PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masa sebelum kedatangan Islam dikenal dengan zaman jahiliyah. Dalam
Islam, periode jahiliyah dianggap sebagai suatu kemunduran dalam kehidupan
beragama. Pada saat itu masarakat Arab jahiliyah mempunyai kebiasaan-
kebiasaan buruk seperti meminum minuman keras, berjudi, dan menyembah
berhala.
Ketika nabi Muhammad SAW lahir (570 M). Mekah adalah sebuah kota
yang sangat penting dan terkenal di antara kota-kota di negeri Arab, baik karena
tradisinya maupun karena letaknya. Kota ini dilalui jalur perdagangan yang ramai
menghubungkan Yaman di selatan dan Syiria di utara. Dengan adanya Ka’bah di
tengah kota. Mekah menjadi pusat keagamaan Arab. Ka’bah adalah tempat
mereka berziarah. Didalamnya terdapat 360 berhala mengelilingi berhala utama,
Hubal. Mekah kelihatan makmur dan kuat. Agama dan masyarakat Arab ketika itu
mencerminkan realitas kesukuan masyarakat jazirah Arab dengan luas satu juta
mil persegi.
Biasanya, dalam membicarakan wilayah geografis yang didiami bangsa
Arab sebelum Islam, orang membatasi pembicaraan hanya pada jazirah Arab,
padahal bangsa Arab juga mendiami daerah-daerah di sekitar Jazirah. Jazirah Arab
memang merupakan kediaman mayoritas bangsa Arab kala itu.
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang kondisi Bangsa Arab
sebelum kedatangan agama Islam. Khususnya mengenai letak geografisnya, asal-
usulnya, agamanya, serta peradabannya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kehidupan social keagamaan bangsa Arab sebelum dan setelah
kenabian Muhammad SAW?
2. Bagaimana kondisi Bangsa Arab dalam sosial budayanya?
3. Seperti apa sejarah kehidupan dan keberagamaan Bangsa Arab sebelum dan
setelah kenabian Muhammad SAW?
4. TUJUAN
1. Mengkaji lebih dalam kehidupan social keagamaan bangsa Arab sebelum dan
setelah kenabian Muhammad SAW
2. Melihat kondisi Bangsa Arab dalam sosial budayanya.
3. Mengetahui sejarah kehidupan dan keberagamaan Bangsa Arab sebelum
setelah kenabian Muhammad SAW
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENDAHULUAN
1
.Masa sebelum Islam, khususnya kawasan jazirah Arab, disebut masa jahiliyyah
“ Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya (Al-Ahzab: 33).”
Maksudnya: isteri-isteri Rasul agar tetap di rumah dan ke luar rumah bila
ada keperluan yang dibenarkan oleh syara'. perintah ini juga meliputi segenap
mukminat. Yang dimaksud Jahiliyah yang dahulu ialah Jahiliah kekafiran yang
terdapat sebelum Nabi Muhammad s.a.w. dan yang dimaksud Jahiliyah sekarang
ialah Jahiliyah kemaksiatan, yang terjadi sesudah datangnya Islam.
1
Al-Qur-an Surat al-Ahzab: 33.
perasaan mereka patung itu dapat dijadikan sarana untuk berhubungan dengan
Tuhan.2
Namun demikian, bukan berarti masyarakat Arab pada waktu itu sama
sekali tidak memiliki peradaban. Kebudayaan mereka yang paling menonjol
adalahbidang sastra bahasa Arab, khususnya syair Arab. Perekonomian penduduk
negeri Mekah umumnya baik karena mereka menguasai jalur darat di seluruh
Jazirah Arab.
Bangsa Arab sebelum lahirnya Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah
memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografis yang cukup strategis, terutama
kawasan pesisir yang pada waktu itu ramai dilalui kapal-kapal pedagang Eropa
yang hendak menuju India, Asia Tenggara, Cina dan sekitarnya, telah membuat
kawasan ini lebih maju dari pada kawasan Arab yang lain. Makkah pada waktu itu
merupakan kota dagang bertaraf internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya
yang sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan penghubung jalur
perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria.
Rentetan peristiwa yang melatar belakangi lahirnya Islam merupakan hal
yang sangat penting untuk dikaji. Hal demikian karena tidak ada satu pun
peristiwa di dunia yang terlepas dari konteks historis dengan peristiwa-peristiwa
sebelumnya. Artinya, antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya terdapat
hubungan yang erat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hubungan Islam
dengan situasi dan kondisi Arab pra Islam.
3
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riadi, 2010, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, hal. 16.
merah. Hanya di sebelah utara, jazirah ini berbatasan dengan daratan atau padang
pasir Irak dan Syiria.4
4
Fadil, SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintas Sejarah, 2008, Malang:
UIN Malang Press, hal. 26.
5
Ibid, 43-44.
6
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, 1975, Kairo: Maktabah Najdah al-Misriyyah, hal. 1-
2.
Secara garis besar, jazirah Arab dibedakan menjadi dua, yakni daerah
pedalaman dan pesisir. Daerah pedalaman jarang sekali mendapatkan hujan,
namun sesekali hujan turun dengan lebatnya. Kesempatan demikian biasa
dimanfaatkan penduduk nomadik dengan mencari genangan air dan padang
rumput demi keberlangsungan hidup mereka. Seperti juga di tempat-tempat lain,
di sini pun [Tihama, Hijaz, Najd, dan sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-
negeri Arab] dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang
selalu pindah dan pengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara
seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan
keluarga, dan kebebasan kabilah yang penuh.7
Sedangkan daerah pesisir, hujan turun dengan teratur, sehingga para
penduduk daerah tersebut relatif padat dan sudah bertempat tinggal tetap. Oleh
karena itu, di daerah pesisir ini, jauh sebelum Islam lahir, sudah berkembang kota-
kota dan kerajaan-kerajaan penting, seperti kerajaan Himyar, Saba’, Hirah dan
Ghassan.
7
Ali Mufrrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, 1997, Jakarta:
Logos, hal. 5. Ras lain ialah Mongoloid, Negroid dan ras-ras
khusus.
8
perkotaan terutama penduduk pesisir, pertanian, peternakan dan perdangangan,
dapat berkembang dengan baik di daerah tersebut. Hal inilah tentunya yang
membuat kehidupan masyarakat pesisir lebih makmur daripada masyarakat
pedalaman (badui). Dari realitas ini, maka timbullah reaksi antara penduduk kota
atau pesisir dengan penduduk Gambar 1.2. Bangsa Arab pedalaman atau badui.
Aksi dan reaksi antara penduduk kota dengan masyarakat gurun dimotivasi
oleh desakan kuat untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Orang-orang nomad
bersikeras mendapatkan sumber-sumber tertentu pada orang-orang kota terhadap
apa yang tidak mereka miliki dari lingkungan mereka tinggal. Hal itu dilakukan
baik melalui kekerasan (penyerbuan kilat) atau jalan damai (barter). Orang-orang
badui nomaden dikenal sebagai perampok darat dan makelar. Gurun pasir, yang
merupakan daerah operasi mereka sebagai perampok, memiliki kesamaan
karakteristik dengan laut.9
Masyarakat, baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya
kesukuan. Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu
rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah
(clan). Beberapa kelompok kabilah membentuk suku (trible) dan dipimpin oleh
Shaikh.10 Keadaan itu menjadikan loyalitas mereka terhadap kabilah di atas
segalanya. Ciri-ciri ini merupakan fenomena universal yang berlaku di setiap
tempat dan waktu. Bila sesama kabilah mereka loyal karena masih kerabat sendiri,
maka berbeda dengan antar kabilah. Interaksi antar kabilah tidak menganut
konsep kesetaraan; yang kuat di atas dan yang lemah di bawah. Ini tercermin,
misalnya, dari tatanan rumah di Mekah kala itu. Rumah-rumah Quraysh sebagai
suku penguasa dan terhormat paling dekat dengan Ka’bah lalu di belakang mereka
menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya
dan diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal
kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan. Semua itu bukan berarti mereka
tidak mempunyai kebudayaan sama-sekali.11
Para wanita dan laki-laki begitu bebas bergaul, malah untuk berhubungan
9
Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 28.
10
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 2010, Jakarta: Rajawali Press, hal. 11.
11
yang lebih dalam pun tidak ada batasan. Yang lebih parah lagi, wanita bisa
bercampur dengan lima orang atau lebih laki-laki sekaligus. Hal itu dinamakan
hubungan poliandri. Perzinahan mewarnai setiap lapisan masyarakat. Semasa itu,
perzinahan tidak dianggap aib yang mengotori keturunan.
Banyak hubungan antara wanita dan laki-laki yang diluar kewajaran,
seperti :
1. Pernikahan secara spontan, seorang laki-laki mengajukan lamaran
kepada laki-laki lain yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa
menikahinya setelah menyerahkan mas kawin seketika itu pula.
2. Para laki-laki bisa mendatangi wanita sekehendak hatinya. Yang disebut
wanita pelacur.
3. Pernikahan Istibdha’, seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur
kepada laki-laki lain hingga mendapat kejelasan bahwa istrinya hamil.
Lalu sang suami mengambil istrinya kembali bila menghendaki,
karena sang suami menghendaki kelahiran seorang anak yang pintar
dan baik.
4. Laki-laki dan wanita bisa saling berhimpun dalam berbagai medan
peperangan. Untuk pihak yang menang, bisa menawan wanita dari
pihak yang kalah dan menghalalkannya menurut kemauannya.
Banyak lagi hal-hal yang menyangkut hubungan wanita dengan laki-laki
yang diluar kewajaran. Diantara kebiasaan yang sudah dikenal akrab pada masa
jahiliyah ialah poligami tanpa ada batasan maksimal, berapapun banyaknya istri
yang dikehendaki. Bahkan mereka bisa menikahi janda bapaknya, entah karena
dicerai atau karena ditinggal mati. Hak perceraian ada ditangan kaum laki-laki
tanpa ada batasannya.12
Maka tidak heran, jika peperangan antar suku menjadi ciri khas
masyarakat ini. Rendahnya harga wanita seakan-akan menjadi akibat dari keadaan
masyarakat yang suka berperang tersebut.
Akibat tradisi peperangan ini, kebudayaan mereka tidak berkembang.
Karena itu, bahan-bahan sejarah Arab pra Islam langka didapatkan di dunia Arab
12
dan dalam bahasa Arab. Ahmad Shalabi menyebutkan, sejarah mereka hanya
dapat diketahui dari masa kira-kira 150 tahun menjelang lahirnya agama Islam. 13
Pengetahuan itu diperoleh melalui syair-syair yang beredar di kalangan para pe-
rawi syair. Dengan begitulah sejarah dan sifat masyarakat Arab dapat diketahui,
yang antara lain bersemangat tinggi dalam mencari nafkah, sabar menghadapi
kekerasan alam, dan juga dikenal sebagai masyarakat yang cinta kebebasan.
Dengan kondisi alami yang seperti tidak pernah berubah itu, masyarakat
badui pada dasarnya tetap berada dalam fitrahnya. Kemurniannya terjaga, jauh
lebih murni dari bangsa-bangsa lain. Dasar-dasar kehidupan mereka mungkin
dapat disejajarkan dengan bangsa-bangsa yang masih berada dalam taraf
permulaan perkembangan budaya. Bedanya dengan bangsa lain, hampir seluruh
penduduk badui adalah penyair.14
Lain halnya dengan penduduk kota yang memiliki kemajuan peradaban,
sejarah mereka dapat diketahui lebih jelas. Mereka selalu mengalami perubahan
seiring dengan perubahan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Mereka telah
mampu berkarya seperti membuat alat-alat dari besi, bahkan sampai mendirikan
kerajaan-kerajaan. Sampai pada lahirnya Nabi Muhammad, daerah-daerah
tersebut masih merupakan kota-kota perniagaan, sebagaimana diketahui bahwa
daerah tersebut merupakan jalur perdagangan antara Eropa dan Asia.
Sebagaimana masyarakat badui, penduduk daerah ini juga mahir bersyair.
Biasanya, syair-syair dibacakan di pasar-pasar, semacam pagelaran pembacaan
syair, seperti yang terjadi di pasar ukaz. Bahasa mereka kaya dengan ungkapan,
tata bahasa dan kiasan.15
Fakta di atas menunjukkan bahwa pengertian Jahiliah yang tersebar luas di antara
kita perlu diluruskan agar tidak terulang kembali salah pengertian. Pengertian
yang tepat untuk masa Jahiliah bukanlah masa kebodohan dan kemunduran, tetapi
masa yang tidak mengenal agama tauhid yang menyebabkan minimnya
13
A. Shalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, buku I, terj. M. Sanusi Latief ,
1983, Jakarta: Pustaka Al-Husna, hal. 29.
14
Gustav Leboun, Hadarat al-‘Arab, Kairo: Matba‘ah ‘Isa al-Babi al-Halabi, hal.
72.
15
Badri Yatim, Sejarah Peradaban, hal. 12.
moralitas.16
17
http://sejarahperadabanislam77.blogspot.com/2013/05/kehidupan-bangsa-arab-sebelum-
datangnya.html, diunduh 24 Maret 2014.
berbentuk manusia yang dibuat dari batu akik. Dialah dewa orang Arab yang
paling besar dan diletakkan dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua
penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu. Beberapa kabilah melakukan cara-
cara ibadahnya sendiri-sendiri.18 Ini membuktikan bahwa paganisme sudah
berumur ribuan tahun. Sejak berabad-abad penyembahan patung berhala tetap
tidak terusik, baik pada masa kehadiran permukiman Yahudi maupun upaya-upaya
kristenisasi yang muncul di Syiria dan Mesir.19
Agama Yahudi dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan
Yaman. Tidak banyak data sejarah tentang pemeluk dan kejadian penting agama
ini di Jazirah Arab, kecuali di Yaman. Dzū Nuwās merupakan penguasa Yaman
yang condong ke Yahudi. Dia tidak menyukai penyembahan berhala yang telah
menimpa bangsanya. Dia meminta penduduk Najran agar masuk agama Yahudi.
sehingga kalau mereka menolak, maka akan dibunuh. Namun yang terjadi justru
menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka
dimasukkan ke dalam parit itu, serta dibunuh dengan pedang atau dilukai sampai
cacat bagi yang selamat dari api tersebut. Korban pembunuhan itu mencapai dua
puluh ribu orang. Tragedi berdarah dengan motif fanatisme agama ini diabadikan
dalam al-Quran dalam kisah “orang-orang yang membuat parit” (Ashab al-
Ukhdud)
21
Ibid, 58.
22
Ibid, 41-42.
23
Khalil Abdul Karim, Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, 2003.
Yogyakarta: LKiS, hal. 15-16.
2. Kebiasaan meratap yang sering dilakukan pada masa jahiliah mereka
tinggalkan. Karena agama Islam telah melarang perbuatan meratap.
3. Pada zaman Islam, bangsa Arab juga telah merubah kebiasaan mereka
yang suka membunuh anak perempuan yang baru lahir.
4. Terhapusnya sistem perbudakan karena dalam Islam semua orang
memiliki hak yang sama.
5. Adanya pengaturan terhadap pernikahan. Sehingga kebiasaan
mengawini janda bekas ayah yang dilakukan oleh masyarakat jahiliah
dilarang.[13]
Perubahan-perubahan yang dibawa Islam dalam sistem kepercayaan bangsa
Arab sangat jelas terlihat. Bangsa Arab tidak lagi menyembah berhala, matahari
dan bulan. Mereka mengamalkan ajaran-ajaran islam seperti : salat, puasa,
membayar zakat, dan berhaji.[14]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari paparan diatas, dapat kita simpulkan bahwa:
1. Masa sebelum kedatangan Islam dikenal dengan zaman jahiliyah. Dalam
Islam, periode jahiliyah dianggap sebagai suatu kemunduran dalam
kehidupan beragama.
2. Sebelum Islam datang, bangsa Arab telah menganut berbagai macam
agama, adat istiadat, akhlak dan peraturan-peraturan hidup.
3. Negeri Yaman adalah tempat tumbuh kebudayaan yang amat penting yang
pernah berkembang di Jazirah Arab sebelum Islam datang.
4. Masa Jahiliyah bukan berarti masa dimana Bangsa Arab yang belum
mengetahui apapun. Namun masa ketika kemajuan peradaban Bangsa Arab
tanpa disertai kemajuan moralnya.
5. Terdapat perubahan-perubahan besar yang dibawa oleh agama Islam bagi
masyarakat Arab. Perubahan-perubahan itu dapat terlihat dari segi watak, budaya
dan juga kepercayaan masyarakat Arab yang semula mereka kaum yang suka
berbangga diri, memperlakukan anak perempuan dengan buruk serta melakukan
pemujaan terhadap berhala-berhala yang mereka anggap dapat melindungi mereka
menjadi kaum yang saling hormat-menghormati dan menyembah Allah SWT.
6. Meskipun untuk menuju semua perubahan itu,nabi Muhammad mendapatkan
tantangan yang luar biasa beratnya dari bangsa Arab itu sendiri,tetapi akhirnya
mereka semua dapat menerima dan meyakini bahwa ajaran yang dibawa okeh nabi
Muhammad itu adalah ajaran yang menyeru pada kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.
‘Abd al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tarīkh Ṣadr al-Islam, 2007, Beirut:
Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah.
A. Shalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, buku I, terj. M. Sanusi Latief ,
1983, Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, 1975, Kairo: Maktabah Najdah al-Misriyyah.
Ahmad Mujahidin, “Arab Pra Islam; Hubungan Ekonomi dan Politik
dengan Negara-Negara Sekitarnya”, Maret 2003, Jurnal Akademika, Volume 12,
Nomor 2.
Ali Mufrrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, 1997, Jakarta: Logos.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 2010, Jakarta: Rajawali Press.
Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah dari Segi Geografi,
Sosial, Budaya dan Peranan Islam, terj. Said Jamhuri, 1994, Jakarta: Ilmu Jaya.
Burhan al-Din Dallu, Jazirat al-‘Arab Qabl al-Islam, 1989, Beirut.
Fadil, SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintas Sejarah, 2008,
Malang: UIN Malang Press.
Gustav Leboun, Hadarat al-‘Arab, Kairo: Matba‘ah ‘Isa al-Babi al-Halabi.
Khalil Abdul Karim, Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, 2003.
Yogyakarta: LKiS.
M.M. al-A‘zamī, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi,
2005. Jakarta: Gema Insani.
Montgomery Watt, Muhammad at Mecca, 1956, Oxford: Oxford University
Press.
Muhammad ‘Abid Al-Jābirī, Madkhal ila al-Qur`ān al-Karīm, 2007. Beirut:
Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah.
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah,
2011. Jakarta; Litera Antar Nusa.
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riadi, 2010, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
R.A Nicholson, A Literary History of The Arabs, 1997, Cambridge:
Cambridge University Press.
Syafiq A. Mughni, “Masyarakat Arab Pra Islam”, dalam Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, I, 2002, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.