Anda di halaman 1dari 6

ICHSAN

1830125512
Poskolonialisme dan Perubahan Sosial

A. Poskolonialisme: oposisi biner menyoal Superioritas dan Inferioritas


Kolonialisme, poskolonialitas, dan poskolonialisme merupakan tiga entitas yang
berhubungan secara estafet satu sama lain. Dimana kolonialisme merupakan segala
sesuatu atau apa saja yang terjadi di negera terjajah. Poskolonialitas merupakan kondisi
masyarakat yang terjadi akibat peristiwa-peristiwa historis tertentu, yaitu akibat
penjajahan-kolonialisme. Sedangkan yang ketiga adalah poskolonialisme adalah bidang
studi yang berusaha memahami dan menjelaskan kondisi poskolonialitas yang terjadi di
negara-negara bekas jajahan atau dalam kajian poskolialisme biasa disebut sebagai
dunia ketiga. Kolonialisme dibangun melalui praktik politik, militer, ekonomi, dan
kultural (pendidikan, pengetahuan, agama, bahasa, sastra, dan budaya) untuk
menaklukkan, menguasai, dan mengeksploitasi sebuah wilayah beserta potensi
sumberdaya alam dan masyarakatnya (Gillen & Ghosh, 2007: 14).
Studi poskolonial merupakan sebuah studi yang relatif masih baru dalam
perkembangan ilmu sosial di dunia. Studi ini menawarkan sebuah perperktif “baru”
dalam menganalisis wacana dominan yang meliputi wacana teritori terkait dunia Barat
dan Timur, wacana ras terkait ras kulit putih dan kulit hitam, serta wacana jender terkait
maskulinitas dan perempuan. Dalam hal ini, negara barat, ras kulit putih, dan laki-laki di
posisikan sebagai kelompok superior sedangkan negara timur di posisikan sebagai
kelompok inferior yang tertindas.
Moore dan Gilbert (1997) menjelaskan bahwa teori poskolonial yang lahir pada
paruh kedua abad ke-20 sering disebut sebagai motode dekonstruksi terhadap model
berfikir dualis (biner), yang membedakan antara “timur” dan “barat”, meskipun mereka
yang mengaku sebagai ahli dengan perpektif poskolonial tidak benar-benar mampu
lepas dari jerat ini.
B. Edward Said dan Orientalisme
Edwar W. Said merupakan tokoh penting dalam kajian poskolonialisme, salah
satu tokoh ini adalah tokoh pembuka kajian serta pemikiran-pemikiran poskolonialisme
yang kita kenal saat ini. Said mengajak kita merenungkan kembali serta menggugat
stereotipe yang diciptakan para sarjana Barat dalam mendefinisakan dunia lain selain
Barat, yakni Timur. Hal tersebut kemudian mereka definisikan sebagai Orientalisme
(2001 : 2). Salah satu karya pentingnya kemudian diberi judul “Orientalisme,
Menggugat Hegemoni Barat dan mendudukkan Timur sebagai Subjek”.
Menurut Said, Orientalisme, yang menggambarkan hubungan dua bagian antara
timur dan barat ini merupakan kunci dalam teori poskolonial. Said berpendapat bahwa
Barat tidak akan ada tanpa Timur, dan sebaliknya. Dengan kata lain, dua kelompok
tersebut bersifat komplementer. Istilah orientalisme dapat didefinisikan dengan tiga cara
yang berbeda. Pertama, memandang orientalisme sebagai suatu metode atau paradigma
berfikir yang berdasarkan epistemologi dan ontologi yang secara tegas membedakan
antara Timur dan Barat. Kedua, orientalisme dapat juga dipahami sebagai gelar
akademis untuk menggambarkan serangkaian lembaga, disiplin, dan kegiatan yang
umumnya terdapat pada universitas Barat yang peduli pada kajian masyarakat dan
kebudayaan Timur; Ketiga, melihat orientalisme sebagai lembaga resmi yang pada
hakikatnya peduli pada Timur.
Bagi Eropa, Timur bukan hanya dekat, tetapi juga merupakan koloni-koloni
Eropa yang terbesar, terkaya, dan tertua. Sumber peradaban, bahasa, saingan budaya,
dan salah satu imaji yang paling dalam serta paling sering muncul sebagai “dunia yang
lain” di mata Eropa. Selain itu, Timur telah membantu mendefinisikan Barat sebagai
imaji, gagasan, kepribadian dan pengalaman yang dianggap kebalikan dari definisi
Barat itu sendiri. Namun, Timur bukanlah sebuah khayalan. Timur adalah suatu bagian
integral dari peradaban dan kebudayaan material bangsa Eropa. Orientalisme
mengungkapkan dan menampilkan bagian tersebut secara budaya, dan bahkan
ideologis; sebagai sebuah mode of discourse dengan lembaga-lembaga, perbendaharaan,
bahasa, studi kesarjanaan, lambang-lambang, dan doktrin yang mendukungnya seperti
birokrasi zaman colonial (Sunarti, 2017).
Orientaisme adalah konstruksi historis terhadap masyarakat dan budaya Timur
sebagai sesuatu yang nun jauh disana, yang lain1 diluar mereka (baca : Barat), asing,
objek yang indah, dan juga eksotis. Pada dasarnya, pembagian dikotomi Barat dan
Timur tak lain hanya merupakan perbedaan teritori, akan tetapi perbedaan teritori ini
bukanlah hendak membedakan suatu ruang dan waktu saja, tapi juga didalamya terdapat
unsur politis yang sangat kuat dalam membedakan diri dan ke-aku-an Barat.

