Anda di halaman 1dari 11

Diglosia – Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Sastra Indonesia e-ISSN: 2549-5119

Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka


Vol. 3, No. 2, Agustus 2019

RASISME DALAM NOVEL BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA


ANANTA TOER: KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

Muhammad Fauzi Ridwan1, Kunto Sofianto2


1,2Universitas Padjajaran
1fauzibenridwan@gmail.com
2kunto.sofianto@unpad.ac.id

Abstrak

Karya sastra novel menjadi salah satu media bagi pengarang untuk
menyalurkan ide dan gagasan tentang kondisi sosial masyarakat pada
zamannya, sebab novel merupakan salah satu karya yang bisa mencerminkan
kondisi sosial di masyarakat secara detail. Salah satu isu yang muncul
kepermukaan pada masa penjajahan Belanda di Indonesia adalah tentang
perilaku rasisme. Novel Bumi Manusia milik Pramoedya Ananta Toer, salah
satu karya sastra masterpiece yang membahas tindakan rasisme pada masa
kolonial. Penelitian perlu dilakukan untuk mengetahui sejauhmana praktik
rasisme terhadap masyarakat Indonesia oleh penjajah Belanda. Pendekatan
yang digunakan dalam kajian yaitu Sosiologi Sastra dengan metode
penelitian deskriptif kualitatif. Hasil yang diperoleh, rasisme yang dilakukan
oleh kolonial Belanda tidak sebatas hanya membedakan orang berdasarkan
warna kulit. Namun, bentuk rasisme yang muncul dalam novel hinggga pada
hak-hak masyarakat yang dibatasi oleh kolonial.

Kata kunci: novel, bumi manusia, sosiologi sastra, rasisme

Abstract

Novel literary works became one of the media for the author to channel ideas
and ideas about the social conditions of the community in his day, because the
novel is one of the works that can reflect the social conditions in society in
detail. One issue that surfaced during the Dutch colonial period in Indonesia
was racism. Pramoedya Ananta Toer's novel Bumi Manusia, one of the
masterpiece literary works that discusses racism in colonial times. Research
needs to be done to determine the extent of the practice of racism against
Indonesian society by the Dutch colonizers. The approach used in the study is
the Sociology of Literature with descriptive qualitative research methods. The
results obtained, racism carried out by the Dutch colonials was not limited to
just differentiating people based on skin color. However, the form of racism that
appears in the novel up to the rights of people who are restricted by the
colonial.

Keywords: novels, bumi manusia, literary sociology, racism


[1]

Rasisme dalam Novel | Ridwan dan Sofianto


Diglosia – Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Sastra Indonesia e-ISSN: 2549-5119
Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka
Vol. 3, No. 2, Agustus 2019

A. PENDAHULUAN yaitu ras Mongoloid atau ras kulit


Novel adalah karya sastra yang kuning, ras Negroid atau ras kulit
mampu mencerminkan kondisi hitam, dan ras Kaukasoid atau ras
sosial masyarakat secara detail dan kulit putih. Pengelompokan ras tidak
realistis. Novel merefleksikan cara serta merta membuat antarsatu ras
berpikir masyarakat dalam dengan yang lainnya lebih unggul.
menghadapi persoalan-persoalan di Namun, dalam kehidupan sosial
lingkungannya (Sumardjo, 1999, fakta tersebut melahirkan kelas
hlm. 215). Novel bersifat realistis, sosial yang mendorong terciptanya
novel berkembang dari dokumen- praktik rasisme.
dokumen. Secara stilistika, novel Goodman, Moses, dan Jones
menekankan pentingnya detail dan (2012) membahas tentang awal mula
bersifat mimesis dalam arti yang ras “kulit putih” yang menganggap
sempit. Novel lebih mengacu pada dirinya paling unggul di Benua
realitas yang tinggi dan psikologi Amerika. Supremasi kulit putih
yang lebih mendalam (Wellek dan dimulai saat ekspansi yang dilakukan
Warren, 1989, hlm. 283). Selain itu, oleh kulit putih Inggris beragama
novel mencerminkan gambaran anglo Saxon Prostestan di benua
tokoh nyata, tokoh yang berangkat tersebut. Sikap rasisme tidak hanya
dari realitas sosial. Novel dapat ditunjukan kepada kulit hitam dan
menyampaikan dialog yang dapat penduduk asli setempat yaitu Indian.
menggerakan hati pembaca. Lewat Namun, kepada warga kulit putih
novel, pembaca diajak melakukan lainnya yang berbeda agama dengan
eksplorasi dan penemuan diri mereka. Saat itu, kulit putih memiliki
(Nurgiyanto, 2007, hlm. 72). keistimewaan hak dalam berbagai
Salah satu persoalan yang banyak lini kehidupan yang tidak bisa
diangkat oleh pengarang dalam dimiliki oleh ras di luar itu.
cerita novel adalah tentang Kependudukan Belanda di
pertentangan ras atau rasisme. Indonesia era kolonial turut
Fredrickson (Hafizh, 2016) melahirkan praktik rasisme. Salah
mengungkapkan rasisme adalah satunya adalah penyebutan istilah
suatu keyakinan yang mempunyai pribumi bagi masyarakat yang
dua komponen, yaitu perbedaan dan dianggap kelas rendah oleh penjajah.
kekuasaan. Rasisme berasal dari Hal tersebut didasari oleh
sikap mental yang memandang pemahaman Belanda tentang
mereka berbeda dengan kita secara supremasi kulit putih di benua
permanen dan tidak terjembatani. Eropa.
Perasaan berbeda tersebut Pramoedya Ananta Toer adalah
kemudian mendorong masyarakat salah satu sastrawan ternama
ras yang merasa lebih unggul untuk Indonesia yang telah menghasilkan
mendominasi dan menguasai karya masterpiece. Di antara karya-
masyarakat ras lainnya. karya yang dilahirkannya terdapat
Oommen (Hafizh, 2016) karya tetralogi pulau Buru, yaitu
mengatakan mengelompokkan ras Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa,
manusia dalam tiga kelompok besar, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
[2]

