Pendekatan pascakolonial
Diajukan sebagai syarat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kajian Prosa Fiksi
Disusun Oleh :
21216024
GARUT
2020
Kata pengantar
Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat rahmat serta karunia-Nya sehingga
makalah kajian Rara Mendut. Y.B. mangunwijaya dengan pendekatan pascakolonial ini
dapat selesai.Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas mata kuliah kajian prosa
fiksi yang di ampu oleh Dr. Agus Hamdani, M.pd. Selain itu, penyusunan makalah ini
bertujuan menambah wawasan kepada penulis tentang kajian novel melalui pendekatan
pascakolonial. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Agus Hamdani,
M.pd. Berkat tugas yang diberikan ini, dapat menambah wawasan penulis berkaitan dengan
topik yang diberikan.Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih
melakukan banyak kesalahan. Oleh karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan dan ke
tidak sempurnaan yang pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya
kritik serta saran dari pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Novel Rara Mendut. Y.B. Mangunwijaya ini Salah satu novel yang
kaum laki-laki. Hal yang menarik dalam novel ini adalah pandangan pengarang
tentang perempuan Jawa dalam mengekspresi nilai feminisme. Budaya Jawa yang
patriarkhi menuntut gadis harus selalu patuh kepada laki-laki, perempuan tidak punya
hak bercita-cita kecuali menjadi istri yang selalu di rumah mengurus suami dan anak-
anaknya, tidak berhak menolak kemauan orang tua untuk menetukan siapa yang akan
ia pilih menjadi suami. Seperti sosok Rara Mendut yang diminta menjadi istri seorang
raja/petinggi walaupun itu harus menjadi istri kesekian. Namun dalam novel ini Y.B.
pernah ragu untuk menyuarakan isi hati dan pikirannya. Novel ini menceritakan sosok
perempuan dianggap menyimpang dari tradisi dan tatanan di lingkungan istana yang
kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan yang lainnya , yang terjadi di
negara-negara bekas koloni Eropa modern. Beberapa topik yang dikembangkan oleh
poskolonial adalah masalah ras, etnisitas, dan identitas budaya. Objek penelitian
poskolonial mencakup aspek-aspek kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan
imperial sejak awal terjadinya kolonisasi hingga sekarang, termasuk efek yang
ditimbulkannya.
Rumusan Masalah
B. Tujuan Penelitian
Mendut
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Pascakolonial
khusus. Tetapi pendekatan poskolonial segaligus juga merupakan respons dan cermin
yang diformulasikan oleh Derrida dan Barthes” (Budianta, 2004: 49). Kesusastraan
dan penjajahan” (Aziz, 2003: 200).Griffiths dan Tiffin sebagaimana dikutip Aziz
(2003: 201). Menjelaskan bahwa postkolonial merujuk kesan ataupun reaksi kepada
penjajahan kini bukan lagi dalam konteks politik saja tetapi ekonomi serta budaya.
selepas penjajahan diterima sebagai karya kesusasteraan paskolonial apabila karya itu
kesusasteraan poskolonial tidak terikat dengan masa, tetapi terikat dengan wacana
poskolonial.
tiga benua (Afrika, Asia, dan Amerika Latin) sebagai bentuk kulminasi pengalaman
Kajian poskolonialisme bukanlah suatu bentuk genderang perang terhadap apa yang
terjadi di masa lalu, namun suatu bentuk perjuangan terhadap realitas kekinian yang
dan Aarde, 2007: 1175). Bentuk perlawanan terhadap kolonialisme tidaklah berhenti
setelah kemerdekaan dicapai namun juga harus tetap diteruskan ketika disadari bahwa
kolonialisme tidak hanya “telah” menjajah secara fisik, namun imbas penjajahan
sebenarnya juga sudah merasuk ke dalam pikiran bawah sadar (Nandy, 1983: 63) dan
ini yang diabaikan oleh negara-negara yang telah merdeka. Justru yang sering terjadi
identitas mereka dan juga menganggap diri mereka sebagai inferior di hadapan bekas
penjajah. Masalah inferioritas muncul karena di dalam alam pikiran bawah sadar
negara bekas terjajah masih tersimpan ingatan kekalahan terhadap negara bekas
penjajah dan kegamangan akan identitas diri yang belum tertemukan. Penduduk dari
negara-negara yang telah merdeka lupa menyadari bahwa inferioritas yang mereka
adalah bahwa isu nasionalisme yang kerap dikedepankan di dalam pencarian identitas
menjadi sesuatu yang absurd ketika disadari bahwa nasionalisme yang disemai dari
batas wilayah kebangsaan adalah merupakan konstruk struktur buah karya bekas
penjajah (bdk. Young, 2001: 59 dengan Rukundwa dan Aarde, 2007: 1189). Ada
reidentifikasi diri terbentur oleh kenyataan sejarah bahwa identitas negara yang
