Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

ANTROPOLOGI

DOSEN PENGAMPU : RELI FITRIANI,M.Hum

Di Susun Oleh:

Muhammad Zikrol Maulidi (230601035)

Septia Haerani (230601068)

Fajrin (230601063)

PRODI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI MATARAM

TAHUN 2023/2024
BAB I

PEMBAHASAN

A. Pengertian Antropologi
Antropologi berasal dari dua akar kata Yunani:antropos artinya ”orang” atau
“manusia”,dan logos,artinya ilmu/nalar. Menurut kamus atrhopology dapat diartikan
sebagai suatu ilmu yang berusaha mencapai pengertian tentang makhluk manusia dengan
mempelajari aneka warna bentuk fisik, kepribadian, masyarakat, serta kebudayaannya .
Dari analisis usul asal kata, disimpulkan bahwa antropologi merupakan ilmu pengetahuan
tentang manusia. Dalam refleksi yang lebih bebas, antropologi adalah ilmu pengetahuan
yang mencoba menelaah sifat-sifat manusia secara umum dan menempatkan manusia yang
unik dalam sebuah lingkungan hidup yang lebih bermartabat1.
Antropologi modern meneruskan apa yang telah dimulai oleh strategi tradisional
dari usaha antropologi pada masa-masa lampau. Yang terasa sepanjang sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan umumnya, ilmu antropologi berupaya untuk membangun
sebagai kajian ilmiah tentang manusia dalam bingkai kehidupan sosial dengan membuat
perbandingan antar sosialitas yang satu dengan yang lain. Perbandingan tersebut terutama
berkenaan dengan pola menempatkan model sosialitas masa silam dengan yang sekarang,
dan bahkan berkaitan dengan yang bakal terjadi (nanti). Pemahaman antropologi dalam
kerangka perbandingan ini bersifat komprehensif, dalam arti elemen-elemen yang diambil
untuk dibuat perbandingan sungguh memberi satu pemahaman yang menyeluruh
berkenaan dengan kehidupan manusia, baik pribadi maupun kelompok. Dengan demikian,
kajian perbandingan antropologi merangkumi manusia, karya dan seluruh keberadaannya,
seperti terlihat secara struktural dalam uraian mengenai dua elemen dasar kehidupan
manusia sebagai satu entitas pribadi dan makhluk sosial.
Berikut ada beberapa Pengertian Antropologi Menurut Ahli adalah:
a. Keesing (1981), Antropologi adalah kajian tentang manusia.
b. Haviland (1985), Antropologi adalah suatu studi tentang manusia dan perilakunya dan
melaluinya diperoleh pengertian lengkap tentang keanekaragaman manusia.

1
Gunsu Nurmasyah dkk, Pengantar Antropologi ( Bandar Lampung: AURA CV. Anugrah Utama Raharja, 2019), hal 1
c. Prof Harsojo, Antropologi adalah ilmu pengetahuan yang memepelajarai tentang umat
manusia sebagai mahluk Masyarakat, terutama pada sifat-sifat khusus badani dan cara-
cara produksi, tradisi-tradisi dan nilai-nilai yang membuat pergaulan hidup menjadi
berbeda dari yang satu dengan lainnya.
d. Koentjaraningrat (2009), Ilmu antropologi memperhatikan lima buah masalah
mengenai mahluk hidup yaitu :
• Masalah pada perkembangan manusia sebagai mahluk biologis
• Masalah pada sejarah terjadinya aneka bentuk mahluk manusia, dipandang dari
sudut ciri-ciri tubuhnya.
• Masalah pada Sejarah asal, perkembangan, serta penyebaran berbagai macam
Bahasa di seluruh dunia.
• Masalah persebaran dan terjadinya keanekaragaman kebudayaan manusia di
seluruh dunia.
• Masalah pada dasar-dasar dan keanekaragaman kebudayaan manusia dalam
kehidupan Masyarakat-masyarakat dan suku bangsa yang tersebar di seluruh
penjuru bumi pada zaman sekarang ini2.

