Anda di halaman 1dari 12

KRITIK ADJIDARMA DALAM EMPAT CERPEN:

TENTANG GENDER DAN KELIYANAN


(Adjidarma’s Critics in Four Short Stories: About Gender and “Keliyanan”)

Resti Nurfaidah
Balai bahasa Jawa Barat
Jalan Sumbawa Nomor 11, Bandung 40113, Jawa Barat, Indonesia
Pos-el: sineneng1973@gmail.com

Abstrak: Seno Gumira Ajidarma dikenal sebagai seorang tokoh masyarakat yang multitalenta:
seniman, budayawan, sastrawan, akademisi, dan lain-lain. Karya-karyanya selalu berkualitas prima
dengan tingkat kedalaman aspek intrinsik yang luar biasa.Penelitian-penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa kritik pada pemerintahan masa itu (Orde Baru) selalu muncul dalam karya
Ajidarma. Namun, kritik tersebut tersembunyi di balik kepiawaiannya dalam mengolah dan
merangkaikan kata menjadi cerita atau karya lain yang berkualitas prima. Penelitian ini ditujukan pada
kritik sosial Ajidarma dalam empat cerpen berikut: “Pelajaran Mengarang”, “Sepotong Senja untuk
Pacarku”, “Telinga”, dan “Maria” yang difokuskan pada konsep konflik gender dan keliyanan.
Berladaskan pada konsep gender Holmes dan keliyanan Callavaro, serta beberapa referensi
pendukung, penelitian ini berujung pada beberapa hasil berikut: konflik gender tertuju pada
inferioritas dan superioritas; ketidakberterimaan pada kriteria dan sebab tertentu menyebabkan pihak
inferior menjadi korban dari kesewenang-wenangan penguasa dalam wujud: doktrinasi, pengasingan,
diskriminasi, penahanan, penyiksaan, bahkan pembunuhan; inferioritas menjadi simbol atas situasi dan
kondisi di negeri ini.

Kata Kunci: Seno Gumira Ajidarma, kritik sosial, Liyan, dan cerpen

Abstract: Seno Gumira Ajidarma is well-known as a multitalented popular figure in Indonesia. He is


an artist, a humanist, a writer, an academician, and others. His works are always in excellent quality.
They need an incredible depth level of intrinsic aspect exploration. Previous studies have shown that
criticism against the government of the New Ordermassively appears on Ajidarma’s writing. However,
the criticism is well-hidden behind his expertise in word processing and stories composing or other
excellent quality works. This research is aimed into Ajidarma's social critique in the following four
short stories: “Pelajaran Mengarang”, “Sepotong Senja untuk Pacarku”, “Telinga”, dan “Maria”
which are focused on the concept of gender and Other's conflict. Based on the concepts of the Holmes
gender and the Other of Callavaro, as well as several supporting references, it comes into the
following outcomes: gender conflicts are connected to inferiority and superiority; the non-acceptancy
of certain criteria and many causes make the inferior is victimized with the arbitrariness of the ruler
in such forms: doctrine, alienation, discrimination, detention, torture, even murder; inferiority is
resembling the present situation and conditions in this country.

Keywords: short stories, Seno Gumira Ajidarma, social criticism, and the Other

PENDAHULUAN bermuara dua fungsi utama sastra yang


dikemukakan oleh Horacius, yaitu dulce et
Sastra memiliki banyak fungsi, antara lain, utile. Dulce bermakna kesenangan dan utile
fungsi rekreatif, fungsi moral, fungsi bermakna mendidik. Sastra pada masa itu
didaktis, fungsi reflektif, dan fungsi ditujukan untuk menghibur sekaligus
religius. Fungsi-fungsi tersebut sebenarnya mendidik pembacanya. Sarumpaet (2010)

117
Suar Bétang, Vol.12, No. 2, Edisi Desember, 2017:117—128

menyimpukan bahwa tujuan sastra, bukan Wissanggeni Sang Buronan, Biola Tak
hanya pada saat itu saja, tetapi secara Berdawai, Kitab Omong Kosong;Kalatidha,
keseluruhan zaman adalah untuk dan Drupadi. Selain itu masih ada pula
menjadikan manusia agar mampu menjadi sederet karya berupa non-fiksi, drama,
manusia yang sebenarnya. Sastra cerbung, dan komik. Ajidarma pernah
diperlukan untuk mengasah kepekaan mata mendapat penghargaan atas karyanya yang
dan hati terhadap berbagai hal yang terdapat berjudul Saksi Mata (1995) dari Pusat
di sekeliling manusia. Didipu (2013) lalu Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
menguraikan kedua fungsi tersebut menjadi Depdikbud. Penghargaan lain diterima
lima fungsi sastra berikut, yaitu fungsi Ajidarma dari Kompas Grup pada tahun
estetis (sastra terbentuk dari serangkaian 1993 sebagai penulis cerpen terbaik dalam
kata-kata yang indah), fungsi etis cerpen yang berjudul “Pelajaran
(penyertaan konsep moralitas dalam sebuah Mengarang”.
karya sastra), fungsi didaktis (penyertaan Fokus penelitian dalam artikel ini
konsep edukatif dalam karya sastra), fungsi adalah kritik sosial dalam empat cerpen
reflektif (cerminan kondisi sosial dalam yang ditulis Ajidarma, yaitu “Pelajaran
karya sastra), serta fungsi rekreatif (adanya Mengarang”, “Sepotong Senja untuk
unsur menghibur dalam karya sastra). Pacarku”, “Telinga”, dan “Maria”. Jika
Artikel ini akan terkait dengan salah satu mengacu pada keempat fungsi sastra,
fungsi sastra tadi, yaitu fungsi reflektif, penelitian dalam artikel ini akan menuju
khususnya pada karya sastra berupa cerpen pada fungsi reflektif. Mengingat pada saat
yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma itu, 1993, merupakan puncak kejayaan
berikut: “Pelajaran Mengarang”, “Sepotong rezim Orde Baru dengan segala pelik-pelik
Senja untuk Pacarku”, “Telinga”, dan masalah sosialnya: pembersihan,
“Maria”. pengangkatan kroni-kroni penguasa, dan
Ajidarma (1996) merupakan lain-lain. Dampak ketidakadilan sosial
sastrawan, seniman, budayawan, dan tersebut tampak dalam keempat cerpen
pengamat sinema yang cukup aktif. tersebut.
Kejelian dan kecerdasannya yang luar biasa “Pelajaran Mengarang” bercerita
mampu menangkap titik-titik menarik tentang seorang anak yang mengalami
dalam kehidupan sosial-politik yang terjadi kebingungan atas konsep keluarga bahagia
di negeri ini. Keempat cerpen tersebut yang dijadikan sebagai tema karangan oleh
ditulis pada tahun 1993 ketika rezim Orde gurunya di kelas. Jika tiba pada segmen
Baru berkuasa. Pengolahan kata yang luar belajar mengarang, si anak selalu
biasa dalam setiap karyanya seolah mampu mengalami kesulitan. Konflik besar
menutup fokus-fokus sublime yang ingin bergejolak di dalam hati anak itu, antara
disampaikan Ajidarma sebagai pengarang. malu karena pada akhirnya ia mampu
Pria lulusan IKJ tahun 1977 tersebut kini menebak profesi yang dijalani oleh ibunya
memangku jabatan sebagai pucuk pimpinan sebagai seorang wanita penghibur, dan
di almamater tersebut, tergolong sastrawan awamnya ia terhadap konsep keluarga ideal,
yang aktif dalam berkarya. Beberapa karya serta kesulitan untuk memilih kata yang
yang dihasilkannya, antara lain: buku tepat untuk menggambarkan konflik yang
kumpulan puisi (Mati Mati Mati, Bayi Mati, dialaminya (Ajidarma, 1993b).
dan Catatan-Catatan Mira Sato), buku Cerpen “Sepotong Senja untuk
kumpulan cerpen (Manusia Kamar, Pacarku” bercerita tentang seorang laki-laki
Penembak Misterius, Saksi Mata, Sebuah yang ingin memberi harapan kepada
Pertanyaan untuk Cinta) dan novel (Negeri kekasihnya. Benda yang diinginkan
Senja; Jazz, Parfum, dan Insiden; kekasihnya berkaitan dengan benda milik
Nagabumi I: Jurus Tanpa Bentuk; dan diperuntukkan untuk publik. Ketika