pertama kali ketika Bill Ashcroft dkk. di dalam buku, The Empire Writes Back:
untuk menggantikan istilah sebelumnya untuk merujuk sastra di negara bekas jajahan
eropa: sastra third world atau sastra daerah commonwealth (Bahri, 1996). Namun
serius dapatlah dikatakan mulai hangat ketika Edward Said menerbitkan buku yang
berjudul Orientalism di tahun 1978 (Bahri, 1996).serta dapat juga ditambahkan bahwa
kajian poskolonialisme di dalam sastra dapat berfokus kepada tiga hal: hibriditasi ,
sinkretisasiii, dan pasticheiii (bdk. Bahri, 1996) atau malah suatu bentuk kajian karya
1. Identitas
dan muncul rasa bangga dalam memilikinya. Identitas adalah siapa kita, dari mana
kita datang, siapa kita yang sebenarnya: sangat sulit untuk memelihara identitas dalam
pengasingan, kita adalah “yang lain”, oposisi, sebuah kecacatan dalam sebuah
transmigrasi, sebuah exodus. Diam dan berkerudung rasa sakit, perlahan mencari rasa
sakit, lalu mengentengkan rasa kehilangan (Said, 2016: vii). Identitas merupakan
sebuah hal yang rapuh, yang selalu mengalami benturan dan pergesekan, hingga
rentan mengalami keratakan untuk diisi oleh kebudayaan baru. Kebudayaan menjadi
dalam satu tempat, maka akan menciptkan “the other” yang akan mengalami
diskriminasi. Besar kecilnya kecintaan terhadap kebudayan tercermin dari sikap
sehari-hari yang dilakukan, sebab hal tersebut memengaruhi perasaan, cara pandang
dan persepsi yang dimiliki oleh pribadi tersebut. Castels (dalam Sutrisno, 2004:86)
2. Berbagai konstruksi makna yang terkonsetrasi pada kultural, atau kultural yang menjadi
3. Identitas hadir untuk menata dan mengelola makna (meaning) dengan peran (role) yang
4. Identitas merupakan sumber makna bagi pelaku yang dikonstruksikan dalam bentuk
individu
5. Identitas erat terkait dengan internalisasi nilai-nilai, idealisme, norma dan tujuan-tujuan.
6. Bentuk asal muasal identitas adalah (a) identitas sah (legitimizing identity) misalnya
dominasi dan otoritas; (b) identitas perlawanan (resistance identity) misalnya politik identitas;
7. Identitas dibedakan menjadi dua, yaitu identitas individu, kolektif, dan individu yang
menjadi kolektif.
makna yang melekat pada seorang individu yang dapat membentuk identitas kelompoknya
dengan ciri tertentu. Oleh sebab itu, identitas bukanlah sebuah hal yang tunggal. Seorang
individu dapat memiliki identitas “pertama” dan memiliki identitas “kedua” sebagai bagian
dari masyarakat, kemudian memiliki identitas “ketiga” sebagai bagian dari sebuah negara.
3. Kolonial dan Resistensi
Sastra merupakan bagian kebudayaan yang paling dekat dengan masyarakat. Sejak
awal kebudayaan ini terbentuk, sastra telah tumbuh dan berkembang seiring dengan
berkembangnya masyarakat. Melalui sastra, berbagai kenyataan dan pola kebudayaan suatu
masyarakat dipotret dan direkam, hingga dapat menjadi dokumen yang dapat merefleksikan
kehidupan pada saat sasta tersebut diciptakan. Selain itu, sastra juga dapat menjadi media
yang menampung berbagai aspirasi individu maupun kelompok tertentu.Peran sastra dalam
ketidakadilan yang mereka terima selama masa penjajahan melalui sastra. Gugatan yang
dikemukakan oleh rakyat Indonesia diekspresikan melalui berbagai karakter tokoh dan
rangakain peristiwa yang dapat dianggap menyelisihi keumuman keadaan pada saat
penjajahan dilakukan atau merefleksikan keadaan ketika itu. Selain itu, percampuran antara
kebudayaan kolonial dan kebudayaan negara koloni juga dirasa perlu mendapat perhatian.
Penciptaan karya-karya sastra tersebut, merupakan bentuk resistensi yang dilakukan oleh
mengemukakan bahwa sekalipun merupakan negara jajahan, Indonesia tidak kehilangan jati
diri sebagai Indonesia. Sebaliknya, justru berbagai kebudayaan yang datang sebagai akibat
dari diaspora mampu diterima, ditiru, bahkan kembangkan tanpa menghilangkan citra
Indonesia sebagai Indonesia. Resistensi merupakan tindakan atau aksi yang dilakukan oleh
pribumi untuk melepaskan diri dari belenggu penguasa (Ascroft, 2001:28). Resistensi yang
terdapat dalam Novel Saman dan Larung akan ditinjau melalui mimikri, hipokritas, hibriditas,
dan ambivalensi.Sejatinya, resistensi dapat berifat radikal dan pasif (Artawan:2015). Maksud
dari pernyataan tersebut adalah, bahwa resistensi dapat dilakukan melalui gerakan-gerakan
yang terorganisir untuk penyerangan, dan ada pula yang tidak. Resistensi yang dilakukan
secara pasif, adalah dengan memunculkan penolakan pada diri atau pribadi dan memuncukan
berbagai teks yang mencerminkan kejadian atau hegemoni yang dilakukan oleh penjajah.
