Anda di halaman 1dari 137

BAB IV

1.Latar Belakang Sosial Budaya Masyarakat Melayu Jambi


Muaro Jambi yang tidak begitu jauh dari ibukota Propinsi Jambi
memiliki peninggalan yang berbentuk Candi yang konon dulunya dijadikan
pusat pendidikan filsafat agama Bhuda sekitar abad ke 12 dan 13. Candi ini
menunjukkan bahwa Masyarakat melayu Jambi sudah mempunyai kebudayaan
yang tinggi sejak beberapa abad yang lalu. Daerah ini pernah dijadikan sebagai
pusat pemerintahan kerajaan Melayu. Letaknya yang berdampingan dengan di
muara sungai Batang Hari. Daerah candi ini dikelingi pantai yang indah tidak
sulit dijangkau dari kota Jambi. Jalan ke candi ini dihiasi dengan pepohonan
duku yang bertaburan dengan buahnya yang warna kuning langsat sehingga
pengendara merasa teduh dan nyaman diperjalanan.
Simbol kejayaan Melayu di Jambi ditemukan juga sebuah perasasti di
daerah Bangko. Wilayah ini dapat dijangkau dengan naik kendaraan roda
empat sekitar lima jam perjalanan dari kota Jambi, perasasti ini bernama
Perasasti Karang Birahi. Tulisan yang ada dalam perasasti ini merupakan bukti
bahwa masyarakat Melayu sudah mengenal aksara sekitar abad ke 7 dengan
aksara Pallawa. Tulisan dengan aksara fallwa ini menunjukkan bahwa dua
putra raja Kerajaan Melayu dimakamkan di daerah karang Birahi ini.
Lambang kejayaan masyarakat Melayu di bawah panji pemerintahan
Kerajaan Melayu masih banyak namum ada satu lagi naskah yang ditulis
dengan aksara Jawi pada abad ke 12, yaitu naskah Tanjung Tanah di wilayah
Kerinci salah satu kabupaten tertua di Propinsi Jambi. Dalam nasakah ini dapat
diketahuai bahwa kehidupan masyarakat Melayu sudah ditata dengan sebuah
aturan yang baku. Hal ini tentu salah satu bukti lagi bahwa kebudayaan Melayu
merupakan kebudayaan tertua di Nusantara ini yang sudah lebih seribu lima
ratus tahun mengenal tulisan (Kozak, 2006).
Pada paragraf pertama tadi dikemukakan bahwa Muara Jambi pernah
menjadi salah satu pusat pendidikan filsafat agama Buda diperkuat dengan
pernyataan bahwa seorang biksu Tiongkon bernama I-Tsing pernah bermukim
di daerah ini untuk memperdalam ilmu agama. Kemudian, I-Tsing lah yang
pertama memperkenalkan nama Melayu pada dunia. Pada tahun 689 M ada
pernyataan I. Tsing yang menyatakan bahwa Melayu sudah kehilangan
kedaulatannya pada kerajaan Sriwijaya.
Secara etimologis kata Melayu tidak dapat dilacak secara jelas namum
kata ini terdiri dari dua suku kata yaitu me- dan layu-. Melayu memiliki arti
daerah baru. Melayu sebagai kerajaan waktu itu tentu memiliki pusat
pemerintahan. Ibu kota ini diberi nama Zhanbin yang berasal dari kata Arab
kemudian berubah menjadi Jambi. Kerajaan Melayu Jambi yang sudah mulai
redup dengan perkembangan Kerajaan Sriwijaya yang sangat pesat,
pemerintahan Melayu memindahkan pusat pemerintahannya ke Dharmasraya
hulu sungai Batang hari sekitar dua ratus lima puluh kilo dari kota Jambi di
pinggir jalan lintas Sumatera ke arah Sumatera Barat. Hal ini dapat dilacak
dari naskah Tanjung Tanah yang menyebutkan nama Dharmasraya pada akhir
naskah tersebut.
Keruntuhan kerajaan Melayu di wilayah Sumaterta bagian tengah
bukan berarti kebudayaannya ikut tenggelam. Buktinya, bahasa Melayu yang
menjadi bahasa sehari-hari penduduk di daerah ini berjaya sampai saat ini
setelah bahasa ini pernah menjadi bahasa Linguafranca, pada masa kejayaan
kerajaan Melayu lama. Para yong Indonesia pada tahuan 1928 dengan
pemikiran yang sangat dahsyat menyepakati untuk menjadikan Bahasa Melayu
menjadi bahasa yang mempersatukan rakyat Indonesia sampai pada saat ini
bahkan menjadi bahasa yang memiliki peranan besar dalam kancah
peropiltikan, ekonomi, budaya, dan agama di Asia Tenggara.
Penjelasan di atas tentu memiliki tujuan bahwa bahasa dan budaya
merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Kejayaan suatu
bangsa ditunjukkan oleh budayanya lewat bahasa yang digunakannya dalam
interaksi sosial. Wilayah yang menggunakan bahasa tertentu sudah pasti diikuti
oleh akultrasi budaya bahasa tersebut. Dalam naskah Tanjung tanah dapat
dilihat bahwa perilaku manusia dalam kehidupan sosial sudah ditata
sedemikian rupa dalam sebuah aturan yang disebut undang-undang. Anggota
masyarakat harus mengikuti aturan yang dibuat dengan kesepakatan tokoh
masyarakat dan masyarakatnya. Sejumlah ketentuan dalam naskah Tanjung
tanah ini memilki sangsi yang jelas dan tegas dengan denda berupa emas sesuai
dengan kesalahan yang dilakukan. Dalam kehidupan masyarakat melayu sudah
ada aturan yang menata hubungan manusia dengan alam, dan sesama manusia.
Hal ini menunjukkan bahwa peradaban yang tinggi sudah menjadi milik orang
Melayu beberapa abad yang silam.
Aturan yang menata kehidupan sosial masyarakat inilah yang diyakini
dapat memepertahankan eksistensi Masyarakat Melayu sampai pada masa
global saat ini. Perpecahan, kehancuran, dan kebangkitan suatu kelompok sosial
sangat tergantung pada kepatuhan dan ketaatan warga masyarakat terhadap
aturan yang dipakai dalam kehidupan sosial. Masyarakat lahir dengan sebuah
ideologi yang mengikat anggotanya sehingga kelompok dapat bertahan dan awet. Hal
ini menunjukkan bahwa nilai, norma, dan adat dapat menghendalikan perilaku sosial
anggota masyarakat. Hubungan antaranggota masyarakat akan berjalan sesuai dengan
aturan yang disepakati dan ditaati bersama sehingga kelompok akan dapat menikmati
kehidupan bersama dengan aman, damai, dan sejahtera.
Dalam masyarakat Melayu aturan dimaksud tentu merupakan buah pemikiran
kolektif yang mencakup tatacara hubungan antaranggota masyarakat, orang
perorangan, anggota kelompok dengan masyarakat, masyarakat dengan lingkungan
alam sekitarnya. Dalam mengawetkan hubungan sosial diperlukan satu norma yang
berbentuk peraturan walaupun sifatnya secara lisan, aturan ini berfungsi sebagai
pengendali setiap anggota masyarakat dengan pergaulan warga sekitar dan alam yang
memberinya kehidupan.
Di tengah masyarakat Melayu ditemukan aturan yang tidak tertulis yang
dibuat khusus oleh nenek mamak, pemangku adat, cerdik pandai, alim ulama, tuo
tengganai yang dapat diterima oleh semua anggota masyarakat. Atuaran tidak tertulis
ini pada dasarnya ditemukan di setiap etnis dengan asumsi bahwa tuntunan pergaulan
dalam masyarakat yang berbentuk aturan merupakan kebutuhan yang mendasar.
Masyarakat akan hidup damai, aman, tenteram, dan sejahtera kalau ada pengendali
perilaku anggotanya. Permasalahan sosial yang muncul dalam kehidupan masyarakat
akan dapat diantiisifasi dan diselesaikan kalau ada aturan yang jelas dan tegas.
Masyarakat Melayu sudah memiliki aturan tidak tertulis ini sejak beberapa
abad yang silam. Pengendali perilaku sosial ini dikenal dengan nama Seloko adat.
Pada awalnya, aturan yang mengendalikan perilaku manusia dalam kelompok sosial
ini diberi nama Jamhur. Pada saat itu masyarakat Melayu masih menganut agama
Hindu dan Budha bahkan animisme sehingga nilai-nilai yang ada pada jamhur banyak
didasarkan pada ajaran kedua agama tersebut. Selanjutnya, setelah kedatangan agama
Islam ke wilayah kerjaan Melayu ini semua aturan yang ada pada Jamhur berubah
secara derastis. Filosofi yang mendasari aturan pada jamhur dirasa penting untuk
diteliti ulang berdasarkan pandangan ajaran Islam. Akhirnya, Jamhur diganti dengan
aturan yang berlandaskan ajaran Islam dengan nama Teliti 12. Perkembangan
masyarakat yang sudah sangat panatik dengan ajaran Islam dipandang perlu
menyempurnakan aturan yang ada pada Teliti 12. Akhirnya, undang Teliti 12 juga
diubah nama menjadi Seloko. Seloko adat yang memilki filosofi” adat besandi sarak,
sarak besandi kitabullah’ diperlakukan sebagai aturan yang mengedalikan dan
menuntun masyarakat dalam kehidupan sosialnya dengan nama Seloko adat (Hasan,
1994).
Seloko adat sudah pasti diwarnai oleh ajaran agama Islam sehingga aturan
yang ada pada seloko adat tidak ada yang bertentangan dengan jaran agama yang
bersumber dari Alquran dan hadis. Pengendali yang paling tinggi nilainya adalah
aturan yang ada pada ajaran Agama Islam yang bersumber dari Alquran. Filosofi
dalam seloko ini sekaligus menjadi pandangan hidup orang Melayu Jambi. Hal ini
ditunjukan dalam kaitan seloko dengan agama yang tidak dapat dipisahkan. Di
samping seloko yang mengungkapkan” adat besandi sarak, sarak besandi kitabullah”
ada untaian seloko yang memperkuatnya dengan unkapan’ Tanggo tereh betanggo
batu, lantak yang indak goyah, cermin nan idak pecah”.
Berdasarkan fisolosofi seloko ini dapat diketahui bahwa masyarakat Melayu
memang begitu taat pada ajaran Islam sehingga keseluruhan perilakunya disesuaikan
dengan ajaran agama yang ada pada Kitabullah. Seloko adat sebagai sastra lisan
memang lahir di tengah masyarakat pemiliknya yang hidup dalam lingkungan
pengikut ajaran Islam yang kuat. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat interaksi
sosial yang dibangun dalam masyarakat ini tetap mengikuti ajaran Islam. Kegiatan
ritual dan sosial juga dilaksanakan sesuai dengan ajaran Islam, seperti pernikahan,
pemakaman mayat, dan pembagian warisan.
Aturan yang ada dalam seloko ini mengisyratkat masyarakat Melayu bahwa
ada sesuatu yang mengatur prilaku kehidupan bermasyrakat yang bersumber dari
ajaran agama Isalam. Hal ini ditegaskan dalam seloko bahwa adat bersandi syarak,
sarak yang besandikan kitabullah. Kitabullah yang dikenal dengan Alquran
merupakan kitab suci agama Islam yang menjadi sumber tertinggi dari aturan yang
ada dalam masyarakat Melayu Jambi.
Seloko sebagai tradisi lisan di maknai sebagai perilaku yang dituturkan
secara lisan dari satu generasi ke genarasi berikutnya misalnya dalam berbagai
bentuk seperti pantun, syair, dan adat isti-adat. Pewarisan seloko sebagai tradisi
lisan menunjukkan bahwa tradisi lisan ini mengandung sari pengalaman generasi
terdahulu yang masih bermanfaat ke maslahatan hidup bagi generasi selanjutnya
(Webster Amerika 1952:15-38). Di sisi lain para ahli mekemukakan bahwa tradisi
lisan menekankan otoritat generasi tua yang tidak perlu di persoalkan tingkat mutu
dan validitasnya Tradisi merupakan hal yang menjadi pengangan bagi anak dalam
perkembangan dan kelanjutan generasi berikutnya karena tradisi itu merupakan
kumpulan pengalaman, pemikiran, prilaku, emosi kejiwaan, cita-cita, angan-angan,
pengetahuan dan tata kehidupan masa lalu yang digunakan untunk mengatur
kehidupan bersama. Tradisi lisan sebagai kumpulan emosi jiwa seluruh masyarakat
merupakan mekanisme yang dapat memlancarkan dan mengembangkan petumbuhan
pribadi anggota masyarakat.
Pendapat di atas menunjukkan bahwa kedudukan tradisi lisan sangat penting
sebagai petunjuk tata pergaulan dalam masyarakat, kekecewaan, kerusuhan,
pertengkaran bahkan perlakuan biadab akan muncul tanpa aturan yang ada pada
tradisi lisan. Satu kelompok manusia pasti mengandalkan tradisi lisan sebagai acuaan
kehidupan mereka dalam keseharian hidup yang berkaiatan dengan alam. Tradisi
yang tidak di pakai lagi oleh suatu masyarakat yang membuat meraka lepas dari suatu
ikatan budaya dan peradaban. Hal ini akan membuat terjadinya ketidak harmonian
dalam masyarakat. Tradisi leluhur yang tidak dipakai lagi secepat mungkin akan
diganti oleh tradisi baru yang ada pada masyarakat tersebut. Artinya, adalah suatu
keniscayaan apabila ada orang yang hidup dalam suatu kelompok tanpa dilandasi oleh
tradisi lisan sama sekali. Membangun peradaban dan kebudayaan suatu masyarakat
tidak bisa dilepaskan dari tradisi lisan. Kebudayaan baru yang dibangun dengan
peradaban baru akan teruji dan dapat dipertahankan kalau tradisinya dilestarikan
oleh pengikutnya (kladen 1988: 244-247). Selanjutnya Kleden mengumumkan tradsi
lisan bukan untuk diterima atau ditolak melainkan dipertimbangkan lain untu
kesesuian baru.
Keadaan yang sama terjadi pada masyarakat melayu Jambi tanpa ada tradisi
lisan Seloko maka kehidupan orang Melayu di jambi akan cenderung kacau balau.
Kehadiran seloko di tengah masyarakat ini memiliki fungsi yang besar dalam
mengawetkan masyarakat Melayu Jambi bahkn Seloko dapat dinyatakan sebagai
identitas yang mengikat kesatuan masyarakat Melayu di negeri ini. Landasan berpijak
dalam menjalani kehidupan sosial yang harmoni di negeri ini tidak dapat dipisahkan
dengan filosofi kehidupan yang ada pada seloko. Suatu hal yang sangat mendasar
yang dijadikan tuntunan dalam Seloko adalah adat besandi sarak, sarak besandi
kitabullah. Landasan ini pasti mewarnai perilaku pemilik tradisi lisan seloko.
Seloko pada awalnya tidak menarik untuk dilihat maknanya dari sudut
etimologi namun perkembangan seloko kalau dilihat dari perannya dalam
mengawetkan kehidupan harmonis di tengan masayarakat Melayu, seloko akhirnya
menjadi tumpuan masayakat Melayu pada abad ke 13- sampai sekarang mulai dari
pemerintahan kerajaan Melayu di daerah Jambi sampai masa globalisasi saat ini. Pada
waktu itu seluruh penduduk wilayah provinsi Jambi sekarang merupakan daerah
pusat pemerintahan Kerajaan Melayu sudah diterapkan struktur pemerintah
masyarakat adat yang dikenal dengan pemerintahan Kesultanan Jambi.
Susunan pemerintahan adat ini termasuk di dalamnya kepala adat yang
menunjukkan bahwa penghulu tengganai, dan kepala adat merupakan orang tempat
mengadukan masalah masyarakat maka peran ini ditunjukkan satu seloko yang
mengatakan bahwa “dusun sekato penghulu, rantau jenang, dan rumah sekato
tengganai. Ungkapan ini menunjukkan bahwa jabatan penghulu, patih dalam, tuo
tengganai, jenang, nenek mamak, datukl, dan kepala adat sangat dihargai dan
titahnya dihormati serta diataati. Dalam seloko dinyatakan, memakan habis,
memancung putus. Keputusan yang dibuat pemangku adat ini melalui musyawarah
untuk mupakat dipandang sebagai patwa yang harus ditaati, dilaksanakan, dan
diterima oleh masyarakat. Kesepakatan apa pun yang dibuat melalui musyawarah
untuk mupakat itersebut baik berupa aturan, anjuran, dan sangsi oleh pemangku adat
mulai dari nenek mamak, tuo tengganai, kepala adat, cerdik pandai, alim ulama,
tengganai menjadi suatu aturan yang dijadikan pengendali perilaku sosial walaupun
dalam bentuk media tidak tertulis.
Kata sekato yang secara semantik berarti hasil mufakat melalui musyawarah
dalam mengambil kesepakatan untuk menyutujui sesuatu hal yang berkaitan dengan
kemasyarakatan di tanah Melayu Jambi berubah namanya menjadi seloko .
Dipandang dari sudut semiotyika melekat maknanya sebagai arahan, tuntunan,
keputusan , tunjuk ajar yang diramu dari pengalaman, pemikiran, dan pengetahuan
para pemangku adat seperti tengganai, cerdik pandai, alim ulama, ketua adat. Pada
akhirnya, seloko ini dijadikan sebagai aturan tidak tertulis dalam pengendalian
kehidupan masyarakat.
Pemimpin adat tersebut bagaikan beringin besar, batangnyo tampek
basanda, daunnyo tampek belindung ketiko hujan, beteduh ketiko paneh, akar
besaknyo tempat besilo, pegi tempat betanyo, balek tampek babarito”. ..................
Jenang, penghulu, tuo-tuo tengganai, tengganai merupakan pemangku adat di
ranah masing-masing. Para pemangku adat ini bertugas menjalankan adat dan aturan
hukum adat di lingkungan masyarakat adat yang dipimpinya. Penghormatan yang
tinggi diberikan kepada pemangku adat ini dengan sebutan Ketua Adat. Peraturan,
hukum, adat yang berlaku dalam masyarakat adat dijalankan oleh Ketua Adat. Hal ini
mengisyaratkan bahwa Ketua Adat harus orang yang benar-benar menguasai semua
aturan adat yang berlaku dalam lingkungannya.
Ketua Adat, di samping menguasai aturan, adat, dan hukum adat juga
berfungsi sebagai pengendali yang memastikan bahwa semua aturan, adat, dan
hukum adat dilaksanakan secara adil untuk semua anggota masyarakat adat. Keadilan
merupakan dasar yang dipilih secara bijak untuk menjaga wibawa, kehormatan, dan
kekuatan Ketua adat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Hal ini ditunjukkan
dalam seloko, raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah. Titah, fatwa,
keputusan, dan anjuran, perintah Raja harus dilankan oleh semua anggota masyarakat
adat tanpa kecuali.
Ketua Adat disimbolkan sebagai Raja merupakan orang yang diagungkan, disegani,
dihormati, dan dipatuhi perintahnya serta disimak dihayati, dan dilaksanakan
suruhannya. Hal ini membuat syarat yang sangat berat untuk menjadi seorang raja.
Ada dua jalur yang dijadikan calon seorang raja yaitu jalur kturuna yang lebih kental
dengan istilah waris. Semula diambil dari waris. Jika tidak terdapat, maka diambil
yang didalam sewaris. Jika tidak ada dalam kedua-duanya, barulah diambil orang lain
yang : " Patut dimakan jado, yang dialur dimakan patut " dan memepunyai syarat.
Syarat ini adalah dikatakan waris dipinjam dan dipakainya hanya selama jabatannya.
Kalau ia terhenti atau meninggal dunia maka ia tidak boleh meninggalkan waris
kedudukan/pangkat, sebab kedudukan itu hanya dipinjam dari rakyat.
Di samping sistem pewarisan namun calon raja juga harus memilki sifat-sifat
yang ditentukan tuo-tuo tenggana bersama perangkatnya. Hal ini juga dijadikan syarat
mutlat walaupun calon berasal dari pewaris. Sifat-sifat dimaksud adalah: Diambil dari
orang cerdik pandai, arif bijaksana, dimalui dan disegani oleh orang banyak dalam
Marga atau Kampung itu, serta mempunyai wibawa. Disamping itu tidak boleh cacat,
ataupun cacat panca indranya serta tidak mengandung penyakit buruk ( lepra ataupuri
penyakit menular lainnya ).
Mempunyai rumah tangga. hidup berkemampuan dan bersedia
berkedudukan dimana ditunjukkan. Tidak pernah dihukum karena melakukan perkara
kejahatan yang melanggar Undang-undang Negeri serta tidak dari orang-orang
tengkulak atau pengisap/pemeras rakyat atau orang lemah. Berbudi baik berperangai
elok, tahu diadat dengan peseko, tahu diburuk dan baik, tahu disyah dengan batal.
Bermukim, berumah tangga berhalaman dan bertepian. Telah bersirih seko, berpinang
gayur, bersawah liat, bertepat berpematang di negeri itu. Jadi bukan dari dagang
sekali lalu, galeh sekali lewat serta orang seadat selembago serta seagama.
Peran raja yang dinilai sangat besar dan tugasnya sangat berat maka raja harus
menjauhi sifat, perangai, perilaku yang tidak pantas hinggap di diri seorang raja. Di
antaranya, Burung kecil, ciling mato.
Orang yang tak lain kerjanya mencari kesalahan orang lain dan menceritakannya
kemana-mana. Burung gedang, dua suara. Raja yang dituakan, nenek mamak atau
tangganai lainnya, disuatu tempat ia bicara, tetapi ditempat lain sudah lain lagi
katanya, padahal masalahnya sama, atau lain kata lain perbuatan atau bermuka dua.
Titian galing dalam negeri, Cincin tembago bersuaso, pagar makan tanaman,
piawang mecah timbo, teluk pengusut rantau, orang tua berlaku budak, malin tidak
sekitab, cerdik tidak seandiko. Dalam bagian ini tidak jelaskan makna perilaku yang
tidak boleh dimiliki oleh seorang raja ini namun akan diuraikan secara lengkap pada
bagian kearifan lokal.
Seorang raja dalam melaksankan tugas dan fungsinya dibantu oleh aparat
bidang keagamaan yang berkedudukan di dusun tersebut yang terdidri dari bilal ,
hatip, imam, dan hakim. Mereka ini lah yang ditugaasi untuk mengawasi perilaku
kehidupan masyarakat yang berhubungan dengan agama. Di sisi lain, alim ulama
juga memiliki kekuasaan untuk menilai keputusan ketua adat apakah adat tersebut
sessuai dengan ajaran agama dan hukum islam. Kewenanagan pihak aparat agama
yang menyatu dengan pemerintahan serta ketua adat dalam mememutuskan masalah
kemasyarakatan merupakan pelaksanaan falsafah seloko, adat besandi sarak, sarak
besandi kitabullah.
Dari uraian diatas seloko merupakan suatu aturan yang tertulis yang muncul
dari mengalaman hidup para tetua adat, pemuka agama dan pihak yang memerintah
di desa yang juga dilibatkan pemerikira tuo tengganagi, cerdik pandai, aturan yang
meraka susunan ini lah yang menjadi seloko adat jambi. Seloko adat jambi ini sudah
hidup berabad-abad dari zaman kerajaan Melayu lama sampai sekarang hal ini
menunjukkan pertahanan yang cukup lama di tengan masyakarat.
Negeri melayu Jambi merupakan salah atu negeri yang damai nyaman,
tenang, tak ada riak, bahkan tidak ada demontrasi. Keadaan ini tidak terlepas dari
ketaatan , kepatuhan dan pemahan masyarakat Melayu terhadap seloko. Para tetua
dulu membangun masyarakat melayu jambi dengan tradisi lisan yang begitu kaya
dengan kearifan lokal. Salah satu contoh pepatah adat dalam suatu adat adalah bulek
aek dek pembuluh, bulek kato demufakat, pipih boleh dilayangkan bulek boleh
digolekkan. Hal ini berarti bahwa kesepakatan di atas segalanya demokrasi yang
terbangin yang mufakat ini yang memebuat keputusan yang menjadi tanggungan nya
dan tidak ada asatu pun pihaknya yang menantang, tidak menaati, atau tidak
menjalankan keputusan ini. Kearifan local yang menunjukkan kebersamaan yang
tinggi demokrasi yang bersar dan pengahargaan pendapat orang lain yag suiddah lain
sudah berkembang si milki orang lain sejak mala lalu. Karena itu suatu hal yang
panytas terjadi di wilayah pemukiman masyarakat melayu tidak ada terjadi gesekan
pertikaian antara etnis, kerusuahan , kekerasan dan kekacauan.

Pada abad ke 12 -13 , Kerajaan Melayu berpusat di daerah yang sekarang


terkenal dengan Propinsi Jambi Pada masa kerajaan Melayu ini Sultan Jambi sudah
memerintah kerajaan dengan menggunakan satu struktur pemerintahan, namun
kepemerintahan secara adat yang dapat ditelusuri secara pasti, namun struktur
pemerintahan dan kemasyarakatannya belum diketahui dengan jelas.
Adapun struktur pemerintahan masyarakat adat untuk daerah Jambi tersebut
tergambar secara jelas pada abad ke - 15 dan 16 yaitu pada pemerintahan Kesultanan
Jambi. Susunan pemerintahan pada zaman Sultan dapat kita lihat dan gambarkan
bentuknya sebagai berikut :1. Kuasa Sultan.2. Kuasa Patih Dalam.3. Kuasa Patih
Luar.4. Kuasa Batin (jenang).5. Kuasa Tengganai.. Kuasa Dusun (penghulu).
Dalam urutan di atas kita lihat ada Sultan, Patih Luar dan Patih Dalam, yang
serupa majelis kerajaan bertugas mengatur jalannya Pemerintahan di Pusat, yang
keputusannya akan mengatur pemerintahan tersebut dan seterusnya dan disampaikan
kepada Jenang, Penghulu, Tengganai. Fungsi dari Penghulu, Tengganai disini beserta
Jenang adalah tercantum dalam Tata Pemerintahan Adat : Dusun sekato Penghulu,
Rantau sekato Jenang dan Rumah sekato Tengganai, mempunyai kewajiban
menjalankan dan mengatur pemerintahan yang dibebankan kepada mereka, sesuai
dengan wewenang yang ada. Tengganai mengepalai dan menjalankan segala aturan
pemerintahan dalam lingkungan keluarga dan famili dalam kekuasaannya. Penghulu
menjalankan segala aturan pemerintahan dalam kampun g yang terdiri dari beberapa
Tengganai dan menggabungkan beberapa Penghulu yang ada di bawahnya.
Di atas ketiga susunan tersebut, duduk pula Temenggung sebagai koordina tor
dari Penghulu dan Tengganai yang berada di lingkungannya. Guna pengamanan
segala sesuatu peraturan, hukum yang berlaku/yang akan dijalankan oleh Jenang,
Penghulu dan Tengganai yang berada dalam lingkungannya, dimana kepada Jenang
dan Tengganai disamping sebagai kepala pemerintahan juga merupakan kepala adat.
Alat - alat perlengkapan.Sinergitas Adat dan Agama
Alat-alat perlengkapan pemerintahan disamping Jenang, Penghulu dan
Tengganai yang mejalankan pemerintahan dan merupakan kepala adat, yang bertugas
menyelesaikan segala sengketa dalam pemerintahan yang bersendikan hukum adat,
terdapat pula satu lembaga agama yang terdiri diri dari Bilal, Khatib, Iman, dan
Hakim Agama. Mereka ini bertugas mengurus hal-hal yang berhubungan dengan
agama dan juga mengadakan penilaian atas keputusan kepala adat itu apakah sesuai
atau tidak dengan ajaran agama dan hukum Islam, sebab hukum adat selalu
bersambung dengan agama yaitu : Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah.

2. Pemilihan Kepala Adat.


Tata cara pemilihan Kepaia Adat yang berlaku dapat kita lihat terutama dalam
pemerintahan Sultan dan Jenang, dimana Tengganai merupakan pusat kegiatan
pemilihan tersebut. Pertama-tama oleh tuo-tuo diadakan rapat diantara tuo-tuo yang
dipimpin oleh tengganai, maka disini terdapat atau terjadi bentuk kerapatan :
a Kerapatan Tuo-tuo
b. Kerapatan Tuo-tuo yang dipimpin Tengganai.
Apabila telah terdapat kata sepakat tentang calon penghulu seperti kata pepatah adat :
bulek air dek pembuluh, bulek kato dek mufakat, pipih boleh dilayangkan, bulat boleh
digolekkan, sehingga tiada lagi yang menantang dan dipertanggung jawabkan
bersama-sama dan bersam-sama pula memelihara dan menjaga kepala adat/penghulu
yang
Pada tahun 1906 Pemerintah Hindia Belanda mengadakan pembagian daerah-daerah
administratif untuk daerah bawahan dengan dikepalai oleh kepala adatnya yaitu
Pasirah, sedangkan daerah hukumnya disebut Marga. Dalam hal ini kita mengenal
macam-macam bentuk masyarakat hukum yaitu; Masyarakat hukum berdasarkan
hubungan darah. b. Masyarakat hukum yang berdasarkan tempat tinggal. Kedua
macam masyarakat tersebut dalam daerah Jambi digabung dalam bentuk
pemerintahan Marga yang dibentuk oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun
1906, dengan dasar pemikiran memudahkan administrasi pemerintahan, sebaliknya
dalam pengangkatan Kepala Marga tiada pula melupakan unsur keturunan. Dalam hal
ini maka pengertian Marga itu
adalah kesatuan masyarakat hukum yang berdasarkan tempat tinggal dengan
menggabungkan beberapa dusun yang terdapat dalam Daerah Hukum Marga tersebut
yang mempunyai Daerah sendiri, harta sendiri/harta benda sendiri, dan juga Kepala
pemerintahan sendiri. Jadi Pasirah Kepala Marga disini berkedudukan sebagai
koordinasi dalam pemerintahan daerahnya. Dimana hanya mengkoordinir Kepala-
kepala Dusun yang termasuk kedalam hukum atau daerah hukumnya, yang tertuang
dalam pasal 2 ayat 1 IGOB. Berdasarkan pasal 2 ayat 1 IGOB harus ditetapkan suatu
peraturan baru yaitu Residentie Ordonnantie tentang pengangkatan, pemberhentian
dan pemilihan Kepala Marga, Kepala Kampung, Kepala Dusun dan Mendapo dalam
Karesidenan Jambi.
Kemudian dengan peraturan Residen Jambi Nomor : UP/65/1956 tang-gal 25
Januari 1956 dirobah dan disesuaikan dengan Peraturan Perundangan yang berlaku
dan kemudian ditambah dengan petunjuk dan instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor
: 29/1966 dan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jambi tanggal 8
Oktober 1966, keseluruhan peraturan dan perobahan tersebut diatas menitik beratkan
pada cara Pemilihan Kepala-kepala Marga dan Kampung tidak membawa perobahan
langsung pada perobahan IGOB itu sendiri. Disini berlaku pula pola lama yaitu
peraturan adat yang hidup dan berkefflbang dalam masyarakat itu sendiri tetapi di
lain pihak suatu pola pemikiran yang bersifat langsung yang meninggalkan tuo-tuo
tangganai. Dengan terjadinya hal yang demikian tidaklah heran dewasa ini dalam
suatu Marga timbul beberapa penggeseran dalam cara pemikiran masyarakat, dan
pula membawa akibat ini yaitu kekurangan rasa pertanggung jawaban bersama
bahkan antara keluarga satu dan lain berkurangnya sifat saling bantu membantu, awas
mengawasi dan segala sesuatu didasarkan pada Pasirah, sehingga tanggung jawabnya
dalam mengatur masyarakat marga tersebut adalah tanggung jawab tunggal.
Bersadarkan Instruksi Mendagri Nomor : 26/1966 bagian satu ayat 3 dalam
satu Marga dibentuk Dewan Permusyawaratan Marga yang terdiri dari tuo-tuo
tengganai, cerdik pandai dan alim ulama yang terpandang dalam masyarakat marga
tersebut dan ditambah dengan Kepala-kepala Dusun yang ada dalam Marga itu yang
merupakan Dewan Permusyawaratan Marga. Dewan ini turut secara langsung dan
tidak langsung tentang maju dan mundurnya Pemerintahan dalam marga yang mereka
pimpin dan diperkuat pula dengan peraturan-peraturan adat yang tidak bertanggung
jawab dengan Undang-undang dan pearturan yang lebih tinggi tingkatannya.
3. Sumber-sumber Keuangan Marga.
IGOB merupakan suatu peraturan yang megakui tentang hak mengatur rumah tangga
sendiri yang berpedoman pada hukum adat yang berlaku. Guna melancarkan hak
otonomi asli tersebut sudah barang tentu menghendaki sumber-sumber keuangan
sendiri sepanjang tidak bertentangan kepentingan Pemerintah (Belanda).Sumber
keuangan yang terdapat dalam hukum adat adalah sebagai ber-ikut :a. Hasil sawah
ladang.b. Hasil tarik tambang. Hasil gunung bukit.d. Hasil hutan tanah. e Hasil
lupak lumbung, Hasil payo rawang. Hasil tanjung teluk.h Hasil danau laut,Hasil
rimbo rembang. Hasil bangun pampas salah berturang.
Tentang pembagian hasil tersebut diatas dengan suatu pembagian pula yang terdiri
dari 4 tingkat :a. Jajah turun serah naik.b. Bunga pasir selara.c. Bunga kayu.d.
Bangunan pampas salah berutang.ad. a. Jajah turun serah naik.Yaitu suatu pungutan
hasil, yang akan dipungut kembali hasilnya lebih kurang 2 atau 3 tahun sekali dengan
didahului satu kewajiban dari raja yang menyerahkan alat-alat perlengkapan berupa ;
parang, pacul (cangkul), tajak, tembilang, kain hitam kain belacu (kain putih), garam,
barang- barang ini memberikan pada tiap-tiap kelamin yang akan memulaikan
pekerjaannya. Dan tidak diberikan pada tiap-tiap orang yang belum berumah tangga.
Jadi bujang gadis tidak diperbolehkan Sudah sampai waktunya 2 atau 3 tahun maka
pada anak-anak negeri yang diberi pinjaman alat-alat dikenakan kewajiban membayar
kembali berupa saku emas yang tunduk pada aturan jajah turun serah naik ini ialah :
Hasil-hasil sawah ladang, tarik tambang dan hutan tanah. Jadi maksudnya disini
adalah merupakan suatu bantuan dari pemerintah (raja) pada anak negeri yang tidak
mampu untuk bekerja dan bergerak dalam ke-4 lapangan hidup tersebut maka Raja
memberikan bantuan dengan kewajiban membayar kembali hasinya sebagaimana
tersebut di atas.
ad. b Bunga pasir selara.
Adalah suatu pungutan hasil yang dilakukan tanpa kewajiban dari raja terlebih
dahulu dan terutama ditujukan kepada orang asing yang bergerak dalam usaha
penangkapan ikan. Mereka dikenakan kewajiban membayar hasil sebanyak 10 %.
Adapun yang termasuk peraturan bunga pasir itu sebagai berikut :
Lupak lebung.Pato pawang. ,Tanjung teluk.Danau bento. ad. c. Bunga kayu. Adalah
semua hasil yang terdapat di hutan terutama terhadap pengolahan kayu yang dapat
kita samakan puncung alas, selain hasil kayu tersebut juga dikenakan pula terutama
hasil hutan ikutan seperti damar dan getah hutan.
ad d. Bangun pampas salah berutang.
Adalah benda-benda yang diterima oleh negeri, baik pampas yang berupa uang atau
suatu kewajiban bekerja bagi sipelanggar terhadap pelanggaran yang dilakukannya
tersebut dalam undang nan delapan seperti kata adat :
Salah berutang.Berdosa mati.Melukai memampas.Membunuh membangun yang
berarti :Diutamakan kalau takut berutang.
Dipampas kalau patut memampas.
Dibangun kalau patut membangun.
Jiko salah membayar hutang.
Jiko melukai membayar pampas.
Jiko membunuh membayar bangun.
Selain penghasilan tersebut di atas maka berdasarkan pasal 4 ayat 1 IGOB,
Negeri/Marga berhak pula mengatur pungutan pajak, guna menjalankan
pemerintahannya dan termasuk pemeliharaan sekolah-sekolah Negeri. Bentuk-bentuk
penghasilan tersebut dipelihara oleh Pemerintah Hindia Belanda agar Marga dapat
mengatur rumah tangganya sendiri sehingga tidak berantakan pemerintahannya,
seperti yang tercantum dan dituangkan dalam IGOB tersebut.
4. Anggaran Keuangan Marga.
Anggaran keuangan marga adalah merupakan kegiatan- kegiatan yang akan dilakukan
dalam jangka waktu tertentu (satu tahun) yang dinyatakan dalain bentuk angka-angka.
Anggaran belanja pemerintah adalah menghitung pengeluaran terlebih dahulu, yaitu
merupakan kegiatan yang akan dilakukan dengan ditutupi oleh penerimaan yang akan
diterima, maka itulah kita sering mendengar defisit dalam suatu anggaran dimana
dalam pengeluaran lebih besar dari pada penerimaan/pendapatan. Sebaliknya
anggaran rumah tangga adalah menghitung pemasukan terlebih dahulu kemudian
ditentukan pengeluaran.
Anggaran Belanja Pendapatan Marga dalam Propinsi Jambi ditetapkan berdasarkan :
1 Surat Ketetapan Kepala Daerah Tingkat I Jambi Nomor : 2/1960 tanggal 18
Januari 1960.
2 Surat Edaran Kepala Daerah Tingkat I Jambi Nomor Desa 676/1/1960 tanggal 18
Januari 1960 tentang Penyusunan Anggaran Belanja Marga/ Mendapo.
3 Surat Edaran Kepala Daerah Tingkat I Jambi Nomor Desa 838/1/1960 tanggal 25
Januari 1960. Berdasarkan surat - surat tersebut di atas, pada tiap - tiap Marga dalam
satu tahun haruslah ada anggaran belanjanya dan pendapatannya, guna menentukan
jumlah pemasukan dan pengeluaran dalamjangka waktu tersebut. Sumber-sumber
keuangan dapat dibagi sebagai berikut : Penghasilan yang diterima oleh Marga yang
diatur berdasarkan IGOB.
Bantuan Pemerintah (Propinsi/Kabupaten).
Pajak Retribusi Marga/Perusahaan Marga.
Penghasilan-penghasilan yang diterima berdasarkan IGOB :
a. Bunga kayu, Uang gardu. Bunga pasir. Sewa kandang.
e. Pupuk lembung. Bantuan Pemerintah :Subsidi. Retribusi karet
Pajak Marga : Pajak balik nama. Pajak yang ditetapkan oleh Marga sendiri, yang
tidak bertentangan dengan peraturan Pusat/Propinsi/Kabupaten
Retribusi Marga : a Sewa los pasar. b Sewa pasar getah. c Balai pengobatan.
d. Sewa perkebunan. e Uang sekolah. Perusahaan Marga
Perusahaan Marga pada umumnya dalam Propinsi Jambi belum ada. Pendapatan-
pendapatan/taksiran-taksiran dari pengeluaran Marga dilakukan oleh Pasirah sendiri.
Dalam organisasi pemerintahan Marga terdapat :
a. Dewan Perwakilan Marga (DPM) yang dibentuk berdasarkan surat Residen
Jambi tanggal 12 April 1946 dan Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jambi Nomor :
26/KET/1959 tanggal 1 April 1959 telah dibukukan dengan surat Gubernur Propinsi
Jambi Nomor : 59/1960 tanggal 27 September 1960.
b. Badan Harian Marga (BHM) yang pembentukannya berdasarkan surat Keputusan
Gubernur Propinsi Jambi. Pada waktu itu penghasilan Marga atau sumber keuangan
Marga yang nyata berasal dari sewa pasar, los dan pasar getah. Sedangkan untuk
Kabupaten Tanjung Jabung ditambah sewa pasar beras dan penghasilan Marga.
5. Pemerintahan Desa menurut Undang - undang Nomor 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa.
Salah satu prinsip dasar Undang - undang ini adalah bahwa Undang -undang Nomor
5 Tahun 1979 hanya mengatur Desa/Kelurahan di segi Pemrintahannya saja. Hal ini
berarti Undang - undang ini tidak bermaksud mengatur adat istiadat, namun eksistensi
adat istiadat tetap diakui, bahkan perlu dibina dan dikembangkan selaras dengan
kepentingan pembangunan, kesatuan dan persatuan Bangsa.
Untuk mengetahui tentang Pemerintahan Desa berdasarkan Undang-undang No. 5
Tahun 1979 perlu kita melihat beberapa ketentuan-ketentuan pokok dalam Undang-
undang tersebut diatas dan petunjuk pelaksanaannya ( tidak diuraikan disini ).