118
Resti Nurfaidah: Kritik Adjidarma dalam Empat Cerpen ...

benda itu diambil, tentu saja lingkungan manusia saling mempengaruhi


dan pemangku kekuasaan mengejar si (interconected) secara kompleks, salah satu
pencuri benda itu. Laki-laki itu dituding di antaranya, pengarang berusaha
sebagai seorang buronan. Ketika akhirnya menyampaikan pengaruhnya kepada
benda itu dikembalikan, laki-laki itu tidak pembaca melalui karya. Meskipun
serta merta menjadi bebas. Cap negatif sulit demikian, adakalanya sebagian pembaca
diusir dari tubuhnya (Ajidarma, 1993c). menunjukkan ketidaksepahamannya dengan
“Telinga” bercerita tentang seorang sang pengarang. Dalam era digital,
tentara yang sedang bertugas di sebuah ketidaksepahaman dapat dilihat pada kolom
daerah konflik. Sebagai pengobat rindu, ia komentar, atau artikel review pada beberapa
gemar mengirimkan telinga para korban laman atau media sosial. Kritik sosial pada
yang tewas dalam konflik itu kepada umumnya diarahkan pada penguasa dan
kekasihnya. Aneh, kekasihnya tersebut pernik-pernik kekuasaan, antara lain,
tidak merasa takut atau jijik terhadap kebijakan pemerintah dalam berbagai
pemberian rutin dari sang kekasih, tetapi bidang, kekuasaan, atau hak asasi manusia.
memajang benda itu di rumah (Ajidarma, Ajidarma menunjukkan kepekaan pada
1993d). lingkungan, situasi, dan kondisi di negeri
“Maria” bercerita tentang seorang ini. Pembacaan sosial Ajidarma dalam
perempuan yang menanti kehadiran keempat cerpen tadi merujuk pada satu
anaknya di rumah. Anak lelakinya yang bahasan utama, yaitu keliyanan dalam
tampan itu diculik dan disandera. Bertahun kehidupan masyarakat. Keempat cerpen
ia menunggu kabar yang tidak pasti. Ketika tadi akan dibahas dengan konsep
si anak pulang, ia tidak mau menerimanya representasi dan representasi keliyanan
karena tidak mengenali lagi lelaki cacat berikut.
dengan penampilan yang berantakan. Penelitian serupa terhadap karya
Perempuan itu hanya menghendaki Ajidarma telah dilakukan, di antaranya, (1)
kepulangan anak lelakinya yang dulu, Indra (2015) dalam Artikel “Wacana
tampan dan pintar. Berbagai alasan Kekuasaan dalam Karya Seno Gumira
dikemukakan, si anak tidak mendapat Ajidarma, Penembak Misterius dan Saksi
tanggapan. Perempuan itu akhirnya Mata”. Indra menyimpulkan bahwa sastra
mengusir laki-laki buruk rupa itu dan dan kekuasaan memiliki hubungan yang
mengunci pagar rumahnya rapat-rapat cukup erat melalui pengungkapan praktik
(Ajidarma, 1993a). kekuasaan dalam karya sastra. Ajidarma
Ratna (2008) menyatakan bahwa melakukan hal itu dalam kedua buku
karya seni, khususnya sastra merupakan alat kumpulan cerpen itu tentang rezim Orba.
atau media untuk menyatukan individu, (2) Biantoro (2012) dalam skripsi yang
kelompok, suku, dan bahkan antar bangsa. berjudul “Kritik Sosial dalam Novel
Melalui karya sastra, pengarang berharap Kalatidha Karya Seno Gumira Ajidarma:
dapat memiliki “pengikut” yang Tinjauan Sosiologi Sastra” menyimpulkan
bersepaham dengan pola pikirnya. Untuk bahwa dalam Kalatidha terdapat 13 kritik,
itu, kerapkali seorang pengarang antara lain, kritik terhadap pengekangan ala
menyelipkan pesan-pesan sosial dalam Orba, kritik terhadap Soeharto, stigma PKI,
karya yang ditulisnya untuk menyampaikan terhadap perbedaan status sosial antara
kepekaan, hasil pengamatan, atau masyarakat kota dan desa, kritik terhadap
kepeduliaan sosial yang dijalaninya kepada budaya materi, dan kritik terhadap
para pembaca. Tujuannya tidak lain adalah pengendalian media; (3) Seputra dalam
agar pembaca mau bersepaham dengan skripsi berjudul “Hubungan Intertekstual
sang pengarang. Bressler (2002) Novel Wisanggeni Sang Buronan Karya
mengatakan bahwa seluruh aktivitas Seno Gumira Ajidarma dengan Komik