Oleh sebab itu, kekaburan identitas merupakan hal yang niscaya terjadi pada resistensi pasif.
Hal tersebut tentu saja dikarenakan mereka harus memunculkan diri dengan ciri-ciri kolonial
agar suara meraka didengar. Maka, meniru dapat menjadi salah satu bentuk resistensi
kaburnya batas-batas kebudayaan antara penjajah dan terjajah. Kekaburan tersebut, tentu saja
disebabkaan oleh percampuran kebudayaan yang dibawa oleh kolonial terhadap kebudayaan
pribumi sebagai negara koloni. Selama terjadinya proses kolonisasi, terdapat “ruang antara”
antara kebudayaan kolonial dan kebudayaan Indonesia. Ruang tersebut lah, yang memiliki
kemungkinan untuk diisi oleh berbagai kemungkinan resistensi yang dilakukan oleh pribumi.
Namun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa resistensi yang dilakukan pribumi adalah
total. Sebab, pada dasarnya resistensi tidak dapat dijelaskan secara tepat. Gejala-gejala yang
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik simpulan bahwa resistensi merupakan efek
dari ketimpangan hubungan Timur dan Barat selama ini. Barat selalu hadir sebagai superior
yang memberikan generalisasi terhadap Timur (Said, 2010:349) dan berusaha menguasainya
memunculkan gejolak sebagai reaksi pribumi atau terjajah. Ideologi Barat yang telah lama
berada di Indonesia pun terus tumbuh seiring dengan berjalannya waktu. Maka, ideologi itu
tumbuh dan berkembang hingga kini, sekalipun kolonialisme telah berakhir, yang
didokumentasikan dalam bentuk karya sastra. Kemerdekaan yang diperoleh oleh negara-
negara “dunia ketiga” merupakan prestasi tersendiri. Namun demikian, jejak-jejak kolonial
masyarakat. Sebagai contoh, negara-negara global saat ini. Meskipun zaman telah berubah,
dan perkembangan kebudayaan manusia telah pesat, namun dominasi superior masih
mengekang kebebasan inferior (Jhonson: 2016). Masyarakat minoritas masih mendapatkan
a. Mimikri
fenomena pribumi yang memiliki cita rasa kolonial (Efendi: 2016) yang memiliki
interaksi yang cukup dekat dengan kesadaran (Kulesza:2016, Fillani: 2016). Artinya, pada
proses mimikri, pribumi bersikap seolah-olah mereka adalah seorang kolonial dan dilakukan
sebagian besar dengan sadar. Mimikri atau tiruan ini dapat berupa cara bicara, cara berpikir,
cara berpakaian, cara pandang, pendidikan, dan sebagainya. Namun demikian, mimikri juga
dapat diartikan sebagai olok-olok (mockery) pribumi terhadap kolonial karena proses
peniruan tersebut (Bhabha, 1994: 86). Mimikri adalah keinginan The Other atau dalam hal ini
terjajah untuk memperbarui diri sehingga dikenal sebagai almost the same but not white
(Bhabha, 1994: 89) atau subjek yang Mimikri merupakan ungkapan tentang sesuatu yang
berbeda dari apa yang sesungguhnya terjadi dengan maksud pengingkaran (Bhabha,
1994:86). Dengan kata lain, mimikri merupakan perbedaan kenampakan antara yang
ditunjukkan dan yang mungkin sesungguhnya ada dibaliknya. Mimikri dilakukan dengan
tujuan agar mereka dicirikan sama dengan kolonial. Namun, sebagai subjek yang memang
berbeda, mereka hampir sama tapi tidak pernah benar-benar menjadi sama (Bhabha,
1994:86). Dikarenakan sifat mimikri yang mencoba meniru-niru, maka mimikri dibangun
antara pribumi dan penjajah yang memunculkan sifat pengingkaran (Babha, 1994:86).
