Dosen Pengampu:
Zulva Sudarti S.Pd.,M.Pd
Disusun oleh
Janoval Rizki Aditiya (191010700491)
Muhamad Arby al munta Wakil (191010700442)
A. Tujuan Pembelajaran
Pada pertemuan pertama kali ini kami (kelompok 1) ingin memaparkan materi
Postkolonialisme secara definisi, sejarah, dan kajian sastra.
B. Uraian Materi
I. DEFINISI POSTKOLONIALISME
Poskolonial yang secara etimologis berasal dari kata ‘post’ dan ‘kolonial’,
sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari akar kata ‘colonia’, bahasa Romawi, yang
berarti tanah pertanian atau pemukiman. Jadi, secara etimologis kolonial tidak
mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi eksploitasi lainnya.
Group” pada tahun 1934. Istilah subaltern pada asalnya bermaksud perwira di
bawah kapten, kemudian berkembang kepada makna orang tertindas, deskripsi tentang
pelbagai kelompok yang didominasi dan dieksploitasi serta kurang memiliki kesedaran
kelas.
Istilah subaltern lebih sering disebut dan mulai berkembang sejak Gayatri
Chakravorty Spivak, perempuan India, profesor di Universitas Pittsburgh,
mempublikasikan tulisannya “Can the Subaltern Speak? Speculations on Widow-
Sacrifice” (Dapatkah Subaltern Berbicara? Spekulasi-spekulasi tentang Bunuh Diri
Janda) di jurnal Wedge. Melalui studinya tentang bunuh diri janda di India (sati), tulisan
itu di kemudian hari menjadi sangat berpengaruh di kalangan intelektual pascakolonial
tentang tendensi-tendensi kolonial dalam teori-teori pascakolonial.
Bila dikontekskan di Indonesia maka sangat banyak golongan yang bisa
dikategorikan masuk ke dalam kaum subaltern. Sebut saja golongan rakyat kecil yang
suara dan aspirasinya tidak pernah didengar dan hanya dijadikan ladang memanen suara
saat pemilu saja, dengan janji-janji aspirasi mereka akan ditampung. Namun
kenyataannya setelah usai pemilu yang ada hanya nol besar. Atau bisa juga golongan
homoseksual atau lesbian yang selalu dipandang sebelah mata. Juga misalnya lagi
golongan kaum buruh yang hanya diperas tenaganya, namun hanya mendapat upah tidak
seberapa, bahkan seringkali berada di bawah upah minimum regional. Masih banyak lagi
golongan lain yang dapat dimasukkan dalam kaum subaltern seperti kaum perempuan
yang dikekang hak-haknya, buruh migran, petani gurem, dan lain-lain. Tulisan ini akan
mencoba mengaitkan serta membandingkan sejarah Indonesia sebelum era kolonial,
kolonial serta pascakolonial hingga sekarang.
Hibriditas adalah sebuah konsep dimana kita membedakan masa kolonial dan
masa selepasnya, namun serentak juga masa selepasnya itu selalu berada dalam
keterkaitan dengan kolonialisme. Maka, apa yang nampak dalam peristiwa masa kini
berbeda dengan masa lalu, meski secara serentak juga berkesinambungan dengan masa
lalu itu. Dengan kata lain, masa kini sebenarnya adalah sebuah kontestasi antara kuasa
masa lalu dengan masa kini, yang terbedakan namun berkesinambungan. Dari sini, maka,
identitas kultural masa kini bersifat campuran (hibrid). Postkolonialitas berarti
menyelidiki pembentukan identitas kultural yang hibrid, sebagai sebuah representasi dari
cara pandang atau imaginasi masa lalu yang secara diteruskan ke masa kini
Dalam konteks hibriditas tulisan kelompok kami ini akan coba mencoba mencoba
sedikit menganalisis wacana-wacana poskolonial yang terkandung dalam novel terkenal
“Tetralogi Pulau Buru” karya novelis kenamaan Pramoedya Ananta Toer. Novel yang
terdiri dari empat jilid ini mengulas bagaimana kehidupan di Indonesia pada zaman
kolonial, serta keterkaitannya dengan masa kini dalam konteks hibriditas. Hal-hal ini atas
akan coba kita bahas bersama di bab selanjutnya.
Bagaimana tidak?. Bapak-bapak kita yang mengaku sebagai wakil rakyat, pada
kenyataan hanya bisa mengatakan “ya” pada golongan-golongan yang ada di atas mereka.
