Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH SOSIAL DALAM STUDI ISLAM

(Teori, Metodologi, dan Implementasi)

(Dibuat Sebagai Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Pendekatan Dalam Pengkajian Islam)

Disusun Oleh:
Puspita Ayu Lestari
19205010027
Dosen Pengampu:
Fatimah, M.A., Ph.D

PASCASARJANA PROGRAM STUDI AGAMA DAN RESOLUSI KONFLIK

FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN KALIJAGA

2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan Islamic Studies mengalami perkembangan cukup signifikan, meskipun


memiliki beragam alasan yang mendasarinya. Berbagai peristiwa di dunia Islam, baik di Timur
Tengah maupun dunia Islam yang sangat luas mendorong untuk mempelajari dan menuliskan
menjadikan Islam sebagai objek penelitian akademis. Begitu juga bagi masyarakat muslim
sendiri, realitas keilmuan menuntut umat Islam dan lembaga pendidikan Islam menyadari dengan
sungguh-sungguh terkait peran dan eksistensinya merespon problem-problem keagamaan. Oleh
karena itu diperlukan studi yang mendalam tentang Islam. Selama ini Islam dipahami dalam
pengertian historis dan doktriner.1
Kajian akademik terhadap Islam dalam diskursus kontemporer mengadaptasi metodologi
dan epistemologi yang telah lama berkembang di Barat. Adaptasi terhadap metodologi keilmuan
Barat menjadi sebuah keniscayaan sebagai perspektif atau cara pandang dalam melihat Islam.
Perangkat paradigma, pendekatan dan metode berakumulasi dinamis dalam perkembangan ilmu
pengetahuan tentang Islam. Perkembangan terhadap studi Islam bagi para ilmuwan studi agama
masih terbagi berdasarkan perspektif yang dibangun, maka pengajaran Islamic Studies terkesan
menjadi dangkal, rentan terhadap konflik, tidak mendalam dan tidak komprehensif.2
Studi keislaman semakin berkembang seiring banyak peminat dalam mengkaji islam
secara mendalam. Islam dilihat sebagai sebuah dialektika yang meliputi idealitas dan realita,
mencakup dimensi kredo berupa tauhid serta pengimplementasian ke dalam sistem sosiokultural
keislaman atau disebut praxis.3 Aspek idealitas islam dapat dikatakan dengan istilah islam
nornatif atau islam formal, secara transedental tertuang dalam teks-teks islam pada lapisan dasar.
Sementara praxis, cakupannya mengenai berbagai ragam dimensi kesejahteraan umat islam yang

1
Amin Abdullah, “Kata Pengantar,” dalam Richard C. Martin, Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi
Agama, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Yogyakarta: Suka Press), hlm. vii.
2
Amin Abdullah, “Kata Pengantar ...., hlm. xi.
3
Muhammad Harfin Zuhdi, “Visi Islam Rahmatan Lil’alamin: Dialektika Islam dan Peradaban,”
Akademika: Jurnal Pemikiran Islam Vol. 17, no. 2 (Juli 2011): h. 158.
disesuaikan dengan keragaman faktor eksternal dari ruang lingkup itu sendiri (akulturatif)
bersifat subyektif.
Islam tidak hanya sekedar petuntuk formal tentang cara individu memaknai sebuah
kehidupan. Mendalami islam tentu tidak lagi dengan satu aspek. Maka dari itu, dibutuhkan
berbagai pendekatan studi islam yang antara lain adalah pendekatan teologis normatif, historis,
antropologis, sosiologis, psikologis, filosofis, fenomenologis, politis, dan interdispliner. Di dunia
Barat, kata studi islam lahir dengan sebutan Islamic Studies, sedangkan di dunia Islam
menyebutnya dengan kata Dirasah Islamiyah. Sebab sebelumnya sudah dikenal sejak abad 19 di
dunia Barat. Dalam istilah studi islam, didalamnya meliputi kajian Al Quran, Al Sunnah, kalam,
akhlak, fiqih, dakwah, pendidikan, dan tasawuf.4

B. Rumusan Masalah
1. Bagaiamanakah sejarah studi Islam di Barat?
2. Apasajakah model pendekatan dalam mengkaji Islam?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui sejarah studi Islam di Barat.
2. Mengetahui model pendekatan dalam mengkaji Islam.

4
Dedi Wahyudi dan Rahayu Fitri AS, “Islam dan Dialog Antar Kebudayaan (Studi Dinamika Islam di
Dunia Barat),” Fikri Vol. 1, no. 2 (Desember 2016): h. 270
BAB II
PEMBAHASAN

SEJARAH STUDI ISLAM5

Studi Islam berawal pada abad ke-9 di Irak, ketika ilmu-ilmu keagaaman Islam mulai
berbentuk seperti sekarang dan berkembang di sekolah-sekolah yang berkompetisi untuk
membentuk tradisi literer dalam bahasa Arab abad pertengahan. Fokus pembahasan ini adalah
Islam sebagai materi kajian di Barat dan tidak meninjau studi Islam dalam kerangka peradaban
Islam.