Kehadiran penjajah yang menempatkan diri pada posisi “atas” memunculkan tendensi bahwa
segala seusatu yang mereka lakukan adalah hal yang “lebih tinggi” dari segala sesuatu yang
dilakukan oleh pribumi. Oleh sebab itu, pribumi secara sadar maupun sebagai efek
percampuran kebudayaan, akan mencoba meniru identitas penjajah. Pribumi yang mengalami
penindasan dan marginalisasi akan mencoba menjadi seperti penjajah agar mendapatkan
perlakuan yang sama. Bahkan, Singh (2009) menegaskan bahwa tindakan mimikri yang
dilakukan oleh pribumi merupakan harapan agar mereka memiliki kekuatan yang sama
seabagaimana penjajah. Namun demikian, peniruan yang dilakukan oleh pribumi terhadap
penjajah tetap menyisakan “ruang antara” yang dapat diisi oleh berbagai kemungkinan
perubadahan identitas. Bagaimanapun, seseorang yang lahir dalam keadaan yang berbeda,
tidak akan bisa menjadi sama secara identik. Pribumi yang melakukan mimikri cenderung
jatuh pada ketidakpastian identitas yang dapat mendorongnya untuk menjadi bukan siapa-
siapa. Maksud dari bukan siapa-siapa ini adalah pribumi tersebut bukan lagi pribumi, dan
bukan pula kaum kolonial. Hal tersebut terjadi karena, ketika pribumi melakukan mimikri,
sejatinya ia sedang menekan identitas budaya sendiri sehingga mereka cenderung mengalami
b. Hipokritas
Hipokrit dapat diartikan sebagai munafik atau orang yang senang berpura-pura.
Hipokrit merupakan salah satu watak dasar manusia (Viani: 2017) yang direalisasikandalam
konsep kemunafikan dengan melakukan sesuatu yang dianggap kurang pantas, namun ia
2004). Mufidah (2017) mengaskan, bahwa Hipokrit adalah seseorang yang melakukan suatu
yang terjebak dalam hipokritas selalu disebabkan oleh dua hal, yaitu karena untuk mencapai
tujuan yang diinginkan, atau karena malu mengakui kesalahan pada orang lain (Mufidah:
2017). Kacamata postkolonial tidak memandang hipokritas sebagai sebuah tindakan negatif
yang dimaksudkan untuk menipu dan merugikan orang lain, melainkan sebuah tindakan yang
dilakukan oleh pribumi untuk menyelamatkan diri atau bertahan atas kolonisasi yang
dilakukan penjajah. Berbagai tekanan yang pribumi dapatkan, memaksa mereka masuk dalam
sistem yang dibangun oleh kolonial, mekipun mereka merasa terpaksa. Oleh sebab itu,
Hipokrit tidak sama dengan munafik (Moriyama, 2010: 131), sebab munafik hanya
orang yang berpura-pura taat beragama (sebagai contoh) padahal tidak, sedangkan hipokrit
lebih luas dari itu. Oleh sebab itu, Scabandoz dan Soifer (2004) menyatakan bahwa penelitian
c. Ambivalensi
Ambivalensi berasal dari mimikri (Bhabha, 1992:91) yang merupakan perasaan tidak
sadar saling bertentangan antara menginginkan sesuatu atau menolaknya pada saat yang
bersamaan (Ashcroft dkk, 2000:10) dan terdapat dalam satu tubuh. Ketika pribumi
mimikri atau peniruan yang dimaksudkan agar mendapatkan pengakuan dari penjajah,
sehingga mereka dianggap sederajad atau sama dengan mereka. Namun demikian, dalam hati
terdalam pribumi, masih mengalami pergulatan. Mimikri yang dilakukan tidak sempurna,
sebab mereka masih menyimpan rasa cinta yang besar terhadap kebudayaan yang merupakan
identitas mereka. Mereka mencintai dan berusaha manjadi kolonial, dengan tanpa
menanggalkan kebanggaan dan cinta mereka terhadap kebudayaan sendiri. Maka, kedua
perasaan tersebut tumbuh bersama dalam tubuh pribumi, menggiring mereka pada perasaan
mereka pun menjadi sulit ditentukan. Mereka bisa jadi hidup dengan cara kolonial, namun
dengan cita rasa pribumi. Problematika wacana kolonial adalah kaburnya batas-batas
identitas kebudayaan yang bersifat relasional. Percampuran kedua kebudayaan terebut
kemudian memunculkan kebudayaan heterogen yang melekat pada masyarakat. Oleh sebab
itu, masyarakat berusaha membangun persamaan dengan penjajah, namun juga menegaskan
d. Hibriditas
Hibriditas tercipta disebabkan pengaruh dua hal, yaitu superior dan inferior
(Alexander dan Sharma: 2013). Oleh sebab itu, Bhabha (1994:207) juga mengemukakan
becomes the moment of panic which reveals the borderline experiences. Perbedaan
kebudayaan yang saling menyentuh memunculkan semacam fusi yang menciptakan identitas
baru. Akibatnya, masyarakat tidak dapat menolak kebudayaan luar yang masuk, namun tetap
beranggapan bahwa kebudayaan akan selalu mengalami perubahan sering dengan majunya
peradaban manusia dan pergesekan antar satu kebudayaan dengan kebudayaan lain.
