Anda di halaman 1dari 7

PEKAN 13 Tugas Paper Individu

Nama : Faliani Chandra Tjiang

NIM : K011201133

Kelas : PAN 18 Kesmas D

Dosen Pengampu : Dr. Mansyur Radjab, M.Si.


Pancasila Sebagai Etika Politik

Secara etimologi “etika” berasal dari bahasa Yunani yaitu “ethos” yang berarti watak,
adat ataupun kesusilaan. Jadi etika pada dasarnya diartikan sebagai suatu kesediaan jiwa
seseorang untuk senantiasa patuh kepada seperangkat aturan-aturan kesusilaan (Kencana
Syafiie, 1993). Selanjutnya etika dapat dibagi atas etika umum dan etika khusus. Etika umum
mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia sedangkan etika
khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan
manusia. Etika khusus terbagai menjadi etika individual, yaitu membahas kewajiban manusia
terhadap diri sendiri dan etika sosial membahas kewajiban manusia terhadap manusia lain
dalam hidup bermasyarakat (Magnis-Suseno, 1987).

Moral merupakan patokan-patokan, kumpulan peraturan lisan maupun tertulis tentang


bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang lebih baik. Moral
dengan etika hubungannya sangat erat, sebab etika suatu pemikiran kritis dan mendasar
tentang ajaran-ajaran dan pandangan moral dan etika merupakan ilmu pengetahuan yang
membahas prinsip-prinsip moralitas (Devos, 1987).

Norma adalah aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat warga


masyarakat atau kelompok tertentu dan menjadi panduan, tatanan, padanan, dan pengendali
sikap dan tingkah laku manusia. Nilai pada hakikatnya suatu sifat atau kualitas yang melekat
pada suatu objek, namun bukan objek itu sendiri.

Kata politik secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, politeia yang akar katanya
adalah polis, berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, dan teia, berarti urusan. Politik
merupakan interaksi antara pemerintah dan masyarakat untuk membuat suatu kesepatakan
bersama.

Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politik kehidupan manusia. Karena
itu, etika politik mempertanyakannya tanggungjawab dan kewajiban manusia sebagai
manusia dan sebagai warga negara terhadap negara, hukum dan sebagainya (lihat magnis-
suseno:1986). Ada dua cara menata masyarakat yaitu penataan masyarakat yang normatif dan
efektif. Lembaga penataan normatif masyarakat adalah hukum. Tetapi hukum hanya bersifat
normatif dan tidak efektif. Sedangkan penataan yang efektif dalam menentukan perilaku
masyarakat hanyalah lembaga yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya
yaitu Negara. Karena itu hukum dan kekuasaan negara menjadi bahan utama etika politik.
Jadi etika politik itu membahas hukum dan kekuasaan. Tetapi perlu di pahami bahwa
keduanya baik hukum maupun negara memerlukan legitimasi. Inti permasalahan etika politik
adalah masalah legitimasi etis kekuasaan yang dapat di rumuskan dalam pertanyaan: atas hak
moral apa seseorang atau sekelompok orang memegang dan mempergunakan kekuasaan yang
mereka miliki?. Karena itu etika politik menuntut agar kekuasaan dilaksanakan sesuai dengan
hukum yang berlaku (Legalitas), disahkan secara demokratis (Legitimasi Demokratis) dan
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar moral (Legitimasi Moral). Ketiga tuntutan itu
disebut Legitimasi normatif atau etis (Magnis-suseno:1987). Selanjutnya kriteria-kriteria
legitimasi yaitu legitimasi sosiologis, legalitas, dan legitimasi etis sebagai berikut:

 Legitimasi Sosiologis
Paham sosiologis tentang legitimasi. Mempertanyakan motovasi-motivasi apakah
yang nyata-nyata membuat masyarakat mau menerima kekuasaan atau wewenang
seseorang, sekolompok orang atau penguasa.
 Legalitas
Suatu tindakan adalah legal apabila dilakukan sesuai dengan hukum atau peraturan
yang berlaku. Jadi legalitas adalah kesesuaian dengan hukum yang berlaku. Legalitas
menuntut agar kekuasaan ataupun wewenang dilaksanakan sesuai hukum yang
berlaku. Karena itu legalitas merupakan salah satu kriteria keabsahan suatu kekuasaan
atau wewenang.
 Legitimasi Etis
Mempersoalkan keabsahan wewenang ataupun kekuasaan politik dari segi norma-
norma moral. Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa setiap tindakan pemerintah
apakah Legislatif, Eksekutif, maupun Yudikatif dipertanyakan dari segi norma-norma
moral.

