Anda di halaman 1dari 23

POLA INTERAKSI ANTARA AGAMA, POLITIK, DAN NEGARA (PEMERINTAH)

Oleh:

Puspita Ayu Lestari


19205010027
ABSTRACT

Manusia dan agama merupakan pasangan yang senantiasa mewarnai kehidupan. Tidak
ada manusia yang tidak beragama. Agama merupakan bagian kehidupan manusia. Corak dan
warna kehidupan seseorang akan dipengaruhi oleh agamanya. Kenyataan ini menjadikan
manusia disebut „homo religius‟. Pada saat agama mempengaruhi kehidupan seseorang, di
saat yang sama corak pemikiran dan pemahaman keagamaan seseorang akan pula berimplikasi
terhadap kehidupannya. Politik, sebagai bagian dari perilaku manusia, adalah di antara bagian
yang terkena konsekuensinya. Corak pemikiran dan pemahaman keagamaan seseorang dalam
batas tertentu mempengaruhi perilaku politiknya. Signifikansi corak pemikiran dan pemahaman
keagamaan terlihat antara lain dalam afiliasi dan saluran politik seseorang maupun
perkelompokan. MUI yang merupakan semi pemerintah memainkan peran kunci dalam
pembentukan nasional Indonesia identitas, Islam dikompromikan dalam proses pembentukan
identitas. Fatwa, Tausiyah, Amanah, Pernyataan Sikap, dan Sumbangan Pemikiran merupakan
media atau alat tertentu yang dirancang MUI untuk memberikan panduan kepada masyarakat.
Nyatanya Islam mampu memberikan pengaruh kuat di Indonesia sejarah. Pada gilirannya Islam
memiliki ruang untuk mengambil bagian dalam pengembangan politik Indonesia sampai
sekarang. Gagasan dan komitmen Islam yang terjun dalam ranah politik, melahirkan berbagai
aksi yang berlandaskan cinta, semangat berkorban, dan ketulusan hati untuk melayani dan
berbuat yang terbaik baik orang dan komunitas lain. Namun, di sisi yang lain, agama ternyata
acapkali tampil dalam wajah yang seram, keras, bengis, penuh teror, dan sebagainya. Agama
dapat menjadi bencana kala pemeluknya menyalahgunakan posisi agama dalam proses
pembentukan individual maupun pembentukan identitas kelompok maupun Negara. Memahami
kedudukan agama dan politik sesuai pada porsi, kedudukan, dan identitasnya merupakan salah
satu bentuk upaya dalam memuliakan agama dan mencegah rusaknya nilai-nilai luhur yang ada
dalam sebuah agama itu sendiri maupun dalam ranah politik guna menjaga keberagaman dan
keutuhan.

Kata Kunci : Agama, Politik, MUI, Bencana.

PENDAHULUAN

Isu tentang relasi agama dengan politik merupakan isu tua dalam sejarah manusia,
khususnya di Indonesia. Respon terhadapnya menimbulkan polemic kedudukan agama dalam
ranah politik, yang setidaknya melibatkan dua golongan yang berlawanan. Satu pihak
mengampanyekan agar agama ‘dilibatkan’ dalam setiap pertimbangan politik. Menggandeng
agama dalam ranah pemerintahan dan menjadikan pemerintahan berbasis agama.
Konsekuensinya, agama menduduki posisi tertinggi dalam setiap ayunan kebijakan politik.
Adapaun pihak lainnya berpendapat bahwa agama harus ditepikan dari publik dan dimengerti
sebagai perkara privat yang hanya menyangkut kepentingan individu per individu. Agama tidak
lebih dari urusan ritual yang menggambarkan relasi dependensi manusia dengan Tuhannya.
Karenanya, tidak ada alasan kuat yang mendasari negara untuk mengurusi agama, sama tidak
berhaknya individu untuk mengusung agama ke arena politik.

Bagi masyarakat yang tidak memiliki komitmen dan pemahaman keagamaan, agama
bukanlah merupakan satu-satunya factor yang menentukan dalam kehidupan mereka. Namun
bagi masyarakat yang memiliki pemahaman keagamaan, maka agama memiliki peran penting
dalam tatanan social. Faktor peran dan pengaruh agama memang menjadi hal yang sangat
penting bagi kehidupan manusia. Agama adalah refleksi atas wujud rohaniah yang ada pada diri
manusia beragama tersebut, yang dipandang mampu menjadi pedoman dalam memberikan
ketenangan hidup. Menurut Zakiah Daradjat, agama mempunyai peran penting dalam
pengendalian seseorang. 1

Realisasi sosio-individu yang hidup ini menciptakan suatu sistem yang mengatur makna
atau nilai-nilai dalam kehidupan manusia yang digunakan sebagai kerangka acuan bagi seluruh
realitas. Sementara itu, istilah politik dimaksudkan seperangkat makna atau nilai-nilai serta
pilihan-pilihan yang diambil dari dalam masyarakat untuk membenarkan fungsi tatanan
masyarakat yang berlaku. Nilai-nilai dan pilihan-pilihan itu terjadi bila dalam masyarakat
terdapat ideologi dan hubungan kekuasaan yang menjamin efektivitasnya. Sedangkan ideologi
dapat diartikan sebagai bentuk imajinasi sosial yang menerangkan eksistensi suatu masyarakat,
cita-cita yang hendak diwujudkan serta mendorong ke arah tindakan (praksis).2 Fungsi ideologi
telah memberi legitimasi tindakan-tindakan serta pilihan-pilihan dalam tatanan masyarakat,
karena dalam setiap ideologi terkandung tiga komponen yang saling berkaitan, yaitu nilai- nilai,
kepentingan-kepentingan dan pilihan-pilihan. Pilihan dapat diubah menjadi kepentingan dan
kepentingan dapat menjadi nilai. Pilihan dapat juga ditingkatkan pada status nilai untuk
mencapai kepentingan.

Baik agama maupun politik merupakan lembaga masyarakat yang menghasilkan nilai-
nilai tertentu. Nilai agama yang diyakini bersumber dari Yang Kudus dijadikan kerangka acuan
seluruh realitas dunia maupun akhirat, sedangkan nilai-nilai dalam politik sebagai kerangka
acuan untuk memfungsikan tatanan masyarakat. Nilai-nilai politik ini tidak dapat dipisahkan dari
ideologi yang menjadi sumber nilai dan cita-cita yang diaktualisasikan oleh lembaga-lembaga
politik (partai, ormas). Oleh karena itu membicarakan hubungan antara agama dan politik
sebagai sistem sosial selalu berkaitan dengan ideologi.

1
Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT.Bulan BIntang, 1993),cet ke-14, hlm. 2.
2
Tomas Luckmann, The Social Construction of Reality, (USA:Pinguin Books, 1966), hal. 122-134.
Tulisan ini akan mencoba menelusuri keterkaitan antara agama, politik, dan Negara
(pemerintah). Apakah memang ada kaitan antara agama dan corak pemikiran atau pemahaman
keagamaan seseorang terhadap agamanya dengan politik dan pemerintah ?

Kritik Literatur

A. Voices Of The Faithful: Religion And Politics In Contemporary Indonesia

"Indonesia adalah laboratorium alami terbesar," kata ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Lukman Hakim, pada lokakarya 2006. Rekannya, Rochadi Abdulhadi, menambahkan
bahwa Indonesa adalah “surga bagi para peneliti.” Indonesia merupakan rumah bagi dua
organisasi keagaam terbesar di dunia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) yang
dikatakan memiliki hampir 60 juta anggota, dan masing-masing organisasinya mendukung
banyak pembangunan masjid, sekolah, layanan sosial, dan beberapa upaya politik. Di sektor
pemerintah, partai-partai politik tertentu memiliki dasar agama. Adapaun politisi individu dapat
mencampurkan agama dan politik dalam retorika dan kebijakan mereka. Meskipun banyak orang
Indonesia mengintegrasikan Islam ke dalam rutinitas sehari-hari dan mengadakan perpaduan
antara agama dan politik, namun agama tidak secara otomatis dapat diterjemahkan ke dalam
politik aktif yang berorientasi pada negara. Meskipun negara-negara lain dan warganya
menyatakan "pemisahan antara gereja dan negara," orang Indonesia pada umumnya secara
terbuka mengakui dan kadangkadang -mendorong hubungan aktif antara agama dan politik.

Jennifer menanggapi akan pentingnya studi agama dan politik, adapun beberapa alasan
menanggapi hal tersebut karena melihat banyaknya para peneliti dan pengamat awam sering
beranggapan bahwa agama secara langsung memengaruhi opini publik dan perilaku politik,
tetapi bukti komprehensif tidak menunjukkan konteks pengembangan demokrasi seperti di
Indonesia. Alasan kedua, agama sering dianggap tidak menjadi katalis untuk pemikiran atau
tindakan tertentu, meskipun beberapa bukti menunjukkan dugaan ini tidak akurat. Banyak
sumber daya dari bidang ilmu politik menunjuk ke variabel lain seperti sosial ekonomi status, ras
dan etnis, jenis kelamin, ideologi politik, identifikasi partai, dan lembaga sebagai pengaruh
utama untuk opini dan perilaku politik. Alasan ketiga, bahwasannya penelitian mengenai
persimpangan agama dan politik di anggap penting karena terlepas dari apa yang dulu dipercayai
oleh teori modernisasi yang pada akhirnya menuju jalan sekularisasi, namun nyatanya agama
belum juga hilang. Alasan keempat, implikasi potensial untuk penelitian di masa depan tentang
demokratisasi. Demokratisasi tidak harus sama dengan sekularisasi, dan era ini telah
menunjukkan bahwa demokrasi baru dan berkembang tidak semuanya mengikuti jalur yang
sama dalam hal kelembagaan, ekonomi, dan pembangunan sosial. Mengembangkan demokrasi
dengan menggabungkan agama dan politik memiliki kelebihan dan kekurangan ideologis,
kelembagaan, dan kebijakan untuk individu, masyarakat umum, negara secara keseluruhan, dan
hubungan luar negeri.
Keragaman benar-benar menjadi ciri Indonesia secara keseluruhan, demokrasi di
Indonesia, dan individu (Muslim) Indonesia. Dalam hal ideologi, ada bermacam-macam tujuan,
harapan, dan tindakan. Jika kita memahami ideologi politik sebagai seperangkat tujuan dan
metode untuk bagaimana masyarakat dan pemerintah harus beroperasi, masih harus dilihat
bagaimana dan sejauh mana mayoritas Muslim Indonesia setuju. Keragaman ini di tingkat makro
dan mikro dapat terbukti menguntungkan atau bermasalah tergantung pada siapa yang Anda ajak
bicara dan masalah yang dihadapi. Melihat konteks ini, mungkin pada tingkat tertentu ideologi
Pancasila adalah kompromi yang cukup atau pragmatis pendekatanuntuk mengatur negara dan
kebijakannya.

Adapun lembaga demokrasi perlu dikonsolidasikan lebih lanjut dan ditingkatkan jika kita
ingin memaksimalkan manfaat keanekaragaman dan meminimalkan tantangannya, memediasi
konflik yang bersifat sekuler atau keagamaan, dan menggabungkan lebih banyak massa ke dalam
proses pengambilan keputusan.

Pemerintah Indonesia perlu menyadari bahwa publik tertentu memiliki masalah


kebijakanakan dalam mengumpulkan aktivitas protes tingkat tinggi, sementara yang lain tidak.
Negara dapat mengantisipasi berbagai jenis reaksi berdasarkan subyek kebijakan,
mengeksplorasi cara-cara yang dapat mengarahkan energi tersebut ke dalam dialog yang
produktif dan pengambilan keputusan bersama.

Proyek minat Jennifer berpusat pada topik politisasi agama, dimana agama dapat menjadi
alat untuk “politik” dan sebaliknya. Walaupun agama tidak secara seragam atau teratur
memengaruhi perilaku politik oleh mayoritas Muslim Indonesia, ada pengakuan luas bahwa para
politik pemimpin perlu menggunakan simbol-simbol, retorika, dan praktik religiopolitik tertentu
untuk mendapatkan dukungan massa. Elit politik berbicara tentang dan menggunakan agama
untuk tujuan politik dan sejauh mana masyarakat umum responsif terhadap klaim dan tindakan
mereka. Para pemimpin agama berbicara tentang dan menggunakan politik untuk tujuan
keagamaan dan sejauh mana masyarakat umum merespons secara positif atau negatif.
Negara, khususnya di bawah kepemimpinan Soeharto, mengambil langkah besar untuk
memisahkan agama dan politik, tetapi kadang-kadang terjadi pesan campuran dan tumpang
tindih. Donald E. Weatherbee menyatakan, Pada Februari 1985 ketika RUU partai politik
disahkan, maka secara otomatis mengharuskan semua partai-partai politik untuk hanya
mendukung ideologi negara sebagai asasnya. Politisi Muslim dibawah naungan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) menolak paling kuat hukum mensekulerkan persaingan partai melalui
penetapan itu, pihak-pihak hanya dapat berbeda dalam program mereka, bukan dalam prinsip
mereka.

Pada tahun selanjutnya, rezim Suharto melembagakan Pancasila melalui asas tunggal .
Pada bulan Juni, RUU tentang Organisasi Massa yang kontroversial itu berlalu, dan gigantikan
dengan RUU tentang Organisasi Massa memperluas sistem Pancasila untuk semua aspek asosiasi
masyarakat Indonesia. Semua pribadi bersifat sukarela yang wajib mengadopsi Pancasila sebagai
satu-satunya prinsip panduan mereka. Jika ada kelompok yang dianggap telah menyimpang dari
Pancasila, maka pemerintah memiliki kekuatan intervensi dan pembubaran yang luas. Beberapa
kelompok Muslim menentang dekrit ini karena pada dasarnya hukum ideologi negara sekuler,
serta membatasi praktik Islam untuk keluarga, masjid, dan doa, daripada membiarkan Islam
untuk memeluk kepenuhan aktivitas manusia, termasuk politik. Dengan adanya RUU diatas,
ketegangan meningkat dan menghasilkan pertentangan peristiwa dan kekerasan politik yang
mengarah dan mengikuti jalannya hukum.

Muhammad Sirozi menyebutkan adanya dua periode yang berbeda, selama 20 tahun
pertama era Orde Baru, hubungan tersebut secara umum dikatakan telah gelisah atau tegang,
tetapi sejak pertengahan 1980 - an sampai krisis awal 1998, terjadi hubungan yang semakin baik.
Soeharto mulai menunjukkan sikap yang lebih positif terhadap para pemimpin agama danmulai
merangkul beberapa kepentingan dan masalah agama dan politik mereka. Menteri Urusan
Agama (1983-1993), Sjadzali, menulis: “Pemerintah Orde Baru telah mengambil banyak langkah
atau kebijakan untuk melibatkan agama dalam kehidupan dan pembangunan nasional, dan dalam
meningkatkan pelayanan kepada umat beragama (komunitas Muslim) untuk kesempurnaan
mereka ibadah. ”

Perilaku pemilu dan non-pemilu yang aktif berhadap-hadapan dengan pemerintah


dibedakan dari bentuk seperti minat umum politik atau urusan pemerintahan, keberpihakan rasa
kemanjuran politik, norma masyarakat atau pendidikan, memperhatikan politik berita di media
massa, diskusi politik dengan keluarga atau teman, mendukung politik upacara, dan ekspresi
artistik dengan konten politik. Perasaan dan tindakan ini adalah tidak diperlakukan sebagai
ukuran partisipasi politik dalam disertasi saya karena mereka bias terlalu jauh untuk
mempengaruhi negara, atau ada kalanya mereka mempengaruhimpartisipasi politik. Konsepsi
Indonesia. Definisi yang disebutkan di atas berhubungan erat dengan bagaimana orang
Indonesia, dan khususnya Muslim Indonesia, membuat konsep dan mempraktikkan partisipasi
politik.

Pengamatan dari survei mini dan diskusi kelompok Jennifer, fokusnya pembahasannya
tentang "partisipasi politik" sebagai upaya untuk mempengaruhi struktur pemerintahan,
otoritasnya, atau kebijakannya. Partisipasi politik dalam pengertian ini aktif dan berorientasi
pada negara.

Pada tingkat makro, rezim Suharto memiliki dampak negatif pada politik massa. Warisan
de-politisasi massa terus berlanjut menjadi penghalang aksi politik oleh warga biasa saat ini.
Pada tingkat meso, kekurangan mobilisasi partai politik membatasi partisipasi politik. Pihak
memiliki fungsi tertentu berkaitan dengan warga negara, dan ketika mereka tidak menjalankan
fungsinya dengan baik, satu hasilnya adalah non-partisipasi atau tingkat keterlibatan yang
rendah. Di tingkat mikro, individu keadaan dapat membatasi partisipasi. Menekan masalah
pribadi bisa berarti memprioritaskan kegiatan lain di atas partisipasi politik misalnya. Salah satu
sumber daya yang mungkin untuk meminimalkan rintangan ini adalah agama.

Islam tidak mudah dipinjamkan kategorisasi karena difusi atau keragaman agama. Selain
itu, tidak ada hubungan linear yang tegas antara agama dan pemungutan suara. Dimana seorang
Muslim tidak secara otomatis diterjemahkan ke dalam pemungutan suara. Jika kita mencermati
pengaruh Islam terhadap jumlah pemilih, kita akan menemukannya kurangnya substansi agama,
lebih banyak komunikasi dan interaksi dengan pengikut lain yang memengaruhi perilaku pemilu.
Ini tampaknya menjadi pola partisipasi politik oleh aktor agama yang menggunakan agama agak
sederhana atau secara halus melalui semacam "bergabung" daripada urutan apa yang harus
dipikirkan.Pentingnya diskusi dengan para pemimpin agama, memperhatikan program
keagamaan, dan keterlibatan dalam organisasi keagamaan menunjukkan sosial itu jaringan
dengan dimensi religius terkait erat dengan politik di Indonesia.

Temuan ini mungkin tidak mengejutkan karena organisasi keagamaan khususnya


berkontribusi pada paparan warga negara terhadap proses dan konten pemilu politik. Misalnya,
Medelina K. Hendytio, seorang peneliti di Center for Strategic dan Studi Internasional (CSIS),
mengatakan bahwa dia melihat teman-temannya belajar tentang spesifik visi pendidikan politik
dan pendidikan pemilih dalam kelompok - kelompok seperti Nahdlatul Ulama dan sayap
wanitanya. Dia berpikir bahwa anggota belajar “siap untuk masuk politik ”(“ ready to enter
political ”). Bahkan jika orang Indonesia Muslim tidak secara teratur atau aktif terlibat dalam
organisasi keagamaan, mereka mendapatkan banyak informasi dan isyarat untuk perilaku
pemilihan dari mereka. Salah satu contohnya adalah Muhammadiyah, pada tahun 2006, Abdul
Mu'ti selaku Ketua Pemuda Muhammadiyah dan Pendidikan menjelaskan, bahwa keterlibatan
Muhammadiyah di Aceh dalam politik berbeda-beda tingkat organisasi dan tingkat anggota
individu. Sebagai organisasi, ia menyediakan aspirasi, saran, dan peluang. Misalnya,
Muhammadiyah berkomunikasi informasi kepada anggotanya (dan masyarakat umum) melalui
pernyataan media dan publikasi, terkadang memberikan dukungan resmi untuk partai politik dan
kandidat sebelum pemilihan, mengadakan pertemuan atau dengar pendapat, dan terlibat dalam
upaya lobi. Muhammadiyah juga bermitra dengan organisasi nirlaba dan lembaga internasional
proyek pendidikan politik. Pada kesempatan tertentu, Muhammidiyah berpartisipasi dalam
demonstrasi. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa anggota individu bebas untuk menafsirkan
ajaran dan Muhammadiyah, yang berarti bahwa tidak semua anggota mengikuti apa yang
disarankan kepemimpinan. Misalnya, Muhammadiyah secara resmi mendukung Amien Rais
sebagai presiden pada tahun 2004 pemilihan, tetapi dia kalah di babak pertama. Muhammadiyah
tidak tahu apa yang ada di dalam "Hati nurani" ("hati hati") dari anggota mereka yang memilih
kandidat lain - dan untuk banyak, ini baik-baik saja. Mu'ti menambahkan bahwa Muhammadiyah
seperti rumah dengan pintu masuk atau gerbang yang berbeda-beda. Muslim Indonesia
bergabung dengan organisasi karena berbeda tujuan dan kepentingan, hanya satu yang mungkin
politik. Dengan demikian, organisasi menekankan masalah dan program yang lebih luas daripada
mendikte setiap langkah untuk individu anggota di polling.
Muslim Indonesia jarang berpartisipasi dalam kegiatan serangan, demonstrasi, protes,
kerusuhan, dll. Adanya masalah kebijakan publik yang mereka anggap signifikan dan menonjol,
mereka dapat memanfaatkan sumber daya seperti asosiasi untuk mendukung preferensi mereka.
Untuk minoritas Indonesia yang mengambil tindakan politik, biasanya karena masalah ekonomi
dan mobilisasi oleh organisasi atau jaringan "sekuler". Pada kesempatan lainnya ada pula
masalah substansial yang relevan dengan agama, orang terlibat dalam partisipasi politik agama,
di mana agama memberi tahu akan minat dan dengan siapa mereka bekerja untuk mencapai
tujuan mereka.

Agama itu sendiri tidak monolitik atau seragam. Pribadi beragama dapat melihat dampak
pada politik tingkah laku, yang sebagian besar digerakkan oleh konteks. Variabel agama yang
signifikan termasuk puasa selama Ramadhan, membaca Al-Qur'an, mendiskusikan agama
dengan pemimpin agama, menonton, mendengarkan, atau membaca program keagamaan melalui
televisi, radio, koran, atau situs web juga signifikan secara statistik. Selanjutnya, keterlibatan
aktif dalam organisasi keagamaan atau kelompok seperti NU, Muhammadiyah, gereja, dll secara
statistik signifikan untuk pemilih keluarkan.

Secara keseluruhan, tampak bahwa jumlah pemilih paling sering merupakan bentuk
politik partisipasi oleh aktor agama. Perilaku protes juga sebagian besar merupakan bentuk
partisipasi politik oleh actor agama, tetapi dalam keadaan khusus, itu bisa menjadi partisipasi
politik agama.

Ada konsekuensi ideologis, institusional, dan kebijakan yang terkait dengan temuan
Jennifer. Tiga implikasi penting (walaupun normative) dari penilitiannya adalah, Pertama,
keragaman benar-benar menjadi ciri Indonesia secara keseluruhan, demokrasi di Indonesia, dan
individu (Muslim) Indonesia. Dari segi ideology luas dan bermacam-macam tujuan, harapan, dan
tindakan. Jika kita memahami ideologi politik menjadi aset tujuan dan metode untuk pemerintah
harus beroperasi, tetap ada sudut pandang sejauh mana mayoritas Muslim Indonesia setuju,
kepada siapa anda berbicara dan masalah apa yang sedang di hadapinya. Mengingat konteks ini
ada pada tingkat tertentu, ideologi Pancasila adalah kompromi atau pendekatan pragmatis yang
memadai, mengatur negara dan kebijakannya.

Kedua, lembaga demokrasi perlu dikonsolidasikan dan ditingkatkan lebih lanjut jika kita
ingin memaksimalkan manfaat keanekaragaman dan meminimalkan tantangannya, menengahi
konflik, memasukkan massa ke dalam proses pengambilan keputusan. Pada titik waktu ini, ada
keterputusan yang besar antara harapan warga dan kapasitas negara untuk memenuhi semua itu.
Hal ini terutama disebabkan oleh institusi dan aktor pemerintah yang lemah atau korup, tetapi
juga karena keengganan, keragu-raguan, atau ketidakmampuan sebagian warga untuk aktif
terlibat. Membuka struktur peluang politik untuk memungkinkan warga Negara partisipasi
adalah satu hal, sambil menyediakan saluran yang efisien dan efektif untuk berpartisipasi secara
teratur dan bermakna adalah hal lain.
Ketiga, pemerintah Indonesia perlu menyadari bahwa kebijakan publik tertentu akan
mengumpulkan aktivitas protes tingkat tinggi, sementara yang lain tidak. Negara bisa
mengantisipasi berbagai jenis reaksi berdasarkan subjek kebijakan: Orang akan berubah untuk
masalah ekonomi dan agama. Negara kemudian harus mencari cara yang bisa dilakukan
mengarahkan energi tersebut ke dalam dialog yang produktif dan pengambilan keputusan
bersama. Satu potensi metode yang digunakan adalah untuk mendorong dan memfasilitasi partai-
partai politik untuk bergeser dari politik yang diprioritaskan atau patron-klien ke platform dan
agenda kebijakan khusus.

Dari tiga titik diatas, dapat di ambil kesimpulan bahwa titik referensi kritis dan sumber
daya adalah asosiasi atau organisasi. Orang Indonesia bersifat individualistis dan kolektif dalam
orientasi mereka. Jika negara ingin mempromosikan ideologis, kelembagaan, dan perubahan
kebijakan, perlu menyadari bahwa warga negaranya memiliki individu sendiri sikap dan nilai-
nilai, tetapi juga tertanam dalam hubungan sosial. Individu mungkin tidak selalu bergabung atau
berpartisipasi dalam kelompok formal seperti itu, tetapi ketika datang ke masalah yang mereka
temukan menonjol atau mengancam, mereka memanfaatkannya informasi, bimbingan, dan
tindakan kolektif.

B. Agama Dan Politik Di Indonesia: Sikap Dan Pengaruh Majlis Ulama Indonesia
(MUI) Terhadap Pemilihan Umum

Awal mula tujuan didirikannya Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah untuk
memberikan saran dan fatwa tentang masalah agama khususnya maupun bangsa yang
menyangkut masyarakat dan individual umumnya, dapat mempromosikan persatuan di antara
umat Islam, dan untuk bertindak sebagai mediator antara pemerintah dan ulama. Dalam
menjalankan fungsi ini, MUI memiliki dua jenis media atau alat tertentu untuk memberikan
panduan kepada masyarakat. Media ini adalah fatwa wacanadan wacana non-fatwa. Non-fatwa
Wacana terdiri dari Rekomendasi (Tausiyah), Peringatan (Tadzkirah), Instruksi / Amanat
(Amanah), Pernyataan Sikap, Banding (Himbauan), dan Pemikiran Sumbangan(Sumbangan
Pemikiran) .

Sebagaimana dinyatakan oleh Wael Hallaq, fatwa memainkan peran yang cukup besar
dalam pertumbuhan dan perubahan bertahap hukum substantif Islam. Dalam hal otoritas agama,
fatwa juga penting karena melalui media ini para ulama dapat mengekspresikan gagasan dan
pendapat mereka mengenai hukum Islam. Adapun media lain seperti Tausiyah, Tadzkirah,
Amanah, Pernyataan Sikap dan lainnya memainkan fungsi penting, terutama dalam
mengekspresikan pendapat MUI tentang politik masalah. Sikap ini dapat dilihat dalam beberapa
pernyataan dan rekomendasi yang dikeluarkan oleh MUI untuk menyatakan dukungannya
kepada pemerintah. Pernyataan-pernyataan ini biasanya diberikan sebelum pemilihan selama era
Orde Baru. Sebagian besar dari mereka mendukung Suharto untuk menjadi presiden Indonesia
berikutnya atau mendukung pemerintah Orde Baru.
Fakta bahwa MUI mendukung pemerintah mungkin disebabkan oleh tekanan dari
pemerintah. Kita dapat melihat ini dari tujuan pemerintah untuk mendirikan MUI. Sejak
didirikan MUI, rezim Orde Baru menginginkan MUI sebagai penerjemah, untuk menjembatani
kesenjangan antara program pemerintah dan rakyat Indonesia. Pidato Suharto pada kongres
ulama pertama pada tahun 1975. Ia menyampaikan pidato yang berjudul ‘Peran dan fungsi
Majelis Ulama Indonesia; penghubung antara pemerintah dan ulam Dalam pidatonya, sangat
jelas apa yang diinginkan pemerintah dari institusi ini menjadi seperti di masa depan, apa yang
diizinkan dan apa yang tidak. Dinyatakan bahwa Pemerintah ingin MUI menjadi penafsir
pembangunan pemerintah, baik program secara nasional maupun regional. Karena itu, Soeharto
menginginkan MUI membatasi kegiatannya. Adapaun hal terpenting yang Soeharto sampaikan,
bahwasannya MUI dilarang terlibat dalam politik. Karena kegiatan politik Islam sudah
difasilitasi oleh tiga partai politik, PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PDI (Partai Demokrasi
Indonesia) dan Golkar. Sepertinya Suharto takut akan potensi aktivisme politik MUI. Karena itu
dia mengingatkan kepada anggota MUI untuk tidak menggunakan organisasi untuk agenda
politik lebih lanjut.

Dalam upaya untuk mengurangi pengaruh Islam dalam pendidikan, rezim Orde Baru
berhasil mengubah posisi NU di Kementerian Agama. Upaya berikutnya adalah mengelola
politik Islam melalui sentralis dan organisasi yang dikendalikan. MUI adalah instrumen yang
sangat bagus untuk mengimplementasikan strategi ini. Dengan menyudutkan aktivis Muslim ke
dalam, pemerintah dapat dengan mudah mengendalikan keputusan apa pun, karena keputusan
tersebut dibuat oleh MUI. Pedoman dari Pemerintah sangat jelas bahwa anggota MUI dilarang
mendapatkan terlibat dalam masalah politik

Hooker menyatakan bahwa fungsi utama MUI terutama dari tahun 1975 hingga tahun
2006 hingga 1990-an, adalah untuk mendukung dan membenarkan kebijakan pemerintah.
Berbeda dengan ungkapan Nur Ichwan bahwa MUI bisa dianggap ditekan oleh pemerintah Orde
Baru. Ini fakta bahwa pada beberapa kesempatan MUI menolak kebijakan pemerintah, tetapi
secara keseluruhan posisi MUI yang dinilai dari fatwa dan kesunyiannya sesuai dengan
perlakuan pemerintah terhadap ekspresi politik Muslim, yang dapat dilihat sebagai ditindas oleh
rezim.

Benar adanya jika Soeharto membatasi kegiatan MUI yang berbeda dari organisasi Islam
lainnya serta melarang MUI untuk terlibat dalam masalah politik. Untuk alasan itu masuk akal
bahwa MUI mendukung Suharto mempertahankan kepresidenannya selama era Orde Baru.
Gagasan ini didukung oleh beberapa sarjana seperti Atho Mudzhar, Hooker MB, Nur Ichwan
dan Kees van Dijk, yang berpendapat bahwa MUI sebagian besar berada di bawah kendali
pemerintah di era Orde Baru.

Keterlibatan MUI dalam pemilihan umum dimulai pada tahun 1977, dan berlanjut pada
tahun 1982,1987, 1992, dan 1997. Secara keseluruhan ada lima pemilihan umum, dimana MUI
ikut serta di dalamnya. Sangat menarik untuk melihat mengapa pada tahun 1977 MUI tidak
memberikan dukungan dengan suara bulat untuk pemerintah. Adapaun pengaruh pemerintah
terhadap Islam politik tidak sekuat pada 1980-an. Islam politik memiliki posisi yang kuat dan
memiliki posisi tawar yang baik terhadap Orde Baru. Wajar jika MUI tidak memberikan
pernyataan kuat untuk mendukung Suharto, melainkan pernyataan umum untuk mendorong umat
Islam untuk memilih kandidat terbaik.

ICMI (Asosiasi Intelektual Muslim Indonesia) yang didirikan pada tahun 1990-an, dapat
dikatakan bahwa pemerintah mengambil pendekatan yang lebih akomodatif terhadap politik
Islam. Pembentukan ICMI adalah bukti bahwa pemerintah, dan khususnya Presiden Suharto,
telah mengubah pandangan mereka tentang Islam sebagai ancaman bagi pemerintah.Tidak dapat
disangkal, perubahan rezim Orde Baru tentang Islam mempengaruhi MUI. Sebagai organisasi
Islam, masuk akal bagi MUI untuk mendapatkan lebih banyak peluang daripada dalam perannya
pada 1970-an dan 1980-an. Yang paling mencolok terkait dengan itu fungsi meluncurkan
programnya sendiri. Sebelum 1990-an, MUI tidak memiliki wewenang untuk membuat program
sendiri; sebaliknya itu hanya memberi saran kepada pemerintah dan bertindak sebagai titik
kontak dan sebagai koordinator kegiatan Islam.18 Sejak 1990, situasinya telah berubah; MUI
diberi kewenangan lebih untuk memulai programnya sendiri.

Terlebih lagi, setelah jatuhnya Suharto pada 1998, tampaknya MUI mengubah sikapnya.
Dapat dikatakan bahwa MUI tidak lagi mendukung pemerintah. Ini terbukti dari pemilihan
umum 1999, ketika MUI mulai menjauhkan diri dari pemerintah dan berbicara untuk
kepentingan-Islam partaipartai. Atho Mudzhar mencatat bahwa di era pasca-Orde Baru “MUI
menyentuh-politik isuisudengan sensitivitas tinggi dan karenanya memicu kontroversi. ” Apa
yang merangsang pilihan ini mungkin adalah penurunan tekanan negara dan meningkatnya
kekuatan masyarakat sipil. Di sisi lain, sebagai rezim Orde Baru berakhir, MUI dimaksudkan
untuk merevisi posisi dan mengubah stigma sebagai pendukung Orde Baru policies.

Dalam pemilihan umum tahun 2004, MUI mengeluarkan taushiah tentang pemilihan
umum. Dibandingkan dengan taushiah pada tahun 1999, taushiah ini tidak sekuat seperti
sebelumnya karena tidak mendukung partai-partai Islam. Namun, pada satu titik disebutkan
bahwa orang-orang harus memilih kandidat yang setia, menunjukkan perilaku yang baik dan
berkomitmen.

Lebih jauh, pada tahun 2009 MUI mengeluarkan kontroversial fatwa terkaitsuara
abstain.ini Fatwa dikeluarkan pada bulan Januari, tiga bulan sebelum umum pemilihanyang
diadakan pada tanggal 9 April 2009.ini fatwa dianggap kontroversial karena sampai saat ini,
MUI tidak pernah mengeluarkan fatwa mengenai pemilihan umum. MUI mengeluarkan sebagian
besar pernyataan (Pernyataan Sikap) dan (taushiah) rekomendasi. Selain itu, beberapa tokoh
nasional seperti wakil presiden saat itu Jusuf Kalla mengkritikini fatwa dengan mengatakan
bahwa fatwa ini tidak perlu karena itu berarti sebagian besar rakyat Indonesia akan masuk
neraka. Selain itu, juga dipertanyakan apakahini fatwa secara resmi dikeluarkan oleh MUI atau
tidak. Alasan keraguan ini adalah bahwa fatwa tidak dapat diakses di situs web MUI, serta
keberadaan pernyataan wakil ketua MUI, Din Syamsuddin, yang menyatakan bahwa fatwa itu
dibatalkan.

Penerbitan pernyataan MUI dalam pemilihan umum dimulai pada tahun 1977 dan
kemudian berlanjut pada tahun 1982, 1987, 1992, dan 1997. Meneliti kelima pernyataan tersebut
menunjukkan bahwa hanya pada tahun 1977 MUI tidak memberikan dukungan yang mencolok
kepada pemerintah. Pada tahun-tahun berikutnya, dari 1982 hingga 1997, MUI jelas mendukung
pemerintah. Tiga pernyataan (1982, 1992 dan 1997) menyebutkan nama Soeharto untuk
mendukungnya untuk melanjutkan posisinya sebagai presiden Indonesia. Pada tahun 1987,
meskipun MUI tidak menyebut Soeharto, ia menyatakan perlunya melanjutkan pemerintahan
Orde Baru dan pentingnya partisipasi Muslim Indonesia dalam pemilihan. Alasan mengapa MUI
tidak berada di bawah kendali pemerintah dalam pemilihan umum 1977 adalah karena dua
faktor. Yang pertama adalah "faktor Hamka". Hamka terkenal denganindependen posisinya
yangterhadap pemerintah. Penolakannya terhadap pembentukan MUI pada tahun 1970 bersama
dengan keberaniannya untuk mendukung penerbitanMUI fatwa tentang perayaan Natal pada
tahun 1980 merupakan indikasi kuat dariindependennya posisi. Faktor kedua adalah kuatnya
posisi politik Islam saat itu . Dapat dikatakan bahwa pengaruh pemerintah terhadap Islam politik
tidak sekuat pada tahun 1980 dan seterusnya. Meningkatnya jumlah suara PPP pada tahun 1977
dibandingkan dengan tahun 1971 (dari 27,2 menjadi 29,3%) adalah bukti kuat bahwa Islam
politik memiliki posisi yang solid dan posisi tawar yang baik berhadapan denganBaru rezim
Orde.

Namun demikian, situasinya berubah selama era Reformasi. MUI mengubah posisinya
dari mendukung pemerintah menjadi mendukung partai-partai Islam. Sikap ini mungkin
dirangsang oleh melemahnya kekuatan pemerintah. Berbeda dari era Orde Baru, ketika kekuatan
politik pemerintah sangat kuat, era Reformasi dicatat sebagai titik awal dari debat terbuka di
mana kebebasan berbicara sangat dihormati. Perubahan ini, pada gilirannya, juga mempengaruhi
sikap MUI yang segera mendukung partai-partai Islam dengan menyatakan bahwa umat Islam
harus memilih hanya untuk kandidat Muslim. Selain itu,ini rekomendasimenunjukkan
kembalinya aliran politik (politik aliran) yang terjadi hanya dalam pemilihan umum 1955.
Selama era Orde Baru, aliran politik tidak muncul karena tekanan pemerintah yang menerapkan
Pancasila sebagai prinsip dasar tunggal.

Rekomendasi ini juga menunjukkan melemahnya kekuatan MUI dari pengaruhnya


terhadap perilaku memilih rakyat Indonesia. KemenanganPDI-P dalam pemilihan umum tahun
1999 menunjukkan bahwa MUI tidak berhasil meyakinkan banyak Muslim untuk memilih
partai-partai Islam. Fakta ini jelas mengalahkan salah satu tujuan MUI di balik mengeluarkan
taushiah dalam1999 pemilihan umum, yang adalah untuk menghambat peluang PDI-P untuk
memenangkan pemilihan.

Sikap MUI dalam pemilihan umum 2004 adalah sama dengan pemilihan umum 1999
dalam arti bahwa itu tidak memberikan dukungan nyata kepada pemerintah seperti yang terjadi
di era Orde Baru. Namun, itu juga berbeda dari MUI taushiah dalam pemilihan umum 1999,
yang secara khusus mendukung-Islam partaipartaidengan menyarankan bahwa Muslim Indonesia
tidak boleh memilihnon-Muslim calon. Dapat ditafsirkan bahwa sikap MUI dalamumum 2004
pemilihanadalah netral. Posisi ini diadopsi karena duapolitik kondisi. Pertama, partai-partai
Islam tidak lagi menggunakan masalah agama (Islam) dalam kampanye mereka; dan kedua,
semua tiket dalam pemilihan presiden memiliki kandidat (baik untuk presiden atau wakil
presiden) dariMuslim latar belakang.

Dibandingkan dengan sikapnya dalam pemilihan umum sebelumnya,MUI fatwa pada


tahun 2009 tentang abstain suara dapat dianggap sebagai yang paling berbeda dan kontroversial.
Sikap ini berbeda karena MUI sebelumnya tidak pernah mengeluarkan fatwa tentang pemilihan
umum tetapi hanya memberikan pernyataan atau rekomendasi. Ini juga kontroversial bukan
hanya karena reaksi banyak orang Indonesia yang mengkritik fatwa, tetapi juga karena
penerbitan itu sendiri - tidak jelas apakah fatwa ini secara resmi dikeluarkan oleh MUI atau
tidak. Tampaknyaini fatwa tidak resmi dikeluarkan oleh MUI karena tidak dapatditemukan di
situs MUI. Selain itu, Din Syamsuddin, wakil ketua MUI, menyatakan bahwa itu tidak
dikeluarkan sama sekali.

Dengan demikian, ada perbedaan sikap MUI tentang umum pemilihan di era Orde Baru
dan era pasca-Orde Baru. Di bawahOrde Baru rezim, MUI dapat dianggap bermain aman dengan
mendukung pemerintah. Selama era itu, hanya dalam pemilihan umum 1977 MUI mengadopsi
sikap netral. Pendekatan ini diambil karena tekanan pemerintah yang membatasi pergerakan
politik MUI. Di era pascaBaru Orde, sebaliknya, sikap MUI dalam pemilihan umum ditentukan
oleh perkembangan politik. MUI mengubah sikapnya dengan menjauhkan diri dari pemerintah
dan memperbaiki keputusannya sesuai dengan konteks politik. MUI rekomendasi dalam tahun
pemilihanumum1999,yang mengundang umat Islam untuk memilih hanya untuk calon Muslim,
dan fatwa yang melarang abstain suara adalah indikasi sikap ini.tampaknya Sikap muncul
karena MUI ingin didengar oleh orang-orang.ini Posisi dipilih karena MUI telah dirasakan
bahwa pengaruhnya di eraReformasi tidak sekuat seperti di zaman Orde Baru.

C. When Religion Becomes Evil

Pada satu sisi, agama diyakini sebagai ajaran damai yang mencerahkan. Sejarah mencatat
ragam gagasan dan komitmen yang mendorong setiap individu dan komunitas agama untuk
melewati kepentingan pribadi dalam rangka mengejar nilai dan kebenaran tertinggi. Gagasan dan
komitmen tersebut kemudian melahirkan berbagai aksi yang berlandaskan cinta, semangat
berkorban, dan ketulusan hati untuk melayani dan berbuat yang terbaik baik orang dan
komunitas lain. Namun, di sisi yang lain, agama ternyata acapkali tampil dalam wajah yang
seram, keras, bengis, penuh teror, dan sebagainya. Berbagai tindak kekerasan, seperti
pembunuhan, peperangan, dan pembantaian yang acapkali beratas nama agama, menjadi rentetan
sejarah kelam dari agama itu sendiri.
Tampilan wajah bengis dari agama-agama tersebut pada gilirannya memicu munculnya
sikap ragam skeptis terhadap agama itu sendiri. Muncul sebuah anggapan bahwa akar masalah
dari ragam konflik dan tindak kekerasan bermotif agama yang terjadi selama ini adalah agama
itu sendiri. Artinya, agamalah penyebab itu semua (religion is the problem), mengingat watak
keras dan bengis yang inheren dalam agama itu sendiri. Anggapan ini, lanjut Kimball, kemudian
menjelma menjadi sikap skeptis terhadap agama.

Degan sikap skeptis mereka yang kadangkala cenderung “memaksa” tersebut, mereka
pada akhirnya ikut menampilkan wajah seram dan bengis yang sebenarnya menjadi alasan utama
mereka di saat memusuhi agama. Dengan kata lain, mereka juga terjebak dalam kritik mereka
sendiri, yakni absolutisme yang menjadi alasan utama mereka ketika menyatakan bahwa religion
is the problem.

Kata kuncinya dalam pemahaman beragama adalah “agama yang otentik” (authentic
religion) dan “agama yang disalahgunakan” (corrupted religion), dua keadaan berkebalikan yang
melekat pada pemahaman para pemeluk agama tentang ajaran agama mereka serta mewujud
dalam ragam tindakan mereka atas dasar pemahaman tadi. Sebagai institusi yang melekat dalam
kehidupan manusia, semua agama pada dasarnya memiliki dua keadaan itu; dengan kata lain,
“rentan terhadap penyalahgunaan” (corruption). Menurut Kimball, dua kata kunci tersebut
berseberangan satu sama lain. “Agama yang otentik” adalah agama yang—berdasarkan
perspektif Kristen—dilandasi oleh cinta kepada Tuhan segenap hati, jiwa, dan pikiran serta cinta
kepada tetangga selayaknya kepada diri sendiri (Mathius 22:37-39). Sementara itu, “agama yang
disalahgunakan” adalah agama yang dijadikan sebagai pijakan pembenar untuk kekerasan dan
tindakan destruktif.

Di saat agama menjadi bencana, maka itu adalah indikasi bahwa agama telah menjadi
“penyalahgunaan”. Sebaliknya, di saat agama dikembalikan kepada sumbernya yang otentik,
maka kondisi “penyalahgunaan” tadi menjadi hilang dengan sendirinya. Pada titik ini, reformasi
pemahaman keagamaan dan pengembalian agama kepada sumber otentiknya menjadi mutlak
dilakukan. “Reformasi pemahaman keagamaan” dan “pengembalian agama kepada sumber
otentiknya” adalah agenda besar yang sangat penting. Mengapa, sebab agenda tersebut menjadi
satu-satunya jawaban terhadap problem pendefinisian agama yang dewasa ini mulai susah
dilakukan dengan benar.

Dalam pandangan Kimball, problem pendefinisian agama inilah menjadi akar munculnya
penyalahgunaan dalam diri agama, sehingga agama kemudian menjadi susah untuk dipisah dari
wajah seram dan keras sebagaimana yang sering muncul hingga saat ini. Agenda besar di atas,
lanjut Kimball, hanya bisa dilakukan dengan akurat melalui pendekatan perbandingan agama
(comparative study of religion) biasanya juga disebut dengan sejarah agama-agama (history of
religions). Sebab hanya pendekatan itulah yang menurutnya mampu mengatasi problem
pendefinisian agama, khususnya Islam, yang tengah mewabah saat ini. Hanya pendekatan itu
pula yang menurutnya mampu mengidentifikasi ragam kemiripan dan titik temu agama-agama
sebagai bingkai agama yang otentik.

Kimball menegaskan bahwa studi perbandingan agama-agama lebih mampu menyingkap


ragam kemiripan dan titik temu yang disaripatikan dari relasi yang terbangun di antara agama-
agama sepanjang sejarahnya. Menurutnya, garis pemisah antara agama-agama, di saat diamati
lebih dekat, sebetulnya cenderung fleksibel dan memudar. Hal ini terlihat, misalnya, dari
kenyataan bahwa semua agama pada prinsipnya sama-sama mengenal pertarungan kosmik antara
“kekuatan baik” dan “kekuatan jahat” meskipun dalam ungkapan dan konseptualisasi yang relatif
berbeda satu sama lain.

Semua agama, sebagai contoh berikutnya, sama-sama memiliki elemen sakral dalam
agama, semisal kitab suci, ibadah ritual, tempat suci, benda kramat, hari-hari besar, dan
sebagainya. Semua agama juga sama-sama memiliki sistem sosial yang mengatur pola bersikap
dan berperilaku para pemeluk agamanya. Kimball mengingatkan bahwa menyebut kemiripaan
dan titik temu dalam agama tidak dapat diartikan sebagai menyama ratakan semua agama.
Agama-agama jelas tidak sama (clearly, they are not), tegasnya. Menyamakan pemahaman dan
praktik keagamaan dalam satu agama saja sudah tidak mungkin, apalagi menyamakan semua
agama. Tidak ada satu agama pun di dunia ini yang bersifat statis, karena pemahaman
keagamaan sebenarnya selalu berproses tanpa pernah berhenti. Perkembangan, perubahan, dan
perbedaan adalah tiga kata kunci yang begitu lekat dengan watak dasar agama itu sendiri. Alih-
alih menyamakan semua agama, hal terpenting yang harus dilakukan adalah mengklarifikasi
beragam cara agar semua agama bisa selalu berinterkoneksi dan berinterdependensi satu sama
lain.

Kimball mengidentifikasi lima faktor yang dia sebut dengan “lima tanda bahaya”, factor
yang menjelaskan mengapa agama bisa “disalahgunakan”. Lima tanda bahaya tersebut adalah

1) Klaim kebenaran secara mutlak (absolute truth claims)

Menurut Kimball, klaim kebenaran secara mutlak pada prinsipnya tidak bisa dipisahkan
sama sekali dari keberagamaan. Sebab di atas klaim kebenaran itulah justru terbangun seluruh
ajaran, ritual, dan sistem nilai setiap agama. Tanpa klaim kebenaran, agama tentu sulit untuk bisa
memiliki pengikut, eksis, dan bertahan. Namun, ketika klaim kebenaran bersifat absolut, dalam
arti menafikan sama sekali kemungkinan salah pada diri sendiri dan kemungkinan benar pada
diri orang lain, maka pada saat itulah agama telah menjelma menjadi bencana.

Kimball menyatakan bahwa klaim kebenaran yang bersifat absolut, sungguhpun muncul
dari hasil penafsiran terhadap kitab suci, sebenarnya lebih tepat disebut sebagai penyalahgunaan
terhadap kitab suci (abuse sacred texts) itu sendiri. Kimball menyatakan bahwa keyakinan
manusia tentang kebenaran agamanya, sejauh bersifat dinamis dan rasional, sebenarnya
memungkinkannya untuk memeluk agamanya dan menegaskan kebenaran yang sejati tanpa perlu
terjebak dalam sikap statis dan absolitisme. Klaim kebenaran baru bisa dikatakan sebagai otentik
manakala bersifat fleksibel serta selalu dilandasi oleh kesadaran yang membebaskan tentang
keterbatasan manusia dalam menangkap dan meyakini kebenaran. Sebaliknya, keyakinan agama
yang terkunci dalam klaim kebenaran yang absolut dapat dengan mudah membuat orang melihat
dirinya sebagai “agen Tuhan”. Orang yang seperti itu bisa lebih berani untuk melakukan tindak
kekerasan atas nama agama.

2) Kepatuhan buta (blind obedience)

Kepatuhan buta menurut Kimball adalah titik penting di mana agama seringkali
menjelma menjadi bencana. Gejalanya biasanya berupa tampilnya seorang pemimpin yang
kharismatik, totalnya pengabdian para pengikutnya kepadanya hingga pada level yang paling
ekstrim, yakni nyawa, dan ketatnya sistem sosial yang menutup peluang sama sekali bagi
kebebasan berpikir dan integritas individu para pengikutnya. Kepatuhan total itulah yang
sebenarnya menjadi tanda bahaya, di mana agama pada saat itu bisa dengan mudah menjadi
kekuatan bagi ragam kekerasan dan penghancuran. Kimball menegaskan bahwa kemungkinan
sebuah agama atau gerakan keagamaan menjelma menjadi bencana bisa dikurangi ketika
kebebasan berpikir dihargai dan prinsip kejujuran dijunjung tinggi.

3) Membangun masa “ideal” (establishing the “ideal” time)

Membangun masa ideal termasuk cita-cita wajar dari semua agama. Persoalan baru
muncul, di saat penganut agama tersebut memaksakan cita-cita itu kepada komunitas dengan
keyakinan bahwa mereka mewakili kehendak Tuhan untuk membentuk negara agama. Pada titik
ini, agama kemudian menjelma menjadi bencana. Kimball menyatakan bahwa usaha-usaha
mewujudkan masa “ideal” oleh kelompok-kelompok keagamaan di atas sebenarnya
menggambarkan ilusi yang tidak mungkin terealisasi. Mereka yang berupaya untuk mengganti
struktur politik negara menjadi negara teokrasi seraya mengklaim diri mereka sebagai wakil dari
kehendak Tuhan adalah sosok yang berbahaya.

4) Menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (the end justifies any means),

Menurut Kimball, wujud nyata yang menandai tanda bahaya keempat ini adalah ketika
agama mempertahankan “tempat suci” (sacred place) masing-masing, karena setiap agama
memang memiliki “tempat suci”. Setiap agama memiliki doktrin bahwa mempertahankan
“tempat suci” adalah bagian dari pengabdian kepada Tuhan. Oleh karena itu, semua penganut
agama berkewajiban untuk mempertahankan “tempat suci”-nya ketika “diganggu” oleh penganut
agama lain. Masalah yang serius kemudian muncul manakala doktrin tersebut dipahami oleh
penganut agama sebagai pijakan pembenar untuk melakukan tindak kekerasan kepada penganut
agama lain.

5) Menyerukan “perang suci” (declaring holy war).


Menyerukan perang suci untuk melawan penganut agama lain. Seruan ini biasanya
bertitik tolak dari keyakinan bahwa agama lain adalah sesat dan penganut agama lain adalah
sosok jahat yang patut dilaknat dan dimusnahkan. Seruan perang suci yang bersumber dari
penafsiran keliru terhadap kitab suci inilah yang terbukti menjadi salah satu pemicu konflik
antaragama yang terus berkepanjangan hingga saat ini.

Sejatinya lima tanda bahaya yang ditulis oleh Kimball ini sebenarnya tidak hanya relevan
untuk konteks relasi antaragama-agama, melainkan juga untuk konteks relasi antarkomunitas
dalam sebuah agama. Muncul kesan bahwa tulisan Kimball tidak begitu komprehensif yang
mana terlalu menekankan kepada sisi buruk dari agama. Tulisannya itu terkesan kurang
seimbang, dalam arti tidak menampilkan sisi kebalikan dari lima tanda bahaya yang
dielaborasinya.

Menganggap bahwa agama adalah suatu permasalahan dapat dicermati dari pemahaman
penganut agama tersebut. Menganut paham bahwa agama orang lain yang dianggap salah.
Keyakinan arogan terhadap agama seseorang dibarengi dengan penolakan yang menyakitkan atas
agama orang lain sesungguhnya malah memperkuat argument bahwa agama memang merupakan
suatu masalah dan dapat menimbulkan bencana.

Kimball sebenarnya sejak awal sudah menyadari bahwa kajiannya dalam bukunya ini
memang tidak komprehensif. Namun, tujuan utamanya dalam menulis bukunya ini memang
bukan untuk menyajikan kajian yang komprehensif tentang fenomena keagamaan yang tidak saja
kompleks dan mutiwajah, melainkan “sekedar” menyajikan semacam refleksi kritis dari seorang
agamawan dan ilmuwan seperti dirinya yang merasa gelisah terhadap maraknya kekerasan
bermotif agama dewasa ini, seperti yang Kimball nyatakan pada bagian pengantar bukunya

“The approach is not comprehensive. Rather, my goal is to offer an introduction to


critical thinking and questions about the multifaceted phenomenon we call religion, the
fundamental tenets of Islam, diverse and converging understandings of God, the challenge of
conflicting truth claims in religion, the universal imperative to work diligently for a better, more
just, and peaceful society, and so on.”

Pembahasan Kritis

Eksistensi agama atau kepercayaan terhadap Yang Transenden telah ada setua umur
manusia. Dari agama yang paling sederhana (primitif) sampai yang kompleks (organized
religion) serta mulai agama bumi (ardhi) sampai agama langit (samawi), telah hadir mewarnai
sejarah manusia. Realitas ini kemudian dianggap bahwa keterlibatan manusia dengan Realitas
Transenden untuk membentuk sejarah kemanusiaannya merupakan sebuah keniscayaan. Hal ini
sekaligus mengasumsikan peran positif agama bagi peningkatan kualitas kemanusiaan, bahkan
mungkin merupakan kebutuhan eksistensial primordial manusia. 3

Namun realitas yang berbeda juga terpampang dalam sejarah manusia. Atas nama agama,
berbagai bentuk kekerasan, totalitarianisme, dan opresi berjalan secara sistemik. Politik
kekuasaan, penindasan aliran/agama lain, subordinasi kelompok marginal dan minoritas
(perempuan, buruh, kaum miskin, kulit hitam, dan lain-lain) berlangsung dalam peradaban
manusia dengan legitimasi agama.4 Kekuatan agama dipakai untuk menjaga keberlangsungan
status quo. Legitimasinya memiliki efektivitas yang sangat tinggi untuk menghegemoni
kelompok lain dan menggiring mereka untuk menerima subordinasi tersebut sebagai kodrat dan
kebenaran yang tak terbantahkan.

Islam adalah agama holistic, agama yang berisikan keyakinan, nilai, dan sistem tindakan
yang lengkap. Yang memiliki jalinan dengan berbagai aspek kehidupan salah satunya jalinan
terhadap ranah politik. Agama telah mempertahankan atau meningkatkan kepentingannya dalam
kehidupan pribadi maupun publik banyak orang, khususnya di dunia Muslim. Islam hadir dalam
politik Indonesia kontemporer, khususnya di tingkat massa dan dalam kondisi di mana Muslim
Indonesia terlibat dalam partisipasi politik. Membangun dasar-dasar mikro dari perilaku politik
Muslim yang membantu kita memahami jangkauan dan kualitas keterlibatan politik dan
konsekuensinya di Indonesia dan kemungkinan di tempat lain.

Agama berpotensi sebagai sumber bukan hanya kohesi sosial melainkan juga konflik
sosial. Kondisi tersebut sangat ditentukan oleh bagaimana agama diposisikan; terutama ketika ia
berada dalam diskursus publik. Kendati tidak semua diskursus publik dapat dimasuki agama,
menurut John Rawls sama sekali tidak menegasikan peran agama dalam diskursus publik karena
Public Reason tidak fokus untuk menguji atau menyerang doktrin komprehensif mana pun; baik
religius maupun non religius.5 Hanya saja, yang menjadi titik tekan Rawls adalah basis
rasionalitas yang mutlak diperlukan dalam setiap diskursus pada suatu masyarakat demokratis.
Dalam diskursus publik, agama harus diformulasikan dalam bentuknya yang paling substansial;
bukan semata-mata disajikan secara mentah. Dalam hal ini, Brendan Sweetman dalam Why
Religion Needs Politics meneguhkan gagasan Rawls dengan menyatakan bahwa transaksi
gagasan yang ekualiter pada sebuah masyarakat yang demokratis sangat diperlukan,
konsekuensinya, worldview juga harus diterima seekualiter penerimaan atas worldview secular. 6

3
M.Misbah, Agama dan Alienasi Manusia (Refleksi Atas Kritik Karl Marx terhadap Agama), JURNAL
KOMUNIKA, Vol. 9, No. 2, Juli - Desember 2015, (ISSN : 1978 – 1261), hlm 197.
4
Wim Beuken dan Karl-Josef Kutchel (et al), Agama Sebagai Sumber Kekerasan?, Terj. Imam Baehaqi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). Farid Essack, Qur’an, Liberation & Pluralism: An Islamic Perspectives of
Interreligious Solidarity Against Oppression (England: Oneworld, 1977).
5
John Rawls, The Idea of Public Reason Revisited, dalam Samuel Freeman [ed.], John Rawls Collected
Papers, (Cambridge: Harvard University Press, 2001), hlm. 574.
6
Brendan Sweetman, Why Politics Needs Religion the Place of Religious Arguments in the Public Square,
(USA: InterVarsity Press, 20016), hlm.141.
Sedangkan bagi Wilson, agama tidak saja memberi arti pada diri manusia itu sendiri.
Tetapi lebih jauh lagi, agama berdampak dan berfungsi pada tatanan kehidupan bermasyarakat,
salah satu contoh, ketika agama memberi solusi pada kohesi kepentingan social atau dalam
rangka melegitimasi status soial.7 Landasan inilah yang menjadi peran dan pengaruh agama tidak
bisa diremehkan.

Politik pada dasarnya merupakan suatu fenomena yang berkaitan dengan manusia yang
selalu hidup bermasyarakat. Pada kodratnya ia adalah makhluk sosial yang selalu hidup dinamis
dan berkembang. Karena itulah politik selalu merupakan gejala yang mewujudkan diri manusia
dalam rangka proses perkembangannya. Karena manusia adalah inti utama dari politik, maka
apapun alasannya pengamatan atau telaah politik tidak begitu saja meninggalkan faktor
manusia. Dikemukakan Anton H. Djawamaku (1985: 144) : “bahwa pribadi seseorang manusia
adalah unit dasar empiris analisa politik”.

Agama dan politik mungkin dipahami sebagai konsep yang berbeda, tetapi mereka
tumpang tindih karena “keduanya peduli dengan mengejar nilai pribadi, sosial, atau transenden.8
Potensi hubungan antara agama dan politik termasuk teokrasi atau hierokrasi, agama negara,
agama dominan, masyarakat multi-agama, masyarakat religius, dan negara anti-agama.9

Ketika bidang agama dan politik tumpang tindih, hubungan bisa terjadi mendukung,
netral, atau menentang. Perspektif seseorang tentang peran agama yang "pantas" di politik atau
politik dalam agama dan sejauh mana agama merupakan bagian dari ruang privat, ranah publik,
atau campuran keduanya dapat memengaruhi jenis dan cakupan manfaat atau konflik. Yang
menjadi perhatian banyak orang adalah debat khusus tentang "kecocokan" agama dan politik
dalam lingkungan demokratis atau demokratisasi, terutama yang berkaitan dengannya
representasi, kesetaraan, kebebasan, dan stabilitas sosiopolitik.

Percaya bahwa agama dan politik harus dikaitkan adalah satu hal, sementara
implementasi adalah hal lain. Hubungan dekat dan kerja sama antara agama dan politik para
pemimpin, bersama dengan koneksi ke awam dan massa, mungkin umum dalam pengaturan
mayoritas Muslim, tetapi ini tidak berarti bahwa umat Islam tidak berjuang dalam upaya untuk
menegosiasikan batas-batas agama dan politik. Masalah utama dalam hal ini adalah keprihatinan
atas otoritas atau legitimasi yang dapat dicirikan sebagai pragmatisme.

Islam hadir di semua tingkatan masyarakat di Indonesia. Mengingat banyaknya mengenai


hubungan antara agama dan negara secara khusus, misalnya dari Robert Hefner, Ia berpendapat

7
Bryan S. Turner, Agama dan Teori Sosial, (Yogyakarta: IRCisoD, 2003), cet 1, hlm 189.
8
A. James Reichley, Religion in American Public Life (Washington, D.C.: The
Brookings Institution, 1985), 9. Cited in Michael Corbett and Julia Mitchell Corbett, Politics and
Religion in the United States (New York: Garland Publishing, Inc., 1999), hlm. 10.
9
Moojan Momen, The Phenomenon of Religion: A Thematic Approach (Oxford,
England: Oneworld Publications, 1999), hlm. 412-416.
bahwa " Agama di Indonesia tidak hanya masalah keyakinan atau pilihan pribadi, namun juga
temasuk republik, bahkan pemerintahan."10
Gerakan nasionalis yang mengarah ke kemerdekaan dan membimbing negara di tahap
awal setelah kemerdekaan memasukkan agama dengan sengaja dan tidak sengaja, dan secara
sukarela atau enggan, tergantung pada perspektif seseorang. "Nasionalis sekuler" Cenderung
percaya bahwa “perjuangan untuk kemerdekaan dimulai dengan pendirian Budi Utomo (Noble
Endeavour) pada 20 Mei 1908.”11 “Di Indonesia Islam adalah kekuatan yang dipromosikan
kebangkitan dan pertumbuhan nasionalisme Indonesia,”kata Harun Nasution. 12 Dengan populasi
multi-etnis, Islam diciptakan di dalamnya kesadaran milik kelompok yang sama. Islam adalah
titik identitas utama mereka. Itu sudah lewat Islam yang berbeda kelompok etnis dipersatukan
menjadi komunitas komprehensif yang besar. Islam mampu mematahkan kekuatan nasionalisme
lokal. ”13

Ketika sebuah Negara menemui krisis dalam perubahan besar dalam hal politik, social,
dan ekonomi. Para pelaku pemerintahan tidak hanya mengambil kepentingan untuk diri mereka
sendiri, namun mengambil kepentingan yang lebih luas dalam ranah politik dan pemerintah
tersebut. 14 Meskipun awal mulanya Indonesia ada dalam masa krisis perubahan, umat Islam
melibatkan diri mereka dalam gerakan nasionalis, Indonesia tidak mutlak menjadi negara Islam.
Populasi Muslim Indonesia tergolong kedalam Muslim terbesar di dunia, tetapi umat Islam
masih termasuk golongan mayoritas, bukan totalitas. Negara Indonesia juga tidak didasarkan
pada hukum syariat (Syariah atau hukum Islam). Saat ini, hanya provinsi khusus Aceh yang
mengikuti hukum syariat. Sementara banyak juga yang percaya bahwa negara Indonesia adalah
sekuler karena Pancasila-nya dasar, sekularisme seperti itu adalah masalah interpretasi.
Misalnya, Pancasila mungkin dipahami dalam arti agama. Prinsip "Keyakinan dalam Satu
Tuhan" melibatkan agama paling langsung, sementara prinsip-prinsip lain bisa dibilang
mencerminkan kepercayaan atau nilai-nilai agama. Dengan penekanan pada monoteisme, ada
juga ikatan yang tersirat antara agama dan negara. Selain itu, sekularisme negara dapat
bergantung pada periode waktu.

Menentukan pengaruh Islam pada perilaku politik bergantung pada pemisahan agama ke
dalam komponen pribadi dan asosiasional bersama dengan pemahaman tentang faktor
lingkungan. Karena Islam beragam dan kondisi individu dan sosiopolitik bervariasi, hubungan
agama dengan partisipasi politik berfluktuasi. Keanekaragaman dalam Islam pada dasarnya
10
Robert W. Hefner, 1999. “Religion: Evolving Pluralism.” Indonesia Beyond Suharto: Polity, Economy,
Society, Transition, ed. Donald K. Emmerson. Armonk, New York: M.E. Sharpe, hlm. 206.
11
Saifuddin Anshari, The Jakarta Charter of June 1945: The Struggle for an Islamic Constitution in
Indonesia (Kuala Lumpur, Malaysia: Muslim Youth Movement of Malaysia, 1979), hlm. 1.
12
Harun Nasution, “The Islamic State in Indonesia: The Rise of the Idology, the Movement for its Creation
and the Theory of the Masjumi” (M.A. Thesis, I.I.S., McGill University, Montreal, 1965), 180. Cited in
Anshari, hlm. 3.
13
Harun Nasution, “The Islamic State in Indonesia…., hlm. 3.
14
Seymon Martin Lipset, Political Man Basis Sosial Tentang Politik, Terj. Endi Haryono, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 118.
membatasi pembentukan politik tunggal proyek atau identitas di mana mayoritas Muslim
Indonesia dapat bersatu. Keyakinan, nilai-nilai, dan praktik keagamaan berbeda-beda berkenaan
dengan ortodoksi dan orientasi politik. Individu Muslim Indonesia juga multi-dimensi di mana
agama dapat tumpang tindih, berkonfrontasi, atau ditempatkan dalam hierarki dengan faktor-
faktor lain seperti factor sosial status, ekonomi, pendidikan, gender, etnis, usia, psikologis,
sosial, dan politik yang mungkin berpengaruh. Besar keragaman pendapat dan perilaku penganut
agama menhadi hal penting dalam mengubah agama di tingkat individu, membatasi kemampuan
elit untuk memobilisasi massa, perkembangan gerakan masa, dan penciptaan batas tetap antara
Islam dan politik.
Agama bisa berpotensi memberikan informasi, jaringan, insentif, dan sumber dukungan
lain untuk partisipasi politik. Namun, bagi sebagian besar orang Indonesia, agama bukanlah
sarana untuk mengatasi tantangan yang disebutkan di atas. Sebaliknya difusi atau keragaman
agama mencegah mobilisasi religio politik massa. Agama berpotensi menjadi katalis untuk
partisipasi karena kepercayaan, nilai-nilai, struktur, institusi, sumber daya, dan aktor. Namun
bagi mayoritas Muslim Indonesia, agama tampaknya tidak secara langsung atau teratur
memengaruhi mereka untuk terlibat dalam politik tingkah laku.

Bagaimana mungkin Islam tidak memobilisasi orang Indonesia secara massal untuk
konkret tujuan agama atau politik? Ada dua jawaban yang saling terkait. Pertama,
keanekaragaman di dalam Islam membatasi pembentukan proyek politik tunggal atau identitas
mayoritas Muslim Indonesia dapat bersatu. Keyakinan, nilai, dan praktik keagamaan berbeda-
beda berkenaan dengan ortodoksi dan orientasi politik atau ideologis, Kedua, identitas individu
Muslim Orang Indonesia multi-dimensional di mana agama mereka bisa tumpang tindih,
berkonfrontasi, atau menjadi ditempatkan dalam hierarki dengan faktor-faktor lain seperti status
sosial ekonomi, pendidikan, gender, etnis, dan usia. Ada juga faktor psikologis, sosial, dan
politik yang mungkin menjadi berpengaruh.

Keragaman yang ditemukan dalam Islam di Indonesia secara keseluruhan berarti tidak
ada versi seragam monolitik untuk diterapkan dalam politik. Indonesia tidak secara resmi negara
islam. Hukum Islam ada di beberapa bagian negara, tetapi bervariasi dalam jenis dan penerapan.
Partai politik Islam tidak mendominasi politik dalam hal public popularitas atau kursi
pemerintahan aktual. Banyak Muslim Indonesia tidak aktif dalam agama formal asosiasi.
Organisasi keagamaan sendiri juga mengalami perdebatan internal dan ketegangan. Anggota
Muhammadiyah dan NU, telah berulang kali berselisih tentang makna yang tepat dari “Islam”
serta hubungan antara agama dan politik misalnya. Tanpa sebuah rasa terpadu ortodoksi agama
dan orientasi politik, partai politik, agama organisasi, dan kelompok lain menghadapi masalah
dalam mengembangkan dan memanfaatkan satu agenda yang kohesif dan diterima. Pada
gilirannya membatasi perekrutan massal, retensi, dan kemajuan dalam iklim politik yang
berbeda.
Namun, heterogenitas Islam di Indonesia tidak melarang identifikasi pola. Pribadi
penganut agama dan komponen asosiasional yang dipilih dari identitas keagamaanlah yang
memengaruhi partisipasi pemilih dan protes perilaku. Walaupun agama penting bagi umat Islam,
nyataya agama tidak secara langsung atau teratur memengaruhi mayoritas orang Indonesia untuk
mengambil tindakan politik, terutama di luar pemungutan suara. Ada minoritas aktif yang
menganggap Islam relevan, ada juga kelompok yang menonjolkan pemikiran "masalah politik
yang relevan dengan agama" dengan menggunakan "sumber daya agama" (biasanya dalam
bentuk asosiasi dan sosial jaringan) yang mana secara signifikan mempengaruhi berbagai jenis
dan frekuensi partisipasi politik.
Dalam pandangan Kimball, problem pendefinisian agama inilah menjadi akar munculnya
penyalahgunaan dalam diri agama, sehingga agama kemudian menjadi susah untuk dipisah dari
wajah seram dan keras sebagaimana yang sering muncul hingga saat ini. Agenda besar di atas,
lanjut Kimball, hanya bisa dilakukan dengan akurat melalui pendekatan perbandingan agama
(comparative study of religion) biasanya juga disebut dengan sejarah agama-agama (history of
religions). Sebab hanya pendekatan itulah yang menurutnya mampu mengatasi problem
pendefinisian agama, khususnya Islam, yang tengah mewabah saat ini. Hanya pendekatan itu
pula yang menurutnya mampu mengidentifikasi ragam kemiripan dan titik temu agama-agama
sebagai bingkai agama yang otentik.

Kimball menegaskan bahwa studi perbandingan agama-agama lebih mampu menyingkap


ragam kemiripan dan titik temu yang disaripatikan dari relasi yang terbangun di antara agama-
agama sepanjang sejarahnya. Menurutnya, garis pemisah antara agama-agama, di saat diamati
lebih dekat, sebetulnya cenderung fleksibel dan memudar. Hal ini terlihat, misalnya, dari
kenyataan bahwa semua agama pada prinsipnya sama-sama mengenal pertarungan kosmik antara
“kekuatan baik” dan “kekuatan jahat” meskipun dalam ungkapan dan konseptualisasi yang relatif
berbeda satu sama lain.

Atas dasar itulah, penulis menawarkan lima tanda pembanding sebagai gejala bagi
agama yang otentik (authentic religion) sekaligus kebalikan dari lima tanda bahaya agama yang
“disalahgunakan” (corrupted religion). Adapun lima tanda pembanding tersebut adalah (1)
kebenaran yang dinamis dan relasional serta proses belajar secara terus-menerus (dynamic and
relational truth and ongoing learning), (2) berpikir kritis dan menjunjung tinggi kejujuran
(critical thinking and honest inquiry), (3) berbuat yang terbaik setiap waktu dan mengabaikan
peneguhan waktu akhir ke syurga (making the best of every time and leaving the determination
of the end time to heaven), (4) menyeimbangkan antara cara dan tujuan sebagai dua hal yang
saling-berkait (both means and end are important and linked), dan (5) menyerukan perdamaian
suci (declaring holy peace).

Lima tanda pembanding tersebut sekaligus menjadi titik tolak yang penting bagi kalangan
agamawan dan pelaku dunia pendidikan untuk membangun sistem pendidikan agama yang
mampu mendorong para pemeluk agama dan generasi muda untuk mampu menghadirkan agama
ke dalam walayah publik (public sphere) sebagai solusi—bukan sumber—ragam persoalan sosial
masyarakat yang semakin kompleks dewasa ini.

Kesimpulan

Politik pada dasarnya merupakan suatu fenomena yang berkaitan dengan manusia yang
selalu hidup bermasyarakat. Pada kodratnya ia adalah makhluk sosial yang selalu hidup dinamis
dan berkembang. Karena itulah politik selalu merupakan gejala yang mewujudkan diri manusia
dalam rangka proses perkembangannya. Karena manusia adalah inti utama dari politik, maka
apapun alasannya pengamatan atau telaah politik tidak begitu saja meninggalkan faktor
manusia.

Agama dan politik mungkin dipahami sebagai konsep yang berbeda, tetapi mereka
tumpang tindih karena “keduanya peduli dengan mengejar nilai pribadi, sosial, atau transenden.
Potensi hubungan antara agama dan politik termasuk teokrasi atau hierokrasi, agama negara,
agama dominan, masyarakat multi-agama, masyarakat religius, dan negara anti-agama.

Salah satu contoh yang konkrit dalam agama yang terjun kedalam ranah politik adalah
Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI adalah organisasi semi-pemerintah yang salah satu
tujuannya adalah untuk memberikan saran kepada pemerintah maupun masyarakat. Nasihatnya
dapat berupa fatwa atau non fatwa wacana. Pada masa orde baru MUI memang beradah di bawah
kekangan pemerintahan, namun ketika mencuatnya reformasi, MUI merubah haluannya dari
bawah kekangan pemerintahan menjadi badan independen yang berusaha menaungi
pemerintahan umumnya dan Umat Islam khususnya.

Nyatanya, ketika bidang agama dan politik tumpang tindih, hubungan bisa terjadi
mendukung, netral, menentang, atau malah memicu terjadinya bencana. Perspektif seseorang
tentang peran agama yang "pantas" di politik atau politik dalam agama dan sejauh mana agama
merupakan bagian dari ruang privat, ranah publik, atau campuran keduanya dapat memengaruhi
jenis dan cakupan manfaat atau konflik. Yang menjadi perhatian banyak orang adalah debat
khusus tentang "kecocokan" agama dan politik dalam lingkungan demokratis atau demokratisasi,
terutama yang berkaitan dengannya representasi, kesetaraan, kebebasan, dan stabilitas
sosiopolitik.

Daftar Pustaka

Anshari, Saifuddin, The Jakarta Charter of June 1945: The Struggle for an Islamic Constitution
in Indonesia (Kuala Lumpur, Malaysia: Muslim Youth Movement of Malaysia, 1979).

Beuken, Wim dan Kutchel, Karl-Josef ,(et al), Agama Sebagai Sumber Kekerasan?, Terj. Imam
Baehaqi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
Bryan S. Turner, Agama dan Teori Sosial, (Yogyakarta: IRCisoD, Cetakan ke-1, 2003).

Corbett Michael and Mitchell Corbett, Julia, Politics and Religion in the United States (New
York: Garland Publishing, Inc., 1999).

Darajat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT.Bulan BIntang, 1993),cet ke-14.

Essack, Farid, Qur’an, Liberation & Pluralism: An Islamic Perspectives of Interreligious


Solidarity Against Oppression (England: Oneworld, 1977).

Hefner, Robert W, “Religion: Evolving Pluralism.” Indonesia Beyond Suharto: Polity, Economy,
Society, Transition, ed. Donald K. Emmerson. Armonk, (New York: M.E. Sharpe, 1999).

Luckmann, Tomas ,The Social Construction of Reality, (USA:Pinguin Books, 1966).

Nasution, Harun, “The Islamic State in Indonesia: The Rise of the Idology, the Movement for its
Creation and the Theory of the Masjumi” (M.A. Thesis, I.I.S., McGill University,
Montreal, 1965)

Martin Lipset, Seymon, Political Man Basis Sosial Tentang Politik, Terj. Endi Haryono,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).

Misbah, M., Agama dan Alienasi Manusia (Refleksi Atas Kritik Karl Marx terhadap Agama),
JURNAL KOMUNIKA, Vol. 9, No. 2, Juli - Desember 2015, (ISSN : 1978 – 1261).

Momen, Moojan, The Phenomenon of Religion: A Thematic Approach (Oxford, England:


Oneworld Publications, 1999).

Rawls, John The Idea of Public Reason Revisited, (Cambridge: Harvard University Press, 2001).

Reichley, A. James, Religion in American Public Life (Washington, D.C.: The Brookings
Institution, 1985).

Sweetman, Brendan, Why Politics Needs Religion the Place of Religious Arguments in the Public
Square, (USA: InterVarsity Press, 20016).

Kimball, Cherles, When Religion Becomes Evil, terj. Nurhadi, (Bandung:Mizan, 2003)

As’ad, Muhammad, Religion and Politics in Indonesia: attitudes and influences of the Indonesia
council of ulama (MUI) on the general elections, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011.

Epley, Jennifer L., Voices of faithful:religion and politics in contemporary Indonesia, University
of Michigan, 2010.

Anda mungkin juga menyukai