PD PD
!
W
W
O
O
N
N
y
y
bu
bu
to
to
k
k
lic
lic
C
C
w
w
m
m
w w
w
w
o
o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k
1
Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Cultural Study dalam Kajian Sastra di FBS
UNY pada 14-15 September 2005
2
Penulis adalah staf pengajar di Jurusan PBSI FBS UNY
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD
!
W
W
O
O
N
N
y
y
bu
bu
to
to
k
k
lic
lic
C
C
w
w
m
m
w w
w
w
o
o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k
!
W
W
O
O
N
N
y
y
bu
bu
to
to
k
k
lic
lic
C
C
w
w
m
m
w w
w
w
o
o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k
!
W
W
O
O
N
N
y
y
bu
bu
to
to
k
k
lic
lic
C
C
w
w
m
m
w w
w
w
o
o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k
sendiri. Bahwa sastra, memiliki sifat yang dinamis. Karena sastra, selalu berada
dalam tegangan antara yang konvensional dan inovasional (Teeuw, 2003)
Selain itu, interpretasi subjek pembaca terhadap keposmodernan itu
sebenarnya tak lain adalah (lagi-lagi) soal interpretasi. Sastra yang posmodern
menurut satu individu belum tentu posmodern bagi individu lainnya. Bukankah tidak
ada kebenaran mutlak? Dan, bukankah posmodern sangat menjunjung tinggi
ketidakberadaan kebenaran yang mutlak itu? Bukankah posmodern sangat
menghargai pluralitas makna sesuai latar sosial dan kultural yang mempengaruhi
para pembacanya dalam menyusun makna karya sastra itu? Sekali lagi, ini adalah
soal interpretasi….
3. Wacana Posmodernisme dan Karakteristiknya
Bahasa memegang peranan yang penting. Bahasa merupakan cara
mengalami dan memahai kenyataan tampil kepada kita. Melalui bahasa, kita
mentransformasikan dunia (Sugiharto, 1996:99). Persoalan bahasa ini memang
sangat menarik banyak pakar. Di antaranya adalah Jacques Derrida, tokoh
posstrukturalisme.
Bertolak dari para pemikir strukturalisme, Derrida menggali kembali
kemungkinan “kekeliruan” yang telah dilakukan oleh kaum strukturalis yang
memandang makna sebuah teks selalu objektif, bukan subjektif. Pada akhirnya,
Derrida menemukan bahwa representasi model map atau pemetaan (yang objektif,
yang pasti) itu berubah ke arah collage meaning (makna yang bersusun, beragam,
bersifat subjektif dan indifinitif) (Bressler, 1999:118).
Difference inilah, yang ditekankan oleh Derrida. Bahwa keberagaman itu
hadir karena adanya latar belakang sosial-kultural-pemahaman dari berbagai subjek
yang juga beragam, difference inilah satu-satunya keaslian makna (Belsey,
2002:84). Difference memungkinkan kita untuk memahami satu sama lain.
Pemikiran Derrida ini mengantarkan dunia pada cara berpikir yang disebut
posstrukturalis (ada yang menamainya dekonstruksi, dan posmodernisme).
Beberapa aspek pemikiran posmodernisme antara lain adalah: (1) kecenderungan
untuk mereduksi semua klaim kebenaran sampai level retorika, strategi narasi;
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD
!
W
W
O
O
N
N
y
y
bu
bu
to
to
k
k
lic
lic
C
C
w
w
m
m
w w
w
w
o
o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k
!
W
W
O
O
N
N
y
y
bu
bu
to
to
k
k
lic
lic
C
C
w
w
m
m
w w
w
w
o
o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k
!