Tatanan nilai yang terkandung dalam Pancasila sesuai dengan sistem nilai dalam
kehidupan manusia. Secara teoritis nilai-nilai Pancasila dapat dirinci menurut jenjang dan
jenisnya.

1. Menurut jenjangnya sebagai berikut:

 Nilai Religius
Nilai ini menempati nilai yang tertinggi dan melekat/ dimiliki Tuhan Yang Maha Esa
yaitu nilai yang Maha Agung, Maha Suci, Absolut yang tercermin pada sila pertama
Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
 Nilai Spiritual
Nilai ini melekat pada manusia, yaitu budi pekerti, perangai, kemanusiaan dan
kerohanian yang tercermin pada sila kedua Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang adil
dan beradab”.
 Nilai Vitalitas
Nilai ini melekat pada semua makhluk hidup, yaitu mengenai daya hidup, kekuatan
hidup dan pertahanan hidup semua makhluk. Nilai ini tercermin pada sila ketiga dan
keempat Pancasila yaitu “Persatuan Indonesia” dan “Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
 Nilai moral
Nilai ini melekat pada perilaku hidup semua manusia, seperti asusila, perangai,
akhlak, budi pekerti, tata adab, sopan santun, yang tercermin pada sila kedua
Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
 Nilai Materil
Nilai ini melekat pada semua benda-benda dunia. Yang wujudnya yaitu jasmani,
badani, lahiriah, dan kongkrit. Yang tercermin pada sila kelima Pancasila yakni
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

2. Menurut jenisnya sebagai berikut:

a) Nilai Ilahiah ialah nilai yang dimiliki Tuhan Yang Maha Esa, yang melekat pada
manusia yang berwujud harapan, jani, keyakinan, kepercayaan, persaudaraan,
persahabatan.
b) Nilai Etis ialah nilai yang dimiliki dan melekat pada manusia, yaitu berwujud
keberanian, kesabaran, rendah hati, murah hati, suka menolong, kesopanan,
keramahan.
c) Nilai Estetis melekat pada semua makhluk duniawi, yaitu berupa keindahan, seni,
kesahduan, keelokan, keharmonisan
d) Nilai Intelek yaitu melekat pada makhluk manusia, berwujud ilmiah, rasional, logis,
analisis, akaliah
Selanjutnya secara konsepsional nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila terdiri dari nilai
dasar, nilai instrumental, nilai praksis

 Nilai Dasar
Merupakan prinsip yang bersifat sangat abstrak, umum-universal, dan tidak terikat
oleh ruang dan waktu. Nilai dasar Pancasila bersifat abadi, kekal, yang tidak dapat
berubah, wujudnya ialah sila-sila Pancasila. Nilai-nilai dasar ini merupakan asas-asas
yang kita terima sebagai dalil dan bersifat mutlak. Dalam pokok-pokok pikiran yaitu:
-Persatuan, -Keadilan sosial, -Kedaulatan rakyat, -Ketuhanan Yang Maha Esa
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
 Nilai Instrumental
Berupa penjabaran nilai dasar, yaitu arahan kinerja untuk kurun waktu tertentu dan
kondisi tertentu. Kontekstualisasi nilai dasar harus dijabarkan secara kreatif dan
dinamik ke dalam nilai instrumental penjabaran nilai dasar terwujud dalam : TAP
MPR, PROPENAS UNDANG-UNDANG, dan Peraturan Pelaksanaan.
 Nilai Praksis
Nilai yang dilaksanakan dalam kenyataan hidup sehari-hari, istilah “PRAKSIS” tidak
seluruhnya sama maknanya dengan istilah “PRAKTEK”. Praksis harus selalu Pased
on Values, sedangkan Praktek bisa bersifat Value Free, maka secara hierarki praksisi
berada di bawah nilai instrumental dan menjabarkan nilai instrumental tersebut secara
taat asas (konsisten). Berbagai wujud penerapan Pancasila dalam kenyataan sehari-
hari, baik oleh para penyelenggara negara maupun oleh masyarakat Indonesia sendiri,
misalnya dalam kerukunan hidup beragama, praksisnya: silahturahmi antar umat
beragama, melakukan dialog antar umat beragama, toleransi dan saling menghormati
antar umat beragama.

