Anda di halaman 1dari 8

PEKAN 12 Tugas Paper Individu

Nama : Faliani Chandra Tjiang

NIM : K011201133

Kelas : PAN 18 Kesmas D

Dosen Pengampu : Dr. Mansyur Radjab, M.Si.


Pancasila sebagai Sistem Etika

Konsep Etika, Moral, Nilai, Etiket serta Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem
Etika

Secara etimologi “etika” berasal dari bahasa Yunani yaitu “ethos” yang berarti watak,
adat maupun kesusilaan. Jadi etika pada dasarnya dapat diartikan sebagai suatu kesediaan
jiwa seseorang untuk senantiasa patuh kepada seperangkat aturan-aturan kesusilaan (Kencana
Syafiie, 1993). Etika lebih banyak bersangkut dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran
dalam hubungan dengan tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986). Selanjutnya etika dibagi atas
etika umum dan etika khusus. Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku
bagi setiap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam
hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia. Etika khusus terbagi menjadi etika
individual, yaitu membahas kewajiban manusia terhadap di diri sendiri dan etika sosial
membahas kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup bermasyarakat (Magnis-
Suseno, 1987).

Ada beberapa aliran etika yang dikenal dalam bidang filsafat, meliputi etika
keutamaan, teleologis, deontologist. Etika keutamaan atau etika kebajikan adalah teori yang
mempelajari keutamaan (virtue), artinya mempelajari tentang perbuatan manusia itu baik atau
buruk. Etika kebajikan ini mengarahkan perhatiannya kepada keberadaan manusia, Etika
teleologis adalah teori yang menyatakan bahwa hasil dari tindakan moral menentukan nilai
tindakan atau kebenaran tindakan dan dilawankan dengan kewajiban. Etika teleologis ini
menganggap nilai moral dari suatu tindakan dinilai berdasarkan pada efektivitas tindakan
tersebut dalam mencapai tujuannya. Aliran-aliran etika teleologis, meliputi eudaemonisme,
hedonisme, utilitarianisme. Etika deontologis adalah teori etis yang bersangkutan dengan
kewajiban moral sebagai hal yang benar dan bukannya membicarakan tujuan atau akibat.
Kewajiban moral berkaitan dengan kewajiban yang seharusnya, kebenaran moral, atau
kelayakan, kepatutan.

Moral merupakan patokan-patokan, kumpulan peraturan lisan maupun tertulis tentang


bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang lebih baik. Moral
dengan etika hubungannya sangat erat, sebab etika suatu pemikiran kritis dan mendasar
tentang ajaran-ajaran dan pandangan moral dan etika merupakan ilmu pengetahuan yang
membahas prinsip-prinsip moralitas (Devos, 1987). Dalam etika seseorang dapat memahami
dan mengerti bahwa mengapa dan atas dasar apa manusia harus hidup menurut norma-norma
tertentu, inilah kelebihan etika dibandingkan dengan moral. Kekurangan etika adalah tidak
berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang, sebab
wewenang ini ada pada ajaran moral.

Norma adalah aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat warga


masyarakat atau kelompok tertentu dan menjadi panduan, tatanan, pandangan, dan
pengendali sikap dan tingkah laku manusia. Oleh karena itu norma sebagai penuntun,
panduan, atau pengendali sikap dan tingkah laku manusia. Nilai pada hakikatnya suatu sifat
atau kualitas yang melekat pada suatu objek, namun bukan objek itu sendiri. Nilai merupakan
kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, yang kemudian nilai
dijadikan landasan, alasan dan motivasi dalam bersikap dan berperilaku baik disadari maupun
tidak disadari. Etiket berasal dari kata “etiquette” yang mengacu kepada cara yang tepat,
yang diharapkan, serta ditentukan dalam suatu komunitas tertentu.

Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politik kehidupan manusia. Inti
permasalahan etika politik adalah masalah legitimasi etis kekuasaan yang dapat dirumuskan
dalam pertanyaan: atas hak moral apa seseorang atau sekelompok orang memegang dan
mempergunakan kekuasaan yang mereka miliki?. Oleh karena itu etika politik menuntut agar
kekuasaan dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku (legalitas), disahkan secara
demokratis (Legitimasi Demokratis), dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar
moral (Legitimasi Moral). Selanjutnya dijelaskan kriteria-kriteria legitimasi yaitu legitimasi
sosiologis, legalitas, dan legitimasi etis sebagai berikut:

1. Legitimasi Sosiologis (Paham sosiologis tentang legitimasi.)

Magnis-Suseno menyebutkan motivasi penerimaan kekuasaan sebagaimana


dirumuskan oleh Max Weber yaitu : (1) “Legitimasi Tradisional” yakni keyakinan dalam
suatu masyarakat tradisional, bahwa pihak yang menurut tradisi lama memegang
pemerintahan memang berhak untuk memerintah, misalnya golongan bangsawan atau
keluarga raja dan memang patut untuk ditaati. (2) “Legitimasi Kharismatik” berdasarkan
perasaan kagum, hormat, dan cinta masyarakat terhadap seorang pribadi yang sangat
mengesankan sehingga masyarakat bersedia taat kepadanya. (3) “Legitimasi rasional-Legal”
berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seseorang
atau penguasa.

2. Legalitas
Suatu tindakan adalah legal apabila dilakukan sesuai dengan hukum atau peraturan
yang berlaku. Jadi legalitas adalah kesesuaian dengan hukum yang berlaku. Legalitas
menuntut agar kekuasaan ataupun wewenang dilaksanakan sesuai hukum yang berlaku.

3. Legitimasi Etis

Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan wewenang ataupun kekuasaan politik dari


segi normal-normal moral. Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa setiap tindakan
pemerintah apakah Legislatif, Eksekutif maupun Yudikatif dipertanyakan dari segi norma-
norma moral.

Pancasila Sebagai Sumber Etika

Diperlukannya Pancasila sebagai sistem etika. Pancasila sebagai sumber etika untuk
mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Oleh
karena itu, dalam Pancasila sebagai sumber etika terkandung nilai-nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kelima nilai itu membentuk perilaku
manusia Indonesia dalam semua aspek kehidupannya. Tataran nilai yang terkandung dalam
Pancasila sesuai dengan sistem nilai dalam kehidupan manusia. Secara teoritis nilai-nilai
Pancasila dapat dirinci menurut jenjang dan jenisnya.

1. Menurut jenjangnya sebagai berikut:

 Nilai Religius
Nilai ini menempati nilai yang tertinggi dan melekat/ dimiliki Tuhan Yang Maha Esa
yaitu nilai yang Maha Agung, Maha Suci, Absolut yang tercermin pada sila pertama
Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
 Nilai Spiritual
Nilai ini melekat pada manusia, yaitu budi pekerti, perangai, kemanusiaan dan
kerohanian yang tercermin pada sila kedua Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang adil
dan beradab”.
 Nilai Vitalitas
Nilai ini melekat pada semua makhluk hidup, yaitu mengenai daya hidup, kekuatan
hidup dan pertahanan hidup semua makhluk. Nilai ini tercermin pada sila ketiga dan
keempat Pancasila yaitu “Persatuan Indonesia” dan “Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
 Nilai moral
Nilai ini melekat pada perilaku hidup semua manusia, seperti asusila, perangai,
akhlak, budi pekerti, tata adab, sopan santun, yang tercermin pada sila kedua
Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
 Nilai Materil
Nilai ini melekat pada semua benda-benda dunia. Yang wujudnya yaitu jasmani,
badani, lahiriah, dan kongkrit. Yang tercermin pada sila kelima Pancasila yakni
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