119
Suar Bétang, Vol.12, No. 2, Edisi Desember, 2017:117—128

Lahirnya Bambang Wisanggeni Karya R. Dalam konflik berbasis gender,


Kosasih” menyatakan bahwa kedua objek kerapkali terjadi peng-Liyan-an satu pihak
penelitian memiliki relasi interteks yang dari pihak kebanyakan. Salim mengartikan
kuat serta terjadinya transformasi intrinsik secara sederhana Liyan sebagai asing atau
dari bentuk komik ke dalam novel; dan (4) yang lain. Sang Liyan muncul sebagai jalan
Nurhadi (2004) dalam sebuah artikel untuk membakukan sebuah citra diri,
berjudul “Analisis Hegemoni pada Iblis identitas sosial, dan sikap subjek. Salim
Tidak Pernah Mati Karya Seno Gumira (2008) menambahkan bahwa Liyan
Ajidarma” menyimpulkan bahwa dalam bertentangan dengan subjek. Liyan
karya tersebut muncul konfrontasi ideologi dianggap sebagai objek yang berada di luar
dominan berupa kapitalisme, otoriterisme, subjek, sebagai bahan perbandingan untuk
dan militerisme terhadap ideologi marginal subjek sendiri. Salim mencontohkan dalam
sosialisme, feodalisme, rasialisme, gender, perempuan kerapkali di-Liyan-kan
vandalisme, dan anarkisme. Namun, di oleh kaum laki-laki, semata karena
antara keduanya terdapat ideologi kelemahan atau ciri biologis yang
menengah yang bertindak sebagai dimilikinya. Cavallaro (2004) memberikan
negosiator, yaitu demokrasi dan sebuah perumpaan antara Tuan dan Budak.
humanisme. Tidak akan ada Tuan jika tidak ada Budak.
Konsep Liyan yang muncul di dalam Tidak aka nada penjajahan jika tidak ada
karya Ajidarma berkaitan dengan gender. yang bertindak sebagai penjajah maupun
Manusia dilahirkan dengan perbedaan yang terjajah (Cavallaro, 2004, hlm. 119).
fundamental, yaitu perbedaan jenis Cavallaro (2004) lalu menjabarkan bahwa
kelamin: penis bagi laki-laki dan vagina konsep ideologi Barat membakukan diri
bagi perempuan (Holmes, 2007, hlm. 21). sebagai pihak yang dominan dan, di luar
Perjalanan hidup manusia selanjutnya itu, Sang Liyan bertindak sebagai
merupakan sebuah rentang kehidupan subordinat. Poststrukturalisme dianggap
panjang yang tidak dapat terhindar dari Cavallaro sebagai pendukung utama
konstruksi budaya setempat. Konstruksi penempatan kelompok-kelompok marginal
budaya tersebut memberikan tekanan- sebagai Sang Liyan. Ia mencontohkan
tekanan khusus terkait peranan, perilaku, posisi perempuan, gay, orang cacat, serta
hak, dan tanggung-jawab seseorang sesuai orang kulit berwarna sebagi Sang Liyan
dengan jenis kelaminnya itu. Konsep yang dianggap sangat menyimpang dari
gender dalam setiap budaya akan berbeda- norma-norma patriarkal, heteroseksual, dan
beda. Hal itu didukung oleh pendapat masyarakat kulit putih. Cavallaro juga
Oakley (1972) yang menyatakan bahwa menyampaikan bahwa budaya dominan
gender tidak kaku, tetapi memiliki belum dapat menerima alteritas (alternity),
kecenderungan untuk mencair dan misalnya, perempuan dalam pandangan
mengikuti aturan budaya yang ada dan tradisional dianggap sebagai segala sesuatu
golongan sosial laki-laki dan perempuan tempat laki-laki dianggap tidak sama,
yang ada. Namun, pada dunia patriarkal sementara, laki-laki dianggap sebagai
yang cenderung dominan, perempuan segala sesuatu yang tidak mampu dilakukan
dipandang sebagai obyek. Beauvoir (dalam oleh perempuan (Cavallaro, 2004, hlm.
Wibowo, 2008) menganggap bahwa 223). Cavallaro (2004) menegaskan bahwa
perempuan, berdasarkan kelemahan ketika kita sedang mendiskriminasi atau
biologis alami, akan selalu dijadikan memperlakukan seseorang dengan kejam
sebagai bagian dari dunia laki-laki dan orang lain, pada saat yang sama sebenarnya
menjadi bukti atas kuasa laki-laki pada kita sedang mengabaikan segi-segi diri kita
mereka. sendiri yang kita anggap bertentangan
dengan pencarian kita atas kemewahan dan

