Anda di halaman 1dari 278

Arung Diri

Kitab Puisi

Djoko Saryono

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR

DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

UPT TAMAN BUDAYA

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

Arung Diri
Kitab Puisi
Perajin Kata:

Djoko Saryono
Tata Tampilan Isi
z Indro Basuki
Tata Tampilan Sampul
z Giryadi

Diterbitkan oleh:

UPT Taman Budaya


Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Jawa Timur
Edisi 2013
Ukuran: 20 x 20 cm
Jumlah: xxxii + 246 halaman
ISBN: 978-602-9461-74-9
TIDAK DIPERDAGANGKAN

Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak


atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini ke dalam
bentuk apa pun, secara elektronis, maupun mekanis, termasuk
fotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa
izin tertulis dari penerbit.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Hak Cipta,
Bab XII Ketentuan Pidana, Pasal 72, Ayat (1), (2), dan (6).

ii

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

PRAKATA
Arus kehidupan modern saat ini sangat kuat. Arus ini sarat perubahan akibat
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan komunikasi. Ini telah mendekonstruksi
hampir seluruh aspek kehidupan yang menyeret kita ke dalam lorong gelap kehidupan.
Keadaan ini barangkali analog dengan zaman edan yang dimaklumkan oleh pujangga
besar Ranggawarsita. Dalam zaman edan ini juga terjadi erosi fungsi dan kesaktian seni
tradisi yang merupakan kekuatan kultural pembentukan karakter, identitas, dan jati diri.
Di tengah keadaan demikian, kehadiran karya sastra yang merevitalisasi, mentransformasi,
dan mendayagunakan seni tradisi perlu diapresiasi sebab berarti menghidupkan seni tradisi
di tengah arus kehidupan modern. Kandungan makna dan nilainya dapat menjadi secercah
cahaya, sebagaimana kita temukan dalam Arung Diri yang mengangkat seni tradisi kita.
Sebagai puisi, karya-karya dalam Arung Diri jelaslah menggunakan media bahasa.
Bahasa puisi merupakan tanda bermakna ganda yang selalu menyodorkan berbagai
kemungkinan makna. Arung Diri karya Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd tentu menyodorkan
berbagai kemungkinan makna yang bertolak dari pikiran dan perasaan tentang seni tradisi
yang telah diolah secara imajinatif dan estetis sedemikian rupa. Oleh karena itu, batin
atau jiwa puisi-puisi dalam Arung Diri sesungguhnya seni tradisi yang didayagunakan,
difungsionalkan, dan ditransformasikan ke dalam bentuk puisi modern.
Untuk itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur sebagai lembaga
yang diberi amanat mengawal pelestarian dan pengembangan seni budaya menerbitkan
kumpulan puisi Arung Diri. Ini merupakan upaya memperhatikan perkembangan keragaman
seni budaya di Jawa Timur, dalam hal ini turut mendukung perkembangan seni sastra
modern berakar seni tradisi. Semoga buku ini bermanfaat bagi perkembangan seni budaya
secara luas di Jawa Timur dan menjadi warisan bernilai.
Surabaya, Desember 2013
Kepala Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Jawa Timur

Dr. H. JARIANTO, M.Si


Pembina Utama Madya
NIP. 19580807 197702 1 002

iii

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

iii

Menulis adalah seni mengulang-ulang tanpa disadari orang.


[Nassim Nicholas Thaleb, Ranjang Prokrustes, Gramedia, 2011:60]
Bahasa dan tulisan hanya lambang untuk ekspresikan kebenaran.
Tetapi, menggelikan bila menganggap tulisan sebagai kebenaran
seperti telunjuk sebagai bulan. [Tsai Chih Chung, The Book of Zen,
Elex Komputindo, 2012:31]
Kalau ingin membuat kesal penyair, jelaskan puisinya.
[Nassim Nicholas Thaleb, Ranjang Prokrustes, Gramedia, 2011:84]

iv

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

PENGAKUAN PUISI
Sungguh, kau belum kenal aku? astaga! bagaimana bisa?
yang mengasuhmu budaya macam apa? pendidikan macam apa?
Namaku puisi, kenapa kau lupa memang sengaja alpa?
meski tak kutahu titi mangsa, sejak kapan aku ada di dunia
jelas umurku amat tua, setua pelbagai agama, karena aku dipiara:
agama tak cuma berkata, tetapi jelas mencinta
bahkan menyayang tiada tara, sejak dahulu kala
dipercaya aku menemani ayat baka penyelamat manusia
dipercaya aku mewadahi makna hidup kekal nanti di surga
oleh agamawan disilakan aku tinggal di relung agama
oleh agamawan diajak aku menemui umat beragama
dengarlah, betapa merdu suaraku melantunkan ayat baka!
lihatlah, dalam Gilgamesh aku bersama agama orang Sumeria
dalam Dao De Jing dan Zhuang Zi aku bersama taoisme Cina
memandu manusia meraih cemerlang kebajikan paripurna
dalam Catur Weda, Mahabharata, dan Ramayana aku juga ada
menyatu ajaran Hindu menemani manusia mencapai nirwana
dalam Tripitaka, 50 Syair Vasubandhu, dan Songs of Milarepa
aku bersanding ajaran Buddha menunjuki manusia jalan utama
dalam Zabur, Taurat, dan Injil aku elok rupa tampil di muka
menjaga perangai manusia agar selalu bertabur cahaya cinta
bahkan dalam Quran nan mulia aku disayang demikian rupa
hingga kepuitisan dan keindahanku memancar penuh pesona
orang-orang pun riang gembira meneguk firman Allah taala
maka Allah mahapuitis dan mahaindah, keindahan amat disuka
maka rapal doa serba puitis dan indah menenteramkan jiwa

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

jelas umurku amat tua, setua adab dan budaya, karena aku dicinta:
dalam relung budaya Sumeria, Mesir Kuno, dan Maya aku primadona
tak heran ditugasi jadi saluran masyarakat, pendidikan, dan agama
dalam relung budaya Yunani dan Romawi aku kekasih para cendekia
tak heran tercipta Poetics, Illiad, Odyssey, dan Oedipus nan pukau jiwa
dalam kanvas peradaban Cina dan India akulah perawat pikiran manusia
tak heran mengabadi I Ching, Analecta, Bhagavadgita, dan Brahmasutra
dalam kanvas peradaban Asia Barat dan Persia aku duta ajaran agama
tak heran Mantiq al-Tayr, Gulistan, Rubbaiyat, dan Matsnawi menghuni jiwa
dalam kanvas abab dan budaya nusantara masa silamku sungguh amat jaya
dikasihi agamawan, dihidupi penguasa, disenangi warga, dan dijaga pujangga
dicipta dengan kekhusyukan tiada tara, dicipta dengan rapal doa mandraguna
tak heran lahir Bujang nan Domang, I La Galigo, dan Serat Chentini nan luar biasa
tak heran Syair Perahu, Gurindam 12, Hikayat Bayan Budiman, Minuman Pencinta,
Bustan al Salatin, dan Sejarah Melayu senandungkan ajaran tasawuf memesona
tak heran lahir kakawin Arjunawiwaha, Adiparwa, Kunjarakarna, dan Lubdhaka
juga Negarakertagama dan Serat Kalatidha yang pamerkan cerlang keindahan makna
Pada masa silam, semua pujangga dan warga sangat menghormati keberadaanku:
mereka patuh mengikuti aturanku, mereka pantang mengubah letak susun diriku
mereka luar biasa, membuahkan karya cemerlang dalam aturan begitu kaku!
tak heran aku pun mampu melantunkan kesederhanaan dan kemerduan nada suara
semua pendengar dan pembaca niscaya terkesima, senantiasa terlena indah makna
Namun, aku kian tak terkemuka, karena putaran waktu membuat pujangga tiada
dan warga pun menghindariku dengan segala alasan dan seribu cara dusta
lahirlah para pemuisi mandiri dan pembaca menuntut kemerdekaan menafsiri
mereka mencari jalan-jalan sendiri, merangkai dan menata kata-kata sesuka hati
sejak itu aku kehilangan kesederhanaan dan kemerduan keduanya tiada lagi
dunia pun memasuki zaman baru kerumitan dan kekacauan suara kini diimani

vi

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

Sungguh, aku rindu kesederhanaan dan kemerduan, begitu juga banyak manusia
di dalam dunia yang memuja kerumitan, kekacauan, seragam suara, dan datar nada
maka, bersyukurlah aku, hadir himpunan puisi Arung Diri ini, dengan bahasa
dan tata sederhana dan merdu, tapi bagiku pancarkan kenikmatan merasuk jiwa
Aku kerasan tinggal dalam kesederhanaan dan kemerduan puisi dalam Arung Diri.
Harapanku, pembaca ikhlas menikmati kesederhanaan dan kemerduan pepak seri,
menemu irama ritmis dalam untaian bahasa, dan menjumpa terang lukisan
dalam kanvas bahasa, serta mencecap makna yang terpancar dari kesederhanaan
dan kemerduan Arung Diri. Semoga. Amin.
Malang, hujan bulan Desember 2012

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

vii

viii

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

MAKLUMAT ARUNG DIRI


Puisi adalah negeri kata-kata. Kampung halaman kata-kata adalah bunyibunyi yang selalu bergandengan mesra supaya berdaya melahirkan makna.
Bunyi-bunyi meminta harus selalu hidup bersama karena kesendirian berarti
kesebatangkaraan, kesepian, dan kehampaan makna. Ia disertai oleh suara
dan atau tulisan supaya dapat dikenali manusia, dicerna kepala juga dada
manusia. Rantau kata-kata adalah kalimat-kalimat yang senantiasa berjalin
kelindan secara serasi supaya bisa melahirkan wacana. Wacana lebih suka
mandiri karena semenjak tercipta menjadi kediaman makna. Ia ditemani oleh
suara dan atau tulisan supaya dipahami manusia, disantap kelezatannya oleh
manusia. Huruf-huruf adalah kediaman pungkasan bunyi-bunyi dan kalimatkalimat. Huruf-huruf lazim mewakili suara dan atau tulisan pulang ke
kampung halaman puisi atau melawat ke rantau puisi.
Suara adalah ibu kandung kata-kata, sedang tulisan adalah ibu pengganti
kata-kata. Bunyi-bunyi dan kalimat-kalimat selalu disayangi oleh suara dan
atau tulisan, selalu ditolong hadir oleh terang suara dan atau tulisan. Tanpa
suara, bunyi dan atau kalimat tiada mungkin diucapkan bibir dan didengar
oleh telinga manusia. Tanpa tulisan, bunyi dan atau kalimat mustahil ditatap
mata dan dibaca oleh kornea manusia. Bunyi dan atau kalimat selalu mendiami
suara dan atau tulisan karena suara dan atau tulisan begitu mencinta, tiada
pernah berlaku aniaya. Perkembangan budaya dan adab manusia memperlihatkan betapa melimpah ruah kasih sayang suara dan atau tulisan kepada bunyibunyi dan kalimat-kalimat sehingga bunyi-bunyi dan kalimat-kalimat bisa
bersapa dengan manusia, berkelana ke sudut-sudut dunia.
Penutur bahasa yang menyuarakan dan atau mendengarkan kata-kata adalah
para pelancong ke negeri kata-kata yang riang bermain bunyi-bunyi dan
kalimat-kalimat. Mereka menata bunyi-bunyi sarat cinta supaya tercipta
suara indah di telinga. Mereka mengungkai kalimat-kalimat penuh kasih

ix

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

ix

sayang supaya tercipta suara lezat makna di dada. Penutur bahasa yang
membaca dan atau menuliskan kata-kata adalah para pelawat yang bersukasuka memainkan bunyi-bunyi dan kalimat-kalimat bertuliskan. Mereka menata
huruf-huruf beraroma kasmaran sehingga tercipta makna yang mampu memanggil bunyi-bunyi dan kalimat-kalimat untuk hadir di dalam tulisan.
Penikmat atau pembaca puisi adalah pecinta kerajinan kata-kata yang selalu
terpana bunyi-bunyi bersuara dan atau bertuliskan; tertawan kalimat-kalimat
bersuara dan atau bertuliskan; teperdaya huruf-huruf indah bermakna yang
menjadi kediaman suara dan tulisan. Para pembaca puisi yang rajin melisankan
atau mendaraskan puisi adalah para musafir kata-kata yang menawarkan
kerajinan bunyi-bunyi dan kalimat-kalimat bersuara dan atau bertuliskan
kepada sesiapa; menjamu sesiapa dengan aneka tataan huruf-huruf sarat
pesona yang disuarakan dan atau dituliskan ke dunia.
Para pemuisi atau kini suka disebut penyair adalah perajin kata-kata yang
dikira tangkas menenun bunyi-bunyi dan cekatan memintal kalimat-kalimat
bermahkota suara dan atau tulisan mendecakkan jiwa; yang disangka cendekia
mengungkai huruf-huruf menjadi makna yang mampu mengguna-guna kepala.
Para penyair adalah pawang kata-kata yang pura-pura kuasa menenung bunyibunyi dan atau kalimat-kalimat menjadi pijar-pijar bara makna yang membuat
terbakar dada. Para penyair adalah ahli teluh kata-kata yang memamerkan
kecemerlangan muslihat bunyi-bunyi dan atau kalimat-kalimat bersuara dan
atau bertuliskan kepada dunia, yang justru membuatnya dikagumi dan bahkan
dipuja-puji banyak manusia; ditempatkan sebagai cendekia di dalam taman
peradaban manusia.
Mendengarkan dan atau membaca puisi adalah bertamasya di negeri katakata yang dengan riang gembira menjelajahi lebat rimba bunyi-bunyi yang
beraneka dan atau menyusuri belantara kalimat-kalimat yang berbagai-bagai
makna. Melisankan dan atau menulis puisi adalah bertualang di negeri katakata yang dengan penuh keberanian nyali mengarungi jeram bunyi-bunyi yang

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

berceruk tiada terduga; dan atau menyusuri sungai kalimat-kalimat yang


berkelok dan berpalung mendebarkan dada.
Menulis puisi adalah usaha keras kepala hendak mengawetkan segala cerita,
berita, dan gelisah jiwa yang terancam hilang sia-sia tertiup lalu waktu.
Menulis puisi adalah upaya pura-pura cendekia meracik kata-kata yang
memabukkan, menyadarkan, membangkitkan, menggemaskan, menjengkelkan,
meracuni, dan atau memusingkan orang, namun jelas-jelas tak haram dan
berdosa. Menulis puisi adalah ikhtiar melarikan diri dengan cara pura-pura
mahir menyulam kata-kata menjadi keindahan yang bisa meneluh rasa di
samping pura-pura cerdas meracik kebijaksanaan berbungkus kata-kata bersuara dan atau bertuliskan yang mampu menggendam jiwa. Menulis puisi
adalah ikhtiar melukiskan paras dunia dengan keindahan anyaman kata-kata,
rajutan bunyi-bunyi, dan atau ukiran kalimat-kalimat, seolah-olah dalam
rangka menghancurkan keburukan dunia, padahal dalam sejarah manusia
belum pernah terjadi revolusi disulut oleh puisi. Puisi cuma bisa menggedor
kepala juga dada manusia yang jarang bersilaturahmi ke dunia sastra. Maka
menulis puisi pada masa kini adalah ikhtiar mengencangkan urat leher untuk
merapalkan pentingnya keindahan di telinga orang yang menulikan diri.
Contoh nyatanya adalah Arung Diri: Kitab Puisi? Gombal!
Malang, saat hujan tiba-tiba hadir 2012

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

xi

xii

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

PURWAWACANA KAWAN:

GAGASAN MENEMU RAGA


Oleh: Tengsoe Tjahjono*
lebah-lebah itu
membangun sarang ayat
di lubuk batin kita
agar jiwa kerasan wirid di sana
(Lebah 3 Djoko Saryono)
Djoko Saryono (selanjutnya disingkat DS) dikenal sebagai guru besar
Universitas Negeri Malang. Tulisan-tulisannya berkisar pada masalah-masalah
pendidikan, sosial budaya, dan kritik sastra. Dalam konteks seperti itu DS
selalu bergelut dan bergulat dengan gagasan. Gagasan-gagasan DS sering
terkesan unik, bahkan banyak yang amat kontroversial.
Bagaimana jika tiba-tiba di hadapan Anda disodori tulisan DS yang
tidak berupa tulisan akademik, namun berupa puisi? Mungkin saja terbersit
rasa antara percaya dan tidak percaya. Tetapi, rasa tidak percaya itu lenyap
begitu cepat saat saya mulai membaca puisi demi puisi yang ditulis DS. Di
hadapan saya tergelar merjan-merjan gagasan yang ditulis dengan bangunan
sederhana, namun justru eksotis dan puitis. Tampaknya indah tidak harus
neka-neka (Jawa, artinya aneh-aneh). Dalam kesederhanaan puisi DS, justru
memancar keunikan.
Sebagai pribadi yang terbiasa hidup dalam atmosfer akademik, ruangruang seminar, konsultan pendidikan, dan sebagainya, keseharian DS adalah
gagasan. Puisi DS pun terkesan bermula dari gagasan. Gagasan-gagasan itu
bergerak dan mengalir mencari bentuk ekspresi, menemu raga puisi.
Bagi DS puisi sejajar dengan lebah: punya daya sengat dan sekaligus
madu. Maka, tidak heran DS menulis: lebah-lebah itu/ membangun sarang
ayat/ di lubuk batin kita/ agar jiwa kerasan wirid di sana. Suara puisi ibarat
gumam lebah, mendengung penuh irama, ada yang bisa memahami, banyak
xiii

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

xiii

pula yang tidak mengerti. DS ingin puisi membangun kalimat-kalimat bijak di


hati setiap orang agar kesadaran keilahian hidup dalam setiap jiwa. Puisi itu
manis dicecap, namun sekaligus diharapkan memiliki daya gedor pada telinga
yang tuli, mata yang buta, mulut yang gagu, kaki yang lumpuh, tangan yang
lunglai, saat ketidakadilan, keserakahan, dan penindasan terbaca dalam hidup
sehari-hari. Puisi mengajak manusia peduli.
Puisi: Ruang Theo-humanitas
Saya merasakan, maka saya ada. Demikianlah paradigma theo-humanitas. Pernyataan itu amat berkaitan dengan persoalan humanitas, emosional,
dan spiritualitas. Paradigma theo-humanitas itu terasa sekali pada puisi-puisi
DS. Prinsip bahwa Saya merasakan (kesedihan, kemenderitaan, kesia-siaan,
kesesakan orang lain, maka saya (menjadi) ada membangun relasi interpersonal dan solidaritas; merefleksikan hidup keilahian di antara sesama.
Tema-tema yang diusung DS pun bergerak dari persoalan Gaza, Bosnia,
kezaliman, kerusuhan, sampai ke persoalan makrifat. Simak puisi berikut ini.
GAZA 1
langkah lars itu terus berderap dalam pikiran
menuju piring-piring di meja makan
dan menghidangkan: darah dan kematian
lalu kau kunyah bersama teve
yang menyanderamu di ruang tamu
hingga kau lalai waktu yang terus bergerak
menapak gurat jejak kematian di napasmu
Malang, Maret 1995

Gaza adalah sebuah kawasan yang terletak di pantai timur Laut


Tengah, berbatasan dengan Mesir di sebelah barat daya, dan Israel di sebelah
timur dan utara. Di Jalur Gaza drama konflik Israel-Palestina tidak kunjung
xiv

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

reda. Namun, puisi DS tidaklah bicara tentang Gaza dalam realitas sejarah.
Gaza dalam puisi DS merupakan realitas metaforik. Dalam bait pertama
puisi ditulis: langkah lars itu terus berderap dalam pikiran/ menuju piringpiring di meja makan/ dan menghidangkan: darah dan kematian. Persoalan
kekerasan menjadi makanan kita setiap hari, menjadi sesuatu yang biasa,
yang tidak lagi memprihatinkan. Bahkan, yang amat menyedihkan realitas
seperti itu justru dirayakan di layar televisi sebagai bagian dari ornamenornamen budaya popular.
Matinya kemampuan merasakan dalam diri manusia terjadi karena
sudah menjadi lumrahnya kekerasan dan ketidakadilan. Solidaritas tereduksi
menjadi pragmatisme. Maka, sungguh masuk akal jika DS menulis: menapak
gurat jejak kematian di napasmu. Manusia telah mati-rasa dan mati-peduli.
Dalam puisi Bosnia 1 DS menulis: dan lihat, lihatlah, dunia terbata-bata
mengeja/ bahasa yang telah lunglai makna dan daya/ apa nama tindak keji
dan bengis Serbia/ (boleh jadi, di sini bahasa telah dimangsa kuasa). Dalam
puisi ini pun Bosnia menjadi latar metaforik. Yang paling penting justru
bagaimanakah manusia membahasakan ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan,
dan sebagainya. Ketika bahasa dimaknai secara politis, maka bahasa justru
tidak memiliki kuasa-diri. Bahasa menjadi bagian dari kuasa-lain, kuasa dari
manusia yang menggunakan. Bahasa tidak lagi sekadar menjadi sarana komunikasi, namun menjilma menjadi sarana kekuasaan. Ketika kekerasan dimaknai
sebagai pembelaan diri, ketika kekejian diartikan sebagai upaya pemenuhan
hak, lalu apa sebenarnya kuasa-bahasa? Tidak ada. Sungguh: dunia terbatabata mengeja.
Secara eksplisit DS merumuskan pengertian bahasa melalui puisi berikut
ini.
BAHASA 1
benar, benar, tak ada apa-apa di sini
kecuali kokang senapan dan sedikit amunisi
biasa dipakai para politisi atau petinggi
meledakkan lidah yang bersekutu hati nurani
ARUNG DIRI
Kitab Puisi

xv

demi ketunggalan kenyataan dan kebenaran


demi kelanggengan rezim makna yang selalu alpa
akan kemajemukan suara
maka, apa yang bisa diharap dari bahasa
yang bersemayam di geraham kuasa
yang tiap hari terus berbiak di media massa?
yang tiap saat terus berkembara lewat mulut, kabel,
gelombang inframerah, dan satelit di luar angkasa?
Malang, Januari 1996

Dalam konteks puisi di atas bahasa hadir secara antagonis, yaitu


menjadi sarana untuk menakut-nakuti kelompok yang termarginalisasi agar
kuasa tetap berada pada tangan kelompok tertentu. Pola-pola ideologi marxis
yang mengelompokkan masyarakat menjadi dua bagian: yang menguasai alat
produksi dan yang tidak menguasai alat produksi kekal sampai saat ini, juga
di sini. Dan, bahasa menjadi sarana ampuh untuk menciptakan oposisi biner:
yang mengusai-yang dikuasai, rajin-pemalas, pandai-bodoh, rasional-mistik;
yang pada akhirnya yang mengusai, rajin, pandai, dan rasionallah kelas unggul
yang boleh bermain apa pun, tanpa bisa disalahkan, tanpa bisa dikalahkan.
Apalagi teknologi komunikasi berpihak pada mereka. Lewat bahasa
yang dikonstruksi sedemikian rupa, lalu disalurkan melalui gelombang suara
dan gambar ke ruang-ruang publik dan privat, kuku-kuku kekuasaan pun
semakin tajam mencengkeram. Ternyata tidak mudah merasakan kegelisahan
orang lain. Mereka lebih banyak memenangkan diri sendiri melalui rasionalitas
yang dibangun terus-menerus.
Dalam puisi Membaca Sejarah DS menanyakan tentang siapa yang
menanam semiotika kemegahan sriwijaya,/ majapahit, dan tiga setengah abad
kolonialisme Belanda/ ke dalam rongga dada?; menanam semiotika pertumbuhan, pemerataan,/ kehebatan fundamen ekonomi, dan keberhasilan pembangunan/ ke dalam saraf pikiran?; menanam semiotika stabilitas politik,/ massa

xvi

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

mengambang, dan undang-undang regulasi partai tak bisa diusik/ ke dalam


nadi kehidupan?.
Memahami pengertian sejarah secara tepat bergantung kepada kemampuan membaca seseorang. Dani Cavallaro (2001) menyatakan bahwa membaca
adalah sebuah proses yang melibatkan manusia setiap saat, sebagaimana
manusia itu berusaha mencoba memahami dunia atau menafsirkan tandatanda yang mengelilingi mereka. Membaca merupakan salah satu mekanisme
paling vital dalam konteks sosial manusia.
Membaca sejarah bukanlah membaca huruf-huruf mati. Sejarah itu
ditulis, lebih tepatnya dikonstruksi. Sejarah bukan representasi peristiwa.
Sejarah adalah representasi kepentingan. Pertanyaan-pertanyaan DS dalam
puisi Membaca Sejarah lahir dari kesadaran membaca kritis. Pertanyaan lahir
karena rasa heran, rasa tidak tahu, rasa tidak mengerti, rasa penasaran, atas
fakta bahasa yang terkesan ganjil dan aneh. Pernyataan mengenai kemegahan
Sriwijaya dan Majapahit, tiga setengah abad penjajahan, pertumbuhan dan
pemerataan ekonomi, keberhasilan pembangunan, massa mengambang, dan
sebagainya adalah konstruksi ideologi yang ditanamkan ke dalam jiwa bangsa
melalui bahasa. Dengan sangat ironis dan satire DS menulis hasilnya adalah
batu, mitologi, dan monumen, hanya melahirkan kata-kata benda yang tidak
memiliki pengaruh signifikan terhadap perubahan kelayakan hidup bangsa.
Puisi-puisi DS jadilah ruang theo-humanitas. Di tengah hingar-bingar
dan hiruk-pikuk keserakahan, kesewenang-wenangan, kebebalan, dan sebagainya yang mencerabut relasi personal antarmanusia, yang merampas sikap
solidaritas terhadap sesama, yang menghabisi kemampuan merasakan pada
jiwa setiap orang, DS pun merindukan keheningan. Ning dan wening. Hanya
dengan cara begitu manusia bisa menyadari kodratnya sebagai makhluk
Tuhan yang tidak berdaya, yang oleh karena itu harus saling bersatu dengan
yang lain.
Perhatikan puisi berikut ini.

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

xvii

RINDUNYA RINDU MAKRIFAT ADA


dalam puasa suara
dan berkendara mutmainah cinta
rindunya menghisap seluruh ayat semesta
sukmanya menyusu makrifat ada
jangan ganggu aku, katanya
tarian rumiku sudah tiba
di semenanjung ada manusia
hijab cakrawala pun tersingkap
buraq cahaya melesat
dan adanya lenyap
dan dirinya tamat
jangan tanya jasad
jangan tanya alamat
aku di luar segala kalam tersurat,
pesannya di tiap desah angin lewat
Malang, Juli 1998

Makrifat berarti menyadari kehadiran Allah dalam gerak-gerik lahir


maupun batin seperti melihat, mendengar, merasa, menemukan, bergerak,
berdiam, berangan-angan, berpikir dan sebagainya. Segala sesuatu ada karena
Allah semata.
Makrifat, sebagai pengetahuan yang hakiki, menurut al-Gazali, bukan
diperoleh melalui pengalaman indrawi, juga tidak melalui penalaran rasional,
namun lewat kemurnian kalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari
Tuhan sebagai pengalaman sufistik. Dalam makrifat tersingkap segala realitas
yang tidak dapat ditangkap oleh indra dan tidak terjangkau oleh akal (rasio).
Makrifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan

xviii

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

membuat ketenangan akal pikiran. Siapa pun yang meningkat makrifatnya,


meningkat pula ketenangan hatinya. Dalam tasawuf, makrifat merupakan
tataran kesadaran paling tinggi.
Jika setiap orang menyadari bahwa Allah hadir di mana dan kapan saja,
tindakan manusia pun akan berkiblat kepada Allah. Namun, membangun
kesadaran makrifat itu tidaklah mudah. Hanya saja ketidakmudahan itu
bukanlah alasan bagi manusia untuk memilih jalan sendiri, menjauh dari
sikap makrifat. Dalam puasa suara usaha mencapai makrifat itu mampu
dilaksanakan. Manusia harus bersedia untuk berdiam dari retorika, pidatopidato politik dan basa-basi; manusia harus mencari ruang hening untuk
mawas-diri. Dengan demikian, manusia diharapkan melepaskan egonya, masuk
ke dalam persoalan publik-papa melalui tindakan nyata. Maka manusia itu
dapat menunjukkan kepada dunia bahwa tarian rumiku sudah tiba/ di
semenanjung ada manusia. Tarian rumi adalah tarian sufi, tarian mereka
yang mengamalkan pekerjaan tasawuf. Artinya, bagi manusia sekarang ini
yang diperlukan bukanlah kata-kata atau retorika, tetapi sebuah tarian,
sebuah gerak jiwa yang konkret, yang dimotivasi oleh gerak Allah sendiri.

Puisi: Sebuah Reidentifikasi Diri


Dalam ruang theo-humanitas pemahaman orang tentang manusia mau
tak mau harus memancarkan sikap keilahian. Allah tidak membedakan
manusia kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan, majikan dan buruh, dan
sebagainya. Allah hanya akan memperhitungkan amal ibadah mereka saat
manusia hidup di dunia. Manusia pun tidak boleh terjebak dalam konstruk
berpikir Ferdinand de Saussure tentang oposisi biner yang telah berhasil
membangun struktur-struktur kesadaran pengetahuan. Oposisi biner telah
membagi dunia ke dalam dua kategori, dan kategori yang satu biasanya lebih
baik atau lebih buruk dari yang lain. Hal itu sangat merugikan dua hubungan
tersebut. Di masyarakat akan terjadi dualitas kelompok yang saling menindas
yang melahirkan primordalisasi dan sektarianisasi. Yang mengerikan oposisi
tersebut pada akhirnya tercipta menjadi mitos dan kebenaran yang diamini.
ARUNG DIRI
Kitab Puisi

xix

Banyak istilah yang terjebak pada gagasan oposisi biner yang dikaitkan
dengan kekuasaan dan melahirkan penindasan-penindasan baru, misalnya
minoritas-mayoritas, pusat-pinggiran, global-lokal, protagonis-antagonis, dan
sebagainya. Muaranya adalah lahirnya batas-batas teritori untuk menentukan
siapa kita dan siapa mereka. Dikotomi biner ini justru mengandung unsurunsur hierarkis dan oposisional yang menindas. Dikotomi merupakan simplifikasi yang menyesatkan. Oleh karena itu, harus ada gerakan yang membangun
wacana tandingan, wacana pembalikan, atau dekonstruksi terhadap kelaziman
yang selama ini menyesatkan namun dianggap sebagai kebenaran. Harus ada
pembacaan ulang terhadap predikasi kelompok manusia yang selama ini
dikonstruksi secara hierarkial dan oposisional, harus ada reidentifikasi.
Tokoh-tokoh Sukesi, Sarpakenaka, dan Sinta adalah tokoh-tokoh perempuan dalam Epos Ramayana yang tubuh, jiwa, dan hidupnya telah dikonstruksi
oleh kekuasaan laki-laki. Label kesetiaan, diam, penuh cinta dan pengabdian,
suci, dan patuh adalah label-label yang ditanamkan secara terus-menerus,
bahkan turun-temurun, atas entitas yang bernama perempuan. DS menuliskan
teks puisi pembalikan, dekonstruksi, dan reidentifikasi diri. Perhatikan penggalan puisi berikut ini.
SUARA HATI DEWI SUKESI

dengan lapang dada harus kukata


akulah ibu segala malapetaka semesta:
semestinya Wisrawa juga
karena mereka kukandung berbulan lamanya
karena mereka terlahir dari rahimku nan mulia
dengan terbuka jiwa harus kukata
akulah ibu segala mara bahaya marcapada:
semestinya Wisrawa juga
karena kuduga semua ilmu berkah indah buahnya
ternyata ada yang berbisa: hamburkan racun saat kubuka

xx

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

karena kukira semua ilmu beri faedah bagi siapa saja


ternyata ada yang dimonopoli dewa: taburkan tuba saat kuminta
karena kuyakin semua ilmu dipiara kebenaran kencana
ternyata ada yang dirantai kuasa dewa: tebarkan celaka saat kucoba
bukankah aku perempuan perkasa?
rela menerima getir takdir sepanjang masa
ikhlas memanggul beratnya hidup hina dina
lapang dicerca dalam Ramayana, wayang, dan cerita
aku Dewi Sukesi, wanita jelita teperdaya ilmu berbisa
dan dikerjai para dewa yang tak rela manusia jadi sempurna
pesanku kepada manusia: waspadalah tabiat ilmu dunia
kalau gegabah, Sukesi dan Wisrawa kedua di depan mata
Dewi Sukesi adalah ibu Rahwana, Kumbakarna, Sarpakenaka, dan
Wibisana. Buah cintanya dengan Begawan Wisrawa yang sudah tua. Kecuali
Wibisana, putra-putri Sukesi berwujud raksasa. Itulah hukuman atau kutukan
yang harus diterima Sukesi karena meminta Wisrawa menjelaskan makna
Sastra Jendra Hayuningrat. Sastra Jendra Hayuningrat adalah ajaran tentang
keselamatan penguasa demi tercapainya keselamatan alam semesta. Yang
dimaksud dengan penguasa bukanlah hanya raja, pemimpin negara, ataupun
pemimpin lain, namun terlebih adalah diri sendiri. Manusia harus mampu
menaklukkan dan menguasai dirinya sendiri. Dalam konteks filosofi Jawa
yang harus ditaklukkan dan dikuasai manusia adalah sifat angkara murka
yang berada dalam dirinya. Karena Sukesi dan juga Wisrawa gagal mengendalikan hawa nafsunya, terjebak dalam hasrat birahi, kutukan itu pun harus
ditanggung Sukesi, menjadi ibu dari anak-anak berwujud mengerikan.
Rahwana, anak pertama, raksasa yang mengerikan, berwajah sepuluh,
berwarna merah bagai api, wataknya jahat sekali, hanya mengedepankan
nafsu. Kumbakarna, putranya yang kedua, raksasa besar, kulitnya hitam,
melambangkan nafsu makan dan tidur yang berlebihan. Sarpakenaka, anak
ketiga, perempuan raksesi yang berwatak jahat, suka iri. Mukanya jelek
ARUNG DIRI
Kitab Puisi

xxi

berwarna kuning dan suka bersolek berlebihan. Melambangkan nafsu kepada


harta duniawi. Wibisana, putra keempat berupa manusia. Satria tampan ini
melambangkan laku tirakat, hidup sederhana dan sangat spiritual. Dalam
konteks ini tampak sekali bahwa dalam rahim jiwa manusia terkandung sifat
angkara dan juga laku budi-suci. Persoalannya adalah mampukah manusia
mengelola kedua sifat yang saling bertentangan namun sekaligus saling
mengisi dan melengkapi itu?
Pertanyaan berikutnya adalah mengapa Sukesi yang harus menanggungnya. Mengapa memahami Sastra Jendra Hayuningrat melahirkan kutuk bagi
perempuan? Bukanlah mempelajari ilmu hak setiap pribadi? Terjadi ketidakadilan jender dalam kasus ini. Maka, Sukesi pun berseru, aku Dewi Sukesi,
wanita jelita teperdaya ilmu berbisa/dan dikerjai dewa yang tak rela manusia
jadi sempurna/pesanku kepada manusia: waspadalah tabiat ilmu dunia/ kalau
gegabah, Sukesi dan Wisrawa kedua di depan mata.
Perhatikan pula penggalan puisi berikut ini.
SUARA HATI SARPAKENAKA 1
Akulah perempuan yang menerima sepenuh hati
segala yang terberi pada diri:
ujud raksasi menebar ngeri
buruk rupa tiada menarik lelaki
badan pun tak sesuai idaman hati
budi pun tiada terpuji karna jahat menguasai
apalagi suara, sungguh di luar tatakrama resmi
apalagi pribadi, sungguh lancung pekerti
Bukankah aku perempuan mulia karena sanggup memikul semua?
tetapi, kenapa justru ditahbiskan perempuan hina dan tiada harga?
Apakah kemuliaan sebangun rupa bagus, hati terpuji, lembut suara,
dan tinggi budi, bukan kesanggupan menerima takdir sepenuh jiwa?
Sungguh cerita dan tafsir sederhana tiada merasuk rahasia makna!
Sungguh cerita dan tafsir tak semena-mena demi kepentingan kuasa!

xxii

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

Nasib Sukesi tidaklah jauh berbeda dengan nasib Sarpakenaka. Mereka


juga terperangkap pada kultur yang didesain oleh kekuatan laki-laki. Sarpakenaka adalah putri Sukesi, berwujud raksesi. Dia digambarkan selalu mendukung tindakan jahat Rahwana, kakaknya. Sebagai sang nafsu hitam sangat
bersemangat mendukung sang nafsu merah (representasi Rahwana) dan
merintangi manusia dalam menggapai pencerahan. Benarkah ia mendukung
kejahatan Rahwana atau justru tak berdaya secara hierarkial dan oposisional
karena Rahwana adalah kakaknya dan sekaligus laki-laki? Ketidakcantikannya
juga bukan kehendaknya, namun karena takdir yang harus diterima sebagai
akibat kutuk yang disandang sang ibu.
Berjalan dalam garis takdir dan narasi yang tidak kuasa ia hindari
bukanlah pekerjaan mudah. Predikasi antagonis harus ia terima dan ia jalani.
Maka, DS pun mengajak Sarpakenaka bertanya, Bukankah aku perempuan
mulia karena sanggup memikul semua? Berani bertanya adalah sebuah
keberanian, walaupun jawaban tidak mudah ia dapatkan. Yang terpenting
telah tumbuh kesadaran kritis atas kodratnya sebagai perempuan yang dalam
catatan perjalanan hidup manusia selalu termarginalisasi.
Keberanian membalikkan fakta menjadi fakta baru memang belum
konkret dikerjakan Sukesi dan Sarpakenaka di dalam puisi di atas, walau
sinyal-sinyal pemberontakan sudah terbaca lewat pertanyaan-pertanyaan keras
yang mereka lantunkan. Justru dalam diri Sinta semangat melawan kekuasaan
laki-laki tidak hanya dinyatakan secara verbal, namun juga melalui tindakan.
Perhatikan puisi berikut ini.
MIMPI SINTA
Rahwana Rahwana Rahwana
bawa saja aku ke dalam istana asmara di Alengka
biarkan menyantap gelegak nafsu yang kau punya
dan mainkan seluruh jurus indah kamasutra
dan hunjamkan libidomu di kedalaman raga

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

xxiii

Bukan cuma mereguk nikmat tiada tara


aku juga serasa terbang ke nirwana
meski kubelum ke sana
Jangan hiraukan Rama jangan indahkan dia
lelaki sangat jaim yang sesungguhnya lemah jiwa
di hadapan wanita yang ditakdirkan paling setia
hingga perlu bala butuh wanara untuk citra diraja
padahal cukup pakai besar jiwa dan lapang dada
Madiun, 2007

Puisi Mimpi Sinta itu merupakan suara bawah sadar Sinta. Suara bawah
sadar itu ketika menyeruak ke luar bisa jadi akan berubah menjadi tindakan.
Bukan lagi mimpi namun sebuah kenyataan. Benarkah Rama mencintai Sinta
sehingga ia berjuang merebut kembali Sinta dari genggaman Rahwana dengan
bantuan laskar kera? Ataukah ia takut bahwa benda kepunyaannya, mainan
yang sangat ia eman-eman, jatuh ke tangan orang lain? Atau, justru merasa
harga dirinya terinjak-injak ketika bagian dari privasinya direnggut oleh pihak
lain? Oleh karena itu DS melakukan pembacaan ulang atas kisah Sinta
tersebut. Dalam pembacaan kritis hendaknya manusia tidak gampang terjebak
pada pemahaman makna tekstual, namun harus mampu menemukan alasan
mengapa artikulasi gagasan disusun dengan cara tertentu.
DS menafsirkan bahwa Rama adalah lelaki sangat jaim yang sesungguhnya lemah jiwa/ di hadapan wanita yang ditakdirkan paling setia/ hingga
perlu bala butuh wanara untuk citra diraja/. Tentu penafsiran tersebut jauh
dari kebenaran yang selama ini dibaca banyak orang yang menganggap Rama
adalah titisan Wisnu penjaga kedamaian dunia. Pemujaan kepada Rama justru
membutakan orang kepada pengetahuan bahwa bagaimana pun juga Rama
hanyalah seorang manusia. Hal itulah yang mendorong DS melakukan pembacaan ulang, menuliskan sisi manusia (yang tidak sempurna dan selalu
lemah) dari Rama. Bahkan, Sinta pun dilukiskan sisi kebetinaannya yang

xxiv

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

tidak selamanya harus setia, lebih-lebih kepada kesewenang-wenangan lakilaki.