2. Menurut jenisnya sebagai berikut:

a) Nilai Ilahiah ialah nilai yang dimiliki Tuhan Yang Maha Esa, yang melekat pada
manusia yang berwujud harapan, jani, keyakinan, kepercayaan, persaudaraan,
persahabatan.
b) Nilai Etis ialah nilai yang dimiliki dan melekat pada manusia, yaitu berwujud
keberanian, kesabaran, rendah hati, murah hati, suka menolong, kesopanan,
keramahan.
c) Nilai Estetis melekat pada semua makhluk duniawi, yaitu berupa keindahan, seni,
kesahduan, keelokan, keharmonisan
d) Nilai Intelek yaitu melekat pada makhluk manusia, berwujud ilmiah, rasional, logis,
analisis, akaliah

Selanjutnya secara konsepsional nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila terdiri


dari nilai dasar, nilai instrumental, nilai praksis

 Nilai Dasar. Merupakan prinsip yang bersifat sangat abstrak, umum-universal, dan
tidak terikat oleh ruang dan waktu. Nilai dasar Pancasila bersifat abadi, kekal, yang
tidak dapat berubah, wujudnya ialah sila-sila Pancasila. Nilai-nilai dasar ini
merupakan asas-asas yang kita terima sebagai dalil dan bersifat mutlak. Dalam pokok-
pokok pikiran yaitu: -Persatuan, -Keadilan sosial, -Kedaulatan rakyat, -Ketuhanan
Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
 Nilai Instrumental. Berupa penjabaran nilai dasar, yaitu arahan kinerja untuk kurun
waktu tertentu dan kondisi tertentu. Kontekstualisasi nilai dasar harus dijabarkan
secara kreatif dan dinamik ke dalam nilai instrumental penjabaran nilai dasar terwujud
dalam : TAP MPR, PROPENAS UNDANG-UNDANG, dan Peraturan Pelaksanaan.
 Nilai Praksis. Nilai yang dilaksanakan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Aktualisasi
Pancasila sebagai dasar etika tercermin dalam sila-silanya, yaitu:
Sila pertama: menghormati setiap orang atas berbagai kebebasannya dalam
menganut agama dan kepercayaannya masing-masing, serta menjadikan ajaran-ajaran
sebagai anutan untuk menuntun ataupun mengarahkan jalan hidupnya.
Sila kedua : menghormati setiap orang dan warga negara sebagai pribadi (personal)
“utuh sebagai manusia”
Sila ketiga : bersikap dan bertindak adil dalam mengatasi segmentasi-segmentasi atau
primordialisme sempit dengan jiwa dan semangat “Bhinneka Tunggal Ika”
Sila keempat : kebebasan, kemerdekaan, dan kebersamaan dimiliki dan
dikembangkan dengan dasar musyawarah untuk mencapai kemufakatan
Sila kelima : membina dan mengembangkan masyarakat yang berkeadilan sosial
yang mencakup kesamaan derajat dan pemerataan bagi setiap orang atau setiap warga
negara.

Tanda-tanda mundurnya pelaksanaan etika berbangsa :Konflik sosial berkepanjangan,


berkurangnya sopan santun dan budi luhur dalam kehidupan sosial, melemahnya kejujuran
dan sikap amanah, dan pengabaian ketentuan hukum dan peraturan. Faktor Internal penyebab
mundurnya pelaksanaan etika yaitu lemahnya penghayatan dan pengamalan agama,
sentralisasi di masa lalu, tidak berkembangnya pemahaman/penghargaan kebinekaan,
ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan tokoh/pemimpin yang kurang, penegakan hukum yang
tidak optimal, keterbatasan budaya lokal merespon pengaruh dari luar, dan meningkatnya
prostitusi, media pornografi, perjudian, dan narkoba. Faktor Eksternalnya berupa pengaruh
globalisasi, dan investasi kekuatan global dalam panutan kebijakan nasional.

Esensi dan Urgensi Pancasila Sebagai Sistem Etika

Pentingnya Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan problem yang dihadapi
bangsa Indonesia yaitu sebagai berikut:

 Banyaknya kasus korupsi yang melanda negara Indonesia sehingga dapat


melemahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara
 Masih terjadinya aksi terorisme yang mengatasnamakan agama sehingga dapat
merusak semangat toleransi dalam kehidupan antar umat beragama, dan
meluluhlantakkan semangat persatuan atau mengancam disintegrasi bangsa
 Terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan bernegara
 Kesenjangan antara kelompok masyarakat kaya dan miskin masih menandai
kehidupan masyarakat Indonesia.
 Ketidakadilan hukum yang masih mewarnai proses peradilan di Indonesia

Pada zaman Orde Lama, Pancasila sebagai sistem etika masih berbentuk sebagai
Philosofische Grondslag atau Weltanschauung. Artinya, nilai-nilai Pancasila belum
ditegaskan ke dalam sistem etika, tetapi nilai-nilai moral telah terdapat pandangan hidup
masyarakat. Masyarakat dalam masa orde lama telah mengenal nilai-nilai kemandirian
bangsa yang oleh Presiden Soekarno disebut dengan istilah berdikari (berdiri di atas kaki
sendiri). Pada zaman orde lama pemilu diselenggarakan dengan semangat demokrasi dengan
diikuti banyak partai politik, tetapi dimenangkan empat partai politik yaitu PNI, PARMUSI,
PNU, dan PKI. Tidak dapat dikatakan bahwa pemerintahan di zaman orde lama mengikuti
sistem etika Pancasila, bahkan ada tundingan dari pihak orde baru bahwa pemilihan Soekarno
menganut sistem demokrasi terpimpin, yang cenderung otoriter

Pada zaman orde baru muncul konsep manusia Indonesia seutuhnya sebagai cerminan
manusia yang berperilaku dan berakhlak mulia sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.Pada era
reformasi, Pancasila sebagai sistem etika tenggelam dalam hiruk-pikuk perebutan kekuasaan
yang menjurus pada pelanggaran etika politik. Salah satu bentuk pelanggaran etika politik
adalah abuse of power, baik oleh penyelenggara negara di legislatif, eksekutif, maupun
yudikatif. Penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan inilah yang menciptakan korupsi di
berbagai kalangan penyelenggara negara.

Tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada zaman Orde Lama berupa sikap
otoriter dalam pemerintahan sebagaimana yang tercermin dalam penyelenggaraan negara
yang menerapkan sistem demokrasi terpimpin yang dimana hal tersebut tidak sesuai dengan
sistem etika Pancasila yang lebih menonjolkan semangat musyawarah untuk mufakat.
Tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada zaman Orde Baru terkait dengan masalah
NKK (Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi) yang merugikan penyelenggaraan negara. Hal
tersebut tidak sesuai dengan keadilan sosial karena nepotisme, kolusi, dan korupsi hanya
menguntungkan segelintir orang atau kelompok tertentu. Tantangan terhadap sistem etika
Pancasila pada era Reformasi berupa eforia kebebasan berpolitik sehingga mengabaikan
norma-norma moral. Misalnya munculnya anarkisme yang memaksakan kehendak dengan
mengatasnamakan kebebasan berdemokrasi.
DAFTAR PUSTAKA

Modul VII, Pancasila sebagai Dasar Negara dan Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.

BAB VI, Bagaimana Pancasila menjadi Sistem Etika?

https://lmsspada.kemdikbud.go.id/pluginfile.php/4833/mod_resource/content/1/BAB
%20VI.pdf

Diakses pada tanggal 1 Desember 2020

Hartati, Firmansyah Putra, 2019, Etika Politik dalam Politik Hukum Di Indonesia (Pancasila
Sebagai Suatu Sistem Etika).

Anda mungkin juga menyukai