Anda di halaman 1dari 4

Sastra Populer dan Kekalahan Diskursus Kemasyarakatan

Askar Nur

askarr.nur@gmail.com

Alumni Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Alauddin Makassar

Abstrak

Artikel ini menjelaskan tentang dominasi karya sastra populer di kalangan generasi milineal
seperti karya yang berkisah tentang kehidupan asmara dan perjalanan seseorang yang berasal
dari keluarga yang kurang mampu hingga mencapai cita-citanya untuk melanjutkan sekolah di
luar negeri. Kehadiran karya sastra seperti demikian tentu semakin mengikis hubungan antara
sastra dan masyarakat. Sastra tidak lagi menjadi alat yang mampu merekam segala permasalahan
yang dihadapi masyarakat. Sastra semakin berjarak dengan realitas kehidupan masyarakat
hingga akhirnya diskursus tentang polemik sosial kemasyarakatan tidak mampu lagi diteriakkan
oleh karya sastra.

Pendahuluan

“Tragedi pembantaian 1965 dan mengapa hampir semua sastrawan diam dan seolah-olah
terjadi pengabaian intelektual?”, pekikan Okky Madasari di sela-sela diskusi tentang bukunya
“Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam dan Sastra Perlawanan” yang diselenggarakan
oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora,
UIN Alauddin Makassar pada 26 Juli lalu.

Pekikan tersebut membawa imajinasi saya jauh ke belakang – ke ruang perdebatan periodisasi
kesusastraan Indonesia – untuk kemudian sampai pada polemik sastra dan kebudayaan saat ini.
Arena sastra sebagai sebuah ruang dinamis yang merekam setiap dimensi dan dinamika
kehidupan masyarakat sehingga mewujud ke dalam bentuk karya. Sebuah karya sastra tidak
dapat dilepaskan dari polemik yang dihadapi masyarakat.

Pada wilayah ini, saya sependapat dengan Pramoedya Ananta Toer bahwa seorang pengarang
atau sastrawan adalah ‘Avant Garde’ dimana dalam setiap karya yang diciptakan, ia mengungkap
ketidakadilan dan segala polemik dalam realitas sosial bukan hanya menjadi penghibur semata.

Nasrullah Mappatang dalam “Hubungan Paradigmatis dan dialektis antara Sastra, Masyarakat,
dan Kebudayaan” ditulis pada 01 Juni 2017 menjelaskan secara gamblang beberapa polemik
sastra, kebudayaan dan sastrawan. Perdebatan aliran formalisme dan strukturalisme vis-a-vis
strukturalisme genetik, sosiologi sastra dan cultural studies menjadi latar tersendiri sepanjang
tulisannya.

Kaum formalis dan strukturalis menitikberatkan penelitian hanya pada aspek intrinsik suatu
karya seperti tema, setting, alur cerita, karakter tokoh dan latar cerita. Sementara itu,
strukturalisme genetik menghubungkan kajian intrinsik karya dengan kondisi masyarakat yang
terkait dengan karya tersebut atau dengan kata lain strukturalisme genetik menjadi jembatan
penghubung antara ilmu dan kajian sastra dengan sosiologi.

Ketika kajian sastra dan masyarakat semakin meluas, maka saat itu pula sosiologi sebagai ilmu
semakin relevan. Karya-karya sastra semakin menunjukkan harmonisasinya dengan ranah sosial
sehingga tampil sebagai produk sosial dan budaya. Akan tetapi, hal demikian lah yang ditentang
oleh cara pandang dan metode strukturalisme dan formalisme dengan alasan bahwa otonomi
karya sastra menjadi terancam.

