Anda di halaman 1dari 26

Nama : Maria Herkulana Rika Bonavida

Nim : 41121013

Kelas : A/IV

Prodi : Ilmu pemerintahan

Tugas : UTS Antropologi Pemerintahan

BAB I

1.1. Pengertian Umum

Raymond Firth menerbitkan sebuah karya berjudul Human Types, yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Cir Ciri dan Alam Hidup Manusia, Suatu Pengantar
Antropologi Budaya (Sumur Bandung, 1966). Karya ini hemat saya terlahir dari reflekst
etnologis terhadap penduduk Polinesia dan Tikopsa. Sasaran yang dituju dari karya Firth
memang sangat mendasar mengenai manusia dan kehidupannya dalam bingkai ekologi pada
kawasan Tikopia. Hal itu dengan sangat mudah dapat diketahui dari daftar isi buku tersebut.

1. Gregor Neonbusu SVD, Ph.D

ditinjau dari perspektif ilmu-ilmu sosial semisal sosiologi dan terlebih Ilmu Antropologi

ORANG INGGRIS, bilamana mereka memberi salam, mereka berjabatan tangan, orang-Orang
Prancis menunjukkan perasaan hati mereka pada waktu ria dengan pelukan dan ciuman pada
kedua belah pipi, orang Austria budiman menghormat seorang wanita dengan mencium tangan
wanita itu, dan orang-orang Polinesia saling bertekanan hidung. Kebiasaan-kebiasaan yang
masing-masing berlainan itu tidak keheranan bagi mereka yang melakukannya sendiri, tetapi
orang lain yang tidak melakukannya menganggap kebiasaan itu sebagai sesuatu yang lucu dan
ganjil.
Di sebagian besar India dan negara-negara Islam, kaum perempuan menutup muka dan badan
mereka; di Eropa perempuan itu menutup badannya, tetapi mukanya bebas dari kudung, di
banyak daerah Afrika dan kepulauan Lautan Teduh kaum perempuan tidak menutup dada
mereka, sedang dalam beberapa daerah masih juga ada yang sama sekali hidup telanjang Dalam
tiap-tiap keadaan tadi sama sekali tidak ada rasa malu pada mereka, meskipun kita beranggapan
bahwa menutup muka dengan kudung adalah hal yang bodoh dan bertelanjang itu tidak sopan.
Kita merasa ganjil melihat perempuan-perempuan Tionghoa atau Eskimo pakai celana, tetapi di
Eropa perempuan juga bercelana bila berolah raga sebab pakaian ini dianggap

2. Etnologi Gerbang Memahami Kosmos

kritis mengenai manusia yang dijumpai pada konteks hidup berbeda. Gambaran seperti
itu memang di satu pihak tidak lengkap. Namun, pada sisi lain, sesuai analisis ekologi, apa yang
disajikan di atas sangat bermakna karena ia dapat memberi informasi dari berbagai rupa manusia
pada lokasi berbeda. Lukisan ekologis selalu menghidangkan uraian yang menarik karena
memberi perspektif berbeda mengenai satu hal sama yang disikapi secara berbeda pula. Yang
dihidangkan Firth adalah bagaimana substansi “memberi salam” diapresiasi dan diterapkan oleh
manusia yang berbeda lokasi: Inggris, Prancis, Australia, dan Polinesia. Pembaca yang kreatif
akan dengan sendirinya memberi tambahan berkenaan dengan sikap dan reaksi yang sama di
daerahnya masing-masing

Hal seperti itu tentu berbeda dengan Roger M. Keesing yang juga membuat studi terperinci
mengenai penduduk Pacific. Pakar int ternyata belajar dari ayahnya sendiri Feliks Keesing untuk
membuat secara teliti catatan etnologis yang sama. Awal perlawatan Roger M. Keesing memang
sangat manusiawi, esame ia mengikuti kuliah Ilmu Antropologi dari ayahnya di Universitas
Stanford pada ahun 1954, walau catatan yang dibuat R.M. Keesing (sesuai dengan pengakuannya
sendiri hlm. V)]) bukan catatan antropologi melainkan gambar dan kata-kata porno. Ketika
Roger mengajar Ilmu Antropologi di Universitas California, Santa Cruz, yang dilakukan adalah
merevisi bahan kuliah ayahnya Feliks Keesing esame bermetanoia mengakui kehebatan sang
ayah (bdk. Pengantar Buku Roger M. Keesing, 1981, ANU Canberra).

Sebetulnya makna antropologis di balik kutipan ini adalah


untuk mengulas sebuah esame etnologis guna mengetahui lebih dalam perspektif manusia dan
kehidupannya setiap hari. Kehidupan manusia dilukis dari berbagai dimensi, antara lain, cara
atau pola berpikir, kemudian tindak tanduk atau perilaku esame yang mereka, laksanakan setiap
hari serta berbagai hasil karya yang telah diperoleh generasi sebelumnya, Pengetahuan untuk
memahami manusia dapat

3. diperoleh dan strategi untuk masuk lebih dalam pada sifat yang khas pada manusia. Itu
berarti pusat studi tertuju pada analisis pribadi setiap insan, kemudian watak yang melekat pada
masing-masing kelompok masyarakat. Justru pengamatan yang cerdas terhadap watak inilah
yang bakal memberi kontribusi bagi suatu studi terhadap manusia yang sama pada bingkai
kehidupan esame

masih bergerak pada koridor substansi yang selalu dicari oleh setiap manusia esame merajut
relasi dengan yang lain. “Yang lain” yang dimaksud adalah selain esame, juga lingkungan hidup
atau ekologi. Dengan demikian, titik tuju dari usaha manusia untuk menjalin selasi adalah upaya
yang realistis untuk membangun perubahan yang dapat memberi makna bagi hidup manusia.

1.2. Maksud Kuliah Etnologi

Dari uraian sebelumnya saja, sajian dalam subbagian ini sudah dapat diketahui arahnya.
Karena itu, maksud dan tujuan mata Kuliah Etnologi sebagai berikut. Pertama, agar pembaca
(khususnya mahasiswa) mampu memahami arti atau makna etnologi. Arti dan makna yang
dimaksud akan terlihat dari paparan mengenai definisi dan ruang lingkup Ilmu Etnologi itu
sendiri. Biasanya dalam setiap

paparan "ilmu pengetahuan", sering pada uraian awal disajikan pengertian yang terangkum
secara ilmiah dalam definist. Dengan demikian, skema dan sketsa pengetahuan etnologi secara
padat ditemukan dalam bagian yang sama, yakni definisi dan reflekai mengenai ruang lingkup
atau cakupan dari ilmu tersebut, dan dalam hal ini Ilmu Etnologi

Kedua, agar pembaca mengenal citra sejarah kehidupan para bangsa di dunia. Dalam sketsa
pemahaman masa lampau (reinventing yesterday), selalu disejajarkan isi dari ilmu pengetahuan
etnologi dengan kecerdasan untuk memahami kehidupan para bangsa. Berbagai aspek kehidupan
para bangsa, yang sebut saja multidimensional dapat dipelajari dengan terperinci ketika
seseorang cerdas memperhatikan dampak atau biasnya bagi kehidupan bersama dalam
masyarakat yang pluralistik. Pengetahuan yang benar mengenai pola hidup dan sistem perilaku
para bangsa akan memperkaya mindset pembaca, untuk lebih memahami konstruksi kehidupan
para bangsa dan koridor pergaulan dunia yang lebih luas. Cara seperti ini menjadi utk tolak
refleksi para pembaca untuk menghasilkan sesuatu yang bermakna dan bermartabat bagi
kehidupan kini dan nanti.

