Oleh
Prof. Dr. Paschalis Maria Laksono, M.A.
Para Pimpinan Fakultas dan Universitas, kolega dosen, tenaga
pendidikan dan mahasiswa serta hadirin sekalian yang saya hormati
dan kasihi. Selamat sore, assalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh, salam sejahtera, om swastiastu, namo buddhaya, rahayu.
Perkenankanlah saya menyampaikan pidato valediktori berjudul:
Siap Kejut
Pengantar
1 Himne Gadjah Mada karya I.G.N. Suthasoma dan aransemen Kusbini baru
dinyanyikan sejak 19 Desember 1952 dan baru 40 tahun kemudian dituangkan dalam
Statuta Universitas Gadjah Mada tahun 1992. Diakses pada laman
https://ugm.ac.id/id/tentang-ugm/3603-himne.gadjah.mada
2 Mengenai pengertian komunitas (anti struktur), saya mengacu pada Victor Turner
(1969: 96-97)
1
Gadjah Mada Semua, Kuberjanji Memenuhi Panggilan Bangsaku…,”
Semua saja, sekalipun ia profesor berambut putih, rektor, dekan dan
pejabat sekalian jabatan yang ada di kampus, sama-sama mengaku
sebagai mahasiswa. Semua lebur sesaat dalam komunitas (akademik),
tidak ada yang terpinggirkan dan tersudutkan. Kita semua sama-sama
(merdeka) menjadi aku (diri sendiri) yang berjanji memenuhi
panggilan (suci) bangsaku.
Dengan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih, selama
hampir 50 tahun saya telah diperkenankan menjadi bagian dari
komunitas, bahkan struktur kedinasan, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Gadjah Mada. Semoga Tuhan memberkati kita semua.
Ada waktunya kita berjumpa dan ada waktunya kita berpisah. Itulah
anugerah kehidupan yang kita terima dari Tuhan. Perkenankanlah hari
ini saya pamit dari gelanggang akademik yang pasti akan saya
rindukan dalam sisa hidup saya. Sesuai dengan peraturan kepegawaian
yang berlaku, sekarang sudah waktunya saya mohon diri untuk
kembali menjadi orang biasa di luar dinas, tanpa gelar tanpa jabatan.
Pamitan perpisahan seperti ini rasanya berat untuk diucapkan. Gaung
dan getar hati indah dari lantunan Himne Gadjah Mada yang sudah
saya alami sepanjang setengah abad itu tentu saja sukar dilupakan.
Gaung itu mungkin memang tidak untuk dilupakan, biarlah ia menetap
abadi, indah dan istimewa dalam rona ingatan pribadi saya. Pelajaran
antropologi klasik tentang ritual (Turner 1969) menyatakan, bahwa
saat beralih status dari satu posisi (struktural) ke posisi lain dalam
hidup sehari-hari bermasyarakat itu ada proses, yang berlalu nyaris
tidak terasa, bahkan tidak kita sadari karena kecepatan dan
kemulusannya. Saking biasanya, peralihan itu nyaris berlalu tanpa
kenangan, tanpa sejarah baik lisan maupun tertulis.
Hanya bila ada penanda-penanda khas, maka peristiwa yang
seharusnya berlalu begitu saja itu akan membekas keras di teras kalbu
kita. Sapaan dan senyum selamat pagi, selamat siang dan tatapan mata
ramah dari begitu banyak kolega kerja maupun mahasiswa FIB, yang
tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terkadang ada saja yang sukar
sekali saya lupakan. Beberapa di antaranya yang sulit sekali hilang
2
dari pelupuk mata saya misalnya sapaan dan senyum seperti dari alm.
Dr Hans J. Daeng, alm. Prof. Dr Masri Singarimbun, alm. Prof. Dr
Sumiati, Prof. Dr. Poppy Inayati, Prof. Dr. Kodiran, Prof. Dr. Joko
Sukiman, Prof. Dr. Michael R Dove, Prof. Dr. Joko Suryo dan banyak
lagi, yang bila saya sebut namanya satu persatu maka pidato ini akan
berisi daftar nama saja, baik untuk saya tetapi pasti membosankan
untuk hadirin sekalian. Gerak-gerik khas teman-teman kuliah pun satu
per satu sering muncul di pelupuk mata saya, justru ketika saya ingin
melupakannya. Dalam seloroh di medsos, mungkin inilah yang
disebut derita ingat mantan. Peristiwa biasa sehari-hari dengan mantan
nyatanya membekas dalam kenangan, menukik sedalam-dalamnya
hingga tidak dapat ditindis penghapus (air mata). Dalam ilmu
antropologi, ini dimengerti sebagai proses berkomunitas yaitu berada
diantara dua status yang berbeda, betwixt and between (Turner 1969:
107).
Di saat sepi, kenangan itu seringkali satu persatu muncul
bertubi-tubi, menari-nari menggerakkan dada dan pipi, sulit
dibendung dan hanya dapat dibiarkan mengalir dalam lamunan dan
mimpi. Terkaget-kaget, karena kehabisan kata-kata dan karena getaran
peristiwa itu, kita dapat terjebak latah, 3 dikuasai sang penanda (narasi)
kenangan itu. Bila ini terjadi, kita dikuasai sang penanda dan tidak
tahu diri, sontak kita akan jadi bahan tertawaan. Sebab tiba-tiba saja,
tanpa kendali diri, kita jadi luar biasa aneh, lepas dari rantai
komunikasi dengan komunitas kita. Pada saat latah inilah kita dapat
menjadi liyan bagi diri kita sendiri dan juga bagi komunitas sehari-hari
kita.
Kemampuan mengendalikan diri agar tidak terjebak latah
adalah inti agar hidup itu lumrah, biasa-biasa saja (ora nganeh-anehi)
tetap dalam relasi sosial (silaturahmi) komunitas kita. Untuk inilah
antropologi ada. Hidup menjadi orang biasa itu bagaikan hanyut tetapi
tidak larut, nyaman selamat dalam air mengalir, rahayu tanpa
3Mengenai apa itu latah, saya sependapat dengan guru saya James T. Siegel (1986,
1998 dan 2006).