Pembahasan

Terlepas dari perdebatan otonomi karya sastra yang didefiniskan oleh kaum formalis dan
strukturalis, karya sastra adalah produk budaya yang merekam dinamika kehidupan dan polemik
manusia yang tidak ahistori. Selain aliran strukturalisme genetik dan sosiologi sastra yang
mendemonstrasikan sastra dan masyarakat melalui dialektika unsur intrinsik dan ekstrinsik karya
sastra, kajian budaya (cultural studies) hadir secara dinamis dan melihat karya sastra melalui
dialektika saling mempengaruhi antara subjek dengan masyarakatnya dengan pertalian yang
ideologis, politis, dan berkomitmen etis.
Cultural studies merupakan sebuah bidang kajian yang lahir dari rahim kritik sastra dan memiliki
titik fokus untuk mengkritik kebudayaan yang ada di masyarakat. Sebagai sebuah contoh, di era
kapitalisme pertautan antara kelas pekerja (proletar) dan kelas borjuis, cultural studies hadir
untuk memberikan kritikan terhadap konstruksi kebudayaan yang tercipta dimana terdapat unsur
keterlenaan kelas pekerja terhadap kelas borjuis dari segi corak kehidupan. Adanya
kecenderungan dari kelas pekerja untuk mengikuti gaya hidup majikannya sehingga kesadaran
untuk memperjuangkan kelasnya secara otomatis tercerabut. Kondisi demikian dinamakan
sebagai hegemoni industri budaya.

Pada titik ini, cultural studies secara tidak langsung menggambarkan karya sastra yang lebih
berisikan sastra dan budaya populer sekaligus memberikan kritikannya. Karya sastra populer
bercirikan sebagai segala sesuatu yang diminati masyarakat pada umumnya.

Pasca reformasi, dunia kesusastraan Indonesia mencatat lahirnya karya sastra yang dianggap
fenomenal dan didominasi oleh novel, terutama dari sisi penjualan dan pengaruhnya dalam
masyarakat. Novel-novel bertema islami, motivasi dan percintaan telah menjadi wacana dominan
dalam periode kesusastraan pasca reformasi. Karya sastra populer tersebut telah mendominasi
dan memenangkan diskursus dalam masyarakat sehingga karya-karya lainnya tidak mendapat
perhatian (Okky Madasari, 2019).

Kesimpulan

Dominasi karya sastra populer dalam kehidupan masyarakat mengantarkan kita pada pijakan
diskursus ala Foucault yang melihat proses penciptaan sejarah melalui apa yang terjadi sekarang
(history is present). Nuansa karya sastra populer dalam bentuk novel lebih condong kepada dunia
fantasi, impian dan harapan sehingga kecenderungan yang lahir dalam benak kita sebagai
pembaca adalah melupakan apa yang sebenarnya terjadi dalam dunia nyata.

Produksi dan reproduksi karya sastra populer akan berlangsung secara terus menerus. Alhasil,
hampir dapat dipastikan bahwa kemenangan sastra populer di mata masyarakat pada masa
sekarang akan terus terjadi di masa selanjutnya dan segala polemik yang dihadapi masyarakat
dalam realitas sosial semakin tak mampu disuarakan melalui karya sastra.
Berjaraknya dunia kesusastraan dengan kenyataan sosial merupakan lonceng kekalahan
diskursus kemasyarakatan dalam sastra. Maka tak ayal, bukan hanya tragedi kemanusiaan pada
tahun 1965 yang berhasil menciptakan kebisuan di kalangan sastrawan akan tetapi lebih daripada
itu, kesusastraan justru akan tampil sebagai bentuk krisis kebudayaan itu sendiri bukan sebagai
cerminan krisis kebudayaan yang terjadi dalam kehidupan sosial.

Pada akhirnya, yang mendominasi adalah yang berkuasa dan sejarah akan tetap menjadi milik
para pemenang dalam hal ini karya sastra populer.

Referensi:

Madasari, Okky. (2019). Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan.

Makmur, Z. (2020). Membangun Kesadaran Apokaliptik melalui Sastra di Masa


Pandemi/10.31219/osf.io/utvyk

Barker, C. (2003). Cultural studies: Theory and practice. Sage.

Hall, S. (2001). Foucault: Power, knowledge and¢. Discourse theory and practice: A reader, 72.

Nur, A. (2020). Culture Reproduction in The Charles Dickens' Novel “Great Expectations”(Pierre-Felix
Bourdieu Theory)/ 10.31219/osf.io/r794p

Anda mungkin juga menyukai