Anda di halaman 1dari 19

Dilema dan Tantangan Dalam Perubahan Politik: Stabilitas VS Demokrasi

Perubahan Politik

Kelompok 5

A Naufal Azizi 15/384251/SP/26963


Ade Wulan 15/384252/SP/26964
Amesyha Tri Dany 15/384254/SP/26966
Bunga Hayati 15/378685/SP/26639
Fadilla Saraswati 15/384265/SP/26977
Farahita Nandini 15/378687/SP/26641
Julio Evander Sakul 15/378690/SP/26644
Latifah Arifianingrum 15/378692/SP/26646
Maria Angelica Christy 15/384273/SP/26985
Ryan Abdul Aziz 08/270342/SP/23075
Tafrida Khoirunisa 15/384286/SP/26998

Departemen Politik dan Pemerintahan


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada
2016
Perubahan Politik

Pengantar

Apakah demokrasi yang memberikan peluang terhadap peran individu secara


maksimal akan menjamin stabilitas serta persatuan dan kesatuan bangsa? Atau,
apakah demokrasi yang dibangun dengan sebuah pemerintahan yang kuat
tetapi dapat di kontrol dengan menghidupkan elemen lain dalam demokrasi
dapat menjamin munculnya sebuah pemerintahan yang bersih? (Afan Gaffar,
1999)

Kalimat pembuka yang sangat manis dari dosen, guru, profesor, penulis, pejabat
negara, dan ilmuwan politik sekaligus yang pernah dimiliki bangsa ini, almarhum Afan
Gaffar. Dalam bukunya yang berjudul Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi,
beliau mengilustrasikan dengan sangat peka bagaimana Indonesia yang baru memasuki
era demokratisasi pasca reformasi, mencoba membuka jalan baru ke perubahan fisik dan
struktur berbagai institusi pemerintahan maupun secara sikap dan afeksi melalui
mengubah pola budaya politik Indonesia ke pintu yang lebih demokratis.

Dalam potongan tulisannya di atas, beliau menanyakan kepada setiap pembaca


yang ingin mengkritisi langkah yang diambil pemerintah dalam mengelola negara ini,
apakah dengan pemberian kebebasan otonom kepada setiap individu dapat menjamin
stabilitas dan persatuan terbentuk? Karena menurut hemat penulis, kebebasan yang
diberikan secara otonom dan mutlak kepada setiap individu, akan menimbulkan sikap
individualisme sehingga cenderung untuk susah diatur dan integrasi bangsa sulit
dicapai.

Sedangkan, dalam kalimat berikutnya, beliau menanyakan kalimat penentang


yang menimbulkan paradoks tersendiri bagi tiap pembacanya. Apakah sebuah
pemerintahan yang kuat stabilitas dikendalikan dan dipegang oleh negara akan
menciptakan pemerintahan yang bersih? Yang tidak jatuh ke arah pemerintahan yang
sewenang-wenenang atau kalau tidak kembali ke sistem autoritarian dan bahayanya
berlaku otoriter?

Dua pertanyaan yang membingungkan ini akan kami analisis kedalam berbagai
teori tentang demokrasi dan stabilitas oleh para ilmuwan politik yang sudah pamor
namanya. Kami juga akan menganalisis bagaimana kaitannya dua pendekatan berbeda

2
Perubahan Politik

tersebut dengan pembangunan ekonomi serta pengaruhnya terhadap perubahan politik


yang terjadi di berbagai negara di dunia wabilkhusus di negara dunia ketiga.

1. Demokratisasi Versus Stabilitas

Demokratisasi cenderung dimanfaatkan oleh masyarakat untuk merayakan


kebebasan. Bebas dari segala bentuk ancaman yang dapat menggangu hak setiap warga
negara untuk mengembangkan potensi dan mendapatkan jaminan hukum atas
perlindungan hak tersebut dari otoritas yang berwajib (negara). Campur tangan negara
atas hak individu dianggap sebagai sebuah ancaman. Oleh karena itu, jalan demokrasi
banyak digunakan masyarakat untuk mengelola dan memasarkan produk ekonominya
dan secara tidak langsung berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi melalui mekanisme
ini.

Namun, disisi lain, demokrasi dapat memperburuk pertumbuhan ekonomi. Hal


itu dapat terjadi ketika mekanisme pasar dibebaskan dan tidak memiliki batasan ukuran,
alhasil, masyarakat menjadi semakin dan sangat konsumtif. Oleh karena itu, peran
negara sebagai intitusi resmi satu-satunya harus bertindak dalam penguatan ekonomi
tersebut. Kekuatan negara dibutuhkan untuk mengarahkan ekonomi kepada titik
efisiensi. Namun, pertanyaan tidak sampai disitu, negara yang kuat tanpa adanya
demokrasi juga akan menelurkan kekuasaan diktator baru yang akan melahirkan in-
efisiensi. Lantas, bagaimana seharusnya? Poin menarik berikutnya akan dipaparkan di
bawah..