Siapa lagi kalau bukan negara-negara adikuasa, serta organisasi-organisasi internasional
seperti World Bank dan IMF. Bila demikian siapa yang akan menyampaikan suara-suara
masyarakat yang hanya dijadikan objek?. Apakah masyarakat harus menyampaikan
sendiri, sementara mulut mereka sudah dibungkam oleh sistem yang tidak
menguntungkan?.
Kita akan coba meninjau mulai dari kembali ke masa lampau, dimana Indonesia
memiliki kerajaan-kerajaan besar,misalnya Singosari, Kediri dan Majapahit sebagai
kerajaan besar yang pernah tumbuh, berkembang dan menguasai nusantara. Bila ditarik
dari garis sejarah, ketiga kerajaan ini memiliki hubungan yang sangat erat, dimana
Singosari di bawah kepemimpinan Sri Kertanegara diruntuhkan oleh Jayakatwang yang
kemudian mendirikan kerajaan Kediri, yang selanjutnya Kediri diruntuhkan oleh Raden
Wijaya yang tak lain adalah menantu Sri Kertanegara yang kemudian mendirikan
kerajaan Majapahit.
Pada beberapa buku referensi, pada masa itu terlihat sangat jelas bagaimana
kepala-kepala kadipaten (kepada daerah) beserta rakyatnya dengan sangat berani
melakukan pemberontakan terhadap raja apabila raja dinilai salah atau tidak menepati
janjinya. Misalnya saja pemberontakan Rangga Lawe yang waktu itu selaku Adipati
Tuban terhadap Sanggrama Wijaya yang merupakan raja Majapatit. Hal ini dipicu oleh
Sanggrama Wijaya saat sebelum menjadi raja pernah menjanjikan Rangga Lawe menjadi
Patih Amangkubumi Majapahit, namun pada kenyataannya sesudah Sanggrama Wijaya
menjadi raja, Rangga Lawe hanya dijadikan adipati di Tuban. Hal ini memicu Rangga
Lawe dan masyarakat yang mendukungnya melakukan pemberontakan. Atau juga bisa
dilihat pemberontakan Rakrian Patih dimana merupakan bentuk kekesalannya terhadap
raja yang hanya memandang sebelah mata kelompoknya. Selain itu juga masih banyak
kisah pemberontakan-pemberontakan lain yang terjadi di berbagai kerajaan yang pernah
berdiri dan berkuasa di nusantara.
Kelompok kami dalam tulisan ini tidak menitik beratkan pada pemberontakan
yang dilakukan, namun lebih kepada bagaimana pengekspresian luapan ketidakpuasan
terhadap pemerintah (raja) dengan berani berkali-kali ditunjukkan dalam sejarah
Indonesia. Tidak hanya dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara, namun sejarah
Indonesia setelah masa kemerdekaan pun menunjukan hal yang serupa. Kita bisa melihat
beberapa sosok misalnya Arief Budiman, Soe Hok Gie, dan lain-lain. Mereka merupakan
sosok yang militan dan gigih melawan kultur bisu (silent culture). Apabila membaca buku
Gie yang berjudul “Catatan Seorang Demonstran” kita akan menemukan perjuangan
seorang pelaku sejarah yang kesepian, tidak banyak teman yang mau mendukung
idealismenya serta sendirian melawan arus. Ini dikarenakan teman-teman yang pernah
seperjuangan dengannya menjatuhkan pilihan politik menjadi “kutu loncat”, memilih
kemapanan kursi dan aroma kekuasaan.
Dalam sebuah roman kolonial kenamaan berjudul “Tertalogi Pulau Buru” yang
ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer juga dibahaskan mengenai hal ini. Dalam sebuah
percakapan antara Pengemanann, seorang pribumi yang merupakan seorang petugas
kepolisian rahasia kolonial dengan Tuan L yang merupakan petugas arsip gubermen
Belanda dibahaskan betapa megahnya sejarah nusantara khususnya Jawa sebelum jaman
kolonial, berikut ini isi percakapan tersebut, “apa sebab dengan kesempatan yang sama,
dengan syarat-syarat yang sama, jumlah bangsa Jawa jauh lebih tinggi daripada bangsa-
bangsa lain di Hindia? Mengapa Jawa punya sejarah lebih panjang dan lebih kaya?
Meninggalkan warisan-warisan kebudayaan lebih banyak, pada suatu kurun sejarah
tertentu? Malahan dalam suatu jaman yang sama pernah melebihi bangsa-bangsa Eropa
tertentu dalam bidang-bidang tertentu?” .
