Anda di halaman 1dari 20

F -X C h a n ge F -X C h a n ge

PD PD

!
W

W
O

O
N

N
y

y
bu

bu
to

to
k

k
lic

lic
C

C
w

w
m

m
w w
w

w
o

o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k

Melacak Jejak Posmodernisme


dalam Kumpulan Cerpen Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)
Karya Djenar Maesa Ayu1

Oleh Else Liliani 2

1. Jejak Posmodernisme dalam Sastra Indonesia


Strukturalisme telah melampaui keniscayaannya sebagai sebuah cara
interpretasi dan mencapai kegemilangannya pada kurun 1950an hingga 1960an.
Berdasarkan pendapat Saussure, para Strukturalis itu mencoba menemukan sistem
bahasa (langue) yang menentukan interpretasi seseorang terhadap suatu teks. Titik
balik terjadi pada tahun 1960an ketika para Dekonstruksionis menyatakan bahwa
sebuah teks memiliki makna yang plural, karenanya tidak ada interpretasi yang
absolut.
Adalah Jaques Derrida, yang menanyakan “kebenaran”. Menurutnya,
kebenaran itu sangat subjektif, semata-mata hasil kreasi pikiran manusia.
Kebenaran itu sendiri, menurutnya, sangat relatif dan bergantung pada pengaruh
sosial kultural yang sangat beragam. Pemikiran Derrida inilah, yang kemudian
menghasilkan sebuah pemikiran kritis -yang pada nantinya disebut sebagai
posstrukturalisme, dekonstruksi, atau posmodernisme (Bressler, 1999:115-118).
(catatan: untuk tulisan berikutnya, penulis makalah memilih menggunakan istilah
posmodernisme)
Posmodernisme inilah yang kemudian menyebar sangat cepat, terutama
ketika banyak orang yang menyadari dan mengakui bahwa tidak ada suatu
kebenaran mutlak terhadap interpretasi sebuah teks. Di luar negeri sendiri, wacana
posmodernisme ini sebenarnya sudah mulai ada sejak tahun 1930an, dengan
Zarathustra karya Nietzcshe. Beberapa sastrawan yang ditengarai berhaluan

1
Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Cultural Study dalam Kajian Sastra di FBS
UNY pada 14-15 September 2005
2
Penulis adalah staf pengajar di Jurusan PBSI FBS UNY
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD

!
W

W
O

O
N

N
y

y
bu

bu
to

to
k

k
lic

lic
C

C
w

w
m

m
w w
w

w
o

o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k

posmodern antara lain adalah Samuel Beckett, Robbe-Grillet, Fuentes, Nabokov,


Coover, dan Pynchon (selanjutnya lihat McHale, 1986).
Di Indonesia sendiri, menurut Pamela Allen, perlawanan terhadap
otoritarianisme dan ideologi budaya pemerintahan Orde Baru pada akhir 1980an dan
1990an diungkapkan dalam praktik artistik yang mengandung banyak penanda dari
wacana posmodernis (2004:176). Allen mencontohkan dengan munculnya seni
instalasi, “puisi gelap”, “puisi mbeling”, dan “Gerakan Seni Rupa Baru”. Selanjutnya,
Allen memberikan sedikit ulasan mengenai beberapa karya sastra di Indonesia yang
ditengarai berwacana posmodernis. Di antaranya adalah Putu Wijaya dengan Sobat,
Teror, Kroco, Perang, dan Byar Pet serta YB Mangunwijaya dalam Durga Umayi-
nya. Sedangkan Aveling, mengeksplorasi karya-karya Danarto, Sutardji Calzoum
Bachrie, dan Budi Dharma (2002:83-107). Menurutnya, “Danarto telah membawa
kesadaran baru tentang kebawahsadaran orang Indonesia lama yang berdasarkan
fantasi Jawa dan masa muda dan kebawahsadaran orang Indonesia masa kini yang
didasarkan dongeng barat dan timur dan permainan-permaina kecil” (hlm. 89-90).
Sedangkan Sutardji, menurut penilaian Aveling, telah melakukan eksperimen-
eksperimen dalam puisinya yang surealis. Dan eksperimen-eksperimen itu berhasil!!
Avelling juga melihat keberhasilan Budi Dharma dalam menjungkirbalikkan dunia
yang dibangunnya, di antaranya dalam Kritikus Adinan.
Apakah ciri sastra yang seperti ini –yang kemudian oleh sebagian orang
dinilai berhaluan posmodernis, dengan karakteristik yang melekat dalam karya-karya
mereka—baru muncul dan “dideklarasikan” oleh Danarto, Putu Wijaya, Sutardji,
Romo Mangun, atau Budi Dharma? Allen berargumen bahwa sastra berwacana
posmodern di Indonesia telah dimulai dengan lahirnya karya-karya Iwan Simatupang
yang eksistensialis. Allen menyebut karya sastra jenis ini (dan beberapa karya Putu
Wijaya dan Romo Mangun) sebagai modernitas-batas atau modernisme akhir
(2004:179). Atau, jika boleh disebut, sebagai tonggak lahirnya posmodernisme
(awal). Allen, menengarai adanya anakronisme kreatif yang juga menjadi ciri dari
wacana posmodernisme.
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD

!
W

W
O

O
N

N
y

y
bu

bu
to

to
k

k
lic

lic
C

C
w

w
m

m
w w
w

w
o

o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k

2. Sedikit Mempertanyakan Anakronisme Kreatif dalam Sastra (Daerah)


Indonesia
Telah diketahui, bahwa anakronisme kreatif merupakan salah satu indikasi
apakah suatu wacana itu berperspektif posmodernis atau tidak. Anakronisme kreatif
ini sebenarnya merupakan implikasi dari ciri sifat “main-main” dan parodi dari
wacana posmodern. Metafiksi dalam historiografi membentuk secara parodi menuju
dunia yang interteks, memperebutkan batas-batas yang tak perlu lagi dipertanyakan
(Hutcheon, 1988:127).
Ciri anakronisme kreatif ini sebenarnya sudah ada sejak lama dalam dunia
sastra daerah yang menjadi bagian dari sastra Indonesia. Naskah Sejarah Melayu
adalah salah satu contoh karya kronik-sejarah yang di dalamnya banyak
menyuguhkan anakronisme kreatif. Dahulu, orang menilai Sejarah Melayu sebagai
sebuah “catatan sejarah”. Kaum akademik Barat menilai bahwa Sejarah Melayu
tidak bisa digunakan sebagai sumber sejarah karena di dalamnya banyak
“penyelewengan” dan “kemustahilan”. Seperti: legalitas kekuasaan raja yang diakui
dan meliputi dunia dan akhirat, atau anak yang terlahir dari buluh bambu dll. Ada
kesan bahwa Sejarah Melayu itu mengada-ada. Meskipun, pada akhirnya Umar
Junus mencoba meluruskan pandangan keliru, yang menganggap Sejarah Melayu
itu sebagai sumber sejarah. Junus meletakkan Sejarah Melayu dalam porsinya
sebagai sebuah karya sastra, yang syah-syah saja, jika menghadirkan “kebenaran
sejarah” di dalamnya –dalam perspektif pengarangnya. Junus kemudian
mengatakan (1984:21) bahwa Sejarah Melayu mengandung unsur kesejarahan
(historical scale), fiksi (fictionale scale), dan khayal (legendary scale). Kronik sejarah
yang diramu, anakronisme kreatif itu seperti meniadakan batas-batas antara yang
nyata dan semata-mata rekaan belaka.
Apa maksudnya? Wacana posmodernisme yang ditawarkan para pemikir
Barat itu sebenarnya bukan suatu hal yang baru dalam perjalanan sejarah sastra di
negara Indonesia ini; karena sebenarnya kita “pernah” melampaui ciri itu. Hanya
saja, ketika kita “mengekor” pada teori-teori Barat dan “menerima” batasan-batasan
yang ‘tradisional’, ‘modern’, dan ‘posmodern’ itu kita menjadi seperti “tergopoh-
gopoh” untuk mengikutinya. Padahal, itu tak lebih dari ciri dan sifat estetika sastra itu
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD

!
W

W
O

O
N

N
y

y
bu

bu
to

to
k

k
lic

lic
C

C
w

w
m

m
w w
w

w
o

o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k

sendiri. Bahwa sastra, memiliki sifat yang dinamis. Karena sastra, selalu berada
dalam tegangan antara yang konvensional dan inovasional (Teeuw, 2003)
Selain itu, interpretasi subjek pembaca terhadap keposmodernan itu
sebenarnya tak lain adalah (lagi-lagi) soal interpretasi. Sastra yang posmodern
menurut satu individu belum tentu posmodern bagi individu lainnya. Bukankah tidak
ada kebenaran mutlak? Dan, bukankah posmodern sangat menjunjung tinggi
ketidakberadaan kebenaran yang mutlak itu? Bukankah posmodern sangat
menghargai pluralitas makna sesuai latar sosial dan kultural yang mempengaruhi
para pembacanya dalam menyusun makna karya sastra itu? Sekali lagi, ini adalah
soal interpretasi….
3. Wacana Posmodernisme dan Karakteristiknya
Bahasa memegang peranan yang penting. Bahasa merupakan cara
mengalami dan memahai kenyataan tampil kepada kita. Melalui bahasa, kita
mentransformasikan dunia (Sugiharto, 1996:99). Persoalan bahasa ini memang
sangat menarik banyak pakar. Di antaranya adalah Jacques Derrida, tokoh
posstrukturalisme.
Bertolak dari para pemikir strukturalisme, Derrida menggali kembali
kemungkinan “kekeliruan” yang telah dilakukan oleh kaum strukturalis yang
memandang makna sebuah teks selalu objektif, bukan subjektif. Pada akhirnya,
Derrida menemukan bahwa representasi model map atau pemetaan (yang objektif,
yang pasti) itu berubah ke arah collage meaning (makna yang bersusun, beragam,
bersifat subjektif dan indifinitif) (Bressler, 1999:118).
Difference inilah, yang ditekankan oleh Derrida. Bahwa keberagaman itu
hadir karena adanya latar belakang sosial-kultural-pemahaman dari berbagai subjek
yang juga beragam, difference inilah satu-satunya keaslian makna (Belsey,
2002:84). Difference memungkinkan kita untuk memahami satu sama lain.
Pemikiran Derrida ini mengantarkan dunia pada cara berpikir yang disebut
posstrukturalis (ada yang menamainya dekonstruksi, dan posmodernisme).
Beberapa aspek pemikiran posmodernisme antara lain adalah: (1) kecenderungan
untuk mereduksi semua klaim kebenaran sampai level retorika, strategi narasi;
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD

!
W

W
O

O
N

N
y

y
bu

bu
to

to
k

k
lic

lic
C

C
w

w
m

m
w w
w

w
o

o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k

(2) adanya konsep permainan bahasa; (3) terjadinya pergeseran ke arah


sublim (Sarup, 2003:267).
McHale menegaskan bahwa pergeseran dari yang modern ke posmodern ini
antara lain ditandai dengan adanya pergeseran dari “yang dominan”. Atau, dari yang
epistemologis ke ontologis (1986:9). McHale kemudian memberikan pemaparan
mengenai beberapa ciri dari fiksi yang posmodernis. Beberapa ciri di antaranya
adalah kebanalan, kenyataan yang ditandingkan dengan anakronisme kreatif,
fantastis historis, sejarah apokrafis, konstruksi dunia antara yang terjadi dan yang
ada, hipertropi dan alegori, heteroglosia dan karnival (lebih lengkap baca
Postmodernist Fiction, McHale:1986). Metafiksi dalam historiografi ini membentuk
parodi yang menuju pada kaitan interteks antara “dunia” dan seni, memperebutkan
batas-batas yang mulai mengabur dan sangat sulit untuk memisahkan keduanya
(Hutcheon, 1988:127)
McHale menambahkan bahwa dunia yang dibangun dalam sebuah teks pada
hakikatnya adalah sebuah intertekstualitas. Intertekstualitas itu sendiri disebabkan
karena adanya perbedaan makna dan pengetahuan. Karenanya, teks tidak mungkin
hanya bermakna tunggal (Bressler, 1999:129), melainkan memiliki kaitan
intertekstualitas dengan teks yang lain. Makna teks sendiri hanya akan diperoleh jika
melihat hubungan keterkaitan dengan teks lainnya. Selain itu, makna sebuah teks
bersifat ilusif, dinamis, dan berubah-ubah.

4. Djenar Maesa Ayu, Sastrawan Perempuan yang Posmodernis(?)


Jika Allen dan Aveling (kebetulan) lebih menyukai mengambil beberapa
contoh karya berwacanakan posmodernis yang dihasilkan oleh sastrawan laki-laki
Indonesia, ini bukan berarti bahwa sastrawan Indonesia yang berwacana
posmodernis adalah minus sastrawan perempuan. Ada beberapa sastrawan
perempuan yang juga membawa ciri keposmodernitasan dalam karya-karya yang
dihasilkannya. Sebutlah misalnya Ayu Utami dalam novelnya Saman dan Larung,
Dewi Sartika dalam Dadaisme, Nova Riyanti Yusuf dalam Mahadewa Mahadewi,
Dewi “Dee” Lestari dalam Supernova, dan Djenar Maesa Ayu dalam beberapa
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD

!
W

W
O

O
N

N
y

y
bu

bu
to

to
k

k
lic

lic
C

C
w

w
m

m
w w
w

w
o

o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k

cerpennya. (catatan: makalah ini kemudian memfokuskan kajiannya pada cerpen-


cerpen Djenar saja)
Djenar boleh dikatakan sebagai seorang sastrawan perempuan yang karir
kepenulisannya boleh dikatakan “instan”. Mengawali kesuksesan cerpennya, Lintah (
dimuat di harian Kompas pada 27 Mei 2001), cerpen-cerpen Djenar kemudian
banyak muncul di berbagai harian surat kabar. Bahkan, cerpen Waktu Nayla
kemudian dimasukkan dalam antologi Cerpen Pilihan Kompas 2003 dan dipilih
sebagai cerpen terbaik!! Cerpennya yang berjudul Menyusu Ayah juga dinyatakan
sebagai cerpen terbaik Jurnal Perempuan 2002 dan diterjemahkan Richard Oh
dalam bahasa Inggris dengan judul Suckling Father.
Djenar dapat dibilang sebagai seorang sastrawan yang cukup produktif.
Tahun 2002, dia meluncurkan kumpulan cerpen perdananya, Mereka Bilang Saya
Monyet! yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (2002). Kumpulan
cerpennya ini juga telah diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris oleh penerbit Metafor
(They Say I’m Monkey!). Konon, cerpen ini juga tengah dipersiapkan untuk film layar
lebar dengan judul sama, di mana Djenar bertindak sekaligus sebagai penulis
scenario dan sutradara. Tahun 2005 lalu, Djenar melahirkan novel perdananya,
Nayla.
Buku kumpulan cerpen kedua Djenar yang juga mendulang sukses adalah
Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) (2005). Dalam dua hari, kumpulan cerpen
ini telah mengalami cetak ulang setalah buku itu diluncurkan pada bulan Februari
2005. Kumpulan cerpen ini juga berhasil menyabet penghargaan 5 besar
Khatulistiwa Literary Award 2004.
Dari pembacaan sementara yang dilakukan terhadap cerpen-cerpen Djenar –
baik yang terdapat dalam Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) maupun Mereka
Bilang Saya Monyet!- penulis menemukan bahwa ciri wacana posmodern ternyata
juga dijumpai dalam karya-karya Djenar tersebut. Dari 11 cerpen yang terdapat
dalam Mereka Bilang Saya Monyet!, 6 cerpen di antaranya menunjukkan ciri
keposmodernitasan. Sedangkan dari 11 cerpen yang terdapat dalam Jangan Main-
main (dengan Kelaminmu), 10 di antaranya menunjukkan ciri keposmodernan.
Dengan demikian, Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) dipilih sebagai subjek
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD

!
W

W
O

O
N

N
y

y
bu

bu
to

to
k

k
lic

lic
C

C
w

w
m

m
w w
w

w
o

o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k

kajian karena kumpulan cerpen inilah yang paling banyak menyajikan ciri
posmodern. Wacana posmodern itu antara lain terdapat dalam cerpen “Jangan
Main-main (dengan Kelaminmu)”, “Mandi Sabun Mandi”, “Moral”, “Menyusu Ayah”,
“Cermin”, “Saya adalah Seorang Alkoholik”, “Staccato”, “Saya di Mata Sebagian
Orang”, “Penthouse 2601”, dan “Payudara Nai Nai”. Ciri posmodern cerpen-cerpen
itu antara lain ditunjukkan dengan adanya ekses (ekshibisionisme leksikal dan
pengulangan bunyi), permainan (kebanalan; narasi yang berfantasi), parodi, dan
pluralitas.
a. Ekses
Bentuk ekses yang sering dijumpai dalam kumpulan cerpen “Jangan Main-
main (dengan Kelaminmu)” adalah ekshibisionis leksikal dan pengulangan bunyi-
bunyian. Djenar, seperti yang terlihat dalam beberapa cerpennya, “Jangan Main-
main (dengan Kelaminmu)”, “Menyusu Ayah”, “Cermin”, “Saya Seorang Alkoholik”,
“Staccato”, “Saya di Mata Sebagian Orang” sangat kental akan ekshibisionis
leksikalnya. Djenar mengulang-ulang kata untuk mendapatkan efek imaji dari
pengulangan kata-kata yang dipilihnya.
Dalam “Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)”, Djenar cukup mengulangi
kata-kata yang telah dia terakan pada masing-masing tokoh. Djenar cukup
mengganti persona tokoh-tokohnya tanpa menyebutkan siapa yang berbicara.
Namun efek dari pengulangan kata yang beruntun ini sangat fantastis. Masing-
masing bisa mengungkapkan apa yang dirasakan, dipikirkan, dilakukan si tokoh
dengan “hanya” melalui pengulangan kata-kata. Teknik seperti ini, belum pernah
dilakukan oleh sastrawan lainnya. Djenar, berhasil menemukan inovasinya yang
brilian!
Saya heran, selama lima tahun kami menjalin hubungan, tidak sekalipun
terlintas di kepala saya tentang pernikahan. Tapi jika dikatakan hubungan kami main-
main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas saya akan menolak.
Saya sangat tahu akan aturan main. Bagi pria semapan saya, hanya dibutuhkan
beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin. Berapa
banyak main-main yang bisa saya lakukan selama lima tahun?
Saya heran, selama lima tahun mereka menjalin hubungan, tidak sekalipun
terlintas di kepala mereka tentang pernikahan. Tapi jika dikatakan hubungan mereka
main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas mereka akan
menolak. Mereka sangat tahu akan aturan main. Bagi mereka, hanya dibutuhkan
beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin. Berapa
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD

!
W

W
O

O
N

N
y

y
bu

bu
to

to
k

k
lic

lic
C

C
w

w
m

m
w w
w

w
o

o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k

banyak main-main yang bisa mereka lakukan selama lima tahun? (“Jangan Main-
main (dengan Kelaminmu)”, hlm.1-2)

Djenar cukup mengganti kata saya (dari pelaku peselingkuh pria) menjadi
kata ganti persona pertama maha tahu saya (sahabat tokoh yang berselingkuh)
untuk menceritakan konflik-perselingkuhan sahabat lelaki dan perempuannya
(Djenar menggunakan kata ganti mereka). Untuk menunjukkan bahwa yang sedang
mendapatkan giliran berbicara adalah tokoh perempuan yang berselingkuh, Djenar
menggunakan kata ganti /bagi wanita secantik saya, hanya dibutuhkan waktu beberapa
jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin/ dst. Selebihnya, kata-kata
yang digunakannya adalah sama. Untuk menunjukkan bahwa yang sedang
berbicara adalah isteri lelaki yang berselingkuh itu, Djenar menempatkan tokoh isteri
itu sebagai orang maha tahu dengan menggunakan kata seperti /bagi pria dan wanita
secantik mereka, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga
main kelamin/.
Bentuk ekshibisionisme leksikal juga ditemui dalam cerpen berjudul
“Staccato” dan “Saya Seorang Alkoholik!”. Dalam “Staccato”, Djenar menggunakan
satu kata (kadang frase atau kalimat pendek) yang diulang-ulang –jika ada
semacam komentar dari “audiens” dalam cerpen itu. Untuk lebih jelasnya, dapat
dilihat dalam kutipan berikut ini.
Malam hari. Party. Kafe. Live music. Tamu saling diperkenalkan. Makanan ringan.
Obrolan ringan. Rokok. Whiskey. Tipsy. Laki-laki. Sensasi. Birahi. Yang mana?
Siapa? Malam hari. Party. Kafe. Live music. Tamu saling diperkenalkan. Makanan
ringan. Obrolan ringan. Rokok. Whiskey. Tipsy. Ada yang menarik hati. Lempar
umpan. Buka pembicaraan. Humor ringan. Pura-pura geli lantas tergelak sambil
menyentuh tangan sasaran. Umpan termakan. Konvensional amat sih? Konfliknya
mana? Malam hari. Party. Kafe. Live music. Tamu saling diperkenalkan. Makanan
ringan. Obrolan ringan. Rokok. Whiskey. Tipsy. Ada yang menarik hati. Lempar
umpan. Buka pembicaraan. Humor ringan. Pura-pura geli lantas tergelak sambil
menyentuh tangan sasaran. Umpan termakan. Tapi…saya sudah tidak sendiri lagi.
Saya istri. Punya suami. (“Staccato”, hlm. 65)

