Anda di halaman 1dari 23

Accelerat ing t he world's research.

GAGASAN MANUSIA INDONESIA


DAN POLITIK
KEWARGANEGARAAN INDONESIA
KONTEMPORER
Robertus Robet

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Ekspresi Polit ik Umat Islam


Firmanda Taufiq

POLIT IK HAK ASASI MANUSIA DAN T RANSISI DI INDONESIA


Robert us Robet

Fenomena Radikalisme di Kalangan Anak Muda


Ahmad Fuad Fanani
“Gagasan Manusia Indonesia dan Politik Kewargaan Indonesia
Kontemporer”1

Robertus Robet
Robertusrobet@gmail.com

I. Latar Belakang: Dari ‘Monyet Inlander’ ke Great Historical Men

Simpul persoalan mengenai kewargaan kontemporer dapat diajukan dalam sebuah


pertanyaan : siapakah manusia Indonesia itu? Apakah ia merupakan identitas terberi
atau hasil dari suatu konstruksi, relasi dan kontradiksi sosial? Untuk menjawab ini
kita akan memulai melalui Pramudya Ananta Toer.

Pada mulanya, setidaknya bagi pandangan kolonial, ‘manusia Indonesia’ tidak lebih
dari seekor monyet. Pramudya Ananta Toer mengungkap pandangan ini lewat ucapan
sang patriak kolonial “Tuan Mellema’ ketika menghardik Minke sang pahlawan
‘pribumi’ dalam Bumi Manusia dengan ungkapan:

“Kowe kira, kalo sudah pake pakean Eropa, bersama orang Eropa,
bisa sedikit bicara Belanda lantas jadi Eropa? Tetap monyet!”2

Pandangan rasis ini mendasari praktek kekuasaan kolonial yang serba kontradiktif. Di
satu sisi ia memposisikan ‘pribumiæ sebagai mahluk lemah, rendah dan pemalas, di
sisi lain ‘si pribumi‘ yang sama diperas dalam perbudakan. Bagaimana mungkin
seorang dalam status budak dikenakan predikat lemah dan malas?

Kontradiksi ini mengungkap hubungan yang unik dan kompleks antara pandangan
antropologis kolonial dengan ekonomi-politik kolonial yang menjaganya. Jan Breman
mengutip sebuah laporan yang ditulis pada tahun 1919 yang menerangkan kembali
keadaan sebagai berikut:

Dalam tatanan kolonial tenaga kerja selamanya terdiri dari orang


Timur yang sebagian rendah sekali statusnya. Pengawasan berada
di tangan orang-orang yang sadar akan superioritas rasialnya, dan
mereka semua hidup dalam tradisi hubungan yang patriarkat.3

Di sini yang mau ditekankan adalah bahwa penanaman kewargaan


(budak/pribumi dan tuan kulit putih) merupakan bagian instrumental untuk
berlangsungnya penguasaan kolonial yang lebih besar. Supaya penjajahan bisa
terus dilangsungkan maka sang terjajah mesti terlebih dahulu disematkan suatu
identitas ras yang inferior. Dengan demikian pribumi mesti terlebih dahulu

1
Bentuk awal Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah PRISMA, LP3ES Jakarta.
2
Lihat dalam Pramudya Ananta Toer (2006), Bumi Manusia (Lentera Dipantara:
Jakarta), hlm. 64.
3
Jan Breman (1997) Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada awal Abad ke-20
(Pustaka Utama Grafiti: Jakarta), hlm. 209.

1
didefinisikan sebagai monyet atau budak pribumi justru supaya perbudakan atas
pribumi bisa dilaksanakan.

Politik identitias kolonial inilah kiranya yang hendak dituju oleh hukum
kewargaan Regerings Reglement tahun 1854 yang membagi penduduk Hindia
Belanda menjadi tiga golongan yakni Europeanen, Inlanders dan Vreemde
Oosterlingen (Timur Jauh termasuk Arab, India dan Tionghoa tapi tidak termasuk
Jepang). Kebijakan rasial ini dilanjutkan dengan Undang-undang Wet op de
Nederlanderschap di tahun 1892 yang menetapkan bahwa mereka yang berada di
Nederland Indie (Indonesia) termasuk dalam hal ini yang disebut inlanders dan
disamakan dengan inlanders tidak diberi status nederlanders. Sementara
keturunan Tionghoa, Arab dan India yang dilahirkan di Surianame dengan
undang-undang tersebut memperoleh status Nederlanders.4

Dengan kata lain, dengan meninjau hubungan undang-undang dan praktik perbudakan
kolonial yang meliputinya, jelaslah bahwa rasialisme merupakan syarat instrumental
bagi kolonialisme. Dengan kata lain suatu penaklukan antropologis melalui penetapan
identitas ras inlanders, budak, dan monyet pemalas merupakan bagian dari suatu
politik kewargaan kolonial.

Politik jenis ini dapat diterangkan lebih jauh dengan melihat motif dan tujuan
pendidikan kolonial yang diajukan di sekitar era yang sama. Van Niel
mengungkapkan bahwa setidaknya setelah 1848, disediakan uang untuk sekolah
orang Jawa guna mendidik anak-anak priayi yang direncanakan menjadi juru tulis
dan pamong. Tujuan sekolah itu adalah supaya ‘priayi muda itu dididik dalam adat
istiadat dan tatacara Eropa’. Oleh sebagian orang Eropa kebijakan ini ditanggapi
dengan pandangan bahwa inlanders tidak dapat menyesuaikan diri dengan pendidikan
formal dan memperlakukannya di rumah seperti pembantu rumah tangga tambahan.5
Di sini, terlepas dari tujuan ekonomi-politik kolonial untuk menyediakan basis tenaga
administrasi yang murah, pandangan yang mendasari tujuan pendidikan itu tetaplah
didasarkan pada suatu superioritas ras dan budaya.

Dengan kata lain di sini berlaku suatu pandangan modernis purba yang timpang.
Rakyat terjajah didefinisikan sebagai yang terbelakang, pemalas, rendah dan bodoh
yang perlu dididik dan dimodernisir. Akan tetapi justru di dalam dan oleh definisi
demikianlah si terjajah secara simultan disubordinasikan.

“Memang tidak kurang lah kita mendengar cacian “inlander seperti


kerbau’, “inlander seperti goblok”, “inlander bodoh”...Berabad-
abad kami mendapat cekokan inlander bodoh, berabad-abad kami
diinjeksi rasa kurang karat...Kami menjadilah kini rakyat yang
mengira, ya percaya, bahwa kami memang adalah rakyat yang

4
Mengenai ini lihat sebuah esai yang sangat menarik yang ditulis oleh penulis
bernama Kenken (2006), “Sejarah Panjang Kewarganegaraan”. Ditulis tanpa tahun,
disajikan dalam Forum Diskusi Budaya Tionghoa dan Sejarah Tiongkok. Artikel ini
sendiri diambil dari www.mailarchive.com/msg08480.html. Tanggal 10 Mei 2009.
5
Robert van Niel (1984), Munculnya Elit Modern Indonesia (Pustaka Jaya: Jakarta),
hlm. 44.

2
inferiur...Kini di mana-mana terdengarlah kesah: “Yah, kami
memang bodoh kalau tidak ada bangsa Eropa, bagaimana kami
hidup!”6

Subordinasi dalam modus politik kewargaan kolonial ini yang kemudian patah oleh
Revolusi kemerdekaan Indonesia. Di dalam revolusi, konstruksi modernis kolonial
mengenai monyet inlander ini dilawan dengan pandangan modernis lain mengenai
manusia dan keagenan politik di dalamnya. Di dalam Soekarno keagenan itu disebut
dengan beragam identitas mulai dari istilah massa, kaum melarat, buruh, kaum
marhaen tapi kemudian sering terangkum dalam suatu penamaan subyek yang lebih
umum dan stabil yakni rakyat.

Rakyat menjadi titik artikulasi dari beragam konsepsi emansipatif mengenai manusia
yang dibawa oleh berbagai macam ide dalam semangat jaman masa itu, seperti
nasionalisme Eropa, ide kelas dan ide manusia universal.

Seluruh riwayat dunia adalah riwayat golongan-golongan manusia


atau bangsa-bangsa yang bergerak...Kita ingat perkataan Yesus
Kristus dan agama Kristen yang melahirkan rakyat-rakyat Yahudi
dan rakyat-rakyat Lautan Tengah dari bawah kaki burung garuda
Roma; kita ingat perjuangan rakyat Belanda yang menghindarkan
diri dari tindasan Spanyol, kita engat pergerakan-pergerakan
demokrasi kewargaan (burgerlijke democratie) yang
menghindarkan rakyat-rakyat Eropa pada akhir abad ke-18 dan
awal abd ke-19 dari bawah tindasan autokrasi dan aboslutisme...7

Dalam konsepsi rakyat itulah kemudian belenggu dalam definisi inlander itu jebol
untuk kemudian mengalir dalam beragam sistem identifikasi emansipatif yang baru di
Indonesia; kaum Marhaen di dalam Soekarno, kaum Murba bagi Tan Malaka, kaum
proletar dan buruh-tani bagi gerakan komunis, rakyat terdidik bagi Hatta dan Syahrir.