2. Demokrasi dan Pembangunan Ekonomi Serta Analisisnya Terhadap Perubahan


Politik

Demokrasi adalah sebuah kata yang merujuk pada konsep kehidupan bernegara
yang warga negaranya turut aktif berpartisipasi dalam pemerintahan. Menjunjung tinggi
nilai kebebasan, menghormati orang lain, kesetaraan, kerjasama, persaingan, dan
kepercayaan adalah syarat mendasar yang harus ada dalam demokrasi. Demokrasi yang
mapan, dapat menjamin perekonomian yang lebih tertib, lancar, dan aman. Pertanyaan
yang muncul adalah, bagaimana hubungan antara demokrasi dan pembangunan
ekonomi? Dan bagaimana pula keterkaitan keduanya terhadap perubahan politik?

3
Perubahan Politik

Pembangunan secara demokratis, justru akan menimbulkan suatu pembangunan


ekonomi yang cenderung disertai dengan timbulnya desentralisasi baik dibidang politik
maupun ekonomi. Pada akhirnya distribusi kekuasaan ekonomi berada diantara
kelompok dan individu yang memiliki hubungan dekat dengan distributor kekuasaan
politik. Swasta menjadi aktor yang sangat diuntungkan dengan adanya proses
demokratisasi ini, karena prinsip mereka membawa orientasi keuntungan sebesar-
besarnya. Dengan modal besar mereka akan dengan mudah menggerakkan dominasi
perekonomian di suatu daerah dan bahkan sistem politik sekalipun. Hal ini dilakukan
dalam upaya memperlebar kekuatan perekonomian mereka sendiri.

Dalam perjalanannya, demokratisasi ternyata malah cenderung menguntungkan


sektor privat dan merugikan masyarakat dan negara. Ini dapat kita lihat dari kebijakan
dan berbagai macam keputusan negara yang cenderung membela pemilik modal dari
pada masyarakat. Demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak minoritas hanya dianggap
sebagai angin lalu. Dengan hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya
demokratisasi yang melenceng dari cita-cita bangsa Indonesia akan menimbulkan
ketidakstabilan.

Jikalau kepentingan rakyat tidak ditempatkan pada skala prioritas pertama, maka
perdebatan yang berkepanjangan tentang bagaimana seharusnya sistem politik
beroperasi tidak akan pernah selesai dengan menguntungkan rakyat. Namun, dilain
pihak, Seymour Martin Lipset dengan argumennya justru mengatakan bahwa,
pembangunan ekonomi tersebut malah menandakan tingginya tingkat demokratisasi
suatu negara, yang itu juga berdampak pada perubahan politik di negara tersebut.
Bagaimana penjelasnya? dalam poin berikutnya akan kami paparkan lebih lanjut.

2.1 Pembangunan Ekonomi dan Demokratisasi: Analisis Seymour Martin Lipset

Hubungan antara demokrasi dengan perkembangan ekonomi di suatu negara


berhubungan sangat erat. Untuk mengimbangi pertumbuhan dalam bidang ekonomi
tersebut secara kongkrit, suatu negara harus melakukan pengembangan pula terhadap
demokrasi dan kondisi perpolitikannya. Dari zaman Aristoteles sampai dengan saat ini
masyarakat mempercayai bahwa dalam suatu masyarakat terdapat elit yang bergolongan
tinggi dengan masyarakat biasa. Hal ini sangat berdampak terhadap pertumbuhan sistem

4
Perubahan Politik

oligakri atau otoriter dimana terdapat pemeritahan yang berkuasa dan masyarakat yang
mengikutinya. Dalam perkembangannya banyak sekali negara-negara yang mengadopsi
sistem otoriter sehingga terjadi ketidakstabilan dengan sistem yang lain.

Di negara-negara yang tidak mengadopsi sistem otoriter atau yang menggunakan


sistem yang demokratis menimbulkan perbedaan satu sama lain dalam perjalanan
perkembangan ekonomi, sosial dan budayanya. Secara garis besar, demokrasi adalah
sistem politik yang menyediakan kesempatan-kesempatan untuk mengganti pejabat-
pejabat yang memerintah secara konstitusional dan teratur. Ia juga merupakan suatu
mekanisme sosial yang memungkinkan sebanyak mungkin rakyat untuk memengaruhi
keputusan-keputusan penting dengan memilih di antara calon yang saling bersaing
untuk jabatan politik. Demokrasi yang berjalan baik memiliki dua ciri yang
memengaruhinya, yaitu pembangunan ekonomi dan legitimasi.

Generalisasi paling umum yang menghubungkan sistem-sistem politik dengan


aspek-aspek lain masyarakat ialah, bahwa demokrasi bertalian dengan keadaan
pembangunan ekonomi. Makin sejahtera suatu bangsa, makin besar pula peluang bangsa
tersebut untuk mempertahankan demokrasinya. Di bawah ini akan dipaparkan dua
klasifikasi menarik bagaimana perbedaan antara negara-negara di Eropa dan negara
berbahasa Inggris dengan negara-negara di Amerika berdasarkan tingkat kestabilan
demokrasi dan kediktatoran negara tersebut.