Adapun permulaan teologis kajian ini,berawal sebelum datangnya Islam pada abah ke-
7M. Dimana bangsa Arab sudah dikenal oleh bangsa Israel kuno, Yunani, dan para pater gereja.
Seperti nama-nama Arab termaktub dalam Injil, misalnya seorang Arab bernama Geshem disebut
dalam Nehemiah (6:6) maupun dalam Talmud (Zabur). Sejarahwan Herodatus pada abad ke-5
SM mengenal dan menulis tentang bangsa Arab. Setelah hegemoni Hellenistik yunani di Timur
Tengah pada abad ke-4 SM, berkat kerajaan Arab seperti Nabatea, terjadilah kontak langsumg
antara bangsa Arab dan pedagang, musafir, tentara dari Seleucid, dan kemudian Imperium
Romawi. Pandangan Eropa tentang Islam sepanjang Abad pertengahan berasal dari gagasan
kitab suci dan teologis. Mitologi,teologi,dan missioner memberikan rumusan utama bagi kaum
gereja mengenai kaum Muslim serta alasan untuk mengembangkan wacana resmi mengenai
Islam. Secara mitologis, kaum Muslim dipahami sebagao kaum Arab (Saracen) keturunan
Ibrahim (Abraham) melalui budaknya, Hajar (Hager), dan putra mereka, Ismail (Ishmael) (lihat
Genesis 16:1-16).Beberapa sumber menyebutorang Arab Muslim awal sebagai kaum Hajar.
Sedangkan para sarjanawan berspekulasi soal akar kata Arab untuk Hagar (Hajar) dan gagasan
dasar Islam tentang Hijrah.

Pada masa polemic religious tahun 800-1100 Masehi, mitos dan legenda Yahudi-Kristen
dapat menerangkan tampilnya kaum monoteis Arab non-Yahudi, yakni non Kristen pada abad

5
Refleksi buku Richard C. Martin, Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin
Baidhawy, (Yogyakarta: Suka Press), h. 1-7.
ke-7. Melalui polemic teologis, batas-batas yang memisahkan kaum Yahudi,Kristen,dan Muslim
terpecahkan pada abad ke-8 hingga ke-11. Perdebatan teologis acap berlangsung terbuka atau di
hadapan khalifah bahkan petinggi-petinggi lainnya yang dilakukan oleh juru bicara dari berbagai
komunitas religious. Adapun Kristen dan Yahudi harus memahami Islam sebagai upaya teologis,
karen kurangnya pengalaman simbolis di antara agama-agama berkitab suci yang hidup di bawah
hegemoni Islam di Timur, gereja Romawi memandang Islam sebagai “pihak lain” yang asing,
musuh non Kristen yang harus dikristenkan atau ditaklukan. Selama empat abad berikutnya
hingga awal Perang Salib, bangsa Eropa tidak tahu tentang Islam dan kaum Muslim yang
berkembang pesat di Spanyol. Islam dilihat sebagai salahsatu dari beebrapa musuh yang
mengancam umat Kristen. Baru pada Perang Salib yang dimulai abad ke-11, nama Muhammad
dikenal oleh banga Eropa, yang kemudian disebut dengan cara yang merendahkan. Hingga pada
abad ke-11 Injil memberi umat Kristen Barat sarana tafsir untuk mengidentifikasikan kaum
Saracen sebagai kaum Isma’il, tafsir Injil memandang Ishaq sebagai leluhur Kristus dan kaum
Yahudi sebagai keturunan Isma’il. Kini Islam menggantikan Yahudi yang dalam pandangan
dunia Kristen sebagai kaum Isma’il yang asing.

