Anda di halaman 1dari 32

KAJIAN PROSA FIKSI

RARA MENDUT KARYA Y.B. MANGUNWIJAYA

Pendekatan pascakolonial

Diajukan sebagai syarat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kajian Prosa Fiksi

yang diampu oleh Dr. Agus Hamdani, M. Pd.

Disusun Oleh :

Haikal Khoirul Umam

22213017

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU SOSIAL, BAHASA DAN SASTRA

INSTITUT PENDIDIKAN INDONESIA

GARUT

2023
Kata pengantar

Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat rahmat serta karunia-Nya sehingga

makalah kajian Rara Mendut. Y.B. mangunwijaya dengan pendekatan pascakolonial ini

dapat selesai.Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas mata kuliah kajian prosa

fiksi yang di ampu oleh Dr. Agus Hamdani, M.pd. Selain itu, penyusunan makalah ini

bertujuan menambah wawasan kepada penulis tentang kajian novel melalui pendekatan

pascakolonial. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Agus Hamdani,

M.pd. Berkat tugas yang diberikan ini, dapat menambah wawasan penulis berkaitan dengan

topik yang diberikan.Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih

melakukan banyak kesalahan. Oleh karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan dan ke

tidak sempurnaan yang pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya

kritik serta saran dari pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.

Garut ,12 November 2023

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Novel Rara Mendut. Y.B. Mangunwijaya ini Salah satu novel yang

menceritakan tentang perjuangan seorang perempuan yang menggambarkan

kehidupan masyarakat Jawa yang menempatkan kaum perempuan di bawah derajat

kaum laki-laki. Hal yang menarik dalam novel ini adalah pandangan pengarang

tentang perempuan Jawa dalam mengekspresi nilai feminisme. Budaya Jawa yang

patriarkhi menuntut gadis harus selalu patuh kepada laki-laki, perempuan tidak punya

hak bercita-cita kecuali menjadi istri yang selalu di rumah mengurus suami dan

anak-anaknya, tidak berhak menolak kemauan orang tua untuk menetukan siapa yang

akan ia pilih menjadi suami. Seperti sosok Rara Mendut yang diminta menjadi istri

seorang raja/petinggi walaupun itu harus menjadi istri kesekian. Namun dalam novel

ini Y.B. Mangunwijaya menceritakan tentang tokoh perempuan Jawa yang berani,

tidak pernah ragu untuk menyuarakan isi hati dan pikirannya. Novel ini menceritakan

sosok perempuan dianggap menyimpang dari tradisi dan tatanan di lingkungan istana

yang harus selalu halus dan serba patuh.

Novel ini dikaji menggunakan Pendekatan pascakolonial, pendekatan ini

merupakan pendekatan mengenai teori yang lahir sesudah zaman kolonial.

Poskolonial adalah cara-cara yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala

kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan yang lainnya , yang terjadi di

negara-negara bekas koloni Eropa modern. Beberapa topik yang dikembangkan oleh

poskolonial adalah masalah ras, etnisitas, dan identitas budaya. Objek penelitian
poskolonial mencakup aspek-aspek kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan

imperial sejak awal terjadinya kolonisasi hingga sekarang, termasuk efek yang

ditimbulkannya.

Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksud pendekatan pascakolonial

2. Bagaimana Pendekatan pascakolonial pada Novel Rara Mendut

3. Bagaimana unsur-unsur pendekatan pascakolonial pada Novel Rara Mendut

B. Tujuan Penelitian

1. Dapat memahami pendekatan pascakolonial pada sebuah novel

2. Dapat mengkaji sebuah novel dengan pendekatan pascakolonial

3. Dapat mengetahui unsur unsur pendekatan pascakolonial pada Novel Rara

Mendut
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Pascakolonial

Poskolonial adalah pendekatan poststruktural yang diterapkan pada topik

khusus. Tetapi pendekatan poskolonial segaligus juga merupakan respons dan cermin

"kekecewaan" kritikus asal dunia ketiga terhadap teori-teori potstruktural, terutama

yang diformulasikan oleh Derrida dan Barthes” (Budianta, 2004: 49). Kesusastraan

poskolonial ialah kesusastraan yang membawa pandangan subversif terhadap penjajah

dan penjajahan” (Aziz, 2003: 200).Griffiths dan Tiffin sebagaimana dikutip Aziz

(2003: 201). Menjelaskan bahwa postkolonial merujuk kesan ataupun reaksi kepada

kolonialisme semenjak ataupun selepas penjajahan. Sebenarnya, penjajahan masih

berlangsung di setengah negara, dan pengalaman negara-negara ini diterjemahkan

sebagai neokolonialisme oleh para golongan Markis. Mereka berpendapat bahwa

penjajahan kini bukan lagi dalam konteks politik saja tetapi ekonomi serta budaya.

Dalam koneks kesusasteraan paskolonial, karya-karya yang dihasilkan semasa atau

selepas penjajahan diterima sebagai karya kesusasteraan paskolonial apabila karya itu

merekamkan atau memancarkan wancana pascakolonial. Dengan kata lain,

kesusasteraan poskolonial tidak terikat dengan masa, tetapi terikat dengan wacana

poskolonial.

Kajian poskolonialisme dapatlah dianggap dimulai ketika terjadi fajar budi di

tiga benua (Afrika, Asia, dan Amerika Latin) sebagai bentuk kulminasi pengalaman

akan penindasan dan perjuangan terhadap kolonialisme (Young, 2001: 383-426).

Kajian poskolonialisme bukanlah suatu bentuk genderang perang terhadap apa yang
terjadi di masa lalu, namun suatu bentuk perjuangan terhadap realitas kekinian yang

masih terjajah oleh bentuk neo-kolonialisme selepas kemerdekaan dicapai (Rukundwa

dan Aarde, 2007: 1175). Bentuk perlawanan terhadap kolonialisme tidaklah berhenti

setelah kemerdekaan dicapai namun juga harus tetap diteruskan ketika disadari bahwa

kolonialisme tidak hanya “telah” menjajah secara fisik, namun imbas penjajahan

sebenarnya juga sudah merasuk ke dalam pikiran bawah sadar (Nandy, 1983: 63) dan

ini yang diabaikan oleh negara-negara yang telah merdeka. Justru yang sering terjadi

adalah bagaimana penduduk dari negara-negara yang telah merdeka melupakan

identitas mereka dan juga menganggap diri mereka sebagai inferior di hadapan bekas

penjajah. Masalah inferioritas muncul karena di dalam alam pikiran bawah sadar

negara bekas terjajah masih tersimpan ingatan kekalahan terhadap negara bekas

penjajah dan kegamangan akan identitas diri yang belum tertemukan. Penduduk dari

negara-negara yang telah merdeka lupa menyadari bahwa inferioritas yang mereka

alami dapat disembuhkan lewat proses reidentifikasi. Proses reidentifikasi diri

memerlukan suatu proses pencarian identitas. Yang kemudian menjadi masalah adalah

bahwa isu nasionalisme yang kerap dikedepankan di dalam pencarian identitas

menjadi sesuatu yang absurd ketika disadari bahwa nasionalisme yang disemai dari

batas wilayah kebangsaan adalah merupakan konstruk struktur buah karya bekas

penjajah (bdk. Young, 2001: 59 dengan Rukundwa dan Aarde, 2007: 1189). Ada

kecanggungan yang kentara ketika usaha pencarian identitas dalam rangka

reidentifikasi diri terbentur oleh kenyataan sejarah bahwa identitas negara yang

merdeka berbeda dengan identitas suku yang tergabung di dalamnya. Masalah

menjadi bertambah ketika disadari bahwa nasionalisme di dalam beberapa aspek

sungguh berbeda dengan tribalisme.