W
W
O
O
N
N
y
y
bu
bu
to
to
k
k
lic
lic
C
C
w
w
m
m
w w
w
w
o
o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k
kajian karena kumpulan cerpen inilah yang paling banyak menyajikan ciri
posmodern. Wacana posmodern itu antara lain terdapat dalam cerpen “Jangan
Main-main (dengan Kelaminmu)”, “Mandi Sabun Mandi”, “Moral”, “Menyusu Ayah”,
“Cermin”, “Saya adalah Seorang Alkoholik”, “Staccato”, “Saya di Mata Sebagian
Orang”, “Penthouse 2601”, dan “Payudara Nai Nai”. Ciri posmodern cerpen-cerpen
itu antara lain ditunjukkan dengan adanya ekses (ekshibisionisme leksikal dan
pengulangan bunyi), permainan (kebanalan; narasi yang berfantasi), parodi, dan
pluralitas.
a. Ekses
Bentuk ekses yang sering dijumpai dalam kumpulan cerpen “Jangan Main-
main (dengan Kelaminmu)” adalah ekshibisionis leksikal dan pengulangan bunyi-
bunyian. Djenar, seperti yang terlihat dalam beberapa cerpennya, “Jangan Main-
main (dengan Kelaminmu)”, “Menyusu Ayah”, “Cermin”, “Saya Seorang Alkoholik”,
“Staccato”, “Saya di Mata Sebagian Orang” sangat kental akan ekshibisionis
leksikalnya. Djenar mengulang-ulang kata untuk mendapatkan efek imaji dari
pengulangan kata-kata yang dipilihnya.
Dalam “Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)”, Djenar cukup mengulangi
kata-kata yang telah dia terakan pada masing-masing tokoh. Djenar cukup
mengganti persona tokoh-tokohnya tanpa menyebutkan siapa yang berbicara.
Namun efek dari pengulangan kata yang beruntun ini sangat fantastis. Masing-
masing bisa mengungkapkan apa yang dirasakan, dipikirkan, dilakukan si tokoh
dengan “hanya” melalui pengulangan kata-kata. Teknik seperti ini, belum pernah
dilakukan oleh sastrawan lainnya. Djenar, berhasil menemukan inovasinya yang
brilian!
Saya heran, selama lima tahun kami menjalin hubungan, tidak sekalipun
terlintas di kepala saya tentang pernikahan. Tapi jika dikatakan hubungan kami main-
main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas saya akan menolak.
Saya sangat tahu akan aturan main. Bagi pria semapan saya, hanya dibutuhkan
beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin. Berapa
banyak main-main yang bisa saya lakukan selama lima tahun?
Saya heran, selama lima tahun mereka menjalin hubungan, tidak sekalipun
terlintas di kepala mereka tentang pernikahan. Tapi jika dikatakan hubungan mereka
main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas mereka akan
menolak. Mereka sangat tahu akan aturan main. Bagi mereka, hanya dibutuhkan
beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin. Berapa
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD
!
W
W
O
O
N
N
y
y
bu
bu
to
to
k
k
lic
lic
C
C
w
w
m
m
w w
w
w
o
o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k
banyak main-main yang bisa mereka lakukan selama lima tahun? (“Jangan Main-
main (dengan Kelaminmu)”, hlm.1-2)
Djenar cukup mengganti kata saya (dari pelaku peselingkuh pria) menjadi
kata ganti persona pertama maha tahu saya (sahabat tokoh yang berselingkuh)
untuk menceritakan konflik-perselingkuhan sahabat lelaki dan perempuannya
(Djenar menggunakan kata ganti mereka). Untuk menunjukkan bahwa yang sedang
mendapatkan giliran berbicara adalah tokoh perempuan yang berselingkuh, Djenar
menggunakan kata ganti /bagi wanita secantik saya, hanya dibutuhkan waktu beberapa
jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin/ dst. Selebihnya, kata-kata
yang digunakannya adalah sama. Untuk menunjukkan bahwa yang sedang
berbicara adalah isteri lelaki yang berselingkuh itu, Djenar menempatkan tokoh isteri
itu sebagai orang maha tahu dengan menggunakan kata seperti /bagi pria dan wanita
secantik mereka, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga
main kelamin/.
Bentuk ekshibisionisme leksikal juga ditemui dalam cerpen berjudul
“Staccato” dan “Saya Seorang Alkoholik!”. Dalam “Staccato”, Djenar menggunakan
satu kata (kadang frase atau kalimat pendek) yang diulang-ulang –jika ada
semacam komentar dari “audiens” dalam cerpen itu. Untuk lebih jelasnya, dapat
dilihat dalam kutipan berikut ini.
Malam hari. Party. Kafe. Live music. Tamu saling diperkenalkan. Makanan ringan.