Rasisme dalam Novel | Ridwan dan Sofianto


Diglosia – Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Sastra Indonesia e-ISSN: 2549-5119
Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka
Vol. 3, No. 2, Agustus 2019

Karyanya banyak yang membahas sudut pandang kajian sosiologi


tentang praktik rasisme saat kolonial sastra. Pendekatan sosiologi sastra
Belanda, salah satunya Bumi umumnya digunakan dalam
Manusia. menganalisis sebuah novel. Menurut
Novel Bumi Manusia dibuat oleh Laurenson dan Swingewood (Akbar,
Pramoedya ketika dirinya berada di Winarni, dan Andayani, 2013)
penjara di Pulau Buru. Novel yang terdapat tiga perspektif dalam
telah diterjemahkan ke banyak penelitian sosiologi sastra, yaitu
bahasa ini sempat dilarang penelitian yang memandang karya
peredarannya oleh pemerintah. sastra sebagai dokumen sosial yang
Novel yang menceritakan tentang di dalamnya merupakan refleksi
Minke seorang anak elite pribumi situasi pada saat karya dibuat,
yang mendapatkan pendidikan penelitian yang mengungkapkan
Eropa dan mengalami banyak karya sastra sebagai cermin situasi
diskriminasi ras. Termasuk tokoh- sosial penulis dan penelitian yang
tokoh yang lain (Rahartono, t.t.). menangkap sastra sebagai
Yudiono (Hastuti, 2018) mengatakan manifestasi sejarah dan keadaan
pesan yang muncul dalam novel sosial budaya.
tersebut, yaitu kritik sosial terhadap Adapun penelitian sebelumnya
bentuk-bentuk rasisme dan yang membahas tentang rasisme
feodalisme serta menolak terhadap dalam novel Bumi Manusia
satu bentuk budaya yang dianggap menggunakan teori analisis wacana
mapan. salah satunya adalah Agus Supriatna
Praktik rasisme yang terdapat dan Arman tentang Wacana Rasisme:
dalam novel Bumi Manusia tidak bisa Gambaran Diskriminasi Ras oleh
dilepaskan dari kondisi sosial Kaum Penjajah terhadap Pribumi
masyarakat Indonesia pada masa era pada Novel Bumi Manusia (2017).
kolonial Belanda. Oleh karena itu, Hasil analisis wacana yang dilakukan
penelitian tentang rasisme di Supriatna dan Arman
Indonesia pada masa penjajahan mendesripsikan wacana rasisme
Belanda dalam novel menarik yang terdapat pada novel tersebut
dianalisis untuk mengetahui sejauh merupakan gambaran diskriminasi
mana praktik rasisme tersebut. berdasarkan ras yang dilakukan oleh
bangsa penjajah terhadap bangsa
B. METODE PENELITIAN yang terjajah.
Pada penelitian ini, kajian yang Penelitian lain dilakukan oleh
dilakukan yaitu 1) mendeskripsikan Nur Hastuti (2018) terhadap Novel
isi novel secara garis besar; 2) Bumi Manusia dengan menggunakan
menganalisis unsur intrinsik novel kajian sosiologi sastra. Dalam Novel
Bumi Manusia; dan 3) Bumi Manusia terdapat perbedaan
mendeskripsikan bentuk-bentuk perlakuan masyarakat kelas atas
rasisme dalam karya Novel Bumi yaitu kulit putih dan ningrat
Manusia. Kajian diulas dengan terhadap kelas bawah.
metode penelitian deskriptif Penelitian milik Ira Rahayu dan
kualitatif dengan memanfaatkan Tri Pujiatna menganalisis Novel
[3]