Istilah poskolonialisme menjadi suatu bentuk kajian sastra yang serius muncul

pertama kali ketika Bill Ashcroft dkk. di dalam buku, The Empire Writes Back:

Theory and Practice in Post-Colonial Literatures (1989), menggunakan istilah tersebut

untuk menggantikan istilah sebelumnya untuk merujuk sastra di negara bekas jajahan

eropa: sastra third world atau sastra daerah commonwealth (Bahri, 1996). Namun

meskipun demikian, sebenarnya kajian poskolonialisme sebagai sebuah studi yang

serius dapatlah dikatakan mulai hangat ketika Edward Said menerbitkan buku yang

berjudul Orientalism di tahun 1978 (Bahri, 1996).serta dapat juga ditambahkan bahwa

kajian poskolonialisme di dalam sastra dapat berfokus kepada tiga hal: hibriditasi ,

sinkretisasiii, dan pasticheiii (bdk. Bahri, 1996) atau malah suatu bentuk kajian karya

kolonialis (penjajah)iv (Lye, 2008).

1. Identitas

Identitas merupakan kesadaran sesorang terhadap kebudayaan yang dimiliki,

dan muncul rasa bangga dalam memilikinya. Identitas adalah siapa kita, dari mana

kita datang, siapa kita yang sebenarnya: sangat sulit untuk memelihara identitas dalam

pengasingan, kita adalah “yang lain”, oposisi, sebuah kecacatan dalam sebuah

transmigrasi, sebuah exodus. Diam dan berkerudung rasa sakit, perlahan mencari rasa

sakit, lalu mengentengkan rasa kehilangan (Said, 2016: vii). Identitas merupakan

sebuah hal yang rapuh, yang selalu mengalami benturan dan pergesekan, hingga

rentan mengalami keratakan untuk diisi oleh kebudayaan baru. Kebudayaan menjadi

tidak tetap, berubah-ubah dan menjadikan masyarakat sekaan kehilangan identitas.

Semakin banyak sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan lain,

maka semakin mudah sebuah identitas berubah. Semakin minoritas sebuah

kebudayaan dibandingkan dengan kebudayaan lain yang tumbuh dan berkembang

dalam satu tempat, maka akan menciptkan “the other” yang akan mengalami
diskriminasi. Besar kecilnya kecintaan terhadap kebudayan tercermin dari sikap

sehari-hari yang dilakukan, sebab hal tersebut memengaruhi perasaan, cara pandang

dan persepsi yang dimiliki oleh pribadi tersebut. Castels (dalam Sutrisno, 2004:86)

mengemukakan beberapa pernyataan terkait dengan identitas, sebagai berikut.

1. Sumber makna dan pengalaman bagi manusia.

2. Berbagai konstruksi makna yang terkonsetrasi pada kultural, atau kultural yang menjadi

prioritas diatas semua makna.

3. Identitas hadir untuk menata dan mengelola makna (meaning) dengan peran (role) yang

menata fungsinya (function).

4. Identitas merupakan sumber makna bagi pelaku yang dikonstruksikan dalam bentuk

individu

5. Identitas erat terkait dengan internalisasi nilai-nilai, idealisme, norma dan tujuan-tujuan.

6. Bentuk asal muasal identitas adalah (a) identitas sah (legitimizing identity) misalnya

dominasi dan otoritas; (b) identitas perlawanan (resistance identity) misalnya politik identitas;

(c) identitas projek (project identity) misalnya feminisme.

7. Identitas dibedakan menjadi dua, yaitu identitas individu, kolektif, dan individu yang

menjadi kolektif.

8. Identitas selalu bersifat jamak.

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa identitas merupakan seperangkat

makna yang melekat pada seorang individu yang dapat membentuk identitas kelompoknya

dengan ciri tertentu. Oleh sebab itu, identitas bukanlah sebuah hal yang tunggal. Seorang

individu dapat memiliki identitas “pertama” dan memiliki identitas “kedua” sebagai bagian

dari masyarakat, kemudian memiliki identitas “ketiga” sebagai bagian dari sebuah negara.
3. Kolonial dan Resistensi

Sastra merupakan bagian kebudayaan yang paling dekat dengan masyarakat. Sejak

awal kebudayaan ini terbentuk, sastra telah tumbuh dan berkembang seiring dengan

berkembangnya masyarakat. Melalui sastra, berbagai kenyataan dan pola kebudayaan suatu

masyarakat dipotret dan direkam, hingga dapat menjadi dokumen yang dapat merefleksikan

kehidupan pada saat sasta tersebut diciptakan. Selain itu, sastra juga dapat menjadi media

yang menampung berbagai aspirasi individu maupun kelompok tertentu.Peran sastra dalam

postkolonial adalah media penyampai gugatan. Rakyat Indonesia menggugat berbagai

ketidakadilan yang mereka terima selama masa penjajahan melalui sastra. Gugatan yang

dikemukakan oleh rakyat Indonesia diekspresikan melalui berbagai karakter tokoh dan

rangakain peristiwa yang dapat dianggap menyelisihi keumuman keadaan pada saat

penjajahan dilakukan atau merefleksikan keadaan ketika itu. Selain itu, percampuran antara

kebudayaan kolonial dan kebudayaan negara koloni juga dirasa perlu mendapat perhatian.

Penciptaan karya-karya sastra tersebut, merupakan bentuk resistensi yang dilakukan oleh

masyarakat Indonesia, terhadap penjajahan kolonial.Resistensi adalah cara masyarakat

mengemukakan bahwa sekalipun merupakan negara jajahan, Indonesia tidak kehilangan jati

diri sebagai Indonesia. Sebaliknya, justru berbagai kebudayaan yang datang sebagai akibat

dari diaspora mampu diterima, ditiru, bahkan kembangkan tanpa menghilangkan citra

Indonesia sebagai Indonesia. Resistensi merupakan tindakan atau aksi yang dilakukan oleh

pribumi untuk melepaskan diri dari belenggu penguasa (Ascroft, 2001:28). Resistensi yang

terdapat dalam Novel Saman dan Larung akan ditinjau melalui mimikri, hipokritas, hibriditas,

dan ambivalensi.Sejatinya, resistensi dapat berifat radikal dan pasif (Artawan:2015). Maksud

dari pernyataan tersebut adalah, bahwa resistensi dapat dilakukan melalui gerakan-gerakan

yang terorganisir untuk penyerangan, dan ada pula yang tidak. Resistensi yang dilakukan

secara pasif, adalah dengan memunculkan penolakan pada diri atau pribadi dan memuncukan
berbagai teks yang mencerminkan kejadian atau hegemoni yang dilakukan oleh penjajah.

Oleh sebab itu, kekaburan identitas merupakan hal yang niscaya terjadi pada resistensi pasif.