Obrolan ringan. Rokok. Whiskey. Tipsy. Laki-laki. Sensasi. Birahi. Yang mana?
Siapa? Malam hari. Party. Kafe. Live music. Tamu saling diperkenalkan. Makanan
ringan. Obrolan ringan. Rokok. Whiskey. Tipsy. Ada yang menarik hati. Lempar
umpan. Buka pembicaraan. Humor ringan. Pura-pura geli lantas tergelak sambil
menyentuh tangan sasaran. Umpan termakan. Konvensional amat sih? Konfliknya
mana? Malam hari. Party. Kafe. Live music. Tamu saling diperkenalkan. Makanan
ringan. Obrolan ringan. Rokok. Whiskey. Tipsy. Ada yang menarik hati. Lempar
umpan. Buka pembicaraan. Humor ringan. Pura-pura geli lantas tergelak sambil
menyentuh tangan sasaran. Umpan termakan. Tapi…saya sudah tidak sendiri lagi.
Saya istri. Punya suami. (“Staccato”, hlm. 65)
Kalimat pendek (kadang hanya terdiri dari satu subjek, objek, predikat saja
atau frase saja) yang diulang-ulang itu terus dilakukan oleh Djenar. Tokoh dalam
cerpen itu seolah-olah “melakukan sesuatu”. Tapi, yang dilakukannya tak lain
hanyalah (seperti orang yang) bergumam dan berimajinasi. Seolah-olah dia beranjak
dari dunianya, namun sebenarnya dia hanya berputar-putar dalam imajinasinya.
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD
!
W
W
O
O
N
N
y
y
bu
bu
to
to
k
k
lic
lic
C
C
w
w
m
m
w w
w
w
o
o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k
!
W
W
O
O
N
N
y
y
bu
bu
to
to
k
k
lic
lic
C
C
w
w
m
m
w w
w
w
o
o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k
10
Sebelum putrinya ditemukan satpam sebuah hotel berbintang lima dengan kondisi
sangat mengenaskan setelah terjun dari lantai dua puluh tiga –putrinya yang manis,
putrinya yang pendiam, putrinya yang penurut, putrinya yang tak bermasalah, putri
yang sangat dibanggakan, putri yang sangat diharapkan, putri yang diberi nama
Puteri ketika lahir dengan harapan kehidupannya elak bak putri-putri, damai,
sejahtera, bahagia dan berlimpah cinta. (“Cermin”, hlm. 45-46)
Cerita dalam cerpen ini seolah-olah menjadi kabur, terutama ketika tokoh ibu
berlama-lama menatap cermin pemberian putrinya sebelum bunuh diri dengan
kondisi dirinya yang (tiba-tiba) sudah dalam proses bunuh diri: meloncat dari lantai
gedung ke dua puluh tiga dan menatap dirinya di kaca-kaca jendela gedung yang
dilaluinya. Cerita dalam cerpen ini “bermain-main” dalam imajinasi tokoh ibu. Hingga,
pada akibatnya batas dunia “yang ada dalam kepala ibu” dengan “realitas dunia”
menjadi kabur. Tokoh ibu berkali-kali masuk dan keluar dari dunia yang satu ke
dunia yang lainnya. Hingga pada akhirnya, hidup tokoh ibu itu berakhir tragis seperti
anaknya.
Pengulangan bunyi vocal /i/ dalam “Staccato” memberikan efek asonansi
yang cukup efektif. Teks-teks itu menyajikan sebuah semangat yang dinamis dan
menggebu-gebu, sesuai dengan isi teks –meski pada akhir cerpen ini diceritakan
suami si tokoh tetap tak bergeming untuk menyentuhnya; setidaknya kedinamisan
tokoh aku ini tetap terpelihara.
Kopi. Roti. Lari pagi. Gosok gigi. Mandi. Wangi. Berahi. Rebah di sebelah suami.
Kecup kedua mata dan pipi. Berbisik manja minta disetubuhi. Matanya terbuka lantas
terpejam lagi. Ia berbalik badan membelakangi. Kesal, tapi dinetralisir kembali. Lagi,
ciuman dihujani. Perlahan tapi pasti. Pakaian mulai dilucuti. Hingga polos dari ujung
kepala sampai ujung kaki. Suami tetap tidur tidak ereksi. Tiba-tiba ingat wejangan
teman kalau laki-laki suka penisnya dijilati. Tarik napas panjang, beranikan diri.