Ketiga, agar pembaca mengenal masyarakat, sesama dan diri sendiri. Hal ini sebetulnya
merupakan perluasan dari butir kedua. Emologi memberi panduan untuk mengenal lebih
mendalam struktur kehidupan masyarakat. Dengan cara yang sama, mindset seseorang menjadi
semakin terbuka untuk memahami sesama dengan sikap realistis. Para pembaca akan menjadi
semakin terbuka ketika alam pemikirannya diperluas dengan berbagai keterangan dan uraian
masuk akal mengenai lingkungan sosial. Di dalam ilmu etnologi inilah tersaji berbagai
keterangan mendalam mengenai relasi antarmanusia, relasi antarwarga masyarakat, dan relasi
antarsesama dalam kelompok sosial untuk membentuk kehidupan bersama yang semakin
bermartabat. justru dengan mempelajari struktur relasi seperti inilah seseorang selalu dibantu
untuk membangun skema das sketsa di dalam alam pemikirannya setiap hari. Keempat, cakupan
ilmu etnologi juga membantu pembaca

untuk mampu mengapresiasi lingkungan hidup. Persepsi dan perspektif seseorang mengenai
sesama dan lingkungan hidup, akan dengan sendirinya membantu untuk menjadi semakin
terbuka untuk mengenal manusia, sesama dan alam raya. Sikap aresiatif selalu terbit dari
pemahaman yang benar mengenai sesuatu yang ada di hadapan mata, dalam arti ketika sesuatu
dinilai sebagai hal yang bermakna, maka seterusnya ada hasrat hati untuk mengapresiasinya
sebagai unsur yang benar dan pantas mendapat penilaian. Banyak kali terjadi bahwa mahasiswa
tidak mengapresiasi segala yang dihadapinya dengan benar karena proses

pengenalannya juga tidak mengikuti apa yang seharus dilakukannya. Karena itu, Ilmu Etnologi
berusaha memberikan beberapa pemamahan yang benar, sehingga pembaca dapat mengambil
sikap secara benar, konsisten, dan tepat.
Kelima, pada sisi tertentu Ilmu Etnologi juga membantu pembaca untuk lebih memahami
dinamika perubahan masyarakat. Perubahan masyarakat yang dipelajari di sini, tidak saja terdiri
atas masyarakat tunggal atau hanya sebatas kelompok eksklusif tertentu. Dinamika yang
dimaksud, merangkum kepentingan semua masyarakat secara umum. Karena itu, Ilmu Etnologi
memberi panduan dan sketsa pemahaman model, sistem dan prinsip kehidupan masyarakat (para
bangsa) dalam bingkai dinamika perubahan yang dialami manusia dalam dinding sejarah.

Keenam, dengan demikian, Ilmu Etnologi sebagai pintu gerbang untuk membaca kosmos, dan
terutama terbuka pintu berlangkah dalam pilgrim principle yang pluralistis. Berbagai
keberagaman yang tengah dialami dalam aneka peristiwa dapat diidentifikasi dalam perspektif
Ilmu Etnologi.
BAB IIl

OBJEK DAN ALIRAN ETNOLOGI

3.1 Objek Kerja Etnologi

Dalam sejarah kehidupan bangsa-bangsa etnologi lebih dikenal pada ketika digunakan para
penjajah (umumnya bangsa-banga Eropa) sebagai usaha untuk menyelidiki komunitas suku luar
Eropa. Adagium kultural yang melekat pada sikap penjajah sekitar abad ke-18- 19 adalah
bangsa-bangsa luar Eropa adalah kelompok manusia yang memiliki citra tradisi budaya dengan
kualifikasi rendah dibandingkan apa yang dimiliki masyarakat Eropa. Bangsa Eropa memiliki
rasa superioritas kultural yang sangat tinggi dan mengklaim diri sebagai sumber segala tata
kehidupan yang bermartabat dan mengungguli pola kehidupan suku-suku bangsa non-Eropa.
Perasaan yang berlebihan seperti ini ditindaklanjuti dengan usaha yang serius dan terstruktur
untuk mengumpulkan catatan-catatan yang menjelaskan citra budaya masyarakat luar Eropa.

Berbagai catatan mengenai manusia dan masyarakat luar Eropa inilah yang kemudian disebut
Ilmu Etnologi. Ternyata catatan-catatan Emologi Gerbang Memahami Kosmo

membangun kebersamaan, dan berbagai dimensi berkaitan dengan suasana kehidupan manusia di
luar daratan Eropa Masyarakat Asia, Afrika, Indian Amerika, dan Oceania yang tidak memiliki
tradisi menulis dinilai taraf kebudayaannya rendah. Dan, inilah sasaran atau objek dari kajian dan
studi etnologi. Catatan etnologi mengenai para bangsa terkebelakang ini memberi gambaran
tentang rekayasa sejarah kehidupan umat manusia di belahan bumi yang terkebelakang. Dengan
cara yang sama, klasifikasi atas maju dan terkebelakang hanyalah didasarkan pada lagu lama
tentang posisi Eropa sebagai sentrum atau pusat manusia dan masyarakat yang bermartabat
tinggi. Pada masa kini, pusat pembicaraan beralih pada "martabat manusia", dan "jati diri
kehidupan masyarakat" Apa yang disaji dalam catatan etnologi masa silam terlampau membesar-
besarkan posisi Eropa (westernisasi) lalu menganggap rendah kebudayaan bangsa-bangsa lain.
Dengan itu penggambaran cin budaya non-Eropa juga serba negatif dan bahkan kurang
bersahabat. Penggambaran yang sangat tidak transparan sebetulnya dimulai jauh sebelum abad
ke-19 yakni akhir abad abad ke-15 dan awal abad ke 16. Sebagai contoh bandingkan uraian
antropolog William A. Haviland mengenai Orang Maya sebagai berikut. Sekitar tahun 1524
seorang warga Spanyol Pedro de Alvarado menyerbu daerah Pegunungan Guatemala. Daerah itu
padat penduduk oleh suku Indian Maya Ditinjau dari segi organisasi, Orang Indian Maya terdiri
atas kelompok-kelompok kecil dan cenderung bertentangan satu terhadap yang lain. Gambaran
yang benar tentang suku ini adalah kelompok suku yang suka berperang satu terhadap yang lain
dalam tatanan kelompok etnik. Dengan demikian, kesejahteraan merupakan cita-cita yang sulit
sekali dicapai

Walaupun aspek yang ditonjolkan adalah dimensi keterbelakangan, perlu dicatat bahwa suku ini
dinilai memiliki peradaban kaya, yang sudah berusia sekitar 1.000 tahun. Kendati saat

ditemukan mereka telah dikuasai orang Spanyol sekitar 400 abon keludupan yang diabadikan
dan kelompok Maya adalah warga ya memiliki ketetapan had untuk semantisus meletakan adatte
bersama butir-butir budaya yang mereka milik bersama tempe catatan etnologis memberi
keterangan bahwa calah satu negara ter schelum penaklukan banger Spanyol bernama Mays
Quiche, yeng telah berhasil menaklukkan negara negara tetangga dan sukses pola membentuk
kekaisaran kecil. Mereka dengan sangat berani melew Alvarado sehingga kota mereka Uraslan
dibakar hangus Walay demikian, sia-sia penduduk Maya kini mendiami Chichicastenings yang
memiliki kebiasaan hidup di luar kota, atau di tempat temper ridak terurus: Mereka menyebar di
tempat pegunungan dengan lan pertanian yang indah menawan

Pelukisan ekologis mengenai Suku Maya menggambarkan Chichicastenango sebuah pusat


kehidupan masyarakat suku tersebu Semua aktivitas ekonomi, sosial, polink, dan religi serta
berbaga kegiatan hidup bersama dipusatkan di tempat tersebut. Cataran berkenaan dengan tempat
itu, terletak di luar kota, maka sepi dan tradisi merupakan pratanda yana kuat bagi identifikan
warga masyarakat yang mendiami lokasi tersebut Chichicastenang menunjuk cinn tempat di
Amerika Latin yang sangat khas dan istimewa

ansaksi pendagangan, dalam rangka menunjang kehidupan warga yarakat setiap hari. Dicatat
bahwa setiap hari pasar, yakni Minggu dan Kamis keadaan menjadi amat berbeda karena banyak
orang berkumpul dengan masing-masing menunjuk peran dan fungsinya guna memenuhi
kebutuhan rumah tangga dan merajut kebersamaan yang terus dipelihara dari generasi ke
generasi

Sebuah catatan lain dari Orang Maya Quiche adalah hari pasar tidak saja dilihat sebagai waktu
yang tepat untuk melakukan transaksi jual beli barang, tetapi juga untuk menggalang peristiwa
sosial besar di antara keluarga keluarga suku. Setiap pola pergaulan. selalu menjadi dasar
perjumpaan antara berbagai golongan dalam masyarakat. Para sesepuh atau kepala suku bermain
peran utama dalam suasana setiap dilaksanakan perjumpaan dalam kelompok masyarakat.
Kegiatan-kegiatan di pasar, gereja, dan tempat-tempat formal lainnya, senantiasa dihiasi dengan
berbagai kegiatan sosial- kebersamaan yang secara psiko-sosial mengikat mereka untuk selalu
terlibat dalam kehidupan bermasyarakat setiap hari. Dilukis juga mengenai kondisi Agama
Kristen Katolik yang mengalami berbagai kesulitan ketika altar-altar persembahan di dalam
gereja dihiasi dengan bahan-bahan persembahan yang sebetulnya dialamatkan kepada dewa-
dewa lokal, yang ternyata penuh dengan asap mengepul Bentuk kehidupan sinkretis-religius serta
aneka luapan usaha yang turut menunjang kegiatan-kegiatan komersial, seremonial, dan sosial
sudah dikenal masyarakat sebelum abad ke-15 dan ke-16

Demikian sebuah contoh analisis etnologis yang lengkap mengenai Suku Maya Quiche di
Chichicastenango. Masih ada catatan lain tentang suku-suku terkebelakang dengan nuansa dan
pengaruh modernisme yang akulturatif. Hal yang sering menjadi kendala dalam usaha
menghasilkan sebuah catatan etnologis yang lengkap adalah faktor bahasa untuk memahami
mindset masyarakat. Ada selaksa local wisdom dan tradisi lisan yang dapat disarikankan untuk
lebih

Gregor Neonha WVD, Ph.D

dalam memahami paradigma kehidupan suku, etnik, dan kelomp masyarakat dalam kaitannya
dengan membangun jaring deng kelompok kerabat yang ada di sekitar. Bahasa yang digunakan
de masyarakat dan suku-suku merupakan media istimewa untuk meng butir-butir budaya yang
ada pada setiap masyarakat. Karensi seorang etnolog hendaknya memperkaya dirinya untuk
memaha serta mengerti bahasa dalam struktur penggunaannya setiap har di tengah masyarakat.
Hal yang dapat membantu jejak karya par etnolog dalam bingkai bahasa adalah membuat catatan
kosakata das pengertian yang biasa digunakan masyarakat setiap hari.

Untuk mempermudah usaha menemukan objek karya seorang stnolog biasanya dikenal beberapa
istilah. Fungsi istilah berikut untuk melukiskan objek dari sasaran studi etnologi. Pertama,
ungkapan suku bangsa berbudaya alamiah, yang digunakan untuk membandingkannya dengan
suku-suku yang menerapkan budaya modern. Perangkat dan perkakas yang digunakan kelompok
suku ini betul-betul terbatas dan seadanya saja. Kehidupan mereka semata tergantung pada alam
atau sesuai kemurahan Tuhan Pencip Etnolog Jerman Wilhelm E. Muhlmann mengemukakan
ciri-ciri suku dalam bingkai kelompok pertama adalah (a) manusia yang masih miskin teknik, (b)
penyandang ciri khas primitif secara psikologis, (o) kelompok-kelompok kecil dari perkumpulan
perkumpulan mass, marga, dan suku, (d) kelompok yang hidup di daerah pinggiran (kota
keramaian). Andreas Tefa Sa'u memerinci keempat hal di atas dalam

karyanya (2006: 28-29) Kedua, kebudayaan kebudayaan yang menurut kacamata lama disebut
primitif atau terkebelakang. Sebetulnya istilah ini merupakan satu kesalahan kultural yang
terlampau membesar-besarkan budaya harat dan secara sepihak melihat secara negatif budaya-
budaya luar Empa.

"masyarakat primitif" sulit sekali digunakan karena hampir semua kebudayaan selalu berada
pada aras waktu yang mengalir dengan berbagai perubahan dan perkembangan. Walau nanti
dapat dilihat di lapangan bahwa ada masyarakat yang berkembang secara cepat dan ada pula
yang perlahan-lahan sesuai kemampuan intelek para warga masyarakat.

Ketiga, kebudayaan-kebudyaan pinggiran atau lazim dikenal dengan nama marginal. Ada
bermacam rupa pemahaman mengenai model atau jenis kebudayaan pinggiran seperti ini.
Pinggiran dapat berarti di tempat-tempat yang tidak mendapat pengaruh modernisme. Kata yang
sama dapat berarti lokasi atau sebuah suasana kehidupan yang bisa diidentifikası dalam bentuk
yang sangat asli, belum dipengaruhi oleh aliran-aliran modern, selalu statis dan belum terbuka
untuk menerima perubahan-perubahan serta perkembangan yang mengikuti tata krama
kehidupan manusia dan masyarakat modern. Hal itu nanti dapat dikaji dari berbagai peralatan
produksi yang serba terbatas, mereka cenderung bertahan dalam cara-cara sederhana dengan
perspektif menghargai keutuhan dan keselarasan alam raya. Keunggulan masyarakat pinggiran
adalah ikatan ke dalam suku/etnik sangat kuat karena diikat dengan kekuatan adat istiadat dan
berbagai ritus dan perayaan-perayaan keagamaan serta kepercayaan asli.

Keempat, ungkapan bangsa-bangsa dunia ketiga dan keempat. Pembagian kelompok seperti ini
sebetulnya merupakan dampak dari Revolusi Industri di Prancis. Seorang pakar Balandier G.
yang tampil saat itu membagi masyarakat Eropa (terlebih Prancis) atas kelompok pertama dan
kedua merangkumi para bangsawan dan kaum biarawan/wati, sedangkan kelompok ketiga dan
keempat adalah kaum borjuis. Pengertian dasar ini lalu berkembang dan makna internal dari
dunia ketiga dan keempat diidentifikasi sebagai negara-negara miskin. Sasaran studi etnologi
adalah berusaha memberi gambaran yang masuk akal mengenai alasan "mengapa" warga
masyarakat dinilai terkebelakang. Selain itu secara terperinci.

Kelima, tradisi tidak tertulis atau tradisi lisan. Sebagaimana telah disebut sebelumnya bahwa
andalan masyarakat yang memiliki tradisi tidak tertulis adalah berbagai kisah dan cerita yang
diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi. Objek kerja studi etnologi terarah pada
peliputan di daerah-daerah sentrum, tempat, misalnya, pusat sosialitas masyarakat berlangsung.
Termasuk di sini juga pusat pusat perayaan keagamaan, karena lazim terjadi di sana penuturan
tradisi lisan secara terstruktur dapat diperoleh. Bentuk tradisi lisan selalu dalam format yang
baku, apakah dipresentasi dalam kisah dan cerita atau ungkapan ungkapan klasik yang sungguh
kaya makna. Karena itu, dari struktur, bisa saja sederhana dan biasa. Namun, dari weg is,
sungguh berkenaan di hati dan perasaan si pemiliknya.

3.2 Aliran Etnologi

Semenjak munculnya etnologi sebagai ilmu tidak kurang sedikit antropolog, sosiolog,
dan bahkan ilmuwan ilmuwan dari disiplin lain yang meminati format ilmiah tersebut. Karena
itu, tidak terlalu mengherankan bahwa muncul berbagai tanggapan pro dan kontra mengenai
eksistensi Ilmu Etnologi. Pada bagian ini kami tidak menurunkan uraian mengenai pro dan
kontra atau penilaian tentang baik dan buruknya, melainkan beberapa aliran atau boleh disebut
sebagai madzab dalam mengembangkan studi Ilmu Etnologi. Terlihat pada uraian selanjutnya
bahwa aliran yang dimaksud tertuju pada model pendekatan yang digunakan para etnolog. Itu
berarti sasaran yang dituju dari klasifikasi Ilmu Etnologi adalah warna khas yang digunakan
pakar Ilmu Enologi untuk mengapresiasi "teor teon" kebudayaan. Uraian ini memusatkan
perhatian pada tiga aliran berikut, yakni evolusionisme, fungsionalisme, dan strukturalisme.
3.2.1 Evolusionisme

pengetahuan manusia, aliran evolusionisme muncul pada pertengahan abad ke-19. Pada
waktu itu dunia seolah digemparkan oleh pandangan mengenai evolusi. Cikal bakal kehidupan
ilmu pengetahuan pada waktu itu disemaraki oleh evolusi yang pada awalnya bergerak murni,
tetapi pada akhirnya dicari penerapannya dalam ilmu pengetahuan non eksakta. Itulah sebabnya
teori evolusi mulai bergerak secara liar, dalam arti memengaruhi eraka semua bidang ilmu
pengetahuan manusia. Alasan sederhana saja bahwa erakan aliran evolusi justru masuk ke dalam
hati ilmu pengetahuan, yakni pemahaman yang benar dan tepat mengenai eksistensi hidup
manusia.G

salah arah karena sikap ingat diri yang menjadi pilihan dari b subjektivitas tersebut, Fokus aliran
evolusionisme adalah diskursus mengenai

“keturunan manusia sehingga hal ini jelas-jelas menarik perhat banyak pakar ilmu eraka, dan
terlebih Ilma Etnologi. Ada butir keprihatinan dari aliran evolusionisme mengenai tema dasa
keturunan manusia sebagai berikut. Pertama, manusia berasal dan satu kesatuan dan semua
manusia berkembang secara linear mengikun satu jalur perkembangan. Dalam Ilmu Antropologi
dikenal pusa perkembangan semua manusia melalui primat dan erakan mamalu yang memang
kelok berliku dan dalam tempo ratusan juta tahun. Kedua, perkembangan hidup manusia selalu
mulai dari yang paling erakan menuju tahap berikutnya secara berturut-turut hingga ke titik yang
paling rumit. Tahap tahap ini diukur dengan ciri coraknya masing-masing dan dalam tempo yang
dapat diukur dengan pasti.

Ketiga, objek studi aliran evolusionisme adalah tipe masyarakat yang masih bergantung pada
kemurahan alam. Di sini terlihat dengan jelas bahwa cakupan etnologi berkutat dengan hal-hal
arkais yang masih jauh dari peringkat budaya erakan atau erakan. Dalam arti semua ihwal dalam
masyarakat yang dinilai terkebelakang dan belum menyentuh teknologi erakan itulah yang
menjadi andalan dan landasan utama studi Ilmu Etnologi. Keempat, untuk diskusi berkembang
pada awal terbentuknya kebudayaan para bangsa. Seterusnya Dalam arti aliran evolusionisme ini
juga mengikuti pola baru yang dianut para bangsa sebagai bagian integral dari perkembangan
masyarakat yang ramah lingkungan. Kelima, pada akhirnya muncul banyak pendapat tentang
terlahirnya budaya dan tradisi serta warisan leluhur. Dalam arti, para etnolog aliran
evolusionisme juga mengakui beberapa aliran mengenai keturunan dan perkembangan hidup
manusia dan masyarakat.

Hal yang menarik dari aliran evolusionisme adalah yang realistis mengenai usul-asal budaya para
bangsa. Pernyataan yang sangat gemilang adalah kebudayaan bangsa-bangsa tanpa kecuali
muncul dari satu akar budaya pokok. Sementara itu, juga ada kebudayaan manusia yang muncul
dari beberapa akar budaya pokok yang jika dibuat perbandingan erakan dengan pokok bicara
“evolusi” biologis. Evolusi biologi selalu tunduk pada teori bahwa segala sesuatu berasal dari
satu asal-usul dan berkembang ke seluruh dunia berdasarkan perkembangan zaman dan eraka,
yang memungkinkan bangsa-bangsa lain juga untuk mengambil alih unsur-unsur budaya
tersebut. Dengan dan dalam cara pandang yang sama dapat dikatakan, ada kebudayaan yang
lebih tinggi dan sebaliknya ada pula peringkat kebudayaan yang lebih rendah.

Berdasarkan analisis di atas maka evolusi kebudayaan dapat dirumuskan sebagai berikut.
Pertama, teori evolusi menyentuh semua bidang kehidupan manusia: teknologi, keluarga, hukum,
ekonomi, dan perdagangan Kedua, evolusi yang sama digunakan dalam menelusuri proses
perkembangan pola berpikir manusta: dari yang sangat sederhana, menuju yang amat modern
dan bahkan lebih kompleks. Ketiga, teori seperti ini tak bertahan, maka muncul aliran difusi-
historis dengan menekankan letak geografis. Titik perhatian ada pada kreativitas yang
menekankan asal-usul perbedaan dalam berbagai kebudayaan. Karena itu, hal lazim yang
dipelajari adalah perpindahan penduduk dari tempat yang erakan tempat yang lain. Sudah jelas
dari keterangan bahwa pola hidup bangsa nomaden yang biasanya belum menetap dan hanya
mengandalkan teknologi alamiah, yakni pindah dari lokasi ke lokasi sesuai pertimbangan rasa
aman yang alamiah pula. Tentunya pada pilihan yang pertama manusia menyandarkan diri
sepenuhnya pada kemurahan atau kebaikan alam raya.

Dalam perjalanan sejarah Ilmu Antropologi, tidak berlebihan jika dikatakan, evolusionisme
adalah landasan awal bagi pembentukan berbagai paradigma dalam antropologi. Karena itu,
sebetulnya tidak beralasan apabila di kalangan antropolog terdapat sikap para pakar Ilmu
Antropoloigi yang memiliki antievolusi. Pola berpikir untuk mengembalikan nama harum
pemikiran evolusi dalam cakrawala berpikir limu Antropologi adalah me-review identifikasi kata
evolusi itu sendiri. Evolusi harus didefinisikan sebagai suatu perubahan atau perkembangan,
semisal gerak perubahan dari yang biasa (sederhana) menuju sesuatu yang kompleks atau rumit.
Dengan cara berpikir yang sama, segala yang mengitari manusia dan terpajang pada alam raya
selalu mengikuti erakan yang sama, yakni perubahan yang lambat laun mulai dari sesuatu yang
kecil menuju sesuatu yang banyak atau kompleks.”

3.2.2 Fungsionalisme

Dari aspek kata, aliran fungsionalisme membedah dua hal fundamental kehidupan
manusia, yakni fungsi dan peran. Di dalam dunia Ilmu Antropologi, fungsionalisme bergerak
pada ranah organisasi sosial masyarakat dengan lebih cermat mengkaji seberapa jauh peran dan
fungsi sosial dalam masyarakat dapat berjalan sebagaimana mestinya. Karena itu, para pakar
ilmu sosial umumnya dan dalam hal ini Ilmu Antropologi, dan bahkan lebih khusus lagi Ilmu
Etnologi lebih mengkhususkan refleksi pada pemahaman yang lebih mendalam mengenai sistem
atau struktur sosial. Kajian seperti ini memang sangat khas ketika dibanding dengan disiplin-
disiplin ilmu lain, seperti Ilmu Psikologi yang fokus pada kepribadian dengan menjelaskan
sistem kepribadian manusia. Pola hidup pribadi dialamatkan pada setiap individu, juga
masyarakat sebagai satu keseluruhan pada kerangka hidup bersama yang lebih otentik.

Di dalam sejarah Ilmu Antropologi, pendekar aliran fungsionalisme ini adalah Bronislaw K.
Malinowski (1884-1942) yang secara cekatan mendirikan aliran fungsionalisme. la lahir di
Cracow (Polandia) dan menjadi profesor di Universitas London, Inggris Pemikirannya sungguh
cemerlang berkenaan dengan kehidupan umat manusia. Artinya, kalau kita merefleksikankan
kehidupan manusia dan masyarakat, maka terlihat tiga matra berikut menjadi dasar atau skema
untuk memahami kehidupan manusia dan masyarakat secara umum. Ketiga skema dasar itu (a)
kebutuhan dasar manusia yang meliputi dimensi biologis dan psikologis; (b) lembaga sosial dan
organisasi, (c) cara berpikir yang terkristalisasi dalam kebudayaan. Itu berarti setiap peringkat
kebudayaan manusia dapat dikaji dengan lebih cermat justru melalui analisis ketiga skema dasar
di atas. Di luar ketiga skema tersebut, maka sia-sia pemahaman tuntas sampai pada

hakikat manusia dan masyarakat." Pertama, tahap awal yang dapat disebut dengan tahap paling
dasarikanah dalam kehidupan setiap umat manusia. Semua manusia membutuhkan sesuatu untuk
memenuhi hasrat biologis dan psikologis agar bertumbuh menjadi manusia yang bermartabat.
Malinowski melihat bahwa masing-masing kultur memiliki aturis berbeda tentang cara-cara yang
dapat diterima masyarakat untuk menjawab kebutuhan dasar biologis dan psikologis. Hasil
ethnograf dan studi etnologi yang mendalam mengantarkan Malinowsk untuk dengan sikap tegas
membedakan tiga diskursus berikut: (a apa yang selalu dituturkan atau disampaikan orang dan
(b) aps yang mereka lakukan setiap hari serta (c) apa yang mereka pikirkan bersafat sistemik.
Justru ketiga hal inilah yang memberi sketsa dan skema dasar tertentu, yang ternyata berbeda
dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain. Seorang etnolog sejati haruslah dapa
membedakan ketiga hal elementer tersebut untuk bisa mengapresiasi dasar keberagaman sosial.

Kedua, manusia yang unik mustahil dikenal atau dipahami dalam ketersendiriannya. Manusia
yang utuh selalu dikenal dalam kebersamaannya dengan sesama atau orang lain. Dalam
perspektif ini Malinowski berpendapat, manusia siapa pun harus menjalin relasi dan kerja sama
dalam institusi yang riil dan tetap. Malinowski menunjuk lembaga sosial atau organisasi sebagai
wadah resmi bagi manusia untuk membentuk dan mengungkap dirinya secara lebih benar
Berbagai kegiatan manusia tidak saja secara pribadi, tetapi juga bersama orang lain. Hal itu
hanya mungkin jika dilaksanakan dalam skema organisasi atau pada sebuah lembaga sosial.
Malinowski menemukan prinsip-prinsip dasar bagaimana setiap kegiatan manusia dapat berjalan
pada aras lembaga-lembaga tertentu. Untuk itu ditemukannya tujuh prinsip yang sangat
dibutuhkan dalam setiap lembaga sosial, berturut-turut, yaitu (1) reproduktif, (2) territorial, (3)
fisiologis, (4) ikatan sukarela, (5) berdasarkan pekerjaan atau profesi,

(6) status dan kedudukan, (7) prinsip komprehensif. Ketiga, cara berpikir (kebudayaan) yang
dikaji dari refleksi spektakuler terhadap lembaga-lembaga sosial dan keseharian umat.

Dari uraian di atas dapat dikemukakan tiga komponen sosial dalam masyarakat secara umum,
yakni (1) individu, (2) lembaga sosial, dan (3) kultur. Yang pertama individu selalu berubah dan
berkembang sesuai sketsa dan skema kehidupan seluruh bangsa umat manusia. Yang kedua
lembaga sosial secara umum selalu telah terpola dan terdiri atas patokan dan kriteria yang dalam
arti tertentu sudah lengkap dan tetap dalam rentang waktu tertentu yang terbatas. Dalam arti,
lembaga sosial yang sama dapat berubah dan berkembang sesuai kondisi kehidupan manusia
dalam konteks terbatas yang nyata. Ketiga kultur terdiri atas budaya dan tradisi manusia. Terlihat
di sini, Malinowski mengandalkan kumpulan data-data lepas seperti disebut di atas kemudian
mengkaji data-data, baik kata maupun perbuatan untuk kemudian melukiskan dengan teliti
hakikat pribadi manusia dengan mencari jejaring di atas pribadi yang satu dengan yang lain.
Keterpaduan dalam membuat jejaring inilah yang kemudian disebutnya dengan istilah kerja sama
biologis di kalangan umat manusia (Koentjaraningrat 1987: 169).

3.2.3 Strukturalisme

Pada tataran berikut Durkheim dan Mauss menjelaskan adanya institusi perkawinan
sebagai kelas klasik yang justru dinilai sebagai bingkai kehidupan semua manusia sepanjang
masa. Institu perkawinan harus dikaitkan dengan klan/suku dan masyarakat sebagai tahap ketiga
dalam struktur kehidupan setiap manusia. Ternyata asumsi Durkheim dan Mauss hanyalah satu
spekulasi yang tidak dapat dibuktikan. Yang perlu dipelajari dari Durkehim dalam studinya
mengenai Aborigin-Australia adalah arus ystem masyarakat yang diantarai oleh ystem menuju
tahap kesadaran kolektif. Durkheim belajar dari etnografi Australia Tengah bahwa manusia
melekatkan arti penting khusus pada objek-objek materi yang digunakan dalam ritual untuk
mempresentasikan totem-totem klan.’ Berikut, kutipan langsung dari Saifuddin mengenai
pemikiran Durkheim.

Objek-objek yang suci adalah realisasi konkret dari kesadaran akan kekuatan kolektif yang
dirasakan oleh anggota klan tatkala mereka berinteraksi. Pengukuhan nenek moyang ystem suatu
klan dalam ritual adalah penegasan ystem identitas kelompok dalam suatu kumpulan masyarakat
yang lebih luas. Durkheim mengatakan bahwa tetap hidupnya suatu masyarakat sebagai suatu
ystem tergantung pada penegasan ystem secara berkala setiap segmen.

Pengaruh yang sangat luas dilakukan oleh Radcliffe Brown dengan klasifikasi teori dalam
bingkai Ilmu Antropologi. Pengaruh Durkheim sangat nyata dalam usaha Radcliffe-Brown
berkenaan dengan analisis ystemral-fungsional. Struktur ystem yang dikembangkannya adalah
kumpulan relasi yang tak kelihatan, yang menghasilkan akibat nyata pada permukaan masyarakat
dalam bentuk tingkah laku institusional. Tampak dalam rumusan di ini bahwa kiprah akademis
Radcliffe-Brown masih cenderung kepada ystem kerja ilmu pasti dalam rangka menetapkan
kebenaran ystem dalam setiap struktur yang mengikat semua kepentingan umat manusia.
Kecenderungan seperti ini memberi isyarat bahwa Radcliffe- Brown berpendapat, ilmu-ilmu
ystem merupakan salah satu cabang dari Ilmu Alam.
Temuan Radcliffe-Brown dalam kerangka fungsionalisme ystemral adalah struktur dipahami
sebagai jaringan relasi yang mencakup tiga unsur komplementer berikut Pertama, struktur yang
terlihat dalam peranan ystem yang menurutnya secara hakiki bersifat statis karena merupakan
skema tingkah laku manusia.

Teori strukturalisme akhirnya berkembang pesat ystem Le Strauss mengembangkan teori


tersebut dalam dua arah. Pertama dalam analisisnya mengenai struktur ystem kemasyarakatan
dan kedua, dalam kajiannya tentang struktur mite dan totemisme Adapun berkenaan dengan butir
pertama, pusat kajian mengena kekerabatan ada pada penemuannya sendiri mengenai adanya
aturan- aturan perkawinan yang sama di berbagai masyarakat di Australia, Asia, dan Amerika.
Padahal, antara daerah-daerah tersebut tidak ada kaitan sejarah satu terhadap yang lain.
Kesimpulan dari butir pertama adalah bahwa semua masyarakat ditandai oleh aturan-aturan
berikut, seseorang harus menikah dengan sepupu silangnya. Sepupu silang adalah anak-anak dari
saudara sekandung yang berlawanan jenis (misalnya, anak-anak dari saudara-saudara laki-laki
atau saudara perempuan). Sistem kekerabatan seperti ini berbeda dari ystem-sistem kekerabatan
yang dikenal baik oleh antropolog seperti E.E. Evans Pritchard di Afrika (Saifuddin, 193-195).

Teori Levi-Strauss mengenai kekerabatan ini ternyata dibangun dengan pernghargaan yang
tinggi pada analisis Radcliffe-Brown mengenai ystem kekerabatan orang Australia. Walau hal ini
tidak secara eksplisit dinyatakan dalam tulisan Levi-Strauss. Pengarush ystemral-fungsionalis
Inggris tampak jelas dari fakta bahwa Levi- Strauss mengadopsi tiga bentuk perkawinan sepupu-
silang dari sebagai Radcliffe-Brown (bilateral, matrilateral, dan patrilateral) tipologi dasar
analisis mengenai fakta perkawinan. Dalam karyanya The Elementary Structure of Kinships
(terbit 1947, edisi kedua 1967, dan ystem Inggris 1969) tersaji ulasan analisisnya tentang ystem
kekerabatan Australia. Sejalan dengan Radcliffe-Brown, Levi Strauss tertarik dengan kehidupan
ystem ystem, bukan individu, dan kebutuhan individu dibawahi (di-subordinasikan) oleh
kebutuhan ystem (Saifuddin, 196).

3.3 Etnologi Masa Kini

Berdasarkan uraian di atas, maka sebetulnya menjadi sangat sulit untuk membahas misi
etnologi pada masa kini. Kendati harus diingat bahwa kajian etnologi sesungguhnya dapat dilihat
dalam analisis Ilmu Antropologi sosial secara umum. Setidak-tidaknya ketiga aliran etnologi di
atas perlu dikritisi dengan catatan, masing-masing aliran memiliki kelebihan dan kekurangan.
Karena itu, etnologi masa kini mengambil nilai-nilai yang terdapat pada masing-masing aliran di
atas untuk diterapkan dalam kegiatan mengkaji struktur kehidupan masyarakat Roger M.
Keesing tentang perspektif evolusioner menggambarkan posisi peneliti yang menjadikan Ilmu
Antropolog dengan satu kaki pada biologi dan kaki lainnya pada Ilmu Sosial dan Humaniora.
Kajian seperti inilah yang mempresentasi manusia sebagai sesuatu yang sungguh riil dan
konkret. Keadaan manusia yang sebenarnya perlu sekali diselidiki sebagaimana mestinya, baik
secara pribadi maupun dalam pespektif sistem sosial yang mengitari masing- masing individu
secara komplementer. Manusia yang berbudaya sebagai ciptaan dan suatu primat yang khusus
haruslah diapresiasi sebagai ciptaan yang koderatnya dalam kurun waktu dan tempat yang
berbeda. Hal ini merujuk juga pada dimensi manusia yang harus diungkapkan kekayaan warisan
primat yang tersusun pada arah yang unik. Latar belakang manusia yang multidimensi harus
dilukis dengan dan dalam proses penelitian yang tuntas untuk m kekayaan yang ada dalam diri
manusia.

Kutipan etnografi mengenai Suku Marind Anim hanyalah sebagai contoh mengenai pelukisan
manusia yang selalu menjaga keselarasan dengan alam sekitar (the ecological sistem). Karena it
segala hal berkaitan dengan reproduksi selalu dihubungkan dengan mindset mereka dalam kaitan
dengan pengaruh alam raya bagi kehidupan manusia. Usaha studi etnologi masa kini melibatkan
juga laporan hasil penelitian ilmu-ilmu lain untuk mendapat gambaran yang lengkap mengenai
suku, etnik, dan kelompok manusia tertentu Biasanya penjelasan yang lengkap tidaklah bersifat
partikularis, melainkan informasi menyeluruh mengenai bangsa atau suku tertentu, kemudian
disatupadukan dengan keterangan lain berkenaan dengan perbandingan atau diletakkan secara
setara dan bersama-sama dengan yang lain. Objek keterangan seperti ini menyangkut banyak hal
sekitar kehidupan manusia dan masyarakat. Misalnya dijelaskan secara terperinci mengenai
wabah penyakit dalam kaitannya dengan dogma budaya, ritus, dan mitologi. Hal seperti ini
sering tidak dipahami secukupnya bagi peneliti yang tidak melibatkan diri untuk memahami
mindset masyarakat setempat.

Untuk itu, sebagai skema bagi pengembangan etnologi masa kini, diperlukan pola, sketsa, atau
skema pemahaman yang benar dan tepat. Pada tempat pertama dan terpenting adalah peneliti
hendaknya memiliki kognisi yang benar. Di dalam kognisi ini, ia haruslah memiliki juga
konsepsi yang tepat dan intuisi yang konkret tentang arah yang akan dituju dari suatu kegiatan
mempelajari suku-suku. Konsepsi yang dimaksud adalah usaha lebih dalam untuk memahami
kekayaan konsep-konsep yang dimiliki masyarakat, baik orang per orang, maupun keluarga-
keluarga dan berbagai kelompok dalam masyarakat. Ada sekian banyak model ujaran yang
mewakili corak berpikir warga masyarakat yang sedang diteliti. Harus selalu diingat bahwa
setiap konsepsi dalam masyarakat selalu terikat pada ruang dan waktu, yang selalu mengalir dan
berubah serta berkembang sesuai dinamika perubahan zaman.

Berkenaan dengan pemahaman mengenai skema dalam Ilmu Etnologi masa kini perlu sekali
diperhatikan dengan sungguh- sungguh arti pengalaman yang hanya terjadi melalui representasi
melalui hubungan yang diperlukan dalam sebuah persepsi. Kualitas penginderaan dalam semua
kasus hanyalah bersifat empiris dan tidak dapat diwakili secara apriori (misalnya, warna dan
rasa). Itu berarti pengalaman dalam konteks studi etnologi adalah kognisi empiris, yaitu
pemahaman yang menentukan objek melalui persepsi. Hal penting untuk menghindari diri dari
cakrawala berpikir yang hanya diborgol oleh imaginasi atau mimpi serta iming-iming dan segala
yang riil tentang struktur kehidupan sosial dalam masyarakat tertentu. Itu berarti pula seorang
etnolog hendaknya sedapat mungkin membedakan ruang lingkup kemungkinan (imaginasi, riil,
mimpi, cita-cita, hasrat) dan ruang lingkup pengalaman yang nyata (konsepsi yang riil). Tentu
hal-hal tersebut berkaitan sangat erat dengan konsepsi pemahaman peneliti (milik akal budi) dan
konsepsi pemahaman masyarakat yang sedang menjadi objek penelitian.

lingkungan hidup yang mengitari. Perspektif yang dimiliki suka, etnik, dan bangsa tertentu
senantiasa tidak terlepas dari pengaruh yang sedemikian luas dari lingkungan hidup yang
mengitan.

Adapun lingkungan yang dimaksud dapat berupa fisik dan nonfisik. Yang dimaksudkan dengan
lingkungan fisik adalah flora, fauna, dan berbagai aspek dalam tata hidup ekologi alam raya (the
ecological principle). Hal itu termasuk juga makhluk-makhluk hidup, dan benda-benda mati.
Ungkapan lain adalah makhluk infrastruktur manusia sesama dalam bingkai kekerabatan dan
relasi serta hubungan dengan etnik atau suku dan bangsa. Bagaimana seorang etnolog memberi
penjelasan yang mencukupi dan dapat diterima mengenai model atau tipe perhubungan intra dan
interetnik, suku, dan bangsa. Tentu dua hal fundamental dalam tatanan organisasi sosial tidak
boleh dianggap sepele, yakni "fungsi" dan "peran", baik dalam lingkungan suku tertentu maupun
dalam kaitannya dengan kehidupan bersama suku dan etnik serta bangsa tertentu.

Masih harus disebut salah satu cakupan studi Ilmu Etnolop yakni kepercayaan dan makhluk-
makhluk halus lainnya. Masyarakat tradisional selalu menempatkan makhluk-makhluk ini
sebagai bagian integral dari kehidupan manusia, baik pribadi, maupun keluarga dan bahkan
dalam kelompok sosial yang lebih besar. Peta pembicaraan selalu dalam ruang lingkup
kepercayaan, mitis-magis, ritus dan berbagai tindakan yang menunjuk hubungan yang
komplementer antar manusia dan makhluk-makhluk tersebut. Uraian mengenai relasi tersebut
mengerucut pada kesatuan dan keutuhan yang luas antara manusia dan seluruh alam semesta,
antara semua makhluk, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Mereka ada bersama-sama
membentuk kesatuan dan keutuhan dalam tata krama dinamika kehidupan kosmos. Tata krama
kehidupan kosmos diapresiasi seorang etnolog dengan menarik bias serta pengaruhnya pada
kehidupan setiap manusia, baik pribadi maupun dalam iklim kebersamaan yang harmonis.

BAB VIII

STRUKTUR SISTEM KEBUDAYAAN

Arti, Unsur, dan Wujud Kebudayaan Istilah budaya atau cultuur (Bahasa Belanda), berasal dan
kata bahasa Latin colere yang mengandung beberapa arti berikut: Pertama, merawat; budaya dan
tradisi serta warisan masyarakat dipelihara karena masyarakat yakin dengan cara itu kehidupan
manusia senantiasa dirawat oleh kekuatan para leluhur dan Yang Ilahi. Kedua, memelihara;
orang-orang desa selalu percaya, dengan jalan meneruskan semua warisan leluhur, maka
kehidupan manusi senantiasa dipelihara oleh bantuan para leluhur. Ketiga, menjaga para pemuka
adat dengan setia melaksanakan berbagai ritus dengan harapan, para leluhur selalu menjaga
paradigma kehidupan manusia di dalam masyarakat setiap hari. Keempat, melindungi; ketika
masyarakat melaksanakan dan meneruskan berbagai warisan budaya masa silam, para leluhur
melindungi generasi kini dari berbagai malapetaka, kesulitan dan persoalan hidup, baik pribadi
maupun bersama. Awal definisi tentang kebudayaan muncul dari ahli antropologi Inggris Sir
Edward Burnet Tylor (1832-1917). La menulis pada tahun 1871 dengan mendefinisikan
kebudayaan sebagai kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
hukum, moral, kebiasaan dan lain-lain kecakapan serta kebiasaan yang diperoleh manusia
sebagai anggota masyarakat (Haviland 1999 132) Konsepsi dasar tentang kebudayaan sebetulnya
dibangun pada landas refleksi terhadap struktur dan organisasi sosial, yakni usaha untuk
mendalami hubungan-hubungan antar kelompok di dalam masyarakat sebagai inti ikatan
persatuan. Sebagai entitas, masyarakat dipahami sebagai gabungan sekelompok orang yang
mendiami suatu daerah tertentu dan yang bersama-sama memiliki tradisi kebudayaan yang sama.
Ada istilah masyarakat majemuk, yakni kumpulan orang yang memiliki keanekaragaman pola
kebudayaan khusus Dalam konteks Indonesia, para pakar mengasalkan kata kebudayaan pada
kata bahasa Sanskerta buddhi yang berarti akal atau budi, dan bentuk jamaknya buddhayah
Dalam bingkai antropologi kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan ssstem gagasan, tindakan,
dan hasil karya manusia dalam bingkai satu kesatuan komunitas manusia dalam satu jejaring
yang luas, yakni "kehidupan masyarakat. Bapak antropologi Indonesia Koentjaraningrat
memberi definisi kepada kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil
karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar.

dinamika pembangunan haruslah terpanggil untuk ter mencari resultan yang prima untuk
mempersatukan butir-bu budaya tersebut. Nilai-nilai positif yang tercecer dalam aneka macam
buday suku-suku di Indonesia, hendaknya menjadi tanah subur yang bat untuk mencerdaskan
kehidupan anak-anak bangsa guna semaki mencinta nilai-nilai budaya Pancasila. Percikan hidup
yang namanya fairness, kepatutan, keadilan, kebersamaan dan lain sebagainya yang positif,
semuanya harus terus dipupuk untuk turut menunjang makna dan nilai hakiki yang terdapat
dalam sila-sila Pancasila. Kit membutuhkan Etnologi Indonesia, untuk membuka gerbang baru
bagi proses pemahaman yang lebih luas mengenai eksistensi suks suku yang bertebaran di
kawasan republik. Teristimewa dalam refleksi emik berkenaan dengan kerangka pikir Melanesia
dan Oceania.
perubahan dan perkembangan yang ada di sekitar lingkung di tempat ia hidup dan bergerak.
Dalam perjalanan sejarah, dapat melihat bagaimana akal dan budi digunakan manusia u
menjadikan hidup sesuatu yang berarti dan bermartabat. Keh kita mengkaji kelima pertanyaan di
atas untuk masuk lebih dala pada pemahaman yang benar mengenai peradaban manusia se
umum. Pertama, ciri khas kehidupan kota selalu ditandai dengan kultural perubahan relasi yang
terbuka dan berjalan tanpa kendali kalta Paradigma kehidupan kota selalu ditandai dengan
perubahan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, dengan tidak tunduk lagi pada adat serta
kebiasaan-kebiasaan di kampung dan desa. Kedua, terhad pertanyaan keunggulan apakah dari
kota-kota sehingga orang dari desa memilih untuk meninggalkan tempat tinggalnya lalu hijrah ke
kota? Jawabannya adalah, hasrat manusia sendiri untuk menyesuaikan d dengan perubahan yang
sedang melanda manusia dan masyarakat Ketiga, dalam segala-gala kota selalu menjadi sebagai
pusat atau lokas terjadinya peradaban baru, itu tersebab paradigma hidup kota selal menarik dan
menampung semua proses perubahan dalam kehidupan manusia. Suasana dan kondisi kehidupan
kota selalu terbuka untat menerima semua potensi yang terkandung dalam diri manusia.
Keempat, apa yang disebut dinamika perubahan mema selalu ada dalam setiap kelompok sosial.
Walau harus diingat, suasana desa dan kampung selalu lamban menanggapi perubahan den
perkembangan yang terjadi. Justru kota inilah yang selalu memberi peluang seluas-luasnya bagi
perkembangan yang pesat. Kelima, strukar kehidupan kota bahkan lebih dari itu, selalu memberi
peluang har bagi terciptanya stratifikasi yang lebih menjawabi kebutuhan setiap individu dalam
bingkai kehidupan bersama. Terhadap penjelas di atas, hal itu dapat diringkas menjadi empat
jenis perubahan kebudayaan yang mengantarai perkembangan masyarakat dari desa ke kota: (a)
inovasi pertanian, (b) diversifikasi pekerjaan ( 244pemerintahan pusat, dan (d) stratifikasi sosial
(Haviland, 1. Op Cit 306-314). Jadi, ada relasi inklusif antara "peradaban" di satu pihak dan
"perubahan pada pihak lain. Sejarah peradaban manusia Jaakkodai oleh empat jenis perubahan
kebudayaan seperti telah but sebelumnya. Untuk itu, berikut dikaji sejauh dapat keempat tersebut
guna melihat secara garis besar skema perubahan manusia dan masyarakat. Pertama, inovasi
pertanian. Kesetiaan manusia dan masyarakat pada awal mula untuk selalu dekat dengan alam,
membimbing kreativitas manusia untuk mencintai alam dengan mengolahnya hagi kepentingan
hidup bersama. berbagai tata cara kehidupan kota yang tertata dengan sangat baik. Haland
mencatat, Pemerintahan Raja Babylon yakni Hammurabi tara 1950-1700 tahun S.M. sangat
terkenal karena organisasi pemerintahannya yang efisien dan kecanggihan serta besamya sifat
dalam mengatur sistem hukum dalam bingkai keadilan ha banyak orang (Haviland, Ibid.).
Keempat, stratifikasi sosial. Perubahan kebudayaan jenis ini dapat dilihat dari kajian mengenai
terlahirnya kelas-kelas sosial dalam dinamika kehidupan kota, bila dibanding dengan pola
kehidupan desa dan kampung. Di Mesopotamia dikenal berbagai lambang status sosial yang
ternyata dikembalikan pada kelas-kelas sosial yang dbentuk oleh warga masyarakat kota.
Lambang status yang ada selalu dikaitkan dengan kedudukan, yang sebetulnya merujuk pada
peran dan fungsi yang dicipta dalam bingkai kehidupan kelas-kelas al tersebut. Peran dan fungsi
sebetulnya tertuju pada model dan bentuk pekerjaan yang sedang ditangani pada bingkai kelas-
kelas Untuk membuktikan adanya kelas-kelas sosial, para arkeolog menjelaskannya melalui
beberapa jalan antara lain (a) studi mengenai khasaan penguburan dan kerangka dengan
menggali kubur-kubur (b) memperhatikan besarnya rumah pada bekas-bekas kota yang dl, (c)
meneliti dokumen-dokumen tertulis berupa arsip yang ah tersimpan, dan (d) mempelajari
korespondensi orang-orang Epa yang menceriterakan tentang kebesaran-kebesaran peradaban
yang dilihatnya di daerah-daerah baru luar Eropa (Haviland. Ibid).

dalam kehidupan manu yakni (a) kata-kata tabu dan (b) dialek sosial. Kedua hal ini sang khas
dan amat istimewa, yang sungguh dimiliki warga masyarakat dan dapat membedakan manusia
dan masyarakat yang satu deng yang lain. Pada sisi tertentu kedua fenomena merupakan sebuah
cin berbahasa universal yang hampir berlaku di mana-mana. Namu ketika berhadapan dengan
arti dan makna, maka sifat univer menjadi tidak berlaku. Dalam arti ketika kita berhadapan
denga ruang lingkup pemaknaan, maka hal itu justru tergantung pada kemampuan bahasa untuk
mengapresiasi secara benar maksud d tuan dari para penutur. Para penutur dengan berlandas
pada ko sosial, memberi makna yang tunduk pada pemaknaan dari masyarakat tertentu. Ihwal
bahasa yang dimaksud adalah pemakain a yang justru melekat pada ruang lingkup masyarakat S
metafora metafora selalu taat dan tunduk pada konteks sosial psehingga sangat sulit dipahami
atau ditangkap artinya bagi para para penutur dari luar. Sifat penutut bidang etnolinguisik yang
sangat menarik, ketika kita dihadapk Pertama, kata-kata tabu.

pada kata-kata tabu atau istilah-istilah cabul dan berbagai hal yang ampaknya tidak senonoh,
yang agaknya merendahkan martabat dan harkat pribadi manusia. Dalam studi antropologi,
fenomena ni merupakan salah satu kunci untuk mempelajari situasi dan kondisi masyarakat
secara lebih benar. Prof. Fox dalam salah satu alisan (2019) berjudul "To Anger the Father: Kid's
Talk and the Mockery of Animals" mengungkap salah satu ciri Orang Rote (NTT) yang
menggunakan kata-kata kotor dalam pergaulan setiap hari sebagai media yang sangat populer.
Bahkan, Orang Timor dalam suasana relaks mengujar kata-kata tabu untuk menciptakan suasana
kekerabatan di antara mereka. Walau sepertinya memberi semangat dan inspirasi baru bagi
penutur dan serentak pada telinga para pendengarnya, sebetulnya kata-kata tersebut tidak pantas
diucap. Namun, pada waktu dan ruang tertentu, kata-kata itu sangat menarik diucapkan dengan
diselingi pekerjaan atau kegiatan tertentu pula. Hal tersebut memang secara moral-etis atau biasa,
justru dinilai sebagai ucapan kotor dan tidak boleh diperdengarkan di depan mata banyak orang.
Berdasar pada pertimbangan sosiolinguisik, inilah strategi berbudaya untuk membuktikan iklim
kehidupan yang asli, yakni kekerabatan dalam kehidupan setiap hari.

. Adapun duid disebabkan oleh adanya batas-batas yang ada pada kawasan penut yang dapat
berupa alasan psikologis, geografis, sosial, dan ekonomi Sementara itu, ada kenyataan lain di
dalam masyarakat, selalu ada daerah penyangga, yakni lokasi yang senantiasa tampil menjad
jembatan untuk menghubungkan tata krama perbedaan dalam diale dialek tersebut. 8.5
Kebudayaan Nasional Indonesia Tahun 1993 Koentjaraningrat menulis sebuah makalah "The
State and Ethnic Federalism in a Global Context" yang sed dipresentasi di Mexico City.'Inti dari
pendapat yang gemilang disarikan dari balik tulisan di atas, yakni mengenai diversitas sak
bangsa dan Kesatuan Nasional di Indonesia.