Reidentifikasi diri juga dikenakan kepada tokoh-tokoh antagonis Rahwana dan Kumbakarna. Reidentifikasi diri tersebut semata-mata untuk mengangkat martabat manusia, memanusiawikan manusia, mendudukkan eksistensi
manusia secara proposional. Dalam puisi Suara Hati Rahwana DS menulis:
Tapi, haruskah semua sebutan menjijikkan kusandang kukenakan?/ Sedang
aku melakukan semua di luar timbang, di luar kesadaran/ Aku hanya menjalani
takdir dewata: suka cita, pantang terbata!/ Aku hanya menepati takdir ilahi:
tanpa mengingkari yang telah pasti! Rahwana menanyakan mengapa predikat
buruk harus selalu disandangnya padahal sebagai makhluk ia tidak mungkin
bisa menolak takdir. Bahkan, dalam puisi Suara Hati Kumbakarna DS
menulis: pilihan kehidupan hanya permainan bukan kekalahan kemenangan/
di sana tak ada pengkhianatan juga kehebatan kebodohan/ pilihan kehidupan
hanya permainan kenapa harus memutuskan?
Puisi-puisi DS terbentang dari ruang theo-humanitas ke identifikasi
diri. Kesadaran keilahian yang diharapkan tumbuh pada tiap pribadi akan
mampu melahirkan kesadaran kritis terhadap arti dan kedudukan manusia.
Jiwa manusia bukan hanya hitam dan putih, namun tergelar juga dimensi abuabu dalam hidup dan kehidupannya. Itulah sejatinya wujud multi-dimensinya
manusia.
Tulisan ini akan saya akhiri dengan mengutip puisi DS berikut ini.
RISALAH RINDU 2
di batinku al-Ghazali tiba lalu dia sebar
lembar-lembar memesona Mishkat al-Anwar
penuh cinta kulipat jadi bahtera Sinbad bersuar
lalu kupakai melayari lautan cahaya maha cahaya
denyar angin cahaya menerpa geriap jiwa: di mana berada?
gemulung ombak cahaya membentur jiwa: sampai mana?

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

xxv

bahtera Sinbadku terus berlayar menuju hakikat ada


mengarungi lautan cahaya maha cahaya mencari arah dermaga
[pelayaranku terus menembus waktu tak kutahu kapan tiba
karna aku tenggelam di dasar Mishkat al-Anwar ditawan pana]
Malang, 2011

DS adalah seorang akademisi. Dia tidak mau terjebak dalam klasifikasi


kering seperti itu. Buktinya ia pun menulis puisi. Inilah dimensi lain dari DS,
bahkan mungkin sebuah upaya reidentifikasi diri. Yang jelas saya pribadi
berharap DS terus menulis puisi agar mimpinya tentang pelayaran Sinbad
dapat terwujud, dan kelak ia sungguh menemukan hakikat.
Malang, ketika hujan di pengujung 2012

*Dr. Tengsoe Tjahjono, M.Pd adalah penyair, eseis, dan kritikus sastra serta
dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya. Dia telah menulis beberapa kumpulan puisi dan bukubuku sastra.

xxvi

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

DAFTAR ISI
PRAKATA .........................................................................................................

iii

PENGAKUAN PUISI .........................................................................................

MAKLUMAT ARUNG DIRI ..............................................................................

ix

PURWAWACANA KAWAN:
GAGASAN MENEMU RAGA ..........................................................................

xv

DAFTAR ISI ..................................................................................................... xxvii


ARUNG CERITA ..............................................................................................
l Suara Hati Dewi Sukesi ........................................................................
l Suara Hati Wisrawa ..............................................................................
l Percakapan Wiswara dan Sukesi ............................................................
l Kemarahan Danaraja .............................................................................
l Suara Hati Rahwana .............................................................................
l Suara Hati Kumbakarna ........................................................................
l Kematian Indah Ksatria .........................................................................
l Suara Hati Sarpakenaka 1 .....................................................................
l Suara Hati Sarpakenaka 2 .....................................................................
l Perasaan Hati Wibisana .........................................................................
l Ucapan Rama kepada Sinta ...................................................................
l Geram Rama kepada Sinta ...................................................................
l Jawaban Sinta kepada Rama .................................................................
l Mimpi Sinta .........................................................................................
l Kekesalan Sinta .....................................................................................
l Kata Hati Bisma Muda .........................................................................
l Bara Asmara Bisma ...............................................................................
l Kisah Cinta Amba dan Bisma ...............................................................
l Kata Hati Gandari 1 .............................................................................
l Kata Hati Gandari 2 .............................................................................
l Penyesalan Kunti ...................................................................................
l Tampik Kunti ........................................................................................

xxvii

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

1
3
6
10
11
13
16
18
20
22
23
25
26
27
28
29
30
32
33
37
39
41
43

xxvii

Abnormalisme .......................................................................................
Percakapan Waktu .................................................................................
Kata Hati Karna ....................................................................................
Kata Hati Drupadi ................................................................................
Jalan Swargaloka ...................................................................................
Pengakuan Parikesit ...............................................................................
Sarpahoma ............................................................................................
Kata Hati Ramaparasu ..........................................................................
Pertanyaan Duryudana ...........................................................................
Perjalanan Cinta Sukrasana ....................................................................
Sesal Sumantri ......................................................................................

46
49
50
52
53
55
57
59
61
63
66

ARUNG JIWA ..................................................................................................


l Sajak Perjalanan .....................................................................................
l Sapi Betina ............................................................................................
l Lebah 1 ................................................................................................
l Lebah 2 ................................................................................................
l Lebah 3 ................................................................................................
l Surat 1 ..................................................................................................
l Surat 2 ..................................................................................................
l Surat 3 ..................................................................................................
l Arus ......................................................................................................
l Rindunya Rindu Makrifat Ada ..............................................................
l Angin Semesta 1 ...................................................................................
l Angin Semesta 2 ...................................................................................
l Angin Semesta 3 ...................................................................................
l Angin Semesta 4 ...................................................................................
l Angin Semesta 5 ...................................................................................
l Angin Semesta 6 ...................................................................................
l Angin Semesta 7 ...................................................................................
l Suwung .................................................................................................
l Pencerahan ............................................................................................
l Eling .....................................................................................................
l Sajak Patah Hati ...................................................................................

69
71
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92

l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l

xxviii

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l

Cinta, Bila Kau Suka ............................................................................


Cinta, Laut adalah Dirimu ....................................................................
Cinta, Samudra telah Jadi Pena 1 .........................................................
Cinta, Samudra telah Jadi Pena 2 .........................................................
Cinta, Zikir Ombak Membuai Kita ......................................................
Keselamatan ..........................................................................................
Laut Iman .............................................................................................
Mantra Pembersih Diri .........................................................................
Mantra Keberanian ................................................................................
Mantra Cinta ........................................................................................
Mantra Rindu .......................................................................................
Rindu Bersama ......................................................................................
Risalah Rindu 1 ....................................................................................
Risalah Rindu 2 ....................................................................................
Para Perindu ..........................................................................................
Penunggang Cahaya ................................................................................
Variasi Asmara 1 ..................................................................................
Variasi Asmara 2 ..................................................................................
Variasi Asmara 3 ..................................................................................
Variasi Asmara 4 ..................................................................................
Membaca Dini Hari .............................................................................
Kasmaran ..............................................................................................
Syukur ...................................................................................................
Meditasi Diri ........................................................................................
Mencari Jalan 1 ....................................................................................
Mencari Jalan 2 ....................................................................................
Mencari Jalan 3 ....................................................................................
Mencari Jalan 4 ....................................................................................
Sonata Cinta .........................................................................................
Mencari Makrifat ..................................................................................
Memburu Hakikat ................................................................................
Pengakuan .............................................................................................
Perjalanan Cinta ....................................................................................
Memburu Inti .......................................................................................

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129

xxix

ARUNG BERITA .............................................................................................


l Gaza 1 ..................................................................................................
l Gaza 2 ..................................................................................................
l Bosnia 1 ................................................................................................
l Bosnia 2 ................................................................................................
l Bahasa 1 ...............................................................................................
l Bahasa 2 ...............................................................................................
l Bahasa 3 ...............................................................................................
l Bahasa 4 ...............................................................................................
l Membaca Sejarah ..................................................................................
l Pantai Bama ..........................................................................................
l Talpat ....................................................................................................
l Di Negeri Sulapankah Aku? .................................................................
l Moratorium Kebengisan ........................................................................
l Bebal .....................................................................................................
l Jakarta: Kerusuhan Mei 1998 ...............................................................
l Testimoni Kerusuhan .............................................................................
l Akulah Sunyi ........................................................................................
l Machiavielisme .....................................................................................
l Suramadu ..............................................................................................
l Patah Hati di Suramadu .......................................................................
l Cinta, Kenapa Ada Newton dan Hawking? ..........................................
l Kita dan Newton ..................................................................................
l Kita dan Hawking .................................................................................
l Mencari Bahagia ...................................................................................
l Mencari Kekasih ...................................................................................
l Air ........................................................................................................
l Puisi Belajar Mengumpat ......................................................................
l Manusia Aniaya ....................................................................................
l Laila dan Berita Media .........................................................................
l Nabila Kini Membaca ..........................................................................
l Maulana Bertanya Makna .....................................................................
l Ekshibisionisme .....................................................................................
l Pelayaran Rindu di Matamu ..................................................................
l Sketsa Pagi ............................................................................................

xxx

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

131
133
134
135
137
139
140
141
143
144
146
147
148
149
150
151
152
153
154
155
156
157
158
159
160
161
162
163
164
165
167
168
170
171
172

Semiotika Kezaliman .............................................................................


Kezaliman .............................................................................................
Anomali ................................................................................................
Bumi Kita .............................................................................................
Nasib Bumi ...........................................................................................
Muasal Kepunahan ................................................................................
Pencaplokan Bahasa ...............................................................................
Pembajakan ............................................................................................
Legasi ....................................................................................................
Keberanian ............................................................................................
Solilokui ...............................................................................................
Senandika Kaum Papa ...........................................................................
Pertarungan Makna ................................................................................
Kesetimbangan ......................................................................................
Kejumudan atau Kedamaian? .................................................................
Kehampaan ............................................................................................
Bagaimana Mungkin ..............................................................................

173
175
176
178
180
182
184
186
188
189
192
194
195
197
200
202
203

PURNAWACANA KAWAN:
MENYATUKAN YANG TERBELAH:
JALAN PUISI ARUNG DIRI .............................................................................

205

UCAPAN TERIMA KASIH ..............................................................................

243

TENTANG PERAJIN KATA ............................................................................

245

l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l
l

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

xxxi

xxxii

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

1
Arung Cerita

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

SUARA HATI DEWI SUKESI


seperti segala sabda
kusangka semua ilmu memperindah dunia
dan menyelamatkan arung hidup manusia
maka, kuminta Sastra Jendra Hayuningrat kepada Wisrawa
ketika kepadaku dia mencari cinta buat anaknya Danaraja
[janganjanganbencana bakal mendera dunia
bila aku membeber rahasia Sastra Jendra kepada wanita
tapi demi anakku raja Danareja kubeber kedalaman makna
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu tiada tandingnya,
putus Begawan Wisrawa menggegerkan seisi alam semesta
dan mengguncang damai indraloka, merepotkan semua dewa]
berdua di sanggar pemujaan dewa
dengan budi yang ditenggelamkan lautan lupa
Wisrawa pun gelap mata, lalu membeber jantung rahasia
aku menyambutnya penuh gairah cinta didihnya kelupas dada
aku menyambarnya penuh hajat kama umbar nafsu purba
karena Sastra Jendra bukan teori belaka, tapi laku bercinta membuta
karena Sastra Jendra butuh singkapan hijab wanita agar dapat dicerna
karena Sastra Jendra perlu ketelanjangan agar puncak kenikmatan dirasa
dan aku pun juga Wisrawa memasuki kegelapan kehidupan
berbilang waktu bergumul tanpa penglihatan juga tiada kesantunan
berbilang kali mendaki puncak kenikmatan mungkin juga kebebalan
sebab semua makna Sastra Jendra harus diuraikan juga ditamatkan

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

[gunung-gemunung beterbangan
pepohonan rimba bertumbangan
air sungai dan lautan berhamburan
makhluk-makhluk berlarian mencari perlindungan
dan alam semesta terjerembab di palung kesedihan]
ketika terang tanah setelah segala variasi tubuh diolah
dan semua nafsu muntah dan tumpah
ke seluruh urat nadi alam semesta, bencana telah merambah:
anakku Dasamuka, Kumbakarna, dan Sarpakenaka berwujud raksasa
yang takdirnya mengacau tata dunia juga ketenteraman manusia
hingga dunia onar senantiasa tak sempat merasai bahagia
kendati aku jelita pualam semesta bersuami Wisrawa tua bangka
kendati Wibisana anakku tampan perwira tapi tak memihak ibunda
dengan lapang dada harus kukata
akulah ibu segala malapetaka semesta:
semestinya Wisrawa juga
karena mereka kukandung berbulan lamanya
karena mereka terlahir dari rahimku nan mulia
dengan terbuka jiwa harus kuterima
akulah ibu segala mara bahaya marcapada:
semestinya Wisrawa juga
karena kuduga semua ilmu berkah indah buahnya
ternyata ada yang berbisa: hamburkan racun saat kubuka
karena kukira semua ilmu beri faedah bagi siapa saja
ternyata ada yang dimonopoli dewa: taburkan tuba saat kuminta

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

karena kuyakin semua ilmu dipiara kebenaran kencana


ternyata ada yang dirantai kuasa dewa: tebarkan celaka saat kucoba
bukankah aku perempuan perkasa?
sanggup menerima getir takdir sepanjang masa
ikhlas memanggul beratnya hidup hina dina
lapang dicerca dalam Ramayana, wayang, dan cerita
aku Dewi Sukesi, wanita jelita teperdaya ilmu berbisa
dan dikerjai dewa yang tak rela manusia jadi sempurna
pesanku kepada manusia: waspadalah tabiat ilmu dunia
kalau gegabah, Sukesi dan Wisrawa kedua di depan mata
[gunung-gemunung beterbangan, pepohonan bertumbangan
air sungai dan lautan berhamburan, semua makhluk berlarian
tapi, tapi, kini bukan aku dan Wisrawa biangnya:
kalian sendiri membuka kotak pandora
dengan gelegak hasrat mendedah isi dunia]
aku Dewi Sukesi, ibu segala kerusakan dunia
kenapa jejakku kau ikuti wahai manusia mengumbar angkara?
aku Dewi Sukesi.
[gema suara jauh melintasi sunyi]
Malang, 2007

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

SUARA HATI WISRAWA


sejatiku telah renta umurku sedang mendaki senja
buat apa birahi cinta? nadiku selalu diarungi doa
mataku keberserahan semata pandangku swargaloka
untuk apa nafsu asmara? napasku sudah dilayari bunga
memang segala kesaktian masih kupunya
segenap ilmu langka masih terjaga di dada
memang segala keberanian masih bergelora
segenap ketangkasan raga tetap terpelihara
tubuh, kulit, dan raut pun tetap tampak muda
[maka, jangan dekati cinta jangan sentuh asmara
sekalipun demi Danaraja anakmu yang gamang wanita]
aku hanya masgul kenapa permaisuri Danaraja tak muncul?
aku memang terpukul kenapa raja diraja dirajam ragu bergaul?
adakah seorang bapa bisa mengarungi masa tua berselendang bahagia
ketika anak kinasih tangkas urus negara tapi tumpul rasa wanitanya
[hentikan pikiranmu Wisrawa kau mulai diracuni iba
jangan teruskan menimang rencana kau sedang disihir petaka
jangan manjakan Danaraja kau sedang berjalan menuju celaka]
kesempatanku kini terbuka Sukesi membentang sayembara
aku harus mengantarkannya di atas tahta hati pualam Danaraja

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

[sadarlah Wisrawa kau menginjak tapal kerusakan dunia


berhentilah Wisrawa kau sedang mencetak tapak mala]
[tibalah Wisrawa di arena sayembara membekuk semua petarung
mengerahkan ketinggian ilmu langka sebab rencana pantang urung]
siapa masih berani maju ke arena aku siapkan jurus paling digdaya
Sukesi dara jelita harus kubawa segala rintang harus kulibas semua
[waktu tiba-tiba memucat angin seketika minggat
segenap suara tercekat senyap hadir berlipat-lipat
semua keberanian sekarat semua rasa dihajar pepat]
akulah Wisrawa, tua bangka beraut muda pemenang sayembara
kini Dewi Sukesi harus kusandingkan dengan ananda Danaraja
duduk mesra di dampar kencana negeri gemah ripah Lokapala
sesuai janjiku sejak mula mencarikan pasangan ananda tercinta
sebab aku akan muram durja ananda tak punya turun pelanjut tahta
[sebagai sudah kukata, aku tak perlu suami lelaki perkasa
kuidamkan lelaki cendekia bisa membeber rahasia Sastra Jendra
biar aku dapat bersemayam di puncak kenikmatan berlama-lama,
ujar Dewi Sukesi merusak gendang telinga serasa padat tuba]
[Wisrawa ternganga pinta Sukesi tak dinyana
dan terperangkap perdaya menolak tak kuasa
sebab ingat Danaraja butuh kelengkapan tahta:
seorang permaisuri jelita]

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

demi cintaku kepada Danaraja, baiklah kubeber rahasia makna


Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu kepadamu hai jelita
tetapi perlu kau tahu, Sastra Jendra ilmu kesempurnaan milik dewa
namun harus kau pahami, Sastra Jendra ada di luar bahasa di luar suara
tak butuh ajar, hanya butuh laku gerak untuk tiba di lubuk makna
tapi patut kau mahfumi, makna Sastra Jendra ada di kedalaman cinta
sehingga ketelanjangan syarat tiba di sana syarat mereguknya
[ayolah Wisrawa, jangan banyak suara, hasratku telah membadai
siap menghempaskan rahasia makna Sastra Jendra ke anyir pantai:
tempat sisa hasrat birahi terkulai
sehabis dua nafsu sengit bertikai]
baiklah Sukesi kubeber Sastra Jendra dengan semangat amber
sambutlah dengan gairah cinta meluber hasrat puncak teler
[Wisrawa memeragakan semua rahasia makna Sastra Jendra
Sukesi merenangi lautan kenikmatan tak terbandingkan
Wisrawa mendengus kalap mempertunjukkan jurus Sastra Jendra
Sukesi menenggelamkan diri dalam kenikmatan tak tertandingkan]
[sebab kau Wisrawa, aku selalu mandi rahasia makna Sastra Jendra
bagaimana mungkin aku bisa memalingkan cinta bisa garing dada
siapa sudi melabuhkan hasrat pada Danaraja bisa kerontang jiwa
Danaraja cuma bisa sepenuh jiwa merias tahta gairahku bisa merana
dia gamang merasai wanita, bimbang menyelami palung nikmat cinta:
sesuatu yang paling tak kusuka
putus Sukesi meremukkan hati Wisrawa tapi menolak tak kuasa]

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

duh Gusti sang maha pemberi,


kenapa kerusakan dunia kumulai
duh Gusti sang maha pemberi,
kenapa takdir perusak harus kujalani,
ratap Wisrawa ketika menyadari situasi
tapi benih kerusakan telah dikandung Sukesi
[pepohonan pun lunglai satwa-satwa gontai
benda semesta terberai indraloka terburai
bau amis menyebar wangi teratai bubar
semua berdebar-debar menunggu gelar
perang... perang... perang
dahsyatnya melampaui bayang!]
Malang, 2007

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

PERCAKAPAN WISRAWA DAN SUKESI


Cintaku, belajar Sastra Jendra pada waktu tak tepat,
pasti berbuah jahat menimbulkan bencana hebat,
bisik mesra Wisrawa pada Sukesi yang disandera hasrat.
Semua kemashuran dan kehebatan telah kudapatkan
karena ayahanda Prabu Sumali raja diraja tak tertandingkan.
Kini aku butuh mabuk kepayang butuh kenikmatan.
Maka, ilmu Sastra Jendra Hayuningrat harus kurasakan.
Kaulah yang tepat mengajarkan, Cintaku, balas mesra
Sukesi melumpuhkan pertahanan sang resi mandraguna.
Aku sudah tak butuh kenikmatan kelelakianku menuju peraduan
Tapi aku masih memerlukan biar kugapai puncak nikmat kehidupan
Kau Sukesi memantik nyala gairahku jangan kau teruskan!
Cepat kulayarkan gairahku bersatu gairahmu di laut berkedalaman!
[Ombak gairah berdebur dahsyat tingginya tak tercatat segala alat
Sukesi mencecap nikmat berlipat-lipat dunia beringsut menuju sesat]
Malang, 2007

10

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

KEMARAHAN DANARAJA
indah jagat raya dirompak hitam tinta
pertanda angkara dan petaka naik tahta
duh jagat dewa batara!
kenapa Sukesi justru dimangsa Wisrawa?
padahal dia utusan negeri sejahtera Lokapala
untuk melamarkan Sukesi menjadi permaisuri raja:
Prabu Danaraja, putra kinasih Wisrawa
bedebah kau Wisrawa, enyah kau ayahanda!
sungguh kau begawan tanpa pranata cuaca:
gampang beralih suasana, gelapkan terang jiwa
hanya karena paras purnama Sukesi yang kucinta
ayahanda menggali liang duka bagi batin ananda!
ayahanda macam apa kau hai Begawan Wisrawa?!
geram Danaraja mendidih dengar Wisrawa ingkari peran duta
ayahanda, jangan kau kira, aku gamang menangkap tatap wanita
aku gemetar disengat hasrat asmara, dan mati nyali di ranjang berdua
aku hanya belum paham makna Sastra Jendra yang telah Sukesi pinta
maka kuutus kau meminang Sukesi dengan jejampi Sastra Jendra,
murka Danaraja merobohkan pepohonan dan tetanaman marcapada
ketimbang aku raja tiada harga dan hilang perbawa di Lokapala
kupilih berpisah cinta, kuputuskan ikatan darah yang menautkan kita

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

11

maka, kuperangi kau Wisrawa dengan bara kesumat sengeri neraka


[selaksa bala tentara Lokapala berderap cepat menyerbu Alengka
dipimpin Prabu Danaraja, putra kinasih Wisrawa, gagah dan perwira]
hai Wisrawa, kau manusia rusak tata, kau renggut mawar cintaku
maka maut kulesakkan di dada, biar neraka segera menerimamu,
amuk Danaraja serang Wisrawa, yang membopong tumpukan sendu

[hari bersalin matahari, malam bersalin rembulan, juga penanggalan


dahsyat laga Danaraja dan Wisrawa serasa gemunung berletusan
marcapada porak berserak-serak, swargaloka guncang jumpalitan
manusia getir rasakan, dunia mengaduh kesakitan, sampai kapan?
dewa risau saksikan, bujuk Danaraja sedia lindap dengan giur imbalan]
Malang, 2012

12

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

SUARA HATI RAHWANA


Jangan kau mudah menebar buruk sangka:
betapa durjana Rahwana si Dasamuka
betapa terkutuk Rahwana si Dasamuka
[padahal aku pernah berbagi suka bersama manusia]
Jangan kau mudah menabur pepat umpat:
Rahwana si Dasamuka makhluk bejat
Rahwana si Dasamuka raksasa bangsat
[padahal darah brahmana kukandung sangat kuat]
Terang kaca lukis sejarah:
hantu, mambang, dan rama-rama selalu hadir menyembah
keserakahan, ketamakan, dan kerusakan datang menyerah
dunia iblis, dunia manusia, dan dunia surgawi takluk sudah
Benderang cermin ingatan sejarah:
aku memang selalu mandi amis darah minum anyir merah
aku memang senantiasa mengungkai resah menebar gelisah
aku memang tak putus merangkai susah menyebar bubrah
aku memang terus melumat kepala jadi remah menyantap sirah
Tapi, haruskah semua sebutan menjijikkan kusandang kukenakan?
Padahal aku melakukan semua di luar timbang, di luar kesadaran
Aku hanya menjalani takdir dewata: suka cita, pantang terbata!
Aku hanya menepati takdir ilahi: tanpa mengingkari yang telah pasti!
Ingatlah, aku anak turun perempuan jelita nan cendekia
Ingatlah, aku anak turun resi lembut hati nan mandraguna

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

13

Kakekku pun raja diraja digdaya: dikenang mashur dan wibawa


Mana mungkin aku dikandung oleh kegelapan dan kerusakan?
Mana mungkin aku diasuh oleh kelancungan dan keserakahan?
Takdir memang dahsyat ombak samudra yang menggulung siapa saja
Takdir memang badai laut paling gila yang menghempaskan siapa saja
Aku pun tergulung lumpuh daya: segala usaha terasa hilang guna
kendati aku sakti mandraguna tiada tertandingi oleh sesiapa
bahkan oleh semua dewa apalagi iblis-iblis bergaya
Maka aku terima: jadi Rahwana si Dasamuka yang menggiriskan dunia
Maka aku lapang dada: selalu jadi muara segala kebatilan marcapada
Maka aku rela menghuni palung kegelapan sepenuh jiwa tanpa duka
Maka aku tabah tunaikan laku kerusakan pada seluruh semesta:
agar Rama dan semua bala jadi lambang kebenaran dan kebaikan
agar kebenaran dan kebaikan tersingkap beda di dalam kesilauan
agar semua manusia memiliki gantungan saat rembang gamang
agar timbangan kehidupan dapat seimbang saat goncang
Aku Rahwana si Dasamuka: hidupku hanya wayang
bergantung sang dalang: kenapa harus bimbang?
Masihkah kau menghunus kelewang tuduhan
bahwa akulah sutradara segala kegelapan dan kerusakan?
Hati makhluk memang selalu bergoyang sulit setimbang
Aku Rahwana si Dasamuka, menerima takdir apa adanya:
tanpa takut, tak bakal beringsut, sebab tak patut
Aku Rahwana si Dasamuka, melakoni takdir sepenuh jiwa

14

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

Aku Rahwana si Dasamuka, hanya kini sedia mengalirkan isi dada


Aku Rahwana si Dasamuka, rintihku saja mengguncang dunia
maka kini aku berpantang kata biar bungah seisi semesta
[Semesta melahap senja malam mabuk duka
Matahari dikepung renjana bulan kasip jaga
Lamat-lamat suara menghambur ke mana-mana:
Rahwana... Rahwana... Rahwana....
mengantar makhluk memasuki labirin bencana]
Malang, 2007

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

15

SUARA HATI KUMBAKARNA


lahirku memang raksasa apalagi adik kandung Dasamuka
tapi batinku brahmana bukankah ayahku resi berwibawa
tapi hatiku berbalut zafira berkat takdir yang kuterima
tapi lakuku selembut dewa kebalikan kakanda Dasamuka
maka, aku ksatria berwatak brahmana meski berbadan raksasa
maka, aku mampu menangkap mana kebenaran dan kesalahan:
Rama memang benar, kakakku Dasamuka memang salah
selalu begitu kataku pada Dasamuka kendati tak berbuah
tapi, aku ksatria negeri Alengka, maka kupilih kesetiaan:
kemuliaan ksatria pada pengorbanan meski tahu akan kalah
kehormatan ksatria pada janji setia meski tahu bakal rebah
[kehidupan dan kematian bagi ksatria bukan pokok masalah]
dalam hidup, harus didahulukan kesetiaan apa kebenaran?
dalam hidup, harus diutamakan kebenaran apa kesetiaan?
bagiku, ksatria berbatin brahmana, kesetiaan harus didahulukan
bagi adikku, si tampan Wibisana, kebenaran harus diutamakan
[jangan kau jawab pilih kebenaran dan kesetiaan bersamaan
sebab tanda tak bertanggung jawab pada pilihan kehidupan:
simalakama memang kerap terhidang pada kita
pilihlah dengan keikhlasan yang mukim di dada
jangan memanjakan kehidupan tanpa perbawa]

16

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

pilihan kehidupan hanya permainan harus tak memisahkan


maka begini kulakukan:
sesaat sebelum tempur pungkasan menghadapi Rama
sesaat sebelum kujemput ajal di tuba anak panah Rama
kukirim peluk bahagia kepada Wibisana juga tulus cinta
aku ksatria negeri Alengka adinda, kesetiaan segalanya
dan terasa cinta Wibisana mengalir sejuk ke seluruh jiwa
pilihan kehidupan hanya permainan bukan kekalahan kemenangan
di sana tak ada pengkhianatan juga kehebatan kebodohan
pilihan kehidupan hanya permainan kenapa harus memutuskan?
Malang, 2007

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

17

KEMATIAN INDAH KSATRIA


aku Kumbakarna, ksatria negeri Alengka
bukan kehidupan kucari, bukan kematian kuhindari
kedaulatan negeri harus kubela kendati bertaruh nyawa
martabat negara harus kujaga meskipun maut menemui
kutahu takdirku telah tiba dalam laga seru dengan Rama
ajalku telah memanggil penuh cinta harus kusambut mesra
majulah Rama majulah segesit rusa sukmaku telah siaga
rentanglah busurmu rentang seliat baja ajalku bakal menerima
[Kumbakarna terus menerjang menebas dan menginjak sesiapa
pasukan Rama lintang pukang Kumbakarna kian merajalela]
majulah Rama majulah segesit rusa biar anak panahmu tepat di dada
rentanglah busurmu rentang seliat baja biar hunjam dalam di sukma
[Rama terkesiap, Rama termangu, dengan busur sudah ditarik kuat
tiada kuasa menolak tugas bagai cahaya anak panah kilat melesat]
lesatlah cepat anak panah Rama tanganku siaga penuh cinta:
secepat cahaya, anak panah Rama tiba di tangan Kumbakarna
dan kedua tangan putus berpisah dengan tubuh raksasa
lesatlah cepat anak panah Rama kakiku telah dialiri semerbak doa:
secepat suara, anak panah Rama menghantam kaki Kumbakarna
dan kedua kaki terpenggal jatuh jadi sekerat tulang bertuba

18

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

[tanpa tangan dan kaki, tubuh Kumbakarna mengguling dan melindas


menghentikan napas semua manusia dan wanara yang dipapas]
majulah Rama, cepat majulah, sempurnakan mautku jangan ragu
telah berdendang tembang keberserahanku, berseru-seru nirwanaku
[Rama pun mengarahkan anak panah tepat pada ulu hati Kumbakarna]
lesatlah cepat anak panah Rama leherku telah siap menerima:
dan secepat kilat, anak panah Rama menyapu leher Kumbakarna
kepala dan tubuh pun berpisah tanda takdir telah paripurna
[Rama langkahkan kaki, meninggalkan sunyi, selepas Kumbakarna tiada lagi]
Malang, 2007

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

19

SUARA HATI SARPAKENAKA 1


Akulah perempuan yang menerima sepenuh hati
segala yang terberi pada diri:
ujud raksasi menebar ngeri
buruk rupa tiada menarik lelaki
badan pun tak sesuai idaman hati
budi pun tiada terpuji karna jahat menguasai
apalagi suara, sungguh di luar tata krama resmi
apalagi pribadi, sungguh lancung pekerti
Bukankah aku perempuan mulia karena sanggup memikul semua?
tetapi, kenapa justru ditahbiskan perempuan hina dan tiada harga?
Apakah kemuliaan sebangun rupa bagus, hati terpuji, lembut suara,
dan tinggi budi, bukan kesanggupan menerima takdir sepenuh jiwa?
Sungguh cerita dan tafsir sederhana tiada merasuk rahasia makna!
Sungguh cerita dan tafsir tak semena-mena demi kepentingan kuasa!
Akulah perempuan yang menerima sepenuh kesadaran
segala yang jadi ketetapan:
terlahir dari Wisrawa nan digdaya dan Sukesi nan menawan
bersaudara Dasamuka dan Kumbakarna yang menggiriskan
dan Wibisana yang melarikan diri dari kesetiaan
Bukankah aku perempuan teladan karna lapang menerima ketetapan?
tetapi, kenapa justru didaulat perempuan lancung tiada berperadaban?
Apakah keteladanan sebangun tampang menawan dan memihak kebenaran,
dan bukan kesediaan menerima takdir penuh keberserahan?
Sungguh cerita dan tafsir kekanak-kanakan tiada merasuk inti kehidupan!
Sungguh cerita dan tafsir tak berkeadilan demi kelanggengan kenikmatan!