Kalau pesing? Tak masalah yang penting barangnya berdiri. (“Staccato”, hlm. 71)
!
W
W
O
O
N
N
y
y
bu
bu
to
to
k
k
lic
lic
C
C
w
w
m
m
w w
w
w
o
o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k
11
tuduhan yang dilayangkan sebagian orang kepada tokoh aku. Lagi-lagi, Djenar
bermain dengan pengulangan kata-kata. Kutipan berikut ini dapat menggambarkan
fungsi pengulangan kata-kata kunci yang terdapat dalam cerpen “Saya di Mata
Sebagian Orang”.
Sebagian orang menganggap saya munafik. Sebagian lagi menganggap
saya pembual. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah. Sebagian lagi
menganggap saya sakit jiwa. Sebagian lagi mengaggap saya murahan!
Padahal saya tida pernah merasa munafik. Tidak pernah merasa membual.
Tidak pernah merasa sok gagah. Tidak pernah merasa sakit jiwa. Tidak pernah
merasa murahan! (“Saya di Mata Sebagian Orang”, hlm. 73)
“Pasti mereka bukan suami istri. Hei Meja, aku tak sok tahu, aku memang
tahu. Tanpa aku, motel ini tak akan laku. Kau tahu Meja, motel yang tak ada
cerminnya itu kuno! Apa? Variasi? Bisa saja. Tapi variasi seperti itu bukan variasinya
suami istri, Meja. Kau tak percaya?............................................................................
“Apa? Kamu tak salah lihat? Kalau begitu kali ini aku kalah taruhan, Meja.
Ternyata ia tak takut menghamili perempuannya. Mungkin benar, mereka suami istri
yang sedang mencari variasi.”
“Kamu tak kalah taruhan, kamu benar, Cermin.”
“Hei, apa maksudmu, Meja?” (“Mandi Sabun Mandi”, hlm, 17-18)
Percakapan antara Meja dan Cermin ini ada dalam dunia mereka sendiri, dan tokoh
laki-laki dan perempuan yang tengah bercinta itu juga berada dalam dunianya
sendiri. Mereka tidak mengetahui atau menyadari jika aktivitas seksual mereka
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD
!
W
W
O
O
N
N
y
y
bu
bu
to
to
k
k
lic
lic
C
C
w
w
m
m
w w
w
w
o
o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k
12
diamati oleh mebel-mebel yang “dihidupkan” oleh Djenar. Dalam satu “dunia”
(kamar) kedua jenis tokoh, benda mati vs benda hidup, dipertmukan.
Dunia benda mati yang bertabrakan dengan dunia manusia juga terdapat
dalam cerpen “Penthouse 2601”. Tokoh dalam cerpen ini adalah (seorang)
penthouse 2601. Sama seperti manusia, Penthouse 2601 juga bisa merasakan,
melihat, dan memikirkan fenomena-fenomena yang dia jumpai melalui kacamatanya.
Penthouse 2601 menemukan kenyataan bahwa dirinya tidak diperlakukan dengan
benar oleh orang-orang yang menempatinya.
Kebanalan tokoh Penthouse 2601 terlihat pada kutipan berikut ini.
Aku bukan seperti kamar-kamar lain bernama superior, deluxe, suite, regency suite,
presidential suite, yang berdesak-desakan di lantai bawah. Mereka bertetangga.
Jarak antara satu kamar dengan yang lain begitu dekat, sehingga kapan saja mereka
dapat berbincang-bincang, mengerling, berpacaran, dan menikah. Tidak seperti aku
yang terletak di lantai tertinggi, lantai dua puluh enam. Hanya ada dua kamar
sejenisku pada satu lantai, namun kami sangat berjauhan, sejauh mataku
memandang, di sepanjang koridor hanya ada aku. (“Penthouse 2601”)
c. Pluralitas
Wacana posmodernisme sangat menghargai bentuk-bentuk pluralitas.
