Anda di halaman 1dari 10

PERTEMUAN 1

POSTKOLONIALISME: DEFINISI, SEJARAH, DAN KAJIAN SASTRA

Dosen Pengampu:
Zulva Sudarti S.Pd.,M.Pd

Disusun oleh
Janoval Rizki Aditiya (191010700491)
Muhamad Arby al munta Wakil (191010700442)

A. Tujuan Pembelajaran

Pada pertemuan pertama kali ini kami (kelompok 1) ingin memaparkan materi
Postkolonialisme secara definisi, sejarah, dan kajian sastra.

B. Uraian Materi

I. DEFINISI POSTKOLONIALISME

Poskolonial merupakan sebuah kajian yang mengkaji berbagai aspek terkait


kolonialisme ataupun imperialisme, baik secara sinkronik maupun diakronik. Dengan
adanya kajian ini, makna-makna hegemoni kekuasaan yang dilakukan oleh Barat dalam
berbagai literatur atau media lain dapat dibongkar.

Pascakolonialisme atau studi pascakolonial adalah disiplin akademik dengan


metode diskursus intelektual yang mempelajari, menjelaskan, dan menilai warisan budaya
kolonialisme dan imperialisme serta dampak kemanusiaan dari penjajahan suatu negara
dan permukiman pendatang yang bertujuan memanfaatkan penduduk pribumi dan
tanahnya. Diturunkan dari aliran pascamodernisme, studi pascakolonial menganalisis
politik pengetahuan (penciptaan, pengendalian, dan penyebaran) dengan mempelajari
hubungan fungsional kekuasaan sosial dan politik yang memungkinkan kolonialisme dan
neokolonialisme bertahan—persoalan gambaran penjajah dan terjajah (sosial, politik,
budaya). (Wikipedia 11 Juni 2022) .

Sebagai genre dari sejarah kontemporer, pascakolonialisme mempertanyakan dan


menemukan kembali mode-mode persepsi budaya—cara memandang dan dipandang.
Dalam antropologi, pascakolonialisme mempelajari hubungan manusia di negara-negara
kolonial dan masyarakat subaltern yang dieksploitasi oleh pemerintahan kolonial.[1]
Dalam teori kritis, pascakolonialisme memaparkan, menjelaskan, dan menggambarkan
ideologi dan praksis neokolonialisme dengan mengambil contoh dari ilmu-ilmu
humaniora—sejarah, dan ilmu politik, filsafat dan teori Marxis, sosiologi, antropologi, dan
geografi manusia; perfilman, agama, dan teologi; feminisme, ilmu bahasa, dan sastra
pascakolonial, dengan genre anti-penjajahan yang memaparkan kisah-kisah penaklukan
orang-orang subaltern pada masa kolonial. (Wikipedia 11 Juni 2022)

Poskolonial yang secara etimologis berasal dari kata ‘post’ dan ‘kolonial’,
sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari akar kata ‘colonia’, bahasa Romawi, yang
berarti tanah pertanian atau pemukiman. Jadi, secara etimologis kolonial tidak
mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi eksploitasi lainnya.

Sebagai suatu epistemologi (studi pengetahuan, sifatnya, dan ketersahkannya),


etika (filsafat moral), dan politik (urusan kewarganegaraan), bidang pascakolonialisme
menangani politik pengetahuan—permasalahan yang mencakup identitas pascakolonial
sebuah bangsa yang mengalami dekolonisasi yang berasal dari: (i) penciptaan pengetahuan
budaya tentang bangsa terjajah oleh bangsa penjajah; dan (ii) bagaimana pengetahuan
budaya Barat digunakan untuk menundukkan bangsa non-Eropa agar bisa dijadikan koloni
negara induk Eropa yang diberlakukan setelah serangan awal lewat identitas budaya
"penjajah" dan "terjajah".

II. SEJARAH POSTKOLONIALISME


postkolonial tidak berkaitan dengan suatu masa waktu tertentu, seperti “post
kemerdekaan” atau “sesudah kolonialisme”. Namun, postkolonialitas merupakan sebuah
cara berpikir dan memandang sebuah peristiwa, entitas kebudayaan atau pemikiran
apapun secara kritis Adapun wacana-wacana postkolonial yang sebagian besar mengacu
pada persoalan identitas. Misalnya saja gender, seksualitas, ras, kelas, hibriditas identitas,
serta subaltern. Dalam tulisan kali ini penulis mencoba membahas seputar subaltern dan
hibriditas.

