Anda di halaman 1dari 14

SUBJEK POSKOLONIAL VIS A VIS REALISME MAGIS

Beberapa Kasus dalam Novel Indonesia

Oleh Aprinus Salam

Abstrak

Tulisan ini mencoba mengidentifikasi subjek poskolonial dalam


mengelola magisme berdasarkan beberapa novel Indonesia.
Identifikasi subjek poskolonial tersebut kemudian dihadapkan
dengan narasi realisme magis. Berdasarkan penjelasan, dengan
data yang dipilih secara acak, ditemukan tiga kecenderungan
subjek poskolonial berhadapan dengan realisme. Hal tersebut
adalah magisme yang mengkoordinasi rasionalisme, magisme
dan realisme berjalan secara paralel, dan kontestasi yang
seimbang antara magisme dan rasionalisme.

Kata unci: subjek, poskolonial, magisme, realisme, novel


Indonesia.

Pengantar
Perjalanan bangsa Indonesia telah melewati beberapa kurun zaman dan sebagian
kurun tersebut berjalan secara bersamaan hingga kini. Terdapat masa-masa
sebelum masa kolonial, yakni ketika masyarakat Indonesia memiliki kerajaan di
berbagai tempat di Nusantara. Hingga sebelum abad ke-12, bangsa Indonesia
sebagian besar beragama Animisme, Dinamisme, Budha, Hindu, atau kepercayaan
lokal lainnya. Setelah abad ke-12, Indonesia mengenal agama Islam. Setelah abad
ke-17, Indonesia mulai mengenal Kristen dan Katholik. Memasuki abad ke-16,
Indonesia mengalami kolonisasi hingga awal abad ke-20. Walaupun kolonial masuk
ke Indonesia abad ke-16, tetapi daya penetrasinya mulai signifikan pada abad ke-
18, yakni ketika sebagian besar wilayah Indonesia telah ditaklukan.

Setelah abad ke-18 tersebut, Indonesia mengenal proses-proses kapitalisme dan


modernisasi sebagai akibat kolonisasi tersebut. Mengikuti pendapat Foucault
(1973), setiap kurun zaman, memberikan rezim diskursifnya masing-masing. Antara
satu rezim diskursif dengan rezim diskursif yang lain memiliki keterpisahan
(diskontinuitas), tetapi ada jejak-jejak yang ditinggalkannya. Setiap rezim diskursif
akan mengambil tempatnya masing-masing dalam suatu formasi diskursif
kebudayaan.

Penetrasi Belanda secara historis telah “menggoreskan” kesadaran historis dan


kultural masyarakat Indonesia. Hal itu menyebabkan Indonesia di kemudian hari
disebut sebagai bangsa pascakolonial. Dominasi pemerintah Hindia Balanda
menanamkan kapitalisme kolonial dan modernisasi (Alatas, 1988). Dalam kurun-
kurun waktu tersebut, secara internal bangsa Indonesia mengalami berbagai
pengalaman sosial, politik, ekonomi, yang dipengaruhi, baik karena alasan-alasan
kepercayaan/agama maupun nilai-nilai lokal, yang mengkonstruksi kesadaran
masyarakat Indonesia. Itulah sebabnya, historisitas pentingnya jejak-jejak kolonial
menimbulkan berbagai kontradiksi, paradoks, dan ambiguitas yang tidak bisa
dihilangkan begitu saja. Terjadi tumpukan berbagai wacana dan hal-hal simbolik
lainnya dalam struktur kesadaran masyarakat Indonesia.

Dalam satu studinya, Edward Said (1994, 1995) memetakan konstruksi dan relasi
kuasa Barat dan Timur/Islam, penjajah dan terjajah. Hal utama yang perlu
digarisbawahi dari studi Said adalah bagaimana pengetahuan Timur/Islam telah
dikonstruksi dan diisi wacana-wacana kolonial. Situasi itu menyebabkan, setelah
Indonesia merdeka, pemerintahan kolonial meninggalkan jejak diskursif dalam
berbagai level dan lini kehidupan bangsa Indonesia. Jejak diskursif yang hingga kini
masih dirasakan adalah pemahaman orang Barat itu unggul dan orang Indonesia
ingin menjadi dan seperti orang Barat. Pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana, seperti
terlihat dalam polemik kebudayaan awal (Mihardja, 1986), dapat ditempatkan
dalam konteks tersebut.

Generalisasi tersebut tentu tidak sepenuhnya benar. Akan tetapi, generalisasi itu
dimaksudkan untuk mengatakan bahwa sebagian besar dari pemahaman tersebut
sebagai salah satu sisa penting peninggalan kolonisasi Belanda (Barat). Sistem
pendidikan dan sebagian muatan dari materi pendidikan, secara relatif merupakan
materi yang disediakan oleh pemerintah kolonial (Lihat juga kajian Stange, 1989).
Pada awalnya, materi pelajaran-pelajaran sosial dan budaya, konsep-konsep dan
berbagai pengertian, secara keseluruhan ditulis oleh dan dalam versi
Belanda/orientalis. Hal-hal tersebut yang kemudian dikembangkan pada masa
Indonesia pascakolonia (Stange, 1989).

Studi orientalisme Said secara berantai mengalami perkembangan ke dalam


berbagai varian seperti tampak dalam tulisan Bhabha (1994), Spivak (1988), Young
(1995), Gandhi (2001), Loomba (2003), Prabhu (2007), dalam sudut pandang dan
artikulasi yang berbeda. Bedasarkan studi dan teori poskolonial tersebut, tulisan ini
mengambil sudut pandang poskolonial untuk mengidentifikasi subjek poskolonial
Indonesia. Identifikasi itu kemudian dijadikan pegangan dalam melihat peluang
dan agenda subjek poskolonial dalam bernarasi realisme magis. Jejak-jejak naratif
tersebut secara sekilas dengan melihat kondisi-kondisi perjalanan sastra Indonesia.
Artinya, dalam konteks ini, karya sastra Indonesia dibagi dalam dua tahap, tahap
masa kolonial dan tahap masa pascakolonial. Namun, cara pandang dalam melihat
jejak naratif tersebut justru dalam tatapan poskolonial.