Kalimat pendek (kadang hanya terdiri dari satu subjek, objek, predikat saja
atau frase saja) yang diulang-ulang itu terus dilakukan oleh Djenar. Tokoh dalam
cerpen itu seolah-olah “melakukan sesuatu”. Tapi, yang dilakukannya tak lain
hanyalah (seperti orang yang) bergumam dan berimajinasi. Seolah-olah dia beranjak
dari dunianya, namun sebenarnya dia hanya berputar-putar dalam imajinasinya.
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD

!
W

W
O

O
N

N
y

y
bu

bu
to

to
k

k
lic

lic
C

C
w

w
m

m
w w
w

w
o

o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k

Namun, pengulangan kata yang dilakukan secara terus-menerus (dan hanya


ditambahi atau “bergerak alurnya” jika ada komentar dari “audiens dalam cerpen itu”)
seolah-olah membawa pembaca pada sebuah alur, padahal tidak. “Alur” itu hanya
ada dalam gumaman sang tokoh.
Eksperimen leksikal yang inovatif juga dilakukan oleh Djenar dalam
cerpennya yang berjudul “Saya Seorang Alkoholik!”. Dalam cerpen itu, Djenar
membalikkan semua peristiwa yang sudah dipaparkannya pada bagian awal cerpen
itu. Cerita kembali dimundurkan –sesuai dengan urutan peristiwa yang dialami sang
tokoh. Kutipan berkut ini diambil pada bagian akhir cerpen, yang tak lain merupakan
pengulangan peristiwa dan kata-kata yang terdapat dalam bagian awal cerpen.
Djenar, sekali lagi sangat berhasil dalam memainkan kata-kata.
Saya berjalan mundur melewati pertokoan. Pertokoan bergerak maju. Saya
bergegas mundur. Saya berlari kecil mundur. Saya berlari mundur. Saya berlari
kencang mundur menuju sebuah gedung. Pintu gedung tertutup dan terbuka. Saya
berlari mundur masuk. Pintu gedung tertutup. Saya berlari mundur sepanjang koridor
gedung. Saya berlari masuk ke sebuah ruangan. Saya berlari mundur menuju salah
satu bangku kosong dari puluhan bangku yang diatur melingkar. (“Saya Seorang
Alkoholik!”, hlm 62)

Dalam cerpen “Menyusu Ayah”, Djenar lebih memanfaatkan kalimat yang


deklaratif. Seolah-olah, makna yang ingin disampaikan dalam cerpennya adalah
sebuah deklarasi belaka –pemberitahuan, yang terserah apakah akan dimasukkan
dalam hati atau tidak; dipertimbangkan atau tidak; diperlukan atau tidak. Kalimat-
kalimat pendek itu tak lebih sekedar menjadi deklarasi dari dunia yang dilihat,
dijalani dari kacamata tokoh aku --yang diceritakan menyusu ayahnya-lelaki, bukan
ibunya-perempuan.
Djenar juga berkali-kali mengulang pernyataan: /Nama saya Nayla. Saya
perempuan, tapi saya tidak lebih lemah dari laki-laki. Karena, saya tidak mengisap putting
payudara ibu saya. Saya mengisap penis ayah. Dan saya tidak menyedot air susu ibu. Saya
menyedor air mani ayah./ Pengulangan satu paragraf itu dijumpai tiga kali: pada
bagian awal, tengah, dan akhir cerpen. Apa yang menjadi efek daripadanya adalah,
adanya intensitas dari penekanan tokoh Nayla yang keadaannya tidak lebih lemah
daripada laki-laki, karena dia menyusu penis ayah, bukan air susu ibu. Nayla
perempuan yang tidak lemah daripada laki-laki, karena dia menyedot air mani ayah!!
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD

!
W

W
O

O
N

N
y

y
bu

bu
to

to
k

k
lic

lic
C

C
w

w
m

m
w w
w

w
o

o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k

10

Dalam cerpen “Cermin”, Djenar mengulang-ulang kata putrinya untuk


menguatkan gambaran perasaan seorang ibu yang kehilangan anaknya.

Sebelum putrinya ditemukan satpam sebuah hotel berbintang lima dengan kondisi
sangat mengenaskan setelah terjun dari lantai dua puluh tiga –putrinya yang manis,
putrinya yang pendiam, putrinya yang penurut, putrinya yang tak bermasalah, putri
yang sangat dibanggakan, putri yang sangat diharapkan, putri yang diberi nama
Puteri ketika lahir dengan harapan kehidupannya elak bak putri-putri, damai,
sejahtera, bahagia dan berlimpah cinta. (“Cermin”, hlm. 45-46)

Cerita dalam cerpen ini seolah-olah menjadi kabur, terutama ketika tokoh ibu
berlama-lama menatap cermin pemberian putrinya sebelum bunuh diri dengan
kondisi dirinya yang (tiba-tiba) sudah dalam proses bunuh diri: meloncat dari lantai
gedung ke dua puluh tiga dan menatap dirinya di kaca-kaca jendela gedung yang
dilaluinya. Cerita dalam cerpen ini “bermain-main” dalam imajinasi tokoh ibu. Hingga,
pada akibatnya batas dunia “yang ada dalam kepala ibu” dengan “realitas dunia”
menjadi kabur. Tokoh ibu berkali-kali masuk dan keluar dari dunia yang satu ke
dunia yang lainnya. Hingga pada akhirnya, hidup tokoh ibu itu berakhir tragis seperti
anaknya.
Pengulangan bunyi vocal /i/ dalam “Staccato” memberikan efek asonansi
yang cukup efektif. Teks-teks itu menyajikan sebuah semangat yang dinamis dan
menggebu-gebu, sesuai dengan isi teks –meski pada akhir cerpen ini diceritakan
suami si tokoh tetap tak bergeming untuk menyentuhnya; setidaknya kedinamisan
tokoh aku ini tetap terpelihara.
Kopi. Roti. Lari pagi. Gosok gigi. Mandi. Wangi. Berahi. Rebah di sebelah suami.
Kecup kedua mata dan pipi. Berbisik manja minta disetubuhi. Matanya terbuka lantas
terpejam lagi. Ia berbalik badan membelakangi. Kesal, tapi dinetralisir kembali. Lagi,
ciuman dihujani. Perlahan tapi pasti. Pakaian mulai dilucuti. Hingga polos dari ujung
kepala sampai ujung kaki. Suami tetap tidur tidak ereksi. Tiba-tiba ingat wejangan
teman kalau laki-laki suka penisnya dijilati. Tarik napas panjang, beranikan diri.
Kalau pesing? Tak masalah yang penting barangnya berdiri. (“Staccato”, hlm. 71)

