Anda di halaman 1dari 6

Mata Kuliah : Wacana dalam Budaya Kontemporer Jerman

Tanggal : Kamis, 31 Maret 2022

Pengajar : LWK

Sumber : Mills, Sara. 1997. Discourse (The New Critical Idiom). London: Routledge.
Halaman 118-130

Disusun oleh : Syahreza Muhamad (1806234911)

Maura Rivalda (1806183620)

Naura Marsha (1806184596)

Nova Tri Meliana (1806183614)

COLONIAL AND POST-COLONIAL DISCOURSE THEORY

Challenging Othering
Menurut analisis Hulme mengenai ragam wacana imperialisme, khususnya wacana
peradaban oriental dan wacana savagery yang ia tempatkan dalam teks-teks Karibia, terdapat
perbedaan konteks, dimana budaya-budaya yang menentang serangan kolonialisme
digambarkan sebagai kanibal barbar sedangkan pihak yang melakukan tindak kolonialisme
dibenarkan. Budaya-budaya yang menerima kekuasaan kolonial, dan mungkin bekerja sama
dengan penguasa kolonial dalam membangun pemukiman, umumnya dicirikan sebagai beradab
dan cinta damai. Hulme mencoba menggambarkan perbedaan dalam struktur diskursif teks-teks
yang berhubungan dengan negara-negara terjajah seperti Afrika Barat dan negara yang tetap
memiliki pemerintahan independen tetapi masih berdagang dengan orang-orang Barat seperti
India. Hasilnya keadaan kedua negara tersebut jauh berbeda, keadaan di India jauh lebih baik
dibandingkan keadaan di Afrika Barat.
Salah satu kritik terbesar terhadap karya Said tentang wacana adalah ia
mengkarakterisasi wacana kolonial sebagai kelompok teks yang homogen yang hanya
membawa satu pesan sederhana tentang negara terjajah. Dennis Porter mengkritik Said karena
mengasumsikan sejarah berkelanjutan praktik representasional yang menindas dari abad ke-18
hingga saat ini dibenarkan, dengan alasan bahwa hal ini mengarah pada pengetahuan kolonial,
yang dalam satu atau lain bentuk menganut pandangan ‘bukan hanya apa yang kita miliki, tetapi
apa yang dapat kita miliki’. Pandangan wacana ini juga mengasumsikan stabilitas tertentu dari
praktik representasional, alih-alih menemukan momen ketegangan atau keterputusan dalam
wacana kolonial, teks-teks ini hanya mewakili hubungan kekuasaan. Porter memberikan dua
contoh teks yang dianggap kontrahegemonik, yang menantang pengetahuan kekaisaran tentang
budaya lain, yaitu teks Travels dari Marco Polo dan teks Seven Pillars of Wisdom oleh T.E.
Laurence. Teks-teks ini harus, secara tegas, Orientalis atau kolonialis dalam istilah Said. Porter
berpendapat bahwa tidak ada visi terpadu tentang Timur dalam teks-teks ini; menulis tentang
budaya lain memerlukan wacana yang heterogen, ditandai dengan kesenjangan, kontradiksi dan
inkonsistensi. Pandangan tentang teks yang diganggu oleh arus bawah dari berbagai wacana
yang berbeda memungkinkan kita untuk membaca teks sebagai unsur-unsur yang mengandung
destabilisasi, bukan hanya sebagai alat yang ampuh dalam penindasan bangsa lain. Alih-alih
mencari wacana terpadu kolonialisme, kita harus siap dengan fakta bahwa dalam memeriksa
teks-teks kolonial 'tidak ada sejarah mulus yang muncul, melainkan serangkaian fragmen, yang
dibaca secara spekulatif, mengisyaratkan sebuah cerita yang tidak akan pernah dapat dipulihkan
sepenuhnya'. (Hulme, 1986:12). Dalam pandangan Said tentang wacana kolonial, kita
mendapatkan pengertian bahwa representasi Orientalis dikritik sehubungan dengan gagasan
tentang 'kebenaran' negara-negara ini. Yang menjadi perhatian teori wacana pascakolonial
adalah bahwa 'kebenaran' budaya-budaya itu tidak dapat dipulihkan. Kita tidak akan pernah
tahu seperti apa budaya itu sebenarnya; semua yang kita miliki adalah interpretasi kita dari satu
set teks heterogen, yang memiliki efek di dunia nyata saat itu.
Gayatri Spivak adalah salah satu ahli teori pascakolonial yang karyanya penting dalam
menantang gagasan Said tentang homogenitas wacana kolonial; meskipun ia telah
menempatkan dirinya secara teoritis lebih dalam dekonstruksi dan feminisme Marxis, fokusnya
pada kemungkinan suara-suara alternatif yang dapat dipulihkan dalam wacana yang tampak di
permukaan sebagai teks kolonialis sederhana telah berperan dalam memaksa banyak kritikus
untuk memikirkan kembali interpretasi mereka terhadap teks-teks kolonial ( Spivak, 1993a,
1993b, 1995; lihat juga Mills, 1994b, 1996c). Dalam karyanya tentang subjek 'subaltern', yang
menyatakan kaum non-elit sebagai subjek terjajah, ia mencatat bahwa teks-teks kolonial
cenderung hanya mewakili sektor-sektor tertentu dari populasi 'asli'. Dalam kasus India,
seringkali kaum elit Brahmana yang terwakili, terutama ketika mereka menunjukkan niat yang
sama (sehingga memberikan legitimasi untuk) dengan kodifikasi Inggris' (Spivak, 1993a: 77).
Hal menarik bagi Spivak dan para ahli teori lain yang membentuk kelompok Studi Subaltern,
adalah suara-suara pribumi yang bukan merupakan bagian dari elit 'pribumi' (Guha dan Spivak,
1988). Dia menyarankan bahwa, meskipun subjek elit mungkin menjadi orang yang suaranya
paling mendekati gagasan kolonial tentang apa 'Yang Lain' itu, perlu untuk 'menekankan bahwa
subjek subaltern yang terjajah sangat heterogen' (Spivak, 1993a: 79). Oleh karena itu, Spivak
menyerukan pergeseran posisi teoritis, dari keprihatinan dengan suara penjajah atau suara dari
subjek terjajah elit (fokus yang secara paradoks hanya menegaskan kembali posisi Barat)
menjadi keprihatinan dengan subjek yang suaranya sering terhapus oleh teks-teks kolonialis.
Kelompok Studi Subaltern menganalisis dokumen tidak hanya untuk menerima pesan dominan
pada nilai nominal, yang dalam banyak hal melibatkan analis dalam kolusi langsung dengan
logika kolonialisme; alih-alih, seperti yang telah ditunjukkan Chakrabarty dalam analisisnya
tentang kondisi kelas pekerja India di abad kesembilan belas, ‘dokumen kelas penguasa . . .
dapat dibaca baik untuk apa yang mereka katakan dan "keheningan" mereka (Chakrabarty,
1988). Dengan menolak untuk menerima permukaan wacana sebagai representasi jumlah total
pernyataan pada situasi tertentu, adalah mungkin untuk menganalisis struktur diskursif
sebanyak apa yang mereka singkirkan dan apa yang mereka tentukan. Seperti yang saya
tunjukkan di Bab 3 tentang struktur diskursif, ini sangat mengambil posisi Foucault pada
pengecualian ke ekstrem logisnya (lihat Mills, 1996b, 1996c).
Mary Louise Pratt juga telah beralih ke teorisasi wacana yang lebih kompleks, karena
daripada teks kolonialis yang dilihat sebagai perwujudan langsung dari kekuasaan kolonial,
mereka harus dilihat sebagai indikasi efek dari apa yang disebut 'zona kontak'. ', yaitu, 'ruang
sosial di mana budaya yang berbeda bertemu, berbenturan dan bergulat satu sama lain, sering
kali dalam hubungan dominasi dan subordinasi yang sangat asimetris (Pratt, 1992: 4).
Bernard Porter menunjukkan bahwa banyak penulis secara terbuka kritis terhadap
intervensi kolonial, dan dalam analisisnya tentang penulis perjalanan wanita, jelas bahwa kritik
terhadap kolonialisme dan praktik kolonial tertentu sama nyatanya dengan penegasan aturan
colonial (Porter, 1968; Mills, 1991). Sementara karya Foucault penting karena memungkinkan
kita untuk fokus pada cara kerangka diskursif skala besar memainkan peran dalam aktivitas
kolonial, jelas bahwa perlu untuk dapat menuliskan kembali agensi individu pada tingkat
tertentu.
Pratt tidak hanya meneliti bagaimana penjajah merepresentasikan budaya lain, tetapi
lebih memperhatikan bagaimana, meskipun penulis kolonial sering mencoba untuk menjaga
jarak dan pembedaan antara mereka dan negara terjajah, pada kenyataannya pengalaman hidup
kolonialisme diserbu oleh kehadiran ‘Yang lain’ yang terjajah. Kesulitan lebih lanjut yang
ditemukan oleh banyak ahli teori pascakolonial dengan teorisasi Said tentang wacana kolonial
bahwa dengan membuat struktur diskursif anonim, di luar agensi manusia, hampir tidak
mungkin untuk menyalahkan agen individu mana pun atas peran mereka dalam imperialisme.
Psychoanalysis and Discourse Theory
Seiring berkembangnya waktu, terjadi perkembangan studi wacana kolonial yang
mengakibatkan perpecahan antara para teoritis yang mulai beralih ke psikoanalisis. Muncul
studi pascakolonial yang telah menggunakan teori psikoanalitik untuk menggambarkan proses
“pembedaan” negara-negara terjajah seperti Robert Young (1995), Homi Bhabha (1994a), dan
Anne McClintock (1995). Mereka menggambarkan kelainan diagnosis di tingkat negara, seperti
terdapat hubungan antara negara yang menjajah dan penduduk asli yang dinilai sebagai
paranoia atau keinginan yang kuat di salah satu sisi dan ketakutan di sisi lain. Di buku
DIscourse karya Sara Mills menyebutkan bahwa negara terjajah dijadikan tempat yang penuh
dengan seksualitas, menjadi objek fetisisme, dan eksotisme seksual tetapi pada saat yang sama
menjadi tempat ketakutan yang tidak masuk akal. Jika mengingat kembali peristiwa
pemberontakan 1857 di India yang pada saat itu sedang di bawah kendali Inggris di mana
perempuan dan anak-anak dibunuh oleh para pemberontak lalu ditanggapi oleh militer dan
pemerintah Inggris yang digambarkan sebagai penilaian sebelah pihak, sementara itu jelas
bahwa wanita, ratusan pria, dan anak-anak Inggris terbunuh. Cerita pemberontakan ini tidak
kunjung usai tentang kematian mereka yang hanya sebuah fantasi dan bukan realitas. Sementara
itu bayi-bayi dilaporkan telah dicabik dari rahim ibu mereka atau dilempar ke senjata tajam dan
wanita mengalami penyiksaan brutal serta pemerkosaan. Karena kejadian pemberontakan ini
inggris merespon dengan kembali membantai ribuan orang India, baik pemberontak maupun
bukan dengan cara yang paling kejam. Di buku (Sharpe, 1993) dijelaskan bahwa militer Inggris
menembaki mereka dengan meriam, memaksa mereka untuk merendahkan diri sebelum
membunuh mereka, dsb. Jika kita mengaitkan tindakan tertentu Inggris pada masa kolonial
sebagai sebuah “keinginan” yang tidak valid, mungkin kita akan digiring untuk mengabaikan
dan menutupi pengertian di mana tindakan pembunuhan tersebut didasari pada materi, ekonomi,
dan faktor sosial. Dalam masa kolonial terlihat jelas bahwa ketidaknyataan membawa peran
penting untuk negara-negara tertentu.
Menurut (Bhabha, 1994b: 86) warna kulit hanyalah tanda dari artikulasi ganda, strategi
reformasi, peraturan dan disiplin yang rumit yang menyesuaikan yang lain karena
memvisualisasikan kekuasaan.
Dalam analisis Anne Mcclintock dalam peta harta karun dalam novel King Solomon’s
Mines sebelumnya, pendekatan psikoanalisis memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
pembacaan Saidian yang lebih literal, karena teks tidak dipahami secara literal, melainkan
diinterpretasikan dalam konteks fantasi dan keinginan. Karena itu penggunaan metaphor secara
seksual untuk mendeskripsikan pemandangan mungkin akan menarik perhatian pemelajar
wacana, karena penggunaan metode psikoanalisis ini menjadi semakin terlihat dalam proses
pengkajian suatu teks. Hal ini dikarenakan relasi kekuasaan yang tersirat dalam hubungan
seksual pada saat itu digunakan sebagai bentuk metafora untuk menggambarkan jenis relasi
kekuasaan yang lain.
Untuk lebih memahami perbedaan pandangan wacana yang digunakan oleh ahli teori
wacana kolonial seperti Said, Pratt, dan Hulme dan ahli teori postkolonial seperti Bhabha dan
McClintock, yang telah menggunakan teori psikoanalitik. Dapat dilihat bagian terakhir dalam A
Passage to India karya E. M. Forster (1924) di mana Fielding dan Aziz pergi berkuda bersama:

“India a nation! What an apotheosis! Last comer to the drab nineteenth century sisterhood!
Waddling in at this hour of the world to take her seat! She, whose only peer was the Holy
Roman Empire, she shall rank with Guatemala and Belgium perhaps!” Fielding mocked again.
And Aziz in an awful rage danced this way and that, not knowing what to do, and he cried:
“Down with the English anyhow. That’s certain. Clear out you fellows, double quick I say. We
may hate one another, but we hate you most. If I don’t make you go, Ahmed will, Karim will, if
it’s fifty and five hundred years we shall be rid of you, yes, we shall drive every blasted
Englishman into the sea, and then,” he rode against him furiously – “and then”, he concluded,
half kissing him, “you and I shall be friends”. “Why can’t we be friends now ?” said the other,
holding him affectionately. “It’s what I want. It’s what you want”. But the horses didn’t want it
- they swerved apart - the earth didn’t want it, sending up rocks through which the riders must
pass single-file; the temples, the tank, the jail, the palace, the birds, the carrion, the Guest
House, that came into view as they issued from the gap and saw Mau beneath: they didn’t want
it, they said in their hundred voices, “No, not yet”, and the sky said, “No, not there”.
(Forster, 1924: 316)

Banyak kritikus yang menggunakan psikoanalisis untuk menganalisis wacana kolonial berfokus
pada hasrat dan hubungan seksual yang secara intens digambarkan dalam teks-teks kolonial. Di
sini hubungan antara Inggris dan India, yang digambarkan melalui karakter Aziz dan Fielding,
terlihat sebagai salah satu hasrat homoseksual, yang seolah-olah digagalkan oleh faktor
eksternal - langit, kuda, dan bumi sendiri menentang hasrat ini. Pembacaan psikoanalisis dari
bagian ini akan melihat proses menggagalkan ini sebagai salah satu represi dan pemindahan
kendala hasrat homoseksual.
Analisis teori wacana akan lebih memperhatikan fakta bahwa pertanyaan tentang
seksualitas dipandang berpusat terhadap pemerintahan kolonial. Hal ini dikarenakan pandangan
terhadap teks kolonial ini akan melihat relasi kuasa yang terkandung dalam hubungan seksual
yang digunakan secara analogis untuk relasi kuasa lainnya.

Conclusions
Teori wacana kolonial dan teori pasca-kolonial menemukan gagasan wacana yang
berguna dalam mengkarakterisasi sifat sistematis representasi tentang negara-negara terjajah.
Meskipun karya awal keduanya menekankan cara negara-negara terjajah dibedakan berdasarkan
kekuatan kolonial, dan melihat tugasnya sebagai memetakan strategi yang digunakan oleh
penjajah untuk menghasilkan representasi masyarakat adat sebagai kekurangan dalam kaitannya
dengan norma Inggris, akan tetapi karakteristik tersebut telah diperbarui. Teks wacana menjadi
lebih kurang homogen, lebih bayak dilalui, dan terganggu oleh wacana yang saling
bertentangan. Hal ini telah mengubah definisi dan cara wacana digunakan sebagai sebuah
istilah. Alih-alih mengacu pada sekelompok pernyataan atau cara mengetahui, sekarang wacana
dicirikan ‘terbuka’ untuk interpretasi yang berbeda ataupun perlawanan. Dengan demikian,
dalam analisis wacana saat ini, tidak lagi diasumsikan bahwa makna dominan wacana adalah
satu-satunya makna yang tersedia di dalam teks; sebaliknya, pengetahuan yang dikecualikan
oleh wacana kolonial sama pentingnya dengan pengetahuan yang digambarkan dalam teks.
Oleh karena itu, teori wacana kolonial dan teori pascakolonial telah menyulitkan pandangan
Edward Said yang menghomogenisasi teks-teks kolonial, sehingga memungkinkan untuk
mengkarakterisasi hubungan kekuasaan antara yang terjajah dan yang menjajah tidak hanya
dalam hal dan konteks tuan dan budak, tetapi juga dalam hal keberhasilan mereka dalam
menegaskan kekuasaan kolonial. Sebaliknya, keterlibatan masyarakat adat dalam produksi
pengetahuan kolonial dan perlawanan kolonial sekarang diakui, dan model wacana yang lebih
produktif secara politis telah dikembangkan.

Anda mungkin juga menyukai