Bentuk pluralitas yang jamak dijumpai dalam kumpulan cerpen Jangan Main-main
(dengan Kelaminmu) terutama berkaitan dengan pluralitas seksual. Tokoh-tokoh
yang bermain dalam kumpulan cerpen ini sebagian besar adalah mereka yang
memiliki orientasi seksual yang tidak normatif. Heterogenitas dan homogenitas relasi
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD
!
W
W
O
O
N
N
y
y
bu
bu
to
to
k
k
lic
lic
C
C
w
w
m
m
w w
w
w
o
o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k
13
seksual tidak terlalu diperhatikan. Demikian pula dengan tubuh mereka yang
terlepas bebas dari segala norma-nilai kemasyarakatan. Tokoh-tokoh dalam
kumpulan cerpen ini adalah gambaran dari pluralitasnya relasi-relasi seksual. Antara
yang hetero dan homogen. Antara yang normatif dan tidak normatif. Antara yang
berhubungan syah dengan selingkuh. Antara yang melakukan aktivitas seksual
secara swadaya maupun dengan partner seksualnya. Pluralitas perilaku seksual,
sangat beragam dalam cerpen ini.
Dalam cerpen “Menyusu Ayah”, tokoh aku mempunyai relasi seksual dengan
tokoh ayah. Tokoh aku juga berhubungan seksual dengan teman-teman sebayanya
dan teman-teman ayahnya. Tidak ada ketertekanan, yang ada hanya kebebasan
atas penguasaan tubuhnya. Titik balik terjadi ketika tokoh aku dijamah payudara dan
penis pasangannya memasuki vagina –organ yang menurutnya hanya milik dia dan
ibunya saja. Selain itu, tokoh perempuan dalam cerpen ini merasa vaginanya belum
pernah dimasuki jari lelaki lain (ketika tokoh ini kencan dengan lelaki yang tak lain
adalah teman ayahnya, lelaki itu memasukkan jarinya ke vaginanya), kecuali
tangannya sendiri (dengan tangannya sendiri inilah sang tokoh lebih merasa
nyaman dan aman!!). Tokoh perempuan dalam cerpen ini sangat menikmati aktivitas
seksualnya, baik yang dilakukan secara mandiri maupun dengan mitranya (meski
ketika berhubungan seks dengan mitranya ini sang tokoh lebih senang jika hanya
menyusu penisnya saja).
Hubungan-hubungan seksual yang tidak normatif lainnya ditemui dalam
cerpen “Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)”, “Mandi Sabun Mandi”, “Cermin”,
“Staccato”, “Saya di Mata Sebagian Orang”, “Penthouse 2601”, dan “Payudara Nai
Nai”. Tidak ada satu pun tokoh pelaku hubungan seksual yang tidak normatif itu
menghukum dirinya atau dihukum ornag lain –kecuali dalam cerpen “Saya di Mata
Sebagian Orang”. Dalam cerpen itu, tokoh tidak merasa dirinya terhukum dengan
penyakit HIV/AIDS yang dideritanya. Sebaliknya, orang-orang merasa itu adalah
hukuman akibat perilaku seksualnya yang menyimpang.
Jika dicermati, hampir semua tokoh yang melakukan hubungan seksual
secara bebas itu menikmati perilaku seksualnya –yang menurut sebagian besar
mayarakat adalah tidak normatif, menyimpang dari tatanan nilai dan moral
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD
!
W
W
O
O
N
N
y
y
bu
bu
to
to
k
k
lic
lic
C
C
w
w
m
m
w w
w
w
o
o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k
14
Kemarin saya melihat moral di etalase sebuah took. Harganya seribu rupiah. Tapi
karena saya tertarik dengan rok kulit mini seharga satu juta sembilan ratus sembilan
puluh delapan ribu delapan ratus rupiah, akhirnya saya memutuskan untuk kembali
menunda membeli moral. Sementara, uang di dompet saya pas dua juta rupiah.
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD
!
W
W
O
O
N
N
y
y
bu
bu
to
to
k
k
lic
lic
C
C
w
w
m
m
w w
w
w
o
o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k
15
Bagaimana saya harus membayar parker yang satu jamnya seribu rupiah plus pajak
pemerintah dua puluh persen menjadi seribu dua ratus rupiah? (“Moral”, hlm. 25).