Beberapa mahasiswa di tanya tentang pengertian Antropologi, sudah bisa


dipastikan jawabannya akan berbeda. Mahasiswa pertama, mungkin menjawab
Antropologi sebagai ilmu yang mempelajari proses evolusi manusia, dari manusia primitif
sampai dengan manusia modern. Untuk jawaban seperti ini, biasanya terjadi proses diskusi
yang panjang. Kelompok mahasiswa tertentu beranggapan bahwa manusia itu tidak
mengalami proses evolusi. Sejak awal manusia hadir secara fisik seperti manusia pertama
di muka bumi ini, yaitu Nabi Adam. Sementara kelompok mahasiswa lainnya memiliki
pendapat, bahwa manusia itu berevolusi dalam waktu berjuta-juta tahun, sebelum menjadi
manusia seperti sekarang ini. Persoalan yang berkembang dalam diskusi, biasanya
bermuara tentang munculnya manusia serta perkembangannya. Pembuktian secara ilmiah,
dilakukan dengan mencari dan menganalisis fosil-fosil manusia yang terpendam di bumi.
Guna memperoleh pengertian tentang persoalan tersebut, para ahli biologi menjelaskan
terjadinya percabangan dalam proses evolusi yang digolongkan dalam tiga kategori, (1)

2
Gunsu Nurmansyah, Pengantar Antropologi (Bandar Lampung: AURA CV. Anugrah Utama Raharja, 2019) hal 2-3
proses mutasi, (2) proses seleksi dan adaptasi, (3) proses menghilangnya gen sec ara
kebetulan. Mutasi merupakan proses yang berasal dari dalam organisme. Gen yang telah
lama diturunkan dari generasi ke generasi beribu-ribu tahun lamanya, pada suatu ketika
gen itu di bentuk oleh zygote yang baru, dapat berubah sedikit sifatnya. Akibatnya, individu
baru yang tumbuh dari zygote tadi akan mendapat ciri-ciri tubuh baru yang tidak terdapat
pada nenek moyangnya3.

B. Sejarah Antropologi
Antropologi yang dewasa ini diajarkan hampir di semua perguruan tinggi, baik
dalam ilmu sosial maupun eksakta adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia,
baik bentuk tubuh maupun karyanya. Dibandingkan dengan ilmu pengetahuan yang lain,
antropologi masih merupakan ilmu yang sangat muda usianya sebagaimana akan
digambarkan dalam beberapa babakan/fase perkembangan berikut.
Perlu disadari bahwa babakan dalam uraian berikut hanyalah menyangkut periodisasi suatu
masa yang dicirikan dengan kekhususan yang dimilikinya. Karena sifatnya yang demikian,
tidak jarang ditemukan beberapa versi dalam uraian sejarah perkembangan ilmu ini oleh
beberapa penekun ilmu antropologi dalam beberapa kepustakaan4.
1. Fase Pertama (Sebelum 1800)
Fase pertama ini ada yang menyebutnya fase penemuan, ada juga yang menyatakan
sebagai era pencatatan/deskripsi tentang bangsa-bangsa dan laporan kisah-kisah
perjalanan. Umumnya laporan perjalanan ini merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
para musafir, misionaris penyebar agama, pedagang keliling, dan lain-lain. Dalam
beberapa laporan tertulis yang sempat dibukukan, ternyata lukisan tentang masyarakat
dan berbagai suku bangsa di luar Eropa, banyak juga yang dilakukan oleh pegawai-
pegawai dinas jajahan pemerintah kolonial Belanda dan Inggris. Sebut saja, misalnya,
masa penjajahan Inggris di Bengkulu, W. Marsden dalam tahun 1873 menulis The
History of Sumatra, tentang suku-suku bangsa di Indonesia, yaitu: Minangkabau,
Malays, A Chinese, Battas, Rejang, dan Lampoongs. Meskipun menguraikan tentang
Sumatra, buku ini sebagian besar isinya mengungkapkan tentang daerah Rejang,
tempat Marsden menjadi pejabat pemerintah, bukan Sumatra pada umumnya.

3
Sugeng Pujileksono, Pengantar Antropologi (Malang: Intrans Publishing, 2015),hal
4
Gede A. B. Wiranata, Antropologo Budaya (PT. Citra Aditya Bakti), hal 6
Bersamaan dengan masa Inggris, pada masa Belanda usaha-usaha demikian ini juga
masih banyak dilakukan. Selain dalam tulisan-tulian yang bersifat mandiri, pemerintah
Belanda bahkan sempat menerbitkan majalah secara berkala yang di dalamnya memuat
uraian tentang monografi suatu wilayah tertentu dalam Tijdschrift voor Nederlands
Indische Taal, Land, en Volkerkunde.
Dalam rentang waktu yang berlangsung hampir empat abad lamanya, selama fase
pertama ini sebagian besar penduduk pribumi mulai meng- alami proses perubahan
mendasar akibat bersosialisasi dengan mereka. Pada masa ini, misalnya, diketahui
pelaksanaan pelayaran Kapten Cook. Dia mengelilingi Tanjung Harapan dan terus
berlayar hingga sampai di Selandia Baru, dilanjutkan pada tahun 1774 menemukan
Pulau Sandwich dan Kaledonia Baru dan bagian-bagian lain dari Kepulauan Polinesia.
Secara cermat dituliskannya adat kebiasaan pribumi Selandia Baru dan Australia, dan
mengumpulkan bahan-bahan hasil pekerjaan tangan pen- duduk pribumi, kain dari kulit
kayu, alat-alat senjata, dan sebagainya (Per- hatikan T.O. Ihromi; 1996).
Dalam laporan perjalanan orang-orang Eropa ini termuat juga di dalamnya tentang
identifikasi suatu tempat atau wilayah yang mereka kunjungi, adat istiadat, dan
kecenderungan perilakunya. Tulisan ini khususnya mengenai hal-hal yang aneh,
menarik, bahkan sangat asing, tidak jarang hanya menyangkut segala sesuatu tentang
keunikan suatu suku bangsa itu, misalnya, mitos suku bangsa tertentu di pedalaman
Kalimantan dan Irian yang memiliki kebiasaan mengayau (memenggal) kepala
musuhnya kemudian meminum darah korbannya dan sebagainya. Hanya saja ada
kelemahan prinsip dari laporan dan kisah-kisah perjalanan demikian ini, yaitu bahwa
keseluruhan uraiannya terbatas hanya pada subjektivitas penulisnya. Oleh karenanya,
sebagian besar muatan tulisan ini perlu dikaji ulang kebenarannya.
Dari penggambaran di atas, akhirnya memunculkan istilah etnografi, yaitu konsep
tentang pelukisan suku bangsa (ethnos berarti bangsa dan grafien-grafier yang berarti
pelukisan). Jadi, tidaklah mengherankan kalau masa ini ilmu antropologi identik
dengan ilmu etnografi.
Terhadap pelukisan suku bangsa-suku bangsa ini, Koentjaraningrat (1997) menyatakan
bahwa di kalangan kaum terpelajar di Eropa, tempat bahan pelukisan ini dibaca,
dipelajari, dan ditelaah, muncullah berbagai sikap, yaitu:
a. Sebagian dari mereka memandang tentang sifat keburukan dari banasa-bangsa yang
dituliskan itu. Mereka (suku bangsa yang dituliskan) itu sesungguhnya bukan
manusia, melainkan manusia liar ataupun turunan iblis. Terhadap mereka layak
disebut savages, primitives, dan lain-lain.
b. Sebagian memandang sikap baik dari bangsa yang dilukiskan. Mereka itulah
masyarakat yang masih murni, belum kemasukan kejahatan dan sifat buruk, iri,
dengki, dan materialis, sebagaimana masyarakat Eropa pada umumnya.
c. Sebagian lagi dari kalangan terpelajar Eropa tertarik akan keanehan dan keunikan
adat istiadat bangsa yang dituliskan itu. Dampak dari sikap ini adalah timbulnya
suatu upaya dan usaha mengumpulkan benda-benda hasil kebudayaan suku bangsa
tersebut, selanjutnya dihimpun sehingga timbullah lembaga semacam "museum"
tentang kebudayaan.

Pada masa ini terdapat semacam kebanggaan dan kepopuleran di antara kelas-kelas
masyarakat elite dan borjuis tertentu di Eropa apabila mereka memiliki koleksi benda-
benda tertentu milik suku bangsa seberang lautan.

Museum etnografi pertama kali kemudian didirikan di Kopenhagen, Denmark, pada


tahun 1841 oleh C.J. Thomsen. Meskipun prinsip dasar permuseuman telah
dikembangkan juga sebelumnya oleh J.F. Blumenbach, E.F. Jonard dalam tahun 1828
di Paris bahkan pernah ada seksi khusus dari perpustakaan Kerajaan Paris dalam bentuk
seksi Depot de Geo- graphie.

Pemikiran yang beraneka ragam ini berkepanjangan sampai akhir abad ke-18. Setelah
itu, banyak orang Eropa berpendapat bahwa perilaku bangsa-bangsa asing ini sama
sekali relevan untuk memahami diri mereka sendiri. Kesadaran tentang
keanekaragaman umat manusia itu, yang datang pada waktu orang lebih banyak
berusaha menerangkan segala sesuatu berdasarkan hukum alam, menimbulkan
kesangsian tentang mitologi Injil yang tradisional, yang tidak memberi "keterangan"
yang memadai lagi tentang keanekaragaman manusia. Dari pemikiran ulang yang
kemu- dian terjadi, timbullah kesadaran bahwa studi tentang bangsa-bangsa
"biadab"/"savages" itu adalah suatu studi tentang umat manusia seluruhnya5.

2. Fase Kedua (Pertengahan Abad Ke-19)


Perkembangan fase kedua ini dimulai dengan tahap penyusunan dan penganalisisan
bahan etnografi pada fase I di atas. Bahan-bahan yang tertuang dalam lukisan suku-
suku bangsa terutama di luar Eropa telah menimbulkan kesadaran di kalangan
terpelajar khususnya Eropa Barat mengenai beraneka ragam ciri-ciri ras, bahasa, dan
fenomena budaya umat manusia.
Dalam babakan ini sudah muncul konsep cara berpikir evolusi masyarakat, yang secara
garis besar intinya adalah bahwa masyarakat dan kebudayaan manusia telah berevolusi
dengan sangat lambat dalam jangka waktu ribuan tahun lamanya dari tingkat yang
rendah dan melalui beberapa tingkat antara sehingga sampai ke tingkat tertinggi serta
kompleks. Pada dasarnya semua kelompok manusia di muka bumi mengalami proses
demikian. Oleh karena proses itu terjadinya tidak merata dalam waktu bersamaan,
dapatlah dipahami kalau pada masa sekarang ini ada kelompok manusia yang hidup
dalam tingkat evolusi budaya dan sosialnya tinggi, tetapi ada juga masyarakat yang
belum banyak berubah sejak zaman dahulu hingga makhluk manusia sekarang.
Pada fase perkembangan kedua ini antropologi menjadi satu ilmu yang bersifat
akademikal dengan tujuan mempelajari manusia dan masyarakat serta kebudayaannya
yang primitif dengan maksud untuk mendapatkan suatu pengertian tentang tingkat-
tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia6.
3. Fase Ketiga (Permulaan Abad Ke-20)
Perkembangan pada fase ini sangat erat kaitannya dengan eksistensi kolonialisme
imperialisme negara-negara Eropa dan Amerika Serikat (walaupun negara ini bukan
negara kolonial, mereka berkuasa atas negara- negara bagian). Karena itu, apabila ingin
mengenal suatu daerah, hanya ada satu cara, yakni memahami dan mengenali tabiat
serta sikap watak yang khas dari suatu wilayah dan suku bangsa yang bersangkutan.
Gambaran bagaimanakah hubungan antara antropologi dan kolonialisme dikemukakan
oleh Viollet/Liaison Agency:

5
Gede A. B. Wiranata, Antropologi Budaya (PT. Citra Aditya Bakti) hal 6-9
6
Gede A. B. Wiranata, Antropologi Budaya (PT. Citra Aditya Bakti) hal 9-10
Pada fase ini antropologi menjadi suatu ilmu yang praktis dengan tujuan mempelajari
masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan
pemerintah kolonial dan guna mendapat suatu pengertian tentang masyarakat masa kini
yang kompleks7.
4. Fase Keempat (Sesudah Kira-Kira 1930)
Fase keempat sering juga disebut sebagai fase ilmiah antropologi, tetapi ada pula
yang menyebutnya sebagai era pembaharuan dan penemuan ilmu antropologi yang
sesungguhnya. Pada fase ini perkembangan ilmu antropologi demikian pesatnya.
Beberapa hal yang menjadi sebab ilmu ini berkembang sangat pesat, di antaranya:
a. Bertambahnya koleksi bahan pengetahuan akibat dilakukan dengan cara yang jauh
lebih teliti.
b. Ketajaman metode ilmiah yang digunakan dalam penelitian.
c. Timbul rasa antipati terhadap kolonialisme khususnya sesudah Perang Dunia II
usai.
d. Hilangnya bangsa-bangsa primitif (dalam arti bangsa-bangsa asli dan terpencil dari
pengaruh kebudayaan Eropa-Amerika).
Suku bangsa demikian ini sejak sekitar tahun 1930 mulai hilang dan sesudah Perang
Dunia II bahkan hampir tidak ada lagi di muka bumi ini. Dengan kondisi demikian
seolah-olah hilangnya objek kajian antropologi.

Selanjutnya, melalui suatu Simposium Internasional Antropologi di Amerika Serikat pada


tahun 1951 sebanyak enam puluh orang ahli antropologi mengadakan kajian ulang tentang
tujuan dan ruang lingkup ilmu antropologi. Salah satu rumusannya adalah bahwa secara
akademik ilmu ini ingin mencapai pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya
dengan mempelajari aneka warna bentuk fisik, masyarakat, serta kebudayaannya, dan
secara praktis ingin mempelajari manusia dalam aneka warna masyarakat suku bangsa
guna membangun masyarakat suku bangsa itu sendiri8.

7
Gede A. B. Wiranata, Antropologi Budaya (PT. Citra Aditya Bakti) hal 10-11
8
Gede A. B. Wiranata, Antropologi Budaya (PT. Citra Aditya Bakti) hal 11-12
C. Metode Ilmiah
Sebelumnya telah dikemukakan bahwa ilmu antropologi memiliki spesifikasi
kajian terhadap manusia dibandingkan dengan ilmu lain yang juga mengkaji mnusia
sehingga muncul pertanyaan, apa yang ingin diketahui dalam kajian ilmu ini? Bagaimana
cara pendekatannya, cara yang harus dipergunakan, bagaimana langkah-langkah
pendekatannya, dan apa sarana bantu yang dapat dipergunakan untuk mengkaji secara
ilmiah ilmu ini?
Pertanyaan mendasar ini membutuhkan kerangka berpikir secara ilmiah yang harus
dimiliki oleh pengkaji ilmu antropologi. Ketertarikan untuk mengkaji keragaman
kebiasaan atau kebudayaan dari sesama manusia telah menggelitik manusia untuk
mengadakan pengkajian.
Studi tentang manusia merupakan studi yang relatif masih baru sifatnya, sekitar 150 tahun
terakhir. Untuk memperoleh hasil yang maksimal, ia yakin harus dimiliki suatu tatanan
ilmiah yang selama ini dilakukan oleh para ahli lainnya, yaitu secara objektif dan sistematis
melalui observasi mendalam yang tidak bersifat memihak. Metode ilmiah dari suatu ilmu
pengetahuan adalah jalan atau cara yang dipakai ilmu tersebut untuk sampai pada kesatuan
pengetahuan dan memperoleh konklusi ilmiah berdasar- kan postulat dan preposisi
tertentu. Kesatuan pengetahuan dalam ilmu antropologi dicapai melalui:
1. Pengumpulan Fakta
Melalui kegiatan pengumpulan data peneliti memperoleh pengetahuan tentang
berbagai kejadian, gejala dari suatu kebudayaan masyarakat untuk kemudian diolah.
Aktivitas pengumpulan data ini berupa kegiatan observasi, pencatatan, pengolahan, dan
pelukisan fakta yang terjadi dalam masyarakat yang hidup. Penelitian yang dilakukan
tidak hanya terfokus pada satu rangkaian kegiatan, misal- nya, di lapangan atau cukup
di perpustakaan saja. Ketiga rangkaian cara di atas harus dilakukan secara bersama-
sama oleh karena satu dengan lainnya saling memiliki keterkaitan. Proses perolehan
data dalam kegiatan ini meliputi fieldworks, yaitu penelitian kasus di lapangan,
pengkajian dan penelaahan di laboratorium, serta penelitian pstaka di perpustakaan9.

9
Gede A. B. Wiranata, Antropologi Budaya (PT. Citra Aditya Bakti) hal 12-13
2. Penentuan Ciri-Ciri Umum dan Sistem
Dari data yang telah terkumpul dilakukan upaya pemilahan atas dasar spesifikasi
ciri khas masing-masing fakta yang ada. Pada penahapan ini dilakukan pencarian
hubungan dan keterkaitan secara sistematis masing-masing variabel dan kovariabel
dasar penelitian. Dengan pernyataan-pernyataan yang dirumuskan sedemikian rupa
akan diketahui hubungan-hubungan yang mantap antara berbagai fakta dalam alam
yang disebut kaidah-kaidah alam10.
3. Verifikasi
Verifikasi merupakan metode pengujian dalam kenyataan terdiri atas cara-cara
yang harus menguji kaidah-kaidah yang telah di rumuskan atau yang harus memperkuat
"pengertian" yang telah dicapai. Metode yang dipergunakan cenderung bersifat
kualitatif. Hal ini dilandasi suatu keinginan mencoba memperkuat pengertian dengan
menerapkan pengertian itu dalam kenyataan beberapa masyarakat yang hidup, tetapi
dengan cara mengkhusus dan mendalam11.

10
Gede A. B. Wiranata, Antropologi Budaya (PT. Citra Aditya Bakti) hal 13
11
Gede A. B. Wiranata, Antropologi Budaya (PT. Citra Aditya Bakti) hal 13
BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan
Antropologi merupakan ilmu pengetahuan yang berusaha memahami manusia
melalui studi tentang berbagai aspek fisik, kepribadian, masyarakat, dan kebudayaannya.
Antropologi modern berfokus pada membandingkan pola sosial dari masa lalu, masa kini,
dan masa depan, serta memahami keseluruhan keberadaan manusia baik sebagai individu
maupun sebagai bagian dari masyarakat.
Sejarah antropologi dimulai dari fase penemuan dan deskripsi suku-suku bangsa
oleh para musafir, misionaris, dan penjajah pada sebelum tahun 1800. Kemudian
berkembang menjadi ilmu akademik yang mempelajari evolusi masyarakat dan
kebudayaan manusia pada abad ke-19. Selama periode kolonialisme, antropologi
digunakan untuk kepentingan pemerintah kolonial dalam memahami masyarakat asli di
luar Eropa. Setelah tahun 1930, antropologi berkembang pesat sebagai ilmu yang lebih
ilmiah dengan metode penelitian yang lebih sistematis dan objektif.
Metode ilmiah dalam antropologi melibatkan pengumpulan data melalui observasi,
pencatatan, dan analisis baik di lapangan maupun di perpustakaan. Data tersebut kemudian
diolah untuk menentukan ciri-ciri umum dan sistem yang ada dalam masyarakat yang
diteliti. Terakhir, hasil tersebut divalidasi melalui pengujian dan penerapan dalam
kehidupan nyata masyarakat.

Dengan demikian, antropologi bukan hanya mempelajari manusia sebagai individu,


tetapi juga sebagai bagian dari masyarakat dan kebudayaannya dengan menggunakan
metode ilmiah yang sistematis dan objektif.
DAFTAR PUSTAKA

➢ 1.Nurmansyah, G., Rodliyah, N., & Hapsari, A, Recca. (2019). Pengantar


Antropologi. Bandar Lampung: AURA CV Anugrah Utama Raharja.
➢ Pujileksono, S. (2015). Pengantar Antropologi. Malang: Intrans Publishing.
➢ Wiranata, G. Antropologi Budaya. PT. Citra Aditya Bakti

Anda mungkin juga menyukai