Anda di halaman 1dari 42

SIAP KEJUT

Pidato Valediktori Guru Besar Antropologi,


Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Gadjah Mada

Disampaikan pada acara pamitan pensiun Guru Besar


Departemen Antropologi
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 4 April 2023

Oleh
Prof. Dr. Paschalis Maria Laksono, M.A.
Para Pimpinan Fakultas dan Universitas, kolega dosen, tenaga
pendidikan dan mahasiswa serta hadirin sekalian yang saya hormati
dan kasihi. Selamat sore, assalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh, salam sejahtera, om swastiastu, namo buddhaya, rahayu.
Perkenankanlah saya menyampaikan pidato valediktori berjudul:

Siap Kejut

Pengantar

Bapak, ibu dan hadirin yang terhormat,


Sejak Desember 1952, hampir pada setiap acara resmi di
kampus, civitas akademika bersama-sama menyanyi Himne Gadjah
Mada setelah melantunkan Indonesia Raya. 1 Inilah tradisi komunitas
(akademik) UGM yang kita hayati dari generasi ke generasi. Sebagai
bagian dari civitas akademika, perkenankanlah saya sekarang
mengajak Bapak, Ibu dan hadirin sekalian di sini untuk berbagi rasa.
Saat bersama-sama melantunkan himne itu saya, mungkin juga
saudara semua, pernah merasakan bahwa tepat di saat itulah kita
menyatu dalam komunitas, 2 tanpa struktur, tidak ada perbedaan antara
mahasiswa dengan dosen, tendik maupun profesor dihadapan bangsa
dan almamater kita tercinta. Saat itu kita serentak, mungkin dengan
hati bergetar, mengidentifikasikan diri sebagai mahasiswa (meskipun
seringkali terjadi pada saat itu tidak seorang pun dari para penyanyi
himne itu sedang berstatus mahasiswa): “Bakti Kami Mahasiswa

1 Himne Gadjah Mada karya I.G.N. Suthasoma dan aransemen Kusbini baru
dinyanyikan sejak 19 Desember 1952 dan baru 40 tahun kemudian dituangkan dalam
Statuta Universitas Gadjah Mada tahun 1992. Diakses pada laman
https://ugm.ac.id/id/tentang-ugm/3603-himne.gadjah.mada
2 Mengenai pengertian komunitas (anti struktur), saya mengacu pada Victor Turner

(1969: 96-97)
1
Gadjah Mada Semua, Kuberjanji Memenuhi Panggilan Bangsaku…,”
Semua saja, sekalipun ia profesor berambut putih, rektor, dekan dan
pejabat sekalian jabatan yang ada di kampus, sama-sama mengaku
sebagai mahasiswa. Semua lebur sesaat dalam komunitas (akademik),
tidak ada yang terpinggirkan dan tersudutkan. Kita semua sama-sama
(merdeka) menjadi aku (diri sendiri) yang berjanji memenuhi
panggilan (suci) bangsaku.
Dengan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih, selama
hampir 50 tahun saya telah diperkenankan menjadi bagian dari
komunitas, bahkan struktur kedinasan, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Gadjah Mada. Semoga Tuhan memberkati kita semua.
Ada waktunya kita berjumpa dan ada waktunya kita berpisah. Itulah
anugerah kehidupan yang kita terima dari Tuhan. Perkenankanlah hari
ini saya pamit dari gelanggang akademik yang pasti akan saya
rindukan dalam sisa hidup saya. Sesuai dengan peraturan kepegawaian
yang berlaku, sekarang sudah waktunya saya mohon diri untuk
kembali menjadi orang biasa di luar dinas, tanpa gelar tanpa jabatan.
Pamitan perpisahan seperti ini rasanya berat untuk diucapkan. Gaung
dan getar hati indah dari lantunan Himne Gadjah Mada yang sudah
saya alami sepanjang setengah abad itu tentu saja sukar dilupakan.
Gaung itu mungkin memang tidak untuk dilupakan, biarlah ia menetap
abadi, indah dan istimewa dalam rona ingatan pribadi saya. Pelajaran
antropologi klasik tentang ritual (Turner 1969) menyatakan, bahwa
saat beralih status dari satu posisi (struktural) ke posisi lain dalam
hidup sehari-hari bermasyarakat itu ada proses, yang berlalu nyaris
tidak terasa, bahkan tidak kita sadari karena kecepatan dan
kemulusannya. Saking biasanya, peralihan itu nyaris berlalu tanpa
kenangan, tanpa sejarah baik lisan maupun tertulis.
Hanya bila ada penanda-penanda khas, maka peristiwa yang
seharusnya berlalu begitu saja itu akan membekas keras di teras kalbu
kita. Sapaan dan senyum selamat pagi, selamat siang dan tatapan mata
ramah dari begitu banyak kolega kerja maupun mahasiswa FIB, yang
tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terkadang ada saja yang sukar
sekali saya lupakan. Beberapa di antaranya yang sulit sekali hilang
2
dari pelupuk mata saya misalnya sapaan dan senyum seperti dari alm.
Dr Hans J. Daeng, alm. Prof. Dr Masri Singarimbun, alm. Prof. Dr
Sumiati, Prof. Dr. Poppy Inayati, Prof. Dr. Kodiran, Prof. Dr. Joko
Sukiman, Prof. Dr. Michael R Dove, Prof. Dr. Joko Suryo dan banyak
lagi, yang bila saya sebut namanya satu persatu maka pidato ini akan
berisi daftar nama saja, baik untuk saya tetapi pasti membosankan
untuk hadirin sekalian. Gerak-gerik khas teman-teman kuliah pun satu
per satu sering muncul di pelupuk mata saya, justru ketika saya ingin
melupakannya. Dalam seloroh di medsos, mungkin inilah yang
disebut derita ingat mantan. Peristiwa biasa sehari-hari dengan mantan
nyatanya membekas dalam kenangan, menukik sedalam-dalamnya
hingga tidak dapat ditindis penghapus (air mata). Dalam ilmu
antropologi, ini dimengerti sebagai proses berkomunitas yaitu berada
diantara dua status yang berbeda, betwixt and between (Turner 1969:
107).
Di saat sepi, kenangan itu seringkali satu persatu muncul
bertubi-tubi, menari-nari menggerakkan dada dan pipi, sulit
dibendung dan hanya dapat dibiarkan mengalir dalam lamunan dan
mimpi. Terkaget-kaget, karena kehabisan kata-kata dan karena getaran
peristiwa itu, kita dapat terjebak latah, 3 dikuasai sang penanda (narasi)
kenangan itu. Bila ini terjadi, kita dikuasai sang penanda dan tidak
tahu diri, sontak kita akan jadi bahan tertawaan. Sebab tiba-tiba saja,
tanpa kendali diri, kita jadi luar biasa aneh, lepas dari rantai
komunikasi dengan komunitas kita. Pada saat latah inilah kita dapat
menjadi liyan bagi diri kita sendiri dan juga bagi komunitas sehari-hari
kita.
Kemampuan mengendalikan diri agar tidak terjebak latah
adalah inti agar hidup itu lumrah, biasa-biasa saja (ora nganeh-anehi)
tetap dalam relasi sosial (silaturahmi) komunitas kita. Untuk inilah
antropologi ada. Hidup menjadi orang biasa itu bagaikan hanyut tetapi
tidak larut, nyaman selamat dalam air mengalir, rahayu tanpa

3Mengenai apa itu latah, saya sependapat dengan guru saya James T. Siegel (1986,
1998 dan 2006).
3
terbendung batu atau angin (ngeli tanpa keli). Sudah semestinya para
antropolog itu mengerti, bahwa ilmunya menaruh perhatian pada
keanekaragaman hidup berkomunitas yang biasa-biasa saja. Para
antropolog biasanya sepakat, bahwa ilmu antropologi itu tertarik
mempelajari proses betapa manusia yang berbeda-beda itu, dalam
rentang sejarahnya masing-masing, telah secara terorganisir
mengembangkan aneka ragam budaya hidup bersama. Mereka itu
kira-kira bertanya, bagaimana orang lain, liyan mereka, telah
menggunakan perangkat budaya hingga hidupnya (dapat) mengalir
biasa-biasa saja.

Mimpi Ber-Antropologi
Motivasi para antropolog itu dapat saja berbeda-beda,
tergantung pertanyaan teoretik yang dibayangkannya atas aneka
ragam budaya hidup bersama. Pertanyaan-pertanyaan itu misalnya
mungkinkah asal mula keragaman itu terjadi evolutif gara-gara
bawaan lahir, seturut garis genetika rasial manusia dalam adaptasinya
dengan alam; kemudian mungkinkah perbedaan itu terjadi karena
proses migrasi dan difusi saling pengaruh antar budaya; atau
mungkinkah perbedaan itu sistemik akibat fungsi atau kontribusi
sosial keberadaannya dan akibat relasi-relasi struktural yang mungkin
terjadi sepanjang sejarah umat manusia?
Motivasi juga dapat berbeda-beda karena perbedaan tataran
praktik moral sosial, politik dan ekonomi pilihan pribadi seorang
antropolog. Pertama, ada yang bermotif untuk penaklukan, penjajahan
dan pematuhan liyannya agar menyerah dikuasai atau digusur demi
pembangunan ini dan itu misalnya. Lalu ada yang sebaliknya, yaitu
demi membebaskan liyannya dari kekelaman dan dursina masa lalu
liyan tinelitinya. Masih ada lagi antropolog lain yang melihat liyannya
sebagai cermin pembelajaran untuk menemukan jalan keluar dari
krisis yang terjadi pada masyarakat negerinya sendiri. 4 Akhir-akhir ini
motif yang cukup terapresiasi dalam advokasi gerakan transformasi

4 Lihat misalnya Margaret Mead (1943).


4
sosial-budaya adalah motif partisipatori, yaitu keinginan berubah
bersama para tinelitinya demi kemanusiaan dan kesejahteraan umum. 5
Berbicara mengenai motivasi ber-antropologi itu pada
dasarnya berbicara tentang alasan memilih jalan keilmuan, yaitu
menetapkan pilihan metodologi, termasuk di dalamnya adalah pilihan
epistemologi (batas-batas sandaran pencapaian kebenaran yang
diacu). Artinya kita harus mengerti, bahwa setiap pertanyaan
akademik ataupun isu yang kita wacanakan itu harus dijawab dengan
data dan argumen yang tepat secara metodologi sehingga posisi
epistemologinya transparan. Ber-antropologi dengan demikian adalah
beretorika secara transparan untuk menafsirkan atribut-atribut,
termasuk nilai-nilai (kualitatif) dari peristiwa sehari-hari. Jadi kerja
antropologi itu adalah menautkan gagasan atau imajinasi hidup
berkomunitas kita sendiri dengan fakta etnografi dari liyan kita,
sehingga pengertian dan identitas baru tentang situasi diri
(kemanusiaan) kita dapat terperikan. Tentu saja proses ini merupakan
laku keilmuan yang sangat pelik dan berliku-liku, bahkan terkadang
juga terjal. Saat ini saya harus mengakui antropologi itu bukanlah jalan
keilmuan yang lurus, apalagi tanpa hambatan. Metodologinya nyaris
tidak terpisahkan dari riwayat (subyektifitas) diri si antropolog,
sehingga hanya dalam reflektifitasnya antropologi itu menyajikan
kewaspadaan yang dapat mengubah sikap kita pada dunia.