Rasisme dalam Novel | Ridwan dan Sofianto


Diglosia – Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Sastra Indonesia e-ISSN: 2549-5119
Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka
Vol. 3, No. 2, Agustus 2019

Bumi Manusia dengan kajian Nyai Ontosoroh adalah seorang


Feminisme. Hasilnya, tokoh perempuan pribumi yang dinikahi
perempuan yang dimunculkan dalam oleh orang Belanda., Herman
novel tersebut seperti Nyai Mellema. Dia ditawarkan ke seorang
Ontosoroh merupakan sosok yang Belanda oleh ayahnya dengan
kuat, tidak ingin tergantung pada imbalan mendapatkan jabatan.
sosok laki-laki dan mampu berbisnis. Sehingga karena itu, Nyai yang
Nyai Ontosoroh mencerminkan spirit bernama Sanikem itu akhirnya
gerakan feminisme. membenci kedua orang tuanya dan
enggan bertemu keduanya.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN Saat dinikahi siri, nyai dididik
1. Deskripsi Novel oleh tuannya belajar bahasa Belanda,
Sekitar tahun 1880, ketika zaman adat istiadat dan belajar mengelola
penjajangan Belanda di Hindia perusahaan. Hal itu dilakukannya
Belanda, di Kota B terdapat seorang demi bertahan hidup dan tidak ingin
Bupati elite pribumi yang menggantungkan diri kepada
menyekolahkan anaknya Minke (18) suaminya yang baik. Dia mempunyai
ke sekolah H.B.S (pendidikan umum dua orang anak Robert dan Annelius,
untukk orang Eropa dan elite peranakan Indo. Suaminya berubah
pribumi). Dengan latar belakang menjadi galak dan rasis dengan
struktur masyarakat priyai dan menyebut Minke Monyet karena
sosok Minke yang masih polos, dia sebelumnya ada peristiwa bertemu
mendapatkan ilmu pengetahuan anak sah dari istrinya di Belanda.
Eropa tentang modernisasi yang Anaknya di Belanda bekerja seorang
“ditelannya mentah-mentah”. insinyur di Indonesia dan memarahi
Dia yang beragama Islam bapaknya yang meninggalkan
kepincut dengan sosok Annelieus, istrinya di Belanda.
anak dari seorang nyai yang dinikahi Saat berada di rumah Nyai
tuan Belanda yang beragama Kristen. Ontosoroh, anaknya yang sah di
Hingga memutuskan tinggal di Belanda enggan sama sekali
rumah Nyai Ontosoroh karena berkomunikasi dengan Nyai sebab
permintaan nyai dan anaknya (disini dia adalah gundik. Bahkan tidak
Minke sudah bisa disebut liberal menyapa sama sekali. Kondisi
belum menikah, tetapi tidur di tersebut membuat Nyai kesal. Nyai
rumah lawan jenis). Padahal, Minke memiliki perusahaan dengan pekerja
tengah menyelesaikan masa studi yang banyak.
akhir di H.B.S. Namun, hal itu Anak nyai bernama Robert,
diketahui oleh orang tuanya dan enggan disebut peranakan Indo. Dia
meminta Minke menjauhi nyai dan bersikeras adalah seorang Belanda
anaknya. dan tidak menyukai adiknya dan
Namun, Minke tetap bersikukuh nyai. Sementara itu, adiknya
mencintai Annelieus. Dengan Annelius yang dekat dengan nyai
pengetahuannya yang berasal dari merasa lebih menjadi pribumi.
Eropa, ia banyak menentang adat Robert Suurhof dan Jean adalah
istiadat atau budaya di daerahnya. dua orang Eropa teman Minke. Meski
[4]

Rasisme dalam Novel | Ridwan dan Sofianto


Diglosia – Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Sastra Indonesia e-ISSN: 2549-5119
Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka
Vol. 3, No. 2, Agustus 2019

keduanya sering berkomunikasi dan sekolahku bilang di depan kias:


