Anda di halaman 1dari 12

Sejarah, Bahasa, dan Kekuasaan:

Wacana Etnisitas dalam Historiografi Indonesia


Fadly Rahman
Alumnus Program Studi S2 Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada

Abstract
When ethnology was institutionalized, it became a politic of knowledge by the colonial power.
Many of the texts and images were published in the form of monographs, maps, dictionaries and
even Bible form. Ethnic identity was mapped. Today the construction of ethnicity is important.
In Indonesia ethnicity is a sensitive issue. Bias, stereotype and interethnic conflict often happens
throughout the history of Indonesia. This paper tries to analyze the connection between history,
language, and political power as an early construction of ethnic identity in Indonesia by tracing
works in Indonesia historiography.

Keywords: ethnicity, history, language, political power, historiography

Abstrak
Ketika etnologi terlembagakan, ia mejadi alat politik pengetahuan bagi penguasa kolonial. Banyak
teks dan gambar diterbitkan dalam bentuk monograf, peta, kamus dan bahkan Injil. Identitas
etnik dipetakan. Sekarang, konstruksi etnisitas menjadi isu penting dan sensitif di Indonesia. Bias,
stereotipe dan konflik antaretnik sering terjadi sepanjang sejarah Indonesia. Penelitian ini mencoba
menganalisis hubungan antara sejarah, bahasa dan kuasa politik sebagai sebuah konstruksi awal
identitas etnik di Indonesia, dengan menelusuri karya-karya historiografi Indonesia.

Kata kunci: etnisitas, sejarah, bahasa, kuasa politik, historiografi

Pengantar jalan untuk mengenali segala tindakan baku


bagaimana manusia mengubah alam, termasuk
Sebagai penanda sejarah, keberaksaraan
badannya sendiri atau badan orang lain.
merupakan sebuah pintu gerbang bagi umat
Ketika sudah menyadari akan tubuhnya
manusia memasuki sebuah dunia baru:
sendiri, alhasil, tulisan pun menata lisan
kesadaran. Tulisan menata kesadaran manusia
dan daya ingat manusia menjadi lebih tertib.
akan alam dan persentuhan dengan rupa-
Kata ”tertib” ini sering terkesan baik, tapi
rupa kehidupan yang melingkunginya. Dan
nyatanya, sering pula berbuah buruk bagi
tentu saja tulisan sebagai sebuah jalan hidup
kesadaran manusia. Dikatakan buruk, karena
berfungsi untuk menata kesadaran manusia
tulisan mereduksi memori kolektif manusia
akan tubuhnya sendiri. Seperti juga dibilang J.
terhadap hakikat batas-batas kesadaran
Honnigman (Honnigman, 1959), sebagai sebuah
116 Lembaran Sejarah, Vol. 10, No. 2, Oktober 2013

hidup pendahulunya yang lebih bersih dan bangsa modern. Namun jika ditilik ke masa
bersahaja.1 Setidak-tidaknya semua kesadaran dua abad sebelumnya, spirit kapitalisme
yang dihasilkan dari persentuhan dengan sebagai embrio bangsa, sebenarnya kelanjutan
keberaksaraan ini berjalan merayap dalam dari etika Protestan yang mengakhiri Abad
jangka waktu lama hingga akhirnya berhenti Kegelapan di Eropa pada abad ke-16. Setelah
pada masa yang penuh guncangan mental Guttenberg menerjemahkan dan mencetak Injil
kebudayaan bagi kehidupan manusia. Masa pertama dari bahasa Latin ke dalam bahasa
ini ditandai dengan meluasnya kesadaran Jerman, syahdan hal itu menjadi semacam
manusia ketika hubungan bahasa dan aksara pembuka jalan bagi reformisme gereja yang
menu(m)buh dalam hidup keseharian. Bahasa dipelopori Martin Luther di Jerman dan Jean
manusia pun ditata-tertib oleh aksara. Tanpa Calvin di Swiss. Melalui print-capitalism Injil,
sadar manusia telah terliyankan dirinya keduanya berandil menanamkan persekutuan
oleh kelindan kata-kata yang dipakai untuk Protestanisme dan kapitalisme di Eropa masa
menunjuk bahwa dirinya dan orang lain itu. Maka terciptalah khalayak pembaca Injil
adalah berbeda. Sekat-sekat perbedaan pun baru (yang tidak paham teks Latin) dengan
kian menyempit, mengecil, dan mungkin terus jumlah sangat besar, termasuk di dalamnya
menyusut pada skala yang lebih renik. para pedagang. Geger keterbacaan Injil ini
Budaya literasi juga adalah biang utama melahirkan negara-negara penting pertama
yang menyebabkan kian rumitnya kesadaran di Eropa yang non-dinastik atau tidak lagi
eksistensial manusia. Pada masa masih luasnya diperintah turun-temurun oleh wangsa-wangsa
iliterasi, kesadaran hanya ditularkan melalui ningrat (Nairn, 1977).2
pelisanan teks-teks oleh segelintir orang melek Berpijak pada pemikiran pengantar di
aksara (literate) kepada mereka yang buta atas, tulisan ini akan mengajak pada realitas
aksara (illiterate). Namun, ketika manusia bagaimana perkembangan budaya literasi
berjebah dengan kemelekan aksara, segala di Indonesia tanpa banyak disadari berandil
kesadaran individual dan komunal tumbuh- membangun berbagai kesadaran eksistensial,
subur, mulai dari etnik, agama, hingga bangsa. mulai dari etnik hingga bangsa. Dengan lain
Tentu saja, kesadaran identitas sudah kata, teks-teks telah menyuruk masuk dalam
menggejala lampau sekali dalam sejarah identitas dan mentalitas kebudayaan.
umat manusia. Salah satu bagian masa paling D e n g a n m e n g e t e n g a h k a n r e fl e k s i
belakangan adalah kondisi dunia pasca- historiografis terhadap wacana sejarah etnisitas
Revolusi Industri akhir abad 18. Sebuah di Indonesia, maka tulisan ini dimaksudkan
masa yang membidani lahirnya kapitalisme untuk memetakan bagaimana jalur-jalur
modern di Eropa hingga mengembang menjadi kesadaran diri dibentuk melalui budaya literasi
pax-imperialisme pada abad 19. Revolusi hingga bermuara pada pengembangan politik
dengan etos kapitalismenya inilah yang identitas etnik pada abad 19. Tentu saja, ini
sering dibilang menjadi akar dari konsep hanya sebentuk ikhtiar kecil menata ulang
kesadaran eksistensial dari sebagian besar
1 Dalam istilah orang Eropa atau kaum etnolog pada abad
19, ”noble savages” lazim dipakai untuk menyebut manusia-
historiografi Indonesia yang ada.
manusia yang masih murni, lugu, dan baik hidup di tengah-
tengah peradaban dan kemajuan pesat yang merusaknya.
Seperti dikatakan Rousseau dalam Discours sur l’origine de
l’inégalité parmi les hommes (1755), bahwa manusia pada
mulanya dan pada dasarnya adalah makhluk yang suka
damai dan baik; tetapi sifat-sifat yang terutama tampak 2 Tom Nairn mengatakan bahwa ‘bangsa’ lahir dari suatu
dalam masyarakat primitif yang serba tentram itu dirusak kebutuhan sosial dalam satu tahap perkembangan
oleh peradaban dan kemajuan sebagai biang degenerasi masyarakat yang terkait erat dengan penciptaan pasar
masyarakat. ekonomi.
Fadly Rahman
Sejarah, Bahasa, dan Kekuasaan: Wacana Etnisitas dalam Historiografi Indonesia 117