Bapak, ibu dan hadirin sekalian yang saya muliakan,


Perkenankanlah, sebagai penanda valediktori, pamitan pensiun
kepada Departemen Antropologi, FIB, UGM, saya
mempertanggungjawabkan pilihan-pilihan metodologi, yang pernah
saya coba kembangkan sepanjang karier saya bersama seluruh civitas
akademika di UGM. Saya sadar, baik di dalam kelas maupun dalam
pertemuan dinas dan obrolan sehari-hari di kantin dan lorong-lorong
fakultas dan universitas, bahwa saya telah sedikit banyak

5 Lihat misalnya Robert Chambers (1996).


5
mementaskan pengertian-pengertian tentatif (claims) 6 saya tentang
antropologi. Banyak mahasiswa, dosen, tendik dan peneliti yang
sedikit banyak tersentuh, tersentak dan mungkin terprovokasi oleh
kesementaraan dan ketidakstabilan pengertian saya pada antropologi
dan pada peristiwa sehari-hari. Maafkanlah saya bila provokasi
(akademik) saya telah mengganggu dan menyesatkan kemapanan dan
kenyamanan pikiran Bapak, Ibu dan hadirin sekalian.
Niat laku “antropologik,” sejauh saya alami dan mengerti,
adalah kesiapan untuk terus berubah mengalami pembaharuan,
tergantung saat dan situasinya. Oleh karena itu perkenankanlah saya
menuturkannya dengan mengikuti pola (auto)biografi tafsiriah. 7 Saya
sangat bersyukur karena sejauh ini, laku teoretik maupun metodologi
antropologi belum dapat dikatakan mandeg/stabil, banyak kontradiksi
produktif masih terjadi di dalamnya. Situasi ini bisa jadi peluang
berkembang, tetapi dapat juga menjadi jebakan moral. Semoga saja
selama ini, saya telah dapat menyampaikan pengertian-pengertian
antropologi untuk perkara biasa sehari-hari, meskipun dengan retorika
atau wiracarita yang terkadang aneh atau nyeleneh, polos bahkan
impulsif. Mungkin sekali saya telah menjadi pengagum keanehan.
Mohon maaf, bila wacana saya pada Bapak, Ibu dan hadirin semua
telah terlalu tajam dan kurang tenggang-rasa. Anggap saja kalau saya
sebenarnya terlalu percaya, bahwa retorika polos serta biasa-biasa
tanpa basa-basi itu dapat membebaskan kita dari jebakan moral
hipokrit dan oportunistik.
Menurut almarhum ibu saya, aneh itu mungkin bawaan saya
sejak dalam kandungan. Katanya, dua dokter mencemaskan keadaan
bayi (saya) dalam kandungan ibu tidak dalam keadaan baik-baik. Ada
kemungkinan bayi tidak akan lahir selamat. Puji Tuhan, saya lahir

6 Kata pengertian secara amat longgar saya padankan dengan kata claim dalam
bahasa Inggris yang berarti pikiran sementara, baik tersirat maupun ternyatakan,
mengenai hubungan antar konsep. Kesementaraannya itu menunjukkan ada muatan
subyektif serta obyektif yang belum pasti.
7 Mengenai metode biografi tafsiriah, lihat Norman K. Denzin (1989).

6
selamat dan mendapat karunia sehat bahkan beberapa kali lolos dari
kelaparan serta wabah penyakit. Sambil mengingat peristiwa-
peristiwa gawat di awal hidup saya itu, almarhum ibu pernah
mematrikan satu kata bisikan halus dalam sanubari saya: “Eling.” Puji
syukur kepada Tuhan Yang Mahakasih, hari ini atas perkenanNya
saya (70 tahun) masih bisa bahagia berdiri pidato pamitan pensiun di
hadapan Ibu, Bapak dan hadirin yang terkasih.

Kampung Saya (1953-1964)

Akhir tahun 50-an tahun, saat saya mulai sekolah, Yogya itu
berbeda sekali dengan Yogya hari ini. Ketika itu pohon-pohon asam
rindang berjajar di kiri-kanan jalan saya ke sekolah, dari Pakualaman
hingga kantor pos. Kerindangannya menyejukkan, namun di
bawahnya setiap pagi banyak tumpukan tinja gelandangan yang
malamnya buang hajat di situ. Penampakan serta baunya selalu
meneror siapapun yang lalu-lalang di dekatnya. Setelah 50-an tahun
kemudian, situasi seperti itu saya dapati di Kota Poona, India yang
jauh lebih bising dari Yogya tahun 50-an. Di sini saya tidak ingin
membandingkan lebih lanjut situasi kota Yogya dan Poona. Saya
hanya ingin mengindikasikan bahwa kekumuhan serta bau Yogya
ketika itu dapat saja terjadi di mana pun di dunia. Kenyataannya adalah
bahwa pengalaman patetik itu niscaya telah menjadi trauma yang lama
mengendap nyaris abadi dalam diri saya, kalau saja tidak terpicu oleh
colekan situasi (Poona) yang mirip.
Waktu endap panjang itu dapat dibayangkan sebagai semacam
lubang pipa hisap air sumur dangkal yang hampa dan gagal tak
berdaya karena harus menghisap air melampaui batas daya hisap fisika
maksimalnya, yang hanya sembilan meter. Tetapi ketika ujung hisap
pipa di dalam sumur itu disuntik jet atau injeksi udara lewat pipa
tambahan yang dipasang paralel, maka pompa air itu berubah menjadi
pompa jet (jet pump). Daya angkat airnya pun jadi berlipat lebih dari

7
tiga kali hingga 30an meter dari permukaan air di dalam sumur 8.
Pengalaman ketemu lingkungan serupa Yogya di Poona itu seperti
menginjeksi kekuatan jet melalui lorong waktu hingga ke dasar
endapan kenangan saya. Dorongannya memungkinkan kenangan itu
muncrat seakan melampaui takdirnya sampai kembali menerpa wajah.
Begitulah kota Poona dalam benak saya jadi kembar, berduaan dengan
Yogya akhir tahun 50-an. Sebaliknya Yogya mengalami pembaruan,
jadi bersejarah karena terhubung dengan masa lalunya yang kumuh.
Ketika itu Bulaksumur, lokasi kampus UGM pun masih tanah
antah berantah berupa ladang singkong dan melati gambir, sementara
kompleks perumahan dosen Sekip itu masih berupa lapangan pacuan
kuda. Kampung kelahiran saya, Gunungketur, beda dengan kawasan
Kota Baru, tetapi kurang lebih sama dengan kampung-kampung lain
di kotamadya Yogya, teduh banyak pohon (buah) besar. Kerimbunan
beringin, tanjung, asem dan sawo kecik sekitar alun-alun mini
Sewandanan dan di dalam Pura Pakualaman adalah rumah ribuan
burung jalak, kuntul, sriti, codot dan kalong. Kicauan burung-burung
itu ramai indah mengisi hampa suara kota. Sesekali suara tepukan
kendang almarhum Sujud, pengamen legendaris kota Yogya menyela
di siang hari diiringi bunyi ting-trinting-ting-ting, dari penjual bakso
dan soto. Kadang tiba-tiba suara penjual jamu gandring legendaris
lewat menyela: “Muu…jamu..jamune…jamu gandring.” 9 Lalu sore

8 Jet pump adalah pompa air yang bekerja dengan hentakan tenaga hembusan (udara)

jet yang diinjeksikan lewat air pada pipa tambahan.


9 Ingatan saya kurang dapat merekam nada khas penjual jamu gandring tetapi favorit

saya dari jualannya adalah obat anget, biskuit jahe berwarna coklat bentuk oval tipis.
Rasanya manis pedas jahe. Jamu gandring dijajakan keliling dengan pikulan yang
dihiasi wayang golek. Penjualnya laki-laki memikul pikulan dilengkapi golek laki-
laki dan perempuan. Mungkin jamu gandring itu adalah jamu jenis afrodisiak
perangsang gairah seks di jaman itu terbuat dari tepung dan rempah seperti kayu
manis, jahe dan cengkeh. Bentuknya bulat berwarna hitam seperti kotoran kambing.
Kata gandring mengingatkan pada legenda kesaktian empu gandring pencipta keris
sakti majapahit milik Ken Arok yang dipakainya membunuh Tunggul Ametung dan
membunuh dirinya. Mungkinkah ada hubungan kebahasaan (penyamaran) antara
8
menjelang malam, setelah ribuan unggas hinggap kembali di pucuk-
pucuk pohon, teriakan nggaluur cemeng dan serak dari simbok penjual
tape jali (“peeee tapene jalii!!”) menyayat hati. Gema ngglalur suara
seraknya kerap mengantar anak-anak masuk gelap malam yang
angker, penuh bunyi belalang ngik-ngik-ngik, desiran gangsir dan
rongrongan orong-orong.
Bau kampung itu pun khas, seperti halnya bau setiap kota. Ada
rasa bau kampung saya tahun 60-an yang terasa masih melekat di
rongga hidung saya. Bau busuk parit sepanjang sisi Timur Pura
Pakualaman, yang ketika itu jadi kakus massal, gunungan sampah
yang tak terurus, dan comberan menyengat di sela-sela perumahan
kampung, seperti abadi di rongga hidung saya, bahkan tidak dapat
ditimpa parfum dan umur. Ini semua jadi isu sosial-politik lingkungan
yang sangat pelik. Negara ketika itu sedang bangkrut, dinas pekerjaan
umum nyaris mangkir, maka rakyat harus menyelesaikan urusannya
sendiri dengan berpolitik. Banyak orang berkeluh kesah atas situasi
yang terjadi, tetapi ada saja isu yang berlarut-larut tidak segera
terselesaikan.
Bau tinja dan sampah di parit itu adalah salah satu isu, yang
tidak segera terselesaikan dan semakin menjengkelkan. Maka
terjadilah kisah antropologi mini ini. Entah dari mana inspirasinya,
pada malam Jumat (angker), ayah saya, berpakaian adat jawa lengkap
dengan blangkon dan keris tersematkan di pinggang belakang, pergi
ke luar rumah membawa bara arang di anglo kecil. Ia kemudian
membakar kemenyan persis di bawah tiang listrik di pinggir parit
“kakus”. Dia kipasi bara arang itu di anglo. Seakan-akan seperti dukun
berinteraksi dengan demit, bau kemenyan pun semerbak menyeruak
kemana-mana. Perbuatan ala dukun itu tentu saja terpantau oleh
orang-orang kampung. Parit di depan rumah, di bawah tiang listrik itu
serta merta berubah jadi (media) penanda sarang demit yang tidak

gandring dan gandrung (hasrat seksual)? Kenangan visual tentang jamu gandring
tahun 70an misalnya dapat dilihat dilaman
https://i.pinimg.com/736x/90/49/95/9049957d7afcfc2cd6c75175d5bf368c.jpg
9
pernah tampak. Sejak itu tidak ada lagi orang buang hajat di parit muka
rumah kami. Demit yang tidak pernah terlihat mata, tetapi dianggap
ada dan lebih sakti dari manusia biasa yang terlihat, itu telah
dihadirkan oleh dukun dan bau kemenyan.
Kelindan bebauan itu seperti kekal melekat di hidung saya
tanpa ada kata-kata yang tepat untuk menyumbatnya satu per satu. 10
Bersama sekalian penanda lainnya, bebauan itu membentuk identitas
kampung yang khas. Kadang-kadang bau kentang kleci bercampur
bunga sedap malam dan kemenyan bakar tiap malam Jumat menyedak
nafas. Pada saat bersamaan saya kadang teringat di halaman sebelah
rumah ada kuburan (konon korban revolusi), lalu di sebelahnya lagi
ada dua atau tiga kuburan yang tidak pernah saya kenali. Kami, anak-
anak (cah) kampung tumbuh, menandai tempat-tempat wewe-
genderuwo beserta demit kampung ngenggon (berdomisili). Di sana
juga kami bermain panjat pohon, petak umpet, zondag-mandag,
pasaran, kasti, main bola, layangan, dan sebagainya.
Para orangtua kami umumnya adalah generasi pertama migran
dari desa yang mukim di kota Yogya. Mereka masih punya ikatan
emosional dengan kakek-nenek kami yang masih mukim di desa.
Kenangan mereka pada jaringan kerabat leluhur dan sanak kerabat
sebayanya di desa masih kental. Kerap kali mereka mudik membawa
anak-anaknya berkenalan dengan hidup di desa asalnya. Wacana asal-
usul genealogi sering mereka kisahkan lewat percakapan sehari-hari.
Biasanya mereka membentuk kerukunan lewat arisan bersama, saling
kirim bancakan (termasuk ruwahan dengan berbagi apem, kolak dan
ketan) untuk memule kerabat yang sudah di alam baka. Kerabat ibu
saya mengalir dari Ketangi, Bagelen lewat Mendut dan Muntilan.
Sementara ayah saya asal Wates, Kulonprogo. Tetangga kiri kanan
asal usulnya juga beda-beda, bahkan ada yang dari Jakarta. Para orang
tua itu bertutur kata cenderung dengan resmi, seperti sedang