Tulisan di atas menjelaskan betapa nusantara pernah lebih maju dibanding negara-
negara Eropa pada beberapa bidang tertentu pada masa sebelum kolonial. Lalu mengapa
keadaan bisa berbalik dan nusantara mampu dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa dalam
kurun waktu yang sangat lama?. Hal tersebut juga dibahaskan dalam lanjutan percakapan
di atas. “Pertama-tama karena bangsa ini mempunyai watak selalu mencari-cari
kesamaan, keselarasan, melupakan perbedaan untuk menghindari bentrokan sosial. Dia
tunduk dan taat pada ini, sampai kadang tak ada batasnya. Akhirnya dalam
perkembangannya yang sering, ia terjatuh pada satu kompromi ke kompromi lain
sehingga kehilangan prinsip-prinsip. Ia lebih suka penyesuaian daripada cekcok urusan
prinsip.” Lalu masih dalam percakapan yang sama juga dibahaskan dampak dari
menyepelekan masalah prinsip oleh orang nusantara khususnya Jawa tersebut. “Orang
semakin tidak mengindahkan prinsip. Begitu juga waktu Islam masuk ke Jawa nyaris
seratus tahun kemudian. Orang mencari kesamaan antara Shiva-Buddhisme dengan
Islam. Juga Islam diterima tanpa prinsip, diambil syariatnya. Dalam puluhan tahun
terbiasa meninggalkan prinsip ini Eropa datang, Eropa yang justru berkukuhan pada
prinsip. Orang Eropa lebih kecil jumlahnya, tapi menang karena prinsip.”
Pada titik inilah kajian poskolonial mencoba membuat sebuah hegemoni baru,
bahwa barat bukanlah segalanya. Bukankah masih banyak hal lokal yang kita miliki
sementara barat tidak memilikinya, baik itu sastra, budaya, dan lain-lain. Masih banyak
hal-hal baik yang kita miliki, sehingga tidak harus selalu berkiblat ke barat.
C. Kesimpulan
Kajian poskolonial merupakan kajian yang sangat seksi untuk dibahaskan dewasa
ini. Indonesia yang notabene negara bekas jajahan selama bertahun-tahun tentunya
memiliki permasalahan yang sangat kompleks yang berhubungan dengan sebab-sebab
yang ditimbulkan oleh jaman kolonial. Hal tersebut sangat penting untuk dikaji terkait
akar-akar permasalahan bangsa yang dimulai sejak jaman kolonial.
Indonesia dalam sejarahnya merupakan sebuah negara besar, bahkan pada masa
terdahulu pernah mengungguli peradaban Eropa dalam beberapa segi. Misalnya saja
sebelum bangsa Eropa mengenal tulis menulis, nusantara sudah mengenal kebudayaan
tulis. Terlihat dari peninggalan-peninggalan sejarah tulis misalnya prasasti yang telah
berumur ribuan tahun. Namun seiring berkembangnya jaman, justru semakin lama kitalah
yang semakin berkiblat ke Eropa.
Hal di atas pertama disebabkan bangsa kita yang terlalu kompromis dengan hal-
hal prinsip, sehingga bangsa lain dengan mudahnya berkuasa bahkan menghegemoni
bangsa kita. Ini terlihat dari dengan mudahnya bangsa kita terjajah ratusan tahun, bahkan
sampai saat ini. Sejak jaman kolonial kita menjadi kacung di rumah sendiri. Berangkat
dari itulah, kajian poskolonial di Indonesia mencoba memandang permasalahan bangsa
saat ini yang berakar sejak jaman kolonial.
D. Daftar pusaka
Jurnal:
⎯ Hidayati, Wiwiek. 2008. Pengaruh Dominasi Penjajah Atas Subaltern Dalam Novel
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan: Analisis Berdasarkan Pendekatan
Postkolonialisme. Semarang : Universitas Diponegoro
⎯ Agam Imam Pratama. Wacana Postkolonial: Dalam Sejarah dan Karya Sastra
Indonesia. Academia.
⎯ Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Lainnya:
⎯ https://id.wikipedia.org/wiki/Pascakolonialisme
⎯ http://sejarah.upi.edu/artikel/dosen/teori-postkolonial/
⎯ http://staffnew.uny.ac.id/upload/131568308/penelitian/File0151.PDF
⎯ https://www.academia.edu/2359297/Wacana_Postkolonial_Dalam_Sejarah_dan_Ka
rya_Sastra_Indonesia