Tinjauan Ulang atas Perkembangan Dalam kasus di Indonesia, ketika pada


Wacana Historiografi Indonesia 1957 Seminar Sejarah diselenggarakan, terjadi
ambivalensi menyikapi historiografi nasional
Apa yang membuat masa lalu seringkali
sebagai ekspresi dari politik dekolonialisasi
menjadi berjarak dari kekinian dan keakanan?
saat itu. Satu pihak menyikapi historiografi
Pun apa yang menjadikan masa lalu dikesankan
nasional secara cupet. Pihak lain menyikapinya
menjadi sekedar mitos yang menjauhi realitas?
secara kritis. Akan tetapi, jalan yang cenderung
Tidak lain dan tidak bukan, ini dihasilkan oleh
diambil penguasa terhadap sejarah nasional
pembacaan dan pemaknaan masa lalu yang
Indonesia adalah sejarah sebagai legitimasi
menyimpang. Kemenyimpangan inilah yang
politik. Maka pihak pertama seringkali
membuat kesadaran masa kini juga menjadi
mendapat angin untuk mendukung legitimasi
menyimpang. Sumber-sumber sejarah yang
sebuah rezim kekuasaan. Bukan hanya
sejatinya mendedahkan kenyataan, malah
demi melegitimasi bangsa, namun semua itu
sebaliknya: menutupnya. Keadaan ini membuat
bertumpang-tindih juga dengan penekanan
realitas masa lalu menjadi mitos yang baru
dominasi etnik tertentu dalam sejarah nasional.
sebatas dijelaskan. Meminjam perkataan Paul
Salah satu yang pernah ditancapkan adalah
Ricouer (2006): ”kita telah menjelaskan mitos,
relasi mitos dan kekuasaan, sebagaimana
tapi belum menafsirkannya.”
Muhammad Yamin menyiratkan superioritas
Di sinilah historiografi sedianya Majapahit dalam karyanya 6000 Tahun Sang
didudukkan untuk meretas mitos dengan Merah Putih (1960). Di tangan orang macam
cara menafsirkannya. Namun tafsir di sini Yamin, sejarah Indonesia menjadi cuma
dikerangkai epistemologi yang berbeda dari laku setumpukan mitos yang tidak tertafsirkan.
para sejarawan terdahulu. Dalam hal ini terjadi ”Jawa adalah Indonesia, Indonesia adalah
pergeseran paradigma sejarah dari semula Jawa” seakan menjadi aforisme sejarah
analisis-empiris ke narasi-lingustik. Pergeseran nasional yang kontras dengan realitas sebuah
ini berasal dari berakhirnya keragu-raguan negara-kesatuan yang dihuni oleh ratusan
epistemologi kaum dekonstruksionis Eropa etnik dalam sebaran nusa-nusa.4
dan lingkaran intelektual pos-strukturalis
pada 1960-an. Telah terjadi pergeseran
gagasan sejarah sebagai sebuah konstruksi Carlo Ginzburg dan Giovanni Levi memelopori microhistory
pada 1970-an. Jenis sejarah yang juga disebut le petite histoire
ke arah pengetahuan masa lalu yang dapat (sejarah kecil) ini sebelumnya dibenihkan oleh sejarawan
diprediksi oleh suatu paradigma baru: sejarah Perancis, Henri Lefebvre pada 1950-an hingga generasi
sejarawan Emmanuel le Roy Ladurie yang mengkritik
kebudayaan. Sejarah dalam epistemologi ini
kekurangan sejarah total sebagaimana pernah digadangkan
berkaitan dengan konstruksi bahasa (Munslow, Fernand Braudel. Sejarah total bagi generasi sejarawan
2003: 182-183). Maka, sejarah kian cenderung microhistory dianggap belum mampu mengungkap hal-hal
renik dalam kehidupan masa lalu manusia. Merespons
menekankan koneksitas antara masa lalu, paradigma ini pada 1980-an di Jerman muncul juga aliran
bahasa, dan teori sosial. Hal yang dihasilkan Alltagsgechichte (sejarah sehari-hari) oleh Alf Ludtke sebagai
penerus wacana terdahulu dari Henri Lefebvre yang
sejarawan sejak 1960-an yaitu mengembalikan
menggagasnya pada 1950-an di Perancis.
perhatian sejarah kepada narasi, simbol 4 Menariknya, Indonesianis cum sejarawan semisal M.C.
dan representasi sebagai usaha mengenali Ricklefs dalam karyanya A History of Modern Indonesia (2005)
pun mengamini Jawa sebagai representasi Indonesia.
aktivitas-aktivitas orang di masa lampau Sebagaimana tiga unsur alasan yang ia uraikan: secara
dalam “membuat sejarah” serta hubungannya historiografis sejarah Jawa paling banyak dikaji dari
yang luar Jawa; demografi penduduk Jawa lebih besar
dengan masa kini (Burke, 2001; Delacroix,
dari luar Jawa; dan Jawa sebagai pusat sejarah politik
Dosse & Garcia, 2003).3 sepanjang masa. Berbeda halnya dengan model l’histoire
totale yang dibuat pada 1990 oleh Denys Lombard dalam
3 Di Eropa dan Amerika, tren historiografi baru muncul Le carrefour javanais: Essaie d’histoire globale-nya sekedar ingin
selepas masa kolonial dan Perang Dunia II. Sejarawan Italia menunjukkan bahwa Jawa tidak didudukkan sebagai
118 Lembaran Sejarah, Vol. 10, No. 2, Oktober 2013