Masa Perang Salib dan Kesarjanaan Cluny, 1100-1500. Dimana studi Islam untuk tujuan
misi dimulai pada abad ke-12 pada masa Peter Agung. Ini merupakan periode awal Perang Salib
dan juga pembaruan besar dalam monastisisme, yang hingga saat itu menjadi lembaga utama
pengetahuan Kristen. Baik perang Salib maupun upaya ilmiah pendeta menjadi tindakan ofensif
terhadap peradaban Islam yang membentuk batas selatan dan timur dari Umat Kristen Barat.
Pada 1142 Peter yang saat itu menjabat Kepala Biara Pria Cluny, mengadakan perjalanan ke
Spanyol untuk mwngunjungi biara-biara Cluny, namun pada kesempatan ini dia memutuskan
melakukan proyek besar, yaitu memulai studi sistematis tentang Islam. Korpus (kumpulan
naskah) Cluniac, yang dikenal sebagai hasil usaha Peter adalah awal standar umum dalam
kesarjanaan Barat tentang Islam. Dalam surat-surat untuk para pemimpin Perang Salib pertama,
Peter menjelaskan bahwa misi gereja merupakan perhatian utamanta dan bahwa Kristen bisa dan
harus menang atas Islam. Salah satu teks apologetis yang paling berpengaruh adalam terjamahan
“Apologi Al-Kindi” perdebatan antara seorang Kristen dan Muslim yang terjadi pada masa
Khalifah Al’-Ma’mun (813-833). Apologi ini terjenal di kalangan sejarawan Kristen Abad
Pertengahan karena memberikan model argimentasi tentang Islam. Fokus serangan-serangannya
adalah al-Qur’an, kenabian Muhammad, dan penyebaran agama melalui penaklukan (jihad). Tiga
tema ini merupakan topic utama dalam telaah para sarjana Kristen tentang Islam pada Abad
Pertengahan.

Kenyataannya aktifitas penerjamahan buku-buku teological Islam jauh lebih menarik di


Eropa Kristen. Pada akhir abad ke-12 muncul sekumpulan karya peripatetic Muslim Ibn Sina dan
berdar di Eropa. Tatkala semakin banyak karya filosofis dan ilmiah diterjemahkan dari bahasa
Arab ke bahasa Latin, para sarjana Eropa akhir Abad Pertengahan pun memandang Dunia
Muslim kontemporer sebagai peradaban sarjana dan filosofi yang sangat kontras sekali dengan
popularitas pandangan menghina terhadap Muhammad dan praktik religious Islam. Ditambah
lagi kesuksesan militer dan diplomasi Sultan Ayyubiyah, Shalah ad-Din yang beredar di Eropa,
dan juga sikap religious kaum Muslim membuat Islam di hormati di kalangan sebagian pendeta
dan sarjana Kristen.

Ketika Eropa memasuki periode perubahan religious,politik,intelektual yang mendalam


pada masa Reformasi 1500-1650 M, pengetahuan dan studi Islam juga terimbas. Pada abad le-14
dan ke-15, Eropa Timur menggantikan Spanyol dan Palestina sebagai garda utama antar Kristen
Romawi Barat dan Islam. Dimana pada perang Kosovo yang terjadi tahun 1389 Utsmaniyah
mampu menguasai Balkan Barat, yang menimbulkan keretakan antara Kristen Timur dan Barat.
Kekuasaan Utsmaniyah tersebut menjadikan gereja-gereja ortodoks, mengikuti praktik yang
sudah berjalan lama di negeri-negeri Islam, dilindungi oleh hukum Islam, dan Utsmaniyah
menempatkan hierarki yang menguasai urusan local gereja di Balkan. Tindakan Utsmaniyah ini
pada gilirannya didukung oleh gereja. Adapun Kristen Barat mempunyai hubungan yang berbeda
dengan Utsmaniyah. Di mana Utsmaniyah mampu menghadapi Eropa secara militer selama dua
abad, berhasil mengepun Wina namun tidak juga berhasil mendudukinya meskipun Utsmaniyah
mengancam Erop Barat. Dengan Sulaiman di gerbang Wina, dua sarjana humanis, Bibliander
dan Oporinus mendapat kesulitan dari dewan kota Basel pada 1542 karena secara gelap
menerbitkan al-Qur’an. Adapun Martin Luther, menyetujui penerbitan al-Qur’an tersebut, karena
baginya tidak ada yang lebih merendahkan umat Isam di mata Kaum Kristen selain menyediakan
bagi Kristen Kitab suci Muslim dan teks-teks lain dalam bahasa Latin dan bahasa local. Para
pembaru seperti Melancthon menagnggap “kaum Saracen”Turki, bersama Gereja Roma, sebagai
Antikristus kitab terakhir dalam Injil. Sedangkan Bibliander menganggap Muhammad sebagai
kepala dan Islam sebagai badan antikristus. Disamakaannya Romawi dan Islam ini menunjukkan
kecenderungan untuk melihat Islam sebagai bid’ah bukan sebagai agama.