3
terbendung batu atau angin (ngeli tanpa keli). Sudah semestinya para
antropolog itu mengerti, bahwa ilmunya menaruh perhatian pada
keanekaragaman hidup berkomunitas yang biasa-biasa saja. Para
antropolog biasanya sepakat, bahwa ilmu antropologi itu tertarik
mempelajari proses betapa manusia yang berbeda-beda itu, dalam
rentang sejarahnya masing-masing, telah secara terorganisir
mengembangkan aneka ragam budaya hidup bersama. Mereka itu
kira-kira bertanya, bagaimana orang lain, liyan mereka, telah
menggunakan perangkat budaya hingga hidupnya (dapat) mengalir
biasa-biasa saja.
Mimpi Ber-Antropologi
Motivasi para antropolog itu dapat saja berbeda-beda,
tergantung pertanyaan teoretik yang dibayangkannya atas aneka
ragam budaya hidup bersama. Pertanyaan-pertanyaan itu misalnya
mungkinkah asal mula keragaman itu terjadi evolutif gara-gara
bawaan lahir, seturut garis genetika rasial manusia dalam adaptasinya
dengan alam; kemudian mungkinkah perbedaan itu terjadi karena
proses migrasi dan difusi saling pengaruh antar budaya; atau
mungkinkah perbedaan itu sistemik akibat fungsi atau kontribusi
sosial keberadaannya dan akibat relasi-relasi struktural yang mungkin
terjadi sepanjang sejarah umat manusia?
Motivasi juga dapat berbeda-beda karena perbedaan tataran
praktik moral sosial, politik dan ekonomi pilihan pribadi seorang
antropolog. Pertama, ada yang bermotif untuk penaklukan, penjajahan
dan pematuhan liyannya agar menyerah dikuasai atau digusur demi
pembangunan ini dan itu misalnya. Lalu ada yang sebaliknya, yaitu
demi membebaskan liyannya dari kekelaman dan dursina masa lalu
liyan tinelitinya. Masih ada lagi antropolog lain yang melihat liyannya
sebagai cermin pembelajaran untuk menemukan jalan keluar dari
krisis yang terjadi pada masyarakat negerinya sendiri. 4 Akhir-akhir ini
motif yang cukup terapresiasi dalam advokasi gerakan transformasi
6 Kata pengertian secara amat longgar saya padankan dengan kata claim dalam
bahasa Inggris yang berarti pikiran sementara, baik tersirat maupun ternyatakan,
mengenai hubungan antar konsep. Kesementaraannya itu menunjukkan ada muatan
subyektif serta obyektif yang belum pasti.
7 Mengenai metode biografi tafsiriah, lihat Norman K. Denzin (1989).
6
selamat dan mendapat karunia sehat bahkan beberapa kali lolos dari
kelaparan serta wabah penyakit. Sambil mengingat peristiwa-
peristiwa gawat di awal hidup saya itu, almarhum ibu pernah
mematrikan satu kata bisikan halus dalam sanubari saya: “Eling.” Puji
syukur kepada Tuhan Yang Mahakasih, hari ini atas perkenanNya
saya (70 tahun) masih bisa bahagia berdiri pidato pamitan pensiun di
hadapan Ibu, Bapak dan hadirin yang terkasih.
Akhir tahun 50-an tahun, saat saya mulai sekolah, Yogya itu
berbeda sekali dengan Yogya hari ini. Ketika itu pohon-pohon asam
rindang berjajar di kiri-kanan jalan saya ke sekolah, dari Pakualaman
hingga kantor pos. Kerindangannya menyejukkan, namun di
bawahnya setiap pagi banyak tumpukan tinja gelandangan yang
malamnya buang hajat di situ. Penampakan serta baunya selalu
meneror siapapun yang lalu-lalang di dekatnya. Setelah 50-an tahun
kemudian, situasi seperti itu saya dapati di Kota Poona, India yang
jauh lebih bising dari Yogya tahun 50-an. Di sini saya tidak ingin
membandingkan lebih lanjut situasi kota Yogya dan Poona. Saya
hanya ingin mengindikasikan bahwa kekumuhan serta bau Yogya
ketika itu dapat saja terjadi di mana pun di dunia. Kenyataannya adalah
bahwa pengalaman patetik itu niscaya telah menjadi trauma yang lama
mengendap nyaris abadi dalam diri saya, kalau saja tidak terpicu oleh
colekan situasi (Poona) yang mirip.
Waktu endap panjang itu dapat dibayangkan sebagai semacam
lubang pipa hisap air sumur dangkal yang hampa dan gagal tak
berdaya karena harus menghisap air melampaui batas daya hisap fisika
maksimalnya, yang hanya sembilan meter. Tetapi ketika ujung hisap
pipa di dalam sumur itu disuntik jet atau injeksi udara lewat pipa
tambahan yang dipasang paralel, maka pompa air itu berubah menjadi
pompa jet (jet pump). Daya angkat airnya pun jadi berlipat lebih dari
7
tiga kali hingga 30an meter dari permukaan air di dalam sumur 8.
Pengalaman ketemu lingkungan serupa Yogya di Poona itu seperti
menginjeksi kekuatan jet melalui lorong waktu hingga ke dasar
endapan kenangan saya. Dorongannya memungkinkan kenangan itu
muncrat seakan melampaui takdirnya sampai kembali menerpa wajah.
Begitulah kota Poona dalam benak saya jadi kembar, berduaan dengan
Yogya akhir tahun 50-an. Sebaliknya Yogya mengalami pembaruan,
jadi bersejarah karena terhubung dengan masa lalunya yang kumuh.