1Istilah yang lain, liyan, maupun the other merupakan istilah yang paling sering digunakan untuk
mewakili penyebutan Dunia Timur sebagai konstruksi istilah “Dunia Ketiga” oleh Barat .
Penyajian dunia Timur yang dimulai sejak abad ke delapan belas menandai
dimulainya orientalisme modern di Eropa. Pada masa dimulainya orientalisme modern
itu, Timur didefinisikan dalam sudut pandang kolonialisme yang sangat memandang
rendah kepada manusia Timur seperti orang Timur dianggap irrasional, bejad moral,
kekanak-kakankan, dan “berbeda”; sebaliknya orang Eropa adalah lebih rasional,
berbudi luhur, dewasa, dan “normal”. Pengetahuan tentang Timur dalam istilah Cromer
dan Balfour (sarjana kolonial Inggris) orang Timur sebagai bangsa yang layak untuk
diadili, dikaji, dipaparkan, dan didisiplinkan; sesuatu yang diilustrasikan seperti dalam
buku pegangan zoologi. Pendeknya, orang Timur perlu diwadahi dan ditampillkan
dalam kotak-kotak yang telah disediakan oleh tuan Eropanya (Sunarti, 2017).
Selanjutnya, Said melihat terjadinya praktek penjajahan dan juga represi yang
dilakukan atas dominasi dan hegemoni Barat atas Timur, baik Timur maupun Timur
Dekat (Timur Tengah). Praktek penjajahan tersebut lantas bukan hanya dilakukan
melalui penjajahan fisik semata. Namun dewasa ini, praktik penjajahan tersebut juga
telah disentuh melalui ranah teks bahasa, budaya, serta pembangunan citra negatif
mengenai Timur oleh Barat. Pemikiran Said sekali lagi merupakan refleksi dan ajakan
untuk senantiasa merenungkan dan menggugat dikotomi politis ciptaan Barat yang
selama ini menempatkan Timur sebagai objek jajahan, dominasi, dan represi.
C. Spivak: Perempuan dan Subaltern
Tanpa bermaksud mengenyampingkan tokoh-tokoh penting dalam
perkembangan kajian poskolinoalisme seperti Frans Fanon, Antonio Gramsci, Homi K.
Bhaba, dan lain lain. Akan tetapi, pemilihan pemikiran dan pergerakan Gayatri
Chakraporti Spivak sebagai perpanjangan tangan, sekaligus penerus pemikir seperti
Said didasarkan pada ciri dan cara kontras yang dilakukannya dalam mengelaborasi dan
mengkontekstualkan kajiannya terhadap wacana dominan dalam praktek penjajahan
dinegaranya sendiri, yakni India.
Istilah “subaltern” diadopsi dari pemikir Italia, Antonio Gramsci, yang
menggunakan istilah itu bagi kelompok sosial subordinat, yakni kelompok-kelompok
dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Petani,
buruh, dan kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan
“hegemonik” bisa disebut sebagai kelas subaltern.
“Can the subaltern speak?” merupakan karya fenomenal Spivak (dalam Patrick,
1994 : 66) yang ditulisnya dalam bentuk essai yang cukup panjang. Melalui essai
tersebut, Spivak membuat pernyataan yang meragukan suara perempuan bisa didengar
untuk melawan sistem patriarkal dan kolonial. Dia juga menyatakan bahwa perempuan
sebagai kelompok subaltern tidak memiliki bahasa konseptual yang mereka gunakan
untuk berbicara dan tak ada telinga kaum lelaki–baik pribumi maupun penjajah –
berkenan mendengar.
Artikel ini mendeskripsikan posisi perempuan sebagai kelompok subaltern
dalam mengartikulasikan bahasa melawan patriarki dan sistem kolonial dalam sastra
poskolonial. Posisi inferioritas dan perempuan sebagai kelas bawah, perempuan sebagai
pembantu rumah tangga ataupun perempuan tradisi, bisa bertarung, baik di ruang publik
maupun domestik. Para perempuan mencoba untuk mengartikulasikan suara mereka
agar didengar oleh tatanan patriarkal dan kolonial, meskipun mereka menyadari bahwa
posisi mereka menempati kelas-kedua di dalam masyarakat (Saputra, 2011).
Spivak merupakan tokoh poskolonial yang mencoba memasukkan variabel janis
kelamin sebagai subjek kajian dan pergerakannya untuk melihat adanya hubungan yang
tidak setara dengan antara laki-laki dan perempuan yang dilihatnya dalam hubungan
oposisi biner dan lagi lagi sangat bermuatan politis juga konstruktif. Fokus Spivak
dalam pertautan antara feminisme dan poskolonialisme memberikan perhatian atas
segala bahasa yang berperan dalam membentuk identitas dan mengonstruksi