Prinsip-prinsip etika politik yang menjadi titik acuan orientasi moral bagi suatu
negara adalah adanya cita-cita The rule of Law, partisipasi demokratis masyarakat,
jaminan HAM menurut kekhasan paham kemanusiaan dan struktur kebudayaan
masyarakat masing-masing dan keadilan sosial. Etika politik ini juga harus direalisasikan
oleh setiap individu yang ikut terlibat secara konkret dalam pelaksanaan pemerintahan
negara. Para penjabat eksekutif, anggota legislatif, maupun yudikatif, para penjabat
negara, anggota DPR maupun MPR aparat pelaksana dan penegak hukum, harus
menyadari bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi demokratis juga harus
berdasarkan legitimasi moral. Misalnya gaji para penjabat dan anggota DPR, MPR, itu
sesuai dengan hukum, namun mengingat kondisi rakyat yang sangat menderita belum
tentu layak secara moral (legitimasi moral).

Fungsi Pancasila sebagai Etika Politik adalah sebagai alat untuk mengatur tertib hidup
kenegaraan, memberikan pedoman yang merupakan batas gerak hak dan wewenang
kenegaraan, menampakkan kesadaran kemanusiaan dalam bermasyarakat dan bernegara,
mempelajari dan menjadikan objek tingkah laku manusia dalam hidup kenegaraan,
memberi landasan fleksibilitas bergerak yang bersumber dari pengalaman, penyediaan
alat-alat teoritis untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara
bertanggung jawab, dan membantu agar pembahasan masalah-masalah idiologis dapat
dijalankan secara obyektif.

Di Indonesia pelaksanaan etika politik yang didasarkan Pancasila sangatlah kurang,


ini dapat terlihat bagaimana saat ini para elite berkuasa lebih mudah menghalalkan segala
cara untuk memenuhi keegoisan mereka yang tidak pernah puas. Mereka sudah tidak lagi
menerapkan nilai-nilai etik dan moralitas berpolitik dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dewasa ini marak terjadi pelanggaran etika politik di Indonesia, bahkan sejak
pemerintahan orde lama pun hal ini terjadi. Dalam hal ini peran politik Pancasila sangat
dibutuhkan, karena etika politik Pancasila mampu mendeteksi adanya gejala-gejala awal
dari pelanggaran terhadap filsafat politik Pancasila. Contoh pelanggaran etika politik
adalah:

1. Perbuatan yang bertujuan meniadakan atau menggantikan Pancasila dengan


ideologi negara lain.
2. Menghilangnya cita-cita hukum (Rechsidee), yang menguasai dasar hukum negara
kita, baik hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.
3. Secara sengaja menafsirkan secara keliru pasal-pasal aturan perundangan sehingga
bertentangan dengan Pancasila.
4. Pelanggaran dalam tata pergaulan dalam rangka aktifitas politik di negara
Pancasila
5. Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan sosial
6. Korupsi

Penyelenggaraan segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian harus


berdasarkan hukum yang berlaku serta perlunya adanya Pancasila sebagai etika politik untuk
mencegah terjadinya pelanggaran etika berpolitik di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Kadir Gau, Pancasila Sebagai Etika Politik.

Pureklolon Thomas Tokan, 2020, Pancasila Sebagai Etika Politik dan Hukum Negara
Indonesia.

Kurniawan Aris, 2020, Pancasila sebagai Etika Politik.

https://www.gurupendidikan.co.id/pancasila-sebagai-etika-politik/

Diakses pada tanggal 7 Desember 2020

Anda mungkin juga menyukai