20

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

Akulah Sarpakenaka
perempuan raksasa tak mewarisi kecantikan ibunda
dan kesaktian ayahanda yang celaka akibat pinta Danaraja
tapi, aku menerima sepenuh jiwa segala takdir yang ada:
tanpa dendam dan kecewa!
[bumi mendadak gemetar semua kehabisan sesumbar
damai indraloka guncang seketika semua penghuni hilang sabda]
Malang, 2007

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

21

SUARA HATI SARPAKENAKA 2


Dalam Ramayana juga wayang Jawa
apa beda adaku dengan Sinta? Tak ada.
Sinta dan aku sama-sama perempuan aniaya
di bawah bayang-bayang gergasi kuasa pria
simpul Sarpakenaka menentang pakem cerita.
Kejelekanku dan kecantikan Sinta,
kelancunganku dan kesucian Sinta,
kesetiaanku pada kakanda Rahwana
dan kebenaran Sinta di pihak Rama,
hanya perumitan alur cerita buatan pria
sebagai topeng pelanggengan kuasa,
papar Sarpakenaka membuka borok cerita.
Maka, sadarlah hai kau Sinta!
Kita korban patriarki semata:
tiada kemanusiaan dan keadilan di sana!
kecuali cekam takut pria tak memimpin dunia!
kecuali muslihat pria untuk selalu berada di muka!
[padahal mestinya kita bersanding bersama kinasih kita]
Malang, 2007

22

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

PERASAAN HATI WIBISANA


Benar, benar, aku anak Sukesi dan Wisrawa
yang telah gagal mengelola gelegak asmara
hingga mereka induk segala angkara dan petaka
Bagaimana mungkin aku harus menyatakan dusta?
padahal kebenaran dan kebajikan bagiku mahkota
Benar, benar, aku adik bungsu Rahwana, Kumbakarna,
dan Sarpakenaka yang punya tubuh dan paras raksasa
Rahwana dan Sarpakenaka sumbu onar seisi dunia
Kumbakarna ksatria sejati yang setia kepada Alengka
Bagaimana mungkin aku harus menyuarakan dusta?
padahal kebenaran dan kejujuran harus kujaga
Takdirku memang penjaga kebenaran:
maka kuminta kebajikan kepada dewata
takdir Kumbakarna pemelihara kesetiaan:
maka dia minta kekuatan kepada dewata
takdir Rahwana dan Sarpakenaka pemuja kebatilan:
maka mereka minta kesaktian kepada dewata
Kendati berdiri di tempat berbeda
mereka senantiasa kuguyur anggur cinta
sebab pernah hidup di hangat rahim yang sama
sebab terlahir dari sosok wanita yang sama:
sosok Sukesi nan jelita, idaman para raja

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

23

Kendati berada di tempat berbeda


cintaku kepada mereka adalah rimba belantara
rimbun hijau penuh kesegaran, lebat tiada terkira
sebab terasuh oleh kelembutan kedua orang tua
sebab terawat oleh ketangguhan menerima derita:
ketangguhan Sukesi menanggung bencana
Banyak tak terkira jalan menuju indah swargaloka
kenapa makhluk salah terka jalan tunggal dipuja!
Kebenaran hanya satu jalan menuju swargaloka:
maka besar dada tak bakal kubusungkan
Kesetiaan juga satu jalan menuju swargaloka:
maka kuhormati Kumbakarna punya pendirian
Kebatilan haruskah dimaknai jalan sesat ke neraka selamanya?
dan bukan jalan pembersihan diri sebelum tiba di swargaloka?
maka kumengerti pilihan Rahwana dan Sarpakenaka
tak bakal kulemparkan kutuk kepada kedua kakanda!
Takdirku penjaga kebenaran, harus bersikap penuh kebajikan
takdirku perawat kebajikan, harus berlaku penuh kelembutan
maka rendah hati dan penuh pengertian selalu kuutamakan
maka segala serapah dan kekerasan selalu kuhindarkan
maka pada Rahwana dan Sarpakenaka tak kumaklumkan perang
maka pada Kumbakarna kusematkan tulus cinta sebelum tumbang
maka aku hanya menyeberang pada pihak Rama nan gemilang!
Malang, 2012

24

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

UCAPAN RAMA KEPADA SINTA


berbilang masa
kau digenggam kuasa Rahwana
kesucianmu tentulah sirna
sebab ia tercipta dari gelegak asmara
yang kehilangan tata bersanggama
juga pengkhianatan niat suci manusia
maka, bagaimana aku bisa percaya
dirimu buatku semata:
raja diraja Ayodhya
dan dihormati semesta
Madiun, 2007

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

25

GERAM RAMA KEPADA SINTA


Lama-lama pendirianku goyah juga:
sesungguhnya kau dilarikan Rahwana
ataukah pergi bersama atas nama cinta?
Mungkinkah ragamu suci di istana Alengka
dan menampik segala gairah badani raja Alengka?
Kitab memang menetapkan cerita:
bahwa kau dilarikan Rahwana
lantas seisi semesta geger luar biasa
Kurang ajar!
ketahuanlah aku lelaki lemah daya
tanpa bala tanpa bantuan wanara
tanpa pemihakan dewa
Kurang ajar!
kau Rahwana
juga Sinta yang kudamba
Madiun, 2007

26

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

JAWABAN SINTA KEPADA RAMA


Jelaslah kupilih sendu
ketimbang membuktikan kesucian padamu
sebab hakikatku suci sejak ada sejak sediakala
Kobar api tak mempan melumat raga
justru aibmu bakal nganga terbuka:
lelaki cuma suka syak wasangka meski raja diraja
dan menafsiri cinta dengan kuasa bukan rahsa
Rama, memang sejak dicipta
kau tak pernah sampai palung jiwa wanita:
tempat janji setia kupahatkan di sana
Madiun, 2007

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

27

MIMPI SINTA
RahwanaRahwanaRahwana
bawa saja aku ke dalam istana asmara di Alengka
biarkan menyantap gelegak nafsu yang kau punya
dan mainkan seluruh jurus indah kamasutra
dan hunjamkan libidomu di kedalaman raga
Bukan cuma mereguk nikmat tiada tara
aku juga serasa terbang ke nirwana
meski kubelum ke sana
Jangan hiraukan Rama jangan indahkan dia
lelaki sangat jaim yang sesungguhnya lemah jiwa
di hadapan wanita yang ditakdirkan paling setia
hingga perlu bala butuh wanara untuk citra diraja
padahal cukup pakai besar jiwa dan lapang dada
Madiun, 2007

28

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

KEKESALAN SINTA
Di mana saja lelaki sama:
di dalam cerita juga dunia nyata
di dalam bahasa juga realita
selalu merebut ruang hidup wanita
senantiasa meniadakan keberadaan wanita
Akulah buktinya:
di dalam bahasa nasibku ditulis aniaya
di dalam Ramayana hidupku terlunta-lunta
di tengah aniaya para lelaki yang haus kuasa
Kuingin benar bermetamarfosa ke dunia nyata
tapi Marsinah mati di tangan lelaki bersenjata
dan ribuan pemudi jadi pemuas nafsu purba
dan buruh perempuan hanya barang semata
Oh dewa oh dewa
inikah keadilan namanya?
inikah kemanusiaan maknanya?
kini aku tak percaya!
Madiun, 2007

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

29

KATA HATI BISMA MUDA


Aku Dewabrata, sang Bisma muda, anak Dewi Gangga
tujuh kakakku mati semua, ditenggelamkan di sungai oleh ibunda
sebab dicegah ayahanda, aku luput binasa, tapi ibunda pulang ke surga
aku dibawa serta, dibesarkan dalam permai surga, dan asuhan bidari jelita
saat dewasa, turun kembali ke marcapada, kujumpa ayahanda dilahap usia.
Meski dikunyah tua, ayahanda bangkit selera, bila menatap wanita
maka dia putuskan menyunting janda jelita, agar hidup berbalur asmara
Satyawati ibu mudaku pasang syarat istimewa, sang anak harus naik tahta
ayahanda segera hilang muka, masgul belaka, sebab aku putra mahkota.
Tahta, ayahanda ambil saja, bagiku bukan hal utama dalam hidup fana
keikhlasan kepada orangtua, ketakziman kepada ayahanda, tiada dua,
berkata amat bijaksana Bisma muda, mematahkan reranting angsoka.
Betapa mulia hatimu wahai Bisma, menyerahkan impian semua manusia
namun bahaya tetap di mata, sebab anak turunmu bisa meminta hak tahta
negara bisa dirundung perang paling gila, sekandung tarung berebut kuasa,
Santanu melempar kata beraura duka, merundukkan dedaunan belantara.
Ayahanda, jangan kau mengasah buruk sangka, dan menimang derita
penghormatan dan pengorbanan anakmu tiada bisa ditala, juga dibahasa
demi bungah hati dan tenteram jiwa ayahanda, demi girang hati istri muda
baiklah kuucap sumpah, dalam sepanjang hidup, aku bakal menjauhi wanita,
berpantang jatuh cinta, menidurkan gairah sanggama, juga selibat selamanya,
kata-kata Bisma meruntuhkan semua mega, membanting-banting pintu surga.

30

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

[Santanu kehabisan kata, dunia kehilangan bahasa, para dewa ternganga


Bisma meraih rahasia hakikat ada, menguasai hak hidup dan mati di dunia
para dewa segan mencampuri Bisma, sebab dia manusia di atas para dewa]
Malang, 2011

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

31

BARA ASMARA BISMA


Jangan Amba, jangan kau sulut bara asmara
yang tengah mengabu di sela reruntuhan aneka cita
sebab telah kusiram dingin hasrat bertahun lamanya
demi kelangsungan kuasa Santanu-Satyawati di Astina
Biarlah sepi cinta memagut diri, melumat sanubari
Biarlah hambar rasa menjajah hati, mengebiri ganas laki
Jangan Amba, jangan kau bakar bara asmara
di panas tungku api cinta yang kau nyalakan di dada
sebab telah kupadamkan sekian lama dan selamanya
demi keseimbangan kuasa Santanu-Satyawati di Astina
Biarlah mati rasa mengaliri nadi, membanjiri nurani
Biarlah mati semu mencacah hati, merajang gairah laki
Kau tahu, kuasa lazim menerkam korban siapa saja:
tak cuma wanita, bahkan putra mahkota
Kau tahu, kuasa galib menelan anak turun manusia:
dan akulah orangnya, kehilangan segalanya
meski kuikhlaskan semua, kurelakan tanpa duka
demi kelanggengan dinasti keluarga sebagai penguasa
yang cemas akan keterbukaan dunia dan perubahan tata
Malang, 2011

32

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

KISAH CINTA AMBA DAN BISMA


[adakah bahasa yang sanggup mengatakan kehebatan Bisma?
adakah lukisan yang mampu menggambarkan kesaktian Bisma?
dikuasai segala ilmu: agama, politik, perang, dan olah senjata
bahkan hidup dan mati digenggam pula: dapat dipilih sesuka Bisma
apalagi cuma menjadikan tak berdaya para petarung paruh baya
maka mudah baginya memenangi sayembara cinta wanita
dan memboyong ke Astina tiga dara jelita:
salah satunya si kepodang Amba
sesaudara Ambika dan Ambalika]
Bisma, kau lelaki istimewa paling kupuja
ketinggian budi dan jiwamu gentarkan dewa
kenapa kau persembahkan aku buat raja Astina?
bukankah kau pemenang sayembara, berhak atas Amba?
tanya Amba kepada Bisma yang tengah digempur goda cinta
Jangan kau lantunkan suara yang memukul dada
telah kubentengi nafsu dengan gunung-gunung doa
dan keikhlasan melampaui kemampuan para dewa!
Bisma, kau lelaki luar biasa paling kudamba
pamormu menyala-nyala bakar sekujur jiwa-raga
kenapa kau kawinkan aku dengan raja Astina?,
gugat Amba berbalur lulur kehalusan asmara

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

33

Jangan kau anyam kata-kata berbisa, wahai Amba


jangan kau racik nafsu purba yang memangsa sukma
aku berpantang jatuh cinta, apalagi birahi asmara!,
tangkis segera Bisma dengan heran tak bisa sirna
Namun, aku hanya sudi menyerahkan cinta kepadamu
aku bahagia melepas tubuh ranumku pada golak gairahmu
kepada raja Astina, kendati diraja berkuasa, mana aku mau,
kian kencang Amba mengirim badai hasrat ke putra Santanu
Amba mendesiskan sasmita, saat sehasta jarak dengan Bisma
Jangan, jangan kau hantarkan taufan gairah asmara, Amba
biarkan lingga di tubuhku jadi hias badani belaka, guna tak ada
aku telah putuskan membujang sepanjang hidup di marcapada
lagi pula aku cuma utusan raja Astina, khianat tak bakal kucipta,
Bisma menahan kelenjar-kelenjar asmara yang kian membajak dada
Cintaku cuma berbinar-binar denganmu, duhai Bisma
gairahku cuma berkobar-kobar denganmu, duhai Bisma
kenapa kau bentengi dirimu dengan sumpah menyiksa?
Sambutlah gemunung gairahku, kau akan mandi rasa bahagia,
tandas Amba kian mendekati tubuh Bisma tubuh perkasa
[Bisma terpana, gentar, hendak menghindar
senjata sakti diacungkan agar Amba berdebar
dan niat Amba bubar, juga hasrat bersama pudar
namun senjata sakti Bisma hilang kendali, tak bisa henti
menghunjami tubuh Amba, tumbang bersama matahari]

34

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

Dalam kejut paling kalut, Bisma menyambar, meraih tubuh Amba


memangku dan memeluk begitu mesra, ketika ruh menemu tuju surga
Kenapa kau bunuh aku, duhai Bisma, hanya karena cintaku serasa bara
bukankah cukup menepis dengan kata, bukan menghunjamkan senjata?
Adakah cinta harus berbalas kematian, bukankah cukup kesakitan dada?
Maafkan aku, Amba, tak kusediakan niat mencelakaimu, membunuhmu
aku ditimang gamang, harus menjaga sumpahku apa menerima cintamu.
Harus kau tahu, betapa menggelora cintaku di pantai rindu hatimu
seluruh gairah asmaraku adalah badai samudra paling gila di Lautan Hindia
dan kelelakianku adalah ombak samudra yang mengirim debur ke dermaga
hendak menyongsong cintamu, namun kupadamkan seketika demi Astina,
aku Bisma lirih, membelai paras Amba, saat ruhnya meninggalkan raga.
Mendengar aku Bisma, paras Amba bercahaya kian jelita, raut penuh rona
dan betapa bahagia ruh Amba saat meninggalkan raga, lalu berkata mesra:
Duhai Bisma pujaku, kutunggu kau di surga, kujemput ruhmu penuh suka cita
lantas kita berkasih mesra tanpa jeda, sambil mandi hujan cahaya bahagia
kita jadi sepasang kekasih sejati di sana, kita jadi mempelai abadi di sana
Ya, tunggulah aku bidadari jiwaku, penghuni tunggal palung hati Bisma
nanti jemputlah penuh bunga di pintu surga, kita pengantin suci senantiasa,
kata hati Bisma dengan memeluk raga Amba yang telah ditinggalkan ruhnya
lalu dia menutup mata Amba, dan meletakkan raga seolah menidurkan Amba.
[di padang Kurusetra, Barathayuda kian menggila, Bisma tiada tandingnya
di tengah kilau hujan senjata, tajam batin Bisma yakin Srikandi adalah Amba
ayo majulah Amba sekilat kijang jelita di tengah belantara, sambut Bisma
jemput ruhku segera Amba, berikan mautku seketika, lembut ia meminta
hamba Srikandi, bukan Amba kekasih tuan hamba hanya utusan cinta
jangan lama bicara Amba, serang aku dan letakkan mautku di hulu jiwa
ARUNG DIRI
Kitab Puisi

35

dia berikan ruang buat Srikandi menyerang tiada terkira dan juga Arjuna
melesatkan dahsyat berpuluh anak panah berbisa ke seluruh tubuh Bisma
terjungkal Bisma dari kereta, berbaring di ranjang panah menancapi tubuhnya]
Duhai Amba kejora jiwa, kau datang jemput aku, ajak aku ke surga
betapa bungah diriku berjalan di atas cahaya, berpegangan dalam cinta
Duhai Amba kejora jiwa, kita segera ke sana, selepas kusaksikan Kurawa
punah semua dan kuberikan wejangan suci kepada cucuku Yudistira,
lirih ucap Bisma disaksikan Srikandi jelmaan Amba di padang Kurusetra.
[Kurawa hancur, Bisma gugur, prahara Bharatayudha bekap manusia
ruh Bisma wangi menur, mesra dibimbing ruh Amba menuju surga]
Malang, 2011

36

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

KATA HATI GANDARI 1


Tersebab kuasa dan wibawa wangsa Kuru di dunia:
aku pun dipersembahkan ayahanda bagi mereka
menjadi istri pangeran Pandu atau Drestarasta
biar temali kekuasaan kokoh tak tertandingi sesiapa
Tersebab berita dibawa Bisma, aku pun mencari upaya
biar tak dipilih Drestarasta, padahal Pandu paling kucinta
Meski berbalur amis tiada kira, memilihku juga Drestarasta
karna naga Kowara bawa mustika sasraludira menyusup dada:
aku lumpuh daya, aku pun diam bertudung duka
hujan kesedihan seketika menderas berkala-kala
di taman hati yang dikepung patriarki begitu lama
Tersebab Drestarasta buta, aku pun menutup mata
lipatan kacu hitam kubebatkan mata sepanjang usia
menampik pendar cahaya, menolak terang dunia
menyingkirkan keindahan yang menyihir kepala:
ini tanda cinta suci atau tindak hilang asa?
ini bukti bela cinta atau kecewa tak terkata?
Tersebab Drestarasta buta, aku pun menutup mata
bukankah cinta tak butuh mata, hati jalan sempurna
bukankah asmara tak damba raga, rasa paling utama
bukankah hasrat tak syaratkan hasta, raba sumber perdana

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

37

ini tanda hormat atau rasa jijik menguasai dada?


ini bukti menerima cinta atau laku serba mendua?
Tersebab Drestarasta buta, hatiku bergelora samudra saat bercinta:
kendati tak saling tatap mata tak saling puja raga
Tersebab Drestarasta buta, rasaku berombak saat memadu asmara:
berkat dengus gairah kamasutra gairah erotika
Tersebab Drestarasta buta, rabaku membadai saat hasrat meminta:
sebab bayang-bayang seranjang di dalam pikiran wanita
dan aku pun menjadi ibu para Kurawa mereka amatlah kucinta
apapun perilaku seratus ananda acap acuhkan ibunda
apapun perangai seratus ananda gemar ingkari dharma
apapun jalan hidup seratus ananda tumpas di Baratayudha
sebab cinta kencana adalah kesediaan menerima yang tak sempurna
sebab cinta kencana adalah kerelaan menyayangi yang tak berakhlak mulia
Malang, ujung malam 2012

38

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

KATA HATI GANDARI 2


Hidup bersama Drestarasta, aku tiba pada pikiran:
kekuasaan selalu menuntut kesempurnaan
dan kesempurnaan diartikan tak ada kecacatan
dan kesempurnaan dimaknai sebagai kebenaran
kebenaran selalu ditetapkan oleh kekuasaan
dan kekuasaan digenggam para lelaki pilihan
dan kekuasaan ditentukan ideologi idaman
maka Drestarasta yang buta bukanlah lelaki sempurna:
meski sehat jiwa raga, cukup digdaya pula
maka Drestarasta yang buta tak benar duduk di tahta Astina:
meski sulung Astina, kakak Pandu Dewanata
meski bijaksana, mampu memimpin negara
maka Pandu Dewanata pilihan utama, didaulat jadi raja Astina
karna punya mata yang menangkap cahaya, melihat terang dunia
Tapi, takdir dan celaka tak bisa ditunda, Pandu mangkat usia muda
Drestarasta naik tahta, meski sementara, hingga Pandawa dewasa
Tatkala Pandawa dewasa, Duryadana duduki tahta, tanpa restu tetua:
bukankah aku lelaki sempurna, tak cacat mata seperti ayahanda
kenapa garis tahta harus ikut keturunan paman Pandu Dewanata
padahal dia anak kedua, adik ayahanda, meski berlainan ibunda
mestinya dikembalikan kepada Duryudana, sulung trah Kurawa

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

39

Maka wangsa Kuru pun terperangkap simalakama, terundung malapetaka:


sesaudara menggelar Bharatayudha, memperebutkan tahta fana
Maka kekuasaan pun goyah, kesempurnaan terbelah, kebenaran tak absah:
karna palsu belaka, tebal rias pura-pura, dan sarat nafsu dursila
[Marcapada pun serasa mengerut menanggung laku tak patut
Makhluk-makhluk bermimik kecut menggendong aib berlarut-larut]
Malang, ujung malam 2012

40

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

PENYESALAN KUNTI
Risau tiba di dada ketika Kunti dirajam duri-duri sepi.
Cekam kuat ingatan pada Basukarna tak sudi pergi:
mengiris-iris pipih serpih hati
Duh Gusti kang murbeng dumadi
kenapa mantra aji pepanggil* kucoba semau sendiri
tak hati-hati hingga terjadi kehamilan tak kuingini
padahal aku tak sudi tubuh terlukai, harus tetap suci
keperawanan tetap kumiliki selepas kelahiran bayi
tak boleh tahu seorang lelaki, bahkan seisi bumi
sebelum terang meminang pagi, melamar matahari
[Dan Batara Surya bantu lahirkan bayi lewat telinga
maka ia bernama Basukarna, putra mentari di dunia
ia tak pernah merasai keindahan gua garba ibunda]
Duh Gusti kang murbeng dumadi
anakku Basukarna terpaksa kularung di kali
kupisahkan dari belas kasih ibu kandung sejati
karena gemerlap citra wanita istana lebih kuikuti
karena kilap status terpandang mesti lebih kuimani
ketimbang tanggung jawab pada perbuatan tak terpuji
karena kesempurnaan palsu lebih kuimami
karena kepura-puraan suci mesti kulindungi
ketimbang mengakui Basukarna anak kandung sendiri
sesal Kunti dituntun jernih budi ketika sadar merambati
ARUNG DIRI
Kitab Puisi

41

Duh Gusti kang murbeng dumadi


Basukarna berjalan dari kehinaan ke kehinaan bumi
karena segenap terang telah kusembunyikan di hati
dan kututupi gengsi sebagai wanita muda idaman lelaki
apakah aku ibu tak punya sanubari dan lancung pekerti?
Duh Gusti kang murbeng dumadi
memang aku tak sedahsyat, tak sehebat Satyawati
berani mengakui Abiyasa anak kandung sendiri
ketika kekalutan dinasti mengirim segenap jeri
hingga keutuhan negeri terlindungi, tegak berdiri,
leluhur Astina nan luar biasa dikagumi Kunti
Risau jiwa telah pulang ke desah dada
Ingatan pada Basukarna lekat di syaraf kepala
Kunti terpana: kegelapan selalu menuntut dibuka!
Kunti ternganga: jalan hidup sungguh susah diterka!
Malang, ujung malam 2012

* aji pepanggil = mantra atau doa pemanggil dewa untuk memberi anak yang dimiliki oleh Kunti

42

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

TAMPIK KUNTI
[ayolah cintaku, lakukan niyoga* demi nasib kita berdua
demi kelanggengan wangsa kita, kelangsungan negeri Astina,
bujuk Pandu yang cemas kepada Kunti yang dikepung lara]
kegelapan demi kegelapan kehidupan sudah kuarungi
jangan sungkurkan aku ke dalam palung kegelapan kembali
cuma karena seorang anak tak kulahirkan dari rahimku nan suci
hanya karena anak ahli waris tahta tak kusembahkan sebagai istri
tersebab gentar tak masuk surga bila anak kandung tak dimiliki
kesetiaanku tak terbagi kendati kau dirundung impotensi:
kesetiaan hanya memerlukan pengertian sepenuh nurani
kecintaanku tak terkurangi meski kau dirajang kutuk mati:
kecintaan hanya meminta penerimaan tulus sanubari
mana mungkin aku memberi gairah birahi pada lelaki selain suami:
hanya karena seorang anak yang tak mungkin kau beri
akibat kutuk resi yang bertemu ajal di panahmu nan sakti
mana mungkin aku beradu seranjang dengan sembarang lelaki:
hanya demi keturunan yang kelak meneruskan dinasti
mencampakkan kesalehan, janji suci, dan bakti diri
[ayolah cintaku, lakukan niyoga karena sesuai dharma agama
keteladanan pendahulu kita melakukan niyoga pantas dicoba
bukankah aku, si Pandu Dewanata, suamimu juga buah niyoga!,
desak Pandu yang gemetar kepada Kunti yang tegar membaja]

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

43

aku heran, kekuasaan selalu menuntut keturunan ahli waris tahta:


menghalalkan segala cara meski memorak-parik tata kuasa
mengingkari segala tata susila demi seorang anak manusia
bukankah ahli waris bisa sesiapa, tak harus dinasti keluarga!
aku heran, kekuasaan selalu memperalat sejarah dan dharma agama:
memoles peristiwa lalu sebagai teladan baku bagi sesiapa
mengutak-atik dharma untuk kelangsungan kuasa dan tahta
bukankah seharusnya kekuasaan bersendi tuntunan agama?
aku terbata, betapa rakusnya kekuasaan tanpa bimbingan budi mulia
aku ternganga, betapa bengisnya kekuasaan tanpa keluhuran cita-cita
aku terpana, betapa kejinya kekuasaan tanpa kesadaran panggilan jiwa:
wanita cuma dijadikan deru nafsu yang mengokohkan mahkota
sejarah cuma dijadikan pupur indah yang mempercantik tahta
agama cuma dijadikan suara sabda yang membenarkan kuasa
aku bersangka, kekuasaan cuma narsis dengan diri sendiri:
sibuk membangun aliansi kuasa lewat seksualitas bernafsi
sibuk memperkuat jaring kuasa lewat perkawinan berbisa
sibuk memperalat ajaran agama demi kelanggengan dinasti!
[rakyat cuma cacah angka kepala, perut, dan dada dianggap tiada]
Pandu cintaku, cinta suci tak menuntut apa-apa apalagi mahkota diraja
Pandu cintaku, setia sejati tak meminta apa-apa hanya dirimu apa adanya
[Pandu termangu, kehabisan kata, memandang Kunti betapa kian jelita
Kunti menatap Pandu betapa gemerlap pesona, mengalirkan selaksa bara]
Duhai Pandu, demi pengabdianku padamu, aku akan melakukan.

44

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

[Kuntiii, sergah Pandu memotong,


memandang kosong, cuma bayang-bayang lorong]
Panduuu jangan kau.
[Pandu dan Kunti beradu pandang:
ada samar bayang tak mau hilang, ada baur kenang
ada derit goyang ranjang, ada kematian telanjang
ada kepayang terintang, ada berat gairah teralang
ada maha-prahara perang, ada tahta mengambang
ada jurang lapar jengkang, ada bau amis mengembang]
Kuntiii Panduuu
[Pandu dan Kunti baku peluk kencang depan jalan simpang berlubang
ada kitab rajah nasib terbuang ada aneka masa depan terpalang]
Malang, ujung malam 2012

*niyoga = turun ranjang

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

45

ABNORMALISME
[niyaga menabuh gendang. dalang mainkan wayang.
cerita menguarkan sungsang. suara suluk sumbang]
kekuasaan kian abnormal saat Kurawa dan Pandawa hadir dunia:
mereka hadir, tak lahir, sebab di luar kewajaran manusia
mereka tak lewat jalan biasa: jalan juang ibunda bertaruh nyawa
mereka tak lewat peranakan ibunda: jalan cinta makhluk istimewa
seratus Kurawa adalah gumpal daging yang tersesat di rahim ibunda
sekian lama dipukuli bertubi oleh geram Gandari karna putus asa
seratus Kurawa adalah cincangan gumpal daging keras serupa bola
yang dibanting-banting Gandari penuh histeria saat di puncak murka
seratus Kurawa adalah anak seratus guci berlumur mentega dan doa
yang disembunyikan di ruang rahasia dan dijaga Gandari berbilang dua
maka seratus Kurawa adalah raut ketanahan, kebumian, kebinatangan
dan ketubuhan yang membentuk rupa kaku kekuasaan
maka seratus Kurawa adalah makhluk setengah manusia:
yang hadir bersama deru nafsu cengkeram kuasa
di pusat lingkar kuasa istana negeri Astina
lima Pandawa adalah timbunan cemas yang membajak resah dada
Pandu Dewanata dihempas bayang kehilangan kuasa dan tahta
lima Pandawa adalah buah rengekan lelaki pupus daya dan putus asa
yang kehabisan hujah mulia di muka Kunti nan cendekia dan digdaya
lima Pandawa adalah anak dewa yang teperdaya aji pepanggil istimewa

46

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

yang dimantrakan Kunti akibat tak tega juga kesal pada Pandu Dewanata
maka lima Pandawa adalah raut kecahayaan, kelangitan, kedewataan
dan keruhanian yang membangun paras indah kekuasaan
maka lima Pandawa adalah makhluk setengah manusia:
yang hadir bersama gemuruh hasrat menagih tahta
di pinggiran lingkar kuasa istana negeri Astina
[niyaga menabuh gendang. dalang mainkan wayang.
cerita menguarkan sungsang. alunan suluk sumbang]
kekamilan kekuasaan butuh kebersamaan:
raut ketanahan dengan kecahayaan
raut kebumian dengan kelangitan
raut kebinatangan dengan kedewataan
juga raut ketubuhan dengan keruhanian
maka Kurawa dan Pandawa adalah sepasang kekasih baka
yang membawa kimia kelanggengan negeri Astina
yang bakal menangkal aneka dera keruntuhan negara
tapi lihatlah para Kurawa dan Pandawa di negeri Astina:
mereka berebut mahkota mereka makhluk abnormal semua
apakah kekuasaan selalu menolak kekamilan keagungan?
apakah kekuasaan selalu mengidap keabnormalan kecacatan?
pantas kekuasaan rabun keselamatan lamur ketatasusilaan!
tapi lihatlah para Kurawa dan Pandawa di negeri Astina:
mereka menggelar sandiwara kuasa luar biasa, apa kalian juga?!

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

47

[niyaga menabuh gendang. dalang mainkan wayang.


cerita menguarkan sungsang. lantunan suluk sumbang]
apakah pasangan Kurawa dan Pandawa di negerimu terceraikan?
apakah kekuasaan di negerimu alunkan sungsang juga sumbang?
[dalang selesai mainkan wayang. sisakan tanya membayang]
Malang, ujung malam 2012

48

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

PERCAKAPAN WAKTU
Dua waktu: waktu wayang dan waktu dunia berjumpa
selepas berabad mengembara: tak saling berkaba cinta
aku mengembara dari cerita ke cerita hingga bertemu Arjuna
aku mengarungi berita demi berita sampai bersua dua manusia
Arjuna adalah lelaki ksatria dengan istri di setiap sudut marcapada
dan menghadiahi mereka anak-anak tampan, perwira, dan ksatria
sebagai siasat menghadapi Bharatayudha, menegakkan hak atas tahta
dan bukan sebagai pemuas syahwat belaka, pelampias bara lingga
Dua manusia adalah lelaki penuh rasa takut dengan istri di mana-mana
dan memberi mereka dana juga harta berlimpah pun aneka rupa
sebagai ikhtiar menghilangkan jejak korupsi yang remukkan bangsa
dan menyelamatkan jarahan mereka demi kehidupan fana
Arjuna diburu cemas, ucap waktu wayang, sebab gentar kehilangan tahta
Dua lelaki diburu takut miskin, kata waktu dunia,karna kemelekatan harta
[Keberuntungan sejati adalah ketiadaan kecemasan dan ketakutan dunia
maka keberuntungan sejati tak kenal kehilangan dan kemelekatan dunia]
Arjuna cemas kehilangan tahta sebab disandera pikiran menyerbaduakan
tak mampu capai kealamian pikiran, tegas waktu wayang begitu cerlang
Dua lelaki takut miskin harta karena dibajak pikiran mendiskriminasikan
tak bisa meraih kemurnian pikiran, tandas waktu dunia demikian terang
Dua waktu bersitatap penuh kesima: sungguh manusia salah mengada?
Malang, rembang pagi 2012

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

49

KATA HATI KARNA


Kau tahu, namaku Karna lelaki terbuang oleh ibunda
dan di sungai ditemu lalu diasuh Adirata jelata sais kereta
Ibuku Kunti perempuan memesona selalu dianugerahi dewata:
aku sendiri anugerah Dewa Surya kepada Kunti semata
yang dihilangkan demi menjaga kesempurnaan citra
Adikku Pandawa lima lelaki digdaya penuh wibawa, dihormati semesta:
mereka benih para batara, bukan Pandu sang ayahanda
maka mereka selalu dibela dewa, dimenangkan oleh pencerita
maka mereka memenangi Baratayudha di medan Kurusetra
Kau tahu, ajalku berkemah di padang Kurusetra dan dikuasai Pandawa
maka ibunda Kunti dicecar gentar saat aku beradu pandang lawan Arjuna
dan memintaku meninggalkan para Kurawa yang dipimpin Duryudana
Ibunda, bagiku kemuliaan, kehormatan, dan kesetiaan sangat utama
sekalipun dihadiahkan Kurawa yang oleh cerita ditakdirkan jadi durjana
ketimbang garis darah, kebenaran, dan kemenangan milik Pandawa
yang sesungguhnya berlumur kecurangan Kresna dan empunya cerita.
Keikhlasan dan kebesaran hati mengakui jasa Kurawa tak ternilai harga
ketimbang kematianku di anak panah Arjuna saat lumpur jebak kereta.
Jangan masgul ibunda, kelak aku bersama anak-anakmu Pandawa di surga
kendati sekarang memihak Kurawa menghadapi Pandawa di Baratayudha,
benderang jawab Karna memorakporandakan logika yang dibela manusia
Kau tahu, takdirku murah hati dan suka berbagi dan tulus jiwa
melebihi ketulusan sesiapa, sayang dikhianati Batara Indra ayah Arjuna
Kau tahu, takdirku tangkas perang dan olah senjata dan sakti mandraguna
50

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

melebihi kesaktian Pandawa, sayang aku dikutuk para dewa juga brahmana
tak dikehendaki memenangi tarung paling bikin bingung melawan Arjuna
sebab bakal melelehkan kebekuan tata nilai yang beratus tahun dijaga:
oleh kenangan dan ingatan semua manusia
oleh kesenian dan kebudayaan Asia dan dunia
Malang, 2011

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

51

KATA HATI DRUPADI


Mana bisa lubang hati ditambal cepat?
aku pun terus menapaki puncak kesumat
akibat putusan Kunti yang tak tepat:
kenapa aku harus bersuami kelima Pandawa?
hingga Karna menyebutku pelacur rakus ksatria
padahal aku perempuan mulia kinasih batara
dan sangat jijik layani lima lingga anak turun Bharata
juga sangat anti gairah sanggama tanpa tata krama
Mana gampang lubang hati ditimbun angan?
aku pun terus mengarungi luas lautan kekesalan
akibat putusan Yudistira tak matang timbangan:
kenapa aku harus jadi taruhan perjudian dadu?
hingga Kurawa menganggapku dagangan tak mutu
hingga Dursasana menjambak dan menyeretku penuh nafsu
juga menelanjangi busanaku meski Kresna menyelamatkanku
Aku benar-benar tiada percaya juga habis kata-kata
Kunti dan Pandawa yang disayangi dewa bertindak aniaya
Kunti dan Pandawa yang selalu dibela dewa berlaku dina:
kenapa tega?
Malang, 2011

52

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

JALAN SWARGALOKA
usai Baratayudha, jelaga paling gelap meraja, senyap tersepi bertahta
anyir padang Kurusetra, punah Kurawa Pandawa, kehidupan pun tiada:
cuma gelimpang ribuan tubuh ditinggal sukma
Yudistira, sulung Pandawa, tiba di swargaloka tempat indah idaman sesiapa
jiwa remuk, rabu serasa pecah seketika para Kurawa tengah bercengkerama
di manakah adinda para Pandawa tercinta juga kakanda Karna nan mulia?
kuat gaung suara tanya Yudistira merampas luas dan indah swargaloka
diantar dayang swarga, Yudistira tiba di neraka ruang siksa para pendosa
duhjagat dewa batara, kenapa justru dirajam siksa di panas api neraka
andindaku para Pandawa dan pahlawan-pahlawan amat mulia seperti Karna?
Yudistira lempar pedih tanya menghantam dinding swarga juga para dewa
Wahai dewa batara, kupilih neraka ketimbang swarga
karena aku lebih pendosa ketimbang mereka yang di neraka:
para Pandawa dan Karna juga Drestajumena
karena keselamatanku semerbak makna bila bersama mereka:
durjana juga durhakalah aku bila sendiri di swarga
tandas Yudistira gentarkan seisi swarga juga goyahkan diri dewa
[tiba-tiba dewa batara membalik penghuni swarga dan neraka:
para Pandawa, Karna juga Drestajumena terpelanting ke swarga
para Kurawa dan pendosa terlempar ke panas tungku api neraka]

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

53

di swargaloka, para Pandawa dan Karna baku peluk mesra


meski baku ancam juga baku bunuh dilakukan di padang Kurusetra
Yudistira terpana keteguhan hati menyelamatkan semua saudara
Yudistira ternganga kedamaian bersama melebihi indah swargaloka
Malang, 2011

54

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

PENGAKUAN PARIKESIT
[seekor ular kukalungkan ke leher Samiti
karena diam belaka, tanyaku tak disahuti
Kala Srenggi marah mengutukku segera mati
digigit Naga Taksaka yang suci, tepat tujuh hari]
manakah puncak yang paling puncak
manakah tinggi yang paling tinggi
manakah benteng yang paling benteng
manakah aman yang paling aman
kesana aku hendak rentak bergerak
kejaran Naga Taksaka harus kuhindari
semburan bisa naga harus dapat kutameng
kusiapkan brahmana, prajurit, dan ahli pengobatan
tapi, jiwaku bertanya: dengan takdir kenapa lari?
ia selalu bersama dirimu kemanapun kau sembunyi
[mestinya keberserahan diri juga kelapangan hati]
aku raja Hastinapura lambang kebesaran
mati digigit ular betapa keterlaluan memalukan:
maka brahmana melindungiku dengan doa
maka prajurit menjagaku, lengah sedikit pun tiada
maka ahli pengobatan siapkan dupa dan penawar bisa
aku yakin tiada celah terbuka buat Naga Taksaka
mana mungkin mengirimkan semburan bisa
ARUNG DIRI
Kitab Puisi

55

[Naga Taksaka mengubah diri menjelma ulat kecil sekali


Naga Taksaka cari tempat sembunyi di buah jambu tak diketahui
lalu kemanapun Parikesit pergi selalu membututi dan mendeteksi]
[seorang brahmana jelmaan naga berbisa sahabat Naga Taksaka
berdatang sembah kepada Parikesit, menghaturkan jambu istimewa]
brahmana, sungguh kau tahu selera, ini jambu paling kusuka
kepadaku berikan segera, kulahap buat memuaskan liur rasa
[ketika Parikesit menerima, Naga Taksaka menjelma sediakala
saat Parikesit terkesima, Naga Taksaka menunaikan tugasnya
menggigit nadi Parikesit, mengalirkan bisa ke seluruh tubuh raja:
kemanapun kau sembunyi, takdir mengalir dengan pasti]
oh oh oh kau Naga Taksaka, perantara takdir dewata
dengan keberserahan terbuka, kini semua aku terima
dulu mestinya aku tak sembunyi, menjamumu girang hati
[tubuh Parikesit tuntas terbakar menjelma abu suci
lalu dimasukkan tembikar dialirkan ke sungai bernyanyi]
Malang, 2010

56

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

SARPAHOMA*
[JanamejayaJanamejayadendam selalu hilang mata
kenapa kau suka piara berbiak di dalam api membara?]
Parikesit telah tiada, dendam Janamejaya bergelora:
bukan cuma Naga Taksaka, semua ular harus binasa tak bersisa
maka harus kuadakan sarpahoma dipimpin dan dijaga brahmana
dimulailah sarpahoma
panas kobar merah api serupa panas neraka
bersekutu mantra suci luar biasa para brahmana
semua hilang daya terhisap mantra menuju celaka
dan ribuan ular melayang, mendebum di tungku sarpahoma:
dibakar panas kobar api, ludes tanpa sisa
di Nagaloka, Naga Taksaka dipukuli cemas tiada kira:
duh Sang Astika segeralah turun ke bumi, temui Janamejaya
pohonkan kata, hentikan sarpahoma, ribuan ular telah moksa
badai mantra suci terus menyeret ular ke tungku sarpahoma
juga Naga Taksaka yang bertahan di ujung pakaian Dewa Indra
tubuh Dewa Indra pun bergoncang dihantam badai mantra tiada tara
terseret menuju ganas tungku sarpahoma lalu melepaskan Naga Taksaka
tubuh Naga Taksaka pun habis daya menghantam tungku sarpahoma
aku segera melumatkan tubuhmu Naga Taksaka, kobar api beri aba-aba

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

57

ketika kobar api menelan Naga Taksaka mantra Sang Astika tiba
dan menyelamatkan Naga Taksaka berkat kabul Janamejaya
[Janamejaya Janamejaya kearifan selalu berbuah keagungan
memang kau harus piara memberi pupuk subur kedamaian]
Malang, 2010

*Upacara Pengorbanan Ular

58

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

KATA HATI RAMAPARASU


jangan kau umbar praduga
karunia umur panjang tiada kira
berkah dan bungah senantiasa kuterima
ketahuilah, ada onggok luka mencacah dada
ada tajam nestapa mengiris-iris tenang jiwa
ada gempuran kecewa meretakkan kepala
aku telah pula dihempas badai duka berkala-kala:
demi bakti kepada Jamadagni ayahanda dan harga diri keluarga
kubunuh ibuku Renuka sebab main cinta buta dengan Citraratra
demi tenteram dunia, tak terhitung kubunuh para ksatria ternama
karena kelenjar mereka diracuni pikiran perang dan perang semata
pekerti dan laku mereka lancung pula hingga hilang nyawa si jelata
maka demi damai masa depan, pantang bagiku menjadi guru ksatria
kalau brahmana, kuterima, sebab mereka penjaga keindahan dunia
tapi setelah Bisma dan Durna remukkan jiwa, kini menipuku si Karna
menyaru sebagai brahmana muda, bermohon jadi murid paling setia
hingga aku memberi ilmu paling digdaya, terunggul di marcapada
sekaligus kutuk kematian baginya, lupa ilmu yang telah dikuasainya
panjang umurku menjelma panjang jalan tak ada ujungnya
kian jauh mata batin memandang kian menabrak fatamorgana
aku pun kehilangan cinta, didera angan kosong, kehabisan cita-cita
ternyata hidup perlu tegas tapal batas, butuh lengkung cakrawala
agar ada satu titik pandang jiwa, agar bisa menatap satu tujuan ada
tak lamur mata batin seperti aku Ramaparasu si Rama Bargawa
ARUNG DIRI
Kitab Puisi