Hal tersebut tentu saja dikarenakan mereka harus memunculkan diri dengan ciri-ciri kolonial

agar suara meraka didengar. Maka, meniru dapat menjadi salah satu bentuk resistensi

pribumi, meskipun peniruan itu tidak sempurna ( Bhabha, 1994:91).

Konsep resistensi pada penelitian ini sejatinya digunakan untuk menjelaskan

kaburnya batas-batas kebudayaan antara penjajah dan terjajah. Kekaburan tersebut, tentu saja

disebabkaan oleh percampuran kebudayaan yang dibawa oleh kolonial terhadap kebudayaan

pribumi sebagai negara koloni. Selama terjadinya proses kolonisasi, terdapat “ruang antara”

antara kebudayaan kolonial dan kebudayaan Indonesia. Ruang tersebut lah, yang memiliki

kemungkinan untuk diisi oleh berbagai kemungkinan resistensi yang dilakukan oleh pribumi.

Namun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa resistensi yang dilakukan pribumi adalah

total. Sebab, pada dasarnya resistensi tidak dapat dijelaskan secara tepat. Gejala-gejala yang

ditampakkan adalah subjektif, dan selalu ambigu.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik simpulan bahwa resistensi merupakan efek

dari ketimpangan hubungan Timur dan Barat selama ini. Barat selalu hadir sebagai superior

yang memberikan generalisasi terhadap Timur (Said, 2010:349) dan berusaha menguasainya

memunculkan gejolak sebagai reaksi pribumi atau terjajah. Ideologi Barat yang telah lama

berada di Indonesia pun terus tumbuh seiring dengan berjalannya waktu. Maka, ideologi itu

tumbuh dan berkembang hingga kini, sekalipun kolonialisme telah berakhir, yang

didokumentasikan dalam bentuk karya sastra. Kemerdekaan yang diperoleh oleh

negara-negara “dunia ketiga” merupakan prestasi tersendiri. Namun demikian, jejak-jejak

kolonial selama penjajahan masih melekat dan tumbuh bersama bertumbuhnya kebudayaan

masyarakat. Sebagai contoh, negara-negara global saat ini. Meskipun zaman telah berubah,

dan perkembangan kebudayaan manusia telah pesat, namun dominasi superior masih
mengekang kebebasan inferior (Jhonson: 2016). Masyarakat minoritas masih mendapatkan

diskriminasi, sebagaimana peribumi yang ditundukkan oleh kolonial.

a. Mimikri

Mimikri merupakan wacana yang penting dalam kajian postkolonial karena

menggambarkan relasi yang selalu ambivalen (Iswalono: 2010). Mimikri merupakan

fenomena pribumi yang memiliki cita rasa kolonial (Efendi: 2016) yang memiliki

interaksi yang cukup dekat dengan kesadaran (Kulesza:2016, Fillani: 2016). Artinya, pada

proses mimikri, pribumi bersikap seolah-olah mereka adalah seorang kolonial dan dilakukan

sebagian besar dengan sadar. Mimikri atau tiruan ini dapat berupa cara bicara, cara berpikir,

cara berpakaian, cara pandang, pendidikan, dan sebagainya. Namun demikian, mimikri juga

dapat diartikan sebagai olok-olok (mockery) pribumi terhadap kolonial karena proses

peniruan tersebut (Bhabha, 1994: 86). Mimikri adalah keinginan The Other atau dalam hal ini

terjajah untuk memperbarui diri sehingga dikenal sebagai almost the same but not white

(Bhabha, 1994: 89) atau subjek yang Mimikri merupakan ungkapan tentang sesuatu yang

berbeda dari apa yang sesungguhnya terjadi dengan maksud pengingkaran (Bhabha,

1994:86). Dengan kata lain, mimikri merupakan perbedaan kenampakan antara yang

ditunjukkan dan yang mungkin sesungguhnya ada dibaliknya. Mimikri dilakukan dengan

tujuan agar mereka dicirikan sama dengan kolonial. Namun, sebagai subjek yang memang

berbeda, mereka hampir sama tapi tidak pernah benar-benar menjadi sama (Bhabha,

1994:86). Dikarenakan sifat mimikri yang mencoba meniru-niru, maka mimikri dibangun

dengan konstruksi ambivalen.Mimikri muncul sebagai representasi atas perbedaan identitas

antara pribumi dan penjajah yang memunculkan sifat pengingkaran (Babha, 1994:86).

Kehadiran penjajah yang menempatkan diri pada posisi “atas” memunculkan tendensi bahwa

segala seusatu yang mereka lakukan adalah hal yang “lebih tinggi” dari segala sesuatu yang
dilakukan oleh pribumi. Oleh sebab itu, pribumi secara sadar maupun sebagai efek

percampuran kebudayaan, akan mencoba meniru identitas penjajah. Pribumi yang mengalami

penindasan dan marginalisasi akan mencoba menjadi seperti penjajah agar mendapatkan

perlakuan yang sama. Bahkan, Singh (2009) menegaskan bahwa tindakan mimikri yang

dilakukan oleh pribumi merupakan harapan agar mereka memiliki kekuatan yang sama

seabagaimana penjajah. Namun demikian, peniruan yang dilakukan oleh pribumi terhadap

penjajah tetap menyisakan “ruang antara” yang dapat diisi oleh berbagai kemungkinan

perubadahan identitas. Bagaimanapun, seseorang yang lahir dalam keadaan yang berbeda,

tidak akan bisa menjadi sama secara identik. Pribumi yang melakukan mimikri cenderung

jatuh pada ketidakpastian identitas yang dapat mendorongnya untuk menjadi bukan

siapa-siapa. Maksud dari bukan siapa-siapa ini adalah pribumi tersebut bukan lagi pribumi,

dan bukan pula kaum kolonial. Hal tersebut terjadi karena, ketika pribumi melakukan

mimikri, sejatinya ia sedang menekan identitas budaya sendiri sehingga mereka cenderung

mengalami kebingungan (Singh: 2009).

b. Hipokritas

Hipokrit dapat diartikan sebagai munafik atau orang yang senang berpura-pura.

Hipokrit merupakan salah satu watak dasar manusia (Viani: 2017) yang direalisasikandalam

konsep kemunafikan dengan melakukan sesuatu yang dianggap kurang pantas, namun ia

merasa berhak mengontrol, mengawasi bahkan mengendalikan tindakan tersebut (Szabados:

2004). Mufidah (2017) mengaskan, bahwa Hipokrit adalah seseorang yang melakukan suatu

perbuatan dengan menyembunyikan niat sesungguhnya dari perbuatan tersebut. Orang-orang

yang terjebak dalam hipokritas selalu disebabkan oleh dua hal, yaitu karena untuk mencapai

tujuan yang diinginkan, atau karena malu mengakui kesalahan pada orang lain (Mufidah:

2017). Kacamata postkolonial tidak memandang hipokritas sebagai sebuah tindakan negatif

yang dimaksudkan untuk menipu dan merugikan orang lain, melainkan sebuah tindakan yang
dilakukan oleh pribumi untuk menyelamatkan diri atau bertahan atas kolonisasi yang

dilakukan penjajah. Berbagai tekanan yang pribumi dapatkan, memaksa mereka masuk dalam

sistem yang dibangun oleh kolonial, mekipun mereka merasa terpaksa. Oleh sebab itu,

konsep hipokritas muncul sebagai salah satu fokus pembahasan postkolonial.

