuk memuaskan
keinginan para konsumen (Alam, 2006 : 240). Kepuasan tokoh Lalita dalam hal
penggunaan merek sepatu digambarkan oleh Ayu Utami dapat dipenuhi dengan
memakai hasil rancangan Christian Louboutin. Sepatu rancangan Louboutin
sudah sering terlihat di berbagai ajang penghargaan musik atau film bergengsi,
dipakai oleh orang-orang terkenal dan berasal dari kelas atas. Tanda kemandirian
tokoh Lalita secara sosial-ekonomi juga ditampilkan oleh Ayu Utami dengan
penggunaan tas merek Louis Vuitton. Tampil dengan tas mewah merupakan dari
identitas kelas. Tas keluaran Louis Vuitton dianggap sebagai simbol kemewahan.
Lalita bisa menjadi bagian dari kelas sosial menengah ke atas salah satunya
karena lingkungan pekerjaannya, sebagaimana yang dipaparkan oleh Ayu Utami.
Ia seorang kurator dan art dealer, memiliki galeri di Singapura dan Hongkong
(Utami, 2012 : 24).
Kurator adalah pekerjaan mengumpulkan, memelajari, menerjemahkan,
dan memajang koleksi-koleksi benda seni atau sejarah. Diperlukan dalam
museum, galeri publik, atau regional serta dalam pameran dan galeri seni
komersial. Karena kepandaiannya dalam mengolah kata serta mengapresiasi objek
tertentu, kurator bertugas menuliskan tentang seni atau hal-hal instrinsik tentang
suatu objek seni, misalnya lukisan, patung, benda bersejarah, dalam media yang
beragam, bisa katalog, brosur, majalah seni, atau buku. Tidak hanya itu saja, dia
berperan juga sebagai personel yang diandalkan dalam setiap penyelenggaraan
pameran seni, mulai dari mencari sponsor, membuat media promosi dan

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

160

mempromosikan acara, menata galeri, hingga meyakinkan penikmat seni terhadap


objek/benda seni yang digelar (Sutardi, 2010 : 134).
Dalam bukunya yang berjudul Menimbang Ruang Menata Rupa; Wajah
dan Tata Pameran Seni Rupa, Mikke Susanto (2004 : 85 87) menyatakan bahwa
kurator memang semula bekerja di bawah naungan lembaga resmi (museum).
Namun pada masa kini pekerjaan kurator, berkembang lebih jauh (misalnya yang
semula hanya bagian dari birokrasi museum berubah menjadi kreator pameran).
Setelah melihat perkembangan pranata seni rupa dan prospek serta terbatasnya
ruang berpikir dan berkreativitas di museum, maka beberapa kurator yang semula
bekerja pada lembaga pemerintah keluar, dan bahkan kemudian menyatakan
dirinya (ditambah dengan beberapa orang yang lain menyatakan dirinya) sebagai
Kurator Independen (Independent Curator). Kurator tanpa naungan lembaga
resmi. Munculnya proyek-proyek berskala internasional di luar kendali museum
atau galeri adalah alasan utama, selain munculnya ruang-ruang yang kebanyakan
dikelola oleh para senimannya sendiri (artist run space atau artist initiative) atau
ruang-ruang alternatif lainnya di luar tempat yang telah mapan. Kurator
independen sering kali menjadi lebih fleksibel dalam mengerjakan tugasnya pada
segala aspek dan sektor karya seni dan lebih luwes dalam pergerakan
pemikirannya. Maka tak bisa dihindari dan sangat memungkinkan bila misalnya
sebuah perhelatan besar seperti bienial internasional akan ditangani oleh lebih dari
10 orang anggota kurator, dan dipimpin oleh seorang kurator independen
internasional. Tokoh Lalita sendiri digambarkan oleh Ayu Utami sebagai kurator
independen yang memiliki galeri seni di Singapura dan Hongkong. Bu Lalita

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

161

Vistara adalah pemilik Lalitas Artspace, bisnis galeri yang memiliki ruang
pamer di Jakarta, Bali, Singapura, dan Hongkong (Utami, 2012 : 209).
Perspektif eksistensial telah memungkinkan kita untuk mengerti
bagaimana kondisi biologis dan ekonomi dari pandangan primitif telah membawa
kita pada supremasi laki-laki (Arivia, 2003 : 19). Analisis interpersonal yang
ditemukan pada representasi kemandirian tokoh Lalita pun menyangkut
hubungannya dengan tokoh lainnya, termasuk aspek ketidaktergantungan Lalita
pada laki-laki, sebagaimana yang digambarkan oleh Ayu Utami dalam teks
berikut ini.
Lalita mengajak ia dan Oscar makan malam. Agaknya, untuk tidak
memberi kesempatan Lalita menunjukkan kekuasaan dengan kartu
kredit platinumnya, Oscar menolak pergi ke tempat nan gaya, yang
hanya Lalita yang sanggup bayar tanpa menggerutu (Utami, 2012
: 26)