120
Resti Nurfaidah: Kritik Adjidarma dalam Empat Cerpen ...

kestabilan. Jauh di bawah sadar, kita tidak PEMBAHASAN


memiliki kemampuan untuk
mengompromikan orang lain dengan kita. Pembahasan tentang gender dan keliyanan
Sang Liyan dianggap sebagai sebuah dilakukan pada keempat cerpen karya
ancaman karena tidak dapat memenuhi Ajidarma, yaitu “Pelajaran Mengarang”,
kriteria yang dibakukan oleh budaya “Sepotong Senja untuk Pacarku”,
dominan. Cavallaro (2004) menyebut “Telinga”, dan “Maria”. Pembahasan
pandangan Kristeva tentang gambaran terarah pada dua fokus berikut, yaitu gender
ekstrem dampak diskrimansi tersebut, dan keliyanan.
antara lain, fasisme, rasisme, genosida,
serta kecintaan mutlak/fanatisme terhadap Kritik Ajidarma atas Gender dalam
teritori-bahasa-identitas nasional. Empat Cerpen
Dalam “Pelajaran Mengarang”
METODE PENELITIAN digambarkan tokoh perempuan yang
cenderung berkutat dalam tekanan patriarki
Artikel ini dilandaskan pada aspek metode dan matriarkis sendiri. Kedudukan
penelitian kualitatif dengan analisis perempuan dalam cerpen tersebut menjadi
deskriptif komparatif. Analisis terhadap budak berantai. Marty dipandang sebagai
keempat cerpen karya Ajidarma dilakukan komoditas pemuas seks oleh kaum laki-laki
berdasarkan gambaran keliyanan dan yang menjadi pelanggannya. Dari sisi
konflik gender yang muncul dalam karya Marty sendiri, ia tidak menolak ketika
tersebut. Hal-hal yang menjadi fokus menyanggupi kontrak tidak kasat mata
penelitian lalu dianalisis berdasarkan pada dengan beberapa pelanggan eksekutif.
konsep gender dan keliyanan yang telah Materi menjadi tujuan utama Marty,
dibahas dalam subbab sebelumnya. meskipun kepuasan batinnya tidak pernah
Tahapan penelitian yang penulis lakukan, terpenuhi. Para pelanggan tersebut tidak
antara lain, (1) pengamatan dan pembacaan pernah meninggikan kedudukan Marty
mendalam terhadap data yang akan diteliti, dalam pandangan mereka.
yaitu keempat cerpen karya Ajidarma; (2) Sandra menjadi inferior di mata
penentuan poin-poin yang akan dibahas Marty yang juga sudah lama terjerat dalam
dalam karya tersebut, yaitu poin yang inferioritas Mami. Marty berjuang keras
menunjukkan dua fokus penelitian tersebut, untuk menunjukkan eksistensinya dengan
gender dan keliyanan; (3) penentuan memilih calon pelanggannya. Marty
landasan teori berikut pencarian referensi terkadang menjadi sumber sinisme rekan-
yang relevan dengan topik yang akan rekan sesama PSK di bawah asuhan mamih.
diteliti; (4) pengolahan data; dan (5) Ia kurang disukai di kalangan para
penyusunan hasil penelitian berupa penghibur di klab malam asuhan Mami itu.
penulisan artikel ilmiah. Berdasarkan Namun, Marty menunjukkan hegemoninya
pembacaan sekilas pada beberapa karya terhadap Sandra yang kerap kali dianggap
ilmiah yang meneliti karya Ajidarma, sebagai penghalang sepak-terjangnya di
kebanyakan mengungkapkan aspek dunia malam. Hal itu ia tumpahkan pada
intrinsik karya pengarang yang berkaitan kekerasan verbal atau fisik yang diderakan
dengan aspek kekuasaan, terutama pada pada Sandra.
masa rezim Orba berkuasa. Artikel ini Dalam “Sepotong Senja untuk
hanyalah mengisi setitik rumpang lahan Pacarku” Alina sebagai perempuan
penelitian karya Ajidarma, terutama digambarkan sebagai perempuan yang
dikaitkan dengan gender dan keliyanan. pasif. Ia hanya bisa menerima keadaan yang
tidak menyenangkan ketika sebuah
keinginannya terpenuhi. Ia digambarkan

121
Suar Bétang, Vol.12, No. 2, Edisi Desember, 2017:117—128

sebagai inferior sementara tokoh aku anak-anak mereka. Sempitnya pola pikir
sebagai superior. Tokoh aku berjuang di kedua perempuan itu tampak jelas terlihat
ranah publik dengan membawa harapan ketika mereka tidak dapat menerima
berupa “senja” kepada tokoh Alina. Alina Antonio dalam kondisi yang sangat di luar
berkedudukan sebagai perempuan pasif perkiraan mereka. Kedua perempuan itu
karena ia diposisikan sebagai penunggu tidak dapat menerima perubahan dalam satu
harapan. Ia tidak tahu jika tokoh aku hampir waktu. Pola-pola baku tentang siapa
menemui ajalnya karena menjadi buronan Antonio dalam pikiran mereka sulit
kaum petinggi yang tidak rela “asetnya” di dilepaskan begitu saja. Maria dan
curi oleh laki-laki itu yang dianggap Evangelista merupakan simbol kelemahan
sebagai minoritas. negeri ini yang sulit beranjak dari
Dalam cerpen “Telinga”, dihadirkan keterpurukan, ketergantungan kepada pihak
tokoh Dewi sebagai kekasih salah seorang luar yang dianggap lebih maskulin,
aparat yang pada akhirnya selalu kehausan meskipun dengan risiko yang sangat tinggi.
untuk memenggal telinga dan kemudian Antonio dianggap sebagai sosok maskulin
kepala para warga yang dianggap sebagai yang seolah kalah di hadapan sosok feminin
pemberontak. Dewi digambarkan sebagai yang semula diharapkannya untuk menjadi
perempuan yang dibutakan dengan tempat bernaung dan berbagi. Antonio tidak
pemberian kekasihnya. Ia juga digambarkan dianggap sebagai sosok yang kelak mampu
sebagai perempuan yang mudah menerima menjadi nakhoda di rumah itu. Jika
gratifikasi sehingga sebuah kejahatan di diibaratkan pada kondisi negeri ini, Antonio
matanya menjadi arena kebangkitan merupakan orang yang berbakat (seniman
kepahlawanan kekasihnya. Dewi musik) yang dapat mengangkat derajat
menganggap kekasihnya sebagai pahlawan, orang tuanya. Banyak orang berbakat yang
meskipun pada kenyataannya ia menjadi sesungguhnya dapat mengharumkan negeri
pembunuh bayaran yang ditugaskan negara ini lalu ditolak di rumahnya sendiri dan
untuk menumpas pemberontakan di sebuah pada akhirnya lebih memilih pergi ke negeri
daerah konflik. Perempuan digambarkan asing dan berkiprah di tempat itu. Kasus dr.
sebagai inferioritas dengan segala Warsito dengan teknik pengobatan kanker
kelemahannya. Tidak tertutup kemungkinan elektroniknya merupakan salah satu
Dewi dihadirkan sebagai simbol atas lemahnya bangsa ini dalam menghargai
kelemahan negeri ini dalam menghadapi potensi anak negeri. Tidak mengherankan
konfliknya sendiri. Tidak mampu mandiri jika negeri ini ibarat Maria dan Evangelista
dalam menangani berbagai permasalahan yang tenggelam dalam kesempitan dan
negeri, mudah bergantung pada bantuan kegelapan.
orang lain, meskipun bantuan tersebut Dari keempat cerpen tadi, sosok
bukan semata bantuan sosial. Di balik itu, perempuan digambarkan sebagai pihak
ada sederet syarat berat yang harus pasif dengan pola pikir tradisional.
ditanggung negeri ini untuk mendapatkan Pengotak-kotakan wilayah domestik-publik
bantuan itu. sangat dilandasi oleh pandangan bias
Dalam cerpen “Maria”, Maria dan gender. Jika ada perempuan yang berusaha
Evangelista digambarkan sebagai sosok untuk keluar dari zona nyaman, ia akan
inferior yang sempit pola pikirnya. Mereka menemui kesulitan atau kesengsaraan
terkurung sekian lama di balik tembok seperti yang digambarkan oleh Marty.
rumah setelah kehilangan suami dan anak- Tekanan patriarkis pada kehidupan
anak mereka. Ketergantungan kepada sosok perempuan dalam keempat cerpen juga
maskulin tampak jelas pada diri kedua menyudutkan mereka pada posisi inferior.
perempuan itu yang tenggelam dalam duka Ketidakdayaan untuk menyatakan gugatan,
yang panjang atas kehilangan suami dan atau sekadar membuka pikiran, dianggap