Meski begitu, pada 1960-an penafsiran masyarakat yang illiterate. Namun, melalui
terhadap sejarah Indonesia sebenarnya telah dua sumber literer Jawa klasik ini, Johns
diretas melalui praktik wacana keilmuan menafsirkan mitos yang memuat pemahaman
sejarah yang menyadarkan. Misalnya dalam mendalam atas simbol-simbol universal dalam
penelitian peran organisasi struktural dan kekuasaan raja-raja Jawa. Hakikatnya, kedua
mitos dalam historiografi Jawa seperti kitab sejarah klasik itu pun menjadi semacam
dilakukan Anthony H. Johns (Johns, 1964). profetik atas struktur kekuasaan dalam budaya
Johns menafsir secara hermeneutik mitos politik Jawa.
kekuasaan yang berada di balik dua sumber Johns mulai menyibak mitos, bahwa
klasik historiografi Jawa, Pararaton dan pengetahuan sejarah adalah permainan
Babad Tanah Jawi. kekuasaan. Kelompok dan ideologi dominanlah
Menurut Johns, kisah dalam Pararaton yang membentuk cara berpikir manusia. Jika
sarat akan symptom tatanan kosmik yang berlandas pada falsafah foucaultian, akan
sengaja ditanamkan untuk melegitimasi terasa sekali jika memasuki rekam jejak relasi
kekuasaan raja-raja Jawa masa Singhasari budaya literasi dengan kekuasaan politik
hingga masa Majapahit. Begitupun halnya masa-masa kerajaan di Indonesia. Utamanya
dengan pemaknaannya atas Babad Tanah mitos, senantiasa meraga dalam rupa-rupa
Jawi. Kitab yang meriwayatkan Kerajaan kitab tradisional. Babad, carita, tambo, dan
Mataram di Jawa Tengah (1582 – 1749) dibuka hikayat adalah sekian bukti contoh jenis kitab
dengan kisah penyatuan genealogi dewa-dewa yang banyak mengetengahkan relasi mitos
Hindu dan nabi-nabi dalam Islam, keturunan dengan kekuasaan.
para dewa di bumi, dan pendirian beragam Ketika masa-masa sumber literer klasik
tatanan dalam kehidupan. Pengisahan itu diproduksi pada zamannya, hanya raja,
pasang-surut hingga berakhirnya kekuasaan pujangga, dan lingkungan istana sajalah yang
Majapahit (1293 – 1478) kemudian bergulirnya mengetahui latar belakang tujuan penulisan
kekuasaan Demak, Pajang, dan Mataram geneologi seorang penguasa sebagai turunan
pada abad ke-16, dalam babad ini dijalin dari para dewa, orang-orang suci, dan penguasa
padu sebagai historiografi Jawa masa Islam. masyhur. Tentu saja sekumpulan teks pada
Babad ini adalah wujud klaim kekuasaan zaman ketika budaya lisan masih melekat
seorang penguasa yang memberkati dirinya pada kehidupan manusia, itu semua lebih
dengan beragam kualifikasi demi memenuhi merupakan sarana legitimasi (Burke, 2003: 56,
fungsi-fungsi kosmik, dan menunjukkan Ginzburg, 1976, 1980).5
serta menghidupkan pembawaan sifat-sifat
ketuhanan pada dirinya.
Bisa dirasakan kedua kitab klasik Jawa 5 Jika menilik konteks literate di kalangan sosial yang
illiterate di Jawa lalu dibandingkan dengan konteks masa
itu adalah ikhtiar sang pujangga istana
Abad Pertengahan di Eropa, karya Carlo Ginzburg (1976), Il
menanamkan kekaguman, misteri, dan formaggio e i vermin (keju dan cacing-cacing), bisa menjadi
dinamika internal jiwa berupa harapan dan model untuk melihat bagaimana sebagai sejarawan,
Ginzburg punya cara dan daya jelajah yang memukau
ketakutan. Tekstualisasi mitos dibutuhkan dalam membaca naskah-naskah abad 16. Karya masyhur
untuk mengarungi hidup. Bisa dibayangkan, Ginzburg ini melihat despotisme gereja masa abad ke-16
dari sudut narasi seorang tukang giling (miller) gandum
pada masa lalu segelintir orang-orang di Jawa
bernama Menocchio. Melalui bakat melek aksaranya
yang melek aksara menjadi pencerita tangguh dan kemampuannya menulis di tengah kondisi iliterasi
dua kitab klasik Jawa tersebut di lingkungan masyarakat saat itu, Menocchio menjadi sosok yang tidak
diduga-duga berandil menelanjangi borok-borok gereja.
Dengan sifat kesegala-mungkinan masa lalu, maka dalam
sentrum, tapi sekedar le carrefour, “persilangan” budaya bagi konteks Jawa sangat mungkin untuk memunculkan sosok-
nusa-nusa di kepulauan Indonesia. sosok orang biasa macam Menocchio.
Fadly Rahman
Sejarah, Bahasa, dan Kekuasaan: Wacana Etnisitas dalam Historiografi Indonesia 119

Jika membicarakan tradisi tulis di Jawa tidak banyak ditekuni sejarawan secara
yang berlangsung sebelum manusia mengenal mendalam dalam historiografi Indonesia,
mesin cetak, ciri lazimnya, sebuah naskah Margana menyibak realitas dari wilayah ujung
ditulis hanya sedikit, bahkan hanya satu. timur Jawa yang kini bernama Banyuwangi
Kelas masyarakat yang melek huruf pun dengan identitas etnik Oesing-nya.
tidak banyak. Hanya mereka saja yang Pada abad ke-15, Blambangan adalah
memiliki akses ke keraton bisa membacanya. satu-satunya kerajaan Hindu terakhir di Jawa
Maka, berjenis-jenis kitab tradisional itu setelah runtuhnya kekuasaan Majapahit.
dibuat semata untuk dilanjutkan dalam fase Kekuasaanya mencakup sebagian besar
pelisanan. Di sinilah transmisi naskah berikut wilayah ujung timur Jawa. Namun sisi menarik
kandungannya menyebar ke masyarakat yang dari Blambangan adalah lokusnya sebagai
lalu melisankannya secara mewaris (Ong, 1989: sebuah last frontier antara Jawa dan Bali yang
82).6 Masyarakat Jawa masa iliterasi belum membuatnya selama hampir tiga abad berada di
memiliki kesadaran riil menyangkut relasi antara dua faksi politik yang berbeda. Pertama
mitos dengan kekuasaan raja-raja. Mereka adalah kerajaan Islam Mataram di Barat; dan
masih dibalut keimanan, bahwa segala rupa kedua adalah berbagai kerajaan Hindu di Bali
kegaiban menyatu dalam kekuasaan para raja (Gelgel, Buleleng, dan Mengwi). Blambangan
(O’Donnell, 2009: 10).7 diperebutkan untuk memuaskan ambisi politik,
ekonomi, dan agama kedua kerajaan tersebut.
Antara Mitos dan Realitas Lebih-lebih pada masa kekuasaan VOC
(abad ke-18), Blambangan menjadi semacam
Jelas, dari pemaknaan Johns, maka mitos
contested frontier antarberbagai bangsa (Jawa,
bukanlah sesuatu yang terberi/terbentuk,
Madura, Bali, Belanda, Inggris, Bugis, Mandar,
tapi diberi/dibentuk untuk suatu kepentingan
Cina, dan Melayu). Di dalamnya terjadi
politik dan kekuasaan. Pemaknaan macam
konflik, perang, perlawanan, kolaborasi,
yang dilakukan Johns terus menjalari para
perdagangan, penyelundupan, hingga sentimen
peneliti sejarah Jawa. Satu contoh temuan
etnis dan agama. Eksistensi Blambangan
yang mencengangkan adalah riset Sri Margana
sendiri berakhir oleh serangan koalisi VOC
(2012) Ujung Timur Jawa 1763 – 1813:
– Jawa – Madura atau bisa dikatakan ini
Perebutan Hegemoni Blambangan. Dengan
sebentuk simbol harmonis Islam dan Barat
membongkar-pasang (déconstruire) sumber-
yang berhasil memupus dominasi Hindu
sumber tekstual tentang Blambangan yang
dan Bali dari identitas Blambangan. Sebuah
kondisi yang menentukan perubahan politik,
6 Teorinya tentang pengaruh kelisanan, melek kirografik
ekonomi, dan kebudayaan di wilayah tersebut
(manuskrip), dan melek cetak, dengan mengatakan bahwa
“tulisan menata kembali kesadaran. (Margana, 2012: 23-66).
7 Mungkin ini sejalan dengan perkataan G.S. Kirk dalam
Di sini Margana menjungkirkan mitos
Myth: Its Meaning and Functions in Ancient and Other Cultures yang
mengatakan bahwa ”mentalitas primitif tidak menemukan Islam sebagai kekuatan yang melulu berperan
mitos-mitos, melainkan mengalaminya.” Namun begitu, melakukan resistensi terhadap kekuasaan
diksi ”mentalitas primitif” yang dipakai Kirk tidaklah
tepat untuk dipakai. Lebih tepat kiranya disebut sebagai
bangsa Eropa di Nusantara. Dalam kasus
masyarakat pra-literasi yang ditandai belum terbitnya Blambangan, Jawa dan Madura (baca:
kesadaran akan batas-batas nalar yang mengutubkan rasio
yang Islam) berkomplot dengan VOC demi
dan mitos. Saat ini pun ciri-ciri masyarakat itu masih bisa
didapati di lingkungan manusia yang belum tersentuh oleh menaklukkan perbatasan terakhir Jawa yang
modernitas. Makna kata ’mitos’ sesungguhnya dipakai mana juga diperebutkan oleh kekuasaan
untuk menunjuk konteks masa lalu yang justru dikonstruksi
pada masa sekarang. Mitos pada konteksnya yang klasik Hindu di Bali. Konteks perbatasan pun bukan
lebih merupakan realitas sosial budaya tersendiri, bukan hanya pada soal geografis saja. Hal yang
dinilai sebagai yang liyan (the other).
120 Lembaran Sejarah, Vol. 10, No. 2, Oktober 2013