Ketika itu Bulaksumur, lokasi kampus UGM pun masih tanah
antah berantah berupa ladang singkong dan melati gambir, sementara
kompleks perumahan dosen Sekip itu masih berupa lapangan pacuan
kuda. Kampung kelahiran saya, Gunungketur, beda dengan kawasan
Kota Baru, tetapi kurang lebih sama dengan kampung-kampung lain
di kotamadya Yogya, teduh banyak pohon (buah) besar. Kerimbunan
beringin, tanjung, asem dan sawo kecik sekitar alun-alun mini
Sewandanan dan di dalam Pura Pakualaman adalah rumah ribuan
burung jalak, kuntul, sriti, codot dan kalong. Kicauan burung-burung
itu ramai indah mengisi hampa suara kota. Sesekali suara tepukan
kendang almarhum Sujud, pengamen legendaris kota Yogya menyela
di siang hari diiringi bunyi ting-trinting-ting-ting, dari penjual bakso
dan soto. Kadang tiba-tiba suara penjual jamu gandring legendaris
lewat menyela: “Muu…jamu..jamune…jamu gandring.” 9 Lalu sore
8 Jet pump adalah pompa air yang bekerja dengan hentakan tenaga hembusan (udara)
saya dari jualannya adalah obat anget, biskuit jahe berwarna coklat bentuk oval tipis.
Rasanya manis pedas jahe. Jamu gandring dijajakan keliling dengan pikulan yang
dihiasi wayang golek. Penjualnya laki-laki memikul pikulan dilengkapi golek laki-
laki dan perempuan. Mungkin jamu gandring itu adalah jamu jenis afrodisiak
perangsang gairah seks di jaman itu terbuat dari tepung dan rempah seperti kayu
manis, jahe dan cengkeh. Bentuknya bulat berwarna hitam seperti kotoran kambing.
Kata gandring mengingatkan pada legenda kesaktian empu gandring pencipta keris
sakti majapahit milik Ken Arok yang dipakainya membunuh Tunggul Ametung dan
membunuh dirinya. Mungkinkah ada hubungan kebahasaan (penyamaran) antara
8
menjelang malam, setelah ribuan unggas hinggap kembali di pucuk-
pucuk pohon, teriakan nggaluur cemeng dan serak dari simbok penjual
tape jali (“peeee tapene jalii!!”) menyayat hati. Gema ngglalur suara
seraknya kerap mengantar anak-anak masuk gelap malam yang
angker, penuh bunyi belalang ngik-ngik-ngik, desiran gangsir dan
rongrongan orong-orong.
Bau kampung itu pun khas, seperti halnya bau setiap kota. Ada
rasa bau kampung saya tahun 60-an yang terasa masih melekat di
rongga hidung saya. Bau busuk parit sepanjang sisi Timur Pura
Pakualaman, yang ketika itu jadi kakus massal, gunungan sampah
yang tak terurus, dan comberan menyengat di sela-sela perumahan
kampung, seperti abadi di rongga hidung saya, bahkan tidak dapat
ditimpa parfum dan umur. Ini semua jadi isu sosial-politik lingkungan
yang sangat pelik. Negara ketika itu sedang bangkrut, dinas pekerjaan
umum nyaris mangkir, maka rakyat harus menyelesaikan urusannya
sendiri dengan berpolitik. Banyak orang berkeluh kesah atas situasi
yang terjadi, tetapi ada saja isu yang berlarut-larut tidak segera
terselesaikan.
Bau tinja dan sampah di parit itu adalah salah satu isu, yang
tidak segera terselesaikan dan semakin menjengkelkan. Maka
terjadilah kisah antropologi mini ini. Entah dari mana inspirasinya,
pada malam Jumat (angker), ayah saya, berpakaian adat jawa lengkap
dengan blangkon dan keris tersematkan di pinggang belakang, pergi
ke luar rumah membawa bara arang di anglo kecil. Ia kemudian
membakar kemenyan persis di bawah tiang listrik di pinggir parit
“kakus”. Dia kipasi bara arang itu di anglo. Seakan-akan seperti dukun
berinteraksi dengan demit, bau kemenyan pun semerbak menyeruak
kemana-mana. Perbuatan ala dukun itu tentu saja terpantau oleh
orang-orang kampung. Parit di depan rumah, di bawah tiang listrik itu
serta merta berubah jadi (media) penanda sarang demit yang tidak
gandring dan gandrung (hasrat seksual)? Kenangan visual tentang jamu gandring
tahun 70an misalnya dapat dilihat dilaman
https://i.pinimg.com/736x/90/49/95/9049957d7afcfc2cd6c75175d5bf368c.jpg
9
pernah tampak. Sejak itu tidak ada lagi orang buang hajat di parit muka
rumah kami. Demit yang tidak pernah terlihat mata, tetapi dianggap
ada dan lebih sakti dari manusia biasa yang terlihat, itu telah
dihadirkan oleh dukun dan bau kemenyan.
Kelindan bebauan itu seperti kekal melekat di hidung saya
tanpa ada kata-kata yang tepat untuk menyumbatnya satu per satu. 10
Bersama sekalian penanda lainnya, bebauan itu membentuk identitas
kampung yang khas. Kadang-kadang bau kentang kleci bercampur
bunga sedap malam dan kemenyan bakar tiap malam Jumat menyedak
nafas. Pada saat bersamaan saya kadang teringat di halaman sebelah
rumah ada kuburan (konon korban revolusi), lalu di sebelahnya lagi
ada dua atau tiga kuburan yang tidak pernah saya kenali. Kami, anak-
anak (cah) kampung tumbuh, menandai tempat-tempat wewe-
genderuwo beserta demit kampung ngenggon (berdomisili). Di sana
juga kami bermain panjat pohon, petak umpet, zondag-mandag,
pasaran, kasti, main bola, layangan, dan sebagainya.
Para orangtua kami umumnya adalah generasi pertama migran
dari desa yang mukim di kota Yogya. Mereka masih punya ikatan
emosional dengan kakek-nenek kami yang masih mukim di desa.
Kenangan mereka pada jaringan kerabat leluhur dan sanak kerabat
sebayanya di desa masih kental. Kerap kali mereka mudik membawa
anak-anaknya berkenalan dengan hidup di desa asalnya. Wacana asal-
usul genealogi sering mereka kisahkan lewat percakapan sehari-hari.
Biasanya mereka membentuk kerukunan lewat arisan bersama, saling
kirim bancakan (termasuk ruwahan dengan berbagi apem, kolak dan
ketan) untuk memule kerabat yang sudah di alam baka. Kerabat ibu
saya mengalir dari Ketangi, Bagelen lewat Mendut dan Muntilan.