Pengetahuan Eropa yang baru dan orisinil mengenai Islam berkembang pada akhir abad
ke-16 dan ke-17 karena beberapa alasan, pertama adalah adanya realitas politik baru dalam
agresi Utmsaniyah, kedua berkembangnya navigasi dan espansi dagang di luar Mediterania
membantu meningkatkan kesadara Eropa tentang Dunia Islam. Ketiga, minat Eropa pada negri-
negri Islam melampuai minat polemis gereja yang tidak lagi terbatas pada perdebatan teologis
soal al-Qur’an, Nabi dan penaklukan Muslim awal namun sudah meluas hingga mencakup minat
negara pada potensi perdagangan, politik,dan ambisi militer. Hasil penting dari perubahan
konsepsi tentang agama selama Pencerahan merupakan perhatian baru kepada hayat dan misi
Nabi Muhammad. Pada akir abad ke-18, sebagian sarjana melihat pada diri Muhammad seorang
penyebar sebuah agama yang lebih alami dan rasional daripada Kristen. Salah satunya Edmund
Gibon dalam bukunya The Decline and Fall of the Roman Empire, ia mnegkhususkan satu bab
untuk mmembahas kehidupan Nbai dan tahap-tahap awal sejarah Islam. Dia menggambarkan
Muhammad sebagai seorang jenius spiritual yang dalam,memahami kemurnian monoteisme, dan
memagami kekuasaan dan kesuksesan militer.

Memasuki abad kesembilan belas, para sarjana Misionaris dan wirausahawan Eropa kian
berpeluang berhubungan dengan masyarakat-masyarakt Islam kontemporer. Kesempatan untuk
membicarakan ISlam dengan kaum Muslim masih sering berbentuk perdebatan anatar pemimpin
Muslim dan Kristen. Satu perkembangan penting dalam studi-studi Islam abad ke-19 dan awal
abad ke-20 ini adalah historisisme, gagasan bahwa peristiwa-peristiwa seperti datangnya agama
baru dapat dijelaskan secara historis bergantung pada peristiwa-peristiwa sebelumya. Implikasi
lain dan akibat historisisme adalah pandangan bahwa kaum orientalis pakar tentang Arab
spesialis teks Arab sajalahh yang mempunyai kecakapan ilmiah untuk mempelajari Islam.
Nyatanya historisisme tidak disukai oleh sebagian besar sejarahwan Islam abad ke-20, tuduhan
historisisme masih sering dilontarkan terhadap mereka yang mengkaji datangnya Islam pada
latar belakang Arab dan Timur Tengah pra-Islam. Thomas Carlyle, mengungkapkan kosenpsi
abad ke-19 yang berbeda tentang agama, yaitu gagasan bahwa agama selalu ada dalam watak
dasar manusia.Keautentikan agama harus dinilai dalam kaitannya dengan lingkungan intelektual
dan kulturalnya sendiri. Adapaun gagasan bahwa manusia pada dasarnya makhluk religious
(homo religious) berpengaruh mendalam pada studi agama,khususnya Islam. Sepanjang akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20, dilakukan berbagai upaya untuk membangun ilmu studi agama
(Religionswissenschaft). Karakteristik Religionswissenschaft adalah mengandalkan filologi
sebagai metode utama dalam memahami peradaban ini, khususnya peradaban kuno.

Pada abad ke 20, muncullah disiplin ilmu tersendiri dalam studi Islam. Disiplin ini
disebut orientalisme.Kaum orientalis mulai membangun kembali catatan kritis tentang asal usul
dan tampilnya Islam. Para sejarahwan abad ke-19 cenderung melihat tujuan mereka adalah
menemukan kembali dan merekonstruksi gambaran masa lalu. Sebagian sejarahwan studi-studi
Islam melihat bahwa kaum orientalis Barat dan ulama ortodoks cenderung bersifat sama,
konservatif dalam mendekati historiografi. Orientalisme pada umumnya menerima catatan
tradisionalis tentang hayat Muhammad, atrikulasi al-Qur’an di Makkah dan Madinah, dan
formasi awal komunitas Muslim. Adapun artikulasi kritisisme yang paling tajam adalah
Orientalisme (1979), karya kritikus literer Arab-Amerika,Edward Said. Orientaslime dituduh
sebagai pelayan ambisi ekonomi dan politik Eropa. Kecenderungan lebih luas dalam kesarjanaan
pascamodern untuk mendekonstruksi ilmu dan disiplin yang lahir dari pencerahan. Akibatnya,
pada akhir abad ke-20, banyak sarjana Barat lebih suka mengganti nama akademis “Studi-Studi
Ketimuran” dengan nama yang lebih erosentris, seperti “Studi –Studi Islam”. Sebagian
berpendapat bahwa orientalisme adalah kerangka pikir, suatu bentuk wacana ilmiah tentang
realitas, Timur Muslim, yang dibangun dalam kesadaran Barat sejak masa kolonialisme Eropa.
Akan tetapi, orientalsime memulaitugas berat dalam mengkaji dan menafsirkan teks-teks
Islam,politis sekaligus romantic. Teks-teks yang sangat diminati oleh kaum orientalis adalah
teks-teks religius dan kultural Islam.