akrab dengan Minke. Robert Suruft yang disampaikan oleh tuan-tuan
guru di bidang pengetahuan umum
memandang Minke tetap seorang sudah cukup luas; jauh lebih luas
kelas kambing rendah. Sementara daripada yang dapat diketahui oleh
itu, Jean mengatakan kulit putih para pelajar setingkat di banyak
superior, kulit putih kalah oleh kulit negeri di Eropa sendiri. Tentu dada
putih, tetapi tidak oleh kulit ini menjadi gembung. Aku belum
pernah ke Eropa. Benar-tidaknya
berwarna. ucapan tuan Direktur aku tak tahu.
Minke menikah dengan Annelius. Hanya karena menyenangkan aku
Kemudian, ayah Anne tewas di cenderung mempercayainya. Lagi
rumah bordir karena keracunan. pula semua guruku kelahiran sana,
Anak pertamanya juga tewas karena dididik di sana pula. Rasanya tak
layak tak mempercayai guru. Orang
penyakit kelamin yang dideritanya tuaku telah mempercayakan diriku
setelah peristiwa tersebut pada mereka. Oleh masyarakat
berlangsung. Karena Herman terpelajar Eropa dan Indo dianggap
merupakan orang Eropa Belanda, terbaik dan tertinggi nilainya di
seluruh perusahaan dan anaknya seluruh Hindia Belanda. Maka aku
harus mempercayainya. Ilmu dan
harus diambil alih oleh pemerintah pengetahuan, yang kudapatkan dari
Belanda. sekolah dan kusaksikan sendiri
Terjadi perlawanan dari Minke pernyataannya dalam hidup, telah
melalui pengadilan. Namun, hal membikin pribadiku menjadi agak
tersebut tidak berlangsung lama berbeda dari sebangsaku pada
umumnya. Menyalahi wujudku
karena akhirnya perusahaannya mati sebagai orang Jawa atau tidak aku
dan Anne harus dibawa ke Belanda. pun tidak tahu. Dan justru
2. Analisis Intrinsik Novel pengalaman hidup sebagai orang
2.1 Penokohan Jawa berilmu pengetahuan Eropa
Minke (Laki-laki). yang mendorong aku suka
mencatat-catat. Suatu kali akan
Islam, pelajar, berpendidikan berguna, seperti sekarang ini”
Eropa. Namun, kritis
mempertanyakan pendidikan barat Robert Suurhof
apakah bagus? Merasa berbeda dari Teman sekolah Minke, suka
orang sebangsanya karena mengejek Minke. Orang Indo
pendidikan Eropa. Orang Jawa menganggap bukan Indo karena
berpandangan Eropa. Orang yang memiliki kewarganegaraan Belanda.
mengaku belum tahu apa-apa Jawa disebut buaya darat. Robert
dengan teknologi modern. Berusia bilang orang pembesar Jawa tidak
18 tahun, sekolah di H.B.S Surabaya akan melakukan madu kalau nikah
(pendidikan umum untuk orang sama Eropa atau Indo.
Eropa dan elite pribumi). Minke anak Dialog
elite pribumi. “Aku tersinggung. Aku tahu
Dialog otak H.B.S. dalam kepala Robert
“Sudah dapat kurasai: ilmu Suurhof ini hanya pandai menghina,
pengetahuan telah memberikan mengecilkan, melecehkan dan
padaku suatu restu yang tiada menjahati orang. Dia anggap tahu
terhingga indahnya. Sekali direktur kelemahanku: tak ada darah Eropa

[5]

Rasisme dalam Novel | Ridwan dan Sofianto


Diglosia – Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Sastra Indonesia e-ISSN: 2549-5119
Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka
Vol. 3, No. 2, Agustus 2019