122
Resti Nurfaidah: Kritik Adjidarma dalam Empat Cerpen ...

sebagai hal yang kurang lazim. Konflik Marty yang kesepian karena
femininitas dalam “Pelajaran Mengarang” kehilangan cinta sejati dan impian untuk
menimbulkan budaya persaingan pada membangun keluarga ideal, lalu meluapkan
sesama PSK dalam asuhan Mami. Marty kepedihannya pada jalur yang kelam,
menumpas persaingan tersebut dengan sebagai perempuan penghibur. Marty
merebut beberapa pelanggan eksekutif. hamil, tetapi entah siapa laki-laki yang
Dewi dalam “Telinga” dibutakan matanya harus ia tuntut untuk bertanggung jawab. Di
oleh kekasihnya. Kejahatan laki-laki di satu sisi, naluri keibuannya muncul dan
ranah publik dianggap sebagai hal yang membiarkan janin tumbuh dalam tubuhnya.
biasa. Alina juga tidak tahu menahu Ia menjadi orang tua tunggal bagi Sandra.
beratnya membawa aset negara meskipun Marty yang kehilangan konsep keluarga
hanya satu inci ke dalam ranah domestik. Ia ideal, lalu menumpahkan frustasinya
membutakan matanya karena cinta. Kata kepada Sandra ketika ia merasa kesal,
cinta dianggap sebagai sarana untuk belum mendapatkan pelanggan atau
melanggengkan peranan patriarkis dalam menaruh kekecewaan pada pelanggannya
kehidupan. Dalam “Maria” perang itu. Marty seolah menjadi dua sisi yang
merupakan doktrin maskulinitas besar yang berlawanan. Pada satu sisi, ia mampu
melanda terutama pada kaum perempuan bertindak sebagai ibu yang baik, tetapi
dan anak-anak. Perang menekankan rasa kebanyakan waktunya tersita sebagai ibu
takut yang berlebihan pada mereka. Maria yang tidak ideal.
dan Evangelista mengalami hal itu. Mereka Namun, wanita itu tak selalu berperilaku
tidak dapat berpikir jernih ketika begitu. Sandra lebih sering melihatnya
menghadapi perubahan yang drastic dalam tingkah laku yang lain (Ajidarma,
pascaperang. Rasa takut yang luar biasa 1996, hlm. 4).
membuat mereka untuk menginci diri
dalam zona nyaman, meskipun dalam satu Sandra kerapkali mendapatkan
sisi, mereka masih memerlukan kehadiran makian dan diperlakukan dengan tidak
sosok maskulin, Antonio. manusiawi.Lebih parah lagi. Dalam kondisi
tidak sadarkan diri, karena pengaruh
Kritik Ajidarma atas Keliyanan dalam minuman keras, Marty melayani
Empat Cerpen pelanggannya di depan Sandra yang
Dalam “Pelajaran Mengarang”, keliyanan dikiranya tertidur.
terjadi secara turun-temurun. Sandra Dampak perlakuan Marty, tanpa
mengalami hal itu sebagai anak dari disadari, mengaburkan Sandra dari konsep
seorang wanita penghibur. Ibunya, Marti, keidealan sebuah keluarga.Sandra merasa
bekerja sebagai wanita penghibur di sebuah ter-Liyan-kan dalam sebuah ruang kelas
bar merangkap sebagai PSK secara mandiri. ketika pelajaran mengarang tiba. Sang guru,
Kedudukan sebagai perempuan penghibur Ibu Tati, seolah bertindak sebagai ratu di
menyebabkan Marty tersudutkan oleh dalam kelas yang berhak untuk menentukan
lingkungannya sendiri, terutama, para tema dalam pelajaran mengarang. Tema
pelanggan, Mamih, dan nasibnya sendiri. yang dipilih saat itu adalah keluarga
Hal itu tidak jarang menimbulkan frustrasi bahagia, satu hal yang tidak akan pernah
yang liar dalam hidup Marty. Tidak jarang, Sandra temui dalam hidupnya. Tidak satu
ia me-Liyan-kan anaknya sendiri dengan kata pun dalam otak Sandra yang mampu
mencap Sandra sebagai “anak setan” atau tertuang pada lembar kertas kosong itu.
“anak jadah”. Kata setan dan jadah sendiri Sandra harus memutar otak untuk
sudah lama menjadi cap bagi Marty dan mengemas sebuah bingkisan kata yang
juga perempuan lain yang seprofesi layak dituangkan ke dalam kertas tentang
dengannya. sosok keluarganya. Yang ia miliki hanya