Ekshibisionisme leksikal, terutama pada pengulangan kata-kata kunci dalam


cerpen “Saya di Mata Sebagian Orang” –seperti munafik, pembual, sok gagah, sakit
jiwa, dan murahan— banyak dilakukan Djenar. Pada mulanya, kata-kata itu
merupakan tuduhan yang dilemparkan oleh “sebagian banyak orang” kepada tokoh
aku. Selanjutnya, kata-kata kunci itu dimanfaatkan sebagai penegasi dari tuduhan-
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD

!
W

W
O

O
N

N
y

y
bu

bu
to

to
k

k
lic

lic
C

C
w

w
m

m
w w
w

w
o

o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k

11

tuduhan yang dilayangkan sebagian orang kepada tokoh aku. Lagi-lagi, Djenar
bermain dengan pengulangan kata-kata. Kutipan berikut ini dapat menggambarkan
fungsi pengulangan kata-kata kunci yang terdapat dalam cerpen “Saya di Mata
Sebagian Orang”.
Sebagian orang menganggap saya munafik. Sebagian lagi menganggap
saya pembual. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah. Sebagian lagi
menganggap saya sakit jiwa. Sebagian lagi mengaggap saya murahan!
Padahal saya tida pernah merasa munafik. Tidak pernah merasa membual.
Tidak pernah merasa sok gagah. Tidak pernah merasa sakit jiwa. Tidak pernah
merasa murahan! (“Saya di Mata Sebagian Orang”, hlm. 73)

b. Permainan (kebanalan; narasi yang berfantasi)


Ciri wacana posmodernis berikutnya yang terdapat dalam kumpulan cerpen
Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) adalah permainan, yakni adanya
kebanalan. Dalam kebanalannya ini, wacana-wacana posmodernis menyajikan
dunia-dunia yang bertabrakan –dunia yang masuk akal bertabrakan dengan dunia
yang secara paten tidak masuk akal. Dunia yang penuh dengan magic realism.
Kebanalan ini antara lain dapat dijumpai dalam cerpen “Mandi Sabun Mandi”
dan “Penthouse 2601”. Dalam cerpen “Mandi Sabun Mandi”, benda mati
dipersonifikasikan menjadi tokoh yang juga bisa mengamati, melihat dunia. “tokoh-
tokoh” ini antara lain adalah Meja dan Cermin yang terdapat dalam penginapan
tempat pasangan selingkuh itu memadu kasih.

“Pasti mereka bukan suami istri. Hei Meja, aku tak sok tahu, aku memang
tahu. Tanpa aku, motel ini tak akan laku. Kau tahu Meja, motel yang tak ada
cerminnya itu kuno! Apa? Variasi? Bisa saja. Tapi variasi seperti itu bukan variasinya
suami istri, Meja. Kau tak percaya?............................................................................
“Apa? Kamu tak salah lihat? Kalau begitu kali ini aku kalah taruhan, Meja.
Ternyata ia tak takut menghamili perempuannya. Mungkin benar, mereka suami istri
yang sedang mencari variasi.”
“Kamu tak kalah taruhan, kamu benar, Cermin.”
“Hei, apa maksudmu, Meja?” (“Mandi Sabun Mandi”, hlm, 17-18)

Percakapan antara Meja dan Cermin ini ada dalam dunia mereka sendiri, dan tokoh
laki-laki dan perempuan yang tengah bercinta itu juga berada dalam dunianya
sendiri. Mereka tidak mengetahui atau menyadari jika aktivitas seksual mereka
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD

!
W

W
O

O
N

N
y

y
bu

bu
to

to
k

k
lic

lic
C

C
w

w
m

m
w w
w

w
o

o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k

12

diamati oleh mebel-mebel yang “dihidupkan” oleh Djenar. Dalam satu “dunia”
(kamar) kedua jenis tokoh, benda mati vs benda hidup, dipertmukan.
Dunia benda mati yang bertabrakan dengan dunia manusia juga terdapat
dalam cerpen “Penthouse 2601”. Tokoh dalam cerpen ini adalah (seorang)
penthouse 2601. Sama seperti manusia, Penthouse 2601 juga bisa merasakan,
melihat, dan memikirkan fenomena-fenomena yang dia jumpai melalui kacamatanya.
Penthouse 2601 menemukan kenyataan bahwa dirinya tidak diperlakukan dengan
benar oleh orang-orang yang menempatinya.
Kebanalan tokoh Penthouse 2601 terlihat pada kutipan berikut ini.
Aku bukan seperti kamar-kamar lain bernama superior, deluxe, suite, regency suite,
presidential suite, yang berdesak-desakan di lantai bawah. Mereka bertetangga.
Jarak antara satu kamar dengan yang lain begitu dekat, sehingga kapan saja mereka
dapat berbincang-bincang, mengerling, berpacaran, dan menikah. Tidak seperti aku
yang terletak di lantai tertinggi, lantai dua puluh enam. Hanya ada dua kamar
sejenisku pada satu lantai, namun kami sangat berjauhan, sejauh mataku
memandang, di sepanjang koridor hanya ada aku. (“Penthouse 2601”)

Tokoh Meja, Cermin, dan Penthouse 2601 merupakan kreasi imajinatif


Djenar. Tokoh-tokoh itu bukan manusia, melainkan benda mati yang sekedar
dihidupkan saja. Benda mati yang hanya bisa “melihat” bagaimana aktivitas manusia
di luar dunia mereka, dunia yang mereka hadapi, dan sikap benda mati ketika
disodori dunia yang “bertentangan” dengan “kebendamatian” mereka.
Dunia yang bertabrakan ditemui dalam cerpen “Payudara Nai Nai”. Dalam
cerpen ini, dunia ‘Nai Nai yang berpayudara besar’ dengan dunia ‘Nai Nai yang
berpayudara rata’ bercampur baur. Pemisah-batas antara dua dunia itu hanya ada
pada lamunan Nai Nai saja. Demikian pula dengan kemenangan-kemenangan yang
diperoleh Nai Nai. Kemenangan itu dia peroleh dalam dunia fantasi yang
dibangunnya.

c. Pluralitas
Wacana posmodernisme sangat menghargai bentuk-bentuk pluralitas.
Bentuk pluralitas yang jamak dijumpai dalam kumpulan cerpen Jangan Main-main
(dengan Kelaminmu) terutama berkaitan dengan pluralitas seksual. Tokoh-tokoh
yang bermain dalam kumpulan cerpen ini sebagian besar adalah mereka yang
memiliki orientasi seksual yang tidak normatif. Heterogenitas dan homogenitas relasi
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD

!
W

W
O

O
N

N
y

y
bu

bu
to

to
k

k
lic

lic
C

C
w

w
m

m
w w
w

w
o

o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k

13

seksual tidak terlalu diperhatikan. Demikian pula dengan tubuh mereka yang
terlepas bebas dari segala norma-nilai kemasyarakatan. Tokoh-tokoh dalam
kumpulan cerpen ini adalah gambaran dari pluralitasnya relasi-relasi seksual. Antara
yang hetero dan homogen. Antara yang normatif dan tidak normatif. Antara yang
berhubungan syah dengan selingkuh. Antara yang melakukan aktivitas seksual
secara swadaya maupun dengan partner seksualnya. Pluralitas perilaku seksual,
sangat beragam dalam cerpen ini.
Dalam cerpen “Menyusu Ayah”, tokoh aku mempunyai relasi seksual dengan
tokoh ayah. Tokoh aku juga berhubungan seksual dengan teman-teman sebayanya
dan teman-teman ayahnya. Tidak ada ketertekanan, yang ada hanya kebebasan
atas penguasaan tubuhnya. Titik balik terjadi ketika tokoh aku dijamah payudara dan
penis pasangannya memasuki vagina –organ yang menurutnya hanya milik dia dan
ibunya saja. Selain itu, tokoh perempuan dalam cerpen ini merasa vaginanya belum
pernah dimasuki jari lelaki lain (ketika tokoh ini kencan dengan lelaki yang tak lain
adalah teman ayahnya, lelaki itu memasukkan jarinya ke vaginanya), kecuali
tangannya sendiri (dengan tangannya sendiri inilah sang tokoh lebih merasa
nyaman dan aman!!). Tokoh perempuan dalam cerpen ini sangat menikmati aktivitas
seksualnya, baik yang dilakukan secara mandiri maupun dengan mitranya (meski
ketika berhubungan seks dengan mitranya ini sang tokoh lebih senang jika hanya
menyusu penisnya saja).
Hubungan-hubungan seksual yang tidak normatif lainnya ditemui dalam
cerpen “Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)”, “Mandi Sabun Mandi”, “Cermin”,
“Staccato”, “Saya di Mata Sebagian Orang”, “Penthouse 2601”, dan “Payudara Nai
Nai”. Tidak ada satu pun tokoh pelaku hubungan seksual yang tidak normatif itu
menghukum dirinya atau dihukum ornag lain –kecuali dalam cerpen “Saya di Mata
Sebagian Orang”. Dalam cerpen itu, tokoh tidak merasa dirinya terhukum dengan
penyakit HIV/AIDS yang dideritanya. Sebaliknya, orang-orang merasa itu adalah
hukuman akibat perilaku seksualnya yang menyimpang.
Jika dicermati, hampir semua tokoh yang melakukan hubungan seksual
secara bebas itu menikmati perilaku seksualnya –yang menurut sebagian besar
mayarakat adalah tidak normatif, menyimpang dari tatanan nilai dan moral
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD

!
W

W
O

O
N

N
y

y
bu

bu
to

to
k

k
lic

lic
C

C
w

w
m

m
w w
w

w
o

o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k

14

masyarakat. Semua pelaku-pelaku seksual itu terlihat sangat menikmati aktivitas


seksual mereka. Mereka tidak terlihat menutup-nutupi atau bahkan merasa
canggung.
Dalam dekonstruksi sendiri, kaum dekonstruksionis sangat memperhatikan
binary opposition. Tujuannya tak lain adalah untuk melihat ideologi atau paradigma
sosial kultural yang mendasarinya. Oposisi biner itu kemudian dibalik hirarkinya,
untuk menemukan makna yang tidak absolut. Inilah yang sedang dilakukan oleh
Djenar. Dia membalikkan hirarki antara perilaku seksual yang normatif dan tidak
normatif. Hasilnya, perilaku seksual yang tidak normatif pun dapat memberikan
kepuasan kepada para pelakunya. Mereka tidak merasa bersalah, namun justru
menikmati dan melihat aktivitas seksual itu sebagai sebuah kegiatan yang lumrah
dan dapat dilakukan oleh siapa saja –tanpa melihat jenis kelamin, lawan main, atau
legalitas hubungannya. Memang, dalam perspektif posmodernisme, tubuh tak lain
merupakan bejana –wadah seks saja. Tubuh, melihat seks hanya sebagai
kebutuhan yang tingkatannya sama dengan makan dan minum. Seks dalam
perspektif posmodernisme merupakan sebuah aktivitas yang tidak hanya berupa
aktivitas untuk menjaga kelangsungan generasi manusia. Seks dalam perspektif ini,
dikembalikan pada fungsinya yang semula: yakni memberikan kenikmatan kepada
para pelakunya. (bacaan lebih lanjut mengenai seksualitas dalam perspektif
posmodernisme dapat dibaca pada buku History and Sexuality I & II karya Michael
Foucault).
d. Parodi
Hanya dalam satu cerpennya, “Moral” inilah Djenar sempat bermain-main
secara satire. Moral dalam cerpen ini tak lain hanyalah sebuah barang yang tidak
berharga. Moral harganya berada di bawah harga rok. Moral adalah barang
dagangan yang tak laku, bahkan harus diobral dahulu supaya orang-orang mau
membelinya! Saking tak berharganya moral ini, si tokoh aku merasa sayang untuk
mengeluarkan uangnya demi parkir ketimbang membeli moral.

Kemarin saya melihat moral di etalase sebuah took. Harganya seribu rupiah. Tapi
karena saya tertarik dengan rok kulit mini seharga satu juta sembilan ratus sembilan
puluh delapan ribu delapan ratus rupiah, akhirnya saya memutuskan untuk kembali
menunda membeli moral. Sementara, uang di dompet saya pas dua juta rupiah.
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD

!
W

W
O

O
N

N
y

y
bu

bu
to

to
k

k
lic

lic
C

C
w

w
m

m
w w
w

w
o

o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k

15

Bagaimana saya harus membayar parker yang satu jamnya seribu rupiah plus pajak
pemerintah dua puluh persen menjadi seribu dua ratus rupiah? (“Moral”, hlm. 25).

Secara parodi dan satire, Djenar melihat naik pamornya moral yang dikenakan oleh
orang-orang yang menghadiri pesta. Mereka mengenakan moral sebagai hiasan.
Lucunya, mereka mengenakan moral sebagai hiasan setelah sebelumnya harga
moral diobral lima ribu tiga di gedung DPR!!
Namun setibanya kami di mulut tangga, begitu terhenyaknya kami melihat
pemandangan yang ada. Semua tamu di ruangan itu memakai moral. Ada yang
dipasang sebagai hiasan kepala. Ada yang memakai sebagai penghias dada. Ada
yang memakai sebagai manset. Bahkan ada yang menghiasi seluruh bajunya. Kami
saling berpandang-pandangan, tidak ada dari kami yang memakai moral. Betapa
kecewanya saya yang tidak jadi membeli moral kemarin hingga pagi tadi. Apalagi
ketika pasangan saya berbisik, “Moral diobral lima ribu tiga di gedung DPR hari ini.
(“Moral”, hlm. 33)

Keseluruhan narasi dalam cerpen “Moral” itu tak lain merupakan sindiran
terhadap moralitas mayarakat yang mulai dinilai rendah. Masyarakat dinilai
sebagai masyarakat yang hipokrit; mengenakan atribut moral sebagai hiasan –
itupun harus diobral terlebih dahulu supaya mereka mau mengenakannya. Harga
moral itu sangat rendah dan tak ada nilaninya.