dalam tubuhku. Sungguh-sungguh padaku. Dan aku ragu. Haruskah


dia sedang bikin rencana jahat aku ulurkan tangan seperti pada
terhadap diriku” wanita Eropa, atau aku hadapi dia
“Waktu mamanya, seorang Indo seperti wanita Pribumi — jadi aku
juga, hendak melahirkan, ayahnya, harus tidak peduli ? Tapi dialah
juga Indo, buru-buru membawanya justru yang mengulurkan tangan.
ke Tanjung Perak, naik ke atas kapal Aku terheran-heran dan kikuk
Van Heemskerck yang sedang menerima jabatannya. Ini bukan
berlabuh, melahirkan di sana. dan: adat Pribumi; Eropa! Kalau begini
ia bukan hanya kawula Belanda, ia caranya tentu aku akan
mendapat kewarganegaraan mengulurkan tangan lebih dahulu”.
Belanda. Dan: barangkali seperti itu “Nyai Ontosoroh, menampilkan
juga tingkah orang-orang Yahudi diri di hadapanku seakan seorang
dengan kewarganegaraan Romawi. yang sudah kenal begitu lama dan
Ia menganggap dirinya lain dari baik tapi aku terlupa siapa —
saudara-saudara sekandung. Ia seorang wanita yang seakan pemah
menganggap diri bukan Indo. Kalau melahirkan aku dan lebih dekat
ia dilahirkan satu km. dari kapal itu, padaku daripada Bunda, sekali pun
barangkali di atas dermaga Perak, nampak lebih muda”
barangkali di atas sampan Madura, “Nyai Ontosoroh yang pandai
dan mendapatkan menawan dan menggenggam hati
kewarganegaraan Madura, orang, sehingga aku pun kehilangan
barangkali akan lain pula solahnya” pertimbangan bahwa ia hanyalah
seorang gundik. Bagaimana pula
Nyai Ontosoroh, gundik tuan Tuan Herman Mellema, pemilik
seluruh kekayaan melimpah ini “
Herman Mellema.
Gundik yang berkebudayaan
Herman Mellema
Eropa. Nyai miliki perusahaan sapi
Suami Nyai Ontosoroh, rasis
perahan. Memiliki tanah yang luas
terhadap pribumi dan kasar.
ratusan hektar. Karakternya tegar,
Dialog
baik, lemah lembut, dan tegas dalam “Bayang-bayang pendatang itu
kondisi tertentu. Memiliki peran disemprotkan, oleh lampu ruang
dominan di keluarga. Kristen depan, makin lama makin panjang.
ayahnya penganut Kristen Langkah sepatu yang terseret
Prostestan. semakin jelas. Kemudian muncul
seorang lelaki Eropa, tinggi, besar,
Dialog gendut, terlalu gendut. Pakaiannya
“Gundik yang banyak dikagumi kusut dan rambutnya kacau,
orang, rupawan, berumur tiga entahlah memang putih entahlah
puluhan, pengendali seluruh uban. la melihat ke arah kami.
perusahaan pertanian besar itu. Berhenti sebentar. "Ayahmu"
Dari nama Buitenzorg itu ia bisikku pada Annelies. "Ya." hampir
mendapatkan nama Ontosoroh — tak terdengar. Tanpa merubah arah
sebutan Jawa” pandang Tuan Mellema berjalan
“Ia berjalan menghampiri aku menyeret sepatu langsung padaku.
dengan sederhananya. Dan inilah Padaku seorang, la berhenti di
rupanya Nyai Ontosoroh yang hadapanku. Alisnya tebal, tidak
banyak dibicarakan orang, buah begitu putih, dan wajahnya beku
bibir penduduk Wonokromo dan seperti batu kapur. Sekilas
Surabaya, Nyai penguasa Boerderij pandangku jatuh pada sepatunya
Buitenzorg. "Pelajar H.B.S., Mama." yang berdebu, tanpa tali. Kemudian
"O-ya ? betul itu ?" tanya Nyai teringat olehku pada ajaran guruku:
[6]

Rasisme dalam Novel | Ridwan dan Sofianto


Diglosia – Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Sastra Indonesia e-ISSN: 2549-5119
Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka
Vol. 3, No. 2, Agustus 2019

pandanglah mata orang yang "Mengapa pucat?" tanya Annelies


mengajakmu bicara. Buru-buru aku seperti sedang memberi ampun.
angkat lagi pandangku dan beruluk "Pribumi juga baik," katanya masih
tabik: "Selamat petang. Tuan tertawa. Pandang Robert Mellema
Mellema!.” dalam Belanda dan sekarang tertuju pada adiknya, dan
dengan nada yang cukup sopan. Ia Annelies menantangnya dengan
menggeram seperti seekor kucing. pandang terbuka. Sang abang
Pakaiannya yang tiada bersetrika menghindari. Permainan sandiwara
itu longgar pada badannya. apakah semua ini? Robert Suurhof
Rambutnya yang tak bersisir dan tak bicara sesuatu. Robert Mellema
tipis itu menutup pelipis, kuping. juga tidak. Apakah dua pemuda itu
"Siapa kasih kowe ijin datang sedang bermasa mata memaksa aku
kemari, monyet!" dengusnya dalam untuk minta maaf? Hanya karena
Melayu-pasar, kaku dan kasar, juga aku tak punya nama keluarga dan
isinya” Pribumi pula ? Puh! mengapa aku
harus melakukannya? Tidak!
Robert Mellema Indo "Pribumi juga baik," ulang Annelies
bersungguh. "Ibuku juga Pribumi -
Benci pribumi tapi menikmati Pribumi Jawa. Kau tamuku, Minke,"
keenakannya sebagai indo. suaranya mengandung nada
Dialog memerintah. Baru aku
"Aku tak suka pada rumah ini. menghembuskan nafas lega.
Juga tak suka pada negeri ini. "Terimakasih."
Terlalu panas. Aku lebih suka salju. "Ada apa lagi, Ann? Apa dia
Negeri ini terlalu panas. Aku akan mengajak bertengkar, Nyo?" "Tidak,
pulang ke Eropa. Belayar. tidak bertengkar," sambar gadis itu,
Menjelajahi dunia. Begitu nanti aku kemudian menghadu dengan
naik ke atas kapalku yang pertama, manjanya, "Mama," tangannya
dada dan tanganku akan kukasih menunjuk padaku. "Coba, Mama,
tattoo." masa Minke bilang aku cantik?"
"Baik," katanya sambil Nyai menatap aku. Kepalanya agak
mengangguk-angguk. "Dan jangan meneleng. Kemudian memandangi
pula kau lupa, kau hanya seorang anaknya. Berkata ia dengan suara
Pribumi." "Oh, tentu saja aku selalu rendah sambil meletakkan dua
ingat, Rob. Jangan kuatir. Kau pun belah tangan pada bahu Annelies:
jangan lupa, dalam dirimu ada juga "Kan aku sudah sering bilang, kau
darah Pribumi. Memang aku bukan memang cantik? Dan cantik
Indo, bukan Peranakan Eropa, tapi luarbiasa? Kau memang cantik, Ann.
selama belajar pada sekolah- Sinyo tidak keliru." "Oh, Mama!"
sekolah Eropa, ada juga ilmu- Annelies berseru sambil mencubit
pengetahuan Eropa dalam diriku, ibunya. Wajahnya kemerahan
yaitu, kalau yang serba Eropa kau Sekarang Nyai duduk di kursi
anggap lebih tinggi." sampingku. Berkata cepat: "Karena
itu aku senang kau datang, Nyo. Kan
Annelies Mellema nama Sinyo Minke? Dia tak pernah
bergaul wajar seperti anak-anak
Indo yang lebih suka menjadi Indo lain. Dia tidak menjadi Indo,
pribumi. Tidak tamat SD mampu jadi Nyo.". "Aku bukan Indo," bantah si
pengawas perusahaan. Kekanak- gadis." Tak mau jadi Indo. Aku mau
kanakan, tetapi mampu bekerja dan hanya seperti Mama."
bertanggung jawab di perusahaan.
Dialog