Selanjutnya, menarik untuk dikemukakan dua aliran besar pendekatan sejarah yang
berkembang dalam studi Islam sebagaimana dikemukakan oleh J. Koren dan Y.D. Nevo.6 Dua
aliran besar mereka ini, banyak digunakan dalam mengkaji Arab praIslam, kelahiran Islam dan
penaklukan Islam, atau secara umum kajian Islam dan umat Islam. 7 Dua aliran besar pendekatan

6
J.Koren dan Y.D. Nevo, “Methodological Approaches to Islamic Studies,” Der Islam 68 (1991), h. 87-
107.
7
Pada dasarnya, bagian ini mengambil dari Koren dan Nevo, “Methodological Approaches to Islamic
Studies,” Der Islam 68 (1991), h. 87-107, yang di tambah karya-karya lain sebagai rujukan tambahan sekaligus
pengayaan.
itu adalah Pendekatan Tradisionalis (Traditionalist Approach), dan Pendeketan Revisionis
(Revisionist Approach). 8

Pendekatan tradisionalis dipahami sebagai sebuah pendekatan yang dalam praktiknya


membatasi diri hanya pada warisan literature Arab-Muslim dengan pemahaman menggunakan
premis-premis yang berkembang dalam tradisi kalangan umat Islam. Adapun asumsi dan prem
dasar tersebut adalah pertama, literature Islam yang berasal dari pertengahan abad ke-2 hingga
abad ke-8 seterusnya yang benar-benar telah merefleksikan fakta sejarah Islam masa lalu,baik
menyangkut Arab pra-Islam,kelahiran Islam, dan penaklukan Islam. Kedua, jika terjadi
perdebatan atau pertentangan informasi peristiwa sejarah,maka diselesaikan dengan cara
mengkaji rangkaian transmisi (chains) dari pra pembawa beriat (rawi) yang dikenal dengan
sanad . Ketiga, data tertulis menjadi amat dominan hingga hampir tidak dibutuhkan bukti lain
dalam proses analisa peristiwa sejarah. Adapaun missal dari data tertulis adalah slogan-slogan
keagamaaan yang digunakan pada mata uang masa awal Umayyah. Keempat, menolak argument
e-salantio dan menyatakan bahwa tidak adanya bukti-bukti lain selain yang terdapat dan di sebut
di dalam data tertulis tidak dapat menegasikan peristiwa sejarah yang telah di sebut dalam
dokumen peristiwa tersebut. Kelima, al-Qur’an dianalisa berdasarkan tradisi yang berkembang
dalam kalangan ilmuwan Islam, misalnya berdasarkan pada katagorisasi Makiyyah dan
Madaniyah. Keenam, analisa linguistic yang juga mengikuti tradisi yang berkembang di
kalangan Muslim masa klasik,sedangkan analisa linguistic modern dipandang tidak relevan
bahkan tidak diperlukan.

Adapaun pendekatan kedua yaitu, Pendeketan Revisionis (Revisionist Approach) yang


dikemukakan oleh John Wansbrough melalui kuliahnya pada tahun 1986 di Yerussalem, yang
kemudian dijelaskan dan dielaborasikan secara lebih jauh oleh para sarjana setelahnya,
diantaranya adalah Andrew Rippin. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi-asumsi dan premis-
premis dasar, yaitu:

Pertama, sumber tertulis bagiamanpun bentuknya tidak dapat menggambarkan apa yang
benar-benar terjadi, tetapi hanya sebatas menjelaskan apa yang telah terjadi perspektif penulis.
Oleh karena itu sebelum mencoba memahami historisitas suatu peristiwa dalam document

8
Refleksi tulisan Akh. Minhaji dalam bukunya yang berjudul “Sejarah sosial dalam Studi Islam Teori,
Metodologi, dan Implementasi Edisi Revisi”, Yogyakarta: Suka Press, (2010), h. 97-123.
tertulis, harus dipahami terlebih dahulu tentang pengetahuan dan sekaligus keinginan penulis
dokumen tersebut. Kedua, Hanya saksi mata yang bisa benar-benar mengetahui apa yang penulis
tulis. Itupun juga masih dimungkinkan terjadinya interpretasi yang sesuai atau juga tidak sesuai
dengan peristiwa yang diamati, karena tidak jarang apa yang ditulis dipengaruhi oleh
pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki sebelumnya. Keriga, karena keterbatasan kata-kata
untuk menggambarkan peristiwa yang terjadi,tidak jarang terjadinya reduksi dalam penulisan.
Keempat, sejarah tranmisi document tertulis pada masa awal patut dicermati, entah dari segi
salah penulisan, perbedaaan dari pada penulis berikutnya padahal mereka mengambil dasar dari
karya-karya document awal. Sulit bagi kita untuk menerima ringkasan suatu peristiwa yang
berasal dari dokumen awal tetapi terdapat pada karyakarya belakangan. Kelima, karya tulis
belum pasti mengungkapkan apa yang benar-benar terjadi atau menyajikan fakta yang
sebenarnya, tetapi hanya menyajikan pandangan penulis tentang peristiwa yang diketahui.
Informasi dari karya tulis harus di croos check melalui hard fact yang bersifat material dan
bukan warisan tertulis.

Keenam, perlu diketahui bukti tidak tertulispun tidak sepi dari problem. Paling tidak
bukti-bukti tersebut tidak terlepas dari kemungkinan berubah, kadangkala hanya tersisa
sebagaian atau bahkan serpihan-serpihan yang terpisah. Seorang peneliti harus memahami betul
makna yang terkandung dari bukti tidak tertulis tersebut, dan berusaha mencoba menjelaskan
hubungan-hubungan antar bukti yang terserak-serak. Maka tidak berlebihan jika bukti-bukti
mentah (seperti arkeologi) merupakan data yang bersifat netral. Karena nyatanya jika berasumsi
dari bukti tertulis, seorang peneliti dipaksa memahami banyak hal,misalnya pengetahuan
sipenulis,kepribadian,tujuan menulis,dan pandangnnya tentang sejarah. Ketujuh, bukti-bukti
eksternal merupakan hal penting untuk diteliti ketika seorang sejarawan membaca bukti-bukti
tertulis umat Islam. Tidak adanya kolaborasi antara bukti tertulis dan eksternal cukup menjadi
alasan untuk mempersoalkan, bahkan menolak historisitas karya-karya tersebut. Hal ini menjadi
alasan penting dalam menerapkan teori e-salentio. Kedelapan, menempatkan kitab suci sebagai
sumber literature yang harus dianalisa secara kritis dalam rangka mengungkap keaslian dan
historisitas teksnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendekatan tradisionalis merupakan pola


penulisan yang hanya mengandalkan sumber-sumber tertulis, itupun dibatasi oleh sumber-
sumber yang berasal dari umat Islam berbahasa Arab yang menggunakan pola, pendekatan,teori
yang lazim digunakan oleh kalangan umat Islam. Sedangkan pendekatan revisionis bertumpu
pada tiga hal, pertama pendekatan kritik sumber terhadap al-Qur’an dan literature Islam terkait
dengan kebangkitan Islam, penaklukan Islam, dan masa Umayyah. Kedua, pentingnya
membangkitkan data tertulis dengan data eskternal di luar tradisi umat Islam. Ketiga,
pemanfaatan bukti material (arkeologi, numismatic,dan epigrafi) yang dianggap menghasilkan
data lebih valid jika dibandingkan dengan literature tertulis pada masa tersebut.

Namun demikian perlu diakui ketika peneliti menggunakan pendekatan dan aliran apapun
itu, mereka tetap akan menghadapi problem seriusm diantaranya sulit bagi penulis untuk
melakukan studi yang bersifat obyektif seratus persen, netral senetral-netralnya, dan terhindar
sama sekali dari bias, apalagi jika menyentuh ajaran-ajaran normative agama yang dianutnya. Di
sini sikap tidak obyektif, tidak netral, atau yang seringkali dikenal dengan bias, baik karena
problem insider maupun outsider seringkali sulit dihindari. William J.Goode dan Paul K.Hatt
menegmukakan pandangannya, bahwa penelitian ilmu-ilmu social, etika lebih dari sekedar
menghasilkan nilai-nilai dasar. Ia mendorong lahirnya nilai-nilai konkrit, maka penemuan ilmuan
harus dipublikasikan, segala hal yang menghalangi pencapainnya harus dihindari, keterlibatan
personal seorang peneliti harus dihilangkan, organisasi social di tengah-tengah masyarakat yang
membatasi keterlibatan proses penelitian juga harus dihilangkan. Dengan cara lain, kita dapat
mengatakan bahwa pada satu sisi setiap peniliti harus bersifat netral dan tidak bias, tetapi pada
sisi lain, secara interinik nilai tidak bisa dihinari dan dipisahkan dalam proses penelitian
menyangkut semua bidang ilmu. Singkatnya setiap peneliti harus obyektif dan tiidak bias.

Adapun studi Islam di Barat juga tidak terhindar dari problem bias, baik karena factor
insider maupun outsider. Seperti layaknya debat antara Bernard Lewis, Edward Said, Patriacia
Crone, Wael B.hallaq, serta R.B Serjeant merupakan contoh jelas dalam studi Islam yang
dilakukan oleh sebagian sarjana di Barat. Pemikiran-pemikiran mereka tidak lain terpengaruhi
oleh bias, factor insider maupun outsider, terlebih mereka mengkaji hal-hal yang menyentuh
ajaran-ajaran normative agama.