10 Saya sepertinya percaya fungsi kata itu adalah untuk melupakan kenangan yang
tak terperikan (pathetic), mengubur mimpi dan gagasan (lihat Barthes) serta
mengalihkan masalah/isu.
10
berhadapan dengan orang yang belum akrab saja. Mereka berbicara
satu sama lain dalam bahasa Jawa krama madya (cenderung formal).
Kami anak-anaknya juga diajari bertegur sapa dengan teman-teman
agar tidak njangkar (tanpa atribut/hirarki) meskipun sedang bicara
ngoko. Di bagian kampung lain yang dominan penduduk asli, orang
lebih sering bicara Jawa ngoko.
Saya sendiri terlahir di Kampung Gunungketur, Pakualaman.
Di dalam rumah kami bicara Jawa Ngoko. Hanya dengan orangtua,
kami berbicara sedikit krama, hanya ungkapan-ungkapan terkait
kualitas bapak dan ibu kami gunakan frasa ataupun kosa kata bahasa
krama. Padahal bahasa “cinta” bapak dan ibu kami sesungguhnya
bahasa Belanda. Kami anak-anak mendengarnya, tetapi tidak tahu apa
yang mereka perbincangkan dan kami pun tidak diajari dan tidak mau
mengerti.
Pada momen seperti itu, ketika bapak dan ibu berbahasa
Belanda, tercipta jurang pemisah generasi yang aneh, tidak pada
tempatnya, antara orangtua dengan kami anak-anak. Pernah saya
bertanya kepada ibu: “Mengapa kami anak-anak tidak diajari
berbahasa Belanda?” Katanya itu berbahaya untuk anak-anak di
zaman revolusi. Ibu takut kalau anak-anak jadi aneh bagi gerakan
perjuangan kemerdekaan anti Belanda, yang sedang memuncak di
tahun 50-an. Ia ingin membebaskan anak-anaknya dari kemungkinan
tampak memihak Belanda (kemlanda-mlanda) dan bisa dicap anti
revolusi. 11 Kenangan pada keseharian aneh di masa lalu seperti itu
diam-diam telah mengantar saya gemar ngobrol tentang hidup sehari
hari. Inilah kira-kira awal saya jadi antropolog kecil amatiran,

11 Semoga saya tidak salah dengar dari BRO’G Anderson dalam obrolan santai,
revolusi pemoeda sesungguhnya sudah mati di tahun 50an dan menjadi Indonesia
itu tidaklah benar-benar anti Belanda. James T Siegel (1997: 7) mengatakan sejarah
Indonesia bukan terbuat dari sumber asli dan juga bukan pinjaman asing, tetapi efek
dari relasi antara keduanya. Namun demikian gerakan anti Belanda toh secara politik
ter orkestrasi dan ujungnya terjadi juga pengusiran warga keturunan Belanda hingga
habis di tahun 1958.
11
meninggalkan kenyamanan domestik masuk ke sekolah, berjumpa
dengan teman sebaya berbeda kampung dan kelas.

Pergi Sekolah

Di taman kanak-kanak saya bersekolah hampir dua tahun dan


masuk sekolah rakyat pada usia lima tahunan. Cerita hidup berlarian
kesana kemari cekeran tanpa alas kaki selama di rumah dan di
kampung harus berubah. Pakai sepatu saat pergi sekolah adalah
perkara besar saya. Entah mengapa kaki saya telah tumbuh besar di
atas rata-rata kaki anak seusia. Lalu satu kaki ternyata sedikit lebih
besar, sementara sepatu di toko selalu dibuat dengan standar sama
ukuran untuk kanan dan kiri. Sulit sekali menemukan sepatu yang
langsung cocok untuk ukuran kaki saya. Sepatu apapun yang dibelikan
orang tua selalu saja, begitu dipakai jalan ke sekolah, bikin salah satu
kaki saya lecet. Kemauan bersepatu saat itu tentu saja ada, tetapi kaki
yang lecet dan terasa pedih menolaknya.
Situasi itu cepat berubah jadi keluhan bahkan rengekan.
Namun siapakah orang yang suka dan mau mengerti keluhan dan
rengekan bocah? Tentu saja ada tetapi tidak banyak. Penjual sepatu,
bahkan orang tua, biasa (normal) sekali menjawab: “Tidak apa-apa
nak, nanti kalau sudah lama sepatu akan melar sesuai kakimu.”
Mereka melihat kaki saya lecet gara-gara bersepatu, tetapi kesulitan,
bahkan mungkin tidak mau untuk mengerti bahwa itu akibat ukuran
sepatunya tidak cocok. Pengalaman sulit dimengerti orang itu
membuat saya merasa jadi korban (sosial) keanehan (kaki) saya
sendiri. Apa boleh buat lecet kaki itu sakit yang harus saya tanggung
bahkan di hadapan ayah dan ibu saya. Agar berkenan bagi ayah-bunda,
maka tiap pagi berangkat dari rumah, saya tampak rapi-jali (deftig)
bersepatu. Sampai di depan rumah tetangga ada kalanya sepatu saya
lepas dan kemudian sepatu itu saya tenteng atau saya gantungkan di
pundak. Perjalanan ke sekolah berlanjut cekeran tanpa alas sepatu
sampai sekolah dan sebelum masuk kelas sepatu dipasang kembali. Ini
jelas aneh bahkan lucu dan bisa jadi bahan olok-olok. Menjadi
12
(beridentitas) aneh itu artinya norak, terpinggirkan dari pandangan
serta anggapan orang (lain).
Semasa sekolah rakyat, pelan tapi pasti, suka duka atau agoni
jadi orang aneh itu rasanya seperti melibatkan kerja nalar dua arah.
Pertama arah ke dalam yang menusuk mental 12 dan bikin nyeri, malu,
ciut nyali, cemas dan takut. Inilah kerja nalar analitik, seperti trik para
akademisi publik yang serba khawatir untuk berargumen
mendesakkan kekhawatirannya ke tengah publik. Nalarnya bekerja
tergantung pada desakan yang membuka kesempatan, ruang hampa,
untuk menusuk-lanjutkan tikaman kekhawatirannya kepada liyan.
Bukaan hampa itu dibayangkan terjadi karena sesama nalar analitik
ikut-ikutan (latah) bergerak mendesak secara horizontal hingga
tandas-mampat. Sisanya adalah energi mampat-menjepit, siap
mengejan (ngeden) meledakkan reaksi pegas. Inilah kondisi atau
modal kerja dari nalar dialektik. Arah nalar ini nggiwar balik
menjadikan nalar analitik sebagai batu pijakan guna membatalkan
derita tajam yang diakibatkannya, untuk mencari ruang
artikulasi/pengertian baru. Dengan kemampuan budi bahasa yang
memadai reaksi pegas ini dapat termediasi hingga berdaya untuk
menghasilkan kelegaan dan kebahagiaan kecil karena menjadi aneh,
yaitu identitas baru yang mungkin saja belum/tidak perlu
dimengerti. 13

12 Koentjaraningrat melihat mentalitas itu sebagai jiwa kebudayaan, yaitu sistem


nilai yang tertanam dalam alam pikiran, yang sejak masa kecil kita pelajari (1998:
13).
13 Dalam pidato pengukuhan, saya (Laksono 2009: 7) menempatkan isu ontologi

identitas sosial budaya, dialektika antara nalar dialektik dan nalar analitik, pencarian
diri kita yang unik itu sebagai bungkus atas paling tidak tiga persoalan besar yang
telah ditengarai Koentjaraningrat, yaitu persoalan integrasi nasional, perubahan
sosial budaya dan pengembangan komunitas.

13
Bapak ibu, dan hadirin yang terhormat.
Mungkin banyak di antara kita mengalami seperti apa yang
saya alami, bahwa interaksi kedua nalar itu pernah kita rasakan dari
dongeng, terutama dari science fiction. Biasanya dongeng yang
memukau akan mengeksplorasi inovasi yang belum sepenuhnya
diterima nalar mainstream. Guru sekolah rakyat favorit saya adalah
Bruder Michael, seorang pendongeng ulung. Kami, para siswa sangat
kegirangan bila ia masuk ruang kelas mengisi kekosongan pelajaran.
Seingat saya, ia pernah mulai memperkenalkan diri dengan
menceritakan kemampuannya membaca cepat yang mustahil bisa saya
lakukan ketika itu. Membaca judul artikel saja masih saya eja,
sementara beliau mengaku membaca seluruh isi koran tidak lebih dari
lima menit. Dari sana ia mulai mendongeng dengan sangat
mengagumkan bahwa protagonisnya punya mobil terbang bertangan
untuk meminggirkan orang-orang yang menutupi laju terbangnya di
jalanan kota yang sibuk. Di kota Yogya ketika itu jumlah mobil
mungkin tidak lebih dari seratus. Melihat mobil saja kami sudah
kegirangan karena itu kesempatan langka. Lalu didongengkan oleh
guru yang ajaib kompetensi baca cepatnya itu, kalau ada mobil bisa
terbang membelah keramaian kota. Mungkinkah? Faktanya, secara
formal atau analitik tidak ada mobil terbang ketika itu. Tetapi itu
menjadi ada, karena didongengkan secara dialektis menyatukan
kemampuan mobil dan pesawat terbang dan dikembalikan pada
kemampuan tangan kita sendiri menyeruak kepadatan jalanan kota.
Dongengnya reflektif dan imaginatif karena digerakkan baik oleh
nalar analitik, yang membenarkan bahwa keberadaan mobil itu nyata
pada saat itu, maupun oleh nalar dialektik yang
memadukan/mengintegrasikan keberadaan mobil dan pesawat
terbang, menjadi mobil terbang yaitu identitas materi baru yang masih
imajinatif.