B. KEPEMIMPINAN DALAM MASYARAKAT ADAT.


Pengertian.
Kepemimpinan dalam masyarakat adat : "berjenjang naik, bertangga turun", sangat
diikuti dan dipatuhi Pimpinan yang dimaksudkan bersifat umum, yang mengatur tata
cara penghidupan dan kehidupan, baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam
kehidupan bermasyarakat. Untuk mendapatkan Pimpinan yang diinginkan, diadakan
pemilihan yang diatur dengan syarat -syarat tertentu. Untuk sekedar kejelasan tentang
sebutan Pimpinan dalam masyarakat hukum adat, dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Tengganai.
Tengganai adalah Saudara laki-laki dari suami isteri dan dalam hal ini terbagi dua,
yaitu :Tengganai dalam atau Perbuseso : yaitu Suadara laki-laki dari pihak isteri.
Tengganai luar atau Perbuali : yaitu Saudara laki-laki dari pihak suami.Tengganai
berhak dan berkewajiban menyusun yang silang menyelesaikan yang kusut,
menjernihkan yang keruh segala hal yang terjadi dalam suatu keluarga yang
dipimpinannya. Tengganai juga berkewajiban membentengkan dado, berkatokan
betis, bertumpuh ditempat yang tajam, berdada ditempat yang hangat, mencincang
putus, memakan habis dan bertanggung jawab penuh dalam keluarga.
b. Tuo Tengganai.
Tuo Tengganai adalah orang tua-tua dari sekumpulan Tengganai-tengganai dari mata
keluarga atau kalbu dalam mata Kampung/Dusun/Desa/ Kelurahan.
Tuo Tengganai berkewajiban : mengarah, mengajum, tukang larik dan jaju,
menyelesaikan yang kusut, mengajum anak dengan pinak, cupak dengan gantang,
kerak dengan kudung, makan habis, jnancung mutus dalam kalbu yang dipimpinnya.
Dalam melaksanakan tugasnya, Tuo Tengganai selalu berpedoman kepada : adat nan
lazim, peseko nan kawi, adat nan bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah.
c. Nenek Mamak.
Nenek mamak merupakan gabungan dari Tuo-tuo Tengganai dalam suatu
wilayah, dengan kato lain bahwa nenek mamak adalah gabungan Tuo-tuo Tengganai
yang terdapat dalam suatu Kampung/Dusun/Desa/Kelurahan. Khusus di Kabupaten
Daerah Tingkat II Tanjung Jabung terutama di wilayah pantai, mereka ini disebut "
Datuk
Tugas dan kewajiban nenek mamak adalah : mengarah, mengajum, menyelesaikan
yang kusut, menjernihkan yang keruh, melarik menaju, memakan habis, memancung
putus bagi persoalan yang tidak dapat
diselesaikan oleh Tuo-tuo Tengganai.
Dalam menjalankan tugasnya, demi terciptanya kerukanan hidup bermasyarakat,
semua keputusannya selalu dilandasi oleh musyarawah untuk mufakat, seperti kata
adat : " bulat air dek pembuluh, bulat kata dek mufakat ".
Peranan nenek mamak.
Nenek mamak berperan sebagai kayu gedang dalam negeri, rimbun tempat berteduh,
gedang tempat bersandar, pergi tempat bertanya, balik tempat berberita. Menciptakan
kerukunan hidup bermasyarakat di dalam Desa, melalui arah ajum : " kusut
mengusai, silang mematut, keruh menjernihkan, angkang menyusun ", sesuai
dengan kewenangan yang ada padanya. Kewenangan itu dijelaskan dalam kata adat"
berkata dulu sepatah, bejalan dulu selangkah, memakan habis, memancung putus ",
yang kesemuanya itu selalu dilandasi azas musyawarah untuk mufakat. Semuanya
pekerjaan yang dilandasi dengan musyawarah untuk mufakat itu, tercermin dalam
kata adat : " bulat air dek pembuluh, bulat kata dek mufakat ", dan andai kata
mufakat telah tercapai maka disusul dengan pelaksanaannya, seperti kata adat : " Kok
bulat lah boleh digulingkan/digolekkan, kok pipih lah boleh dilayangkan ".
2. Hak dan Kewajiban Pimpinan dan Yang Di Pimpin.
Adat mengatakan :
a. Anak sekato Bapak.
Anak dipimpin oleh Bapak, dalam kehidupan sekarang nampaknya agak lain dan ada
kejadian yang terbalik, yaitu anak memarahi Bapak.
b. Penakan sekato mamak.( Keponakan dipimpin oleh mamak ).
c. Isteri sekato suami.( Isteri dipimpin oleh suami ).d. Rumah sekato Tengganai.
( Rumah dipimpin oleh Tengganai ).
e. Luak sekato Penghulu.( Luak dipimpin oleh Penghulu ).f. Kampung sekato
Tuo.( Kampung dipimpin oleh Tuanya ).g. Negeri sekato Batin.( Negeri atau
Wilayah dipimpin oleh Kepala Batin/Pasirah ).
] h. Rantau sekato Jenang.( Rantau/Kabupaten dipimpin oleh Jenang/Bupati ). i.
Alam sekato Rajo.( Dipimpin oleh Rajo/Sultan ).
3. Pimpinan Pemerintahan.
Kepeminpinan dalam masyarakat mempunyai hubungan dengan jenjang/ susunan
pemerintahan Kerajaan Jambi, sebagaimana dikatakan : " Berjenjang Naik, bertangga
Turun " adalah sebagai berikut :
a. Alam nan Berajo ;'b. Pemerintahan Bermenteri ;c. Rantau nan Berjenang ,d.
Negeri/Marga nan Berbatin ;e Kampung nan Bertuo ;f. Luak/Dusun nan
Berpenghulu ;g. Rumah nan Bertengganai.
Secara sederhana, jenjang pemerintahan waktu itu dapat digambarkan sebagai berikut
:
SKEMA :
2. Perpatih Dalam Dewan Menteri
Perpatih Luar Dewan Menteri
3. Jenang. 4. Batin.5. Kampung.
6. Luak.

7. Rumah.

8. RAKYAT

4. Cara Pemilihan Pemimpin.


a. Pemilihan Sultan Jambi.
Menurut adat Jambi, Raja atau Sultan yang akan meminpin Pemerin-tahan di Jambi,
diangkat dan dipilih oleh rakyat secara tidak langsung. Semula Dewan Menteri dari
Perpatih Dalam yang terdiri dari 6 orang beserta Dewan Menteri dari Perpatih Luar
yang juga terdiri 6 orang, bersama bermufakat untuk menentukan calon Raja atau
Sultan dan barulah kemudian diadakan pemilihan. Yang berhak memilih Sultan
adalah :
1). Seluruh Priyai nan dua belas ( Keseluruhan anggota Dewan Menteri dari Perpatih
Dalam maupun Perpatih Luar ).
2). Seluruh Jenang-jenang.
3). Seluruh Batin-batin.
4). Seluruh Penghulu-pneghulu.
5). Seluruh Kadi/Hakim Agama.
6). Seluruh Alim Ulama.
7). Seluruh Tengganai Negeri.
8). Seluruh Cerdik Pandai yang ditentukan.
b. Pemilihan Batin/Pasirah/Kepala Kampung/Penghulu.
Menurut adat, mereka dipilih langsung oleh rakyat " Licin bak lantai bemban, datar
bak lantai kulit ". Tetapi kaum wanita tidak diikut sertakan, apalagi kalau ia telah
bersuami, karena wanita sekata suami. Jika ia masih gadis, maka ia beraja
kemamaknya dan kalau ia sudah janda maka kembali ke Bapaknya.
C. PERANAN TALI TIGO SEPILIN.
Sebelum berlakunya Undang-undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemrin-tahan
Desa Dalam Daerah Tingkat I Propinsi Jambi, yang dimaksud dengan Desa adalah
Marga, Mendapo dan Kampung. Marga terdapat dalam Kabupaten Sarolangun
Bangko, Bungo Tebo, Batang Hari dan Tanjung Jabung. Mendapo terdapat dalam
Kabupaten Kerinci, sedangkan Kampung terdapat dalam Kotamadya Jambi. Marga
terbagi atas beberapa buah Dusun, dan tiap-tiap Dusun dibagi pula atas beberapa buah
Kampung. Mendapo terbagi atas beberapa buah larik. Kampung dalam Kotamadya
Jambi pada mulanya tidak terbagi-bagi dan hanya merupakan sebuah wilayah yang
tertentu saja kemudian Kampung itu menurut bagian wilayahnya yang disebut dengan
Rukun Tetangga (RT)
Dengan berlakunya Undang-undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemrin-tahan Desa,
maka bentuk Desa seperti tersebut diatas diharuskan dan diganti dengan Desa bentuk
baru yang dinamakan dengan Desa dan Kelurahan. Desa kebanyakan terdapat dalam
lingkungan Daerah Pedesaan. Kelurahan umumnya terdapat dalam lingkungan
Daerah Perkotaan, seperti dalam Kota Ibukota Propinsi Jambi, Ibukota Kabupaten
dan Ibukota Kecamatan.
Menurut pasal 1 Undang-undang diatas yang dimaksud dengan Desa adalah suatu
wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat
termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi
Pemerintahan terendah, langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan
rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sedangkan Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk
yang mempunyai organisasi Pemerintahan terendah langsung di bawah Camat yang
tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Tali tigo sepilin atau sering
juga disebut orang dengan tungku tigo sejerang, merupakan kata atau kalimat
perumpamaan mengenai kerja sama tiga kelompok penguasa dalam membangun
Desanya. Tiga kelompok penguasa itu adalah :
a. Pejabat Pemerintahan Desa. Pemangku Adat. Pegawai Syarak.
Dahulu ketiganya itu adalah orang adat, dengan berlakunya Undang-undang No. 5
tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, maka Pejabat
Pemerintahan Desa itu tidak lagi berasal dari orang adat.
Jadi sekarang yang dimaksud dengan adat itu hanya Pemangku Adat dan Pegawai
Syarak saja. Penangku Adat itu berupa Depati, Nenek Mamak, Rio, Penghulu, Ngabi,
Mangku, Datuk, Orang Tuo, Cerdik Pandai dan para Tengganai. Sedangkan yang
dimaksud dengan Pegawai Syarak adalah Kahdi, Imam, Khatib dan Bilal. Mereka ini
berasal dari para alim ulama dan guru -guru agama yang ada dalam Desa dan
Kelurahan.
Yang dimaksud dengan para Pejabat Pemerintahan Desa adalah Kepala Desa,
Sekretaris Desa, Kepala-kepala Urusan dan Kepala- kepala Dusun, termasuk juga
anggota Lembaga Musyawarah Desa (LMD).
Sedangkan Pejabat Pemerintahan Kelurahan, adalah Kepala Kelurahan, Sekretaris
Kelurahan, Kepala-kepala Urusan dan Kepala-kepala Lingkungan.
2. Latar Belakang.
Desa dan Kelurahan yang sekarang ini berasal dari pemekaran Dusun dan bagian dari
Dusun serta Kampung dan bagian dari Kampung. Pemekaran ini dilakukan pada
waktu orang melaksanakan Undang-undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa.Karena pemekaran maka Desa dan Kelurahan menjadi banyak, jauh lebih
banyak dari sebelumnya. Untuk melihat perkembangannya dibawah ini diterangkan
dalam sebuah tabel mengenai Desa sebelum dan sesudah berlakunya Undang-undang
No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa :
Tabel : 1. Jumlah Desa sebelum dan sesudah berlakunya Undang-undang No. 5 tahun
1979 tentang Pemerintahan Desa Dalam Propinsi Jambi.
: Sebelum berlakunya : Sesudah berlaku : U.U No. 5 Th 1979 : U.U No. 5 Th
1979No : Kabupaten/Kotamadya :
: Mendapo : Kampung : Desa : Kelurahan : /Marga : : :
: 1 Kerinci 15 : • : 240 6

: 2. Sarolangun Bangko 27 : : 252 12

: 3. Bungo Tebo : 14 : : '187 12

: 4. Batang Hari : 15 : : 184 11

: 5. Tanjung Jabung : 5 : : : 101 8

: 6. : Kotamadya Jambi : : : 28 : 2 : 53

Jumlah : 76 28 : 102
972 :

Sumber : Kantor Gubernur KDH Tingkat I Jambi, 1993


Dahulu Desa itu berjumlah 104 buah, terdiri Mendapo dan Marga ditambah 28
Kampung, sekarang telah menjadi 1.074 buah ( 972 Desa dan 102 kelurahan ). Jadi
bertambah lebih dari sepuluh kali lipat.
Sebuah Desa tidak pernah berganti dengan Desa yang lain, yang terjadi sebuah Desa
sebagai Desa Induk melahirkan beberapa buah Desa sebagai anaknya, yang kemudian
masing- masing berdiri sendiri. Desa diwariskan oleh nenek moyang kepada generasi
keturunannya. Nenek moyang dahulu kala menata dan mangatur Desanya semata-
mata dengan menerapkan hukum adat. Hukum adat mengenai Pemerintahan Desa itu
lahir dari kebebasan politik menyelenggaraan rumah tangga Desa sendiri.
Yang sering berganti adalah Pemerintahan atasan dari Desa itu. Pergantian ini
menpengaruhi jalan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, karena ada peraturan yang
mengatur Desa itu dirobah oleh Pemerintah atasan yang sudah diganti itu.
Kedatangan Penjajahan Belanda mulai memasukkan kepentingan kedalam desa. Hak
ulayat atas tanah digerogoti, sehingga tanah menjadi terbagi atas hak ulayat dan tanah
negara (domein verklaring). Untuk keperluan ini dan kepentingan yang lain, maka
perlu peraturan mengenai Pemerintahan Desa dirobah, sesuai dengan politik
Penjajahan.
Salah satu peraturan yang penting yang dikeluarkan adalah IGOB (Inlandsche
Gemeente Ordonnantie Buiten Gewesten) Staatsblad 1938 No. 490 tentang Negeri-
negeri Seberang (luar Jawa dan Madura). Ketentuan-ketentuan umum mengenai
peraturan dan penyelenggaraan urusan rumah tangga negeri-negeri ditanah seberang.
IGOB ini menetapkan bahwa susunan dan hak-hak negeri (Desa) dan susunan Badan
Pengurus Negeri dan susunan dari alat- alat negeri lainnya, sedapat-dapatnya akan
dibiarkan diatur menurut adat. Residen jika berkehendak membuat Peraturan
mengenai Desa, misalnya dalam soal pemilihan Kepala Desa dan Aparat lain tentang
Desa, soal Keungan Desa dan lain-lain harus berpedoman kepada hukum adat.
dengan demikian Desa itu tetap dibiarkan pengurusannya menurut hukum adat dan
masih bersifat otonomi.
Pergantian Pemerintahan atasan dari desa itu terjadi pula di antara Pemerintahan
Penjajahan Belanda ( Hindia Belanda ) dengan Pemerintah Bala Tentera Jepang.
Pemerintah Jepangpun mengadakan pula peraturan mengenai Pemerintahan Desa,
tetapi masih tetap mengakui hukum adat sebagai hukum yang mengatur Pemeintahan
desa itu. Pemerintah Bala Tentera Jepang ini dikalahkan oleh Pihak Sekutu, dan pada
saat itu Bangsa Indonesia Memproklamirkan Kemerdekaannya, sehingga berdirilah
Negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Negara Republik Indonesia
ini mengeluarkan berkali-kali Undang-undang dan Peraturan mengenai Pemerintahan
Desa, tetapi masih tetap mengakui berlakunya ketentuan hukum adat mengenai
Pemerintahan Desa. Dengan terbitnya Undang-undang No. 5 tahun 1979 tentang
Pemerin-tahan Desa, maka dalam soal Pemerintahan hanya berlaku menurut
peraturan Perundang-undangan itu.
Peranan Orang Adat Dalam Pemerintahan Desa.
Sebagai sudah disebutkan di atas, bahwa tali tigo sepilin itu terdiri dari :
1. Pejabat Pemerintahan Desa.2. Pemangku Adat. !3. Pegawai Syarak.
Dahulu ketiga komponen itu berpilin menjadi satu dalam mengelola dan mengurus
desa, maka baiklah dicarikan contohnya yang telah dilakukan pada waktu yang silam
itu. Sebagai contoh diambil Pemerintahan Dusun yang menjadi bagian dari
Pemerintahan Marga dan Mendapo yang terdapat dalam Propinsi Jambi.Mengenai
bentuk dan susunan Pemerintahan Dusun ini diseluruh Propinsi Jambi sama saja,
hanya ada disana sini terdapat sedikit perbedaan.
Variasi yang demikian itu biasa saja dalam hukum adat daerah ini sebagai yang
disebut pepatah adatnya "Adat serupo, icu pakai (pegang pakai) yang berlain-
lainnan".
Pemerintahan Dusun dipegang oleh keparapatan Dusun yang dipimpin oleh Kepala
Dusun, yang merupakan Instansi yang tertinggi dalam Pemerintahan Desa.Kerapatan
Dusun anggota-anggotanya terdiri dari Kepala Dusun, para Kepala Kampung,
Pegawai Syarak (pegawai mesjid yang teridiri dari : kadhi, imam, khatib, dan bilal),
para Depati Lurah (Depati Tunggal Waris) nenek mamak, orang tuo dan cerdik
pandai.
Fungsi dari kerapatan Dusun adalah memilih Kepala Dusun, memilih dan menunjuk
nenek memerintah mamak , Pegawai Mesjid, Juru Tulis Dusun, Hulubalang, Alingan
dan Tukang Canang.
Fungsi selanjutnya yang penting adalah pemegang adat istiadat yang tertinggi dalam
Dusun ; menghadapi segala persoalan adat istiadat dan menciptakan kesejahteraan
warga Dusun ; melaksanakan hak ulayat tanah Dusun ; serta mengadakan kenduri sko
(adat) sesudah panen padi. Sebagai diketahui hak ulayat atas tanah ada ditangan
Dusun, sedangkan Marga atau Mendapo merupakan koordinator saja dalam hal ini.
Pelaksanaan Pemerintahan Dusun sehari-hari dilakukan oleh Kepala Dusun bersama
dengan nenek mamak memerintah, yang dibantu oleh juru tulis Dusun, hulubalang,
alingan (pesuruh) dan tukang canang.
Dalam persoalan agama dikerjakan oleh pegawai syarak (mesjid) seperti : Kahdi,
Imam, Khatib dan Bilal. Pegawai Syarak ini menyelenggarakan dan memelihara
mesjid, mereka memimpin upacara agama, seperti sembahyang berkaum (berjemaah),
mejelis taklim, sholat jum'at, menyelenggarakan jenazah, merayakan hari-hari besar
keagamaan, mengadakan pengajian dan lain-lain. Pemerintahan Dusun Dalam Arti
Luas Kerapatan Dusun Pemerintahan Dusun Dalam Arti Sempit
Nenek Juru Hulu Aling Tukang Kahdi Imam Khatib
Bilal
Mamak Tulis Balang. an. canang.

Memerin Dusun.

tah

Pegawai Syarak ( Mesjid ).


Bagan 1. Susunan Organisasi Pemerintahan Dusun.
Kepala Dusun kedudukannnya dalam dusun sangat penting sekali, sehingga dia
memainkan perannya yang penting. la adalah Kepala Pemerintahan Dusun sehari-hari
dan melakasanakan keputusan kerapatan dusun. la adalah wakil dari masyarakat
hukum adat, yaitu ; sebagai penyambung lidah terhadap dunia luar. dalam masyarakat
hukum atasan yaitu Marga dan Mendapo, Kepala Dusun menjadi anggota kerapatan
Marga atau Mendapo sebagai wakil dari Dusunnya. Kepala Dusun duduk dalam
kerapatan Marga atau Mendapo adalah karena Jabatannya, jadi dia tidak dipilih untuk
menjadi anggota kerapatan Marga atau Mendapo itu. Selain yang disebut diatas
Kepala Dusun menerima lagi peraturan-peraturan dari Pemerintahan atasan, seperti
dari Pemerintah Marga atau Mendapo, Kecamatan, Kabupaten dan lain-lain. Segala
Pemerintah atasan untuk Dusun haruslah disalurkan melalui Kepala Marga atau
Mendapo dan Kepala Dusun. Kepala Dusun yang menyampaikan kepada warga
Dusun, yang oleh disini disebut bahwa Kepala Dusun itu sebagai polong asap dari
Mendapo. Untuk melaksanakan perintah atau peraturan Pemerintah atasan,maka
Kepala Dusun melakukannya bersama-sama dengan kerapatan Dusun. Prosedur
pelaksanaannya sehari-hari Kepala Dusun mengerjakan perintah dan peraturan itu
bersama-sama dengan nenek mamak memerintah, juru tulis dusun, hulubalang,
alingan, tukang canang ; bahkan bersama-sama dengan pegawai syarak jika
diperlukan. Juru tulis dusun mencatat segala perintah dan peraturan dan peraturan itu
membuat surat yang berhubungan dengan itu semua. Alingan menyampaikan surat-
surat kepada yang bersangkutan. Tukang canang mengumumkan segala perintah dan
peraturan yang perlu disampaikan kepada rakyat. Sedangkan hulubalang mengawasi
dilapangan hasil pelaksanaan Pemerintah dan peraturan itu. Dengan demikian
nampaklah dengan jelas peranan, partisifasi dan kerja sama dari tali tigo sepilin atau
tungku tigo sejerang dalam Pemerintahan Dusun itu.
Kerapatan Dusun hanya bergerak di bidang eksekutif saja dan tidak dibidang
yudikatif, tetapi yang ditanganinya sangat luas sekali. Selain dari soal Pemerintahan
juga mengelola dan mengurus masalah Pembangunan, sosial kemasyarakatan dan
sosial budaya.

Pembinaan adat istiadat dan kebudayaan lainnya serta memajukan hidup beragama
sangat dipentingkan. Kerapatan dusun merupakan pemegang kekuasaan Pemerintah
yang tertinggi dalam dusun. Sedangkan soal peradilan adat ditangani oleh kerapatan
Tengganai, kerapatan nenek mamak dan kerapat Depati (Rio, Penghulu dan lain-lain)
sebagai peradilan yang tertinggi dalam dusun.
Orang-orang dalam dusun sering mengatakan bahwa kerapatan dusun mengurus soal-
soal dusun atau kepentingan dusun, tidak mengurus masalah sengketa (perkara) anak
buah. Masalah sengketa anak buah diurusi oleh peradilan adat. Dari keterangan diatas
dapat disimpulkan bahwa Pemerintahan dusun terdapat adanya pengertian tentang
Pemerintahan dusun dalam arti luas dan sempit.
Pemerintahan dusun dalam arti sempit adalah Kepala Dusun atau Depati memerintah
ditambah dengan nenek mamak memerintah, juru tulis dusun, hulubalang, alingan
(pesuruh), tukang canang dan pegawai syarak (kahdi, imam,khatib dan bilal).
Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian Pemerintahan Dusun dalam arti luas
adalah Pemerintahan Dusun dalam arti sempit diitambah dengan kerapatan dusun.
Kerapatan Dusun yang memegang kekuasaan yang tertinggi dalam dusun, dan
kerapatan inilah yang mendelegasikan sebagai kekuasaannya kepada Pemerintah
Dusun dalam arti sempit, kerapatan dusun inilah yang mengawasi segala tindak
tanduk dari Pemerintahan Dusun sehari-hari.
Dari bentuk dan susunan Pemerintahan dusun seperti tersebut diatas nampaklah
dengan jelas persatuan dan kesatuan dari tali tiga sepilin atau tiga sejerang dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan dusun, yang merupakan pemerintahan menurut
sepanjang adat.
Keadaan yang seperti ini diperlukan dalam Pemerintahan Marga, Mendapo dan
Kampung. Ketiga komponen orang adat itu, yaitu pejabat Pemerintahan Desa,
Pemangku Adat dan Pegawai Syarak secara bersama-sama berpartisipasi dan
berperan serta dalam mengurus soal Pemerintahan, Pembangunan dan
kemasyarakatan.
Demikianlah peran tali tigo sepilin dalam Desa propinsi Jambi sebelum berlakunya
Undang-undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dengan berlakunya
Undang-undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, maka untuk susunan
Pemerintahan Desa dan Kelurahan didalam Propinsi Jambi berbeda untuk dan
susunan Pemerintahan Desa sebelumnya. Bentuk dan susunan Pemerintahan Desa
sekarang ini terdiri atas Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa ( LMD ).
Pemerintahan Desa dalam p'elaksanaan tugasnya dibentuk oleh Per-angkat Desa,
yang terdiri atas Sekretaris Desa dan Kepala-kepala Dusun ( pasal 1 ayat 2 dan 3 ).
Kepala Desa dipilih secara langsung, Umum, Bebas dan Rahasia oleh penduduk Desa
Warga Negara Republik Indonesia yang telah berumur sekurang-kurangnya 17 tahun
atau telah pernah kawin ( pasal 5 ayat 1 ).
Kepala Desa diangkat oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II atas
nama Gubernur dengan masa jabatannya 8 tahun dan dapat diangkat kembali untuk
satu kali masa jabatan berikutnya (pasal 6 dan 7). Dalam malaksanakan tugasnya
Kepala Desa menjalankan hak, wewew-nang dan kewajiban Pimpinan Pemerintahan
Desa, yaitu menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, dan merupakan
penyelenggara dan penanggung jawab utama dibidang Pemerintahan, Pembangunan
dan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan Pemerintahan Desa,
urusan Pemerintahan Umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai
dengan peratuarn perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta
mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan
Pemerintahan Desa ( pasal 10 ayat 1 ).
Dalam menjalankan hak, wewenang dan kewajiban Pimpinan Pemerintahan Desa,
Kepala Desa bertanggung jawab kepada pejabat yang berwenang mengangkatnya
melalui Camat, memberikan keterangan pertanggung jawaban tersebut kepada
Lembaga Musyawarah Desa ( pasal 10 ayat 2 ).
Bagan : 2 Susunan Organisasi Pemerintahan Desa dan Perangkat Desa.
Kepala Desa, Lembaga Musyawarah, Sekretaris Desa Desa, Kepala Urusan
Kepala Dusun
Mengenai Sekretariat Desa terdiri atas : Sekretaris dan Kepala-kepala Urusan ( pasal
15 ayat 1 ). Sekretaris Desa diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikotamadya
setelah mendengar pertimbangan Camat atas usul Kepala Desa sesudah mendengar
pertimbangan Lembaga Musyawarah Desa ( LMD ) pasal 15 ayat 2. Apabila Kepala
Desa berhalangan maka Sekretaris Desa menjalankan tugas dan wewenang Kepala
Desa sehari-hari ( pasal 15 ayat 3 ).
Kepala-kepala Urusan diangkat dan diberhentikan oleh Camat atas nama
Bupati/Walikotamdya atas usul Kepala Desa (pasal 15 ayat 4). Desa dalam Propinsi
Jambi membuat Kepala Urusan tiga buah saja, yaitu Kepala Urusan Pemerintahan,
Kepala Urusan Umum dan Kepala Urusan Pembangunan. Untuk mempelancar
jalannya roda Pemerintahan Desa, dalam Desa dibentuk dusun yang dikepalai oleh
Kepala Dusun sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
Kepala Dusun adalah unsur pelaksanaan tugas Kepala Desa dengan wilayah kerja
tertentu ( pasal 16 ayat 1 dan 2 ). Kepala Dusun diangkat dan diberhentikan oleh
Camat atas nama Bupati/Walikotamadya ( pasal 16 ayat 1 ). Aparat Pemerintahan
Desa yang lain adalah Lembaga Musyarawah Desa ( LMD ).
Lembaga Musyawarah Desa adalah Lembaga Musyawarah/Permufakatan yang
keanggotaannya terdiri dari Kepala-kapala Dusun, Pemimpin Lembaga-lembaga
Kemasyarakatan dan pemuka masyarakat Desa yang bersangkutan ( pasal 17 ayat 1 ).
Kepala Desa karena jabatannya menjadi Ketua Lembaga Musyawarah Desa dan
Sekretaris Desa jabatannya menjadi Sekretaris Lembaga Masyarakat Desa ( pasal 17
ayat 2 dan 3 ).
Dari bentuk dan susunan Pemerintahan Desa di atas, nampaklah orang adat tidak lagi
dimasukkan dalam Pemerintahan Desa. Walaupun demikian mereka tetap aktif
mengurus anak kemenakan ( anak jantan dan anak beti-no ) dalam kelompok
keturunan darah dan tempat kediaman dekat mereka. Di Daerah Kerinci dan batin
mereka mengurus persekutuan hukum adat Lurah, kelbu dan perut, di daerah yang
lain mengurus orang-orang yang tempat tinggal dekat dengan mereka. Dahulu mereka
baik menurut ketentuan peraturan Perundang-undangan maupun menurut adat mereka
adalah Pemimpin formal, dan sekarang dengan berlakunya Undang-undang No. 5
tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa mereka menjadi Pemimpin infomal. Yang
menjadi Pemimpin formal sekarang ini adalah Kepala Desa dengan segala pejabat
dari Aparat Desa yang lain. Berhubung dengan hal yang demikian mereka tidak aktif
lagi dalam mengurus soal Pemerintahan. Sedangkan Kepala Desa yang merasa
dirinya adalah Pemimpin formal dan lebih berkuasa dari Pemimpin informal
manganggap bahwa segala persoalan yang terjadi dalam Desa adalah menjadi
urusannya. Tindak tanduk yang demikian kadang kala dapat menimbulkan kerancuan
dan kekacauan pengurusan Desa.
Orang adat yang merasa dirinya tidak lagi mempunyai landasan hukum Perundang-
undangan untuk turut dalam urusan Desa, dan merasa kekuasaannya sudal lemah, dan
hanya berkedudukan sebagai pemimpin informal saja, banyak mereka yang menjadi
apatis saja. Sedangkan mereka selalu diharapkan peranannya oleh warga persekutuan
hukum adat mereka, karena mereka adalah sesepuh dan pemimpin menurut sepanjang
adat yang diterima dari nenek moyang. Mereka lebih dihormati dan pengaruhnya
lebih besar dari pemimpin formal. Keadaan yang terjadi demikian sangat merugikan
bagi perkembangan dan kemajuan pembangunan selanjutnya. Hal ini harus mendapat
perbaikan, supaya tali tiga sepilin atau tungku tigo sejerang itu secara harmonis dapat
kembali bekerja sama dalam Pemerintahan Pembangunan dan Kemasyarakatan.
Dalam rangka mengatasi masalah ini, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 11 tahun 1984 tentang
Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat di Tingkat Desa/ Kelurahan. Dalam
peraturan ini ditegaskan bahwa Kepala Desa diangkat menjadi Pembina Adat Istiadat
dalam wilayah pedesaan, dan dia berkewajiban malakukan pembinaan adat istiadat
itu. Dengan demikian terdapatlah jalinan hubungan kembali antara Pemerintahan
Desa dengan orang adat. Peraturan Menteri Dalam Negeri ini menentukan pula
supaya Pememrintah Daearah dapat menjabarkan peraturan ini kedalam peraturan
Daerah yang dapat dijadikan pedoman bagi aparatur pelaksana lapangan dalam
menentukan kebijaksanaan pelaksanaannya dalam membina dan mengembangkan
adat istiadat itu.
Peraturan Daerah yang dikehendaki itu telah dikeluarkan oleh Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Proponsi Jambi dengan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I
Jambi No. 11 tahun 1991 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat
Kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat di Desa/Kelurahan Dalam Propinsi Daerah
Tingkat I Jambi. Beberapa ketetapan yang penting dalam Peraturan Daerah ini adalah
Kepala Desa adalah Pembina Adat dalam Desanya, dan orang adat harus membuat
lembaga Adat Desa/Kelurahan.