Tokoh Lalita dalam novel Lalita digambarkan oleh Ayu Utami tidak
memiliki pasangan tetap yang membiayai hidupnya, Lalita mempunyai pekerjaan
dan mampu membiayai hidupnya sendiri, sekaligus memiliki barang-barang
mewah yang menunjang kelas sosialnya. Feminisme eksistensialis mengatakan
bahwa pilihan perempuan untuk bekerja merupakan salah satu bentuk penolakan
menjadi Liyan atau menjadi Objek. Irianto (2006 : 466) menuturkan bahwa
perempuan beraktualisasi dengan bekerja di luar rumah seperti laki-laki. Seperti
empat strategi aktualisasi diri perempuan yang dicetuskan oleh Beauvoir, salah
satunya adalah dengan bekerja.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

162

Seperti yang dikatakan Beauvoir (1974) untuk menjadi manusia sempurna,


menuju kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, maka perempuan harus punya
akses ke dunia publik. Dari konflik antara kerja dan urusan rumah tangga yang
dihadapi perempuan, menjadi sinyal untuk tumbuhnya kesadaran akan pentingnya
perempuan eksis dalam hidup ini dengan beraktivitas di luar rumah. Bagi
seorang perempuan intelektual, mandiri berarti telah menjadi diri sendiri (Subjek)
(Irianto, 2006 : 466). Kemandirian tokoh Lalita yang hidup tanpa pasangan tetap
sehingga tidak ketergantungan pada bantuan laki-laki dan sanggup membiayai
hidupnya sendiri dengan melakukan pekerjaan yang menunjukkan pula kelas
sosialnya, menyiratkan adanya tanda-tanda yang mengarah kepada feminisme.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

163

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai representasi


kekuasaan perempuan pada tokoh Lalita dalam novel Lalita karya Ayu Utami,
peneliti memperoleh beberapa simpulan dan saran yang diharapkan dapat
memberi manfaat bagi penelitian berikutnya.
5.1

Simpulan
Dari hasil yang diperoleh selama penelitian, peneliti dapat menarik

simpulan sebagai berikut:


1. Representasi kekuasaan perempuan dilihat dari tokoh Lalita dalam
novel Lalita karya Ayu Utami terbagi menjadi tiga tanda, yaitu
penampilan

fisik,

kecerdasan,

dan

kemandirian.

Representasi

penampilan fisik berpengaruh langsung pada kepercayaan diri seorang


perempuan yang menunjang keberhasilannya dalam karir dan gaya
hidup. Kekuasaan perempuan bisa diperoleh pula dengan modal
pengetahuan yang tersimpan dalam otaknya, kecerdasan menjadi
kekuatan lainnya bagi seorang perempuan dalam berinteraksi dengan
orang lain dan menguasai keadaan. Kemandirian dari segi psikologis
dan sosial-ekonomi sebagaimana yang digambarkan oleh Ayu Utami

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

164

lewat tokoh Lalita pun membuat seorang perempuan mempunyai


kekuatan dari posisi tawar yang tinggi dalam masyarakat.
2. Relasi dalam novel Lalita melibatkan peran Ayu Utami, penulis yang
memiliki kekuatan makna penutur sebagai penyelundup yang ikut
campur.
perempuan

Ayu
yang

Utami

menyisipkan

berkuasa

lewat

penggambarannya
penokohan

Lalita

tentang
Vistara,

membangun relasi dengan pembacanya melalui dialog-dialog yang


menjadi bahan pertimbangan bagi pembaca untuk menilai karakter
Lalita, serta lewat sudut pandang tokoh-tokoh pendukung dalam novel
yang menjadi sumbangan berarti untuk menyusun kesan mengenai
kekuasaan perempuan yang direpresentasikan oleh tokoh Lalita.
3. Ideologi yang terkandung dalam novel Lalita karya Ayu Utami adalah
tentang kemandirian seorang perempuan dalam menguasai cara
hidupnya sendiri. Tokoh Lalita digambarkan oleh Ayu Utami sebagai
perempuan yang telah berhasil melepaskan diri dari ketergantungannya
terhadap laki-laki dan menjadi Subjek atas kehidupannya sendiri,
sejalan dengan sudut pandang feminisme eksistensialis. Posisi tokoh
Lalita pun sejalan dengan aktualisasi diri sesuai potensi manusia
sebagaimana yang dituturkan oleh pemikiran psikologi humanistik.
Maka dari itu, teks yang diteliti dari novel Lalita karya Ayu Utami
mengandung ide-ide feminisme.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

165

5.2

Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis peneliti, saran yang dapat

diberikan berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Disarankan jika penulis novel berlatar belakang sudut pandang feminisme
bermaksud menampilkan tanda-tanda kekuasaan perempuan hendaknya
menempatkan tokoh perempuan lainnya yang berkarakter sama kuat agar
pembaca dapat melakukan pembandingan kualitas karakter yang kontras
(character foil).
2. Konsistensi dalam mengangkat tema feminisme lewat gambaran
kekuasaan perempuan, bisa dilakukan dengan bersikap lebih peka untuk
tidak membiarkan tanda-tanda feminitas muncul pada alur yang ditulis.

www.vincacallista.tumblr.com

|| fikom unpad || www.twitter.com/VincaCallista

Anda mungkin juga menyukai