Tabel 1. Perbandingan negara Eropa dan negara berbahasa Inggris dengan negara
Amerika Latin berdasarkan tingkat kestabilan demokrasi dan kediktatooran
negara tersebut

Negara Eropa dan negara berbahasa


Negara-negara Amerika Latin
Inggris
Negara demokrasi Negara demokrasi
Negara-negara
tidak stabil dan dan kediktatoran Kediktatoran stabil
demokrasi stabil
kediktatoran tidak stabil
Australia, Belgia, Albania, Austria, Argentina, Brasil, Bolivia, Kuba,
Kanada, Denmark, Bulgaria, Chile, Kolumbia, Republik
Irlandia, Cekoslovakia, Costa rica, Mexico, Dominika,
Luxembourg, Finlandia, Perancis, dan Uruguay. Ekuador, El-

5
Perubahan Politik

Belanda, New Jerman, Yunani, Salvador,


Zealand, Norwegia, Hungaria, Eslandia, Guatemala, Haiti,
Swedia, Italia, Polandia,
Switzerland, Portugis, Rumania,
Kerajaan Inggris, Spanyol, Uni
dan Amerika Soviet, dan
Serikat. Yugoslavia.

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa: makin sejahtera suatu bangsa, makin
besar pula peluang-peluang untuk mempertahankan demokrasi. Indeks kesejahteraan ini
menurut Lipset terdiri dari: kekayaan rata-rata, tingkat industrialisasi, urbanisasi, dan
tingkat pendidikan.

Akhirnya, diketahui bahwa negara-negara yang memiliki tingkat urbanisasi yang


lebih tinggi, ditambah dengan kekayaan merata dan tingkat industrialisasi tinggi. maka
negara tersebut cenderung semakin demokratis. Selain itu, tingkat pendidikan yang
tinggi lebih memiliki manfaat untuk memperluas wawasan manusia, dan
memungkinkannya memahami kebutuhan akan norma-norma toleransi, mencegahnya
menganut doktrin-doktrin ekstrimis dan menambah kapasitasnya untuk membuat
pilihan-pilihan rasional dalam pemilihan,

3. Stabilitas dan Pembangunan Ekonomi Serta Analisisnya Terhadap Perubahan


Politik

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, stabilitas politik merupakan syarat


fundamental untuk menopang elemen elemen pembangun negara seperti ekonomi,
sosial, budaya, serta pertahanan dan keamanan. Ketidakseimbangan dalam perubahan
politik akan muncul apabila warga negara tidak dapat stabil dalam sistem politik. Hal ini
akan mempengaruhi pembangunan ekonomi dan berdampak buruk pada
penyelenggaraan segala bidang termasuk kehidupan ekonomi masyarakat. Kehidupan
ekonomi masyarakat inilah yang pada akhirnya akan mempengaruhi stabil tidaknya
politik suatu negara.

6
Perubahan Politik

Ketidakstabilan negara sangat berpengaruh terhadap hubungan antara sektor


privat dan masyarakat. Sebab, negara yang merupakan aktor utama dalam pembangunan
ekonomi dan mobilisasi sosial akan mendapatkan dampak yang akan ditimbulkan oleh
sistem politik. Semakin tinggi tingkat pembangunan ekonomi dan mobilisasi, maka
sistem politik cenderung tidak stabil, dan begitu pula sebaliknya.

Negara yang telah diberi legitimasi oleh masyarakat memiliki kekuatan penuh
untuk memutuskan segala kebijakan yang sejalan dengan pembangunan ekonomi dan
aktor perubahan politik lainnya. Apabila sistem politik telah stabil, maka permasalahan
yang kemudian perlu dituntaskan bersama-sama adalah menciptakan pembangunan
ekonomi. Dalam pemaparan stabilitas politik, kami mengambil argumen dari Mancur
Olson dan Samuel P Huntington untuk me-re-battle kembali argumen dari Seymour
Martin Lipset tentang pembangunan ekonomi dan demokratisasinya.

3.1 Pertumbuhan Cepat Sebagai Kekuatan Distabilitas: Analisis Mancur Olson

Kebanyakan ilmuan berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan


faktor utama yang mendukung adanya stabilitas politik di suatu negara, semakin
stabilnya perekonomian suatu negara maka dipastikan semakin stabil pula keadaan
politik di negara tersebut. Namun, berbeda dengan kebanyakan ilmuan, Mancur Olson
berpendapat bahwa justru dengan adanya kemajuan ekonomi yang cukup pesat tersebut
akan membawa ketidakstabilan politik (Olson:89).