14
Jauh dari Orangtua

Menjelang peristiwa besar 1965 saya meninggalkan Yogya


masuk seminari menengah Stella Maris di Bogor. Perjalanan kereta
api ke Jakarta sangat melelahkan, entah berapa lama perjalanan ketika
itu, mungkin antara 14 hingga 20 jam. Ibu dan kakak tertua
mengantarkan saya. Tiba di Jakarta saya sakit demam, sehingga kami
terpaksa memperpanjang beberapa hari numpang keluarga istirahat di
Jakarta. Tiba di Bogor saya jadi warga baru yang aneh. Kami tiba
menjelang siang ketika semua siswa sedang di kelas. Begitu ditinggal
ibu dan kakak, saya sendirian saja bersama Pater Koopman Ofm,
rektor seminari ketika itu. Mendadak rasa sepi dan asing menyelimuti
diri saya. Tak lama kemudian saya dipersilakan makan siang bersama
seluruh siswa. Semuanya berbicara cas-cis-cus dalam bahasa
Indonesia yang fasih, sementara saya tergagap-gagap tak mampu
mengimbanginya. Saya dihinggapi gegar budaya, rasa malu, nyaris
rendah diri dan nyaris putus asa. Wajah saya hanya bengong dan
plonga-plongo. Apapun, yang keluar dari mulut saya, terasa aneh di
telinga siswa lainnya. Ada yang menganggap bahasa saya medog, aneh
tidak lazim di telinga orang yang sudah lama tinggal Jakarta dan
Bogor.
Saya berasal dari sekolah rakyat di Yogya yang
diselenggarakan dalam bahasa ibu para siswa, yaitu bahasa Jawa.
Sehari-hari di rumah maupun di kampung saya berbahasa Jawa.
Pelajaran bahasa Indonesia dimulai ketika kami kelas empat. Jadi
bahasa Indonesia itu bahasa kedua saya dan sebenarnya bagi semua
orang Indonesia ketika itu. Surat-surat ibu kepada guru ketika
melaporkan anaknya sakit lebih berbunyi Melayu daripada bahasa
Indonesia modern seperti hari ini. Bisa dibayangkan, seperti apakah
krisis identitas hingga gegar budaya yang saya alami. Saat itu saya
baru berusia 11 tahun. Saya merasa apapun kekurangan di rumah,
kampung dan Yogya masih lebih baik daripada di rantau. Tiap saat
saya menghitung hari kapan liburan datang dan saya bisa pulang ke
rumah. Di kelas saya jadi bahan tertawaan karena ketika pelajaran
15
pertama bahasa Sunda saya gagal mengeja vokal eu, karena saya
membacanya e_u. Akibatnya antara lain saya dapat nilai merah
berangka empat di raport untuk pelajaran bahasa Sunda di kuartal
pertama. Saya belum pernah mengalami situasi seburuk itu.

Bapak, ibu dan Hadirin sekalian,


Hari ini setelah belajar antropologi, saya pandang prestasi
belajar terburuk itu sebagai akibat perbedaan antar budaya Jawa dan
Sunda, yang sepertinya tidak jauh-jauh amat tetapi ternyata dapat
bikin saya gegar budaya. Diri saya ketika itu betul-betul ada di posisi
aneh, bukan lagi Jawa tetapi belum juga Sunda bahkan belum
Indonesia. Kemampuan berbahasa asing saya walau sebenarnya sudah
terlatih ketika saya harus berbicara jawa krama, mutlak diperlukan
dalam situasi seperti itu. Salah satu jalan keluar dari situasi menjadi
pariah gara-gara bahasa adalah pelajari bahasa orang lain mitra kita
sebaik mungkin. Inspirasi ini datang karena melihat bapak pengakuan
dosa saya. Ia seorang uskup asal Belanda yang fasih dan halus sekali
berbahasa sunda. Ia bernama Paternus Nicolaas Joannes Cornelius
Geise Ofm, 14 yang di kemudian hari, saya ketahui bahwa dia adalah
doktor antropologi alumni dari Universitas Leiden. Disertasinya
membahas hubungan antara masyarakat Baduy dengan orang-orang
Islam di Kanekes, Banten. Saya malu: kalau dia yang jauh dari
Belanda saja bisa belajar dan fasih berbahasa Sunda, mengapa saya
yang jaraknya hanya semalam naik bus atau kereta api dari Yogya
tidak bisa?
Kuartal berikutnya tibalah pelajaran menulis aksara Sunda,
Hanacaraka, yang sama dengan pelajaran saya ketika kelas tiga
sekolah rakyat. Perbedaan keduanya persis pada konsonan t dan d
palatal, yang jadi ciri medog saya mangkir di aksara Sunda. Setiap kali
tes, nilai saya di atas delapan, sementara teman lain yang tidak pernah

14 Karya beliau belum lama ini diterbitkan penerbit buku Kompas dengan judul
Badujs en Muslims: kajian Etnografis Masjarakat Adat di Lebak Parahiang, Banten
Selatan.
16
kenal Hanacaraka di bawah lima. Alhasil nilai raport bahasa Sunda
saya untuk kuartal kedua meroket jadi delapan. Rupanya nalar
dialektik saya telah memperbaharui nilai raport saya. Lain hari
(mungkin) seorang mahasiswa doktoral antropologi dari Swiss datang
menginap di seminari. Ia baru saja pulang dari riset pada orang Dayak
Ngaju di Kalimantan Tengah. Perilakunya aneh, ia terlalu sering
ongkang-ongkang kaki di bibir kolam mujair di halaman tengah
seminari. Ketika berceramah, ia mendemonstrasikan kemampuannya
menyanyi berbahasa Ngaju sambil menari Dayak. Saya terperangah.
Hati kecil saya berkata, sebagai orang Indonesia asal Yogya saja, saya
nyaris gagal mengapresiasi bahasa dan budaya Sunda, tetapi dia
seorang antropolog Swiss berbahasa ibu Jerman dapat menyanyi dan
menari Dayak? 15

Mencari Antropologi

Kemahiran berbahasa ibu liyan dari kedua antropolog itu


memberi inspirasi, kalau antropologi itu ilmu antar budaya yang dapat
menyambung tali silaturahmi atas begitu banyak perbedaan budaya.
Bulat sudah tekad saya untuk belajar antropologi. Harapannya,
sebagai orang Indonesia, saya tidak gagap meng-Indonesia, yaitu
mengapresiasi kebhinekaan bahasa dan budaya nusantara. Pendek
cerita di akhir sekolah menengah atas th.1971, ada survei kecil tentang
minat melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Kedapatan kalau saya
satu-satunya siswa di sekolah itu yang mau melanjutkan studi ke
jurusan antropologi. Seorang guru, alumni Fakultas Sastra dan
Kebudayaan UGM, menghampiri saya berbisik manis: “Kalau mau
belajar antropologi sebaiknya jangan ke UGM, jelek.”
Wouw, saran pak guru itu harus saya pertimbangkan. Fakta
berbicara, sejak 1962 hingga tahun 1970 hanya ada empat jurusan
antropologi di Indonesia, yaitu UI, UNPAD, UGM dan UNSRAT.

15Situasi kebahasaan seperti ini semestinya berimplikasi besar bagi warna


antropologi Indonesia.
17
Meskipun mahasiswanya sangat terbatas, hanya dua hingga 16 orang
per tahun, sejak 1962 UI setiap tahun meluluskan sarjana antropologi.
Ada puluhan mahasiswa tiap tahun masuk antropologi UNPAD dan
sejak 1967 sekitar setengah lusin di antaranya lulus sarjana. Sementara
itu sejak angkatan pertama, rombongan belajar tiap tahun di jurusan
antropologi UGM selalu terbesar di Indonesia. Pertama kali dibuka
(1962) ada 42 orang masuk kuliah, lalu jumlahnya tiap tahun menurun
hingga tinggal 15 saja yang masuk pada tahun 1970. Rekor
kelulusannya nihil sampai dengan tahun 1970. Catatan statistik ini
mengisyaratkan antropologi memang lebih populer di daerah daripada
di Jakarta (Koentjaraningrat 1975: 250-251). Tetapi data seperti itu,
sepertinya cocok dengan bisikan pak guru saya, bahwa situasi jurusan
antropologi UGM tidak baik-baik saja, sehingga ia menyarankan saya
untuk tidak masuk antropologi UGM.
Apa boleh buat belajar di Yogya itu satu-satunya kemungkinan
terjangkau untuk kondisi dan situasi keuangan kami sekeluarga.
Keputusan saya (nekad) bulat, tetap melamar antropologi UGM.
Setelah BA mudah-mudahan ijazah saya cukup untuk bekerja jadi
jurnalis. 16 Hati kecil saya berkata, bahwa sekolah boleh jelek, tetapi
keberhasilan tergantung pada orang yang mau belajar bukan pada
sekolah maupun dosennya. Seorang guru SMP saya pernah berkata di
kelas, bahwa murid TK 100% tergantung tuntunan guru. Lalu ketika
murid itu masuk SD ketergantungannya menurun tinggal 75%. Nah
ketika di SMP murid itu setengah merdeka dan ketika SMA ia 75%
merdeka dan tinggal sedikit saja tergantung pada gurunya. Jadi kelak
saat masuk universitas jadi mahasiswa ia mengharapkan para
siswanya 100% mandiri. Kenyataannya proses belajar dan berinteraksi
dengan lembaga pendidikan tentu jauh lebih rumit, tetapi tekad saya
belajar antropologi telah terpompa simplifikasi pak guru.

16Bayangan anak muda ketika itu, jurnalis itu gagah berkuasa, sehingga saya pikir
penghasilannya akan cukup untuk membiayai obsesi saya untuk mengulang sekolah
SMA jurusan IPA agar saya dapat maju jadi insinyur bukan antropolog.
18
Nyaris pada detik terakhir masa pendaftaran mahasiswa,
dokumen pendaftaran saya jadi mahasiswa diterima oleh panitia
pendaftar di Balairung UGM. Setelah seluruh proses seleksi saya ikuti,
datanglah pak pos mengantar surat panggilan pada orangtua untuk
hadir ke Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM. Inti surat menyatakan
kalau saya diterima kuliah antropologi. Dengan sangat bangga bapak
saya bangkit dari kursi jemurnya. Ia langsung masuk rumah berganti
busana deftig, ambil topi koboi kebanggaannya dan langsung keluar
mengayuh sepeda onthel menembus teriknya matahari siang, lewat
Purwanggan, Lempuyangan, Kridosono, RS Panti Rapih dan langsung
ke Fakultas Sastra. Ia menemui ketua panitia penerimaan mahasiswa
Fakultas Sastra dan Kebudayaan. Ia diyakinkan bahwa saya sungguh-
sungguh diterima sebagai mahasiswa antropologi. Sepulang dari
perjalanan, yang saya tahu pasti melelahkan untuk pensiunan yang
lama tidak pernah bersepeda, ia masuk rumah sambil buka topi
menyerukan panggilan kesayangannya untuk saya, “Lis. Bapak baru
dari Bulaksumur. Kamu diterima di antropologi, sana segera diurus!”
Jadilah saya mahasiswa antropologi angkatan 1972. Hari
pertama masuk kuliah bikin saya gegar budaya. Itu adalah pengalaman
saya pertama belajar dalam sistem koedukasi 17 selepas taman kanak-
kanak. Kursi dan meja belajar menyatu. Kursi lebar tetapi mejanya
kecil, selebar ukuran kertas folio, letaknya ke arah setengah lebar
muka kursi menghalangi gerak spontan mahasiswa yang mau duduk
dan berdiri. Siapa pun kalau ingin duduk dan berdiri harus
menggerakkan pantatnya mengulir (nggiwar-ngebor) 18 terlebih
dahulu. Kursi itu diam-diam jadi penjara mini bagi lantangnya
kebebasan mimbar akademi yang didengungkan semua universitas di
dunia. Kepala dan mulut boleh bebas, tetapi kaki dan pantat kita tetap
di tempat. Waktu perkuliahan tidak dapat diandalkan, bahkan tidak