Sementara ayah saya asal Wates, Kulonprogo. Tetangga kiri kanan
asal usulnya juga beda-beda, bahkan ada yang dari Jakarta. Para orang
tua itu bertutur kata cenderung dengan resmi, seperti sedang
10 Saya sepertinya percaya fungsi kata itu adalah untuk melupakan kenangan yang
tak terperikan (pathetic), mengubur mimpi dan gagasan (lihat Barthes) serta
mengalihkan masalah/isu.
10
berhadapan dengan orang yang belum akrab saja. Mereka berbicara
satu sama lain dalam bahasa Jawa krama madya (cenderung formal).
Kami anak-anaknya juga diajari bertegur sapa dengan teman-teman
agar tidak njangkar (tanpa atribut/hirarki) meskipun sedang bicara
ngoko. Di bagian kampung lain yang dominan penduduk asli, orang
lebih sering bicara Jawa ngoko.
Saya sendiri terlahir di Kampung Gunungketur, Pakualaman.
Di dalam rumah kami bicara Jawa Ngoko. Hanya dengan orangtua,
kami berbicara sedikit krama, hanya ungkapan-ungkapan terkait
kualitas bapak dan ibu kami gunakan frasa ataupun kosa kata bahasa
krama. Padahal bahasa “cinta” bapak dan ibu kami sesungguhnya
bahasa Belanda. Kami anak-anak mendengarnya, tetapi tidak tahu apa
yang mereka perbincangkan dan kami pun tidak diajari dan tidak mau
mengerti.
Pada momen seperti itu, ketika bapak dan ibu berbahasa
Belanda, tercipta jurang pemisah generasi yang aneh, tidak pada
tempatnya, antara orangtua dengan kami anak-anak. Pernah saya
bertanya kepada ibu: “Mengapa kami anak-anak tidak diajari
berbahasa Belanda?” Katanya itu berbahaya untuk anak-anak di
zaman revolusi. Ibu takut kalau anak-anak jadi aneh bagi gerakan
perjuangan kemerdekaan anti Belanda, yang sedang memuncak di
tahun 50-an. Ia ingin membebaskan anak-anaknya dari kemungkinan
tampak memihak Belanda (kemlanda-mlanda) dan bisa dicap anti
revolusi. 11 Kenangan pada keseharian aneh di masa lalu seperti itu
diam-diam telah mengantar saya gemar ngobrol tentang hidup sehari
hari. Inilah kira-kira awal saya jadi antropolog kecil amatiran,
11 Semoga saya tidak salah dengar dari BRO’G Anderson dalam obrolan santai,
revolusi pemoeda sesungguhnya sudah mati di tahun 50an dan menjadi Indonesia
itu tidaklah benar-benar anti Belanda. James T Siegel (1997: 7) mengatakan sejarah
Indonesia bukan terbuat dari sumber asli dan juga bukan pinjaman asing, tetapi efek
dari relasi antara keduanya. Namun demikian gerakan anti Belanda toh secara politik
ter orkestrasi dan ujungnya terjadi juga pengusiran warga keturunan Belanda hingga
habis di tahun 1958.
11
meninggalkan kenyamanan domestik masuk ke sekolah, berjumpa
dengan teman sebaya berbeda kampung dan kelas.
Pergi Sekolah
identitas sosial budaya, dialektika antara nalar dialektik dan nalar analitik, pencarian
diri kita yang unik itu sebagai bungkus atas paling tidak tiga persoalan besar yang
telah ditengarai Koentjaraningrat, yaitu persoalan integrasi nasional, perubahan
sosial budaya dan pengembangan komunitas.
13
Bapak ibu, dan hadirin yang terhormat.
Mungkin banyak di antara kita mengalami seperti apa yang
saya alami, bahwa interaksi kedua nalar itu pernah kita rasakan dari
dongeng, terutama dari science fiction. Biasanya dongeng yang
memukau akan mengeksplorasi inovasi yang belum sepenuhnya
diterima nalar mainstream. Guru sekolah rakyat favorit saya adalah
Bruder Michael, seorang pendongeng ulung. Kami, para siswa sangat
kegirangan bila ia masuk ruang kelas mengisi kekosongan pelajaran.
Seingat saya, ia pernah mulai memperkenalkan diri dengan
menceritakan kemampuannya membaca cepat yang mustahil bisa saya
lakukan ketika itu. Membaca judul artikel saja masih saya eja,
sementara beliau mengaku membaca seluruh isi koran tidak lebih dari
lima menit. Dari sana ia mulai mendongeng dengan sangat
mengagumkan bahwa protagonisnya punya mobil terbang bertangan
untuk meminggirkan orang-orang yang menutupi laju terbangnya di
jalanan kota yang sibuk. Di kota Yogya ketika itu jumlah mobil
mungkin tidak lebih dari seratus. Melihat mobil saja kami sudah
kegirangan karena itu kesempatan langka. Lalu didongengkan oleh
guru yang ajaib kompetensi baca cepatnya itu, kalau ada mobil bisa
terbang membelah keramaian kota. Mungkinkah? Faktanya, secara
formal atau analitik tidak ada mobil terbang ketika itu. Tetapi itu
menjadi ada, karena didongengkan secara dialektis menyatukan
kemampuan mobil dan pesawat terbang dan dikembalikan pada
kemampuan tangan kita sendiri menyeruak kepadatan jalanan kota.
Dongengnya reflektif dan imaginatif karena digerakkan baik oleh
nalar analitik, yang membenarkan bahwa keberadaan mobil itu nyata
pada saat itu, maupun oleh nalar dialektik yang
memadukan/mengintegrasikan keberadaan mobil dan pesawat
terbang, menjadi mobil terbang yaitu identitas materi baru yang masih
imajinatif.
14
Jauh dari Orangtua
14 Karya beliau belum lama ini diterbitkan penerbit buku Kompas dengan judul
Badujs en Muslims: kajian Etnografis Masjarakat Adat di Lebak Parahiang, Banten
Selatan.