Istilah subaltern mungkin memang kedengaran janggal bagi sebagian orang.


Mungkin mahasiswa pun yang sering disebut sebagai kaum intelektual hanya
sebagiannya saja yang mengerti makna dari subaltern. Padahal kata tersebut memiliki
makna yang sangat dalam, apalagi bagi negara dunia ketiga seperti Indonesia yang selalu
berada di bawah bayang-bayang negara super power dan adikuasa.

Subaltern bermakna of inferior rank, yang berkedudukan di bawah atau golongan


terpinggir, manusia kecil yang tidak berkuasa. Istilah ini dipopularkan oleh Antonio
Gramsci (1891—1937) seorang intelektual muda Italia yang berjuang dalam politik kiri
semasa pemerintahan diktator Musolini dalam makalah yang bertajuk “On the Margins
History: History of the Subaltern Social.

Group” pada tahun 1934. Istilah subaltern pada asalnya bermaksud perwira di
bawah kapten, kemudian berkembang kepada makna orang tertindas, deskripsi tentang
pelbagai kelompok yang didominasi dan dieksploitasi serta kurang memiliki kesedaran
kelas.

Istilah subaltern lebih sering disebut dan mulai berkembang sejak Gayatri
Chakravorty Spivak, perempuan India, profesor di Universitas Pittsburgh,
mempublikasikan tulisannya “Can the Subaltern Speak? Speculations on Widow-
Sacrifice” (Dapatkah Subaltern Berbicara? Spekulasi-spekulasi tentang Bunuh Diri
Janda) di jurnal Wedge. Melalui studinya tentang bunuh diri janda di India (sati), tulisan
itu di kemudian hari menjadi sangat berpengaruh di kalangan intelektual pascakolonial
tentang tendensi-tendensi kolonial dalam teori-teori pascakolonial.
Bila dikontekskan di Indonesia maka sangat banyak golongan yang bisa
dikategorikan masuk ke dalam kaum subaltern. Sebut saja golongan rakyat kecil yang
suara dan aspirasinya tidak pernah didengar dan hanya dijadikan ladang memanen suara
saat pemilu saja, dengan janji-janji aspirasi mereka akan ditampung. Namun
kenyataannya setelah usai pemilu yang ada hanya nol besar. Atau bisa juga golongan
homoseksual atau lesbian yang selalu dipandang sebelah mata. Juga misalnya lagi
golongan kaum buruh yang hanya diperas tenaganya, namun hanya mendapat upah tidak
seberapa, bahkan seringkali berada di bawah upah minimum regional. Masih banyak lagi
golongan lain yang dapat dimasukkan dalam kaum subaltern seperti kaum perempuan
yang dikekang hak-haknya, buruh migran, petani gurem, dan lain-lain. Tulisan ini akan
mencoba mengaitkan serta membandingkan sejarah Indonesia sebelum era kolonial,
kolonial serta pascakolonial hingga sekarang.

Hibriditas adalah sebuah konsep dimana kita membedakan masa kolonial dan
masa selepasnya, namun serentak juga masa selepasnya itu selalu berada dalam
keterkaitan dengan kolonialisme. Maka, apa yang nampak dalam peristiwa masa kini
berbeda dengan masa lalu, meski secara serentak juga berkesinambungan dengan masa
lalu itu. Dengan kata lain, masa kini sebenarnya adalah sebuah kontestasi antara kuasa
masa lalu dengan masa kini, yang terbedakan namun berkesinambungan. Dari sini, maka,
identitas kultural masa kini bersifat campuran (hibrid). Postkolonialitas berarti
menyelidiki pembentukan identitas kultural yang hibrid, sebagai sebuah representasi dari
cara pandang atau imaginasi masa lalu yang secara diteruskan ke masa kini

Dalam konteks hibriditas tulisan kelompok kami ini akan coba mencoba mencoba
sedikit menganalisis wacana-wacana poskolonial yang terkandung dalam novel terkenal
“Tetralogi Pulau Buru” karya novelis kenamaan Pramoedya Ananta Toer. Novel yang
terdiri dari empat jilid ini mengulas bagaimana kehidupan di Indonesia pada zaman
kolonial, serta keterkaitannya dengan masa kini dalam konteks hibriditas. Hal-hal ini atas
akan coba kita bahas bersama di bab selanjutnya.