Hipokrit tidak sama dengan munafik (Moriyama, 2010: 131), sebab munafik hanya

orang yang berpura-pura taat beragama (sebagai contoh) padahal tidak, sedangkan hipokrit

lebih luas dari itu. Oleh sebab itu, Scabandoz dan Soifer (2004) menyatakan bahwa penelitian

tentang hipokritas masih harus terus dilanjutkan.

c. Ambivalensi

Ambivalensi berasal dari mimikri (Bhabha, 1992:91) yang merupakan perasaan tidak

sadar saling bertentangan antara menginginkan sesuatu atau menolaknya pada saat yang

bersamaan (Ashcroft dkk, 2000:10) dan terdapat dalam satu tubuh. Ketika pribumi

mengalami penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan penjajah, pribumi melakukan

mimikri atau peniruan yang dimaksudkan agar mendapatkan pengakuan dari penjajah,

sehingga mereka dianggap sederajad atau sama dengan mereka. Namun demikian, dalam hati

terdalam pribumi, masih mengalami pergulatan. Mimikri yang dilakukan tidak sempurna,

sebab mereka masih menyimpan rasa cinta yang besar terhadap kebudayaan yang merupakan

identitas mereka. Mereka mencintai dan berusaha manjadi kolonial, dengan tanpa

menanggalkan kebanggaan dan cinta mereka terhadap kebudayaan sendiri. Maka, kedua

perasaan tersebut tumbuh bersama dalam tubuh pribumi, menggiring mereka pada perasaan

cinta dan benci yang kompleks.

Ambivalensi menjebak mereka pada perasaan yang menggantung, sehingga identitas

mereka pun menjadi sulit ditentukan. Mereka bisa jadi hidup dengan cara kolonial, namun

dengan cita rasa pribumi. Problematika wacana kolonial adalah kaburnya batas-batas
identitas kebudayaan yang bersifat relasional. Percampuran kedua kebudayaan terebut

kemudian memunculkan kebudayaan heterogen yang melekat pada masyarakat. Oleh sebab

itu, masyarakat berusaha membangun persamaan dengan penjajah, namun juga menegaskan

perbedaan (Sungkowati: 2010).

d. Hibriditas

Hibriditas tercipta disebabkan pengaruh dua hal, yaitu superior dan inferior

(Alexander dan Sharma: 2013). Oleh sebab itu, Bhabha (1994:207) juga mengemukakan

bahwhibriditas merupakan cultural differences „contingently‟ and conflictually touch,

becomes the moment of panic which reveals the borderline experiences. Perbedaan

kebudayaan yang saling menyentuh memunculkan semacam fusi yang menciptakan identitas

baru. Akibatnya, masyarakat tidak dapat menolak kebudayaan luar yang masuk, namun tetap

mempertahankan kebudayaan asal sehingga menciptakan kebudayaan “ketiga”.Bhabha

beranggapan bahwa kebudayaan akan selalu mengalami perubahan sering dengan majunya

peradaban manusia dan pergesekan antar satu kebudayaan dengan kebudayaan lain.

Kebudayaan tersebut akan terus memperbarui diri menyesuiakan dengan kebutuhan

masyarakatnya. Namun demikian, kebudayaan tidak dapat sepenuhnya berubah menuju

kebudayaan “ketiga” begitu saja. Terdapat proses panjang hingga sebuah kebudayaan baru

diterima dan diintegrasikan dalam suatu kebudayaan, meski akan selalu menyisakan “ruang

antara” dan menciptakan “yang lain” atau The Other.Setiap kebudayaan yang ada sejatinya

tidak ada yang tetap (Foulcher, 2008:13). Setiap kelompok memiliki sebuah kebudayaan yang

akan selalu mengalami perubahan ketika melakukan interaksi dengan kelompok diluar

kelompok tersebut. Namun demikian, hibriditas tidak hanya mengarahkan perhatian pada

percampuran kebudayaan tersebut, melainkan pada produk hasil penciptaannya, dan

penempatannya dalam ruang sosial masyarakat (Foulcher, 2008: 13). Sebuah sentuhan

budaya tidak akan dianggap hibrid jika kebudayaan tersebut tidak menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat yang berakar dan membudaya.Hibriditas dalam kebudayaan yang telah

dikolonisasi merupakan bentuk pertahanan diri masyarakatnya. Masyarakat berlomba-lomba

menemukan jalan meniru dan membudayakan kebudayaan kolonial sebagai bentuk dari

kebudayaan bayangan kolonial. Kebudayaan bayangan tersebut tidak asli namun tidak juga

palsu, melainkan tercipta dari pergeseran kebudayaan pribumi yang tidak dapat mencapai

kebudayaan kolonial. Namun demikian, hibrditas tidak hanya memfokuskan pada hibriditas

yang terjadi antar dua kebudayaan, melainkan penempatan kebudayan tersebut dalam

kehidupan sosial masyarakat.

4. Relasi antara Superior dan inferior dalam Postkolonial

Relasi merupakan hubungan yang terbangun diantara dua individu atau kelompok atau lebih.

Relasi yang terbangun antara penjajah dengan terjajah atau dalam hal ini superior dan inferior

merupakan hubungan penaklukan dalam relasi kekuasaan (Mudji, 2004:27) akibat pergesekan

kebudayaan yang disebabkan oleh pendudukkan. Oleh sebab itu, relasi yang terbangun bukan

hanya satu, melainkan beberapa, sesuai dengan respon dan stimulus yang diberikan oleh

superior. Relasi yang terbangun antara superior dan inferior dapat berupa relasi superordinsi

dan subordinasi.

a. Relasi Superordinasi

Superordinasi maupun subordinasi bukanlah karakterisitik individu yang sedang melakukan

interaksi, melainkan hasil atau produk dari interaksi. Superordinatif adalah keadaan seseorang

atau kelompok yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari individu atau kelompok lain.

Dalam relasi superordinatif, superior tidak sepenuhnya ingin mengarahkan pikiran dan

tindakan inferior, melainkan menginginkan inferior melakukan indakan secara positif atau

negatif sesuai keinginan superior. Pada relasi superordinatif, inferior diharapkan melakukan

sesuatu sesuai dengan kehendak dan tujuan dari superior.


b. Subordinasi

Subordinasi merupakan relasi individu atau kelompok sebagai inferior yang berada dalam

penguasaan superior. Dalam relasi tersebut terdapat tiga pola subordinsi dalam pola interaksi

sosial, yaitu dibawah individu, dibawah kelompok dan dibawah prinsip.

1) Subordinasi Dibawah Individu

Subordinasi dibawah individu memancing oposisi terhadap pemimpin dan Bersatu

membangun kekuatan kelopok. Gabungan individu ini dapat menjadi kekuatan yang rela

mengikuti pemimpinnya atau jstru menentang keinginan pemimpin itu (Jhonson dan Paul,

1988:263). Subordinasi dibawah individu memiliki dua ciri, yaitu; pertama, superior

memaksa mereka pada satu arah kemudian menggabungkan mereka pada satu pandangan

yang sama. Superior benar-benar menginginkan kelompok tersebut dalam satu kesatuan.