59

aku telah jenuh dan penat mengarungi panjang hidup manusia


maka kucari-cari maut milikku sampai ke seluruh sudut marcapada:
tapi tak kutemu juga, kabur begitu dengar aku tiba
maka kucari-cati kematianku pada kesaktian para ksatria ternama:
tapi mereka kutaklukkan semua, tak mampu cabut nyawa
aku kecewa, aku bertanya-tanya: apakah dewata demikian tega
permainkan takdir yang kucinta, sembunyikan maut yang kupuja?
[Rama Bargawa, Rama Bargawa, takdirmu dibawa titisan Wisnu di dunia
kini mautmu dipegang Rama putra Dasarata, tunggulah ia dewasa]
begitu Rama dewasa, kucari dia, hendak kuminta takdirku kepadanya
kucegat di jalan, kutantang dia, sepulang memenangi sayembara Sinta
lalu kuambil mautku sesegera, kurebut kematianku dari senjata Rama
akupun gugur, meniti swargaloka, bergelar Ramaparasu sang batara
wahai manusia, carilah batas umurmu dan lengkung cakrawala hidupmu
agar tak terlunta-lunta di dunia, agar tak lelah menunggu maut bertamu
jangan seperti aku si Ramaparasu, tersaruk dan letih menemu mautku!
aku si Ramaparasu, kini terbebas dari siksa panjang umur tiada kira
kini aku bahagia, tinggal di swargaloka, bermandi keabadian selamanya
Malang, 2012

60

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

PERTANYAAN DURYUDANA
Kenapa harus aku dan keluarga
menjadi pecundang dan punah
dalam perang mahadahsyat di Kurusetra
yang penuh aroma busuk dan anyir merah darah
Kenapa bukan Yudistira dan keluarga besar dia
padahal sama-sama anak turun Barata?
Kenapa harus aku dan keluarga
merasakan ganas kobar api neraka
bukan Yudistira dan keluarga besar dia
padahal sama-sama anak turun Barata?
Mestinya aku dan keluargaku menghuni indah swargaloka
apakah karna aku dan adikku hanya anak raja buta si Drestarastra
bukan anak dewata yang serba kuasa seperti Yudistira dan adik dia?
Padahal lebih mulia mana: keluargaku ataukah keluarga Yudistira
bukankah aku dan adik-adikku lahir dari sanggama bertatakrama?
ketimbang Yudistira dan sang adik lahir dari campur tangan dewata
akibat Pandu menanggung kutuk bertemu ajal ketika beradu cinta
[dan memang mangkat saat nekad menggumuli Madrim istri kedua]
Mestinya ibuku juga lebih mulia
ketimbang Kunti dan Madrim si ibu Yudistira dan adik dia
karna ibuku hanya mau digauli oleh Drestarastra, suami tercinta

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

61

sedang Kunti dan Madrim justru digauli sepenuhnya para dewata


dan membelakangi suami Pandu dewanata, celaka dia diam belaka!
Apa norma kesetiaan, kejujuran, dan kemuliaan mudah dipermainkan?
kepada Yudistira juga adik-adik dan ibu dia, bisa total diberikan?
kepadaku juga adik-adik dan ibuku, mana mungkin disandangkan?
astaga! dunia kehidupan macam apa yang sedang kita kembangkan!
Malang, 2012

62

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

PERJALANAN CINTA SUKRASANA


memang aku kebalikan dari kakanda Sumantri:
kakanda tampan rupawan, idaman semua putri kerajaan
badanku cebol menakutkan, perutku jemblung memuakkan
parasku pun serupa hewan, bikin orang kocar-kacir berlarian
suara kakanda merdu menawan, suaraku cedal menggelikan
kakanda dikejar-kejar putri jelita berhias purnama rembulan
diriku dijauhi semua orang, juga ditakuti semua perempuan
tetapi kakanda Sumantri juga kebalikan dari aku:
aku lebih sakti dalam segala, kakanda Sumantri lebih pandai berkata
aku punya ilmu luar biasa, kakanda Sumantri punya ilmu tak seberapa
dia juga pandai meminta meski aku terima karena dia sangat kucinta
tetapi kakanda Sumantri jelas kebalikan dari aku:
aku telah melampaui badanku hingga menemukan rahasia baka
aku sudah melampaui badanku hingga leluasa mengabdi di surga
kakanda Sumantri masih terpenjara tubuh yang semu dan fana
kakanda Sumantri terperangkap paras dan rias yang sementara
kendati tampak gemerlap memesona, memukau mata manusia
tetapi tak kuasa mendedah lelapis langit, raih bakti sempurna
maka, bagiku dunia tak adil karena
lebih memuja tubuh ketimbang sukma
lebih menghargai yang kasat mata ketimbang yang di kepala
lebih memuliakan rias ketampanan ketimbang kecendekiaan
lebih menyembah paras kebendaan ketimbang keruhanian
ARUNG DIRI
Kitab Puisi

63

maka, bagiku, dunia telah terpenjara kewadagan


mengimani kehebatan, memuja-muja keunggulan
mengimani kemegahan, memuja-muja keanggunan
bersimpuh pada kekuasaan, bersuka suapi kekerasan
hingga tak sanggup membubung menemu kemuliaan
hingga tak kuasa mencapai makrifat kehidupan
hingga tak mampu menciptakan jalan keabadian
maka, bagiku, dunia telah terperosok ke jurang kesesatan
hingga berbalut kegelapan, dan bersekutu kesemuan
maka, simpulku, dunia amat bengis bagi makhluk sepertiku
cuma untungkan dan bahagiakan manusia seperti kakakku
tetapi, aku dan kakanda Sumantri adalah satu
tak boleh terpisahkan oleh dunia yang telah sesat tuju
karena kakanda Sumantri janin perkasa di kokoh rahim ibu
dan aku ari-ari yang setia memberi makan rahim ibu setiap waktu
karena kakanda Sumantri dan aku pemilik bersama teduh rahim ibu
maka, aku cintai kakanda Sumantri sepenuh jiwa, seluruh napas dada
maka, kubaktikan sepanjang hidupku bagi kejayaan Sumantri nan perwira
dengan keikhlasan, ketulusan, dan ketanpapamrihan mengagetkan surga
maka, kemanapun Sumantri pergi, mengembara, mengelana, dan mengabdi
aku pasti mencari, selalu mengikuti, senantiasa membayangi dengan cinta suci
dan siap membantu saat ketangkasan dan kesaktian Sumantri tak mencukupi
[kakanda Sumantri menganggukkan kepala, tanda bakal istiqamah pada janji]

64

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

tetapi, apa harus dikata, sesat hakikat kian menerungku dunia juga manusia
setelah Taman Sriwedari kupindah ke Maespati, kureguk tuba, kubopong celaka
karena cengkerama bahagia permaisuri, putri raja dan dayang-dayang istana
berantakan seketika saat mereka temukan aku berada Taman Sriwedari juga
dan mahapatih Maespati sekejab tiba, mengusirku pergi dengan nada murka
tentu aku tak bersedia karena dia kakanda Sumantri, manusia paling kucinta
dan telah mengizinkan aku untuk selalu bersamanya, dalam suka dalam duka
kakanda Sumantri makin murka, merentang busur panah tepat terarah dada
dan mengirim maut ke jantungku saat puncak kemelut jiwa gagal dia kelola
aku terkesiap sesaat, tapi maut meringkus nyawa lebih cepat, tumbanglah aku
Sumantri terperanjat, tapi remuk jiwa merambat cepat, dia pun berwajah sendu
tega nian kau ingkari janji wahai Sumantri, tega nian kau rebahkan adik sendiri
tapi, aku tak terlarai, dan tetap mengirimi harum cinta kepada kakanda Sumantri
sebab kuyakin kau tetap mencintai, dan mengakui aku tak terganti di palung hati
memang karena berada di dunia yang sesat tuju, kau kirim maut ke jantungku ini
aku menunggumu kakanda Sumantri karna surga hanya menerima kita bersama
di sana kita selalu bersama, tak terpisahkan lagi, sebab telah kalis dari nafsu dunia
[Sumantri memikul pedih yang kelabu, sambil berkawan sendu terus menunggu
kedatangan Sukrasana menumpang taring Rahwana, antarkan ajal yang gaharu]
Malang, 2012

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

65

SESAL SUMANTRI
Duh adikku Sukrasana!
Kenapa panahku tak bisa kujaga
hingga tiba-tiba kehilangan mata
alpa melindungi ajalmu di pucuknya
Kenapa tanganku harus dihajar gemetar
hingga konsentrasiku seketika ambyar
berkilat anak panahku pun menyambar:
dadamu yang selalu diharu biru cinta
dan seketika terbuka ditinggal ruh nan baka
Duh adikku Sukrasana!
Kenapa kau jemput ajal di tangan kakanda
dan aku harus mati dicincang taring Rahwana
meski kutahu kau bersembunyi di sana: sekian lama
dan kaulah yang memburai tubuhku jadi serpih bunga
Duh adikku Sukrasana!
Kenapa aku dirampok bimbang dunia:
terbanting antara citra dan hakikat ada
hingga kita saling meniadakan hidup bermakna
padahal kita satu hakikat di rahim ibunda!
Duh adikku Sukrasana!
Kenapa kita harus jalani nasib baku bunuh di dunia
cuma karena sesuatu yang fana dan memisahkan kita?

66

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

Duh adikku Sukrasana!


Kini aku dibakar bara sesal yang menghanguskan suka cita
Kemanapun diri menghadap, menyantap kobar siksa semata
Kemanapun kaki melangkah, mengerkah nyala sengsara belaka
Duh adikku Sukrasana!
Hidupku tinggal sepenggal sukma
Hidupku bersisa sepotong raga
Sebab kau dan aku satu adanya
(Langit mengarak berat duka, cakrawala menggiring sarat derita
Udara mengembuskan rintih dada, angin menderaikan isak jiwa
Jagat raya menabur pedih tuba, jagat diri menebar pekat petaka)
Duh adikku Sukrasana!
Kau tunggukah aku di pintu indraloka?
Malang, 2012

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

67

68

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

2
Arung Jiwa

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

69

70

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

SAJAK PERJALANAN
1
perkenankan aku, ya, manisku
membangun kubu di ayat-ayatmu
pertahanan pungkasan bagi jiwa
ketika berkemas senjakala usia
menyodorkan berkas catatan purba:
perjanjian sebelum turun ke dunia
perkenankan aku, ya, manisku
2
perkenankan aku, ya, manisku
mencipta teduh hutan lestari
dari seratus empat belas suratmu padaku
peristirahatan terakhir bagi
kekalahan yang selalu di ujung penaku sendiri
perkenankan aku, ya, manisku
3
perkenankan aku, ya, manisku
merenangi deras arus sungai janjimu
yang berhulu di ayat-ayat kitab suci
dan bermuara di syair samudra surgawi
sebelum waktu membaca kitab nasib ini
yang tersimpan di napasku sendiri
perkenankan aku, ya, manisku

71

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

71

4
perkenankan aku, ya, manisku
mengarung luas laut berbatas cakrawala
yang senantiasa terjelma dari sabdamu
di antara deru nafsu ekonomi
yang terjaja di supermarket,
fastfood, dan plaza-plaza di kota
perkenankan aku, ya, manisku
Malang, 1995

72

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

SAPI BETINA
telah berabad-abad, ya, telah berabad-abad
bermilyar sapi betina terus mukim di ayat-ayat
menunjuki kita tempat penuh nikmat:
samudra bernama surga
di mana segala ada
seperti bunda cerita
tapi, tapi, kita bukan Sulaiman yang mengerti bahasa hewani
dan tak hendak berlagak Sulaiman, sekadar hendak pahami mau sapi,
ujarmu seraya membuka-buka kitab ilmu dan teknologi
untuk mencipta surga imitasi di bumi maya ini:
di mana segenap nafsu bisa dilunasi
oleh komputer multimedia dan televisi
oleh pusat perbelanjaan, toserba, dan plaza
oleh MacDonalds, KFC, dan Donuts Donkin juga
Malang, Juni 1996

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

73

LEBAH 1
dengung lebah-lebah itu, dengung lebah-lebah itu
membangun ayat-ayat dalam bahasa baka
bagi kefanaan hidup kita, kesementaraan dunia
biar menembus hakikat puncak ada
Malang, Juni 1996

74

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

LEBAH 2
lebah-lebah itu
mengajari kita membaca
bahasa penyimpan rahasia
hidup setelah akhir segala
tapi tak juga bisa
selalu saja terbata mengeja
bahkan napas di leher kita
sebab kita sudah menjual jiwa
pada tubuh-tubuh terbuka
pada busana-busana toserba
pada makanan di plaza-plaza
sementara surau-surau
terus memanggil dengan parau
dan masjid rubuh saat adzan tiba
tersebab sujud tak lagi ada di sana
Malang, Juni 1996

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

75

LEBAH 3
lebah-lebah itu
membangun sarang ayat baka
di lubuk batin kita
agar jiwa kerasan wirid di sana
tapi tak juga nyata
jiwa lebih suka
mukim di plaza-plaza
dan busana-busana
Malang, Juni 1996

76

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

SURAT 1
surat-suratmu telah kuterima
dari kecil dulu, disampaikan bunda tercinta
tatkala waktu tiba, tatkala adzan bergema
ampuni, begitu lama tak kusempatkan baca
: menumpuk di antara reruntuhan masjid di dada
kubiarkan bahasanya meronta-ronta
: kegerahan hidup bersama nafsu, dusta, dan angkara
kuceraikan cintanya dari hidup penuh warna
: wahai, betapa, wahai... ia tetap memanggil dalam cinta
Malang, Juni 1996

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

77

SURAT 2
seratus empat belas surat telah kau kirim padaku
berisi peta perjalanan nasib agar sampai padamu:
peta bersahaja, mudah membacanya
peta bersahaja, mudah melaksanakannya
bila hidup disucikan dari tamak, loba, dan angkara
Malang, Juni 1996

78

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

SURAT 3
ketika kubaca surat-suratmu
bah pun melanda denyut nadiku
seperti kapas, aku pun lepas
terdampar di padang mahaluas:
tak bernama karena mendahului bahasa
tak fana sebelum akhir kiamat tiba
Malang, Juni 1996

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

79

ARUS
merenangi arus yang terjelma dari suratmu
yang kau kirim berbilang tahun kepadaku
ke muara sampailah aku:
tak ada siapa-siapa di sini
akhir waktu belum kau putusi
Malang, Mei 1996

80

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

RINDUNYA RINDU MAKRIFAT ADA


dalam puasa suara
dan berkendara mutmainah cinta
rindunya menghisap seluruh ayat semesta
sukmanya menyusu makrifat ada
jangan ganggu aku, katanya
tarian rumiku sudah tiba
di semenanjung ada manusia
hijab cakrawala pun tersingkap
buraq cahaya melesat
dan adanya lenyap
dan dirinya tamat
jangan tanya jasad
jangan tanya alamat
aku di luar segala kalam tersurat,
pesannya di tiap desah angin lewat
Malang, Juli 1998

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

81

ANGIN SEMESTA 1
Engkaulah angin semesta
yang singgah di pucuk ombak samudra
yang bergulung-gulung di bola mataku
dan kini menjelma lautan di kampungku
Kau tahu, musim telah khianati waktu
dan aku mengembara dari banjir ke banjir
hingga beku seluruh waktu: di manakah akhir?
Engkaulah angin semesta
tempat tanyaku kau lepaskan seketika
ke dalam sunyi sejati, hening dunia

82

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

ANGIN SEMESTA 2
Engkaulah angin semesta,
yang saksikan persalinan almanak tua
Pasti kau tahu, ramadan kini telah tiba
meski banyak lidah teperdaya, terbata
mengeja ayat-ayat abadi Gusti
karena yang tak pasti dipegangi
Pasti kau tahu, kalau tak manusia tak alpa,
maka maafkan segala dosa manusia
Engkaulah angin semesta
yang membopong kasih
dan menaburkan ke hatiku biar bersih.

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

83

ANGIN SEMESTA 3
Engkaulah angin semesta
menunjuki jalan lempang sepanjang hutan cinta
akupun menyusuri dengan tak putus rapal doa.
Aneh, berminggu-minggu tak kutemukan ujungnya
dan aku riang terus mengukurinya.
Aneh, jalan itu menikung ke angkasa
makin kujejaki makin meninggi
hingga tak tahu lagi kemana jalan tertinggi
akupun lenyap di ujung jalan yang silau cahaya
astaga! Jalan Cahaya!

84

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

ANGIN SEMESTA 4
Engkaulah angin semesta,
membaca tanda demi tanda
yang terbentang di lahan basa
musim tak bisa kubaca
sebab tak ada titi mangsa
embusmu di antara pekat perdu tersisa
aku ternganga, tapi temanku berdencing harta.

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

85

ANGIN SEMESTA 5
Engkaulah angin semesta,
yang mencatat senja terluka
setelah angin tak bisa dibaca manusia
musim apakah ini, tandanya selalu mendua?,
semua orang bertanya
tapi jawab dalam kitab tiada

86

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

ANGIN SEMESTA 6
Engkaukah angin semesta?
kutahu engkau kolektor jalan dan kaki
yang tersimpan rapi di bilik hati.
Ketika tiba sepi, jalanmu menjulur ke arasi tinggi
dan suara kaki-kakimu makin meninggi tak terperi
bergegas ke waktu abadi, waktu hakiki.

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

87

ANGIN SEMESTA 7
Engkaulah angin semesta
yang mengirim kabar tentang kemarau
yang diratapi rekah tanah desa.
Tentu kau tahu, gerimis telah pindah ke mata kita
rinai telah menjelma rajam batu di hati kita
bau basah tanah telah kembali ke jantung semesta.
lalu apa yang bisa diharap petani kecuali rindu yang silam?
Engkaulah angin semesta
yang mumpuni, menderu mengusir polutan
dan mengajak mendung melawat ke bandar ranggas.
Mataram, 2007

88

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

SUWUNG
bukan waktu bukan rindu
tak ragu tak jemu tak lesu
lalu siapa kau tunggu?
[masih lima milyar tahun dunia bersamamu,
ujar Hawking di dalam buku]
bukan semu bukan palsu
tak sendu tak kuyu tak sembilu
lalu sampai kapan kau tunggu?
[sudah pasti menemuimu akhir waktu ,
Ihya Ulumuddin al-Ghazali berseru]
Malang, 2006

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

89

PENCERAHAN
mandi rindu di bawah hujan cahayamu
sabda-sabda mengaliri jejaring nadiku:
tiba-tiba terangkat kedua tangan
membangun masjid di dada penuh iman
Malang, 2006

90

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

ELING
dan suara-suara pamit kembali
hingga dedaunan meditasi sunyi:
semua membersih
segala mengganih
gerak batin pun buih
di sini, rahasia cuma ilusi
karena segala membuka diri
di sini, untai alibi tiada arti
sebab semua mengaku penuh seri
Malang, 2006

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

91

SAJAK PATAH HATI


patah hati adalah rindu salah alamat
akibat kalam tersurat terbaca gurat
hingga tak tercerna segala isyarat
patah hati adalah kangen tiada nikmat
gara-gara surat cinta berlumur umpat
hingga berantakan segala jejak nubuat
patah hati adalah cinta tersesat
di dalam kitab yang tertutup rapat
hingga tersumbat segenap hikmat
patah hati adalah cinta sekarat
terperangkap jurang hambat
Malang, 2006

92

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

CINTA, BILA KAU SUKA


cinta, bila kau suka, esok kupetikkan cahaya
untuk apa? pendarnya mengaburkan yang fana dan baka
cinta, bila kau suka, esok kurangkaikan cahaya
untuk apa? silaunya menghilangkan yang neraka dan surga
cinta, bila kau suka, esok kubawakan kitab cahaya
bacalah, cinta!
niscaya kau tiba di padang cahaya
tempat makhluk bergirang sepanjang masa
Mataram, 2006

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

93

CINTA, LAUT ADALAH DIRIMU


Cinta, laut adalah dirimu:
bergelombang dan merindu
hening tempat ayat berkubu
Cinta, laut adalah dirimu:
bergemuruh dan merayu
sepi tempat sabda berlagu
Cinta, laut adalah dirimu:
menebar kalam setiap waktu
Mataram, 2006

94

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

CINTA, SAMUDRA TELAH JADI PENA 1


duhai cinta
betapa indah gunung-gemunung ombak di mata kita
[niscaya ia dipiara samudra nan perkasa, simpulmu segera]
serasa menumpang perahu Nuh kita terus berlayar ke tengah samudra:
lama-lama segala air semata dan batas cakrawala
sementara dasar hanya fatamorgana Dewa Ruci tinggal cerita
hiruk-pikuk sirna seketika dan lengking nyanyi sejak senja
sementara geladak kapal menjelma musala juga kubu jiwa
inikah banjir besar yang disebutkan kitab suci kita?,
membalun tanya di antara ruang semesta
dan kita tersihir kasidah ombak, terlena zikir rampak
hingga kantuk menetak, kita pun lelap serempak
duhai cinta
terjagalah segera, di muka ada anak bersuara:
siapa mau penasiapa mau penapenaku luar biasa
lantaran terbuat dari ayat suci dengan isi seluruh air samudra
dalam tidur kita
apakah samudra telah jadi pena?
dan kita adalah tinta penoreh sabda?
duhai cinta
kenapa bergegas segala ada?
Mataram, 2006
ARUNG DIRI
Kitab Puisi

95

CINTA, SAMUDRA TELAH JADI PENA 2


sebab pasang, kapal berlayar tenang
leee olang, kita pun ceria berdendang
melintasi ruang demi ruang terbentang
sambil mengamini tasbih jutaan kerlip bintang
hingga tak sadar kapal membentur ujung pena
yang tertancap pada ayat-ayat baka
yang sedang menghisap seluruh air samudra
[tentu kita terkesiap, cinta: kenapa bisa?
sayang, sunatullah tak untuk ditanya dipercaya]
Mataram, 2006

96

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

CINTA, ZIKIR OMBAK MEMBUAI KITA


Cinta, seusai badai, pantai landai
dan rampak zikir ombak membuai
kita pun mengangkasa
memanjat pelangi senjakala
menemu kekosongan makna
Mataram, 2006

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

97

KESELAMATAN
sesudah kerkah tanah
laut pun terbelah: pecah!
semua kejahatan tercegah
dan kebaikan tumpah:
menggulung para bedebah
mengharumi kaum beribadah
ini keadilan atau kutukkah?
dahsyatnya tak ada dalam sejarah!
dan para bedebah terimpit dinding rebah
juga tertimbun tanah
tertelan air muntah
dan kaum beribadah bersujud serah
juga bertanam berkah
beramal tambah
siapa masih ingat kisah?
keselamatan telah dicontohkan Allah
Mataram, 2006

98

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

LAUT IMAN
laut mana yang kau baca dalam sejarah?
laut mati: ruang segala yang musnah
atau laut merah: tempat dicipta sejarah
laut iman kupilih sudah
tak ragu tak akan berubah
sebab pertanda ada di laut merah:
karnaval keselamatan penyembah Allah
dan pengikut Musa kembali bungah
dan pasukan firaun terkubur kelam tingkah
Mataram, 2006

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

99

MANTRA PEMBERSIHAN DIRI


Bersama barzanji
Sesayat sepi, kau hidangkan di hati:
terdengar jernih zikir ilahi
Sesayat cinta, kau suguhkan di dada:
terdengar indah rapal doa
Sesayat rindu, kau antarkan di rabu:
terdengar bersih rubaiyat kalbu
Sesayat giur, kau sodorkan di lebur:
terdengar siur iman bersyukur
Sesayat gairah, kau tawarkan di girah:
terdengar ikhlas kasidah jiwa berserah
Telah sampai kau di hampar padang keindahan:
tempat bertahta keselamatan juga keabadian
Malang, 2010

100

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

MANTRA KEBERANIAN
bersama bismillah
reguklah segelas resah
santaplah serawah gelisah
lahaplah sepinggan gundah
mamahlah sepiring rebah
kunyahlah secawan payah
lumatlah serabu desah
bersama subannallah
layarilah sesungai berkah
arungilah seombak hasrat temu
susurilah sesamudra rindu
saringlah semuara cahaya kalbu
maka sampailah kau di rumah Allah
dibelai rahmah, dijamu janji terindah:
hidup gelimang suka
selepas berkemas dunia
Malang, 2010

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

101

MANTRA CINTA
bersama allahuakbar
simpanlah umbar debar
sembunyikan samar kabar
hilangkanlah ambar mawar
hancurkanlah elok lembar gambar
bersama istigfar
hentikanlah lantang sesumbar
buanglah segantang rasa besar
singkirkanlah sedada loba mekar
campakkanlah segenggam rasa hambar
maka tibalah kau di puncak cahaya
mereguk anggur ria meneguk bahagia
sumber segala terang, obat segala bimbang
Malang, 2010

102

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

MANTRA RINDU
debur debur debur
hancur hancur hancur
mumur mumur mumur
segala tampak bubur
segala desah gelisah kabur
segala derap napas kubur
kutiba pada mutmainah cinta
kutiba pada mahabah putih jiwa
kutiba pada puncak ada:
ternyata suwung semata
sebab la illah ha illallah ada di dada
Malang, 2010

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

103

RINDU BERSAMA
Kucari-cari, kucari-cari dengan buncah energi
manusia mulia bernama Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina
dalam endapan ajaran indah bersari cinta ilahi
di hamparan peradaban Asia dan nusantara:
nyaris tak ada, tak ada jejak mereka
nyaris tak ada, tak ada raut mereka
dalam pijar-pijar cahaya ajaran wangi makna
di hamparan peradaban selain Asia dan nusantara:
aha kutemu Averroes dan Avicenna
di jantung peradaban Eropa nan memesona
menjelma serat peradaban yang kini digdaya
kutemu mereka mengolah dan merawat kepala
Berhari-hari, berhari-hari dengan debur penasaran hati
kujelajahi relung terdalam peradaban Asia dan nusantara:
kutemu al-Ghazali menguasai segenap nurani
memenuhi rongga dada, berpaling tak bakal bisa
mengolah dan merawat hati sanubari tiada henti
Kurenung-renung, kurenung-renung dengan selaksa doa
kenapa Eropa telah mengolah kepala begitu luar biasa
hingga ilmu dan teknologi tercipta mengagetkan agama
dan sekarang menguasai seisi dunia juga luar angkasa
bahkan rahasia hidup mati nyaris digenggam pula

104

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

Kupikir-pikir, kupikir-pikir dengan nalar bersendi logika


kenapa Asia dan nusantara suntuk mengolah dada semata
menata hati sebegitu rupa, melindungi hati dari mara bahaya
hingga tercipta kelembutan hati yang disangka inti agama
dan kini tengah kebingungan digempur hasil ilmu-ilmu Eropa
dan kini diterungku rapuh jiwa, digelayuti berat putus asa
Tapi, tapi kulihat juga manusia Eropa dilanda kemarau dada
rekah luka jiwa mereka kian menganga, rapuh hati merajalela
dan runtuh nurani akibat kekosongan makna, sepi dari doa-doa
Kunalar-nalar, kunalar-nalar dengan akal terbuka
dunia telah terbelah antara kepala dan dada
antara akal dan jiwa, antara ilmu dan akhlak mulia
dan berjalan sendiri-sendiri tanpa kompas cita-cita
hingga masing-masing belahan dunia tak saling bersapa
malah saling menebar tuba curiga dan pahit wasangka
mengasah kelewang tuduhan berabad-abad lamanya
hingga kini masing-masing mengunyah perih goresan luka
dan celaka, masing-masing tak bisa menyembuhkannya!
Kureka-reka, kureka-reka dalam bayang cita
Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan al-Ghazali masgul bersama
saksikan keterbelahan dunia yang mengekalkan duka
padahal mereka dulu berdebat bersenjatakan runcing logika
bersilat pikir dengan tajam pena, berhujah dengan harum cinta
lihatlah Tahafut al Falasifa dan Tahafut al Tahafut warisan mereka
sama-sama indah memesona, penuh penghormatan pada manusia

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

105

Kubayang-bayangkan, kubayang-bayangkan dalam kepala


al-Ghazali mengajak Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina beranjangsana
suka cita menjejaki seluruh sudut negeri Asia dan nusantara
dan mukim berlama-lama di kepala semua manusia di sana
Kubayang-bayangkan, kubayang-bayangkan dalam kepala
Ibnu Rusyd bersama Ibnu Sina menggamit al-Ghazali tercinta
berjalan-jalan menyusuri semua hamparan peradaban Eropa
dan singgah berlama-lama di nurani semua manusia di sana
Jangan kau sergah khayalan belaka!
Jangan kau kata igauan orang gila semata!
Bukankah kita satu belaka, berasal dari sumber yang sama:
Sang Maharahman dan Mahakuasa
Kenapa harus memelihara saling curiga
bukankah kita pulang ke rumah yang sama:
surga yang dijanjikan agama-agama
Kenapa harus membangun dinding prasangka
bukankah kita berlindung di bawah ayat-ayat baka
bukti kalam Sang Maharahman dan Mahakuasa
Mari, mari, mari kita bersama dengan leluasa jiwa
duduk santai di ruang keluarga manusia:
menyeruput umpama Einstein soal ilmu dan agama
ingatlah, mereka kekasih sejati, yang saling mengada

106

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

menyantap cerlang makna tamsil Fritjof Capra


perkara jejaring kehidupan semesta dan manusia
semesta satu jejaring persis ikatan darah keluarga
meneguk secangkir makna aforisma Iqbal tercinta
seraya mendatangi sapi betina, dia bertutur mesra
Timur dan Barat milik Allah semata, bukan manusia
kenapa kalian saling memutus sapa, mencipta luka?
Mari, mari kita jelajahi indah panorama semesta
jadi turis sejati di bumi manusia, bumi milik Allah taala
bersapa dengan siapa saja: al-Ghazali, Ibnu Rusyd atau Ibnu Sina
berhangat rindu dengan Newton, Einstein atau Hawking boleh saja
Mari, mari kita sarungkan segala purba sangka dan curiga
Mari, mari kita perindah bumi yang kerontang makna
Malang, 2011

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

107

RISALAH RINDU 1
al-Ghazali tiba membawa Mishkat al-Anwar nan indah
kuguna menanak cinta sampai matang di mata Allah
kupakai membangun nurani hingga dihuni hanya Allah
: gelisah gundah yang menjajah hati niscaya tak betah
: anggur rindu yang sejati rindu niscaya tersaji berlimpah
Malang, 2011

108

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

RISALAH RINDU 2
di batinku al-Ghazali tiba lalu dia sebar
lembar-lembar memesona Mishkat al-Anwar
penuh cinta kulipat jadi bahtera Sinbad bersuar
lalu kupakai melayari lautan cahaya maha cahaya
denyar angin cahaya menerpa geriap jiwa: di mana berada?
gemulung ombak cahaya membentur jiwa: sampai mana?
bahtera Sinbadku terus berlayar menuju hakikat ada
mengarungi lautan cahaya maha cahaya mencari arah dermaga
[pelayaranku terus menembus waktu tak kutahu kapan tiba
karna aku tenggelam di dasar Mishkat al-Anwar ditawan pana]
Malang, 2011

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

109

PARA PERINDU
Berzikir, berzikir, berzikirlah kekasihku
biar dunia suntuk mengitari satu sumbu:
tak limbung oleh kuasa semu
istikamah menuju muara segala rindu
biar suasana dikuasai oleh harum narwastu:
sanggup lumerkan bubuk mesiu
sanggup usir selaksa gemuruh nafsu
hingga batin manusia bermetamorfosa cempaka ungu
yang menebar lautan harum di taman indah para perindu
Bertasbih, bertasbih, bertasbihlah kekasihku
biar dunia suntuk mengelilingi pusat yang satu:
tetap awas dari segenap silau palsu
istikamah menemu hulu sejati hulu
biar suasana dikuasai kesucian berinti subhanahu
mampu singkirkan para gadungan lucu
mampu bersihkan batin dari kerak debu
hingga batin manusia berpegangan pada yang satu
dan mampu bersemayam di taman indah para perindu
Malang, 2011

110

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

PENUNGGANG CAHAYA
dia selalu bayangkan semesta sebagai himpunan cahaya
dia selalu bayangkan swargaloka sebagai tumpukan cahaya
bahkan dia yakini ada jalan raya dari semesta ke swargaloka:
jalan cahaya, pijar sinar indah memesona
jalan cahaya, ruang panjang berkilau makna
dia merasa selalu menunggang cahaya dia jadi penunggang cahaya!
dan merasa selalu melaju kencang di lempang jalan cahaya, kelokan cahaya,
lengkungan cahaya, kecepatan cahaya, dan lantas singgah di rumah cahaya:
dinamai swargaloka, ruang penuh insan bercahaya
dia merasa tiba di persinggahan terakhir dan bakal jumpa Sang Maharaja
dia cari di mana Sang Maharaja, tapi justru jumpa cahaya maha cahaya
dia pun menunggang cahaya maha cahaya, menuju rumah kekekalan manusia
ternyata dia tiba di relung hati nurani manusia: tempat keselamatan bertahta!
kini dia merasa telah menjadi pangeran cahaya, bertahta di rumah cahaya:
hati nurani manusia, tak di luar sana!
Malang, 2012

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

111

VARIASI ASMARA 1
Memandang puncak yang disamarkan selimut awan
juga lautan pasir yang digelapkan kabut bertangisan
tibalah kita di inti kesenyapan:
tiada suara mengusik rasa
apalagi kata-kata mengirim cinta
karena suara pertanda belum sampai puncak pesona
karena kata-kata pertanda masih ada birahi bergelora
Semesta bergegas menemui awal ada manusia:
sebelum ada suara
sebelum ada kata-kata
Kudekap erat dirimu, kusentuh lembut pipimu:
amat dingin ditimbuni berlaksa rindu
Kudekap kuat rindumu, kukecup indah bibirmu:
amat hangat dibakari kemenyan syahdu
Kita pun memasuki terang di dalam gelap awan dan kabut
bismillah, allahuakbar, dan alhamdulillah hangat menyambut
Malang, 2011

112

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

VARIASI ASMARA 2
di dermaga Padang Bai, angin musim hujan menerpa bahu
dan membawa butiran sisa hujan kepada dingin tubuhmu:
kau termangu menatap laut biru
belum tampak rombongan perahu
kecuali samar gundukan pulau piatu
dalam dahsyat gigil tubuhmu
kubelai legam rambutmu, kusematkan bunga rindu:
ada hangat menjalari rabumu
kuseka langsat keningmu, kusuntingkan hasrat di telingamu:
ada kau dan aku bergumul di aortamu
Malang, 2011

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

113

VARIASI ASMARA 3
menjelajahi rimba asmara di lingkar lehermu
dan melintasi bukit-bukit juga lembah di tubuhmu
cuma kutemu sebilah kayu setajam sembilu
cuma kutemu sebilah kayu rupa lingga kaku
kutikamkan ke ulu nikmatmu jeritmu menggugah nafsu
aku tahu, sepasang kekasih telah memasuki rahimmu
mukim di situ berbilang waktu almanak pun tahu
aku tahu, dirimu bersalin rupa menjelma pinang dibelah dua
ditemani doa semerbak dupa angsoka juga wangi semesta
Malang, 2011

114

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

VARIASI ASMARA 4
Hutan dan burung jelaslah pasangan sejati
sebab tanpa nyanyi burung, hutan dibajak sepi
Kau dan aku pastilah sekuntum kembang abadi
sebab tanpa kilau hati kau, aku dirancah sangsi
Hutan dan angin jelaslah sekutu tak terganti
sebab tanpa desau angin, hutan kehilangan citra diri
Kau dan aku pastilah setangkai wijaya kusuma suci
sebab tanpa bersanding kau, aku kehabisan eksistensi
Hutan dan keteduhan jelaslah dua yang manunggal
Kau dan aku pastilah hutan dan keteduhan yang kekal
Malang, 2011

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

115

MEMBACA DINI HARI


Aku bertemu Rumi
saat suntuk membaca dini hari
bersama embun suci pembilas diri
dan ia memberiku Matsnawi yang pukau hati:
puisi gandrung, sarat makna senandung cinta abadi
memberiku secawan anggur ilahi yang lenakan diri:
hingga aku mabuk kepayang dengan Yang Hakiki
memberiku tarian berpusar putar menuju arasi:
hingga aku kehilangan segala yang duniawi
Serupa darwis, akupun hilang diri, akupun meniada diri
karena cuma makhluk dhaif di hadapan ilahi
Aku terus membubung ringan sekali, tiada tepermanai
melampaui ringan kapas disorong kencang angin berlari
makin tinggi kian lenyap diri, mata batinpun rabun mencari
ruhaniku tiba di ruang indah abadi, bertemu Yang Hakiki
apakah ini cuma mimpi atau tunai janji ilahi?
Aku sadarkan diri, saat dini hari membasuhkan embun suci
dan Rumi telah menjalari seluruh nadi, menguasai kujur diri:
sungguh dini hari indah yang mencuci kotor hati!
Malang, 2012

116

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

KASMARAN
diam-diam aku selalu mengharapkan
kau menjadi iringan awan, menjelma deras hujan
mengurungku sebagai tahanan di ceruk penantian
dan membiusku dengan wangi al-Hikam yang menawan
diam-diam aku selalu mengharapkan
kau menjadi lembaran al-Hikam, menjelma Athaillah beneran
menyuarakan ajakan melintasi pintu keindahan maharahman
dan mendaraskan tamsil-tamsil keselamatan bermahkota firman
diam-diam aku selalu mengharapkan
kau menjadi putih awan keimanan, menjelma deras hujan firman
dan menenggelamkan aku di dalam lautan makrifat kehidupan
dan membebaskan aku dari penjara kesementaraan dan kefanaan
Malang, 2012