17 Koedukasi menempatkan laki-laki dan perempuan dalam satu ruang belajar.


18 Antropologi itu bekerja seperti mesin bor (drill), memudahkan orang membuka
lorong menembus ruang dan waktu mencapai kesejahteraan umum yang merdeka
secara lebih manusiawi.
19
ada lonceng pergantian jam pelajaran seperti di SMA. Hanya dosen
bebas bergerak di dalam kelas. Materi kuliah seperti suka-suka dosen.
Penyampai materi sebagian adalah lisan (mondeling) bahkan bergaya
mendikte (lt. dictare = memerintah), sehingga jual beli diktat
perkuliahan rangkuman para aktivis organisasi luar kampus pun ramai.
Tiba waktunya harus memotivasi diri, potongan populer dari pidato
John F. Kennedy berdegup di dada: “Don't ask what the country can
do for you, but ask yourself what you can do for your country.” Ini
mirip wacana Himne Gadjah Mada yang menggetarkan hati para
civitas akademika UGM. Jadi apa yang dapat kita lakukan bagi
(tempat kita menuntut ilmu) antropologi dan Indonesia?
Dengan motivasi yang sudah terpompa seperti itu dan
menghadapi situasi kampus yang serba terbatas, tinggallah sikap
ikhlas, yang saya jadikan awalan strategis belajar antropologi di UGM.
Ber-antropologi itu berilmu untuk orang lain bukan sekedar tahu
tentang orang lain. Tetapi dari mana saya harus memulainya? Kami
satu kelas angkatan 1972 beruntung sekali mendapat kesempatan
pertama dan terakhir diajar oleh Prof. Soemadi Soemowidagdo. 19
Materi kuliahnya sudah tidak terlalu saya ingat. Tetapi penampilan
dan tekniknya mengajar di depan mata kami para mahasiswa sangat
unik dan sulit sekali saya lupakan. Ia berbusana putih lengan panjang.
Penampilannya santun sering membungkukkan tubuh sambil menyapa
para mahasiswa. Posisinya terus bergerak ke semua titik, yang
mungkin, untuk mendekati mahasiswa hingga kursi paling sekalipun.
20

19 Beliau seorang filolog dan bersama Prof. Koentjaraningrat mendirikan jurusan


antropologi UGM.
20 Pendekatan ini, di belakang hari kita kenal sebagai pendekatan mengajar yang

partisipatoris.
20
Berjumpa Antropologi

Tanpa terasa, sesungguhnya beliau mengajarkan langkah


pertama belajar antropologi, yaitu belajar menggunakan mata kita
untuk melihat peristiwa (yang tidak terlihat). Penglihatan mata saya
pada cara Prof. Soemadi mengajar di kelas bertahan hingga hari ini,
bahkan menjadi inspirasi saya beraksi di depan kelas. 21 Sepulang dari
kuliah, ayah saya bertanya, “Kamu tadi belajar apa?” Sekarang saya
agak lupa apa jawaban saya. Kalau tidak salah, materi kuliah beliau
ketika itu adalah Islamologi. Tetapi saya ingat bercerita pada ayah
kalau dosennya luar biasa, namanya Prof. Soemadi Soemowidagdo,
penampilannya deftig, rapi jali dan sangat kompeten. Ayah bilang,
“Kamu beruntung sekali. Ayah kenal, beliau memang hebat.
Sampaikan salam ayahmu untuk beliau.” Saat itulah saya sadar kalau
saya tidak sendirian berkuliah, tetapi cita-cita, harapan dan relasi
sosial ayah diam-diam mengendap di benakku saat kuliah. Ternyata
belajar antropologi itu tidak pernah soliter mutlak, karena mata kita
selalu mata sosial. Kita hanya melihat apa yang mau kita lihat dan diri
kita pun selalu mengemban kepentingan sosial kita, yang terus
menerus kita refleksikan pada liyan di depan mata kita.
Kelas antropologi adalah proses belajar yang semestinya
memuat sebanyak mungkin tanggapan etnografik bagi hidup kita
sehari-hari. Kami berterima kasih mendapatkan begitu banyak stimuli
dari kebersahajaan almarhum Dr. Hans J. Daeng yang selalu
membawa serta pengalaman sehari-hari pribadi beliau ke dalam
diskusi. Bekal masuknya ke dalam kelas selalu penuh dengan kisah
perjumpaan antar budaya yang dialaminya. Ia (sebagai perantau dari
NTT) mengundang reaksi mahasiswa dengan begitu banyak

21 Seorang sahabat di kelas sangat terkesan pada sorot mata Prof. Masri Singarimbun

yang katanya jernih sekali. Teman lain kecut, ciut nyalinya, melihat seorang dosen
lain yang tampil jantan merokok sambung menyambung dan suaranya menggelegar.
Ia sampai terkencing di celana, sekali saja dosen itu memanggil namanya di kelas.
Mengendalikan mata dan kemudian telinga adalah latihan penting bagi calon
antropolog.
21
pertanyaan dari apa yang ia alami di rumah kontraknya di tengah
kampung, menimba air dan mencuci baju bersama tetangga, melihat
kerbau menarik bajak di sawah belakang rumahnya dan berbelanja
sayuran bersama istri di pasar Sentul, dsb. Banyak kali mahasiswa
hanya menoleh kiri-kanan tidak siap menjawab. Kalau ada yang
menjawab beliau punya susulan pertanyaan yang lebih eksplisit,
komparatif dan reflektif. Pendek kata, Pak Hans Daeng mampu
mengkomunikasikan antropologi secara wajar serta mudah tanpa
retorika yang melambung-lambung.
Setelah melewati masa propadeus, kami mahasiswa
antropologi angkatan 1972 menerima pengapesan. Mulai tahun 1973
jurusan antropologi UGM harus menutup program doktoral. Sejak itu
tujuan puncak studi kami adalah mencapai jenjang sarjana muda (BA),
studi selanjutnya untuk menjadi sarjana (Drs.) tertutup. Dua tahun
kemudian, UGM mendatangkan Prof. Dr. Masri Singarimbun
antropolog yang tulus dan berkaliber untuk menjadi dosen di Fakultas
Ekonomi dan untuk mendirikan Lembaga Kependudukan. Dengan
sangat cepat empatinya pada jurusan antropologi membuncah. Ia tidak
hanya mengundang dosen antropologi untuk bekerja bersama para
dosen fakultas lain di lembaga yang baru saja dirintisnya, tetapi beliau
juga mau membagi waktunya mengajar kependudukan (demografi) di
kelas kami. Kelasnya seperti membukakan mata, bahwa urusan
antropologi dapat bersinggungan dengan urusan statistik
kependudukan, fertilitas, keluarga berencana, migrasi, hingga
peramalan jumlah penduduk di masa depan. Saya melihat secercah
cahaya diujung terowongan dari kelas ini. Dalam waktu singkat saya
lalap tumpukan modul pelatihan kependudukan nasional yang
kebetulan diikuti kedua orangtua saya. Diam-diam langkah saya
beberapa kali lebih cepat dari situasi (irama) kuliah.

22
Dapat Kejutan

Pada satu siang saya masuk kelas kependudukan yang sedang


membahas ramalan pertumbuhan penduduk. Hanya dalam beberapa
saat saya tertidur. Saya kaget terbangun, karena nama saya dipanggil.
Dalam keadaan setengah sadar saya menjawab, “ya, pak.” “Coba
saudara jawab!”,katanya Pak Masri. Dengan gugup saya
memberanikan diri bersuara, sambil menghela nafas, “Mohon maaf
pak, bisakah diulangi pertanyaannya?”, kata saya. “Jumlah penduduk
tahun… adalah sekian… tingkat pertumbuhannya…per tahun. Berapa
jumlah penduduk…10 tahun yang akan datang.”, tanyanya. “Baik pak,
bolehkah saya maju ke papan tulis?”, lanjut saya. “Silakan!”. Dengan
cepat saya selesaikan soalnya. Wajah beliau berubah teduh. “Benar,
silakan duduk kembali!”, kantuk saya hilang hingga akhir kelas,
beruntung sekali keteledoran saya tidur tidak bikin drama kelas. Saat
mau keluar kelas, beliau menyempatkan diri mengundang saya ke
kantornya. Tidak ada teman yang mengerti kecemasan saya karena
harus menghadap ke kantor dosen, hanya setelah saya kedapatan
tertidur di kelasnya.
Setelah membangun skenario apa yang bakal terjadi kalau saya
menghadap Pak Masri dan setelah siap dengan berbagai kemungkinan,
saya datang memenuhi undangannya. Saya sampaikan niat kedatangan
saya pada resepsionis/sekretaris beliau. Segera setelah kedatangan
saya dilaporkan, pintu kantornya terbuka dan saya dipersilakan masuk.
“Silakan duduk Laksono. Selain kuliah apakah kamu ada kegiatan
lain?”. “Ya pak, saya biasa nyopir omprengan untuk sedikit-sedikit
bantu orangtua dan bayar sekolah.”, jawab saya. “Berapa kamu dapat
dari bekerja seperti itu?”. Saya jawab, “Tidak menentu pak.” Hati saya
masih siap menerima amarahnya, jika beliau tersinggung kelakuan
saya tertidur di kelasnya. Yang terjadi adalah kejutan besar. “Laksono,
kalau kamu mau, silakan kami dibantu. Lembaga Kependudukan akan
ada penelitian besar bersama Universitas Hawaii tentang Nilai Anak.
Kami perlu asisten penelitian lapangan. Uangnya mungkin tidak
sebanyak dari yang sudah pernah kamu dapatkan. Nanti kami kabari
23
kalau proyeknya mulai berjalan.” Hati kecil saya berkata: Oh,
terimakasih Tuhan, ini kelokan tajam atau epiphany dalam hidup saya.
“Baik pak, saya siap membantu. Bekerja di sini akan mendekatkan
saya pada kehidupan akademik di kampus.” Kecemasan saya sirna.
Saya meninggalkan kantor beliau dengan nafas lega dan kepala tegak.

Kejutan kedua datang. Pada siang hari berikutnya, Ibu Irawati


Singarimbun datang ke rumah menjemput saya, naik satu-satunya
Holden kuning di kota Yogya yang memakai sun visor (bertopi).
Ibu Irawati :“Laks, Bapak mau ketemu kamu sekarang.”
Saya :“Sekarang Bu?”
Ibu Irawati :“Ya, sekarang ikut saya.”
Saya : “Bu, maaf saya berganti baju dulu.”

Secepatnya saya tukar sarung saya dengan pakaian mahasiswa


kuliah. Saya merasa sangat sungkan duduk di kursi penumpang. Di
dalam mobil itu, Bu Ira lebih banyak bicara terutama tentang
kebingungannya: “Entah ada apa Bapak itu dengan kamu. Laks?
Bapak ingin secepatnya kamu datang.” Kecemasan saya muncul
kembali, rasa canggung mengungkung batin sepanjang perjalanan dari
Gunungketur sampai Bulaksumur. Tiba di Bulaksumur H6, kantor
lembaga kependudukan ketika itu, dengan lincah Bu Ira keluar mobil
mengantar saya ke muka pintu kantor Pak Masri. “Pak, ini Laksono
sudah di sini,” kata Bu Ira. “Silakan masuk Laksono!” Berdua saja
kami di kantor beliau.
Pak Masri :“Begini Laksono, kami mengalami masalah dengan
survey vasektomi dan tubektomi. Ada banyak
responden tercecer belum diwawancarai dan mereka
tersebar di banyak desa. Sementara itu tim peneliti
sudah bergerak ke desa-desa lain. Tolong kamu cari
dan wawancarai mereka, pakai motor kantor saja
untuk itu.”