Sejarah Panjang Indonesia, Sejarah Perlawanan

Bermula dari masa kolonial, dimana orang-orang Eropa dan keturunannya


mendapat tempat khusus dalam pembagian kelas di negara kita. Sedangkan pribumi
(masyarakat Indonesia) sebagai penduduk asli mendapat tempat yang rendah. Ini jelas
menunjukan adanya proses hegemoni sejak jaman kolonial bahwa orang-orang Barat
berada di atas orang-orang pribumi dalam berbagai segi. Ini merupakan indikasi sebuah
proses pembentukan mindset bahwa barat lah sumber segalanya, baik itu pengetahuan,
ekonomi dan lain-lain, sehingga ke barat lah kita harus berkiblatApabila berbicara
mengenai subaltern, maka tidak perlu jauh-jauh. Kita cukup memandang pada diri kita
sendiri dan sekitar kita. Ya, rakyat Indonesia adalah orang-orang yang menjadi kaum
subaltern di negaranya sendiri. Memang tidak semuanya, namun sebagian besar.

Bagaimana tidak?. Bapak-bapak kita yang mengaku sebagai wakil rakyat, pada
kenyataan hanya bisa mengatakan “ya” pada golongan-golongan yang ada di atas mereka.
Siapa lagi kalau bukan negara-negara adikuasa, serta organisasi-organisasi internasional
seperti World Bank dan IMF. Bila demikian siapa yang akan menyampaikan suara-suara
masyarakat yang hanya dijadikan objek?. Apakah masyarakat harus menyampaikan
sendiri, sementara mulut mereka sudah dibungkam oleh sistem yang tidak
menguntungkan?.

Kita akan coba meninjau mulai dari kembali ke masa lampau, dimana Indonesia
memiliki kerajaan-kerajaan besar,misalnya Singosari, Kediri dan Majapahit sebagai
kerajaan besar yang pernah tumbuh, berkembang dan menguasai nusantara. Bila ditarik
dari garis sejarah, ketiga kerajaan ini memiliki hubungan yang sangat erat, dimana
Singosari di bawah kepemimpinan Sri Kertanegara diruntuhkan oleh Jayakatwang yang
kemudian mendirikan kerajaan Kediri, yang selanjutnya Kediri diruntuhkan oleh Raden
Wijaya yang tak lain adalah menantu Sri Kertanegara yang kemudian mendirikan
kerajaan Majapahit.

Pada beberapa buku referensi, pada masa itu terlihat sangat jelas bagaimana
kepala-kepala kadipaten (kepada daerah) beserta rakyatnya dengan sangat berani
melakukan pemberontakan terhadap raja apabila raja dinilai salah atau tidak menepati
janjinya. Misalnya saja pemberontakan Rangga Lawe yang waktu itu selaku Adipati
Tuban terhadap Sanggrama Wijaya yang merupakan raja Majapatit. Hal ini dipicu oleh
Sanggrama Wijaya saat sebelum menjadi raja pernah menjanjikan Rangga Lawe menjadi
Patih Amangkubumi Majapahit, namun pada kenyataannya sesudah Sanggrama Wijaya
menjadi raja, Rangga Lawe hanya dijadikan adipati di Tuban. Hal ini memicu Rangga
Lawe dan masyarakat yang mendukungnya melakukan pemberontakan. Atau juga bisa
dilihat pemberontakan Rakrian Patih dimana merupakan bentuk kekesalannya terhadap
raja yang hanya memandang sebelah mata kelompoknya. Selain itu juga masih banyak
kisah pemberontakan-pemberontakan lain yang terjadi di berbagai kerajaan yang pernah
berdiri dan berkuasa di nusantara.

Kelompok kami dalam tulisan ini tidak menitik beratkan pada pemberontakan
yang dilakukan, namun lebih kepada bagaimana pengekspresian luapan ketidakpuasan
terhadap pemerintah (raja) dengan berani berkali-kali ditunjukkan dalam sejarah
Indonesia. Tidak hanya dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara, namun sejarah
Indonesia setelah masa kemerdekaan pun menunjukan hal yang serupa. Kita bisa melihat
beberapa sosok misalnya Arief Budiman, Soe Hok Gie, dan lain-lain. Mereka merupakan
sosok yang militan dan gigih melawan kultur bisu (silent culture). Apabila membaca buku
Gie yang berjudul “Catatan Seorang Demonstran” kita akan menemukan perjuangan
seorang pelaku sejarah yang kesepian, tidak banyak teman yang mau mendukung
idealismenya serta sendirian melawan arus. Ini dikarenakan teman-teman yang pernah
seperjuangan dengannya menjatuhkan pilihan politik menjadi “kutu loncat”, memilih
kemapanan kursi dan aroma kekuasaan.