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

117

SYUKUR
saat pagi tiba
kabut turun ke tengah kotaku
orang-orang memekikkan seru
setelah sekian lama menunggu:
betapa rindu, betapa haru!
tetanah merekah temukan lembab kembali
dedaunan berseri-seri mengirimi musim semi
orang-orang merapal doa tak henti-henti
duhai betapa indah segala berkah ilahi:
telah lama dinanti-nanti
Malang, 2012

118

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

MEDITASI DIRI
Kantuk telah mengepung mataku, menyerbu korneaku:
serasa pasukan Hulagu Khan menyerbu Baghdad dulu
sejak dentang jam tiba-tiba menghilang entah kemana:
serasa petikan sitar Ravi Shankar ditelan dendang semesta
Maka, waktu kehilangan gaung suara, yang pukau sepasang cinta
dan aku memasuki kekosongan semata, yang dijaga bening doa-doa
Malang, 2012

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

119

MENCARI JALAN 1
Telah berapa tangkai rindu kau petik dari rimbun pohon cinta
di taman tak butuh nama sebab melampaui bahasa?
Telah berapa kuntum kepayang kau ambil dari mekar bunga cinta
di taman tak butuh kata sebab mendahului suara?
Telah berapa hitungan waktu kau kunjungi taman hening gema
di kota kekal cinta yang diguyur hujan hikmat senantiasa?
Datanglah datanglah segera
sebelum bahasa memulangkan makna
sebelum suara mencapai kosong nada
sebelum waktu menghapus tapal nama
sebelum sabda membuka jalan-jalan baka
Malang, 2012

120

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

MENCARI JALAN 2
Kekasih, manakah cinta paling cinta
kuingin menghunjamkan ke palung sukma
agar diri tak berpaling kepada selain doa:
doa bermuara sidratul muntaha
tempat makhluk muskil anjangsana
sebab bertahta Dia dan hanya Dia
Kekasih, manakah cahaya sebenar cahaya
kuhendak memijarkan ke sekujur gelap jiwa
agar diri mengarungi cahaya mencapai ruang baka:
cahaya milik penghuni sidratul muntaha
sesembahan tunggal manusia ahli surga
dan penguasa sejati kehidupan manusia
Kekasih Kekasih
aku bukan apa-apa bukan siapa-siapa
diriku terbakar cahaya maha cahaya
Kekasih Kekasih
aku kehabisan rupa
aku kehilangan raga
diriku sirna entah jadi apa
Inikah keagungan dan keindahan paripurna?
Malang, 2012

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

121

MENCARI JALAN 3
Kusaksikan ikan-ikan berenang riang di lautan:
tampilkan tarian memukau tak terbandingkan
Kusaksikan burung-burung terbang senang di awan:
tunjukkan gerak indah tiada tertirukan
Kusaksikan embus segala angin menuju pusat kehidupan:
kirimkan sejuk ke palung hati tercerahkan
Kusaksikan segala air mengalir mencapai lautan:
contohkan kebersatuan tanpa perbedaan
Kenapa kusaksikan manusia justru ingin berenang
terbang, berembus, dan mengalir tanpa pikiran?
Kenapa tak suntuk berdoa dengan hati lapang
tembangkan kepasrahan dan kesyukuran?
Malang, 2012

122

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

MENCARI JALAN 4
bila beribu debat tak mengantar dirimu teringat
bila beribu hujat tak membawa dirimu berhikmat
bila beribu laknat tak menyadarkan dirimu tobat
bila beribu ayat tak memalingkan dirimu menatap kiblat
dengan apa dirimu mendaki hakikat, mencapai puncak makrifat?
tinggi galah ilmu telah kau ukur:
galah sejati hidup malah kian terbujur
tinggi puncak kuasa telah kau atur:
puncak sejati hidup malah tersungkur
tinggi gunung harta telah kau tata bak batang menjulur:
gunung sejati hidup malah gugur
dengan apa dirimu hendak mendaki puncak masyhur:
mencapai singgasana luhur?
hendak kemanakah dirimu sebelum terkubur:
berpesta anggur atau pilih kufur?
pilih di manakah dirimu selepas semua yang fana hancur:
jawablah, jangan pura-pura tertidur!
Malang, 2012

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

123

SONATA CINTA
beri aku waktu, memeram bebuah rindu
beri aku masa, menanak bebulir cinta
beri aku bebuah rindu, menjamu kejernihan kalbu
beri aku bebulir cinta, menyuguhi kebeningan sukma
beri aku jernih kalbu, menyunting bebunga nurani gaharu:
di tanjung gairah syahdu yang menyihir debur laut biru
beri aku bening sukma, memetik kembang surgawi nan jelita:
di jazirah gelora jiwa yang mengguna-guna ombak segara
haiberi aku dirimu, biar kugapai puncak keselamatan hidupku
Malang, 1998/2012

124

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

MENCARI MAKRIFAT
izinkan aku mengendarai angin
biar cepat mencapai tempat rabani yang alamin
izinkan aku menunggang badai
biar kuat menjangkau ruang kauni yang handai
izinkan aku menaiki gemulung awan
biar kuasa mengitari keluasan alam yang puan
izinkan aku menumpang pijar petir
biar sanggup membakar diri jadi cahaya yang amir
izinkan aku menakhodai cuaca
biar mampu menerangi alam semesta yang rida
sebab aku tiada, aku bisa wujud apa saja
sebab aku telah tiwikrama di dalam suara sabda
Malang, puncak malam 2011

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

125

MEMBURU HAKIKAT
aku adalah energi alam semesta tak terbahasa:
tak cukup lema untuk menyatakannya
sanggup menggerakkan semesta putari pataka
aku adalah cahaya berkilau luar biasa tak terkata:
tak lengkap kata untuk menampungnya
mampu menerangi pegelaran kehidupan jagat raya
aku adalah api membara istimewa tak tersuara:
tak genap suara untuk mewadahinya
kuasa membakar tanpa sisa seluruh keindahan buana
aku adalah hasil akhir tempur cahaya berkilau luar biasa
dengan api membara di pelataran keberadaan manusia
dahsyat menggentarkan kesadaran tertinggi manusia
aku butuhkan kilau cahaya suci yang kelembutannya
sanggup meredam panas bara api di dalam dada
aku perlukan bara api perkasa yang kekuatannya
mampu mematangkan semangat hidup di dalam jiwa
aku hasratkan tarian kilau cahaya bersama bara api istimewa
agar diri terbuai, ringan menapaki cakrawala
dan tiba di puncak pesona kefitrian manusia
[namun, aku kerap terjatuh dan terbakar bara api
namun, aku acap terpiuh kilau cahaya terusir pergi]
Malang, 2001/2012

126

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

PENGAKUAN
kekasih, boleh jadi mulutku terjepit capit lupa
tiada kuasa mendaras indah bacaan sempurna
kekasih, tak mustahil bibirku terjahit jarum alpa
tiada sanggup melantunkan bacaan sempurna
kekasih, barangkali batinku terhimpit bongkah noda
tiada daya mencerna kilau makna bacaan sempurna
kekasih, jangan-jangan kalbuku tertindih berat dosa
tiada mampu membentang pesan bacaan sempurna
kekasih, bisa jadi jiwaku tertimbun arang prasangka
tiada kekuatan membabarkan isi bacaan sempurna
kekasih, mungkin memang aku tak pantas tinggal di surga
sebab buta hakikat bacaan sempurna alpa mewujudkannya
kekasih, mungkin pantasku cuma menghuni jahanam neraka
tapi pasti kau tahu, apatah aku sanggup hidup sekejab di sana
lalu bagaimana: kekasih, aku rindu kau bersuara, ujarkan sabda!
Malang, 2001/2012

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

127

PERJALANAN CINTA
Kutinggalkan mereka:
huruf-huruf bersimbah doa
mengandung janin cinta
di lembar kertas-kertas sisa:
didiami aneka rajah nasib pria
berbilang waktu kau rajin merawatnya
bersama kelembutan jiwa tak terkata
serupa basuh embun pagi di putik sari:
lambat laun lahirlah kekasih hati
Kau tak mengutarakan apa-apa, walau sekata:
sebab disergap pana, ditawan gelora dada
namun diam-diam larut melipat kertas-kertas sisa:
merakit huruf-huruf dengan halus rasa
menjadi bahtera kasih beradar pijar cinta
dan kau layarkan ke tengah samudra jiwa
aku pun berarung rindu meraih dermaga
Malang, musim hujan 2012

128

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

MEMBURU INTI
kosong itu penuh isi, segenap ruang terhuni
kalau kau lihat hampa, kau baru hidup pada tatar raga
kosong itu puncak ada, segala ruang berudara
jika kau duga hampa, kau baru tiba pada pancaindra
kosong itu wujud sempurna, semua ruang berguna
bila kau sangka hampa, kau baru sampai pada nafsu benda
kosong itu energi niskala, kediaman hanif sukma
jikalau kau pikir hampa, kau baru menapaki tapal dunia
maka
maka
maka
maka

kosongkan
kosongkan
kosongkan
kosongkan

dirimu, biar dengki dan serakah tersapu


batinmu, biar selain kekasih hati berlalu
kalbumu, biar jiwa tenang berdiam di situ
pikirmu, biar mahacahaya tergelar di situ

sebab kosong itu kendara keselamatanmu


Malang, 2005/2005

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

129

130

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

3
Arung Berita

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

131

132

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

GAZA 1
langkah lars itu terus berderap dalam pikiran
menuju piring-piring di meja makan
dan menghidangkan: darah dan kematian
lalu kau kunyah bersama teve
yang menyanderamu di ruang tamu
hingga kau lalai waktu yang terus bergerak
menapak gurat jejak kematian di napasmu
Malang, Maret 1995

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

133

GAZA 2
di gersang padang kepercayaan
Arafat telah mengawinkan harapan
dengan sedikit kenyataan - tanah impian lewat bahasa yang terbiasa menyembunyikan kejujuran
: seperti dulu, Anwar Sadat melakukan
dan menuai kematian
seluruh arabia ternganga:
zionis, zionis itukah yang dikawininya?
detak-detak waktu cuma
melintasi padang keraguan
yang berpuluh tahun dipiara
Malang, Maret 1995

134

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

BOSNIA 1
bosnia, bosnia, bosnia...
di manakah dirimu di peta?
: bikinan eropa dan amerika
bom-bom terus memakamkan kota-kota:
bihac, sarajevo, sebrenica, dan zepa
menanam aroma angkara, menanam durjana:
serbia... serbia... serbia... serbia, terbantun gema
di tiap napas yang menderu ke ruang baka
dan lihat, lihatlah, dunia terbata-bata mengeja
bahasa yang telah lunglai makna dan daya
apa nama tindak keji dan bengis serbia
(boleh jadi, di sini bahasa telah dimangsa kuasa)
dan lihat, lihatlah, chirac, major, clinton, dan ghali
bersama kharadzic, mladic, dan milosevic menari
memainkan tarian hamlet yang gamang nurani
di atas peta bumi yang hendak dibagi-bagi
(barangkali, di sini pikiran telah jadi rahang gergasi)
bosnia, bosnia, bosnia...
masih adakah dirimu di peta?
: bikinan eropa dan amerika

135

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

135

(tak ada, tak ada bahasa, semesta duka


desing peluru cuma melumat peta
tetes darah ganih cuma membakakan cinta)
bosnia, bosnia, bosnia...
masih adakah dirimu di peta?
(dunia berkemas pulang ke negeri sunyi
terus serbia buas ranggas raga dan hati)
bosnia, bosnia, bosnia....
masih adakah dirimu di peta?
(anak-anak eropa dan amerika
konon belajar sejarah resmi dunia
tapi, tapi, bosnia tak ada di sana,
ujarnya kepada anak-anak expatriate bosnia)
Malang, 1995

136

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

BOSNIA 2
ingin, ingin benar, kukirim ke kotamu:
sarajevo, bihac, sebrenica, zepa
badai zikir beraroma semerbak narwastu
yang meninabobokan para serdadu
yang menidurkan segala hamburan mesiu
dan melelapkan dunia yang letih oleh gairah nafsu
(dan sunyi semesta
istirah setelah sengit berbantah)
jangan berkhayal melulu, sergah seorang ibu,
(mengokang senapan tua, sisa perang dunia kedua)
sebrenica juga perlu peluru bukan cuma zikirmu
untuk perang yang tuli dari suara hati kami
ingin, ingin benar, kukirim ke kotamu:
sarajevo, bihac, sebrenica, zepa
badai zikir beraroma selaksa harum cendana
yang melumerkan pikiran durjana para tentara
yang melelehkan segala kokang senjata
dan menidurkan dunia yang letih oleh rakus angkara
(dan dingin menyekap balkan)
kalian cuma bisa bicara, hardik ibu tua sebrenica,
(ringkih tubuhnya, kuat ditopang bara harap merdeka)
ARUNG DIRI
Kitab Puisi

137

bosnia juga perlu keadilan dunia tak zikirmu saja


bagi perang yang sengaja dibiakkan di negeri kami punya
(dan dingin menyekap balkan
dan mortir tetap berdentuman
dan korban-korban terus berjatuhan
dan mayat-mayat terus dikuburkan
dan dunia masih terus kebingungan)
Malang, 1995

138

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

BAHASA 1
benar, benar, tak ada apa-apa di sini
kecuali kokang senapan dan sedikit amunisi
biasa dipakai para politisi atau petinggi
meledakkan lidah yang bersekutu hati nurani
demi ketunggalan kenyataan dan kebenaran
demi kelanggengan rezim makna yang selalu alpa
akan kemajemukan suara
maka, apa yang bisa diharap dari bahasa
yang bersemayam di geraham kuasa
yang tiap hari terus berbiak di media massa?
yang tiap saat terus berkembara lewat mulut, kabel,
gelombang inframerah, dan satelit di luar angkasa?
Malang, Januari 1996

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

139

BAHASA 2
siapa itu bisik-bisik di luar bahasa?
hingga tak terpahami para telik raja
dan tak bisa dipahat di daftar cekal
ruang buat yang bertindak mokal
akulah Sulaiman
yang bicara dengan mukjizat kehidupan
tersebab bahasa sudah teperdaya kuasa
mencekik kejujuran, menabur durjana
siapa itu cakap-cakap di luar makna?
hingga tak tersadap telinga negara
dan lolos dari ancaman penghasutan massa
akulah Sulaiman
yang bersuara dengan makrifat kehidupan
tersebab bahasa telah kehilangan keadilan
bagi keanekaan suara yang terus berlompatan
siapa itu berkubu di luar bahasa dan makna?
sssstttttttt. diamlah. ini suasana bertuba curiga
di luar bahasa dan makna : itulah suaka teraman kita
Malang, Januari 1996

140

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

BAHASA 3
angin apakah ini?
gemuruh apakah ini?
(berpuluh tahun rasanya tak jua henti)
bahasa pun berguguran kalimatnya
kata-katanya patah, bunyi-bunyinya rebah
dan makna bersuaka di istana raja
sibuk berpesta dan bersulang mencipta realita
seperti negeri uttarakuru
semua orang bisu: hilang cita
hilang suara
hilang daya
di bawah bayang-bayang kokang senjata
di bawah berlaksa tajam sorot mata telik negara
tinggal tangan-tangan terampil di seluruh negeri
yang tak lagi digerakkan oleh hasrat ganih nurani
memahat huruf-huruf yang tak diakrabi sama sekali
memahat huruf-huruf yang di luar kebutuhan sendiri
:jadi slogan dan propaganda yang berisik di sini!
angin apakah ini?
gemuruh apakah ini?
(berpuluh tahun rasanya mencekam nurani)

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

141

segenap negeri sunyi


tinggal tangan-tangan menari tapi tanpa hati
di atas panggung kuasa yang bak gergasi
Malang, Januari 1996

142

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

BAHASA 4
siapa itu bicara?
dengan bahasa yang terluka
belepotan darah ditikam lalim kuasa
ssttt.... jangan gunakan kepala!
telik negara hadir di mana-mana
kudengar cuma sayat tangis
merenda catatan-catatan kelam nasib
dan mengharap langit segera gerimis
oleh kelembutan malaikat penjaga petala langit
Malang, Januari 1996

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

143

MEMBACA SEJARAH
Ibu, ibu, siapa telah menanam semiotika kemegahan sriwijaya,
majapahit, dan tiga setengah abad kolonialisme Belanda
ke dalam rongga dada? Dan kini jadi batu, seperti beton-beton raksasa
di jalan layang dan gedung megapolitan kota Jakarta
yang merampas semua cakrawala
dan menikam pelangi di langit senjakala
Ibu, ibu, siapa telah menanam semiotika pertumbuhan, pemerataan,
kehebatan fundamen ekonomi, dan keberhasilan pembangunan
ke dalam syaraf pikiran? Dan kini jadi mitologi, seperti menhir batu-batu
di sepi perbukitan tua dan tanah-tanah tinggi
yang menyuguhkan aroma keangkeran mitis
dan menaburkan bubuk ekstasi benda-benda pada manusia
Ibu, ibu, siapa telah menanam semiotika stabilitas politik,
massa mengambang, dan undang-undang regulasi partai tak bisa diusik
ke dalam nadi kehidupan? Dan kini jadi monumen, seperti portal baja
di jalan perumahan mewah kota dan halaman departemen negara
yang merintangi kebebasan lalu lalang manusia
dan memasung pluralisme suara di dalam gudang kuasa
Ibu, ibu, betapa berat mengusungnya ke lorong-lorong Indonesia
dan mengkilapkannya jadi cermin kegagahan kita!
dan menyulapnya jadi bukti keberhasilan kita!

144

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

Ibu, ibu, jangan jadikan aku Syshipe, jangan jadikan aku Syshipe!
biar, biar, biarkanlah aku jadi Ibnu Batutah si pengembara itu
yang mengarung luas samudra peradaban beribu kalam suci
yang membentangkan luas cakrawala kebudayaan bersari ajaran abadi
untuk kemudian singgah di bandar nabi-nabi yang bersuar cahaya ayat suci
dan bertemu Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali, Rumi, Qadir Jailani,
Suhrawardi, Hamzah Fansuri, Aranirri, Ahmad Dahlan, dan Hasyim Asari
dan bersilat kata sama Socrates, Plato, Aristoteles, Descartes, Hobbes,
Marx, Foucault, Derrida, Chomsky, Einstein, Hawking, dan Habermas
demi keselamatan kita di padang abadi bikinan ilahi
Ibu, ibu, lepaskan aku dari segenap titipan sejarahmu!
Malang, Desember 1996

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

145

PANTAI BAMA
malam-malam begini
pantai menawari asin rindu
kecipak ombak mencatati puncak-puncak sunyi
dan di daun-daun ketapang tua, angin berzikir khusyu
di sini aku menunggu ayatmu jadi lagu
melantunkan suluk keabadian tak semu
ditingkah rebana iman duhai betapa merdu
pengantar tidur abadi, tak lekang ruang dan waktu
Baluran, 1997

146

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

TALPAT
perbukitan tua menikahi sunyi raya
daun-daun istirah gubah lagu semesta
karena angin gunung bersicepat berkemas
bersama mendung melawat ke bandar-bandar lepas
berwujud lembing cahaya
kita pun tiba di titik nol suasana
tak ada siapa-siapa, tak ada apa-apa
cuma Dia, cuma Dia, merangkum seluruh dada
Baluran, 1997

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

147

DI NEGERI SULAPANKAH AKU?


maka, terjadilah:
air mata menjelmakan waduk raksasa
tangis si miskin membarakan samudra api
suara-suara surgawi menggiring ke penjara
orang-orang hilang tanpa alamat pasti
maka, terjadilah:
kekerasan adalah kebenaran
kebengisan adalah kewajaran
kekeliruan adalah kenormalan
Gusti,
di negeri sulapankah aku kini?
Malang, akhir 1997

148

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

MORATORIUM KEBENGISAN
pada batu-batu
kubaca kesaksian berabad-abad lalu:
sepasukan keserakahan dihalau burung-burung
seraksasa kemungkaran dirajam doa-doa
hei! kau yang serakah dan mungkar
bacalah batu-batu itu!
sebelum ia bangkit menghujanimu
dan menguburmu dalam sejarah kekelaman nafsu
hei! kau yang serakah dan mungkar
bertobatlah secepat gerak cahaya!
ruang waktu tak lagi berpihak padamu
sebab telah beterbangan ababil beribu-ribu:
bernama mahasiswa
berjuluk rakyat jelata
mengguyurimu dengan berlaksa batu:
batu kebenaran
batu kejujuran
batu kemurnian
Malang, April 1998

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

149

BEBAL
pada seorang batu
ayat-ayatmu cuma paku
buat menguatkan tahta-kuasa semu:
di mana keserakahan terus dijamu
di mana kezaliman terus dimadu
pada seikat manusia
ayat-ayatmu magnet belaka
buat melengketkan diri di manis bibir kuasa:
di mana jabatan dijadikan berhala
di mana harta jadi tujuan mengada
pada seorang bunga warna-warni
tiba-tiba dunia istiqfar bersama Rumi
sambil suntuk menari-nari:
astaqfirullah
astaqfirullah
astaqfirullah
Malang, Maret 1998

150

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

JAKARTA: KERUSUHAN MEI 1998


Masihkah kau memaksaku sebut nama
sedang sekadar cacah angka aku tak punya:
dirompak kuasa pria demi kelanggengan dusta
dihapus lalim kuasa demi kecemerlangan citra
dibakar kobar dengki bersumbu purba sangka
aku cuma benda tiada harga di tengah bara membakar kota
maka aku pun diperkosa para binatang bermuka manusia:
jangan-jangan kaulah pelaku utama!
Masihkah kau mendesakku katakan nama
sedang bahasa sampai kini aku tak punya:
telah disita pria demi terjaga timpang tata
dilumat kuasa demi sirna laku dursila penguasa
disihir para penyaru reformasi berjubah pencinta
aku hanya wanita tuna daya di tengah nyala meluluhkan kota
maka aku pun dirundung libido para pria berjiwa serigala:
jangan-jangan kaulah pelaku utama!
Lantaran media dan negara bungkam semata selepas huru-hara
maka aku menikahi hening paripurna arungi duka demi duka:
terhempas badai kebiadaban yang mengepung jiwa
tergulung ombak kejahatan yang mencabik suci raga
hingga orang-orang bermahkota cinta mencari dan menanya:
gerangan di mana mereka bersama benih yang kehilangan bapa?
suaraku tiada sebab kehilangan angka dan bahasa terhinakan juga
di dalam pusaran kuasa yang gelap mata dan digenggam para durjana!
Malang, 2001/2010
ARUNG DIRI
Kitab Puisi

151

TESTIMONI KERUSUHAN
kokang senjata milik pasukan khusus, katanya
dalam genggam kuasa tangan durjana tentara
peluru-peluru lantas kehilangan mata:
mengoyak tubuh tak berdosa
merampas nyawa dengan paksa
orang-orang menyumpah
serapah berlimpah-limpah tumpah
[tapi: kepala penguasa telah kehilangan telinga
nurani penguasa telah disandera angkara]
tanah-tanah basah wangi darah
enam pendar cahaya menaiki tangga Allah
hari ini, kusambut kalian kembali
sebab rumah abadi kalian di sini
Malang, Mei 1998

152

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

AKULAH SUNYI
akulah puncak sunyi
yang mengerami waktu
hingga orang-orang menunggu:
kebebasan yang diperam reformasi
katamu: apa pula ini?
tapi, tapi, di mana kebebasan?
yang kudapat kekerasan melulu!,
ujarmu pada angin berhamburan
akulah pucuk sunyi
yang telah diusir pergi
dari ruh negeri:
kini hiruk-pikuk saban hari
sayang, sayang, tanpa arti
Bogor, November 2001

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

153

MACHIAVELISME
dan perempuan itu melemparkan kerlingnya
sebelum desah pertama merobek lengang
dia ... diakah ... yang telah bikin mabuk Mangir muda?
kepada Pambayun ternganga semua orang
sebelum heran lindap, nafsu telah menyergap
dikawininya Pambayun, dititipinya anak turun
sebelum sembilan bulan berlalu
ke Mataramlah Mangir menghadap sebagai menantu
menjemput ajal yang telah disiapkan sebilah keris di situ:
keris mertua yang tahunya cuma kuasa
oh ... kangmas ... kangmas, ratap Pambayun sendu
mengekalkan kuasa ayahanda prabu
Bogor, November 2001

154

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

SURAMADU
memandang panjang Suramadu
garis membaur batas pun hancur
jarak melebur beda pun gugur
: kenapa kita malah bangun ragu?
selat cuma tanda ada pantai jaga ruang cinta
alun hanya semiotika ada gemuruh rindu bicara
: kenapa kita terus sembunyikan yang sama?
memandang panjang Suramadu
aku dirajam hasrat bertemu sebab kita satu
Malang, 2011

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

155

PATAH HATI DI SURAMADU


Cahaya tahu aku berencana menangkap senja di Suramadu:
senja terindah yang pernah menculik pacarku
membuatku lunglai disiram sedih berminggu-minggu
Cahaya tahu aku berencana memukuli senja di Suramadu:
senja tercantik yang membawa lari pacarku
membuatku kehilangan mesra berwaktu-waktu
Cahaya dan waktu telah bersekutu di jembatan Suramadu
mengirim silau paling silau di sepanjang jembatan Suramadu:
aku nanar kehilangan tuju disembunyikan di mana pacarku?
mengirim saat paling lama di sepanjang jembatan Suramadu:
aku jengah kehilangan tunggu dilarikan ke mana pacarku?
Cahaya dan selat telah berkubu di jembatan Suramadu:
tiada sampan berlagu tiada alun melintasi Suramadu
tiada ikan-ikan menari tiada teduh memayungi Suramadu
aku terkapar ditabrak sepi beribu-ribu dihempas berat rindu
Malang, 2011

156

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

CINTA, KENAPA ADA NEWTON DAN HAWKING?


Cinta, ingatkah kau:
telah berbilang abad Newton membekukan dunia
menjadi mesin raksasa di jantung kehidupan kita
dan menjadi sampah di orbit galaksi maha pesona
[apakah kita seonggok sampah juga begitu serasa?]
Cinta, dalam nganga Hawking tiba bersama kita:
meledakkan dunia yang cuma mesin raksasa
lima miliar tahun lagi dari masa hidup manusia
tapi getaran halus mengerikan kini telah terasa
[apakah kita jadi serpih kapas melayang di angkasa?]
Cinta, di mana Sang Mahahidup bertahta saat ledak dunia jadi debu?
Newton dan Hawking tak mau bicara mulut terjahit ragu
padahal aku ingin bertemu, menanya langkah keselamatanku
[tak usah cengeng begitu Sang Mahahidup telah memberimu buku
bacalah, akan terbuka pintu hidup abadi setelah akhir waktu]
Malang, 2011

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

157

KITA DAN NEWTON


andai Newton tak ada
apa kita melayang-layang di udara?
: jadi zarah di keluasan semesta
apa justru meluncur berkecepatan cahaya?
: terhempas di entah sebab alas tiada
apa justru tak jadi siapa-siapa, tak jadi apa-apa?
: hanya ruh yang masih sibuk mencari raga
andai Newton tak ada
kita tak mengungkai tanya: Allah di mana?
kita suntuk mencipta puja sastra: Allah taala
andai Newton tak ada
dunia tetap mengorbit di tata surya
meski mungkin tenggelam di zaman purba
Malang, 2011

158

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

KITA DAN HAWKING


andai Hawking berkursi roda datang membawa bunga
bukan cerita The Brief History of Time yang menetak jiwa
mungkin kita tetap hiruk berbelanja di megah plaza
: seraya bersuara, saya belanja maka saya ada
mungkin kita tetap sibuk berdansa di sembarang kala
: sembari beretorika, saya dansa maka saya ceria
mungkin kita tak berlari-lari mencari damai musala
: seraya berdoa, ya Allah selamatkan kami semua
mungkin kita tak sujud pasrahkan jiwa begitu paripurna
: ya Allah kami dari-Mu niscaya pulang kepada-Mu juga
Malang, 2011

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

159

MENCARI BAHAGIA
dengan bening doa kudaras kitab demi kitab tua
karena dunia dilimbur cemas dan kalap senantiasa
dengan merdu zikir kucerna arif pikir demi pikir ternama
karena manusia ditenung tamak dan loba tanpa jeda
dan kucari-cari Ki Ageng Suryamentaram sang Pangeran Jawa
pemilik kitab kearifan kehidupan bersari kenikmatan baka
yang menawarkan racikan kawruh jiwa1 bagi semua manusia
yang memberikan adonan pangawikan pribadi2 bagi jiwa dahaga
siapa duga bisa menenangkan manusia, mendamaikan dunia
tapi, jangan kau buru bahagia semata, ia mulur mungkret3 adanya
selami palung jiwa, bakal kau temukan sangkan paraning4 manusia
berhulu Gusti sumber segala ada, asal segenap keadaan jiwa
niscaya kau dan dunia bertawaf mengitari hidayah Sang Mahacinta,
kudengar Pangeran Jawa berbagi jalan terang menuju negeri suka cita
aku ternganga, kenapa dunia tiba di simpang jalan tak bertanda
dan manusia mengambil arah menjauhi jalan Pangeran Jawa
Malang, 2012

1
2
3
4

kawruh jiwa = pengetahuan jiwa


pangawikan pribadi = rahasia diri pribadi
mulur mungkret = memuai mengerut
sangkan paraning = hakikat datang dan pergi

160

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

MENCARI KEKASIH
: buat Moh. Harun

setiap suara adalah berita


maka kau tunggui tanpa kedip mata
maka kau simak tanpa lena telinga
siapa sangka menceritakan kebenaran
keberadaan kekasih yang kau harapkan
rupa kekasih yang selalu kau rindukan
setiap suara adalah
kekasih
kekasih
kekasih

berita:
kau berada di kemuliaan
kau berparas keceriaan
kau mandi cahaya keimanan

setiap suara adalah berita:


tak usah kau cari sampai waktu lekang
ke rumah abadi, kekasih kau telah pulang
diantar gemunung air yang berkelebat datang
dan mengajak mereka tinggal di arasi lapang
setiap suara adalah berita
tak heran kau selalu terjaga
sembari ucap: Allah Allah Allah tercinta
Malang, 2005

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

161

AIR
:buat Moh. Harun

air yang kita buang di selokan


diam-diam bersekutu di lautan
menghayati makna kebersamaan:
bak Dasamuka besar kedahsyatan
mampu melumatkan yang diinginkan
air yang sedahsyat Dasamuka
tiba-tiba menyeret gunung ke kota:
membersihkan segala yang ada
benda-benda juga manusia tercinta
Malang, 2005

162

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

SAJAK BELAJAR MENGUMPAT


Kutemui kitab hati nurani yang berumah di dalam diri
kuwawancarai perkara basmi-membasmi korupsi di seantero negeri
lantas kutanyai kenapa sendi bangsa kian rapuh digerogoti korupsi
bersungut-sunggut ia umpat segala yang terjadi:bajingan, diamput!
maknaku acap disalahpahami bahkan telah dipelintiri, ujarnya kecut.
Kutemui kitab hati nurani yang masgul di dalam diri
kucecari kenapa hukuman koruptor dikurangi, tak diganjar mati
padahal di negeri jiran koruptor justru hidupnya disusuti pasti
bermuka merah padma ia maki segala yang terjadi:bangsat, keparat!
diriku telah dipermainkan bahkan dipakai sembunyi, katanya pepat.
Kutemui kitab hati nurani yang terkulai di dalam diri
ketika negeri kian lunglai dihajar korupsi diracuni hipokrasi
ternyata ia telah tak sadarkan diri mengalami kondisi mati suri.
Malang, 2011

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

163

MANUSIA ANIAYA
Rembang pagi tiba. Bersama doa, Aulia tenggelam membaca.
Koran nasional baru tiba. Rupa lembar kertas putih belaka,
kosong semata. Huruf-hurufnya sudah tak ada, entah kenapa.
Kata-katanya menghilang begitu saja, entah karena apa.
Bahasanya melarikan diri sebelum koran ditata, entah sebab apa.
Mengungkai duga Aulia: huruf-huruf tak sudi jadi topeng kebohongan,
bungkus kepalsuan atau rias kelancungan manusia tamak ketenaran.
Menata sangka Aulia: kata-kata tak ada daya tuturkan kebenaran,
suarakan kejujuran atau lengkingkan keadilan yang menyelamatkan.
Merangkai simpul Aulia: bahasa telah teraniaya, pantas kesadaran sirna
pikiran kehilangan kompas cita, dan kalbu ditenggelamkan lautan loba
maka korupsi meraja, kitab suci dan tanah kubur pun diembat tanpa dosa:
gila! gila! masihkah para koruptor layak disebut manusia?
sedang hewan tak tumpuk makanan dan umbar nafsu purba
inikah kedunguan manusia, inikah kejatuhan kedua manusia?
Malang, ujung malam 2012

164

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

LAILA DAN BERITA MEDIA


Tanpa setahu penjaga, Laila memasuki belantara berita media.
Di kertas warna, layar kaca juga jaringan digital di udara.
Tak kedip mata. Selalu pasang telinga. Tak lena jiwa. Selalu terjaga.
Menjelajahi berita demi berita yang menyedot waktu manusia,
menyabot hati manusia. Menelikung kesadaran manusia.
Tak ada realita, tak ada realita dijumpa Laila.
Telah disihir rezim harta jelma sensasi belaka. Sensasi semata.
Astaga, orang-orang amini sebagai kenyataan, tanpa tajam kepala.
Astaga, orang-orang menghargai sebagai dogma, serupa sabda.
Tak ada fakta, tak ada fakta disapa Laila.
Telah disulap rezim media jelma ilusi belaka. Ilusi semata.
Celaka, orang-orang yakini sebagai kenyataan, tanpa bijak dada.
Celaka, orang-orang mempercayai sebagai dogma, serupa sabda.
Tak ada yang nyata, tak ada yang nyata ditemui Laila.
Telah disalin rezim infotaimen jadi citra belaka. Citra indah semata.
Masyaallah, ucap Laila, orang-orang menyangka sebagai benar-benar ada,
tanpa selidik jiwa, tanpa kokoh kepala. Fatamorgana kuasai mata.
Masyaallah, ujar Laila, orang-orang mengimami sebagai dogma,
serupa sabda. Salah sangka menjerumuskan kewarasan manusia.
Laila terpana. Laila menganyam tanya.
Kemana pergi pikiran dari kepala.

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

165

Kemana menghilang kesadaran dari jiwa. Kemana?


Laila terkesima. Laila menguntai tanya.
Kemana minggat kearifan dari dada.
Kemana menghilang kepekaan dari rasa. Kemana?
Laila berlari, berlari melintasi orang-orang yang disandera berita.
Saksikan orang-orang riuh berpesta menyantap sensasi, ilusi juga
gemerlap citra, dengan derai tawa, kadang haru biru sukma.
Seolah selami ayat-ayat baka, petunjuk jalan ke sidratul muntaha.
Laila berlari, berlari keluar dari belantara berita media.
Hindari peri, mambang, dan hantu yang menguasai media,
telah menawan manusia, melenakan manusia tanpa sadar jiwa.
Laila ternganga. Terkepung sensasi, ilusi, dan citra di mana-mana.
LailaLaila.
Malang, ujung malam 2012

166

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

NABILA KINI MEMBACA


Nabila, perempuan lima tahun usia, semangat belajar membaca,
membaca makna bersuluh cahaya maha cahaya. Tersebab pesona
deretan huruf-huruf agung, yang menjulur melampaui cakrawala,
mencapai pohon bidara yang daunnya semua makhluk semesta.
Tapi, tapi Nabila tak mengerti deretan huruf-huruf sarat makna
karna telah dibajak korupsi, anarki, dan hipokrisi yang kian membuta
karna dilindas keserakahan, ketamakan juga keculasan paling gila.
Tersebab pesona untaian kata-kata indah, yang mengangkasa
menembus lelapis langit, menjangkau pohon kehidupan baka
yang diidamkan semua makhluk penghuni alam semesta.
Tapi, tapi Nabila tak memahami untaian kata-kata sarat doa
karna telah disandera korupsi, anarki, dan hipokrisi yang kian meraja
karna disusupi kebohongan, kepalsuan juga kepura-puraan paripurna.
Bersama iqra, Nabila menerka semua huruf dan kata: astaga!
Pantas Nabila tak bisa membaca, menangguk harum makna
karna korupsi, anarki dan hipokrisi menerungku semua huruf dan kata.
Celaka! Celaka! Masihkah sabda bisa bicara? Nabila terasa diguna-guna.
Malang, ujung malam 2012

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

167

MAULANA BERTANYA MAKNA


Frankl* ceria menemu fitrah manusia
saat belas kasih dicampakkan perang dunia
mata batin dicincang lalim kuasa para durjana.
Frankl pun cekat menata kata bercahaya
di bawah kekelaman kemanusiaan eropa:
manusia memburu makna
menjadi bermartabat dan berharga
Kenapa manusia kini malah memburu harta dan tahta semata,
bukan belas kasih berasa lezat makna berikat pohon bidara:
gunakan sembarang cara asusila
memilin lambang-lambang agama
bahkan menista kitab suci nan mulia,
sergah Maulana saat senjakala menjamu kami di taman pesona.
Kami hanya beradu mata mata cinta bersepuh karunia
berisik tanda tak terolah jiwa tak pantas di taman pesona.
Dan Maulana tepekur saksikan banyak pemimpin teraniaya
jadi pesakitan tersebab sihir candu harta dan tahta yang fana:
celaka, mereka kira inti hidup manusia!
Dan Maulana tafakur bayangkan banyak manusia teperdaya
harta dan tahta hanya karena ketakutan tak bahagia di dunia:
astaga, mereka di simpang jalan agama!