Agama atau keagamaan sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia
dapat dikaji melalui berbagai sudut pandang. Islam khususnya, sebagai agama yang telah
berkembang selama empatbelas abad lebih menyimpan banyak banyak masalah yang perlu
diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran kegamaan maupun realitas sosial, politik,
ekonomi dan budaya. Salah satu sudut pandang yang dapat dikembangkankan bagi pengkajian
Islam itu adalah pendekatan sejarah. Berdasarkan sudut pandang tersebut, Islam dapat dipahami
dalam berbagai dimensinya. Betapa banyak persoalan umat Islam hingga dalam
perkembangannya sekarang, bisa dipelajari dengan berkaca kepada peristiwa-peristiwa masa
lampau, sehingga segala kearifan masa lalu itu memungkinkan untuk dijadikan alternatif rujukan
di dalam menjawab persoalan-persoalan masa kini.
Di sinilah arti pentingnya sejarah bagi umat Islam pada khususnya, apakah sejarah
sebagai pengetahuan ataukah ia dijadikan pendekatan didalam mempelajari agama. Bila sejarah
dijadikan sebagai sesuatu pendekatan untuk mempelajari agama, maka sudut pandangnya akan
dapat membidik aneka-ragam peristiwa masa lampau. Sebab sejarah sebagai suatu metodologi
menekankan perhatiannya kepada pemahaman berbagai gejala dalam dimensi waktu. Aspek
kronologis sesuatu gejala, termasuk gejala agama atau keagamaan, merupakan ciri khas di dalam
pendekatan sejarah. Karena itu penelitian terhadap gejala-gejala agama berdasarkan pendekatan
ini haruslah dilihat segi-segi prosesnya dan perubahan-perubahannya. Bahkan secara kritis,
pendekatan sejarah itu bukanlah sebatas melihat segi pertumbuhan, perkembangan serta
keruntuhan mengenai sesuatu peristiwa, melainkan juga mampu memahami gejala-gejala
struktural yang menyertai peristiwa. Inilah pendekatan sejarah yang sesungguhnya perlu
dikembangkan di dalam penelitian masalah-masalah agama.
BAB III

PENUTUP

Keimpulan

Studi Islam berawal pada abad ke-9 di Irak, ketika ilmu-ilmu keagaaman Islam mulai
berbentuk seperti sekarang dan berkembang di sekolah-sekolah yang berkompetisi untuk
membentuk tradisi literer dalam bahasa Arab abad pertengahan. Fokus pembahasan ini adalah
Islam sebagai materi kajian di Barat dan tidak meninjau studi Islam dalam kerangka peradaban
Islam. Adapun permulaan teologis kajian ini,berawal sebelum datangnya Islam pada abah ke-
7M. Dimana bangsa Arab sudah dikenal oleh bangsa Israel kuno, Yunani, dan para pater gereja.
Pada masa polemic religious tahun 800-1100 Masehi, mitos dan legenda Yahudi-Kristen dapat
menerangkan tampilnya kaum monoteis Arab non-Yahudi, yakni non Kristen pada abad ke-7.

Masa Perang Salib dan Kesarjanaan Cluny, 1100-1500. Dimana studi Islam untuk tujuan
misi dimulai pada abad ke-12 pada masa Peter Agung. Ini merupakan periode awal Perang Salib
dan juga pembaruan besar dalam monastisisme, yang hingga saat itu menjadi lembaga utama
pengetahuan Kristen. Baik perang Salib maupun upaya ilmiah pendeta menjadi tindakan ofensif
terhadap peradaban Islam yang membentuk batas selatan dan timur dari Umat Kristen Barat.
Kenyataannya aktifitas penerjamahan buku-buku teological Islam jauh lebih menarik di Eropa
Kristen. Pada akhir abad ke-12 muncul sekumpulan karya peripatetic Muslim Ibn Sina dan
berdar di Eropa. Tatkala semakin banyak karya filosofis dan ilmiah diterjemahkan dari bahasa
Arab ke bahasa Latin, para sarjana Eropa akhir Abad Pertengahan pun memandang Dunia
Muslim kontemporer sebagai peradaban sarjana dan filosofi yang sangat kontras sekali dengan
popularitas pandangan menghina terhadap Muhammad dan praktik religious Islam.