Dengan demikian, tulisan ini mencoba memperbincangkan peluang dan subjek


poskolonial memasuki sastra realis. Sastra realis adalah sesuatu yang dominan
dalam narasi sastra/novel Barat. Hal yang dimaksud dengan peluang adalah
berdasarkan keberadaan dan kondisi subjek poskolonial bagaimana konfigurasi
narasi sastra yang dimungkinkan. Posisi kemungkinan itu diharapkan bisa
menjawab peluang subjek poskolonial dalam mengelola sastra realis. Sementara
itu, diskusi tentang agenda dimaksudkan untuk menjelaskan implikasi konfigurasi
subjek poskolonial dalam sastra realis.

Perbincangan ini dianggap perlu karena hal itu sekaligus menjawab posisi sastra
Indonesia dalam ramainya wacana sastra realisme magis di dunia internasional.
Pilihan terhadap subjek poskolonial karena berdasarkan kesejarahannya
masyarakat Indonesia adalah masyarakat pascakolonial. Penggunaan istilah subjek
dimaksudkan bagaimana berbagai proses diskursif yang dialami masyarakat
Indonesia, baik dalam wacana keagamaan, wacana dan nilai-nilai budaya lokal, dan
terutama kewacanaan kolonial, mengkonstitusi subjek. Konsep wacana
membentuk sebjek mengikuti Foucault (1976). Dalam pengertian tersebut,
mengikuti Mansfield (2000: 185), keberadaan subjek tidak bisa dilepaskan sebagai
pengertian tentang diri yang secara signifikan berhubungan dengan kebutuhan,
hasrat, dan berbagai kepentingan di luar dirinya.

Untuk itu akan didiskusikan tiga hal, yakni bagaimana subjek poskolonial Indonesia,
diikuti penjelasan tentang narasi realisme magis, dan uraian tentang bagaimana
peluang dan agenda subjek poskolonial tersebut. Latar belakang masalah tersebut
berdasarkan beberapa pendapat bahwa subjek poskolonial, secara relatif tidak
cukup sukses sebagai penulis realisme magis. Hal itu disebabkan kuatnya latar
belakang budaya magis sehingga sastra yang ditulis lebih sebagai karya sastra
magisme-realis daripada realisme magis.

Untuk aspek-aspek realisme magis tulisan ini mengikuti beberapa penjelasan Faris
(2004) terutama berkaitan dengan pengertian dan/atau narasi realis dan magis.
Bowers (2004) membantu menjelaskan pentingnya agenda tematik dari teknik
realisme magis. Sementara itu, hal-hal poskolonial tulisan ini mengikuti Said (1994)
dan Bhabha (1994). Said memberi inspirasi dalam mengidentifikasi subjek kolonial
yang berimplikasi lebih lanjut pada pembentukan subjek poskolonial. Bhabha
membantu menjelaskan subjek poskolonial dalam mengadaptasikan dirinya dengan
Barat yang dinegosiasikan dengan budaya lokalnya.

Kajian tentang peluang dan agen subjek poskolonial dalam mengintervensi sastra
realis belum cukup mendapat perhatian. Pada umumnya, kajian lebih banyak pada
operasi-operasi untuk membuktikan kadar realisme magis sebuah teks naratif.
Memang, buku Faris (2004) dan Bowers (2004) membicarakan hal-hal yang
berkaitan dengan usaha dan realisasi naratif masyarakat non-Barat dalam melawan
sastra realis. Tulisan ini mencoba melihat masyarakat Indonesia, sebagai subjek
poskolonial, dalam merealisasikan narasi realisme magis. Sistematika tulisan ini
adalah menjelaskan apa dan siapa subjek poskolonial, diikuti penjelasan peluang
dan agenda realisme magis.

Mengidentifikasi Subjek Poskolonial


Setelah Indonesia merdeka, kemerdekaan memberi peluang bangsa Indonesia
untuk melihat dan menata dirinya di mana dan mengambil posisi yang mana dalam
konstelasi dan struktur relasi bangsa-bangsa sedunia. Soekarno, sebagai presiden
pertama dalam Indonesia merdeka, dengan ideologi Marhaenisme-nya
memperkenalkan dan mensosialisasikan apa yang disebut sebagai berdikari (berdiri
di kaki sendiri), suatu proses rasionalisasi terhadap masa depan. Akan tetapi, hal
yang penting adalah ketika Soekarno mengedepankan konsep rakyat, untuk
menjadikan warga sebagai subjek rakyat (2002). Wacana ini sangat penting karena
dimaksudkan untuk melawan subjek inlander (konstruksi kolonial). Subjek rakyat
dimaksudkan sebagai gabungan penamaan untuk massa, buruh, kaum marhaen,
petani, dan kaum melarat atau miskin.

Akan tetapi, keberadaan Soekarno tidak terlepas dari proses mistifikasi terhadap
dirinya. Berbagai kisah tentang kesaktian, Putra Fajar, dan hal-hal magis melingkupi
keberadaan Soekarno. Kesaktian dan supranaturalitas Soekarno menjadi
permakluman dari hal-hal yang tidak rasional. Itu artinya hal-hal gaib menjadi
wacana strategis berhadapan dengan rasionalitas. Hingga hari ini, pemikiran
Soekarno masih berpengaruh di Indonesia. Artikulasi kerakyatan dipergunakan
dalam berbagai resistensi kewacanaan, khususnya berhadapan dengan berbagai
wacana yang berkembang secara ekonomi dan politik. Namun, tetap saja rakyat
Soekarno adalah rakyat poskolonial.

Hal kuasa diskursif juga terjadi pada masa kekuasaan Soeharto. Kuasa diskursif
pada massa Orde Baru adalah membentuk manusia seutuhnya (terdapat dalam
GBHN), suatu kuasa diskursif yang berambisi menjadikan subjek Indonesia sebagai
sosok yang “utuh dan sempurna” lahir batin, sesuai dengan Pancasila. Secara teori,
kuasa diskursif tersebut mengabaikan wacana-wacana yang saling bertentangan,
yakni wacana modernisme dan pembangunan ekonomi. Tidak mengherankan jika
yang terjadi adalah subjek yang terfragmentasi. Dalam subjek yang terfragmentasi
tersebut, subjek Indonesia sekaligus menjadi subjek modern, subjek pembangunan,
dan subjek ekonomi. Dalam konteks terfragmentasi tersebut, kisah-kisah magis dan
mistifikasi kekuasaan adalah kisah yang hadir begitu saja sebagai bagian dari
bangunan formasi wacana.

Pada masa-masa kepemimpinan berikutnya, sisa-sisa kuasa diskursif magis tetap


dipertahankan. Sebagai misal, Abdulrahman Wahid dianggap sebagai Wali oleh
para pengikut setianya. Bahkan pada Jokowi pun ada yang percaya bahwa presiden
Indonesia ke-7 itu adalah keponakan Nyi Roro Kidul. Pernyataan itu didengar dan
diterima tanpa harus saling berbantahan. Habibie, seorang akademik yang sangat
rasional, diberitakan sebagai orang yang suka berziarah ke makam-makam yang
dianggap keramat. Dengan berjalannya waktu, Indonesia telah menjadi bangsa
modern sekaligus pascakolonial.

Fokus utama yang ingin disampaikan, bahwa dalam perkembangannya, masyarakat


Indonesia semakin sadar banyak wacana kolonial yang masih menyisakan bekas
dalam kesadaran masyarakat Indonesia. Goresan tersebut antara lain dalam bentuk
struktur hierarkis yang tak sepenuhnya bisa dihilangkan sebagai bangsa pernah
dijajah, sebagai bangsa yang dipribumikan. Dalam kehidupan sehari-hari masih
didapatkan berbagai bentuk peniruan (mimikri) seolah-olah telah dan seperti orang
modern, atau dalam perspektif ini telah menjadi dan seperti Barat. Itulah sebabnya,
berdasarkan kesadaran itu, negara, melalui berbagai institusi pendidikan, berusaha
mengembalikan keberadaan bangsa Indonesia, dengan melihat dan membuka
kembali apa yang pernah dimiliki bangsa Indonesia pada masa pra-kolonial.
Formasi diskursif yang dimiliki bangsa dipetakan dan diartikulasikan kembali.

Pada masa pascakolonial ini, hampir semua wacana keagamaan dan praktik
beragama dapat dilihat, disaksikan, dan dipraktikkan bersama dalam berbagai
varian dan pengembangannya sesuai dengan budaya lokalnya masing-masing.
Ritual keagamaan di candi-candi, pagoda, klenteng, wihara, masjid, gereja, pura,
dan tempat-tempat yang dianggap keramat terus berjalan. Dari segi substansi dan
nilai, berbagai kegiatan peribadatan tersebut tidak banyak berubah. Hal ini
mengindikasikan bahwa dimensi relijiusitas dan spritualitas masyarakat Indonesia
masih terpelihara. Peribadatan ikut menjaga subjek-subjek poskolonial
membangun persepsi dirinya sekaligus menghubungkan subjek dengan hal-hal di
luar dirinya, sesuatu yang bersifat supranatural, hal-hal gaib di luar pemahaman
nalar dan akal. Hal-hal yang dari dulu sudah dipraktikkan oleh sebagian besar
leluhur bangsa Indonesia.

Dalam konteks tersebut, kisah-kisah supranatural, kegaiban, atau magisme para


nabi, misalnya, merupakan hal yang dipercaya oleh sebagian besar umat beragama
di Indonesia. Kisah Israj’ Mi’raj, bagaimana nabi Muhammad dioperasi hatinya oleh
para malaikat, kendaraan buraq yang kecepatannya setara dengan kecepatan
cahaya, kisah-kisah di luar nalar ketika Muhamad bisa memenangkan perperangan
melawan musuh yang kuat, dipercaya sepenuhnya oleh umat Islam. Kisah-kisah
kesaktian wali songo merupakan kisah massif di Jawa. Kisah-kisah kesaktian para
raja dan para pendekar banyak dipercaya oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia. Kisah berdirinya candi Prambanan yang hanya memakan waktu satu
malam karena Bandung Bondowoso mengerahkan ribuan jin, bukanlah kisah yang
tidak dipercaya dalam masyarakat Jawa. Kepercayaan tersebut menciptakan
struktur diskursif tersendiri dalam kesadaran subjek poskolonial. Konstelasi
struktur diskursif tersebut merupakan sesuatu yang khas yang terjadi dalam
masyarakat Indonesia.
Hal yang ingin dikatakan adalah terdapat lapis-lapis kesadaran subjek kolonial
(pada masa kolonisasi) yang tidak sepenuhnya bisa dimasukan ke dalam struktur
pengetahuan Barat. Pengalaman empiris subjek poskolonial, berkaitan dengan
pengalaman magis, supranatural, gaib, irasional, merupakan pengalaman dan
kesadaran yang tidak bisa ditembus pengetahuan Barat yang rasional. Sebagian
dari pengalaman tersebut masih tersimpan dalam tradisi lisan, mantra-matra,
jampi-jampi, dan berbagai kepercayaan gaib lainnya. Itulah sebabnya, kesadaran
tersebut menjadikan subjek kolonial tidak sepenuhnya dapat dikuasai oleh ilmu
pengetahuan Barat (kolonial). Suatu hal yang secara panjang lebar juga
dijelaskanoleh Bhabha (1994).

Seperti telah disinggung, narasi yang berkembang di Barat didominasi narasi realis.
Segala hal narasi non-realis tidak diakui sebagai sastra yang absah. Dalam hal ini
yang dimaksud dengan narasi realis adalah suatu pelegitimasian bahwa narasi realis
selayaknya berbasis sains yang berbasis pada rasionalisme dan empirisme. Narasi
realis ini menjadi satu model dominan sehingga segala hal yang magis dan mistis
tidak mendapatkan tempat dalam narasi Barat. Narasi ini pula yang dipelajari dan
diadopsi oleh para pengarang sastra modern awal Indonesia (tradisi Balai Pustaka)
di Indonesia. Hal mantra dan dukun sudah terdapat dalam Sitti Nurbaya (1922),
yakni ketika Sitti Rubiah dan Sutan Hamzah mencoba memantrai saudaranya
sendiri Sutan Mahmud. Dalam novel ini, kehadiran mantra dan perdukunan
dirasakan wajar sebagai bagian dari realitas keseharian. Namun, secara naratif
mantra tidak dimaksudkan sebagai satu strategi untuk melawan realisme.

Kecenderungan dominasi sastra realis akhirnya mendapat perlawanan yang


signifikan, terutama dari pemikir dan penulis di Amerika Latin. Pada awalnya,
realisme magis dimaksudkan sebagai strategi naratif yang mencoba
mencampurkan, mensejajarkan, bahkan mengkontestasikan antara unsur realis
dan unsur magis. Asumsi yang dibangun oleh realisme magis adalah bahwa tidak
semua pengalaman subjek (pengarang) bersifat empirik dan rasional. Terdapat hal-
hal dalam praktik kehidupan tidak sepenuhnya dapat dipahami secara rasional dan
empirik. Pengalaman-pengalaman itu merupakan sesuatu yang terjadi begitu saja
dalam kehidupan sehari-hari. Hal-hal tersebut juga terjadi dalam kehidupan
masyarakat Indonesia.

Sebagaimana telah menjadi catatan sejarah, penetrasi pemerintah kolonial telah


meninggalkan jejak diskursif dalam segala lini dan tatanan kehidupan. Sebagai
subjek-subjek poskolonial, masyarakat Indonesia telah berkembang menjadi
masyarakat yang rasional. Hal itu menyebabkan kepercayaan terhadap hal-hal yang
mistis, gaib, spritual, semakin tipis dan menghilang. Pendidikan modern yang
berbasis pada rasionalisme dan empirisme telah melahirkan subjek-subjek modern.
Dalam konteks tersebut, hanya pelajaran agama dan keyakinan-keyakinan lokal
yang masih menyisakan pengetahuan relijus dan spritual. Akan tetapi, agama dan
keyakinan lokal pun akan terus menerus mendapat tekanan rasionalisasi dan
empirisasi.

Namun, sebagai subjek poskolonial terdapat ruang yang relatif tidak tersentuh,
yakni ruang pengetahuan dan pangalaman mistis, spritual, dan hal-hal gaib. Bukan
saja hal tersebut sebagai sisa yang dipertahankan dalam pengetahuan agama dan
keyakinan lokal, melainkan secara historis bangsa Indonesia memiliki kekayaan
pengetahuan dan kepercayaan terhadap hal-hal yang gaib, mistis, dan spritual.
Masih banyak subjek yang meyakini pengetahuan dan kepercayaan terhadap
kekuataan gaib. Kepercayaan terhadap adanya sihir dan santet, hingga kini masih
merupakan pengalaman biasa dalam praktik kehidupan. Kisah bahwa seseorang
bisa hilang, bisa pindah raga dalam waktu sekejab, masih hidup dan terpelihara.
Cerita bagaimana orang bisa mengambil benda-benda pusaka dari dunia lain bukan
kisah yang mengejutkan.

Berbagai pengalaman tersebut tersimpan dalam bawah sadar subjek, walaupun


mendapatkan penetrasi kuasa wacana lain, seperti modernisme dan/atau
rasionalisme. Secara teori, sulit menjelaskan di mana batas-batas wacana tersebut
dalam kesadaran subjek. Sebagai suatu formasi diskursif yang terdapat dalam
bawah sadar, batas-batas tersebut akan diketahui jika subjek “mengeluarkannya”
dalam berbagai bentuk aktualisasi, seperti berbahasa, melakukan berbagai sikap
dan tindakan, atau dalam hal ini ketika subjek mengepresikan satu struktur
kebahasaan (wacana). Dari hal tersebut akan diketahui bagaimana subjek
mengelola hal irasional dan magis dalam kesadaran dirinya.

Penjelasan di atas menyiratkan bahwa subjek poskolonial pun tidak dalam


pengertian yang tunggal. Pada tataran subjek itu sendiri (pada tataran
diri/personalisasi), setiap orang mengalami proses dan perkembangan yang
berbeda-beda. Posisi sosial, geografis, dan berbagai pengalaman perseorangan
laiinya menentukan bagaimana komposisi subjek poskolonial dalam diri
perorangan. Hal tersebut terkait cara seseorang membangun dan mereferensikan
dirinya baik secara ideologis maupun secara keidentitasan.

Narasi Realisme Magis


Hal yang dimaksud narasi adalah sesuatu yang bersifat tekstual, walaupun bukan
berarti semua teks adalah naratif. Pengertian yang penting dari narasi adalah
bagaimana bagaimana seorang penulis membangun atau menenun kata-kata
menjadi kalimat, paragraf, dan secara keseluruhan tentunan kata-kalimat, dan
paragraf tersebut menjadi sesuatu yang berbeda jenis, sehingga narasi menjadi
narasi, argumentasi, dan deskripsi. Hal membuat menarik karena di dalam narasi
ada karakter, pengaturan plot, tema, yang kesemuanya terintegrasi. Narasi
memperkenalkan dimensi fiksi. Tema melampaui fiksi, tema menyiratkan sesuatu
tentang dunia nyata. Fiksi biasa disinonimkan dengan nonfactual, tetapi fiksi
bukanlah kebohongan. Fiksi tidak dapat menipu karena tidak dimaksudkan sebagai
faktual. Fiksi adalah semua narasi nonfactual (Bdk. Chatman, 2009; Rimmon-Kenan,
1986). Dalam narasi ada tema dan ideologi dan tema mengacu ke dunia nyata.
Ideologi, dalam bahasa Rimmon-Kenan: focalization berkaitan dengan doktrin teks,
mitos, simbol-simbol tertentu, institusi, kelas, atau kelompok yang lebih besar.
Dalam konteks ini menarik mempersoalkan bagaimana strategi narasi fiksi
Indonesia.