lebih dilematis adalah batas etnisitas orang yang dipenuhi konflik hingga sentimen etnik
Blambangan yang berada di antara kultur Jawa dari masa selepas berakhirnya kekuasaan
dan Bali. Identitas mereka sendiri disematkan Majapahit sampai dengan abad 18. Perubahan
(Perret, 2010: 74-78) oleh para antropolog dan nama menjadi ”Banyuwangi” pun secara tidak
ahli bahasa sebagai Wong (orang) Oesing dan langsung merupakan sebentuk politik memori
Cara (dialek) Oesing (Margana, 2012: 320). untuk menghapuskan citra silam Blambangan
Oesing sendiri adalah sebuah peliyanan yang dikenal pembangkang dan keras kepala.
yang memiliki jejak-jejak konstruksi tidak Islamisasi melalui koalisi VOC – Jawa – Madura
sederhana. Syukurnya, Sri Margana menelisik dipakai sebagai sarana untuk ”menjinakkan”
beberapa tafsir bagaimana proses peliyanan Blambangan. Namun dalam konteks identitas
itu terjadi bukan sebagai hal yang alamiah, etnik (baca: oesing) di Banyuwangi saat ini, kata
tapi sebagai hal yang dicitrakan. Babad ”oesing” sebenarnya merupakan konstruksi
Blambangan adalah satu sumber tekstual memori kolektif dari akar masa lalunya yang
yang menunjukkan pencitraan itu. Ann Kumar tidak turut terhapus; bahwa kebudayaan
dan M.C. Ricklefs (Margana, 2012: 13) sendiri mereka sejak mula diliyankan baik oleh Jawa,
mengatakan bahwa babad ini punya karakter Bali, maupun Belanda yang mana dikatakan
berbeda dari keumuman sumber lokal lainnya. sebagai: berbeda dan tersendiri.
Bahwa Purwasastra, pengarang babad ini, Riset Margana ini menjadi sebuah model
terlihat pro-Belanda dan memposisikan bagus untuk memaknai wilayah perbatasan
Belanda sebagai satria yang lebih hebat dari dalam konteks sejarah sebagai ruang tegang
penguasa lokal. Selain itu, penarasian sosok yang tidak mudah tenang.8 Seperti halnya
Menak Jingga yang menjadi plot utama terbaca dalam realitas kekuasaan literasi dalam
dalam Babad Blambangan diderajatkan kasus di Jawa dan khususnya Blambangan di
sebagai jelmaan seekor anjing. Didapati atas, maka tersiratkan bahwa identitas sebuah
juga dalam Serat Damarwulan bagaimana etnik pun berkait dengan citra masa lalunya
figur Menak Jingga diantagonisasi sebagai yang berselubungkan apa yang kini disebut:
penguasa Blambangan yang enggan tunduk mitos-mitos. Tapi, sebenarnya, etnisitas
pada kekuasaan Majapahit namun ia berhasrat bukanlah hal yang menjadi dan terjadi secara
menikahi Ratu Majapahit. Sang Ratu menolak alamiah. Ia terlahir dengan dicirikan dan
lamarannya dan menitahkan Damarwulan dicitrakan. Tapi bagaimana ciri dan citra itu
ke Blambangan untuk membunuhnya. mulanya dibangun?
Dalam peperangan, Menak Jingga terbunuh Tentu saja konteks “dibangun” di sini
dan kepalanya dipenggal Damarwulan lalu bukan berarti dibentuk sepenuhnya. Jauh
dipersembahkannya kepada Sang Ratu sebelum kolonialisme pada abad ke-19 bergiat
(Margana, 2012: 28-31). membangun etnologi di tanah koloninya,
Margana sendiri mengatakan Stigma Jawa kehidupan manusia-manusia pribumi yang
itu bukanlah olok-olok langsung orang Jawa dikenal kemudian sebagai sekelompok etnis
terhadap Blambangan, tapi lebih sebagai itu, telah mengada jejaknya di Nusantara.
persoalan psikologi dan kreatifitas seni dan Persoalan bagaimana etnisitas mereka itu
sastra masyarakat Jawa istana di Surakarta dicitrakan adalah yang kelak menjadi proyek
(Margana, 2012: 30). Meski dikatakannya
demikian, tapi ”kejiwaan” yang dimaksudkan 8 Model pembacaan sumber tekstual macam yang dilakukan
Margana itu sebenarnya adalah pantulan Sri Margana sedianya bisa digunakan juga untuk studi
frontier history di wilayah Indonesia lainnya seperti Banten,
dari peliknya realitas politik dan budaya Cirebon, dan Lombok. Begitupun beberapa contoh kasus
Blambangan sebagai sebuah frontier land berat wilayah perbatasan di mancanegara seperti Kashmir,
Xinjiang, dan Gaza.
Fadly Rahman
Sejarah, Bahasa, dan Kekuasaan: Wacana Etnisitas dalam Historiografi Indonesia 121