123
Suar Bétang, Vol.12, No. 2, Edisi Desember, 2017:117—128

seorang ibu. Ibu yang tubuhnya indah dan kehidupan urban. Keduanya hidup dalam
wajahnya cantik, tetapi perokok dan bilik-bilik yang terbatas. Marty terbatas
pemabuk dengan perangai yang dianggap pada kekuasaan seorang Mami dengan
tidak layak ditunjukkan oleh seorang sederet keharusan yang patut dipatuhi jika
perempuan berkriteria cantik. Sandra harus ingin tetap berkibar di tempat hiburan itu.
menguraikan simbol-simbol yang mampu Selain itu, hidup Marty juga sangat
membentuk rangkaian kata tentang ibunya. bergantung pada belas kasihan
Dia ingat bagaimana ia melihat sang ibu pelanggannya yang wujudnya ibarat
bekerja di tempat hiburan, bagaimana sang fatamorgana. Ada tetapi sulit dijamah
ibu “bekerja” di rumah sementara ia dalam kehidupan nyata. Para pelanggan
diselundupkan di bawah dipan, bagaimana yang matanya hanya tertuju pada
sang ibu bereaksi terhadap pelanggannya, kecantikan wajah dan keindahan tubuh
sikap sang ibu dalam keseharian di rumah Marty. Kebahagiaan Marty merupakan
dan ketika sedang di luar rumah, kode-kode kebahagiaan semu. Marty boleh jadi
yang selalu bermunculan pada layar pager mendapatkan kontrak dari pelanggannya
yang selalu ia baca, dan sebagainya. Buah selama beberapa hari. Namun, apa yang ia
kerja keras Sandra lalu tertuang dalam peroleh bukan kebahagiaan hakiki. Hasil
sebuah kalimat singkat yang cukup yang ia dapatkan dibagikannya kepada
menohok sang guru, “Ibuku seorang Sandra, tetapi anak itu menganggapnya pula
pelacur”. sebagai kebahagiaan semu karena
Perempuan dalam hampir budaya kebanyakan ia menghadapi sosok ibu yang
kebanyakan cukup termarginalkan lain. Kehidupan Marty adalah kehidupan
kedudukannya dalam kacamata sosial. materi.Batin manusia yang tidak pernah
Perempuan yang dianggap sebagai warga terisi lalu menyebabkan frustrasi yang
lapis kedua cenderung dipantaskan hanya parah. Manusia di piah-pilah dengan ruang-
pada ranah domestik, hingga hadir ruang yang terbatas, dengan penguasa yang
pembatasan ruang aktivitas khusus berkuasa di ruang itu, dengan kuasa di atas
perempuan (dalam budaya Jawa, misalnya): penguasa ruang sempit itu membentuk
sumur, dapur, kasur. Perempuan dianggap hirarki. Dunia materi pada rezim yang lalu
sebagai konco wingking yang posisinya yang dipenuhi dengan hukum rimba, siapa
selalu berada di balik punggung laki-laki yang ingin bertahan (disimbolkan dengan
dengan segala kelemahannya.Terlebih bagi keberhasilan Marty memperoleh pelanggan
perempuan penghibur, seperti Marty. kaya), tetapi dihadang dengan konsekuensi
Kedudukan mereka ibarat dua sisi mata yang berat.
uang. Pada satu sisi, mereka dibutuhkan Sandra menghadapi kehidupan yang
untuk pemuasan hasrat kaum patriarki. sulit. Hidupnya dibatasi ruang-ruang
Namun, pada sisi lain, mereka disudutkan frustrasi ibunya, terbatasnya koneksi
sebagai pelaku profesi yang paling hina. dengan teman sebayanya, dan keinginannya
Dampaknya, stigma yang sudah dibakukan yang terpasung. Sandra dibutakan dengan
selama bertahun-tahun, senantiasa hadir doktrin Marty agar ia tidak banyak bicara
dalam setiap generasi. Masyarakat, dan mempertanyakan keberadaan ayahnya.
perempuan dan laki-laki, tidak menerima Pengekangan Sandra merupakan simbol
kehadiran perempuan seperti Marty. atas pengekangan serupa pada kelompok
Namun, sebagian laki-laki memperlakukan marginal dalam suatu pemerintahan
mereka dengan tidak adil, mencela tetapi otoriter. Penderitaan yang berkepanjangan
sekaligus menjadikan mereka sebagai lahan mendorong Sandra untuk membebaskan
alternatif pencari kepuasan. diri. Namun, Sandra tidak pernah dilatih
Sandra dan Marty ibarat gambaran untuk mengembangkan diri dan mengatasi
manusia yang termarjinalkan dalam masalah. Ia hanya bisa memendam

124
Resti Nurfaidah: Kritik Adjidarma dalam Empat Cerpen ...

keinginan itu dalam-dalam. Hal itu Tokoh aku diibaratkan seorang Robin Hood
diungkapkan dalam kutipan berikut. yang berbuat baik dengan cara hina,
Sandra masih memandang ke luar mencuri. Apa yang ia curi bukanlah benda
jendela. Ada langit yang biru di luar sana. yang mahal, hanya sepotong senja. Kata
Seekor burung terbang dengan kepakan senja dalam KBBI seri luring (luar jaringan)
sayap yang anggun (Ajidarma, 1996, bermakna waktu hari setengah gelap
hlm. 4). sesudah matahari terbenam. Senja dan fajar
pada saat kemunculannya selalu
Sandra melayangkan pandangan ke memberikan pemandangan yang sangat
luar jendela tempat hiburan. Hal itu indah. Nuansa keemasan hadir di tengah
menyiratkan bahwa apa yang ada di luar perubahan awan yang gelap. Sepotong senja
sangatlah luas. Hal itu menggoda Sandra dalam cerpen tersebut bukan bermakna hal-
untuk melambungkan keinginaanya berada hal yang berbau kelam, melainkan harapan,
di luar ruang yang mengekangnya. kebahagiaan, atau kesempatan emas yang
Ketidakmengertian Sandra terhadap dapat dinikmati oleh Alina sebagai seorang
penempatan para perempuan di sebuah perempuan dan sebagai seorang rakyat di
tempat yang tertutup kaca digambarkan tangah penguasa. Namun, senja merupakan
bahwa manusia pada rezim masa lalu tidak bagian dari alam. Alam menjadi milik
dibiarkan untuk berpikir panjang, kekuasaan dan sang penguasa. Penggunaan
berwawasan luas, dan memiliki pemahaman alam harus seizin sang penguasa.
yang mendalam. Jika Sandra bersuara, akan Pemotongan senja oleh tokoh aku dianggap
ada sanksi berat yang diterimanya dari sebagai tindakan kejahatan subversif,
Marty. Satu hal yang patut dilakukan oleh meskipun tokoh tersebut sudah
Sandra di mata Marty sebagai penguasa menggantinya dengan benda yang sangat
adalah tutup mulut dan menurut. Burung mirip. Pascareformasi, kerapkali muncul
terbang merupakan simbol kebebasan hidup pencubitan kekayaan alam, meskipun dalam
di lahan yang seolah tidak terbatas (langit). jumlah yang remeh temeh, yang dianggap
Burung juga menjadi simbol perdamaian. sebagai tindakan kriminalitas kelas tinggi.
Sandra merindukan kehidupan yang bebas Ingatkah kita pada kasus seorang nenek
dan damai. Ia ingin lepas dari sekat-sekat buruh kebun singkong yang dianggap
ruang hidupnya saat ini. Sebagai catatan, mencuri hasil kebun, padahal ia hanya
masih ada penguasa lain yang turut mengambil beberapa batang singkong yang
menyudutkan posisi Sandra, yaitu Ibu Guru tidak seberapa besarnya? Kasus
Tati yang memaksanya memaknai sebuah pengambilan satu-dua buah cokelat yang
dunia yang sama sekali asing baginya, dilakukan buruh renta? Kasus penganiayaan
keluarga. atau pembunuhan warga yang berusaha
Sementara itu, “Sepotong Senja untuk mempertahankan tanah-tanah miliknya?
Pacarku” bercerita tentang perjuangan Kasus “pembersihan” warga yang vokal
seorang aku untuk memberikan benda yang terhadap hak asasi minoritas? Harapan dan
sangat diinginkan kepada pasangannya itu. kebahagiaan seakan hanya mutlak menjadi
Namun, apa yang diinginkan sang kekasih milik pendudukan kelas tinggi dan
bukanlah barang yang bebas pakai, eksklusif. Kaum minoritas dan marginal
melainkan bagian dari benda alam yang seolah tidak dibiarkan untuk menikmati
sudah dikuasai oleh negara. Tidak heran, kebahagiaan. Alina adalah seorang
kekasih pun harus mengalami peristiwa perempuan. Ia bukan siapa-siapa. Ia hanya
yang cukup miris, pengejaran oleh aparat menginginkan setitik kebahagiaan melalui
hingga tempat tersulit sekalipun. Sekeping kebaikan kekasihnya. Namun, keinginan
senja itu pada akhirnya sampai sampai juga Alina dianggap sebagai sesuatu yang
di tangan sang kekasih yang bernama Alina. berlebihan dan merusak kebahagiaan para