Dari sini kita melihat suatu hubungan yang unik dan khas Hegelian dalam sistem
identifikasi politik pada masa itu: yang universal (dalam hal ini konsepsi rakyat)
menampung sekaligus berkontradiksi dengan yang partikular (Marhaen, proletar,
kaum terdidik, bumiputra). Dengan demikian di sini istilah ‘rakyat’ sendiri sedari
awalnya memang diterima sebagai semacam ‘point of articulation’ dari beragam
pratik dan tafsir ideologi yang bergerak ‘di bawahnya’. Ia menjadi sumber bagi yang
partikular tapi sekaligus juga dijaga dan dengan demikian turut dibentuk oleh yang
partikular: yang terpecah sekaligus dipersatukan dalam suatu hubungan dialektis.

Dalam relasi dialektis ini muncul semacam entitas antropologis baru mengenai siapa
manusia Indonesia itu. Seperti secara persis melanjutkan Hegel, dari revolusi
kemerdekaan itu rakyat tumbuh dan diposisikan menjadi sosok yang dalam filsafat
sejarah Hegel disebut dengan ‘great historical man’ yakni whose own particular aims

6
Soekarno sebagaimana dikutip dalam Soekarno (2002), Api Perjuangan Rakyat:
Kumpulan Tulisan Terpilih Bung Karno, Tim LKEP (editor), (LKEP dan Kekal
Indonesia: Jakarta dan Bogor), hlm. 109.
7
Soekarno (2002), Api Perjuangan Rakyat, hlm. 77.

3
involve those large issues which are the will of the World Spirit. Great historical men
– adalah pahlawan dalam suatu jaman, mereka yang menjadi titik perantara ke arah
emansipasi dalam kontradiksi-kontradiksi besar jamannya. Di dalam revolusi
kemerdekaan ‘sang monyet inlander’ ikut berdialektika sehingga ia juga mengalami
‘sublasi’ yang mengangkatnya hingga sempat menjadi manusia historis agung.8
Suasana revolusi mempertahankan status perubahan ini hingga kemunculan rejim dan
kepolitikan baru yang mencoba menggantikannya. Soekarno tergoda untuk
mentransformasi ‘great historical men’ itu menjadi ‘world historical individual’
dengan mencoba mengambil alih status itu dari rakyat ke tangan diri pribadinya.
Meski untuk itu ia mengambil jalan atau taktik yang sedikit rendah hati dengan
menyebut diri ‘penyambung lidah rakyat’. Sementara Orde baru yang muncul
kemudian mengambil cara yang jauh lebih dramatis dan vulgar guna menyudahi
imajinasi lama mengenai ‘great historical men’ itu. Rakyat diganti dengan negara dan
negara dialirkan ke dalam entitas antropologisnya yang kemudian dinamakan
Manusia Pancasila atau Manusia Indonesia Seutuhnya.

II. Setelah Berakhirnya “Manusia Indonesia Seutuhnya”

Politik Orde Baru dimulai dengan suatu proyek kewargaan yang kompleks. Ia
melibatkan tidak hanya peralatan hukum, politik tetapi juga kebudayaan hingga
filsafat. Proyek kewargaan ini ditangkup dalam suatu politik kebudayaan yang yang
sedari mula dimaksudkan untuk mengintegrasikan wilayah mental dengan wilayah
biologis dan dirumuskan dalam sebuah konsep antropologi politis bernama: Manusia
Pancasila.9

Pengorganisasian politis atas wilayah mental-biologis dalam Manusia Pancasila


kemudian dilanjutkan dan disofistifikasi melalui konsepsi kewargaan yang subtil
yakni dalam gagasan ‘manusia Indonesia seutuhnya’. Gagasan ini dikencangkan
dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima
Tahun (repelita). GBHN tahun 1979 misalnya menyebut bahwa pembangunan
nasional pada hakektanya adalah pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya.10

Dengan itu sasaran subyektifikasi politik makin diperluas. Konsep itu membangun
demarkasi yang lebih kaku antara warga negara yang sepenuhnya menyatu dalam
tubuh kepolitikan dan pembangunan negara dengan warga yang ‘didefinisikan berada

8
Mengenai konsep manusia historis di dalam Hegel lihat dalam G.W.F. Hegel (1929),
Philosophy of History dalam Jacob Loewenberg (editor), Hegel: Selections
(Scribner's Sons: New York), hlm. 376-80.
9
Sebagai sebuah proyek politik konsepsi Manusia Pancasila ini pertama kali
dikemukakan oleh Mayor Jenderal Ali Moertopo dalam sebuah dokumen legendaris
yang dikenal dengan sebutan singkat ‘Akselerasi dan Modernisasi. Untuk itu lihat
dalam Ali Moertopo (1972), Some Basic Thoughts on The Acceleration and
Modernization of 25 Years Development (Yayasan Proklamasi Centre for Strategic
and International Studies: Jakarta). Penjelasan khusus mengenai “Pancasila Man’
dapat dilihat dari halaman 11-21.
10
Kutipan GBHN 1979 diambil dari Prof. Padmo Wahjono S.H. (1981), Bahan-
bahan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (Jakarta: Aksara Baru)

4
di luarnya atau ‘yang bukan manusia Indonesia’. Persis sebagaimana sebelumnya
dikatakan Soeharto:

“…manusia adalah pelaksana pembangunan dan bersamaan


dengan itu manusia harus dibangun agar mampu
membangun…Justru karena manusia adalah pelaku pembangunan
dan sekaligus manusia itu sendiri harus dibangun agar dapat
membangun, maka segera tampil kenyataan yang pokok bahwa
manusia adalah salah satu sumber utama dalam kekuatan
pembangunan itu..”11

Konsepsi ‘manusia Indonesia seutuhnya’, digunakan oleh Orde Baru untuk


memantapkan semacam standarisasi – atau normalisasi di dalam Foucault- sehingga
dengan itu diharapkan muncul semacam standar baku mengenai siapa manusia
Indonesia. Standarisasi itu dibuktikan ketika konsep ini dijadikan dasar bagi orientasi
dan tujuan pendidikan secara umum sebagaimana tertera dalam setiap pembukaan
undang-undang mengenai pendidikan di masa Orde Baru.12 Sejak itu, muncul istilah
‘aspek-aspek’ yakni semacam pembidangan yang membagi-bagi manusia berdasar
bagian-bagian tertentu: aspek moral, aspek mental, aspek, fisik, aspek emosional.
Istilah ini sangat digemari dalam diskursus manusia di Indonesia dan biasanya dipakai
untuk menegakkan ciri partikular ‘manusia Indonesia’ misalnya bahwa ‘manusia
Indonesia’ sebagai ‘orang timur’ harus memiliki aspek ‘rasa’ selain aspek akal.
Singkatnya, melalui konsep ini, Ode Baru bisa secara sewenang-wenang menentukan
mana-mana yang ‘warga Indonesia’ dan ‘bukan warga Indonesia’, mana-mana ‘warga
yang baik’ dan ‘mana-mana warga yang tidak baik’.

Implikasinya, Orde Baru menggeser bidang yang semula sepenuhnya bersifat


antropologis menjadi sepenuh-penuhnya politis. Konsepsi itu pada dasarnya
menandai kematian manusia yang terpampang dalam konsepsi ‘etnografis’ yang
secara kontradiktifal sering dirayakan secara ritual dalam upacara-upacara kenegaraan
dan dalam slogan bhinneka tunggal ika. Dengan konsepsi ini, maka manusia
Indonesia sejatinya adalah entitas kebudayaan hasil dari kreasi politik Orde Baru. Ia
diproduksi secara sosial, politis sebagai penanda beroperasinya negara. 13

11
Pidato Soeharto dalam Peringatan Dies Natalis ke-20 IKIP Bandung, 5-12-1974.
Dikutip dari Soeharto (1976), Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila,
Krissantono (editor), (Yayasan Proklamasi CSIS: Jakarta)
12
Dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
060/U/1993 misalnya disebutkan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia sutuhnya,
yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan
rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.
13
Mengenai konsep normalisasi yang dikemukakan oleh Foucault lihat dalam Michel
Foucault (1977), Discipline and Punishment (Tavistock: London)

5
Sebagai hasil normalisasi, konstruksi itu dikerjakan dengan karakter tertentu sehingga
ia mencerminkan suatu logika dan sistematisasi.14 Hal ini makin bisa dipahami
melalui penelusuran konsepsi lain yang dibuat Orde Baru sebagai pelengkap politik
antropologisnya yakni melalui ‘strategi kebudayaan’. Politik kebudayaan berupaya
menurunkan konsepsi ‘manusia Indonesia seutuhnya’ ke dalam bidang-bidang
kehidupan yang lebih subtil melalui institusi-institusi kebudayaan dan pranata-pranata
sosial. Misalnya dalam modus kehidupan keluarga yang konsepsi standarnya dibuat
dalam gagasan keluarga berencana. Lebih jauh lagi, gagasan ini juga kemudian
diperluas dalam bentuk-bentuk pembakuan mengenai citra anak Indonesia dan citra
perempuan Indonesia, manusia karya, manusia pembangunan.15 Sementara dalam
bidang kebudayaaan dalam artian yang lebih luas, strategi kebudayaan itu
dipresentasikan dan diorgansisaikan dalam format konggres kebudayaan nasional.