kolonialisme untuk dikukuhkan dalam teks- Berdasarkan laporan tertua dari abad ke-2
teks pengetahuannya. Citra yang dikukuhkan M, geograf Yunani, Ptolemeus, mewartakan
itu lalu –seakan– ditubuhkan dalam identitas bahwa bagian utara Sumatra dihuni orang-
serta mentalitas kolektif komunitas manusia orang kanibal. Sumber Arab dari abad ke- 9
yang diamatinya. Akhirnya itu menubuh dan hingga abad ke-11 pun mencatat adanya
kelak diterima begitu saja sebagai –sekali lagi, kanibalisme dan cara hidupnya di wilayah
seakan– warisan genetik, alamiah, orisinil dan Fansur dan Lamuri. Barulah pada 1291
khas dalam ranah hidup etnik. Wacana itulah Marco Polo kali pertama mencatat keberadaan
yang sekiranya terbaca dalam telaah Leonard minoritas penganut Islam di kawasan pesisir
Y. Andaya (2000) terhadap dunia Melayu. utara Sumatra (Melayu) yang dikatakan
Andaya memeriksa wacana separasi berhadapan atau hidup berdampingan dengan
wilayah dan etnisitas di kawasan Laut Melayu mayoritas penganut paganisme yang tinggal di
dengan melengkapi penelitian yang sudah- pegunungan (Batak). Mereka yang mayoritas
sudah. Entitas orang-orang Melayu, seperti ini hingga abad ke-13 dilaporkan masih biadab
halnya orang-orang yang bermukim di kawasan dan sebagian kanibal. Hingga abad ke-19,
maritim dan pinggir sungai lainnya, dibentuk bahkan hingga awal abad ke-20 dilaporkan
oleh laut dan sungai yang terhubung dengan masih adanya kanibalisme.
daratan. Nama Melayu sendiri merujuk pada Deskripsi dari teks “Batak” dan “Melayu”
konsepsi Laut Melayu, dan ada juga yang prakolonial ini ternyata berbeda dengan Batak
mengidentifikasinya sebagai Selat Malaka. dan Melayu yang telah diidentikkan pada akhir
Selain itu, nama Melayu merujuk juga pada abad ke-19. Tidak lebih seperti diistilahkan
sebuah kawasan atau komunitas manusia. begitu bagus oleh Perett hanyalah evasive
Secara literer, setidaknya, sudah sejak abad 7 identity, hanya untuk menunjuk identitas
M nama Melayu mengada. Pada 1365, pernah “orang lain” (Perret, 2010: 74-78). Sebab,
pula disebut-sebut dalam sebuah berita dari sebelum abad ke-20 orang yang dikatakan
Majapahit, bahwa kawasan Melayu terbentang bersuku Batak tidak pernah menyebut dirinya
dari pantai timur Sumatra hingga sekitar sendiri “Batak” sebelum akhirnya diajukan
pantai barat sepanjang Barus. Pada abad ke- sebutan itu dalam penelitian dan teks-teks
15, seiring dengan terbentuknya pemukiman para sarjana kolonial. Bangunan identitas
Melayu di kekuasaan Melaka, nama Melayu macam itu makin kokoh seiring luruhnya
pun dipakai untuk penduduk di kerajaan ketertutupan orang-orang Batak terhadap
tersebut. Demikian lacakan Andaya terkait kepercayaan dan adab lamanya akibat misi
asal-muasal Melayu. “pengadaban” kolonialisme melalui kegiatan
Andaya tentu tidak sendiri mengidentifikasi Kristenisasinya pada akhir abad ke-19.
Melayu. Setelah Andaya, ada Daniel Perett Politik identitas kolonial seperti ditelaah
melalui bukunya Kolonialisme dan Etnisitas: Perett sebenarnya menjadi biang keladi
Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut pertentangan dua satuan etnis di Sumatra
(2010). Perett bahkan lebih jauh melakukan Timur Laut, yang mana hal ini tidak didapati
wacana dekonstruksi atas politik identitas sebelum abad ke-19. Hatta pada awal abad
kawasan timur laut Sumatra. Dalam lacakan ke-20, penelitian para sarjana terhadap mitos,
Perett, identifikasi manusia di kawasan itu bahasa, seni, adat, sifat, dan tabiat orang
memang sudah berlangsung lama. Seperti Batak dan Melayu menjadi pembuktian Perett
terekam dalam reportase silam orang-orang untuk menyingkap cara-cara kolonialisme
asing mencitrakan kawasan Sumatra yang mengukuhkan citra identitas kedua etnik itu.
terus berlangsung hingga awal abad ke-20.
122 Lembaran Sejarah, Vol. 10, No. 2, Oktober 2013