Alasan mendasar mengapa Olson menganggap pertumbuhan ekonomi justru


merupakan sumber distabilitas politik yaitu karena pertumbuhan ekonomi yang cepat,
erat kaitannya dengan revolusi pada bidang industrialisasi dimana pada masa itu akan
memunculkan kaum orang kaya baru (Nouveaux Riches) yang justru akan menghambat
keselarasan tatanan sosial karena perubahan ekonomi tersebut akan memunculkan
kesenjangan antara orang kaya dan miskin. Selain itu, akan muncul standarisasi minimal
tingkat kesejahteraan seseorang yang secara tidak langsung membuat orang semakin
memperkaya dirinya sehingga akan semakin banyak orang miskin karena tidak mampu
mencapai standar alamiah tersebut.

Akan tetapi Olson tidak sepenuhnya menentang pendapat bahwa perekonomian


merupakan sumber distabilitas politik, hanya saja pertumbuhan ekonomi yang

7
Perubahan Politik

terlampau cepat jika tidak dibarengi dengan mental penguasa negara akan menyebabkan
kesenjangan antar masyarakat dan justru akan memunculkan distabilisasi politik karena
penguasa tidak mampu mendistribusikan kesejahteraan rakyat dengan merata.
Selanjutnya, apabila pemerintah tidak dapat mengatasi atau mencari jalan keluar atas
ketidakstabilan tersebut, maka tingkat kepercayaan dan legitimasi rakyat kepada
penguasa negara yang sedang berkuasa pun akan menurun dan kemungkinan terburuk
yang akan dihadapi negara tersebut adalah akan terjadinya distabilitas politik.

Pendapat Mancur Olson tersebut di analisis penulis untuk kasus yang terjadi di
Indoensia, yaitu pada masa rezim Orde Baru berkuasa. Pada masa itu, Presiden Soeharto
berkeinginan untuk melakukan pembangunan infrastruktur secara masif di Indonesia.
Hal tersebut diwujudkan dengan pencarian dana yang besar dengan meminta dan
meminjam bantuan dana dari IMF (Internasional Monetary Fund). Karena peminjaman
berlebih, hutang negara dengan IMF terlampau sangat banyak yang ujungnya
merugikan negara. Hal itu juga disebabkan karena negara berkembang sebagai
peminjam diberikan pinjaman dengan syarat harus membuka diri dengan pasar bebas,
alhasil eksploitasi besar-besaran dari perusahan asing terjadi (Saini dalam Oky
2011:22).

Karena didasarkan pada salah satu perjanjian dengan IMF tersebut, sebagian
besar sistem perekonomian Indonesia didominasi oleh kapitalisme asing. Indonesia pada
masa itu belum siap dengan segala konsekuensi yang dihadapi atas kerjasama dengan
lembaga pendonor internasional, sehingga bukan justru perekonomian lokal menjadi
terbengkalai dan berdampak pada munculnya krisis moneter berkepanjangan.

Dengan adanya krisis moneter tersebut, rakyat kemudian mendesak pemerintah


selaku pemegang kekuasaan atas negara untuk mencari jalan keluar. Dan seperti yang
kita ketahui, bahwa pemerintah pada masa itu tidak mampu untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut. Hal ini kemudian memunculkan adanya krisis kepercayaan
kepada pemerintah yang kemudian masa secara masif melakukan demonstrasi yang
pada akhirnyamencapai titik kulminasi dengan jatuhnya rezim Soeharto yang berkuasa.
Peristiwa yang terjadi dengan Indonesia di masa tersebut menunjukkan bahwa postulat
atas argumen Mancur Olson terbukti, bahwa dengan adanya pertumbuhan ekonomi

8
Perubahan Politik

yang terlalu cepat akan memunculkan distabilisasi politik serta berdampak pada sektor
vital lainnya.

3.2 Dua Faktor Pengaruh Stabilitas Politik: Analisis Samuel P Huntington

Huntington membandingkan keadaan politik yang terjadi di negara seperti


Amerika Serikat (AS), Inggris dan Rusia yang dianggap sudah memiliki sistem politik
yang jelas dengan negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Selatan yang masih
melakukan modernisasi dan belum memiliki komunitas politik yang utuh dan
pemerintahan yang efektif. Di dalam negara-negara ini masih sangat rentan terjadi
kekerasan politik dan kekacauan yang sebenarnya diakibatkan oleh belum stabilnya
kondisi politik di negara tersebut, dimana cepatnya mobilisasi kelompok-kelompok baru
tidak berimbang dengan lambannya perkembangan lembaga-lembaga politik. Oleh
karena itu, Huntington menyimpulkan dua faktor yang memengaruhi stabilitas politik:

1. Partisipasi politik

Partisipasi politik merupakan orientasi dari warga negara yang dilakukan


secara perorangan sehingga memengaruhi pengambilan kebijakan oleh pemerintah.
Huntington menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara partisipasi politik dengan
orang yang sudah profesional di bidang politik. Menurutnya, seorang profesional
politik merupakan orang yang pekerjaan utamanya adalah berpolitik di dalam
pemerintahan, berbeda dengan partisipasi politik yang bersifat sukarela dan tidak di
mobilisasi oleh negara maupun partai yang berkuasa. Namun, itu hanyalah masalah
prinsip karena pada kenyataanya, baik sukarela maupun dipaksa warga negara tetap
melakukan partisipasi politik.
Lalu apakah keterkaitan partisipasi politik dengan stabilitas politik? Hal
yang perlu digaris bawahi dari teori Huntington ini adalah pembangunan ekonomi
dan stabilitas politik adalah hal yang berbeda. Kesadaran dan pemahaman politik
merupakan faktor penunjang stabilitas politik. Karena dengan adanya sikap antusias
dari warga negara dalam partisipasi politik akan membawa kepada konsekuensi
tatanan politik yang stabil. Warga negara ikut terlibat dalam kegiatan politik
sekaligus mengambil bagian untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.

9
Perubahan Politik

Dalam buku Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Huntington dan


Nelson menguraikan landasan partisipasi politik, sebagai asal-usul individu atau
kelompok melakukan kegiatan partisipasi politik, menjadi lima, yaitu: [ CITATION
Sam94 \l 1033 ]

a. Kelas, merupakan individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan


pekerjaan yang sama.
b. Kelompok atau komunal, merupakan individu-individu dengan asal-usul ras,
agama, bahasa atau etnis yang serupa.
c. Lingkungan, merupakan individu-individu yang domisilinya berdekatan.
d. Partai, merupakan organisasi formal yang berusaha meraih bidang eksekutif
maupun legislatif pemerintahan.
e. Golongan atau faksi, merupakan individu-individu yang berinteraksi secara terus
menerus yang akhirnya membentuk patron-client.

2. Institusionalisasi politik

Untuk melengkapi penjelasan pada kalimat pembuka yang menggambarkan


hubungan antara partisipasi politik dan institusionalisasi politik, Huntington
mengungkapkan bahwa guncangan politik yang terjadi di negara Asia, Afrika dan
Amerika Selatan bersumber dari kegagalan dalam proses persamaan partisipasi
politik yang berkembang lebih cepat dibandingkan seni untuk mempersatukan diri
bersama-sama (Huntington, 2004: 5). Perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi di
negara-negara tersebut dinilai mengesampingkan sumber-sumber wewenang dan
kelembagaan politik tradisional, sehingga meskipun mobilisasi sosial dan perluasan
partai politik (parpol) cukup tinggi, tetapi angka pengorganisasian politiknya
rendah. Selanjutnya, Huntington menguraikan lembaga politik sebagai komunitas
dan tertib politik menjadi tiga bagian:

a. Kekuatan sosial dan lembaga politik.

Tingkat kesatuan politik yang dapat dicapai oleh suatu masyarakat pada
hakikatnya mencerminkan kaitan antara lembaga politik dan kekuatan sosial yang
membentuknya. Semakin kompleks jenis masyarakatnya, maka kekuasaan yang
dimiliki kelompok harus dilaksanakan melalui lembaga-lembaga politik. Lembaga
politik ini berfungsi untuk meminimalisir konflik sosial.

10
Perubahan Politik

b. Kriteria pelembagaan politik


a) Penyesuaian diri dan kekakuan. Semakin mudah suatu organisasi
menyesuaikan diri dengan perubahan, maka semakin tinggi pula tingkat
pelembagaannya.
b) Kompleksitas dan kesederhanaan. Semakin kompleks suatu organisasi, maka
semakin tinggi pula tingkat pelembagaannya. Organisasi yang mempunyai
banyak tujuan biasanya lebih mudah menyesuaikan diri terhadap hilangnya
salah satu tujuan dibandingkan dengan organisasi yang hanya mengejar satu
tujuan.
c) Otonomi-subordinasi. Dititikberatkan pada sejauh mana organisasi politik
dan prosedur tidak bergantung pada kelompok sosial dan metode perilaku
yang lain.
d) Kesatuan dan perpecahan. Semakin terpadu dan utuh suatu organisasi,
semakin tinggi pula tingkat pelembagaannya, dan sebaliknya semakin
terpecah organisasi, semakin rendah pula tingkat pelembagaannya.

c. Pranata politik dan kepentingan umum

Tanpa kehadiran pranata politik yang berwibawa, suatu masyarakat akan


kehilangan sarana dalam menentukan dan merealisasikan kepentingan umum
mereka. Kemampuan menciptakan lembaga politik sama dengan kapasitas
menciptakan kepentingan umum.

Kritik Teori Stabilitasi Politik Huntington Terhadap Teori Demokratisasi Lipset

Huntington mengkritik teori Lipset yang menyatakan bahwa semakin sejahtera


suatu bangsa, maka semakin besar pula peluang untuk mempertahankan demokrasi
dengan mengatakan bahwa dalam beberapa hal program pembangunan ekonomi dapat
lebih memantapkan situasi politik, sedang dalam beberapa hal tertentu malah
melemahkannya. Dan sebaliknya, beberapa bentuk kestabilan politik dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi, namun yang lainnya dapat menjadi penghalang.