Fungsi Lembaga Adat


a. Membantu Pemerintah dalam mengusahakan kelancaran pembangunan disegala
bidang, terutama dibidang kemasyarakatan dan sosial budaya.
b. Member! kedudukan hukum menurut Hukum Adat terhadap hal-hal yang
menyangkut harta kekayaan masyarakat hukum adat tiap- tiap Tingkat lembaga Adat
guna kepentingan hubungan keperdataan adat, juga dalam hal adanya persengketaan
atau perkara perdata adat.
c. Menyelenggarakan Pembinaan dan Pengembangan nilai-nilai adat istiadat di
Daerah Jambi, dalam dalam rangka memperkaya, melestarikan dan megembangkan
kebudayaan Nasional pada umumnya dan kebudayaan Daerah Jambi pada khusunya.
d. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan ketentuan-ketentuan adat istiadat yang
hidup dalam masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat.

Disamping itu kepada Lembaga Adat ini diberikan pula tugas-tugas seperti :
1. Menggali dan mengembangkan adat istiadat dalam upaya melestarikan kebudayaan
nasional.
2. Mengurus dan mengola hal- hal yang berkaitan dan berhubungan dengan adat
istiadat di Daerah Jambi.
3. Menyelesaikan perkara-perkara perdata adat istiadat di Daerah Jambi sepanjang
tidak bertentangan dengan peraturan Perundang-undanganyang berlaku.
4. Mengiventarisasikan, mengamankan, memelihara dan mengurus serta
memanfaatkan sumber-sumber kekayaan yang dimiliki oleh Lembaga Adat untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat .
Dengan adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Peraturan Daerah
tersebut diatas, maka orang adat sudah mempunyai dasar hukum Perundang-
undangan untuk berperan dalam pembangunan desa, sedangkan hukum adat telah
lama, yaitu semenjak nenek moyang mereka telah mewajibkan melaksanakan peranan
tersebut.
Dengan ketiga Peraturan itu, yakni Undang - undang No. 5 tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 11 tahun 1984 tentang
Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat di Tingkat Desa/ Kelurahan dan
Peraturan Daerah No 11 tahun 1991 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat
Istiadat Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat Di Desa/Kelurahan
Dalam Propinsi Daerah Tingkat I Jambi, maka secara resmi sudah terjalin kembali
tali tigo sepilin atau tungku tigo sejerang itu Sekarang ini tinggal lagi pelaksanaannya
menyesuaikan dengan tiga peraturan Perundang-undangan diatas dan dengan adat
yang berlaku ditempat masing-masing.

BAB II. HUKUM ADAT JAMBI


A. KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM MASYARAKAT.
1. Pengertian.
Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat. Menurut hukum adat untuk menentukan salah atau benar sesuatu
perbuatan diteliti (disimak) dari ungkapan-ungkapan dalam pepatah dan petitih serta
seloko adat yang ada kaitannya dengan perbuatan (kejadian) tersebut dalam ungkapan
:
a. Pinjam memulangkan. Sumbing meniti. Terpijak benang arang , hitam tapak.
Tesuruk digunung kapur, putih tengkuk.
b. Sia-sia negeri alah. Tateko hutang tumbuh.c. Pinjam k. Hilang mengganti.
Ungkapan-ungkapan yang demikian menjadi pedoman dalam hukum adat yang
bersendi syarak dan syarak bersendi kitabullah. Hukum syarak adalah hukum yang
berdasar pada qur'an dan hadits dan hukum adat berdasar pada pepatah petitih serta
selokonya sebagaimana yang tersebut diatas.
Keputusan-keputusan menurut hukum adat yang bersadarkan pada ungkapan-
ungkapan seperti yang tersebut diatas, sangat sulit untuk menolak kebenarannya, serta
dipatuhi oleh masyarakat pendukung hukum tersebut.
Oleh karena itu hukum adat tersebut, disebut juga hukum asli dan hukum perdamaian
yang adil dan patut, adil menurut orang yang tahu pada hukum dan pada adat dan
patut menurut orang yang tahu pada nilai harga sesuatu.
Dengan proses peradilan yang demikian, setiap keputusan dengan mudah dapat
dipahami dan diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa. Oleh karena itu hukum
adat tersebut dengan mudah dapat menghabiskan segala dendam kesumat
sebagaimana yang disebut dengan seloko adat yang berbunyi sebagai berikut :
Rumah sudah, pahat tidak berbunyi. Api padam puntung tidak berasap. Yang
teluce sudah tinggal. yang terpijak sudah luluh.
Untuk menguatkan keputusan tadi, tiap-tiap keputusan yang berat dan
rumit dikuatkan pula dengan Setih Setia atau janji setia antara pihak-pihak yang
berdamai dimuka sidang nenek mamak. Menurut kenyataan hukum adat tersebut
besar pengaruhnya dalam menata kehidupan sehari-hari jika disamping hukum yang
tertulis atau dikodifikasikan sebagaimana yang tersebut diatas. Perbedaan pengaruh
ini berawal dari kelahiran atau keberadaan hukum tersebut ditengah-tengah
masyarakat. Hukum yang tertulis yang lengkap dengan Bab, Pasal dan Ayat-ayatnya
lahir dari atas yang dahulu dari Penguasa Kolonial, dengan tujuan untuk melindungi
kepentingan ditengah- tengah masyarakat rakyat jajahannya.
Tetapi sebaliknya hukum adat yang disebut juga hukum asli itu ia lahir dari
bawah atau dari masyarakat adatnya yang sesuai dengan kepentingannya pula. Sesuai
dengan kepentingannya, hukum adat tersebut terkecuali yang mengenai syariat Islam
dapat saja dirobah oleh masyarakat adatnya melalui musyawarah untuk mufakat. Oleh
karena itu hukum adat tersebut tidaklah kaku dan inilah yang disebut dalam
selokonya yang berbunyi :
" Adat di atas tumbuh, lembago diatas tuang, memahat diatas tiro, mengukir diatas
baris".
Walaupun demikian tidaklah mudah untuk merobah hukum adat ini karena hal
tersebut menyangkut kepentingan orang banyak.
Perbedaan-perbedaan dalam kepentingan hidup bermasyarakat yang
kesemuanya itu menghendaki adanya perlindungan, menyebabkan lahirnya
perbedaan-perbedaan dalam hukum adat (walaupun tidak mendasar) di beberapa
daerah yang berada di bawah satu Pemerintahan Pusat yang dahulunya disebut
Kerajaan. Perbedaan yang demikian berbunyi dalam seloko adat :
a. Adat selingkung koto, Undang selingkung alam.
b. Lain padang lain belalang. lain lubuk lain pulo ikannyo.
Didorong oleh hal yang demikian, demi untuk memperlancar roda Pemerintahan
(kolonial) dahulu. Hukum adat yang tidak bertentangan dengan kepentingannya tetap
berlaku Untuk memperlancar roda Pemerintahan tersebut, Pemerintahan Kolonial
sangat memperhatikan wibawa Kepala Pemerintahan Adat sebagai ujung tombak
yang langsung berhubungan dengan rakyat sehari-hari. Wibawa ini adalah modal
utama bagi Pemerintahan Adat untuk melaksanakan segala kegiatan yang
dikehendaki oleh Pemerintahan Pusat
Di atas sudah dijelaskan bahwa hukum adat Daerah Jambi sangat besar pengaruhnya
untuk : " menata, mengajum, mengarah " rakyat untuk bekerja
sesuai dengan kemampuan dan kepentingan hidupnya sehari-hari, oleh karena itu
lahirlah seloko adatnya yang berbunyi :

" Mati anak ramai sekampung, mati adat kacau senegeri.


Karena jika anak yang mati, kesedihan hanya terbatas dalam lingkungan keluarga
yang berkematian saja dan dalam masa yang relatif singkat kesedihan tersebut akan
hilang. Tetapi sebaliknya, jika adat yang mati, hukumnya tidak berfungsi, nenek
mamak, datuk-datuk, tuo-tuo tengganai, alim ulama dan cerdik pandai sudah tidak
memperdulikan keadaan sehari-hari, akibatnya kekacauan akan terjadi, kejahatan
akan merajalela, roda Pemerintahan tidak dapat berjalan dengan baik, rakyat akan
terjerumus kepada kemiskinan dan pembangunan akan terhambat.
Untuk mencegah hal-hal yang demikian supaya jangan sampai terjadi, hendaklah
dipelihara keutuhan tali yang tiga sepilin supaya jangan ada yang terputus. Yang
dimaksud dengan tali tigo sepilin adalah : Pemerintahan, Alim Ulama dan Kaum
Adat.
Hukum adat yang besar pengaruhnya itu, lahir dari rakyat yang sama-sama
berkeinginan untuk mendirikan masyarakat yang bersopan santun, beradat istiadat,
adil, aman lahir dan batin dalam segala gerak kehidupan sehari-hari, di bawah
naungan tali tigo sepilin terendam samo basah, terampai samo kering kalau
mendapat samo belabo, hilang samo merugi. Dengan demikian lahirlah masyarakat
yang disebut oleh seloko adat "
" Air jernih, ikannyo jinak,
rumput mudo kerbaunyo gemuk.
Ramai negeri oleh nan mudo,
aman negeri oleh nan tuo.
tidak ado silang yang tidak dapat dipatut,
kusut nan tidak dapat diselesaikan dan
keruh nan tidak dapat dijernihkan".
Untuk mewujudkan masyarakat yang demikian mestilah ada peraturan-peraturan
yang menjadi tolok ukur yang wajib ditaati bersama. Peraturan-peraturan inilah yang
disebut hukum adat atau hukum asli tersebut ia berisi tentang : adat, adat istiadat, adat
yang diadatkan, adat yang teradat dan adat yang sebenar adat.
Secarah harfiyah hukum adat ini terdiri dari dua perkataan yaitu hukum dan adat.
Hukum adalah ketentuan- ketentuan yang berfungsi untuk mengatur dan melindungi
agar tetap berdiri tata tertib dan kesopanan bagi tiap-tiap orang yang berdaya upaya
untuk memenuhi adat.
Dengan singkat kedua dasar ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Hukum.
Para pakar ilmu hukum banyak sekali penafsirannya tentang arti perkataan hukum ini,
dalam uraian yang singkat ini kita hanya membicarakan tentang hukum yang
berkaitan dengan adat yaitu seperti
yang sudah disebut diatas.

Hukum sebagai kumpulan dari bermacam-macam kaedah yang di antaranya menjadi


pedoman untuk menegak dan menjamin terpeliharanya kesopanan. Tata tertib dan
peraturan- peraturan dalam gejolak kehidupan rakyat sehari-hari, yaitu dari
masyarakat yang terkecil (rumah tangga) sampai pada masyarakat bangsa dan
negara.Oleh karena itu hukum adat tersebut hendaklah dapat menjadi jaminan bagi
setiap orang untuk berbuat atau bekerja mencari nafkah sehari-hari untuk memenuhi
hajat hidupnya dengan aman dan tenteram. Hukum adat ini bagi rakyat adalah neraca
untuk alat menimbang atau mengukur tentang salah atau benar sesuatu perbuatan atau
kejadian dalam masyarakat. Oleh karena itu, rakyat melalui musyawarah nenek
mamak, tuo-tuo tengganai, alim ulama dan cerdik pandai berhak untuk menolak atau
menerima sesuatu keputusan tersebut sangat bertentangan dengan kepentingan rakyat.
Inilah yang dimaksud oleh seloko adatnya yang berbunyi :
" Raja adil, Raja disembah, raja zalim, raja disanggah".
Jika hak-hak rakyat demikian tidak diacuhkan lagi oleh penguasa (Pemerintah), inilah
yang menjadi awal hilangnya kepercayaan rakyat kepada Pemerintah. Untuk
mengindarkan hal yang demikian menurut hukum adat hendaklah setiap keputusan
yang menyangkut kepentingan orang banyak ini dapat diuji kebenarannya dengan
bebas menurut ukuran adil dan patut sebagaimana yang tersebut di atas.
Inilah yang dimaksud oleh seloko adatnya yang berbunyi :
"Kalau bulat dapat digulingkan,pipih dapat dilayangkan,
putih berkeadaan,merah dapat dilihat,panjang dapat diukur danberat dapat
ditimbang".Jika sesuatu keputusan bertentangan dengan ungkapan-ungkapan seperti
yang tersebut diatas, berarti keputusan tersebut tidaklah boleh dikatakan adil dan
patut menurut hukum adat.
Disamping itu sudah menjadi keyakinan yang penuh pada rakyat bahwa : Hukum
yang mutlak benarnya adalah hukum yang bersumber dari Alqur'an dan Al Hadits
yang dijadikan sendiri dari hukum adat. Tidak seorangpun yang berhak merobahnya
sebab ia berasal dari wahyu Allah SWT.
b. Adat.
Perkataan adat ini berasal dari perkataan Arab yang sudah di
yang sudah disebut diatas. Hukum sebagai kumpulan dari bermacam-macam kaedah
yang di antaranya menjadi pedoman untuk menegak dan menjamin terpeliharanya
kesopanan. Tata tertib dan peraturan- peraturan dalam gejolak kehidupan rakyat
sehari-hari, yaitu dari masyarakat yang terkecil (ruman tangga) sampai pada
masyarakat bangsa dan negara.
Oleh karena itu hukum adat tersebut hendaklah dapat menjadi jaminan bagi setiap
orang untuk berbuat atau bekerja mencari nafkah sehari-hari untuk memenuhi hajat
hidupnya dengan aman dan tenteram. Hukum adat ini bagi rakyat adalah neraca untuk
alat menimbang atau mengukur tentang salah atau benar sesuatu perbuatan atau
kejadian dalam masyarakat. Oleh karena itu, rakyat melalui musyawarah nenek
mamak, tuo-tuo tengganai, alim ulama dan cerdik pandai berhak untuk menolak atau
menerima sesuatu keputusan tersebut sangat bertentangan dengan kepentingan rakyat.
Inilah yang dimaksud oleh seloko adatnya yang berbunyi : " Raja adil, Raja
disembah, raja zalim. raja disanggah".
Jika hak-hak rakyat demikian tidak diacuhkan lagi oleh penguasa (Pemerintah), inilah
yang menjadi awal hilangnya kepercayaan rakyat kepada Pemerintah. Untuk
mengindarkan hal yang dentikian menurut hukum adat hendaklah setiap keputusan
yang menyangkut kepentingan orang banyak ini dapat diuji kebenarannya dengan
bebas menurut ukuran adil dan patut sebagaimana yang tersebut di atas.
Inilah yang dimaksud oleh seloko adatnya yang berbunyi :
"Kalau bulat dapat digulingkan,
pipih dapat dilayangkan,
putih berkeadaan,
merah dapat dilihat,
panjang dapat diukur
berat dapat ditimbang".
Jika sesuatu keputusan bertentangan dengan ungkapan-ungkapan seperti yang
tersebut diatas, berarti keputusan tersebut t6idaklah boleh dikatakan adil dan patut
menurut hukum adat.
Disamping itu sudah menjadi keyakinan yang penuh pada rakyat bahwa : Hukum
yang mutlak benarnya adalah hukum yang bersumber dari Alqur'an dan Al Hadits
yang dijadikan sendiri dari hukum adat. Tidak seorangpun yang berhak merobahnya
sebab ia berasal dari wahyu Allah SWT.
b. Adat.
Perkataan adat ini berasal dari perkataan Arab yang sudah di
Indonesiakan, secara harfiyah artinya kebiasaan .atau sesuatu yang terjadi berulang
kali tetapi tidak mengalami perobahan pada zat atau sifatnya.
Seluruh benda atau makhluk ciptaan Allah SWT ada mempunyai adat atau kebiasaan.
Adat atau kebiasaan ini pada bangsa manusia atau hewan (binatang) sangat banyak
persamaannya. Bangsa hewan disini sebagai contoh kita lihat saja binatang yang
berkaki empat. Kedua jenis makhluk ini sama-sama berkehendak pada makan,
minum, buang air, berkelamin, berketurunan, ingin menguasai sesuatu dan
sebagainya.
Jika pada perwujudan adatnya kedua macam makhluk tersebut tidak mempunyai
perbedaan, berarti kedua macam jenis makhluk tersebut sama saja harkat atau
martabatnya. Manusia yang demikian didalam adat disebut manusia binatang manusia
yang beginilah yang disebut dalam seloko adatnya :
Manusia yang berayam atau berkambing kijang". Perbedaanya :
Bangsa binatang (hewan) yang tidak dilengkapi oleh Allah SWT dengan akal untuk
berfikir, ia tidak dapat memikirkan seuatu, ia tidak mempunyai perasaan aib atau
malu, ia hanya berdasar pada naluri yang menjadi sifat bangsanya yang di bawanya
lahir dari perut induknya. Bangsa manusia disempurnakan oleh Allah SWT dengan
akal untuk berfikir, bersumber dari akal inilah, lahirnya bermacam - macam
keinginan yang baik. Sebagai anggota masyarakat, manusia berlomba-lomba untuk
mencari yang lebih baik dari apada yang baik, yang lebih sempurna dari yang
sempurna. sifat-sifat yang demikian didorong oleh rasa malu yang lahir dari akalnya,
ia ingin hidup bahagia lahir dan batin.
Keinginan-keinginan yang demikian tidak mungkin akan terwujud manakala tidak
ada ketentuan-ketentuan yang dibuat bersama dan ditaati bersama pula dengan tidak
ada kecualinya. Dari keinginan yang demikianlah lahirnya ketentuan-ketentuan dalam
adat yang disebut :
a. Adat istiadat,
b. Adat yang diadatkan.
c. Adat yang teradat dan
d. Adat yang sebenar adat.
Penjabaran dari pada ketentuan-ketentuan adat tersebut, melahirkan hukum adat
dalam bentuk Undang-undang yang wajib ditaati bersama.
Oleh karena itu, hukum adat mempunyai sanksi moral dan meterial. Walaupun
demikian, hukum adat tidak mengenal adanya rumah tahanan atau penjara bagi yang
dinyatakan bersalah. Sanksi material jika tidak sanggup dibayarkan oleh yang
bersalah, sanksi tersebut diambil alih oleh keluarga atau kalbu dari orang yang
bersalah tersebut. ( Sanksi-sanksi
28 diuraikan dalam Bab khusus ).
B. DASAR - DASAR HUKUM ADAT.
1. " INDUK UNDANG-UNDANG "
Yang dikatakan induk Undang-undang ini terdiri dari : a. Titian tereh bertangga
batu.
1.Titian teras ialah ketentuan-ketentuan yang berasal dari Nabi ( Hadits Nabi ) : .
Tangga batu ialah yang dari Alqur'an.
2. Cermin nan tidak kabur.
Yaitu yang dikatakan juga jalan sefarribi yang diturut, baju berjait yang dipakai,
bersesap berjerami, bertunggul parehsan, berpendam kekuburan, yakni ketentuan-
ketentuan yang sudah berlaku yang diangkat sebagai jurisprodensi.
c. Lantak nan tidak goyah ;
Maksudnya : Adil dalam menentukan Hukum, jujur, tidak pilih kasih ; Beruk dirimbo
disusukan, anak dipangku diletakkan, yang benar, benar jugo, jangan tiba dimata
dipicingkan, tiba diperut dikempeskan. Dalam kata lain ialah persamaan di depan
hukum.
d. Nan tidak lapuk karena hujan, tidak lekang karena panas yakni berpegang kepada
kebenaran yang tidak berobah.
e. Kata seiyo ;
Bulat air dek pembuluh, bulat kato dek mufakat, bulat boleh digulingkan,
pipih boleh dilayangkan, terhampar sama kering, terbenam sama basah. Artinya
soal-soal penting harus diselesaikan melalui permufakatan yang hasilnya harus
dijadikan pegangan bersama.
Lima diktum di atas, nampaknya adalah landasan hukum yang sekaligus merupakan
falsafah negara yang melandasi semua langkah dan kebijaksanaan Pemerintah
Kesultanan itu.
Sesuai dengan Adat bersendi syara', syara' bersendi Kitabullah, maka dasar pertama
dari Undang-undang yang berlaku di Kesultanan itu ialah hadits Nabi dan Alqur'an
(diktum 1). Tetapi hal itu tidak berarti penghapusan semua yang telah mereka warisi
dari zaman sebelum Islam. Disamping Alqur'an dan Hadits masih dipedomani juga
tradisi lama yang telah turun temurun dari nenek moyang (diktum 2). Diktum 3
menggariskan pula sikap yang harus diambil dan dipertahankan oleh yang
menetapkan hukum (hakim), yaitu jujur dan adil tidak pilih bulu. Semua barang
adalah sama di hadapan hukum. Segala hukum yang ditetapkan itu menurut diktum 4
haruslah melahirkan kebenaran yang tidak berobah. Akhirnya, menurut diktum 5
segala sesuatu
harus dimufakatkan dan apa yang telah dimufakatkan bersama harus dipatuhi
bersama.
Lima prinsip di atas, pada dasarnya, adalah sesuai dengan ajaran Islam.
Alqur'an dan hadits memang dasar hukum yang pertama dalam Islam. Keadilan dan
kebenaran sesuai dengan Alqur'an. Demikian pula mengenai pentingnya musyawarah.
Tetapi meskipun demikian, lima prinsip yang dikatakan induk Undang- undang ini
tidak memcerminkan perobahan hukum yang drastis dalam Kesultanan Jambi itu
dengan masuknya Islam. Karena diktum 2 dalam apa yang dikatakan induk Undang-
undang itu masih membuka pintu lebar-lebar bagi tradisi pra Islam seperti akan kita
lihat implementasinya nanti.
2. " PUCUK UNDANG-UNDANG NAN DELAPAN " ^
Apa yang dikatakan pucuk Undang-undang nan delapan itu ialah ketentuan mengenai
macam-macam kejahatan. Tetapi, dalam menerang-kan isinya terdapat dua pendapat
yang berbeda menurut salah satu sumber, Pucuk Undang-undang nan delapan itu
ialah :
a. Dago dagi ;
Maksudnya : kesalahan terhadap Pemerintah dan membuat fitnah serta kekacauan
dalam negeri.
b Sumbang salah ;
Maksudnya : hal-hal yang menurut pendapat umum dipandang tidak baik atau tidak
layak, dan perbuatan yang sudah terang tidak baiknya.
c. Samun sakai ;
Maksudnya : perampokan yang disertai dengan pembunuhan dan peram-
pasan terhadap harta saja.
d. Upas racun ;
Maksudnya : pembunuhan dengan menggunakan racun sehingga si korban
mati seketika (upas), atau menderita sakit lebih dahulu,(racun). e. Siur bakar ;
Maksudnya : membakar dusun atau kampung (sinyur), atau sebahagian
rumah atau harta benda lainnya saja (bakar). f. Tipu tepok ;
Maksudnya : merugikan orang lain dengan jalan berpura-pura jujur (tipu),
atau dengan bujuk rayu (tepok).
g. Maling curi ;
Maksudnya : mengambil harta orang yang terkunci, dengan tidak setahu
pemilik, atau mengambil harta orang dengan tidak setahunya pada malam
hart (maling), dan atau mengambil harta orang yang tidak terkunci dengan tidak
setahunya pada siang hari (curi).
h. Tikam bunuh ;
Maksudnya : Melukai orang dengan senjata runcing (tikam), atau menyakiti orang
dengan senjata atau dengan tangan sampai ia mati (bunuh).
Menurut sumber informasi yang lain, pucuk Undang-undang nan delapan itu terbagi
dalam dua tingkatan :

Empat nan di atas dan empat nan di bawah.


Empat nan diatas ialah : a. Menikam bumi ;
Maksudnya : berzinah dengan Ibu sendiri.
b. Mencarak telur ;
Maksudnya : berzinah dengan anak sendiri.
c. Bersunting bungo setangkai ;
Maksudnya : berzinah dengan saudara isteri.
d. Mandi dipancuran gading ;
Maksudnya : berzinah dengan isteri orang besar.
Empat nan dibawah ialah :
e. Upas racun ;
Maksudnya : seperti tersebut di atas.
f. Nutuh kepayang nubo tepian ;
Maksudnya : merusak sumber kemanfaatan umum baik berupa pohon
yang berbuah atau sumber alam lainnya.
g. Tikam bunuh ;
Maksudnya : seperti tersebut di atas.
h. Paling curi ;
Maksudnya : seperti tersebut di atas.
Empat nan diatas itu, menurut sumber ini adalah kejahatan-kajahatan sangat besar
sehingga untuk menentukan hukumannya diserahkan saja kepada Raja (Sultan).
Untuk kejahatan-kejahatan yang tergolong dalam empat yang dibawah, hukumnannya
diatur dalam Anak Undang-undang yang akan kita jelaskan nanti.
Semua kejahatan yang tersebut diatas, baik yang diberikan oleh sumber informasi
yang pertama maupun sumber kedua, adalah hal-hal yang juga dianggap kejahatan
oleh Islam, menurut Alqur'an perzinahan itu adalah kekejian yang terlarang. Tetapi
didalam hukum Islam tidak dibedakan antara perzinahan dengan isteri Raja dan
perzinahan dengan orang biasa, orang lain ataupun darah daging sendiri, dan tidak
pula menyerah penentuan hukumannya kepada Raja. Pembunuhan dan pencurian juga
terlarang keras dalam Islam. Tetapi sanksi hukum atas kejahatan-kejahatan ini
menurut Hukum Adat Jambi tidak
sama dengan yang dalam Hukum Islam. Informasi pertama diberikan oleh tokoh-
tokoh adat dari negeri-negeri Kerajaan XII, sedangkan yang kedua dari negeri-negeri
yang berbatin. Kerajaan XII, seperti telah kita sebutkan, dipimpin langsung oleh
bangsawan- bangsawan istana dan merupakan daerah teras dari Kesultanan Jambi,
yang, karena faktor geografis, lebih banyak disentuh oleh dakwah Islam yang
berpusat di Bandar Jambi.

3. ANAK UNDANG-UNDANG NAN XII "


Sumber informasi yang pertama mengenai Pucuk Undang nan delapan tadi
menerangkan pula tentang apa yang dikatakan Anak undang-undang nan XII seperti
berikut :
a. Undang-undang yang berkaitan dengan hak Allah ;
b. Undang-undang yang berkaitan dengan anak Adam dan hak- haknya
c Undang-undang yang berkaitan dengan hak rumah nan bertengganai dan
kampung nan bertua ;
d. Undang-undang yang berkaitan dengan luhak nan berpenghulu ,
e. Undang-undang yang berkaitan dengan hak negeri yang berbatin rantau nan
berjenang ;
f Undang - undang yang berkaitan dengan hak alam nan berajo , g. Undang-
undang yang berkaitan dengan hukum luka dipampas, mati dibangun, salah berutang,
sumbing menitip, pinjam mengembalikan ;
h. Undang-undang yang berkaitan dengan hak perkawinan, semendo
menyemendo ; i. Undang-undang yang berkaitan dengan hak penghidupan,
pencaharian, kepandaian dan pekerjaan anak Adam , j. Undang-undang yang
berkaitan dengan hak harta benda, berat dan ringan
k. Undang-undang yang berkaitan dengan hak permainan- permainan , 1.
Undang-undang yang berkaitan dengan hak kekejaman alam, laut, darat, sawah,
ladang, tasik, tambang, gunung, bukit, hutan, tanah, lupak, lebung, paya, rawang,
teluk, danau, rimba dan remban.
Apa yang dikatakan Anak undang-undang nan XII itu nampaknya, adalah kelompok
undang-undang menurut bidangnya masing-masing. Materi dari undang-undang itu
tidak dijelaskan, kecuali yang dikatakan undang-undang hukum yang disebut dalam
hurup g di atas.
Dalam daerah Kerajaan nan XII, darimana keterangan seperti diatas ini berasal,
berlaku ketentuan-ketentuan adat mengenai bidang-bidang tersebut. Tetapi karena
penjelasan secara terperinci tidak kita peroleh, kita tidak mungkin
memperbandingkannya dengan hukum Islam. Pengaruh Islam dalam hal ini terlihat
dalam point 1 yang inenunjuk kepada ketentuan- ketentuan menyangkut hubungan
manusia dengan Tuhan. Dalam masyarakat Kerajaan nan XII ini, nampaknya, telah
berlaku ketentuan-ketentuan menyangkut kewajiban-kewajiban agama yang diperkuat
oleh negara.
Materi hukum adat yang memberikan gambaran lebih terang mengenai bentuk
perundang-undangan yang berlaku dalam kesultanan Jambi itu terdapat dalam isi
Anak undang-undang nan XII ini yang diberikan oleh sumber informasi yang kedua.
Menurut sumber ini, yang dikatakan anak undang-undang nan XII itu adalah seperti
berikut : !
a. Lembam baluh ditepung tawar.
Maksudnya : orang yang menyakiti fisik orang lain sampai meninggalkan bekas wajib
mengobatinya ; b. Luka lukih dipampas ;
Maksudnya : orang yang melukai fisik orang lain wajib membayar pampas yang
terbagi dalam tiga golongan
1. Luka rendah : yaitu yang dapat tertutup oleh pakaian, dan tidak parah, pampasnya
ialah seekor ayam, segantang beras dan sebuah kelapa.
2. Luka tinggi : yaitu luka yang merusak rupa, seperti dimuka dan sebagainya,
tetapi tidak terlalu parah. Pampasnya seekor kambing dan dua puluh gantang beras.
3. Luka sangat parah : Pampasnya sama dengan separoh bangun. c. Mati dibangun
; Maksudnya : orang yang membunuh orang lain wajib membayar bengun (sama
dengan diyat) yaitu : satu ekor kerbau, seratus gantang beras, dan satu kayu (30 yar)
kain.Pampas dan bangun tersebut diserahkan kepada tuo kampung atau kepada batin
untuk dimakan bersaam-sama dalam satu pertemuan resmi dimana kedua belah pihak
menyatakan bahwa persoalan itu telah dihabiskan. d. Samun.
Maksudnya : perampokan. Kejahatan ini terbagi dalam beberapa golongan :
1. Samun sigajah duman, yaitu penyamunan dalam hutan belantara. Kejahatan ini
tidak dihukum karena pelaku-pelakunya tidak mungkin diotangkap. Oleh karena itu
dikatakan hubungannya adalah langau hijau, yakni siapa yang kuat menang dan siapa
yang lemah kalah (hukum rimba).
2. Samun sementi duman, penyamun diperbatasan hutan didaerah pemukiman.
3. Samun diadun duman, perampokan dalam daerah pemukiman.
4. samun sakai, yaitu segala bentuk penipuan yang merugikan harta benda
seseorang.
Untuk point 2 sampai dengan 4 hukumannya seperti yang tersebut pada huruf a, b dan
c di atas, atau seperti pada e dan f yang akan kita jelaskan berikut ini :
e. Salah makan diluahkan, salah bawa dikembalikan, salah pakai diluluskan
(dilepaskan). •'
Maksudnya : segala kerugian materi yang timbul atas orang lain wajib dibayar atau
dikembalikan oleh pihak yang menyebabkan kerugian itu.
f. Hutang kecil dilunasi, hutang besar diangsurkan.
Maksudnya : segala hutang yang dipikul oleh seseorang wajib dibayar. Kalau kecil
dilunasi sekaligus, kalau besar diangsur. g. Golok gadai, timbang lalu.
Maksudnya : harta yang digadaikan atau dijadikan anggonan atas suatu hutang, akan
menjadi hak pemegang anggonan atau gadai itu, bilamana sudah jatuh waktunya.
h. Tegak mengintai lengang, duduk mengintai kelam, tegak dua bergandeng duo,
salah bujang dengan gadis kawin.
Maksudnya : pergaulan yang meragukan atau menyalahkan kesopanan antara seorang
pria dan wanita, seperti berjalan berduaan, bersepi-sepi berduaan dan seumpamanya.
Apabila hal itu terjadi antara wanita yang tidak bersuami dan pria yang tidak beristeri,
keduanya wajib dikawinkan. Kalau antara wanita bersuami dengan laki-laki lain
wajib dikenakan hukuman denda.
i. Memekik mengentam tanah, menggulung lengan baju, menyingsing kaki seluar.
Maksudnya : menantang orang berkelahi. Kalau orang yang ditantang itu orang biasa
hukumannya seekor ayam, segantang beras dan sebuah kelapa. Kalau orang
berkedudukan, seekor kambing dan dua puluh gantang beras. Denda tersebut
diserahkan kepada tuo kampung atau yang lebih tinggi lagi, untuk dimakan bersama-
sama.
j. Menempuh nan besawa manjat nan rebak.
Maksudnya : memasuki tempat-tempat yang tidak boleh dimasuki. Sipelaku wajib
membayar hukuman denda sebesar seekor ayam, segantang beras dan sebuah kelapa.
k. Meminang diatas pinang, menawar di atas tawar.
Maksudnya : meminang tunangan orang atau menawar barang yang sedang dalam
tawaran orang lain, pelakunya harus membayar hukuman seekor kambing dan dua
puluh gantang beras. e. Berpagar siang, berkandang malam ; Maksudnya : orang
yang bersawah ladang atau berkebun yang dapat dimakan atau dirusakkan oleh hewan
ternak, wajib memelihara sawah ladang itu dan sebagainya diwaktu siang, sedangkan
orang yang memiliki hewan ternak wajib mengurung ternaknya dimalam hari apabila
yang pertama tidak melakukan kewajibannya, dia tidak berhak menuntut ganti rugi
jika dimakan atau dirusakkan tanamannya oleh hewan ternak orang lain. Kalau pihak
tidak melakukan kewajibannya ia harus mengganti semua kerugian yang timbul
dipihak lain disebabkan oleh hewan ternaknya.
Penjelasan anak undang-undang nan XII menurut informasi yang kedua. ini, adalah
merupakan penjelasan mengenai meteri dan Undang-undang tersebut. Ditinjau dari
segi meterinya Anak undang-undang nan VIII tadi mengandung perbedaan-perbedaan
penting dari hukum Islam. Didalam Islam untuk kasus pembunuhan tidak disengaja,
memang ada yang disebut diyat yang harus dibayar oleh pihak pembunuh kepada ahli
waris terbunuh. Tetapi untuk pembunuhan yang disengaja Islam mewajibkan qishash.
Demikian pula sanksi hukum Islam terhadap perbuatan yang menyakiti fisik orang
lain, menurut ketentuan Alqur'an, jiwa (bayar) dengan jiwa, mata dengan mata,
telinga dengan telinga, gigi dengan gigi segala luka dilakukan qishash ; pencurian
dipotong tangannya, menurut fiqh Islam hukuman atas orang yang berzinah ada dua
macam : pertama yaitu bagi orang yang telah pernah kawin hukumannya rajam
(dilempari batu sampai mati) ; kedua, kalau orang itu belum pernah kawin didera
(dipukul seratus kali). Perampokan dikenakan sanksi hukum lebih berat lagi, yaitu
dibunuh atau disalibkan atau dipotong kaki dan tangannya bertimbal balik atau
dibuang jauh-jauh.
Menurut hukum adat Jambi, hilang nyawa berganti nyawa, pecah mata, mata dicukik
itu adalah hukum teliti. Hal itu telah dikawinkan oleh Datuk Perpatih nan sebatang
dan Datuk Ketemenggungan dengan undang yang datang dari Minangkabau,
sehingga hasilnya ialah : hilang nyawa berganti nyawa kerbau, pecah mata dicukil
mata kelapa, hukum qishash dalam Islam itu diganti dengan luka dipampas, mati
dibangun, lemban balu ditepung tawar.
Hukum adat ini agaknya adalah warisan zaman sebelum Islam yang masih bertahan
setelah Islam. Datuk Perpatih nan sebatang dan datuk Ketemenggungan itu agaknya
adalah dua figur legendaris, atau dua pigur hirtoris yang hidup jauh sebelum
kedatangan Islam ke Jambi.
Undang-undang nan XX (delapan dan dua belas) itu bukan saja dikenal di Jambi,
melainkan tersebut juga dalam Adat Minangkabau dan Adat Melayu di Malaka
dengan keterangan yang berbeda-beda mengenai isinya. Hal itu agaknya adalah
peninggalan rumpun bangsa Melayu Purba, yang setelah melalui perjalanan sejarah
tinggal kerangkanya saja. Masing-masing daerah adat berangsur-angsur mengisinya
dengan materi-materi hukum yang berlaku dikalangan mereka. Daerah Kerajaan XII
yang banyak berbauran dengan pedagang-pedagang asing, terutama orang-orang Arab
yang mendakwahkan Islam di Jambi, lalu mengisi kerangka itu dengan apa yang
hidup dalam masyarakat mereka, demikian pula negeri- negeri yang berlainan, yang
hampir tertutup dari dunia luar, mengisinya pula dengan apa yang mereka warisi dari
nenek moyang mereka tanpa banyak perobahan. Unsur-unsur pra Islam lebih jelas
kelihatan dalam hukum adat negeri-negeri yang berbatin ini. Hal ini akan lebih jelas
pula kelihatan dalam hukum perkawinan dan kewarisan.
A. HUKUM MENGENAI ORANG.
Hukum mengenai orang menurut adat Jambi meliputi : orang sebagai subjek hukum,
badan hukum, tempat tinggal, kewenangan berhak dan berbuat, kedewasaan dan
pendewasaan, pencatatan peristiwa hukum dan keadaan tak hadir.
1. Orang sebagai subyek hukum.
Subyek hukum ialah pendukung hak dan kewajiban ; artinya ia pantas atau patut
menerima hak dan pantas/patut pula memikul kewajiban. Pengakuan terhadap
manusia pribadi (orang) sebagai subjek hukum, dapat dilakukan sejak ia masih dalam
kandungan ibunya. Contohnya antara lain :
a. Ketika jabang bayi telah tujuh bulan dikandung ibunya, diadakan acara menuak
(memberi dukun/bidan makanan tertentu).
b. Apabila ibu hamil ikut berburu, maka ia mendapat dua bagian : satu bagian untuk
ibu dan satu bagian untuk jabang bayi.
c. Setelah bayi lahir, maka ia diazankan dan diiqomatkan.
d. Setelah bayi berusia tujuh hari, diadakan upacara mandi (mandi kaek/ mandi
kayik) bayi, dicukur, diaqikahkan dan diberi nama.
e. Setelah bayi berusia tujuh tahun, ia diantar ke rumah guru ngaji atau bersekolah.
f. Setelah itu dikhitankan.
Semua acara tersebut merupakan pengakuan terhadap hak anak (calon orang) untuk
mendapatkan dari orang tuanya. Anak yang masih dalam kandungan ibunya, sudah
pantas menerima hak, akan tetapi haknya masih lemah. Oleh karena itu, walinya
bertindak untuknya dalam menerimakan hak-haknya, seperti : menerima hadiah,
wasiat, warisan dan sebagainya.
Hak-hak anak yang pantas/patut diterima dari orang tuanya, antara lain :
a. Hak mendapat nafkah ;
b. Hak mendapatkan perawatan dan pemeliharaan ;
c. Hak mendapatkan pendidikan dan bimbingan ;
d. Hak mendapatkan warisan orang tuanya, bila orang tuanya meninggal
dunia. (jabang bayi yang sudah bernyawa dalam kandungan ibunya, sudah
berhak mendapat warisan).
Pemenuhan hak-hak anak menjadi kewajiban orang tuanya. Bahkan orang tua merasa
sebagai kewajibannya pula untuk mengantarkan anaknya kawin (ngantar
bertunak/berumah tangga), terutama anak wanita. Anak yang masih kecil (belum
dewasa), belum dianggap pantas/patut melaksanakan kewajiban hukum. Pertanggung
jawaban hukum yang dilakukan anak menjadi beban orang tuanya.
2. Badan hukum.
Hukum adatpun pada hakekatnya mengenal adanya badan hukum, sekalipun istilah
seperti itu belum terpakai. Badan hukum itu dibedakan i menjadi :
a. Dibentuk oleh pemerintah ; b. Diakui oleh pemerintah ; c. Diperbolehkan.
Badan hukum yang dibentuk Pemerintah antara lain : a. Alam (sama dengan negara
sekarang). b. Rantau (sama dengan propinsi atau kabupaten). c. Negeri (sama
dengan kecamatan sekarang). d. Luak (sama dengan desa/kelurahan sekarang). e.
Kampung (sama dengan dusun/lingkungan sekarang).
Masing - masing badan hukum dipimpin oleh seorang pimpinan dan dibantu oleh
beberapa staf. Pimpinan masing - masing badan hukum itu adalah :
a. Alam dipimpin oleh Raja ( alam nan berajo).
b. Rantau dipimpin oleh Gubernur atau Bupati (rantau nan berjenang). c.
Negeri dipimpin oleh Camat (negeri nan berbatin). d. Luak dipimpin oleh
Penghulu/Kepala Kampung/Desa (luak nan
berpenghulu). e. Kampung dipimpin oleh Tuo (kampung nan bertuo).
Badan hukum yang diakui oleh pemerintah : a. Keluarga batin, dipimpin oleh
tengganai. b. Suku/puak/tobo, dipimpin oleh tuo tengganai. c.
Sekampung/sedusun, dipimpin oleh nenek mamak.
Badan hukum yang dibenarkan :
Badan hukum ini dapat berupa bermacam - macam perkumpulan fungsional, seperti :
muda-mudi, atau yang bersifat fungsional seperti : berselang, pelarian dan gotong
royong.
Badan-badan hukum tersebut mempunyai hak dan kewajiban serta bertanggung jawab
hukum keluar dan kedalam. Hanya saja segala sesuatunya
tidak tertuang dalam bentuk surat keputusan atau akte, melainkan dimusyawarahkan
pembentukannya.
3. Tempat tinggal (domisili).
Tempat tinggal orang ialah dimana orang bersangkutan berdiam serta mempunyai hak
dan kewajiban hukum atau menetap. Semua orang yang menetap di suatu desa,
adalah penduduk yang terikat dengan hukum adat setempat. Di mana seseorang
bertempat tinggal, ia boleh melakukan hak-haknya, tetapi harus pula melaksanakan
kewajiban sebagi penduduk, seperti disebutkan dalam seloko adat berikut :
Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung ". " Dimana tembilang dicacak,
disitu tanaman tumbuh ". " Dimana periuk pecah, disitu tembikar tinggal ". "
Dimana pecan gedang, pecan kecik diisi, disitu pulo buah masam samo-samo
diadang ".Dimano ranting dipatah, disitu aek/ayik (air) disauk". " Dimana
negeri ditunggu, disitu adat dipakai, jangan membawa cupakmembawa gantang,
disitu pulo keaek/ayik samo diisikan, kedarat samodipekayu/hutan ".
Kewajiban penduduk suatu negeri (desa/kelurahan) dalam hukum publik, meliputi :
a. Keaek/ayik membungo pasir (membayar bungo pasir). b. Kedarat menbungo
kayu (membayar pancung alas).
c. Terkejut orang, tegempo awak (bertanggung jawab dibidang kemanan dan
ketertiban serta sama-sama memikul beban pembangunan). Kewajiban-kewajiban
privat (perdata) penduduk suatu negeri, adalah :
a. Peduli dengan persoalan masyarakat (solidaritas sosial), seperti disebutkan dalam
seluko adat :

" Tudung menudung bak daun sirih ".


" Jahit menjahit bak daun petai ".
" Hati gajah samo dilapah,
hati tungau samo dicecah ".
" Ado samo dimakan,
idak samo dicari ".
b. Memelihara pergaulan yang baik dalam masyarakat, berakhlak terpuji. c.
Menepati janji semayo.
Pertanggung jawaban pidana, harus dipikul oleh yang bersangkutan, seperti kata
seluko adat :
Salah berhutang, dosa bertaubat ". Tangan mencincang, bahu memikul ".
Oleh karena itu, setiap orang (subjek hukum) penduduk suatu negeri
(desa/kelurahan), haruslah mengetahui dan tunduk kepada segala hukum adat
"delapan penunggu negeri", yaitu :
a. So, adat.b. Kedua, syara'.c. Ketigo, undang.d. Keempat, peseko.e. Kelimo, cupak.f.
Keenam, gantang/sukatan atau takaran.g. Ketujuh, janji.
h. Kedelapan, ikat-buah (perikatan).
Apabila orang (subjek hukum), penduduk suatu negeri tidak mengetahui delapan
penunggu negeri itu, maka ia harus melihat :
a. Piagam ditangan rajo ;
b. Adat logam ditangan nenek mamak/tuo tengganai.
Apabila kedua hal itu tidak diketahui lagi, maka ia harus berpegang pada apa yang
secara beranting dihapal oleh orang - orang tuo.
Status hukum seseorang menentukan tempat tinggalnya, sehingga akan menentukan
pula hak dan kewajibannya. Tempat tinggal isteri ditentukan oleh permufakatan
dengan suaminya. Tempat tinggal anak ditentukan oleh tempat tinggal orang tuanya,
seperti dikatakan dalam seloko adat : " Bird sekato laki, anak sekato bapak ".
4. Kewenangan berhak dan berbuat.
Setiap orang pribadi mempunyai kewenangan berhak sejak didalam kandungan
ibunya (seperti telah dikemukakan pada uraian tentang orang sebagai subjek hukum).
Akan tetapi kewenangan berbuat baru dimiliki seseorang apabila ia telah dewasa.
Namun demikian, anak yang akan kawin "Dibantu" oleh orang tuanya, untuk
mengantarkannya, yang disebut : "Mengantar anak berumah tanggo". Mengawikan
anak, merupaka hutang orang tua terutama terhadap anak wanita. Dengan demikian,
walaupun mereka telah dewasa, namun dalam hal mengantar kawin, dipoandang
belum berwenang penuh, masih memerlukan "bantuan" orang tua.
5. Kedewasaan dan pendewasaan.
Kedewasaan (seseorang dipandang sudah dewasa), ialah apabila ia sudah mencapai
mamisia tertentu. Menurut ketentuan hukum biasanya berusia 15 tahun. Sedangkan
pendewasaan, yaitu seseorang yang belum mencapai usia dewasa, tetapi dianggap
sudah menjadi dewasa, disebabkan ia telah kawin dibawah umur. Perkawinan
menyebabkan seseorang yang belum dewasa menjadi dewasa, yang dalam seloko adat
dikatakan : "Sekecik-kecik semantung, kalaulah berbuah, "lah tuo namanya".
Maksudnya, semuda-muda orang tetapi sudah kawin, disebut orang tua. Seseorang
yang dewasa, disebut akil baligh. Pada dasarnya hukum adat tidak menjadikan usia
sebagai patokan kedewasaan (akil baligh) seseorang. Yang dijadikan patokan ialah
cakap tidaknya melakukan perbuatan hukum.
Tetapi karena batas usia berakalnya (dapat berpikir) itu tidak bagi setiap orang
(relatif), maka dibuatlah patokan bahwa orang pada umumnya baru dapat berpikir,
apabila telah mencapai 15 tahun.
Seseorang yang sudah dewasa, baik karena memang usianya telah dewasa maupun
karena pendewasaan, adalah subjek hukum, yang berwenang berhak dan berbuat serta
bertanggung jawab hukum.
6. Pencatatan peristiwa hukum.
Pencatatan peristiwa hukum,. misalnya mengenai kelahiran seseorang, perkawinan,
perceraian, kematian dan penggantian nama, sangat penting dalam menentukan status
hukumnya. Dalam praktek hukum adat, setiap peristiwa hukum seperti tersebut
diatas, dilakukan melalui ingatan dan upacara-upacara khusus.
Anak lahir dicatat dalam ingatan dan setelah berusia tujuh hari, diadakan acara
cukuran rambut dan mandi kayek. Kematian keluarga dicatat dalam ingatan, sehingga
diketahui kapan hari ketujuh, keempat puluh, keseratus dan keseribu. Ini
membuktikan bahwa catatan peristiwa sudah dilakukan dalam bentuk ingatan, karena
belum dikenalnya tulis baca dan hukum adat sendiri belum tertulis.
Sejalan dengan dinamika hukum adat yang senantiasa beroperasi dalam masyarakat,
maka kemajuan pengetahuan masyarakat menuntut bahwa catatan itu sebaiknya
dituliskan.
7. Keadaan tak hadir.
Keadaan tak hadir ialah tidak hadirnya seseorang tertuduh di depan pengadilan yang
akan mengadilinya. Keadaan tak hadirnya seseorang tertuduh/ tersangka, tidak
menghalangi proses peradilan. Proses peradilan tetap berlangsung tanpa hadirnya
tertuduh/tersangka, apabila tidak diketahui alamatnya/tempatnya atau tidak
memenuhi panggilan untuk hadir. Proses peradilannya menurut hukum adat
dilakukan melalui dua jalur : a. Diserahkan kepada rajo untuk mengambil keputusan.
b. Nenek mamak dari tertuduh/tersangka mengambil alih tanggung jawab
perbuatan hukum si tertuduh/tersangka.
Ketentuan demikian, disebut dalam seloko adat : "Bila seseorang keras tak dapat
ditakik, tajam tanduk hendak menggawai, gedang kelaso hendak mendorong, lembut
tidak temwluli, maka nenek mamak menyerahkan kepada ombak nan menderu, angin
nan mendengung (rajo), disebabkan dia (rajo) yang memegang bungkal yang
berpiawai".-
41 B. HUKUM KEKELUARGAAN.
1. Keluarga.
Keluarga dalam arti sempit adalah suami-isteri-anak, yang bertempat tinggal dalam
sebuah rumah. Sedangkan dalam arti luas adalah kelompok anggota keluarga, yang
terdiri dari orang-orang yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan karena
pertalian darah yang disebut hubungan keluarga.
Hubungan keluarga karena perkawinan disebut juga hubungan semendo, yaitu :
mertua, ipar, anak tiri dan menantu. Hubungan keluarga karena pertalian darah ialah :
bapak/ibu, nenek/kakek, buyut, puyang terus keatas ; anak, cucu, cicit terus ke
bawah ; saudara kandung dan anak saudara kandung. Jadi hubungan keluarga karena
pertalian darah menurut hukum adat, terjadi dalam tiga garis yaitu :
a. Menurut garis lurus keatas . bapak, kakek, puyang, disebut leluhur. b. Menurut
garis lurus ke bawah : anak, cucu, cicit, disebut keturunan.
c. Menurut garis ke samping/menyimpang : saudara kandung, saudara seayah/ ibu,
saudara kakek/nenek berserta keturunannya.
Keturunan adalah ketunggalan leluhur antara orang -orang yang mempunyai pertalian
darah, yang disebut silsilah. Dari satu silsilah dapat diketahui jauh dekatnya
hubungan darah antara orang yang satu dengan orang yang lain, dari leluhur yang
sama. Keturunan mempunyai arti penting, karena ia penerus sejarah kehidupan
keluarga.
Keturunan atau hubungan keluarga karena pertalian darah itu, ditentukan sederajat
dan tingkat hubungannya oleh istilah atau sebutan derajat/tingkatannya sebagai
berikut :
a. Hubungan anak dan ayah/ibu, disebut hubungan satu tingkat.
b. Hubungan anak dan nenek/kakek, disebut hubungan dua tingkat.
c. Hubungan anak dengan puyang, disebut hubungan tiga tingkat.
d. Hubungan ayah/ibu dengan anak, disebut hubungan satu tingkat.
e. Hubungan ayah/ibu dengan cucu, disebut hubungan dua tingkat
f. Hubungan ayah/ibu dengan cicit, disebut hubungan tiga tingkat.
g. Hubungan saudara kandung, disebut hubungan sedarah.
h. Hubungan anak dengan paman/bibi, disebut hubungan dua kesamping.
i. Hubungan anak dengan anak paman/bibi adalah hubungan empat tingkat.
j. Hubungan kita dengan anak saudara kandung yang disebut hubungan tiga
tingkat. k. Hubungan antara anak kita dengan anak saudara, disebut hubungan empat
tingkat.
Hubungan garis keturunan dalam hukum adat Jambi adalah perental/ bilateral, yaitu
hubungan darah yang mengutamakan garis kedua orang tua (ayah/ibu).
2. Hukuni keluarga.
Hukum keluarga ialah aturan yang mengikat hubungan hukum antara anggota
keluarga. Hukum keluarga ini sangat penting artinya bagi kehidupan manusia.
Hukum keluarga terpusat pada hukum perkawinan, karena dengan perkawinan
terbentuk keluarga dan melalui hubungan perkawinan lahir keluarga turunan. Oleh
karena itu hukum keluarga meliputi hubungan keluarga, kekuasaan orang tua, harta
kekayaan perkawinan, warisan, perwalian dan perceraian.
Hukum keluarga karena hubungan darah, berkaitan erat dengan hukum perkawinan,
perwarisan, perwalian dalam keluarga. Hubungan darah yang terbagi dalam beberapa
tingkat seperti telah disebutkan, sampai batas tertentu menjadi halangan/rintangan
pelangsungan perkawinan.
Misalnya, perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah satu
tingkat, dua tingkat dan tiga tingkat. Demikian juga dalam hukum warisan, maka
tingkat-tingkat hubungan darah menentukan urutan prioritas pewarisan. Dalam
hukum perwalian, tingkat-tingkat hubungan darah tersebut menentukan pula urutan
prioritas perwalian.
Dalam masyarakat adat Jambi yang parental/bilateral maka : a. Dalam hukum
perkawinan :1). Ashabah menjadi wall nikah ;2). Suami-isteri menentukan bersama
tinggal dan kehidupan keluarga. b. Dalam kekuasaan orang tua :
1). Orang tua atau suami isteri sama-sama mempunyai kekuasaan terhadap anak-
anakhya.2). Suami-isteri sama-sama mempunyai kekekuasaan terhadap harta
sepencaharian. c. Dalam hukum warisan :
1). Suami-isteri sama-sama mempunyai hak warisan terhadap harta peninggalan
masing-masingnya ;
2). Suami-isteri sama-sama mempunyai hak pembagian dari harta
sepencaharian. d. Dalam hukum perwalian.
1). Suami-isteri sama-sama berperan sebagai wali terhadap anak-anak mereka ;
2). Suami berperan sebagai wali dalam pernikahan anak perempuannya.
Terhalangnya perkawinan antara dua orang yang berhubungan darah tingkat satu,
tingkat dua dan tingkat tiga, menurut adat Jambi disebut adat sebena (sebenarnya)
adat. Namun demikian, ada daerah-daerah tertentu di Jambi mangadakan ketentuan
halangan kawin lain. Ketentuan ini disebut : "Adat yang diadatkan". Undang-undang
perkawinan. Dengan kata lain, bahwa perkawinan itu diletakkan di atas tungku
bercabang tiga yaitu :
1. Memenuhi ketentuan adat.
2. Memenuhi ketentuan syarak.
3. Memenuhi ketentuan undang-undang perkawinan.
Diantara ketiga persyaratan diatas, maka persyaratan adat mendapat porsi terbesar
dalam persiapan, pelaksanaan dan upacara-upacaranya. Akan tetapi bagaimanapun
besar dan panjangnya ketentuan adat yang harus dilalui, perkawinan itu baru syah bila
telah melakukan atau memenuhi ketentuan syarak."Antara lain dengan
memperhatikan larangan pantang menurut syarak, ijab kabul di depan penghulu
pernikahan dan sudah barang tentu pula memenuhi syarat formal, yaitu ikatan
perkawinan yang disyahkan menurut undang-undang perkawinan.
Sementara itu perkawinan menurut hukum adat Jambi tidak kaku dan terlalu terikat
pada suku. Dalam adat Jambi tidak ada larangan kawin antara kedua orang sesuku.
Dan tak ada ketentuan bahwa anak-anak yang lahir dari perkawinan itu harus
mengikuti garis keturunan ^ahatau'ibu saja. Pada masyarakat adat Jambi, keturunan
itu bisa saja mengikuti gan3 keturunan ayah atau ibu, dengan kata lain bersifat
bilateral. Seperti diuraikan terdahulu, perkawinan menimbulkan kewajiban-kewajiban
bagi kedua belah pihak, yaitu tidak saja antara bujang dan gadis yang menikah, tetapi
juga mengikut kedua belah pihak sanak famili. Dalam adat ditentukan apa yang
menjadi kewajiban suami dan apa pula yang menjadi kewajiban isteri, begitu pula
kedua belah pihak orang tua mereka.
Yang menjadi kewajiban suami :
Dalam hal tunak-tani (singkatan dari kata bertunak - bertani), maka dalam
perkawinan menurut adat, adalah kewajiban dari pihak laki-laki (suami) dalam hal :
dikain, dibaju, diasam, digaram, pahumo, dipalaman, diumah ditanggo. Padek
tunggang tidak bakuak, angket pikul condong tebeh, masuk beluka keluar beluka,
sisik tunggul siang batang.

Kewajiban isteri :
Nan pandai menjago diri, nak menanggang hati anak laki. Harus tahu ireng gindeng
lapa dahago, betanak mengulai, ambak ayam/ambak tampi. Cepat pergi cepat balik,
selapik seketiduran sebantal segalang ulu.
Jangan sebulan dimuko pintu setahun dikepalo tanggo, semusin ditepian Disamping
itu adapula ketua adat yang harus diikuti oleh kedua orang suami isteri serta kedua
belah pihak orang tua, yang berbunyi sebagai berikut :
Kepada kedua belah pihak suami isteri :
Jiko kito sudah betunak betani, dari pangkal rumah keujung rumah, haruslah menjaga
diri, sekalipun kito sudah menyemendo Karena itu haruslah tahu dengan ireng
dengan gindeng, semu baso kecik-kecik semantung dalam beluka, kalaulah
buahlah tuo, nan pandai meninggang hati urang kalo kito duduk suku semendo
mestilah bertungku cakah, belapik cabik, bebakul cengeh, besendok gedang.
Pandai-pandailah meniti buih, nan selamat badan keseberang.
Kepada kedua belah pihak orang tuo :
Jiko kito tempat duduk suku semendo, maka anak betino jadi anak jantan, anak jantan
jadi anak betino. Tengganglah hati pebesanan dengan menantu. Jangan sekali-kali
dibuat upat anak sendiri dan menantu. Karena mereka baru berumah tanggo, maka
haruslah ditunjuk diajak, ditegur disapo, diasuh diinang, dijago digembalo, jangan
dibagih bejalan surang.
Setiap orang mengharapkan perkawinan itu kekal, aman dan bahagia. Pepatah adat
menyebutkan : Bak aur dengan tebing,Tebing sayang dengan aur,Hendaknyo samo
lapuk luka dengan bingkai,Samo lantah padi dengan bintaro, Kekal dunio dan
akhirat.

Proses perkawinan.
1. Masa perkenalan :
Pada umumnya antara kedua insan yang akan kawin (bujang dengan gadis), sudah
saling mengenal sebelum nikah. hal itu terlihat dalam pergaulan sehari-hari. Pada
remaja kota, biasanya disebut pacaran. Perkenalan bisa saja terjadi di sekolah,
ditempat-tempat pesta dan sebagainya. Sementara di desa ada yang kita kenal dengan
sebutan bertandang, yakni berkunjung menurut aturan-aturan tertentu kerumah gadis.
Disana bercakap mudo dalam bentuk berbalas pantun. Disamping itu perkenalan bisa
juga terjadi pada waktu selang menuai atau pelarian (semacam gotong royong)
disawah seseorang. Dengan demikian dapat dikatakan dalam masyarakat adat Jambi,
tidak dikenal kawin paksa.
2. Masa persiapan :
Dinasehatkan dengan seloko adat, bahwa apabila kita sudah mempunyai anak
kemenakan, yaitu :
Kok jantan lah masuk kemaso bujang, Kok betino lah masuk kemaso gadisnyo.
Haruslah mempersiapkan dirinya lebih dulu secara lahir dan bathin, yang menurut
seloko adat: Bersiap sebelum tibo, Beringat sebelum keno, Sebelum hujan sediokan
payung, Hujan tibo, payung terkembang.
3. Sisik siang :
Oleh karena perkawinan itu akan mengikat kedua belah pihak orang tua, tengganai
dan nenek mamak, maka haruslah diadakan sisik siang, dengan cara mengirim menti
atau siasat yang disebut di sasat kerumah pihak yang betino (gadis) terutana tentang
status yang punya badan apakah sudah bertunangan (punya pacar) atau sudah menjadi
kundangan orang (tunangan orang).
4. T u n a n g :Menurut adat, tunangan itu ada 3 (tiga) macam :
1). Tunang-tunangan.
Adakalahnya bayi yang masih -dalam buaian sudah dipertunangkan oleh kedua belah
pihak orang tua. Pertunangan seperti ini disebut tunang jajad. Sudah tentu tunang
jajad tidak dijumpai lagi.
2). Bermudo (pacaran) :
Adat menentukan risikonya sebagai berikut :
Umpuk umbai budi merancak.Rayu bujang, gurindarn gadih.Nan tepakai lusuh,
nan temakan habih.Nan tebagi hilang sajo.Adat bunbun menyelaro.
Artinya : Bila antara kedua belah pihak yang bermudo putus hubungan,
maka antara mereka berdua tak ada tuntutan apa-apa, baik yang berupa
janji maupun yang berupa materi, dianggap habis dan tidak ada lagi.
3). Duduk bertunang (bertunangan).
Dalam hal ini kedua belah pihak telah terikat, karena sudah berusik sirih, main pinang
lah duduk pertunangannya dek nan tuo. Dan disebut sudah menjadi tunangan urang.
Sehubungan dengan sisik siang diatas tadi, maka apabila betino (gadis) yang
diselidiki tadi sudah menjadi tunangan urang, maka sisik siang itu terhenti sampai
disana, karena menurut seloko adat : Sirih kuning gagangnyo mersik, condong
menjulai naik garang. Putih kuning dabung melentik, sayang sedikit tunangan orang.
Apabila diteruskan juga maka seloko adat mengingatkan ; "bermain diujung pisau",
artinya berbahaya.
Akan tetapi bila gadis yang disiak siang belum duduk bertunangan, dengan kata lain
belum dikundang orang lain, persiapan ini dapat dilanjutkan.
5. Sirih tanyo, pinang tanyo.
Sirih tanyo pinang tanyo itu ialah terdiri dari pakaian pria sepelulus dan disertai sirih
pinang senampan. Adakalanya disertai uang sekedarnya. Dahulu
ada disertai pula dengan cincin ketika ijuk, cincin rotan, kain dibindang (dibuka)
banyak cabik-cabik, pun adapula benang yang putus-putus dengan maksud
menghiaskan diri bahwa orang yang hendak menyemendo itu adalah orang miskin.
Dengan kata lain bermaksud merendah diri. Tetapi sekarang cara demikian tidak
digunakan lagi.
Adapun maksud sirih tanyo pinang tanyo itu ialah seperti kata seloko ad at : Sirih
ingin pulang ke gagangnyo". Pinang ingin pulang ketampuknyo".
Artinya orang itu bermaksud hendak menyemendo kerumah gadis yang ada dirumah
yang dituju, sedangkan sirih tanyo, pinang tanyo itu diantarkan oleh pihak keluarga
yang laki-laki kerumah yang perempuan.
Mengantar sirih tanyo, pinang tanyo :
Seloko adat menyebutkan, bahwa sirih tanyo, pinang tanyo :
Dilepeh oleh serai nan berumpun.
Ayam nan berinduk.
Pagi nan belepeh,
balik nan betantik."
Artinya yang pergi mengantar sirih tanyo, pinang tanyo itu merupakan utusan nenek
mamak atau adakalanya nenek mamak dari pihak yang laki-laki itu sendiri yang pergi
mengantarkan sirih tanyo, pinang tanyo itu, dengan maksud bahwa itu betul-betul
dikirim oleh orang tua bujang setelah ada kesepakatan dengan nenek mamaknya, dan
jawabannya ditunggu.
Dipihak nan betino (gadis) sirih tanyo pinang tanyo itu disambut dan diterima
oleh induk bapak (orang tua gadis) dengan kato-kato adat :
Tentang barang nan diantar iko, Ko titik kami tampung, Ko terbit kami tuai, Kecik
telapak tangan, nyiru kami tadahkan,
Tentang tando iko kami memegang sajo,
Anak yo anak kami, kami ko nan melepeh pagi, mengurung petang,
tetapi nan kuaso ialah nenek mamaknyo, nan memekan mengabih,
menyaik memutuih."
Biasanya sesudah sirih tanyo, pinang tanyo itu diterima oleh kedua orang tua gadis,
maka tanpa banyak bicara lagi, utusan pihak laki-laki itupun pulanglah sambil
menunggu kabar dari pihak keluarga (nenek mamak) yang perempuan.
Sementara itu, beberapa hari kemudian pada waktu dan hari yang baik, biasanya tak
lama orang tua gadis (pihak nan betino) mengump^ulkan suku waris (nenek mamak)
sepihak, untuk membicarakan sirih tanyo, pinang tanyo yang diantarkan pihak laki-
laki dulu.Sebagai pengantarnya, dengan kata-kata adat orang tua gadis biasanya
ayahnya, berkata :" Kami beritahukan kepada nenek mamak. Supik ko kok kecik lah
gedang. Ko bingung nyo lah cerdik. Ko gedang lah menyapu. Ko tinggi lah
menyudul langit. Kami sebagai induk bapaknyo, melepeh pagi mengurung petang,
mako supik telah patut berumah tanggo. Kerbau sekandang dapat dipeliharo. Tapi
urang seurang paya dipeliharo urang sedusun. Kini ko lah ado urang yang datang,
menti nan tibo. Mengantar sirih tanyo, pinang tanyo.Apo kito yang duduk lah cukup
kok nang seseto lah disubik, kok nan sedepo lah dibawak.
Lah dilayang pandang jauh, lah tukik pandang dekat. Walaulah cukup, kito
mulailah mengaji iko masak-masak. Menghemat sudah-sudah."
Jika seluruh nenek mamak sudah habis dan dianggap cukup maka nenek mamak
itupun kembali bertanyo :" Apakah supik ko ado jodohnyo didalam korong kito,
nan betapak, nan bekilan nan beito. Kok ado kemano condong asapnyo".
Biasanya gadis diam saja, sebagai tanda setuju. Kemudian sewaris menghadap
kepada nenek mamak, dan berkata :
Nampaknya jantan betino lah seangguk bak balam, lah seciap bak ayam.
Dengan jawaban sewaris itu, maka nenek mamak kemudian berkata lagi :
Setelah kami tilik, rasonyo dak ado, mako kito turutlah kemano condong asap, karena
:Kurang sisik tuneh meninggi, Kurang siang rumpun menjadi. Dan jangan pulo
sampai terjadi. Terbit minyak dek kampo, terbit api dek pusa. Apabila suku waris
sudah mupakat, seperti kata pepatah adat :
Idak ado lagi unak nang ke mengait mato, Punggu nan ke meninpo punggu.
Maka dapatlah dikatakan seperti :
Teluk selesai, rantau tenang,
Bulat ayik dek pembuluh, bulat kato dek mupakat.
Bulat bulih digulingkan.
Bulat bulih dilayangkan."
Akhirnya dianggap funding sudah, kato putus, sirih tanyo, pinang tanyo tersebut
sudah dijadikan "tando yang benar" dan dijadikan pegangan seperti kato seloko adat :
" Kok dendang kulit betindik bane, Dendang dana betudung kelakai, Dendang
buah bekelike batang, Dendang tando nak jadi nan dipegang."
Apabila langkah selanjutnya hendak dilaksanakan, yaitu : "tando betindi", maka itu
harus disaksikan oleh batin dan iangsung menetapkan jangka ketiko nang baik untuk
mengembang tando.
6. Mengembang tando, mengisi adat-Iembago.
Pada malam yang elok, hari nan baik, yaitu hari tanggal dan waktu yang ditetapkan,
maka berkumpullah suku waris dan nenek mamak dari kedua belah pihak serta
dihadiri oleh batin. Berkumpulnya suku waris kedua belah pihak beserta nenek
mamak dan batin ini dinamakan duduk nenek mamak, yakni nenek yang berempat,
puyang nan delapan.
Setelah semua lengkap, maka tando tersebut diserahkan kepada batin, dengan kata-
kata adat :
" Tando iko adalah titian jalan ke jenang.
Susul jalan kerajo, tando nak duduk betunak batani.
Tando nak jadi, nang kami serahkan kebatin.
Minta dibuka, minta dikembangkan, minta dibuek ikek bulek, janji
semayo."Setelah dibuat ikek bulek, janji semayo, maka berlaku seloko adat yang
berbunyi :
" Titian binaso lapuk, Janji binaso mungkir."
Artinya yang melanggar janji harus menanggung akibatnya.
Menurut kawin nan beradat belembago, nang taico tepakai karena batinlah nan
rindang diadat, rimbun dek peseko, maka batin pun turun tanganlah.
Batin membuka dan memeriksa tando itu satu persatu, kemudiannya diserahkan
kepada nenek mamak, dengan permintaan dibuat funding jadinya, guna pengisi adat,
menuang lembagonya, nang disebut kawin beradat belembago, dengan kata-kata
penyerahan dari batin : "kelih ayik, imak lah tubo, pandang akan nang bakal mati".
Oleh karena dalam adat lembago itu diasuh dan diinang oleh nenek mamak, maka
oleh nenek mamak dibuatlah perhitungan tinggi rendahnya lembago adat yang dipilih
diminta tiga tingkatan (nilainya).
Adapun menurut adat ketentuan mengisi adat menuang lembago itu terbagi atas 3
(tiga) tingkatan, yakni :
1). Yang diatas, yaitu : kerbau sikuk, beras seratus gantang, kelapo seratus tali
(satu tali dua buah), lengkap dengan seasam segaram, selemak semanisnya.2).
Yang ditengah, yaitu : kambing sikuk, beras dua puluh gantang, kelapo dua puluh
tali, lengkap dengan seasam segaram selemak semanis.3). Yang dibawah, yaitu :
ayam sikuk, beras dua gantang, kelapo dua tali, lengkap dengan seasam segaram
selemak semanisnya.
Adapun tingkatan yang dimaksud diatas tadi, adalah dengan melihat kemampuan
orang yang hendak menyemendo. Seseorang yang ekonominya lemah, tentulah tidak
dapat dipaksakan dengan lembago nan diatas (sikuk kerbau dan seterusnya).
Disamping itu mungkin pihak yang laki-laki juga menyerahkan lemari, tempat tidur,
kursi atau barang lain, yang sesungguhnya tidak diminta oleh pihak yang perempuan.
Barang yang dibawa itu disebut harto pembawok. Harto pembawok itu, jika terjadi
perceraian dapat dibawa kembali oleh pihak laki-laki.
Jika adat telah diisi, lembago sudah, maka disebutlah dalam seloko adat :
" Kok tando kecik menjelang warislah, Kok tando gedang menjelang batinlah,
Lah didudukkan di dalam hari nan ritung, Bak lansau lah menunggu, Ketak
menunggu buku."
Jika dalam pada itu timbul perpecahan, sehingga salah satu pihak membatalkan ikek
buwek tersebut, maka itu disebut : "ikek nang berurak, janji nang beungkai".
" Kalau yang jantan mengurak silo, yang terbagi, hilang sajo. Kalau yang betino
mengubah janji, maka tando so balik duo."
Dalam pada itu karena ikek buwek itu dibuat oleh nenek mamak, maka menurut adat
perbuatan mengurak, mengungkai ikek buwek nenek mamak itu, dianggap melanggar
adat dan diberlakukan undang nan dua puluh, terhadap pihak yang mengurak dan
mengungkai ikek buwek oleh nenek mamak itu, dan itu merupakan larangan pantang
pada batin. Terhadap pengurak, mengungkai ikek buwek nenek mamak itu dikenakan
denda : sikok kambing, kelapo dua puluh tali, beras dua puluh gantang, lengkap
dengan seasam segaram, selemak semanis.
7. Mengantar serah adat lembago.
Sebagai kelanjutan dari mengantar tando, dimana tando itu telah diterima
oleh pihak wanita, maka dilanjutkan dengan serah, yakni menyerahkan adat lembago
yang diputuskan sebelumnya. Hal tersebut disebut sebagai mengisi adat, menuang
lembago. Pihak lelaki mengantarkan adat lembago itu kerumah pihak wanita. Dalam
seloko adat disebutkan :
" Kato dulu kato betepat, kato kemudian idak becari lagi".
Artinya semua pihak menepat janji atau ikek buwek yang telah dibuat oleh nenek
mamak. Seandainya adat lembago itu jatuh pada pilihan diatas yaitu jatuh pada
tingkat yang diatas, yaitu kerbau, makamenurut adat lamo pusako usang,
pelaksanaannya diiringi sebagai berikut :
" Kerbau jantan yang bertanduk cancang, beras seratus gantang dibali panjang,
kelapo nang seratu's tali nang bepikul dan bedagang timbang, dilengkapi dengan
selemak semanisnya, seasam segaram, bercupak bergantang serta alat perba,
antara lain : tombak, pedang, beliung, parang, jalo kerap, jalo rambang, pukat
kerap, pukat jarang, ditambah dengan bibit kelapo, tanaman pisang, tebu, ayam
betino dan ayam jantan."
Penyerahan itu semua dilakukan dalam suatu upacara khusus. Untuk itu kerbau tadi
dihias seindah mungkin. Diarak bersama-sama dengan kesenian tradisional, seperti
pencak silat dan tabuh gendang, -gung kelintang, kemudian dilakukan serah terima
menurut adat.
Waktu penyerahan itu, nenek mamak dari pihak laki-laki akan berkata antara lain :
" Kami ko datang untuk menyerahkan adat lembago. Menepati kato dulu, kato
betepak "Kato kemudian idak dicari lagi, sesuai dengan ikek buwek janji semayo
yang diputuskan nenek mamak kito kedua belah pihak. Untuk susul jalan kerajo,
untuk titian jalan kejenang.'?
Jawaban dari pihak wanita (penyambut).
Kami terimo dengan muko nang jernih, hati nang suci.
Kok setitik kami lautkan, kok sekepal kami gunungkan."
Pantun dari pihak laki-laki (pengantar).
" Cukik dama pelito cahayo, cukik dengan sapu tangan.
Kalau runding kito lah seiyo, mari kito, berjabat tangan."
Pihak laki-laki yang mengantar tandopun maju, demikian pihak yang menantipun
maju, lalu bersalam salaman.
Kemudian pihak perempuan menyambut berpantun
Cempedak tumbuh dilaman, urat bertindi-tindi.
Lah lamo tegang dilaman, mari kito naik, maka sirih."
Kedua belah pihak kemudian naik kerumah pihak wanita, inilah yang disebut kerbau
dipintak, kerbau ditantik.
Perlu diperhatikan, menurut adat lamo pusako usang, jika kerbau dipintak, kerbau
ditantik, maka dari pihak wanita harus pula menyiapkan adanya bilik padi yang berisi
padi setahun pehumo, sepelaman dengan mertuo,. Artinya pihak wanita itu punya
kemampuan ekonomi yang baik. Sebab menurut adat lamo pusako usang, selama
setahun kedua mempelai tidak bekerja, mereka hanya makan tidur dan hidup santai.
8. Nikah kawin.
Pengertian nikah kawin menurut adat mempunyai arti berganda. Nikah
dimaksudkan adalah menikahkan anak untuk berumah tangga (bujang dan gadis),
sedangkan kawin adalah timbulnya keberatan antara kedua belah pihak famili yang
bersangkutan, dalam seloko adat disebutkan :
" Nikah di Mesjid, Kawin di rumah tanggo.
Beuleh nak panjang, besuku nak tebal, bekampu nak leba."
Pernikahan dilangsungkan sebelum kenduri. Pernikahan dihadiri oleh para nenek
mamak kedua belah pihak, petugas pencatat nikah, batin dan para undangan
lainnya.Sebelumnya perlu dijelaskan, siapa yang berhak menikahkan atau menjadi
wali dari anak perempuan (gadis) yang akan dinikahkan itu. Menurut hukum syarak
wali itu ada 3 (tiga) macam yakni
1). Wali Mujubir, yaitu ayah, datuk dan seterusnya keatas menurut garis patrilinial
dari perempuan yang akan menikah itu.
2). Wali nasab, yaitu seorang laki-laki yang mempunyai hubungan kekeluargaan
dengan anak perempuan yang akan dinikahkan menurut garis patrilinial (garis
keturunan yang dihitung menurut bapak), yaitu saudara kandung lelaki beserta
keturunannya yang lelaki, saudara lelaki se-bapak beserta keturunannya yang lelaki
dan paman kandung se-bapak beserta keturunannya yang lelaki.
3). Wali hakim, yaitu orang yang ditunjuk dengan persetujuan kedua belah pihak
yang mempunyai pengetahuan setingkat dengan qadhi. Umumnya yang banyak
terpakai adalah wali hakim ini. Dan syarat-syarat untuk menjadi wali ditentukan
sebagai berikut :
Mestilah seseorang yang menganut agama Islam. Harus seorang lelaki yang merdeka.
Telah akil baligh. Adil dan berakal.
Sementara itu, akad nikah yang akan dilaksanakan harus pula memperhatikan syarat-
syarat sebagai berikut : a. Pernikahan itu hendaklah atas persetujuan kedua belah
pihak dan manakala belum dewasa, haruslah dengan persetujuan kedua belah pihak
orang tua. b. Harus ada saksi. c. Harus ada wall.d. harus ada "mahar" atau mas
kawin. e. Harus ijab kabul.
Setelah ijab kabul, dilangsungkan penyerahan mas kawin itu disebut sebentuk cicin,
maka yang laki-laki langsung mengenakan cicin itu kepada penganten perempuan.
Kemudian kedua mempelai langsung mengantar sembah dan menyalami kedua belah
pihak orang tua, nenek mamak, kedua belah pihak beserta para undangan yang
dianggap peril!
9. Mengumpul tuo, memulang lek pado penangga (panitia pesta).
Pengertian mengumpul tuo ialah, meminta kepada tuo kampung, tuo-tuo, tuo
tengganai, tuo bujang dan gadis beserta anak buahnya, untuk memulangkan gawe
kepada penangga, guna untuk : menjemput nang jauh, mengambil nang dekat jadi
kudo pelayang bukit, jadi biduk sampan melayang, agar nang berat samo dipikul,
nang ringan samo dijinjing, nang mata minta dimasakkan, nang masak dimakan, kok
banyak samo bekuak, kok dikit samo diagih. Setelah mengumpulkan itu barulah
berelek berkenduri.

10. Berelek berkenduri.


Dalam berelek berkenduri, diadakan suatu acara khusus, yaitu duduk bersanding yang
tata caranya harus disesuaikan dengan adat. Adapun urutannya sebagai berikut:
Sebelum duduk bersanding, dari pihak nan betino menjemput pihak nan jantan
dengan alat pakaian adat untuk dibawa kerumah nan betino. Sesampainya mempelai
laki-laki dimuka rumah nan betino, dilangsungkan upacara beulu bejawat dengan
seloko adat :
Kato-kato pengulur :
Kato dulu betepat, kato kemudian idak dicari lagi. Menempuh jalan
nan berambah, memakai baju nan bejait. Sengajo kami datang kemari,
menyerahkan anak buah, anak kemenakan kami, bak kato pepatah adat :
Kok mati dianta ke tanah layu,
Kok hidup dianta kerumah tanggo.
Kini disiko rupahnyo untungnyo nan meimbau.
Disiko perajonyo nang menyahut.
Dan disiko pulo kasih nan terlabuh sayang nan tertumpah.
Kasih teluk kapan tersangkut.
Kasih batang cendawan tumbuh.
Kini disiko pulo aur nan berumpun, parit nan bersudut.
Kami ulurkan dengan hati nan suci
Kami serahkan dengan muko nang jernih.
Kami ulurkan kebawah payung nan sekaki kembang.
Kami serahkan kebawah mahligai nan sebatang tegak.
Cuma menyerahkan anak kemenakan kamiko, idaklah disertokan dengan
emas nan kuning, perak nan putih.
Maklumlah kamiko, ikuk meranting, kepak meranggeh
Hidup dek hari nan begajih
Gedang dek upah nang berjangkau.
Bukit lengeh pematang kering.
Lalang tidak capopun tidak.
Tumbuh sebatang lah layu pulo.
Jadi kiniko silih menyerah hino diri.
Kami serahkan anak buah, anak kemenakan kami.
Dengan punggung nan ijak desaok.
Kepala enak idak betutut.
Kami serahkan dengan keris pendek nan belingkok.
Keris panjang nan melimbai
Dimano letak, dimano ilok, asal didalam pegang pakai.
Adapun serah kamiko, bukanlah serah patah arang.
Melainkan serah patah umbut, artinya masih ado tali.
Suto nan jalin menjalin antaro kito.
Kemudian kok tumbuh lah mago, gilo sewanyo.
Bungkuk seruah idak tekadang lagi.
Runcing tanduk idak tepepak lagi.
Gedang kelaso, lah idak tepampeh.
Diulak dialih malah kepado kami.
Nenek mamak yang kami muliakan .
Semaklah padi dek jerami.
Kini pandang kami rimpahkan.
Nenek mamak terimolah kini.
Kemenakan nan kami serahkan.

Kata-kata penerima.
Sesudah kato-kato pengulur diucapkan dari pihak nan jantan (pihak mempelai laki-
laki), maka menjawablah dari pihak nan menerimo, yaitu dari pihak nan betino
(mempelai wanita).
Merumpu diujung tanjung
Urang merambah di dusun seberang.
Besambut juga bak begayung
Betingkab jago bak begendang.
Urang cino mudik bepayung
Nak lalu kemuara bungo.
Tamanlah ketulo didalam padi.
Pandai nian mamak mengayung
Tulang putus daging tak keno.
Racun bagilo dalam hati.
Orang mudik keteluk langkap
Gala disanda dengan pendayung.
Urang cerdik pandai bercakap
Urang pendekar pandai begayung
Kiniko lah ado nampaknyo
nang sanak nang tumbuh merendahkan bangso,
nang tinggi mengecikkan tuah
Nang gedang itu nang dirumput
Batang padi nang disiang
Batang bayam nan kami ujut petang jo pagi
Nan kami pinto siang dan malam
Sekehendak mamak dua
Tigo kehendak kami
tidak kami ilak tuakan datang
idak kami geleng tanduk kan tumbuh.
Cuma kami idak dapat beuji samo merah
Betimbang samo berat
karena kami bekintang ditempat nang idak
Lah kami tukik darah ketiang
Lah kami cari kutu ke ijuk
lah kami sentak satang keawan
lah kami sumbur dayung keangin.
Nak mencari selimbai
serempak naik merentang
Serempak turun
Tentang penyerahan ini kami terimo
dengan hati nan suci
Muko nan jernih
Kok titik kami tampungkan tinggi
kok terbit kami tuaikan mentah
Kecik telapak tangan
Nyiru kami tadahkan.
Disiko samo-samo besanda kebene lapuk
Beteduh dikayu meranggeh.
Tigo ringgit setengah delapan
sebulan tigo puluh hari
Nang dikit samo dimakan
Nang idak samo dicari.

Setelah pengucapan kata-kata pengulur dan kata-kata penyambut, diadakan upacara


membasuh kaki sang penganten laki-laki oleh penganten perempuan di pangkal
tangga. Ini melambangkan atau berarti bahwa semua adat lembagonya telah diisi.
Kedua penganten kemudian naik keatas rumah, diantarkan ketempat duduk
bersanding, yaitu pelaminan. Pelaminan itu terletak dibalai pada bagian lantai rumah
yang tinggi, pelaminan ini dibuat berbentuk rumah adat. Dibelakang penganten
terdapat ampaian kain sampai lima lenggek, kain ini dilipat sedemikian rupa sehingga
merupakan anyaman. Kain yang dipakai ialah kain panjang merupakan kain -batik.
Dikiri kanan kedua penganten yang duduk bersanding ada beberapa buah bantal dan
guling, yang ujung dan pangkalnya berbentuk segi empat. Kain bantal dan guling
disulam dengan benang emas, bantal-barital dan guling itu diletakkan seperti
mengurung kedua mempelai dari kanan dan kiri.
Menurut adat Jambi, penganten laki-laki selanjutnya tinggal dirumah penganten yang
perempuan.
ll.Mengumpul Tuo, Menitip Alek.
Sebagai acara akhir, yang disebut juga dalam tata cara perkawinan ini, acara
pengunci, maka diadakan suatu acara khusus yaitu mengumpulkan tuo, menutup lek.
Maksudnya adalah meminta adat dan keridhoan atas jeripayah yang disumbangkan
selama berelek bekenduri. Kemudian dirangkai pula dengan mengimbau menantu,
berserah terimo, betunjuk beaja kepada kedua penganten dan kepada kedua belah
pihak orang tuanya yang disampaikan oleh nenek mamak.
Akhirnya setelah tiga hari sesudah penganten atau berelek, makadiharuskan pula
kedua anak yang baru menikah itu untuk mengunjungi pemamak yang terdekat, untuk
mempererat silaturahmi dan mengharapkan tunjuk ajar dari pemamak tersebut.

D. HUKUM PERCERAIAN.
TaIak:
Arti harfiahnya "pelepasan" yakni perceraian isteri oleh suaminya. Talak ini adalah
semata-mata hukum agama, yang diambil oleh hukum adat. Dan talak itu bertingkat-
tingkat. Talak satu menyebabkan berlakunya masa iddah - 3 periode haid (100 hari)
atau dalam hal iswar hamil sampai 40 hari sesudah melahirkan. Talak dalam hukum
adat Jambi dikenal juga dengan sebutan syarak artinya juga sama yaitu cerai
(harfiah), dalam seloko adat Jambi yaitu :
Syarak hidup kayu batakuk
searang diagih
sekutu dibelah
syarak mati nisan tategak
Menjatuhkan talak atau syarak, sesuatu yang tidak diinginkan oleh masyarakat adat.
Akan tetapi, karena yang kawin itu manusia dan masing-masing punya pikiran dan
tabiat yang berbeda -beda, maka talak atau syarak itu sesuatu yang tak dapat
dielakkan oleh mereka yang kawin, yang antara mereka berdua sudah memang benar-
benar sudah tak ada kecocokan lagi. Pada talak satu, maka selama masa iddah,
berlaku ketentuan-ketentuan bagi kedua belah pihak sebagai berikut :
a. Perempuan yang dijatuhi talak oleh suaminya itu, selama masa iddahnya belum
boleh kawin lagi dengan orang lain.
b. Perempuan yang dijatuhi talak oleh suaminya itu mendapatkan nafkah dari
suaminya dulu itu, selama masa iddahnya.
Sementara itu, sisuami dapat rujuk kembali selam masa iddah isterinya yang
dijatuhinya talak tadi. Seperti dikatakan diatas.
" Syarak hidup, kayu betakuk, suarang ditagih, sekutuh dibelah, syarak mati,
nisan tetegak, sesuai runding habis."
Maka perlu dijelaskan bahwa pada masa lalu orang belum banyak yang tahu
tulis baca, maka dalam menjatuhkan talak itu (syarak) mereka membilang kayu yang
sudah ditakuk (dipotong).^Umpamanya 1, 2, dan 3 potong, jika syarak sepotong kayu
disebut syarak talak 1, jika dua kerat kayu berarti talak 2, dan jika 3 potong kayu
disebut talak 3. Dan itu disebut waktu syarak berbilang-bilang hal itu supaya nyata
pada orang yang menjadi saksi, bahwasanya talak jatuh berbilang 1, 2, dan 3 seperti
kata seloko :
" Ikral dengan lidah, tasdik dengan hati, berbilang dengan benda, berterang
dengan saksi ".Seloko diataslah yang merupakan syarat-syarat menjatuhkan
talak/syarak. Jika hal itu tidak dilaksanakan, talak yang jatuh belum jelas menurut
adat :" Belum terang bak bulan, belum siang bak matohari ".
Artinya belum syah menurut hukum adat dan hukum syarak dan kiranya perlu
juga diperhatikan arti dari keempat kalimat diatas sebagai berikut :
Yang disebut dengan ikrar dengan lidah, artinya tnestilah diucapkan dengan kata-
kata. Yang ditasdikkan dengan hati, artinya dirssa dengan perasaan hati.
Yang dilakukan dengan berbilang benda, artinya dihitung dengan potong kayu atau
batu.Yang diucapkan dengan berterang dengan saksi, artinya hendaklah talak itu
dijatuhkan dimuka saksi, supaya terang bak bulan, siang bak mato hari.
Syarak mati, nisan tetegak, artinya tanda syarak mati ada tempat pendam (kuburan)
dimana batu nisan diatas kubur sebagai tanda, sehingga terang syarak mati.
Selanjutnya dikenal pula dalam perceraian ini, apa yang disebut khul, taklik, fask
(fasah) dan lain-lain menurut agama islam.
Perihal anak yang dihadirkan.
Perceraian tentu membawa akibat terhadap anak-anak yang dilahirkan, jika
perceraian itu perceraian mati, seperti yang mati itucsyah, atau ibunya maka anak-
anak yang ditinggalkan oleh yang mati itu disebut anak yatim.
Jika kedua orang tua anak itu meninggal dunia, maka anak tersebut disebut yatim
piatu. Anak yatim piatu itu biasanya diurus dan dirawat oleh nenek mamaknya. Jika
terjadi perceraian hidup, disini timbul persoalan kemanakah anak tersebut akan ikut .
Dalam masyarakat adat Jambi tidak dikenal hubungan antara orang tua dan anak
menurut satu garis, seperti patrilineal (garis keturunan, menurut ayah, seperti di suku
Batak) atau matrilineal (garis keturunan menurut ibu seperti di Minang Kabau).
Dalam adat Jambi kedua garis keturunan itu diperhatikan baik dari Bapak maupun
dari Ibu. Pada dasarnya anak-anak yang lahir, yang kemudian orang tuanya bercerai,
maka anak-anak itu ikut ibunya tapi tak jarang pula dijumpai sebahagian lagi ikut
ayahnya.
Harta perkawinan.
Sudan tentu bila terjadi perceraian, timbul masalah harta selama perkawinan. Dalam
seloko adat pembagian harta itu ditentukan sebagai berikut :

" Harta sekutu dibelah, harta seurang, bagi, harta pembawo, balik, harta tempatan,
tinggal.
Pengertiannya :
Yang dimaksud dengan harta sekutu dibagi, ialah harta sekutu perkongsian dengan
orang lain bagiannya menjadi harta berupa harta pencaharian bersama. Terhadap
harta persekutuan itu bila terjadi perceraian hidup, maka harta itu dibagi dua.Yang
dimaksud harta suarang dibelah, ialah harta percaharian berdua yang didapat selama
perkawinan. Akan tetapi karena jumlah harta itu ganjil, seperti kerbau tiga ekor,
sehingga sulit dibagi maka dhentukanlah, kerbau yang satu itu dibelah. Di belah
disini dengan pengertian, bahwa kerbau itu dinilai harganya atau dijual, kemudian
dibagi dua hasilnya masing-masing sama banyak.
Yang dimaksud dengan harta pe'mbawo kembali, yaitu harta yang tatkala laki-laki
datang kerumah perempuan (menyemendo) membawa alat-alat rumah tangga yang
diadatkan demikian, maka harta itu dapat dibawa kembali pulang oleh pihak laki-laki
yang menyemendo itu, jika ia mau.
Yang dimaksud dengan harta tepatan tinggal ialah harta kepunyaan perempuan
sebelum menikah telah ada, seperti rumah, tanah dan harta lainnya. Harta ini tidak
boleh dibagi dan tetap tinggal menjadi milik pihak perempuan.
E. HUKUM WARIS.
Hukum waris adalah hukum asli bangsa Indonesia, yang tidak dipengaruhi oleh
hukum-hukum lain. la mempunyai ciri-ciri tersendiri dan tidak sama di setiap daerah.
Dalam hukum adat, hukum waris itu tergantung pada cupak gantang selingkungan.
Artinya, lain daerah, lain pula hukum adat warisnya. Dan hukum waris ini,
merupakan hukum adat yang paling banyak diperlukan masyarakat, dalam mencari
keadilan, tentang warisan yang ditinggalkan oleh peninggal waris.
Meneruskan, mengoperkan. a. Yang diwariskan , ialah
Pesoko seperti sawah, tanah, rumah, perhiasan, dan lain-lain. Seko seperti, gelar
keturunan kalbu atau suku. b. Cara mewariskan ;
Langsung setelah peninggal waris meninggal dunia. Hibbah selagi pewaris masih
hidup.
Selanjutnya dalam hukum waris adat Jambi, ada 3 unsur yang diperlu diperhatikan,
yaitu : a. Seorang peninggal waris yang pada wafatnya meninggalkan kekayaan dan
kemungkinan hutan.
o. Seorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima waris. c. Harta
yang ditinggalkan, yang terbagi atas tiga macam, yakni :(1). harta berat.
(2). harta ringan.(3). seko.
Pengertiannya :
Pertama, jika si peninggal waris meninggalkan hutang maka hutang itu haruslah
dilunasi lebih dulu oleh para ahli waris, kemudian jika bersisa, barulah sisa itu dibagi.
Kedua, jika ahli waris yang ditinggalkan adalah anak-anak dan termasuk janda
peninggal waris (ibu dari anak-anak, uimana ada anak yatim, artinya belum cukup
umur), maka harta itu belum dibagi dulu.
Kalau tidak ada anak yang berstatus anak yatim (artinya anak-anaknya sudah dewasa
semua), maka harta itu dapat dibagi dengan ketentuan sebagi berikut :
Harta itu dibagi dua lebih dahulu,
Yang separuhnya menjadi harta bagian janda almarhum.
Yang separuhnya lagi, dapat dibagi antara anak-anak yang telah dewasa.
Bagian yang menjadi bagian janda almarhum, tidak dapat dibagi, kecualijika janda
almarhum tersebut meninggal dunia, maka harta itu dapat dibagi lagi oleh anak-
anaknya.
Yang perlu dijelaskan, alasan belum boleh dibaginya harta pada ibu dimana masih
terdapat anak yatim tadi, ialah : menurut adat, anak-anak dibawah umur masih
merupakan tanggung jawab peninggal waris. Maka harta peninggal waris itulah yang
harus digunakan unutk membiayai hidup anak-anak yatim tadi.
Ketiga, harta berat tinggal dianak yang betino, yakni : a. Berupa benda keras, seperti
rumah, tanah, sawah, bilik padi, warung atau kedaitempat anak betino berjualan.
b. Pakaian atau perhiasan.
i/ Disini perlu dijelaskan, kenapa pakaian dan perhiasan tak dapat dibawa anak laki-
laki , padahal itu dilihat dari besarnya barang, termasuk ringan. Masalahnya menurut
pengertian adat, ialah berat rasanya hati anak laki-laki membawa pakaian dan
perhiasan itu, lebih pantas dipakai oleh anak perempuan atau diebut juga anak
betinonyo.Sementara itu yang dimaksud dengan harta ringan dibawa anak laki-laki
ialah karena harta itu tidak langsung menjadi tumpuan kehidupan sanak betinonyo,
seperti kerbau, motor dan lain-lain, akan tetapi dalam hal ini dikecualikan dari harta
berat, ialah kebun, seperti kebun karet.
Sedangkan seko, yaitu peninggalan berupa gelar, menjadi milik bersama, akan tetapi
dipegang oleh anak laki-laki yang tertua
Timbul pertanyaan, kenapa harta berat harus tinggal di anak yang betino. Sebabnya
ialah seperti disebut dalam seluko adat sebagai berikut :
" Petuih tali, balik ke tembang, pecah jung, balik kekualo ".
Artinya jika anak laki-laki itu sakit bangit (jatuh miskin, cerai dari isterinya), ia dapat
kembali kesanak betinonyo untuk menyambung hidupnyo.
Disamping itu, dalam pembagian harta waris ini jika seorang meninggal waris
mempunyai anak, yang anak itu meninggal dunia pula, akan tetapi anak yang
meninggal itu, meninggal anak ketnrunannya, maka keturunannya itu (cucunya) juga
berhak mendapat warisan. v
Sementara itu, anak angkat tidak mendapat warisan dari peninggal waris, kecuali
ketika peninggal waris masih hidup menghibahkan sebagian hartanya kepada anak
angkatnya. Dalam hal ini ditetapkan pula, bahwa apa yang dihibahkan itu tidak boleh
lebih dari sepertiga dari seluruh harta peninggal waris. Masih dalam pembagian harta
waris ini sering timbul pertanyaan dari masyarakat tentang :
a. Bagaimanakah pembagian harta warisan, jika seorang laki-laki mempunyai dua
orang isteri atau lebih serta mempunyai pula keturunan dari kedua isterinya .
b. Bagaimanakah pembagian harta warisan dari laki-laki yang istefi pertamanya
meninggal dunia, kemudian kawin lagi, lalu iapun kenudian meninggal dunia,
sedangkan dari isteri pertama dan isteri kedua juga mempunyai keturunan.
Pemecahannya :
a. Jika seorang laki-laki mempunyai dua orang isteri atau lebih, sementara kekayaan
(harta sekutu) yang diperoleh adalah selama perkawinan dengan kedua isterinya itu
maka pembagiannya adalah sebagai berikut :
Pertama harta ibu dibagi dua dulu, separoh yang merupakan pembagian almarhum
dibagi pada anak-anak secara merata. Yang separoh lagi dibagi antara isteri-isteri
yang ditinggalkan secara adil dan sama banyak pula. Sementara itu jika isteri (janda
almarhum) meninggal dunia, maka harta bagiannya menjadi warisan anak-anaknya
sendiri.
b. Terhadap harta warisan yang ditinggalkan oleh peninggal waris yang isteri
pertamanya meninggal dunia, kemudian ia kawin lagi, lalu kemudian setelah sekian
lama laki-laki itu meninggal dunia pula, sementara itu baik dengan isteri pertama ia
memperoleh harta sekutu, demikian pula dengan isteri kedua, ia memperoleh harta
sekutu pula maka harta peninggal waris tersebut adalah sebagai berikut :
Harta yang ada pada isteri pertama, jika isteri pertama itu meninggal dunia, maka
harta itu diwarisi oleh anak-anak isteri pertama yang meninggal
tersebut, sedangkan harta yang diperoleh selama kawin dengan isteri kedua menjadi
waris isteri dan anak-anak isteri kedua.
F. HUKUM TANAH.
Dalam masyarakat adat Jambi, tanah memiliki kedudukan yang sangat penting
artinya, hal ini karena tanah adalah satu-satunya benda kekayaan yang langgeng
sifatnya bagi masyarakat adat. Tempat dimana mereka tinggal, tempat yang
memberikan mereka kehidupan. Tempat warga masyarakat adat memakamkan
keluarganya dan tempat nenek moyang mereka mulai merintis kehidupan.
Oleh karena itu dalam hukum adat daeran Jambi, ada apa yang disebut :
" Rimbo lepeh hutan tenang,
hutan belukar nan dikendano .(dipelihara), perimbon, taruko, hak alko, seseko lia ".
Artinya :Rimbo lepeh hutan tenang. Kawasan yang disebut rimbo lepeh hutan tenang
itu ialah kawasan tanah yang takluk pada rajo.
Dan kawasan (tanah) itu disebut rimbo larangan, artinya tanah dalam kawasan itu
tidak boleh menjadi milik perorangan, namun rakyat/penduduk dapat memungut hasil
hutan dalam rimbo lepeh hutan tenang itu. Ketentuan diatas masa kini hampir tak
berlaku lagi, karena hutan lepeh rimbo tenang itu telah dikuasi oleh para pemegang
HPH, sungguhpun demikian sekedar untuk mengetahui hukum tanah dalam hukum
adat Jambi dimasa lalu baik juga dikaji-kaji. Kemudian untuk menentukan siapa yang
berhak memungut hasil hutan didalam hutan lepeh rimbo tenang itu, maka penduduk
yang bersangkutan haruslah lebih dahulu memberi tando-tando yang dinamakan
dalam adat "dendang lalu".Dendang itu ada beberapa macam yakni :
" Dendang bulu sepengimbau (tidak berlaku lagi).
Dendang tere betegak batu (tidak berlaku lagi)
Dendang buah kelike batang (tidak berlaku lagi).
Dendang dama betudung kelakai (tidak berlaku lagi).
Dendang kayu bertakuk baris (masih ada yaitu menunjukkan sebatang
kayu yang ditakuk sekelilingnya).
Yang berarti ada seseorang yang akan menebang dan mengambil kayunya." Apabila
membuka rimbo rawang/ tanah kasang, sudah menjadi sesap, bertunggul beperameh,
bersesap berjerami, didalam masa 6 masuk ke 7 tahun tidak digarap lagi, maka tanah
itu namanya sudah menjadi belukar begile atau belukar cacau, maka tanah itu kembali
menjadi hak batin. Belukar begile berarti belukar bergilir.
Taruko.
Taruko ialah tanah pertanian yang baru dibuat, hak milik atas tanah itu menurut ico
pakai mempunyai tanda-tanda sebagai berikut :
" Masih ada suri bajak parit melitang, Kok unja agi tqjaju, Kok kandang agi belarik,
Masih adu tanaman mudo nan kadi ulang, Tanaman tuo nan kadi janguh, Nan
ditanam serempak tubuh, Nan dilambuk serempak gedang ".

Hak alko.
Hal alko adalah padang buah-buahan atau sekelompok padang buah-buahan, dengan
seluko adat disebut : " Kok durian lah seko, Kok kelapo lah gayu ".
Seseko lia (berpencaran).
Pemilihan atas kelompok-kelompok buah-buahan yang berpencaran, kemuningkanan
antara kelompok pada buah-buahan pertama dengan kelompok buah-buahan yang lain
terdapat kebun atau kelompok buah-buahan milik seseorang atau beberapa orang.
Hak atas tanah pada kelompok yang berpencaran itu ditentukan dengan seluko adat : •
" Sejulai dan kayu, serentang urat". Hak milik menurut adat :
Syarat - syarat untuk menjadi hak milik menurut adat adalah :
1. Diperdapat dari usaha cencang tanah, jerih payah syah
2. Diperdapat dari warisan yang syah.
3. Diperdapat dari hibbah yang syah.
Aturan bercocok tanam.
Kandang sawah, padang gembalo.
Dalam hukum adat Jambi ditetapkan, jika seseorang bertanam padi maka haruslah
dikandang, dipagar, terutama berumo dekat dusun. agar tidak dimasuki kerbau /sapi,
ditetapkan sebagai berikut :
Syarat pembuatan kandang.
Unja empat sedepo, pengapit bulu, pengebat rotan getah belah empat tahan injak
tahan ugah. Hal ini erat hubungannya dengan ketentuan ; " umo berkandang siang,
ternak berkandang malam ". Sungguhpun demikian ada baiknya ditinjau dari segi
hukum adat yang selama ini berlaku ditengah masyarakat.
Dalam hukum adat Jambi, biarpun umo (sawah) itu sudah dikandang, akan tetapi
masih diharuskan untuk dijaga siang hari. Sebaliknya apabila ternak masuk malam
merumpak siang, maka pemilik ternak terganti menurut adat, seperti ditetapkan oleh
nenek mamak sejak dahulu kala, sebagai berikut :
Kuat kerbau dek tali, kuat perkaro dek saksi,
Pengertian dibando dan dibangun.
Dibando : kalau kerbau masuk umo dimalam hari, maka pemilik kerbau mengganti
sebanyak yang dirusak/dimakannya. Caranya ialah melihat dan diukur luas padi yang
dirusak, kemudian dibiarkan hidup sisa-sisa kerusakan itu.
Ketika datang musim menuai maka dipilih padi yang subur seluas padi yang rusak.
Kepada pemilik sawah yang dirusak/dimakan ternak tadi diberi ganti rugi, berupa
selisih hasil pada tanah yang subur dengan hasil padi yang dirusak/dimakan ternak
tersebut.
Dibangun : padi yang sudah terbit dan habis dirusak dan dimakan ternak, maka
kepada pemilik sawah yang padinya sudah terbit itu diberi ganti rugi sepenuhnya.
Caranya ialah dengan memilih padi seluas padi yang dirusak. Padi itu dituai dan
semua hasilnya diberikan kepada pemilik sawah.
Beberapa kebiasaan lain.
Ladang dan sawah dukun, guru, pimpinan syarak, pimpinan adat, dikerjakan secara
gotong royong. Umo (sawah) ladang perempuan janda (betino rando) diletakkan
ditengah-tengah daerah persawahan. Demikian ketentuan-ketentuan yang
berhubungan dengan tanah, serta ketentuan bercocok tanam. Sudah tentu hukum-
hukum adat tentang tanah seperti disebutkan diatas, tidak sepenuhnya lagi berlaku
saat ini, karena semua harus tunduk kepada Undang-undang Agraria. Namun sekedar
untuk mengingatkan akan adat lamo pusako usang tentang tanah tak ada salahnya
mengetahui ketentuan-kentuan adat tentang tanah tersebut.
BAB IV ADAT ISTIADAT PERKAWFNAN DAERAH JAMBI
A. LATAR BELAKANG.
Daerah Jambi terdiri dari tiga suku besar yaitu :
1. Suku Kerajaan yang Dua belas.
2. Suku Negeri-negeri yang berbatin.
3. Suku Kerinci.
Suku ini berasal dari suku Melayu Tua dan Melayu Muda yang menjadi Propinsi
Daerah Tingkat I Jambi dengan 6 Daerah Tingkat II seperti :
1. Daerah Tingkat II Kerinci.
2. Daerah Tingkat II Sarolangun Bangko.
3. Daerah Tingkat II Bungo Tebo.
4. Daerah Tingkat II Batang Hari.
5. Daerah Tingkat II Tanjung Jabung.
6. Daerah Tingkat II Kotamadya Jambi.
Daerah Jambi dulunya mempunyai hubungan perdagangan dan kebudayaan dengan
negeri lain seperti, Cina, India (Hindu), Arab dan lain sebagainya yang sudah tentu
mempengaruhi kebudayaan asli setempat, sehingga terjadinya perpaduan antara satu
sama lainnya, terutama di zaman Melayu Kuno, Melayu Muda dan seterusnya sampai
zaman pendudukan Belanda dan Jepang. Besarnya nilai persamaan kebudayaan
dalam tata cara adat pergaulan bujang gadis dan tata cara adat perkawinan dimasing-
masing Daerah Tingkat II merupakan unsur terpenting dalam penyusunan dan
penetapan indentitas tata cara adat perkawinan Jambi. Bentuk-bentuk adat
perkawinan atau pergaulan bujang gadis (muda mudi) tata cara adat perkawinan,
pakaian penganten (munting), tata 'rias pelaminan (tempat duduk) dan pakaian
pemuka adat, terjadi pula bermacam-macam ragam sesuai dengan pegang pakai
setempat. Keragaman ini merupakan salah satu faktor penyebab belum adanya
kesepakatan dan kesatuan pendapat dalam menentukan bentuk indentitas tata cara
adat perkawinan Jambi yang menjadi kebanggaan Daerah Tingkat I Jambi, namun
demikian telah disimpulkan oleh nenek moyang dulu dalam seloko adat mengata-
kan : "Adat setepeh pesko data, pemakai berlain-lain".
Kesatuan pendapat ini adalah dari pemuka adat Daerah Tingkat II se Propinsi Daerah
Tingkat I Jambi dalam mencari dan menetapkan pembakuan tata cara adat
perkawinan Propinsi Daerah Tingkat I Jambi yang berlaku sama setiap acara
perkawinan menurut Tingkat dan Daerahnya
Landasan hukum penyusunan dan penetapan bentuk tata cara adat perkawinan Jambi,
adalah hasil pennufakatan pendapat atau pandangan pemuka adat Jambi, yang
merupakan perpaduan antara bentuk tata cara adat perkawinan yang sudah ada dan
terpelihara dengan baik dimasing-masing Daerah Tingkat II dengan tujuannya antara
lain :
1. Mempersatukan pendapat dan pandangan yang berbeda dan bersamaan menjadi
satu kesatuan yang kuat dan kokoh, menuju pembakuan indentitas perkawinan Jambi.
2. Memadu dan menetapkan pembakuan tata cara adat perkawinan Jambi yang
berlaku sama untuk setiap acara adat perkawinan menurut Tingkatnya di Jambi.
B. ANAK BUJANG DAN ANAK GADIS.
Setiap orang tua yang sudah punya anak bujang dan anak gadis sejak dini sudah
meningkatkan pengawasan terhadap anak- anaknya, mengajarkan hal-hal yang
berkenaan dengan adat istiadat dan mendidik secara umum dan agama (syarak).
Bagi orang tua yang punya anak bujang diibaratkan oleh adat samalah dengan
menjaga hariamau diujung tanjung atau punya anak bujang sama dengan emas diekor
ruso dengan pengertian : hariamau diujung tanjung senantiasa bisa menerkam
mangsanya, berarti juga orang tua bisa dapat malu oleh olah anak bujang itu,
demikian kalau anak bujang itu usahanya ada dan hasilnya banyak, tetapi uangnya
dihambur-hamburkan saja kepada yang tidak manfaat, itu samalah dengan punya
emas tetapi diekor rusa, seloko adatnya emas terlucir keaek mandi atau tebu seruas di
german gajah. Begitu pula bagi orang tua yang punya anak gadis sama dengan
memelihara api bubungan rumah, kapan-kapan bisa membakar rumah, atau mendapat
malu dan istilah lain memlihara telor diujung tanduk, bisa-bisa saja jatuh dan pecah,
ibarat bunga kembang tak jadi layu ditengah had, dan sekali kedapatan layulah untuk
selamanya.
Didalam melaksanakan pemeliharaan anak bujang dan anak gadis itu peranan ibu
sangat menonjol terutama terhadap anak gadis. Sejak anak berusia sangat dini,
terutama berumur dibawah lima tahun yang merupakan masa anak-anak segala
pengalaman merupakan dasar bagi pembentukan pribadinya, anak-anak dilatih untuk
dapat mengikuti pola-pola persyaratan adat dan agama dan anak-anak juga dibiasakan
melakukan perbuatan, bersikap, dan berbahasa sesuai dengan adat yang berlaku yaitu
" adat bersendi syarak, syaraka bersendi kitabullah
Peranan itu lebih banyak mendidik anak-anak masa dini itu, maka didalam
menetukan jodoh baik anak perempuan maupun laki-laki maka terhadap ketentuan itu
ada terjadi bahwa anak- anak ada yang dapat menentukan pilihan dan menolak, tetapi
sebaliknya ada pula anak-anak yang sama sekali tidak dapat menentukan pilihan dan
menolak (diajum).
Anak bujang dan anak gadis yang melakukan perkawinan sepupuh, ini banyak terjadi
mereka sudah dijodohkan oleh kedua belah pihak seloko adat mengatakan " padi
balik keladang, emas balik kepuro ".
Tata cara perkawinan menurut adat yang di mulai dari pergaulan bujang gadis (muda
mudi) sampai kepada peresmiannya, banyak menunjukkan persamaan dan itu pulalah
yang mendorong pemuka-pemuka adat Daerah Tingkat I Jambi, menyusun, memadu
dan memantapkan pendapat untuk pembakuan tata cara adat perkawinan Jambi yang
akan menjadi kebanggaan Daerah Tingkat I Jambi.

C. PEMILIHAN JODOH (MASA PERKENALAN).


Perkenalan bujang gadis (muda mudi) dalam masyarakat tani di pedesaan umumnya
diawali dengan pertemuan yang terjadi pada waktu gotong royong (berselang) ;
merencam (menugal) padi ladang, menuai padi sawah dan ladang (panen), dalam
kunjungan berkunjung waktu lebaran, berelek kawin perkenalan waktu bertandang
dan sebagainya, secara garis besar tata cara pergaulan bujang gadis (muda mudi)
dapat digolongkan dalam 4 cara yaitu :
1. Berbalas pantun waktu bujang bertandang.
2. Bersimbat pantun waktu siang hari (dalam perjalanan berkayuh perahu, diladang
dan disawah).
3. Pelarian/ganti hari mengerjakan (menyiang padi ladang dan merumput padi
sawah), mantau, karenok dan bertale.
4. Berselang ketalang petang.

Tata cara adat pergaulan bujang gadis terikat dengan kato-kato, adat yang berbunyi ;
adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah, syarak mengato, adat memakai ;
Adat padang kepanasan,adat bumbun benyelaro. Adat mudo menanggung
rindu,adat tuo menahan ragam.
Perkenalan bujang gadis (muda mudi) dizaman kemajuan kini diperkotaan bergaul
sama-sama sekolah, sama-sama kerja kantor pada upacara perkawinan, resepsi-
resepsi, pada upacara resmi kenegaraan dan lain sebagainya.
Pada kesempatan perkenalan itu masing-masing menyampaikan maksud dan rasa
cinta kasihnya dan seterusnya dilanjutkan dengan pertemuan, saling berkunjung
kerumah masing-masing sampai rasa mau berumah tangga.
1. Khusus Mengenai Bertandang.
Di desa-desa sampai sekarang masih dipergunakan bertandang sebagai pergaulan
bujang gadis, hal ini dilakukan dengan peraturan yang sudah baku sejak dahulu
seperti : Bapak dari gadis yang akan ditandangi bujang pada malam itu, selesai sholat
'isa atau habis makan malam menghindar kerumah tetangga.
Ibu si gadis sore sudah mencari seorang gadis lain untuk teman anak gadisnya atau
kalau dapat dia mencari tuo gadis yang biasanya di desa ada tuo gadis.
Begitu pula bujang yang akan bertandang, sore hari sudah mencari teman sama
bujang atau tuo bujang, karena dimana desa sudah ada tuo bujang.
Sesudah sholat 'isa bujang itu naiklah kerumah anak gadis yang sudah ditentukan,
dengan mengucapkan salam secara syarak assalamu'alaikum w.w. dijawab oleh ibu
anak gadis wa'alaikumusalam naiklah kerumah nak. Setelah bujang sampai dan
duduk diatas tikar sudah disediakan dan tuo gadispun duduklah didepan mereka,
kemudian disusul oleh ibu anak gadis dan anak gadis serta temannya menyusul duduk
berhadapan
Tuo gadis atau ibu gadis manyodorkan nampan sirih dengan diringi sebuah pantun :
Bedetak menebang satang, ramo-ramo menyimbar buih. Sirih terletak mintak
dimakan, apo namo rajo sirih.

G. Cempedak di tengah laman


Ureknyo batindih-tindih
Jangan lamo di tengah laman
Mari ke rumah makan sirih.
B. Cempedak di tengah laman
Ureknyo menyusuk ke bawah rumah
Mako lamo tengak di laman
Disangko adik indak di rumah.
G. Kenapo tulan sesat datang kemari
Orang sesat di dalam hutan
Kok tolan sesat di tengah kampong.
A. Kanti datang bukannyo sesat
Sesat dibuek basangojo
Bukan kacang sembarang kacang
Kacang melilik kayu jati
Bukan datang sembarang datang
Gedang minkajut dalam hati
G. Kalau datang besangajo
Elok lah cari rumah tinggi
Biar Nampak dari jauh
Nan putih Nampak malam
Di negeri bemesjid bergubah satu
Nan bersudut sudut emas
Beragam di tengah laman
Berkambing di tengah padang.
Kampong kami apolah….
Di unak nan bajalin
Di rotan mambujek
Beragam kawan berkambing kijang
Banyak cempedak dari nangko
Jaluang tumbuk di lekuknyo
Banyak nan tidak dari nan ado
Kurang jo apo ko ditubuh
B. Jangan begantung di muko pintu
Tiok bagantung numpu padi
Jangan bahancang macam itu
Tiok bahancang mengibo hati
G. makabagantung di muko pintu
Sebab dek batuang nan balarik
Mako bahanjang nan malarek
B. Kaulah betung nan balarik
Kenapa tidak dilelakan
Kaulah untung nan malarek
Kenapo tidak di relakan
G. Mako tidak di relakan
Aku lempanang jelo bajelo
Maka tidak di katokan
Tolan senang jadi coiko

Oleh tuo bujang dijawab pantun itu ;


Beretak menebang satang,
ramo-ramo menyimbar buih,
tokok tiang pasang atap.
Sirih terletak yo kami makan,
kupue namo rajo sirih,
rokok sebatang mintak diisap. Sambil melemparkan tepak rokok ; Dijawab oleh ibu
anak gadis :
Kini rokok sebatang lah kami isap sirih sekapur sudah masak, kini ngapo anak kemari
apo sesak disimpang jalan, apo idak ragu salah rumah kami yang buruk ko.
Anak bujang yang bersangkut langsung nienjawab :
Idak ibu kami sesat salah jalan idak ragu salah naik, memang kami hendak menuju
rumah ibu ko, itu kami mintak , pantun , ¥•'•
Cuba berpucuk kau bayam, kami hendak memupul selaronyo. Cubo berkukuk kau
ayam, kami hendak mengenga suaronyo.
anak gadis bersangkutan menjawab dengan lancar ;
jelatak jelatang tinggi, aka bulu manjat durian, kaka/abang datang kemari, siopo dulu
siapo kudian, siapo mengiring kidau kanan.
anak bujang menjawab ;
jelatak jelatang tinggi, aka bulu manjat durian, kami datang kemari, ujud dulu sangi
kedian, sifat mengiring kedau kanan.'
Kalau macam itu benalah kato kakak/abang tu, tetapi apo sangi kakak/ abang.
Bujang menjawab lagi memang sangi abang itu yo hendak mencoba membao garam
berenang, kok sampai yo telentanglah tangan, kok idak yo telungkup tangan, maklum
awak pipit ndak nelan jagung
Anak gadis menjawab pulo :
Mengapo kakak/abang berkato macam itu, baiyo nian kakak/abang mengino-ino
dan merendah diri, kito masih serumpun bak serai sinduk bak ayam, lagi
selingkung koto selapih, nenek lagi samo dimbau puyang samo lagi diseru.
Setelah bersimbat pantun itu beberapa babakan, maka ibu si gadis datang dari dapur
membawa aek kawe (kopi) nasi pulut (ketan), maka kedua belah pihak berhenti dan
makan ketan (pulut) bersama-sama.
Setelah kopi diminum dan nasi pulut (ketan) dimakan maka percakapan diteruskan :
Anak bujang: Kini tu aek diminum lah melepeh aus, nasi dimakan lah mengeyang
perut.
Anak gadis : Kalau macam itu kato sanak (anda) yo raso bertambah tinggi badan
kami dan meraso bertambah gedang tubuh kami, mendenga kato sanak (anda) itu.
O ya sanak (anda) kami kami dak habis tanyo, tadi abang/
kakak datang kemari sengajo merendak bangso, datang
mengurang bilangan nan banyak, duduk menyudut tegak
menepi, tibo kedusun idak basudut emoat, mesjid idak
perpuncak satu, tebu ado ngunyah temberau, aek ado minum
kebungkul, siapo yang sanak (anda) jumpo tengah jalan
tadi, ado dan bujumpa batang talintang dan unak bajalin °
Anak bujang: Kalau nan sanak (anda) tanyo, manpaknyo sanak (anda)
takut berusik sirih bergurau pinang dengan kami, dek kareno kami ko miskin hidup
gedang dalam sikso, mungkin sanak (anda) takut tageser keno miyang, tagegai keno
beh, kalau kami bak tunggang aek dipalung, idak pulo ado punggur yang menimpo
kuduk dan idak dao pulo ranting yang memetik mato, kok dalam perjalanan kami
kemari tadi empang batang lah kami gabung, empang unak lah rateh, empang batu lah
kami balik. Dijawab anak gadis :
Idak ilok sanak (anda) nuduh kami takut tegeser keno miyang tagegai keno beh ;
idak orang perajuk ilang seorang, orang penggamang mati jatuh, orang pecemeh
mati anyut, kami kakak/abang mengato, idak ado punggo yang menimpo kuduk
ranting nan memeting mato, tatapi sanak (anda) masih segale bak batang diaek ;
pedih sebelum luko, menyesal sebelum mati ;
Bunyi siamang dibukit pangkah, turun kelekuk makan padi.
Anak gadis : Kalu tagamang uraklah langkah, sementaro main belum jadi.
Kalau macam itu kato adik (sanak), artinya tunggang ilang berani mati, so diadik
(sanak) duo kami :
Anak gagak duo-duo,
anak enggang dikayu tinggi
Anak bujang, Anak bapak sorang ko,Tunggang ilang berani mati.
Kelanjutan dari capak mudo itu, mako anak gadis memutuskan dengan
pertanyaan : apo niat dan sangi kakak/abang datang malam ko menempuh jalan
yang jauh dan hari yang kelam.
Akhirnyo dijawab oleh pihak bujang pejalanan kami ko idak meng-gunggung idak
balik, kalu yo adik (sanak) kasih, kecik kami nak sesepuh ciri, gedang kami nak
sesepuh tando.
Anak gadis
Anak bujang
kalu itu yang kakak/abang mintak, nak dikato idaknyo ado, bak idak sampai sedidih,
benang idak sampai sebungkal, ditarik idak babunyi, dipanggang idak babaun, sarap
dibawah tanggo, sampah dibawah kedai. (barang belum diberikan).
Yo macam itu hendak kami, sebelum kami terimo barang itu, tulong ingatkan kami,
esok tagadai petang betebus pagi maklumlah sesak yang sebantan mi , ini lah tando
kasih dari kami '"'sebentuk cincin emas berat setengah suku" mano pulo tando sayang
dari adik hendak kami pegang.
Anak gadis : Yo kakak/abang ko macam tegesak parang tanggal, sari ado sari
banamo, sari guntur sari putus, sari batepuk telingo angat, tando baimpit sekali yo, ko
dari kami "kain puti bakapalo" bisda dibuat selimut
Akhirnya anak bujang mau mengurak selo untuk pulang, maka berka-to ; "menerai
ujan dimumpo, dipadi menderai jangan, bercerai kito dimuko dihati bercerai jangan".
Demikian bertandang ini berulang-ulang dilanjutkan pulo dengan bermudo (tukar
kain).
Bertandang itu sudah sejak dulu bujang naik kerumah gadis dengan waktu yang
sudah diatur yaitu, dimulai jam 20.00 s/d 22.00 (2 jam) dan sesudah itu orang tua
(bapak) si gadis rnau kembali kerumah untuk tidur.
2. Bersimbat Pantun ( Berbalas Pantun).
Waktu musim turun mengerjakan sawah dan ladang, bujang gadis berangkat keladang
ada yang jalan kaki, naik perahu dan sambil berkayuh seperti di Batang Hari, sungai
Batang Tembesi, disungai Batang Merangin, berbalas pantun.
Pantun-pantun itu oleh bujang gadis dilakukan didalam memantau, berkerinok atau
bertale, baik sedang bekerja maupun waktu pulang kedusun sore hari seperti ;
Pantun dari kelompok anak gadis ;
Kepulau mari kepulau, kepulau ketepian mandi. Bergurau mari kito bergurau,
bergurau sampai hendak jadi. Pantun dari kelompok anak bujang ;

Betung mano elok ditebang


kesitu lentuk kesini dayang
Jung mano elok ditumpang
kesitu elok kemari sayang
Demikian berbalas pantun sambil bekerja atau pulang sore sambil mengayuh perahu
kedusun dan kadang-kadang akibat itu ditambah pulo dengan bermudo.
3. Pelarian/ganti hari mengerjakan sawah dan ladang sendiri berganti hari,
juga terjadi hubungan bujang gadis memantau, karenok dan bertale.
71 4. Ketalang Petang.
Diwaktu ada yang berselang merencam (rnenuga) padi ladang, biasanya oleh yang
berselang diundang anak gadis dan anak bujang beserta tuo, bujang dan tuo gadis.
Pada sore hari dengan dipimpin tuo bujang dan tuo gadis, anak bujang dan anak gadis
berangkat menuju orang berselang ditalang (ladang) ditengah jalan mereka ini
memantau dengan suara yang lantang ; gadis ;
Oooooo dik oh yo dik eh, siupik gadis kerjan, anak orang rumah gedang. Serintik hari
idak hujan, aek dalam melapus padang.
Pantun inio dibalas oleh pihak-bujang ;
Ooooi yodik eh.
penjait pencuke bulan,
tibo bulan patah tigo,
di langit yo lah hujan,
di bumi setitik tiado.
Selain dari rasa malu, juga bisa siang batang siang, tunggul, bisa menengalak,
memasang luka, bisa menjerat mengeriteh bisa menjalo dan bisa mengemudikan
perahu dan patuh dalam adat dan syarak dan bertanggung jawab atas keluarganya.

Disamping itu juga masyarakat Daerah Jambi memberukan batas pemilihan jodoh
sejalan dengan ketentuan adat yang lazim dan katentuan agama yaitu : " adat
bersendikan syarak, syarak bersendikan kutabullah ", syarak mengato adat memakai.

Oleh karena adat yang dijinjing dengan syarak, maka ketentuan itu orang tidak boleh
dengan saudara kandung, bibi, nenek, kakek dan lain-lainnya. Di keluarga batin ada
yang melarang : kawin sepupuh yaitu anak saudara bapak laki-laki, tetapi anak
saudara bapak yang perempuan boleh, dan anak saudara ibu yang perempuan tidak
boleh, tetapi anak saudara ibu yang perempuan boleh.
Kalau seorang mau kawin sepupuh anak saudara bapak yang laki-laki dan anak
saudara ibu yang perempuan, maka adat membolehkan asal membayar penyumbang,
dalam agama tidak melarang dan hal ini tidaklah menjadi pertentangan, karena adat
mengatakan yaitu ; " olah seko dek buck, alah buck dek samo embuh ". 5.
Perjodohan.
Dengan adanya pembatasan pemilihan jodoh, menurut adat kebiasaan pada masa lalu,
ada dibeberapa tempat puak (suku) orang tua anak bujang turun menentukan jodoh
anaknya baik yang bujang maupun yang gadis
ditetapkan (dijodohkan) sendiri sianak tidak boleh memilih atau menolak.
Penetapan jodoh yang semacam ini itu dinakan "Kawin Diajum", hal semacam itu
sering terjadi pula diantara yang tidak setuju dengan penetapan itu, banyak pula anak
bujang dan anak gadis lari kawin menurut pilihannya sendiri, itu dinamakan "Kawin
Lari".
Perkawinan yang di "Ajum", masih terdapat di Daerah Jambi pada keluarga (kalbu)
yang tidak dapat melakukan perkawinan dengan keluarga lain jumlahnya sangat
sedikit dan mereka beranggapan kawin sepupuh itu adalah idel sekali karena pepatah
adat mengatakan ; "
sirih balik kegagang, pinang balik ketampuknya dan padi balik keladung, emas
balik kepuro ", juga tidak menambah pematang sawah dan tidak menambah
periuk nasi, hal semacam ini dianggap melestarikan pertalian darah, harta warisan
dari nenek, datuk-datuk mereka.
Perkawinan atas pilihan sendiri banyak terjadi dalam masyarakat baik dahulu maupun
sekarang, perkawinan semacan ini adalah yang dimulai dari pergaulan bujang gadis,
bermain mato, bertandang, bertukar kain (bermudo), bermudo asal kato mudo dan
disimpulkan dalam kato adat " berusik sirih, bergurau pinang ".
Berusik sirih bergurau pinang itu hanya khusus untuk bujang gadis dan tidak
dibenarkan lagi jantan yang sudah punyo isteri, dan betino sudah punyo suami,
apabila ini terjadi mako kato adat " makan ngacau-ngacau mandi mengeruh-ngeruh ",
hal macam itu dapat menghancurkan rumah tangga mereka, juga dapat mengeruhkan
suasana dalam masyarakat banyak. Diwaktu berusik sirih bergurau pinang itu kedua
belah pihak sudah dapat menyelami pribadi-pribadi masing-masing, disamping itu
pula kedua belah pihak ibu bapak bujang dan gadis, maisng-masing ikut
menperhatikan gerak-gerik, tingkah laku dan budi pekerti anak-anaknya.
Apabila pergaulan bujang gadis sudah melekat pada kedua belah pihaknya maka itu
yang dikatakan dalam adat :
Sirih sudah memabukkan, pinang sudah mengemalan, pandang sudah bertumbuk, hati
sudah terpaut."
Disasak layu dianggo mati
pandang mato idak bulih dikisah
pandang hati idak bulih dialih.

Kedua belah pihak orang tua anak bujang dan gadis yang sudah mabuk cito itu dan
yakin dengan gerak-gerik, tingkah laku itu bak kato pepatah adat ; kilat kapaklah
ketangan, kilat beliunglah kekaki, kilat cerminlah kemuko.
D. PENETAPAN JODOH ( MASA BERUNDING ).
1. Tegak batuik duduk bertanyo (sirih batuik pinang betanyo).
Perkenalan bujang gadis melalui pergaulan yang diawali dengan berusik sirih
bergurau pinang atau bermudo, merupakan proses awal terciptanya hubungan yang
akrab, serasi, persesuaian antara bujang dan gadis untuk menentukan atau
menetapkan pilihannya menuju jenjang perkawinan.
Pilihan dimaksud disampaikan kepada kedua orang tua dan nenek mamaknya masing-
masing. Berdasarkan pemberitahuan itu orang tua pihak laki-laki mengirim
menti/umaik/utusan tidak resmi (laki-laki atau perempuan) untuk meninjau kepihak
keluarga sigadis, menceritakan bahwa antara anak bujangnya telah ado hubungan
cinto- dengan anak gadisnyo. Pada kesempatan itu juru bicara atau mentidari pihak
bujang memulai pembicaraannya, yang intinya kira-kira antara lain :
Assamu'alaikum Wr.Wb.
Lebih dahulu mohon maaf andaikato kedatangan kami menggangu kesenangan ibu
dan bapak. Kami datang kerurnah yang berpagar dengan adat dan halaman yang
bersapuh dengan undang, diutus oleh kakak atau adik kami nama ......... suami isteri,
jjntukjnenyampaikan sebatang tando datang untuk bertanyo. Pada waktu beberapa
nan silang anak kemanakan kanii_bernamo_.-L.^....jufifiaYp sudah berusik sirih
bergurau pinang dengan anak kito dirumah ini yang bernamo .........
Kemenakan kami ruponyo hatinyo sudah terpaut, pandangnyo sudah tertumbuk nan
idak dapat dialih lagi pado anak kito yang ado dirumah ini, yang bernamo ........ lo
ingin berkampuh nak lebar Beruleh nak panjang, kebukit nak samo mendaki,
kelurah nak samo menurun dengan anak kito dirumah
Oleh karena itu sekironyo idak akan kecik tua nan gadang, idak akan menjadi ampo
padi disawah, apokah ado hal yang menghalang, pagar yang mengempang, unak nan
mangait, kami akan datang untuk melamar anak kito dirumah ini untuk kami
dudukkan dengan kemenakan kami yang kami sebut tadi. Sebagai tando kami lah
datang bertanyo, kami serahkan bungo nan bertangkai, buah nan bertampuk kepada
nenek mamak sambil menyerahkan tepak sirih.
Pihak sigadis menjawab dengan mengucapkan kato-kato yang intinya berbunyi
demikian :
Nenek mamak sebelah pihak yang kami hormati, jiko itu maksud kedatangan
nenek mamak kerumah kami ini, yaitu menanyakan keadaan anak gadis kami
yang umurnyo baru setahun jagung, darah baru setumpuk pinang dan akalnyo
belum setiti tunjuk, anak kami tersebut kok kecik belum bernamo, gedang belum
bergelar dan belum ado sirih batuik pinang bertanyo.Oleh karena itu kedatangan
nenek mamak ini, kok kecik tapak tangan, niru kami tadahkan, kok kecik niru
halaman kami bertangkan untuk menerima kedatangan nenek mamak. Bagi kami
tampaknyo tuah akan datang, untung akan tibo, kereno kalu anak kami hanyut lah
ado nan meneranginyo dan kalu tenggelam lah ado nan menyelaminyo. Tetapi
nenek mamak anak memanglah anak kami waris ado nenek mamaknyo. Kami
hanyo masuk petang ngeluar pagi, haus diberi aek, lapar diberi nasi, bingun
dicerdihkan. Tetapi yang makan menghabisi, netak memutuskan adolah nenek
mamaknyo. Oleh karena itu hal ini akan kami kemukokan kepado nenek
mamaknyo nanti, samo-samolah kito berdoa supayo jangan ado batang melitang
pagar yang mengempang dan unak yang mengait. Kami harapkan nenek mamak
bersabar menunggu kabar -dari kami dalam beberapa hari yang akan datang.
2. Ikat buat janji semanyo.
Kelanjutan pengembalian tapak sirih dalam keadaan kosong oleh pihak nenek mamak
sigadis, ibu dan ayah sibujang memberi tahukan kepado nenek mamak dan
keluargonyo yang duluyo ikut bernusyawarah untuk mentukan waktu penyampaian
pinangan Sebelum menyampaikan pinangan, nenk mamak dan orang tuo sibujang
bermusyawarah untuk membicarakan tentang adat yang akan diisi dan lembago yang
akan dituang, sebab kalu menyimpang dari adat kebiasaan yang dipakai oleh orang
banyak, akan menjadi buah bibir orang sekampung. Dalam hal ini yang harus dijago,
adat jangan kupak, lembago jangan sumbing.
Berhubung pinang sudah dapat diketahui akan diterimo oleh nenek mamak dan urang
tua pihak gadis, mako nenek mamak pihak sibujang yang akan menyampaikan
pinangan langsung membawa tando betunangan. Pada waktu menyampaikan
pinangan mesti membawa tepak sirih pinang dan ditambah dengan selembar kain,
selembar dasar baju, sebent'uk cincin belah rotan terbuat dari emas murni yang
beratnya sesuai dengan kemanpuan orang tua sibujang dan sesuai dengan
tingkatannyo.
Dalam masa bertunangan perbuatan yang terlarang menurut aturan adat jalan sudah
berebak, pinang sudah direko, pucuk tinggi sudah diketung, batang gedang sudah
dikepang.
Bagi pihak sibujang dilarang memegang atau menodai anak gadis lain atau
mengganggu isteri orang. Jiko hal ini terjadi mako tando bertunangan hilang (setelah
benar-benar terbukti kesalahannyo).
Bagi pihak si gadis yang melanggar ketentuan adat, mako tando bertunangan so balik
duo (setelah terbukti kesalahannyo). Tidak tawar diatas tawar, tidak pinang diatas
pinang dihukum sesuai dengan tingkatan adat.
Waktu menerimo pinang pihak yang menunggu dan pihak yang datang telah duduk
pado tempat yang disediokan atau ditentukan.
Dalam kesempatan itu masing-masing juru bicara menyampaikan maksud dengan
pembicaraan atau ungkapan antara lain sebagai berikut :
Laki-Iaki : Assamu'alaikum Wr.Wb. Perempuan : Wassalammu'alaikum Salam
Wr.Wb.
Laki-laki : Nenek mamak, tuo tengganai, alim ulama, cerdik pandai serta segalo
kito nan ado didalam rumah nan sebuah iko, nan kecik idak kami sebut namonyo,
nan gedang idak pula kami imbau gelarnyo. Adolah kedatangan kami nan seado
iko, iyolah nak nunpang berkato agak sepatah, berunding agak sebarih. Kalu
diluluskan nenek mamak, syukur alhamdulillah, kalu idak terimo kasih.
Perempuan : Tunggu dulu nenek mamak, sebelum kito becakap beran-dai-andai
bagi lurus kami bertanyo, siapo nenek mamak yang datang iko? Kalu kedatangan
nenek mamak idak nak membao cekak dan kelahi, idak membao tail dengan neraco,
yo kami terimo dengan senang hati, kecik telapak tangan niru kami tadahkan, begitu
nian suko hati kami menerino kedatangan nenek mamak, kini cubolah nenek mamak
terangkan.
Laki-laki : Kalu sembunyi itu kato nenek mamak,io itulah kato nan sebenar kato.
Adolah kami nan datang iko, daatng dari ....... disuruh ayam nan berinduk, serei nan
berumpun, jadi
uleh jari sambungan lidah, iolah mencari rumah nan betengganai, luak nan
berpenghulu, kampung nan betuo, negeri nan bebatin, rantau nan bejenang, alarn nan
berajo, yaitu saudara kami nan bernamo ...... suami isteri serto
dengan kaum kerabatnyo. Menurut kabar nan dibao angin, iolah iko rumahnyo. Kami
iko ibarat kudo pelajang bukit, ibarat biduk sampan pelayangan, disuruh pergi
diimbau datang menyampaikan nan teniat dihati nan tacinto diba-dan, idak kami nan
membao cekak dengan kelahi, idak membao cupak dengan gantang, kami tau dikadar
diri.
Perempuan : Terimo kasih syukur alhamdulillah, atas segala keterangan nenek
mamak. Kini cubalah terangkan apa maksud nan nak disampaikan itu.
Laki-laki : Macam iko nenek mamak, idak dikatokan nenek mamak pun lah tahu,
bahwo anak buah anak kemenakan kami nan bernamo ........ selamo iko iolah berusik
berusik sirih
bergurau pinang dengan anak buah anak kemenakan nenek
Perempuan
Laki-Iaki
mamak nan bernaino ....... binti ..... kinitu namonyo ..........
ikatana kasih sayang antaro mereka nan berduo ini lah meningkat ingin nak hidup
sebandung. Apo mako kami katokan semacam itu oilah dek kareno anak buah anak
kemanakan kami lah tibonyo kepado kami nan tuo-tuo mengatokan lah ingin nak
meniru meneladani urang nan banyak. Kok tajelonyo nak panjang atau jadi penyebab.
Nak berumah tanggo dengan anak buah anak kemanakan nenek mamak.Sebenarnyo
malu nian kamidatang kesiko, raso indak tapijak jiped.
matohari. Tidak alue makan perut, idak layak bekal judu, anak pungguk ingin
dibulan. Tetapi nak kami apokan nenek mamak, atilah samo bekutuk, matolah samo
besetan, malu-malu muko diusap, pedih-pedih hati ditekan, sampai jugo kami
kerumah nenek mamak, apokah anak buah anak kemenakan nenek mamak itu, ibarat
bungo lah ado urang nan memegang tangkainyo, kalu belum ado bolehkah kami nak
memegang tangkainyo.
Dari hal maksud nenek mamak itu kami ucapkan terima kasih dan syukur
alhamdulillah Sebelum pertanyaan nenek mamak kami jawab, cubo neenk mamak
pikirkan nian habis-habis, imatkan nian sudah-sudah, ;angan berpikir sekali lalu, imat
sekali sudah, isuk tibo dibukit cinto diaek, tibo dilurah cinto diangin. Ee kalu
pandangan jauh lah dilayangkan, pandangan dekat lah ditukikkan, kok luko idak
merasa pedih, kok mati idak merasa menyesal, sanggup hilang berani mati, so karena
nenek mamak duo tigo kehen-dak kami. Ulak dari itu kok io cakap nenek mamak
itu dari mulut sampai kehati, kami io nan bapecit berpegang tando, kok jauh dapat
ditunjuk, kok dekat dapat dirabo (dikekap)
Nampaknyo nenek mamak suku nan sebelah kampung nan sebagi, kurang percayo
pado kami takut terbudi ditempat nan nyato terkicuh ditempat nan terang.
Jangan cemeh nenek mamak, lah kami agak dulu baru diagih, lah dienjek baru dititih,
kok luko kami idak meraso pedih, kok mati kami idak menyesal lagi. Tadi nenek
mamak mengatokan, kok kecik nak bersimpuh tando, kok gedang besipuh cirih,
memang itu nian maksud kami daatng kemari, kareno adat mengatokan :
Gedang kulit berkelikir akar Gedang silang lantak terbajur. Gendang urang bertindih
tando Ikolah dari kami, harap diterimo.
Perempuan : Sebelum tando nenek mamak kami terimo atau pegang, baik jugo
kito tentukan caro peletak iko, apokah kito adokan ikat buat janji semayo, maklumlah
anak mudo, tumbuhnyo membuat salah, baik salah pado nan jantan atau salah pado
nan betino macam mano kito membuatnyo. Laki-laki : Benar jugo kato nenek
mamak itu, kalu macam itu kito balik bae kepado peraturan adat bertindih tando. Kok
salah pada nan jantan, itu namonyo tebu setuntung di german gajah; eme telucir balik
mandi, artinyo tando sijantan hilang sajo. Tumbuh salah pado nan betino, itu
namonyo balik motong, artinya sigadis wajib mengembalikan tando sibujang so balik
duo. Kalu sepakat barulah kito bertukar tando.
Perempuan : Yo peraturan itulah nan kito pakaijangan pulo kito mencari
peraturan lain, itu mengupak adat menyumbing lembago namonyo, mengajak jalan
nan lah pasa, menukar cupak dengan gantang, keno tegur keno sapo kito, disapo
melekat demam, disapo rajo kito berhutang, disapo antu kito mati
Laki-laki : Nampaknyo kiniko, kok kato lah seiyo, kok runding lah sepakat, jangan
lagi direntang panjang, elok dikepal supayo singkat.
Perempuan : Betul jugo kato nenek mamak, marilah kito tutup perundingan kito
sambil berserah diri kepada Allah SWT

E. SERAH TERIMO ANTARAN ADAT.


Memenuhi ketentuan adat nenek mamak pihak sibujang berkewajiban untuk mengisi
adat dan mengantarkannyo kerumah pihak si gadis, sebagaimano ditegaskan dalam
kato adat yang berbunyi : titian terah betanggo batu, lantak nan dak tau kabur, jalan
beramba nan ditempuh, baju bajahit nan dipakai, lah lapuk dek memakai, lah kumal
dek menyesal, seperti kato adat :
Cincang pelupuh kulit baru
Ramo-ramo di rumah tinggal
Lusuh-lusuh diperbaru
Adat lamo jangan tinggal. •
Sebelum pengisian dan pengantaran adat, nenek mamak kedua belah pihak
bermusyawarah untuk membicarakan : adat yang akan diisi, hari mengantar adat atau
belanjo atau mengantar serah, hari akad nikah dan hari peresmian perkawinan.
Ukuran taat tidaknyo seseorang akan adat, bukan ditentukan oleh besar kecilnya
antaran, tetapi ditentukan oleh kepatuhannya memeh^nuhi dan melaksanakan
tuntutan adat. Dalam seloko adat digambarkan, yang berbunyi : tilik aek pandang
tubo, pandang lubuk pandang ikan, pandang tubo ikan kan mati, kecik pinang kecik
upihnyo, gedang kayu gedang pulo baahnyo.
Perlengkapan alat-alat kamar tidur sekarang, seperti tempat tidur, kasur, kelambu dan
lain sebagainyo tidak termasuk adat. Pemenuhan alat perlengkapan ini merupakan
kewajiban bagi seorang suami terhadap isterinya.
Tepat pada waktu yang telah ditetapkan bersamo oleh nenek mamak keduo belah
pihak, nenek mamak pihak sibujang beserta rombongan berangkat membawo barang-
barang antaran belanjo atau antaran serah kerurnah si gadis.
Bahan antaran itu terdiri dari :
a. Antaran Adat ( Pihak Laki - laki ).
Antaran adat dimusyawarahkan atau dibicarakan dalam pertemuan nenek mamak atau
temu ahak atau temu adat (antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan)
Syarat antaran, antara lain : 1). 3,5 tali emas.2). Bedil selaras (kecik kawan mencari,
gedang kawan menjemput).3). Ayam tujuh ekor (anak elang nan tujuh).
4). Tombak sebatang (titian jalan kejenang, tanggo jalan kerajo).5). Timbang emas.6).
Pakaian pesalinan wanita serba duo7). Kerbau sekok, beras seratus, kelapo seratus.8).
Sirih begagang.9). Pinang betandan.
Catalan :
Antaran adat tersebut diatas disesuaikan dengan tingkatan kemam-puan keluarga
pihak si bujang atau kesepakatan kedua belah pihak.
Adapun antaran minimal Adat Jambi sebagai berikut :
Lek balik tengganai ayam sekok selaras segantang dan selemak semanisnyo.
Lek balik kenenek mamak kambing sekok beras duo puluh gantang dan selemak
semanisnyo.lek balik kenegeri kerbau sekok, beras seratus gantang dan selemak
semanisnyo.
b. Lembago Dituang ( Pihak Perempuan ).
Lembago dituang dalam kato adat, seperti rumah nak gedang, lapik nak cabik, tungku
nan caka dan pecah belah Disamping adat, dan
lembago tersebut diatas masih ado antaran lainnyo yaitu : uang tunai untuk macam-
macam biaya.
AJat-alat kainar tidur, emas kawin jika langsung akad nikah pakaian pelangkah jika
melangkahi atau mendahului kakak-kakak sigadis yang belum kawin.
Penyerahan dan penerimaan antaran adat dipimpin oleh nenek mamak masing-masing
pihak dan disaksikan beberapa orang lainnya. Pada hari penyerahan prabio, hari itulah
pengenten betino ditimbang dalam pengertian begantang nak samo penuh, bebilang
nak samo genap, hal itu berlaku bagi .
1). Anak rajo.
2). Anak berajo.

3). Orang yang berkemauan, bak pepatah adat :


Idak bereh antah dikisik
Idak kayu jenjang dilerak
Ditakik darah ketiang
Didalak kutu ke ijuk
Taub betaup bak benak ketam
Tudung menudung bak daun sirih.

Ungkapan percakapan pada waktu serah terimo adat dan lembago ini, dipakai seloko
adat anatara lain sebagai berikut :
1). Pihak Laki-laki : Pengantar.
2). Pihak Perempuan Penunggu.
Acara : Serah Terima Antaran Adat Menurut Adat Daerah Jambi.
Pengantar. Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Manolah segalo nenek mamak, tuo tengganai, alim ulama, cerdik pandai, serto
nan tinggi tampak jauh nan dekat jolong basuwo, nan kan menapik mato pedang,
nan kan menengadah mate hari, nan bekto lebih sepatah, berjalan dulu selangkah
serto segalo kito nan ado dirumah nan sebuah iko rumah nan diateh bertutup
bubungan perak, dibawah beraleh sendi gading, rumah nan berpagar dengan adat,
laman barsapu dengan undang, tepian nan bepagar dengan baso, selarik bandul
diluar, selapih bandul didalam, nan kecik idak disebut namo, nan gedang idak di.
panggil gelarnyo. Kami tundukkan kepalo nan satu, kami susun jari nan sepuluh,
ampun kami pado nan banyak, ampun berubu kali ampun, kami nak berkato agak
sepatah, berunding agak sebaris kareno gedang nian hajad nan akan kami
sampaikan yaitu sesuai dengan pantun seloko : nak ngudut idak berapi Rokok
nipah sudah digulung Gedang maksud dalam hati Cakap sepatah belumlah
langsung
Penunggu.
Nenek mamak nan sebelah beserto arak dengan iringnyo dan sti hadirin yang kami
hormati, yang kecik idak disebutkan namonyo gedang idak pulo disebutkan
gelarnyo.
Assalamu'alaikiini Wr.Wb.
Kedatangan nenek mamak yang besertokan arak dengan iringiivo kepak dengan
rambainyo, k,ok berlayar tidaklah salah arah serto kok membadik tidaklah salah
alamat, memanglah lubuknyo jalo terhambu, dan lah rantaunyo rambang tersirak,
bagi kami nenek mamak nan sebelah kok bermimpi padi lah berdendam langkiang,
jadi tidaklah terkejut kami ditimpo kasau dan tidak tergemang ditimpo upih,
memanglah ditunggu dengan muko yang jernih, hati yang suci kok laman lah
disapu, tanggo telah ditegak serto pintu lah terbuka, nan kini nenek mamak nan
sebelah kok yang ditunggu telah datang dan yang dinanti telah tibo, mako sambil
kilo berteduh dibawah aur, sambil berjuntai diatas batang, dengarlah pulo pantun
seloko kami :
Nak ngudut idak berapi Rokok nipah sudah digulung Kok gedang maksud dalam
hati Cakap sepatah silokan dilangsung

Pengantar.
Nenek mamak dari suku nan sebelah, kampung nan sebagi, adopun kami nan
datang iko ibarat biduk sampan pelayangan. ibarat kudo pelajang bukit, sebagai
ulas jari sambungan lidah dari serai nan berumpun, ayam nan berinduk yaitu
sekeluarga besar
Kami datang dari lubuk nan idak benamo, rantau nan idak bergelar, bukit tinggi
nanlah kami daki, bukit nan idak ditepung angin, lurah nan dalam lah kami
turuni, lurah nan idak diturukaek, rantau batu lah kami renangi, laut sakti lah
kami layari, empang batu lah kami kalik, empang batang lah kami penggal,
empang unak lah kami rateh, dik nak mencari jejak nan tetukik, lamo, runut, nun
terentang sejak bahari yaitu rumah bapak kami.
Kiniko ibarat orang menembak lah tepek pulo alamatnyo, orang memikat lah
teraning bunyi kukuknyo, mako kami nak meyampaikan apo nan terhajat dihati,
nan terniat didado.
81 Penunggu.

Kalau bak itu kato nenek mamak nan sebelah, kok pedang lah diserah kepado
pendekar, manis lah diserah kepado gulo, teranglah diserang siang dan kelam lah
di kembalikan kepado malam dan waktu jugolah kami serahkan kepado nenek
mamak, silokanlah.

Pengantar.
Kalau sembunyi itu kato nenek mamak, itulah kato sebenar kato, kok bertanyo
selepeh litak, kok berunding sesudah makan, dik kareno kami iko ado membawo
sirih agak secabik, pinang agak sekacik, marilah samo-samo kito makan sirih agak
sekapur, kito isap rokok agak sebatang, silokan nenek mamak sambil mendengar
serambah anak mudo pantun orang tua :

Gemetup bunyinyo gendang Gendang sebo Muara Jambi Sirih kelukup pinangnyo
mumbang Itulah yang ado pado kami

Penunggu.
Nenek mamak nan sebelah, bukanlah kasih yartg hendak dibaleh, dan bukan pulo
dune yang hendak diganti, tetapi sebagai penunggu yang tibo dan penanti yang
datang, maka ini pulolah sirih dari kami, juga disetokan dengan pantun sekolo :
Gemutup bunyinyo gendang Itu tandi larak nan datang Sirih kelukup pinangnyo
mumbang Marilah samo-samo kito makan

Pengantar.
Nenek mamak dari suku nan sebelah, kampung nan sebagi, adat padang
kepanasan, adat bumbun menyelaro, adat tuo menahan ragam, adat mudo
menanggung rindu, adalah anak buah kemenakan kami nan bernamo ........ lah
dicubonyo berusik sirih, bergurau pinang dengan anak
buah kemenakan nenek mamal nan bernamo .......... berusing sirih nyolah
dimabuk sirih, bergurau pinang nyolah dimalan pinang, dik lamo kelamo
nampaknyo idak lagi nak berusik sirih bergurau pinang, kok kapaknyo yo nak
darah, kok cencangnyo yo lah nak daging, kok telintang nyolah nak jadi pengapit,
kok tajilonyo yo lah nak jadi pengebat. ingin hidup serumah tanggo dengan anak
buah kemenakan nenek mamak.
Dik kami nan tuo-tuo lah dicari kato sepakat. putus mufakat cubo diajukan
pinangan, eh untung lagi kan berimbau, parajo lagikan berseru, pinangan kami
diterimo, ulak dari itu lah diadokan ikek buat janji semanyo antara suku na duo
belah pihak, kampung nan duo bagi
Dihitung harilah cukup, dihitung bulan lah genap, lah tibo pulo pado hari baik
katiko ilok, kok janji nak ditepati, kok ikrar nak kami muliokan, adopun antaran
kami iko sesuai dengan adat nan pasih biaso nan tarico tapakai di Pucuk Jambi
Sembilan Lurah terdiri dari ,
- Kerbau seekor.
- Beras seratus gantang.
- Emas belahan tujuh.
- Tombak sebatng.
- Bedil selareh.
- Ayam 7 ekor ( anak lang 7 ). . Selemak semanisnyo.
Ikolah yang disebut masa-k setandan, bereneh setanduk, iko pulo yang kami
antarkan dan serahkan kepada nenek mamaak, ulak dari pado itu maklumlah dik
banyak kamilah ragu, dik lamo kamilah lupo, mungkin ado yang masih kurang
atau salah menurut adat lembago kito disiko, mohonlah diperikso maklumlah bak
kato seloko ; " Kurang sisik banyak tunas, kurang siang rumput menjadi ", atau
kito mentakan petunjuk dari nenek mamak selaku penengah pada upacara serah
tarimo pado hari iko.
Penunggu.
Nenek mamak sebelah, memanglah terang dik lareh dan nyato dik alam, bahwa
kito dari suku keduo belah pihak, semenjak tekalo lamo dizaman tekalo bari, ado
nian kito berikek berbuatan, bajanji bersemayo sehubungan dengan maksud anak
buah kemenakan nenk mamak yang ingin duduk suku semendo dirumah nan
sebuah iko yaitu mengisi adat dengan lembago, adat yang idak supak, lembago
yang idak sumbing menurut baju berjahit yang dipakai, jalan berambah yang
ditempuh disepanjang Pucuk Jambi Sembilan Lurah iko, yang mano pado hari iko
nenek mamak nan sebelah, atas ulur antar dari nenek mamak iko, jiko manis
belumlah dapek kami telan dan jiko pahit belumlah dapek kami luwah, kok aek
belumlah dapek kami minum dan nasi belumlah dapek kami makan karena
dirumah nan sebuah ini kok tinggi ado yang mengadahnyo dan rendah ado pulo
yang mengutungnvo, serto kok bakato masih ado yang dulu sepatah serto jiko
berjalan masih ado yang dulu selangkah, yang memakan habih dan meminum
ngering, yaitu para nenek mamak sesepuh adat yang merupokan kok tinggi beserto
pucuk, kok gedang beserto batang, oleh sebab itu kami mohon kepado nenek
mamak nan sebelah yang dianduk waktu seketiko.
Kepado segalo nenek mamak sesepuh adat yang berbebat bak catur dan belang bak
barau, pucuk ibarat jalo dan siring ibarat pukek, serto yang tinggi serto pucuk dan
gedang beserto batang, kami susun jari nan sepuluh dan ditundukan kepalo nan
sebuah diiringi sembah nan sebuah yaitu ulur antar serah terimo dari adat
lembago yang tertuju kepado rumah nan sebuah iko, mengingat kami nan pado
hari ko adolah sebagai kudo pelajang bukit, ibarat biduk sampan melayang
sebagai seiigi buang-buangan, dipanggil datang, disuruh pergi, oleh karena itulah
kami serahkan kepado sesepuh adat yang kami muliokan.

Penengah ( Pembicaraan dari sesepuh Adat ).


Macamko nenek mamak nan sebelah, seseai dengan sembah naik tita turun yang
telah samo-samo kita dengar tadi bahwo tidak ado lagi tanah yang bebingkah tapi
yang ado tanah yang terpayo, tidak ado lagi kato yang bertingkah tapi yang ado
runling selukur. jugo tidak ado lagi dahan yang menimpo kuduk dan ranting yang
menucuk mato, mako ulur antar serah terimo dari nenek mamak nan sebelah pado
hari iko, dapatlah kami terimo dengan muko yang jernih hati yang suci
dipersilokan kedua belah pihak nenek mamak melakukan serah terimo
Pengantar.
Yang kini nenek mamak nan sebelah, bahwo ulur antar kami pado hari iko telah
diterimo berarti lepas kebek kareno diungkaf dan lepas hutang kareno dibayar dan
oleh sebab itu kami ucapkan terima kasih, namun dari itu terimo jugolah pantun
kami yaitu :
Dari buat ke Batang Asai Singgah bermalam di dusun Karak Gawe adat sudah
selesai Marilah masuk kegawe syarak
Yo nenek mamak nan sebelah, kok adat lah diisi, lembagolah ditu-ang oleh nenek
mamak, mako dengarlah pulo pantun seluko dari kami sebagai penutup kasih
pengunjung sayang yaitu ,
Dari Buat ke Batang Asai Perahu sarat kareno muatan Gawe adat sudah
diselesaikan Gawe syara' pun ndak kito lakukan
* Kedua suku bersalaman dan selesai
Dialog : Antara Pengantar dan Penerima antaran Adat Perkawinan Daerah
Jambi.
1. Salam selamat berjumpa
2. Tanggapan terhadap perkenalan pihak pengantar.
3. Tanggapan terhadap maksud kedatangan pihak pengantar.
4. Ungkapan dalam menerima penyerahann adat
5. Ungkapan dalam menerima calon mempelai
6. Berjabatan tangan
7. Selesai.
1. Assalamu'alaikum Wr.Wb.
2. Nenek mamak, Tuo Tenggganai, Alim Ulama. Cerdik pandai nan tinggi
tampak jauh, nan dekat jolong basuo, nan bakato lebih sepatah, berjalan duiu
selangkah pado rumah nan sebuah iko, selarik bendul diluar, selapih bendul
didalam, nan kecik idak kami sebut namonyo, nan gedang idak pulo kami panggil
gelarnyo. Ampun kami pado nan banyak ampun seribu kali ampun. kami susun
jari nan sepuluh, kami tundukan kepalo nan satu. Izinkanlah kami nak melakukan
penerimaan terhadap mendah nan baru datang.
Nenek mamak Tuo Tengganai dari suku nan sebelah kampung nan sebagi. Setelah
mendengar perkenalan nenek mamak tadi barulah senang rasonyo hati, terang-
kiro-kiro. Kironyo nan datang iko iolah nan kami tunggu selaut selamo iko.
Rasokan batukuk gadangnyo bada, rasokan bertambah tingginyo tubuh,intan jugo
nan bertambah tua, gunung jugo nan bertambah tinggi, dik kareno senangnyo hati
kami menerimo kedatangan nenek mamak, kecik tapak tangan, niru kami
tadahkan, kecik niru laman kami sapai, kok bermimpi emeh kami lah bergantung
puro, kok mimpi padi lah bergantang rangkiang. kiniko kok menembak nenek
mamak yolah tepat pado alamatnyo, kok memikat yolah teraning bunyi kukunyo,
yo ikolah rumah Bapak kito ...... ulak dari pado itu. barangkali ado kato atau pesan
nan nak
disampaikan, persilahkan.
3. Terimo kasih nenek mamak :
Kalaulah itu maksud dan tujuan kedatangan nenek mamak, kendak balam nian
padi rebah, pucuk cinto ulam tibo aek dicinto pancuran terbit, so kehendak nenek
mamak duo tigo kehendak kami. Kini ko kedatangan nenek mamak nak menepati
janji lamo. Bukannyo tuah lagi bagi kami, tetapi lah pendapat. Walaupun macam
mano idak pulo kami takut takicuh ditempat yang nyato, tabudi ditempat nan
terang, tetapi supayo tersirak kebumi terbidang ke langit. nak terang di lareh, nak
nyato di alam, bagaimano kalau kami minta kepado nenek mamak untuk
mengetengahkan antaran tersebut dimuko kito nan hadir iko.
4. Nenek mamak, tuo tengganai dari suku nan sebelah kampung nan sebagi.
Bersabar nenek mamak sebentar, dik kareno kami iko merupokan ulasan jari
sambungan lidah, cencang idak memutas, makan idak mengabih, ado nan bakato
lebih sepatah berjalan duiu selangkah dari kami, tunggu kami berunding duiu
..........
Macam iko nenek mamak, sesudah kami berunding baiyo- baidak, nampaknyo
masih ado meraso kesat bak daun pimping dek bak daun sirih, lagi nak berfikir
duiu.
5. Terimo kasih
Benar jugo kato nenek mamak itu, kala dinataro kito suku nan duo fihak,
kampung nan duo bagi bao berunding payah kito menentukan bilokan selesainyo.
Kalau tadi nenek mamak mengusulkan agar masalah iko kito naikkan kepado nan
arif bijaksano, belum pergi nyolah balik, belum diimbau nyolah tibo, iolah nenek
mamak yang duduk sebagai penengah dari perundingan kito hari iko, kamipun
sangat setuju.
Setelah mendengar penegasan dari nenek mamak selaku penengah tadi, mako
tidak ado lagi alasan bagi fihak kami untuk menangguh-kan penerimaan antara
nenek mamak tersebut, dengan senang dan dengan senang hati kami ferimo
antaran nenek mamak iko.
6. Terimo kasih.
Sebentar iko kami terimo usul dari nenek mamak suku nan sebelah kampung nan
sebagi, agar sepasang calon mempelai dinikahkan petang hari iko jugo, kamipun
berpikir semacam itu jugo.
Serahkanlah anak kemenakan nenek mamak kepado kami, terimo kasih, dan
berjabat tangan.
7. Selesai.
Sesudah pelaksanaan ulur antar Serah Terimo Adat Perkawinan itu biasanya ada
dilangsungkan pula "Akad Nikah" oleh pihak syarak
Jugo oleh pihak perempuan nenek mamak mengumumkan pula bahwa antaran itu
adalah diserahkan mentah dan akan dimasak pada hari ......... tanggal ......... maka
sekaligus mengundang nenek mamak
keluarga lakL-laki untuk hadir pada hari labuh lek itu.
D. AKAD NIKAH.
1. Akad nikah adalah pekerjaan syarak
2. Akad nikah ijab kabul duduk wali pegawai nan betigo, mahar dibayar sabit
saksi.
Catatan.
1. Sebelum akad nikah dilangsungkan ada pertanyaan dari pihak calon
penganten, yaitu nenek mamak bertanya dari pihak calon penganten laki-laki;
a. Masalah agama.
b. Masalah harta bawaan.
Hal ini, dapat juga dilaksanakan pada waktu selesai antaran adat ; mengenai mas
kawin (seko), apa dalam bentuk uang atau barang (ditentukan oleh calon
Pengantar perempuan), sering terjadi, uang.
emas, dan barang - barang yang ada sangkut paut dengan agama seperti
seperangkat alat Sholat.
Waktu akad nikah adalah ditentukan oleh kedua belah pihak calon penganten dan
disesuaikan dengan ikat buat janji semayo.
2 Calon penganten laki-laki bila sudah akadnikah boleh langsung tinggal
dirumah mertua atau kembali kerumah orang tuanya sampai diantar labuh pada
hari labuh lek.
3 Bila sudah selesai pelaksanaan pernikahan ini. maka kedua insan tersebut
dipanggil menurut adat Jambi;
Penganten perempuan : dipanggil : MUNTING BATING Penganten laki-
laki : dipanggil : MUNTING JANTAN
MENTI BEJALAN DARI PIHAK MUNTING BATING
Dari pihak munting batino mengirim menti bajalan kerumah munting jantan,
maka terjadilah percakapan Menti munting Batino : Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Kepado segalo nenek mamak suku nan sebelah, adapin kami nan datang ko, iolah
sambungan lidah dan uleh jari Bapak kito, duo laki isteri, karena ado janji semayo
kito.
Menti munting Jantan : Wa'alaikuniussalam Wr.Wr.
Terimo kasih nenek mamak suku sebelah kampung nan duo bagi Memang
kedatangan nenek mamak lah lamo kami tunggu, kareno memang ado ikek buat
janji semayo kito nan lah sampai.
Menti munting Batino :
Kalau macam itu nenek mamak, sebelum maksud karrii sampaikan, mako menurut
adat kito yang biaso, makan sirih kito dulu agak sekapur, merokok kito dulu agak
sebatang, ikolah sirih kami beserto rokok.
Menti munting Jantan :
Yo nenek mamak idak salah, memang menurut adat, biaso berunding sudah
makan, batanyo lepeh litak, mari kito makan sirih dulu beserto mengisap rokok,
ikonyo pulo sirih dan rokok kami.
Menti munting Batino :
Baik nenek mamak, sebelum sirih kita makan, rokok kito isap, kami iring dengan
sebuah pantun seluko ;
" Sirih kuning didalam nampan, semak jerami lah menjadi sesap, sesaplah
menjadi rimbo pulo.
Sirih kami yo minta dimakan, rokok kami ininta diisap, pangkal sembah mulo
kato".
Menti munting Jantan :
O..... nenek mamak, nampaknyolah lamo kito tu, namun begitu eloknyo tukuk tu
batimbal, gayung tu basambut :
" Sirih kuning didalam nampan, semak jerami lah menjadi sesap, sesap lah
menjadi rimbo gano.
Sirih nenek mamak lah kami makan, rokok lah kami isap, tandonyo sembah lah
kami terimo"
Nampaknyo kok litak nenek mamak lah hilang, penat lah lepeh, baiklah
sampaikanlah maksud kedatangan nenek mamak.
Menti munting Batino :
Kato itu nan kami tunggu nenek mamak. Adopun kedatangan kami ko, yo bak kato
serambah kito, ibarat elang beranak mudo, belum dapek belum balik, belum
menggunggung belum pulang, kami disuruh menjemput, yo jeput kami jeput tabao,
yang kami jeput iolah anak kemenakan kito bernamo ........
beserto induk dan bapaknyo basamo kaum kerabat ditambah dengan nenek mamak
yang ado ko. Menti munting Jantan :
O. yo nenek mamak, memang lah kami dugo sejak semulo baso jeput nenek mamak
ko jeput tabao, kinitu bagi kami idak ado lagi halang rintangnyo, idak ado lagi
punggur yang menimpo kuduk, idak ado pulo ranting yang melanting mato, mako so
maksud nenek mamak, duo kehendak kami, kami terimolah jeput nenek mamak tu,
iko nyo anak kemenakan nenek mamak.
Munting Jantan (penganten laki-laki) diarak dengan kompangan serta nyanyi-nyayi,
setelah sampai dihalaman munting betino, mako rombongan disambut dengan pencak
silat (Gayung Pesambut) oleh keduo belah pihak dengan gendang tawak-tawak
beserto sorak sorai. Setelah sampai dihalaman rumah munting betino, mako terjadi
pulo " kato bejawab " antaro keduo belah pihak nenek mamak.
Pihak nenek mamak yang datang membawa rombongan munting jantan.
Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Kepado segalo nenek mamak, adopun kami yang datang ko iolah datang beserto
ayam berinduk, serai berumpun. mendaki bukit nan tinggi, menurun lurah yang dala,
meniti larik menempuh jajuo hendak menuju rumah bapak hendak menepak janji
semayo ikat buat kito, ingin kami batanyo dulu apolah buleh kami sampaikan hajat
maksud kedatangan kami ko.
Pihak nenek mamak yang menunggu sebelah munting betino.
Wa'alaikumusalam Wr.Wb.
Memang nenek mamak, laputih mato memandang. lah jenjang leher dik
mengadah, menengok kedatangan nenek mamak, idak salah kato nenek mamak tu,
kok janji semayo ikat buat kito, menurut hitung kami bulan dibilang lah cukup,
hari dihitung lah segenap. Bapo kok baita, jangan kito berunding sepanjang jalan,
bakato dilaman, elok kito masuk dulu kerumah kami bak kato pantun seloko :
Cempedak tengah laman, uratnya bertindih-tindih, jangan lamo tegak dilaman,
elok kerumah makan sirih.
Nenek mamak pihak munting jahtan.
Terimo kasih nenek mamak, mako cempedak tengah laman, uratnya belakang rumah,
mako kami lamo di laman, belum tentu jalan kerumah.
Nenek mamak pihak munting betino.
O, kalau itu yang nenek mamak tanyo, iko jalan kerumah, lawang lah tabukak, tanggo
lah terbentang, silokan nenek mamak naiklah. Nenek mamak pihak munting
jantan.
Tentang di jalan kerumah yo lah nampak dek kami, cuma elok juga kami sampaikan
kareno kamiko banyak, mungkin ado kaki yang salah langkah, tangan yang salah
lambai, elok kami tanyo larang-pantang fumah nenek mamak ko. Nenek mamak
pihak munting betino.
O. idak ado larang-pantang rumah kami hari nan sehari, malam nan semalam kelak,
sungguh idak ado dikit ; kalau bajumpo dalam rumah nan sebuah baribo jangan
diungkai, di urak nan beribo, yo disapo malaikat deman, disapo manusia berutang
nenek mamak ; "silokan nenek mamak naik".
F. ULUR ANTAR SERAH TERIMO PENGANTEN.
Sebelum pelaksanaan peresmian perkawinan, biasonyo berlaku suatu tradisi yang
dilakukan oleh calon mempelai perempuan, berupa :
1. Bertanggas dengan ramuan serai wangi, umbut pandan, daun jeruk purut.
2. Minum air rebusan yang bahannya terdiri dari akar-akar dan duan-daun.
3. Memantangkan memakan nasi berkuah. 4 Diberi bedak dalm jangka waktu
beberapa waktu.
5. Memakai bedak beras yang sudah direndam beberapa hari lamonyo dan kemudian
ditumbuk sampai halus bersamo umbut pandan, umbut serai, pucuk nilam dan mato
kunyit.
6. Berinai pado jari tangan dan jari kaki, telapak kaki dan telapak tangan pado
bagian tengah.
Acara puncak dari suatu perkawinan bagi urang Jambi, ioiah pesta perkawinan atau
sedekah penganten atau beralek. Pada hari itu ditampilkan berbagai permainan,
dipajang hiasan- hiasan seperti kain songket dan lain sebagainya. Bagi orang yang
berado atau manpu dilaksanakan tujuh haru tujuh malam, dengan menyembelih
beberapa ekor ayam.
Dalam pelaksanaan pesta perkawinan orang pantang menyatokan tidak ado lagi
persediaan, sesuai dengan ungkapan percakapan adat idak meh bungkal diasah, idak
bereh anta dikisik, idak kayu jenjang dilerak.
Upacara pesta perkawinan ditandoi dengan mengarak penganten, penyambutan, serah
terimo dan mendududkkan sep asang penganten dinobatkan sebagai raja sehari,
denagn memakai pakaian adat dan hias sesuai dengan pakaian adat.
Penganten laki-laki sebelum diarak dan duduk bersanding dengan penganten
perempuan atau isterinyo, dijemput oleh nenek mamak atau menti/utusan dari pihak
perempuan, seperti diungkapkan daalm kato adat antara lain sebagai berikut :
Laki-laki : Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Perempuan : Wa'alaikumsalam.
Nenek mamak suku nan sepihak kampung nan sebagi serto segalo kito nan ado di
dalam rumah nan sebuah iko nan kecik idak kami sebut namonyo, nan gedang idak
pulo kami imbau gelarnyo. ~
Adolah kami nan datang iko, ibarat kudo pelajang bukit, ibarat biduk sampan
pelayangan disuruh pergi diimbau datang. Siapakah nan menyuruh kami, iyolah Sdr
kami nan bernamo ........ laki bini serto kaum kerabatnyo menyampaikan pesan
kepado nenek mamak na dirumah iko, kereno ado hajad nak kami sampaikan.
Laki-laki : Nenek mamak dari suku nan sebelah kampung nan sebagi. Sebenarnyo
kami lah tahu bahwa nenek mamak akan datang kerumah kami pado hari nan sehari
ko. Dimano mmako kami tau kareno kito telah mengadokan ikat buat janji semayo
sebelum iko. Namun ulak dari itu tolong jugo nenek mamak diberitahukan sekali lagi
supayo nak nyato dek alam, nak terang dek lareh.
Perempuan : Idak apo lah nenek mamak, supayo nak nyato dek alam, nak terang
dek lareh, baiklah kami sampaikan sekali lagi tentang maksud kedatangan kami
Namun sebelum kito berunding bertingkah kato, terimoiah dulu sirih pinang kami,
tando kami nak memintak kepada nenek mamak.
Laki-laki : Terimo kasih nenek mamak, memang adat mengatokan berunding
sesudah makan, bertanyo selepan litak, kito makan sirih agak sekapur, kito isap rokok
agak sebatang, sesudah itu baru ado puji perago.
Perempuan : Sebelum sirih kan kito makan, sebelum rokok kan kito isap, cubolah
dengarkan pantun kami :
Sirih kuning didalam nampan.
Semak jerami lah menjadi sesap.
Sesap lah menjadi rimbo pulo.
Sirih kami mohon dimakan.
Rokok kami silokan isap
Pangkal sembah permulaan kato.
Nah silokan nenek mamak memakan sirih kami.
Laki-laki Kini ko litak lah ilang, penat lah lepeh, darah lah balik kemuko, sirih lah
balik kebadan, cubolah nenek mamak sampaikan kepada kami pesan apo nan nenek
mamak bao. kok titah nak kami jawat, kok perintah nak kami junjung.
Bak kato urang tu kapak betimbal, gayung bersambut, cubo aingkan pulo pantun
kami :
Sirih kuning didalam nampan. Semak jerami lah jadi sesap. Sesap lah jadi rimbo
rano. Sirih nenek mamak lah kami makan Rokok pun sudah kami isap. Tandonyo
sembah lah kami terimo
Perempuan : Macam iko nenek mamak, adopun kedatangan kami ibarat elang
beranak mudo belum dapat belum balik belum menggunggung belum pulang, kami
disuruh menjemput, jemput kami jemput kerbao. Kami disuruh menjemput anak
kemenakan kami nan bernamo ......... bersamo dengan induk bapaknyo,
kami kerabat nenek mamak serto sekalian nan ado, bersamo-samo dengan kami
kerumah saudara kito tadi.
Laki-laki : Terimo kasih nenek mamak, kalu itu pesan nenek mamak bao, rasonyo
pado pihak kami idak pulo ado ranting nan melanting mato, punggur kan menimpo
kuduk, yo kami terimo lah jemputan nenek mamak iko.
7
Setelah berhasil nenek mamak pihak perempuan memjemput penganten laki-laki,
oleh nenek mamak kedua belah pihak penganten laki-laki, oleh nenek mamak
kedua belah pihak penganten diarak bersania loinbonga
dengan kebesaran dibawah alunan musik terbangan sarnpai kc hulanian nirntj»rU
perempuan. Penjemputan penganten dilengkapi dengan pakatan pengHWcn cSK nasi
gulai.
Munting (penganten jantan) dijemput, rajo seharilah dihieh, beanik orang banyak,
derap gung talu betalu, bebunyi sorak sorai tengah laman ditengah laman besepai
undang, gayung bersambut kato jawab. Salain naik mlam tumn betabur beras kunyit,
kasidah atau kesenian lainnya.
Di halaman rumah mempelai laki-laki disambut dengan gayung bersambut, yaitu
pencak silat dan kemudian dilanjutkan dengan kato bejawab dalam ungkapan
percakapan adat, yaitu berbunyi antara lain sebagai berikut :
Laki-laki : AssamiTalaikuni W.r.Wb. Perempuan : Wa'alaikumsalam \Vr.
Wb.
Laki-laki : Manolah segalo nenek mamak, tuo tengganai, cerdik pandai, alim ulamak
serto segalo kito nan ado pado rumah nan sebuah iko, nan kecik idak kami sebut
namonyo, nan gedang idak pulo kami imbau gelarnyo. Kami susun jari nan sepuluh,
kami tundukkan kepalo nan satu, ampun kami kepado nan banyak, kami nak betanyo
agak sepatah nak berunding agak sebareh.
Perempuan : Nenek mamak dari suku nan sebelah kampung sebagi, bagi lurus
kami betanyo, apo maksud kedatangan nenek mamak nan sebanyak iko, lah sesak
laman nan ujo, lah penuh jalan nan panjang, apo ado debalang nan lah merebut
rampeh, apo ado batin nan salah menghukum atau jodoh nanlah membuat malu? lah
tekejut bak ditimpo kasau.
Laki-laki : Jangan salah sangko nenek mamak, idak ado debalang nan merebut
rampeh, idak ado batin nan salah menghukum dan idak ado pulo jando nan lah
menbuat malu. Kami iko datang dari jauh menempuh larik meniti jajuh, banyak bukit
nan lah kami daki, banyak lurah nan lah dituruni, empang unak lah kami rateh,
empang batang lah kami gabung, empang batu lah kami kalik, pulau batuah lah kmai
tempuh, laut sakti lah kami layeh, menurut unut lah terentang, menukap tijak lah
tukik, mencari jalan kerumah nenek mamak, Apo kah jalan kami ko lah sampai
kepulau.
Perempuan : Kalu nan nenek mamak cari kesiko Kini tu ibarat urang menembak
yo tepat nian pado alamatnyo, ibarat urang memikat yo lah terdengar kukuknyo,
kereno iko lah rumah anak nan
) berajo kebapak, kemenakan nan berajo kemamak.
Yo nenek mamak, lah putih mato kami dek memandang, lah panjang leher kami dek
meningok, lah pasa tebeng dek meninjau, lah ikal rambut dikuduk dek mengadah, dek
menunggu kedatangan nenek mamak Kini ko yo lah dapni padi, lah begantang
lengkian, daapt emeh lah raso berdandan puro. Idak salah kedatangan nenek mamak ,
kok bejalan lah sampai kepualu, iko nian alh rumah orang tuo si anu yang dicari.
Laki-laki : Terimo kasih nenek mamak, dek kereno perjalanan kami lah sampai
dibateh pelayaran kami lah sampai kepulau Apokah lah boleh kami nak betanyo agak
sepatah, berunding agak sebarih.
Perempuan : bersabar nenek mamak dulu idak elok kito becakap ditengah laman,
berunding dis'epanjang jalan, dirumah sajo kito berio beridak, apo lagi dirumah lah
menunggu pulo nenek mamak tuo tengganai nan bekato dulu sepatah, bejalan dulu
selangkah, cencangnyo memutus, makannyo menghabiskan.
Sehubungan dengan itu dengarkanlah pantun kami :
Cempedak ditengah laman. Uratnyo bertindih-tindih. Jangan lamo tegak dilaman.
Payulah kerumah makan sirih.

Laki-laki : terimo kasih nenek mamak, memang idak elok dipandang mato, di dengar
telinga kito becakap disepanjang jalan, ditengah laman namun ulak dari itu macam
mano kami nak masuk.
Oleh karena itu dengarkanlah kami berpantun :
Mako cempedak ditengah laman. Uratnyo kebelakang rumah. Mako tegak dilaman.
Idak tau jalan kerumah.
Perempuan : Idak nenek mamak, tanggo kami lah tebentang. lawang lah tebuku,
silohkan nenek mamak amsuk kerumah
Laki-laki : Kini ko yo nenek mamak, tanggo lah tebetang, lawang lah tebuka. Elok
kami tanyo, apo larangan pantang rumakh nenek mamak ko.
Perempuan : hari nan sehari, malan nan semalan kelak ko, lawang muko lah
tebukak, dak do larangan patangannyo Sungguh begitu ado jugo dikit : kok betemu
nan besawah jangan ditempuh, kok betemu nan rimbo jangan diungaki. Kok
ditempuh nan besawah, >! diungkai nan berimbo, disapo malaekat deman, disapo
manusio berutang.
Laki-laki : Terimo kasih.
Setelah selesai acara gayung bersambut kato bejawab antaro keduo belah pihak nenek
mamak, mako dilanjutkan dengan acara ulur antar serah tarimo mempelai atau
penganten laki-laki dari nenek mamak laki-laki kepado nenek mamak penganten
perempuan.
Munting naik betanggo kepalo berbau, kaki bebasuh santan manis, masuk kerumah
nan beradat, bacet kuning betutup bubung perak, beraleh sendi gading. Lah duduk
munting jantan diatas lapik buntak/terawang. Duduk suku nan duo pihak. Pelamin
ditengah suku nan duo, sirih beralik pinang betemeh, Diiringi rokok nan betepak, kato
buku dengan sembah kepado negeri nan bebatin, alam nan berajo sero uleh nan
bepangkal, lek nan bajunjung, beulur beantar bejawat beterimo. Diwaktu
pelaksananaan upacara beulur beantar bejawat betarimo, dalam adat dipergunakan
ungkapan antara lain sebagi berikut :
Laki-laki : Assalamu'alaikum Wr.Wb. Perempuan : Wa'alaikumsalani
Wr.Wb.
Laki-laki : Nenek mamak suku nan sebelah kampung nan sebagi serto segalo kito nan
ado pado rumah nan sebuah iko, nan gedang idak kami imbau gelarnyo, kami susun
jari nan sepuluh, kami tundukkan kepalo nan satu, bagi izin kami nak numpang
bekato agak sepata, berunding agak sebarih.
Perempuan : Nenek mamak suku nan sebelah kampung nan sebagi. Tunggu dulu
nenek mamak , boleh bae kito berunding, tetapi numpang kami betanyo kepado nenk
mamak. Apo hajad maksud kedatangan nenek mamak sebanyak iko. Siapo nan
melepeh pergi, siapo pulo nan menunggu datang.
Laki-laki : Kalu itu nan nenek minta iyo jugo kato nenek mamak tu.
Baiklah nenek mamak, adolah kmai nan datang iko iolah datang bersamoayam nan
berinduk serai nen berumpun, datang menenpati janji lamo, entahlah barangkali
nenek mamak lah lupo, maklumlah bak kato urang titian biasa lapuk, janji biaso
mungkir, balam lupo dijerat, jerat tak pernah lupo di balam.
Perempuan : Tadi nenek mamak mengatokan bahwa nenek mamak datang
bersamo ayam nan berinduk, serai nan berumpun, cubo tunjukkan kepado kami nan
banyak iko, namo nan dikatokan induk ayam dan rumpun serai itu? siapo namonyo,
kalu belum jelas yo kami nak becakap.
Laki-laki : Kalu sekedar itu permintaan nenek mamak, idak pulo sulit
nian, insya allah daapt kami penuhi. Induk ayam dan rumpun
^ serai nan kami maksudkan itu iolah saudaro kami yang bemamo
........iko lah urangnyo, (induk bapak dan nenek mamaknyo).
Perempuan : Idak nenek mamak, mungkin balam lah lupo dijerat tetapi kami
idak. Cumo itu bak kato urang, baik jugo disisik siang dulu, sebab kato urang :
kurang sisik banyak tuneh, kurang siang rumpun menjadi. Kini kok nampaknyo nan
datang kok iolah nenek mamak anak kemenakan kami dirumah ikolah. Cubolah
terangkan apo maksud kedatangan nenk mamak supayo nak terang dialam, nak nyato
dilareh.
Laki-laki : Adolah maksud kedatangan kami iko iolah nak mengajak nenek mamak
berunding. Itupun kalu dibolehkan oleh nenek mamak.
Perempuan : Ngapo pulo idak boleh berunding, pantang rajo menolak sembah,
pantang buayo menolak bangkai. tetapi ado nan kito ingat, jangan lupo pado adat nan
taico tepakai didaerah kito adalah iolah adat nan bersendikan syarak, syarak
bersendikan kitabullah. Apo bunyi kato adat, kok betanyo lepeh litak, kok berunding
sesudah makan. Mari kito makan sirih agak sekapur, kito isap rokok agak sebatang,
sesudah itu barulah ado uji perago. Cumo ingat-ingat bae sedikit, maklumlah sirih
kmai iko sirih mersik, pinangnya kote, sesuai dengan pantun orang tuo, serambah
anak mudo :
Gemerutup bunyi gendang, Gendang sebo muaro jambi, Sirih kerutup pinangnyo
mumbang, Itulah nan ado pado kami.
Laki-laki : Betul jugo kato nenek mamak itu, kito tiodak boleh lupo pado adat
lembago kito, adat menjadi pegang pekai pucuk jambi sembilan lurah, selingkung
alam kerinci, terus kesialang berlantak besi, berian nan di tapuk rajo, jejak putih cinde
alus disebalah Riau, ombak nan berdebur sebelah laut pulau Berhalo sepanen bakkan
bedil kelaut nanbetung nan belarik disebelah Palembang. Kok betanto selepeh litak,
kok berunding sesudah makan, kini terimolah sirih kami pulo, dengan iringan
pantun :
Gemerutup bunyinyo gendang, Gendang sebo muar jambi, Sirih kerukup pinangnyo
mumbang, Itulah nan biaso pada kami.
Perempuan : Nenek mamak suku nan sebelah kampung nan sebagi, kok sirih lah
kito makan, kok rokok lah kito isap, litak lah ilang, penat lah lepeh, darah lah balik
kemuko, serih lah balik kebadan.
Kami persilohkan nenek mamak menyampaikan apo nan terniat ) dihati, nan tacito
dibadan.
Laki-laki : Terimo kasih nenek mamak.
Perempuan
Laki-laki

Adolah anak buah anak kemenakan kami nan bernamo


lah dicubonyo berusik sirih bergurau pinang dengan anak buah
anak kemenakan nenek mamak yang beranmo ........ adai
bunbum menyelaroh, adat padang kepanasan, adat muclo menanggung rindu, adat tuo
menanggung ragam.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulanlah berganli tahun pulo,
manpaknyo, permainan mereka bukannyo sunn malah makin menjadi, kalo dulu
sekedar berusik sirih bergurau pinang, kini lah berubah nak mencubo hidup
sebandung, hidup serumah tanggo, kok kemudik nyo nak selimbai dayung, kapaknyo
lah nak darah, cincangnyo lah nak daging. Lah kami cubo tegak betuik duduk betanyo
kepado sebelah kampung nan sebagi , nampaknyo pintak kami lagi kan buleh, doa
kami lagi kan kabul, pinang kami lah diterimo, lah kami isi pulo adat lembago sebagi
ttiian jalan kejenang tanggo jaaln kerajo. susur jalan keperuntungan. Oleh nenek
mamak suku nan duo pihak kampung nan duo bagi, lah dilakukan pulo akad nikah
ijab kabul antaroanak kemenakan kito nan berduo dimuko penghulu, imam dan bilal.
Pado hari elok ketiko baik, seperti sekarang iko jangan pulo menjadi utang pado kito
nan tuo-tuo, mano nan berutang diantar kelidah neraco, mano nan mati kito antarkan
ketanah layu, mano nan lah betunak bertani diantar kerumah atnggonyo, iko lah
maksud kedatangan kami. Kalu lah semacam itu kato nenek mamak. iyo kato itulah
nan sebana kato, kato itulah nan kami tunggu selaut selamo iko. Kini ko nan baik lah
tibo, nan agung lah datang, rasokan betukuk gendangnyo badan, rasokan betambah
tingginyo tubuh, kecik telapak tangan, niru kami tadahkan dek kereno sukonyo hati
kami.
Namun ulak dari itu, mumpang jugo kami betanyo lagi, antaran nenek mamak iko
serah terimo apo namonyo9 sebab banyak serah pekaro serah, ado serah patah umbut,
ado serahpatah arang.
Serah nenek mamak ini serah nan mano9 cobalah nenek mamak terangkan.
Kalu menurut kato kami nan sebenarnyo nian, dek kareno rantai dekat kami idak
tekadeno, rantau jauh kami idak terulang, mano lagi sesak nan bukan sebuah,
bimbang nan bukan satu, mun lah kito serah patah arang, kok sakit anak buah anak
kemenakan kito, tolonglah obatkan, kok hilangnyo dirimbo tolong carikan, kok
tenggelammnyo dilubuk tolong selamkan Tetapi malu pulo kami rasohnyo, takut
dikatokan urang awak nak mengupak adat, menyubing pesako.
Kalau macam itu, serah iko serah patah umbut, kok kami nak beuleh bekampung
lebar, kok tumbuh sakit pening anak kemenakan kito samo-samo kito mencarikan
obatnyo.
Perempuan : Menang macam itulah baiknyo. Kini tu masih ado lagi nan nak kami
tanyokan kepado nenek mamak. Kini ko aek iyo lah lagi jernih, ikan lagi jinak, tebing
lagi lurus, rantau lagi selesai, kok tumbuh malang idak daapt ditolak, genting menanti
putus, biang lain menunggu tebuk, dengan sipo kami berunding.
Membuka langse (tabir).
Sya'ir dari pihak munting jantan ;
Jumadilawal namonyo bulan, hari duo puluh masuk bilangan, sedikit nazam abang
sampaikan, tolonglah sambut dengan kerelaan.
Tabuh berbunyi orang pun azan, awal subuh fajar sedikih, wahai jiwo belahan badan,
abanglah lah tibo dihadapan diri. Dijawab dari pihak munting betino ;
Empab tidak uap pun tidak, datang kuah bermangkuk-mangkuk, cakap idak pesan
pun idak, datang tibo mengangguk-angguk. Disambung oleh pihak munting
jantan ;
Elang terbang ditengah hari,
budak menabuh serunai napirih,
datang nyo abang dek oooi aduhai kemari,
janji semanyo yang ditepati.
Bedayung mudi kesungai tabir, sampan kotak buatan cino, aduhai dayang bukakan
tabir, yang putih kuning hendak bajumpo. Diuleh lagi oleh pihak munting betino ;
Bismillah itu mulonyo takbir, takbir itu awalnyo sholat, ^ bukannyo tabir sebarang
tabir,
tabir iko tabir beradat dan bersyarak.
Dilanjutkan oleh pihak munting jantan ;
Ketebat memancing ikan,
keno serampang lais tetar,
apo syaratnyo dek ooi cubo katokan,
semoga senang abang membayar.
Dengan suaro sayup-sayup muting betino memutuskan ;
Bulan depan jumadilawal, muharam sapar bulan yang lalu, tidak kami meminta
mahar, sebentuk cincin cukup lah dulu. Hari iko bertepung tawar, besok pagi barulah
ma'ndi, janganlah lamo tegak diluar, silokan masuk belahan diri.

G. TUNJUK AJAR TEGUR SAPO KEPADO PENGANTEN.


Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Kepado segalo kito kecik idak disebut namo, gedang idak dipanggil gelarnyo dan
segalo kito yang hadir.
Sebagai sambungan lidah dari segalo nan tuo-tuo, sayo menyampaikan tunjuk ajar
tegur sapo kepado anak/kemenakan kito yang baru berumah tanggo ko.
Adopun utang kami nan tuo-tuo kepado kami yang baru berumah tanggo ko, iolah
memberi tunjuk ajar tegur sapo kareno daalm adat mengatokan : " Makin pandai
makin ditunjuk, makin cerdik makin diajar, makin tau makin disapo.
Anakku kini ko kasih kamu baru bajuak, sayang kamu jolong basuwo, cubo dengan
tunjuk ajar kami nan tuo-tuo menurut adat yang pasih baiso, seloko adat
mengatokan :
" Sekecik-kecik semantung dibaluka, kalau lah babuah lah tuo namonyo "
Kalau tadinyo gadis namonyo dan dari namonyo kini tu kamu sudah tuo, kereno
kamulah menjadi duo laki bini
Walaupun baru sajo kamu sudah duo laki bini dan baru berumah tanggo, itulah tuo
namonyo, mako hendaklah :
Ubah perangai asak pakuo, asak baso ubah tutur :
Kalau perangai gadis tinggallah di gadis, perangai bujang tinggallah dibujang. Jangan
lengah diujung tanjung, nengok aek sedang ilir, jangan leko dikebun bungo, nengok
bungo sedang kembang, jangan asik dikerak jarang, kukuk tamanih kenyang idak,
lupo dikain idak basiring, lupo dipunggung idak babaju. Asak baso ubah tutur :
Kalau kato bini basonyo kakak, mako kakak pulo baso kito sebagai laki, sebaliknyo
kalau mamak baso laki kito sebagai bini. Kepado anakku adopun kau itu kini
dinamokan duduk suko semendo, orang semendo tdak bulih dibuek yaitu :
Jangan dibuek semendo langau hijau, telok tapanca awak terbang,
jangan dibuek semendo gajah menong, kecik lawan dulunyah, geclang lawan diindan.
Jangan dibuek semendo kacang minyang, awak ado orang bagadu
Jangan dibuek lapih buruk, bakesong dirumah sajo, idak mau berusaho atau mencari
nafkah
jangan dibuek semndo ayam jaguk, dimano ado betino disitu bakukok
Jangan dibuek semendo kumbang begirik, tengganai ado dirumah awak becando
dalam bilik
Adopun semendo yang iluk iolah : "semendo nenek mamak, kareno orang batukuk
hendak banyak, bauleh hendak panjang, bakampuh hendak lebah, jangan bauleh
panjang putus, jangan bakampuh lebak cabik.
Sekali lagi anakku kini (u kau sudah batunak batani namonyo, mako kito ado
kewajiban kepado anak bini kito iolah :
Hendak lah diasam digaram, dipaumo dipalaman, disawah, diladang, diumah,
ditanggo, dipalauk, dipaikan, dikain baju " seloko adat ; sayang bini ditinggalkan,
sayang dianak diletak- letakkan, bukan sayang dibini ditunggu bae, sayang dianak
dipangku bae, dioko perlu mimun makan dan sekolah, mau dicari.
Begitu pulo anakku Rita Safitri, SH, kau tu kinilah balaki namonyo, keateh lah
dikunkung dahan, bawahlah dipasung bane, jangan kacak betih bak betih, kecak
lengan bak lengan lagi, bilo pergi bakato, balik babarito kepado laki kito dan
hendaklah tau kewajiban selaku bini yaitu :
Tau dialur dengan patut, Tau diagak dengan agih, Tau bakatik samo berat, Tau
baragih samo banyak.
Tau diaus dengan lapa,
Tau diereng dengan gendeng,
Hendaklah semalu sesopan, , Selapik seketiduran, ** Dan sebantal
segalang ulu.
Kepado anakku dan Anasta duo laki bini, hendaldah kamu dalam berumah tanggo
susun dan rukun, seiyo sekato seumpamo deman laki-laki, mako bini mencari ureh,
kalau sakit bini, mako laki mencari ubek.
Tunjuk ajar tegur sapo kami, untuk kamu pegang dan pakai duo iakt bini sebaik-
baiknyo, kokok kelam jadikanlah suluh licin jadikanlah tongkai
Kepado segalo kito nenek mamak, tuo-tuo tengganai, masih ado lagi utang kito dihari
esoknyo kepado anak kito yang berumah tanggo ko iolah
Kok tertidurnyo kito jagokan, kok luponyo kito ingatkan, kusut kito usai, keruh kito
jernihkan, silang kito patut, angkang kito susun.
Tumbuh pulo runcing tanduk hendak mengewang, gedang kelaso hcndjsk
mendorong, runcing tanduk samo kito pepek, gedang kelaso samo kito timpeh
Bapo pulo hak kito kepado anak/kemenakan kito kok iolah : Bilo diok berumah ditepi
jalan, aus kito tempal mintak aek, lapa kito tempat mintak nasi.
Akhirnyo tunjuk ajar tegur sapo kami ko ditutup dengan sebuah pantun seloko :
" Api-api terbang malam,
hinggap dikayu berangan." " Biar tujuh kali dunio karam,
kasih baduo bercerai jangan."

H. I W A (PENGUMUMAN PERESMIAN PERNIKAHAN).


Oooooooi denga-denga segalo kito, Lapun-lapun kemuaro, Kerap-kerap keangso duo,
Ampun-ampun kepado yang tuo, Maaf-maaf kepado yang mudo,
Bukan cempedak-cempedak sajo, Cempedak jatuh kesungai, Bukan tegak-tegak sajo,
Tegak disuruh tuo tengganai.
Bukan temberau-temberau sajo,
Temberau tumbuh disemak,
Bukan berimbau-imbau sajo,
Berimbau tengah nan banyak
Induk ruso terjun dulu, terjun duo beranak, ampun doso kami nan dulu, ampun pulo
kami dinan banyak, dalam kecik idak disebut namo, gedang idak dipanggil gelarnyo,
dalam lek nan bajunjung kerjo yang berpangkal, dilaman yang basapuh undang, umah
yang bapaga adat, dateli yang betutup bubung perak, bawah baaleh sendi gading.
Selingkurig bendul ditepi selarik bendul ditengah, menuju bulik dalam, lepeh
kedapuo sampai kebalai petanak, yang bedoro gelang ditangan, bersintuk cincin
dijari, bersanggul lipan pandau, btfiUuH uiunu, si-mng, nenk mamak berkain pepat
tabung, bertedak seluk batinbo dftti S«M«!" kilo vang hadir.
Adopun sayo ko diirnbau datftftg tlKumh pugi, jadi biduk sampan pelayangan, jadi
kudo pelayang bukit, jadi parang (ii'Mmbah semak, jadi seligi buang-buangan, jadi
gajah pengangkut cabe
Siapo yang mengimbau datang im'iisuuih pergi iolah
Luak sekato penghulu, rantau sekato jenang. alam sekato rajo, negeri sekato bat in,
kampung sekato tuo, rumah sekato tenggannf
Apo disuruh pergi diimbau datang
Tembilang disungai langsat terletak dibawah lantai, kito bilang seado yang dapat.
tinggal untuk kanti yang pandai

Kareno idak mendapat simak Mkap kcrap, idak menawan bak dalani inau Idak lentik
simak taji, idak damn siinak dulang. Idak cerdik simak kanti, idak pulo pandai simak
orang. Pasang cemetik kaca-kaca keno mlang duo-duo, Kecik idak balaja, tuo ko lah
main pulo batanyo. .................canang / gong
Mari ko, harinyo elok ketikoim> baik ,
Lah rapek kito sekaji tuo, lah kuinpul sekan mudo, lah rapek
nenek jo mamak, lah kumpul bat in dcngan penghulu
Elok arak dek beliring, bulat kato dek mufakat. bulat aek dek pembuluh, tunggal aek
dek palung, lah sedekak simak batu dipulau, lah sedencing besi diapa, sealun suhak
seletus bedil, itu waris yang kito jimjimg.
Pulai bertingkat naik meninggalkan uweh dcngan buku, manusio berpingkat turun
meninggalkan waris dan pesko, waris dijawat dari nan tuo halipan dujunjung dari
nabi, lapuk li berganti li lapuk pua jelipung tumbuh, hilang hidup silih berganti, mati
silih bertumban, bak napuh diujung tanjung, ilang sikuk berganti sikuk.
Buang-buang tu anak ikan belido, guntur petus dipulau tigo. Kok hilang seumpamo
batu jalo, putus kito tuan pulo.
Cencang pelupuh kiilit baru,
ramo-ramo dirumah tingga.
Lusuh-lusuh dipabaru,
Adat kito jangan ditingga.

Mano adat kito yang idak bulih ditingga, iolah lah lapuk dek memakai, kumal dek
menesah, baju bajaot yang kito pakai, jalan berambah yang kito turut, sesap jerami,
tunggul pemarasan, pandam pekuburan.
Titian tereh, tanggo batu, lantak idak tau gujya, cermin idak tau kabur, tapeak ditiang
panjang, telukih dibendul jati iolah : "Adat bersendi syarak-syarak bersendi
kitabullah" itulah adat yang tidak bulih ditingga. .............. canang / gong
Dek Saudaro kito .......... duo laki bini (isteri), jauh kito lah dilayangkannyo
dengan surek, dekek kito lah di panggilnyo dengan kato, diimbaunyo nenek empek
puyang delapan, duo piak timbal balik, darah daging, tutur galue, jambak julai, yang
bajulai simak daun jang bajabat simak aka, kaum kerabat, handai tolan, kenalan, anak
jo pinak, cupak dengan gantang, ibu dengan ratus, kerat kudungan, simpang belahan,
bacap simak pedang, bababat simak barau, kok tegak lah bersinggung bahu, duduk
kito lah berimpit lutut

Itu kato dalam adat "induk undang tamabang teliti, induk adat tembang lembago,
induk bena tambang pusako
Mano dikato induk udang tambang teliti ; iolah lah selesai umbai naik salesai umbai
turun, keruh aek lah ditingok keulu, senak aek lah ditinjau kamuaro, idak ado punggo
yang menimpo kuduk, idak ado lagi ranting yang memetik mato, artinyo each
rundingnyo lah selesai. Mano dikato induk adat tambang lembago, kok adat lah diisi,
lembago lah dituang, dicari kutu diijuk, ditakik darah ketiang, tudung menudung bak
daun sirih, taub-menaub bak benak ketam, idak bereh antah dikisik idak emas
bungkal diasah, yang idak lah diadokan, lah diladungkan bereh seratus gantang, lah
ditambangkan ker sekok, lah kito saksikan pulo serah terimo anak buah anafc
kemenakan kito tadi

Mano dikato induk bena tambang pusako, so buik. duo pakai, tigo dipusakokan, kito
buik kerjo ko, kito pakai bersamo-samo, kalau yang elok kito pusakokan kepado yang
tinggal
Kini ko saudaro kito ............ duo laki bini (isteri) hendak membendangkan
kelangit, menyerahkan kebumi, menerangkan kepao lareh menyatokan kepado alam
baso diok membayar utangnyo yang keempat kepado anaknyo yang bernamo ............
yang sudah ijab kabul dengan ............. , kepado kito ado beberapo
perkaro yang hendak disampaikan : ........... canang/gong.
Soooo perkaro ; dalam bereh seratus kerbau sekok, kok darah samo dikacau daging
samo dilapah, diterangkan kapado kito yang banyak baso saudaro ..............
duo laki bini (isteri) meresmikan diok menerimo pulo kito menerimo orang semendo
yo macam itu kito yang banyak17 ........... yo jawab hadirin.Duo perkaro, keluargo
saudaro ......... (kcluarga wanita) dengan saudaro
.......... (keluargo laki-laki) sudah sepucung simak gulai, lah seibat simak nasi, itu
dinamokan berkampuh lebar beruleh panjang, kok tegak lah ado tempat bertanyo,
duduk lah ado tempat berunding tentang dianaknyo yang bcrduo, yo macam itu nenek
mamak9 .......... yo jawab nenek mamak.
Tigo perkaro, bereh seratus lah ditanak, kerbau lah dibunuh, kini doa belum
ditampung patehah belum dibaco, nasi belum dimaka, aek belum diminum, kepado
undangan kami cari mudik jangan balik mudik dulu, kepado undangan kami dari ileh
jangan balik iekh dulu, undangan kami da teluk jangan balik kepemukek dulu
undangan kami dari gunung jangan balik kepenyaring dulu. bapa kok doa lah
ditampung patehah lah dibaco, nasi lah dimakan, aek lah diminum, jumpo ati tangau
samo dicecah, jumpo ati gajah sam,o dilapeh, mako undangan kami hendak balik yo
kami lepeh dengan hati cuci muko yang jernih kareno tibo dari nampak muko, balik
hendak nampak pulo punggung dek kami, yo macam itu kito yang banyak .......... yo
jawab hadirin.
Empat perkaro, dalam doa yang akan kito tampung patehah yang kito baco, kito
mintak kepado Tuhan Yang Maha Rsa, supayo anak kemenakan kito yang baru
berumah tanggo ko, umurnyo hendaklah panjang, rezekimo murah, derajatnyo
bertambah, kebukitnyo samo mendaki, kelurah samo menurun, mudik serentak
satang, ileh selimbai dayung, togo ringgit tengah delapan sebulan tigo puluh hari,
dikit samo dimakan idak samo dicari, hendaklah sesusun simak jari sepintal simak
tali, hendak samo antah padi diinentaro serempak lapuk lukah dengan bingkai, bak
aur dengan tebing, tebing sayang diaur, aur sayang ditebm, bak parang catuk
ditunggul, tunggul lapuk parang terkucil yo macam itu kito nan banyak9 ...........
yo jawab orang banyak.
Sebagai penutup kito bagih jugo panlun seloko sebagai kenang-kenangan bagi kito
bersamo ,
O, ayam payolah kumo, padi lah masak diujung tangkai, o, anak kami yang berduo,
elok-elok mengarang bungo, hendaklah lamo bungo dipakai Hendak duo pantun
seiring , Basikek sambil berjungkah, pancung buluh tengah laman. Pantun dawat
dengan kerteh, hancur luluh bercerai jangan. Tigo pantun seiring ;
Indopuro jerambah papan, tempat orang membeli piano Kito berdoa kepado Tuhan,
hidupnyo jayo matinyo sempurno. Wabillahhittaufiq wal hidayah.
Wassalamu'alaikum Wr.Wb. Terimo kasih.
I. TATA R1AS DAN PAKAIAN.
A. Pemuka Adat.
Pakaian adat adalah pakaian tradisional, yang dipakai oleh pemuka adat yaitu :
Pimpinan Adat, Pemuka Masyarakat, Nenek Mamak, Tuo Tengganai pada waktu
acara tertentu.
Bentuk pakaian adat, yaitu : baju dan celano guntmgan melayu, dasar sutera warna
gelap, topi berwarna pita gagak hinggap. Pakaian adat tersebut diatas dilengkapi
dengan benda pusako, umpamonyo : keris, pedang, tongkat, tombak, piagam, raja.
Kain songket tanjung rompak (tenun benang emas).
B. Penganten.
1. Tata Rias Penganten Wanita.
a. Duo minggu menjelang hari resminya, penganten wanita mandi uap (betangas)
dengan ramuan serai vvangi, umbut pandan, dan daun jeruk purut.
b. Minum aek rebusan yang dibuat dari akar-akar atau daun-daun. c. Makan nasi
tidak boleh berkuah.
d. Calon penganten dibedakih (diulur) hingga sampai waktu yang sudah
ditentukan. e. Bedaknyo diolah oleh juru rias terdiri dari beras yang sudah lami
direndam.
f. Pengolahannya, beras digiling bersamo dengan daun- daunan terdiri dari umbut
pandan, umbut serai, pucuk nilam, daun kemuning, mata kunyit digilas hingga halus.
2. Hiasan Penganten wanita.
a. Bagian Kepala.
1). Pesangkon, terdiri dari; sumping layak duri pandan, karanomulio.
2). Cempako tujuh atau lima buah, bungo goyang bentuk bungo matohari.
3). Sanggul (sanggul lintang, sanggul lipat pandan, sanggul kipas)
4). Perlengkapan bungo hidup terdiri dari : bungo pandan, cempako
kuning, cempako putih dan anting-anting. b. Bagian Tangan.
1). Kalat bahu. / 2). Gelang kuno.
3). Buku bemban.
4). Gelang ceper, gelang belah rotan, gelang ular betapo, gelang
karang permato.
5). Cincin kinjang dan cincin belah rotan, . c. Bagian Badan.
1). Teratai.
2). Kalung cengkeh.
3). Kalung merian.
4). Kapak jajo.
5). Rantai sembilan.
6). Pending.
7). S a b u k.
8). Kain songket gelap. d. Bagian Kaki.
1). Gelang kaki.
2). Terompah yang bertekat benang mas (cenela) bentuk kelom kayu.
3. Tata Rias Pakaian Penganten Laki-iaki.
a. Bagian Kepala.
1). Topi atau lacak terdiri dari : kepak ayam patah, gagak hinggap.
2). Sebelah kiri dikasih bungo rence (cempako kuning dan cempako
putih).
b. Bagian Badan.
1). Kemeja.
2), Rompi.
3). Jas teriku.
4). keris pakai mainan dan diikat dengan sapu tangan benang mas (songket).
5). pending.
6). Kalung bertingkat tigo (taapk jajo) dan kalung rantai sembilan.
7). Cincin belah rotan. c. Bagian Kaki.
Terompah bertutup depan bersulam benang mas

4. Bentuk Tata Rias Pelaminan Penganten. a. B a h a n.


Pelaminan Jambi disebut Putro ratno, terdiri dari: 9 tingkat. 5 tingkat
' dan 3 tingkat menurut siapo yang kawin atau kemampuannyo. Tiang
terdiri dari : 4 buah (nenek nan empat dan 8 buah puyang nan
delapan). Tiang dibungkus dengan kain polos atau kairt bersulam b. Hiasan
tambahan.
1). Dian serajo (tempat lilin) sebanyak 2 buah.
2). Sengkono tempat kembang telur berbentuk bmtang terdiri dari 3 atau 5 tingkat.
3). Pada bagian samping kiri kanan diberi selendang 3 warna : warna merah, hijau
dan kuning.
4). Sulaman terdir dari : sulam kelingkan, sulam benang mas ditambah paku-paku,
suiam tetas yang me;.',akai kertas perado.
c. Pengkap Putro Ratno.
1). Tampuk kasur atau t,ampuk.
2). Ombak-ombak.
3). Tanlong (dari mute yang dikarang dari kain dan dari kertas perado yang disulam
dengan benang mas)
4). Buah butun.
5). Kecapi.
6). Kain berjalin (tigo semiring). d. Hiasan Atap Pelamiuan.
1). Atap dihias dengan perado yang bentuknya seperti daun. Pada puncak bubungan
selalu dipakai nenas dari kertas perado.
2). Ukiran pada bagian depan dan kempat sudut diatas atap.
e). Rias Pelamin.
Pada lek yang menengah adalah lapik dunam, pakai kasur buntak dan bantal susun
kiri kanan. Pakai langit-Iangit, dibelakang tempat duduk (pelamin) dilatar belakangi
oleh entaian kain yang berlapis-lapis.
12. Pembacaan Do”a
Setelah semua rangkaian tahapan perhelatan selesai maka semua acara
perhelatan tradisi ini ditutup dengan membacakan doa. Rangakaian doa ini
merupakan pengaharapan yang disampaikan pada Allah Subhana wataala. Kata demi
kata yang diuntai dalam kalimat ini memberikan makna bahwa keberkatan pertemuan
dua insan yang dijalankan dengan sederetan kegiatan yang sakral meminta agar
pasangan suami istri ini mendapat berkah dari Allah subhana Wataala diberikan
keturunan. Pertalian perkawinan mereka sampai pada akhir ha, dan bangsa.yat tanpa
ada kata perceraian.
Harapan yang disampaikan dalam do.a ini juga agar pasangan ini
mendapatkan anak-anak yang soleh berbakti pada orang tua, dan terhadap bangsa dan
negara. Artinya, pasangan ini dapat meneruskan garis keturunan dengan anak-anak
yang berakhlak, sopan, santun, saying tidak hanya pada orang tua tetapi juga pada
adat istiadat, kampong, negara.
Di samping harapan keselamatan dunia akhirat, untaian kata-kata yang
dirangkai dalam doa ini juga menyampaikan ucapan terima kasih pada tetamu dan
semua orang yang sudah ikut membantu, meluangkan waktu, dan menyumbangkan
pikiran, materil, dan dukungan moril kepada yang punya hajat. Pendoa
menyampaikan bahwa Tuhan lah yang dapat membalas kebaikan, pengorbanan, dan
niat baik semua yang hadir dan semua orang yang sudah bekerja keras menyelesaikan
perhelatan ini dengan baik.
Selesai " I W A " (pengumunan) peresmian lek (kenduri) disampaikan pula sepatah
kata dari yang mewakili tuan rumah, sebagai ucapan terima kasih atas kehadiran tamu
dan bantuan-bantuan atas suksesnya lek (kenduri).
Untuk menutup acara lek (kenduri) itu diadakan do'a bersama bagi kedua Munting
(mempelai) semoga selamat dunia dan akhirat atas perkawinan tersebut.
D o' a.
Ya Allah, Tuhan yang mengatur sekalian alam, engkau telah menyak-sikan dua
putera puteri kami telah tawakal akan membina rumah tangga menurut tuntunan
rasulmu Muhammad S.A.W. semoga engkau berkenan mencurahkan rahmat dan
berkahMu, agar rumah tangga anak kami ini menjadi sorga mereka didunia menuju
sorga diakhirat nanti.
Semoga cucuran hidayah dan taufiqmu, dapat menciptakan rumah tangga
Adam dan Hawa, tenteram seperti rumah tangga Ibrahim dan Sarrah, sejahtera seperti
rumah tangga Nabi Muhammad S.A.W dengan Khadijatal Kobro.
Ya Allah, bila engkau akan memberikan keturunan kepada mereka berikanlah
keturunan yang saleh dan bertaqwa kepada Engkau, yang taat kepada ibu bapaknya
dan berbakti kepada masyarakat dan negara, Ya Allah, bila engkau memberikan
rezeki kepada mereka, berikanlah rezeki yang halal, yang menyenyakkan bila mereka
tidur, menenteramkan bila mereka bangun.
Ya Allah, jauhkanlah anak kami ini dan segala godaan, cobaan hidup dan fitnah
rumah tangga yang tidak mungkin manpu mereka memikulnya.
Ya Allah, ampunilah dosa ayah bunda munting kami (penganten) ini yang telah
mengantarkan putera puterinya, amanah dari padaMu, sampai dipintu gerbang
perkawinan mereka.
Betapa tingginya keinginan kami, betapa luhurnya kemauan kami tetapi tiada daya
dan kemanpuan bagi kami, kecuali kerena Engkau, semata Ya Allah.
Segala proses berada ditanganMu seluruhnya. Ya. Allah kabulkanlah Do'a kami.
Selesai Do'a, maka diadakan suapan nasi penyapat kepada kedua Munting
(penganten), yang dipimpin oleh seorang nenek mamak. Menyuapkan nasi penyapat
ini (nasi kunyit panggang ayam) oleh kedua ibu bapak Munting (penganten) atau
nenek mamak yang diperlukan secara bergilir.
Demikian tata cara perkawinan menurut adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi
Kitabullah di Daerah Tingkat I Jambi.

Anda mungkin juga menyukai