16
kenal Hanacaraka di bawah lima. Alhasil nilai raport bahasa Sunda
saya untuk kuartal kedua meroket jadi delapan. Rupanya nalar
dialektik saya telah memperbaharui nilai raport saya. Lain hari
(mungkin) seorang mahasiswa doktoral antropologi dari Swiss datang
menginap di seminari. Ia baru saja pulang dari riset pada orang Dayak
Ngaju di Kalimantan Tengah. Perilakunya aneh, ia terlalu sering
ongkang-ongkang kaki di bibir kolam mujair di halaman tengah
seminari. Ketika berceramah, ia mendemonstrasikan kemampuannya
menyanyi berbahasa Ngaju sambil menari Dayak. Saya terperangah.
Hati kecil saya berkata, sebagai orang Indonesia asal Yogya saja, saya
nyaris gagal mengapresiasi bahasa dan budaya Sunda, tetapi dia
seorang antropolog Swiss berbahasa ibu Jerman dapat menyanyi dan
menari Dayak? 15
Mencari Antropologi
16Bayangan anak muda ketika itu, jurnalis itu gagah berkuasa, sehingga saya pikir
penghasilannya akan cukup untuk membiayai obsesi saya untuk mengulang sekolah
SMA jurusan IPA agar saya dapat maju jadi insinyur bukan antropolog.
18
Nyaris pada detik terakhir masa pendaftaran mahasiswa,
dokumen pendaftaran saya jadi mahasiswa diterima oleh panitia
pendaftar di Balairung UGM. Setelah seluruh proses seleksi saya ikuti,
datanglah pak pos mengantar surat panggilan pada orangtua untuk
hadir ke Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM. Inti surat menyatakan
kalau saya diterima kuliah antropologi. Dengan sangat bangga bapak
saya bangkit dari kursi jemurnya. Ia langsung masuk rumah berganti
busana deftig, ambil topi koboi kebanggaannya dan langsung keluar
mengayuh sepeda onthel menembus teriknya matahari siang, lewat
Purwanggan, Lempuyangan, Kridosono, RS Panti Rapih dan langsung
ke Fakultas Sastra. Ia menemui ketua panitia penerimaan mahasiswa
Fakultas Sastra dan Kebudayaan. Ia diyakinkan bahwa saya sungguh-
sungguh diterima sebagai mahasiswa antropologi. Sepulang dari
perjalanan, yang saya tahu pasti melelahkan untuk pensiunan yang
lama tidak pernah bersepeda, ia masuk rumah sambil buka topi
menyerukan panggilan kesayangannya untuk saya, “Lis. Bapak baru
dari Bulaksumur. Kamu diterima di antropologi, sana segera diurus!”
Jadilah saya mahasiswa antropologi angkatan 1972. Hari
pertama masuk kuliah bikin saya gegar budaya. Itu adalah pengalaman
saya pertama belajar dalam sistem koedukasi 17 selepas taman kanak-
kanak. Kursi dan meja belajar menyatu. Kursi lebar tetapi mejanya
kecil, selebar ukuran kertas folio, letaknya ke arah setengah lebar
muka kursi menghalangi gerak spontan mahasiswa yang mau duduk
dan berdiri. Siapa pun kalau ingin duduk dan berdiri harus
menggerakkan pantatnya mengulir (nggiwar-ngebor) 18 terlebih
dahulu. Kursi itu diam-diam jadi penjara mini bagi lantangnya
kebebasan mimbar akademi yang didengungkan semua universitas di
dunia. Kepala dan mulut boleh bebas, tetapi kaki dan pantat kita tetap
di tempat. Waktu perkuliahan tidak dapat diandalkan, bahkan tidak
partisipatoris.
20
Berjumpa Antropologi
21 Seorang sahabat di kelas sangat terkesan pada sorot mata Prof. Masri Singarimbun
yang katanya jernih sekali. Teman lain kecut, ciut nyalinya, melihat seorang dosen
lain yang tampil jantan merokok sambung menyambung dan suaranya menggelegar.
Ia sampai terkencing di celana, sekali saja dosen itu memanggil namanya di kelas.
Mengendalikan mata dan kemudian telinga adalah latihan penting bagi calon
antropolog.
21
pertanyaan dari apa yang ia alami di rumah kontraknya di tengah
kampung, menimba air dan mencuci baju bersama tetangga, melihat
kerbau menarik bajak di sawah belakang rumahnya dan berbelanja
sayuran bersama istri di pasar Sentul, dsb. Banyak kali mahasiswa
hanya menoleh kiri-kanan tidak siap menjawab. Kalau ada yang
menjawab beliau punya susulan pertanyaan yang lebih eksplisit,
komparatif dan reflektif. Pendek kata, Pak Hans Daeng mampu
mengkomunikasikan antropologi secara wajar serta mudah tanpa
retorika yang melambung-lambung.
Setelah melewati masa propadeus, kami mahasiswa
antropologi angkatan 1972 menerima pengapesan. Mulai tahun 1973
jurusan antropologi UGM harus menutup program doktoral. Sejak itu
tujuan puncak studi kami adalah mencapai jenjang sarjana muda (BA),
studi selanjutnya untuk menjadi sarjana (Drs.) tertutup. Dua tahun
kemudian, UGM mendatangkan Prof. Dr. Masri Singarimbun
antropolog yang tulus dan berkaliber untuk menjadi dosen di Fakultas
Ekonomi dan untuk mendirikan Lembaga Kependudukan. Dengan
sangat cepat empatinya pada jurusan antropologi membuncah. Ia tidak
hanya mengundang dosen antropologi untuk bekerja bersama para
dosen fakultas lain di lembaga yang baru saja dirintisnya, tetapi beliau
juga mau membagi waktunya mengajar kependudukan (demografi) di
kelas kami. Kelasnya seperti membukakan mata, bahwa urusan
antropologi dapat bersinggungan dengan urusan statistik
kependudukan, fertilitas, keluarga berencana, migrasi, hingga
peramalan jumlah penduduk di masa depan. Saya melihat secercah
cahaya diujung terowongan dari kelas ini. Dalam waktu singkat saya
lalap tumpukan modul pelatihan kependudukan nasional yang
kebetulan diikuti kedua orangtua saya. Diam-diam langkah saya
beberapa kali lebih cepat dari situasi (irama) kuliah.
22
Dapat Kejutan
24
Saya : “Maaf Pak, saya tidak punya SIM C, saya sopir
dengan SIM A, sehari-hari saya ke kampus
bersepeda.”
Pak Masri : “Tidak apa-apa, saya percaya kamu, pakai saja
motor kantor.”
22 Saya teringat kepada senior saya almarhum Ir. Soeratman, yang dari luar
antropologi selalu berempati pada keterbelakangan formal jurusan kami. Karena
dukungan beliau beserta jaringannya, “Kandang Antropologi” terwujud. Ia bahkan
telah merelakan puterinya sendiri yang ketika itu masih SD kelak menjadi
mahasiswa di dalamnya hingga lulus. Terimakasih yang tidak terhingga Pak.
26
ketika itu ternyata istimewa, karena niscaya mengapresiasi wacana
kualitatif yang partikular dan aneh dari para stafnya. Maklumlah
direktur dan banyak staf peneliti di dalamnya adalah para antropolog,
bahkan setengahnya adalah staf pengajar di jurusan antropologi.
Ada geliat implisit ber-antropologi dalam arus bawah wacana
demografi di sana. Kalau di permukaan ada gelombang survey yang
fokus pada sektor pembangunan di bidang kependudukan, maka di
kedalaman nurani para praktisinya ada “bara api” (semangat)
antropologi yang tidak pernah padam. Itulah Lembaga Kependudukan
UGM sepanjang yang saya alami. Saya sungguh-sungguh beruntung
ada di sana. Nyaris siang dan malam saya dapat mengakses wacana
implisit jantung akademiknya yaitu dari perpustakaan. Koleksi buku
antropologi Lembaga Kependudukan memang tidaklah besar, tetapi
dikelola terbuka dan diurus Bu Irawati Singarimbun dengan sangat
profesional. Saya menyaksikan begitu banyak sarjana antropologi
bebas mengakses isi koleksinya.
Ketika begitu banyak disiplin keilmuan terjebak dalam
pencarian kebenaran obyektif yang frekuensional, dapat dihitung dan
diukur, dari dalam kesunyian perpustakaan itu, saya membaca suatu
pergerakan yang paradoks. Di sana saya ikut bersama para antropolog
senior merayakan metode survey, tetapi sesungguhnya hati nurani
menyangkalnya. Kami, para “antropolog” terus berkomunitas
akademik tanpa papan nama. Secara “diam-diam” (implisit) kami
hidup bersolidaritas, berkomunikasi dalam jaringan halus saling
mengakui dan saling menghargai identitas antropologi kami masing-
masing tanpa pandang gelar dan pangkat. Di dalam selubung
struktural Lembaga Kependudukan itu ada komunitas akademik
antropologi yang sangat aktif. Komunitas itu bersama-sama
menghayati cara pandang kualitatif dan holistik (reflektif) kami
terhadap keniscayaan pembangunan (modernisasi). Komunitas itu
aktif saling mengerti berwacana positif dan produktif ikut melayani
struktur lembaga yang menaunginya. Dari praktek berkomunitas
menghadapi situasi liyannya, konsep dan teori antropologi
27
berkembang sementara para antropolog berusaha tetap tahu diri
sebagai instrumen metodologinya. 23
23 Belajar dari Hegel soal kisah budak dan tuan untuk mencapai kesadaran diri,
ternyata kesadaran diri yang penuh (proses sejarah) itu tergantung penyangkalan
perbudakan (inferioritas) oleh budak (yang tertindas) (lihat Sarup 1994: 13-19)
28
teori evolusi G.A. Wilkens pada 1870-1890, berkembang menjadi
induk ilmu antropologi-budaya. Namun demikian setelah Wilkens
antropologi justru tenggelam terlampaui ilmu-ilmu lain termasuk oleh
ilmu hukum adat. Akibatnya hingga setelah Perang Dunia II, tahun 50-
an G.J. Held dalam Anthropology Today (1953: 868) menyebut
antropologi sebagai science of leftovers atau ilmu sisa-sisa
(Koentjaraningrat 1961:477). Hanya lima tahun setelah pernyataan
Held ini, pada tahun 1958 Koentjaraningrat mempertahankan
disertasinya, yaitu “Ikhtisar Metode-Metode Antropologi dalam
Penyelidikan-Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia.
Disertasi itu menakjubkan, tidak tertandingi dan menjadi
tonggak kebangkitan kembali ilmu antropologi nasional di Indonesia.
Pantas sekali bila Pak Koen, begitu sapaan akrab para kerabat
antropologi muridnya, kemudian digelari sebagai bapak antropologi
Indonesia. Sementara para muridnya membayangkan diri sebagai
anggota kerabatnya. Di akhir disertasinya itu, ia dengan sangat
santun 24 tetapi tegas membela antropologi setara sosiologi, sebagai
ilmu yang kompeten mendampingi bangsa Indonesia yang sedang
mengalami krisis akulturasi akibat perubahan global pasca Perang
Dunia II. Gelombang perubahan menerpa masyarakat-masyarakat di
seantero jagad tetapi kita belum memiliki kebudayaan yang memadai
untuk meresponnya. Itulah krisis akulturasi.
30
untuk kuliah menyelesaikan sarjana antropologi ke UI sambil belajar
bahasa Belanda. Beliau membaca isi kontrak beasiswa saya:
“Ini bagus Laksono. Di sini tertulis, bahwa setelah selesai sarjana
kamu harus sanggup ditempatkan kembali ke UGM. Ini akan
memudahkan kamu bisa menjadi dosen antropologi UGM. Selamat
Laksono, kita pasti akan berjumpa kembali.”
Merajut Perbedaan
2002)
33
dua tingkat bahasa (ngoko dan krama) untuk menciptakan hirarki
dengan liyannya sendiri. Bahasa jawa ngoko adalah bahasa pertama
atau bahasa ibu di kampung-kampung. Sedangkan krama adalah
bahasa kedua, bahasa (milik) orang yang kurang dikenal atau yang
tidak dapat begitu saja dianggap sederajat. Ketika orang Solo menyapa
orang lain dengan bahasa krama, maka ia sesungguhnya sedang
menterjemahkan omongan ngokonya (dirinya) ke dalam bahasa asing.
Penerjemahan itu tidak hanya menunda dan melemahkan,
tetapi juga mencegah bahkan menggagalkan kehadiran diri
(ngoko)nya secara penuh dalam wacana. Dengan demikian,
keberadaan liyan dalam bahasa kedua (krama) itu tetap samar-samar,
terkatakan tetapi tidak terakses, seakan-akan ada tetapi tidak ada. Apa
yang asing serta aneh tersingkir, begitu juga orang solo itu sendiri jadi
tidak jelas. Dalam hal ini peristiwa komunikasi, liyan orang Solo28
tergambarkan tetapi hasilnya tidak pernah jelas, bisa apa saja.
Konsekuensinya etnografi itu tidak mungkin mengabadikan identitas
budaya (orang manapun) yang sudah ada, “There’s no way to say in
advance what the otherness of the other really would consist of. And
one is, I think, always wrong about it. But, you know, you do what you
can” (dalam Barker dan Rafael 2012: 41). Etnografi justru
mengada(ada)kan identitas baru, menantang kemampuan orang
menata liyannya secara simbolik. Meskipun begitu, James T Siegel
mengakui bahwa disiplin antropologi tetap perlu dipertahankan karena
kemampuannya mencatat efek-efek keliyanan (otherness) dan
kemampuannya tetap terbuka bagi ketidakterdugaan. 29
28 Liyan itu ada dalam bentuknya yang terusir. Kehadiran tiba-tiba pengemis, ledek
kethek, penyeberang jalan, ataupun Dracula, demit import, direspon orang Solo
dengan penanda/bahasa (hampa makna) sekedar jadi angin lalu (Siegel 1986),
sehingga kejutannya tidak bikin latah, kehilangan kontrol terhadap bahasa.
Mengenai efek kelatahan lihat James T Siegel (1998 dan 2006).
29 Lihat Joshua Barker dan Vicente Rafael (2012).
34
Sejauh pengalaman saya berada dalam pendidikan antropologi,
mengalami situasi keliyanan itu niscaya penting, terutama bagi
ilmuwan sosial humaniora yang ingin berkarya bagi Indonesia.
Berangkat dari proposisi ini, bersama Pusat Studi Asia Pasifik UGM
dan dengan dukungan pendanaan dari the Ford Foundation, kami
menyelenggarakan program beastudi antar budaya. Tujuannya agar
para mahasiswa S2 bersama dosen pembimbingnnya (liyan
mahasiswa) mendialogkan kurikulumnya menyerap pengalaman
terjun ke dalam situasi liyan dari budaya selain budaya ibunya di
Indonesia. Dengan demikian akan lahir para akademisi, yang terbuka
dan siap tanggap dengan efek tidak terduga dari proses mengIndonesia
yang sedemikian kompleks.
Dengan semangat antarbudaya, yang juga dikelola istri
tercintanya, baru-baru ini Prof. Dr. Pujo Semedi, liyan saya ber-
antropologi, mengangkat tema ngasak di Jerman dalam pidato
pengukuhan guru besarnya. “Kacang ora lali ninggal lanjarane,”
begitu kata pepatah tua. Orang tumbuh berkembang dengan tidak
meninggalkan asal usul sandaran hidupnya. Luasnya lahan pertanian
efisien yang memakmurkan dan migrasi kemiskinan dari desa ke kota
industri di Jerman tidak membuat Pujo Semedi lupa pada para
pengasak (the gleaners) di tanah kelahirannya di Jawa. Ngasak adalah
identitas para petani miskin tidak bertanah di pedesaan Jawa yang
terpaksa meramu sisa-sisa hasil panen di hamparan sawah milik liyan.
Pengasak atau the gleaners adalah liyan bagi Jerman modern. Dulu
keberadaannya mengundang solidaritas dan jiwa kemanusiaan para
tuan tanah. Hari ini mereka “hilang” dikriminalkan. Namun
sesungguhnya mereka hijrah ke kota menjadi buruh miskin di kota-
kota, ngasak remah-remah makanan di kota, menjadi dumpster divers.
Baik pengasak maupun Jerman modern adalah liyan
antropolog Pujo Semedi. Kisah (tragis) mereka di Jerman
diperdengarkan kepada kita, agar kita sadar “that there are other ways
of being human” (223: 29). Jerman modern gagal secara simbolik
mengapresiasi para pengasak di pedesaan sebagai bagian dari dunia
pertanian yang rasional. Tidak ada tempat bagi para ngasak, ketika hak
35
atas hasil panen itu menjadi hak eksklusif investornya. Kriminalisasi
adalah titik akhir perjalanan hidup para pengasak di Jerman. Kisah
inikah yang kiranya disarankan oleh Pujo Semedi agar kita jadikan
posisi pandang kritis antropologi terhadap sejarah kita sendiri? Coba
kita renungkan.
Misalnya “ngasak” di pedesaan sekitar Yogya. Sepertinya
praktek ini sudah hilang sejak para petani lebih suka menjual
panenannya kepada para penebas tamak. Pedesaan berubah jadi
perkampungan, pemecahan milik lebih sering terjadi daripada
konsolidasi tanah pertanian menjadi hamparan lahan industri pangan
yang luas dan efisien, macam-macam pekerjaan tumbuh di kampung.
Dari pinggiran kampung para miskin itu mayeng-mayeng ke sana
kemari, keluar masuk perkampungan. Dulu mereka pernah disebut
sebagai tukang beling dan sekarang pemulung. Kehadiran mereka
aneh, sulit diidentifikasi siapa mereka. Mereka liyan bagi orang
kampung, kerjanya mulung atau memungut apa saja yang dianggapnya
sudah pasti tidak beridentitas, padahal belum tentu. Jadilah mereka itu
ketidakpastian itu sendiri. Untuk itu banyak tulisan bahkan spanduk di
mulut jalan masuk kampung dan perumahan: “Pemulung dilarang
masuk.” Ironisnya pemulung tetap saja berkeliaran. Internet tidak
kekurangan data bagaimana pemulung jadi korban pemukulan,
pembacokan hingga pembunuhan oleh warga kampung yang gagal
menyapa liyannya. Ternyata ada anekdot bahwa pemulung itu buta
huruf.