Tidak seperti halnya Perett yang komoditi lada dan timah pada kurun abad 16
begitu terang-terangan menyebut-nyebut – 17. Produksi hingga panen komoditi niaga,
dekonstruksi sejarah dalam kerja ilmiahnya, ternyata tidak disadari, telah membentuk
Uli Kozok dalam Utusan Damai di Kemelut komunitas manusia di bagian utara dan
Perang; Peran Zending dalam Perang Toba selatan Laut Melayu yang terpisahkan
(Kozok, 2010) lebih implisit membongkar citra oleh perkembangan ekonomi dan budaya;
masa lalu Nommensen, seorang tokoh yang serta berakibat juga termarjinalisasikannya
sekian lama dimitoskan kekudusannya sebagai komunitas di pedalaman antara Sumatra dan
apostel oleh kalangan Protestan Batak dan Semenanjung Melayu. Andaya, dalam hal ini,
dinilai berjasa menyiarkan Protestan di Tanah agaknya bisa disejalankan secara implisit
Batak. Pemeriksaan Kozok atas surat-surat dengan Fernand Braudel yang memeriksa
Nommensen ternyata menyentuh pada fakta sejarah di Mediterania. Dalam Civilisation
keterlibatan sang misionaris dalam perang matérielle, économie et capitalisme, XVII e-
Toba. Tentu saja fakta hasil interpretasi XVIIIe siècle (1979), Braudel berkonsepsi bahwa
Kozok atas berbagai jenis sumber sejarah temporalitas sejarah sifatnya trilogi, mencakup
(surat-surat, catatan harian, hingga ribuan masa-masa geografik (le temps géographique),
foto dan grafis) ini bisa mengguncang iman. masa-masa siklus ekonomi (le temps des cycles
Tapi begitulah konteks yang selama ini ter/ de l’économie), dan pengaruh politik (l’affect de
di-sembunyikan dalam berbagai teks-teks politique) (Delacroix, Dosse & Garcia, 2003 : 30).
silam yang mampu memitoskan seorang tokoh Baik Andaya, Perett, maupun Kozok makin
macam Nommensen. membunyikan keras-keras sumber kolonial
Perett dan Kozok menyajikan bukti semisal De Volken van Nederlandsch Indië
bekerjanya diktum –yang dibilang Francis (1920) karya etnograf J.C. van Eerde. Dalam
Bacon–“pengetahuan sebagai kekuatan” untuk dua jilid buku monografi van Eerde yang
menguasai tanah koloni yang sukses diusung mendeskripsikan segala etnik di Nusantara
politik pengetahuan kolonial sejak akhir abad itu terbaca bagaimana pencitraan dibangun
ke-19. Melebihi kekuatan senjata: kristenisasi, lalu ditubuhkan dalam identitas etnik-etnik
pendidikan, serta penelitian sejarah dan di Nusantara. Telaah Andaya dan Perett
budaya adalah serangkaian bukti suksesnya pun makin membuktikan perkataan van
kolonialisme menguasai manusia-manusia Eerde dalam pendahuluan jilid 1 bukunya,
di tanah koloninya. Bagi kolonialisme, butuh bahwa: “perkembangan ilmu pengetahuan dan
pendekatan lebih lunak untuk menjinakkan politik kolonialisme adalah kesuksesan utama
yang “biadab” menjadi “beradab”. Ini sebentuk membangun citra etnik di tanah koloninya.”
–meminjam kata Norbert Elias (1994)– “proses Jika begitu adanya, identitas Melayu, Batak,
pengadaban” (civilizing process) yang jalan dan segala etnis lainnya tak ubahnya hanya
beriring dengan tahap awal antropologi mulai panggung dari sandiwara masa lalu.
mengidentifikasi etnik-etnik di tanah koloninya. Panggung sandiwara masa lalu juga tersaji
Memang, ada banyak jalan untuk dalam milieu sejarah Sunda. Hal ini terbukti
memeriksa konstruksi identitas Melayu. pada 2011. Dalam surat kabar Pikiran Rakyat
Lebih kalem dibandingkan Perett dan Kozok, (6 April 2011) dimuat tulisan Ajip Rosidi
Andaya, misalnya, lebih berfokus pada dampak bertajuk Prabu Siliwangi: Sejarah atau Mitos?
niaga berupa kebutuhan dunia masa abad Ajip mengatakan bahwa Siliwangi itu hanya
pertengahan atas komoditi regional dari mitos. Ini diungkapnya sebagai respons atas
Melayu; mulai dari komoditi kayu gaharu, pernyataan filolog Undang A. Darsa yang
damar, hingga emas sebelum masa 1400 serta mengatakan Prabu Siliwangi itu sosok yang ada.
Fadly Rahman
Sejarah, Bahasa, dan Kekuasaan: Wacana Etnisitas dalam Historiografi Indonesia 123

Buktinya adalah naskah yang dibaca Undang berselubung mitos ter/di-pinggirkan. Hal itu
memuat nama sang legenda pujaan orang misalnya bisa dilihat dari polemik-polemik
Sunda. Hal yang jadi persoalan atas keduanya yang dimasalahkan, berupa otentisitas naskah
adalah, betapa banalnya pembacaan terhadap kuno atau permasalahan menyangkut nyata
realitas masa lalu Sunda. Perdebatan keduanya ada-tidaknya sosok menyejarah namun
ibarat –meminjam istilah Peter Burke– sebagai berselubung mitos – legenda itu. Namun
“dialog si tuli” (dialogue of the deaf). demikian, oleh masyarakat justru ia diakui/
Tidak begitu lama sebelum polemik Ajip dan dihadirkan, misalnya sebagai leluhur dalam
Undang, Bambang Purwanto kebetulan pernah silsilah keluarga. Bahkan secara imajinatif
berbicara dalam Internasional Kebudayaan dibuat lukisannya dengan memajangnya di
Sunda di Unpad (9 – 10 Februari 2011). rumah dan museum. Yang dimitoskan itu
Dengan berlandas pada makalahnya Visual nyata diakui/dihadirkan secara sadar dalam
Masa Lalu dan Tradisi Historiografis di mentalitas kebudayaan manusia pada masa
Tatar Sunda, memang didapati adanya sekarang untuk tujuan-tujuan simbolik hingga
kelainan dari keumuman pemakalah yang legimitatif. Namun justru dalam wacana
menghendaki wacana konstruktif atas kesejarahan Sunda didapati ketidaksadaran
kebudayaan Sunda. Usungannya atas kolektif (collective unconsciousness) dalam
wacana dekonstruksi historiografi Indonesia perekonstruksian masa lalu, khususnya dalam
memang sudah mengemuka sebelumnya menyikapi konteks mitos dan legenda itu.
dalam bukunya Gagalnya Historiografi Jika membaca permasalahan itu, patutlah
Indonesiasentris?! (2006). Dalam seminar didudukkan kembali perkataan antropolog
itu, pandangan Bambang dijuruskan kepada Evant Pritchard (1962), bahwa: culture is
dekonstruksi tradisi historiografi Sunda history and history is culture. Sejatinya sejarah
dengan memasalahkan cara pandang terhadap dapat dilihat dari nilai kepercayaan, tradisi,
sumber sejarah (tekstual) dan penyisihan jenis- dan obyek-obyek budaya kesehariannya.
jenis sumber sejarah lainnya (non-tekstual) Dikarenakan sejarah menyoal memori kolektif
yang akhirnya memengaruhi kontekstualitas manusia, maka itu, nilai-nilai budaya dan seni
terhadap penarasian masa lalu. Contoh (sekalipun bernafaskan mitos) yang hidup
yang diungkitnya adalah pencitraan Prabu dalam masyarakat adalah jiwanya mereka.
Siliwangi, yang mana sosok ini dalam penulisan Hanya saja, dalam pandangan kekinian
ilmiah sejarah Sunda acap dikatakan: “tokoh acap dikatakan bahwa mitos-mitos yang
historis legendaris.” berselubung dalam naskah-naskah atau
Wacana dekonstruksi memang mengusik artefak-artefak tua mesti dikesampingkan,
pikiran untuk terbuka atas masalah penulisan hingga menyoal keotentisitasannya yang patut
sejarah modern di Indonesia yang seringkali dipertanyakan. Apakah mitos dan soal ketidak-
berpolemik pandangan seputar perlakuan aslian itu dimaksudkan sebagai suatu hal yang
dan pemaknaan terhadap sumber-sumber tidak bagus dan tak perlu disingkap apa yang
literer masa lalu, taruh saja sumber- ada di baliknya?9
sumber tradisional. Ada semacam ketabuan Segala yang kini dinilai “mitos” itu
memperlakukan sumber tradisional yang memang terselubung dalam realitas. Namun
biasa dimasalahkan penuh selubung mitos
itu. Pandangan semacam itu agaknya terpagut 9 Ini mengingatkan saya pada kata-kata John Oldman
pada pagu “ilmiah” rekonstruksi masa lalu dalam sebuah film filsafat sejarah The Man from Earth
(2007): “selubung dari mitos sangat-sangatlah besar dan
yang “menuntut” prinsip deskriptif yang tidak bagus…” Itukah? Entah. Nyatanya, toh, mitos begitu
analitis. Alih-alih ilmiah itulah, segala yang dihayati dalam kebudayaan suku-suku di Indonesia, seperti
halnya Sunda.
124 Lembaran Sejarah, Vol. 10, No. 2, Oktober 2013