Secara parodi dan satire, Djenar melihat naik pamornya moral yang dikenakan oleh
orang-orang yang menghadiri pesta. Mereka mengenakan moral sebagai hiasan.
Lucunya, mereka mengenakan moral sebagai hiasan setelah sebelumnya harga
moral diobral lima ribu tiga di gedung DPR!!
Namun setibanya kami di mulut tangga, begitu terhenyaknya kami melihat
pemandangan yang ada. Semua tamu di ruangan itu memakai moral. Ada yang
dipasang sebagai hiasan kepala. Ada yang memakai sebagai penghias dada. Ada
yang memakai sebagai manset. Bahkan ada yang menghiasi seluruh bajunya. Kami
saling berpandang-pandangan, tidak ada dari kami yang memakai moral. Betapa
kecewanya saya yang tidak jadi membeli moral kemarin hingga pagi tadi. Apalagi
ketika pasangan saya berbisik, “Moral diobral lima ribu tiga di gedung DPR hari ini.
(“Moral”, hlm. 33)
Keseluruhan narasi dalam cerpen “Moral” itu tak lain merupakan sindiran
terhadap moralitas mayarakat yang mulai dinilai rendah. Masyarakat dinilai
sebagai masyarakat yang hipokrit; mengenakan atribut moral sebagai hiasan –
itupun harus diobral terlebih dahulu supaya mereka mau mengenakannya. Harga
moral itu sangat rendah dan tak ada nilaninya.
Djenar Maesa Ayu adalah satu dari sekian banyak sastrawan perempuan
Indonesia yang banyak mengeskploitasi persoalan seks. Namun, ini bukan berarti
bahwa karya-karya Djenar (atau kebanyakan sastrawan perempuan) itu dapat
dituding sebagai sebuah karya yang cabul, pornografis.
Djenar, hanya berusaha untuk jujur. Apa yang dilakukannya dalam cerpen-
cerpennya itu tak beda dengan apa yang telah dilakukan Gustave Flaubert dalam
novelnya, Madame Bovary. Gustave dan Djenar hanya mencoba untuk jujur dalam
merefleksikan kehidupan seksualitas mayarakat. Dan bahwa praksis seksualitas
yang kebanyakan tidak normatif dalam cerpen-cerpen Djenar itu juga tidak
mengada-ada.
Kiranya tidak perlu ditutup-tutupi lagi bahwa sebagian masyarakat kita
sekarang ini tidaklah sesuci atau selugu seperti yang dibayangkan oleh sekolompok
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD
!
W
W
O
O
N
N
y
y
bu
bu
to
to
k
k
lic
lic
C
C
w
w
m
m
w w
w
w
o
o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k
16
orang yang merasa telah berjalan dalam koridor keagamaan. Media massa –baik
cetak maupun elektronik seyogyanya membuka mata kita dengan praksis-praksis
seksual yang bagi sebagian orang mungkin dianggap cukup nyeleneh itu. Bahkan,
Moammar Emka juga “melaporkan” praksis-praksis seksual di lingkup metropolitan
(demikian pula Djenar yang mengambil latar kehidupan orang-orang metropolitan
–yang biasanya kelas menengah ke atas-- itu dalam cerpen-cerpennya) dalam
bukunya yang berjudul Jakarta Undecover (2004). Dalam bukunya itu, Emka
mencontohkan beberapa praktik seksual yang undecovered, seperti: nude party,
“seks bulan madu Pajero goyang”, truth and dare, “layanan ciak susu a la body
massage Yogya, dll yang dilakukan oleh sebagian kalangan menengah-elit di
Jakarta.
Mengapa Djenar menuliskan kata-kata, frase, atau kalimat yang
menggambarkan aktivitas seksual dengan cara yang “vulgar” atau kasar? Apakah
maksudnya untuk menggugah birahi? Apakah itu praksis pornografis yang
dibungkus kata “sastrawi”? Apakah seksualitas yang hadir dalam cerpen-cerpennya
itu hanya sekedar memenuhi tuntutan pasar saja –kebetulan buku-buku sastrawan
perempuan yang lahirnya bersamaan dengan karya Djenar banyak membawa ciri
yang sama? Apakah mempunyai nilai estetik -sekaligus etik?