125
Suar Bétang, Vol.12, No. 2, Edisi Desember, 2017:117—128

pemilik kekuasaan. Kekasihnya menjadi aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang
buronan bahkan ketika ia sudah mengganti sebesar kartu pos. jadi, meskipun persis
benda yang hilang itu. Rakyat kecil itu sama, bukan tempat yang sama.
terpaksa menyelinap dan bersembunyi ke (Ajidarma, 1996, hlm. 15).
sebuah tempat yang terpencil. Penguasa
tidak membiarkan hartanya hilang sedikit Cerpen “Telinga” bercerita tentang
pun dengan mengerahkan aparat yang genosida. Dalam gaya cerita dalam cerita,
tunduk kepadanya. Ke mana pun tokoh aku telinga menjadi komoditas yang diberikan
pergi, ia selalu diburu. Nasib Alina oleh seorang aparat yang sedang bertugas di
menggantung hingga akhir cerita. Hal itu sebuah ranah konflik. Telinga tersebut
menyiratkan masih banyaknya urusan dijadikan sebagai hadiah bagi sang kekasih.
publik yang menggantung tanpa Benda itu bukan merupakan mainan,
penyelesaian. Bantuan kepada tokoh aku melainkan telinga sungguhan. Telinga para
didapatkan oleh seseorang yang tinggal di korban penembakan aparat di daerah
dalam sebuah lorong. Lorong merupakan konflik. Telinga merupakan alat untuk
sebuah tempat yang gelap yang digunakan mendengar. Sebuah daerah konflik yang
sebagai tempat untuk berlalu dan menuju ke terletak sangat jauh dari pusat pemerintahan
tempat lain, atau saluran untuk mengalirkan seolah tertinggal dalam segala hal. Daerah
sesuatu, misalnya saluran air kotor. Lorong tersebut cenderung menjadi “bulan-
bukanlah tempat yang menyenangkan. bulanan” kaum penguasa. Eksploitasi
Tempat itu dijadikan sebagai sarana budaya dan kekayaan alam tidak terkendali
perlindungan bagi rakyat kecil. Artinya, sementara penduduknya dibiarkan
minoritas selamanya akan tersudut pada tertinggal. Ketidakadilan dalam
tempat-tempat yang sulit. Hal itu pembangunan menyebabkan terjadinya
digambarkan dengan kalimat seorang pemberontakan penduduk setempat.
gelandangan yang membantu Dengan mudah, penguasa mengerahkan
menyelamatkan tokoh aku. aparat untuk meredakan hal itu. Aparat
“Masuklah, kamu tidak punya pilihan seolah diberi keleluasaan untuk melakukan
lain.” (Ajidarma, 1996, hlm. 14). apa saja asalkan mampu meredam
kericuhan, di antaranya dengan
memberikan ancaman yang cukup
Lorong dalam cerpen tersebut
istimewa. Siapa saja yang dianggap
menjadi istana yang layak bagi para
membahayakan keamanan di daerah itu,
marginal. Di tempat itu terdapat harapan
harus menjalani hukuman potong telinga.
dan kebahagiaan hanya untuk mereka. Hal
Hal itu dilakukan untuk memberikan
itu digambarkan dengan munculnya pantai
peringatan kepada warga lainnya agar tidak
yang tidak kalah indah dan hampir
berbuat hal serupa.
menyerupai tempat tokoh aku ketika
Kami memang biasa memotong telinga
menemukan senja di dunia atas. Hal itu orang—orang-orang yang dicurigai,
menyiratkan adanya hirarki yang jelas, sebagai peringatan atas risiko yang
feodalisme. Status sosial menentukan mereka hadapi jika menyulut
fasilitas yang layak dinikmati. pemberontakan (Ajidarma, 1996, hlm.
Tangga itu menuju ke sebuah mulut gua, 87).
dan tahukan kamu ketika aku keluar dari
gua itu aku ada di mana? Di tempat yang Aspek kemanusiaan tidak berlaku di
persis sama dengan tempat di mana aku tempat itu. Pembungkaman terjadi secara
mengambil senja itu untukmu Alina. brutal dengan kemasan yang cukup indah.
Sebuah pantai dengan senja yang bagus:
Doktrinasi terjadi bukan hanya kepada
ombak, angin, dan kepak burung—tak
lupa cahaya keemasan dan bias ungu warga yang dianggap sebagai pemberontak,
pada mega-mega yang berarak bagaikan melainkan pada aparat yang menjalankan