Pada tahun 1950-an India termasuk salah satu negara termiskin di dunia, dan
hanya mempunyai laju pertumbuhan ekonomi biasa. Walaupun demikian berkat
perjuangan Partai Kongres, ternyata India berhasil mencapai tingkat kestabilan

11
Perubahan Politik

politik yang tinggi. Pendapatan per kapita di Argentina dan Venezuela mungkin
mencapai sepuluh kali lipat dibandingkan dengan India, dan Venezuela
mempunyai angka pertumbuhan ekonomi yang fenomenal. Namun kenyataan
menunjukkan bagi Argentina maupun Venezuela masalah stabilitas tidak urung
masih merupakan suatu tujuan yang sulit dijangkau. (Huntington, 2004: 8)

4. Rezim Politik dan Pertumbuhan Ekonomi: Analisis Adam Przeworski dan


Fernando Limongi

Jalan Tengah Perdebatan

Rezim suatu negara pasti mempengaruhi kondisi perekonomian negara tersebut.


Dalam tulisannya, Adam Przeworski dan Fernando Limongi memperlihatkan argumen-
argumen yang mendukung serta menolak rezim politik diktator dan rezim politik
demokratis mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, singkatnya kedua ilmuwan ini
tidak memercayai bahwa pada rezim demokrasi, sistem perekonomian cenderung lebih
baik sedangkan pada rezim non-demokrasi tidak jauh lebih baik.

Argumen yang percaya bahwa rezim yang demokratis mampu mendorong


pertumbuhan ekonomi didasari oleh pemikiran bahwa pemerintahan yang demokratis
mampu menjaga hak kepemilikan, argumen ini didukung oleh pendapat North dan
Thomas, 1973 (North, 1990) bahwa pengamanan terhadap hak kepemilikan sangat
penting untuk menciptakan pertumbuhan. North juga menjelaskan bahwa:

Semakin besar kemungkinan seorang penguasa mempergunakan hak


kepemilikan untuk keuntungannya sendiri maka ekspektasi terhadap keuntungan
serta insentif akan semakin rendah sehingga perlu dibuat seperangkat
peraturan yang relevan dan mampu mengamankan hak kepemilikan dan harus
ada lembaga yang berwenang dalam menangani permasalahan ini. Dan hal
seperti ini hanya dapat di temukan dalam rezim demokratis.

Demokrasi juga membuka peluang untuk berjalannya mekanisme pasar, yang


membuka kesempatan untuk setiap individu dapat memperoleh dan mengelola sumber
daya yang mereka miliki tanpa campur tangan pihak lain. Sehingga produktivitas
meningkat dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Sementara pandangan bahwa

12
Perubahan Politik

demokrasi menghambat pertumbuhan, berpijak pada argumen bahwa demokrasi itu


meningkatkan konsumsi masyarakat dan menurunkan investasi. Hal ini bisa terjadi
karena mekanisme pasar yang berjalan melahirkan banyak pilihan barang, sehingga
memicu konsumsi yang tinggi dan menyebabkan sebagian besar pendapatan dihabiskan
untuk konsumsi.

Investasi yang berkurang juga disebabkan oleh gerakan buruh yang berusaha
mengartikulasikan kepentingannya. Hal ini dapat terjadi hanya dalam kondisi
pemerintahan yang demokratis. Gerakan buruh tersebut biasanya memperjuangkan
kenaikan upah atau penurunan jam kerja yang meningkatkan biaya produksi dan
berdampak pada menurunnya keuntungan perusahaan sehingga alokasi dana investasi
juga menurun.

Dilain pihak, ada argumen yang mendukung bahwa rezim yang diktator mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi. Karena menciptakan perekonomian yang stabil.
Negara yang kuat juga mampu menekan tingginya angka konsumsi, sehingga
meningkatkan jumlah investasi. Dan penekanan terhadap angka konsumsi itu tidak
dapat diwujudkan di negara demokratis. Negara demokrasi membuka kesempatan untuk
mengintervensi hak milik orang lain sehingga perekonomian menjadi tidak stabil. Untuk
mengatasinya diperlukan negara yang kuat untuk menjaga dan melindungi hak milik
dari gangguan-gangguan pribadi/swasta. Namun, sejatinya ini adalah sebuah dilema
dimana kekuatan negara diperlukan tetapi justru kekuatan itu juga menjadi ancaman
yang potensial pula.

Bukti statistik yang ditemukan oleh Przeworski dan Limongi merangkum 18


studi dan menghasilkan 21 temuan adalah, 8 temuan mendukung bahwa demokrasi
mendorong pertumbuhan, 8 penemuan lainnya mendukung autoritarianisme mendorong
pertumbuhan, dan 5 lainnya tidak memperlihatkan perbedaan. Tapi bukti statistik itu
tidak mendukung studi yang dihasilkan sehingga membuat kecacatan dalam studinya.
Sebagian kritikus beranggapan kalau kediktatoran lebih baik dalam memobilisasi
tabungan, disisi lain pembela demokrasi berpendapat kalau demokrasi lebih baik dalam
mengelola investasi. Dan kedua hal tersebut benar adanya.

13
Perubahan Politik

Pada akhir tulisannya, Adam Przeworaki mengatakan bahwa politik mampu


mempengaruhi perekonomian. Hal ini jelas karena regulasi yang mempengaruhi
pertumbuhan perekonomian suatu negara pasti lahir melalui sebuah perdebatan politik.
Akan tetapi rezim politik belum tentu mampu mendorong pembangunan atau tepatnya
mereka belum melihat bagaimana rezim mampu melakukan hal tersebut karena data
yang ditemukan belum mampu menunjukkan hubungan yang jelas antara keduanya
Sampai sekarang, perdebatan tentang rezim mana yang lebih baik dalam mendukung
pembangunan ekonomi belum ditemukan jawabannya. Karena hasil dari penelitian-
penelitiannya belum ada yang benar-benar mendukung rezim otoriter ataupun yang
benar-benar mendukung rezim diktator. Sehingga masih dibuka kesempatan yang
selebar-lebarnya untuk meneliti lebih lanjut.

5. Analisa Stabilisasi dan Demokrastisasi


5.1 Studi Kasus Negara Rusia

Negara Rusia merupakan negara yang pernah mengalami masa kediktatoran dan
sedang bertransisi menuju negara demokratis. Selama masa sebelum dan sesudah
revolusi, Rusia mengalami perubahan dalam stabilisasi politik. Hal ini berkaitan dengan
adanya perubahan pelembagaan politik dan partisipasi politik.

Rezim Kediktatoran di Rusia

1. Partisipasi Politik

Negara yang menganut rezim kediktatoran mengurangi atau menolak partisipasi


politik dari masyarakat. Tujuan politik Rusia adalah untuk mencapai kesejahteraan,
sehingga partisipasi politik bukan merupakan hak dari masyarakat. Hak dan kewajiban
masyarakat menyangkut dengan kebutuhan ekonomi, dan tidak memiliki hak dalam
politik. Selain itu masyarakat tidak melakukan tuntutan politik, mengingat rezim yang
berkuasa memberikan pendidikan politik secara diktator sejak dini. Sehingga
masyarakat bukan tidak ingin berpartisipasi, tetapi mereka tidak tahu bagaimana
berpartisipasi dalam politik.

14
Perubahan Politik

2. Pelembagaan Politik

Pelembagaan menjadi syarat penyatuan kesatuan politik. Apabila pelembagaan


politik hadir maka kestabilan politik akan tercipta. Pelembagaan memang menjadi
syarat kestabilan politik, tetapi tingginya pelembagaan politik juga mempengaruhi
kestabilan politik. Negara dengan rezim diktator, memiliki pelembagaan yang dipegang
oleh presiden. Pelembagaan tersebut juga dapat dikatakan rendah dan sederhana. Hal ini
disebabkan rendahnya tuntutan masyarakat, rendahnya pluralisme, serta rendahnya
partisipasi politik.

Masa Demokratisasi Rusia

1. Partisipasi Politik

Partisipasi mulai tumbuh saat Rusia membuka ruang partisipasi melalui


demokratisasi. Salah satu partisipasi yang terlihat adalah pemilihan gubernur pada masa
itu. Selain itu partisipasi membuat masyarakat lebih mengerti tentang politik. Perubahan
lain yang dianggap cukup ekstrim adalah beberapa daerah yang memisahkan diri dan
membentuk negara sendiri. Hal ini tidak terlepas dari partisipasi masyarakat yang
membuat mereka lebih mengetahui tentang politik. Partisipasi politik mampu membuat
ketidakstabilan politik di Rusia.

2. Pelembagaan Politik

Demokrasi menyebabkan banyak aspirasi dan tuntutan dari masyarakat. Hal ini
juga menumbuhkan kekuatan politik dalam politik Rusia. Berdasarkan tuntutan dari
masyarakat serta semakin kompleks masalah yang dihadapi, pelembagaan pun dibuat
semakin tinggi. Hal ini juga untuk mengendalikan ketegangan, konflik, dan kekuatan
sosial. Pelembagaan politik mampu membuat ketidakstabilan politik di Rusia.

Negara Rusia yang mengalami transisi dari rezim kediktatoran menuju negara
demokrasi mengalami perubahan politik. Hasil dari adanya demokratisasi di Rusia
menyebabkan ketidakstabilan politik. Ketidakstabilan politik tersebut berkaitan dengan
pelembagaan politik dan partisipasi politik. Rusia memang belum dikatakan sebagai
negara yang demokratis, tetapi masa transisi tersebut sudah menunjukan ketidakstabilan
politik di Rusia.

15
Perubahan Politik

5.2 Studi Kasus Negara Berkembang

Mengacu pada pendapat Huntington dalam beberapa hal, program pembangunan


ekonomi memang dapat lebih memantapkan situasi politik, sedang dalam beberapa hal
tertentu malah melemahkannya. Dan sebaliknya, beberapa bentuk kestabilan politik
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, namun yang lainnya dapat menjadi
penghalang. Artinya adalah stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi tidak berjalan
beriringan. Bagi negara yang pembangunan ekonominya tergolong bagus maka
kehidupan masyarakatnya akan aman dan sangat kecil kemungkinan adanya intervensi
dan kekerasan politik. Namun sebaliknya, di sini kita berbicara pada konteks negara
yang baru merdeka atau sedang berkembang dimana kondisi politiknya masih belum
stabil, sebagaimana diilustrasikan oleh Huntington bahwa mobilisasi massa dan
partisipasi politik dilakukan secara besar-besaran, namun belum disertai dengan
pelembagaan politik.

Oleh karena tidak kondusifnya situasi politik di negara-negara tersebut, maka


akan sangat tidak efektif jika pemerintah melakukan pembangunan ekonomi terlebih
dahulu, karena sejatinya pembangunan ekonomi akan berjalan dengan lancar jika
jumlah konflik atau kekerasan sudah minimal. Maka dari itu, pemerintah perlu
menertibkan masyarakatnya terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk melakukan
pembangunan ekonomi. Seperti yang dijelaskan Huntington bahwa untuk mengatasi
persoalan-persoalan di negara yang baru melakukan modernisasi diperlukan
pemerintahan yang kuat dan sentralisasi otoritas dan bukan demokrasi yang justru
mendesentralisasi power dan otoritas.

Lebih jauh lagi, Huntington membandingkan keadaan demokrasi di Amerika


Serikat dengan otoritarianisme di Uni Soviet, bahwa jangan-jangan demokrasi
pluralisme ala Amerika Serikat bukanlah merupakan demokrasi ideal yang dapat
diterapkan di manapun. Usaha transformasi sosial jelas tidak dapat dilakukan ketika
pemerintahan lemah dan belum terinstitusionalisasi, persis akibat dari pengenalan
demokrasi sebagai institusi yang relatif asing dan baru di negara-negara tersebut
(Huntington, 2004: 135-136). Maka, jika benar yang dibutuhkan dalam menciptakan
kestabilan politik dalan negara berkembang adalah pemerintah yang kuat, maka

16
Perubahan Politik

mungkin benar bahwa model pemerintahan yang patut diimplementasikan terlebih


dahulu adalah model otoritarian.

6. Kesimpulan

Pada akhirnya kita mengetahui, bahwa demokrasi bukanlah tujuan akhir dari
sebuah sistem tata kelola pemerintahan. Sejatinya, ia hanya merupakan kunci baru
untuk membuka berbagai pintu sistem yang ditawarkan di dalamnya. Demokrasi bisa
dimaknai sebagai resep pembangunan, dan resep itu memiliki berbagai cara untuk
dikelola, apakah dengan sistem demokratisasi atau otorianisme? Berbeda latar masalah,
berbeda pula penyelesaian konflik di lapangan.

17
Perubahan Politik

Daftar Bacaan

Fuad, Fokky. 2007. Hukum, Demokrasi, dan Pembangunan Ekonomi. Lex Jurnalica vol.5
No.1, Desember 2007

Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar

Grezia dkk. 2011. Pertumbuhan vs Pemerataan : Sebuah Resume Pertumbuhan Cepat


Sebagai Kekuatan Destabilisasi, Mancur Olson. Dikumpulkan pada 2012 mata kuliah
perubahan politik JPP UGM

Huntington, S. P., 2003. Tertib Politik di Tengah Pergeseran Kepentingan Massa. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.

Huntington, S. P., 2004. Tertib Politik Pada Masyarakat yang Sedang Berubah. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.

Huntington, S. P. & Nelson, J., 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta:
Rineka Cipta.

Lipset, Seymour Martin. 1959. Some Social Requisites of Democracy: Economic


Development and Political Legitimacy. Berkeley: University of California.

Oky dkk. 2011. Mencari Indonesia Meninjau Masa Lalu Menatap Masa Depan (Sebuah
Tinjauan Kultural). Bandung: LPPMD UNPAD.

Przeworski, A., & Limongi, F., 1993. Political Regimes and Economic Growth. The Journal
of Economic Perspectives, p. 51 - 69.

Przeworski, A., Alvarez, M. E., Cheibub, J. A., & Limongi, F,. 2009. Democracy and
Development. New York: Cambridge University Press.

18
Perubahan Politik

Olson, Mancur. 2007. Pertumbuhan Cepat Sebagai Kekuatan Destabilisasi. Cambridge:


Polity Press.

Sufianto, Dadang. 2015. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung : Pustaka Setia

Sjamsuddin, Nazaruddin. 1998. ABRI, Demokrasi, dan Pembangunan Ekonomi. Jurnal


Ketahanan Nasional 1998, III

19

Anda mungkin juga menyukai