[7]

Rasisme dalam Novel | Ridwan dan Sofianto


Diglosia – Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Sastra Indonesia e-ISSN: 2549-5119
Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka
Vol. 3, No. 2, Agustus 2019

“Dara kekasih para dewa ini seumur


denganku: delapan belas. Kami
berdua dilahirkan pada tahun yang
2.2 Alur sama: 1880”
Alur cerita dalam novel Bumi
manusia menggunakan teknik 2.4 Latar tempat
bercerita mundur atau flashback. Latar tempat yang dimunculkan
Dalam perjalanan cerita tersebut dalam cerita dalam Novel Bumi
terdapat alur cerita maju dan secara Manusia ini berada di Wonokromo,
umum dalam novel menggunakan Surabaya, Jalan H.B.S Surabaya, dan
alur flashback. Kota berinisial B.
Alur Mundur (Flashback)
Dialog 3. Rasisme dalam Novel Bumi
Orang Memanggil Aku: Minke Manusia
“Namaku sendiri.... Sementara ini Pada tahun tersebut, masa
tak perlu kusebutkan. Bukan karena
gila mysteri. Telah aku timbang:
penjajahan pengelompokan ras
belum perlu benar tampilkan diri antara kulit putih dengan peranakan
dihadapan mata orang lain. Indo dan pribumi sangat kentara.
Pada mulanya catatan pendek ini Kulit putih dan peranakan Indo serta
aku tulis dalam masa berkabung: elite pribumi memiliki tempat dalam
dia telah tinggalkan aku, entah
untuk sementara entah tidak.
sosial masyarakat seperti
(Waktu itu aku tak tahu bagaimana mempunyai akses pendidikan yang
bakal jadinya). Hari depan yang tinggi.
selalu menggoda! Mysteri!
Setiap pribadi akan datang Dialog Minke
padanya—mau-tak-mau, dengan “Aku tahu otak H.B.S. dalam kepala
seluruh jiwa dan raganya. Dan Robert Suurhof ini hanya pandai
terlalu sering dia ternyata maharaja menghina, mengecilkan,
zalim. Juga akhirnya aku datang melecehkan dan menjahati orang.
padanya bakalnya. Dia anggap tahu kelemahanku: tak
Adakah dia dewa pemurah atau ada darah Eropa dalam tubuhku.
jahil, itulah memang urusan dia: Sungguh-sungguh dia sedang bikin
manusia terlalu sering bertepuk rencana jahat terhadap diriku”
hanya sebelah tangan....
Tigabelas tahun kemudian catatan
pendek ini kubacai dan kupelajari Minke saat berkenalan dengan
kembali, kupadu dengan impian, Robert Mellema
khayal. Memang menjadi' lain dari Dialog
aslinya. Tak kepalang tanggung. Dan “Ia masih juga menjabat tanganku,
begini kemudian jadinya” menunggu aku menyebutkan nama
keluargaku. Aku tak punya, maka
2.3 Latar waktu tak menyebutkan. Ia mengernyit.
Cerita novel Bumi Manusia Aku mengerti: barangkali
dianggapnya aku anak yang tidak
terjadi kurun waktu tahun 1880 dan atau belum diakui ayahnya melalui
saat ditemukan zincografi alat untuk pengadilan;'tanpa nama keluarga
memotret dengan hasil yang banyak. adalah Indo hina, sama dengan
Pribumi. Dan aku memang Pribumi.