Diskusi ini membicarakan narasi realisme magis, sebagai satu pilihan strategis
dalam membaca narasi fiksi naratif. Tulisan ini sepenuhnya mengikuti Faris. Konsep
Faris terutama tentang lima ciri sastra realisme magis, yakni the irreducible element
(elemen tak tereduksi), elemen yang tidak bisa diuraikan atau dipahami
berdasarkan logika modern, berupa peristiwa magis, aneh; phenomenal world
(dunia fenomenal); unsettling doubts (keraguan yang meresahkan); merging realms
(dunia yang dilebur); disruptions of time, space, identity (gangguan waktu, ruang,
dan identitas) (Faris, 2004; 2-25).

Hal yang dimaksud dengan elemen tak tereduksi (the irreducible elements)
terutama berkaitan dengan tokoh dan peristiwa magis dalam narasi. Kita tahu
bahwa dalam kehidupan banyak hal yang tidak seluruhnya bisa dijelaskan secara
logis, tidak bisa dijelaskan dalam pengertian sesuai hukum empirik dan rasional.
Bagaimana sesuatu yang tidak dapat dijelaskan tersebut disampaikan dengan cara
yang biasa sehingga terasa menjadi sesuatu yang biasa-biasa juga. Di sisi lain, yang
magis tetap terlihat meskipun digiring melalui narasi sebagai sesuatu yang seolah-
olah biasa, dengan cara penggambaran yang jelas, detil, dan konkret. Isu sentral
yang berkaitan dengan ini yang disorot adalah soal hubungan sebab akibat yang
terjadi secara eksternal. Hubungan ini diganggu, dalam artian tidak bersifat kausal
sehingga pembaca mendapat peran aktif untuk mengelola hubungan tersebut
secara sederajat.

Di Barat, sejak abad Pencerahan (akhir abad ke 16), dan sekaligus dimulainya
modernisme, Barat mengalami perubahan paradigma dalam menempatkan
hubungan manusia, alam, dan Tuhan. Perkembangan ilmu pengetahuan positif,
sesuatu yang bertumpu pada segala hal yang bisa dibuktikan secara empirik dan
rasional memegang kendali penting. Hal yang tidak dapat dibuktikan secara empirik
dan rasional tidak mendapat pengakuan. Didukung oleh kekuatan riset empirik dan
ekonomisasi riset, paradigma ini menempatkan dan menyebabkan ilmu
pengetahuan Barat berkembang pesat. Barat dengan cepat memiliki keunggulan
secara ilmu pengetahuan dan dengan itu Barat melakukan berbagai intervensi
terhadap belahan dunia lain termasuk Indonesia.

Hal yang lebih kurang sama dari logika pengetahuan Barat adalah ketidakmampuan
(lebih tepat ketidakdiakuinya) dalam menjelaskan satu dunia fenomenal
(fenomenal world). Bagaimana sesuatu yang magis, gaib, tumbuh dari sesuatu yang
real. Bukan berarti di Barat tidak terdapat peristiwa fenomenal. Akan tetapi,
berbagai peristiwa fenomenal yang tidak bisa dibuktikan secara rasional dan
empirik akan diabaikan dan dianggap tidak ada. Oleh karena itu, dunia fenomenal
tidak mendapat penjelasan. Perkembangan ilmu pengetahuan Barat tidak
mengarah di luar logika itu. Dalam hal sastra, pada abad ke-18 terjadi kontestasi
ketika ada upaya menyandingkan narasi realis (dengan basis saintifik) dengan hal
yang magis. Akan tetapi, dalam perkembangannya dominasi narasi realis jauh lebih
kuat.

Mengikuti Faris (2004; 14), dunia fenomenal adalah sesuatu yang riil dari realisme
magis yang mencegah fiksi tersebut agar tidak menjadi fiksi fantasi yang
melambung meninggalkan alam riil. Penggambaran terhadap dunia diegenesis
diadopsi dengan cara meniru dunia riil secara detil dan luas. Kehadiran dunia
fenomanal demi menjaga agar rasa yang magis tumbuh dari dalam yang riil, bukan
sebagai sesuatu yang fantastis seperti halnya yang terjadi dalam fiksi fantastis dan
alegoris yang mengalihkan dunia pembaca dari tataran riil menuju dunia yang
dipenuhi fantasi semata. Magis yang hadir dalam dunia riil bukan sesatu yang
fantastis yang muncul entah dari mana, namun ia adalah unsur misterius yang
bergetar di balik dunia fenomenal. Dunia fenomenal yang menjadi latar bagi unsur-
unsur magis tersebut terbagi ke dalam dua jenis, yakni (a) kenyataan (yang real) di
dalam teks, dan (b) kenyataan berdasarkan sejarah.

Sementara itu, yang dimaksud dengan unsettling doubts, adalah ruang pertemuan,
ruang interseksi, ruang interaksi antara yang real dan yang magis. Dunia liminal ini
mengandung keraguan ketika kita mengalami dua pemahaman yang kontradiktif
(antara magis dan real). Keraguan yang hadir ini terikat oleh konteks budaya
pembaca apakah pembaca lebih familiar dengan logika rasional empirik atau
sebaliknya. Jika pembaca lebih familiar dengan logika magis, maka kejadian apapun
yang terjadi dalam narasi tidak akan mengejutkannya dan menganggapnya biasa-
biasa saja. Dalam konteks ini, posisi keyakinan/kepercayaan memainkan peranan
yang penting.

Namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam keyakinan/kepercayaan yang


berbeda muncul keraguan. Dalam situasi inilah apa yang disebut Faris keraguan
yang meresahkan berkontestasi silih berganti. Sangat mungkin yang terjadi adalah
upaya untuk membangun argumen yang mengarah pada tatanan realis yang
empirik dan rasional. Akan tetapi, sangat mungkin pula yang terjadi adalah
penafsiran mengarah pada penerimaan yang wajar terhadap logika magis sehingga
berbagai kejadian yang terjadi dalam teks diterima secara wajar. Hal yang ingin
ditekankan adalah keraguan yang meresahkan itu akan terjadi secara bergantian
tergantung subjek yang berhadapan dengan teks tersebut.

Konsep berikutnya adalah persoalan bagaimana mempertemukan hal realis dan


magis dalam satu ruang bersama. Mengikuti Faris, hal yang penting dalam narasi ini
adalah bagaimana mengaburkan batas antara yang realis atau magis itu sendiri.
Narasi tidak dimaksudkan sebagai kejadian yang terjadi secara kausal, tetapi
menempatkan peristiwa dalam alur yang sejajar dan tidak saling dibedakan antara
mana yang realis dan mana yang magis. Pertemuan yang magis dan realis tersebut
membawa kita pada dunia baru tersendiri.

Hal akhir dari konsep realisme magis adalah gangguan terhadap waktu, ruang, dan
identitas. Magis dan realis memiliki konsep yang berbeda tentang waktu, ruang,
dan identitas. Dalam banyak hal, konsep realis/modern justru mengasingkan atau
mengeluarkan waktu magis. Realisme magis mencoba menerobos waktu dan ruang
magis sehingga dalam narasinya waktu dan ruang realis terjadi kebocoran di sana
sini. Dalam penggambaran identitas individu, sifat multivokal naratif dan hibriditas
kultural merasuk ke dalam identitas karakter-karakter. Sifat-sifat ini dapat
mewujud ke dalam karakter fisik tokoh-tokohnya. Identitas yang dipahami dalam
dunia modern sebagai suatu entitas tunggal yang berada dalam diri seseorang dan
membedakannya dirinya dengan entitas yag lain, mengalami disrupsi sehingga
tampak bentuk yang berlipat-lipat dalam diri seorang individu. Hal ini akan merusak
tatanan yang dikenal dalam dunia modern dan menampilkan bentuk-bentuk yang
termarjinalkan dalam modernisme.

Dengan demikian, dapat dikatakan bawah keseluruhan karakteristik naratif


tersebut mendifinisikannya ke dalam realisme magis, yakni teknik naratif yang
mempertemukan hal realis dan magis, baik dalam cara mencampurbaurkan,
menumpang-tindihkan, juga batas-batas pertemuan itu sendiri, dan disrupsi
sebagai akibat interaksi yang terjadi. Dari hal tersebut akan diketahui bagaimana
upaya “sinergi” tersebut memperlihatkan keberhasilan atau ketidakberhasilan
dalam kadar (gradasi) realisme magis yang berbeda-beda dalam setiap narasi
realisme magis.

Subjek Poskolonial vis a vis Realisme Magis


Seperti telah disinggung, subjek poskolonial mengalami modernisasi, mendapat
intervensi ilmu pengetahuan modern yang rasional, percaya pada kemajuan, dan
saintifik. Dengan demikian, muncul persoalan bagaimana menjelaskan posisi-posisi
hubungan dan kedudukan antara hal-hal yang magis dan irrasional berhadapan
dengan yang rasional dan saintifik. Berikut menjelaskan beberapa narasi dalam
novel Indonesia.

Diskusi di sini hanya membicarakan beberapa novel. Tidak ada alasan khusus
kenapa tiga kasus novel tersebut yang dibicarakan selain novel tersebut cukup
terkenal dalam khasanah sastra Indonesia. Novel tersebut adalah karya Ahmad
Tohari berjudul Rongeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985),
dan Jantera Bianglala (1986); novel Kutowijoyo, yakni Mantra Pejinak Ular (2000)
dan Wasripin dan Satinah (2013); dan Faisal Oddang yang berjudul Puya ke Puya
(2015)
Pembahasan dimulai dari novel Ahmad Tohari (1982, 1985, 1986). Tohari besar
dalam tradisi Islam Jawa, mengasuh sebuah pesantren di kampungnya. Latar
belakang Tohari itu menyebabkan ia tidak mengkontestasikan hal magis dan realis.
Dalam trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, terlihat Tohari sangat percaya dengan
kekuatan mistis, kekuatan gaib, dan mantra-mantra. Berbagai kejadian yang
dialami Srintil, tidak terlepas dari kehendak dan kekuatan yang Maha Berkendak,
kekuatan supranatural. Tidak ada penjelasan atau kekuatan rasional yang bisa
mengalahkan kekuatan supranatural tersebut. Kekuatan gaib hanya bisa dilawan
dengan kekuatan gaib. Mantra dilawan dengan mantra, bukan dilawankan secara
rasional.

Kejadian-kejadian tersebut terdapat hampir di sebagian besar kisah hidup Srintil.


Dengan demikian, Tohari terlihat tidak bermaksud mengkontestasikan hal rasional
berhadapan kekuatan irrasional. Dapat dikatakan bahwa magisme justru dalam
posisi menyerap rasionalisme. Elemen tak terreduksi dan dunia fenomenal menjadi
bagian magisme. Tidak ada keraguan dalam memahami berbagai fenomena
tersebut. Jika terdapat fenomena terhadap gangguan waktu dan ruang, yang
berkaitan dengan kehadiran identitas, segala hal dikembalikan pada kuasa
kehendak supranatural. Novel trilogi Tohari tersebut ditutup dengan narasi berikut.

…. Bulan berkalang bianglala di atas sana kuanggap sebagai sasmita


bagi diriku sendiri, untuk mengambil wilayah kecil yang terkalang sebagai
sasaran mencari makna hidup. Dukuh Paruk harus kubantu menemukan
dirinya kembali, lalu kuajak mencari keselarasan di hadapan Sang Wujud
yang serba tanpa batas (Tohari, 1986: 231).

Jika Tohari cenderung seorang yang magisme, hal tersebut berbeda dengan novel
Mantra Pejinak Ular, karya Kuntowijoyo (2000). Kuntowijo tidak bermaksud
menjelaskan mana yang lebih memegang peranan antara hal gaib/magis dan hal
yang rasional. Dalam novel itu, Kuntowijoyo memisahkannya sebagai hal yang
berjalan sendiri-sendiri. Kemampuan Abu Kasan Sapari yang bisa menjinakkan dan
berbicara dengan ular, tidak ada yang tahu, dan tidak dimaksudkan untuk
diketahui. Masyarakat yang tahu bahwa Sapari adalah pawang ular juga tidak mau
tahu bagaimana ilmu itu didapatkan, dan tidak pernah tahu jika Sapari bisa paham
bahasa ular. Perhatikan kutipan berikut.

Tapi Abu tidak peduli, seperti kesetanan ia menyibak kursi-kursi,


menangkap ular dengan tangannya, membawanya lari keluar halaman
kantor di bawah tatapn mata orang banyak. …. Abu Kasan Sapari membawa
ular itu ke gerumbul pohona bambu yang agak jauh dari pelataran
kecamaan. ….Ia menengok ke kanan dan ke kiri. Tidak ada orang. Ia
berjongkok.
“Mengapa kau datang menonton, pertujukan itu untuk bangsa
manusia. Tidak untuk bangsa ular,” katanya. Ia sendiri heran, ternyata ia
telah berbicara dengan ular itu. Abu membuka tangannya, melepas ular itu.
Sebentar ular berhenti, Abu mengerti itu artinya ucapan terimakasih,
kemudian menghilang di semak-semak. …. (Kuntowijoyo, 2000: 25-26 )

Memang, dalam Mantra Penjinak Ular, terdapat hal yang bersifal rasional ketika
Abu Kasan Sapari mencoba menganalisis berbagai hal kehidupan yang dialaminya.
Dalam analisis rasionalnya itu, Sapari berkesimpulan bahwa dalam menjalankan
kehidupannya, manusia selayaknya menjaga keseimbangan (harmoni) antara
kehendak Tuhan, alam, dan manusia. Setiap fenomena berjalan sesuai dengan
pilihannya masing-masing. Akan tetapi, bagaimana pun Kuntowijoyo tidak
bermaksud menghadapkan satu dengan yang lain. Tentu Kuntowioyo percaya
bahwa pada akhirnya yang berkuasa adalah kekuasaan Tuhan. Namun,
Kuntowijoyo juga percaya bahwa subjek-subjek berjalan sesuai dengan
kehendaknya masing-masing. Situasi yang lebih kurang sama juga dapat dilihat
dalam karya Kuntowijoyo (2013), yakni Wasripin dan Satinah (2013)

Terdapat sebuah novel yang ditulis oleh orang Indonesia yang masih sangat muda,
yakni Faisal Oddang (2015) dengan novelnya Puya ke Puya. Sebuah kisah tentang
bagaimana budaya Toraja diceritakan. Hal yang menonjol dalam novel ini
bagaimana waktu dan ruang sengaja dikacaukan sehingga tokoh-tokoh dapat
keluar masuk dalam waktu dan ruang yang berbeda secara bergantian. Fenomena
keluar masuk tersebut tidak dimaksudkan sebagai dua hal yang berbeda, semua hal
berjalan tanpa ada kejutan saling mengganggu. Perbedaan-perbedaan fenomena
dilewati seolah semua berjalan secara wajar dan telah tahu sama tahu. Tidak ada
elemen yang dapat direduksi dengan sulit, tidak ada kejutan terhadap fenomena
yang dahsyat, dan juga tidak ada keraguan tentang hal itu. Peristiwa-peristiwa
antara alam nyata, alam arwah, dan alam akhirat keluar masuk dengan wajar dan
mengalir lancar.

Hal menarik dari tiga kasus pengarang (sebagai subjek poskolonial) di atas adalah
bagaimana sebagai subjek poskolonial para pengarang tersebut memberikan
artikulasi dan interseksi yang berbeda dalam mengelola hal magis (irrasional) dan
hal rasional. Tohari, dalam pengaruh Islam sufistik (Jawa), meyakini bahwa
kekuatan supranatural adalah hal yang paling menentukan. Fenomena Tohari
kembali menegaskan bahwa pihak kolonial memang tidak pernah mampu
memahami kekuatan tersebut. Kuntowijoyo, sebagai subjek poskolonial
mendapatkan pengaruh dari Islam Muhammadiyah yang mencoba
mengedepankan perlawanan organisasi keagamaan tersebut terhadap TBC
(takhayul, bid’ah, dan churafat). Kuntowijoyo sendiri adalah seorang akademisi dan
Guru Besar di UGM sehingga hal-hal rasional berpengaruh dalam dirinnya. Akan
tetapi, Kuntowijoyo tetap sebagai orang Jawa.

Sebagai seorang anak muda, Oddang (pada tahun 2017 baru berumur 23 tahun),
memberikan kasus yang berbeda. Dalam cerita Puya ke Puya, pada awal kisahnya,
Oddang memberi kesan keberpihakan pada modernitas. Hal tersebut diperlihatkan
oleh tokoh utama dalam kisah tersebut yang mecoba memprotes tradisi
masyarakat Toraja. Akan tetapi, lama kelamaan Allu (tokoh cerita), lebih dapat
memahami tradisi Toraja yang mana batas antara alam gaib dan nyata sama sekali
tidak dipersoalkan dan melebur dalam hidup keseharian. Itulah sebabnya, dalam
kondisi ketika Allu mulai memahami adat dan nilai-nilai budaya Toraja, kondisi
tersebut membuat Oddang dengan teguh dan tanpa keraguan menghadirkan
fenomena magis dan realis secara imbang, tanpa batas, dan saling mendukung atas
keberadaannya. Dikutipkan satu paragraf pendek dalam novel Puya ke Puya.