subjektivitas. Secara khusus, bahasa menjadi alat untuk melawan budaya patriarki dan
kekuasaan imprealis.
Spivak memperjuangkan pembebasan melalui penggalian kesadaran historis
yang semestinya menjadi kesadaran yang tidak dapat dilepaskan dari masalah-masalah
lokal. Dalam prakteknya, Spivak merupakan pemikir yang memilih jalur praksis terkait
pewacanaanya. Salah satunya adalah dengan turun langsung kelapangan, membimbing
dan mengajar para perempuan subaltern untuk membaca. Melalui pelajaran-pelajaran
bermuatan politis dan kritis tersebutlah Spivak hendak membuat mereka berbicara dan
mewakili dirinya sendiri dan tanpa diwakili olehnya. Bagi Spivak, mewakili para
subaltern untuk berbicara hanya sampai pada tataran kesadaran seubjektifnya saja,
justru ketika mereka berbicara dan melakukan resistensi mewakili diri mereka yang
tertindas, jauh lebih efektif sekaligus menyadarkan subjek yang selama ini direpresi -
terjajah. Secara umum, sepak terjang Spivak cukup kompleks, hal tersebut meliputi
praktek kolonialisme, dominasi maskulinitas, dan perjuangan kelas.
Menurut Spivak, suara dari kaum tertindas di India tidak akan ditemukan karena
mereka memang tidak bisa membicarakan dirinya. Oleh krena itu, kamu intelektual
harus hadir sebagai pendaping kelompok-kelompok tertindas tersebut. Spivak juga
menyarakankan agar kaum intelektual harusnya memulai jalur praksis ketimbang pada
jalur teoritis yang hanya terus berfikir dan berbicara saja.
Spivak akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa kelompok-kelompok subaltern
atau mereka yang tertindas memang tidak bisa berbicara. Karena itu seorang intelektual
tidak mungkin bisa mengklaim dan meromantisir kemampuan mereka buat menggali
dan mencari suara kelompok-kelompok subaltern. Klaim-klaim semacam ini justru
bersifat kolonial, karena ia menyamaratakan (menghomogenkan) keberagaman
kelompok-kelompok subaltern, dan pada akhirnya ia merupakan sebuah “kekerasan
epistemologis” terhadap kelompok-kelompok subaltern. Relasi yang tercipta antara
intelektual dengan kelompok-kelompok subaltern itu seperti relasi “tuan-hamba”
(Morton, 2008).
D. Poskolonialisme dan Perubahan Sosial
Said menjelaskan bahwa dampak kolonisasi telah menyebabkan negara terjajah
seolah tidak berdaya menghadapi dominasi Barat dalam berbagai bentuk. Sebagai
gerbang awal atas pembacaan dan pemahaman terkait apa yang dikonstruksi Barat
terkait peng-objek-an Timur sebagai liyan, eksotis, nun jauh disana, tidak beradab dab
hendak diadabkan. Hal tersebut lantas menjadi sangat berbeda saat Said mendudukkan
Timur sebagai Subjek.
Hadirnya seorang feminis seperti Spivak sebagai penerus Said yang menempuh
jalur praksis, berhasil membuat pergerakan dalam rangka mengajak para perempuan
untuk terbangun dari tidur panjangnya yang selama ini menikmati penjajahan yang
seolah alamiah. Sebagai seorang intelektual organik (baca : Gramsci), dengan
membatasi diri untuk tidak mewakili para subaltern untuk berbicara membuat
perubahan sosial yang cukup signifikan, baik dari segi pemahaman atas realitas
hegemonik yang terjadi, maupun dari segi kesadaran akan pentingnya kata “resistensi”
segala sesuatu yang bersifat represif.
Referensi

Deni Saputra, Asep. 2011. Perempuan Subaltern dalam Karya Sastra Indonesia
Poskolonial. Jurnal Literasi , hal 16-30.

Gillen, Paul & Devleena Ghosh. 2007. Colonialism and Modernity. Sydney:
UNSW Press.

Morton, Stepen. 2008. Gayatri Spivak: Etika, Subaltern dan Kritik Penalaran
Poskolonial. Paraton : Yogyakarta

Said, Edward W. 2001. Orientalisme : Menggugat Hegemoni Barat dan


Mendudukkan Timur Sebagai Subjek. Bandung : Penerbit Pustaka.

Spivak, Gayatri. Can the Subaltern Speak? Dalam William, Patrick. 1994.
Colonial Discourse and Post-Colonial Theory. New York : Columbia University Press.

Sunarti, Sastri. 2017. Membaca Kembali Orientalisme Edward Said, makalah


bedah buku Badan Bahasa.

Moore, B. And Gilbert. 1997. Postcolonial Theory : Contexts, Practice, Polities.


London : Versco.

Anda mungkin juga menyukai