Kedua, kelompok inferior berada dalam posisi oposisi yang secara berkelompok menentang

superior (Simmel, 1964:190). Subordinat dibawah individu cenderung memunculkan

perlawanan karena interaksi sosial yang terjalin hanya menghadirkan satu“musuh” yang

dapat dihadapi bersama.

2) Subordinasi Dibawah Kelompok

Ciri utama dari subrodinasi dibawah kelompo adalah bahwa relasi ini menghadirkan

kelompok kecil yang lemah menghadapi kelompok yang lebih kuat (Simmel, 1964: 225).

Subordinat yang berada di bawah kelompok dapat melakukan pendekatan kepada satu atau

beberapa superiordinat. Kedekatan yang intens pada salah satu superordinat dapat menjadi

modal bagi subordinat dalam menghadapi superordinat yang lain (Jhonson dan Paul,

1998:265).

3) Subordinasi Dibawah Prinsip


Prinsip yang dimaksud dalam bagian ini adalah hukum yang berlaku atau sekedar norma

yang diakui oleh sekelompok masyarakat. seseornag yang merasa tersubordinasi oleh prinsip

merasa hidupnya ditentukan oleh norma atau hukum-hukum tersebut, dimana dia merasa

tidak memiliki kekuatan untuk melawan atau mempengaruhi hukum tersebut (Simmel,

1964:25
BAB III

PEMBAHASAN

A. Sinopsis Novel Rara Mendut karya Y.B. Mangunwijaya

Rara Mendut adalah seorang gadis pantai yang sangat terkenal dengan

kecantikannya. Dia merupakan putri sulung dari seorang wanita janda yang

mempunyai tujuh anak. Dia sangat menyukai kebebasan dan pantai. Namun, semua

yang disukainya harus ia lepaskan kala Adipti pragolo hendak menjadikan Mendut

sebagai selirnya. Mulai saat itulah Mendut dikenal dengan sebutan Raden Rara

Mendut. Di sanalah ia bertemu dengan dua dayang yang dia anggap sebagai

keluarganya, yaitu Ni Semangka dan Geduk Duku. Sebelum dirinya sah menjadi

seorang selir dari Adipati Pragola, peperangan terjadi antara kerjaan Mataram dan Pati

diakhiri dengan kekalahan Kerajaan Pati. Rara Mendut yang saat itu menjadi putri

emas Pati, mau tak mau Mendut beserta para Putri yang tinggal di puri pati harus ikut

menjadi putri boyongan menuju Mataram.

Di sisi lain, Tumenggung Mataram, Tumenggung Wiraguna terpana akan

kecantikan Rara Mendut. Meskipun dirinya sudah tua dan memiliki banyak selir,

dalam hatinya dia sangat menginginkan Rara Mendut menjadi selirnya. Dan

keinginan itu terkabul kala Raja Mataram memberikan Rara Mendut pada

Tumenggung Wiraguna. Tumenggung Mataram semakin menginginkan Rara Mendut

kala Rara Mendut memperlihatkan tarian seksi di depannya. Padahal niat Rara

Mendut menari karena janji Tumenggung Mataram akan memulangkannya ke rumah

orang tuanya. Namun, Rara Mendut malah semakin terjebak akan obsesi Tumenggung

Mataram itu.

Bukan hal mudah untuk menjadikan Rara Mendut sebagai selirnya. Meskipun

dirinya sudah berbaik hati, namun tetap saja Rara Mendut menolak pinangannya. Rara
Mendut malah menagih janjinya pada Tumenggung Wiraguna untuk

memulangkannya ke Pati. Ketika Genduk Duku bertanya kenapa sang puan menolak

lamaran Tumenggung Mataram, Rara Mendut menjawab bahwa dia sudah memiliki

tambatan hatinya di pantai sana. Jelas, alasan ini tidak sampai ke telinga Tumenggung

Mataram.

Tumenggung Wiraguna lantas tak menyerah untuk menjadikan Rara Mendut

sebagai selirnya. Ia menitah sang istri perdana, Nyai Ajeng untuk membujuk Mendut

agar mau menjadi selirnya. Namun sampai saat itu hanya tolakan yang Tumenggung

Wiraguna terima. Kesal dengan penolakan Rara Mendut, Tumenggung Wiraguna

menitah sang istri untuk menyampaikan sabdanya pada Mendut.

Ia mengatakan bahwa setiap hari Mendut harus membayar pajak sebanyak

lima real kepadanya. Sang istri tentu terkejut, ia mencoba menasihati sang suami,

suaminya mendengar. Ia tidak mencabut pajak Rara Mendut, melainkan

menguranginya sebanyak dua real.

Rara Mendut jelas terkejut kala dirinya mendengar sabdaan Tumenggung

Wiraguna melalui Raden Ajeng. Ia bersama dua dayangnya kebingungan bagaimana

caranya untuk membayar pajak. Ni Semangka menasihatinya untuk menerima

pinangan Tumnggung Wiraguna. Namun, Mendut tetaplah Mendut. Gadis pantai yang

teguh dengan pendiriannya. Ia menolak nasihat dari dayang yang sudah dianggap

seperti ibunya itu.

Ketika Mendut berjalan bersama kedua dayangnya, ia melihat beberapa orang

yang tengah menghisap satu rokok secara bergiliran. Dalam hatinya ia merasa sedih

dengan kemiskinan yang menimpa orang-orang itu. Namun di sisi lain ia senang

melihat mereka semua saling berbagi di tengah kemiskinan yang mereka alami.Saat
itu juga secercah ide hinggap di kepalanya. Kini ia memiliki solusi untuk pajaknya

itu.

Rara Mendut meminta izin pada Tumenggung Wiraguna untuk bekerja guna

membayar pajak padanya. Dengan ide yang ia dapatkan tempo hari, ia berkata pada

panglima gagah Mataram itu bahwa dirinya akan bekerja dengan menjual rokok pada

masyarakat Mataram. Tumenggung Wiraguna mengizinkan, dengan syarat antara

pembeli dengan Mendut harus ada penghalang. Mendut menyetujuinya.

Hari itu pasar-sebagian besar wanita- diributkan dengan berbagai umpatan

akibat pedagang rokok baru itu. Siapa lagi jika bukan Rara Mendut yang mereka

umpati. Bagaimana tidak mengumpati, rokok yang Mendut jual adalah puntungan

rokok saja “Biadab” ucap mereka mengumpat. Meskipun Mendut menjual puntung

rokok, tapi puntungan rokok itu sangat diminati kaum pria. Alasannya, di dalam

puntungan rokok tersebut terdapat air liur Mendut yang menjilati rokoknya sebelum

dijual. Berkat penjualan puntung rokok tersebut, Rara Mendut dapat membayar pajak

pada Tumenggung Wiraguna.

Saat itu, Mendut tanpa sengaja menatap seorang pemuda yang entah kenapa

pernah dikenalnya. Ia merasakan perasaan cinta kala memandang lelaki itu.

Karenanya, Mendut meminta Genduk Duku untuk mengikuti pemuda tersebut.

Genduk berhasil mendapatkan informasi tentang pemuda itu. Ternyata pemuda itu

bernama Pranacitra. Dia tinggal dipekalongan. Dia juga anak pantai sama seperti

Mendut.