Ini kisah kematian. Dimulai dengan kematian seseorang diakhiri


dengan kematianmu. Iya, kematianmu. Tidak usah terkejut (Odang, 2015: 3)

Sebagai perwakilan generasi yang paling belakangan, kasus Oddang menjadi


menarik ketika Oddang berhasil memposisikan dan/atau menempatkan magisme
dan realisme sebagai hal yang wajar dan tidak diletakkan dalam posisi yang
bertentangan. Ini berkebalikan dengan asumsi bahwa generasi muda Indonesia
telah menjadi modern dan rasional. Agenda kebudayaan yang mengartikulasikan
wacana non-kolonial mendapatkan posisi kuat sebagai resistensi terhadap narasi
realisme, modernisme, dan rasionalisme. Narasi model Oddang membuka agenda
berikutnya bahwa kehidupan adalah terintegrasinya secara harmonis antara
realisme dan magisme. Keduanya dapat diberdayakan untuk membangun
kebudayaan yang lebih adil dan saling melengkapi.

Kesimpulan
Tulisan ini mempersoalkan narasi realis dan rasional dihadapkan dengan yang
tradisional dan magis. Di dalam subjek poskolonial terdapat subjek magis. Namun,
dalam subjek tersebut terdapat hal modern di dalamnya karena kolonialisme juga
menanamkan wacana modernitas. Penekanan pada subjek poskonial karena
terdapat sisi-sisi dari keberadaan subjek yang tidak disentuh atau tidak dipahami
oleh kolonial. Hal itu terpelihara hingga pada masa-masa pascakolonial dan
menentukan posisi subjek poskolonial dalam berhadapan dengan narasi realis.

Dalam perspektif tulisan ini, seperti telah disinggung, terdapat tiga kemungkinan
naratif dari posisi subjek poskolonial berhadapan dengan realisme. Pertama,
magisme justru dalam posisi mengkoordinasi dan mengalahkan rasionalisme. Hal
ini memungkinkan terjadinya narasi magisme realis. Kedua, magisme tidak dikelola
untuk dikontestasikan sehingga realisme dan magisme merupakan dunia yang
terpisah dan berjalan sendiri-sendiri. Ketiga, magisme secara seimbang
dikontestasikan dengan realisme.
Daftar Pustaka
Alatas, Syed Hussein. 1988. Mitos Pribumi Malas Citra Orang Jawa, Melayu, dan
Filipina dalam Kapitalisme Kolonial. Diterjemahkan oleh Akhmad Rofl’ie.
Jakarta: LP3ES
Bhabha, Homi K. 1994. The Location of Culture. London: Routledge.
Bowers, Maggie Ann. 2004. Magic(al) Realism. London and New York: Routledge.
Chatman, Seymour. 2009. Reading Narrative Fiction. New York; Macmillan.
Faris, Wendy B. 2004. Ordinary Enchantments Magical Realism and the
Remystification of Narrative. Nashville; Vanderbilt University Press.
Foucault, Michel. 1973. The Order of Things. An Archeology of the Human Sciences.
London: Tavistock Publication Ltd.
Foucault, Michel. 1976. The Archaeology of Knowledge and the Discourse of
Language. New York: Harper Colophon.
Gandhi, Leela. 2001/1998. Teori Poskolonial. Yogyakarta: Qalam.
Kuntowijoyo. 2000. Mantra Pejinak Ular. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Kuntowijoyo. 2013. Wasripin dan Satinah. Jakarta: Kompas Gramedia.
Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Diterjemahkan oleh Hartono
Hadikusumo. Yogyakarta: Bentang.
Mansfield, Nick. 2000. Subjectivity Theories of the Self from Freud to Haraway.
Sydney: Allen & Unwin.
Mihardja, Achdiat K. (ed.) 1986. Polemik Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Oddang, Faisal. 2015. Puya ke Puya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Prabhu, Anjali. 2007. Hybridity: Limits, Trasnformations, Prospects. New York:
States University of New York Press.
Rimmon-Kenan, Shlomith. 1986. Narrative Fiction Contemporary Poetics. London
and New York; Methuen.
Rusli, Marah. 1999 (1922). Sitti Nurbaya. Jakarta: Balai Putaka.
Said, Edward. 1994/1975. Orientalisme. Cet. Ke-2. Bandung: Pustaka.
Said, Edward. 1995. Kebudayaan dan Kekuasaan: Membongkar Mitos Hegemoni
Barat. Bandung: Mizan.
Soekarno. (Ed. Tim LKEP). 2002. Api Perjuangan Rakyat: Kumpulan Tulisan Terplih
Bung Karno. Jakarta dan Bogor: LKEP dan Kekal Indonesia.
Spivak, Gayatri C. 1988. “Can The Subaltern Speaks?” dalam Cary Nelson (eds).
Marxism and the Interpretation of Culture. London: Macmillan.
Stange, Paul. 1989. “Dekonstruksi”: Sebuah Orientaslime Baru Untuk Jawa”, dalam
Prisma. No. 2 Tahun XVIII. LP3ES. Jakarta.
Tohari, Ahmad. 1982. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia.
Tohari, Ahmad. 1985. Lintang Kemukus Dini Hari. Jakarta: Gramedia.
Tohari, Ahmad. 1986. Jantera Bianglala. Jakarta: Gramedia.
Young, R.J.C. 1995. Colonial Desire: Hibridity in Theory, Culture and Race. London:
Routledge.

Anda mungkin juga menyukai