126
Resti Nurfaidah: Kritik Adjidarma dalam Empat Cerpen ...

tugas pemberantasan konflik. Darah dan menutup pintu rumahnya sendiri dan
kekerasan menjadi sekolah yang terpuruk dalam trauma berkepanjangan atas
membentuk efek sadistis pada diri aparat. Ia peristiwa itu. Mereka menghindari
dibuat bebal dan matanya dibutakan kedatangan orang asing ke rumahnya.
tugasnya sendiri. Semua warga dianggap
sebagai musuh. Tugas untuk mengamankan PENUTUP
lambat laun menjadi sarana untuk Kritik sosial Ajidarma hadir sebagai wujud
melakukan pembantaian. Hati nuraninya kepekaan tinggi dalam membaca situasi dan
sudah terkikis. Frustrasi bukan muncul di kondisi lingkungan dan negeri ini.
tengah warga, melainkan pada aparat Pengetahuan yang luas dan kepiawaian
keamanan sendiri. dalam merangkai kata, membuat Ajidarma
“Maria” bercerita tentang seorang ibu mampu melahirkan karya sarat pesan
yang tidak hentinya menantikan kedatangan dengan kemasan yang sangat indah.kritik
anak kesayangannya dari peperangan. sosial yang muncul dalam keempat cerpen
Cerpen tersebut bercerita tentang berikut: “Pelajaran Mengarang”, “Sepotong
perempuan-perempuan yang kehilangan Senja untuk Pacarku”, “Telinga”, dan
para laki-laki. Maria dan Evangelista sama- “Maria” terarah pada dua fokus berikut,
sama kehilangan suami dan anak-anak laki- yaitu gender dan keliyanan.
lakinya. Para laki-laki itu dikabarkan hilang Konflik gender terjadi karena karena
di kancah perang. Maria masih kehilangan. Konflik tersebut seolah tidak
mengharapkan kehadiran dan kepulangan pernah terselesaikan karena tokoh
kembali Antonio. Tidak seperti kakak dan perempuan tidak pernah diberikan lahan
ayahnya, Antonio bukanlah laki-laki yang untuk mengembangkan pola pikirnya dan
memiliki kepiawaian perang yang hebat. Ia berlatih menuntaskan penyelesaian
merupakan seniman sejati dan anak konfliknya. Konflik gender dalam
kesayangan ibu. Ketika ia menjadi satu- penelitian mengarah pada inferioritas. Hal
satunya laki-laki, ia diharapkan akan itu menyebabkan tokoh perempuan
menjadi nakhoda bagi ibu dan tantenya. mengalami keterbatasan dalam pola pikir
Namun, ia tidak dapat menghindari dan penyelesaian konflik.
ketentuan perang bagi kaum laki-laki. Keliyanan terjadi karena dikotomi
Ranah publik tampak menelan secara perempuan dan laki-laki. Tokoh perempuan
mutlak bakat dan keinginan Antonio di-liyan-kan atas eksistensi laki-laki.
pribadi. Ia mengalami penculikan dan Keliyanan perempuan menyebabkan
penyiksaan yang cukup parah sehingga tersudutnya mereka pada marginalitas.
rusak fisik dan psikisnya. Namun, kondisi sebaliknya terjadi pada
Sayangnya, Maria dan Evangelista pada cerpen “Maria”, tokoh Antonio di-
tidak dapat menerima kehadiran Antonio liyan-kan oleh keluarganya sendiri yang
sebagai anggota laki-laki di rumah itu notabene terdiri dari para perempuan.
dengan tubuh yang hampir tidak dapat
dikenali. Antonio dimarjinalkan orang DAFTAR PUSTAKA
rumahnya sendiri. Jerih payahnya untuk
kembali ke rumah menjadi sia-sia. Ibu yang Ajidarma, S. G. (1993a). Maria. Kumpulan
diharapkannya menjadi pelabuhan hatinya, Cerpen Kompas 1993 Pelajaran
lalu menolak dirinya mentah-mentah. Mengarang. Jakarta: Kompas.
Penolakan tersebut berakhir menyedihkan.
Antonio kembali ke jalanan dan harus Ajidarma, S. G. (1993b). Pelajaran
menjalani hidup yang tidak menentu. Maria Mengarang. Kumpulan Cerpen
dan Evangelista mengakhiri penantian Kompas 1993 Pelajaran Mengarang.
panjangnya untuk Antonio. Keduanya Jakarta: Kompas.

127
Suar Bétang, Vol.12, No. 2, Edisi Desember, 2017:117—128

Ajidarma, S. G. (1993c). Sepotong Senja Muda di Jerman dalam Novel “Und


untuk Pacarku. Kumpulan Cerpen Wenn Shon!” dan
Kompas 1993 Pelajaran Mengarang. “Steingesicht”Karya Karen Susan
Jakarta: Kompas. Fessel. (Skripsi). Depok: FIB,
Universitas Indonesia.
Ajidarma, S. G. (1993d). Telinga.
Kumpulan Cerpen Kompas 1993 Sarumpaet, R. K. (2010). Pedoman
Pelajaran Mengarang. Jakarta: Penelitian Sastra Anak. Jakarta: Pusat
Kompas. Bahasa Indonesia.
Ajidarma, S. G. (1996). Jazz, Parfum, dan Wibowo, A. (2008). Simon De Beauvoir:
Insiden. Yogyakarta: Bentang. Feminisme Eksistensialis. Diakses 16
Oktober 2017, melalui
Biantoro, B. A. (2012). Kritik Sosial dalam
http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/07
Novel Kalatidha Karya Seno Gumira
/28/simon-de-beauboir-feminisme-
Ajidarma: Tinjauan Sosiologi Sastra.
eksistensialis/
(Skripsi). Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Bressler, C. (2002). Literary Criticism.
London: Prentice- Hall International.
Cavallaro, D. (2004). Critical and Cultural
Theory. Edisi terjemahan oleh Laily
Rahmawati. Yogyakarta: Niagara.
Didipu, H. (2013). Fungsi Sastra. Diakses
12 Juni 2017, melalui
http://dosen.ung.ac.id/herdi/home/201
3/1/9/fungsi_sastra.html
Holmes, M. (2007). What is Gender:
Sosiological Approaches. London:
Sage Publications.
Indra, A. B. (2015). Wacana Kekuasaan
dalam Karya Seno Gumira Ajidarma,
Penembak Misterius dan Saksi Mata.
dalam D. Suryaman, Maman (Ed.),
Bahasa, Sastra, dan Kekuasaan.
Yogyakarta: Interlude.
Nurhadi. (2004). Analisis Hegemoni pada
Iblis Tidak Pernah Mati Karya Seno
Gumira Ajidarma. Jurnal Litera,
25(Juli).
Oakley, A. (1972). Sex, Gender, and
Society. London: Temple Smith.
Ratna, N. K. (2008). Teori, Metode, dan
Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Salim, D. R. (2008). Deskripsi Toleransi
dan Intoleransi di Kalangan Anak

128

Anda mungkin juga menyukai