Hari silih berganti. Ternyata Mendut dan Pranacitra saling memiliki perasaan

satu sama lain. Akhirnya mereka berikrar untuk saling bersama. Pranacitra juga

mengelabui Tumenggung Wiraguana dengan menjadi abdinya, agar dia bisa

membawa kabur Mendutt.


Nyai Ajeng yang mengetahui hubungan antara Menduit dengan Pranacitra

mencoba membuat rencana untuk membantu keduanya. Namun rencana itu bukannya

menguntungkan malah membuntungkan. Berkat rencana Nyai Ajeng itu,

Tumenggung Wiraguna mengetahui bahwa Pranacitra membawa kabur kekasih

hatinya. Ia memerintahkan bawahannya untuk membawa kembali Mendut ke

Mataram.

Namun, selama sepekan itu Mendut dan Pranacitra belum juga ditemukan.

Kemudian seorang petinggi Pagelen memberitahu Tumenggung Wiraguna bahwa

mereka melihat Mendut. Setelah itu Wiraguna beserta bala tentaranya mengejar

Mendut beserta Pranacitra. Mengembalikan harga dirinya yang sudah jatuh karena

ulah Mendut.

Di muara sungai Oya-Opak Mendut dan Pranacitra berhadapan dengan

Tumenggung Wiraguna. Terjadi duel antara Pranacitra dan Tumenggung Wiraguna.

Pranacitra memang masih muda. Namun dirinya tidak memiliki kemampuan fisik

seperti halnya Tumenggung Wiraguna. Namun Tumenggung Wiraguna memang

sangat ahli dalam kemampuan fisik, tapi umurnya yang semakin senja membuatnya

kewalahan melawan Pranacitra.

Pertarungan itu diakhiri dengan kalahnya Pranacitra serta tertusuknya Mendut

karena hendak melindungi Pranacitra. Jasad sepasangan kekasih itu dibawa oleh laut

yang menjadi kehidupan mereka.

B. Kajian terhadap Novel Rara Mendut karya Y.B. Mangunwijaya dengan Pendekatan

pascakolonial

1. Pisikologi
Aspek aspek pisikologi novel rara mendut dalam sebuah keterpaduan untuk

memperoleh nilai nilai otentik tokoh yang tercermin di dalam karya sastra

tersebut. Adanya nilai tertentu yang yakni di taati dan selanjutnya menjadi

pola dalam masyarakat semua dilibatkan dalam psikologi sosial.

Kajian psikologi sastra dalam novel rara mendut di maksudkan merealisasi

cara kerja pisikologi sosial. Sejauh pengamatan penulis, belum ada riset yang

menyelidiki perbuatan individu dalam novel rara memdut dalam hubungannya

dan situasi sosial yang ada

2. Postkolonialisme dan Kolonialisme

Analisis ini berfokus pada permasalahan bagaimna teks memperlakukan

perempuan baik dari segi bias yang dihasilkan, pemeliharaan patriarkat guna

memenuhi kepentingan laki-laki dalam perwajahan media, hingga bagaimana

media membentuk kondisi marginal pada posisi perempuan. Analisis yang

diperkenalkan oleh Sara Mills hasil refleksi pemikirannya yang berkiblat pada

analisis wacana yang dikembangkan oleh Michael Foucault dan hasil riset

mendalamnya tentang representasi perempuan dari berbagai media massa

Dimana dalam Analisis Wacana Kritis yang dikembangkannya memiliki

intrumen yang dapat menggali lebih dalam bagaimana media

merepresentasikan perempuan. Peneliti dapat membedah lebih dalam

bangunan representasi yang ada pada kedua novel, dalam Sara Mills

diperkenalkan beberapa level analisis pada berbagai struktur teks mulai dari

analisis pada struktur kata, sktruktur kalimat, hingga analisis pada tingkat

wacana. Dalam ketiga level analisis ini dapat membantu peneliti dalam

mengupas setiap sisi bentuk-bentk bias yang ditampilkan teks media. Seperti
pada analisis pada tingkat kata, melalui analisis Sara Mills, peneliti dapat

membedah bahasa seksis, kata tabu, dan labeling yang disematkan dalam

kedua novel ini. Novel Rara Mendut pada berbagai sisi masih menyimpan

beberapa bahasa seksis, kata tabu, dan labeling. Terutama bila berhubungan

dengan nilai virginitas, dimana niai virginitas bagi perempuan adalah hal tabu

yang disakralkan, serta pada proses labeling dimana identitas perempuan

ditentukan dengan nilai virginitas yang dimiliki

3. mimikri

4. Emansipasi

novel Roro Mendut adalah tema emansipasi. Oleh karena itu, tokoh-tokoh

perempuannya ditampilkan sebagai perempuan-perempuan yang memiliki

watak emansipatoris (berani, cerdas, mandiri, dan tegar). Mereka adalah sosok

perempuan yang tidak hanya bisa bergantung pada laki-laki dan menerima

nasibnya dengan pasrah, melainkan perempuan mandiri, berpikiran maju, serta

berani memperjuangkan hak-haknya supaya maju dan berkembang.

Sosoksosok perempuan dalam novel Roro Mendut telah mematahkan image

tentang perempuan terutama perempuan Jawa abad ke-17, yaitu perempuan itu

lemah, manja, dan selalu tergantung pada orang lain. Mereka juga

menunjukkan bahwa sesungguhnya mereka mempunyai kemampuan yang

tidak kalah dengan hebat daripada pria. Sosok perempuan dalam novel ini

adalah Roro Mendut. Perempuan ini menurut Mangunwijaya berasal dari desa

nelayan Telukcikal. Perempuan ini digambarkan sebagai perempuan cantik

dan cerdas. Hal ini mematahkan anggapan bahwa biasanya perempuan yang

cantik secara fisik mempunyai otak yang kosong (bodoh). Kiprah Roro

Mendut terlihat saat dia dengan berani melawan kehendak Tumenggung


Wiroguno yang akan menjadikannya selir. Hal tersebut terlihat aneh karena

Tumenggung Wiroguno adalah seorang pria berkuasa, berkedudukan,

terhormat, dan berharta. Banyak perempuan justru ingin menjadi selirnya

karena dianggap bisa meningkatkan status sosialnya. Roro Mendut tidak

sependapat dengan hal tersebut. Dia merasa selir hanyalah lambang dari

kekuasaan seorang laki-laki. Sesungguhnya laki-laki tidak mencintai selirnya

dengan segenap jiwa. Laki-laki berkuasa memiliki banyak istri sebagai simbol

kejantanan dan kekuasaannya. Roro Mendut dengan alas an itu berani

menolak mentah-mentah tawaran Tumenggung Wiroguno. Roro Mendut tidak

mau dijadikan objek dan simbol belaka. Tubuh dan jiwa baginya adalah

miliknya sendiri yang merdeka dan tidak terbelenggu.

Hal itu seperti dalam kutipan berikut ini:

“Siapa bilang aku calon istri Wiroguno?” tangkis Mendut sungguh kurang

ajar, sehingga tak heranlah, semua menjadi cemas (RM:121) “Kenapa den

Roro tidak mau dipersunting tumenggung yang kuasa dan kaya raya?” kan

enak nanti.” “Tubuhku dirampas memang. Tetapi hati tidak.” (RM:173).