l istilah "kebudayaan nasional" guna mencari titik temu dalam memberi respek terhadap berbagai
ideologi dan identitas etnik Secara politis, istilah "kebudayaan nasional" sungguh bermaksud
luhur, walau dalam kenyataan hidup setiap hari, sebetulnya agak sulit mencari format baru untuk
menyusun sebuah kebudayaan yang bersifat umum dalam kerangka formal secara iuridis.
Persoalannya, salah satu hal pokok yang hendaknya diperhatikan dan balik kata atau istilah
kebudayaan adalah unsur lokal yang melekat pada konteks kepentingan masyarakat. Karena itu,
suasana dan iklim kehidupan Indonesia dalam kerangka "kebudayaan nasional sebetulnya
merupakan peluang untuk terus menyadari dua fenomena mendasar yang ada pada masyarakat,
nusa dan bangsa pada saat ini. Kedua hal itu adalah pluralisme dan multikulturalisme. Yang
pertama merujuk pada berbagai kepercayaan dan agama yang terdapat di bumi Indonesia dan
yang kedua berkenaan dengan adanya suku-suku dan kekayaan nik yang ada dalam kandungan
Indonesia.
' Bangsa dan Negara Indon bagai sebuah rumah dan Pancasila merupakan gagang pintu, d saat
seseorang yang sedang bertandang untuk mengecapi sejuk dan indahnya rumah Indonesia Raya.
Indonesia adalah kosmos yang memberi spektrum kehidupan bagi manusia, masyarakat, nusa
dan bangsa. Walau metafora gagang kehidupan dan Pancasila disanding dengan mengambil
contoh sebuah rumah temyata tidak sesuai, yang hendak dikatakan di sini adalah peranan
mahapenting dari makra dan nilai-nilai Pancasila bagi lestarinya eksistensi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Pancasila merupakan gagang kehidupan, dalam arti Bangsa
Indonesia sebagai teks, dan Pancasila merupakan konteks. Panca merupakan conditio sine qua
non bagi eksistensi bangsa dan nega Tidak ada Indonesia, jika tidak ada Pancasila. Napoleon
katakin Suatu bangsa tanpa agama (ideologi) adalah seperti kapal tanpa "Une nation sans
religion, c'est comme un vaisseau sans kemudi Pancasila adalah kemudi bagi kapal Indonesia,
sehingga yang tidak mengakui Pancasila adalah dia yang tidak mengakui eksistens bangsa
Indonesia. Pancasila inilah citra yang menunjuk inti sert arah hidup sebagai bangsa yang
merdeka dan Negara yang b berdaulat boule Pancasila tidak saja sebagai kompas hidup tetapi
"sesuatu yang mutlak: Pancasila yang sama adalah kemudi dan pengatur "kehidupan yang
bermartabat bagi i semua warga dan rakyat Indonesia.

sesuatu yang orisinal terlahir dari pusara dan bumi Indonesia, yang di atasnya terpercik butir-
butir kehidupan etnik yang mustahil ditolak eksistensinya. Harta karun Pancasila inilah yang
telah menjadi titik kulminasi dari ribuan etnisitas dan membentuk "pribadi dan jati din bangsa
Indonesia. Secara kultural, Pancasila inilah sebagai hal hakiki yang membuat pribadi bangsa dan
negara Indonesia menjadi lebih bermartabat dan tidak pernah meniru kepribadian dari bangsa
lain di dunia.

Pancasila inilah yang memberi kehidupan bagi setiap warga Indonesia untuk tetap eksis di
tengah kehidupan internasional dan di tengah paradigma dan dinamika kehidupan para bangsa
sedunia (pilgrim principle). Ibarat seorang insan tidak mungkin hidup dan bergerak jika tiada
napus bagi kehidupan, maka sebagai orang Indonesia, mustahil dan tiada Sebagai bangsa dan
Negara (nation, domain, dan statel Indonesia tidak mungkin eksis tanpa kehadiran Pancasila,
Pancasila kehidupan jika tanpa Pancasila.

Dalam arti setiap pribadi yang mengakui nilai hakika Pancasila, selalu tampil beda dengan
setiap insan berbudi di planet bumi ini. Pancasila yang sama dapat diibaratkan sebagai sebuah
mutiara terpendam yang selalu dirindu, sehingga selalu ada usaha dan upaya untuk menggali dan
terus menggalinya kembali. Pancasila tertimbun sejarah pragmatisme dan terkubur dalam
imaginasi sosial serta senantiasa dipahami secara keliru dari dalam tatanan "setengah alam
kesadaran" manusia Indonesia." Silang pendapat dan perbenturan refleksi mengenai apakah
masih perlunya Pancasila, hal ini menunjuk pada realitas Hal itu menjadi bukti otentik akan
orang-orang Indonesia yang yang sangat mendesak untuk dibahas dan dikaji mengenai eksistensi
Pancasila di bumi Indonesia. Krisis jati diri sela berdampak pada tindakan yang sembrono untuk
membenarka berbagai "kesalehan sosial" di tengah aneka paradigma kehidupa bersama yang
semakin merosot, yang ditandai dengan kemiskinan pengangguran, konflik antarkelompok,
pertentangan mindset, bela pemahaman akan prosperity, tidak besedia saling menerima akib
kepicikan berpikir, selalu mau menang sendiri, memaksakan kehendak dengan bertindak
sewenang-wenang dengan salah mengandalkas kuasa dan materi.'s Yang dirasakan banyak orang
di mana-mana (di seluruh Indonesia), jiwa hidup bersama dibelenggu oleh pemahaman yang
keliru terhadap hakikat Pancasila dan sikap serakah batin menggerogoti jati diri bangsa dan
negara.

Berbagai kebijakan dalam kehidupan bersama, baik formal maupun nonformal dan informal,
tidak boleh bersebelahan dengan makna dan nilai-nilai luhur Pancasila. Merebaknya arus
modernisme dan semakin meluasnya pengaruh globalisasi, aksi, dan refleksi yang harus
dilakukan adalah mencan harmoni dan toleransi beragama. Tentunya usaha tersebut haruslah
tetap berpedoman pada nilai-nilai Pancasila. Yudi Latif menggunakan istilah "Pancasila harus
didudukkan secara proporsional" sesuai dengan konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara." Hal menarik dapat dijumpai dalam karya Yudi Latif adalah seberapa jauh ada
hasrat luhur untuk (a) membumikan Ketuhanan dalam kerangka Pancasila," (b) membumikan
Kemanusiaan dalam kerangka Pancasila, (c) membumikan Persatuan dalam Kerangka Pancasila,
(d) membumikan Demokrasi Permusyawaratan dalam Kerangka Pancasila," dan (e)
membumikan Keadilan Sosial dalam kerangka Pancasila."

bagi struktur dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara topologi metafisik dan filosofis,
Pancasila inilah aliran kehidupan the flow of life) dan akar kehidupan (the root of life) bagi
masyarakat, nga dan negara Indonesia. Dari balik refleksi perspektif sejarah, tepat pada tanggal 1
Juni 1945, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), Bung Karno telah nyampaikan visi dan pandangannya yang sangat brilliant tang
fondasi dasar Indonesia Merdeka yang disebutnya dengan istilah Pancasila. Semenjak saat itu
Pancasila yang sama madi philosofische grondslag (dasar filosofis) atau sebagai veltanschauung
(pandangan hidup dalam kaitan dengan analisis kosmologis) Indonesia. Pancasila telah
mengalami berbagai "baru ujian dalam dinamika sejarah sistem politik, seirama dengan
paradigma kehidupan berdemokrasi, baik pada era sistem pemerintahan parlementer, maupun era
demokrasi terpimpin dan akhirnya era demokrasi Pancasila, dan bahkan sepanjang sejarah
formasi Pancasila adalah elan vital dinamika pembangunan masyarakat, bangsa dan negara
Indonesia. Dalam perspektif Ilmu Etnologi, dinamika pembangunan harus mengabdi manusia
dan masyarakat Indonesia seutuhnya, selengkapnya dan tidak terbagi. Berbagai pendekatan yang
digelar dalam dinamika pembangunan haruslah berusaha dengan serius untuk memperhatikan
sila-sila Pancasila secara cermat. Ruang gerak dari dinamika pembangunan haruslah berjuang
sekuat tenaga perspektif antropologi, ruang lingkup pembangunan hendaknya untuk (a)
mengaplikasi sila pertama Pancasila. Dalam concerned untuk membumikan makna Ketuhanan
dalam kerangka Pancasila. Kemudian (b) berkenaan dengan sila kedua Pancasila, jurus- jurus
kegiatan pembangunan harus setia pada kemanusiaan universal.Hal krusial yang harus menjadi
titik pusat adalah membumikan makna kemanusiaan dalam kerangka Pancasila. Berkenaan
dengan sila ketiga, (c) segala yang diaplikasi dalam dinamika pembangunan haruslah terus
berpihak pada adagium persatuan dalam kebinekin. Identifikasi karya pembangunan yang harus
diperhatikan adalah upaya yang serius untuk membumikan persatuan dalam kerangka Pancasila.
Pada gilirannya berkaitan dengan sila keempat Pancasila, (d) dinamika pembangunan haruslah
setia membumikan demokrasi permusyawaratan dalam kerangka Pancasila. Terakhir (e) semua
usaha pembangunan harus ikhlas membumikan keadilan sosial dalam kerangka Pancasila.

Anda mungkin juga menyukai