III. KAJIAN SASTRA DALAM POSTKOLONIALISME

Dalam “Catatan Seorang Demonstran” terlihat bagaimana Gie merasa gerah


melihat realitas sistem yang melahirkan krisis dan juga himpitan-himpitan dari hegemoni
elit-elit penguasa yang menerapkan gaya politik represif yang membuat rakyat tidak
berani bersuara lantang serta tidak mampu menunjukan sikap kritisnya. Sementara bagi
rezim, kultur bisu ini merupakan kultur yang menguntungkan bagi segelintir elit untuk
mendulang keuntungan dan kemapanan sebanyak-banyaknya. Pola penyelenggaraan
kekuasaan semacam ini dianggap oleh rezim sebagai “lokalisasi” yang bisa
mengamankan dan mengembangkan banyak keistimewaan privat, sementara rakyat yang
berhasil “dibisukan” otomatis hanya bisa menjadi penonton yang penurut, tidak berulang,
apalagi sampai menjadi radikal.
Bila kita coba komparasikan dengan masa sekarang, dimana penjajahan entah dari
segi politik, ekonomi, ideologi, budaya dan lain-lain sangat jelas terasa. Memang ada
beberapa perlawanan yang terjadi, baik secara praksis, melalui wacana dan lain-lain.
Namun yang harus kita pahami itu semua tidak lain dikarenakan hegemoni barat yang
sangat kuat telah mengakar di bangsa kita.

Bermula dari masa kolonial, dimana orang-orang Eropa dan keturunannya


mendapat tempat khusus dalam pembagian kelas di negara kita. Sedangkan pribumi
(masyarakat Indonesia) sebagai penduduk asli mendapat tempat yang rendah. Ini jelas
menunjukan adanya proses hegemoni sejak jaman kolonial bahwa orang-orang Barat
berada di atas orang-orang pribumi dalam berbagai segi. Ini merupakan indikasi sebuah
proses pembentukan mindset bahwa barat lah sumber segalanya, baik itu pengetahuan,
ekonomi dan lain-lain, sehingga ke barat lah kita harus berkiblat.

Dalam sebuah roman kolonial kenamaan berjudul “Tertalogi Pulau Buru” yang
ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer juga dibahaskan mengenai hal ini. Dalam sebuah
percakapan antara Pengemanann, seorang pribumi yang merupakan seorang petugas
kepolisian rahasia kolonial dengan Tuan L yang merupakan petugas arsip gubermen
Belanda dibahaskan betapa megahnya sejarah nusantara khususnya Jawa sebelum jaman
kolonial, berikut ini isi percakapan tersebut, “apa sebab dengan kesempatan yang sama,
dengan syarat-syarat yang sama, jumlah bangsa Jawa jauh lebih tinggi daripada bangsa-
bangsa lain di Hindia? Mengapa Jawa punya sejarah lebih panjang dan lebih kaya?
Meninggalkan warisan-warisan kebudayaan lebih banyak, pada suatu kurun sejarah
tertentu? Malahan dalam suatu jaman yang sama pernah melebihi bangsa-bangsa Eropa
tertentu dalam bidang-bidang tertentu?” .

Tulisan di atas menjelaskan betapa nusantara pernah lebih maju dibanding negara-
negara Eropa pada beberapa bidang tertentu pada masa sebelum kolonial. Lalu mengapa
keadaan bisa berbalik dan nusantara mampu dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa dalam
kurun waktu yang sangat lama?. Hal tersebut juga dibahaskan dalam lanjutan percakapan
di atas. “Pertama-tama karena bangsa ini mempunyai watak selalu mencari-cari
kesamaan, keselarasan, melupakan perbedaan untuk menghindari bentrokan sosial. Dia
tunduk dan taat pada ini, sampai kadang tak ada batasnya. Akhirnya dalam
perkembangannya yang sering, ia terjatuh pada satu kompromi ke kompromi lain
sehingga kehilangan prinsip-prinsip. Ia lebih suka penyesuaian daripada cekcok urusan
prinsip.” Lalu masih dalam percakapan yang sama juga dibahaskan dampak dari
menyepelekan masalah prinsip oleh orang nusantara khususnya Jawa tersebut. “Orang
semakin tidak mengindahkan prinsip. Begitu juga waktu Islam masuk ke Jawa nyaris
seratus tahun kemudian. Orang mencari kesamaan antara Shiva-Buddhisme dengan
Islam. Juga Islam diterima tanpa prinsip, diambil syariatnya. Dalam puluhan tahun
terbiasa meninggalkan prinsip ini Eropa datang, Eropa yang justru berkukuhan pada
prinsip. Orang Eropa lebih kecil jumlahnya, tapi menang karena prinsip.”