24
Saya : “Maaf Pak, saya tidak punya SIM C, saya sopir
dengan SIM A, sehari-hari saya ke kampus
bersepeda.”
Pak Masri : “Tidak apa-apa, saya percaya kamu, pakai saja
motor kantor.”

Sejak saat itu, begitu banyak kegiatan penelitian pernah saya


ikuti di Lembaga Kependudukan. Saya beruntung sekali selalu
disertakan dalam diskusi detail setiap tahap penelitian survey yang
saya ikuti. Menu diskusi sehari-harinya antara lain, apakah
operasionalisasi teori menjadi hipotesa kerja berkecocokan, lalu
apakah berbagai parameter konsisten dengan kriteria, indikator, dan
variabel yang terumuskan dalam questionnaire survey; bagaimana
bentuk pertanyaan dan respon yang tepat; lalu bagaimana
menanyakannya kepada responden?; bagaimana menarik sampel
responden yang representatif dst. dst.? Saya tidak ingat lagi berapa
ratus orang, di pedesaan, perkampungan dan di perkotaan, pernah saya
wawancarai dengan questionnaire. Saya juga tidak ingat lagi berapa
banyak desa pernah saya kunjungi. Pasti sudah puluhan provinsi
pernah saya kunjungi untuk penelitian lapangan bersama Lembaga
Kependudukan. Pak Masri Singarimbun tidak pernah berhenti
mendukung minat saya belajar antropologi. Beliau perkenalkan saya
dengan begitu banyak antropolog baik domestik maupun expat
berkaliber doktor dan profesor yang sering menghadiri seminar rutin
tiap Kamis di kantornya. Saya menyaksikan beliau selalu
membesarkan hati para asisten penelitinya, terutama mereka yang
sudah sarjana, untuk studi lanjut ke luar negeri.
Di Lembaga Kependudukan ketika itu banyak antropolog
datang dan pergi memberi pencerahan untuk membahas isu-isu
demografi. Isu klasik (konsep dan teori) antropologi memang nyaris
kurang tersentuh secara eksplisit, bahkan karya besar antropologi
direkturnya sendiri, yaitu Kinship, Descent and Alliance among the
Karo Batak, seperti terasingkan di rak perpustakaan bersama begitu
banyak buku antropologi lainnya. Situasi dan kondisi zaman
25
pembangunan memang memberi prioritas pada kerja ilmu terapan.
Sejarah antropologi agak terbalik, dari rekaman pengalaman para
penjelajah, misionaris dan pegawai pamong praja berjumpa liyan
menuju bangunan teori tentang universalitas kemanusiaan, seperti
tertawa sebagai pelampiasan kegembiraan ataupun menangis demi
kesedihan. Pada saat yang bersamaan, mereka juga melihat begitu
banyak pesona perbedaan atau partikularitas perilaku atas kehendak
yang sama. Misalnya orang India menggeleng-gelengkan kepala tanda
setuju. Sementara kita di sini menggelengkan kepala tanda tidak
setuju. Kita semua pernah belajar bagaimana dialektika antara
universalitas dan partikularitas ini menjadi garis merah sejarah
perkembangan ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

Di Bawah Arus (Metodologi) Populer

Bapak, ibu dan hadirin yang saya hormati,


Di kantor sempit dan panas di pavilion belakang Lembaga
Kependudukan itu sehari-hari seorang antropolog ingusan dan seorang
dosen ekonomi pertanian senior tidak putus-putusnya duduk
membahas thethek-bengek persoalan transmigrasi dan migrasi pada
umumnya. Diskusi selalu berkepanjangan dengan damai. Kami sama-
sama berangkat dari platform kejawen yang sama: “Anane ilmu iku
kanthi laku.” (Ilmu itu buah perjalanan hidup). 22 Naluri antropologi
junior itu fokus pada partikularitas para migran, justru ketika
seniornya biasa datang membawa tabel statistik mencari pembenaran
universal. Pertengahan tahun 70an memang tabel-tabel statistik rejim
metode survey sedang menjadi alat pembenaran akademik yang
populer. Akan tetapi metode survey di lembaga kependudukan UGM

22 Saya teringat kepada senior saya almarhum Ir. Soeratman, yang dari luar
antropologi selalu berempati pada keterbelakangan formal jurusan kami. Karena
dukungan beliau beserta jaringannya, “Kandang Antropologi” terwujud. Ia bahkan
telah merelakan puterinya sendiri yang ketika itu masih SD kelak menjadi
mahasiswa di dalamnya hingga lulus. Terimakasih yang tidak terhingga Pak.
26
ketika itu ternyata istimewa, karena niscaya mengapresiasi wacana
kualitatif yang partikular dan aneh dari para stafnya. Maklumlah
direktur dan banyak staf peneliti di dalamnya adalah para antropolog,
bahkan setengahnya adalah staf pengajar di jurusan antropologi.
Ada geliat implisit ber-antropologi dalam arus bawah wacana
demografi di sana. Kalau di permukaan ada gelombang survey yang
fokus pada sektor pembangunan di bidang kependudukan, maka di
kedalaman nurani para praktisinya ada “bara api” (semangat)
antropologi yang tidak pernah padam. Itulah Lembaga Kependudukan
UGM sepanjang yang saya alami. Saya sungguh-sungguh beruntung
ada di sana. Nyaris siang dan malam saya dapat mengakses wacana
implisit jantung akademiknya yaitu dari perpustakaan. Koleksi buku
antropologi Lembaga Kependudukan memang tidaklah besar, tetapi
dikelola terbuka dan diurus Bu Irawati Singarimbun dengan sangat
profesional. Saya menyaksikan begitu banyak sarjana antropologi
bebas mengakses isi koleksinya.
Ketika begitu banyak disiplin keilmuan terjebak dalam
pencarian kebenaran obyektif yang frekuensional, dapat dihitung dan
diukur, dari dalam kesunyian perpustakaan itu, saya membaca suatu
pergerakan yang paradoks. Di sana saya ikut bersama para antropolog
senior merayakan metode survey, tetapi sesungguhnya hati nurani
menyangkalnya. Kami, para “antropolog” terus berkomunitas
akademik tanpa papan nama. Secara “diam-diam” (implisit) kami
hidup bersolidaritas, berkomunikasi dalam jaringan halus saling
mengakui dan saling menghargai identitas antropologi kami masing-
masing tanpa pandang gelar dan pangkat. Di dalam selubung
struktural Lembaga Kependudukan itu ada komunitas akademik
antropologi yang sangat aktif. Komunitas itu bersama-sama
menghayati cara pandang kualitatif dan holistik (reflektif) kami
terhadap keniscayaan pembangunan (modernisasi). Komunitas itu
aktif saling mengerti berwacana positif dan produktif ikut melayani
struktur lembaga yang menaunginya. Dari praktek berkomunitas
menghadapi situasi liyannya, konsep dan teori antropologi

27
berkembang sementara para antropolog berusaha tetap tahu diri
sebagai instrumen metodologinya. 23

Bapak, ibu dan hadirin sekalian,


Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat, seperti halnya antropologi
di negara-negara lain, antropologi Indonesia berkembang dari
berbagai bidang studi baik akademik maupun aplikatif yang luas. Dari
pengamatannya pada direktori dalam Current Anthropology XI (1970)
dan Current Anthropology XII (1971), Koentjaraningrat (1975: VII)
bahkan menemukan nama-nama antropolog yang disiplin dan
profesinya sangat beragam: anatomi, linguis, filolog, sejarah
kebudayaan, sosiolog, hukum, misionaris, administrator dan kurator.
Dari begitu banyak bacaan, kita mungkin mengerti bahwa antropologi
lahir dari rahim filsafat anti rasialisme di negeri-negeri kolonial yang
mengalami krisis moral sosial justru karena ekonominya tumbuh
berkelebihan. Kalau sosiologi, katakanlah seperti yang dilahirkan
Emile Durkheim, Karl Marx, Max Weber, dan Talcott Parsons
mencari jawabnya berangkat dari tema-tema studi tentang isu-isu
sosial di Barat: bunuh diri, pembagian kerja, konflik kelas, etika
Protestan, hirarki sibernetik dalam sistem sosial dll. Maka antropologi
lahir dengan semangat pencarian eksotika, mencari jawab atas krisis
kehilangan kapasitas diri ketika harta negerinya berkelebihan, dengan
melihat situasi liyan (etnik) primitifnya di negeri terjajah.
Posisi antropologi di Indonesia dengan sangat komprehensif
telah dipetakan oleh pendekarnya yaitu Prof. Dr Koentjaraningrat.
Beliau memaparkan sejak pertengahan abad XIX J.J. De Hollander
dan P.J. Veth meramu keterangan tentang bumi dan suku-suku di
Hindia Belanda, dari para musafir, misionaris, pegawai pemerintah
dan penyelidik alam, ke dalam ilmu land- en volkenkunde van
Nederlandsch Indie. Ilmu itu kemudian, setelah mendapat sentuhan

23 Belajar dari Hegel soal kisah budak dan tuan untuk mencapai kesadaran diri,
ternyata kesadaran diri yang penuh (proses sejarah) itu tergantung penyangkalan
perbudakan (inferioritas) oleh budak (yang tertindas) (lihat Sarup 1994: 13-19)
28
teori evolusi G.A. Wilkens pada 1870-1890, berkembang menjadi
induk ilmu antropologi-budaya. Namun demikian setelah Wilkens
antropologi justru tenggelam terlampaui ilmu-ilmu lain termasuk oleh
ilmu hukum adat. Akibatnya hingga setelah Perang Dunia II, tahun 50-
an G.J. Held dalam Anthropology Today (1953: 868) menyebut
antropologi sebagai science of leftovers atau ilmu sisa-sisa
(Koentjaraningrat 1961:477). Hanya lima tahun setelah pernyataan
Held ini, pada tahun 1958 Koentjaraningrat mempertahankan
disertasinya, yaitu “Ikhtisar Metode-Metode Antropologi dalam
Penyelidikan-Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia.
Disertasi itu menakjubkan, tidak tertandingi dan menjadi
tonggak kebangkitan kembali ilmu antropologi nasional di Indonesia.
Pantas sekali bila Pak Koen, begitu sapaan akrab para kerabat
antropologi muridnya, kemudian digelari sebagai bapak antropologi
Indonesia. Sementara para muridnya membayangkan diri sebagai
anggota kerabatnya. Di akhir disertasinya itu, ia dengan sangat
santun 24 tetapi tegas membela antropologi setara sosiologi, sebagai
ilmu yang kompeten mendampingi bangsa Indonesia yang sedang
mengalami krisis akulturasi akibat perubahan global pasca Perang
Dunia II. Gelombang perubahan menerpa masyarakat-masyarakat di
seantero jagad tetapi kita belum memiliki kebudayaan yang memadai
untuk meresponnya. Itulah krisis akulturasi.