kebudayaan “ketiga” begitu saja. Terdapat proses panjang hingga sebuah kebudayaan baru
diterima dan diintegrasikan dalam suatu kebudayaan, meski akan selalu menyisakan “ruang
antara” dan menciptakan “yang lain” atau The Other.Setiap kebudayaan yang ada sejatinya
tidak ada yang tetap (Foulcher, 2008:13). Setiap kelompok memiliki sebuah kebudayaan
yang akan selalu mengalami perubahan ketika melakukan interaksi dengan kelompok diluar
kelompok tersebut. Namun demikian, hibriditas tidak hanya mengarahkan perhatian pada
penempatannya dalam ruang sosial masyarakat (Foulcher, 2008: 13). Sebuah sentuhan
budaya tidak akan dianggap hibrid jika kebudayaan tersebut tidak menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat yang berakar dan membudaya.Hibriditas dalam kebudayaan yang telah
menemukan jalan meniru dan membudayakan kebudayaan kolonial sebagai bentuk dari
kebudayaan bayangan kolonial. Kebudayaan bayangan tersebut tidak asli namun tidak juga
palsu, melainkan tercipta dari pergeseran kebudayaan pribumi yang tidak dapat mencapai
kebudayaan kolonial. Namun demikian, hibrditas tidak hanya memfokuskan pada hibriditas
yang terjadi antar dua kebudayaan, melainkan penempatan kebudayan tersebut dalam
Relasi merupakan hubungan yang terbangun diantara dua individu atau kelompok atau lebih.
Relasi yang terbangun antara penjajah dengan terjajah atau dalam hal ini superior dan inferior
merupakan hubungan penaklukan dalam relasi kekuasaan (Mudji, 2004:27) akibat pergesekan
kebudayaan yang disebabkan oleh pendudukkan. Oleh sebab itu, relasi yang terbangun bukan
hanya satu, melainkan beberapa, sesuai dengan respon dan stimulus yang diberikan oleh
superior. Relasi yang terbangun antara superior dan inferior dapat berupa relasi superordinsi
dan subordinasi.
a. Relasi Superordinasi
interaksi, melainkan hasil atau produk dari interaksi. Superordinatif adalah keadaan seseorang
atau kelompok yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari individu atau kelompok lain.
Dalam relasi superordinatif, superior tidak sepenuhnya ingin mengarahkan pikiran dan
tindakan inferior, melainkan menginginkan inferior melakukan indakan secara positif atau
negatif sesuai keinginan superior. Pada relasi superordinatif, inferior diharapkan melakukan
Subordinasi merupakan relasi individu atau kelompok sebagai inferior yang berada dalam
penguasaan superior. Dalam relasi tersebut terdapat tiga pola subordinsi dalam pola interaksi
membangun kekuatan kelopok. Gabungan individu ini dapat menjadi kekuatan yang rela
mengikuti pemimpinnya atau jstru menentang keinginan pemimpin itu (Jhonson dan Paul,
1988:263). Subordinasi dibawah individu memiliki dua ciri, yaitu; pertama, superior
memaksa mereka pada satu arah kemudian menggabungkan mereka pada satu pandangan
yang sama. Superior benar-benar menginginkan kelompok tersebut dalam satu kesatuan.
Kedua, kelompok inferior berada dalam posisi oposisi yang secara berkelompok menentang
perlawanan karena interaksi sosial yang terjalin hanya menghadirkan satu“musuh” yang
Ciri utama dari subrodinasi dibawah kelompo adalah bahwa relasi ini menghadirkan
kelompok kecil yang lemah menghadapi kelompok yang lebih kuat (Simmel, 1964: 225).
Subordinat yang berada di bawah kelompok dapat melakukan pendekatan kepada satu atau
beberapa superiordinat. Kedekatan yang intens pada salah satu superordinat dapat menjadi
modal bagi subordinat dalam menghadapi superordinat yang lain (Jhonson dan Paul,
1998:265).
yang diakui oleh sekelompok masyarakat. seseornag yang merasa tersubordinasi oleh prinsip
merasa hidupnya ditentukan oleh norma atau hukum-hukum tersebut, dimana dia merasa
tidak memiliki kekuatan untuk melawan atau mempengaruhi hukum tersebut (Simmel,
1964:25
BAB III
PEMBAHASAN
Rara Mendut adalah seorang gadis pantai yang sangat terkenal dengan
kecantikannya. Dia merupakan putri sulung dari seorang wanita janda yang
mempunyai tujuh anak. Dia sangat menyukai kebebasan dan pantai. Namun, semua
yang disukainya harus ia lepaskan kala Adipti pragolo hendak menjadikan Mendut
sebagai selirnya. Mulai saat itulah Mendut dikenal dengan sebutan Raden Rara
Mendut. Di sanalah ia bertemu dengan dua dayang yang dia anggap sebagai
keluarganya, yaitu Ni Semangka dan Geduk Duku. Sebelum dirinya sah menjadi
seorang selir dari Adipati Pragola, peperangan terjadi antara kerjaan Mataram dan Pati
diakhiri dengan kekalahan Kerajaan Pati. Rara Mendut yang saat itu menjadi putri
emas Pati, mau tak mau Mendut beserta para Putri yang tinggal di puri pati harus ikut
kecantikan Rara Mendut. Meskipun dirinya sudah tua dan memiliki banyak selir,
dalam hatinya dia sangat menginginkan Rara Mendut menjadi selirnya. Dan
keinginan itu terkabul kala Raja Mataram memberikan Rara Mendut pada
kala Rara Mendut memperlihatkan tarian seksi di depannya. Padahal niat Rara
orang tuanya. Namun, Rara Mendut malah semakin terjebak akan obsesi Tumenggung
Mataram itu.