Pertanyaan-pertanyaan itu, sungguh, sangat sulit ditemukan jawabannya
secara pasti dan “benar”. Setiap orang –pembaca- memiliki persepsinya sendiri-
sendiri. Bagi mereka yang menggunakan kacamata agama, mungkin akan langsung
memberikan penilaian bahwa karya Djenar itu sangat vulgar, porno, bahkan mungkin
bisa saja kemudian karya-karya Djenar akan dijegal karena dinilai membuat moral
mayarakat menjadi lebih rendah --karena menghadirkan karya-karya yang
membicarakan soal syahwat dengan terang-terangan.
Tapi, seksualitas dalam karya-karya Djenar bukan hanya persoalan tabu-
tidak tabu, haram-halal, porno-tidak porno. Ini adalah persoalan estetika. Mengapa
Djenar banyak menyoroti praksis seksualitas yang menyimpang? Mengapa harus
menggunakan kata-kata yang vulgar? Tidak bisakah menggunakan perumpamaan-
metafor?
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD
!
W
W
O
O
N
N
y
y
bu
bu
to
to
k
k
lic
lic
C
C
w
w
m
m
w w
w
w
o
o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k
17
Dalam bukunya Seks, Sastra, Kita, Goenawan Mohamad melihat ada tiga
pola sikap dari sastra Indonesia terhadap persoalan seks dan cara
penggambarannya. Pertama, karya-karya yang berusaha mempersoalkan sesk
tetapi tidak berani menggambarkannya. Harry aveling mempersoalkan seks itu
sebagai “mawar berduri”. Kedua, karya-karya yang mempersoalkan seks dan
menggambarkannya dengan cara “meneriakkannya dengan keras-keras”. Karya-
karya demikian mungkin digolongkan sebagai karya yang pornografis. Ketiga, karya-
karya yang mempersoalkan seks sebagai bagian dari kehidupan manusia yang
wajar dan menggambarkannya dengan cara yang wajar pula.
Pandangan ini tampaknya mendapat reaksi dari Faruk (2006:334).
Menurutnya, yang menjadi soal bukan lagi apakah sastra meneriakkan dengan
keras atau menyembunyikan persoalan seks dan aktivitas seksual. Melainkan,
seberapa jauh sastra mengancam keberadaan potensi fungsi individual seks dan
aktivitas seksual maupun fungsi sosialnya. Ancaman itu dapat berupa
penyembunyian ataupun bahkan peneriakan seks dan aktivitas seksual dengan
keras.
Seksualitas dalam cerpen Djenar, tidak bisa dimasukkan dalam kategori
Goenawan yang pertama. Dan, karya Djenar sangat tidak tepat jika dimasukkan
dalam kategori yang kedua, meski dia meneriakkan seks dengan lantang dalam
cerpen-cerpennya. Karya Djenar bukan karya yang pornografis! Seks dalam cerpen-
cerpennya bukan semata-mata untuk menggugah syahwat atau birahi pembaca.
Seks dalam cerpen Djenar merupakan simbol realitas seks masyarakat
(metropolis) dan kembali ditempatkannya seks dalam kerangka fungsinya yang
utama. Persoalan seks dalam kacamata Djenar bukan lagi persoalan agama dan
sosial: seks tidak hanya berfungsi melanggengkan dan memperbanyak keturunan
atau sebagai pewaris kekayaan keluarga.
Persoalan seks, dalam perspektif Djenar, adalah juga persoalan penguasaan
tubuh. Tokoh-tokoh dalam kumpulan cerpen ini tampak sangat menikmati apa yang
ada dalam tubuh mereka. Mereka, karena itu, sangat menikmati kebebasan untuk
melakukan aktivitas seksual yang mereka inginkan. Sebaliknya, tokoh-tokoh itu akan
merasa bahwa dirinya terjajah ketika praktik represi seks dilakukan oleh pasangan
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD
!
W
W
O
O
N
N
y
y
bu
bu
to
to
k
k
lic
lic
C
C
w
w
m
m
w w
w
w
o
o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k
18
mereka –yang dengan demikian dilakukan penjajahan atas tubuh mereka— seperti
yang terdapat dalam cerpen “Menyusu Ayah”.