Keteguhan Roro Mendut ini membuat Tumenggung Wiroguno murka. Dia

sangat terhina oleh penolakan seorang perempuan yang berasal dari golongan

rakyat biasa. Harga dirinya sebagai seorang laki-laki terkalahkan sehingga dia

memerintahkan Roro Mendut membayar pajak sebesar 3 real setiap hari. Roro

Mendut tidak gentar sedikitpun menghadapi tantangan ini. Dia mencari akal

supaya bisa membayar pajak. Akhirnya dia memutuskan untuk berjualan

puntung-puntung rokok. Dagangannya sangat laris sehingga Roro Mendut bisa

membayar pajak sebesar 3 real tiap hari pada Tumenggung Wiroguno. Sang

tumenggung memutuskan untuk meningkatkan besar pajak yang harus


dibayarkan Roro mendut sampai dia menyerah. Namun, ternyata Roro Mendut

tidak pernah menyerah pada Tumenggung Wiroguno. Mangunwijaya

mengambil setting abad ke-17 dalam novel ini.

Upaya Roro Mendut yang berusaha untuk memerdekakan dirinya dari

Tumenggung Wiroguno dinilai sangat tidak baik oleh masyarakat Jawa pada

masa itu. Masyarakat Jawa pada masa itu memiliki penilaian sendiri terhadap

“baik’ dan “buruk” mengenai seorang perempuan. Penilaian ini justru

memojokkan kedudukan kaum perempuan. Seorang perempuan yang “baik’

dalam pandangan masyarakat harus menjaga kesopanan yang berarti tingkah

lakunya harus serba rapi, teratur, dan terjaga. Pada akhirnya, konsep ini

membatasi ruang gerak perempuan sehingga hanya berbatas pada hal-hal yang

berbau domestik. Sebaliknya, perempuan dicap “buruk” jika tidak bisa

menjaga konsep kesopanan, kerapian, dan kepatuhan. Perempuan yang tidak

bisa diam dan berani berbicara sebagai wujud ekspresi dirinya dianggap tidak

sopan, tidak rapi, dan tidak pantas seorang perempuan.

Penilaian buruk masyarakat karena tingkahnya yang dianggap tidak sesuai,

dirasakan oleh Roro Mendut. Masyarakat menganggap Roro mendut sebagai

seorang perempuan yang liar. Perilakunya dianggap tidak seperti perempuan

Jawa pada umumnya. Roro Mendut lebih berani dalam mengekspresikan

dirinya. Dia juga tidak mengenal rasa takut untuk mengungkapkan pikirannya.

Hal tersebut seperti kutipan berikut: Minta ampun! Yang namanya Mendut itu

sedang berdiri bersandar melingkar pada tiang emperan gandok, tangan

berkacak pinggang seperti kaum bule, pinggul tentu saja menantang tak

senonoh sambil comak-camuk menguyah entah apa (RM:119). Roro Mendut

pada awalnya mendapat kecamanan dari berbagai pihak, tetapi lama kelamaan
mendapat simpati. Mereka sadar terutama kaum perempuan bahwa yang

dilakukan Roro Mendut adalah usaha untuk mengangkat martabat kaum

perempuan. Supaya perempuan lebih dihargai, dihormati, dan diperlakukan

selayaknya perempuan. Tidak hanya sebagai simbol kekuasaan, kehebatan,

dan kekuasaan saja. Hal ini terlihat pada kutipan berikut: Pemberang ya, tetapi

tanpa wanita semacam Mendut itu, kaum perempuan tetap tinggal lumpur

sawah yang hanya bertugas menumbuhkan padi (RM:295).

Novel yang bertema emansipasi seperti novel Roro Mendut tidak lepas dari

pandangan pengarangnya. Ideologi feminis seorang penulis perempuan akan

berbeda dengan penulis laki-laki. Seorang penulis laki-laki menonjolkan

budaya patriarkhi sebagai latar karyanya dalam menampilkan sosok

perempuan penuh dengan stereotipnya, manja, lemah, dan cengeng (Kolodny

dalam Djajanegara, 2000:19).

● Konteks sosial dan politik Pengarang

Kontek sosial dan politik pengarang merupakan salah satu konsep yang

terdapat dalam sosial politik. di dalamnya tertuang biografi serta kehidupan sosial

para pengarangnya. Selain itu, juga memuat pandangan pengarang tentang novel yang

digarapnya itu. Dan pada bagian ini kita akan menganalisis konteks sosial pengarang

Novel Rara Mendut, yaitu Y.B. Mangunwijaya.

Y.B. Mangunwijaya yang bernama lengkap R.D. Yusuf Bilyarta

Mangunwijaya, Dipl.Ing. merupakan rohaniawan, budayawan, arsitek, sastrawan serta

aktivis yang lahir pada 6 Mei 1929 di Ambarawa, Kabupaten Semarang, dan

meninggal pada usianya yang ke-65. Ia dikenal dengan panggilan populernya, Rama
Mangun. Dia merupakan sulung dari dua belas bersaudara dari pasangan suami istri

Yulainus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah.

Y.B. Mangunwijaya terkenal melalui novelnya yang berjudul Burung-Burung

Manyar, yang pada saat itu mendapatkan penghargaan sastra se-Asia Tenggara Ramon

Magsaysasy pada 1966. Selain novel, dia juga menulis esai yang tersebar di berbagai

surat kabar di Indonesia.

Selain penulis, Y.B. Mangunwijaya merupakan seorang arsitektur. Bahkan ia

dijuluki sebagai bapak arsitektur modern. Salah satu penghargaan yang pernah

diterimanya adalah Penghargaan Aga Khan, yang merupakan penghargaan tertinggi

karya arsitektural di dunia berkembang, untuk rancangan pemukiman di tepi Kali

Code, Yogyakarta. Ia juga menerima The Ruth and Ralph Erskine Fellowship pada

tahun 1995, sebagai bukti dari dedikasinya terhadap wong cilik

Y.B. Mangunwijaya mulai mengenal sastra saat dirinya tamat sekolah dasar

pada tahun 1943. Sedangkan kemampuannya dalam menlis sudah terbangun sejak ia

masih berada di bangku sekolah dasarnya. Kemampuannya tentang sastra semakin

bertambah kala guru-guru sekolah dasar-nya yang waktu itu adalah para biarawan

Belanda mendidik muridnya agar dapat berpikir luas. Dalam mengenal ilmu bumi,

mereka tidak hanya menyuruh para peserta didiknya untuk menghafal nama kota, laut,

dan lain-lain. Namun, diajarkan dengan merangsang imajinasi masing-masing siswa

ke tempat-tempat yang lebih jauh lagi. Oleh para gurunya itu ia diajarkan untuk

membuat karangan yang spesifik yang mengharuskan untuk melakukan observasi,

menganalisis, dan mencatat hal-hal yang diperlukan untuk menulis karangan,

sehingga karangan akan menjadi lengkap.

Y.B. Mangunwijaya di dalam novel Rara Mendut-nya dia menganalogikan

bagaimana dominasi laki-laki terhadap perempuan serta pandangan-pandangan


masyarakat terhadap wanita. Kaum wanita yang cantik, anggun, dan lemah sering kali

mendapatkan perlakuan buruk serta penindasan dari kaum laki-laki. Sehingga

membuat para wanita jengah dan berusaha memberontak agar terbebas dari jeratan

kaum lelaki. Penindasan dan pemberontakan ini merepresentasikan kondisi yang

dialami oleh perempuan Indonesia pada awal terbitnya novel ini 1980-an dan kondisi

saat ini masih berpegang kepada sistem patriarki, dimana perempuan dibawah

laki-laki.