Cuplikan percakapan di atas menjelaskan betapa orang-orang terdahulu kita telah


melupakan hal paling mendasar dalam sebuah bangsa yaitu prinsip. Berangkat dari itu
maka sangat wajar bila sampai saat ini proses hegemoni barat tersebut semakin kuat
mengakar dalam bangsa kita. Kita bisa lihat dimana produk-produk asing menjajah di
pasar-pasar kita sehingga produk-produk dalam negeri terpaksa banyak yang gulung tikar.
Investasi-investasi asing merangsek masuk hingga ke daerah-daerah menguasai segala
sumber daya yang ada. Setiap sendi kehidupan kita segalanya dikuasai oleh asing. Namun
apa mau dikata, para wakil rakyat dan kebijakan-kebijakan yang dibuat memperbolehkan
hal tersebut terjadi. Lagi-lagi kembali ini dikarenakan proses hegemoni barat yang
dimulai sejak jaman kolonial sudah begitu mengakar dalam diri bangsa ini.

Pada titik inilah kajian poskolonial mencoba membuat sebuah hegemoni baru,
bahwa barat bukanlah segalanya. Bukankah masih banyak hal lokal yang kita miliki
sementara barat tidak memilikinya, baik itu sastra, budaya, dan lain-lain. Masih banyak
hal-hal baik yang kita miliki, sehingga tidak harus selalu berkiblat ke barat.

C. Kesimpulan

Kajian poskolonial merupakan kajian yang sangat seksi untuk dibahaskan dewasa
ini. Indonesia yang notabene negara bekas jajahan selama bertahun-tahun tentunya
memiliki permasalahan yang sangat kompleks yang berhubungan dengan sebab-sebab
yang ditimbulkan oleh jaman kolonial. Hal tersebut sangat penting untuk dikaji terkait
akar-akar permasalahan bangsa yang dimulai sejak jaman kolonial.
Indonesia dalam sejarahnya merupakan sebuah negara besar, bahkan pada masa
terdahulu pernah mengungguli peradaban Eropa dalam beberapa segi. Misalnya saja
sebelum bangsa Eropa mengenal tulis menulis, nusantara sudah mengenal kebudayaan
tulis. Terlihat dari peninggalan-peninggalan sejarah tulis misalnya prasasti yang telah
berumur ribuan tahun. Namun seiring berkembangnya jaman, justru semakin lama kitalah
yang semakin berkiblat ke Eropa.

Hal di atas pertama disebabkan bangsa kita yang terlalu kompromis dengan hal-
hal prinsip, sehingga bangsa lain dengan mudahnya berkuasa bahkan menghegemoni
bangsa kita. Ini terlihat dari dengan mudahnya bangsa kita terjajah ratusan tahun, bahkan
sampai saat ini. Sejak jaman kolonial kita menjadi kacung di rumah sendiri. Berangkat
dari itulah, kajian poskolonial di Indonesia mencoba memandang permasalahan bangsa
saat ini yang berakar sejak jaman kolonial.

D. Daftar pusaka
Jurnal:
⎯ Hidayati, Wiwiek. 2008. Pengaruh Dominasi Penjajah Atas Subaltern Dalam Novel
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan: Analisis Berdasarkan Pendekatan
Postkolonialisme. Semarang : Universitas Diponegoro
⎯ Agam Imam Pratama. Wacana Postkolonial: Dalam Sejarah dan Karya Sastra
Indonesia. Academia.
⎯ Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Lainnya:

⎯ https://id.wikipedia.org/wiki/Pascakolonialisme
⎯ http://sejarah.upi.edu/artikel/dosen/teori-postkolonial/
⎯ http://staffnew.uny.ac.id/upload/131568308/penelitian/File0151.PDF
⎯ https://www.academia.edu/2359297/Wacana_Postkolonial_Dalam_Sejarah_dan_Ka
rya_Sastra_Indonesia

E. Pertanyaan dan jawaban

Anda mungkin juga menyukai