Mengapresiasi Komunikasi dan Pengambilan Keputusan Sehari-


hari

Ada situasi kosong (void) dalam ranah kebudayaan yang harus


kita respon. Tetapi dari mana kita harus berbakti? Pengertian
kebudayaan dalam kelas-kelas pengantar tingkat sarjana muda,
bahkan pengertian apakah ilmu antropologi itu sendiri terasa mentah
tidak relevan untuk memahami gelombang modernisasi, yang cepat

24Sedemikian santunnya argumennya, sehingga hanya ditulis dalam catatan kaki


pada halaman terakhir disertasinya.
29
sekali merambah hidup sehari-hari. Di atas begitu banyak peristiwa
penggusuran tanah, jalan-jalan melebar, rumah meningkat dan
bangunan menjulang. Kuliah-kuliah di fakultas, yang biasanya selesai
jam sebelas, memanjang hingga sore hari karena ada AC. Perjalanan
ke kampus tidak lagi dengan sepeda kayuh, tetapi mulai dengan sepeda
motor dan colt kampus, dst. Tetapi skripsi-skripsi antropologi masih
berisi deskripsi adat istiadat ini dan itu. Ada jarak antara realita konkrit
sehari-hari yang berubah cepat bahkan dengan subjek pengetahuan
antropologi. Ini sungguh-sungguh mencemaskan. Untuk itu saya
mengangkat isu-isu yang sehari-hari pernah saya jalani, proses
interaksi sosial para buruh omprengan (taksi liar) jurusan Kaliurang.
Mereka adalah teman-teman senasib saya, yang sehari-hari
berkomunikasi membangun solidaritas sambil menggeliat subversif
mencari nafkah di bawah struktur sistem angkutan bis resmi (Laksono
1975).
Belakangan hari saya menyadari, bahwa perkara interaksi
sosial yaitu saat ketika orang menggunakan bahasa dan media
simbolik lain yang diperolehnya dengan cara belajar itu adalah momen
berkebudayaan yang substantif. Pada momen itulah seseorang
menghadirkan diri dalam hubungan yang dinamik, berkolaborasi,
berkompetisi dan bertentangan mempertukarkan makna dan mencapai
saling pengertian dengan liyannya. Di sana ada momen pengambilan
keputusan dan perubahan kebudayaan. Inilah pintu masuk saya
melanjutkan studi antropologi, yaitu mempertajam, mengenali batas
dan implikasi, pengertian saya mengenai kebudayaan.

Para Hadirin yang saya hormati,


Saya sangat beruntung mendapatkan kesempatan belajar
antropologi bukan hanya sampai sarjana muda. Tuhan menganugerahi
saya kesempatan belajar antropologi tanpa henti hingga hari ini, bukan
lagi untuk menjadi ini itu tetapi menjadi orang biasa yang hadir di
tengah-tengah begitu banyak perbedaan menolak hidup parokial. Pada
tahun 1978, Pak Masri Singarimbun dengan lega hati melepas saya

30
untuk kuliah menyelesaikan sarjana antropologi ke UI sambil belajar
bahasa Belanda. Beliau membaca isi kontrak beasiswa saya:
“Ini bagus Laksono. Di sini tertulis, bahwa setelah selesai sarjana
kamu harus sanggup ditempatkan kembali ke UGM. Ini akan
memudahkan kamu bisa menjadi dosen antropologi UGM. Selamat
Laksono, kita pasti akan berjumpa kembali.”

Selepas pamitan itu saya merantau, meninggalkan kampung halaman


untuk sementara waktu.
Dua tahun di Universitas Indonesia, pengetahuan ber-
antropologi saya mengalami pengayaan (enrichment) signifikan.
Kuliah teori sosiologi dari Durkheim dan Talcott Parson yang
dipaparkan dengan detail dan sabar oleh Prof. Harsja W. Bachtiar
terasa seperti menggelarkan karpet merah pada jalan antropologi yang
telah saya lalui sejak di Yogya. Kemudian ada argumen yang didorong
kritis oleh Prof. Dr. Parsudi Suparlan tentang keniscayaan memilih
konsep kebudayaan yang terbatas daripada konsep meliputi
keseluruhan atau ketidak-terhinggaan cakupan unsur kebudayaan dari
yang bersifat gagasan hingga yang bersifat material, sungguh
menyadarkan tentang pentingnya memandang hirarki antara sistem
gagasan dan tindakan, antara pikiran dan perbuatan. Pandangan ini
telah memungkinkan saya memahami bagaimana orang-orang di
lereng Gunung Merapi mengambil keputusan secara kolektif untuk
kembali ke kampung asal setelah ditransmigrasikan ke Lampung.
Jalan sunyi ber-antropologi Prof. Koentjaraningrat sungguh
mengesankan saya. Tanpa bercermin pada begitu banyak karya beliau,
tidak mungkin saya mengajarkan pengantar antropologi Indonesia dari
arah berlawanan, yaitu mulai dari praktek ber etnografi menuju
antropologi. Banyak sekali buku dan artikel ikhtisar antropologi
indonesia hingga paparan sejarah teori antropologi dunia hingga
model ber etnografi beliau tulis agar murid-muridnya berpikir dan
bekerja disiplin, historis, merdeka dan siap menerima kritik. Revisi
buku Beberapa Pokok Antropologi Sosial, menjadi Pengantar
Antropologi II (1998), termasuk di dalamnya revisi definisi
31
kebudayaan, yang sangat populer sejak tahun 1970-an, ternyata
dikerjakannya berkat bantuan saran dan kritik dari istri. 25 Jelas sekali,
antropologi di tangan pendekarnya bukan hanya bahan ajar tetapi laku
atau perjalanan kembali (refleksi) diri yang mendasar, yaitu kembali
pada relasinya dengan istri. Antropologi itu adalah jalan kita kembali
mengkonstruksikan identitas atau jati diri kita setelah menjalani dialog
dengan liyan kita.

Bapak, ibu dan hadirin sekalian,


Kisah pengembaraan kultural saya tidak berhenti di Jakarta. Di
universitas Leiden saya beruntung mendapat kesempatan belajar
strukturalisme dari Prof. Dr. P.E. de Josselin de Jong sebagai jalan
saya memahami struktur berpikir dalam tradisi dari budaya ibu saya
melalui sumber-sumber berbahasa Belanda. Beliau mengapresiasi
langkah metodologi saya, bahkan beliau minta izin, agar boleh
memasukkan posisi metodologi, “Orang Jawa menulis Jawa” itu ke
dalam catatan kaki pidatonya untuk Dies Universitas Leiden. Ia
bahkan bersedia menulis kata pengantar untuk tesis saya ketika
diterbitkan. Sementara itu studi saya justru menemukan
kecenderungan dalam tradisi kerajawian di Jawa yang mengidealkan
manunggaling kawula lan Gusti, yaitu fungsi ketidakpastian
nilai/hirarki. Situasi anti struktur atau situasi aneh ini mendapat ruang
dalam wacana sehari-hari: ngono ya ngono ning aja ngono.

Merajut Perbedaan

Dengan berbekal pengertian mengenai fungsi ketidakpastian


dalam tatanan sosial di Jawa, tahun 1984 berkat prakarsa Michael R.
Dove dan dukungan beasiswa dari the Ford Foundation,

25 Saya persilakan membandingkan definisi kebudayaan dalam Pengantar


Antropologi I dan II. Pada revisinya Koentjaraningrat tegas mengatakan bahwa
kebudayaan dapat diartikan pikiran dan akal (1998:13) terpisah dari hasilnya dan
dari tindakan sosial.
32
pengembaraan antropologi saya berlanjut ke Universitas Cornell,
Amerika Serikat. Di sana saya menemukan iklim belajar apa saja
mengenai Indonesia yang sangat kondusif, 26 teristimewa dari dua
penasehat disertasi saya yang sangat mumpuni yaitu Prof. James T.
Siegel dan BRO’G Anderson. Keduanya secara berbeda-beda toh
mengantar saya kepada pendekatan etnografi/budaya
dekonstruksionis dalam memaknai situasi internal kebangsaan
Indonesia, sehingga saya mengerti betapa tidak mudah saudara-
saudara saya di kepulauan Kei memelihara tali silaturahmi mengatasi
perbedaan-perbedaan di antara mereka sendiri. 27 Terimakasih kepada
keduanya karena telah membimbing saya menukik tajam mengamati
peristiwa dalam komunikasi merajut diversitas dan keluasan
Indonesia.
Kedua penasehat itu sering membuat saya tercengang-cengang
karena tafsir unik mereka pada peristiwa sehari-hari di Indonesia. Tiap
kali ke luar dari kelas mereka, saya membawa lebih banyak pertanyaan
daripada jawaban. Misalnya setelah membahas naskah etnografi “Solo
in the New Order” di kelas, saya dan teman-teman Indonesia mati gaya
karena perspektif kami pada budaya Jawa mendadak jungkir balik.
Daripada menempatkan orang Solo serta merta sebagai liyan dari
dirinya, seperti biasanya antropolog melihat liyan sebagai obyek
penelitian, James T Siegel lebih menampilkan orang Solo memainkan

26 Ketika itu antara 1984-1990, perpustakaan Olin, Universitas Cornell memiliki


koleksi informasi tentang Indonesia pasca PD II terbesar di dunia. Seminggu sekali
puluhan pemerhati Asia Tenggara mengadakan brown back seminar di gedung
Bhineka Tunggal Ika 102, West Avenue. Di kantor itu BRO’G Anderson, Audrey
Kahin dan selusinan mahasiswa Asia Tenggara berkantor menulis disertasi. Ruang
pertemuan Bhineka Tunggal Ika itu bersuasana kuna, lantainya menderit-derit kalau
ada orang jalan, sekeliling dinding atas terpancar citra Majapahit karena dikelilingi
puluhan meter gulungan wayang beber. Para mahasiswa Indonesia yang sedang
belajar di Cornell biasanya menggunakan gedung ini untuk pertemuan. Gedung itu
kini sudah tiada.
27Saya telah mencoba menuangkan pengerti saya dalam disertasi saya (Laksono

2002)
33
dua tingkat bahasa (ngoko dan krama) untuk menciptakan hirarki
dengan liyannya sendiri. Bahasa jawa ngoko adalah bahasa pertama
atau bahasa ibu di kampung-kampung. Sedangkan krama adalah
bahasa kedua, bahasa (milik) orang yang kurang dikenal atau yang
tidak dapat begitu saja dianggap sederajat. Ketika orang Solo menyapa
orang lain dengan bahasa krama, maka ia sesungguhnya sedang
menterjemahkan omongan ngokonya (dirinya) ke dalam bahasa asing.
Penerjemahan itu tidak hanya menunda dan melemahkan,
tetapi juga mencegah bahkan menggagalkan kehadiran diri
(ngoko)nya secara penuh dalam wacana. Dengan demikian,
keberadaan liyan dalam bahasa kedua (krama) itu tetap samar-samar,
terkatakan tetapi tidak terakses, seakan-akan ada tetapi tidak ada. Apa
yang asing serta aneh tersingkir, begitu juga orang solo itu sendiri jadi
tidak jelas. Dalam hal ini peristiwa komunikasi, liyan orang Solo28
tergambarkan tetapi hasilnya tidak pernah jelas, bisa apa saja.
Konsekuensinya etnografi itu tidak mungkin mengabadikan identitas
budaya (orang manapun) yang sudah ada, “There’s no way to say in
advance what the otherness of the other really would consist of. And
one is, I think, always wrong about it. But, you know, you do what you
can” (dalam Barker dan Rafael 2012: 41). Etnografi justru
mengada(ada)kan identitas baru, menantang kemampuan orang
menata liyannya secara simbolik. Meskipun begitu, James T Siegel
mengakui bahwa disiplin antropologi tetap perlu dipertahankan karena
kemampuannya mencatat efek-efek keliyanan (otherness) dan
kemampuannya tetap terbuka bagi ketidakterdugaan. 29

28 Liyan itu ada dalam bentuknya yang terusir. Kehadiran tiba-tiba pengemis, ledek
kethek, penyeberang jalan, ataupun Dracula, demit import, direspon orang Solo
dengan penanda/bahasa (hampa makna) sekedar jadi angin lalu (Siegel 1986),
sehingga kejutannya tidak bikin latah, kehilangan kontrol terhadap bahasa.
Mengenai efek kelatahan lihat James T Siegel (1998 dan 2006).
29 Lihat Joshua Barker dan Vicente Rafael (2012).