Bukan hal mudah untuk menjadikan Rara Mendut sebagai selirnya. Meskipun
dirinya sudah berbaik hati, namun tetap saja Rara Mendut menolak pinangannya. Rara
Mendut malah menagih janjinya pada Tumenggung Wiraguna untuk
memulangkannya ke Pati. Ketika Genduk Duku bertanya kenapa sang puan menolak
lamaran Tumenggung Mataram, Rara Mendut menjawab bahwa dia sudah memiliki
tambatan hatinya di pantai sana. Jelas, alasan ini tidak sampai ke telinga Tumenggung
Mataram.
sebagai selirnya. Ia menitah sang istri perdana, Nyai Ajeng untuk membujuk Mendut
agar mau menjadi selirnya. Namun sampai saat itu hanya tolakan yang Tumenggung
lima real kepadanya. Sang istri tentu terkejut, ia mencoba menasihati sang suami,
pinangan Tumnggung Wiraguna. Namun, Mendut tetaplah Mendut. Gadis pantai yang
teguh dengan pendiriannya. Ia menolak nasihat dari dayang yang sudah dianggap
yang tengah menghisap satu rokok secara bergiliran. Dalam hatinya ia merasa sedih
dengan kemiskinan yang menimpa orang-orang itu. Namun di sisi lain ia senang
melihat mereka semua saling berbagi di tengah kemiskinan yang mereka alami.Saat
itu juga secercah ide hinggap di kepalanya. Kini ia memiliki solusi untuk pajaknya
itu.
Rara Mendut meminta izin pada Tumenggung Wiraguna untuk bekerja guna
membayar pajak padanya. Dengan ide yang ia dapatkan tempo hari, ia berkata pada
panglima gagah Mataram itu bahwa dirinya akan bekerja dengan menjual rokok pada
akibat pedagang rokok baru itu. Siapa lagi jika bukan Rara Mendut yang mereka
umpati. Bagaimana tidak mengumpati, rokok yang Mendut jual adalah puntungan
rokok saja “Biadab” ucap mereka mengumpat. Meskipun Mendut menjual puntung
rokok, tapi puntungan rokok itu sangat diminati kaum pria. Alasannya, di dalam
puntungan rokok tersebut terdapat air liur Mendut yang menjilati rokoknya sebelum
dijual. Berkat penjualan puntung rokok tersebut, Rara Mendut dapat membayar pajak
Saat itu, Mendut tanpa sengaja menatap seorang pemuda yang entah kenapa
Genduk berhasil mendapatkan informasi tentang pemuda itu. Ternyata pemuda itu
bernama Pranacitra. Dia tinggal dipekalongan. Dia juga anak pantai sama seperti
Mendut.
Hari silih berganti. Ternyata Mendut dan Pranacitra saling memiliki perasaan
satu sama lain. Akhirnya mereka berikrar untuk saling bersama. Pranacitra juga
mencoba membuat rencana untuk membantu keduanya. Namun rencana itu bukannya
Mataram.
Namun, selama sepekan itu Mendut dan Pranacitra belum juga ditemukan.
mereka melihat Mendut. Setelah itu Wiraguna beserta bala tentaranya mengejar
Mendut beserta Pranacitra. Mengembalikan harga dirinya yang sudah jatuh karena
ulah Mendut.
Pranacitra memang masih muda. Namun dirinya tidak memiliki kemampuan fisik
sangat ahli dalam kemampuan fisik, tapi umurnya yang semakin senja membuatnya
karena hendak melindungi Pranacitra. Jasad sepasangan kekasih itu dibawa oleh laut
B. Kajian terhadap Novel Rara Mendut karya Y.B. Mangunwijaya dengan Pendekatan
pascakolonial
1. Pisikologi
Aspek aspek pisikologi novel rara mendut dalam sebuah keterpaduan untuk
memperoleh nilai nilai otentik tokoh yang tercermin di dalam karya sastra
tersebut. Adanya nilai tertentu yang yakni di taati dan selanjutnya menjadi
cara kerja pisikologi sosial. Sejauh pengamatan penulis, belum ada riset yang
perempuan baik dari segi bias yang dihasilkan, pemeliharaan patriarkat guna
diperkenalkan oleh Sara Mills hasil refleksi pemikirannya yang berkiblat pada
analisis wacana yang dikembangkan oleh Michael Foucault dan hasil riset
bangunan representasi yang ada pada kedua novel, dalam Sara Mills
diperkenalkan beberapa level analisis pada berbagai struktur teks mulai dari
analisis pada struktur kata, sktruktur kalimat, hingga analisis pada tingkat
wacana. Dalam ketiga level analisis ini dapat membantu peneliti dalam
mengupas setiap sisi bentuk-bentk bias yang ditampilkan teks media. Seperti
pada analisis pada tingkat kata, melalui analisis Sara Mills, peneliti dapat
membedah bahasa seksis, kata tabu, dan labeling yang disematkan dalam
kedua novel ini. Novel Rara Mendut pada berbagai sisi masih menyimpan
beberapa bahasa seksis, kata tabu, dan labeling. Terutama bila berhubungan
dengan nilai virginitas, dimana niai virginitas bagi perempuan adalah hal tabu
3. mimikri
4. Emansipasi
novel Roro Mendut adalah tema emansipasi. Oleh karena itu, tokoh-tokoh
watak emansipatoris (berani, cerdas, mandiri, dan tegar). Mereka adalah sosok
perempuan yang tidak hanya bisa bergantung pada laki-laki dan menerima
tentang perempuan terutama perempuan Jawa abad ke-17, yaitu perempuan itu
lemah, manja, dan selalu tergantung pada orang lain. Mereka juga
tidak kalah dengan hebat daripada pria. Sosok perempuan dalam novel ini
adalah Roro Mendut. Perempuan ini menurut Mangunwijaya berasal dari desa
dan cerdas. Hal ini mematahkan anggapan bahwa biasanya perempuan yang
cantik secara fisik mempunyai otak yang kosong (bodoh). Kiprah Roro
sependapat dengan hal tersebut. Dia merasa selir hanyalah lambang dari
dengan segenap jiwa. Laki-laki berkuasa memiliki banyak istri sebagai simbol
mau dijadikan objek dan simbol belaka. Tubuh dan jiwa baginya adalah
“Siapa bilang aku calon istri Wiroguno?” tangkis Mendut sungguh kurang
ajar, sehingga tak heranlah, semua menjadi cemas (RM:121) “Kenapa den
Roro tidak mau dipersunting tumenggung yang kuasa dan kaya raya?” kan
sangat terhina oleh penolakan seorang perempuan yang berasal dari golongan
rakyat biasa. Harga dirinya sebagai seorang laki-laki terkalahkan sehingga dia
memerintahkan Roro Mendut membayar pajak sebesar 3 real setiap hari. Roro
Mendut tidak gentar sedikitpun menghadapi tantangan ini. Dia mencari akal
membayar pajak sebesar 3 real tiap hari pada Tumenggung Wiroguno. Sang
Tumenggung Wiroguno dinilai sangat tidak baik oleh masyarakat Jawa pada
masa itu. Masyarakat Jawa pada masa itu memiliki penilaian sendiri terhadap
lakunya harus serba rapi, teratur, dan terjaga. Pada akhirnya, konsep ini
membatasi ruang gerak perempuan sehingga hanya berbatas pada hal-hal yang
bisa diam dan berani berbicara sebagai wujud ekspresi dirinya dianggap tidak
dirinya. Dia juga tidak mengenal rasa takut untuk mengungkapkan pikirannya.
Hal tersebut seperti kutipan berikut: Minta ampun! Yang namanya Mendut itu
berkacak pinggang seperti kaum bule, pinggul tentu saja menantang tak
pada awalnya mendapat kecamanan dari berbagai pihak, tetapi lama kelamaan
mendapat simpati. Mereka sadar terutama kaum perempuan bahwa yang
dan kekuasaan saja. Hal ini terlihat pada kutipan berikut: Pemberang ya, tetapi
tanpa wanita semacam Mendut itu, kaum perempuan tetap tinggal lumpur
Novel yang bertema emansipasi seperti novel Roro Mendut tidak lepas dari
Kontek sosial dan politik pengarang merupakan salah satu konsep yang
terdapat dalam sosial politik. di dalamnya tertuang biografi serta kehidupan sosial
para pengarangnya. Selain itu, juga memuat pandangan pengarang tentang novel yang
digarapnya itu. Dan pada bagian ini kita akan menganalisis konteks sosial pengarang
aktivis yang lahir pada 6 Mei 1929 di Ambarawa, Kabupaten Semarang, dan
meninggal pada usianya yang ke-65. Ia dikenal dengan panggilan populernya, Rama
Mangun. Dia merupakan sulung dari dua belas bersaudara dari pasangan suami istri
Manyar, yang pada saat itu mendapatkan penghargaan sastra se-Asia Tenggara
Ramon Magsaysasy pada 1966. Selain novel, dia juga menulis esai yang tersebar di
dijuluki sebagai bapak arsitektur modern. Salah satu penghargaan yang pernah
Code, Yogyakarta. Ia juga menerima The Ruth and Ralph Erskine Fellowship pada
Y.B. Mangunwijaya mulai mengenal sastra saat dirinya tamat sekolah dasar
pada tahun 1943. Sedangkan kemampuannya dalam menlis sudah terbangun sejak ia
bertambah kala guru-guru sekolah dasar-nya yang waktu itu adalah para biarawan
Belanda mendidik muridnya agar dapat berpikir luas. Dalam mengenal ilmu bumi,
mereka tidak hanya menyuruh para peserta didiknya untuk menghafal nama kota, laut,
ke tempat-tempat yang lebih jauh lagi. Oleh para gurunya itu ia diajarkan untuk
membuat para wanita jengah dan berusaha memberontak agar terbebas dari jeratan
dialami oleh perempuan Indonesia pada awal terbitnya novel ini 1980-an dan kondisi
saat ini masih berpegang kepada sistem patriarki, dimana perempuan dibawah laki-
laki.