Dengan konfigurasi ini, maka bisa dikatakan Orde Baru memiliki semacam imaji
mengenai totalitas ia menjangkau tidak hanya bidang-bidang mental yang paling
abstrak (soal kebudyaan); bidang-bidang antropologis yang lebih rinci dan khas (siapa
dan bagaimana manusianya) hingga bidang material-biologisnya (bagaimana citra
anak, citra keluarga dan citra perempuan). Seluruh bidang-bidang ini disatukan dan
dibela secara simultan dengan suatu pandangan negara nasional yang juga khas dan
spesifik, yang kekhasannya ini hanya bisa dimengerti oleh Orde Baru sendiri.
Sebagaimana ditegaskan Soeharto:

Kehidupan daripada manusia Indonesia yang bisa kita lihat dan


memang kita perjuangkan adalah, ya kehidupan lahir dan batin,
kehidupan daripada material spiritual, kehidupan dunia dan akhirat
berdasarkan Pancasila… 16

Di titik inilah bisa kita simpulkan bahwa melalui proyek ‘manusia Indonesia
seutuhnya’, Orde Baru tidak hanya menghancurkan ‘etnografi’, secara filososofis
Orde Baru juga bermaksud menghancurkan subyektifitas. Di dalam Orde Baru
subyektifitas tidak dibiarkan menjadi pencarian ‘eksistensialis’ per individual, ia
dibentuk dan diobyektifikasikan.17 Di dalam Orde Baru, individu tidak mencari

14
Salah satu bukti dari pembentukan logika dan sistematisasi politik antropologis ini
dapat dilihat dalam temuan Daniel Dhakidae mengenai hubungan antara konsepsi
manusia fasis di Indonesia dengan konsepsi manusia Heideggerian yang diadaptasi
dalam pemikiran awal Orde Baru. Untuk ini lihat dalam Daniel Dhakidae (2003),
Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramedia), hlm.
636-664.
15
Salah satu uraian menarik mengenai citra anak Indonesia dan keluarga Indonesia
dapat dilihat dalam penelitian Philip Kitley mengenai seri televisi si Unyil di masa.
Lihat dalam Phillip Kittley (1999), Pancasila in the Minor Key: TVRI’s Si Unyil
Models the Child dalam Indonesia 68 (October 1999).
16
Soeharto (1982) Presiden Soeharto Tentang Ha-Na-Ca-Ra-Ka dan Sangkan
Paraning Dumadi dalam Jurnal Mawas Diri, November 1982.
17
Pemahaman mengenai variasi bentuk dan politisasi subyektifitas dalam kewargaan
secara menarik dapat dilihat dalam pemikiran Kathryn Dean (2003), Capitalism and
Citizenship: The Impossible Partnership (London dan New York: Routledge), hlm.
11-24.

6
dirinya, negaralah yang membentuk dan mengisi siapa dan apa makna kediriannya
secara keseluruhan bahkan hingga ke kehidupan di spiritual.

Dengan modus pendefinsiian yang menjangkau jauh hingga ke ‘akhirat sana’, konsep
‘manusia Indonesia seutuhnya’ ini dilengkapi dengan suatu bobot ‘transenden’. Di
sinilah dunia-akhirat mau dijangkau dan ditetapkan secara pra-deterministik oleh
kekuasaan. Di sini berlaku suatu pandangan kosmologis Jawa yang uniknya dijamin
oleh sekaligus diabdikan pada tujuan politik pembangunan yang otoriter.

Dengan itu jelaslah subyek dalam ‘Manusia Indonesia Seutuhnya” bukan lain adalah
subyek yang dibentuk seutuhnya sebagai manusia oleh Orde Baru. ‘Manusia
Indonesia Seutuhnya’ secara ironis bukan lain adalah sesuatu yang dibekukan dan
dinormalisasi dalam standar ideologi Orde Baru. Subyek di sini bukan lain adalah
sesosok –dalam istilah Foucault- docile body, tubuh yang ‘lentur-patuh’.

Proyek “Manusia Pancasila’ Orde Baru ini berjalan bukan tanpa tantangan. Seperti
bertentangan dengan konstruksi dominan mengenai manusia Indonesia yang sedang
digelorakan oleh Orde Baru, pada thaun 1977, Mochtar Lubis dalam sebuah pidato
berjudul “Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban” malah mengajukan
sejumlah ciri buruk manusia Indonesia. Manusia Indonesia menurutnya memiliki
enam ciri yakni enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, suka takhayul, artistik,
berwatak lemah.18

Melalui pandangan ini Mochtar Lubis terkesan bermaksud mengambil sikap esensialis
tapi kritis terhadap konsepsi manusia Indonesia. Manusia Indonesia pada dasarnya
memiliki karakter psikologis dan antropologis yang lebih banyak buruknya ketimbang
yang baiknya. Buruk di dalam Mochatar Lubis di sini nampaknya juga berarti
bertentangan dengan ciri manusia modern yang –dalam konsepsi sosiologi Weber-
rasional dan bertanggung-jawab. Dengan itu, dapat dikatakan bahwa kritik Mochtar
Lubis dalam enam ciri manusia Indonesianya lebih merupakan sebuah kontruksi
modernis mengenai manusia Indonesia.

Pertanyaan lebih jauh dari konsepsi Lubis itu adalah sejauh mana pandangan
mengenai identitas modernis itu bisa dipertanggungjawabkan dalam sebuah politik
kewargaan dan apa implikasi historisnya? Kesulitan muncul di sini, karena Mochtar
Lubis nampaknya memang tidak sedang bermaksud mengajukan suatu konsep
identitas dalam kerangka politik kewargaan. Yang ia ajukan lebih merupakan
semacam kritik antropologis menyangkut gejala-gejela kebudayaan pada jamannya.
Di titik ini, pada satu segi kita bisa memahami kritiknya terhadap praktik
keterbelakangan sosial dalam masyarakat pada era itu, akan tetapi pandangan dan
generalisasinya mengenai manusia Indonesia sebagai ‘berwatak lemah’, suka
takhayul, tidak bertanggung-jawab tapi artistik, mengingatkan kita kembali kepada
konstruksi inlander dalam superioritas kolonial. Singkatnya, kritik Mochtar Lubis
adalah kritik yang diajukan melalui sudut pandang kolonial dalam melihat gejala
kebudayaan dan memposisikan manusia Indonesia pada jaman itu.

18
Dikutip dari naskah ceramah Mochtar Lubis tanggal 6 April 1977 di Taman Ismail
Marzuki yang telah diterbitkan dalam Mochtar Lubis (2001), Manusia Indonesia:
(sebuah Pertanggungjawaban), (Yayasan Obor Indonesia: Jakarta).

7
Setelah Mochatr Lubis, tantangan terbesar politik kewargaan Orde Baru, secara
konsepsional datang dari dua arah: yang pertama dari konsepsi mengenai kelas dan
yang kedua dari konsepsi mengenai manusia universal dalam gagasan hak asasi
manusia. Gagasan kelas berbasis pada partikularisme antropologis yang membelah
manusia berdasarkan determinisme ekonomi-politik (buruh versus kapitalis)
sementara universalisme hak asasi-manusia berbasis pada gagasan liberal mengenai
manusia bahwa manusia dilahirkan dengan kebebasan, setara dan otonom (non-
determinisme).19

Gagasan kelas menyodorkan suatu tantangan yang berbasis pada fakta brutal
mengenai ketidakadilan akibat perbedaan pemilikan sumber daya dalam masyarakat
sehingga dengan itu, warga tidak dapat digeneralisasi atau distandarisasi. Warga yang
miskin dan terpinggirkan pada hakekatnya berbeda dengan seorang elit politico-
birokrat atau elit pengusaha kroni Orde Baru. Dalam gagasan ini, konsep kewargaan
Orde Baru lebih merupakan operasi ideologis untuk menciptakan ilusi mengenai
keseimbangan dan keteraturan tatanan.

Sementara gagasan hak asasi manusia menantang basis teleologis dan segi
komunitarian dalam pandangan ‘manusia Indonesia seutuhnya’. Apa dan bagaimana
tujuan manusia adalah segi interior yang paling privat, oleh karena itu ia tidak dapat
didefinisisikan secara pra-deterministik oleh negara. Tidak ada negara yang berhak
mengklaim ‘memiliki’ manusia-manusia di dalamnya sebagai semacam property atas
nama nasionalisme apapun. Setiap warga dianggap terhubung sebagai bagian
universal dari komunitas internasional dan boleh menikmati perlindungan hak-hak
yang juga bersifat universal. Akibatnya, dengan itu, negara juga mesti mengakui
kemungkinan-kemungkinan intervensi dari masyarakat internasional menyangkut
pelanggaran terhadap hak-hak warga/individu.