bagaimanakah unsur-unsur masa lalu pada Kidung Sunda dimungkinkan untuk ditelusur
masa kemudian menjadi dimitoskan? Tentu saja sejauh apa konstruksi di balik pencitraan
kita mesti mengorék-ngorék proyek orientalisme kemandirian Sunda sehingga memunculkan
pada masa kolonial dalam mengidentifikasi lalu kedangkalan segelintir orang-orang Sunda
mengkonstruksi citra etnik di tanah koloninya. yang enggan menyadari keterikatan kultural
Pada masa poskolonial, jejak-jejak etnologi masa silamnya dengan kebudayaan Jawa.
produksi kolonial telah menghasilkan sejenis
pandangan: bagaimana etnik menilai dirinya Epilog
sendiri dan menilai etnik di luarnya. Seperti
dikatakan Nicholas B. Dirks (1992: 39), bahwa Penziarahan realitas masa lalu di atas
kolonialisme merupakan “proyek budaya membawa kita masuk ke masa-masa penuh
pengontrolan.” Dirks menegaskan pengetahuan guncangan identitas kebudayaan. Sejak abad
kolonial memampukan penaklukan kolonial ke-19 hingga abad ke-21 ini, persoalan identitas
yang dihasilkan oleh penaklukan kolonial. sendiri telah banyak berkembang dan berubah
Seperti juga dikatakan Edward Said (1996), pelik seiring bergulirnya zaman. Mulanya
bahwa identitas-identitas Timur yang penuh identitas ini lahir dari rahim kepentingan politik
mitos itu nyata bukanlah esensi, namun lebih kolonial di berbagai tanah jajahan. Manusia
pada konstruksi dan respresentasi Barat. di tanah jajahan berikut kebudayaannya
diteliti semata-mata bukan untuk sekedar
Melalui pendekonstruksian atas cara
menghasilkan studi etnologi saja, tapi lebih
pandang kolonial, setidaknya ini menyadarkan
dari itu, semua ini lebih pada proyek politik
betapa penting mengurai cara pandang kita
pengetahuan pemerintah kolonial melalui
atas masa lalu untuk tidak berpandangan
kerja dan karya para sarjananya. Komunitas
linier. Hal inilah yang luput dalam pembacaan
manusia atau yang kemudian menjadi suku-
atas sumber-sumber literer masa lalu, sehingga
suku-bangsa mulai dari dikatakan sebagai
meluputkan adanya penyadaran hidup saat ini
yang biadab hingga dijadikan beradab pun tak
via masa lalu demi kelangsungan masa depan
lebih sebagai obyek politik pengetahuan.
Tentu saja cara pandang seperti halnya
Sebagaimana dijelaskan dalam tulisan
disinggung di atas, akan menjadi lain dalam
Coolhaas (1971), bahasa menjadi salah satu
membaca sumber-sumber “kontroversial”
saluran penting untuk memahami karakter
sejarah kesundaan yang pernah disentuh
manusia di tanah jajahannya. Dengan bekal
kepentingan ilmu pengetahuan dan politik
politisasi bahasa yang ditutur masyarakat
kolonial. Misal saja Kidung Sunda, sebuah
jajahannya, mereka dapat menentukan
karya sastra berbentuk tembang. Ibarat karya-
posisinya sebagai penguasa dari dunia yang
karya klasik Illiad dan Odyssey, Mahabharata,
dijajahnya. Walhasil, secara serempak politik
serta Ramayana, maka Kidung Sunda pun
kolonialisme Eropa berhasil menancapkan
memadukan unsur-unsur romantik, dramatik,
kuku kuasanya mulai dari Asia, Afrika,
dan heroik. Hebatnya, kidung ini tersirat
A m e r i k a , h i n g g a P a s i fi k . P u n h a l n y a
mampu menyulut sentimen dan disharmoni:
kolonialisme Belanda di Indonesia. Belanda
Jawa dan Sunda. Lewat telaah dan transliterasi
begitu serius meneliti tanah koloninya sebagai
C.C. Berg, dalam Kidung Sunda: Inleiding,
aset politik dan ekonominya. Riset-riset
Tekst, Vertaling en Aanteekeningen-nya
inlandsche taal yang disponsori Bataviaasch
(1928), Kidung Sunda mengemuka pada masa
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen
kolonial. Pertanyaannya, apakah ada andil
menjadi bukti bagaimana para sarjana bahasa
atau kepentingan Berg atas kidung tersebut?
pun memberikan kontribusi penting bagi
Hal yang pasti kasus-kasus teks semisal
pengembangan bahasa-bahasa Nusantara.
Fadly Rahman
Sejarah, Bahasa, dan Kekuasaan: Wacana Etnisitas dalam Historiografi Indonesia 125