34
Sejauh pengalaman saya berada dalam pendidikan antropologi,
mengalami situasi keliyanan itu niscaya penting, terutama bagi
ilmuwan sosial humaniora yang ingin berkarya bagi Indonesia.
Berangkat dari proposisi ini, bersama Pusat Studi Asia Pasifik UGM
dan dengan dukungan pendanaan dari the Ford Foundation, kami
menyelenggarakan program beastudi antar budaya. Tujuannya agar
para mahasiswa S2 bersama dosen pembimbingnnya (liyan
mahasiswa) mendialogkan kurikulumnya menyerap pengalaman
terjun ke dalam situasi liyan dari budaya selain budaya ibunya di
Indonesia. Dengan demikian akan lahir para akademisi, yang terbuka
dan siap tanggap dengan efek tidak terduga dari proses mengIndonesia
yang sedemikian kompleks.
Dengan semangat antarbudaya, yang juga dikelola istri
tercintanya, baru-baru ini Prof. Dr. Pujo Semedi, liyan saya ber-
antropologi, mengangkat tema ngasak di Jerman dalam pidato
pengukuhan guru besarnya. “Kacang ora lali ninggal lanjarane,”
begitu kata pepatah tua. Orang tumbuh berkembang dengan tidak
meninggalkan asal usul sandaran hidupnya. Luasnya lahan pertanian
efisien yang memakmurkan dan migrasi kemiskinan dari desa ke kota
industri di Jerman tidak membuat Pujo Semedi lupa pada para
pengasak (the gleaners) di tanah kelahirannya di Jawa. Ngasak adalah
identitas para petani miskin tidak bertanah di pedesaan Jawa yang
terpaksa meramu sisa-sisa hasil panen di hamparan sawah milik liyan.
Pengasak atau the gleaners adalah liyan bagi Jerman modern. Dulu
keberadaannya mengundang solidaritas dan jiwa kemanusiaan para
tuan tanah. Hari ini mereka “hilang” dikriminalkan. Namun
sesungguhnya mereka hijrah ke kota menjadi buruh miskin di kota-
kota, ngasak remah-remah makanan di kota, menjadi dumpster divers.
Baik pengasak maupun Jerman modern adalah liyan
antropolog Pujo Semedi. Kisah (tragis) mereka di Jerman
diperdengarkan kepada kita, agar kita sadar “that there are other ways
of being human” (223: 29). Jerman modern gagal secara simbolik
mengapresiasi para pengasak di pedesaan sebagai bagian dari dunia
pertanian yang rasional. Tidak ada tempat bagi para ngasak, ketika hak
35
atas hasil panen itu menjadi hak eksklusif investornya. Kriminalisasi
adalah titik akhir perjalanan hidup para pengasak di Jerman. Kisah
inikah yang kiranya disarankan oleh Pujo Semedi agar kita jadikan
posisi pandang kritis antropologi terhadap sejarah kita sendiri? Coba
kita renungkan.
Misalnya “ngasak” di pedesaan sekitar Yogya. Sepertinya
praktek ini sudah hilang sejak para petani lebih suka menjual
panenannya kepada para penebas tamak. Pedesaan berubah jadi
perkampungan, pemecahan milik lebih sering terjadi daripada
konsolidasi tanah pertanian menjadi hamparan lahan industri pangan
yang luas dan efisien, macam-macam pekerjaan tumbuh di kampung.
Dari pinggiran kampung para miskin itu mayeng-mayeng ke sana
kemari, keluar masuk perkampungan. Dulu mereka pernah disebut
sebagai tukang beling dan sekarang pemulung. Kehadiran mereka
aneh, sulit diidentifikasi siapa mereka. Mereka liyan bagi orang
kampung, kerjanya mulung atau memungut apa saja yang dianggapnya
sudah pasti tidak beridentitas, padahal belum tentu. Jadilah mereka itu
ketidakpastian itu sendiri. Untuk itu banyak tulisan bahkan spanduk di
mulut jalan masuk kampung dan perumahan: “Pemulung dilarang
masuk.” Ironisnya pemulung tetap saja berkeliaran. Internet tidak
kekurangan data bagaimana pemulung jadi korban pemukulan,
pembacokan hingga pembunuhan oleh warga kampung yang gagal
menyapa liyannya. Ternyata ada anekdot bahwa pemulung itu buta
huruf.
Efek kegagalan simbolisasi semacam itu tidak terduga dan
muncul sebagai anekdot tetapi dapat juga jadi petaka. Sedikit berbeda
dengan sejarah yang mengakses peristiwa yang pasti sudah terjadi di
masa lalu, antropologi itu mengajak kita bersiaga, terbuka mengerti
efek simbolisasi kehadiran liyan yang mengejutkan. Para antropolog
itu sendiri adalah liyan asing yang sering kali aneh dan mengejutkan
para informannya. Kegagalan para informan dan antropolog untuk
mengatakan situasi aneh dari perjumpaan mereka berefek tidak
terduga. Disinilah pentingnya terus menerus berkomunikasi saling
mengidentifikasikan diri secara reflektif hingga perbedaan situasi
36
yang berkembang dapat ditetapkan dan sejarah dapat dimulai.
Misalnya setelah melakukan riset panjang di Maluku Tenggara dan
NTT tentang kedaulatan pangan, saya bersama LAURA dan Pusat
Studi Asia Pasifik menyiapkan mnemonic device atau jembatan
keledai agar kita bersama-sama bersiaga terhadap ancaman siklus
bulan lapar. Beretnografi itu adalah langkah memulai sejarah (baru).

Penutup
Atas berkat dan karunia Tuhan Yang Maha Kasih, saya beserta
istri Yuliana Widiati Nuraini, dan anak-anak kami Monica Maria
Widisetyorini, Fransiscus Sales Magastowo, serta Patricia Pratitasari,
telah diperkenankan menjadi bagian dari keluarga besar Fakultas Ilmu
Budaya, UGM. Beberapa hari lagi masa pensiun yang bahagia itu tiba.
Saya sangat bersyukur dan berterimakasih karena telah mendapatkan
begitu banyak dukungan, dari para pengurus maupun seluruh civitas
akademika FIB, untuk sedapat mungkin menuntaskan masa karya-
bhakti saya dengan selamat sejahtera. Dalam hal ini saya, secara
khusus berterimakasih kepada para senior, yunior dan mahasiswa saya
di departemen antropologi yang secara sangat istimewa telah
menjamin saya selamat mengemban tugas-tugas saya. Kita bersama-
sama telah meng-antropologi, saling menjadi liyan ketika rapat
departemen dan ketika di ruang kuliah, hanya untuk rukun bahu
membahu menjadi satu ketika beraksi untuk terus siap kejut
mengadakan antropologi.
Semoga pidato panjang ini telah membesarkan hati kita semua.
Seperti sering kita bicarakan di kala jeda, hari-hari ini kita sedang
sedang mengalami tekanan dunia yang serba digital, eksklusif
tergantung pada sistem nomenklatur yang terstruktur, antropologi
justru sangat dibutuhkan. Nyaris setiap hari kita harus berurusan
dengan gadget dan laptop, mengisi ini itu menuruti nomenklatur yang
tersedia. Tetapi percayalah bahwa antropologi selalu siap mengadakan
apa yang belum ada, sebab antropologi terbiasa pada situasi yang
belum teridentifikasi dan belum terdaftar dalam nomenklatur masa
kini. Seperti halnya ngasak di Jerman, meskipun tidak diakui lagi oleh
37
nomenklatur rasional negerinya, toh antropologi dapat memungutnya.
Untuk apa? Agar kita semua siap memikirkan efeknya, bila pengasak
kita, dimangsa Bethara Kala, tersingkir dari nomenklatur budaya ibu
asuhnya, yaitu budaya para petani gurem. Sebagai pensiunan (profesi)
antropologi, saya mendoakan semoga dunia beruntung, rahayu dan
boleh tersenyum geli, karena ulah antropologi, ilmu sisa-sisa, yang
terbiasa mengerti bahwa kejutan masih bakal terjadi. Terima Kasih
sobatku semua, maafkan segala kekurangan kami sekeluarga, selamat
berjuang dan semoga Tuhan memberkati kita semua.

38
Daftar Bacaan

Barker, Joshua dan Rafael, Vicente


2012 “The Event of Otherness: an Interview with James T. Siegel,
Indonesia, No.93 (April 2012):33-52, Ithaca: Southeast Asia Program
Publications at Cornell University Stable, diakses dilaman
https://www.jstor.org/stable/10.5728/indonesia.93.0033

Chambers, Robert
1996 (PRA) Participatory Rural Appraisal: Memahami Desa Secara
Partisipatif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius bekerjasama dengan
Yayasan Mitra Tani dan OXFAM.

Denzin, Norman K.
1989 Interpretive Biography, Qualitative Research Methods Series 17.
Newbury Park, London, and New Delhi: SAGE Publications.

Koentjaraningrat
1961 Metode2 Anthropologi dalam Penjelidikan2 Masjarakat dan
Kebudajaan di Indonesia (sebuah Ichtisar). Djakarta: Penerbitan
Universitas.

1975 Anthropology in Indonesia: A Bibliographical Review, ‘S-


Gravenhage: Martinus Nijhoff

1998 Pengantar Antropologi II, Jakarta: Penerbit Rineka.

2010 Sejarah Teori Antropologi II, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

39
Laksono, PM
1975 Interaksi Sosial: Kasus Buruh-Buruh Omprengan Jurusan Kaliurang,
skripsi sarjana muda bidang antropologi. Yogyakarta: Fakultas Sastra
dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada

1980 Pengambilan Keputusan Bertransmigrasi: Kasus Daerah Terancam


Bencana Alam Gunung Merapi, skripsi FS-UI tidak diterbitkan,
Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

1984 Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa: Kerajaan dan Pedesaan,


tesis S2, Jakarta: Bidang Antropologi Budaya Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia.

2002 The Common Ground in the Kei Islands: Eggs from one Fish and One
Bird, Yogya: Galang Press.

2009 Peta Jalan Antropologi Indonesia Abad Kedua Puluh Satu:


Memahami Invisibilitas (Budaya) di Era Globalisasi Kapital, pidato
pengukuhan guru besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah
Mada.

Mead, Margaret
1943 Coming of Age in Samoa, New York etc.: Penguin Books.

40
Sarup, M.
1994 An Introductory Guide to Post Structuralism and Postmodernism,
second edition, Athens: The University of Georgia Press.

Semedi, Pujo
2023 Kontestasi Substantif Ngasak di Jerman Selatan, Pidato Pengukuhan
Guru Besar dalam Bidang Antropologi, Yogyakarta:Universitas
Gadjah Mada.

Siegel, James T
1986 Solo in the New Order: Language and Hierarchy in an Indonesian
City, Princeton, New Jersey: Princeton University Press.

1995 A New Criminal Type in Jakarta: Counter Revolution Today. Durham


and London: Duke University Press.

1996 Naming the Witch. Stanford California: Stanford University Press.

1997 Fetish, Recognition, Revolution, Princetonm, New Jersey: Princeton


University Press.

Siegel
2011 Objects and Objections of Ethnography, New York: Fordham
University Press.

Turner, Victor
1969 The Ritual Process: Structure and Anti-Structure, New York: Aldine
de Gruyter

41

Anda mungkin juga menyukai