Y.B. Mangunwijaya merupakan pengarang yang taat akan agama. Dalam

novel Rara Mendut , banyak menampilkan sikap keimanan Rara Mendut kepada Alloh

swt. yang ditampiklan oleh Y.B. Mangunwijaya. Contohnya,

“Terima kasih Putri Arumardi! Juga berkat sikapmu, Insya Alloh Mendut

dapat merdeka.”

Dalam kutipan di atas kita jelas menyadari kodrat kita sebagai makhluk yang

lemah. Yang hanya bisa berusaha dan menyerahkan segala sesuatu kepada sang

Khalik. Selain kutipan di atas, masih banyak kitipan-kutipannya tentang kegamaan

● Fungsi Sosial yang Terdapat pada Novel Rara Mendut

Selain sebagai hiburan, sastra harus memiliki fungsi sosial untuk

masyarakat pembacanya.fungsi sosial ini mengemukakan sejauh mana sastra

dapat memberi nilai-nilai sosial masyarakat pembacanya. Juga sebagai

perombak bagi kehidupan masyarakat pembaca. Nilai-nilai yang terkandung di

dalamnya:

a) Nilai Pendidikan

"Adiku, Nyai. Selalu begitu kata manusia petani. Dan kau pun anak

Batakenceng, akan selalu begitu perasaanmu. Gabah padi yang harus

meneruskan tanaman induk padi. Anak padi harus menjadi padi juga.
Tetapi itu tidak benar. Pranacitra lahir di atas kapal. Tidak di atas

daratan. Biarlah ia tumbuh menjadi pribadi yang menjawab

panggilannya yang khas, dan yang diserahkan oleh Alloh sendiri

kepadanya. Parnacitra anak angin dan ombak-ombak lautan. Tidak,

Adindaku sayang dari Batakenceng. Prana lahir tidak untuk menjadi

penerus belaka. Biarlah dia mencipta dan membangun kapalnya

sendiri. Dan dari mana atau ke mana arah angin nanti, janganlah itu

merisaukan kita, sebab angin dan arah laut adalah milik dan utusan

Alloh juga." (Rara Mendut, 2009:178)

b) Nilai Sosial

"....Istrinya juga sudah berkali-kali berbisik padanya apakah belum

saatnya mereka meminta pada ibu si dara agar boleh memungut gadis

pencinta laut ini menjadi anak angkat. Seorang janda petani sederhana

dengan anak tujuh kan harus ditolong. Miskin sih semua miskin.

Tetapi, daripada bengkok karena beban anak sekian banyak yang

sehat-sehat semua lahap kalau makan!...." (Rara Mendut 2009: 6)

Kutipan di atas mengajarkan kita untuk saling tolong menolong dan saling

menyayangi. Tolong menolong terhadap orang yang kurang mampu ataupun

orang yang benar-benar membutuhkan pertolongan kita, serta saling

menyanyangi terhadap sesama manusia dan sesama makhluk hidup.

"Tersenyumlah Mendut dan Genduk Duku mendengarkan para

kawula-alit itu rukun merokok dari satu dua Batang cukuplah, dari

mulut ke mulut lain; sambil senggak-senggakan dalam lagu dan irama

jenaka seperti permainan anak-anak." (Rara Mendut, 2009:165)


Kutipan yang kedua ini juga mengajarkan kita meskipun kita miskin dan tidak

punya apa-apa, tapi hidup rukun dan berbagi itu harus terus tertanam dalam

benak kita sebagai manusia yang memiliki hati.

c) Nilai Moral

"Bagi Nyai Ajeng soalnya sudah jelas. Perawan pantai itu selekas

mungkin harus ditolak dari puri Wiragunan. Perangainya tidak sesuai

dengan derajat martabat ningrat lingkungan puri panglima besar.

Kecantikan belum selalu dasar kuat untuk menduduki pangkat

garwa-selir.... " (Rara Mendut, 2009:92)

Selain strata sosial, kutipan di atas juga memiliki nilai moral, yaitu kita tidak

boleh melihat orang dari cover dan latar belakangnya saja. sebaiknya kita

mencari tahu dulu sebelum menjugde orang sembarangan.

d) Nilai Agama

"Banyak alim ulama yang tidak senang dengan pola pamer

orang-orang seperti Wiraguna, yang masih banyak mewarisi darah dan

saraf Majapahit kafir itu.... " (Rara Mendut, 2009:153)

Tentu sudah jelas bukan bahwa kutipan di atas itu mengandung nilai agama.

Dimana kita sebagai muslim tidak boleh memiliki pola prilaku pamer. Pamer

bisa bermakna sombong. Dan kita sebgai manusia dilarang memiliki sifat

sombong oleh sang Pencipta.


Bab IV

Kesimpulan

Pasca kolonial secara etimologis , berasal dari kata «pos» dan «kolonial», pos yang

berarti setelah atau sesudah, sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari akar kata colonia

yang berarti tanah pertanian atau pemukiman. Jadi, secara etimologis kolonial tidak

mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan dan konotasi

eksploitasilainnya. Konotasi negatif kolonial timbul sesudah atau setelah terjadi interaksi

yang tidak seimbang antara penduduk pribumi yang dikuasai, dengan penduduk pendatang

sebagai pengsa. Secara harfiah, kata tersebut berarti paham mengenai teori yang lahir sesudah

zaman kolonial.

Novel Rara Mendut ini mengisahkan perjuangan Rara Mendut pada jaman Kerajaan

Mataram kuno di masa pemerintahan Sultan Agung hingga pada masa putranya Susuhuan

Amangkurat 1 yang berkuasa anatara tahun 1640-1677 pada abad ke 17. Tokoh utamanya

adalah seorang perempuan yang diceritakan secara khusus pada yaitu Rara Mendut,. Pada

novel tersebut diceritakan mengenai penokohan, perjalanan hidup, dan perjuangan yang

dialami oleh Rara Mendut. Rara Mendut memiliki cerita dari segi nasib, cinta dan keyakinan

untuk mempertahankan apa yang mereka percayai. Berlatar belakang kehidupan dan nasib

perempuan Tanah Jawi (Mataram) yang terkukung dalam adat istiadat dan kebiasaan

masyarakatnya, dikisahkan bahwa tokoh utama ini berani melawan dominasi laki-laki yang

memperlakukan mereka hanya sebagai hiasan dan harta rampasan perang para petinggi

kerajaan Mataram. Rara Mendut adalah warga di daerah Pati, dibawa secara paksa, oleh

kerajaan Mataram karena kerajaan Pati kalah perang.


DAFTAR PUSTAKA

Mangunwijaya Y.B., 2019. Rara Mendut. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Azmi. 1995. Y.B. Mangunwijaya. Diakses pada 12 November 2023 pukul 14.57. URL

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Y.B._Mangunwijaya

Diakses pada 12 November 2023 pukul 15.18. URL

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Roro_Mendut

Yuni. 2014. Kajian Roro Mendut. Diakses pada 12 November 2023 pukul 15.45. URL

http://yuni2014.blogspot.com/2014/06/roro-mendut.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai