Anda di halaman 1dari 13

KONDISI PERADABAN ARAB PRA-ISLAM

Mariyatul Mukaromah, Rizti Anandini, Ummi Fajriatun Nikmah


Psikologi Islam, Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama, Universitas Islam Negeri Raden
Intan Lampung
Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu : Agus Mahfudin Setiawan, M.Hum

PENDAHULUAN

Masa pra-Islam (jahiliyyah) bagi orang awam mungkin saja akan dipahami sebagai
suatu masa yang meliputi seluruh masa sebelum datangnya agama islam atau kenabian
Rasulullah SAW. Pendapat seperti ini dapat di benarkan tetapi para sejarawan Arab
membatasi masa pra-Islam hanya sekitar 150 tahun sebelum kedatangan Islam di tandai
dengan kenabian Muhammad SAW. Istilah Arab biasa digunakan untuk menyebut daerah
yang terletak di Jazirah Arab sedangkan Jazirah itu sendiri berarti pulau. Noeldeke meneliti
lafadz “Arab” kemudian menyimpulkan bahwa makna hakiki lafadz arab adalah al-shahra
yang berarti padang pasir.
Arab merupakan pusat peradaban Islam pertama di dunia. Bangsa Arab yang berdiam
di Jazirah Arab terletak didaerah Asia. Daerahnya berbentuk memanjang yang dibatasi oleh
laut merah dibagian barat, Teluk Persia di sebelah timur, Teluk Persia di sebelah timur, lautan
India di sebelah selatan, suriah dan Mesopotamia di sebelah utara. Pada dasarnya bangsa
Arab sebelum Islam tidak hanya daerah Jazirah Arab, akan tetapi pembahasan bangsa Arab
Pra-Islam dibatasi hanya daerah jazirah arab saja.
Daerah yang menjadi salah satu daerah pusat peradaban Islam ini, merupakan daerah
yang gersang dan minum air. Bahkan mungkin sangat jarang terdapat kehidupan di daerah
tersebut, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam. Di daerah tersebut juga tidak
ada sungai. Hanya terdapat lembah-lembah dan padang pasir sahara yang mempunyai tipe
yang berbeda-beda.1
Sebelum datangnya Islam, bangsa Arab sudah mengenal apa itu sistem perekonomian
yang ada dalam kehidupan sehari-harinya. Namun, dengan keterbatasan sumber daya
manusia maupun alamnya menyebabkan sistem perekonomiannya jalan ditempat dan tidak
ada perkembangan yang memadai di lingkungan sekitarnya.

1
Haeruddin. (2016). Karakteristik Sastra Arab pada Masa Pra Islam. Nady Al-Adab, 12(1), 35-36.
Sejarah bangsa Arab sebelum datangnya Islam tidak dapat diketahui dengan tepat. Hal
ini disebabkan oleh dua hal; Pertama, mereka tidak memiliki kesatuan politik, dikarenakan
sebagian besar penduduknya merupakan kelompok-kelompok yang suka berpindah-pindah
tempat (nomaden). Hal seperti ini menjadikan kehidupan mereka penuh dengan kekerasan
dan pertentangan yang memperebutkan daerah-daerah subur yang jumlahnya sangat terbatas
untuk mengembalakan ternak mereka. Kedua, budaya tubs-menutis belum mereka kenal,
sehingga kebanyakan masih buta aksara.2
Salah satu aspek penting perekonomian Arab pra-Islam adalah pertanian. Dua ratus
tahun sebelum kenabian Muhammad (610 M), masyarakat Arab sudah mengenal peralatan
pertanian semi-modern seperti alat bajak, cangkul, garu, dan tongkat kayu untuk menanam.
Penggunaan hewan ternak seperti unta, keledai, dan sapi jantan sebagai penarik bajak dan
garu serta pembawa tempat air juga sudah dikenal. Mereka telah mampu membuat
bendungan raksasa yang dinamakan al-Ma’arib. Namun setelah bendungan tersebut rusak
dan tidak berfungsi era kesejahteraan mereka juga hancur.3
Kondisi pranata sosial bangsa Arab sebelum dan awal kelahiran secara umum dikenal
sebagai ‘zaman jahiliah’ atau zaman kenodohan. Dinamakan demikian disebabkan kondisi
sosial, politik, moralitas dan keagamaan di sana berada dalam kondisi kesesatan yang nyata.
Pada saat itu, tingkat keberagaman mereka tidak jauh dengan masyarakat primitif.4

PEMBAHASAN
Sistem Perekonomian Arab Pra-Islam
Pemikiran tentang ekonomi Islam telah muncul sejak lebih dari seribu tahun lalu,
bahkan sejak Islam itu diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW. Pemikiran ekonomi di
kalangan pemikir muslim banyak mengisi khazanah pemikiran ekonomi dunia pada masa di
mana Barat masih claim kegelapan. Pada masa tersebut dunia Islam justru mengalami puncak
kejayaan dalam berbagai bidang.
Pada masa Arab pra-Islam atau yang disebut masa jahiliyah sudah bisa melakukan
transaksi berbaun riba. Ath-Thabari menyatakan: “Pada masa jahiliyah, praktik riba terletak
pada penggandaan dan kelebihan jumlah umur satu tahun. Misalnya, seorang berhutang.
Ketika sudah jatuh tempo, datanglah pemberi hutang untuk menagihnya seraya berkata,

2
Hasan Ibrahim, Islamic History and Culture (pentedemah; Djandan Human), cet. I (Yogyakarta: Kota
Kembang, 1968), hal.15
3
Aden Wijdan, Pemilaran dan Peradaban Islam, cet.I (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2007), hal.10
4
Muhammad Satir. (2019). Kehidupan Sosial Masyarakat Arab Masa Awal Kehadiran Pendidikan Islam. Alfikr:
Jurnal Pendidikan Islam, 5(1), 39-48.
‘Engkau akan membayar hutangmu ataukah akan memberikan tambahan (bunga) nya saja
kepadaku? Jika ia memiliki sesuatu yang dapat ia bayarkan maka ia pun membayarnya.
Jika tidak, maka ia akan menyempurnakannya hingga satu tahun ke depan. Jika
hutangnya berupa ibnatu makhadh (anak unta yang berumur satu tahun), maka
pembayarannya menjadi ibnatu labun (anak unta yang berumur dua tahun) pada tahun kedua.
Kemudian ia akan menjadikannya hiqqah (anak unta yang berumur tiga tahun), kemudian
menjadikannya jadzah (unta dewasa). Selanjutnya kelipatan empat ke atas.” Juga dalam hal
hutang emas ataupun uang, berlaku riba.5
Sehingga, perekonomian yang berkembang di Arab pra-Islam yang sangat berarti
adalah pertanian dan perdagangan. Disamping itu perdagangan adalah unsur penting dalam
perekonomian masyarakat Arab pra-Islam. Mereka telah lama mengenal perdagangan bukan
saja dengan sesama Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Kemajuan perdagangan bangsa Arab
pra-Islam dimungkinkan antara lain karena pertanian yang telah maju. Kemudian tersebut
ditandai dengan adanya kegiatan ekspor impor yang mereka lakukan. Para pedagang Arab
Selatan dan Yaman pada 200 tahun menjelang Islam datang, telah mengadakan transaksi
dengan India (Asia Selatan sekarang), negeri pantai Afrika, sejumlah negeri Teluk Persia,
Asia Tengah dan sekitarnya.
Keluasan dalam perdagangan dan interaksinya yang luas dengan dunia luar (terutama
penduduk Syria, Mesir, Irak, Iran, Yaman dan Ethiopia) tersebut, tidak saja mendatangkan
keuntungan materi yang besar, tetapi juga meningkatkan kadar pengetahuan, kecerdasan, dan
kearifan suku Quraisy. Tak heran bila kemudian mereka menjadi suku yang paling piawai
dalam berniaga, baik dalam bentuk syirkah maupun mudharabah yang membawa mereka
kepada kemakmuran dan kekuasaan.6
Dalam hal ini, komoditas ekspor Arab Selatan dan Yaman adalah dupa, kemenyan,
kayu gaharu, minyak wangi, kulit binatang, buah kismis, anggur, dan barang-barang lainnya.
Adapun komoditas yang mereka impor dari Afrika Timur antara lain adalah kayu untuk
bahan bangunan, bulu burung unta, lantakan logam mulia, dan badak; dari Asia Selatan dan
China berupa gading, batu mulia, sutra, pakaian, pedang dan rempah-rempah; serta dari
negara lain di Teluk Persia mereka mengimpor intan.
Sebagai pelaku ekspor impor, jazirah Arab memiliki pusat kota tempat bertransaksi
yaitu kota Mekkah. Kota Mekkah merupakan kota suci yang setup tahunnya dikunjungi,
terutama karena disitulah terdapat bangunan suci Ka’bah. Selain itu di Ukaz terdapat pasar
5
Abut Hasan ‘Ali al-Hasan an-Nadwi, Sejarah, hal.28
6
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi; Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, cet.I (Jakarta: Pustaka
Asatruss, 2005), hal.12.
sebagai tempat bertransaksi dari berbagai belahan dunia dan tempat berlangsungnya
perlombaan kebudayaan (puisi Arab). Oleh karena itu kota tersebut menjadi pusat peradaban
baik politik, ekonomi dan budaya yang penting.
Makkah merupakan jalur persilangan ekonomi internasional, yaitu menghubungkan
Makkah ke Abysinia seterusnya menuju ke Afrika Tengah. Dari Makkah ke Damaskus
seterusnya ke daratan Eropa. Dari Makkah ke al-Machin(Persia) ke Kabul, Kashmir,
Singking(Sinjian) sampai ke Zaitun dan Canton, selanjutnya menembus daerah Melayu.
Selain itu juga dari Makkah ke aden melalui laut menuju ke India, Nusantara, hingga Canton
(al-Haddad). Hal ini menyebabkan masyarakat Makkah memiliki peran strategi untuk
berpartisipasi dalam dunia perekonomian tersebut. Mereka digolongkan menjadi tiga, yaitu
para konglomerat yang memiliki modal. Kedua, para pedagang yang mengolah modal dan
para konglomerat. Ketiga, para perampok dan rakyat biasa yang memberikan jaminan
keamanan kepada para khalifah pedagang dari peranatuan, mereka mendapatkan laba
keuntungan sebesar sepuluh persen.
Para pedagang tersebut menjual komoditas itu kepada para konglomerat, pejabat,
tentara dan keluarga penguasa, karena komoditas tersebut mahal terutama barang-barang
impor yang harus dikenai pajak yang sangat tinggi. Alat pembayaran yang mereka gunakan
adalah koin yang terbuat dari perak, emas atau logam mula lain yang ditiru dari mata uang
Persia dan Romawi. Sampai sekarang koin tersbut masih tersimpan disejumlah museum di
Timur Tengah.

Kondisi Geografis Arab Pra-Islam


Jazirah Arab terletak di Benua Asia bagian barat, tepatnya di Timur Tengah yang
berbatasan langsung dengan benua Afrika dan dekat dengan benua Eropa. Orang Arab sudah
lazim menyebut daerahnya dengan “Jazirah Arabia” walaupun tidak tepat karena artinya
adalah pulau Arab. Jazirah Arab jika dilihat dari ilmu geografi merupakan semenanjung,
bukan pulau. Oleh karena itu, kata yang tepat digunakan adalah Sibhul Jazirah Arab
(Semenanjung Arab). Walaupun demikian, kelaziman orang Arab mengatakan Jazirah Arab
sebenernya Sibhul Jazirah Arab.
Mengenai kelaziman orang mengatakan jazirah Arab merupakan suatu daerah berupa
pulau yang berada di antara benua Asia dan benua Afrika, seolah olah daerah Arab itu
sebagai hati bumi (dunia). Pada zaman purba, persangkaan orang pun demikian, walaupun
letaknya di barat daya daerah Asia. Sejak dahulu, daerah Arab memang terkenal dengan
nama Jazirah Arab, karena daerah itu sebagian besar dikelilingi oleh sungai-sungai dan lautan
sehingga terlihat seperti jazirah(pulau). Hal tersebut merupakan perkataan sahabat Ibnu
Abbas r.a.
Jazirah Arab merupakan kediaman mayoritas bangsa Arab kala itu. Jazirah Arab
terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu bagian tengah dan bagian pesisir. Disana, tidak ada
sungai yang mengalir tetap, yang ada hanya lembah-lembah berair di musim hujan. Sebagian
besar daerah jazirah Arab adalah padang pasir sahara yang terletak ditengah dan memiliki
keadaan dan sifat yang berbeda-beda, karena itu ia bisa dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1) Sahara langit memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil dari timur ke
barat, disebut juga sahara Nufud. Oase dan mata air sangat jarang, tiupan air
seringkali menimbulkan kabut debu yang mengakibatkan daerah ini sukar ditempuh.
2) Sahara Selatan yang membentang menyambung Sahara Langit ke arah Timur sampai
selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan daratan keras, tandus, dan pasir
bergelombang. Daerah ini juga disebut dengan al-Rub’ al-khali (bagian yang sepi).
3) Sahara Harrat, sesuatu daerah yang terdiri dari tanah liat yang berbatu hitam bagaikan
terbakar. Gugusan batu-batuan hitam itu menyebar di keluasan Sahara ini, seluruhnya
mencapai 29 buah.

Jazirah Arab berbentuk empat persegi panjang, sebelah utara berbatasan dengan
daerah-daerah yang terkenal dengan “Bulan Sabit yang Subur”, yaitu daerah Mesopotamia,
Syiria, dan Palestina dengan tanah perbatasan yang berpadang pasir; disebelah timur dan
selatan dibatasi oleh Teluk Persia dan Samudra Hindia; sebelah barat dibatasi Laut Merah.

Pada zaman dahulu, jazirah Arab terbagi ke dalam enam bagian yaitu: Hijaz, Yaman,
Najd, Tihamah, Ihsa, dan Yamamah. Seiring dengan perkembangan zaman, sekarang jazirah
Arab terbagi ke dalam delapan bagian yang memiliki karakter yang masing-masing, yaitu:

1) Hijaz, terletak di sebelah tenggara dari Thursina di tepi Laut Merah. Di daerah hijaz
itulah letaknya kota yang terkenal dengan nama Makkah atau Bakkah, Yastrib atau
Madinah, dan Thaif.
2) Yaman, terletak disebelah selatan hijaz. Dinamakan Yaman karena daerah itu
letaknya di sebelah kanan Ka’bah bila kita menghadap ke timur. Di sebelah kiri
daerah itu terletak negeri Asier. Di dalam daerah itu, ada beberapa kota yang besar-
besar seperti kota Saba’ (Ma’rib), Sharia, Hudaibah dan ‘And.
3) Hadhramaut, terletak disebelah timur daerah Yaman dan di tepi Samudera Indonesia.
4) Muhram, terletak di sebelah timur daerah Hadhramaut.
5) Oman, terletak di sebelah utara bersambung dengan Teluk Persia dan di sebelah
tenggara dengan Samudera Indonesia.
6) Al-Hasa , terletak dipantai Teluk Persia dan panjangnya sampai ke tepi sungai
Euphrat.
7) Najd, terletak di tengah-tengah antara hijaz, Al-Hasa, Sahara negeri Syam, dan negeri
Yamamah. Daerah ini merupakan daratan tinggi.
8) Ahqaf, terletak di daerah Arab sebelah selatan dan di sebelah barat daya dari Oman.
Daerah ini merupakan daratan rendah.

Secara garis besar, wilayah jazirah Arab terbagi dua bagian yaitu bagian tengah dan
bagian tepi. Bagian tengah terdiri dari tanah pegunungan yang jarang terjadi turun hujan,
penduduknya disebut kaum Badui (penduduk gurun/padang pasir) hanya sedikit jumlahnya,
terdiri dari kaum pengembara yang selalu berpindah-pindah tempat (nomaden), mengikuti
turunnya ternak, seperti unta yang diberi nama Safinatus Sahara (bahtera padang pasir) dan
biri-biri. Bagian tengah jazirah Arab terbagi dua bagian; bagian utara disebut Najed dan
bagian selatan disebut Al-Ahqaf. Bagian selatan pendudukny sangat sedikit sehingga dikenal
dengan nama Ar-Rab’ul Khali(tempat yang sunyi).

Jazirah Arab bagian tepi (pesisir) merupakan sebuah pita kecil yang melingkari jazirah
Arab yang dipertemuan Laut Merah dengan Laut Hindia, pita itu agak lebar. Pada bagian tepi
ini, hujan turun teratur dan penduduknya hidup menetap yang disebut Ahlul Hadrar
(penduduk negeri). Mereka mendirikan kota-kota dan kerajaan-kerajaan yaitu Al-
Ahsa(Bahrain), Oman, Mahrah, Hadhramaut, Yaman dan Hijaz serta Hirah dan Ghassan di
sebelah utara.7

Sistem politik Arab pra-Islam

Secara internal, pada dasarnya kondisi politik di wilayah Arab pra-Islam mengalami
perpecahan atau dikenal dengan istilah otonomi daerah. Hal ini dikarenakan mereka tidak
mengenal sistem kepemimpinan sentral yang mengatur segala urusan kepemerintahan secara
general. Faktanya telah terbentuk sistem otonomi seperti kabilah yang berorintasi pada
terbentuknya suku-suku. Dengan demikian bisa dikatakan sejak masa jauh sebelum Islam
datang, masyarakat Arab telah memiliki keorganisasian dan identitas sosial yang jelas.
Namun, sifat rasial yang menjadi watak orang Arab menjadikan masing-masing suku saling
7
Ibid., hal.4
bersaing dalam beberapa momen, dan seringkali terjadi peperangan yang cukup sengit akibat
rasa solidaritas dan fanatisme yang timbul dari masing-masing internal suku.

Akibat dari peperangan dan fanatik antar suku juga menjadikan budaya dan peradaban
Arab tidak begitu berkembang seperti wilayah-wilayah lain yang memiliki kepemimpinan
sentral, seperti Romawi dan Persia. Namun uniknya meski letak geografis semenanjung Arab
yang berada diantara dua imperium besar yaitu Romawi dan Persia, wilayah Arab tetap
berada pada posisi netral dan dapat dikatakan terbebas dari pengaruh dua kerjaan besar tadi.

Kondisi politik di wilayah pra-Islam erat kaitannya dengan pembahasan nasab. Karena
pada dasarnya terdapat tiga garis keturunan besar yang menjadi cikal bakal orang Arab, yaitu;
Ba’idah, ‘Aribah dan Musta’ribah. Pertama adalah Arab ba’idah, secara kronologis, Arab
Ba’idah adalah kaum Arab kuno yang telah punah beserta data detail dari bagaimana kondisi
sosialnya dan sistem politiknya. Arab Ba’idah memiliki beberapa kaum, di antaranya kaum
‘Ad, Tsamud, Thasm, Judais, dan Imlaq. Kemudian garis keturunan yang kedua adalah Arab
‘Aribah, mereka adalah kaum yang berasal dari jalur keturunan Ya’rib bin Yasyjub bin al-
Qahthan yang dalam term sejarah dikenal dengan suku Qathaniyyah.

Secara geografis, Arab Aribah tumbuh di wilayah Yaman yang kemudian berkembang
menjadi beberapa kabilah dan marga. Terdapat dua kabilah besar Arab Aribah/Qahthan yang
populer dalam berbagai literatur sejarah. Dua kabilah tersebut adalah Kahlan dan Himyar.
Terakhir adalah kaum Arab Musta’ribah yang merupakan keturunan dari nenek moyang
mereka yaitu Nabi Ismail. Suku yang juga dikenal adalah Adnaniyyah.8

Bangsa Arab hidup berdampingan antar kabilah dengan perjanjian damai yang disebut
al-Ahlaf. Kecintaan mereka terhadap keluarga, garis keturunan (nasab) dan kabilah
mengalahkan kecintaan mereka terhadap hal lainnya. Ibn Khaldun menyebutnya dengan
istilah al-‘Ashabiyah. Fanatisme kabilah ini seringkali menimbulkan percekcokan dengan
kabilah lain yang berujung pada peperangan bahkan dalam hal sepele sekalipun, seperti kalah
dalam pacuan kuda, persengketaan hewan ternak, mata air atau padang rumput. Faktor
geografis Arab yang dipengaruhi oleh gurun-gurun pasir yang luas dan tandus mempengaruhi
sifat dan perilaku rata-rata orang Arab yang terkesan keras.

8
Rizkiyatul Imtyas, Sistem Politik Arab Pra-Islam: Fanatik Kesukuan dan Tidak Ada Pemerintahan Sentral,
https://islami.co/sistem-politik-arab-pra-islam-fanatik-kesukuan-dan-tidak-ada-pemerintahan-sentral/, 14 Maret,
21.06
Kepala kabilah Arab, selain tegas dan keras, terkenal juga dengan bertanggungjawab,
murah hati, menjamu tamu dan ringan tangan dalam menolong mereka yang membutuhkan
bantuannya.

Meskipun demikian, bangsa Arab terkenal kurang baik dalam pengorganisasian


kekuatan dan penyatuan aksi karena tidak adanya hukum reguler dan universal dan lebih
mementingkan kekuatan pribadi dan pendapat suku atas lainnya. Mungkin inilah penyebab
sulit bersatunya suku-suku dan kabilah di Arab. Sistem hidup mereka yang terdiri atas
kabilah-kabilah tidak menafikan adanya pemerintahan pusat. Bentuk pemerintahan yang ada
kala itu adalah oligarki atau pemerintahan oleh suatu kelompok atau beberapa orang yang
membagi-bagi kekuasaan dalam bidang-bidang tertentu. Ada kabilah yang menangani
masalah peribadatan, ada yang bertugas menangani pertahanan juga perekonomian. Pusat
pemerintahan kala itu adalah Dar al-Nadwa yang bertugas sebagai Majlis Syura dan
berkedudukan di Kota Suci Mekkah dimana didalannya terdapat Ka’bah, bangunan suci
bangsa Arab.9

Kondisi Sosial Arab pra-Islam

Kondisi dan kedudukan wanita yang dipandang sebelah mata, bahkan setengah
manusia. Meskipun ditemukan beberapa kepala suku wanita di Mekkah, Madinah, Yaman
dan sebagainya, namun jumlah mereka amat sedikit sekali. Di mata masyarakat mereka,
wanita tidak ada hargnya dan tidak lebih berharga dari barang dagangan di pasar. Beberapa
pendapat bahkan lebih vulgar menyebutkan bahwa mereka tidak lebih dari binatang, wanita
di anggap barang dan hewan ternak yang tidak memiliki hak. Mereke tidak dapat menjadi
pewaris suami atau orang tua. Para lelaki juga bebas menikah dengan wanita mana saja
berapapun jumlahnya, sedangkan tidak demikian bagi wanita. Seorang istri yang ditinggal
suaminya meninggal juga dapat diwarisi oleh anak tertuanya atau salah satu kerabat
mendiang suaminya. Sungguh jauh berbeda dengan posisi suami setelah menikah yang
berkedudukan layaknya raja dan penguasa.

Mereka juga terkenal dengan tradisi penguburan anak hidup-hidup. Namun, perlu
dipahami bahwa tradisi tersebut tidak terjadi di seluruh suku Arab. Hanya beberapa suku dan
kabilah saja yang menerapkan tradisi tersebut. Tradisi tersebut dilakukan dengan dasar bahwa

9
Yuangga Kurnia Yahya. (2019). Pengaruh Penyebaran Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara: Studi
Geobudaya dan Geopolitik. Al-Tsaqafa: Jurnal Peradaban Islam, 16(1), 44-62
anak (kebanyakan perempuan) adalah penyebab kemiskinan dan aib bagi keluarga. Bila
mereka kalah dalam peperangan, maka istri dan anak perempuan akan dirampas oleh musuh.
Karenanya, mereka beranggapan lebih baik membunuh mereka terlebih dahulu sebelum
ditawan oleh musuh.

Alasan lainnya adalah faktor kependudukan. Salah satu peristiwa besar yang
berpengaruh adalah hancurnya bendungan Ma’arib, Yaman, rakyat berbondong-bondong
melakukan urbanisasi besar-besaran ke Utara, termasuk Mekkah, Yatsrib dan Damaskus.
Perpindahan ini menyebabkan terbatasnya bahan pangan dan menyebabkan kesulitan
ekonomi dan kemiskinan banyak keluarga. Membunuh bayi yang baru lahir disinyalir sebagai
usaha untuk mengurangi pengeluaran keluarga. Di beberapa suku lainnya, mereka tidak
sedikit yang menyayangi anak-anak mereka, baik perempuan maupun laki-laki. Namun,
memiliki anak laki-laki tetap menjadi kebanggaan tersendiri bagi suku-suku di Arab kala
itu.10