168

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

Bukankah manusia kini sesat tuju memburu segala semu.


pintu mana hendak dibuka akhir waktu manusia digulung ragu,
cetus Maulana saat perjamuan makna kami nikmati sepanjang waktu
Malang, ujung malam 2012

* Lengkapnya Victor Frankl, yaitu psikolog terkemuka yang menulis buku Mans Search for Meaning

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

169

EKSHIBISIONISME
Senja tadi, saat wajah bumi penuh seri, harum doa santri
seorang mantan petinggi, merasa banyak jasa pada negeri
dipidana korupsi dengan hukuman badan masuk terali besi
tak bisa didekati dan gagal dieksekusi, dilindungi oleh polisi
dan diberi tempat sembunyi seketika hilang ditelan bumi
[ini penegakan keadilan atau pembangkangan tertata rapi]
Siang tadi, saat raut pertiwi penuh puji, semerbak wangi
seorang petinggi, merasa berjuang demi kejayaan negeri
disidang korupsi dengan sangkaan warna-warni bikin ngeri
senyum aneka arti menuju kursi, dikawal banyak pengacara teruji
dan selalu berkata: tak mengerti sebab diri tak punya akal budi
[ini sandiwara televisi atau upaya membasmi wabah korupsi?]
Para pengacara tangkas bersilat kata, dengan nalar dipelintiri
berondongkan rasionalisasi berapi-api, pakai ayat cabar hati
di depan sorot lampu kamera televisi, yang sedang cari sensasi
Para penegak hukum saling kelahi, sibuk mempertahankan diri
sembari terus berucap tanpa arti, kebusukan menyelimuti
seolah penjaga negeri paling berarti, padahal suka lempar teka-teki
[ini negeri demokrasi atau kleptokrasi di mana semua mencuri?]
Malang, ujung tahun 2012

170

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

PELAYARAN RINDU DI MATAMU


: untuk Azis Black Asuransi

dari kerdip matamu, tercipta samudra biru


dalam melampaui selamku, luas melewati pandangku
cepat kulayarkan perahu rindu, bernakhoda hasrat bertemu
laju-melaju arungi ombak menderu, gesit hindari badai menyapu
mencari dermaga di dalam tulus cintamu terang suar kutunggu
kapankah angin sakal mengirim rayu, tanda pantai menunggu
biar berakhir pelayaran rindu di matamu aku bergelimang cintamu
Malang, ujung malam 2012

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

171

SKETSA PAGI
: bagi Sri Azemi Yuliani

lantun doa mengantar remang pulang. menghilang para mambang.


lelawa terbang sebab tak suka benderang. lindap segenap gamang.
gemintang tinggal samar bayang-bayang. langit pun buka gerbang.
datang segenap lukisan terang. basah embun perlahan melayang
memenuhi keluasan ruang. menyapa udara arungi angkasa lapang.
kesegaran menumpang embus angin yang singgah di daun-daun riang.
dan daun bangkit bergoyang, sambut basah embun yang meminang.
sayang, aku mabuk kepayang, lama kau tak tandang, hijau daun girang.
cinta, kuingin selalu tandang, namun banyak rintang, embun bilang.
sayang, sendirikah kau datang, tiada yang kupandang, cuma tiang-tiang
cinta, aku datang bersama kesegaran dan embus angin berdendang
[sepasang kekasih saling pegang kembang, saling pandang setentang,
saling ulurkan mawar sayang, yang, kita dihempas rindu tak kepalang
sepasang kekasih digulung cinta bandang, kehilangan jalan pulang]
Mataram, rembang pagi 2012

172

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

SEMIOTIKA KEZALIMAN
hutan adalah lebat pepohonan yang dicahayai kerahmanan:
dikawani hijau, dijaga derau
dilingkungi kosmogoni, dikitari pemali
dipandu jiwa bersih, dibela hati ganih
rimba adalah rimbun pepohonan yang dibinari kerahiman:
ditemani kicau, dilindungi desau
dilingkupi mitologi, dilingkari mantra suci
dikawal pikiran putih, dipiara nalar jernih
hutan adalah mata air kehidupan alami bersari rabani:
tempat rajah nasib diteguhkan
ruang gerak napas disucimurnikan
ajang masa depan direncanakan
tapak nikmat dijagalestarikan
rimba adalah tanah air kebudayaan asali berinti kauni:
tempat akal budi dimuliakan
ruang olah semesta ditinggikan
ajang pusaka budaya diwariskan
tapak syukur ditumbuhsuburkan
hutan dan rimba adalah senapas cinta baka bergelimang kelembutan
mengolah kehidupan dan kebudayaan menjadi ragi kemanusiaan
hutan dan rimba adalah sejantung kasih baki berwangi keberserahan
menyantuni kehidupan dan kebudayaan menjelma hara kesemestaan
hutan dan rimba adalah sehati sayang abadi berharum keimanan
menyuburi kehidupan dan kebudayaan merupa rabuk keselamatan
ARUNG DIRI
Kitab Puisi

173

maka kerusakan hutan adalah hancurnya sumber kehidupan


kepunahan rimba adalah matinya mula kebudayaan
maka kerusakan hutan adalah hancurnya keberadaan manusia
kepunahan rimba adalah matinya kelangsungan jagat raya
maka kerusakan hutan adalah hancurnya wujud indah keimanan
kepunahan rimba adalah matinya rasa kehadiran Tuhan
ketika gergasi keserakahan robohkan lebat pepohonan jadi gelondong:
robohlah kehidupan dan kebudayaan manusia sisakan rangka
ketika gergaji ketamakan rebahkan rimbun pepohonan jadi pokok gosong:
rebahlah keberadaan dan kelangsungan manusia tinggalkan cerita
ketika rahang keserakahan dan ketamakan cincang hutan dan rimba:
kita berada di palung lupa wajah keimanan dan kekhalifahan manusia!
ketika tajam taring keserakahan dan ketamakan lumat hutan dan rimba:
kita berada di tepian kehancuran semesta, kepunahan umat manusia!
hai kalian yang bebal, dengarlah Gandhi bersuara:
semesta cukup menghidupi semua manusia
tak mencukupi seorang serakah dan tamak semata!
hai kalian yang bebal, tak mau berpikir, simaklah suara sabda:
janganlah kamu berbuat kerusakan di muka semesta
bila beriman sebab kebinasaan tak disuka Sang Mahacinta
hai kalian yang bebal.
[dan pepohonan terus bertumbangan hutan dan rimba tinggal kenangan
siapa itu mandi harta bergelimangan? bertuhan pundi dana berdencingan?]
Malang, 1998/2010

174

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

KEZALIMAN
Ketika ditebang pepohonan hijau yang rindangi bumi:
manusia telah berbuat zalim kepada-Mu ya Gusti
sebab bumi adalah rupa kehadiran-Mu sendiri
Ketika ditumbangkan pepohonan indah yang sejuki bumi:
manusia robohkan ayat-ayat baka-Mu ya Rabbi
sebab bumi adalah pergelaran firman-Mu sejati
Ketika seisi bumi digali dan diambil demi kelimpahan harta
manusia menganiaya dan merompak milik-Mu ya Paduka
sebab bumi adalah kepunyaan-Mu semata
Ketika diporak-porandakan bumi yang menghidupi:
manusia telah menodai kesucian-Mu ya Illahi
sebab bumi adalah masjid milik-Mu nan suci
Ketika dihancurleburkan keindahan bumi:
manusia mengingkari-Mu ya Gusti?
Malang, 1998/2010

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

175

ANOMALI
tabiat musim sukar dibaca
gemar mengingkari adat semesta
kerap memamerkan kelakuan tanpa pola:
kerunyaman timbul di mana-mana
manusia hilang kesadaran menjaga
perangai cuaca pun di luar norma
suka mempermainkan tanda alam raya
acap mengelak emban sepakat makna:
akal pikiran luput menyana
hidup manusia diterkam petaka
satwa pun bingung beri isyarat pada hayat manusia:
tak muncul dan lindap selaras ketetapan tata
tumbuhan kacau kirim perlambang pada hidup manusia:
tak kembang dan layu seturut gerak buana
pranata mangsa tampak salah rumus utama
tak sanggup menafsir polah musim dan cuaca
barangkali kitab musim telah kedaluwarsa
boleh jadi buku cuaca sudah buram dibaca
dan kurang dipiara, apalagi diperbarui makna
bahkan mungkin telah dicampakkan manusia

176

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

maka cemas menjalari setiap diri manusia


basah dinyana tiba, kering datang tak terduga
hijau dirindu mata, gersang hamparkan duka
embus sejuk dicita, bara panas tampakkan rupa
alun diharap berpesta, gunung ombak sapu segala
maka kota-kota justru digenangi air mata:
ketika mendamba kemarau paripurna
maka desa-desa justru dibakar api surya:
ketika mengharap penghujan sempurna
maka lahan-lahan malah diguyuri asam celaka:
tatkala ingin ragi kesuburan menyapa
maka lingkungan malah ditaburi karbon siksa:
tatkala rindu rabuk keselamatan mengata
maka keajekan alam raya merepih tiada guna
bumi dan manusia ada di tubir kehancuran nyata
Malang, hujan tiada henti 2012

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

177

BUMI KITA
Bumi adalah perahu keramat bernyawa mustajab doa:
lampaui hebat perahu Nuh dahulu kala
mengarungi luas samudra alam semesta berbilang kala:
jelajahi palka demi palka secepat gerak cahaya
berpenghuni semua makhluk yang ikhlas bersama:
nabatah, satwa, dan manusia karya sang mahacipta
Bumi adalah perahu mungil bersaripati kamil surga:
serasa debu di antara lintasan bermilyar benda
mengelilingi lapang lautan alam raya bertahun cahaya:
edari ruang demi ruang secekat buraq mustafa
berpenumpang para makhluk yang dibimbing waspada:
nabatah, satwa, dan manusia milik sang mahabaka
Ketika puja sastra dan doa disulih ragu pikir dan prakira manusia
ketika riuh upacara syukuri bumi disalin giat kerja singkapi dunia
kezaliman dan kebodohan pun memberangus diri manusia:
ia mencincang bumi, alpa rawat selembut firman ilahi
rakus dan tamak pun menjajah pikiran, hati, dan jiwa manusia:
ia menganiaya bumi, lupa belas kasih semerdu ayat suci
Maka manusia lena peran utama pemelihara jagat raya:
jadi lanun yang rampas perahu keramat milik sang mahamulia
jadi bajak laut yang hancurkan perahu mungil di alam semesta
jadi penyamun yang binasakan nabatah dan satwa tiada dosa

178

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

Bumi pun terhuyung di ambang kehancuran nyata. Hai kau yang lupa.
[terlantun hiruk cemas sesiapa rasai ketakteraturan jagat raya
bergaung lolong lara sesiapa digulung ketakseimbangan buana
bergema jerit gentar sesiapa dilibas ketakselarasan alam semesta
sedang perahu bumi kian karam, tengkurap serupa seekor kura-kura]
Hai kau yang lalai, sedang mencari apa kenapa dirayakan ingkar dan durhaka?
Malang, 2005/2012

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

179

NASIB BUMI
siapa lebih berarti bagi kita
selain bumi yang tulus memberi
meski kita lukai indahnya saban hari
siapa lebih kasih pada kita
selain bumi yang ikhlas menghidupi
meski kita aniaya sempurnanya tiada henti
siapa amat baik kepada kita
kecuali bumi yang setia melindungi
kendati kita rusak keutuhannya tanpa hati
siapa sangat pengertian terhadap kita
kecuali bumi yang selalu mendampingi
kendati kita ingkari welas asihnya tanpa nurani
tiada yang begitu kuat selain bumi:
tabah menanggung derita perbuatan kita
tiada yang demikian menerima selain bumi:
amat menyayangi kita yang lama menyiksa
tiada yang sebegitu mengabdi kecuali bumi:
ajek menyantuni kita yang selalu menzalimi
tiada yang sedemikian melayani kecuali bumi:
sedia menyejuki kita yang acap mengakali

180

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

hai manusia
tidakkah kita dengar lirih lara bumi?
tidakkah kita tangkap rintih dada bumi?
tidakkah kita serap sengal napas bumi?
mungkin kita telah buta segala
Malang, 2005/2012

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

181

MUASAL KEPUNAHAN
hai kegelapan!
di manakah akal sehat kau sembunyikan?
kerusakan telah tak tertanggungkan
hai kebodohan!
di manakah nalar lurus kau hanyutkan?
kekacauan sudah tak terbayangkan
hai kezaliman!
di manakah hati nurani kau tenggelamkan?
kepunahan mungkin tiada terbahasakan
hai kelancungan!
di manakah rasa malu kau karamkan?
kehancuran makin tak tertahankan
hai kebiadaban!
di manakah langkah sejati kau kuburkan?
kebinasaan boleh jadi tiada terhindarkan
apakah manusia kini cuma raga?:
tanpa kesadaran cita
ataukah merosot jadi benda semata?

182

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

adakah manusia cuma naluri belaka?:


yang berperangai loba
ataukah merosot jadi hewan semata?
apakah kini manusia
kehilangan pancaindra, bahkan segala?
Malang, 2005/2012

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

183

PENCAPLOKAN BAHASA
lihatlah, bahasa mencipta keterbelahan hidup bersama
menggali jurang ketaksetaraan di antara sesama manusia
membangun ruang keberpihakan pada sekelompok warga:
mencampak para paria, memihak para durjana
menindas kaum papa, memuliakan kaum berkuasa
menyerimpung orang terpaksa, menjunjung orang lancung jiwa
para paria juga kaum papa yang terpaksa mengambil beberapa biji lada
sebab kemiskinan mendera disebut pencuri hina maling tiada harga
tak jarang dinamai rupa-rupa cerca yang merajang martabat manusia
dan dikirim ke ruang peradilan diiringi kata mengiris jiwa menyayat rasa
tumpat rasa malu dan tunduk kepala saat tayang di layar kaca saudara
para durjana juga kaum berkuasa yang lancung menggarong uang negara
sebab terbius nikmat harta disebut koruptor saja pencuci uang semata
kadang digelari kolaborator keadilan bila sedia kerja sama ungkap fakta
dan diantar ke ruang peradilan dikawal barisan pengacara ayat pembela
umbar senyum buaya dan lambai hasta sandiwara saat di muka kamera
lihatlah
betapa timpang penamaan para paria dibanding para durjana!
betapa senjang pembahasaan kaum papa dengan kaum berkuasa!
kenapa para durjana juga kaum berkuasa beroleh anggun bahasa dan makna:
apa mereka pantas beroleh keanggunan, sedang diri penuh kelacuran?

184

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

kenapa para paria juga kaum papa justru beroleh kasar bahasa dan makna:
apa mereka harus beroleh kekasaran, sedang diri penuh kemurnian?
adakah kemanusiaan mereka beda adakah ketuhanan mereka beda:
kemanusiaan dan ketuhanan para paria justru murni tiada cela
kemanusiaan dan ketuhanan para durjana malah ternoda tipu daya
lihatlah, para durjana juga kaum berkuasa digdaya merumuskan bahasa:
piawai memiuh bahasa sanggup memutar balik makna
lihatlah, para paria juga kaum papa justru hilang kuasa menyusun bahasa:
galib disalahkan ahli bahasa jamak disingkirkan negara
lihatlah
bahasa menjelma suaka para durjana juga kaum berkuasa:
menjadi ruang menyelamatkan diri dari serbuan mara bahaya
bahasa telah mengurung kehidupan para paria juga kaum papa:
menjadi terungku segala kemurnian suara yang ingin merdeka
bahasa jadi palagan penjajahan kesadaran dan pikiran manusia:
tak ada keterbukaan di sana tak ada kebersamaan hidup di sana
pertempuran menguasai bahasa berkala-kala nyaris tanpa jeda
para paria juga kaum papa kian kehilangan suara bisu semata
para durjana juga kaum berkuasa kian pamer tipu daya bahasa
bahasa jadi mandala pertempuran antarkelompok manusia .
Malang, 1998/2012

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

185

PEMBAJAKAN
Kau saksikan, kata demokrasi
kini justru dibajak mulut politisi dan petinggi
padahal mereka paling banyak mengingkari:
berlaku aristokrasi dan anti-demokrasi
Lidah mereka licin sekali serupa oli
tak berhulu pada kesadaran murni
tak bermuara pada perangai terpuji
Ucapan mereka sarat kontradiksi
disesaki siasat keji susah dipahami
tiap waktu gentayangan di layar televisi
Kau saksikan, kini kata anti-korupsi
dikuasai mulut politisi dan saudagar zulmani
padahal mereka paling banyak mengkhianati:
divonis korupsi dan dikurung jeruji besi
Lisan mereka seumpama lidah kobra
tak bersumbu pada pikiran kencana
tak berhilir pada tingkah perbawa
Ucapan mereka semburkan busa
dikendalikan akal lancung padat tuba
tiap saat berbiak di saluran layar kaca
Kau saksikan, orang kebanyakan terpiuh dada
terkesima, terheran-heran, dan ternganga

186

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

betapa mudah mereka bersalin rupa:


menghapus muka dan suara lama
mencipta paras baru nan sempurna
pejuang demokrasi dan anti-korupsi
pengecam anarki dan korupsi tiap hari
meski lubuk hati kosong nilai rabani
disabot kepura-puraan mentradisi
[inikah sandiwara demokrasi dan anti-korupsi?]
Malang, ujung malam 2012

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

187

LEGASI
Mengenang Ratna Indraswari Ibrahim

Kau pulang, wariskan kembang:


wangi semerbak antarkan mabuk kepayang
orang-orang menghirupnya setiap tandang:
mereka melayang temu kemurnian ruang
Kau pulang, tinggalkan daya juang:
amat digdaya rubuhkan berlaksa rintang
orang-orang mereguknya saban sambang:
mereka melenggang raih kesejatian tawang
Kau pulang, berikan keteguhan cara pandang:
amat kukuh tiada goyah oleh iming-iming uang
orang-orang mengudapnya bilamana anjang
mereka melenting capai kesadaran karang
Kau pulang, hadiahkan berjuta kenang:
amat rapat mengikat pakatan para hulubalang
orang-orang menyantapnya ketika datang:
mereka mendaki jalur menuju cahaya terang
Malang, musim hujan 2012

188

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

KEBERANIAN:
bagi I Gusti Ngurah Oka

Seorang anak muda, awal likuran usia, cerlang kepala


dijebloskan penjara atas nama murka, syahwat kuasa
dengan sangka mengganggu ritus penguasa tipis telinga
merongrong pranata negara, memberontak pada bangsa
Kucintai bangsa melebihi nyawa, pantang kukhianat padanya
mereka amat lama dilena fatamorgana, dibius suara pura-pura
ditiarapkan curiga telik negara, dan dibayangi salak senjata
maka kubangunkan mereka, hendak kubebaskan bangsa
dengan memberi aneka pilihan jiwa, ruang majemuk suara
Seorang ibu jelita paruh baya, menenteng lautan kasih ibunda
menatap haru anak muda, menatap hari depan berkabut celaka
Duhai anak lanang, kenapa kau tantang penguasa nan buta jiwa
dan tersihir candu kuasa kehilangan keutamaan bernegara
Kau memang bernyali tiada tara, tapi tak punya berlapis nyawa
Betapa cemas, geram, bangga, dan was-was bersekutu di dada,
gumam lirih membentur telinga telik negara yang selalu siaga
Anak muda mengguyur ibunda dengan deras hujan cinta
kendati diserbu beribu dera dihantam berlaksa perih siksa
Seorang bapa tengah baya, tegar bijaksana, bernadi ksatria
mendekati anak muda bawa gulungan lontar tua bercahaya
Adakah ayahanda cemas, geram, bangga, dan was-was pula?,
anak muda melempar tanya menembakkan sorot mata

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

189

Tiada arus suara, tiada sahut memenuhi udara, pula tiada gema
Perlahan sang bapa menggelar gulungan lontar tua di atas meja
di ruang kunjung narapidana yang tiap sudut bau busuk kuasa
Wahai anak lanang, ini pohon silsilah leluhurmu!, berat suara
dan telunjuk bapa tiba di gambar pohon leluhur rimbun darma
Anak muda terkesima tak menyana benamkan pandang mata
menyelami susur galur dirinya singgahi nama-nama di lontar tua
Mereka semua ksatria mulia, penuh cinta melindungi para jelata
ikhlas membela daulat bangsa, lapang menentang penjajah dina
menunaikan darma meski harus menukar nyawa, tandas bapa
Anak muda tertawan cerita gemunung tekad tumbuh di jiwa
Sebab siksa raga, jangan kau hancurkan keyakinan di lubuk jiwa
Sebab terali penjara, jangan tiba-tiba kau surut perjuangkan cita
Sebab salak senjata, jangan kau serahkan segenap rahasia mulia
Darma ksatria tak kenal jeri, ketakutan, dan kematian di dunia
karena kebajikan, kemuliaan, dan pengorbanan panji utama
Raih darmamu teruskan juangmu biar leluhurmu tak malu,
tegas sang bapa pada anak muda yang terpesona isi lontar tua.
Seorang ibu jelita dan seorang bapa bijaksana memandang anak muda:
anak bungsu yang belum lama dipangku dan ditimang berdua
kini telah digerakkan darah ksatria melabrak kezaliman penguasa
dan dikurung di balik jeruji penjara, dihantukan di dalam media
Anak muda balas memandang cuma memandang, tanpa kata dan suara
Seorang ibu jelita dan seorang bapa bijaksana membalikkan raga
tinggalkan ruang kunjung penjara tinggalkan gulungan lontar tua

190

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

juga tinggalkan hati mereka buat kehangatan anak bungsu tercinta


tak ada lambai hasta nan mesra sebab pertemuan mereka tak pesta
Anak muda berawan cinta, mendekap gulungan lontar tua di dada
[dia pun merasa mandi kilau cahaya bersumber pesan lontar tua]
Malang, 1997/2012

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

191

SOLILOKUI
diriku adalah ramuan sifat kemalaikatan dan keiblisan
maka kukandung energi niskala dan benda bersamaan
maka kukandung cahaya dan api berdampingan
maka kukandung terang dan gelap bersandingan
kendati fitrahku berinti kesucian dan kemuliaan
pembawaanku kehanifan, bukan kedurhakaan
kodratku merindu kebaikan, bukan kejahatan
bahkan aku disandangi tugas agung kekhalifahan:
demikian dendang kebajikan dan suci ajaran
maka kusangkal segala sifat keiblisan
kuingkari semua sisi gelap di kujur diri
kutampik segenap keburukan di kolong diri
maka kusanjung-sanjung sifat kemalaikatan
kujunjung-junjung sisi terang di jeluk diri
kupuja-puja seluruh kebaikan di relung diri
hingga aku amat asing dengan diriku sendiri:
aku manusia ataukah malaikat di dunia?
hingga aku pangling dengan hakikatku pribadi:
aku ruh meraga atau benda mencahaya?
hingga aku tak mengerti keberadaanku sejati:
aku ada di dunia, surga, neraka atau di mana?
dan aku pun jadi rabun hati, tak awas diri:
gelap dan terang tak bisa membedakan kini

192

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

tak heran aku pun tersungkur ke palung kenistaan


tanpa jeda melakukan ritus kejahatan kemanusiaan:
korupsi tak henti lantaran hasrat berkuasa tak kuakui
padahal hasrat berkuasa itu manusiawi
korupsi tak henti lantaran berburu nikmat tanpa kendali
padahal puncak nikmat itu puncak sakit diri
korupsi tak bertepi sebab menghamba nafsu hewani
padahal nafsu hewani itu serendah-rendah nafsu diri
korupsi tak bertepi sebab malas berpikir hakiki
padahal berpikir hakiki itu hakikat makhluk insani
korupsi menjadi-jadi karena kokosongan jiwa merajai
padahal kosong jiwa itu tingkap binasa eksistensi
korupsi menjadi tuan hati karena tiada transendensi diri
padahal transendensi diri itu busur panah ulah rabani
masihkah aku manusia jangan-jangan rupa serigala
karena aku tenggelam dalam keiblisan belaka
karena aku tertimbun oleh kejahatan semata
karena aku berlaku merugi bagi sesama manusia
adakah aku rupa serigala tiada rupa manusia bercahaya?
[dan korupsi kian menyandera transendensi diri cuma kata
manusia tinggal raga, diri dibakar api, kehilangan cahaya
sstttt. hus! jangan bicara rasa malu, martabat manusia!]
Malang, 2009/2012

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

193

SENANDIKA KAUM PAPA


sebab papa, kenapa kami didakwa kejujuran tak punya:
maka kalian buntu pintu cukupnya harta benda
maka kalian tutup jalan kabulnya makmur sentosa
maka kalian pasang halang rintang raih hayat sejahtera
hingga kami tak kuasa apa-apa, tak dapat kemana-mana
hingga kami terpaku pencaharian, bertungkus kesukaran
hingga kami bergeming penghidupan, berlumus kemiskinan
padahal kami remuk tulang ketika kalian riang riungan
padahal kami sabung nyawa saat kalian tidur nyaman
apakah kepapaan sebangun ketakjujuran bengkok hati, nista jiwa?
tidakkah kepapaan serupa kesengsaraan derita kurang harta saja?
adakah kejujuran monopoli kaum berada hak milik kaum berpunya:
atas dasar nalar apa? atas nama moral apa?
nalar macam apa nalar cinta ataukah nalar dengki kaum berpunya?
moral macam mana moral belas kasih apa moral benci kaum berada?
nalar tak lagi bersendi jernih pikiran dan jujur hati, penuh bias prasangka
moral tak lagi berisi suara hati manusia, tapi kepentingan sepihak belaka
sungguh, nalar dan moral telah dipilin dan dikangkangi kaum berpunya!
Malang, 2001/2012

194

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

PERTARUNGAN MAKNA
di negeri kami yang betapa permai
makna Tuhan diperebutkan hampir saban hari
untuk alas pembenaran keyakinan yang diikuti
di negeri kami yang sungguh aduhai
maksud Tuhan dipertikaikan nyaris tiap hari
untuk tumpuan pengabsahan ajaran sendiri:
panas hati, sumpah serapah, dan caci maki
yang mencincang hati membumbui
bara hati, pepat umpat, dan laknat keji
yang mencacah sanubari meningkahi
kekerasan, perusakan, dan pengusiran menggenapi
di negeri kami yang alangkah sepoi
asma Tuhan diusung kesana kemari tak henti
jadi dasar nalar menghakimi keyakinan liyan
di negeri kami yang bukan main amboi
nama Tuhan diacungkan di sana sini tanpa risi
jadi landas pikir menyesatkan aliran handai tolan:
demi menegakkan keyakinan rabani
yang dipercaya kelompok sendiri
demi melindungi kebenaran hakiki
yang diakui oleh kumpulan sehati
demi menjaga kesucian ilahi Rabbi
yang ditakutkan bakal ternodai
demi melestarikan pandangan agamawi
yang dicemaskan bakal tergerusi
ARUNG DIRI
Kitab Puisi

195

maka rasa saling mengerti, saling menghormati


rasa saling menghargai juga saling mempercayai
sebagai sesama sirna di jantung kehidupan bersama
jumud jiwa dan purba sangka bertitah di tiap bilik dada
maka toleransi dan harmoni tinggal kata tanpa daya
nyaris tanpa realita, cuma mengiang di setiap telinga
meski terus diangankan dan diinginkan semua manusia
kebebasan berkeyakinan pun terapung di telaga mara
diskriminasi dan ujaran benci mengepung di mana-mana
kedamaian berkeyakinan pun terkatung di jurang mala
intimidasi dan acungan senjata mengurung seluruh dada
manusia seiman, sebangsa, setetangga, bahkan sesaudara
kian jauh terseret sungai-sungai keyakinan bermuara beda
manusia pun muskil bersama mencipta samudra lillahi taala
maka gerigi gemeretak, mulut orang-orang teriak:
negeri dibakar bahaya, bangsa dikobari bencana
petinggi negeri bermahligai di mana bersulang citra?
ketersekatan manusia di puncak celaka bisa kurbankan nyawa
punggawa ada di mana sedang sibuk beretorika?
cuma suara sumbang berhamburan di udara, tebar pedih siksa
petinggi dan punggawa tiada rupa di tengah keteserpihan bangsa
Malang, 2009/2012

196

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

KESETIMBANGAN
kesetimbangan adalah titian keselamatan hidup bersama
menahbiskan sesiapa tegak imbang di tengah senantiasa
sanggup mengedarkan pandang kiri kanan di mistar sama
persis insan memberi salam ketika mengakhiri sembahyang
menyapa dunia menebarkan keselamatan pada semua orang
maka hati-hatilah jikalau kehidupan telah tak setimbang
niscaya diombang-ambing pusaran aneka arus kehidupan:
arus besar atau arus kecil, arus kuat atau arus lemah,
arus utama atau arus sampingan bakal menyetir arah
celakalah manusia
manakala arus kuat, arus besar atau arus utama
mencengkeram sendi pokok kehidupan bersama
dan dikukuhkan sebagai kebenaran tunggal tak terganti
sebab pertanda mizan kehidupan telah terusir pergi
maka hati-hatilah manusia
bilamana demokrasi dan pilihan umum menjelma arus utama
dan dimahkotai sebagai kebenaran utama tak tersulih apa
karena berarti terjadi penindasan arus selainnya:
monarki dan syura ditenggelamkan di mana?
maka hati-hatilah manusia
jikalau hak asasi manusia merupa arus utama

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

197

dan diperlakukan sebagai kebenaran tunggal semata


karena berarti terjadi penggusuran arus selainnya:
kewajiban asasi manusia dicampakkan kemana?
maka waspadalah manusia
apabila kapitalisme dan neoliberalisme menjadi arus utama
dan didaulat sebagai kebenaran satu-satunya tiada dua
karena berarti berlangsung peminggiran arus selainnya:
sosialisme dan pasar sosial disingkirkan kemana?
maka waspadalah manusia
kalau pasar bebas dan daya saing mewujud arus utama
dan dipercaya sebagai kebenaran tak ada tandingnya
karena berarti berlangsung pemusnahan arus selainnya:
peran negara dan pemihakan rakyat ada di mana?
maka hati-hatilah manusia
bilamana hukum selalu menguasai arus utama
dan dibaiat sebagai kebenaran tunggal senantiasa
karena berarti berlangsung pengusiran arus selainnya:
etika dan moral telah dilemparkan kemana?
maka waspadalah manusia
manakala dominasi negara menempati arus utama
dan diyakini sebagai kebenaran yang harus nyata
karena berarti terjadi penenggelaman arus selainnya:
masyarakat madani dicemplungkan di mana?

198

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

ketaksetimbangan kini betapa amat merajalela


keselamatan hidup bersama terguncang prahara:
ketimpangan, kesenjangan, dan ketakadilan bersuka
ketakseimbangan kini bukan main bersimaharaja
kedamaian hidup bersama berada di bibir angkara:
kejahatan, kekerasan, dan kemungkaran berpesta ria
adakah arus utama mengidap cacat tak terlihat batin manusia?
manusia penunggang arus utama dimabuk nikmat hingga lupa:
dan para pecundang sebagai tumbal dianggap tiada?
Malang, 2010/2012

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

199

KEJUMUDAN ATAU KEDAMAIAN?


Kami tutup pintu, kami tutup pintu rapat-rapat
biar orang luar tak bisa menduduki bilik kehidupan
dijaga keyakinan dan tradisi yang leluhur wariskan
orang luar boleh jadi bakal membeseti
malah mengubah keyakinan dan tradisi
yang berbilang waktu terbukti menenteramkan
dan mampu mengantar kami ke lubuk ketenangan
kehidupan yang menghanyutkan
Kami tutup pikiran, kami tutup pikiran kuat-kuat
agar pikiran asing tak dapat mendiami ruang kehidupan
dipiara kepercayaan dan adat terberi yang moyang tinggalkan
pikiran asing bisa jadi akan menghakimi
bahkan menjatuhkan kepercayaan dan adat terberi
yang berbilang kala terbukti menyejukkan
dan sanggup membawa kami ke palung kedamaian
kehidupan yang meninabobokan
Kami tutup hati, kami tutup hati tumpat-tumpat
biar rasa hati lain enggan meninggali kamar kehidupan
dipelihara keadaban dan kebiasaan yang tetua turunkan
rasa hati lain amat mungkin melenakan
bahkan menidurkan keadaban dan kebiasaan
yang berwaktu-waktu terbukti menyegarkan
dan berdaya menuntun kami ke dasar kenyamanan
kehidupan yang menyilaukan
200

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

[Jagat raya setia menapaki garis edar, bumi pun indah berputar
kebudayaan dan peradaban udar, tradisi bergeser tiap sebentar
keyakinan memperbaharui mimbar, kepercayaan mengubah uar
pikiran menganyari tempat sandar, hati memoles tajam denyar
sstt siapa tetap membeku bagai bandar, perubahan menggegar!]
Malang, 2001/2012

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

201

KEHAMPAAN
suara-suara berloncatan, hiruk berhamburan:
di telinga orang bergaung lantang
kata-kata berlentingan, gaduh bertaburan:
di hati lapang berasa dentang
tapi, tapi di mana bersemayam ruh kebajikan:
sudah lamakah ditendang?
tapi, tapi di mana berteduh paras kearifan:
telah lamakah dibuang?
hening pun kehilangan ruang:
tempat segala menjadi terang
bunyi pun kehabisan dendang:
irama segala menjadi bang
sedang hampa kian tegas mencencang:
merajang segenap senang
sedang senyap semakin kuat menerjang:
mencincang segala riang
ooo jagat dewa batara.
bahasa kini telah terpanggang
buah pikir dan rasa berubah arang
inikah zaman tak pantas dikenang
dan harus dihapus dari hikayat orang?
karena tak wariskan damai bagi zaman datang
Malang, rembang petang 2011

202

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

BAGAIMANA MUNGKIN
Bagaimana mungkin damai bakal tercipta
jikalau saban waktu kita menyebar saling curiga
Bagaimana mungkin saling percaya mewujud nyata
bilamana pikiran dan rasa sarat gelimang buruk sangka
Bagaimana mungkin saling menghormati tampil di muka
manakala suka-suka, dengki, dan gelap mata menjajah jiwa
Bagaimana mungkin saling menghargai sesama berjaya
kalau belas kasih dan tenggang rasa sirna dari tiap dada
Bagaimana mungkin tersuguhkan akal bercahaya cinta
dan kejernihan hati bersulam keberserahan paripurna
jika bahasa bersimpang makna, bersekutu dusta
Hai kau yang dungu
sebelum damai kau temu, perbaiki bahasamu!
Malang, rembang sore 2011

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

203

204

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

PURNAWACANA KAWAN:

MENYATUKAN YANG TERBELAH: JALAN PUISI ARUNG DIRI


Oleh: Sudibyo*
Puisi bukan hanya milik penyair.
Puisi adalah milik semua orang.
Cendekiawan menulis puisi tidak harus untuk menjadi penyair.
Tetapi itu perlu dilakukannya untuk keseimbangan jiwanya.
(Umbu Landu Parangi, Kompas Minggu, Januari 2013)

I. Arung Diri adalah Perjalanan


Hidup adalah perjalanan. Manusia hanya diberi kesempatan Tuhan
untuk melakukan perjalanan dari titik berangkat hingga titik batas yang telah
ditetapkan. Adapun kepekaan adalah kesadaran untuk menoleh, merenung,
dan merasakan segala hal yang dilewati.
Arung Diri adalah kepekaan terhadap gejala yang dilewati dalam perjalanan yang menjelma menjadi puisi. Kepekaan membuat seseorang menyadari
segala hal yang ditemui dalam perjalanan beserta makna yang ditawarkannya.
Tanpa kepekaan, sungai yang berkelok tak akan pernah terlihat dan nenek
tua berwajah keriput penuh keringat menggendong bakul tak memberi makna
apa-apa. Akan tetapi, perjalanan tidak selalu berangkat ke luar diri. Perjalanan sering juga memilih menuju ke dalam diri.
Demikianlah, inspirasi-inspirasi terlihat di dalam Arung Diri tidak saja
berasal dari gejala-gejala yang teramati, cerita-cerita yang terdengar, pikiranpikiran yang terbaca, tetapi juga dari laku-laku pengalaman yang terhayati.
Dalam fenomenologinya, sebagian puisi merupakan penyelaman pengalaman
kemakhlukan, sebagian puisi lagi merupakan penghayatan pemikiran-pemi-

205

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

205

kiran atau semacam wisata pengetahuan, dan sebagian puisi lainnya merupakan
pengonstruksian persepsi-persepsi dalam suatu permainan demokrasi aspirasi.
Terasa sekali jejak-jejak kitab langit, kisah-kisah mitologi, pemikiran-pemikiran
tradisi, modern dan spiritual, pesona alam dan bencananya, tingkah laku
sosial politik, dan pengalaman pergulatan jiwa yang personal. Hanya karena
kepekaanlah, gejala-gejala ini bisa terlahir menjadi puisi. Kepekaan menghidupkan kesadaran, memberikan penghayatan, dan menangkap kelebat makna.
Maka, Arung Diri adalah puisi perjalanan yang penulisannya relatif
panjang (1994-2012). Motif kelahirannya pun tampaknya tidak karena alasan
eksistensi kepenyairan, tetapi lebih karena keinginan terlibat dalam ekspresi
kebudayaan. Akan tetapi, justru karena alasan-alasan kelahirannya yang
tampaknya tidak dibebani tuntutan batas waktu dan ambisi kepenyairan,
puisi-puisi Arung Diri menampilkan kemampuan untuk memberikan gambaran
utuh peta kegelisahan manusia yang biasanya terungkap dalam puisi. Dalam
pemilahan Fuad Hassan (1988), gambaran utuh itu berada dalam tiga perkara,
yakni perkara hubungan manusia dengan Tuhan dan alam, perkara hubungan
antarsesama manusia, dan perkara perjumpaan manusia dengan dirinya
sendiri.

II. Situasi Kemanusiaan dan Jalan Tauhid Puisi


Jurang-jurang perkara manusia dalam kemungkinan relasinya itu adalah
suatu kegagalan tauhid. Kegagalan tauhid adalah kegagalan menyatu, kegagalan
membebaskan diri dan meleburkan diri, dan kegagalan mengutuhkan diri.
Dalam perkara kemenyatuan dengan Tuhan, masalah itu disebut sebagai
kegagalan tauhid vertikal; dalam perkara kemenyatuan sosial, masalah itu
disebut kegagalan tauhid horizontal; dalam perkara kemenyatuan pribadi
atau keutuhan diri, masalah itu disebut sebagai kegagalan tauhid internal.

206

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

Maksud puisi di balik ketiga wilayah kegelisahanya itu bisa dinamai jalan
puisi. Karena target umumnya adalah menyatukan hal-hal yang terpisah,
terpecah, dan terbelah, maka jalan itu bisa dinamai sebagai jalan tauhid puisi.