[8]

Rasisme dalam Novel | Ridwan dan Sofianto


Diglosia – Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Sastra Indonesia e-ISSN: 2549-5119
Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka
Vol. 3, No. 2, Agustus 2019

Tapi tidak, ia tak menuntut nama Menjelajahi dunia. Begitu nanti aku
keluargaku” naik ke atas kapalku yang pertama,
dada dan tanganku akan kukasih
Sikap Herman Mellema terhadap tattoo."
"Baik," katanya sambil
Minke yang Rasis mengangguk-angguk. "Dan jangan
Dialog pula kau lupa, kau hanya seorang
“Bayang-bayang pendatang itu Pribumi." "Oh, tentu saja aku selalu
disemprotkan, oleh lampu ingat, Rob. Jangan kuatir. Kau pun
ruangdepan, makin lama makin jangan lupa, dalam dirimu ada juga
panjang. Langkah sepatu yang darah Pribumi. Memang aku bukan
terseret semakin jelas. Kemudian Indo, bukan Peranakan Eropa, tapi
muncul seorang lelaki Eropa, tinggi, selama belajar pada sekolah-
besar, gendut, terlalu gendut. sekolah Eropa, ada juga ilmu-
Pakaiannya kusut dan rambutnya pengetahuan Eropa dalam diriku,
kacau, entahlah memang putih yaitu, kalau yang serba Eropa kau
entahlah uban. la melihat ke arah anggap lebih tinggi."
kami. Berhenti sebentar. "Ayahmu"
bisikku pada Annelies. "Ya." hampir
tak terdengar. Tanpa merubah arah
Sementara masyarakat rendahan
pandang Tuan Mellema berjalan yang diwakili oleh Nyai Ontosoroh
menyeret sepatu langsung padaku. sebagai pribumi asli adalah gundik
Padaku seorang, la berhenti di yang direpresentasikan awalnya
hadapanku. Alisnya tebal, tidak tidak bisa berbuat apa-apa. Namun,
begitu putih, dan wajahnya beku
seperti batu kapur. Sekilas sering waktu Nyai menjadi sosok
pandangku jatuh pada sepatunya yang mandiri dan menurun ke
yang berdebu, tanpa tali. Kemudian anaknya Annelius.
teringat olehku pada ajaran guruku: Tokoh Minke yang tidak memiliki
pandanglah mata orang yang kuasa untuk menahan istrinya
mengajakmu bicara. Buru-buru aku
angkat lagi pandangku dan beruluk
Annelies dibawa ke Belanda. Sebab
tabik: "Selamat petang. Tuan ayahnya telah meninggal dan
Mellema!.” dalam Belanda dan berdasarkan hukum Belanda semua
dengan nada yang cukup sopan. Ia kekayaan dan anaknya harus dibawa
menggeram seperti seekor kucing. ke Belanda. Sedangkan Nyai
Pakaiannya yang tiada bersetrika
itu longgar pada badannya.
ontosoroh hanya seorang gundik dan
Rambutnya yang tak bersisir dan bukan istri sah.
tipis itu menutup pelipis, kuping.
"Siapa kasih kowe ijin datang Dialog Minke
kemari, monyet!" dengusnya dalam “Mungkin begini juga perasaan
Melayu-pasar, kaku dan kasar, juga ibu Mama diperlakukan oleh Mama
isinya” dulu karena tak mampu
membelanya dari kekuasaan Tuan
Sosok Robert Mellema yang Mellema. Tapi bagaimana perasaan
membenci pribumi Annelies? Benarkah dia sudah
melepaskan segalanya, juga
Dialog perasaannya sendiri?
"Aku tak suka pada rumah ini. Aku sudah -tak tahu sesuatu. Tiba-
Juga tak suka pada negeri ini. tiba kudengar suara tangisku
Terlalu panas. Aku lebih suka salju. sendiri. Bunda,putramu kalah.
Negeri ini terlalu panas. Aku akan Putramu tersayang tidak lari,
pulang ke Eropa. Belayar. Bunda, bukan kriminil, biar pun tak
[9]

Rasisme dalam Novel | Ridwan dan Sofianto


Diglosia – Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Sastra Indonesia e-ISSN: 2549-5119
Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka
Vol. 3, No. 2, Agustus 2019