Porsi nilai-nilai lokal di dalam masyarakat Arab ketika itu masih dominan sekali. Karena
itu, bangsa Arab sebagai satu kesatuan geneologis dan keturunan Nabi Ismail seolah-olah
hanya menjadi legenda. Perang antara suku selalu terjadi dimana-mana. Menanggapi suhu
konflik antara berbagai kelompaok di dalam masyarakat dunia Arab, Ibn Khaldun pernah
menyatakan bahwa tanpa Nabi Suci orang-orang Arab tidak mungkin dapat bersatu, apalagi
untuk mendirikan satu kerajaan bersama.

Perang antar suku disamping melahirkan struktur dan stratifikasi sosial dengan gejala
seperti munculnya konsep bangsawan, budak, harem juga melahirkan beberapa institusi
hukum yang bertujuan untuk mengeliminir kekerasan antar suku. Pada masa Nabi
Muhammad SAW, institusi diyah mengalami perkembangan cukup baik, tentu saja dengan
tetap memperhatikan unsur-unsur budaya yang hidup di dalam masyarakat. Jika yang
terbunuh seorang laki-laki dewasa maka keluarganya akan menerima 100 ekor unta sebagai
tebusan. Jika yang terbunuh perempuan dewasa maka tebusannya 50 ekor unta. Selanjutnya
institusi diyah, jizyah, kharaj ditetapkan berdasarkan kesepakatan dalam suatu masyarakat.
Pada suku Rawala di Gurun Siria, diyah bagi pembunuh laki-laki dewasa 50 ekor unta betina
bersama perlengkapan ditambah seekor kuda betina. Sementara untuk perempuan dewasa
ditetapkan 25 ekor unta betina.

10
Ibid., hal.9
Kelompok-kelompok masyarakat lebih kuat mempunyai pengaruh lebih besar daripada
kelompok yang lebih kecil. Biasanya orang-orang atau kelompok masyarakat lembah yang
tidak terikat dalam satu suku akan meminta perlindungan kepada suku-suku yang lebih kuat
tentu dengan beberapa konsekuensi. Kelompok-kelompok masyarakat lebih kuat berfungsi
sebagai patron yang memberikan perlindungan terhadap kelompok masyarakat yang menjadi
klient-nya.

Orang-orang yang berstatus mawali berbeda dengan budak. Mawali kedudukan


sosialnya lebih tinggi daripada budak, karena mereka tetap dianggap sebagai manusia
merdeka, hanya saja mereka dibebani beberapa kewajiban kepada pelindungnya. Budak
sepenuhnya berada di bawah kekuasaan tuannya, dapat dijual belikan dan berkewajiban untuk
melayani segala macam kebutuhan tuannya, termasuk untuk dikawini tuannya. Dalam
struktur masyarakat Arab, kelompok mawali hanya berada setingkat di atas budak, tetap di
pandang rendah statusnya di dalam masyarakat.

Mereka tidak diperkenankan untuk mengawini keluarga pelindungnya. Bahkan orang-


orang sering berjalan dengan mawali, orang itu akan di panggil dengan nama kecilnya (Iaqab)
-suatu nama panggilan awam atau nama dagang, sedangkan yang bersangkutan sendiri
mengutamakan panggilan kunyah atau panggilan kehormatan keluarga seperti “Abu Fulan”.
Di tempat-tempat pertemuan umum seperti di berbagai pesta, tempat duduk mereka
ditempatkan paling belakang.

Di dalam masyarakat Arab terdapat sejumlah gelar yang memberikan konotasi kelas,
seperti anak yang lahir dari perkawinan campuran biasanya disebut al-‘ajami, jika ayahnya
orang Arab dan Ibunya orang asing(non arab) maka anaknya disebut al-hajin, jika Ibunya
orang Arab dan Ayahnya non-Arab maka anaknya disebut al-muzri’. Orang-orang yang tidak
lancar berbahasa Arab juga disebut al-ajami’. Sebelum Islam orang-orang al-hajin tidak
mendapatkan harta warisan, sekalipun laki-laki. Sungguh bijaksana keputusan Nabi
Muhammad SAW memberi gelar al-muhajirun (orang-orang yang berpindah tempat tinggal)
kepada para pengungsi muslim dari Mekkah ke Madinah dan penduduk asli kota Yatsrib
(kemudian diganti menjadi Madinah) diberi gelar al-anshar(penolong).

Kedua istilah ini tidak mengisyaratkan perbedaan kelas, sehingga antara kedua
kelompok masyarakat tersebut tidak ada yang merasa lebih tinggi atau lebih rendah dari
kelompok lainnya, walaupun pada kenyataannya, kelompok muhajirin memberikan beban
sosial ekonomi kepada kelompok Anshar.
Di dalam masyarakat Arab sendiri terdapat struktur sosial yang berpengaruh penting di
bidang sosial politik, yaitu keutamaan Bani Hasyim. Kelurga Bani Hasyim seringkali
mendapatkan perlakuan khusus di dalam masyarakat.

Keutamaan keluarga Quraisy masih menjadi perdebatan, terutama dalam bidang


politik. Hal ini disebabkan karena setidaknya ada 4 hadits yang menyebutkan keutamaan
etnik Quraisy.

Struktur sosial berdasarkan usia juga menjadi gejala umum masyarakat ketika itu. Yang
senior mendapatkan kesempatan lebih utama baru para junior dan ukuran senior dan junior
diukur berdasarkan usia, bukannya pertimbangan-pertimbangan lain.11

PENUTUP

Kesimpulan

Dari kondisi peradaban pra-Islam dan keadaan yang dilalui masyarakat sebelum adanya
Islam dapat dibedakan dan kita lihat bagaimana Islam berpengaruh dan merubah peradaban
untuk melakukan kemajuan. Sejarah peradaban tersebut membuktikan bahwa Islam dapat
mendominasi dan melukan revolusi untuk umatnya di penjuru dunia khususnya jazirah Arab
yang menjadi pusat peradaban Islam didunia. Dalam perkembangannya kondisi ekonomi,
politik, geografis serta sosial budaya, bangsa Arab mengalami banyak kemajuan setelah
masuknya. Peradaban Islam yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW bukanlah sebuah
konstruksi politik melainkan dibangun atas dasar wahyu yang Allah SWT turunkan.

11
Edi Darmawijaya. (2017). Stratifikasi Sosial, Sistem Kekerabatan dan Relasi Gender Masyarakat Arab Pra-
Islam. Takammul: Jurnal Studi Gender dan Islam serta Perlindungan Anak, 6(2), 132-138
REFERENSI

Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi; Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, cet.I
(Jakarta: Pustaka Asatruss, 2005), hal.12

Darmawijaya, Edi (2017). Stratifikasi Sosial, Sistem Kekerabatan dan Relasi Gender
Masyarakat Arab Pra-Islam. Takammul: Jurnal Studi Gender dan Islam serta Perlindungan
Anak, 6(2), 132-138

Haeruddin. (2016). Karakteristik Sastra Arab pada Masa Pra Islam. Nady Al-Adab, 12(1), 35-
36.

Hasan, Abut ‘Ali al-Hasan an-Nadwi, Sejarah, hal.28

Ibrahim, Hasan. Islamic History and Culture (pentedemah; Djandan Human), cet. I
(Yogyakarta: Kota Kembang, 1968), hal.15

Imtyas, Rizkiyatul. Sistem Politik Arab Pra-Islam: Fanatik Kesukuan dan Tidak Ada
Pemerintahan Sentral, https://islami.co/sistem-politik-arab-pra-islam-fanatik-kesukuan-dan-
tidak-ada-pemerintahan-sentral/, 14 Maret, 21.06

Kurnia Yahya, Yuangga. (2019). Pengaruh Penyebaran Islam di Timur Tengah dan Afrika
Utara: Studi Geobudaya dan Geopolitik. Al-Tsaqafa: Jurnal Peradaban Islam, 16(1), 44-62

Satir, Muhammad. (2019). Kehidupan Sosial Masyarakat Arab Masa Awal Kehadiran
Pendidikan Islam. Alfikr: Jurnal Pendidikan Islam, 5(1), 39-48.

Wijdan, Aden. Pemilaran dan Peradaban Islam, cet.I (Yogyakarta: Safiria Insania Press,
2007), hal.10

Anda mungkin juga menyukai