novel Rara Mendut , banyak menampilkan sikap keimanan Rara Mendut kepada Alloh
“Terima kasih Putri Arumardi! Juga berkat sikapmu, Insya Alloh Mendut
dapat merdeka.”
Dalam kutipan di atas kita jelas menyadari kodrat kita sebagai makhluk yang
lemah. Yang hanya bisa berusaha dan menyerahkan segala sesuatu kepada sang
dalamnya:
a) Nilai Pendidikan
"Adiku, Nyai. Selalu begitu kata manusia petani. Dan kau pun anak
meneruskan tanaman induk padi. Anak padi harus menjadi padi juga.
Tetapi itu tidak benar. Pranacitra lahir di atas kapal. Tidak di atas
sendiri. Dan dari mana atau ke mana arah angin nanti, janganlah itu
merisaukan kita, sebab angin dan arah laut adalah milik dan utusan
b) Nilai Sosial
saatnya mereka meminta pada ibu si dara agar boleh memungut gadis
pencinta laut ini menjadi anak angkat. Seorang janda petani sederhana
dengan anak tujuh kan harus ditolong. Miskin sih semua miskin.
Kutipan di atas mengajarkan kita untuk saling tolong menolong dan saling
kawula-alit itu rukun merokok dari satu dua Batang cukuplah, dari
punya apa-apa, tapi hidup rukun dan berbagi itu harus terus tertanam dalam
c) Nilai Moral
"Bagi Nyai Ajeng soalnya sudah jelas. Perawan pantai itu selekas
Selain strata sosial, kutipan di atas juga memiliki nilai moral, yaitu kita tidak
boleh melihat orang dari cover dan latar belakangnya saja. sebaiknya kita
d) Nilai Agama
"Banyak alim ulama yang tidak senang dengan pola pamer orang-
orang seperti Wiraguna, yang masih banyak mewarisi darah dan saraf
Tentu sudah jelas bukan bahwa kutipan di atas itu mengandung nilai agama.
Dimana kita sebagai muslim tidak boleh memiliki pola prilaku pamer. Pamer
bisa bermakna sombong. Dan kita sebgai manusia dilarang memiliki sifat
Kesimpulan
Pasca kolonial secara etimologis , berasal dari kata «pos» dan «kolonial», pos yang
berarti setelah atau sesudah, sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari akar kata colonia
yang berarti tanah pertanian atau pemukiman. Jadi, secara etimologis kolonial tidak
eksploitasilainnya. Konotasi negatif kolonial timbul sesudah atau setelah terjadi interaksi
yang tidak seimbang antara penduduk pribumi yang dikuasai, dengan penduduk pendatang
sebagai pengsa. Secara harfiah, kata tersebut berarti paham mengenai teori yang lahir sesudah
zaman kolonial.
Novel Rara Mendut ini mengisahkan perjuangan Rara Mendut pada jaman Kerajaan
Mataram kuno di masa pemerintahan Sultan Agung hingga pada masa putranya Susuhuan
Amangkurat 1 yang berkuasa anatara tahun 1640-1677 pada abad ke 17. Tokoh utamanya
adalah seorang perempuan yang diceritakan secara khusus pada yaitu Rara Mendut,. Pada
novel tersebut diceritakan mengenai penokohan, perjalanan hidup, dan perjuangan yang
dialami oleh Rara Mendut. Rara Mendut memiliki cerita dari segi nasib, cinta dan keyakinan
untuk mempertahankan apa yang mereka percayai. Berlatar belakang kehidupan dan nasib
perempuan Tanah Jawi (Mataram) yang terkukung dalam adat istiadat dan kebiasaan
masyarakatnya, dikisahkan bahwa tokoh utama ini berani melawan dominasi laki-laki yang
memperlakukan mereka hanya sebagai hiasan dan harta rampasan perang para petinggi
kerajaan Mataram. Rara Mendut adalah warga di daerah Pati, dibawa secara paksa, oleh
DAFTAR PUSTAKA
Mangunwijaya Y.B., 2019. Rara Mendut. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Azmi. 1995. Y.B. Mangunwijaya. Diakses pada 16 November 2020 pukul 14.57. URL
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Y.B._Mangunwijaya
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Roro_Mendut
Yuni. 2014. Kajian Roro Mendut. Diakses pada 16 November 2020 pukul 15.45. URL
http://yuni2014.blogspot.com/2014/06/roro-mendut.html?m=1