mampu membela istri sendiri, D. SIMPULAN DAN SARAN


menantumu. Sebegini lemah Nilai-nilai perbedaan yang
Pribumi di hadapan
Eropa? Eropa! kau, guruku, begini
berdasarkan ras, kelas sosial saat ini
macam perbuatanmu? Sampai- sudah mulai berkurang sebab akses
sampai istriku yang tak tahu banyak terhadap semua sektor bisa
tentangmu kini kehilangan dimasuki oleh masyarakat Indonesia
kepercayaan pada dunianya yang secara umum. Namun, sisa-sisa nilai
kecil - dunia tanpa keamanan dan
jaminan bagi dirinya seorang.
tersebut masih ada. Bentuknya di
Hanya seorang. Aku panggil-panggil antaranya akibat rasisme yang
dia. Annelies tidak menjawab. terjadi selama kolonial melahirkan
Menoleh pun tidak” sikap imperior, rendah diri, dan
“Sayup-sayup terdengan roda menganggap orang Barat lebih hebat
kereta menggiling kerikil, lama
makin jauh, jauh akhirnya tak
dan maju.
terang lagi. Annelies dalam Tema-tema rasisme di dalam
pelayaran ke negeri di mana Sri novel masih banyak ditemui. Sebab
Ratu Whilelmina bertahta. Kami persoalan rasisme di masyarakat
menundukkan kepala di belakang masih saja terjadi dan muncul ke
pintu.
"Kita kalah, Ma," bisikku.
permukaan dengan berbagai macam
"Kita telah melawan, Nak, Nyo, bentuknya sesuai perkembangan
sebaik-baiknya, sehormat zaman. Oleh karena itu, penelitian
hormatnya. tentang rasisme dalam karya sastra
novel bisa terus dilanjutkan dengan
Diskriminasi berdasarkan ras lebih fokus ke wilayah praktik
masih terjadi. Selain itu, adat istiadat rasisme kekinian yang berkembang
dan budaya di Indonesia masih di masyarakat.
hiraerki antara elite pribumi dan
pribumi biasa. Gaji pekerja luar DAFTAR PUSTAKA
negeri lebih tinggi dibandingkan
dengan gaji pekerja dalam negeri Akbar, S., dan Winarni, R., dan
dengan kemampuan yang sama. Andayani. (2013). Kajian
Sosiologi Sastra dan Nilai
Dialog Minke soal Sosok Robert Pendidikan dalam Novel Tuan
Suurhof Guru Karya Salman Faris:
“Setidak-tidaknya aku mulai Jurnal Pendidikan Bahasa dan
mengerti mengapa ia suka
memperlihatkan sikap tidak Sastra, Vol.1, No.1, hlm. 54-68.
menyukai gadis-gadis Indo. Ia Tersedia
berusaha bertahan sebagai warga- di http://jurnal.pasca.uns.ac.id.
negara Belanda untuk kepentingan Al Hafizh, M. (2016). Rasisme dalam
anak-cucunya kelak. Setidak- Masyarakat
tidaknya dalam bualan dan
keseakanan. Kedudukan dan gajinya
Pascakolonial:Sebuah Analisis
akan lebih tinggi daripada yang Wacana Kritis terhadap Novel-
Indo, apalagi daripada yang novel Jacqueline Woodson:
Pribumi” Humanus, Vol.XV, No.2, hlm.
177-194. Tersedia

[10]

Rasisme dalam Novel | Ridwan dan Sofianto


Diglosia – Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Sastra Indonesia e-ISSN: 2549-5119
Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka
Vol. 3, No. 2, Agustus 2019

di http://ejournal.unp.ac.id/ind Rahayu, I., dan Pujiatna, T. (t.t.).


ex.php/humanus/index. Analisis Novel Bumi Manusia
Goodman, A.H., Moses, Y.T., dan karya Pramoedya Ananta Toer
Jones, J.L. (2012). Race, Are We dengan Kajian Feminsime:
Different?. UK: John Wiley and Deiksis, hlm. 31-43.
Sons, Ltd., Publication. Sumardjo, J. (1999). Konteks Sosial
Hastuti, N. (2018). Novel Bumi Novel Indonesia 1920-1977.
Manusia Karya Pramoedya Bandung: Alumni.
Ananta Toer Kajian Sosiologi Supriatna, A., dan Arman. (2017).
Sastra: Humanika, Vol.25, No.1, Wacana Rasisme: Gambaran
hlm. 64--74. Tersedia Diskriminasi Ras oleh Kaum
di http://ejournal.undip.ac.id/i Penjajah terhadap Pribumi,
ndex.php/humanika. pada Novel Bumi Manusia
Nurgiyanto, B. (2007). Teori karya Pramoedya Ananta Toer:
Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Studi Analisis Wacana: Literasi,
Gadjah Mada University Press. Sastra dan Pengajarannya, hlm.
Rahartono, T. t.t. Biografi Pramoedya 101-107. Kendari: Ocenia
Ananta Toer [online]. Diakses Press.
dari Toer, P.A. (2005). Bumi Manusia.
http://www.academia.edu/345 Jakarta: Lentera Dipantara
89909/BIOGRAFI_PRAMOEDY Wellek, R., dan Warren, A. (1989).
A_ANANTA_TOER Teori Kesusasteraan. Jakarta:
PT Gramedia.

[11]

Rasisme dalam Novel | Ridwan dan Sofianto

Anda mungkin juga menyukai