Efek kegagalan simbolisasi semacam itu tidak terduga dan
muncul sebagai anekdot tetapi dapat juga jadi petaka. Sedikit berbeda
dengan sejarah yang mengakses peristiwa yang pasti sudah terjadi di
masa lalu, antropologi itu mengajak kita bersiaga, terbuka mengerti
efek simbolisasi kehadiran liyan yang mengejutkan. Para antropolog
itu sendiri adalah liyan asing yang sering kali aneh dan mengejutkan
para informannya. Kegagalan para informan dan antropolog untuk
mengatakan situasi aneh dari perjumpaan mereka berefek tidak
terduga. Disinilah pentingnya terus menerus berkomunikasi saling
mengidentifikasikan diri secara reflektif hingga perbedaan situasi
36
yang berkembang dapat ditetapkan dan sejarah dapat dimulai.
Misalnya setelah melakukan riset panjang di Maluku Tenggara dan
NTT tentang kedaulatan pangan, saya bersama LAURA dan Pusat
Studi Asia Pasifik menyiapkan mnemonic device atau jembatan
keledai agar kita bersama-sama bersiaga terhadap ancaman siklus
bulan lapar. Beretnografi itu adalah langkah memulai sejarah (baru).
Penutup
Atas berkat dan karunia Tuhan Yang Maha Kasih, saya beserta
istri Yuliana Widiati Nuraini, dan anak-anak kami Monica Maria
Widisetyorini, Fransiscus Sales Magastowo, serta Patricia Pratitasari,
telah diperkenankan menjadi bagian dari keluarga besar Fakultas Ilmu
Budaya, UGM. Beberapa hari lagi masa pensiun yang bahagia itu tiba.
Saya sangat bersyukur dan berterimakasih karena telah mendapatkan
begitu banyak dukungan, dari para pengurus maupun seluruh civitas
akademika FIB, untuk sedapat mungkin menuntaskan masa karya-
bhakti saya dengan selamat sejahtera. Dalam hal ini saya, secara
khusus berterimakasih kepada para senior, yunior dan mahasiswa saya
di departemen antropologi yang secara sangat istimewa telah
menjamin saya selamat mengemban tugas-tugas saya. Kita bersama-
sama telah meng-antropologi, saling menjadi liyan ketika rapat
departemen dan ketika di ruang kuliah, hanya untuk rukun bahu
membahu menjadi satu ketika beraksi untuk terus siap kejut
mengadakan antropologi.
Semoga pidato panjang ini telah membesarkan hati kita semua.
Seperti sering kita bicarakan di kala jeda, hari-hari ini kita sedang
sedang mengalami tekanan dunia yang serba digital, eksklusif
tergantung pada sistem nomenklatur yang terstruktur, antropologi
justru sangat dibutuhkan. Nyaris setiap hari kita harus berurusan
dengan gadget dan laptop, mengisi ini itu menuruti nomenklatur yang
tersedia. Tetapi percayalah bahwa antropologi selalu siap mengadakan
apa yang belum ada, sebab antropologi terbiasa pada situasi yang
belum teridentifikasi dan belum terdaftar dalam nomenklatur masa
kini. Seperti halnya ngasak di Jerman, meskipun tidak diakui lagi oleh
37
nomenklatur rasional negerinya, toh antropologi dapat memungutnya.
Untuk apa? Agar kita semua siap memikirkan efeknya, bila pengasak
kita, dimangsa Bethara Kala, tersingkir dari nomenklatur budaya ibu
asuhnya, yaitu budaya para petani gurem. Sebagai pensiunan (profesi)
antropologi, saya mendoakan semoga dunia beruntung, rahayu dan
boleh tersenyum geli, karena ulah antropologi, ilmu sisa-sisa, yang
terbiasa mengerti bahwa kejutan masih bakal terjadi. Terima Kasih
sobatku semua, maafkan segala kekurangan kami sekeluarga, selamat
berjuang dan semoga Tuhan memberkati kita semua.
38
Daftar Bacaan
Chambers, Robert
1996 (PRA) Participatory Rural Appraisal: Memahami Desa Secara
Partisipatif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius bekerjasama dengan
Yayasan Mitra Tani dan OXFAM.
Denzin, Norman K.
1989 Interpretive Biography, Qualitative Research Methods Series 17.
Newbury Park, London, and New Delhi: SAGE Publications.
Koentjaraningrat
1961 Metode2 Anthropologi dalam Penjelidikan2 Masjarakat dan
Kebudajaan di Indonesia (sebuah Ichtisar). Djakarta: Penerbitan
Universitas.
39
Laksono, PM
1975 Interaksi Sosial: Kasus Buruh-Buruh Omprengan Jurusan Kaliurang,
skripsi sarjana muda bidang antropologi. Yogyakarta: Fakultas Sastra
dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada
2002 The Common Ground in the Kei Islands: Eggs from one Fish and One
Bird, Yogya: Galang Press.
Mead, Margaret
1943 Coming of Age in Samoa, New York etc.: Penguin Books.
40
Sarup, M.
1994 An Introductory Guide to Post Structuralism and Postmodernism,
second edition, Athens: The University of Georgia Press.
Semedi, Pujo
2023 Kontestasi Substantif Ngasak di Jerman Selatan, Pidato Pengukuhan
Guru Besar dalam Bidang Antropologi, Yogyakarta:Universitas
Gadjah Mada.
Siegel, James T
1986 Solo in the New Order: Language and Hierarchy in an Indonesian
City, Princeton, New Jersey: Princeton University Press.
Siegel
2011 Objects and Objections of Ethnography, New York: Fordham
University Press.
Turner, Victor
1969 The Ritual Process: Structure and Anti-Structure, New York: Aldine
de Gruyter
41