Tidak heran para sarjana bahasa kolonial untuk mengkristenkan Tanah Jawa. Berlanjut
pada kurun abad 19 seperti Herman Neubronner pada 1845, diputuskan membuat Injil dalam
van der Tuuk, Jonathan Rigg, Karel Frederik terjemahan ke dalam bahasa Dayak, bahasa
Holle, Juynboll, Oosting, dan Sierk Coolsma, Makasar, bahasa Bugis, dan bahasa Batak.
sepanjang hayatnya mendalami bahasa-bahasa Disusul kebijakan NBG mengirim para “utusan
di Nusantara dengan sungguh-sungguh dan bahasa” seperti B.F. Matthes ke Makasar, van
sepenuh hati. Punggawa bahasa Nusantara, der Tuuk ke tanah Batak, dan A. Haderland
van der Tuuk, misalnya, menjadi penguasa ke Dayak yang mana juga ia menerjemahkan
bahasa Batak, Lampung, Melayu, Jawa, Sunda, Alkitab ke dalam bahasa Dayak (Groeneboer,
Bali, dan Jawa Kuno. Karya besarnya, Kamus 2002: 3).
Batak – Belanda (Bataksch-Nederduitsch Melalui ”pendekatan bahasa”, hubungan
Woordenboek [1861]) hingga saat ini masih kolonial dengan pribumi dicitakan dapat saling
menjadi rujukan terandal bagi siapa saja yang memahami. Namun tujuan pokok di baliknya,
hendak meneliti budaya Batak. semata-mata agar dapat mengikat emosi agar
Dengan menguasai bahasa-bahasa di tanah yang terjajah bisa masuk serta mendukung
jajahannya Tuuk dapat menguasai seluk- segala misi dan kepentingan si penjajah.
beluk pengetahuan (tradisi, budaya, adat, Strategi kebahasaan inilah yang menjadi salah
hingga mentalitas) rakyat pribumi. Dalam satu sebab langgengnya warisan kolonialisme
konteks kolonial, bentuk penguasaan ini berupa penubuhan identitas dan mentalitas
adalah sejenis penjinakan bahkan pengadaban untuk anak-anak jajahannya.
rakyat pribumi agar bisa masuk dalam segala Kenyataan historis relasi bahasa dan
kepentingan mereka. Misi-misi kaum kolonialis kekuasaan dalam jejak-jejak etnisitas ini
Eropa, sebutlah dengan memberi pendidikan, bukan mengajak kita untuk mengutuk masa
kristenisasi, penelitian etnografi, serta menjalin lalu. Tapi mengetuk pintu kesadaran kita
hubungan politik dan ekonomi lokal, dilakukan untuk lebih berwibawa meruntuh-bangun
melalui pengiriman “utusan bahasa” yang modus-modus politik sejarah, bahasa dan
salah satunya dimotivasi oleh pernyataan kekuasaan masa lalu yang saat ini masih
Nederlandsch Bijbel Genootschap (NBG) pada diperangkap oleh ketidak-sadaran kolektif.
1845 berikut ini: Agaknya diperlukan panggung sejarah, bahasa,
“kami hanya perlu mengingat bahwa tidak ada dan kekuasaan sendiri untuk menghadapi
satu suku pun di Kepulauan Nusantara yang panggung sandiwara masa lalu yang hingga
lebih membutuhkan cahaya Illahi Yang Maha hari ini masih bermain-main dalam alam
Pemurah, daripada suku-suku bangsa di mana pikiran Sejarah Indonesia (Smith, 1999).
pemakan manusia masih diadakan dan diatur
dalam hukumnya. Dengan rahmat dari agama
Rujukan
yang murni, kita harus melakukan sesuatu
atas keadaan yang mengenaskan itu, dari Ajip Rosidi, “Prabu Siliwangi: Sejarah atau
bangsa yang masih percaya kepada takhayul Mitos?” in Pikiran Rakyat, 6 April 2011, pp.
dan tidak berbudi pengerti, dan tidak bermoral 26.
itu” (Groeneboer, 2002: 3)
Andaya, Leonard Y., “A History of Trade in the
Sejak pendiriannya pada 1814, NBG telah Sea of Melayu”, Itinerario, vol. XXIV num. 1,
mencetak ulang terjemahan Alkitab berbahasa 2000, pp. 87 – 110.
Melayu beraksara Arab dan Latin. Disusul Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi
dengan menerjemahkan Alkitab berbahasa Indonesiasentris?! Yogyakarta: Ombak, 2006.
Jawa seiring mendesaknya kebutuhan politik
126 Lembaran Sejarah, Vol. 10, No. 2, Oktober 2013

______. “Visual Masa Lalu dan Tradisi Historiography “, dalam The Journal Asian
Historiografis di Tatar Sunda”, makalah pada Studies, vol. 24 No. 1, Nov, 1964, pp. 91 – 99.
Seminar Internasional Kebudayaan Sunda, Kozok, Uli, Utusan Damai di Kemelut Perang;
Fakultas Sastra Unpad 11 – 13 Februari 2010. Peran Zending dalam Perang Toba. Jakarta:
Berg, C.C., “Kidung Sunda: Inleiding, Tekst, Obor, 2010.
Vertaling en Aantekeningen”, BKI 83: 1928, Lombard, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya (3
pp. 1 – 161. jilid). Jakarta: Gramedia, 2000.
Burke, Peter, Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Munslow, Alun, The New History. Harlow:
Obor, 2001 Pearson, 2003.
Coolhaas, W.PH., Sekitar Sedjarah Kolonial dan Nairn, Tom, “The Maladies of Development” dalam
Sedjarah Indonesia, Sedjarawan dan Pegawai Hutchinson & Smith (eds.). 1994. Nationalism.
Bahasa. Jakarta: Bhratara, 1971. Oxford: Oxford University Press, 1977.
Cruz, Laura & Willem Frijhoff (eds.), Myth in O’Donnell, Kevin, Sejarah Ide-Ide. Jakarta:
History, History in Myth. Leiden: Brill, 2009. Kanisius, 2010.
Delacroix, Christian, François Dosse, & Patrick Ong, Walter J., Orality and Literacy: the
Garcia, Histoire et historiens en France depuis Technologizing of the World. London:
1945 (sejarah dan sejarawan di Perancis sejak Routledge, 1989.
1945). Paris : Association pour la diffusion de
Perett, Daniel, Kolonialisme dan Etnisitas: Batak
la pensée Française, 2003.
dan Melayu di Sumatra Timur Laut. Jakarta:
Dirks, Nicholas B., Introduction: Colonialism KPG, 2010.
and Culture. Ann Arbor: The University of
Quilty, Mary Catherine. Textual Empire; a
Michigan Press, 1992.
Reading of Early British Histories of Southeast
Van Eerde, J.C., De Volken van Nederlandsch Asia. Monash: Monash University Press, 1998.
Indië. Amsterdam: Elsevier, 1920.
M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern: 1200 –
Elias, Norbert, The Civilizing Process. Oxford: 2004. Jakarta: Serambi, 2005.
Blackwell, 1994.
Ricoeur, Paul, Hermeneutika Ilmu Sosial.
Evans-Pritchard, E.E., Anthropology and History. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006.
Manchester: Manchester U.P., 1961.
Rousseau, J.J. Discours sur l’origine de l’inégalité
Ginzburg, Carlo, Le fromage et les vers; l’univers parmi les hommes, Paris : Flammarion, 2008.
d’un meunier du XVIe siècle, Paris : Aubier,
Said, Edward, Orientalisme. Bandung : Pustaka,
1980.
1996.
Groeneboer, Kees, “Dari Radja Toek sampai
Smith, Linda Tuhiwai, Decolonializing
Goesti Dertik: Herman Neubronner van der
Methodologies: Research and Indigeneous
Toek sebagai Linguis Lapangan di Indonesia
Peoples. London: Zed Books, 1999.
pada Abad Kesembilan Belas”, dalam Jurnal
Sri Margana. 2012. Ujung Timur Jawa, 1763
Humaniora FIB UGM, Vol. XIV, No. 2/2002.
– 1813: Perebutan Hegemoni Blambangan.
Honnigman, J., The World of Man. New York:
Yogyakarta: Pustaka Ifada.
Harper & Brothers, 1959.
Johns, Anthony H., “The Role of Structural
Organisation and Myth in Javanese

Anda mungkin juga menyukai