Ketika Eropa memasuki periode perubahan religious,politik,intelektual yang mendalam


pada masa Reformasi 1500-1650 M, pengetahuan dan studi Islam juga terimbas. Pengetahuan
Eropa yang baru dan orisinil mengenai Islam berkembang pada akhir abad ke-16 dan ke-17
karena beberapa alasan, pertama adalah adanya realitas politik baru dalam agresi Utmsaniyah,
kedua berkembangnya navigasi dan espansi dagang di luar Mediterania membantu
meningkatkan kesadara Eropa tentang Dunia Islam. Ketiga, minat Eropa pada negri-negri Islam
melampuai minat polemis gereja yang tidak lagi terbatas pada perdebatan teologis soal al-
Qur’an, Nabi dan penaklukan Muslim awal namun sudah meluas hingga mencakup minat negara
pada potensi perdagangan, politik,dan ambisi militer.

Memasuki abad kesembilan belas, para sarjana Misionaris dan wirausahawan Eropa kian
berpeluang berhubungan dengan masyarakat-masyarakt Islam kontemporer. Kesempatan untuk
membicarakan Islam dengan kaum Muslim masih sering berbentuk perdebatan anatar pemimpin
Muslim dan Kristen. Satu perkembangan penting dalam studi-studi Islam abad ke-19 dan awal
abad ke-20 ini adalah historisisme, gagasan bahwa peristiwa-peristiwa seperti datangnya agama
baru dapat dijelaskan secara historis bergantung pada peristiwa-peristiwa sebelumya. Pada abad
ke 20, muncullah disiplin ilmu tersendiri dalam studi Islam. Disiplin ini disebut
orientalisme.Kaum orientalis mulai membangun kembali catatan kritis tentang asal usul dan
tampilnya Islam. Para sejarahwan abad ke-19 cenderung melihat tujuan mereka adalah
menemukan kembali dan merekonstruksi gambaran masa lalu. Sebagian sejarahwan studi-studi
Islam melihat bahwa kaum orientalis Barat dan ulama ortodoks cenderung bersifat sama,
konservatif dalam mendekati historiografi. Orientalisme pada umumnya menerima catatan
tradisionalis tentang hayat Muhammad, atrikulasi al-Qur’an di Makkah dan Madinah, dan
formasi awal komunitas Muslim.

Selanjutnya, menarik untuk dikemukakan dua aliran besar pendekatan sejarah yang
berkembang dalam studi Islam sebagaimana dikemukakan oleh J. Koren dan Y.D. Nevo. Dua
aliran besar mereka ini, banyak digunakan dalam mengkaji Arab praIslam, kelahiran Islam dan
penaklukan Islam, atau secara umum kajian Islam dan umat Islam. Dua aliran besar pendekatan
itu adalah Pendekatan Tradisionalis (Traditionalist Approach), dan Pendeketan Revisionis
(Revisionist Approach). Pendekatan tradisionalis merupakan pola penulisan yang hanya
mengandalkan sumber-sumber tertulis, itupun dibatasi oleh sumber-sumber yang berasal dari
umat Islam berbahasa Arab yang menggunakan pola, pendekatan,teori yang lazim digunakan
oleh kalangan umat Islam. Sedangkan pendekatan revisionis bertumpu pada tiga hal, pertama
pendekatan kritik sumber terhadap al-Qur’an dan literature Islam terkait dengan kebangkitan
Islam, penaklukan Islam, dan masa Umayyah. Kedua, pentingnya membangkitkan data tertulis
dengan data eskternal di luar tradisi umat Islam. Ketiga, pemanfaatan bukti material (arkeologi,
numismatic,dan epigrafi) yang dianggap menghasilkan data lebih valid jika dibandingkan dengan
literature tertulis pada masa tersebut.

Namun demikian perlu diakui ketika peneliti menggunakan pendekatan dan aliran apapun
itu, mereka tetap akan menghadapi problem seriusm diantaranya sulit bagi penulis untuk
melakukan studi yang bersifat obyektif seratus persen, netral senetral-netralnya, dan terhindar
sama sekali dari bias, apalagi jika menyentuh ajaran-ajaran normative agama yang dianutnya. Di
sini sikap tidak obyektif, tidak netral, atau yang seringkali dikenal dengan bias, baik karena
problem insider maupun outsider seringkali sulit dihindari.

Daftar Pustaka

C. Martin, Richard, Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Baidhawy,
(Yogyakarta: Suka Press).
Harfin Zuhdi, Muhammad, “Visi Islam Rahmatan Lil’alamin: Dialektika Islam dan Peradaban,”
Akademika: Jurnal Pemikiran Islam Vol. 17, no. 2 (Juli 2011).
Minhaji Akh., “Sejarah sosial dalam Studi Islam Teori, Metodologi, dan Implementasi Edisi Revisi”,
Yogyakarta: Suka Press, (2010).
Wahyudi Dedi dan Rahayu Fitri AS, “Islam dan Dialog Antar Kebudayaan (Studi Dinamika Islam di
Dunia Barat),” Fikri Vol. 1, no. 2 (Desember 2016).

Anda mungkin juga menyukai