5. Seksualitas dalam Cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu: Sebuah Mahakarya


nan Estetik

Djenar Maesa Ayu adalah satu dari sekian banyak sastrawan perempuan
Indonesia yang banyak mengeskploitasi persoalan seks. Namun, ini bukan berarti
bahwa karya-karya Djenar (atau kebanyakan sastrawan perempuan) itu dapat
dituding sebagai sebuah karya yang cabul, pornografis.
Djenar, hanya berusaha untuk jujur. Apa yang dilakukannya dalam cerpen-
cerpennya itu tak beda dengan apa yang telah dilakukan Gustave Flaubert dalam
novelnya, Madame Bovary. Gustave dan Djenar hanya mencoba untuk jujur dalam
merefleksikan kehidupan seksualitas mayarakat. Dan bahwa praksis seksualitas
yang kebanyakan tidak normatif dalam cerpen-cerpen Djenar itu juga tidak
mengada-ada.
Kiranya tidak perlu ditutup-tutupi lagi bahwa sebagian masyarakat kita
sekarang ini tidaklah sesuci atau selugu seperti yang dibayangkan oleh sekolompok
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD

!
W

W
O

O
N

N
y

y
bu

bu
to

to
k

k
lic

lic
C

C
w

w
m

m
w w
w

w
o

o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k

16

orang yang merasa telah berjalan dalam koridor keagamaan. Media massa –baik
cetak maupun elektronik seyogyanya membuka mata kita dengan praksis-praksis
seksual yang bagi sebagian orang mungkin dianggap cukup nyeleneh itu. Bahkan,
Moammar Emka juga “melaporkan” praksis-praksis seksual di lingkup metropolitan
(demikian pula Djenar yang mengambil latar kehidupan orang-orang metropolitan
–yang biasanya kelas menengah ke atas-- itu dalam cerpen-cerpennya) dalam
bukunya yang berjudul Jakarta Undecover (2004). Dalam bukunya itu, Emka
mencontohkan beberapa praktik seksual yang undecovered, seperti: nude party,
“seks bulan madu Pajero goyang”, truth and dare, “layanan ciak susu a la body
massage Yogya, dll yang dilakukan oleh sebagian kalangan menengah-elit di
Jakarta.
Mengapa Djenar menuliskan kata-kata, frase, atau kalimat yang
menggambarkan aktivitas seksual dengan cara yang “vulgar” atau kasar? Apakah
maksudnya untuk menggugah birahi? Apakah itu praksis pornografis yang
dibungkus kata “sastrawi”? Apakah seksualitas yang hadir dalam cerpen-cerpennya
itu hanya sekedar memenuhi tuntutan pasar saja –kebetulan buku-buku sastrawan
perempuan yang lahirnya bersamaan dengan karya Djenar banyak membawa ciri
yang sama? Apakah mempunyai nilai estetik -sekaligus etik?
Pertanyaan-pertanyaan itu, sungguh, sangat sulit ditemukan jawabannya
secara pasti dan “benar”. Setiap orang –pembaca- memiliki persepsinya sendiri-
sendiri. Bagi mereka yang menggunakan kacamata agama, mungkin akan langsung
memberikan penilaian bahwa karya Djenar itu sangat vulgar, porno, bahkan mungkin
bisa saja kemudian karya-karya Djenar akan dijegal karena dinilai membuat moral
mayarakat menjadi lebih rendah --karena menghadirkan karya-karya yang
membicarakan soal syahwat dengan terang-terangan.
Tapi, seksualitas dalam karya-karya Djenar bukan hanya persoalan tabu-
tidak tabu, haram-halal, porno-tidak porno. Ini adalah persoalan estetika. Mengapa
Djenar banyak menyoroti praksis seksualitas yang menyimpang? Mengapa harus
menggunakan kata-kata yang vulgar? Tidak bisakah menggunakan perumpamaan-
metafor?
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD

!
W

W
O

O
N

N
y

y
bu

bu
to

to
k

k
lic

lic
C

C
w

w
m

m
w w
w

w
o

o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k

17

Dalam bukunya Seks, Sastra, Kita, Goenawan Mohamad melihat ada tiga
pola sikap dari sastra Indonesia terhadap persoalan seks dan cara
penggambarannya. Pertama, karya-karya yang berusaha mempersoalkan sesk
tetapi tidak berani menggambarkannya. Harry aveling mempersoalkan seks itu
sebagai “mawar berduri”. Kedua, karya-karya yang mempersoalkan seks dan
menggambarkannya dengan cara “meneriakkannya dengan keras-keras”. Karya-
karya demikian mungkin digolongkan sebagai karya yang pornografis. Ketiga, karya-
karya yang mempersoalkan seks sebagai bagian dari kehidupan manusia yang
wajar dan menggambarkannya dengan cara yang wajar pula.
Pandangan ini tampaknya mendapat reaksi dari Faruk (2006:334).
Menurutnya, yang menjadi soal bukan lagi apakah sastra meneriakkan dengan
keras atau menyembunyikan persoalan seks dan aktivitas seksual. Melainkan,
seberapa jauh sastra mengancam keberadaan potensi fungsi individual seks dan
aktivitas seksual maupun fungsi sosialnya. Ancaman itu dapat berupa
penyembunyian ataupun bahkan peneriakan seks dan aktivitas seksual dengan
keras.
Seksualitas dalam cerpen Djenar, tidak bisa dimasukkan dalam kategori
Goenawan yang pertama. Dan, karya Djenar sangat tidak tepat jika dimasukkan
dalam kategori yang kedua, meski dia meneriakkan seks dengan lantang dalam
cerpen-cerpennya. Karya Djenar bukan karya yang pornografis! Seks dalam cerpen-
cerpennya bukan semata-mata untuk menggugah syahwat atau birahi pembaca.
Seks dalam cerpen Djenar merupakan simbol realitas seks masyarakat
(metropolis) dan kembali ditempatkannya seks dalam kerangka fungsinya yang
utama. Persoalan seks dalam kacamata Djenar bukan lagi persoalan agama dan
sosial: seks tidak hanya berfungsi melanggengkan dan memperbanyak keturunan
atau sebagai pewaris kekayaan keluarga.
Persoalan seks, dalam perspektif Djenar, adalah juga persoalan penguasaan
tubuh. Tokoh-tokoh dalam kumpulan cerpen ini tampak sangat menikmati apa yang
ada dalam tubuh mereka. Mereka, karena itu, sangat menikmati kebebasan untuk
melakukan aktivitas seksual yang mereka inginkan. Sebaliknya, tokoh-tokoh itu akan
merasa bahwa dirinya terjajah ketika praktik represi seks dilakukan oleh pasangan
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD

!
W

W
O

O
N

N
y

y
bu

bu
to

to
k

k
lic

lic
C

C
w

w
m

m
w w
w

w
o

o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k

18

mereka –yang dengan demikian dilakukan penjajahan atas tubuh mereka— seperti
yang terdapat dalam cerpen “Menyusu Ayah”.
Represi terhadap seksual manusia adalah penyebab bagi terjadinya agresi
dalam mayarakat dan perkosaan terhadap yang lemah. Herbert Marcuse menyebut
praktik seks bebas itu sebagai polymorphous perverse. Pertama, karena aneka
ragam praktik seksual itu disebut menyimpang, karena berlawanan dengan seks
yang wajar, karenanya juga bertennagan dengan norma-norma moral seks yang
mapan. Namun, di lain pihak, praktik seks yang tak kenal batas itu sesungguhnya
adalah kodrat dan hakikat seksual manusia itu sendiri. Menurut kodrat itu, manusia
tidak hanya akan menjadi jujur tapi juga otonom, dan terbebas dari penindasan
terhadap segala nalurinya. Tidak ada yang lebih benar dari keduanya. Yang benar
adalah bahwa keduanya adalah realitas yang selalu berada dalam ketegangan
dialektis.
Tampaknya, cerpen-cerpen Djenar tidak bisa dimasukkan dalam semua
kategori yang telah dibuat oleh Goenawan Mohamad. Seksualitas Djenar itu
hendaknya memang dilihat dari kacamata posmodernis, bukan modernis. Dalam
kacamata posmodernis, tubuh memang dilihat sebagai bejana seksualitas (baca
juga History and Sexuality Michael Foucault).
Kiranya, dapat kita memetik pelajaran dari Sindhunata (2003:29). Bahwa
bentuk-bentuk fragmentasi seksual itu, kalaupun bukan dosa, adalah penyakit
manusia yang harus disembuhkan, Ini kiranya berlawanan dengan perasaan yang
umumnya dipunyai manusia, yakni: makin kita merendahkan seks, demi alasan
rohani, makin kita menjadi suci. Padahal, kesucian tidak terjadi, karena merohanikan
seks, tapi merayakan seksualitas sebagai anugerah Sang Pencipta demi kepenuhan
manusia dalam kedua aspeknya, daging maupun rohnya. Maka jika seks menjadi
homeless, kesalahannya tidak terletak pada seksualitas itu sendiri, seakan ia adalah
berdosa, melainkan pada spiritualiras, yang mengasingkan diri darinya. Seks
menjadi terlalu mendaging, karena ia dijauhkan dari roh oleh roh (atau spritualitas)
sendiri. Karena itu, untuk membenahi “kesalahan tersebut”, spritualitaslah yang
pertama-tama harus membenahi diri.
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD

!
W

W
O

O
N

N
y

y
bu

bu
to

to
k

k
lic

lic
C

C
w

w
m

m
w w
w

w
o

o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k

19

6. Jangan Main-main (dengan Kelaminmu): Sebuah Praksis Posmodernisme


Awal
Kebanalan, parodi, pluralitas seksual, permainan-ekshibisionisme leksikal
dan bunyi cukuplah dapat digunakan sebagai dasar untuk mengatakan bahwa
cerpen-cerpen Djenar yang terkumpul dalam Jangan Main-main (dengan
Kelaminmu) ini adalah sebuah praksis dari wacana posmodernisme. Namun,
wacana posmodernisme Djenar ini belum dapat dikatakan sebagai wacana
posmodern yang matang. Meminjam istilah Pamela Allen, karakteristik wacana
Djenar dapat dikelompokkan sebagai posmodernisme awal, atau posmodernisme-
batas, atau modernisme-akhir. Mengapa? Karena cerpen-cerpen Djenar tidak
menunjukkan ciri keposmodernan yang utuh. Cerpen-cerpen itu bersifat posmodern
pada unsur-unsur terntentu saja. Djenar tak lagi mementingkan “apa yang dapat
ditangkap dari realita” itu. Djenar tak lagi bersinggungan dengan realisme murni
seperti yang menjadi ciri modernisme. Djenar telah bergerak ke arah ontologis.
Cerpen-cerpen Djenar mulai merambah pada wacana posmodern. Dia
menangkap impresi-impresi dari dunia yang tergambar -dunia yang kadang ada di
ambang batas, dengan melakukan ekshibisionisme leksikal, dengan cara yang
parodis, dan menonjolkan pluralitas.
Djenar, memang belum bisa menjungkirbalikkan dunia seperti yang dilakukan
oleh Budhi Dharma, Danarto, atau Sutardji yang selama ini menjadi guru proses
kreatifnya. Bukan berarti Djenar adalah manusia kreatif yang “kreatif meniru”. Bukan
pula berarti Djenar latah, meniru karya-karya mentornya, atau karya-karya yang
sedang laku dan menjadi trend. Meskipun sebenarnya, sah-sah saja jika dia
memperlakukannya demikian. Karena, tidak ada teks yang berdiri sendiri.
intertekstualitas selalu ada. Demikian pula halnya dengan makna yang terdapat
dalam karya sastra.
Mungkin saja, apa yang dilakukan oleh Djenar tak lain adalah sebuah bentuk
pengikutan dari jenis sastra yang sedang menjadi trend atau konvensional pada
zamannya. Atau, mungkin saja Djenar telah menemukan inovasi-inovasi baru bagi
dunia sastra kita. Siapa yang mengetahui kebenaran, bahwa Djenar adalah seorang
posmodernis sejati? Kita hanya bisa mengira-ira dan menebak. Sampai sejauh ini,
interpretasi penulis memiliki keyakinan bahwa karya-karya Djenar dalam kumpulan
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD

!
W

W
O

O
N

N
y

y
bu

bu
to

to
k

k
lic

lic
C

C
w

w
m

m
w w
w

w
o

o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k

20

cerpennya ini memuat wacana posmodern. Interpretasi ini, tentu saja tidak dapat
digeneralisir. Kembali lagi pada perspektif posstrukturalisme, bahwa ini adalah soal
interpretasi. Interpretasi yang hasilnya bias berbeda antara satu pembaca dengan
pembaca lainnya. Dan tidak ada interpretasi yang objektif…

Daftar Pustaka
Allen, Pamela. 2004. Membaca, dan Membaca Lagi: [Re]interpretasi Fiksi Indonesia,
1980-1995 (dialihbahasakan oleh Bakdi Soemanto). Magelang: Indonesia Tera.

Aveling, Harry. 2002. Rumah Sastra Indonesia. Magelang: Indonesia Tera.

Ayu, Djenar Maesa. 2004. Jangan Main-main (dengan Kelaminmu). Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.

Belsey, Catherine. 2002. Post-Structuralism: A Very Short Introduction. New York:


Oxford University Press.

Bressler, Charles E. 1999. Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice


(2nd edition). New Jersey: Pretice Hall.

Faruk. 2006. “Seks dan Politik dalam Sastra Indonesia” dalam kumpulan makalah
PIBSI XXVIII dengan tema Pengajaran Bahasa Indonesia dalam Perspektif
Pergaulan Antarbangsa yang diselsenggarakan di IKIP PGRI Semarang 2-4
Juli 2006.

Hutcheon, Linda. 1988. A Poetics of Postmodernism: history, theory, fiction. London:


Routledge.

Junus, Umar. 1984. Sejarah melayu: Menemukan Diri Kembali. Malaysia: Petaling
Jaya.

McHale, Brian. 1986. Postmodernist Fiction. London: Routledge.

Sarup, Madan. 2003. Posstrukturalisme dan Posmodernisme, Sebuah Pengantar


Kritis (dialihbahasakan oleh Medhy Aginta Hidayat). Yogyakarta: Jendela.

Sindhunata. 2003. “Ikon Bokong Inul” dalam Majalah Basis nomor 03-04 tahun ke-
52, maret-April 2003.

Sugiharto, I. Bambang. 1996. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat.


Yogyakarta: Kanisius.

Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya

Anda mungkin juga menyukai