Kegagalan Tauhid Vertikal


Inilah barangkali sejumlah metafora kegagalan tauhid vertikal yang
disenggol-senggol dalam Arung Diri.
Metafora Satu: Manusia Dikendarai Kuda
SURAT 2
seratus empat belas surat telah kau kirim padaku
berisi peta perjalanan nasib agar sampai padamu:
peta bersahaja, mudah membacanya
peta bersahaja, mudah melaksanakannya
bila hidup disucikan dari tamak, loba, angkara
Maka, persoalannya adalah: jika nafsu diibaratkan kuda. Manusia yang
dikendarai oleh kuda adalah manusia yang hidupnya lebih dikendalikan
nafsunya daripada kemampuannya mengendalikan nafsunya. Pengalaman
kemanusiaan mengajarkan bahwa jalan tauhid manusia kepada Tuhan hanya
bisa dicapai jika manusia mampu menaklukkan syahwat hawa nafsunya.
Kegagalan manusia menaklukkan nafsu adalah kegagalan tauhid dengan
Tuhannya. Bahkan sering dinyatakan bahwa menaklukkan syahwat adalah
jalan satu-satunya yang harus dilewati dalam pencapaian tauhid vertikal ini.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa manusia yang gagal menyatu
dengan Tuhannya adalah manusia yang gagal menempuh jalan satu-satunya
yang harus dilewati: menaklukkan nafsu. Maka ditambahkan dalam puisi Sapi
ARUNG DIRI
Kitab Puisi

207

Betina: () ujarmu seraya membuka-buka kitab ilmu dan teknologi// untuk


mencipta surga imitasi di bumi maya ini//: di mana segenap nafsu bisa dilunasi
(). Lalu dikatakan lagi dalam puisi Lebah 2: () selalu saja terbata
mengeja// bahkan napas di leher kita// sebab kita sudah menjual jiwa// pada
tubuh-tubuh terbuka// pada busana-busana toserba// pada makanan di plazaplaza ()

Metafora Dua: Manusia Merasa Cahaya


Siapakah sebenar-benarnya cahaya, yang dalam puisi Cinta, Bila Kau
Suka, dikatakan pendarnya mengaburkan yang fana dan baka, yang silaunya
menghilangkan yang neraka dan surga? Cahaya, sumber cahaya, dan cahaya
yang mahacahaya adalah Tuhan, sedangkan manusia hanyalah kaca yang
memantulkan cahaya. Yang menjadi persoalan adalah ketika manusia terlalu
ingin menjadi pusat kekaguman, sangat berkonsentrsi meraih kebesaran, dan
sangat gila pada ketenaran. Pada titik ini, manusia telah lupa pada amanat
yang dititipkan kepadanya, yaitu bahwa posisinya hanyalah tak lebih dari
sekadar menjadi cermin pemantul, dan bukan cahaya yang dipantulkan
cermin itu. Engkau kaca, bukan cahaya adalah metafora olok-olok terhadap
kepongahan manusia. Adapun yang akan berhasil menyatu adalah dia, yang
dalam puisi Penunggang Cahaya disebut sebagai pangeran cahaya. Dalam
bayangan pangeran cahaya, semesta adalah himpunan cahaya, surga adalah
tumpukan cahaya, jalan cahaya adalah jalan dari semesta ke surga yang indah
dan bermakna, rumah cahaya adalah rumah kekekalan manusia, rumah
tinggal cahaya mahacahaya. Puisi ini mengungkapkan tafsir spiritualnya
bahwa rumah cahaya itu berada di dalam diri manusia, di dalam hati
nuraninya, tidak di luar sana, suatu tafsir yang sering diungkapkan dalam
kebanyakan pengalaman pencapaian spiritual yang tinggi, katanya: kini dia

208

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

merasa telah menjadi pangeran cahaya, bertahta di rumah cahaya: hati nurani
manusia, tak di luar sana.

Metafora Tiga: Manusia Penyembah Berhala


Manusia penyembah berhala adalah manusia yang tidak menomorsatukan Tuhan. Menyembah berhala dan segala hal yang diberhalakan adalah
perilaku sirik, yaitu perilaku yang membuat manusia tidak total dalam
ketuhanannya. Manusia ini tidak saja mencipta tuhan-tuhan baru, seperti
kedudukan, pangkat, jabatan, atau kekayaan, tetapi juga menyembah tuhantuhan itu. Karena tidak menomorsatukan Tuhan dalam hidupnya, ketika
menjadi kelas menengah pun, dia tidak memasukkan rumah Tuhan dalam
perencanaan sejak awal dalam gedung-gedung yang dibangunnya. Rumah
Tuhan memang ada, tetapi diselip-selipkan di tempat-tempat yang darurat.
Lalu terjadilah seperti yang dikatakan puisi Lebah 2: () sementara surausurau//terus memanggil dengan parau// dan masjid rubuh saat adzan tiba//
tersebab sujud tak lagi ada di sana//.

Metafora Empat: Manusia Topeng


Manusia topeng adalah manusia yang menjadikan Tuhan sekadar sebagai
topeng dalam kehidupannya. Dia mengelola aksesoris-aksesoris yang mencitrakan kedekatan dirinya kepada Tuhan melalui ucapan, pakaian, stiker,
tetapi keseluruhan hidupnya tidak mencerminkan pemaknaan sikap berkeTuhan-an yang total. Kadang-kadang dia menjadikan Tuhan sekadar sebagai
satpam penjaga rumah; dia lupa diri merasa menjadi bosnya Tuhan. Tidak
selalu kebaikan yang dijadikan pembungkus kejahatan. Tetapi, sebuah penipuan
sebagai topeng bisa pula dilakukan dengan kejahatan yang dibungkus kejahatan.

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

209

Perbuatan Rahwana yang menculik Sinta adalah kejahatan karena Rahwana


memaksakan kehendak dan Sinta dijadikan objek paksaan. Orang lalu membenci Rahwana dan menaruh kasihan kepada Sinta. Tetapi, jika di balik
keyakinan masyarakat bahwa yang terjadi di antara mereka adalah hubungan
permusuhan lalu mereka menjalin perselingkuhan, maka inilah topeng-topeng
yang sangat rapi. Puisi Mimpi Sinta adalah simbolisasi penyakit ini.

Metafora Lima: Manusia yang Berpikir


Bahwa Sungai-Sungai Tidak Bertemu di Laut
Jika sungai-sungai pada akhirnya bertemu di laut, manakah yang
sebenarnya menjadi metafora Tuhan: sungai ataukah laut? Jika sungai-sungai
akhirnya bertemu di laut, adakah agama yang pada akhirnya tidak membawa
pertemuan kepada Tuhan? Sebagian orang merasa Tuhan yang ia sembah
berbeda dengan yang disembah orang lain. Sebagian orang lagi merasa bahwa
Tuhan yang ia sembah adalah Tuhan semua orang, bahkan Tuhan semua
makhluk. Tetapi, jika sungai-sungai pada akhirnya bertemu di laut, mengapa
masih ada orang menyembah Tuhan yang tidak menjadi Tuhan semua orang,
Tuhan semua makhluk? Yang seharusnya diterima adalah bahwa Tuhan yang
disembah manusia adalah Tuhan semua manusia, tetapi kenyataan yang
terjadi pada manusia adalah bahwa manusia sering menganggap Tuhan yang
mereka sembah berbeda yang disembah orang lain. Demikianlah puisi Perasaan
Hati Wibisana mengatakan: () banyak tak terkira jalan menuju indah
swargaloka// kenapa makhluk salah terka jalan tunggal dipuja! (). Seperti
juga dikatakan dalam puisi Air : air yang kita buang di selokan// diam-diam
bersekutu di lautan () Atau seperti juga dikatakan dalam puisi Suramadu:
garis membaur batas pun hancur// jarak melebur beda pun gugur ()

210

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

Catatan:
Dalam puisi, sejarah manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, yang
paling umum, adalah kumpulan kisah percintaan agung antara manusia
dengan Tuhannya: cinta yang belum terkabulkan, cinta yang gagal dan
menimbulkan frustasi, dan suatu angan-angan percintaan yang masih berada
pada tingkat dirindukan, dan beberapa yang lain merupakan pengalaman
percintaan yang karena misteri keindahannya lalu dirindukan untuk kembali.
Chairil Anwar dalam Doa-nya yang dahsyat pun hanya mampu mengungkapkan ketakberdayaannya: Tuhanku// aku hilang bentuk// remuk// Tuhanku// aku mengmembara di negeri asing// Tuhanku,// di pintu-Mu aku mengetuk/
/ aku tidak bisa berpaling//. Atau ungkapan persaksian yang penuh kedalaman
spiritual dari Rabiah al-Adawiyah yang mengagumkan, yang oleh Kadarisman
(2007) dengan indahnya diungkapkan kembali dalam bahasa Indonesia sebagai
berikut adalah prakisah cinta: Tuhan, bila aku menghamba pada-Mu karena
takut neraka, bakarlah aku di neraka// dan bila aku menghamba pada-Mu
karena mengharap surga, keluarkan aku dari surga// Tapi bila aku menghamba
pada-Mu karena Engkau semata, maka jangan Kau palingkan dariku keindahanMu yang abadi//.
Tipe idealnya tentulah relasi pengungkapan kemesraan yang bersifat
pengalaman yang menunjukkan semacam kesatuan ekskatik, perjumbuhan,
atau ke-manunggaling kawulo-Gusti-an, seperti relasi ketunggalan antara api
dan panas, kain dan kapas, angin dan arah, dan nyala-gelap dalam lampu
padam seperti diungkapkan dalam puisi Abdul Hadi W.M. (1976) Tuhan, Kita
Begitu Dekat, sebagai berikut: Tuhan// Kita begitu dekat// Seperti api dengan
panas// Aku panas dalam apimu///. Tuhan// Kita begitu dekat// Seperti kain
dengan kapas// Aku kapas dalam kainmu///. Tuhan// Kita begitu dekat// Seperti
angin dan arahnya///Kita begitu dekat///Dalam gelap// Kini nyala//Pada lampu
padammu/// Tetapi tipe ideal ini tidak banyak.

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

211

Adakah ini berarti bahwa kisah percintaan agung yang terkabulkan


antara manusia dan Tuhannya memang merupakan sisi yang sulit diungkapakan
puisi, atau memang sedikit saja penyair yang mencapai laku pengalaman
hidup penyatuan dalam Tuhan ini, ataukah memang karena kecenderungan
ketidakmampuan puisi itu sendiri dalam mengungkapkannya, ataukan karena
pengalaman kegagalan puisi sendiri dalam mengungkapkannya lalu puisi
menyadari bahwa pengalaman itu adalah pengalaman yang berada di luar
kata-kata? Penyebabnya bisa jadi semuanya. Oleh karena itu, yang paling
umum dilakukan puisi adalah upaya kontemplatif terhadap penyebab-penyebab
kegagalan upaya manusia dalam menyatukan dirinya terhadap Tuhan itu.

Kegagalan Tauhid Horizontal


Jika kegagalan tauhid vertikal adalah wilayah kegelisahan puisi yang
menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan atau alam, maka kegagalan
tauhid horizontal berkenaan dengan kendala-kendala dalam hubungan antara
manusia dan manusia dalam suatu struktur yang dapat dibantah. Struktur
sosial ini adalah tatanan kebudayaan yang diciptakan sendiri manusia. Di
dalamnya sering tersembunyi mekanisme-mekanisme produk kekuasaan bagi
terjadinya ketidakadilan sosial dan ketimpangan kesejahteraan ekonomi.
Puisi-puisi yang bermain di wilayah ini, mengacu uraian Sutardji Calzoum
Bachri (2001) dalam esainya Hormat Maksimal kepada Puisi adalah puisipuisi yang bergerak di belakang sejarah atau puisi-puisi yang berhadaphadapan dengan realitas sejarah. Gayanya cenderung bermakna dua arah: di
satu sisi bersifat mengingatkan, menegur, dan mengkritik kekuasaan, di lain
sisi bersifat mengadvokasi kesadaran sosial politis massa. Salah satu puisi
Lautan Jilbab (1989), yaitu Mulut Kami Ditampar, adalah contoh yang
konkret. Dalam puisi ini, Emha Ainun Nadjib menyatakan sikap politisnya

212

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

terhadap ketidakadilan pemerintahan Orde Baru yang otoriter, yang mempraktikkan sistem monopoli dalam perekonomian, yang memberlakukan
sistem politik penafsiran yang tunggal ala kekuasaan, dan praktik penjagaan
sistem itu melalui kekerasan penindasan dan pembungkaman.
Mulut Kami Ditampar
Jadi harus disebut negara macam apa yang di dalamnya berlangsung
monopoli dan penindasan, sedang Tuhan sendiri tak memberi hak
kepada diri-Nya untuk melakukan hal demikian? terdengar suara
bergemeremang di antara kaum Jilbab.
Ide kekuasaan dicetuskan, petak-petak digariskan dan pagar-pagar
didirikan, seolah-olah dengan demikian bisa dicapai pemisahan total
dari ruang hak milik Tuhan.
Negara menyatakan menyembah Tuhan, padahal yang dimaksud
bukanlah Tuhan. Negara menyatakan memberlakukan keadilan sosial,
padahal tidaklah demikian.
Kalau dari mulut kami terpantul suara Tuhan, kata salah satu di
antara kaum Jilbab itu, mulut kami ditampar!
Sekadar contoh lain puisi yang berhadap-hadapan dengan realitas
sejarah adalah Puisi Tahun Baru 1990 karya W.S. Rendra. Terhadap kekuasaan
Orde Baru yang menindas hak asasi kemerdekaan berpendapat itu, W.S.
Rendra mengingatkan bahayanya: () Tanpa hak asasi tak ada kesulitan
kehidupan// Orang hanya bisa digerakkan// tapi kehilangan daya geraknya
sendiri// Rakyat bodoh tanpa opini// Di sekolah murid-murid diajar menghafal// berdengung seperti lebah// lalu menjadi sarjana menganggur// Di rumah
ibadah orang nerocos menghafal// Di kampung menjadi pembenci// yang
tangkas membunuh dan membakar// ()

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

213

Jadi, suatu tauhid horizontal pada dasarnya adalah suatu kohesi sosial
yang berdiri di atas idealitas nilai-nilai yang mendasari kelangsungan kehidupan
yang adil secara politik dan sejahtera secara ekonomi. Kegagalan tauhid
horizontal bisa terjadi pada tingkat-tingkat yang berbeda. Semua tingkatan
itu adalah wilayah pergulatan puisi yang mengupayakan tauhid horizontal.
Peta pergulatan puisi-puisi Arung Diri dalam persoalan ini dapat diuraikan
berikut ini.

Masalah Satu: Penindasan Negara terhadap Rakyat


Negara dikatakan menindas rakyat tidak saja ketika negara melakukan
penggusuran, pengusiran, dan kekerasan terhadap rakyatnya, tetapi juga
ketika negara bersikap tak sungguh-sungguh mencerdaskan rakyatnya sehingga
rakyatnya tetap dalam kebodohan, menjadi babu di negeri orang, menjadi
pelacur, pencopet, perampok, dan pelaku kejahatan lainnya. Juga, ketika
negara berbuat menyudutkan mereka dan menyebarkan kebencian terhadap
mereka dan menutup angan-angan mereka. Termasuk dalam hal ini, negara
juga melakukan pembungkaman terhadap rakyatnya yang mencoba berani
menyatakan pandangan yang berbeda. Negara menentukan apa yang selayaknya
dipikirkan rakyatnya dan yang tidak perlu dipikirkan. Negara juga menyensor
informasi-informasi dan menentukan mana yang boleh dibaca dan yang tidak
boleh dibaca. Kadang -kadang, negara menciptakan idiom-idiom kebijakan
yang indah dan ambigu, tetapi tafsir tunggalnya adalah hak negara. Jadi
negara penindas rakyat adalah suatu paradoks. Orang-orang berkumpul
membuat kontrak yang namanya negara dan mempercayainya untuk mengatur
mereka mencapai kesejahteraan hidup. Namun, perbuatan negara hanya demi
kelangsungan kekuasaannya dan tidak menjadi saluran kesejahteraan bagi
rakyatnya. Bahkan negara juga membuka relasi-relasi untuk bersama-sama

214

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

menjadi penindas dan penghisap rakyatnya sendiri serta merampok jatahjatah kesejahteraan rakyat dari wilayahnya sendiri.
Memahami makna referensial puisi-puisi Arung Diri, terlihat sekali
kegagalan tauhid antara negara dan rakyatnya ini pernah terjadi pada masa
pemerintahan Orde Baru. Pada masa ini, puisi lahir dalam situasi kekejaman
dan pilihan gaya ungkap puisi adalah keputusan setelah berhitung dengan
risiko. Dengan mengambil beberapa puisi sebagai ilustrasi, dari puisi Bahasa
l hingga Bahasa 4, pilihan sikap puisi Arung Diri bisa dipahami jika tidak
mengambil sikap puisi seorang aktivis politik, yang biasanya mengadvokasi
semangat-semangat untuk melawan, tetapi sebatas mencatat dan berbisik
mengenai kekejaman yang terjadi. Ini tidak berarti bahwa puisi yang berani
berteriak berada di atas puisi yang memilih sikap berbisik karena kualitas
puisi tidak ada hubungannya dengan keberanian berteriak dan kegalakan
sebuah puisi juga tidak bisa diukur dari kekersan teriakannya.
Demikianlah, tercatat makna referensial dalam puisi Bahasa l bahwa
situasinya memang serba salah dan menakutkan. Pemerintah mengendalikan
informasi dan bahasa hanya boleh mengatakan apa yang diperintahkan untuk
dikatakan. Dalam pada itu, yang dikatakan bahasa pun juga tak dapat
dipercaya, tetapi menunjukkan sikap tidak percaya pun bukan perkara sepele
karena apa pun sikap yang dipilih berarti harus mempertaruhkan hidup di
ujung senjata, maka inilah persoalannya: ()apa yang bisa diharap dari
bahasa (). Dalam puisi Bahasa 2 tergambar bagaimana tiadanya ruang
gerak. Pemerintah menaruh curiga terhadap rakyat. Celakanya, petugas
intelijen berada di mana-mana. Lalu orang memilih sikap diam dan tinggal
() di luar bahasa dan makna () Dalam Bahasa 3, situasi tragis hak
bersuara rakyat tergambar dalam bahasa pun berguguran kalimatnya// katakatanya patah, bunyi-bunyinya rebah dan () semua orang bisu: hilang
cita// hilang suara// hilang daya. Bahkan puisi Bahasa 4 menunjukkan

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

215

frustasinya untuk ukuran puisi politik yang biasanya mempercayai gerakan


politis untuk membongkar persoalan-persoalan yang bersumber dari ciptaan
manusia sendiri, tetapi puisi ini memilih mengadu kepada penguasa langit,
maka sikapnya: () mengharap langit segera gerimis oleh kelembutan
malaikat penjaga petala langit.

Masalah Dua: Pertarungan Antarkelompok Masyarakat


Terjadinya kelompok-kelompok dalam masyarakat, entah didasarkan
agama, etnis, ras, profesi, hobi, wilayah kampung, komunitas kampus atau
lainnya, adalah sesuatu yang alami. Namun, ketika relasi antarkelompok
berlangsung dalam tema-tema pertarungan, karakter setiap kelompok cenderung mengeras dan terjadilah perbenturan-perbenturan. Sebaliknya, karena
karakter kelompok tampil makin mengeras, relasi-relasi kelompok cenderung
ke arah perbenturan. Kelompok-kelompok dalam suatu masyarakat menjadi
suka menyendiri dan tidak mencoba memahami kelompok lain, lalu bersifat
reaktif dan gampang tersinggung. Ini semua biasanya berakhir penyesalan.
Akan tetapi, penyesalan selalu datang di belakang. Adapun bahasa penyesalan
itu adalah kata-kata Sumantri kepada Sukrasana, adik yang sangat mencintai
kakak, tetapi dibunuh sendiri oleh kakaknya sendiri, seperti dalam puisi Sesal
Sumantri: Duh adikku Sukrasana!//Kenapa kita harus jalani nasib baku
bunuh di dunia?

Masalah Tiga: Dominasi Laki-laki terhadap Perempuan


Relasi lelaki-perempuan yang cenderung berlandaskan hubungan kekuasaan telah melahirkan penindasan-penindasan terhadap perempuan. Hubunganhubungan laki-laki perempuan tidak berdasarkan prinsip kesetaraan gender,

216

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

kerja sama, dan pembagian kerja, tetapi berdasarkan kekuatan. Kaum perempuan hidup dalam definisi laki-laki yang mulai dicurigai perempuan sebagai
upaya laki-laki yang menguntungkan dirinya sendiri. Lalu terjadilah kecenderungan dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam perlakuan-perlakuan
yang merendahkan. Kaum perempuan memberikan reaksi. Lalu muncul
gagasan-gagasan perlawanan perempuan terhadap laki-laki. Lelaki dan perempuan tiba-tiba menjadi dua makhluk yang berbeda dan dikeluarkan dari posisi
sebagai makhluk yang bernama manusia.
Maka kisah perlawanan perempuan terhadap lelaki pun terjadi. Tokoh
Drupadi, istri kelima Pandawa, yang dalam kisah konvensional pewayangan
Jawa tampak tak bermasalah, tiba-tiba dalam cerpen Baju Ratna Indraswari
Ibrahim, menggugat dan menaruh ketidakpercayaan lagi terhadap kelima
Pandawa, suaminya, sebagai lelaki-lelaki yang tidak pantas dipuja sebagai
ksatria karena telah berbuat hina dengan mempertaruhkan istri mereka
sebagai barang taruhan dalam meja perjudian dengan Kurawa dan hanya bisa
bersikap diam ketika istrinya diperlakukan secara hina oleh para Kurawa.
Dalam Arung Diri, persoalan relasi wanita-pria ini banyak diungkapkan dalam
puisi-puisi yang berinspirasikan pewayangan. Drupadi, dalam puisi Kata Hati
Drupadi, mengungkapkan sesalnya terhadap Yudistira, () aku pun terus
mengarungi luas lautan kekesalan// akibat putusan Yudistira tak matang
timbangan// (). Lalu Sinta dalam Jawaban Sinta kepada Rama mulai
menilai Rama, () lelaki cuma suka syak waa sangka meski raja diraja//
dan menafsiri cinta dengan kuasa bukan rahsa// (). Sarpakenaka, tokoh
raksesi dan adik Rahwana, dalam puisi Sarpakenaka 2, bahkan sudah tidak
hanya menafsirkan dirinya, tetapi sudah melihat posisi wanita secara umum
di hadapan pria, yaitu bahwa dirinya dan Sinta telah berada dalam: ()
perumitan alur cerita buatan pria// sebagai topeng pelanggengan kuasa ().

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

217

Masalah Empat: Jaringan Global Kapitalisme dan Kemandegan Distribusi


Ketika banyak orang menumpuk kekayaan dan berhasil masuk dalam
daftar orang terkaya, tetapi di kanan-kiri masih banyak bergelimang kemiskinan, maka yang terjadi adalah pemusatan kekayaan dan kemandegan
sirkulasi kekayaan. Lalu tak terhindarkan, lahirlah kanker-kanker yang menyumbat peredaran yang membunuh daya hidup desa-desa. Kesejahteraan
mengalami berbagai kemacetan dan memancing bangunnya keteganganketegangan. Hal itu disebabkan karena kekuatan-kekuatan modal itu pertamatama tidak bermaksud hidup berbagi, tetapi lebih untuk menumpuk kekayaan
diri. Maka pusat-pusat perdagangan besar masuk ke kampung-kampung dan
para penjual pracangan tersingkir dan mati perlahan-perlahan. Istilah dalam
Puisi Perjalanan bagian 4, situasi itu tergambar dalam () deru nafsu
ekonomi yang terjaja di supermarket, fastfood, dan plaza-plaza di kota ().
Maka puisi Membaca Sejarah menilai idiom-idiom pertumbuhan, pemerataan,
kehebatan fundamen ekonomi, keberhasilan pembangunan yang menjadi
dasar ideologi di balik kapitalisme tak lebih dari sekadar bubuk ekstasi.
Masalah Lima: Lain-Lain
Hubungan antarmanusia hari ini juga masih diwarnai pecahnya sebuah
negara seperti Yugoslavia, kolonialisme di Palestina, ancaman terorisme
global, pengusiran komunitas Rohingya, berbagai penyingkiran budaya lokal,
dan globalisasi narkotika. Maka, Arung Diri berbicara melalui Gaza dan
Bosnia.
Kegagalan Tauhid Internal
Penglihatan yang bersifat ke dalam terhadap diri kemanusiaan saat ini
memberikan pemahaman bahwa kepribadian kemanusiaan telah mengalami
218

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

keterpecahan. Hakikat manusia hari ini adalah manusia tanpa kesadaran hati
dan akal budi. Manusia telah tereduksi menjadi sekadar berderajat benda,
bertindak beracuan iklan, dan seperti mesin yang reaksi-reaksinya bergantung
remote control Manusia tidak lagi memuat keseluruhan unsur-unsur
pengutuhnya dan hanya berupa sempalan-sempalan unsur tertentu. Kecenderungan manusia yang hidup tanpa kesadaran ruh mengubah manusia hanya
mengandung unsur badan yang orientasi hidupnya adalah nafsu kesenangan,
memuaskan nafsu konsumtif, dan berburu iklan. Kecenderungan manusia
yang hidup tanpa kesadaran akal melahirkan manusia yang reaksi-reaksinya
mekanis seperti mesin, bahkan peniadaan akal juga berarti hidup tidak
mendasarkan pada norma dan nilai yang lalu mengundang dan melahirkan
peristiwa tragedi kemanusiaan sendiri.
Gambaran ini terlihat dalam puisi Emha Ainun Nadjib (1990), Seribu
Masjid, Satu Jumlahnya, yang berjudul Terbelah: ()Sesudah berjamaah dan
bersalaman//Kami injak mereka dalam perpolitikan//Sehabis saling tersenyum
di pengajian//Kami pukul mereka dalam perdagangan///Jamaah kami satu sisi/
/Kami bermusuhan tanpa mengerti//Malam kami riuh mengaji// siang kami
sembah patung nagari///(). W.S. Rendra dalam puisi Puisi Tahun Baru 1990
yang telah dikutip di awal merefleksikan masalah karakteristik insting
kesenangan dan reaksi bak mesin manusia kini sebagai berikut: ()
Bagaimanakah wajah kemanusiaan?// Di jalan orang dibius keajaiban iklan// di
rumah ia tegang, marah dan berdusta// Impian mengganti perencanaan//
Penataran mengganti penyadaran///(). Adapun A. Mustofa Bisri dalam puisi
Baju I langsung menunjuk saja kepalsuan-kepalsuannya: Baju yang kau
pergunakan// Menyembunyikan dirimu// Terus kau pertahankan sampai suatu
ketika//Kau terpaksa telanjang//Dan kau tak lagi mengenali// Dirimu sendiri//.
Maka demikian inilah peta kasar dan masih bertumpang tindih, bentukbentuk kejatuhan manusia, yaitu keterpecahan manusia sebagai suatu hakikat
keutuhan pribadinya, yang dijadikan kegelisahan puisi-puisi Arung Diri.
ARUNG DIRI
Kitab Puisi

219

Kejatuhan Satu: Manusia Sekadar Badan


Pertanyaan filsafat apakah hakikatnya manusia telah diajukan berabadabad. Kalau manusia sekadar badan, maka manusia tak ubahnya batu. Kalau
manusia hakikatnya ruh, maka manusia mirip hantu. Maka lalu banyak
diterima bahwa manusia adalah kesatuan badan-ruh, kesatuan tubuh-jiwa,
dan badan yang berakal atau tubuh yang berpikir. Manusia yang terperas
kemanusiaannya hanya menjadi sebongkah badan, keakuan manusia adalah
nafsu badan atau gairah jasmani. Kesanggupannya adalah mencari kenikmatan,
bukan hati yang merasakan. Jalan hidupnya hanya senang-taksenang atau
enak-tak enak. Oleh karena itu, adalah aneh ketika unsur badan yang
hakikatnya adalah bagian yang paling dangkal, justru dimenangkan atas jiwa.
Jiwa hakikatnya merupakan inti kemanusiaan. Hanya jiwa atau ruh yang
mampu membawa kepada kebahagiaan sebab hanya jiwa atau ruh yang mampu
bertemu dengan kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang sejati yang gabungannya memberikan getaran kebahagiaan yang sejati. Jadi, bukannya menolak
badan, melainkan menolak badan yang dimenangkan atas jiwa. Dalam puisi
Perjalanan Cinta Sukrasana, maka dikatakan: () bagiku dunia telah terpenjara
kewadagan//mengimani kehebatan, memuja-muja keunggulan//mengimani
kemegahan, memuja-muja keanggunan// bersimpuh pada kekuasaan, bersuka
suapi kekerasan// ()
Kejatuhan Dua: Manusia Cetakan Iklan
Zaman ketika semua sisi kehidupan dibentuk iklan, watak manusia
adalah produk pemenang-pemenang iklan. Manusia digiring sesuai dengan
kemauan barang yang terdapat di dalam iklan. Lalu, orang mengelola hidup
sesuai yang diajarkan iklan. Iklan menjadi acuan penilaian, sikap dan pilihan.
Padahal, apa yang diajarkan iklan? Daya iklan adalah selera, rasa, variasi,

220

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

kemewahan, dan ketergantungan. Iklan memodifikasi dari selera kebutuhan


menjadi selera nafsu kesenangan. Iklan juga lebih mengarahkan kepada
kepalsuan daripada kesejatian melalui mitos-mitos penstrataan yang tak sejati
seperti budaya gengsi, kepriyayian, dan warung-warung modernitas. Iklan
adalah pupuk subur untuk persaingan ekonomi, pergulatan politik, dan
penyelewengan hukum karena iklanlah yang menghidupkan konsumtivisme,
sedang konsumtivisme membangkitkan persaingan. Puisi Eling menggambarkan
wajah-wajah palsu itu sebagai semua mengaku penuh seri

Kejatuhan Tiga: Manusia Remote Control


Kejatuhan yang ketiga adalah ketika manusia menjadi mesin. Reaksireaksi manusia menjadi sangat behavioristik yang berpola stimulus-respons.
Akal, nilai, dan norma yang menjadi ciri khas kemanusiaan tidak berfungsi
diganti cara berpikir dan bertindak ala mesin. Kondisi ini dibentuk oleh
situasi kini yang membuat manusia menjalani hidup seperti mesin. Manusia
mesin tidak banyak menggunakan akal sehat. Oleh karena itu, manusia
akhirnya kehilangan nilai dalam hidupnya. Lalu terjadilah abnormalitas:
korupsi, selingkuh, tawuran dan kriminalitas. Ini semua adalah bentukbentuk perwujudan dari hidup manusia yang tidak lagi menggunakan akal
sehat, dan juga nurani. Puisi Belajar Mengumpat menggambarkan kemeriahan
korupsi ini karena nurani telah lunglai, tak sadarkan diri, dan mati suri.

Kesimpulan: Menyatukan, Membebaskan, dan Mengutuhkan


Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di atas adalah bahwa puisipuisi Arung Diri adalah puisi-puisi yang melemparkan target, yakni target
tauhid mistik-spiritual, target tauhid sosial politik, dan target tauhid eksisten-

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

221

sial. Dengan target tauhid mistik spiritual, diangankan relasi ideal antara
manusia sebagai makhluk dan Tuhan sebagai khalik atau antara manusia
sebagai unsur alam dan alam sebagai kekuatan kosmis yang menaungi.
Dengan target tauhid sosial politik, diangankan relasi ideal antara sesama
manusia yang terbebas dari hubungan-hubungan penindasan. Adapun dengan
tauhid internal, diangankan keutuhan kesejatian eksistensi manusia sebagai
sebuah pribadi dari kemungkinan-kemungkinan keterbelahannya. Singkatnya,
puisi-puisi Arung Diri melempar target besar: menyatukan, membebaskan
dan mengutuhkan.

III. Sublimasi, Artikulasi, dan Sukses Puisi


Akan tetapi, keberhasilan sebuah puisi tidak ditentukan oleh kandungannya. Artinya, puisi dikatakan memesona bukan karena di dalamnya telah
diungkapkan soal-soal religiositas, soal-soal sosial politik, atau soal-soal
eksistensi kemanusiaan, tetapi sebaliknya, karena diungkapkan dalam di
dalam puisi yang memikatlah, soal religiositas, masalah sosial politik, dan
problem eksistensi kemanusiaan itu menjadi menarik. Soal-soal religiositas,
sosial politik, filsafat dan psikologi, dalam puisi adalah material yang bersifat
eksternal dan sekunder. Oleh karena itu, jika ekspektasi terhadap puisi
semata-mata pada kandungannya, maka ekspektasi itu akan menghadapi
kekecewaan. Persoalan kandungan puisi akan lebih mudah dan memadai
dalam memenuhi harapan jika dipelajari pada sumber-sumbernya secara
langsung, yakni kitab-kitab keagamaan, buku-buku sosial politik, atau jurnaljurnal filsafat dan psikologi, atau kamus-kamus ensiklopedi. Keseluruhan
sumber-sumber ini mampu memberikan uraian yang bersifat terinci yang
memenuhi harapan praktis keingintahuan manusia terhadap sumber-sumber
eksternal puisi.

222

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

Dalam pada itu, telah banyak dikemukakan dalam referensi-referensi


seni, bahwa sebagai karya seni, target puisi bukanlah memenuhi kebutuhan
praktis, tetapi memperkaya kebutuhan orang yang ingin memenuhi kebutuhan
spiritualnya melalui kenikmatan-kenikmatan estetik yang diberikan. Melalui
perwujudan yang terkonsentrasi dan terorganisasi, puisi tidak bermaksud
bercerita kepada pembaca tentang pengalaman, tetapi mengarahkan secara
imajinatif pembacanya untuk terlibat di dalam pengalaman itu. Ini berarti,
puisi merupakan sarana imajinatif yang mengantarkan pembacanya ke dalam
pemahaman kehidupan secara lebih penuh, lebih mendalam, lebih kaya, dan
dengan kesadaran yang lebih besar, melalui upaya mengenalkan pengalaman
tertentu yang melalui peristiwa biasa tak dapat disentuh dan mendorong
penghayatan yang lebih tajam pembacanya untuk memahami kehidupan
seperti dilaluinya dalam pengalaman sehari-hari yang telah dimiliki. Demikianlah, maka pengurasian puisi berpandangan bahwa kesuksesan puisi
selayaknya diukur dari kemampuannya untuk melibatkan pembaca secara
emosional dan intelektual, intensitasnya dalam mengolah pengalaman hidup,
dan daya bayangnya untuk memberikan pemahaman tentang kehidupan
melalui pemahaman tentang diri, orang lain, dan hakikat kemanusiaan pada
umumnya. Dalam pernyataan lain, criteria sukses puisi harus dilihat dari segisegi kedalaman pengembaraan batin, format retorika dan disiplin bahasa, dan
lompatan ide dan spontanitas yang dicerminkan. Kita dapat menyederhanakan kriteria-kriteria itu dalam dua segi saja: autentisitas sublimasi dan
orisinalitas artikulasi.
Autentisitas sublimasi adalah hal yang berkitan dengan pengolahan
pengalaman dan perasaan di dalam suatu proses penyaringan psikologis.
Dalam hal ini, syarat kejujuran dalam melihat dan menempatkan persoalan
dan kaitannya dengan pengalaman indrawi merupakan faktor intelektual dan
afektif yang penting di dalam melahirkan pesan yang khas dan personal.

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

223

Adapun orisinalitas artikulasi adalah hal yang berkenaan dengan pemaduan


antara persoalan yang dihayati dan pengolahan bahasa pengucapan menjadi
ekspresi ucapan yang unik, spontan, dan mengejutkan. Kemampuan melakukan
pemaduan kriteria autentisitas sublimasi dan orisinalitas artikulasi akan
melahirkan kualitas puisi temuan penyair dan kemudian bisa menjadi faktor
penting autentisitas kepenyairannya dan menentukan eksistensinya dalam
dunia perpuisian. Akan tetapi, melihat kepenyairan seseorang mutlak bertolak
dari puisi-puisi yang diciptakannya sebab hakikat pembicaraan kesenimanan
adalah pembicaraan kekaryaan.
Sehubungan dengan hal tersebutlah, ilustrasi otentisitas dan orisinalitas
itu, misalnya, dapat dilakukan dengan membicarakan puisi Stanza W.S.
Rendra berikut ini. Puisi ini adalah sebuah puisi metafisis luar biasa. Proses
penciptaan puisi ini tentu bagaikan proses lahirnya keris yang berpamor.
Dalam jangkauan daya bayangnya yang tinggi, namun terwadahi dalam
bentuknya yang ringkas, tentu terlalu banyak residu yang harus dihilangkan
dalam proses pembakaran penciptaanya. Artinya, puisi ini mengandung
kontemplasi dan sublimasi pesan yang intens untuk sampai pada rumusan
persepsi pesannya, strukturasi perlambangannya, dan ekspresi pengucapannya
yang unik khas penyairnya. Dalam bentuknya yang singkat, ia mempermenungkan dan memadukan tiga persoalan besar sekaligus: kehidupan, kematian,
dan kepergian.
Rumusan makna yang ditemukan penyair adalah bahwa kehidupan
adalah ruh yang bersatu dengan badan dan ia adalah berpasang, kemudian
kematian adalah ruh yang berpisah dari badan, maka begitu ruh pergi tubuh
pun lunglai, sedangkan kepergian adalah kembalinya ruh kepada asal dari
mana ia berangkat. Lalu, paduan pesan ini mencapai wujud kelahirannya
menjadi sebuah puisi melalui pemilihan dan penataan entri ensiklopedis, yaitu
konsep-konsep dari dunia pengetahuan yang dimiliki manusia, dan pemilihan
dan penataan entri linguistik, yaitu bahasa ucapan yang menjadi lambang dari
224

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

entri ensiklopedi, sementara itu, penataan itu sendiri juga merupakan pilihan
dari kemungkinan yang ada dalam entri logika puisi.
Paduan antara entri ensiklopedi dan entri linguistik dalam puisi ini
akhirnya tecermin pada pilihan leksikon-leksikon, yakni antara lain burung,
daun, angin, kapas, dan tanah, dan gramatika, yakni antara lain ada burung
dua, jantan dan betina, dua-dua, sudah tua, dan seterusnya, lalu pilihan
ekspresi, yaitu pola dan bentuk yang terstrukturasi dan terformalisasi secara
utuh. Hasilnya adalah puisi berikut ini, yaitu puisi yang mencerminkan
otentisitas dan orisinalitas penyairnya.
STANZA
Ada burung dua jantan dan betina
Hinggap di dahan
Ada daun dua tidak jantan dan tidak betina
Gugur dari dahan
Ada kapuk dan angin dua-dua sudah tua
Pergi ke selatan
Ada burung, daun, kapuk, angin, dan mungkin juga debu
Mengendap di hatiku
Sebagai ilustrasi lain, dapat dibicarakan bagaimana pencarian autentisitas
dan orisinalitas dalam puisi yang dapat ditafsirkan sebagai puisi sosial dari
Sapardi Djoko Damono berjudul Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari berikut.
Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari
waktu berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

225

menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang
harus berjalan di depan
Kelahiran puisi ini dapat ditafsirkan karena penyairnya merasa gerah
terhadap gejala pertikaian sosial yang sering terjadi yang bersumber dari
sikap egoisme manusia yang menonjolkan hak-haknya untuk diutamakan
karena merasa telah berbuat. Sementara itu, penyair ini tampak menyimpan
kesan emosional tentang pengalaman indrawi yang umum dialami banyak
orang tropis yang menjadi lingkungan tempat hidupnya, yaitu relasi saat pagi
hari antara dirinya, matahari, dan bayang-bayang dalam perjalanannya ke
barat. Pengolahan intelektual penyair mengenai kegelisahannya sampai pada
makna bahwa sikap yang mementingkan diri perlu ditekan dan orang perlu
belajar menerima yang terjadi.
Tampaknya dalam penghayatannya yang memadukan antara hasil
pengolahan intelektual yang dipandangnya signifikan dan simpanan pengalaman
indrawinya yang memesona, penyair menemukan alasan mengapa simpanan
pengalaman iderawinya itu begitu memesonanya. Ini terjadi karena fenomena
kesan indrawi itu telah menjadi penolongnya dalam keinginan mengungkapkan
sikap intelektualnya terhadap persoalan yang menggelisahkannya. Persoalannya
tidak berhenti di sini. Kini penyair betul-betul ingin mengungkapkan pengalaman ini dalam suatu bahasa ucapan yang tidak saja mampu secara lebih
intensif mengungkapkan pengalamannya, tetapi lebih dari itu juga mampu
mengungkapkan sikap emosionalnya secara lebih efektif mengenai pengalaman
intelektualnya itu. Maka disusunlah bahasa pengucapan yang memadukan
pengetahuan intelektualnya mengenai persoalan, sikap afektif dirinya terhadap
persoalan, dan bahasa pengucapan mengenai persoalan itu. Hasilnya adalah
puisi sederhana namun intens khas Sapardi ini.