Menghadapai tantangan ini, Orde Baru mengambil dua sikap. Yang pertama adalah
melalui represi terhadap organisasi-organisasi yang mengajukan gagasan-gagasan
kelas maupun hak-asasi. Ini yang membuat Orde Baru terkenal dengan sikap anti-kiri
di satu sisi dan anti politik liberal di sisi yang lain. Yang kedua adalah dengan
mengkonsolidasikan gagasan tandingan terhadap universalisme dan populisme kelas
baik yang berupa nasionalisme, kuasi-komunitarian, relativisme kebudayaan maupun
kuasi-agama. Dalam rangka kebutuhan yang kedua inilah kemudian Orde Baru
merangkul politik islam. Strategi dimulai dengan pertama-tama mengakomodasi
kepentingan-kepentingan politik islam ke dalam militer dan birokrasi baik di tingkat
pusat maupun daerah.20 Dari sinilah kemudian pintu masuk yang lebih luas ke arah
politisasi islam oleh negara –terutama dalam hal ini militer- dalam tujuan

19
Pembedaan dua pandangan dasar mengenai manusia ini diambil dari pemikiran
Steven Lukes dalam Steven Lukes (1933) Five Fables About Human Rights dalam
Stephen Shute dan Susan Hurley (editor) On Human Rights: The Oxford Amnesty
Lectures 1993 (New York: BasicBooks), hlm. 19-40. Dalam tafsir tulisan ini
pandangan mengenai manusia dengan basis kelas dikemukakan oleh Lukes dengan
istilah Proletaria sementara yang berbasis pada egalitariansime hak disebut oleh
Lukes dengan istilah Egalitaria.
20
Untuk ini lihat dalam Ariel Heryanto (2008) Pop Culture and Competing Identities
dalam Ariel Heryanto (editor) Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-
Authoritarian Politics (London dan New York: Routledge), hlm. 12-46.

8
menghentikan kelompok-kelompok kiri, LSM dan gerakan mahasiswa menemukan
saluran yang lebih luas hingga sekarang.

Berakhirnya Orde Baru dengan demikian bisa diartikan sebagai berakhirnya doktrin
totalisme mengenai ‘warga negara’ yakni bangkrutnya paham ‘manusia Indonesia
seutuhnya’. Dengan berakhirnya politik otoritarian dan klaim partikularisme
antropologi politiknya, berakhir pula sistem pemaknaan tunggal mengenai siapa
warga atau siapa ‘warga yang baik’. Dari sini, muncul beragam tantangan dan
gerakan dalam upaya merekonstruksi pandangan-pandangan baru mengenai siapa
‘manusia Indonesia’ itu. Sudah bisa diduga kiranya pihak-pihak mana yang kemudian
mewarisi arena pertarungan untuk mendefinisikan ‘konsepsi manusia Indonesia’ yang
baru itu? Akomodasi politik islam dalam masa akhir Soeharto memberikan
momentum baru bagi kekuatan-kekuatan politik islam yang dulu direpresi untuk
bangkit dalam variasi yang lebih beragam. Kebangkitan ini dalam artian yang lebih
luas menghasilkan tegangan baru dalam perjumpaanya dengan aktor-aktor klasik
penjatuhan Soeharto. Dari sini konsepsi politik mengenai manusia yang dikemukakan
oleh hak-hak asasi dan penggiat ide kesetaraan kelas berhadapan dengan pandangan
baru mengenai manusia agamis yang disodorkan oleh politik islam di Indonesia.21
Ketegangan baru ini dapat dilihat dalam kontradiksi politik kewargaan kontemporer.

III. Homo Sacer dan Kontradiksi Hukum Ahmadiyah

Ketegangan pertama dalam konstruksi politik kewargaan pasca-Soeharto dapat kita


ajukan melalui kasus Jemaat Ahmadiyah. Sebagaimana diketahui, gugatan terhadap
kelompok Ahmadiyah, tidak pernah kita dengar di masa Orde Baru. Kasus kekerasan
terhadap Ahmadiyah muncul pada Juli tahun 2005. Dari sini penolakan yang lebih
keras berkembang dan berujung pada tuntutan sejumlah kelompok melalui Majelis
Ulama Indonesia agar pemerintah membubarkan organisasi Ahmadiyah. Dari sini
persoalan mengenai politik kewargaan yang baru ikut muncul.

Persoalan kewargaan ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan: dalam situasi di mana
suatu golongan (misalnya dalam hal ini MUI) menolak asosiasi Ahmadyah ke dalam
golongan itu (agama Islam secara umum), sikap apa yang harus diambil oleh negara?

Di sini pertanyaan mengenai identitas muncul dalam dua tingkat; yang pertama adalah
persoalan identifikasi particular Ahmadyah dalam hubungannya sebagai angggota
komunitas muslim secara lebih luas; yang kedua adalah sejauh mana implikasi dari
ketegangan dalam identifikasi particular itu berpengaruh bagi status identifikasi
universalnya sebagai warga negara? Apakah penolakan dalam sistem identifikasi
particular bisa dengan segera atau mesti diakomodasi dengan penolakan dalam sistem
identifikasi universalnya? Singkatnya apabila oleh MUI Ahmadyah ditolak sebagai

21
Dengan posisi ini saya tidak bermaksud menihilkan fakta sejarah bahwa pergolakan
pemikiran mengenai siapa manusia Indonesia dalam artian yang luas sudah pernah
diperdebatkan secara lebih konsepsional dalam era Sutan Takdir Alihsyahbana. Kita
tentu saja juga bisa mengatakan bahwa perdebatan kontemporer ini hanya merupakan
kelanjutan saja dari pedebatan dulu yang memang tidak pernah rampung. Pemaparan
mengenai pertarungan diskurusus ini dimaksudkan lebih untuk memberikan
landscape baru bagi kontradiksi politik kewargaan Indonesia kontemporer.

9
bagian dari ‘umat Islam’ maka negara kemudian bisa menolak Ahmadyah atau
memberlakukan Ahmadyah bukan sebagai warga negara Indonesia yang memiliki
previledges sebagai warga dengan hak-hak sipil dan sosial yang diakui di sebuah
masyarakat demokratis? Dari sini pertanyaan kemudian juga memasuki suatu arena
yang lebih rumit lagi? Apabila Ahmadyah –dengan berbasis pada konsepsi hak-hak
konstitusionalnya- bersikukuh untuk tetap mempertahanlkan sistem identifikasi
partikularnya sendiri sehingga ia bertentangan dengan MUI, apa yang akan dilakukan
oleh pemerintah?

Menjawab persoalan ini, negara mengambil suatu ‘jalan tengah’ yakni dengan
mencoba memisahkan sistem identifikasi sosial Ahmadyah dengan sistem identifikasi
universalnya sebagai warga. Akan tetapi pemisahan ini dilakukan dalam tujuan yang
‘unik; yakni dengan dalih untuk melindungi identitas dan hak-hak kewargaan
universalnya Ahmadiyah diminta menanggalkan identitas partikularnya’. Strategi ini
nampak dari keputusan pemerintah yang dikeluarkan dalam Surat Keputusan Bersama
Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No 3 Tahun 2008 yang
menetapkan pada butir ke-2 SKB itu sebagai berikut:

Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota


dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI),
sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan
penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok
ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui
adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Mushammad
SAW.

Dilanjutkan dengan suatu tetapan pada butir k-4 SKB sebagai berikut:

Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat


untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta
ketentraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak
melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap
penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI).

Dengan menekankan perintah untuk ‘menghentikan penafsiran dan kegiatan’


sebagaimana disebut dalam butir ke-2 SKB, negara bermaksud mendesak Ahmadiyah
menanggalkan identitas partikularnya. Dari situ kemudian baru ditegaskan semacam
perlindungan terhadap Ahmadiyah dari kekerasan melalui butir ke-4 SKB. Artinya
perlindungan negara diberikan dengan syarat, yakni bahwa Ahmadiyah mesti menjadi
‘tidak atau bukan Ahmadiyah’ terlebih dahulu.

Di sinilah kontradiksi kewargaan pertama muncul. Bagi Ahmadiyah hak-haknya


sebagai warga (dalam sistem identifikasi universalnya) hanya berarti apabila
eksistensi dalam sistem identifikasi partikularnya diakui. Bagi mereka, dengan
ditanggalkannya identitas partikularnya, itu artinya lenyap juga keseluruhan sistem
identifikasi universalnya. Hak-haknya sebagai warga negara hanya akan berarti
apabila eksistensi dia sebagai ‘Ahmadiyah’ diakui terlebih dahulu. Ahmadiyah

10
menjadi warga Indonesia apabila identitasnya sebagai Ahmadiyah diterima. Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa SKB menter-menteri itu pada dasarnya malah
mengeksplisitikan suatu kemungkinan yang paling buruk bagi keberadaan suatu
kelompok yakni hilangnya identitas kewargaan. Di sini, kita tiba pada kontradiksi
kedua menyangkut politik kewargaan: yakni bahwa hilangnya status hukum suatu
golongan justru terjadi melalui atau di dalam hukum. Hukum mengosongkan status
hukum dari suatu subyek atau dalam model signifikasi Giorgio Agamben disebut
dengan HUKUM (hukum dicoret).22

Bahaya terbesar dari keadaan ini bisa dikemukakan dengan mengajukan kemungkinan
bahwa apabila seandainya Ahmadiyah berkeras mempertahankan identitas
partikularnya, ia kehilangan hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara sebagai
warga. Ia dilepaskan dari identifikasi hukum kewargaan apapun, sehingga dengan itu
ia bukan warga. Dan oleh karena ia bukan warga maka, kekerasan yang dilakukan
terhadap mereka (dirusak, diusir bahkan dimusnahkan) tidak dapat dikategorikan
sebagai tindakan melawan hukum. Sementara pelaku kekerasan terhadap mereka bisa
dianggap sebagai bukan pelanggar hukum. Karena bukankah oleh hukum, Ahmadiyah
sudah didefinisikan sebagai berada di luar hukum?

Di titik ini, Ahmadiyah berdiri sebagai subyek politik yang disebut oleh Agamben
sebagai Homo Sacer. Konsep Homo Sacer dipetik Agamben dari praktek hukuman
paling kuno dalam tradisi hukum Romawi. Sacer dalam Homo Sacer bisa diartikan
sebagai ‘sacred’ dalam bahasa Inggris yang dalam tradisi hukum Romawi menunjuk
pada ‘the one whom the people have judged on account of a crime’. Bukan hanya itu,
lebih jauh lagi Homo Sacer juga berarti ‘it is not permitted to sacrifice this man, yet
he who kills him will not be condemned for homicide’.23 Dengan demikian Homo
Sacer adalah manusia yang direduksi menjadi nihil sedemikian rupa tanpa hak dan
perlindungan apapun. Namun demikian uniknya, justru oleh karena ia demikian tak
berharganya maka ia kemudian disakralkan, ia boleh dibunuh (darahnya halal) tapi
terlarang untuk dikorbankan dalam sesembahan dewa-dewi. Ia boleh dimusnahkan,
dan pembunuhannya tidak dipandang sebagai pembunuhan (homicide) secara hukum
tapi ia sama sekali tak berharga untuk dikenai makna ‘relijius’ apapun. Di sini Homo
Sacer adalah subyek yang didefinisikan oleh hukum untuk sekaligus dieklusi ke
luar dari hukum. Sakralitasnya ada justru oleh karena ketakberartiannya secara legal.

Logika ‘homo sacer’ ini secara potensial berlaku dalam kasus Ahmadiyah.
Kemungkinan itu bisa terjadi apabila negara gagal mengambil dan menerapkan politik
kewargaan yang semestinya sehingga melemparkan Ahmadiyah ke dalam situasi
‘tanpa kewargaan’. Status ‘tanpa kewargaan’ adalah awal dari situasi tanpa
previledges hukum apapun yang memungkinkan suatu kelompok atau individu sama
sekali kehilangan identitas dan hak-haknya. Status ‘tanpa kewargaan’ meletakkan
suatu kelompok/individu sebagai ‘bukan siapa-siapa’.

22
Mengenai lihat lebih jauh dalam Giorgio Agamben (2005), State of Exception,
diterjemahkan dari bahasa Italia oleh Kevin Attell (Chicago dan London: The
University of Chicago Press), hlm. 1-40.
23
Agamben, Giorgio (1998), Homo Sacer: Sovreign Power and Bare Life, (Stanford:
Stanford University Press), hlm. 65.

11
Di dalam kondisi ketiadaan status inilah kita menemukan bahaya kemanusiaan
terbesar dalam ‘logika homo sacer’. Di dalam sejarah, subyek politis semacam ini
pernah terjadi dalam tragedi holocoust yang mengambil korban jutaan manusia.
Ketika orang Yahudi, oleh karena status keyahudiannya, diekslusi keluar dari
kewargaan apapun sehingga dengan itu mereka dengan mudah dibinasakan di kamp-
kamp konsetrasi. Dalam abad ini, logika dan kejadian yang sama nyaris dialami oleh
ribuan warga keturunan Arab di Amerika Serikat yang oleh karena kebijakan ‘patriot
act’ era presiden Bush yunior mereka terancam menjadi ‘bukan siapa-siapa’.

IV. Kewargaan dalam Kontradiksi Sakralitas Tubuh Perempuan

Ketegangan dalam politik kewargaan Indonesia kontemporer juga bisa dilihat dalam
diskursus sakralitas tubuh perempuan kontemporer. Kasus paling mutakhir dari situasi
ini bisa kita lihat dalam rencana pemerintah daerah kota Batu, Malang, Jawa Timur
yang kemudian diikuti oleh Dinas Pariwisata DKI Jakarta yang menghendaki
perempuan pekerja di panti pijat, memakai celana dalam gembok.24 Rencana ini boleh
jadi sudah dibatalkan akan tetapi, logika di belakangnya masih terus menjalar dan
mempengaruhi kontestasi dalam politik kewargaan kontemporer. Mengapa?

Rencana celana dalam gembok ini sebenarnya kelanjutan saja atau bentuk ekstrim
dari suatu praktik bio-politik. Praktik dengan dasar pikiran yang sama sebenarnya
sudah terjadi di sejumlah daerah di Indonesia yang menerapkan sejenis perda dengan
basis kuasi-agama untuk membatasi aktivitas perempuan di tempat umum, terutama di
malam hari. Perda kota Tanggerang misalnya, melansir jam malam untuk perempuan,
bahkan sempat diikuti dengan sweeping petugas keamanan dan ketertiban Pemda
terhadap sejumah pekerja perempuan. Kebijakan serupa juga diikuti sejumlah daerah
yang membatasi siswa dan perempuan untuk berada di luar rumah di malam hari.
Kebijakan ini diajukan dengan klaim demi mencegah maksiat dan menjaga serta demi
melindungi martabat perempuan dan anak-anak.

Yang menarik dan perlu diperhatikan dari fenomena ini adalah transformasi manusia
melalui politik-hukum. Yakni bagaimana melalui hukum, tubuh perempuan
direkonstruksi sedemikian rupa dengan klaim kekudusan tertentu (dilindungi
martabatnya) tetapi demi kekudusan itu, tubuh yang sama justru direpresi (gembok,
larangan ke luar malam). Logika semacam ini dalam sejarah teokrasi era abad gelap
di Eropa, dilakukan melalui transformasi konsep manusia; dari manusia dalam
kategori ius humanum menjadi manusia dalam kategori ius divinum. Dari manusia
sebagai manusia menjadi manusia yang diliputi oleh sakralitasnya. Akan tetapi dalam
kasus Pemda Batu dan Tanggerang, transformasi dari ius humanum menjadi ius
divinum itu dilakukan melalui suatu proses hukum yang melibatkan lembaga-lembaga
politik seperti DPRD, Pemda yang sepenuhnya duniawi, dianggap korup dan
bermasalah secara moral.

Proses semacam ini yang disebut oleh Conell sebagai transformasi melalui
transendensi. Praktek dan pandangan jender dalam seluruh kebijakan itu tidak hanya
secara sederhana menegasikan tubuh perempuan melainkan mentransendensikannya
dan dengan itu sekaligus mentransformasikannya. Transfromasi itu sendiri pada

24
Media Indonesia, Minggu, 06 April 2008.

12
akhirnya berfungsi to justify and legitimize the original social categories in ways
which oppress women as ‘the weaker sex’.25

Dengan demikian yang terjadi di sini adalah sakralitas itu dibangun dengan tujuan
yang tidak sakral yakni mengendalikan tubuh perempuan. Juga melalui peralatan yang
juga tidak sakral yakni aparat birokrasi. Dengan kata lain, ketimbang membangun
sakralitas, yang terjadi dalam transformasi ini bukan lain adalah suatu praktek atau
operasi kekuasaan untuk menentukan batas-batas moral, formasi mengenai tubuh dan
reproduksi kekuasaan. Praktek ini juga mengulang kembali apa yang disebut oleh
Foucault dengan istilah patris potestas (atau vitae necisque potetastas menurut
Agamben) yakni sejenis kewenangan untuk memutuskan hidup dan mati yang
dimiliki oleh seorang ‘bapak’ di era Romawi Kuno terhadap tubuh anak-anak dan
para budaknya.26 Hidup sang anak dan sang budak diangap berasal dari dirinya oleh
karena itu si bapak dianggap memiliki hak untuk mencabut apa yang diberikannya itu.
Dengan kata lain, di sini berlaku suatu kehendak untuk mendominasi tubuh secara
total.

Di sinilah mengapa praktek ini tidak dapat dianggap sebagai praktek murni agama,
melainkan kuasi-agama atau dalam istilah Juan Linz ersatz-religion yakni agama
yang sudah dikonstruksi oleh suatu otoritas dalam suatu matriks bio-power.27
Kekudusan di sini dengan demikian bukan lain hanya semacam dalih dari suatu
politik-moral yang lebih besar. 28

Di titik ini kita menemukan kontradiksi yang kedua dalam politik kewargaan
Indonesia kontemporer. Pertama, status ‘yang sakral’ tubuh perempuan dilakukan
justru melalui penaklukan tubuh perempuan. Yang kedua oleh karena yang
ditargetkan dalam konstruksi sakralitas itu adalah tubuh perempuan –bukan laki-laki-,
maka politik kewargaan di sini didasarkan atas asumsi yang timpang yakni bahwa
tubuh perempuan dilihat sebagai ‘sarang dari dosa’. Di titik ini, klaim perlindungan
terhadap martabat perempuan yang dibangun melalui berbagai peraturan itu dilakukan
melalui pikiran dan praktek politik yang justru menyudahi martabat perempuan.

25
Conell sebagaimana dikutip dari Chris Shilling (2004) The Body and Social Theory
(London: Sage Publications), hlm. 95-99.
26
Dalam literatur Foucault terjemahan Inggris istilah patris potestas selalu ditulis
sebagai “patria potestas”. Ini lebih merupakan salah ketik yang mengganggu dan di
sini diperbaiki. Lebih jauh tentang itu baca Michel Foucault, 1978, The History of
Sexuality: 1, The Will to Knowledge, Penguin Books: London, hlm, 133.
27
Lebih jauh mengenai konsep kuasi-agama diambil dari pemikiran Juan J. Linz
dalam Juan J. Linz (1996), The Religious use of politics and/or the political use of
religion: ersatz ideology versus ersatz religion dalam Hans Maier (ed) Totalitariansm
and Political Religions: Concept for the Comparisson of Dictatorship (London dan
New York: Routledge)
28
Di titik ini, fungsi dalih kekudusan ini memang pas dengan keperluan pembentukan
citra, mobiliasasi suara dan pengelabuan praktek korupsi yang sehari-hari terjadi
dalam dunia politik. Di sinilah kita bisa mengerti mengapa gagasan pembatasan
terhadap hak-hak perempuan ini secara politik lebih banyak didukung dan disponsori
oleh Partai-partai politk yang relatif non-agamis seperti Golkar dan Partai Demokrat,
selain partai-partai agamis lainnya.

13
Dalam kenyataan di Indonesia, praktek ini sebenarnya meletakkan perempuan dalam
situasi yang ‘lebih buruk’ dibandingkan dengan Ahmadiyah. Di dalam Ahmadiyah –
oleh karena mereka relatif dikenal dalam suatu asosisi identitas- negara masih
memainkan sejenis campur tangan untuk mengambil semacam sikap melindungi
secara bersyarat. Dalam kasus rekonstruksi moral tubuh perempuan, negara
memainkan peran yang lebih aktif tapi justru dalam kepentingan bio-politics yang
mengarah kepada represi. Transformasi dari ius humanum ke arah ius divinum yang
semu ini merupakan bagian dari politik sakralitas negara. Penaklukan dengan campur
tangan negara ini berlangsung karena –berbeda dengan Ahmadiyah- perempuan lebih
dipandang dalam kategori sosiologisnya semata-mata, ia belum dipandang sebagai
suatu subyek politik karena kehampaan asosiasi politisnya. Singkatnya, perempuan
dianggap dan memang belum dipandang sebagai suatu kekuatan politik dengan basis
identitas yang kuat sehingga rekonstruksi mengenai tubuhnya sendiri tidak muncul
dalam kontestasi politik kewargaan Indonesia.

V. Kemiskinan dan Absenya Kewargaan Sosial

Kontradiksi dan ketegangan ketiga dalam politik kewargaan kita dapat kita pelajari
melalui kasus Masyidin. Masyidin adalah buruh harian, warga Desa Cikampek
Timur, mengaku, ”Saya bikin KTP dadakan biar bisa mengambil dana bantuan
(maksudnya dana Bantuan Langsung Tunai atau BLT). Untuk mengurusnya, saya
keluar uang Rp 50.000.” Ia dan beberapa warga lain menyebutkan, mereka
mengeluarkan uang antara Rp 5.000-Rp 10.000 untuk membuat surat keterangan
domisili. 29

Yang menarik dari kasus Masyidin adalah bagaimana transfromasi menjadi warga
berlangsung secara sosial. Uniknya transformasi ke arah warga ini berjalan dengan
suatu prasyarat pengakuan sosial yakni kemiskinan. Di sini berlaku dua identitas:
pertama statusnya sebagai warga dilakukan dengan menegaskan identitas sosialnya
sebagai orang miskin; kedua status kewargaannya secara umum -yang diperoleh
setelah status sosialnya diungkap- didapatkan untuk kembali menegaskan status
sosialnya yang pertama: sebagai orang miskin. Dengan demikian di sini yang terjadi
adalah arus bolak-balik antara status sosial dan status legal: status Masyidin sebagai si
miskin dan Masyidin sebagai warga negara Indonesia saling mengisi dan saling
menegasi. Uniknya, akhir dari proses dialektis status politiknya dan status legal
kewargaanya ini menghasilkan sintesis lama yang tetap dan sama yakni fakta brutal
bahwa Musyidin tetap miskin.

Dengan demikian di sini, status sosial dan status legalnya sama sekali tidak
mengubah state of being sang subyek. Di titik inilah, kita menemukan sebuah logika
dan faktor lain yang memperlihatkan batas-batas bio-politics dan konstruksi negara.
Apabila dalam kasus Ahmadiyah dan perempuan negara bisa memediasi dan
memainkan peran keagenan untuk mentransformasi ‘manusia Indonesia’ dari status
‘naked lifenya’ ke dalam konstruksi partikularnya –dengan mengekslusinya sebagai

29http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0510/14/daerah/2126378.ht

m. Diakses 26 April 2009, pukul 15.30. wib.

14
bukan warga (dalam kasus Ahmadyah) atau sebagai ‘manusia keramat’ (dalam kasus
perempuan), maka berhadapan dengan kemiskinan, negara sama sekali tidak memiliki
kemampuan untuk mentransformasi kondisi ‘naked life’ itu: Musyidin yang miskin
tetap miskin baik dengan ataupun tanpa KTP Republik Indonesia. Negara tidak
memiliki kekuatan untuk mentransformasi identitas subyek ekonomi kemiskinan ke
subyek ‘kesejahteraan’. Di titik inilah kita menemukan bahwa konstruksi politik
kewargaan yang dilakukan negara terbatas pada bentuk ‘kewargaan politik’ bukan
‘kewargaan sosial’.

Keadaan ini sebenarnya menandai sebuah kekosongan yang lebih besar, yang akarnya
mungkin bisa ditelusuri dalam pergolakan dan dialektika antara universalisme
konsepsi rakyat dihadapan penantang partikularnya (identitas kelas) semenjak era
revolusi dulu. Kemunculan gagasan rakyat sebagai diskursus dominan yang dipakai
semenjak perjuangan kemerdekaan dan nasionalisme Indonesia rupanya tidak
terlampau banyak dimaknai oleh artikulasi kepentingan kelas sosial bawah dalam
masyarakat Indonesia kontemporer. Keadaan ini memperjelas fakta sosial yang lain
lagi yakni bahwa bahkan dalam koordinat demokrasi kontemporer, politik
kesejahteraan yang mestinya diemban oleh suatu politik kelas memang tidak muncul.
Pertanyaan mengenai keadilan dan kesejahteraan sosial juga tidak pernah datang dari
suatu ‘politik identitas’ yang jelas dan terorganisasi dari bawah.

Di titik ini, berbeda dengan sejarah negara-negara Skandinavia yang demokrasinya


menyediakan basis bagi bentuk-bentuk kewargaan sosial, di Indonesia demokrasinya
masih belum bisa dimanfaatkan untuk menyelenggarakan hal yang sama seperti di
Skandinavia itu. Dengan kata lain, kewargaan Indonesia masih sebatas didefinisikan
sebagai kewargaan politik dan belum kewargaan sosial.

VI. ‘Manusia Indonesia’ yang Terfragmentasi

Berdasarkan pemaparan di atas, diketahui bahwa persoalan mengenai kewargaan


selalu muncul dalam suatu matriks kontestasi dan artikulasi. Ia selalu melibatkan
pertentangan, ideologi dan politisasi yang kompleks. Sehingga dengan itu, persoalan
ini hanya mungkin dapat dipahami sebagai suatu proses dialektis. Konsepsi
kewargaan bergerak dan berubah seiring dengan berbagai relasi dan kontradiksi
dalam suatu matriks ekonomi-politik Indonesia.

Dalam gambaran yang lebih makro, kenyataan ini ditegaskan oleh Sosiolog Bryan S.
Turner ketika ia mengajukan globalisasi dan politik seksual sebagai pemicu
munculnya kontradiksi dalam identitas dan kewargaan kontemporer.

Di dalam globalisasi, persoalaan mengenai kewargaan muncul sebagai akibat dari


tantangan terhadap bentuk-bentuk tradisional negara-bangsa oleh berbagai
perkembangan dalam ekonomi-politik internasional misalnya meluasnya rejim
monoter, naik/turunnya doktrin Marshall mengenai negara sosial, perpindahan buruh
migran, krisis perbatasan yang melahirkan pengungsi dan stateless peoples.
Sementara menguatnya diskursus mengenai politik seksual -yang berkombinasi
dengan perkembangan dalam dunia biologi dan pengobatan modern- menyumbang

15
pada pertanyaan mengenai hubungan antara tubuh dan dunia sosial serta dimensi
etis/politis mengenai tubuh dan otoritas-otoritas di belakangnya (biopolitics). 30

Berdasarkan dua faktor ini Bryan S. Turner kemudian menyimpulkan bahwa,


pemikiran mengenai kewargaan pada dasarnya akan berurusan dengan empat masalah
mendasar yakni: (a) hak-hak dan kewajiban sosial; (b) bentuk atau tipe-tipe dari hak-
hak dan kewajiban tersebut; (c) kekuatan-kekuatan sosial yang memproduksi
diskursus mengenai hak dan kewajiban tersebut; (d) berbagai penataan sosial yang
berwenang mendistribusikan hak-hak dan kewajiban itu dalam berbagai sektor
masyarakat.31 Dengan demikian, ringkasnya, setiap kali kita membicarakan persoalan
kewargaan maka kita membicarakan suatu konstruksi tertentu mengenai subyek
politik modern dalam relasinya dengan praktek politik, hukum, sejarah dan kekuatan-
kekuatan ekonomi serta kebudayaan.

Dari sini, lebih jauh lagi, harus dikatakan bahwa sebagai bagian dari suatu konstruksi
mengenai identitas, maka kewargaan mesti dilihat dalam relasi diskursif yang
kompleks. Dengan kata lain, ringkasnya, dengan melampaui model atau tipe ideal
yang diajukan oleh Turner, kewargaan harus dipandang dalam istilah Ernesto Laclau
dan Chantall Mouffe sebagai diskursus.32 Dengan diskursus yang dimaksud adalah
totalitas yang distrukturkan yang merupakan hasil dari praktik artikluasi. Diskursus
adalah fiksasi makna di sekitar nodal point dalam domain yang partikular. Nodal
Point adalah arena di mana makna-makna mengalami kristalisasi.

Oleh karena itu dalam pemahaman Laclau dan Mouffe, tubuh sebagai diskurs
misalnya, harus dipahami sebagai elemen yang memiliki beragam pengertian yang
saling berkontetasi. Dalam diskurs dunia medis Barat tubuh dimaknai dalam
pengertian yang spesifik, solid tapi terbagi-bagi dalam aneka fakultas (unambiguous),
sementara dalam diskurs dunia Timur, tubuh lebih diberi makna yang lebih lentur tapi
solid. Sementara dalam diskurs agama, tubuh senantiasa dikaitkan dengan ‘jiwa’.
Tubuh adalah instansi duniawi yang nantinya harus dihancurkan oleh “roh’.
Singkatnya, tubuh sebagai diskursus, adalah arena artikulasi dari berbagai kekuatan
dan praktek.

Akibatnya, pengukuhan manusia (human species) ke dalam beragam identitas tubuh


kepolitikan harus dipahami terjadi melalui sebuah keterpecahan yang fundamental; ke
dalam kelas, jender dan etnis. Itu artinya tidak ada manusia yang ‘pure human’ atau
dalam istilah Agamben tidak ada lagi forma kehidupan ‘naked life’. Tidak ada
kehidupan yang telanjang, setiap kehidupan telah tampil dalam forma yang telah
diselubungi, dibentuk, dan dimaknai secara sosial, politis, ekonomis. Dengan
demikian, akibatnya, persoalan mengenai siapa itu manusia, siapa itu rakyat,
senantiasa mengandung dalam dirinya sebuah retakan bio-politik. Singkatnya, begitu
istilah identitas disebut sebagai identitas maka identitas di sini mesti dimengerti
sebagai identitas yang tidak perawan.

30
Untuk ini lihat dalam Bryan. S Turner (1993), Contemporary Problems in the
Theory of Citizenship dalam Turner (ed), Citizenship and Social Theory (London,
Newbury Park, New Delhi: Sage Publications), hlm. 1-2.
31
Turner, Contemporary Problems in The Theory of Citizenship, hlm. 3.
32
Mengenai ini lihat dalam Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (1985), Hegemony
and Socialist Strategy, (London dan New York: Verso), hlm. 105.

16
Dengan demikian, di sini kita mengakui kerja operasi politik atau dalam hal ini
negara dan lembaga-lembaga sosial lainnya dalam memberi identitas warga.
Pengakuan akan politik/negara adalah pengakuan akan terbukanya kontestasi untuk
mentransformasikan identitas secara langsung dan membentuk forma-forma
kehidupan. Di titik ini sebenarnya, secara mendasar kita sedang bergerak kembali
kepada asumsi lama yang dikemukakan oleh Hobbes mengenai pentingnya
transformasi identitas manusia dari ‘status alamiahnya’ ke arah ‘status sosialnya’.
Transformasi ini yang menjejakan identitas baru dari ‘mahluk jalang’ dalam ‘bare
life’ menjadi ‘warga’ dalam sebuah negara.

Yang bermasalah dalam argumen Hobbes adalah bahwa ‘kejalangan’ itu dianggapnya
hanya bisa ditaklukkan oleh sebuah negara yang mampu tampil sebagai ‘supra
jalang’. Dengan kata lain, identitas dan status kewargaan dalam Hobbes, sepenuhnya
identitas yang dibentuk secara satu arah oleh negara. Singkatnya warga di dalam
‘republik’ Hobbesian warga yang ‘ditaklukkan’ oleh negara. Kewargaan yang muncul
di sini semata-mata dibasiskan pada efektifitas hukum yang represif. Di titik inilah
praktek politik kewargaan Orde Baru boleh dibilang adalah politik kewargaan
Hobbesian yang disofistikasi dan dikombinasikan dengan suatu antropologi politis
yang totaliter yakni dengan semacam ideology kekeluargaan atau negara integral.
Dengan kata lain apabila dibandingkan, di dalam Hobbes ada warga yakni warga
yang takut, sementara di dalam Orde Baru tidak ada warga, karena warga di situ
sudah dileburkan ke dalam tubuh kepolitikan negara. Singkatnya, negara Orde Baru
tidak menghendaki adanya ‘retakan’ secuilpun dalam proses identifikasi warga.

Berakhirnya Orde Baru, menghasilkan semacam syarat-syarat transformasi ke arah


state of social yang baru dalam pembentukan identitas dan kewargaan di Indonesia.
Yang jadi soal adalah, berakhirnya Orde Baru diikuti juga dengan berakhirnya
konstruksi lama mengenai siapa ‘manusia Indonesia’ itu. Di sini, terbentuk semacam
situasi kembalinya ‘bare life’ yang mengundang kontestasi dan artikulasi yang
beragam mengenai siapa ‘manusia Indonesia’ setelah Orde Baru itu.

Di titik inilah kita mesti memandang dan memahami secara serius politik kewargaan
yang muncul dalam kasus Ahmadiyah dan kasus ‘celana dalam gembok’. Melalui
kedua kasus itu kita menyaksikan munculnya dua gejala kuasa. Pertama tumbuhnya
rejim identitas baru yakni rejim kesalehan yang dalam konsepsi Bourdieu bekerja
untuk menentukan mana tubuh yang sah dan mana tubuh tidak sah (legitimate body).
Rejim identitas itu tampil dalam beragam jabatan sosial seperti ‘moralist and
especially the clergy, doctors (especially healt specialist),educators in the broadest
sense (marriage guidance councellors, etc)…33 Dalam kasus Indonesia, apa yang
disebut moralis oleh Bourdieu juga meliputi kaum politisi dan birokrat. Kedua,
kemunculan rejim identitas baru ini juga diikuti kehendak untuk mentotalisasi
manusia melalui suatu politik kewargaan dengan sistem identifikasi tunggal yaitu
identitas agama.

Lebih rinci lagi, apabila mau ditambahkan, dalam arena yang lebih subtil, operasi
totalisasi dalam rekonstruksi ‘manusia Indonesia’ baru ini juga bergerak dalam
beragam pemaknaan dan pembentukan ‘citra’ manusia secara langsung. Pembentukan

33
Pierre Bourdieu (1978) Sport and Social Class dalam Social Science Information
No 17, hlm. 819-840.

17
dan pembakuan manusia baru ini nampak mulai dari gejala perubahan seragam
sekolah dari celana pendek ke celana panjang untuk siswa SLTP, pemakaian busana
agamis di sekolah-sekolah publik, kuantifikasi manusia dari IQ menjadi ESQ, syarat-
syarat agamis untuk jabatan-jabatan publik, penetapan ‘kota halal’ sebagai identitas
kota, slogan ‘tingkat harkat bangsa dengan makan dengan menggunakan tangan
kanan’ sebagaimana ditemukan di beberapa kota di Jawa Barat. Seluruh proses ini
memutar balik dan berkontradiksi dengan aspirasi kebebasan, hak asasi manusia dan
kesetaraan yang merupakan dasar normatif bagi penghancuran negara Orde Baru
sebelumnya.

Lebih jauh lagi, keseluruhan identifikasi tunggal atau totalisasi agama ini secara
ironis juga berkontradiksi dengan kenyataan ekonomi dan sosial. Rejim kesalehan ini
bergerak secara paralel dengan kenyataan sehari-hari yang selama ini diklaim bisa
dibereskannya; kemiskinan, wabah narkoba, penikmatan dunia berlebih-lebihan
dalam masyarakat konsumstif baru. Di titik inilah rejim kesalehan secara unik justru
hidup ‘serasi dan seimbang’ dalam satu habitat bersama dengan budaya industri
pembangunan kapitalis kontemporer.

Akibatnya, di titik ini, boleh dikatakan ‘manusia Indonesia’ sekarang adalah manusia
yang terfragmentasi dalam berbagai artikulasi ideologi dan politik. Sosok fantasmatis
dari manusia yang retak ini kemudian digambarkan nyaris lengkap dalam produk
kebudayaan pop sejenis novel dan filem ‘Ayat-ayat Cinta’ yang digemari itu, di mana
di situ, si subyek (dalam hal ini si laki-laki) digambarkan sebagai subyek yang saleh
se-saleh-salehnya tapi yang sekaligus bisa mencapai kenikmatan dunia/cinta romantis
yang senikmat-nikmatnya. Inilah retakan atau persimpangan dalam identitas ‘manusia
Indonesia’ mutakhir. Dengan demikian, apabila ditanyakan siapakah ‘manusia
Indonesia’ itu kini, maka tidak ada lagi jawaban tunggal yang bisa disediakan.

VII. Penutup: Republik sebagai Batas Minimal

Yang jadi soal kemudian adalah apabila politik kewargaan ini didefinisikan
sepenuhnya terbuka, apabila siapa manusia Indonesia itu tidak lagi bisa ditetapkan
ciri-ciri atau tetapan sosio-antropologisnya, maka dengan syarat-syarat yang
bagaimanakah sebuah kehidupan publik yang relatif beradab bisa dilaksanakan?

Di titik inilah kita mesti merumuskan sejenis platform untuk memberikan jeda bagi
kontestasi pemaknaan dan artikulasi dalam politik kewargaan ini. Untuk itu, batas dan
platform yang terbaik adalah dengan kembali kepada apa yang kita miliki yakni
konsepsi kebersamaan yang paling dasar: konsep republik dan warga dalam republik
atau polis yang diwariskan mulai dari Aristoteles, Machiavelli, Hannah Arendt hingga
Mohammad Hatta.34

Dalam republik, warga disebut sebagai warga karena ia terlibat secara bebas dan
setara dalam suatu praktek mempertahankan keutamaan umum (common good).
Dengan demikian identitasnya sebagai warga diperoleh dari kebebasan dan melalui
praktek dalam kebebasan. Kualitas warga dinilai dari kesertaanya dalam

34
Mengenai keseluruhan gagasan republikan yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh ini
lihat dalam Robertus Robet (2007) Republikanisme dan Keindonesiaan: Sebuah
Pengantar (Marjin Kiri: Jakarta)

18
memperjuangkan –dalam istilah Hatta- kemaslahatan umum. Inilah yang
memberikan status dan identitasnya kewargaan.

Dengan demikian, lebih jauh lagi, mengenai siapa warga, bukan pertama-tama
ditentukan oleh identitas komunitas di belakangnya –dalam hal ini negara-
sebagaimana yang sering secara keliru ditafsirkan oleh kaum komunitarian dan fasis-
juga bukan ditentukan oleh semacam identitas partikular dan kehidupan relijiusnya -
sebagaimana yang dikehendaki oleh kaum fundamentalis agama. Identitas warga
tidak ditentukan oleh agama dan kadar atau tingkat kesalehan, ras, etnis bahkan bukan
oleh aspirasi nasionalismenya. Seorang agamis dan nasionalis yang berapi-api tapi
korup, rasis, diskriminatif dan menghalalkan kekerasan, jelas bukan seorang warga
yang baik di dalam republik.

Dengan pandangan semacam ini, maka di dalam republik, bukan negara yang
membentuk identitas warga, tetapi wargalah yang membentuk identitas negara.
Negara adalah ekspresi dari warga. Oleh karenanya negara juga mesti merefleksikan
keutamaan umum. Di titik inilah, konsepsi republikan itu juga bisa didorong untuk
memberikan kerangka negara sosial yang inklusif. Ekspresi yang publik di dalam
negara akan mengharuskan negara mengambil sikap/berperan dalam praktek
perlindungan hak-hak termasuk hak sosial. Di dalam republik yang baik yang privat
dipertahankan tetapi dipertahankan di bawah polis. Dengan pendasaran ini, negara
diwajibkan untuk mengambil semacam sikap etis untuk mentransformasikan subyek
sebagai warga dengan previledge politik, hukum dan ekonomi sekaligus. Di titik
inipula maka istilah kewargaan jauh lebih tepat untuk digunakan ketimbang istilah
kewarganegaraan. Kewargaan menyandarkan diri pada basis warga yang otonom dan
partisipatif sementara istilah kewarganegaraan menyandarkan diri pada basis docile
body sandaran totaliterianisme.

Indonesia adalah sebuah komunitas dengan nama depan REPUBLIK. Nama ini tidak
muncul dan diberikan tanpa sadar. Republik adalah hasil dari sebuah kesadaran dan
keputusan dalam sejarah politik kita yang masih kita terima hingga saat ini. Yang jadi
soal adalah –sebagaimana ditegaskan oleh Arendt- republik hanya tampil sebagai
republik apabila ia dialami dan dipertahankan di dalam praktek. Tanpa praktek,
republik adalah sekedar nama untuk masa lalu. Ahmadiyah, perempuan dan kaum
miskin adalah warga dalam republik kita. Mereka boleh memiliki perbedaan
partikular dengan warga yang lain, tetapi perbedaan itu tidak dapat menghanguskan
status mereka sebagai warga. Di dalam republik, Ahmadyah, perempuan dan kaum
miskin berhak atas kesamaan diskurs untuk mengakses common good.

Penyingkiran legal, terhadap Ahmadiyah, opresi terhadap tubuh perempuan dan


diskriminasi terhadapnya serta reproduksi kemiskinan harus dipandang sebagai
penghancuran segi-segi paling mendasar dan platform kehidupan bersama dalam
republik. Praktek-praktek itu menandai tergesernya paham dan aspirasi republik oleh
invasi ‘yang privat’ dalam bentuknya yang paling primitif. Di titik ini pada akhirnya,
perjuangan dan niat mempertahan republik sebagai warisan sejarah kita, hanya bisa
dilakukan dengan mensyaratkan pulihnya hak-hak Ahmadiyah, kaum perempuan dan
kaum miskin.

19
Daftar Pustaka

Agamben, Giorgio (2005), State of Exception, diterjemahkan dari bahasa Italia oleh
Kevin Attell (Chicago dan London: The University of Chicago Press).

Agamben, Giorgio (1998), Homo Sacer: Sovreign Power and Bare Life, (Stanford:
Stanford University Press).

Bourdieu, Pierre (1978) Sport and Social Class dalam Social Science Information No
17.

Breman, Jan (1997) Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada awal Abad ke-20
(Pustaka Utama Grafiti: Jakarta).

Dean, Kathryn (2003), Capitalism and Citizenship: The Impossible Partnership


(London dan New York: Routledge).

Dhakidae, Daniel (2003 ), Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru
(Jakarta: Gramedia).

Foucault, Michel (1977), Discipline and Punishment (Tavistock: London).

Foucault, Michel (1978) The History of Sexuality: 1 (The Will to Knowledge)


(Penguin Books: London).

Hegel, G.W.F. (1929), Philosophy of History dalam Jacob Loewenberg (editor),


Hegel: Selections (Scribner's Sons: New York)

Heryanto, Ariel (2008) Pop Culture and Competing Identities dalam Ariel Heryanto
(editor) Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics
(London dan New York: Routledge).

Kenken (artikel tanpa tahun penerbitan), “Sejarah Panjang Kewarganegaraan”.


disajikan dalam Forum Diskusi Budaya Tionghoa dan Sejarah Tiongkok.

Kittley, Phillip (1999), Pancasila in the Minor Key: TVRI’s Si Unyil Models the
Child dalam Indonesia 68 (October 1999).

Laclau, Ernesto dan Mouffe, Chantal (1985), Hegemony and Socialist Strategy,
(London dan New York: Verso).

Linz, Juan. J (1996), The Religious use of politics and/or the political use of religion:
ersatz ideology versus ersatz religion dalam Hans Maier (ed) Totalitariansm and
Political Religions: Concept for the Comparisson of Dictatorship (London dan New
York: Routledge)

20
Lubis, Mochtar, (2001), Manusia Indonesia: (sebuah Pertanggungjawaban),
(Yayasan Obor Indonesia: Jakarta).

Lukes, Steven (1933) Five Fables About Human Rights dalam Stephen Shute dan
Susan Hurley (editor) On Human Rights: The Oxford Amnesty Lectures 1993 (New
York: BasicBooks).

Moertopo, Ali, (1972), Some Basic Thoughts on The Acceleration and Modernization
of 25 Years Development (Yayasan Proklamasi Centre for Strategic and International
Studies: Jakarta).

Robet, Robertus (2007) Republikanisme dan Keindonesiaan: Sebuah Pengantar


(Marjin Kiri: Jakarta).

Shilling, Chriss (2004) The Body and Social Theory (London: Sage Publications).

Soeharto (1976), Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila, Krissantono


(editor), (Yayasan Proklamasi CSIS: Jakarta).

Soeharto (1982) Presiden Soeharto Tentang Ha-Na-Ca-Ra-Ka dan Sangkan Paraning


Dumadi dalam Jurnal Mawas Diri, November 1982.

Soekarno sebagaimana dikutip dalam Soekrno (2002), Api Perjuangan Rakyat:


Kumpulan Tulisan Terpilih Bung Karno, Tim LKEP (editor), (LKEP dan Kekal
Indonesia: Jakarta dan Bogor).

Toer, Pramudya Ananta (2006), Bumi Manusia (Lentera Dipantara: Jakarta).

Turner, Bryan S, (1993), Contemporary Problems in the Theory of Citizenship dalam


Turner (ed), Citizenship and Social Theory (London, Newbury Park, New Delhi: Sage
Publications).

van Niel, Robert(1984), Munculnya Elit Modern Indonesia (Pustaka Jaya: Jakarta.

Wahjono S.H. Prof, Padmo(1981), Bahan-bahan Pedoman Penghayatan dan


Pengalaman Pancasila (Jakarta: Aksara Baru)

21
22

Anda mungkin juga menyukai