Represi terhadap seksual manusia adalah penyebab bagi terjadinya agresi
dalam mayarakat dan perkosaan terhadap yang lemah. Herbert Marcuse menyebut
praktik seks bebas itu sebagai polymorphous perverse. Pertama, karena aneka
ragam praktik seksual itu disebut menyimpang, karena berlawanan dengan seks
yang wajar, karenanya juga bertennagan dengan norma-norma moral seks yang
mapan. Namun, di lain pihak, praktik seks yang tak kenal batas itu sesungguhnya
adalah kodrat dan hakikat seksual manusia itu sendiri. Menurut kodrat itu, manusia
tidak hanya akan menjadi jujur tapi juga otonom, dan terbebas dari penindasan
terhadap segala nalurinya. Tidak ada yang lebih benar dari keduanya. Yang benar
adalah bahwa keduanya adalah realitas yang selalu berada dalam ketegangan
dialektis.
Tampaknya, cerpen-cerpen Djenar tidak bisa dimasukkan dalam semua
kategori yang telah dibuat oleh Goenawan Mohamad. Seksualitas Djenar itu
hendaknya memang dilihat dari kacamata posmodernis, bukan modernis. Dalam
kacamata posmodernis, tubuh memang dilihat sebagai bejana seksualitas (baca
juga History and Sexuality Michael Foucault).
Kiranya, dapat kita memetik pelajaran dari Sindhunata (2003:29). Bahwa
bentuk-bentuk fragmentasi seksual itu, kalaupun bukan dosa, adalah penyakit
manusia yang harus disembuhkan, Ini kiranya berlawanan dengan perasaan yang
umumnya dipunyai manusia, yakni: makin kita merendahkan seks, demi alasan
rohani, makin kita menjadi suci. Padahal, kesucian tidak terjadi, karena merohanikan
seks, tapi merayakan seksualitas sebagai anugerah Sang Pencipta demi kepenuhan
manusia dalam kedua aspeknya, daging maupun rohnya. Maka jika seks menjadi
homeless, kesalahannya tidak terletak pada seksualitas itu sendiri, seakan ia adalah
berdosa, melainkan pada spiritualiras, yang mengasingkan diri darinya. Seks
menjadi terlalu mendaging, karena ia dijauhkan dari roh oleh roh (atau spritualitas)
sendiri. Karena itu, untuk membenahi “kesalahan tersebut”, spritualitaslah yang
pertama-tama harus membenahi diri.
F -X C h a n ge F -X C h a n ge
PD PD
!
W
W
O
O
N
N
y
y
bu
bu
to
to
k
k
lic
lic
C
C
w
w
m
m
w w
w
w
o
o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k
19
!
W
W
O
O
N
N
y
y
bu
bu
to
to
k
k
lic
lic
C
C
w
w
m
m
w w
w
w
o
o
.d o .c .d o .c
c u -tr a c k c u -tr a c k
20
cerpennya ini memuat wacana posmodern. Interpretasi ini, tentu saja tidak dapat
digeneralisir. Kembali lagi pada perspektif posstrukturalisme, bahwa ini adalah soal
interpretasi. Interpretasi yang hasilnya bias berbeda antara satu pembaca dengan
pembaca lainnya. Dan tidak ada interpretasi yang objektif…
Daftar Pustaka
Allen, Pamela. 2004. Membaca, dan Membaca Lagi: [Re]interpretasi Fiksi Indonesia,
1980-1995 (dialihbahasakan oleh Bakdi Soemanto). Magelang: Indonesia Tera.
Faruk. 2006. “Seks dan Politik dalam Sastra Indonesia” dalam kumpulan makalah
PIBSI XXVIII dengan tema Pengajaran Bahasa Indonesia dalam Perspektif
Pergaulan Antarbangsa yang diselsenggarakan di IKIP PGRI Semarang 2-4
Juli 2006.
Junus, Umar. 1984. Sejarah melayu: Menemukan Diri Kembali. Malaysia: Petaling
Jaya.
Sindhunata. 2003. “Ikon Bokong Inul” dalam Majalah Basis nomor 03-04 tahun ke-
52, maret-April 2003.