226

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

Pertanyaan kita adalah: bagaimana dengan puisi-puisi dalam Arung


Diri? Dalam pengamatan secara kasar, kita bisa mengatakan bahwa puisipuisi dalam kumpulan ini tampil dalam dua wajah. Wajah pertama adalah
puisi-puisi yang mampu diungkapkan dengan gaya cair, komunikatif, dan
panjang, sedangkan wajah kedua adalah puisi-puisi pendek yang berusaha
menjaga kepadatan intensitas pengungkapan. Puisi-puisi yang panjang itu
umumnya adalah puisi-puisi yang ingin mengungkapkan makna melalui pilihan
wadah yang diambil dari dunia pewayangan, sedangkan puisi-puisi yang
pendek tampaknya adalah puisi-puisi yang terjemahan maknanya harus masih
dicari wadahnya terutama dalam laku penghayatan diri atau melalui
penghayatan alam.
Maka layak untuk dijadikan persoalan: mengapa puisi-puisi jenis pertama
mampu lahir dalam format yang panjang, sedangkan puisi-puisi jenis kedua
cenderung memilih lahir dalam format yang pendek? Dugaan yang bisa
diberikan adalah karena format pengungkapan puisi jenis pertama itu pada
dasarnya sudah tersedia, sebaliknya, format untuk pengungkapan puisi-puisi
jenis kedua harus dicari sendiri. Puisi jenis pertama menuntut rekonstruksi
yang bertolak dari dekonstruksi wadah yang pada dasarnya alusi, sementara
puisi jenis kedua menuntut rekonstruksi yang bahan-bahannya harus dipetik
dari taman bunga yang keberadaannya entah di mana. Keduanya menuntut
perjuangan yang berbeda, tetapi juga menjanjikan nilai yang berbeda. Ini
tidak berarti panjang-pendeknya puisi menentukan kualitas puisi karena
banyak puisi panjang yang bagus dan banyak puisi pendek yang tak bagus,
sebaliknya banyak puisi pendek yang sangat memikat, namun banyak juga
puisi panjang yang menjemukan. Yang masuk akal adalah bahwa kualitas puisi
ditentukan seberapa jauh autentisitas pengolahan pesan dan orisinalitas
pengolahan pengucapan diperjuangan dalam kesungguhan keterpaduannya
dengan suasana dalam yang bergejolak dalam diri penyairnya.

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

227

Yang barangkali penting untuk diapresiasi dalam kaitannya dengan


puisi-puisi Arung Diri adalah bagaimana kriteria keotentikan dan keorisinalan
diperjuangkan dalam tiga kategori puisi yang diajukan, baik dalam puisi
tauhid vertikal, dalam puisi tauhid horizontal, maupun dalam puisi tauhid
internal. Akan tetapi, hal itu tidak akan dilakukan di sini. Yang mampu
dikemukakan adalah memberikan ilustrasi yang jauh dari tuntutan representatif
tentang peluang yang bisa dicerminkan beberapa puisi saja, yakni puisi
Suramadu, puisi Cinta, Laut adalah Dirimu, puisi Machiavelisme dan puisi
Mencari Bahagia untuk suatu konteks pembicaraan puisi yang mengingatkan,
puisi yang membebaskan, dan puisi yang mengutuhkan dalam hubungannya
dengan persoalan sublimasi dan artikulasinya.
Tentang Puisi yang Mengingatkan
Segala puisi yang berada dalam kategori puisi spiritual atau puisi mistik
selalu mengolah makna yang timbul dari pengakuan dan penghayatan manusia
terhadap kehadiran suatu pusat daya transendental yang memiliki sifat
suprahuman dan supranatural, yaitu suatu pusat daya yang dianggap menguasai
berbagai kondisi dan peristiwa alamiah serta segala dampaknya terhadap
kehidupan manusia. Pusat daya ini harus dihormati dan patut dipuja agar
tidak memancarkan suatu dampak yang merugikan diri manusia.
Dalam pandangan kebudayaan, sikap dan tindakan religius manusia ini,
menurut Fuad Hassan (1998:2), berlangsung dari tindakan spekulasi ke
tindakan kepercayaan. Manusia menduga pada pohon tertentu berdiam hantu
yang bisa murka kalau kenyamanannya terganggu. Sesaji harus diletakkan di
tempat tertentu sebagai isyarat penghormatan kepada roh yang menjaganya.
Air samudra mustahil menggelombang dahsyat kalau tidak ada yang mengguncangnya. Gunung berapi tidak begitu saja meletus kalau tidak ada daya yang
meledakannya. Kalah dan menang pun bergantung pada pusat daya yang
228

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

menetapkan kesudahan perang. Orang Mesir kuno percaya daya gaib itu
adalah matahari karena tiada kehidupan tanpa matahari lalu meragakannya
melalui Ra sebagai dewa matahari dan menyembahnya sebagai mahadewa.
Orang Babylonia percaya bahwa bertahannya kehidupan di bumi karena
ketersediaan makanan yang bersumber dari kesuburan bumi, maka orang
Babylonia memuja dewa kesuburan Isthar sebagai mahadewa.
Bahkan penganut agama wahyu pun harus beranjak pada sikap percaya
pada pusat daya transendental yang suprahuman, supranatural, dan bersifat
serba maha. Pada religi wahyu yang monoteistik, hal itu dimulai dari pengakuan akan kehadiran satu Tuhan, apa pun sebutannya. Yang lalu dijabarkan
dalam kitab sucinya yang menjadi pedoman penuntun penganutnya. Namun,
sebuah religi barulah sebuah keseluruhan sistem kepercayaan untuk dijadikan
sebuah acuan. Dalam penghayatan pemeluknya ,yang disebut sikap religius,
ia akan tampil berkadar sesuai derajat kesadaran pemeluknya dalam meramu
ajaran yang dicerapnya dalam sikap, pikiran, dan tindak-tanduknya. Dari
uraian ini ingin dikatakan bahwa puisi yang bermuatan spiritual atau mistik
adalah puisi yang memang menunjukkan relasinya dengan sistem keyakinan
dalam sebuah religi, tetapi bukan cerminan religi itu sendiri. Yang bisa
diterima adalah puisi itu mencerminkan kadar kesadaran sikap religious
penyairnya.
Puisi yang bermuatan spiritual atau mistik, dengan demikian, adalah
puisi hasil pengolahan, pendalaman, dan bahkan laku penghayatan yang
bersumber dari kesadaran pemahaman persepsi dan pengalaman hati dalam
membangun relasi dengan pusat daya transendental. Ini berarti puisi yang
lahir akan berada dalam rentang jarak antara manusia dan pusat daya, dari
yang jauh jarak sampai pada yang tanpa jarak, atau dari hubungan keterpisahan
menuju kepada hubungan kemenyatuan atau percintaan, maka terlahirlah
puisi yang mengungkapkan ketakberdayaan hingga puisi yang mengungkapkan
kerinduan untuk bertemu (kembali).
ARUNG DIRI
Kitab Puisi

229

SURAMADU
memandang panjang Suramadu
garis membaur batas pun hancur
jarak melebur beda pun gugur
kenapa kita malah bangun ragu?
selat cuma tanda ada pantai jaga ruang cinta
alun hanya semiotika ada gemuruh rindu bicara
kenapa kita terus sembunyikan yang sama?
memandang panjang Suramadu
aku dirajam hasrat bertemu sebab kita satu
Puisi Suramadu tersebut menurut saya adalah contoh puisi yang menunjukkan kekuatannya. Puisi ini tidak hanya menampilkan keutuhan format,
sofistikasi retorika, keindahan bunyi, kilatan-kilatan imajinasi, tetapi juga
ambiguitas dan ambivalensi makna. Puisi ini berbicara tentang sesuatu yang
berbasis pada nilai yang signifikan: kehendak (kerinduan) untuk menyatu. Di
balik kehendak kemenyatuan melalui pertemuan itu tentu terdapat asumsi
tentang keadaan keterpisahan atau ketidakbersatuan. Tetapi siapa subjeksubjek yang merindukan dan yang dirindukan ini: seseorang kepada seseorang,
misalnya seorang pemuda kepada kekasihnya? Etnis kepada etnis, misalnya
orang Jawa kepada orang Madura atau sebaliknya? Ataukah, keimanan yang
merasuk dalam diri seorang anak manusia sehingga di mana-mana peka
membaca kebesaran Tuhannya? Apa artinya sebab kita satu yang menjadi
alasan kuat seperti dirajam hasrat bertemu: sesama manusia, sesama manusia
Indonesia, atau suatu idiom pencapaian mistik manusia dan Tuhannya?
Dengan memberi pelbagai kemungkinan penafsiran hingga yang terakhir,

230

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

dapat diduga proses penyaringan psikologis dalam tahap sublimasi puisi ini
tentu berlangsung intens.
Hal yang sama dapat dirasakan dalam baris-baris puisi Laut adalah
Dirimu. Dari yang ditampilkan, puisi ini ingin menunjukkan penghormatannya
kepada Tuhan melalui ungkapan-ungkapan pujiannya. Tuhan disapanya Cinta,
suatu pilihan ungkapan yang intim, yang terjemahan sifat-sifat kemahabesarannya tecermin dari sifat laut.
CINTA, LAUT ADALAH DIRIMU
Cinta, laut adalah dirimu:
bergelombang dan merindu
hening tempat ayat berkubu
Cinta, laut adalah dirimu:
bergemuruh dan merayu
sepi tempat sabda berlagu
Cinta, laut adalah dirimu:
menebar kalam setiap waktu
Jika mampu menunjukkan pengalaman laku jiwa dan laku hati, puisipuisi jenis tersebut bisa berkembang mengikuti pencapaian para penyair sufi.
Dalam puisi-puisi penyair sufi, hubungan manusia dengan Tuhan sering
diibaratkan hubungan cinta. Bahkan, menurut tokoh sufi dan penyair Rumi,
cinta merupakan jalan memahami kehidupan dan asal-usul ketuhanan diri
manusia, selain jalan pengetahuan. Demikianlah, Rumi, sebagaimana dirinci
Abdul Hadi W.M. (2007), mencapai ketinggian berbagai makna cinta. Cinta
adalah asas mencapai sesuatu, untuk menjelmakan diri. Cinta adalah pengetahuan intuitif. Cinta, secara teologis, adalah keimanan yang membawa
kepada Yang Haqq. Cinta adalah penggerak kehidupan dan perputaran alam

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

231

semesta. Cinta sejati dan mendalam dapat membawa seseorang mengenal


hakikat sesuatu secara mendalam, yaitu hakikat kehidupan yang tersembunyi
di balik bentuk-bentuk formal kehidupan. Karena dapat membawa kepada
kebenaran tertinggi, cinta merupakan sarana manusia terpenting dalam mentransendensikan dirinya, terbang tinggi menuju Yang Satu. Maka demikianlah
baris-baris puisi cinta dari Rumi:
Inilah Cinta: terbang tinggi melesat ke langit
Setiap saat ratusan hijab tercabik
Langkah pertama menyangkal dunia (zuhd)
Kemudian jiwa pun berjalan tanpa kaki
Dalam cinta, dunia dan benda telah raib
Segala yang muncul di benak dipandangnya sepi
Kataku, Moga bahagia, o Jiwa!
Bertandang riang ke negeri para pencinta
Menyaksikan kerajaan tak terpandang mata
Merasakan alangkah lezatnya gairah dalam dada!
Katakan, o Jiwa, dari mana napas ini datang
Katakan pula, o Hati, bagaimana jantung ini bisa berdenyut

Tentang Puisi yang Membebaskan


Sublimasi pada puisi yang membebaskan selalu akan bertolak dari dan
menuju pada penghormatan pada harkat kemanusiaan. Maka, puisi akan
bergulat dalam dunia nyata realitas sosial dan sejarah, menegakkan nilai-nilai
dalam hubungan antarmanusia, meluruskan kecurangan-kecurangan yang

232

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

disembunyikan, melawan kuasa-kuasa yang menindas, membongkar tata nilai


sosial politik yang rapuh dan menjadi tempat-tempat persembunyian kejahatan
kemanusiaan, dan mencatat dan menyimpan dengan rapi pelaku-pelaku
kejahatan kemanusiaan ini. Namun, artikulasi puisi jenis ini selalu merupakan
hasil perhitungan antara kejujuran, dan risiko. Bahkan konsep risiko ini tidak
sekadar dalam hubungannya dengan iblis yang kasat mata, tetapi juga dalam
perhitungan antara ketercapaian advokasi sosial dan keindahan artikulasi
puisi. Ada puisi yang sangat memperhitungkan keduanya. Ada puisi yang
terpaksa mengambil prioritas.
Salah satu puisi yang menarik dalam konteks ini adalah Machiavielisme,
sebuah puisi yang pengungkapannya padat dan taktis tentang kejahatan
kemanusiaan dari seorang penguasa yang menindas dalam sejarah politik
Jawa. Kekejaman Panembahan Senopati, Sultan Mataram Islam, terhadap
para santri, para pembangkang dan orang-orang dari keluarganya sendiri,
demi kelanggengan kekuasaannya, yang menjadi wadah untuk kegelisahan
yang diungkapkan dalam puisi ini, tidak saja merupakan simbol efektif bagi
setiap kuasa yang menindas, tetapi puisi ini mampu menata rapi data ikonik
sejarah menjadi rekonstruksi estetik yang efektif-imajinatif. Pengungkapannya
sama indahnya dengan puisi yang pernah ada yang ditulis Herman J. Waluyo,
tetapi berbeda dalam situasi tanpa kata yang coba dicerminkan. Bandingkanlah puisi Machiavielisme dalam Arung Diri dengan puisi Kidung Megatruh
karya Herman J.Waluyo (1981) berikut. Demikianlah puisi Machiavielisme:
MACHIAVELISME
Dan perempuan itu melemparkan kerlingnya
sebelum desah pertama merobek lengang
diadiakah yang telah bikin mabuk Mangir muda?
kepada Pambayun ternganga semua orang

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

233

Sebelum heran lindap, nafsu telah menyergap


dikawininya Pambayun, dititipinya anak turun
Sebelum sembilan bulan berlalu
ke Mataramlah Mangir menghadap sebagai menantu
menjemput ajal yang telah disiapkan sebilah keris di situ:
keris mertua yang tahunya cuma kuasa
Oh kangmas kangmas, ratap Pambayun sendu
mengekalkan kuasa ayahannda prabu
Kita bandingkan puisi tersebut dengan puisi Kidung Megatruh berikut.
KIDUNG MEGATRUH
Pambayun Menatap Merapi yang Membara
Mulut wanita itu terkunci, ketika Mangir bertanya tentang dirinya.
Dan untuk apa serta ke mana akhirnya.
Namun, demi cinta yang bersemi ia tak sanggup lagi main sandiwara.
Dengan tersendat, wanita itu membeberkan apa siapa dan untuk apa
Putri Mataram itu datang ke Wanabaya.
Terbayang wajah angker duri kerajaan yang kini amat dicintainya
Musuh ayahnya kini telah menjadi calon bapak bagi putranya.
Gundah pun muncul berdetakan bersama bakti kepada negara dan raja.
Antara senyum dan duka, tawa dan tangis kini sukar ditentukan batasnya.
Lelaki itu tidak terkejut dan tidak marah kepadanya.
Ksatria itu membayangkan garis nasib yang telah pupus dalam namanya.
Kutuk dewata terbayang di mata, meski baru kuping masih megah di
istana.

234

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

Ketika Pambayun mengajak lelaki itu menghadap sang raja,


Ia tak mampu menolaknya. Peta nasib dan garis hidup telah nyata di
depannya.
Juga ketika ia harus berpisah dengan barukuping, pusaka andalannya,
Ia tak pernah mampu mengucapkan kata tidak.
Mangir, suami, ksatria, dan pemberontak itupun mati di tangan raja.
Mulut wanita itu terkunci ketika Raja mengucapkan terima kasih
padanya.
Dan seluruh pejabat kerajaan memujanya sebagai pahlawan nusa.
Butir-butir tangis tak tertahan olehnya. Berbaur isakan bahagia dan
duka.
Dan ketika kerajaan menganugerahi tanda jasa,
Wanita itu tak mengerti lagi batas antara bahagia dan duka.

Tentang Puisi yang Mengutuhkan


Sublimasi puisi yang bersifat mengutuhkan manusia dari keterpecahannya mengambil pilihan pada refleksi terhadap ekspresi tindak-tanduk manusia
yang merosot dari derajat kemanusiaannya. Artikulasi puisi seringkali memilih
merumuskan dan menggambarkan tindak-tanduk manusia terbelah dalam
suatu hubungan sebab-akibat. Misalnya, puisi menggambarkan sebab-akibat
tindak-tanduk manusia yang dikendalikan nafsu badan dan keluar dari nilainilai akal sehat. Di sini puisi bisa mengonstruksi refleksi makna melalui,
misalnya, orang yang belanjanya menuruti kesenangan, orang yang melakukan
pengeluaran melampaui kebutuhannya, orang yang melakukan korupsi, orang
yang melakukan pelanggaran nilai, orang yang tidak menggunakan akal sehat,
orang yang tidak diajari berpikir oleh kebudayaannya, atau orang yang
bersekolah, tetapi pelajarannya tidak mengajari berpikir, dan seterusnya,

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

235

semacam Puisi Tahun Baru 1990 Rendra yang baris-barisnya telah dikutip di
awal. Target puisi adalah tumbuhnya kesadaran manusia akan hakikat
keutuhannya. Penampilan puisi adalah introspeksi kritis dan reflektif tentang
manusia menelanjangi dirinya sendiri. Tujuannya adalah manusia yang utuh,
seimbang, tenteram, dan bahagia. Gayanya menunjuk atau meratap menyesali
diri. Dalam Arung Diri, misalnya, puisi yang mengutuhkan itu bisa dilihat
pada puisi Mencari Bahagia berikut.
MENCARI BAHAGIA
dengan bening doa kudaras kitab demi kitab tua
karena dunia dilimbur cemas dan kalap senantiasa
dengan merdu zikir kucerna arif pikir demi pikir ternama
karena manusia ditenung tamak dan loba tanpa jeda
dan kucari-cari Ki Ageng Suryamentaram sang Pangeran Jawa
pemilik kitab kearifan kehidupan bersari kenikmatan baka
yang menawarkan racikan kawruh jiwa bagi semua manusia
yang memberikan adonan pangawikan pribadi bagi jiwa dahaga
siapa duga bisa menenangkan manusia, mendamaikan dunia
tapi, jangan kau buru bahagia semata, ia mulur mungkret adanya
selami palung jiwa, bakal kau temukan sangkan paraning manusia
berhulu Gusti sumber segala ada, asal segenap keadaan jiwa
niscaya kau dan dunia bertawaf mengitari hidayah Sang Mahacinta,
kudengar Pangeran Jawa berbagi jalan terang menuju negeri suka cita
aku ternganga, kenapa dunia tiba di simpang jalan tak bertanda
dan manusia mengambil arah menjauhi jalan Pangeran Jawa

236

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

Puisi Mencari Bahagia tersebut pada dasarnya adalah puisi yang targetnya
mengutuhkan kemanusiaan. Puisi ini menemukan inspirasi bahagia dari seorang
ahli ilmu jiwa dalam budaya Jawa, Ki Ageng Suryomentaram, dari abad ke18. Apa sebenarnya pandangannya tentang bahagia? Dalam salah satu bukunya
yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tentang bahagia,
Suryomentaram (l985:26) mengatakan: Maka orang akan merasa aku
mengawasi keinginan, aku senang, aku bahagia. Bila orang sudah mempunyai
rasa aku mengawasi keinginan, aku senang, aku bahagia. Maka dalam
mengawasi keinginannya sendiri dan perjalanan hidupnya sendiri, ia merasa
itu bukanlah aku. Begitu juga dalam menanggapi dunia dengan segenap isinya
dan semua kejadian-kejadian, orang pun merasa itu bukanlah aku.
Demikianlah rasa aku itu, bahagia dan abadi. Karena itu, di mana saja, kapan
saja, bagaimana saja, bahagialah orang itu. Demikianlah pengetahuan orang
hidup bahagia.
Jadi, dalam pandangan Suryomentaram, bahagia adalah kondisi yang
dicapai setelah orang melakukan kerja introspeksi diri. Dalam kerja introspeksi
ini, orang harus mencapai kesadaran aku dengan mengeluarkan diri dari yang
bukan aku. Dengan meminjam terminologi ruh dan nafsu, kita bisa mengatakan
bahwa bahagia adalah aku dan aku adalah ruh. Sebaliknya, tidak bahagia
adalah bukan aku, bukan aku itu adalah nafsu. Orang yang ingin bahagia
harus mencapai atau menemukan diri dalam kondisi aku dan mengeluarkan
yang bukan aku dari dalam dirinya. Bisa dikatakan juga, orang yang ingin
bahagia, dalam dirinya, harus memenangkan ruh atas nafsu. Ruh hakikatnya
bahagia, sedangkan nafsu hakikatnya tidak bahagia.
Akan tetapi, tampaknya, sebagai sebuah puisi, puisi Mencari Bahagia
tersebut cenderung menjadi contoh puisi yang kurang berhasil. Puisi ini
masih harus diperjuangkan dalam pencapaian sublimasinya dan artikulasinya.
Puisi ini kurang mampu menunjukkan gejolak batin dari pengalaman jiwa
yang berada dalam situasi problematik. Puisi ini hanya terasa ingin mengatakan
ARUNG DIRI
Kitab Puisi

237

sesuatu, tetapi belum sampai menunjukkan kerja puitiknya. Puisi hanya


mengatakan bahwa ada sebuah referensi cara bahagia yang memikatnya yang
justru tidak ditemukannya dari tempat yang jauh, tetapi dari temuan orang
dalam dari khazanah intelektual budaya tradisinya sendiri. Akan tetapi, puisi
ini tidak sampai menunjukkan perjuangan batin yang tersayat-sayat sebelum
akhirnya diselamatkan metode bahagia itu. Kondisi proses sublimasi yang
belum matang inilah barangkali yang akhirnya melahirkan pilihan artikulasi
yang kurang mampu melibatkan emosi pembacaan. Artikulasi puisi tidak
menampilkan diri dalam pertukaran pengalaman batin dari situasi cengkeraman
ketidakbahagiaan, tetapi memilih menyampaikan ajaran bahagia dari orang
lain yang tidak dikemas sebagai pengalaman pribadi yang meyakinkan.
Risikonya adalah puisi tidak mampu secara kuat menyuarakan suasana dalam
dari diri penyair.
Catatan Tambahan: Puisi yang Beralusi pada Wayang
Sebagai tambahan, perlu dikemukakan catatan berkenaan dengan puisipuisi wayang dalam Arung Diri. Ini karena Arung Diri tampak sekali memperjuangkan banyak puisi yang beralusi pada dunia pewayangan. Bahkan
Arung Diri menunjukkan kemampuan yang memukau dalam menggali, memilih,
dan menata kekayaan linguistiknya untuk puisi-puisi wayang ini. Rasakan
pukauan keindahan beberapa baris kata Bisma dalam puisi Kisah Cinta Amba
dan Bisma yang sangat memikat berikut:
Jangan kau lantunkan suara yang memukul dada
telah kubentengi nafsu dengan gunung-gunung doa
dan keikhlasan melampaui kemampuan para dewa!
..

238

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

Jangan kau anyam kata-kata berbisa, wahai Amba


jangan kau racik nafsu purba yang memangsa sukma
aku berpantang jatuh cinta, apalagi birahi asmara!
Demikianlah, dunia masa lalu masih memberikan sumbangan kekuatannya. Bahkan, Frank Stewart (2003) menganjurkan agar puisi mencari sumbersumber kekuatannya dari masa lalu. Akan tetapi, puisi yang beralusi pada
karya masa lalu akan selalu dihadapkan risiko: puisi berdiri di belakang
bayang-bayang. Maka, persoalan puisi yang memilih beralusi adalah bagaimana
keluar dari bayang-bayang dengan penuh harga diri. Dalam perhitungan ini,
puisi dituntut untuk banyak berhitung. Puisi harus melakukan sublimasi
untuk maknanya sendiri karena keindahan artikulasi yang tidak menyuarakan
pencapaian sublimasi adalah kehadiran yang tidak berarti. Ini berarti puisi
yang melakukan puitisasi saja tidak cukup.
Ini bukan berarti sebuah puisi akan sulit berhasil jika beralusi. Jika
sublimasi diperjuangkan, puisi yang beralusi pada wayang juga bisa tampil
memikat. Dalam kaitan contoh ini, puisi bisa berbuat tidak hanya mengolah
kisah cinta Bisma-Amba dalam artikulasinya, tetapi artikulasi itu bisa dikeluarkan dari sublimasi persoalan aktual puisi sendiri. Jika ini dilakukan,
kehadiran puisi menciptakan suaranya sendiri. Puisi Ruang Singgah Sitok
Srengenge berikut tidak sekadar memuitisasi kisah Bisma-Amba dari wayang,
tetapi mengolah kisah itu untuk menggandakan suaranya sendiri.
RUANG SINGGAH
Suara Bisma
Sesekali singgahlah ke ruang sunyi di antara riuh rindu puisiku
Puisi yang menyertaiku dua windu sejak terakhir kali kutatap matamu

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

239

Mata yang dihuni gadis pemberang pemberani perentang tali,


Tali gendewa gaib batas cinta dan batas nasib
Singgah, Amba, meski tiada apa. Hanya sebentang tanah kosong,
Tanah yang merengkuh hutan kecil dengan pohon-pohon tua,
Pohon-pohon yang menjaga lembah tetap lembab,
Selembab pipimu yang menyimpan sungai
Sungai yang berkunjung bersama hujan lalu merantau di musim kemarau,
Musim yang membujuk burung-burung seberang bertandang,
Burung-burung yang kadang berjingkrak di jalan setapak,
Jalan yang akan mengantarmu ke ruang sunyi itu
Mungkin kau tak menemukanku di sana,
Mungkin aku sedang mencarimu entah di mana
Ingin kutatap sekali lagi manik matamu, kutemu gadis yang dulu,
Gadis pemberang pemberani itu, yang kelak menjemputku
Demikianlah penyambutan yang bisa saya kemukakan untuk diskusi.
Kepada Mas Djoko Saryono, saya mengucapkan selamat atas ARUNG DIRInya. Semoga semakin mulyo dan mulia.

Sengkaling, 22 Januari 2013

240

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

DAFTAR PUSTAKA
Abshar-Abdalla, Ulil. 2012. Teks dan Kontradiksi. Democracy Project Yayasan Abad
Demokrasi, kolom edisi 041, Januari 2012.
Bachri, Sutardji Calzoum. 2001. Hormat Maksimal kepada Puisi. Dalam Horison, Juli,
hlm. 48.
Budiman, Arief. 1987. Sastra yang Ditulis untuk Orang yang Ada di dalam Sejarah.
Dalam Heryanto, Ariel. 1988. Perdebatan sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali.
Hlm. 379384.
Damono, Sapardi Djoko. 1988. Puisi Kita Kini. Dalam Prisma, no.8 Th.XVII, hlm.
3039.
Hadi W.M., Abdul.2007. Rumi dan Relevansi Sastra Sufi. Dalam Horison, XII, 2007,
hlm.1020.
Hartoko, Dick.1993. Estetika dalam Seniman dan Budayanya. Dalam Sutrisno, Muji
dan Verhaak.1993. Estetika: Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 93
98
Hassan, Fuad. 1989. Kesusastraan sebagai Layar Proyeksi. Dalam Renungan Budaya.
Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 5664.
Hassan, Fuad.1998. Religi dan Ilmu dalam Masa Industrialisasi. Dalam Studium
Generale. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan., hlm. 210.
Icksan, M.A. 1999. Dalam Apresiasi, Puisi Harus Dihadirkan dalam Wujudnya yang
Utuh: Dibawakan!. Malang: PPs UM.
Kadarisman, Effendi. 2010. Hipotesis Sapir-Whorf dalam Ungkap Verbal Keagamaan.
Dalam Mengurai Bahasa, Menyibak Budaya, Malang: UIN Malang Press, hlm.
3859.
Kleden, Ignas. 2004. Puisi, Penyair, dan Intelektual Publik. Dalam Sastra Indonesia
dalam Enam Pertanyaan. Jakarta: Graffiti, hlm. 207352.
Kuntowijoyo. 2005. Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika dan Struktur Sastra.
Dalam Horison, xxxix/2005, hlm. 819.
Mohammad, Gunawan. 1996. Sastra Pasemon: Pergumulan Bawah Sadar Bahasa dan
Kuasa. Dalam Latif, Yudi dan Ibrahim, Idi Subandi. 1996. Bahasa dan Kekuasaan.
Bandung: Mizan, hlm. 310317.
Schimmel, Annemarie. 2007. Bahasa Simbolik Maulana Jalaluddin Rumi. Dalam
Horison, XII, 2007, hlm. 2129.

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

241

Stewart, Frank. 2003. Nilai-Nilai Puitika Indigienous bagi Dunia Puitika Kontemporer.
Dalam Kolong Budaya, No. 02 Th. 2003, hlm. 2130.
Suryomentaram, Ki Ageng. 1985. Ajaran-Ajaran Ki Ageng Suryomentaram 1. Jakarta:
Yayasan Idayu.
Teeuw, A. 1983. Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi. Dalam
Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia, hlm. 3758.
Verhaar, John W.M. 1989. Identitas Manusia Menurut Psikologi dan Psikiatri Abad ke20. Yogyakarta: Kanisius.
Wahid, Abdurrahman. 2001. Pesantren dalam Kesusasteraan Indonesia. Dalam
Menggerakkan Tradisi. Yogyakarta: LKIS, hlm 4550.

*Sudibyo, S.Pd adalah eseis dan kritikus sastra Indonesia. Ia menjadi guru
bahasa Indonesia di SMA Negeri 10 Malang. Di samping itu, ia juga
mengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Sosial dan Humaniora IKIP Budi Utomo Malang. Beberapa kali ia
memenangi lomba menulis esei sastra yang diselenggarakan oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI.

242

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

UCAPAN TERIMA KASIH


Manusia itu makhluk bermain, homo ludens. Begitu kata Huizinga.
Bermain apa saja bisa olah raga, olah jiwa, dan olah bahasa. Selain berlagak
senang olah raga dan olah jiwa, saya berlagak senang olah bahasa. Saya pun
belajar bermain bahasa, bermain makna. Ketangkasan bermain bahasa dan
kepiawaian bermain makna adalah bekal utama perajin kata-kata. Karyakarya yang tersaji dalam himpunan Arung Diri di sini cermin terang bahwa
saya sedang belajar bermain bahasa, bermain makna. Juga merupakan hasil
belajar bermain bahasa, bermain makna sekian lama. Kesederhanaan permainan bahasa dan makna menandakan saya betul-betul perajin kata-kata
yang masih pemula.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah semata, karya-karya ini dapat
disatukan dalam himpunan Arung Diri: Kitab Puisi dan dapat terbit. Arung
Diri yang berisi karya-karya permainan bahasa dan makna ini dapat terbit
dengan tersangka utama Tengsoe Tjahjono, Sudibyo, dan Misbahul Amri.
Bagi saya, ketiganya provokator ulung yang suka melempar bara dalam
kegiatan tulis-menulis dan kegiatan bersastra. Ketiganya suka memanasmanasi saya untuk menerbitkan karya pada saat bertemu. Redi, Indra, dan
Pangat juga suka menambah panas suasana kreatif. Terima kasih yang tulus
layak dilayangkan kepada mereka. Terima kasih juga kepada teman-teman
yang seteman ngobrol tiada juntrung: Mas Jaswanto, Mas Nono, Mas Yeni,
Mas Imam, Black Asuranci, Anang Musik, Malik Mojokerto, dan lain-lain.
Tentu saja terima kasih layak saya layangkan kepada keluarga: Yani, Nanda,
Wibi, Ayu, dan Lala. Ayah saya tentu harus disebut di sini karena beliau
memberi teladan tulis-menulis. Juga kedua mertua yang telah membiarkan
saya menggantang asap angan, yang kemudian saya raih dan tuliskan menjadi

243

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

243

permainan bahasa. Terima kasih juga kepada Giryadi yang telah membuat
desain sampul dan Ali Oncom yang menyumbang ilustrasi dalam. Terima
kasih juga selalu saya sampaikan kepada Indro Basuki yang selalu bersedia
dan tangkas menyiapkan tulisan-tulisan saya. Terakhir, apresiasi dan terima
kasih saya layangkan kepada Taman Budaya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Jawa Timur yang sudi mencetak dan menggandakan karya ini serta ikut
menyebarluaskannya di lingkungan pemerintah dan para pencinta seni budaya.
Semoga karya-karya yang tersaji di sini ada gunanya. Amin 3x ya Rabb.

Malang, hujan bulan Desember 2013

Djoko Saryono

244

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

TENTANG PERAJIN KATA


Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd nama beserta gelar akademisnya.
Lahir di kota Madiun, besar dan mukim di kota Malang hingga
sekarang. Tamat dari SDN Gading Kasri tahun 1976; dari
SMPN I Malang tahun 1978; dan dari SMA PPSP IKIP Malang
tahun 1981. Kemudian masuk Departeman Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia FKSS IKIP Malang (sekarang Fakultas
Sastra Universitas Negeri Malang, UM), lulus tahun 1986. Setelah itu, dengan beasiswa dari Tim Manajemen Program Doktor,
dia langsung masuk Fakultas Pascasarjana IKIP Malang, lulus
magister pendidikan bahasa tahun 1991 dan lulus doktor pendidikan bahasa tahun 1998.
Semenjak tahun 1986 menjadi dosen di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang (UM) dan sejak tahun 1998 menjadi dosen di Program
Pascasarjana UM. Selain itu, dia pernah aktif mengajar di IKIP Budi Utomo Malang,
FKIP Universitas Muhammadiyah Malang, dan Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.
Dia juga mengajar pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana
Universitas Islam Malang dan Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin. Dia juga menjadi penguji tamu ujian disertasi di Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra PPs Universitas Negeri Surabaya. Sesekali dia memberikan ceramah di
berbagai kampus perguruan tinggi.
Semenjak tahun 2003 dia mendapat amanah menjadi Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia (program magister dan doktor) Program Pascasarjana Universitas
Negeri Malang. Pada tahun 2010 dia mendapat amanah menjadi Ketua Badan Pekerja
Kongres Bahasa Jawa V. Di samping itu, dia pernah menjadi konsultan pendidikan dan
konsultan monitoring dan evaluasi pada Provincial Project Implementation Unit dan
Central Project Coordination Unit, Junior Secondary Education Project World Bank Loan
IBRD 4042, 4062, dan 4095, Direktorat PLP Ditjen Dikdasmen Depdiknas. Masih berkenaan dengan dunia pendidikan, dia juga menjadi Ketua Komisi Pelayanan dan Konsultasi
Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur, anggota Dewan Sekolah SDN Gading Kasri
Malang, SMPN 4 Malang, dan SMAN 8 Malang. Sementara itu, pergaulannya di kalangan
kesenian pernah mendamparkannya menjadi Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Sastra

245

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

245

Dewan Kesenian Malang. Pernah juga menjadi Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan
Indonesia (HISKI) Komda Malang Raya pada tahun 1990-an. Jauh sebelumnya, semasa
menjadi siswa dan mahasiswa pada akhir 1970-an dan sepanjang dekade 1980-an, dia
pernah ikut mendirikan dan menjadi ketua organisasi pecinta alam GAPEMA SMA PPSP
IKIP Malang; menjadi wakil ketua sekaligus pembina Mapala Jonggring Salaka IKIP
Malang; dan pengurus perhimpunan pendaki kota Malang Mahameru. Masih pada dekade
1980-an dia pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Penulis dan redaksi koran
kampus Komunikasi IKIP Malang.
Djoko Saryono pernah memiliki hobi menulis. Dulu artikel-artikelnya dimuat di
koran dan majalah seperti Republika, Pena Pendidikan, dan Gentengkali. Beberapa
penelitian bahasa dan sastra serta pembelajaran pernah dikerjakannya kendati sebagian
besar belum diterbitkan. Beberapa buku ringkas-ringan yang ditulisnya sudah diterbitkan
oleh berbagai penerbit lokal. Arung Diri: Kitab Puisi ini merupakan buku pertamanya
yang bukan karya ilmiah. Cita-citanya ke depan bisa menulis lagi buku yang bukan karya
ilmiah.

246

ARUNG DIRI
Kitab Puisi

Anda mungkin juga menyukai